IMPLEMENTASI KEBIJAKAN POS PEMBINAAN …repository.fisip-untirta.ac.id/624/1/IMPLEMENTASI KEBIJAKAN...
Click here to load reader
Transcript of IMPLEMENTASI KEBIJAKAN POS PEMBINAAN …repository.fisip-untirta.ac.id/624/1/IMPLEMENTASI KEBIJAKAN...
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN POS PEMBINAAN TERPADU
USIA LANJUT (POSBINDU USILA) DI WILAYAH KERJA
PUSKESMAS SINGANDARU KOTA SERANG
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial Pada
Konsentrasi Kebijakan Publik Program Studi Ilmu Administrasi Negara
Oleh:
Anis Yuliana
6661110290
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
SERANG, APRIL 2016
ABSTRAK
Anis Yuliana. NIM 6661110290. SKRIPSI. Implementasi Kebijakan Pos
Pembinaan Terpadu Usia Lanjut (Posbindu Usila) di Wilayah Kerja
Puskesmas Singadaru Kota Serang. Pembimbing I: Ipah Ema Jumiati, M.Si
dan Pembimbing II: Titi Stiawati M.Si. Program Studi Ilmu Administrasi
Negara. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Sultan Ageng
Tirtayasa.
Kata Kunci: Implementasi, Pos Pembinaan Terpadu Usia Lanjut
Pemerintah mengeluarkan kebijakan Pos Pelayanan Terpadu Lanjut Usia sebagai
wujud nyata dari Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun
2004. Kebijakan Posyandu Lansia yang dilaksanakan di Kota Serang diberi nama
Pos Pembinaan Terpadu Usia Lanjut (Posbindu Usila) yang terwujud dari
program kesehatan usia lanjut di Puskesmas. Wilayah kerja Puskesmas
Singandaru menjadi lokus penelitian karena memiliki persentase jumlah Lansia
berusia 60 tahun ke atas terbesar di Kota Serang yaitu 18,49%. Masalah
implementasi kebijakan Posbindu Usila di wilayah kerja Puskesmas Singandaru
yaitu kurangnya tenaga kesehatan, kurangnya partisipasi Lansia, dan tidak adanya
pengkuran Indeks Massa Tubuh (IMT) Lansia. Tujuan penelitian ini untuk
mengetahui implementasi kebijakan Posbindu Usila di wilayah kerja Puskesmas
Singandaru. Penelitian ini menggunakan teori model implementasi pendekatan
bottom up Adam Smith. Metode penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif
dekriptif. Teknik Pengumpulan data yang digunakan adalah observasi,
wawancara, dokumentasi. Analisa data menggunakan model Milles & Huberman.
Hasil penelitian menunjukan bahwa implementasi kebijakan Posbindu Usila
belum optimal karena kelurahan Kota baru belum memiliki Posbindu Usila, kader
tidak mengetahui perhitungan dan kegunaan IMT, kekurangan jumlah kader dan
tenaga kesehatan, kurangnya pengetahuan Lansia tentang kebijakan Posbindu
Usila dan kondisi ekonomi Lansia yang kurang baik menyebabkan kurangnya
partisipasi Lansia, dan tidak ada insentif untuk kader. Saran untuk meningkatkan
optimalisasi yaitu perlu menambah jumlah Posbindu, kader dan dokter umum,
adanya pelatihan IMT, sosialisasi tentang kebijakan Posbindu Usila, penurunan
biaya pemeriksaan kesehatan dan pemberian insentif kader.
ABSTRACT
Anis Yuliana. NIM 6661110290. RESEARCH PAPER. Implementation of
Integrated Development Center for Elderly Policy in working area of
Singandaru Community Health center Serang City. First adviser: Ipah Ema
Jumiati M.Si and Second Adviser: Titi Stiawati M.Si. Departemen of Public
Administration. Faculty of Social and Political Sciences.University of Sultan
Ageng Tirtayasa.
Keywords: Implementation, Integrated Development Center for Elderly Policy
The government release a policy of integrated helath center for elderly as a
tangible manifestation of the Indonesian Government Regulation No. 43 of 2004.
The government in Serang City release integrated health center for elderly and it
named as Integrated Development Center for Elderly which is realized from
program of elderly health at Community Health center. The working area of
Singandaru community helath center become a place of research because it has a
higher number of elderly aged 60th in percent at Serang City, that is 18,49%. In
implementing intergrated health center at working area of Puskesmas Singandaru
has problems, there are the lack of health personnel and participation of the
Elderly, and no counting Body Mass Index (BMI) for Elderly. The purpose of this
reseacrh is to know how is implemention of this policy at working area of
Puskesmas Singandaru. This research used a theory of implementation model
with bottom up approach Adam Smith. This research method used descriptive
qualitative approach. Data collection techniques used observation, interviews,
documentation. analyzed used a model of Milles and Huberman. The resullt of
this research showed that the implementation of integrated delevopment center for
elderly is not optimal because Kota Baru Village doesn’t have an integrated
development center for elderly, kader doesn’t know how to count and the utility of
BMI, elderly doesn’t know about the policy and economic conditions Elderly poor
leads to a lack of participation Elderly, and no commision for cader. Suggestions
to improve the optimization is add number of integrated development center for
elderly, cader and doctor, do training BMI, do socialization, bring down the cost
and give commision for cader.
Tidak seharusnya kamu mengeluh lelah dalam
mewujudkan impianmu, karena orang tuamu pun
tidak pernah lelah membantumu mewujudkan
impianmu.
Skripsi ini aku persembahkan Untuk seseorang yang sangat berarti dalam
hidupku, Mamah dan Papah
i
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum wr. wb
Segala puji bagi Allah SWT Tuhan Semesta Alam, pemilik segala
keagungan, kesempurnaan dan kemuliaan. Dialah pencipta sekaligus penguasa
tunggal alam semesta beserta isinya. Berkat rahmat, taufik dan hidayah-Nya
peneliti dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Implementasi
Kebijakan Pos Pembinaan Terpadu Usia Lanjut (Posbindu Usila) di Wilayah
Kerja Puskesmas Singandaru Kota Serang” dengan baik. Skripsi ini dibuat
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata 1 (satu) pada
Program Studi Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
Selama proses penulisan skripsi ini, peneliti banyak menerima bantuan,
bimbingan dan nasihat dari berbagai pihak yang selalu mendukung peneliti secara
moril maupun materil. Maka peneliti ingin mengucapkan rasa terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. Dr. H. Sholeh Hidayat, M.Pd, Rektor Universitas Sultan Ageng
Tirtayasa.
2. Dr. Agus Sjafari, M.Si, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
3. Rahmawati, M.Si, Wakil Dekan I Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
4. Imam Mukhroman, S.Ikom., M.I.Kom sebagai Wakil Dekan II Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
5. Kandung Sapto Nugroho, M.Si Wakil Dekan III Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
ii
6. Listyaningsih, M.Si Ketua Prodi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
7. Riswanda, Ph.D Sekretaris Ketua Program Studi Ilmu Administrasi
Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng
Tirtayasa.
8. Ipah Ema Jumiati, M.Si, selaku dosen pembimbing pertama. Terima kasih
atas segala kesabaran dalam memberikan arahan, bimbingan, semangat
serta saran yang bermanfaat dan memotivasi peneliti dalam penulisan
skripsi ini dari awal hingga akhir.
9. Titi Stiawati, M.Si selaku dosen pembimbing kedua. Terima kasih atas
segala kesabaran dalam memberikan arahan, bimbingan, semangat serta
saran yang bermanfaat dan memotivasi peneliti dalam penulisan skripsi ini
dari awal hingga akhir.
10. Jullianes Cadith, M.Si, selaku dosen pembimbing akademik. Terima kasih
telah memberikan bimbingan dari awal perkuliahan hingga sekarang.
11. Seluruh dosen program studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa yang
membekali peneliti dengan ilmu pengetahuan selama perkuliahan.
12. Seluruh Staf Tata Usaha (TU) program studi Ilmu Administrasi Negara
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
Terimakasih atas segala sumbangsihnya.
13. Seluruh kader Pos Pembinaan Terpadu Usia Lanjut (Posbindu Usila) dan
masyarakat lanjut usia di Wilayah Kerja Puskesmas Singandaru. Terima
kasih telah memberikan informasi serta kesempatan bagi peneliti untuk
berpartisipasi dalam pelaksanaan Posbindu Usila.
iii
14. Eka Agustina, M.Kes, Kepala Seksi Gizi Remaja dan Lanjut Usia Dinas
Kesehatan. Terimakasih telah memberikan informasi yang dibutuhkan
peneliti untuk penulisan skripsi ini.
15. Drg. Yayat Cahyati, Kepala Puskesmas Singandaru. Terimakasih telah
memberikan informasi yang dibutuhkan peneliti untuk penulisan skripsi
ini.
16. Tatu Maltupah, Amd. Kep selaku pelaksana program kesehatan usia lanjut
Puskesmas Singandaru. Terimakasih telah memberikan data dan informasi
yang dibutuhkan peneliti serta memberikan kesempatan kepada peneliti
untuk berpartisipasi dalam pelaksanaan Posbindu Usila.
17. Seluruh Staf Puskesmas Singandaru dan Dinas Kesehatan Kota Serang,
Terimakasih atas segala sumbangsihnya.
18. Seluruh Staf Kelurahan Lontar Baru, Kelurahan Kagungan dan Kelurahan
Kota baru. Terimakasi telah membantu peneliti dalam memberikan data
yang dibutuhkan peneliti untuk penulisan skripsi ini.
19. Papa, Mama, Teteh Elis, Hana, dan keponakan tante Adis dan Dias yang
senantiasa memberikan semangat bagi peneliti untuk menempuh gelar
strata satu. Terimakasih untuk segala kepercayaan dan doa kalian.
20. Keluarga besar terutama Uwa Yayat, Teteh Nia, Teteh Dian dan Ressa.
Terimakasih atas motivasi yang memberi semangat kepada peneliti.
21. Sahabat terbaikku Alfi, Lena, Putri, Aliya, Vergie, Kiki, Iwan, Mursi, Umi
Micha, Era, Sella, Dika, dan Fifi terimakasih untuk persahabatan, doa dan
motivasinya.
22. Teman-teman seperjuangan Ilmu Administasi Negara angkatan 2011
khususnya kelas B reguler. Terimakasih atas kebersamaan, motivasi,
perjuangan, dan kenangan selama perkuliahan. Semangat dan sukses untuk
kita.
iv
Peneliti menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih terdapat kekurangan,
oleh karena itu peneliti mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun
sebagai perbaikan dan untuk menambah wawasan di masa yang akan datang.
Akhir kata semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Wassalamu’alaikum wr. wb
Serang, 07 Maret 2016
Anis Yuliana
v
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN
LEMBAR PENGESAHAN
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS
ABSTRAK
ABSTRACT
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
KATA PENGANTAR................................................................................ i
DAFTAR ISI…............................................................................................ v
DAFTAR GRAFIK………………………………………………………. ix
DAFTAR TABEL………………………………………………………… x
DAFTAR GAMBAR…………….………………………………………. xii
DAFTAR LAMPIRAN............................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah............................................................... 1
1.2 Identifikasi Masalah…………………………………………….. 19
1.3 Batasan Masalah………………………………………………… 20
1.4 Rumusan Masalah......................................................................... 20
1.5 Tujuan Penelitian.......................................................................... 20
1.6 Manfaat penelitian………………………………………………. 21
vi
BAB II DESKRIPSI TEORI, KERANGKA BERFIKIR, DAN
ASUMSI PENELITIAN
2.1 Deskripsi Teori…..……………………………………………… 22
2.1.1 Kebijakan Publik……...…………..…………………….. 23
2.1.2 Tahap-tahap Kebijakan Publik............................................ 27
2.1.3 Implementasi Kebijakan Publik………..………………… 29
2.1.4 Model Pendekatan Implementasi Kebiajakan Publik……. 33
2.1.4.1 Pendekatan Top-Down…………………………… 34
2.1.4.2 Pendekatan Bottom-Up…………………………... 37
2.1.5 Pos Pelayanan Terpadu Lanjut Usia……………………... 40
2.2 Penelitian Terdahulu…………...……………..………………… 45
2.3 Kerangka Pemikiran Penelitian…...…………………………….. 53
2.4 Asumsi Dasar…………………………………………………… 57
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian........................................................................... 58
3.2 Ruang Lingkup Penelitian……..................………………………. 59
3.3 Lokasi Penelitian……...……....………………………………….. 59
3.4 Variabel Penelitian.............……...………………….……………. 60
3.4.1 Definisi Konsep..................................................................... 60
3.4.2 Definisi Operasional............................................................... 61
3.5 Instrumen Penelitian…...............................………………………. 66
vii
3.6 Informan Penelitian ……………………….………..…................. 66
3.7 Teknik Pengumpulan Data.............................................................. 69
3.8 Analisis Data dan Uji Keabsahan Data........................................... 71
3.8.1 Analisis Data.......................................................................... 71
3.8.2 Uji Keabsahan Data................................................................ 72
3.9 Lokasi dan Jadwal Penelitian.......................................................... 73
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian............................................................. 75
4.1.1 Gambaran Umum Puskesmas Singandaru............................ 75
4.2 Deskripsi Data................................................................................. 88
4.2.1 Deskripsi Data Penelitian...................................................... 88
4.2.2 Data Informan....................................................................... 90
4.3 Penyajian Data................................................................................. 92
4.3.1 Idealized Policy (Kebijakan Ideal)........................................ 93
4.3.2 Target Groups (Kelompok Sasaran)..................................... 111
4.3.3 Implementing Organization (Organisasi Pelaksana)............. 127
4.3.4 Environmental Factors (Faktor Lingkungan)....................... 149
4.4 Pembahasan Hasil Penelitian........................................................... 162
BAB V KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan...................................................................................... 177
viii
5.2 Saran................................................................................................ 178
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
ix
DAFTAR GRAFIK
Grafik 1.1.1 Total Fertility Rate (TFR) di Provinsi Banten.......................... 4
x
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1.1 Angka Harapan Hidup Kabupaten/Kota di Provinsi Banten
Tahun 2012-2013....................................................................... 3
Tabel 1.1.2 Rekapan Kasus Penyakit Tidak Menular Triwulan I Sampai
Dengan Triwulan III Kota Serang Tahun 2014.......................... 6
Tabel 1.1.3 Jumlah Pos Pembinaan Terpadu Usia Lanjut dan Persentase
Penduduk Usia Lanjut masing-masing Wilayah Kerja Puskesmas
di Kota Serang Tahun 2014..................................................... 11
Tabel 1.1.4 Nama Pos Pembinaan Terpadu Usia Lanjut (Posbindu Usila) di
Wilayah Kerja Puskesmas Singandaru.….................................. 13
Tabel 1.1.5 Persentase Jumlah Lanjut Usia yang dibina Posbindu Usila
Bulan Mei – September Tahun 2015......................................... 17
Tabel 2.2.1 Penelitian Terdahulu…………………………………............….. 50
Tabel 3.4.2.1 Pedoman Wawancara………………...........……………….....… 63
Tabel 3.6.1 Daftar Informan Penelitian…….............………………………… 68
Tabel 3.9.1 Waktu Penelitian..............………...……………………………... 74
Tabel 4.1.1.1 Penduduk di Wilayah Kerja Puskesmas Singandaru..................... 77
Tabel 4.1.1.2 Jumlah Penduduk Berdasarkan Usia di Wilayah Kerja
Puskesmas Singandaru Tahun 2014........................................... 78
Tabel 4.1.1.3 Nama Posbindu Usila di Wilayah Kerja Puskesmas
Singandaru.................................................................................. 79
Tabel 4.1.1.4 Jumlah Keluarga Menurut Tahapan Keluarga Sejahtera di
Wilayah Kerja Puskesmas Singandaru Tahun 2013.................... 80
Tabel 4.1.1.5 Mata Pencaharian Penduduk di Wilayah Kerja Puskesmas
Singandaru................................................................................ 82
Tabel 4.1.1.6 Jumlah Penduduk Usia ≥ 10 Tahun Berdasarkan Tingkat
Pendidikan di Wilayah Kerja Puskesmas Singandaru Tahun
2014...................................................................................... 82
xi
Tabel 4.1.1.7 Sarana Kesehatan di Wilayah Kerja Puskesmas Singandaru......... 83
Tabel 4.1.1.8 Tenaga Kesehatan di Puskesmas Singandaru................................ 84
Tabel 4.2.2.1 Daftar Informan....................................................................... 91
Tabel 4.4.1 Persentase Jumlah Sasaran ≥ 60 Tahun yang dibina di Posbindu
Usila bulan April – September 2015............................................. 171
Tabel 4.4.2 Hasil Temuan Lapangan................................................................ 174
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1.2 Tahap-tahap dalam kebijakan Publik........................................ 27
Gambar 2.1.2.1 Sekuensi Implementasi Kabijakan........................................... 32
Gambar 2.3.1 Skema Kerangka Berpikir…………...……………………….. 56
Gambar 4.1.1.1 Peta Puskesmas Singandaru...................................................... 76
Gambar 4.1.1.2 Struktur Organisasi UPT Puskesmas Singandaru Tahun 2015. 85
Gambar 4.3.2.1 Struktur Organisasi Posbindu Usila.......................................... 112
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Pedoman Wawancara
Lampiran 2 Matriks Hasil Wawancara
Lampiran 3 Tabel Hasil Temuan Lapangan
Lampiran 4 Surat Permohonan Ijin Mencari Data
Lampiran 5 Struktur Organisasi
Lampiran 6 Surat Pernyataan Informan
Lampiran 7 Membercheck
Lampiran 8 Dokumentasi
Lampiran 9 Laporan Program Kesehatan Usia Lanjut
Lampiran 10 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2004
Lampiran 11 Lain-lain
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Memiliki umur yang panjang dan sehat merupakan sutau harapan seluruh
masyarakat sehingga mereka dapat memiliki banyak pengalaman dari perjalanan
hidupnya, ataupun dapat menikmati waktu yang lebih panjang, serta dapat
menghabiskan waktu kesehariannya dengan keluarga besar yaitu anak dan
cucunya. Untuk memiliki umur yang panjang, masyarakat pun berusaha menjaga
kesehatannya. Kesehatan pada masa tua dibutuhkan agar bisa menjadikan masa
lanjut usia yang mandiri dan berdaya guna. Maka dari itu derajat kesehatan
masyarakat perlu ditingkatkan. Derajat kesehatan masyarakat yang baik terwujud
dari keberhasilan pemerintah dalam pembangunan di bidang kesehatan yang salah
satunya terlihat dari angka harapan hidup masyarakat.
Angka harapan hidup adalah perkiraan lama hidup rata-rata penduduk
dengan asumsi tidak ada perubahan pola mortalitas (kematian) menurut umur
(Profil Kesehatan Indonesia 2013). Dalam menghitung angka harapan hidup,
idealnya dihitung berdasarkan Angka Kematian Menurut Umur (Age Specific
Death Rate/ASDR) yang datanya diperoleh dari catatan registrasi kematian secara
bertahun-tahun sehingga dimungkinkan dibuat tabel kematian. Tetapi karena
sistem registrasi penduduk di Indonesia belum berjalan dengan baik maka untuk
menghitung angka harapan hidup digunakan cara tidak langsung dengan program
1
2
Mortpak Lite (http://statistiknawangan.blogspot.co.id/2015/01/angka-harapan-
hidup-ahh-makanan-apa-itu.html diakses pada tanggal 15 April 2016). Dalam
mencari Angka Harapan Hidup dengan menggunakan software Mortpak
diperlukan data jumlah Anak Lahir Hidup (ALH) dan Anak Masih Hidup (AMH)
yang akan dihitung oleh software tersebut, kemudian akan diperoleh Angka
Harapan Hidup dari hasil perhitungan rata-rata umur pada tabel life expectansy at
birth. Angka yang dihasilkan digunakan untuk menunjukan kemampuan untuk
bertahan hidup lebih lama.
Provinsi Banten berhasil meningkatkan angka harapan hidup masyarakat
dari 68,86 tahun pada tahun 2012, menjadi 69,04 tahun pada tahun 2013, dengan
persentase penduduk usia lanjut sebesar 4,73% atau sebanyak 565.781 orang dari
total penduduk tahun 2013 sebanyak 11.452.491 orang (Banten dalam Angka
2014). Angka Harapan Hidup (AHH) yang meningkat menunjukan bahwa derajat
kesehatan masyarakat pun telah meningkat. Namun peningkatan Angka harapan
Hidup ini menjadi tugas pemerintah dalam mengatasi dampaknya di masa yang
akan datang, karena semakin lamanya usia manusia untuk bertahan hidup maka
akan semakin meningkat jumlah manusia usia lanjut.
Provinsi Banten memiliki 4 (empat) Kabupaten dan 4 (empat) Kota. Kota
Serang adalah ibu kota Provinsi Banten. Terkait peningkatan Angka Harapan
Hidup (AHH), tidak seperti kota dan kabupaten lainnya di provinsi Banten, ibu
kota Provinsi Banten tidak berhasil meningkatkan angka tersebut di tahun 2013.
3
Tabel 1.1.1 Angka Harapan Hidup Kabupaten/Kota di Provinsi Banten
Tahun 2012-2013
No Kabupaten/Kota
Angka
Harapan
Hidup Tahun
2012 (Tahun)
Angka
Harapan
Hidup Tahun
2013 (Tahun)
Persentase
Lansia (%)
Total
Jumlah
Penduduk
(Jiwa)
1 Kota Serang 67,23 67,23 4,1 618.802
2 Kota Tangerang 71,09 71,09 3,87 1.952.396
3 Kota Cilegon 65,84 65,84 4,06 39.8304
4 Kota Tangerang
Selatan 72,09 72,10 4,52 1.443.403
5 Kab. Tangerang 68,92 68,96 4,28 315.7780
6 Kab. Lebak 65,74 65,83 6,46 1.247.906
7 Kab. Pandeglang 62,66 62,83 7,09 1.183.006
8 Kab. Serang 62,90 63,03 2,63 1.450.894
Sumber: Banten Dalam Angka 2015
Berdasarkan tabel 1.1.1 dapat diketahui bahwa terdapat 3 (tiga) kota di
Provinsi Banten yang tidak berhasil meningkatkan Angka Harapan Hidup (AHH)
masyarakatnya di tahun 2013 yaitu Kota Serang, Kota Tangerang dan Kota
Cilegon. Hal tersebut berarti ketiga kota tersebut tidak berhasil meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat seperti kota dan kabupaten lainnya di Provinsi
Banten. Selain itu, dari ketiga kota tersebut yaitu Kota Serang, Kota tangerang
dan Kota Cilegon, persentase jumlah penduduk usia lanjut terbanyak yaitu Kota
Serang yakni sebesar 4,1% atau sebanyak 25.422 jiwa dari total penduduk di Kota
Serang sebanyak 618.802 jiwa. Selain Angka Harapan Hidup (AHH) yang akan
berdampak pada peningkatan jumlah penduduk usia lanjut di masa yang akan
datang, terjadinya fenomena bonus demografi pun menjadi penyebab hal tersebut.
Fenomena bonus demografi terjadi di mana jumlah penduduk usia
produktif lebih banyak daripada penduduk usia non produktif. Penduduk usia
4
produktif yaitu penduduk yang berusia 15 tahun sampai 59 tahun. Fenomena
bonus demografi terjadi karena penurunan angka kelahiran atau angka Total
Fertility Rate (TFR). Total Fertility Rate (TFR) adalah rata-rata jumlah anak
yang dilahirkan hidup oleh seorang wanita sampai dengan akhir masa
reproduksinya (Jabar.bkkbn.go.id diakses pada tanggal 13 September 2015).
Grafik 1.1.1 Total Fertility Rate (TFR) di Provinsi Banten
Sumber: bkkbn.go.id
Berdasarkan grafik 1.1.1, angka kelahiran di Provinsi Banten pada tahun
2012 mengalami penurunan yang cukup besar dari tahun 2007 yaitu sebesar 0,14.
Hal ini menjadi penyebab terjadinya fenomena bonus demografi di Provinsi
Banten di tahun 2013. Pada tahun 2012, jumlah penduduk usia produktif di
Provinsi Banten berjumlah 7.446.699 orang atau sebesar 66,19% dari total
penduduk sebanyak 11.248.947 orang. Sedangkan pada tahun 2013, jumlah
5
penduduk usia produktif di Provinsi Banten sebanyak 7.558.592 orang atau
menurun sebasar 0,2% dari tahun 2012.
Fenomena bonus demografi pun terjadi di Kota Serang. Kota Serang
memiliki persentase jumlah penduduk usia produktif sebesar 64,67% atau
sebanyak 400.190 jiwa dari total penduduk sebanyak 618.802 jiwa. Jumlah
penduduk usia produktif melebihi dari 50% berarti sudah melebihi setengah dari
total penduduk. Secara demografis, besarnya proporsi penduduk usia produktif
merupakan potensi bagi pembangunan. Namun pemerintah juga perlu
memperhatikan dampak yang akan terjadi di masa yang akan datang, yaitu akan
meningkatnya penduduk usia lanjut karena angka kelahiran yang sangat tinggi
pada tahun tertentu yang berarti rata-rata anak yang lahir tinggi akan menjadi
penduduk usia lanjut setelah 60 (enam puluh) tahun kemudian.
Jumlah penduduk usia lanjut yang meningkat karena meningkatnya Angka
Harapan Hidup (AHH) dan fenomena bonus demografi mengakibatkan terjadinya
perubahan yang kompleks dalam pola kesehatan dan pola penyakit utama
penyebab kematian, di mana terjadi penurunan prevalensi penyakit infeksi
(penyakit menular), sedangkan penyakit non infeksi (penyakit tidak menular)
semakin meningkat. Penyakit tidak menular (PTM) ini yang biasanya disebut
penyakit degeneratif (penuaan), dengan demikian penyakit ini adalah penyakit
yang biasa dialami oleh penduduk usia lanjut.
Usia yang bertambah tua akan mengalami penurunan fungsi fisiologis
sehingga manusia usia lanjut rentan terkena penyakit tidak menular. Direktorat
Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL), melakukan
6
pengelompokan penyakit tidak menular menurut enam kelompok penyakit yaitu
kanker, diabetes mellitus, jantung, hipertensi, Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(PPOK) dan asma (Buletin Penyakit Tidak Menular (PTM) 2012).
Tabel 1.1.2 Rekapan Kasus Penyakit Tidak Menular (PTM) Triwulan I
Sampai Dengan Triwulan III Kota Serang Tahun 2014
No. Penyakit Tidak Menular Jumlah Lansia
tahun (Orang)
1 Hipertensi 3.128
2 Penyakit Jantung Koroner 191
3 Stroke 33
4 Diabetes Melitus 388
5 PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik) 138
6 Asthma 92
7 Osteoporosis 12
8 Gagal Ginjal Kronik 11
Jumlah 3.993
Sumber: Dinas Kesehatan Kota Serang 2014
Berdasarkan tabel 1.1.2 dapat diketahui bahwa pada tahun 2014 Lansia di
Kota Serang yang menderita Penyakit tidak menular sebanyak 3.993 orang. Total
penduduk Lansia tahun 2014 sebanyak 22.003 orang, hal ini berarti sebesar
18,14% dari jumlah penduduk lansia tersebut menderita Penyakit Tidak Menular
(PTM). Dari ke-10 (sepuluh) PTM, yang banyak diderita oleh lansia adalah
penyakit hipertensi yakni sebanyak 3.128 orang.
7
Permasalahan kesehatan lainnya yang diungkapkan Kane dan Ouslander
sering disebut dengan sebutan 14 (empat belas) I, yaitu immobility (kurang
bergerak), instability (berdiri dan berjalan tidak stabil atau mudah jatuh),
incontinence (beser buang air kecil dan atau buang air besar), intellectual
impairment (gangguan intelektual/dementia), infection (infeksi), impairment of
vision and hearing, taste, smell, communication, convalescence, skin integrity
(gangguan pancaindera, komunikasi, penyembuhan, dan kulit), impaction (sulit
buang air besar), isolation (depresi), inanition (kurang gizi), impecunity (tidak
punya uang), iatrogenesis (menderita penyakit akibat obat-obatan) (Pedoman
Pelaksanaan Posyandu Lansia, Komisi Nasional Lanjut Usia 2010).
Berbagai macam permasalahan yang dialami penduduk usia lanjut, maka
dari itu penduduk usia lanjut perlu mendapatkan perhatian pemerintah melalui
pelaksanaan kebijakan yang dikhususkan untuk pelayanan kesehatan usia lanjut.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia dalam
pasal 14 disebutkan bahwa pelayanan kesehatan dimaksudkan untuk memelihara
dan meningkatkan derajat kesehatan dan kemampuan lanjut usia, agar kondisi
fisik, mental dan sosialnya dapat berfungsi secara wajar.
Usia lanjut yang mengalami penurunan fungsi organ tubuh serta memiliki
risiko terkenanya penyakit degenaratif, perlu mendapatkan perlakuan yang khusus
atas pelayanan kesehatan. Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang
kesejahteraan lanjut usia pasal 5 disebutkan bahwa pelayanan kesehatan
merupakan salah satu hak bagi lanjut usia untuk meningkatkan kesejahteraan
sosialnya. Hal ini seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 39
8
Tahun 1999 tentang hak asasi manusia, dalam pasal 41 ayat 2 disebutkan bahwa
orang yang berusia lanjut berhak memperoleh kemudahan dan perlakuan khusus.
Demi terwujudnya isi undang-undang tersebut, maka pemerintah wajib
menyediakan fasilitas dalam pemberian pelayanan kesehatan maupun
memfasilitasi kelompok usia lanjut. Hal ini seperti yang tercantum dalam
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan dalam pasal 138 ayat 2
disebutkan bahwa pemerintah wajib menjamin ketersediaan fasilitas pelayanan
kesehatan dan memfasilitasi kelompok lanjut usia untuk tetap dapat hidup mandiri
dan produktif secara sosial dan ekonomis.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2004 tentang
pelaksanaan upaya peningkatan kesejahteraan sosial lanjut usia, dalam pasal 4 dan
5 menjelaskan bahwa, Pelayanan kesehatan merupakan salah satu upaya
peningkatan kesejahteraan sosial bagi lanjut usia baik yang masih potensial
maupun tidak. Upaya tersebut dilaksanakan oleh dan jadi tanggung jawab
pemerintah dan masyarakat serta dilaksanakan secara terkoordinasi antar
pemerintah dan masyarakat. Upaya peningkatan kesejahteraan Lansia tercatum
dalam Peraturan Pemerintah No 43 Tahun 2004 pasal 3 yaitu:
1. Pelayanan keagamaan dan mental spiritual;
2. Pelayanan kesehatan;
3. Pelayanan kesempatan kerja;
4. Pelayanan pendidikan dan pelatihan;
5. Pelayanan untuk mendapatkan kemudahan dalam penggunaan fasilitas,
sarana dan prasarana umum;
9
6. Pemberian kemudahan dalam layanan dan bantuan hukum;
7. Bantuan sosial;
8. Perlindungan sosial.
Peraturan pemerintah Nomor 43 tahun 2004 merupakan peraturan yang
menjadi dasar kebijakan Pos Pelayanan Terpadu Lanjut Usia (Posyandu Lansia).
Posyandu Lansia adalah suatu wadah pelayanan kesehatan kepada lanjut usia di
masyarakat, yang proses pembentukan dan pelaksanaannya dilakukan oleh
masyarakat bersama lembaga swadaya masyarakat, lintas sektor pemerintah dan
non-pemerintah, swasta, organisasi sosial dan lain-lain, dengan menitik beratkan
pelayanan kesehatan pada upaya promotif dan preventif. Tujuan dilaksanakan
pelayanan kesehatan di posyandu Lansia adalah untuk pencapaian lanjut usia
sehat, mandiri, dan berdaya guna (Pedoman Pelaksanaan Posyandu Lansia,
Komisi Nasional Lansia 2010).
Posyandu Lansia merupakan pengembangan dari kebijakan pemerintah
melalui pelayanan kesehatan bagi usia lanjut yang penyelenggaraannya melalui
program Puskesmas (Pusat Kesehatan Masyarakat) dengan melibatkan peran serta
para usia lanjut, keluarga, tokoh masyarakat, dalam penyelenggaraannya
(http://posyandu.org/posyandu/posyandu-Lansia/525-pengertian-posyanduLansia.
html diakses pada tanggal 27 maret 2015). Maka dari itu, posyandu Lansia
termasuk dalam kebijakan derivat atau kebijakan turunan dari kebijakan publik,
dimana Posyandu Lansia merupakan suatu bentuk kegbijakan yang terwujud dari
undang-undang dan program Puskesmas.
10
Posyandu Lansia yang dilaksanakan di daerah di Indonesia menggunakan
nama yang berbeda-beda seperti karang wredha, pusaka, Posbindu (Pos
Pembinaan Terpadu), karang lanjut usia, dan lain-lain (Pedoman Pelaksanaan
Posyandu Lansia, Komisi Nasional Lansia 2010). Kota Serang menggunakan
nama Posyandu Lansia dengan nama Pos Pembinaan Terpadu Usia Lanjut
(Posbindu Usila). Nama Posbindu dipilih karena sebagai penjelas perbedaaan
antara Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) dan Pos Pembinaan Terpadu
(Posbindu) di mana sasaran dalam Posyandu mencakup bayi, Balita, ibu hamil,
ibu nifas, ibu menyusui dan wanita subur. Sedangkan sasaran dalam Posbindu
mencakup penderita Penyakit Tidak Menular (PTM) yang biasa diderita oleh
lanjut usia. Nama usia lanjut digunakan karena Posbindu untuk masyarakat yang
berusia lanjut dalam arti yang sudah memasuki masa usia lanjut yaitu berusia 60
tahun ke atas, sedangkan istilah lanjut usia lebih ke kelompok masyarakat berusia
lanjut (wawancara dengan Ibu Eka Agustina, M.Kes Kepala Seksi Gizi Remaja
dan Lanjut Usia Dinas Kesehatan Kota Serang pada tanggal 20 April 2016).
Pos Pembinaan Terpadu Usia Lanjut merupakan salah satu bentuk Upaya
Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) yang dibentuk oleh masyarakat
berdasarkan inisiatif dan kebutuhan masyarakat itu sendiri, khususnya penduduk
usia lanjut (http://macrofag.blogspot.co.id/2013/03/artikel-posbindu_2222.html
diakses pada tanggal 16 April 2016). Pelaksanaan kebijakan ini dibantu oleh
Puskesmas setempat dalam memberikan jasa tenaga kesehatan di Posbindu Usila.
Kota Serang memiliki 16 (enam belas) Puskesmas. Dari ke-16 (enam
belas) Puskesmas tersebut memiliki 54 (lima puluh empat) Pos Pembinaan
11
Terpadu Usia Lanjut (Posbindu Usila) yang tersebar di masing-masing wilayah
kerja Puskesmas di Kota Serang. Berikut adalah Jumlah Pos Pembinaan Terpadu
Usia Lanjut (Posbindu Usila) yang ada di masing-masing wilayah kerja
Puskesmas di Kota Serang beserta persentase jumlah Lansianya:
Tabel 1.1.3 Jumlah Pos Pembinaan Terpadu Usia Lanjut dan Persentase
Penduduk Usia Lanjut masing-masing Wilayah Kerja Puskesmas di Kota
Serang Tahun 2014
No. Nama Puskesmas
Jumlah Pos
Pembinaan Terpadu
Usia Lanjut
Jumlah
Lansia
(Jiwa)
Jumlah
penduduk
(Jiwa)
Persentase
Jumlah
Lansia
1 Puskesmas Banjar agung 3 209 49.446 0,42%
2 Puskesmas Banten girang 2 476 29.576 1,6%
3 Puskesmas Ciracas 3 1.817 29.608 6,13%
4 Puskesmas Cipocok 1 290 14.059 2,06%
5 Puskesmas Curug 2 558 49.181 1,13%
6 Puskesmas Kalodran 3 749 34.415 2,17%
7 Puskesmas Kasemen 4 3037 44.304 6,85%
8 Puskesmas Kilasah 3 635 39.140 1,33%
9 Puskesmas Pancur 2 30 25.147 0,11%
10 Puskesmas Rau 3 1.769 52.890 3,34%
11 Puskesmas Sawah Luhur 2 187 84.08 2,22%
12 Puskesmas Serang Kota 8 3.063 52.226 5,86%
13 Puskesmas Singandaru 5 5.231 28.284 18,49%
14 Puskesmas Taktakan 7 2.287 58.959 3,87%
15 Puskesmas Unyur 4 1.257 54.496 2,3%
16 Puskesmas Walantaka 2 408 48.663 0,83%
Sumber: Dinas Kesehatan Kota Serang 2014
12
Data pada tabel 1.1.3 didapatkan dari laporan kegiatan usia lanjut di Kota
Serang tahun 2014, serta data kependudukan Kota Serang dari Badan Pusat
Statistik Provinsi Banten. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan batas usia
lanjut usia yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 yaitu
minimal 60 tahun. Berdasarkan tabel 1.1.3 dapat diketahui bahwa dari ke-16
(enam belas) Puskesmas yang ada di Kota Serang, wilayah kerja Puskesmas
Singandaru merupakan Puskesmas yang memiliki jumlah penduduk Lansia
terbanyak yakni sebesar 18,49% atau sebanyak 5.231 lansia. Menurut kutipan
dalam bulletin Lansia tahun 2013, persentase jumlah penduduk usia lanjut yang
mencapai lebih dari 7% menunjukan bahwa daerah tersebut merupakan daerah
berstruktur tua. Hal ini menunjukan bahwa wilayah kerja Puskesmas Singandaru
merupakan wilayah berstruktur tua di Kota Serang.
Wilayah yang termasuk berstruktur tua perlu mendapat perhatian dari
pemerintah dalam memberikan kebijakan di bidang kesehatan untuk penduduk
usia lanjut, mengingat permasalahan yang terlihat dialami oleh Lansia adalah
kesehatan yang menurun. Puskesmas Singandaru memiliki program kesehatan
usia lanjut yang terlaksana dalam kebijakan Pos Pembinaan Terpadu Usia Lanjut
(Posbindu Usila) yang bekerjasama dengan Dinas Kesehatan Kota Serang dan
kader Posbindu Usila. Wilayah kerja Puskesmas Singandaru membawahi 3 (tiga)
kelurahan yaitu Kelurahan Lontar Baru, Kelurahan Kagungan dan Kelurahan Kota
Baru serta memililki 5 (lima) Posbindu Usila yang terdapat di kelurahan tersebut.
13
Tabel 1.1.4 Nama Pos Pembinaan Terpadu Usia Lanjut (Posbindu Usila) di
Wilayah Kerja Puskesmas Singandaru
No. Nama Pos Pembinaan Terpadu Usia Lanjut
(Posbindu Usila) Kelurahan
1 Pepabri Lontar Baru
2 Melati Lontar Baru
3 Teratai Lontar Baru
4 Sirsak Kagungan
5 Manggis Kagungan
Sumber: Puskesmas Singandaru 2015
Berdasarkan tabel 1.1.4 dapat diketahui bahwa kelima Pos Pembinaan
Terpadu Usia Lanjut (Posbindu Usila) tersebut terdiri dari 3 (tiga) Posbindu Usila
yang berada di Kelurahan Lontar Baru dan 2 (dua) Posbindu Usila berada di
Kelurahan Kagungan. Implementasi kebijakan Pos Pembinaan Terpadu Usia
Lanjut (Posbindu Usila) di Wilayah Kerja Puskesmas Singandaru tidak terlepas
dari berbagai kendala yang menghambat pelaksanaannya. Berbagai permasalahan
yang ditemukan berdasarkan data terkait implementasi kebijakan posbindu usila,
wawancara pendahuluan serta hasil observasi melalui partisipasi langsung dalam
kegiatan posbindu usia lanjut, antara lain:
Pertama, jumlah tenaga pelaksana Pos Pembinaan Terpadu Usia Lanjut
(Posbindu Usila) dari Puskesmas yang tidak mencukupi. Berdasarkan hasil
observasi partisipatif peneliti pada pelaksanaan Posbindu Usila di wilayah kerja
Puskesmas Singandaru, Tenaga Pelaksana tetap untuk Posbindu Lansia hanya satu
orang saja yaitu Ibu Tatu Maltupah Amd. Kep sebagai pelaksana bina kesehatan
masyarakat lanjut usia di Puskesmas Singandaru. Beliau berprofesi sebagai
seorang perawat di Puskesmas Singandaru. Apabila dibandingkan dengan
pelaksanaan Posbindu Usila di wilayah kerja Puskesmas lain seperti Puskesmas
14
Serang Kota, tenaga kesehatan untuk Posbindu Usila di wilayah kerja Puskesmas
Singandaru jauh lebih sedikit.
Puskesmas Serang Kota memiliki jadwal pelaksanaan Posbindu Usila
beserta tenaga kesehatan yang akan ditugaskan di masing-masing Posbindu Usila.
Jumlah tenaga kesehatan untuk tiap Posbindu Usila yaitu sebanyak 4 (empat)
orang yang terdiri dari 3 (tiga) perawat dan 1 (satu) dokter umum. Berdasarkan
hasil obervasi partisipatif peneliti pada pelaksanaan Posbindu Usila di wilayah
kerja Puskesmas Serang Kota, ketiga perawat tersebut terbagi dalam bagian
pendaftaran yang bertugas mencatat nama lansia yang kemudian dikelompokan
dalam kepesertaan BPJS Kesehatan, pemeriksaan tekanan darah, dan pemberian
resep obat. Sedangkan seorang dokter bertugas dalam memeriksakan kesehatan
lansia dan konsultasi kesehatan lansia yang terdapat di meja pelayanan 4 (empat)
di Posbindu Usila. Sedangkan Puskesamas Singandaru tidak menetapkan tenaga
kesehatan yang akan bertugas di tiap Posbindu Usila, karena Puskesmas
Singandaru hanya memiliki satu tenaga kesehatan yaitu seorang perawat untuk
melayani kesehatan Lansia di Posbindu Usila wilayah kerja Puskesmas
Singandaru. Tugas tenaga kesehatan di Posbindu mulai dari pemeriksaan tekanan
darah, test laboratorium sederhana, konsultasi kesehatan, pemberian resep dan
pencatatan nama lansia serta hasil pemeriksaan kesehatan dilakukannya seorang
diri.
Berdasarkan hasil wawancara pendahuluan dengan pengelola program
kesehatan lanjut usia di Puskesmas Singandaru, terkait tidak adanya penetapan
nama petugas Puskesmas ataupun jumlah petugas dari puskesmas yang akan
15
bertugas pada pelaksanaan Posbindu Usila, pemilihan petugas yang akan
membantu dalam pelaksanaan posbindu bersifat fleksibel dalam arti siapapun
yang bisa dari bidang perawat, dokter ataupun bidan yang apabila tidak
berbenturan dengan jadwal tugas di puskesmas akan diminta untuk membantu
melayani kesehatan di Posbindu Usila. Bahkan, apabila ada mahasiswa dari
bidang akademik keperawatan akan diminta untuk turut serta dalam pelaksanaan
Posbindu Usila (Wawancara dengan Ibu Tatu Maltupah Pengelola Program Lanjut
Usia Puskesmas Singandaru pada tanggal 26 Oktober 2015). Hasil observasi
partisipatif peneliti yang telah mengikuti seluruh pelaksanaan Posbindu Usila di
wilayah kerja Puskesmas Singandaru, tenaga kesehatan di Posbindu Usila dari
Puskesmas Singandaru tidak pernah lebih dari satu orang, terkecuali apabila ada
mahasiswa bidang kesehatan yang sedang magang yang dapat membantu
melayani kesehatan di Posbindu Usila.
Jumlah tenaga pelaksana Posbindu Usila dari Puskesmas Singandaru yang
kurang berakibat pada jumlah Pos Pembinaan Terpadu Usia Lanjut (Posbindu
Usila) yang tidak sebanding dengan jumlah penduduk lanjut usia. Jumlah
penduduk Lansia yang ada di wilayah kerja Puskesmas Singandaru yakni
Kelurahan Lontar Baru, Kelurahan Kagungan dan Kelurahan Kota Baru sebanyak
5.231 orang atau sebesar 15,17% dari total penduduk di 3 (tiga) kelurahan
tersebut.
Jumlah Rukun Warga (RW) di wilayah kerja Puskesmas Singandaru yaitu
sebanyak 31 RW, 13 RW berada di Kelurahan Lontar Baru, 12 RW di Kelurahan
Kagungan dan 6 RW di Kelurahan Kota Baru. Sedangkan jumlah Pos Pembinaan
16
Terpadu Usia Lanjut (Posbindu Usila) di wilayah kerja Puskesmas Singandaru
hanya ada 5 (Lima) dan itu pun hanya ada di 2 (dua) kelurahan yaitu Kelurahan
Lontar Baru yang memiliki 3 (tiga) Posbindu Usila dan Kelurahan Kagungan
yang memiliki 2 (dua) Posbindu Usila. Jumlah Posbindu Usila tersebut tidak ada
setengahnya dari jumlah RW. Bahkan warga Kelurahan Kota Baru tidak memiliki
satu pun Posbindu Usila. Warga Kelurahan Kota Baru sudah mengajukan
permohonan mendirikan Posbindu Usila di wilayahnya, namun pengajuan tersebut
tidak dapat dikabulkan oleh pihak Puskesmas dikarenakan jumlah tenaga
pelaksana Posbindu Usila dari Puskesmas yang tidak mencukupi yakni hanya
tersedia 1 (satu) orang saja. sedangkan jumlah tenaga kesehatan yang ideal untuk
Posbindu adalah 3 (tiga) orang yang terdiri dari 2 (dua) perawat dan 1 (satu)
dokter umum (Wawancara dengan Ibu Tatu Maltupah Amd. Kep pengelola
progam kesehatan lanjut usia pada tanggal 26 Oktober 2015).
Kelurahan Kota Baru tidak memililki Posbindu Usila membuat penduduk
usia lanjut di Kelurahan Kota Baru yang ingin memeriksa kesehatannya harus
mendatangi Puskesmas Sigandaru. Padahal, Kelurahan Kota Baru merupakan
Kelurahan yang jaraknya terjauh dari Puskesmas yaitu sejauh 1,1 KM (Kecamatan
Kota Serang dalam Angka 2014). Hal tersebut membuktikan bahwa tujuan
pelaksanaan Pos Pelayanan Terpadu Lanjut Usia (Posyandu Lansia) atau dengan
nama lain di Kota Serang yaitu Pos Pembinaan Terpadu Usia Lanjut (Posbindu
Usila) yaitu meningkatnya kemudahan bagi usia lanjut dalam mendapatkan
pelayanan kesehatan dan rujukan tidak efektif.
17
Kedua, rendahnya partisipasi warga lanjut usia dalam mengikuti
pelaksanaan Pos Pembinaan Terpadu Usia Lanjut (Posbindu Usila). Masalah ini
peneliti temukan berdasarkan data jumlah Lansia yang hadir dalam pelaksanaan
Pos Pembinaan Terpadu Usia Lanjut (Posbindu) di 5 (lima) Posbindu di wiliayah
kerja Puskesmas Singandaru yaitu Kelurahan Lontar Baru dan Kelurahan
Kagungan.
Tabel 1.1.5 Persentase Jumlah Lanjut Usia yang dibina Posbindu Usila Bulan
Mei – September Tahun 2015
No Bulan
Jumlah
Sasaran
(Orang)
Jumlah Lansia
yang Dibina
(Orang)
Persentase Jumlah
Lanjut Usia yang
Dibina (%)
1 Mei 5.231 39 0,74
2 Juni 5.231 38 0,72
3 Juli 5.231 45 0,86
4 Agustus 5.231 33 0,63
5 September 5.231 29 0,55
Sumber: Puskesmas Singandaru 2015
Berdasarkan tabel 1.1.5 jumlah Lansia berusia ≥ 60 tahun yang dibina
dengan kata lain yang hadir pada pelaksanaan Pos Pembinaan Terpadu Usia
Lanjut (Posindu Usila) mengalami peningkatan yang fluktuatif namun pada bulan
Juli sampai dengan September mengalami penurunan sebesar 0,31%. Data
tersebut sangat memprihatinkan sekali karena tidak sampai 1% pun Lansia yang
hadir pada pelaksanaan Pos Pembinaan Terpadu Usia Lanjut (Posindu Usila).
18
Peningkatan yang bersifat fluktuatif dari angka kehadiran Lansia berusia ≥
60 tahun pada pelaksanaan Posbindiu Usila karena lansia tersebut tidak hanya
memeriksa kesehatan pada Posbindu Usila saja. Apabila memiliki waktu akan
memeriksakannya di Puskesmas berhubung letak Puskesmas yang cukup dekat
dengan lokasi Posbindu. Seperti yang diungkapkan oleh salah satu kader Posbindu
usila bahwa tidak hanya di Posbindu saja warga dapat memeriksa kesehatan,
kadang bila perlu langsung ke Puskesmas (wawancara dengan Ibu Endang Ketua
Kader Posbindu Usila Teratai pada tanggal 04 November 2015). Dimanapun
warga memeriksakan kesehatanya adalah pilihan warga itu sendiri dan tidak ada
paksaan dari siapapun. Posbindu Usila merupakan fasilitas yang memberikan
pelayanan kesehatan yang dekat dengan warga sehingga warga Lansia dapat
dengan mudah mendapatkan pelayanan tersebut.
Ketiga, pengukuran Indeks masa Tubuh (IMT) tidak dilakukan. Hasil
pengukuran Indeks Masa Tubuh (IMT) merupakan hasil status gizi Lanjut usia
yang dihitung dari perhitungan tinggi badan dan berat badan Lansia. Berhubung
petugas pelaksana Posbindu Usila dari Puskesmas Singandaru yang kurang yaitu
hanya satu orang saja, maka perhitungan IMT akan sulit untuk dilakukan.
Sedangkan perhitungan IMT merupakan kelemahan bagi kader Posbindu Usila
sehingga kader pun tidak bisa melakukannya karena kader kesulitan dalam
menghitung. Meskipun sudah diajarkan pada kegiatan pelatihan yang dilakukan
Puskesmas dan Dinas kesehata Kota Serang, namun Kader sering lupa cara
meghitung IMT (Wawancara dengan Ibu Tatu Maltupah Pengelola Program
Kesehatan Lanjut Usia pada tanggal 07 Oktober 2015).
19
Berdasarkan observasi peneliti, satu petugas pelaksana Posbindu Usila dari
Puskesmas tersebut sudah memegang tugas bagian pemeriksaan darah dengan
menggunakan alat laboraturium sederhana seperti pemeriksaan gula darah,
kolesterol, dan asam urat. Sedangkan kader Posbindu Usila hanya aktif pada
bagian pendaftaran Lansia, pencatatan berat badan. Pengukuran tinggi badan tidak
dilakukan karena tidak ada alat pengkur tinggi badan. apabila IMT tidak
dilakukan maka tdak dapat diketahui ada tidaknya Lansia yang mengalami
kekurangan gizi. Selain itu, kegiatan posbidu Usila jadi tidak jauh berbeda dengan
program Puskesmas keliling yang hanya memeriksa kesehatan Lansia atas
keluhan Lansia lalu mendapatkan resep obat, yang membuat beda antara
Puskesmas keliling dan Posbindu Usila yaitu adanya Pemberian Makanan
Tambahan (PMT) pada Lansia.
Berdasarkan beberapa masalah yang ditemukan di lapangan mengenai
pelaksanaan kegiatan posbindu usila di wilayah kerja Puskesmas Singandaru,
maka peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian dengan mengangkat
judul “IMPLEMENTASI KEBIJAKAN POS PEMBINAAN TERPADU
USIA LANJUT (POSBINDU USILA) DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS
SINGANDARU KOTA SERANG
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan pada uraian latar belakang, identifikasi masalah dalam penelitian ini
antara lain:
1. Jumlah pelaksana Pos Pembinaan Terpadu Usia Lanjut (Posbindu Usila) dari
Puskesmas yang tidak mencukupi.
20
2. Rendahnya partisipasi warga lanjut usia dalam mengikuti pelaksanaan Pos
Pembinaan Terpadu Usia Lanjut (Posbindu Usila).
3. Pengukuran Indeks masa Tubuh (IMT) tidak dilakukan.
1.3 Batasan Masalah
Dari uraian-uraian yang ada pada latar belakang dan identifikasi masalah, peneliti
mempunyai keterbatasan kemampuan dan berfikir secara menyeluruh. peneliti
mencoba membatasi penelitian fokus pada Implementasi Kebijakan Pos
Pembinaan Terpadu Usia Lanjut (Posbindu Usila) Di Wilayah Kerja Puskesmas
Singandaru Kota Serang.
1.4 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada pendahuluan serta dengan memperhatikan fokus yang
tercantum dalam batasan masalah, maka peneliti menetapkan rumusan masalah
penelitian ini yaitu “Bagaimana implementasi kebijakan Pos Pembinaan
Terpadu Usia Lanjut (Posbindu Usila) di wilayah kerja Puskesmas
Singandaru Kota Serang?”
1.5 Tujuan Penelitian
Dalam sebuah penelitian tentu peneliti diharuskan menetapkan tujuan penelitian
yang akan dicapai. Sebab apabila tidak ada tujuan yang jelas maka peneliti akan
mengalami kesulitan. Berdasarkan rumusan masalah, peneliti menetapkan tujuan
penelitian yaitu mengetahui implementasi kebijakan Pos Pembinaan Terpadu Usia
Lanjut (Posbindu Usila) di wilayah kerja Puskesmas Singandaru Kota Serang.
21
1.6 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan peneliti dari adanya penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Secara teoritis
a. Dalam penelitian ini diharapkan dapat meningkatkkan kekhasanah ilmu
pengetahuan terutama ilmu sosial yang berkaitan dengan teori
kebijakan publik yang peneliti peroleh dari mata kuliah implementasi
kebijakan publik.
b. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan
keilmuan dan pengetahuan di bidang sosial, khususnya ilmu
administrasi negara.
2. Secara Praktis
a. Bagi peneliti, penelitian ini sebagai penerapan beberapa ilmu baik yang
telah dipelajari peneliti dalam perkuliahan di kelas maupun di luar
jadwal perkuliahan;
b. Bagi pemerintah, semoga hasil penelitian ini dapat menjadi masukan
atau sumbangsih pemikiran pemerintah dalam memberikan suatu
program untuk rakyat khususnya untuk usia lanjut;
c. Bagi pembaca dan peneliti selanjutnya, penelitian ini semoga dapat
berguna menjadi informasi tambahan.
22
BAB II
DESKRIPSI TEORI, KERANGKA BERFIKIR, DAN ASUMSI
PENELITIAN
2.1 Deskripsi Teori
Umumnya pada laporan penelitian ilmiah akan ditemukan suatu bagian
yag membahas tentang teori yag dipakai untuk mendukug hipotesis yang dibuat.
Sugiyono (2012: 58) mendefinisikan deskrisi teori dalam suatu penelitian
merupakan uraian sistematis tentang teori (dan bukan sekedar pendapat pakar atua
penulis buku) dan hasil-hasil penelitian yang relevan dengan variabel yang diteliti.
Teori-teori yang dideskripsikan dalam proposal maupun laporan penelitian dapat
digunakan sebagai indikator apakah peneliti menguasai teori dan konteks yang
dteliti atau tidak. Landasan teori dalam Kountur (2009: 68) memiliki sekurang-
kurangnya 3 (tiga) manfaat yaitu:
1. Memperdalam pengetahuan tentang bidang yang diteliti;
2. Mengetahui hasil penelitian yang berhubungan dengan yang sudah pernah
dilaksanakan; dan
3. Memperjelas masalah penelitian.
Menurut Kountur (2009: 68) pustaka yang merupakan sumber teori dapat
diperoleh dari 2 (dua) sumber utama yaitu laporan penelitian dan buku-buku teks.
Dalam penelitian kuantitatif, teori yang digunakan harus sudah jelas, karena teori
disini akan berfungsi untuk memperjelas masalah yang akan diteliti, sebagai dasar
untuk merumuskan hipotesis, dan sebagai referensi untuk menyusun instrumen
22
23
penelitian. Sedangkan dalam penelitian kualitatif, karena permasalahan yang
dibawa peneliti masih bersifat sementara, maka teori yang digunakan juga masih
bersifat sementara, dan akan berkembang setelah peneliti memasuki lapangan atau
konteks sosial. Teori bagi peneliti kualitatif akan berfungsi sebagai bekal untuk
bisa memahami konteks sosial secara lebih luas dan mendalam.
2.1.1 Kebijakan Publik
Masyarakat menjalani hidup bersama dengan masyarakat lainnya dalam
sebuah negara. Sebuah kehidupan bersama harus diatur. Tujuannya satu, supaya
satu dengan yang lainnya tidak saling merugikan. Kehidupan bersama harus diatur,
namun bukan sekedar diatur, melainkan diatur oleh peraturan yang berlaku untuk
semuanya dan berlaku mengikat semuanya. Setiap pelanggaran akan diberi sanksi
sesuai dengan bobot pelanggaran yang dilakukannya, dan sanksi dijatuhkan di
depan masyarakat oleh lembaga yang mempunyai tugas menjatuhkan sanksi.
Aturan tersebut yang secara sederhana kita pahami sebagai kebijakan publik.
Kebijakan terbenuk dari dua kata yaitu kebijakan dan publik. Kebijakan (policy)
adalah an authoritative decision. Publik adalah sekelompok orang yang terikat
dengan suatu isu tertentu.
Salah satu definsi kebijakan publik diberikan oleh Eyestone dalam
Winarno (2012: 20), ia mengatakan bahwa secara luas kebijakan publik dapat
didefinisikan sebagai hubungan suatu unit pemerintah dengan lingkungannya.
Konsep yang ditawarkan Eyestone ini mengandung pengertian yang sangat luas
dan kurang pasti karena apa yang dimaksud dengan kebijakan publik dapat
24
mencakup banyak hal. Batasan lain tentang kebijakan publik diberikan oleh Dye
dalam Nugroho (2012: 120), yang mendefinisikan kebijakan publik sebagai:
“Segala sesuatu yang dikerjakan pemerintah, mengapa mereka melakukan,
dan hasil yang membuat sebuah kehidupan bersama tampil berbeda
(whatever government choose to do or not to do. Publik policy is what
government do, why they do it, and what difference it makes)”.
Berkenaan dengan pemahaman Dye bahwa kebijakan publik adalah segala
sesuatu yang dikerjakan dan yang tidak dikerjakan oleh pemerintah. Pemahaman
tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Berkenaan dengan “segala sesuatu”, karena kebijakan publik
berkenaan dengan setiap aturan main dalam kehidupan bersama, baik
yang berkenaan dengan hubungan antar warga maupun warga dan
pemerintah
2. Istilah “dikerjakan”, karena “kerja” sudah merangkum proses “pra”
dan “pasca”, yaitu bagaimana pekerjaan itu dirumuskan, diterapkan
dan dinilai hasilnya.
3. Istilah dikerjakan” dan “tidak dikerjakan”, karena “dikerjakan” dan
“tidak dikerjakan” sama-sama keputusan.
4. Kenapa harus “pemerintah”, kebijakan publik dibuat oleh orgaisasi
publik dan organisasi publik identik dengan pemerintah.
5. Kebijakan publik adalah kebijakan yang mengatur kehidupan bersama
atau kehidupan publik, dan bukan mengatur kehidupan orang seorang
atau golongan.
25
Walaupun batasan yang diberikan oleh Dye ini dianggap agak tepat,
namun batasan ini tidak cukup memberikan perbedaan yang jelas antara apa yang
diputuskan oleh pemerintah untuk dilakukan dan apa yang sebenarnya dilakukan
oleh pemerintah. Disamping itu, konsep ini mencakup tindakan-tindakan seperti
pengangkatan pegawai baru atau pemberian lisensi. Suatu tindakan yang
sebenarnya berada di luar domain kebijakan publik.
Edward III dan Sharkansky mengartikan kebijaksanaan negara yang
hampir mirip dengan dengan definisi Dye dalam Islamy (2004:18) tersebut yaitu
sebagai berikut:
“…is what governments say and do, or not to do. It is the goals or
purposes of government programs... (adalah apa yang dinyatakan dan
dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah. Kebijaksanaan negara itu
berupa sasaran atau tujuan programa-programa pemerintah…)”.
Edward dan Sharkansky kemudian mengatakan bahwa kebijaksanaan
negara itu dapat ditetapkan secara jelas dalam peraturan-peraturan perundang-
undangan atau dalam bentuk pidato-pidato pejabat teras pemerintah ataupun
berupa programa-programa dan tindakan-tindakan yang dilakukan pemerintah.
Seorang pakar ilmu politik lain, Rose dalam Winarno (2012: 20) menyarankan
bahwa kebijakan hendaknya dipahami sebagai “Serangkaian keanggotaan yang
sedikit banyak berhubungan serta konsekuensi-konsekuensinya bagi mereka yang
bersangkutan daripada sebagai suatu keputusan tersendiri”.
Definisi ini sebenarnya bersifat ambigu, namun defnisi ini berguna karena
kebijakan dipahami sebagai arah atau pola kegiatan dan bukan sekedar suatu
keputusan untuk melakukan sesuatu. Tokoh ahli lainnya yang mendefinisikan
26
kebijakan publik yaitu Federick. Federick dalam Nugroho (2012: 119),
memandang kebijakan sebagai:
“Serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok atau
pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu, dengan ancaman dan peluang
yang ada. Kebijakan yang diusulkan tersebut ditujukan untuk
memanfaatkan potensi sekaligus mengatasi hambatan yang ada dalam
rangka mencapai tujuan tertentu”.
Definisi yang diberikan oleh Federick ini menyangkut definisi yang luas karena
kebijakan tidak hanya dipahami sebagai tindakan yang dilakukan oleh pemerintah,
tetapi juga kelompok maupun oleh individu.
Dari beberapa pengertian menurut para ahli, dapat diambil kesimpulan
bahwa kebijakan publik adalah sesuatu yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh
pemerintah dalam rangka mencapai tujuan tertentu dengan mengetahui hambatan-
hambatanya dan kebijakan tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk program-
program, peraturan perundang-undangan, atau tindakan-tindakan pemerintah
lainya. Bentuk-bentuk dari kebijakan publik antara lain:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Tap MPR;
3. Undang-Undang;
4. Peraturan Pemerintah;
5. Peraturan Presiden;
6. Peraturan Daerah Provinsi;
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
27
2.1.2 Tahap-tahap Kebijakan Publik
Proses pembuatan kebijakan publik merupakan proses yang kompleks
karena melibatkan banyak proses maupun variabel yang harus dikaji. oleh karena
itu beberapa ahli politik yang menaruh minat untuk mengkaji kebijakan publik
membagi proses-proses penyusunan kebijakan publik kedalam beberapa tahap.
Tujuan pembagian seperti ini adalah untuk memberikan kemudahan dalam
mengkaji kebijakan publik. Adapun tahapan-tahapan dalam kebijakan publik
dalam Winarno (2012: 35) adalah sebagai berikut:
Gambar 2.1.2.1 Tahap-tahap dalam kebijakan public
Penyusunan Agenda
Formulasi Kebijakan
Adopsi Kebijakan
Implementasi Kebijakan
Evaluasi Kebijakan
28
1. Tahap penyusunan agenda
Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada agenda
publik. Sebelumnya masalah-masalah ini berkompetisi terlebih dahulu untuk
dapat masuk kedalam agenda kebijakan. Pada akhirnya, beberapa masalah
masuk pada agenda kebijakan para perumus kebijakan. Pada tahap ini suatu
masalah mungkin tidak disentuh sama sekali, sementara masalah yang lain
ditetapkan menjadi fokus pembahasan, atau ada pula masalah karena alasan-
alasan tertentu ditunda untuk waktu yang lama.
2. Tahap formulasi kebijakan
Masalah yang telah masuk ke agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para
pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk kemudian
dicari pemecahan masalah terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari
berbagai alternatif atau pilihan kebijakan (policy alternatives/policy options)
yang ada. Sama halnya dengan perjuangan suatu masalah untuk masuk ke
dalam agenda kebijakan, dalam tahap perumusan kebijakan masing-masing
alternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk
memecahkan masalah. Pada tahap ini, masing-masing aktor akan “bermain”
untuk mengusulkan pemecahan masalah terbaik.
3. Tahap adopsi kebijakan
Dari sekian banyak alternatif kebijakan yang ditawarkan oleh para perumus
kebijakan, pada akhirnya salah satu dari alternatif kebijakan tersebut diadopsi
dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsensus antara direktur lembaga
atau keputusan peradilan.
29
4. Tahap implementasi kebijakan
Suatu program kebijakan hanya akan menjadi catatan-catatan elit, jika
program tersebut tidak diimplementasikan. Oleh karena itu, keputusan
program kebijakan yang telah diambil sebagai alternatif pemecahan masalah
harus diimplementasikan, yakni dilaksanakan oleh badan-badan administrasi
maupun agen-agen pemerintah ditingkat bawah. Kebijakan yang telah diambil,
dilaksanakan oleh unit-unit administrasi yang memobilisasikan sumberdaya
finansial dan manusia.
5. Tahap evaluasi kebijakan
Pada tahap ini kebijakan yang telah dijalankan akan dinilai atau dievaluasi,
untuk melihat sejauh mana kebijakan yang dibuat telah mampu memecahkan
masalah. Kebijakan publik pada dasarnya dibuat unutk meraih dampak yang
diinginkan. Oleh karena itu ditentukanlah ukuran-ukuran atau kriteria-kriteria
yang menjadi dasar untuk menilai apakah kebijakan publik telah meraih
dampak yang diinginkan.
2.1.3 Implementasi Kebijakan Publik
Implementasi kebijakan menunjuk aktivitas menjalankan kebijakan dalam
ranah senyatanya, baik yang dilakukan oleh organ pemerintah maupun para pihak
yang telah ditentukan dalam kebijakan. Implementasi kebijakan sendiri biasanya
ada yang disebut sebagai pihak implementor, dan kelompok sasaran. Implementor
kebijakan adalah mereka yang secara resmi diakui sebagai individu/lembaga yang
30
bertanggungjawab atas pelaksanaan program di lapangan. Kelompok sasasran
adalah menunjuk para pihak yang dijadikan sebagai objek kebijakan.
Implementasi kebijakan merupakan tahap yang kursial dalam proses
kebijakan publik. Suatu program kebijakan harus diimplementasikan agar
mempunyai dampak atau tujuan yang diinginkan. Kamus Webster (Solihin, 2012:
135), secara lexicografis merumuskan bahwa istilah “To implement
(mengimplementasikan) itu berarti to provide the means for carrying out
(menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu); to give practical effect to
(menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu)”.
Kalau pandangan ini kita ikuti, maka implementasi kebijakan dapat
dipandang sebagai suatu proses melaksanakan keputusan kebijakan, biasanya
dalam bentuk undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan peradilan,
perintah eksekutif, atau dekrit presiden. Implementasi merupakan aspek yang
penting dari keseluruhan proses kebijakan, bahkan para pakar kebijkaan asal
Afrika, Udoji dalam Solihin (2012: 126), pernah tegas mengatakan bahwa:
“The execution of policies is as important if not more important than
policy making. Policies will remain dreams or pront in file jakets unless
they are implemented” (pelaksanaan kebijakan adalah sesuau hal penting
bahkan mungkin jauh lebih penting daripada pembuatan kebijakan.
Kebijakan-kebijakan akan berupa impian atau rencana bagus yang
tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak diimplementasikan)”.
Implementasi sering dianggap sebagai bentuk pengoperasionalisasian atau
penyelenggaraan aktivitas yang telah ditetapkan berdasarkan undang-undang yang
menjadi kesepakatan bersama di antara beragam pemangku kepentingan
(stakeholders), aktor, organisasi (publik atau privat), prosedur, dan teknik secara
31
sinergistis yang digerakan untuk bekerjasama guna menerapkan kebijakan ke arah
tertentu yang dikehendaki. Meter dan Horn Winarno (2012:149) dalam membatasi
implementasi kebijakan sebagai
“Tindakan-tindakan yang dilakukan individu-individu (atau kelompok-
kelompok) pemerntah maupun swasta yang diarahkan untuk mencapai
tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan
sebelumnya”.
Implementasi kebijakan dapat dikonseptualisasikan sebagai suatu proses,
serangkaian keputusan (a serial of decisions) dan tindakan (actions) yang
bertujuan melaksanakan keputusan pemerintah atau keputusan legislasi negara
yang telah dibuat atau dirumuskan sebelumnya. Isu penting dalam studi
implementasi, dalam pandangan Smith dan Larimer dalam Solihin (2012: 141),
ialah figuring out how atau sebaliknya how a policy does not work (Smith dan
Larimer, 2009).
Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah
kebijakan dapat mencapai tujuannya. Untuk mengimplementasikan kebijakan
publik, ada dua pilihan langkah yang ada, yaitu mengimplementasikan dalam
bentuk program atau melalui formulasi kebijakan derivate atau turunnan dari
kebijakan tersebut. secara umum dapat digambarkan sebagai berikut:
32
Gambar 2.1.2.1 Sekuensi Implementasi Kebijakan (Nugroho, 2012: 675)
Kebijakan dalam bentuk undang-undang atau peraturan daerah adalah
jenis kebijakan publik yang memerlukan kebijakan penjelas. Rangkaian
implementasi kebijakan publik yaitu dimulai dari program, ke proyek, dan
kegiatan. Program didetailkan dalam proyek-proyek, dan implementasinya dalam
bentuk “produk” baik berupa pelayanan maupun barang, produk juga sering
diganti dengan “kegiatan”. Jadi, kebijakan tersebut diturunkan berupa program-
program, yang kemudian diturunkan menjadi proyek-poyek, dan akhirnya
berwujud pada kegiatan-kegiatan, baik yang dilakukan pemerintah, masyarakat,
maupun kerjasama pemerintah masyarakat.
33
Dari beberapa definisi implementasi kebijakan publik, dapat disimpulkan
implementasi merupakan tahap dari proses kebijakan segera setelah penetapan
undang-undang. Implementasi dipandang secara luas mempunyai makna
pelaksanaan undang-undang di mana berbagai aktor, organisasi, prosedur, dan
teknik bekerja bersama-sama untuk menjalankan kebijakan atau program-program.
2.1.4 Model Pendekatan Implementasi Kebiajakan Publik
Dalam sejarah perkembangan studi implementasi kebijakan, dijelaskan
tentang adanya dua pendekatan guna memahami implementasi kebijakan yakni
pendekatan top down dan bottom up. Bahasa Lester dan Stewart dalam Agustino
(2008: 140), istilah itu dinamakan dengan the command and control approach
(pendekatan kontorl dan komando yang mirip dengan top down approach) dan the
market approach (pendekatan pasar yang mirip dengan bottom up approach).
Masing-masing pendekatan mengajukan model-model kerangka kerja dalam
membentuk keterkaitan antara kebijakan dan hasilnya. Dalam buku publik policy
dari Nugroho (2012: 700), pendekatan kontrol komando disebut berpola paksa
(command-and-contorol) dan pendekatan pasar disebut mekanisme pasar
(economic incentives).
Model mekanisme paksa adalah model yang mengedepankan arti penting
lembaga publik sebagai lembaga tunggal yang mempunyai monopoli atas
mekanisme paksa dalam negara, tidak ada mekanisme insentif bagi yang
menjalani, namun ada sanksi bagi yang menolak melaksanakan atau
melanggarnya. Model mekanisme pasar adalah model yang mengedepankan
34
mekanisme insentif bagi yang menjalani, dan bagi yang tidak menjalankan tidak
mendapatkan sanksi, namun tidak mendapatkan insentif .
2.1.4.1 Pendekatan Top-Down
Pendekatan top-down menurut parson (2006: 465), adalah model yang
muncul pertama kali. model “top-down” berupa pola yang dikerjakan oleh
pemerintah untuk rakyat, partisipasi lebih berbentuk mobilisasi. Menurut
Pressman dan Wildvsky (1973: xiii) dalam parson (2006: 468), model rasional ini
berisi gagasan bahwa implementasi adalah menjadikan orang melakukan apa-apa
yang diperintahkan, dan mengontrol urutan tahapan dalam sebuah sistem; dan
implementasi adalah soal pengembangan sebuah program kontrol yang
meminimalkan konflik dan deviasi dari tujuan yang telah ditetapkan oleh
“hipotesis kebijakan”.
Menurut Suharto (2012: 71), model implementasi kebijakan dengan
pendekatan top down disebut sebagai model imperatif dalam model kebijakan
sosial berdasarkan pelaksanaannya. Model kebijakan sosial imperatif adalah
model kebijakan sosial terpusat, yakni seluruh tujuan-tujuan sosial, jenis, sumber,
dan jumlah pelayanan sosial, seluruhnya telah ditentukan oleh pemerintah. Dalam
kebijakan imperatif, peran perencanaan pembangunan sebagian besar
dilaksanakan oleh pemerintah.
Model implementasi pendekatan top-down dalam Nugroho (2012: 700),
yaitu model implementasi dari Donald Van Meter & Carl Van Horn; Daniel
Mazmanian & Paul A. Sabatier; Brian W. Hoogwood dan Lewis A. Gunn;
35
Merilee S. Grindle; dan George Edward III. Berikut adalah model-model
implementasi dengan pendekatan top down:
1. Model Metter & Horn
Model implementasi klasik dari Meter & Horn dalam Subarsono
(2012: 99), menawarkan suatu model dasar yang membentuk kaitan (linkage)
antara kebijakan dan kinerja (performance), ada enam variabel yang
mempengaruhi kinerja implementasi, yaitu:
1) Standar dan sasaran kebijakan, Standar dan sasaran kebijakan harus jelas
dan terukur sehingga dapat direalisir.
2) Sumberdaya. Implementasi kebijakan perlu dukungan sumberdaya baik
sumberdaya manusia (human resources) meupun sumberdaya non-
manusia (non-human resources).
3) Hubungan antar organisasi. Dalam banyak program, implementasi
sebuah program perlu dukungan dan koordinasi dengan instansi lain.
4) Karakteristik agen pelaksana. Yang dimaksud dengan karakteristik agen
pelaksana adalah mencakup struktur birokrasi, norma-norma, dan pola-
pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi, yang semuanya itu akan
memperngaruhi implementasi suatu program.
5) Kondisi sosial, politik, ekonomi. Variabel ini mencakup smberdaa
ekonomi lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan implementasi
kebijakan; sejauh mana kelompok-kelompok kepentingan memberikan
dukungan bagi implementasi kebijakan; karakteristik para partisipan,
yakni mendukung atau menolak; bagaimana sifat opini publik yang ada
dilingkunga; dan apakah elite politik mendukung implementasi kebijakan.
6) Disposisi implementor. Disposisi implementor mencakup tiga hal yang
penting, yakni: (a) respons implementor terhadap kebijakan, yang akan
mempengaruhi kemauannya untuk melaksanakan kebijakan; (b) kognisi,
yakni pemahamannya terhadap kebijakan; (c) intensitas disposisi
implementor, yakni preferensi nilai yang dimiliki oleh implementor.
2. Model Hoogwood dan Gunn
Model Hogwood dan Gunn yang dipetakan dalam Nugroho (2012:
687) diberi label “MS” yang terletak dikuadran “puncak ke bawah” dan
berada di “mekanisme paksa” dan “mekanisme pasar”. Menurut kedua pakar
36
ini, untuk melakukan implementasi kebijakan diperlukan beberapa syarat
yaitu:
1) Jaminan bahwa kondisi eksternal yang dihadapi oleh lembaga/badan
pelaksana tidak akan menimbulkan masalah besar.
2) Apakah untuk melaksanakannya tersedia sumber daya yang memadai,
termasuk sumber daya waktu.
3) Apakah perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar ada.
4) Apakah kebijakan yang akan diimplementasikan didasari hubugan kausal
yang andal.
5) Seberapa banyak hubungan kausalitas yang terjadi.
6) Apakah hubungan saling kebergantungan kecil.
7) Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan.
8) Tugas-tugas telah dirinci dan ditempatkan dalam urutan yang benar.
3. Model Grindle
Keberhasilan implementasi menurut Grindle (1980) dalam Subarsono
(2012: 93) dipengaruhi oleh dua variabel besar, yakni isi kebijakan (content
of policy) dan lingkungan implementasi (context of implementation) Variabel
isi kebijakan ini mencakup:
1. Sejauh mana kepentingan kelompok sasaran atau target groups
termuat dalam isi kebijakan;
2. Jenis manfaat yang diterima oleh target group;
3. Sejauhmana perubahan yang diinginkan dari sebuah kebijakan.;
4. Apakah letak sebuah program sudah tepat;
5. Apakah sebuah kebijakan telah menyebutkan implementornya dengan
rinci; dan
6. Apakah sebuah program didukung oleh sumberdaya yang memadai.
Sedangkan variabel lingkuban kebijakan mencakup:
1. Seberapa besar kekuasaan, kepentingan dan strategi yang dimiliki oleh
para aktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan;
2. Karakteristik institusi dan rejim yangsedang berkuasa;
3. Tingkat kepatuhan dan responsivitas kelompok sasaran.
37
2.1.4.2 Pendekatan Bottom-Up
Model bottom-up merupakan kritikan model top-down karena model top-
down tidak menjelaskan peran aktor dan unsur lain dalam proses implementasi.
Menurut Parson (2006: 470), yang paling penting dalam pendekatan ini adalah
hubungan antara pembuat kebijakan dengan pelaksana kebijakan. Model bottom-
up adalah model yang memandang proses sebagai sebuah negosiasi dan
pembentukan konsensus. Ini melibatkan dua konteks atau lingkungan yaitu
keahlian manajemen dan kultur organisasi yang terlibat dalam implementasi
kebijakan publik dan lingkungan politik tempat mereka harus bekerja. Model
bottom up menekankan pada fakta bahwa implementasi “di lapangan”
memberikan keleluasan dalam penerapan kebijakan.
Menurut Suharto (2012:71), model implementasi kebijakan pendekatan
bottom up disebut dengan model indikatif dalam model kebijakan sosial
berdasarkan pelaksanaannya. Kebijakan indikatif adalah kebijakan sosial yang
mengupayakan kesamaan visi dan aspirasi seluruh masyarakat. Pemerintah
biasanya hanya menentukan sasaran kebijakan secara garis besar, sedangkan
pelaksanaannya dilakukan sepenuhnya oleh masyarakat atau badan-badan swasta
(Lembaga Swadaya Masyarakat atau organisasi sosial).
Kebijakan indikatif sering pula disebut sebagai kebijakan sosial partisipatif.
Dalam kebijakan indikatif, usaha-usaha kesejahteraan sosial yang dikelola sektor
masyarakat dan swasta tidak dikontrol secara ketat. Pemerintah hanya
menyediakan berbagai fasilitas dasar yang mengindikasikan bidang-bidang
pelayanan sosial tertentu yang menjadi prioritas bersama. Kebijakan sosial
38
indikatif erat kaitannya dengan sistem demokrasi yang dianutnya. Menurut
Nugroho (2012: 7001),“bottom-up” bermakna meskipun kebijakan dibuat oleh
pemerintah, namun pelaksanaannya oleh rakyat. Diantara kedua kutub ini ada
interaksi pelaksanaan antara pemerintah dan masyarakat. dari berbagai sumber
buku, model implementasi kebijakan publik pendekatan bottom up yaitu model
Adam Smith, Richard Elmore, dkk, dan model jaringan.
1. Model Smith
Ahli kebijakan yang memfokuskan model implementasi kebjakan dalam
perpektif bottom-up adalah Adam Smith. Menurut Smith (1973) dalam Islamy
(2001: 90), implementasi kebijakan dipandang sebagai suatu proses atau alur.
Model Smith ini memandang proses implementasi kebijakan dari proses kebijakan
dan perubahan sosial dan politik, di mana kebijakan yang dibuat oleh pemerintah
bertujuan untuk mengadakan perbaikan atau perubahan dalam masyarakat sebagai
kelompok sasaran. Menurut Smith dalam Islamy (2001: 90), implementasi
kebijakan dipengaruhi oleh empat variabel, yaitu :
1. Idealized policy (kebijakan ideal) yaitu pola interaksi yang digagas oleh
perumus kebijakan dengan tujuan untuk mendorong, mempengaruhi dan
merangsang target group untuk melaksanakannya.
2. Target groups (kelompok sasaran) yaitu bagian dari policy stake holders
yang diharapkan dapat mengadopsi pola-pola interaksi sebagaimana yang
diharapkan oleh perumus kebijakan. Karena kelompok ini menjadi sasaran
dari implementasi kebijakan, maka diharapkan dapat menyesuaikan pola-
pola perilakukan dengan kebijakan yang telah dirumuskan.
3. Implementing organization (organisasi pelaksana) yaitu badan-badan
pelaksana yang bertanggung jawab dalam implementasi kebijakan.
4. Environmental factors (faktor-faktor lingkungan) yaitu unsur-unsur di
dalam lingkungan yang mempengaruhi implementasi kebijakan seperti
aspek budaya, sosial, ekonomi dan politik.
39
2. Model Elmore, dkk
Model implementasi kebijakan publik pendekatan bottom up lainnya yaitu
dari Elmore, dkk. Menurut Nugroho (2012: 692), model yang dikembangkan
secara terpisah oleh Elmore (1979), Lipsky (1971), dan Hejrn & O’Porter (1981)
ini dimulai dari mengidentifikasi jaringan aktor yang terlibat dalam proses
pelayanan dan menanyakan kepada mereka: tujuan, strategi, aktivitas, dan kontak-
kontak yang mereka miliki. Model implementasi ini didasarkan pada jenis
kebijakan publik yang mendorong masyarakat untuk mengerjakan implementasi
kebijakannya atau tetap melibatkan pejabat pemerintah namun hanya di tataran
rendah.
3. Model Jaringan
Model jaringan dalam Nugroho (2012: 689) memahami bahwa proses
implementasi kebijakan adalah sebuah complexof interaction processes diantara
sejumlah besar aktor yang berada dalam suatu jaringan (network) aktor-aktor yang
independen. Interaksi di antara para aktor dalam jaringan tersebutlah yang akan
menentukan bagaimana implementasi harus dilaksanakan, permasalahan-
permasalahan yang harus di kedepankan, dan diskresi-diskresi yang diharapkan
menjadi bagian penting di dalamnya. Pada model ini, semua aktor dalam jaringan
relatif otonom, arrtinya mempunyai tujuan masing-masing yang berbeda. Tidak
ada aktor sentral, tidak ada yang menjadi koordinator.
40
2.1.5 Pos Pelayanan Terpadu Lanjut Usia
Usia lanjut sebagai tahap akhir siklus kehidupan merupakan tahap
perkembangan normal yang akan dialami oleh setiap indvidu yang mencapai usia
lanjut dan merupakan kenyataan yang tidak dapat dihindari. Usia lanjut adalah
kelompok orang yang sedang mengalami suatu proses perubahan yang bertahap
dalam jangka waktu beberapa dekade. Batasan usia lanjut didasarkan atas
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 adalah minimal 60 tahun.
Seiring dengan semakin meningkatnya populasi lanjut usia, pemerintah
telah merumuskan berbagai kebijakan pelayanan kesehatan dan sosial lanjut usia
yang ditujukan untuk meningkatkan mutu kehidupan lanjut usia, mencapai masa
tua bahagia dan berdayaguna dalam kehidupan berkeluarga dan masyarakat sesuai
dengan keberadaannya. Sebagai wujud nyata pelayanan kesehatan dan sosial pada
kelompok lanjut usia, pemerintah telah menetapkan pelayanan pada lanjut usia
melalui beberapa jenjang. Pelayanan kesehatan dan sosial di tingkat masyarakat
adalah posyandu lanjut usia.
Pos Pelayanan Terpadu yang selanjutnya disebut Posyandu adalah salah
satu bentuk Upaya Kesehatan Bersumber Daya Masyarakat (UKBM) yang
dikelola dan diselenggarakan dari, oleh, untuk dan bersama masyarakat dalam
penyelenggaraan pembangunan kesehatan, guna memberdayakan masyarakat dan
memberikan kemudahan kepada masyarakat dalam memperoleh pelayanan
kesehatan dasar untuk mempercepat penurunan angka kematian ibu dan bayi.
Sedangkan posyandu lansia untuk warga usia pra lanjut usia yaitu 45-59 tahun dan
41
warga lanjut usia di atas usia 60 tahun. Upaya Kesehatan Bersumber Daya
Masyarakat yang selanjutnya disingkat UKBM adalah wahana pemberdayaan
masyarakat yang dibentuk atas dasar kebutuhan masyarakat, dikelola oleh, dari,
untuk dan bersama masyarakat, dengan bimbingan dari petugas Pusat Kesehatan
Masyarakat, lintas sektor dan lembaga terkait lainnya.
Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) Lanjut Usia adalah suatu wadah
pelayanan kepada lanjut usia di masyarakat, yang proses pembentukan dan
pelaksanaannya dilakukan oleh masyarakat bersama lembaga swadaya masyarakat
(LSM), lintas sektor pemerintah dan non-pemerintah, swasta, organisasi sosial dan
lain-lain, dengan menitik beratkan pelayanan kesehatan pada upaya promotif dan
preventif. Disamping pelayanan kesehatan, di Posyandu Lanjut Usia juga dapat
diberikan pelayanan sosial, agama, pendidikan, ketrampilan, olah raga dan seni
budaya serta pelayanan lain yang dibutuhkan para lanjut usia dalam rangka
meningkatkan kualitas hidup melalui peningkatan kesehatan dan kesejahteraan
mereka.
Pelayanan yang dilakukan di posyandu merupakan pelayanan ujung
tombak dalam penerapan kebijakan pemerintah untuk pencapaian lanjut usia sehat,
mandiri dan berdaya guna. Oleh karena itu arah dari kegiatan posyandu tidak
boleh lepas dari konsep active ageing/menua secara aktif. Active Ageing adalah
proses optimalisasi peluang kesehatan, partisipasi dan keamanan untuk
meningkatkan kualitas hidup di masa tua. Jika seseorang sehat dan aman, maka
kesempatan berpartisipasi bertambah besar. Masa tua bahagia dan berdayaguna
42
tidak hanya fisik tetapi meliputi emosi, intelektual, sosial, vokasional dan spiritual
yang dikenal dengan dimensi wellness.
Agar pelaksanaan kegiatan posyandu berjalan efisien dan efektif
dibutuhkan:
1. Organisasi yang tertata baik
Organisasi posyandu lanjut usia adalah organisasi kemasyarakatan non struktural
yang berdasarkan azas gotong royong untuk sehat dan sejahtera, yang diorganisir
oleh seorang koordinator atau ketua, dibantu oleh sekretaris, bendahara dan
beberapa orang kader. Organisasi posyandu lanjut usia ini tidak saja dapat
dibentuk oleh masyarakat setempat, tetapi dapat juga oleh :
1) Kelompok seminat dalam masyarakat misalnya Club Jantung Sehat, Majelis
Ta’lim, WULAN (warga usia lanjut), kelompok gereja, dan lain – lain
2) Organisasi profesi
3) Institusi pemerintah/swasta
4) Lembaga Swadaya Masyarakat
2. Sumber daya manusia yang mempunyai ilmu dan kemampuan;
Tenaga yang dibutuhkan dalam pelaksanaan posyandu sebaiknya 8 orang namun
bisa kurang dengan konsekuensi bekerja rangkap. Kepengurusan yang dianjurkan
adalah:
1) Ketua Posyandu
2) Sekretaris
3) Bendahara
4) Kader sekitar 5 (lima) orang :
43
(1) Meja 1 (satu) tempat pendaftaran
(2) Meja 2 (dua) tempat penimbangan dan pencatatan berat badan,
pengukuran dan pencatatan tinggi badan serta penghitungan index
massa tubuh (IMT)
(3) Meja 3 (tiga) tempat melakukan kegiatan Pemeriksaan dan pengobatan
sederhana (tekanan darah, gula darah, Hb dan pemberian vitamin, dan
lain - lain)
(4) Meja 4 (empat) tempat melakukan kegiatan konseling (kesehatan, gizi
dan kesejahteraan)
(5) Meja 5 (lima) tempat memberikan informasi dan melakukan kegiatan
sosial (pemberian makan tambahan, bantuan modal, pendampingan, dan
lain – lain sesuai kebutuhan)
3. Tugas dan fungsi yang jelas dari masing – masing petugas posyandu;
1) Ketua Posyandu
(1) Bertanggung jawab terhadap semua kegiatan yang dilakukan posyandu
(2) Bertanggung jawab terhadap kerjasama dengan semua stakeholder
dalam rangka meningkatkan mutu pelaksanaan posyandu
2) Sekretaris, mencatat semua aktivitas perencanaan, pelaksanaan dan
pemantauan serta pengendalian posyandu.
3) Bendahara, pencatatan pemasukan dan pengeluaran serta pelaporan
keuangan posyandu. Pendanaan bisa bersumber dari anggota kelompok
tersebut, berupa iuran/sumbangan anggota, atau sumber lain seperti
donator atau sumber lain yang tidak megikat.
44
4) Kader, tugas kader dalam posyandu lanjut usia antara lain:
(1) Mempersiapkan sarana dan prasarana yang diperlukan pada kegiatan
posyandu.
(2) Memobilisasi sasaran pada hari pelayanan posyandu.
(3) Melakukan pendaftaran sasaran pada pelayanan posyandu lanjut usia.
(4) Melaksanakan kegiatan penimbangan berat badan dan pengukuran
tinggi badan para lanjut usia dan mencatatnya dalam KMS atau buku
pencatatan lainnya.
(5) Membantu petugas dalam pelaksanaan pemeriksaan kesehatan dan
pelayanan lainnya.
(6) Melakukan penyuluhan (kesehatan, gizi, sosial, agama dan karya)
sesuai dengan minatnya.
4. Mekanisme kerja yang baik meliputi perencanaan, pelaksanan, monitoring
dan evaluasi.
Untuk memberikan pelayanan kesehatan dan sosial yang prima terhadap lanjut
usia di kelompoknya, dibutuhkan perencanaan yang matang, pelaksanaan yang
benar dan tepat waktu, serta pengendalian yang akurat.
Berdasarkan berbagai definisi posyandu yang telah dijelaskan sebelumnya,
posyandu adalah bentuk upaya kesehatan bersumberdaya masyarakat (UKBM)
dimana pembentukan, penyelenggaraan, pengelolaannya dari, oleh, untuk,
bersama masyarakat dan dibantu oleh puskesmas dan lintas sektor yang terkait.
Maka dari itu implementasi posyandu tergolong dalam pendekatan bottom-up dan
mekanisme pasar. Peneliti memilih model implementasi pendekatan bottom up
45
dan mekanisme pasar dari Smith, karena menurut peneliti teori tersebut memiliki
penjelasan yang lebih rinci dan tepat untuk digunakan dalam penelitian tentang
implementasi pos pembinaan terpadu usia lanjut (posbindu usila) di wilayah kerja
Puskesmas Singandaru Kota Serang
2.2 Penelitian Terdahulu
Penelusuran penelitian dan kajian-kajian ilmiah terdahulu dilakukan untuk
penemuan posisi hasil penelitian ini dalam kajian keilmuan yang telah ada.
Sehingga peneliti mampu mengisi kekurangan melalui penelitian ini. Penelitan
terdahulu perlu menjadi satu data pendukung yang relevan dengan pembahasan
dalam penelitian ini, terutama yang terkait dengan pelaksanaan posyandu lanjut
usia. Adapun dalam penelitian ini, peneliti melihat isi skripsi dan tesis yang
mempunyai kesamaan pembahasannya, sebagai berikut:
Pertama, Henniwati, dengan tesis yang berjudul Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Pemanfaatan Pelayanan Posyandu Lanjut Usia di Wilayah Kerja
Puskesmas Kabupaten Aceh Timur, yang diterbitkan oleh Universtas Sumatera
Utara pada tahun 2008. Tujuan penyusunan tesis ini adalah Untuk menganalisis
faktor demografi, struktur sosial, dan faktor penunjang pelaksana terhadap
pemanfaatan pelayanan posyandu lanjut usia di Wilayah Kerja Puskesmas
Kabupaten Aceh Timur.
Tesis yang disusun oleh Henniwati ini menggunakan teori Teori
pemanfaatan pelayanan kesehatan dari Muzaham (1995) yaitu variabel demografi
(umur, jenis kelamin, status perkawinan), variabel struktur sosial (pendidikan,
46
pekerjaan), dan faktor penunjang pelaksanaan (kualitas pelayanan, jarak, petugas
kesehatan, jumlah kader). Metode penelitian ini meggunakan Survey explanatory
dengan perhitungan hasil menggunakan kuantitatif. Hasil pembahasan penelitian
yang diteliti oleh Henniwati dapat disimpulkan bahwa Variabel status perkawinan,
pekerjaan, kualitas pelayanan, jarak tempuh, petugas kesehatan, berpengaruh
terhadap pemanfaatan posyandu lansia. Sedangkan variabel umur, jenis kelamin,
pendidikan, dan jumlah kader tidak berpengaruh pada warga usia lanjut dalam
memanfaatkan posyandu lansia.
Penelitian saya dengan penelitian yang diteliti oleh Henniwati memiliki
kesamaan dalam pembahasannya yaitu sama-sama Mengambil lokus dalam
lingkup wilayah kerja suatu puskesmas. Namun diantara isi penelitian kami
memiliki perbedaan yaitu penelitian yang disusun oleh Henniwati ini Lebih
terfokus pada faktor-faktor yang mempengaruhi warga usia lanjut dalam
memanfaatkan posyandu lansia dan menggunakan metode survey explanatory
kuantitatif. Sedangkan penelitian saya akan lebih membahas terkait tataran
pelaksanaan kebijakan posyandu lanjut usia/posbindu usia lanjut. Peneliti memliki
sebuah krikitan terhadap penelitian yang disusun oleh Henniwati yaitu Belum
adanya penjelasan terkait alasan dari faktor-faktor yang mempengaruhi
pemanfaatan posyandu lansia berdasarkan sudut pandang dari Petugas kesehatan
dari puskesmas sebagai konfirmasi atas data yang diperoleh.
Kedua, Christina Novalina Hutabarat, dengan skripsi yang berjudul Studi
Kualitatif Pemanfaatan Posyandu Lansia di Wilayah Kerja Puskesmas Sarudik
Kabupaten Tapungali Tengah Tahun 2012. Skripsi ini diterbitkan oleh Universitas
47
Indonesia pada tahun 2012. Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk memperoleh
informasi terkait faktor predisposisi, faktor pemungkin faktor penguat, faktor
pendorong dan penghambat pemanfaatan posyandu lansia.
Teori yang digunakan dalam penelitian yang diteliti oleh Christina
merupakan hasil kombinasi dari teori pencarian/pemanfaatan pelayanan
keseahatan dari Anderson dan Green. Teori dari Anderson yaitu characteristic
predisposing (demografi, pendidikan, pekerjaan, keyakinan), enabling
characteristic (jarak, biaya), dan need characteristic (karakteristik kebutuhan).
Sedangkan teori dari Green yaitu faktor predisposisi (pengetahuan, sikap,
kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai), faktor pemungkin (biaya, jarak, waktu dan
keterampilan petugas), dan faktor penguat (dukungan teman, petugas kesehatan,
keluarga, dan lain-lain).
Penelitian yang diteliti oleh Christina menggunakan desain penelitian
kualitatif dengan rancangan penelitian Rapid Assesment Procedure (RAP) yaitu
penelitian yang dapat dilakukan dalam kurun waktu yang singkat, dan bertujuan
untuk mengetahui serta memahami masalah-masalah yang dihadapi para lansia
dalam penggunaan Posyandu Lansia di wilayah kerja Puskesmas Serudik. Dari
hasil pembahasan penelitiannya dapat disimpulkan bahwa dari teori yang
digunakan yang telah disebutkan sebelumnya, pemanfataan posyandu lansia dari
bulan Januari sampai dengan Mei 2012 di wilayah kerja Puskesmas Sarudikmasih
rendah yaitu hanya sebesar 1,29%.
Dalam penelitian ini dengan penelitian yang akan diteliti saya memiliki
persamaan yaitu sama-sama mengambil lokus dalam lingkup wilayah kerja suatu
48
puskesmas. Sedangkan perbedaan diantara penelitian kami yaitu penelitian ini
membahas terkait faktor-faktor yang mempengaruhi pemanfaatan posyandu lansia
sedangkan penelitian saya akan membahas terkait tataran pelaksanaan posyandu
lanjut usia/posbindu usia lanjut. Suatu kritikan yang peneliti ajukan untuk
penelitian ini adalah belum adanya penjelasan yang lebih rinci terkait upaya
pemerintah dalam memeberikan dukungan kepada masyarakat dalam pemanfaatan
posyandu lansia.
Ketiga, Reri Ayu Kristiani, dengan jurnal yang berjudul Implmenetasi
Program Posyandu Lanjut Usia (Lansia) di RW IV Kelurahan Wonokromo
Kecamatan Kecamatan Wonokromo Surabaya. Jurnal ini diterbitkan oleh
Universitas Negeri Surabaya pada tahun 2014 melalui jurnal online. Jurnal yang
disusun oleh reri bertujuan Untuk mengetahui secara konkrit implementasi
program posyandu lansia di RW IV Kelurahan Wonokromo. Dlam meneliti
implementasi poyandu, reri menggunakan teori model implementasi kebijakan
pendekatan top down dari Edward III yang terdiri dari empat variabel yaitu
komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi.
Dalam meneliti implementasi posyandu lansia, reri menggunakan metode
penelitian kualitatif deskriptif. Hasil penelitian reri tercantum dalam
kesimpulannya bahwa Implementasi program posyandu lansia di RW IV
Kelurahan Wonokromo telah memenuhi keempat variabel implementasi model
Edward III, problematika seperti kurangnya kesadaran lansia tentang pentingnya
posyandu, kurangnya dukungan keluarga untuk mengantar/mengingatkan lansia
untuk datang ke posyandu, tidak semua lansia tercantum dalam daftar penerima
49
PMT (Pemberian Makanan Tambahan) oleh Dinas kesehatan Kota Surabaya serta
anggaran yang minim. Jurnal yang diteliti oleh rero dengan penelitian saya
memiliki kesamaan yaitu sama-sama meneliti implementasi posyandu lansia
dengan menggunakan metode penelitian yang sama yaitu kualitatif deskriptif.
Hanya saja diantara penelitian kami memliki perbedaan pada teori yang
digunakan sebagai indikatornya. Reri menggunakan teori model implementasi
pendekatan top down sedangkan saya menggunakan pendekatan bottom up. Dari
perbedaan ini saya mengajukan kritikan atas penelitian milik reri terkait isi
penelitiannya yaitu lebih terfokus pada peran dan tugas dinas kesehatan dan
puskesmas. Sedangkan kader yang memiliki peran besar dalam penyelenggaraan,
pengelolaan posyandu lansia tidak dijelaskan secara rinci, padahal posyandu
adalah bentuk Upaya Keseahatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) yang
diselenggarakan dan dikelola oleh, dari, untuk dan bersama masyarakat.
Penelitian saya mengambil judul Implementasi Kebijakan Pos Pembinaan
Terpadu Usia Lanjut (Posbindu Usila) di Wilayah Kerja Puskesmas Singandaru
Kota Serang. Hasil penelitian ini akan diterbitkan oleh Universitas Sultan Ageng
Tirtayasa. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana
tataran pelaksanaan kebijakan pos pembinaan terpadu usia lanjut (posbindu usila)
wilayah kerja Puskesmas Singandaru di Kota Serang.
Penelitian yang saya susun menggunakan metode penelitian kualitatif
deskriptif. Teori yang saya gunakan sebagai indikator dalam peneitian ini adalah
model implementasi dengan pendekatan bottom up dari Smith yang meliputi
idealized policy (kebijakan ideal), target groups (kelompok sasaran),
50
implementation organization (organisasi pelaksana) dan environmental factors
(faktor-faktor lingkungan).
Dari penjelesanan penelitian terdahulu yang telah penelti paparkan di atas,
dapat disimpulkan tabel peneliti terdahulu dengan penelitian ini adalah sebagai
berikut:
Tabel 2.2.1 Penelitian Terdahulu
No. Item Henniwati
Christina
Novalina
Hutabarat
Rera Ayu
Kristiani Anis Yuliana
(Peneliti)
1 Judul Faktor-Faktor
Yang
Mempengaruhi
Pemanfaatan
Pelayanan
Posyandu
Lanjut Usia di
Wilayah Kerja
Puskesmas
Kabupaten
Aceh Timur
Studi Kualitatif
Pemanfaatan
Posyandu
Lansia di
Wilayah Kerja
Puskesmas
Sarudik
Kabupaten
Tapungali
Tengah Tahun
2012
Implmenetasi
Program
Posyandu Lanjut
Usia (Lansia) di
RW IV
Kelurahan
Wonokromo
Kecamatan
Wonokromo
Surabaya
Implementasi
Pos pembinaan
Terpadu Usia
Lanjut di
Wilayah Kerja
Puskesmas
Singandaru
Kota Serang
2 Tahun 2008 2012 2014 2015
3 Tujuan
Penelitian
Untuk
menganalisis
faktor
demografi,
struktur sosial,
dan faktor
penunjang
pelaksana
terhadap
pemanfaatan
pelayanan
posyandu
lanjut usia di
Wilayah Kerja
Untuk
memperoleh
informasi terkait
faktor
predisposisi,
faktor
pemungkin
faktor penguat,
faktor
pendorong dan
penghambat
pemanfaatan
posyandu lansia
Untuk
mengetahui
secara konkrit
Implementasi
Program
Posyandu
Lansia di RW
IV Kelurahan
Wonokromo
Untuk
mengetahui
implementasi
Posbindu Lansia
di Wilayah
Kerja
Puskesmas
Singandaru Kota
Serang
51
Puskesmas
Kabupaten
Aceh Timur
4 Teori Teori
pemanfaatan
pelayanan
kesehatan dari
Muzaham
(1995) yaitu:
1) Variabel
demografi
2) Variabel
struktur
sosial
3) Faktor
penunjang
Model
pencarian/pema
nfaatan
pelayanan
keseahatan dari
Anderson dan
Green yaitu:
1) Characteristi
c
predisposing
2) Enabling
characteristi
c
3) Need
characteristi
c
4) Faktor
predisposisi
5) Faktor
pemungkin
6) Faktor
penguat
Model
implementasi
kebijakan publik
pendekatan top
down dari
Edward III
yaitu:
1) Komunikasi
2) Sumber daya
3) Disposisi
4) Struktur
birokrasi
Model
implementasi
kebijakan publik
pendekatan
bottom up dari
Smith yaitu:
1) Idealized
policy
(kebijakan
ideal)
2) Target
groups
(kelompok
sasaran)
3) Implementin
g
organization
(organisasi
pelaksana)
4) Environment
al factors
(faktor-faktor
lingkungan)
5 Metode Survey
explanatory
dengan
perhitungan
hasil
menggunakan
kuantitatif
kualitatif
dengan
rancangan
penelitian Rapid
Assesment
Procedure
(RAP)
Kualitatif
deskriptif Kualitatif
deskriptif
6 Kesimpulan Variabel status
perkawinan,
pekerjaan,
kualitas
pelayanan,
jarak tempuh,
petugas
kesehatan,
berpengaruh
pemenfataan
posyandu lansia
dari bulan
Januari sampai
dengan Mei
2012 di wilayah
kerja Puskesmas
Sarudikmasih
rendah yaitu
Implementasi
program
posyandu lansia
di RW IV
Kelurahan
Wonokromo
telah memenuhi
keempat
variabel
implementasi
model Edward
-
52
terhadap
pemanfaatan
posyandu
lansia.
Sedangkan
variabel umur,
jenis kelamin,
pendidikan,
dan jumlah
kader tidak
berpengaruh.
hanya sebesar
1,29%
III,
problematika
seperti
kurangnya
kesadaran lansia
tentang
pentingnya
posyandu,
kurangnya
dukungan
keluarga untuk
mengantar/meng
ingatkan lansia
untuk datang ke
posyandu, tidak
semua lansia
tercantum dalam
daftar penerima
PMT
(Pemberian
Makanan
Tambahan) oleh
Dinas kesehatan
Kota Surabaya
dan anggaran
yang minim
7 Persamaan Mengambil
lokus dalam
lingkup
wilayah kerja
suatu
puskesmas.
Mengambil
lokus dalam
lingkup wilayah
kerja suatu
puskesmas.
Meneliti tataran
pelaksanaan
posyandu lansia
dan
menggunakan
metode
penelitian yang
sama yaitu
kualitatif
deskriptif
Meneliti tataran
pelaksanaan
posyandu
lansia/posbindu
usia lanjut
dengan lokus
pada suatu
wilayah kerja
puskesmas
dengan metode
kualitatif
deskriptif
8 Perbedaan Lebih terfokus
pada faktor-
faktor yang
mempengaruhi
waga usia
Membahas
terkait faktor-
faktor yang
mempengaruhi
pemanfaatan
Teori yang
digunakan
model
implementasi
pendekatan top
down bukan
Menjelaskan
tataran
pelaksanaan
posyandu lansia
dengan teori
53
lanjut dalam
memanfaatkan
posyandu
lansia dan
menggunakan
metode survey
explanatory
kuantitatif
posyandu lansia bottom up model
implementasi
pendekatan
bottom up
9 Kritik Belum adanya
penjelasan
terkait alasan
dari faktor-
faktor yang
mempengaruhi
pemanfaatan
posyandu
lansia
berdasarkan
sudut pandang
dari Petugas
kesehatan dari
puskesmas
sebagai
konfirmasi atas
data yang
diperoleh
belum ada
penjelesan lebih
rinci upaya
pemerintah
dalam
memeberikan
dukungan
kepada
masayrakat
dalam
pemanfaatan
posyandu lansia
Isi pembahasan
lebih terfokus
pada peran dan
tugas dinas
kesehatan dan
puskesmas.
Sedangkan
kader yang
memiliki peran
besar dalam
penyelenggaraan
, pengelolaan
posyandu lansia
tidak dijelaskan
secara rinci,
padahal
posyandu adalah
bentuk UKBM
yang
diselenggarakan
dan dikelola
oleh, dari, untuk
dan bersama
masyarakat
-
10 Sumber Universitas
Sumatera
Utara
Universitas
Indonesia
Universitas
Negeri Surabaya Universitas
Sultan Ageng
Tirtayasa
2.3 Kerangka Pemikiran Penelitian
Kerangka berpikir merupakan alat berpikir peneliti dalam penelitian.
Berdasarkan berbagai permasalahan yang berkaitan dengan pelaksanaan posyandu
54
lansia di wilayah kerja Puskesmas Singandaru, peneliti merangkumnya ke dalam
identifikasi masalah yang tercantum dalam kerangka berpikir.
Adapun indentifikasi masalah yang peneliti temukan yaitu jumlah
pelaksana Pos Pembinaan Terpadu Usia Lanjut (Posbindu Usila) dari Puskesmas
yang tidak mencukupi, rendahnya partisipasi warga lanjut usia dalam mengikuti
pelaksanaan Pos Pembinaan Terpadu Usia Lanjut (Posbindu Usila), pengukuran
Indeks masa Tubuh (IMT) tidak dilakukan.
Dengan adanya permasalahan yang peneliti temukan, peneliti akan
mendeskripsikan dengan menggunakan indikator dari teori implementasi
pendekatan bottom-up dari Adam Smith dalam Islamy (2001: 90) yaitu:
1. Idealized policy (kebijakan ideal) yaitu pola interaksi yang digagas oleh
perumus kebijakan dengan tujuan untuk mendorong, mempengaruhi dan
merangsang target group untuk melaksanakannya.
2. Target groups (kelompok sasaran) yaitu bagian dari policy stake holders
yang diharapkan dapat mengadopsi pola-pola interaksi sebagaimana yang
diharapkan oleh perumus kebijakan. Karena kelompok ini menjadi sasaran
dari implementasi kebijakan, maka diharapkan dapat menyesuaikan pola-
pola perilakukan dengan kebijakan yang telah dirumuskan.
3. Implementing organization (organisasi pelaksana) yaitu badan-badan
pelaksana yang bertanggung jawab dalam implementasi kebijakan.
4. Environmental factors (faktor-faktor lingkungan) yaitu unsur-unsur di
dalam lingkungan yang mempengaruhi implementasi kebijakan seperti
aspek budaya, sosial, ekonomi dan politik.
55
Hak mendapatkan pelayanan kesehatan bagi usia lanjut tercancum dalam
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2004 tentang
pelaksanaan upaya peningkatan kesejahteraan sosial lanjut usia. Dalam
memberikan pengarahan pelaksanaan posyandu lansia, komisi nasional lanjut usia
telah memberikan pedoman pelaksanaan posyandu lansia. Dalam pedoman
pelaksanaan posyandu lansia, tujuan dilaksanakannya posyandu lansia adalah
untuk pencapaian lanjut usia sehat, mandiri, dan berdaya guna. Dari hasil
penelitian ini, penliti berharap implementasi posyandu lansia berjalan dengan
optimal.
Kerangka berpikir penelitian ini, peneliti tuangkan ke dalam bagan
kerangka berpikir sebagai berikut:
56
Skema Kerangka Pemikiran Penelitian
Pos Pembinaan Terpadu
Usia Lanjut
Implementasi
kebijakan
Pendekatan bottom-up, Adam
Smith (Islamy, 2001: 90):
1. Idealized policy
(kebijakan ideal)
2. Target groups (sasaran
kebijakan)
3. Implementing
organization (organisasi
pelaksana)
4. Environmental factors
(faktor-faktor lingkungan)
Output:
Pelaksanaan posbindu usia lanjut berjalan optimal
Gambar 2.3.1 Kerangka Pemikiran Penelitian
Permasalahan:
1. Jumlah pelaksana Pos Pembinaan
Terpadu Usia Lanjut (Posbindu Usila)
dari Puskesmas yang tidak
mencukupi.
2. Rendahnya partisipasi warga lanjut
usia dalam mengikuti pelaksanaan Pos
Pembinaan Terpadu Usia Lanjut
(Posbindu Usila).
3. Pengukuran Indeks masa Tubuh
(IMT) tidak dilakukan.
57
2.4 Asumsi Dasar
Identifikasi masalah yang berkaitan dengan pelaksanaan posbindu usila di
wilayah kerja puskesmas Singandaru yang telah peneliti cantumkan dalam
kerangka berpikir, peneliti berasumsi bahwa implementsi pos pembinaan terpadu
usia lanjut (Posbindu Usila) di wilayah kerja Puskesmas Singandaru Kota Serang
belum berjalan secara optimal.
58
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian
Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk
mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Sesuai dengan
permasalahan yang diteliti dan tujuan penelitian yang telah ditetapkan, yakni
peneliti akan meneliti tentang implementasi Pos Pembinaan Terpadu Usia Lanjut
(Posbindu Usila) di wilayah kerja Puskesmas Singandaru Kota Serang dengan
metode yang digunakan yaitu metode kualitatif deskriptif.
Bodgan dan Taylor dalam Moleong (2006: 4) mendefinisikan metode
kualitatif sebagai “prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa
kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati”.
Sejalan dengan definisi tersebut, Kirk dan Miller dalam Moleong (2006: 4)
mendefinisikan bahwa “penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu
pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung dari pengamatan pada
manusia baik dalam kawasannya maupun dalam peristilahannya”. Penelitian yang
bersifat deskriptif yaitu suatu penelitian yang menilai dan mengungkapkan
permasalahan mengenai apa adanya (das sein) sesuai dengan kenyataan yang ada
di lapangan.
58
59
3.2 Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian merupakan bagian yang membatasi dan
menjelaskan substansi meteri kajian penelitian yang akan dilakukan. Ruang
lingkup penelitian digunakan dalam penelitian dengan tujuan untuk membatasi
atau terfokus pada fokus penelitian. Maka dari itu, dengan ringkup penelitian,
ruang lingkup penelitian diharapkan akan membantu peneliti agar tetap terfokus
pada penelitian yang akan dilakukan yaitu tentang “Implementasi Kebikajan Pos
Pembinaan Terpadu Usia Lanjut di Wilayah Kerja Puskesmas Singandaru Kota
Serang”.
Pembatasan ruang lingkup dalam penelitian ini, peneliti buat atas didasari
pada pemaparan pada latar belakang masalah yang kemudian dijabarkan dalam
identifikasi masalah. Adapun ruang lingkup dalam penelitian ini adalah
mendeskripsikan secara mendalam tentang bagaimana implementasi kebijakan
pos pembinaan terpadu usia lanjut di wilayah kerja Puskesmas Singandaru Kota
Serang.
3.3 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian merupakan penjelasan mengenai locus penelitian yang
menjadi tempat dilaksanakan penelitian, termasuk di dalamnya akan dijelaskan
tempat serta alasan berdasarkan data lapagan yang menjadi petimbangan dalam
pemilihan lokasi penelitian. Dalam penelitian terntang Implementasi Kebijakan
Pos Pembinaan Terpadu Usia Lanjut (Posbindu Usila), peneliti memilih lokasi
penelitian di wilayah kerja Puskesmas Singandaru yang tercakup dalam Kota
Serang.
60
Kota Serang adalah ibu kota Provinsi Banten yang memiliki 16 (enam
belas) Puskesmas. Dari ke-16 (enam belas), peneliti memiliki wilayah kerja
Puskesmas Singandaru sebagai lokasi penelitian karena berdasarkan persentase
jumlah lanjut usia di Kota serang Tahun 2014, wilayah kerja Puskesmas
Singandaru memiliki jumlah lanjut usia berusia lebih dari 60 (enam puluh) tahun
yang lebih banyak yaitu sebanyak 5.321 orang atau sebesar 18,49% dari jumlah
penduduk sebanyak 28.284 orang. Alasan lainnya peneliti memilih lokasi
penelitian di wilayah kerja Puskesmas Singandaru yaitu karena jumlah posbindu
yang sedikit sehingga tidak sebanding dengan jumlah lanjut usia yang ada di
lokasi tersebut.
3.4 Variabel Penelitian
3.4.1 Definisi Konsep
Definisi konseptual digunakan untuk memberikan penjelasan tentang
konsep variabel yang akan di teliti menurut pendapat peneliti berdasarkan
kerangka teori yang digunakan. Definisi konsep dalam penelitian implementasi
kebijakan Pos Pembinaan Terpadu Usia Lanjut (Posbindu Usila) sejauhmana
kelompok sasaran yaitu lanjut usia dan tenaga kesehatan Puskesmas Singandaru,
melaksanakan kebijakan Pos Pembinaan Terpadu Usia Lanjut (Posbindu Usila) di
lingkungan masyarakat. Setelah itu akan terlihat apakah implementasi kebijakan
Pos Pembinaan Terpadu Usia Lanjut (Posbindu Usila) berjalan secara optimal
atau tidak serta dapat mewujudkan lanjut usia yang sehat, mandiri dan berdaya
guna. Adapun definisi para ahli yang peneliti gunakan dalam penelitian ini yaitu
implementasi kebijakan pendekatan bottom up
61
Implementasi kebijakan menunjuk aktivitas menjalankan kebijakan dalam
ranah senyatanya, baik yang dilakukan oleh organ pemerintah maupun para pihak
yang telah ditentukan dalam kebijakan. Menurut Nugroho (2012: 7001),“bottom-
up” bermakna meskipun kebijakan dibuat oleh pemerintah, namun
pelaksanaannya oleh rakyat. Diantara kedua kutub ini ada interaksi pelaksanaan
antara pemerintah dan masyarakat. Menurut Smith (1973) dalam Islamy (2001:
90), implementasi kebijakan dipandang sebagai suatu proses atau alur. Model
Smith ini memandang proses implementasi kebijakan dari proses kebijakan dan
perubahan sosial dan politik, di mana kebijakan yang dibuat oleh pemerintah
bertujuan untuk mengadakan perbaikan atau perubahan dalam masyarakat sebagai
kelompok sasaran. Menurut Smith dalam Islamy (2001: 90), implementasi
kebijakan dipengaruhi oleh empat variabel, yaitu :
1. Idealized policy (kebijakan ideal) berkenaan dengan idealitas suatu kebijakan
yang diimplementasikan.
2. Target groups (kelompok sasaran) berkenaan dengan kemampuan kelompok
sasaran menjadi bagian dari stakeholder.
3. Implementing organization (organisasi pelaksana) berkenaan dengan peran
dan kinerja organisasi yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan kebijakan.
4. Environmental factors (faktor-faktor lingkungan) berkenaan dengan faktor
sosial budaya, ekonomi dan politik mempengaruhi pelaksanaan kebijakan.
3.4.2 Definisi Operasional
Definisi operasional merupakan penjabaran konsep atau variabel penelitian
dalam rincian yang terukur (indikator penelitian). Variabel dalam penelitian
62
tentang “Implementasi Kebijakan Pos Pembinaan Terpadu Usia Lanjut di
Wilayah Kerja Puskesmas Singandaru” yaitu implementasi kebijakan Publik.
Maka dalam penjelasan definisi operasional ini, peneliti akan kemukakan
fenomena-fenomena penelitian yang berkaitan dengan konsep yang peneliti pilih.
Dalam penelitian ini, peneliti memilih teori implementasi kebijakan dengan
pendekatan bottom up model Smith, adapun varibelnya oleh empat variabel,
yaitu :
1. Idealized policy (kebijakan ideal) berkenaan dengan idealitas suatu kebijakan
yang diimplementasikan.
2. Target groups (kelompok sasaran) berkenaan dengan kemampuan kelompok
sasaran menjadi bagian dari stakeholder.
3. Implementing organization (organisasi pelaksana) berkenaan dengan peran
dan kinerja organisasi yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan kebijakan.
4. Environmental factors (faktor-faktor lingkungan) berkenaan dengan faktor
sosial budaya, ekonomi dan politik mempengaruhi pelaksanaan kebijakan.
Peneliti memilih teori implementasi kebijakan publik dengan pendekatan
bottom up model Smith karena menurut peneliti teori tersebut tepat untuk
menjelaskan rumusan msalah yang peneliti paparkan pada BAB I. Adapun
pedoman wawancara yang peneliti buat berdasarkan teori yang digunakan dalam
penelitian adalah sebagai berikut:
63
Tabel 3.4.2.1 Pedoman Wawancara
No. Variabel Pertanyaan Informan
1 Idealized policy
(Kebijakan Ideal)
Bagaimana
komunikasi yang
terjadi sehingga
kelompok sasaran
termotivasi
membentuk Posbindu
Usila dan mengadakan
senam Lansia di
Posbindu?
a. Ketua Kader Pos Pembinaan
Terpadu Usia Lanjut (Posbindu
Usila)
b. Bidang Bina Kesehatan
Masyarakat Bagian Lanjut Usia
Puskesmas Singandaru
c. Kepala Seksi Gizi Remaja dan
Lanjut Usia Dinas Kesehatan Kota
Serang
Apakah kebijakan
Posbindu Usila
memenuhi kebutuhan
akan kesehatan lanjut
usia?
a. Ketua Kader Pos Pembinaan
Terpadu Usia Lanjut (Posbindu
Usila)
b. Bidang Bina Kesehatan
Masyarakat Bagian Lanjut Usia
Puskesmas Singandaru, Kepala
Seksi Gizi Remaja dan Lanjut Usia
Dinas Kesehatan Kota Serang
Bagaimana tanggapan
lanjut usia tetang
keberadaan Posbindu
Usila dan senam
Lansia?
a. Ketua Kader Pos Pembinaan
Terpadu Usia Lanjut (Posbindu
Usila)
b. Masyarakat Lanjut Usia
2 Target groups
(Kelompok
Sasaran)
Bagaimana
ketersediaan sumber
daya manusia dari
kelompok sasaran?
a. Ketua Kader Pos Pembinaan
Terpadu Usia Lanjut (Posbindu
Usila)
b. Bidang Bina Kesehatan Masyarakat
Bagian Lanjut Usia Puskesmas
Singandaru.
64
Bagaimana
pengetahuan yang
dimilliki kader yang
menjadi pelaksana
Posbindu Usila?
a. Ketua Kader Pos Pembinaan
Terpadu Usia Lanjut (Posbindu
Usila)
b. Bidang Bina Kesehatan Masyarakat
Bagian Lanjut Usia Puskesmas
Singandaru.
Bagaimana
kamampuan kelompok
sasaran dalam
menyediakan dan
mengalokasikan
sumber daya financial
untuk Posbindu Usila?
a. Ketua Kader Pos Pembinaan
Terpadu Usia Lanjut (Posbindu
Usila)
Bagaimana
kemampuan kelompok
sasaran dalam
menyediakan sarana
prasarana pendukung
Posbindu Usila?
a. Ketua Kader Pos Pembinaan
Terpadu Usia Lanjut (Posbindu
Usila)
3 Implementing
organization
(Organisasi
Pelaksana)
Apa peran dari
masing-masing
stakeholder yang ada
dalam kebijakan
Posbindu Usila?
a. Ketua Kader Pos Pembinaan
Terpadu Usia Lanjut (Posbindu
Usila)
b. Bidang Bina Kesehatan Masyarakat
Bagian Lanjut Usia Puskesmas
Singandaru
c. Kepala Seksi Gizi Remaja dan
Lansia Dinas Kesehatan Kota
Serang.
Bagaimana kinerja a. Ketua Kader Pos Pembinaan
65
dari masing-masing
stakeholder kebijakan
Posbindu Usila?
Terpadu Usia Lanjut (Posbindu
Usila)
b. Bidang Bina Kesehatan Masyarakat
Bagian Lanjut Usia Puskesmas
Singandaru
c. Kepala Seksi Gizi Remaja dan
Lansia Dinas Kesehatan Kota
Serang.
4 Environmental
factors (Faktor
Lingkungan)
Apakah kondisi sosial
dan budaya Lansia
mempengaruhi
pelaksanaan kebijakan
Posbindu Usila?
a. Ketua Kader Pos Pembinaan
Terpadu Usia Lanjut (Posbindu
Usila)
Apakah kondisi
ekonomi Lansia
membuat Lansia
mampu berpartisipasi
dalam kebijakan
Posbindu Usila?
a. Ketua Kader Pos Pembinaan
Terpadu Usia Lanjut (Posbindu
Usila)
b. Masyarakat Lanjut Usia.
Apakah kondisi
politik yang ada di
masyarakat
mempengaruhi dalam
pemilihan pengurus
Posbindu Usila?
a. Ketua Kader Pos Pembinaan
Terpadu Usia Lanjut (Posbindu
Usila).
66
3.5 Instrumen Penelitian
Instrument dalam penelitian kualitatif adalah peneliti yang melakukan
penelitian itu sendiri. Maka dalam penelitian yang akan diteliti oleh peneliti yaitu
implementasi pos pembinaan terpadu usia lanjut di wilayah kerja Puskesmas
Singandaru Kota Serang yang menggunakan metode kualitatif, menetapkan
peneliti sebagai instrumen dalam penelitian ini.
Peneliti dalam penelitian kualitatif merupakan orang yang membuka kunci,
menelaah dan mengeksplorasi seluruh ruang secara cermat, tertib dan leluasa, dan
bahkan adanya yang menyebutnya key instrument. Konsep human instrument
dipahami sebagai alat yang dapat mengungkap fakta-fakta lapangan dan tidak ada
alat yang paling elastis dan tepat untuk mengungkapkan data kualitatif kecuali
peneliti itu sendiri. Peneliti mungkin menggunakan alat bantu untuk
mengumpulkan data seperti tape recoder, video kaset, atau kamera. Tetapi alat-
alat ini benar-benar tergantung pada peneliti untuk menggunakannya.
3.6 Informan Penelitian
Menurut Morze dalam Denzin (2009: 289) seorang informan yang baik
adalah seorang yang mampu menangkap, memahami dan memenuhi permintaan
peneliti, memiliki kemampuan reflektif, bersifat artikulatif, meluangkan waktu
untuk wawancara dan bersemangat untuk berperan serta dalam penelitian. Pada
penelitian kualitatif, peneliti memasuki situasi sosial tertentu, melakukan
observasi dan wawancara kepada orang-orang yang dipandang tahu tentang situasi
sosial tersebut. Penentuan informan dalam penelitian tentang implementasi Pos
67
Pembinaan Terpadu Usia Lanjut (Posbindu Usila) di wilayah kerja Puskesmas
Singandaru Kota Serang menggunakan teknik purposive sampling.
Purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber data
dengan pertimbangan tertentu. Pertimbangan tertentu ini, misalnya orang tersebut
yang dianggap paling tahu tentang apa yang kita harapkan, atau mungkin dia
sebagai penguasa sehingga akan memudahkan peneliti menjelajahi obyek/situasi
sosial yang diteliti.
Penelitian tentang implementasi pos pembinaan terpadu usia lanjut
(Posbindu Usila) di wilayah kerja Puskesmas Singandaru Kota Serang ini
menggunakan teknik Purposive sampling karena peneliti mempertimbangkan
beberapa pihak yang akan menjadi informan. Pertimbang-pertimbangan tersebut
adalah pihak yang melaksanakan posbindu usia lanjut, pihak yang memiliki
program kesehatan usia lanjut yang terwujud dalam posbindu usila, serta pihak
yang memiliki data terkait laporan hasil pelaksanaan posbindu serta data terkait
jumlah sasaran lanjut usia.
Informan tersebut terbagi ke dalam dua kriteria informan yakni, key
informan dan secondary informan. Key informan merupakan pihak yang
mempunyai kewenangan secara langsung dalam pelaksanaan posbindu usia lanjut
wilayah kerja Puskesmas Singandaru di Kota Serang. Sedangkan secondary
informan adalah informan yang tidak terlibat secara langsung namun memiliki
pengetahuan atau informasi terkait program tersebut.
68
Tabel 3.6.1 Daftar Informan Penelitian
No. Informan Kode
Informan
Peran/Fungsi
Informan
1 Ketua Kader Posbindu I1 Pelaksana Kebijakan
Posbindu Usila
a. Ketua Kader Posbindu Usila Teratai I1-1
b. Ketua Kader Posbindu Usila Sirsak I1-2
c. Ketua Kader Posbindu Usila Melati I1-3
d. Ketua Kader Posbindu Usila
Manggis I1-4
e. Ketua Kader Posbindu Usila Pepabri I1-5
2 Bidang Bina Kesehatan Masyarakat Bagian
Lanjut Usia UPTD Puskesmas Singandaru
I2 Pelaksana Program
Kesehatan Usia
Lanjut Puskesmas
Singandaru
3 Seksi Gizi Remaja dan Lanjut Usia Dinas
Kesehatan Kota Serang
I3 Pembina pelaksana
kebijakan Posbindu
Usila
4 Masyarakat Lanjut Usia I4 Sasaran kebijakan
5 Kepala Puskesmas Singandaru I5 Penanggung jawab
di Puskesmas
Singandaru
Berdasarkan pengertian key informan dan secondary informan, peneliti
menetapkan kader Posbindu Usila dan Bidang Bina Kesehatan Masyarakat bagian
Lanjut Usia Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Puskesmas Singandaru
sebagai key informan karena kedua pihak tersebut yang terlibat secara langsung
dalam pelaksanaan Posbindu Usila. Sedangkan Dinas Kesehatan Kota Serang,
masyarakat lanjut usia dan Kepala Puskesmas Singandaru menjadi secondary
69
informan. Dinas Kesehatan bidang bina kesehatan masyarakat bagian gizi lanjut
usia merupakan Satuan Kerja Perangkat Daerah yang menangani lansia di bidang
kesehatan, masyarakat lansia adalah obyek program yang menerima pelayanan
kesehatan di Posbindu Usila. Sedangkan Kepala Puskesmas Singandaru adalah
penanggung jawab segala kegiatan yang ada di Puskesmas Singandaru
3.7 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam
penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data.
Pengumpulan data yang peneliti peroleh merupakan sumber data primer dan data
sekunder. Sumber primer adalah sumber data yang langsung memberikan data
kepada pengumpul data, dan sumber sekunder merupakan sumber yang tidak
langsung memberikan data kepada pengumpul data misalkan melalui dokumen.
Secara umum, terdapat empat macam teknik pengumpulan data, dimana
peneliti menggunakan keempat teknik tersebut untuk meneliti penelitian tentang
implementasi Pos Pembinaan Terpadu Usia Lanjut (Posbindu Usila) di wilayah
kerja Puskesmas Singandaru Kota Serang, yaitu:
1. Observasi,
Menurut Marshall dalam Sugiyono (2011: 226), melalui observasi peneliti
belajar tentang perilaku, dan makna dari perilaku tersebut. teknik obervasi
yang peneliti gunakan yaitu observasi partisipatif dimana peneliti terlibat
dengan kegiatan sehari-hari orang yang sedang diamati atau yang digunakan
sebagai sumber data penelitian.
70
2. Wawancara,
Menurut Irawan dalam Fuad & Nugroho (2014: 61) metode wawancara
merupakan suatu alat pengumpulan data yang digunakan dengan instrumen
lainnya. wawancara dalam penelitian kualitatif bersifat mendalam (in depth
interview). Dalam penelitian tentang implementsi pos pembinaan terpadu usia
lanjut di wilayah kerja Puskesmas Singandaru Kota Serang, peneliti
menggunakan jenis wawancara tak berstruktur, dimana pertanyaan biasanya
tidak disusun terlebih dahulu, tetapi disesuaikan dengan keadaan dan ciri yang
unik dari informan sehingga pelaksanaan tanya jawab mengalir seperti
percakapan sehari-hari. Maka dari itu peneliti hanya menetapkan point-point
wawancaranya saja yang nantinya akan dikembangkan berdasarkan keadaan
yang ada di lokasi penelitian.
3. Dokumentasi,
Studi dokumentasi merupakan salah satu sumber data sekunder yang
diperlukan dalam penelitian. Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau
karya-karya monumental dari seseorang. Dalam penelitian tentang
Implementasi Kebijakan Pos Pembinaan Terpadu Usia Lanjut (Posbindu
Usila) menggunakan bentuk dokumentasi berupa catatan tulisan wawancara
dan rekaman selama wawancara berlangsung.
71
3.8 Analisis Data Dan Uji Keabsahan Data
3.8.1 Analisis Data
Analisis data dalam penelitian kualitatif, dilakukan pada saat pengumpulan
data berlangsung, dan setelah selesai pengumpulan data dalam periode tertentu.
Analisis data yang digunakan peneliti dalam meneliti implementasi pos
pembinaan terpadu usia lanjut di wilayah kerja Puskesmas Singandaru Kota
Serang menggunakan analisis data dari Miles dan Huberman.
Miles dan Huberman dalam Sugiyono (2011: 246), mengemukakan bahwa
aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung
secara terus menerus samapi tuntas, sehingga datanya sudah jenuh. Berikut adalah
penjelasan dari aktivitas yang akan peneliti lakukan dalam menganalisis data
berdasarkan model Milles dan Huberman:
1. Data reduction (reduksi data)
Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok,
memfokuskan pada hal-ha yang penting, dicari tema dan polanya. Dengan
demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih
jelas dan mempermudah peneiti untuk melakukan pengumpulan data
selanjutnya, dan mencarinya bila diperlukan.
2. Data display (penyajian data)
Milles and Huberman dalam Sugiyono (2011: 249) menyatakan bahwa yang
sering digunakan untuk menyajikan data dalam penelitian kualitatif adalah
dengan teks yang bersifat naratif.
72
3. Verification (verifikasi)
Langkah ketiga dalam analisis data kualitatif menurut Miles and Huberman
adalah penarikan kesimpulan atau verifikasi. Kesimpulan awal yang
dikemukakan masih bersifat sementara, dan akan berubah bila tidak
ditemukan bukti-bukti yang kuatyang mendukung pada tahap pengumpula
data berikutnya. Tetapi apabila kesimpulan yang dikemukakan pada tahap
awal, didukung oleh bukti-bukti yang valid dan konsisten pada saat peneliti
kembali ke lapangan mengumpulkan data, maka kesimpulan yan
dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel.
3.8.2 Uji Keabsahan Data
Dalam penelitian tentang Implementasi kebijakan Pos pembinaan Terpadu
Usia Lanjut (Posbindu Usila) di Wilayah Kerja Puskesmas Singandaru, uji
keabsahan data yang peneliti gunakan yaitu:
1. Membercheck
Membercheck adalah proses pengecekan data yang diperoleh peneliti kepada
pemberi data. Tujuan membercheck adalah untuk mengetahui seberapa
jauhdata yang diperoleh sesuai dengan apa yang diberikan oleh pemberi data.
2. Triangulasi
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan dua triangulai yaiitu triangulasi
sumber dan triangulsi teknik.
1) Triangulasi sumber, dapat dilakukan dengan mengecek data yang sudah
diperoleh dari berbagai sumber. Data dari berbagai sumber tersebut
73
kemudian dipilah dan dipilih dan disajikan dalam bentuk tabel matriks.
Data dari sumber yang berbeda dideskripsikan, dikategorisasikan, mana
pandangan yang sama, berbeda dan mana yang lebih spesifik.
2) Triangulasi teknik, dapat dilakukan dengan melakukan cek data dari
berbagai macam teknik pengumpulan data. Misalnya dengan
menggunakan teknik wawancara mendalam, observasi, dan dokumentasi.
Data dari ketiga teknik tersebut dibandingkan, adakah konsistensi. Jika
berbeda, maka dapat dijadikan catatan dan dilakukan pengecekkan
selanjutnya mengapa data bisa berbeda (Fuad & Nugroho, 2014:19-20).
3.9 Lokasi dan Jadwal Penelitian
Penelitian terkait implementasi pos pembinaan terpadu usia lanjut ini
dilakukan di Wilayah Kerja Puskesmas Singandaru Kota Serang. Peneliti memilih
lokus ini karena dari pembahasan pada BAB I, berdasarkan data dari puskesmas di
Kota Serang yang mencakup wilayah kerjanya masing-masing, Puskesmas
Singandaru yang memiliki jumlah penduduk lansia berusialebih dari 60 tahun
yaitu sebanyak 5.231 orang atau sebesar 18,49% dari jumlah penduduk yang ada
di wilayah kerja Puskesmas Singandaru, dengan kata lain presentase tersebut
menunjukan bahwa wilayah kerja Puskesmas Singandaru merupakan wilayah
berstruktur tua karena presentasi jumlah lansia melebihi 7%. Penelitian ini
dilakukan pada jadwal pelaksanaan sebagai berikut:
77
Tabel 3.9.1 Waktu Penelitian
No. Kegiatan
Tahun
2015 2016
Jan feb Mar Apr Mei Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr
1 Mengurus Perijinan
2 Observasi Awal
3 Pengajuan Judul
4 Bimbingan BAB I s.d BAB III
5 Seminar Proposal Skripsi
6 Revisi Proposal Skripsi
7 Proses pencarian data di
lapangan
8 Analisis data
9 Bimbingan BAB IV s.d BAB V
10 Sidang Skripsi
11 Revisi Skripsi
74
75
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian
Deskripsi lokasi penelitian merupakan penjelasan tentang lokasi yang
menjadi objek penelitian. Lokasi penelitian ini berada di wilayah kerja Puskesmas
Singandaru. Desa yang menjadi bagian dalam wilayah kerja Puskesmas
Singandaru yaitu Kelurahan Lontar baru, Kelurahan Kagungan dan Kelurahan
Kota Baru. Gambaran lokasi ketiga kelurahan tersebut akan dipaparkan dalam
gambaran umum Puskesmas Singandaru.
4.1.1 Gambaran Umum Puskesmas Singandaru
Puskesmas adalah unit pelayanan teknis Dinas kesehatan Kabupaten/Kota
yang bertanggung jawab terhadap pembangunan kesehatan di wilayah kerjanya.
Puskesmas Singandaru sejak bulan Mei Tahun 2013 merupakan Puskesmas
Dengan Tempat Perawatan (DTP). Puskesmas berperan menyelenggarakan upaya
kesehatan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat
bagi setiap penduduk agar memperoleh derajat kesehatan yang optimal. Dengan
demikian Puskesmas berfungsi sebagai pusat penggerak pembangunan
berwawasan kesehatan, pusat pemberdayaan keluarga dan masyarakat serta pusat
pelayanan kesehatan strata pertama.
75
76
Gambaran umum Puskesmas Singandaru akan memaparkan penjelasan
tentang keadaan geografis Puskesmas Singandaru, keadaan demografi yang
berada dalam wilayah kerja Puskesmas Singandaru, Sarana Kesehatan yang
berada dalam Wilayah Kerja Puskesmas Singandaru, Struktur Organisasi Dan
Tata Kerja (SOTK), serta visi, misi, moto dan nilai yang ada dalam Puskesmas
Singandaru.
a. Keadaan geografis Puskesmas Singandaru
Puskesmas Singandaru merupakan salah satu unit pelaksana teknis
dari Dinas Kesehatan Kota Serang terletak di Kecamatan Serang yang
mempunyai luas wilayah kurang lebih 2,9 Km2. Secara administrasi
wilayah kerja Puskesmas Singandaru berbatasan dengan:
1. Sebelah utara berbatasan dengan Puskesmas Unyur
2. Sebelah timur berbatasan dengan Puskesmas Serang Kota
3. Sebelah barat berbatasan dengan Puskesmas Taktakan
4. Sebelah selatan berbatasan dengan Puskesmas Ciracas
Gambar 4.1.1.1 Peta Puskesmas Singandaru
77
b. Keadaan Demografi di Wilayah kerja Puskesmas Singandaru
Puskesmas Singandaru merupakan unit pelaksana teknis Dinas
kesehatan Kota Serang yang berada di wilayah Kecamatan Serang dengan
jumlah wilayah kerja 3 (tiga) kelurahan yaitu:
1. Kelurahan Lontar Baru
2. Kelurahan Kagungan
3. Kelurahan Kota Baru
Jumlah penduduk di wilayah kerja Puskesmas Singandaru yang
pada tahun 2014 yaitu sebanyak 29.893 orang, yang terdiri dari laki-laki
15.319 orang dan perempuan sebanyak 14.484 orang dari jumlah Kepala
Keluarga (KK) 6.726 KK.
Tabel 4.1.1.1Penduduk di Wilayah Kerja Puskesmas Singandaru
No. Kelurahan Jumlah
Penduduk
Jumlah
Rumah
Tangga
Rata-Rata
Jiwa/Rumah
Tangga
Kepadatan
Penduduk
per KM2
Jumlah
Rukun
Warga (RW)
1 Lontar Baru 9.114 2.022 4,51 91,14 13
2 Kagungan 13.966 3,084 4,53 109,97 12
3 Kota Baru 6.813 1.620 4,21 106,45 6
Sumber: Profil Puskesmas Singandaru, 2014
Berdasarkan tabel 4.1.1.1 dapat diketahui desa yang memiliki luas
wilayah, jumlah penduduk, jumlah rumah tangga, rata-rata jiwa/rumah
tangga dan kepadatan penduduk tertinggi adalah Kelurahan Kagungan,
78
sedangkan urutan tertinggi kedua yaitu Kelurahan Lontar Baru dan yang
terakhir adalah Kelurahan Kota Baru. Jumlah penduduk yang berada di
wilayah kerja Puskesmas Singandaru berdasarkan total jumlah penduduk
di Kelurahan Kagungan, Lontar Baru dan Kota Baru adalah sebanyak
29.893 jiwa.
Penelitian ini terkait tentang kebijakan yang diperuntukan bagi
penduduk lanjut usia. Berikut adalah jumlah penduduk berdasarkan usia
yang ada di wilayah kerja Puskesmas Singandaru:
Tabel 4.1.1.2 Jumlah Penduduk Berdasarkan Usia Masing-masing
Kelurahan di Wilayah Kerja Puskesmas Singandaru Tahun 2014
No. Kelurahan 0-4 5-14 15-44 45-64 ≥65 Jumlah
(Orang)
Jumlah
lanjut Usia
(Orang)
1 Lontar
Baru 600 1.658 4.718 2.022 116 9.114 2.138
2 Kagungan 2.676 3.028 6.489 975 798 13.966 1.773
3 Kota Baru 373 1.259 4.161 851 169 6.813 1.020
Total 3.649 5.945 15.368 3.848 1.083 29.893 4.931
Sumber: Profil Puskesmas Singandaru, 2014
Peneliti menggunakan batasan usia menurut Undang-undang
Nomor 13 Tahun 1998 yaitu minimal 60 tahun. Namun, pada tabel 4.1.1.2
peneliti menjelaskan jumlah penduduk lanjut usia yang berusia minimal 45
tahun karena data yang didapat menggunakan batasan usia lanjut usia
tingkat pertama menurut organisasi kesehatan dunia atau World health
79
Organization (WHO) yaitu dimulai dari usia pertengahan (middle age)
yaitu usia 45-59 tahun.
Berdasarkan tabel 4.1.1.2, dapat diketahui jumlah penduduk lanjut
usia di wilayah kerja Puskesmas Singandaru secara keseluruhan pada
tahun 2014 sebanyak 4.931 orang. Dari jumlah tersebut, Kelurahan Lontar
Baru merupakan Kelurahan yang memiliki jumlah penduduk lanjut usia
yang terbanyak yaitu 2.138 orang atau sebesar 43,35% dari jumlah seluruh
penduduk lanjut usia di wilayah kerja Puskesmas Singandaru. Maka dari
itu jumlah Pos Pembinaan terpadu Usia Lanjut (Posbindu Usila) di
Kelurahan Lontar Baru lebih banyak yaitu 3 Posbindu Usila dibandingkan
Kelurahan Kagungan hanya memiliki 2 (dua) Posbindu Usila.
Tabel 4.1.1.3 Nama Pos Pembinaan Terpadu Usia Lanjut (Posbindu
Usila) di Wilayah Kerja Puskesmas Singandaru
No. Nama Pos Pembinaan Terpadu Usia
Lanjut (Posbindu Usila)
Kelurahan
1 Pepabri Lontar Baru
2 Melati Lontar Baru
3 Teratai Lontar Baru
4 Sirsak Kagungan
5 Manggis Kagungan
Sumber: Puskesmas Singandaru, 2015
Berdasarkan tabel 4.1.1.3, Kelurahan Lotar baru merupakan
kelurahan yang memiliki Posbindu Usila terbanyak karena jumlah
80
penduduk Lanjut usianya yang cukup banyak daripada Kelurahan
Kagungan yang hanya memiliki 2 (dua) Posbindu Usila karena jumlah
Penduduk Usia Lanjutnya hanya sebanyak 1.773 orang.
Posbindu Usila merupakan pelayanan kesehatan di tingkat
masyarakat. Dengan adanya Posbindu Usila, warga Lansia dapat dengan
mudah mendapatkan pelayanan kesehatan dengan jarak yang dekat dengan
lingkungan tempat tinggal, maka dari itu cukup menghemat waktu dan
uang dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan tersebut terutama untuk
warga yang tergolong dalam keluarga pra sejahtera. Keluarga pra sejahtera
adalah keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara
minimal, seperti kebutuhan sandang, pangan, papan, dan kesehatan.
Tabel 4.1.1.4 Jumlah Keluarga Menurut Tahapan Keluarga Sejahtera
di Wilayah Kerja Puskesmas Singandaru Tahun 2013
No. Kelurahan Pra KS KS I KS II KS III KS III Plus
1 Lontar Baru 214 356 519 654 130
2 Kagungan 428 562 1.275 553 204
3` Kota baru 198 248 406 572 266
Total 840 1.166 2.200 1.779 600
Sumber: Kecamatan Serang dalam Angka, 2014
Tahapan keluarga sejahtera I adalah keluarga yang telah dapat
memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal, namun belum dapat
memenuhi kebutuhan sosial psikologinya. Tahapan keluarga sejahtera II
81
adalah keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasarnya, namun
belum dapat memenuhi kebutuhan pengembangannya, seperti kebutuhan
untuk menabung dan memperoleh informasi. Sedangkan untuk keluarga
sejahtera III plus adalah keluarga yang sudah mampu memenuhi seluruh
kebutuhannya. Berdasarkan tabel 4.1.1.5 keluarga sejahtera II yang
memiliki jumlah keluarga terbanyak yaitu sebanyak 2.200 keluarga, hal itu
membutikan bahwa mayoritas keluarga di wilayah kerja Puskesmas
Sigandaru mampu baru mampu memenuhi kebutuhan dasar sedangkan
kebutuhan pengembangan seperti menabung dan memperoleh informasi
belum terpenuhi.
Mata pencaharian penduduk di wilayah kerja Puskesmas
Singandaru ada beberapa jenis. Berikut adalah klasifikasi penduduk
berdasarkan mata pencaharian:
Tabel 4.1.1.5 Mata Pencaharian Penduduk Di Wilayah Kerja
Puskesmas Singandaru
No. Mata Pencaharian Jumlah
1 Pegawai Negeri Sipil 2.145
2 TNI/POLRI 684
3 Wiraswasta 4.770
4 Buruh 3.392
5 Pensiunan 137
6 Lain-Lain 3.979
Sumber: Profil Kelurahan Lontar Baru, Kagungan dan Kota Baru, 2014
82
Berdasarkan tabel 4.1.1.5, mata pencaharian penduduk di wilayah
kerja Puskesmas Singandaru sebagian besar adalah wiraswasta yaitu
sebanyak 4.770 orang. Sedangkan yang terendah adalah pensiunan yaitu
hanya sebanyak 137 orang.
Pendidikan merupakan hal yang penting yang juga perlu
diperhatikan, karena tingkat pendidikan merupakan salah satu pendukung
yang sangat berpengaruh dalam keberhasilan program kesehatan. Dengan
tingkat pendidikan yang baik maka pengetahuan, kemampuan dan
kemauan masyarakat dalam bidang kesehatannya pun akan baik. Berikut
persentase penduduk berusia 10 tahun ke atas menurut tingkat pendidikan
tertinggi yang ditamatkan di wilayah Kerja Puskesmas Singandaru:
Tabel 4.1.1.6 Jumlah Penduduk Usia ≥ 10 Tahun Berdasarkan
Tingkat Pendidikan di Wilayah Kerja Puskesmas Singandaru Tahun
2014
No. Tingkat Pendidikan Jumlah (Orang)
1 SD/MI 2.778
2 SMP/MTS 4.267
3 SMA/SMK/MA 6.328
4 AK/Diploma 2.195
5 Universitas 2.492
Sumber: Profil Puskesmas Singandaru, 2014
83
Berdasarkan tabel 4.1.1.6, tingkat pendidikan penduduk yang
berada di wilayah kerja Puskesmas Singandaru yakni Kelurahan Lontar
Baru, Kagungan dan Kota baru, sebanyak 6.328 merupakan tamatan
SMA/SMK/MA.
c. Sarana Kesehatan
Upaya pembangunan kesehatan dapat berdaya guna dan berhasil
guna bila kebutuhan sumber daya kesehatan dapat terpenuhi. Sumber daya
kesehatan tersebut terdiri dari sarana kesehatan dan tenaga kesehatan.
Sarana kesehatan di Puskesmas Singandaru yaitu sebagai berikut:
Tabel 4.1.1.7 Sarana Kesehatan di Wilayah Kerja Puskesmas
Singandaru
No. Sarana Kesehatan Banyak
1 Rumah Sakit 2 Unit
2 Puskesmas Induk 1 Unit
3 Puskesmas Pembantu 1 Unit
4 Posyandu 30 Unit
5 Posbindu 5 Unit
6 Rumah Bersalin 1 Unit
7 Bidan Praktek Swasta 10 Unit
8 Dokter Praktek 23 orang
9 Balai Pengobatan/Klinik 7 Unit
10 Apotek 7 Unit
11 Toko Obat 5 Unit
Sumber: Profil Puskesmas Singandaru, 2014
Dalam menunjang pembangunan kesehatan diperlukan berbagai
jenis tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi di bidangnya guna
84
memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Tenaga Kesehatan
di Puskesmas Singandaru sebanyak 33 (tiga puluh tiga) orang yang terdiri
dari:
Tabel 4.1.1.8 Tenaga Kesehatan di Puskesmas Singandaru
No. Tenaga Kesehatan Jumlah (orang)
1 Tenaga fungsional kesehatan:
a. Dokter umum 2
b. Dokter gigi 1
c. Bidan 10
d. Perawat 6
e. Analisis kesehatan 1
f. Fisioterapi 1
g. Asisten apoteker 1
h. Perawat gigi 1
i. Nutrisionis 1
j. Sanitarian 1
k. Rekam medik 1
2 Tenaga Non Kesehatan:
a. Tenaga honor
administrasi
5
b. Tenaga cleaning service 1
c. Tenaga office boy 1
Sumber: Profil Puskesmas Singandaru, 2014
Berdasarkan tabel 4.1.1.8, tenaga kesehatan yang tersedia cukup
banyak di Puskesmas Sigandaru adalah bidan yaitu sebanyak 10 (sepuluh)
orang, Terbanyak berikutnya adalah perawat sebanyak 6 (enam) orang.
85
Sedangkan tenaga kesehatan seperti dokter gigi, analisis kesehatan,
fisioterapi, asisten apoteker, perawat gigi, nutrisionis, sanitarian, rekam
medik masing-masingnya hanya tersedia 1 (satu) orang saja.
d. Struktur Organisasi Dan Tata Kerja (SOTK)
Berdasarkan Keputusan Menteri Nomor 128/Menkes/SK
MENDAGRI Nomor 100/756/Otoda, struktur organisasi Unit Pelayanan
Terpadu (UPT) Puskesmas Singandaru Tahun 2015 yaitu:
Gambar 4.1.1.2 Struktur Organisasi Unit Pelayanan Terpadu (UPT)
Puskesmas Singandaru, 2015
86
Keterangan:
1. Kepala Puskesmas
2. Kepala Sub Bidang Tata Usaha
3. Bendahara Umum
4. Inventaris Barang
5. Sistem Pencatatan dan Pelaporan Puskesmas (SP3)
6. Bidang Bina Kesehatan Masyarakat:
a) Bidan Koordinator
b) Kesehatan Ibu dan Anak (KIA)
c) Keluarga Berencana (KB)
d) Gizi
e) Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS)
f) Lanjut Usia
g) Usaha Kesehatan Sekolah (UKS)
h) Promosi Kesehatan (Promkes)
i) Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR)
7. Bidang Pelayanan Kesehatan dan Sumber Daya Kesehatan:
a) Balai Pengobatan/Unit Gawat Darurat
b) Balai Pengobatan Gigi
c) Usaha Kesehatan Gigi Sekolah (UKGS)
d) Laboraturium
e) Mata
f) Jiwa
87
g) Kesehatan Kerja
h) Kesehatan Olah Raga
8. Bidang Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL)
a) Kesehatan Lingkungan
b) TB Paru
c) Kusta
d) Ispa/Diare
e) Imunisasi
f) Infeksi Menular Seksual (IMS)
g) Penyakit Tidak Menular
h) Survailans
9. Bidang Pembiayaan dan Farmasi:
a) Bendahara Bantuan Operasioal Puskesmas (BOP)
b) Bendahara Jaminan Kesehatan Nasional
c) Bendahara Bantuan Operasional Kesehatan (BOK)
d) Bendahara Penerimaan
e) Farmasi
e. Visi, Misi, Moto dan Nilai
1) Visi
Visi Puskesmas Singandaru adalah:
“Teladan dalam Pelayanan”
88
2) Misi
Misi Puskesmas Singandaru yaitu:
1. Meningkatkan kinerja, loyalitas, dan produktivitas sumber
daya manusia
2. Mewujudkan pelayanan kesehatan yang bermutu, merata dan
terjangkau
3. Menggalang kemitraan dalam berbagai sektor
4. Pemberdayaan masyarakat
3) Moto
Moto Puskesmas Singandaru adalah
“Berhasil Prima, Bersih, Harmonis,Silaturahmi dan Pelayanan
Prima”
4) Nilai
Nilai yang diterapkan di Puskesmas Singandaru yaitu:
1. Disiplin
2. Tanggung jawab
3. Kejujuran
4. Sejahtera
4.2 Deskripsi Data
4.2.1 Deskripsi Data Penelitian
Deskripsi data penelitian mengenai implementasi Pos Pembinaan Terpadu
Usia Lanjut (Posbindu Usila) di Wilayah Kerja Puskesmas Singandaru Kota
Serang akan membahas penjelesan tentang data yang telah diperoleh dari hasil
89
obeservasi peneliti pada lokasi penelitian yaitu di wilayah kerja Puskesmas
Singandaru yang terdapat Posbindu Usila. Lokasi tersebut yaitu di Kelurahan
Lontar Baru dan Kelurahan Kagungan. Data yang didapatkan peneliti sebagian
besar adalah data yang berupa kata-kata, yaitu data yang peneliti dapatkan dari
hasil wawancara peneliti dengan beberapa informan. Data hasil wawancara
tersebut merupakan sumber data utama yang diamati, dicatat secara tertulis dan
direkam dengan bantuan alat perekam suara pada saat proses wawancara peneliti
dengan informan.
Data yang peneliti gunakan tidak hanya hasil wawancara saja, peneliti juga
menggunakan data dokumentasi yang ditemukan di lapangan. Data-data tersebut
antara lain profil Puskesmas Singandaru, Profil Kelurahan Lontar Baru, Profil
Kelurahan Kagungan, Profil Kelurahan Kota Baru dan laporan kegiatan lanjut
usia yang diperoleh dari Puskesmas Singandaru. Metode penelitian yang peneliti
gunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Data yang telah diperoleh,
peneliti analisis dengan mengikuti teknik analisis dalam penelitian kualitatif yaitu
proses analisis data yang dilakukan selama penelitian ini berlangsung. Sesuai
dengan model analisis data dari Milles dan Huberman dalam Sugiyono (2011:
246) yaitu reduksi data, penyajian data, dan verifikasi.
Data dalam penelitian ini yang peneliti peroleh dari hasil wawancara
mendalam, observasi dan dokumentasi, kemudian akan direduksi untuk memilih
hal-hal yang pokok dan fokus pada hal-hal yang penting lalu dicari tema dan
polanya. Setelah direduksi peneliti akan menyajikan data berupa teks yang
bersifat naratif. Dalam penyajian data tersebut peneliti memberikan kode pada
90
aspek tertentu berdasarkan jawaban-jawaban yang sama dan berkaitan dengan
bahasan permasalahan. Dalam menyusun jawaban dari informan, peneliti
memberikan kode yaitu:
1. Q1 - Qx menandakan urutan pertanyaan
2. I1 - I5 menandakan urutan informan
Setelah memberikan kode pada aspek-aspek tertentu yang berkaitan
dengan masalah peneltian, maka selanjutnya peneliti melakukan penarikan
kesimpulan atau verifikasi atas data yang telah disajikan.
4.2.2 Data Informan
Dalam penelitian tentang Implementasi Pos Pembinaan Terpadu Usia
Lanjut (Posbindu Usila) di Wilayah Kerja Puskesmas Singandaru, peneliti
menentukan informan dengan menggunakan teknik purposive sampling.
Purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber data dengan
pertimbangan tertentu. Maka dari itu peneliti memilih informan yang sekiranya
tahu tentang situasi sosial yang sedang diteliti.
Informan yang peneliti pilih adalah informan yang terlibat dalam
pelaksanaan Posbindu Usila, yang merasakan manfaat dari kebijakan Posbindu
Usila, serta informan yang memiliki program lanjut usia yang terwujud dalam
kebijakan Posbindu Usila. Nama-nama informan dalam penelitian “Implementasi
kebijakan Pos Pembinaan Terpadu Usia Lanjut (Posbindu Usila) di Wilyah Kerja
Puskesmas Singandaru Kota Serang” yang sebelumnya telah ada persetujuan
untuk mencantumkan identitas informan yaitu sebagai berikut:
91
Tabel 4.2.2.1 Daftar Informan
No. Kode
Informan Nama Informan
Usia
(Tahun)
Jenis
Kelamin
Status / Jabatan
Informan
1 I1-1 Atik Kurnia Rohati 51 Perempuan Ketua Kader Posbindu
Usila Sirsak
2 I1-2 Endang Cahyaningsih 48 Perempuan Ketua Kader Posbindu
Usila Teratai
3 I1-3 Nana Rohana 56 Perempuan Ketua Kader Posbindu
Usila Melati
4 I1-4 Hj. Lilis Budiasih 50 Perempuan Ketua Kader Posbindu
Usila Manggis
5 I1-5 Sri Sayektiningsih 55 Perempuan Ketua Kader Posbindu
Usila Pepabri
6 I2 Tatu Maltupah 32 Perempuan
Pelaksana Bidang Bina
Kesehatan Masyarakat
Lanjut Usia Puskesmas
Singandaru
7 I3 Drg. EkaAgustina M.Kes 37 Perempuan
Kepala Seksi Gizi
Remaja dan Lanjut
Usia Dinas Kesehatan
Kota Serang
8 I4-1 Dahlia 77 Perempuan Anggota Posbindu
Usila
9 I4-2 Hj. Aslihah 68 Perempuan Anggota Posbindu
Usila
10 I4-3 Toyibah 75 Perempuan Anggota Posbindu
Usila
11 I4-4 Hilmi 82 Perempuan Anggota Posbindu
Usila
12 I4-5 Cecep Mihrob 51 Laki-Laki Anggota Posbindu
Usila
13 I4-6 Sayuti Anis 52 Laki-Laki Anggota kader
Posbindu Usila Sirsak
14 I5 Drg. Yayat Cahyati 49 Perempuan Kepala Puskesmas
Singandaru
Berdasarkan pada tabel 4.2.2.1, informan dalam peneltian tentang
“Implementasi Kebijakan Pos Pembinaan Terpadu Usia Lanjut (Posbindu Usila)
92
di Wilayah Kerja Puskesmas Singandaru Kota Serang” terdiri dari lima ketua
kader Pos Pembinaan Terpadu Usia Lanjut (Posbindu Usila), pelaksana bidang
bina kesehatan masyarakat lanjut usia Puskesmas Singandaru, Kepala seksi
bidang gizi remaja dan lanjut usia Dinas Kesehatan Kota Serang, enam warga
berusia lanjut dan Kepala Puskesmas Singandaru. Ketiga belas informan tersebut
terdiri dari 11 (sebelas) orang berjenis kelamin perempuan dan 2 (dua) orang
berjenis kelamin laki-laki. Usia informan termuda dalam penelitian ini yaitu
pelaksana bina kesehatan masyarakat Lansia Puskesmas Singandaru yakni berusia
32 (tiga puluh dua) tahun, sedangkan yang tertua adalah anggota Posbindu Usila
berusia 82 (delapan puluh dua) tahun.
4.3 Penyajian Data
Dalam penyajian data peneliti akan menyajikan beberapa data yang
didapatkan dari lapangan, di mana data tersebut akan disajikan berdasarkan
dengan teori penelitian yang peneliti gunakan kemudian berkembang saat
penelitian berlangsung. Penelitian “Implementasi Kebijakan Pos Pembinaan
Terpadu Usia Lanjut (Posbindu Usila) di Wilayah Kerja Puskesmas Singandaru”
menggunakan teori implementasi kebijakan dengan pendekatan bottom-up dari
Adam Smith (1973) dalam Islamy (2001: 90). Menurut Smith, implementasi
kebijakan dipengaruhi oleh empat aspek yaitu idealized policy (kebijakan ideal),
target groups (kelompok sasaran), implementing organization (organisasi
pelaksana), dan environmental factors (faktor-faktor lingkungan). Adapun data
yang berkaitan dengan teori tersebut, peneliti paparkan sebagai berikut:
93
4.3.1 Idealized Policy (Kebijakan Ideal)
Aspek Idealized policy (kebijakan ideal) berkenaan dengan idealitas suatu
kebijakan yang dilaksanakan oleh kelompok sasaran. Pelaksanaan kebijakan
publik yang mengkaitkan kelompok sasaran dalam pelaksanaannya, diperlukan
suatu komunikasi antara perumus kebijakan dengan kelompok sasaran, sehingga
kelompok sasaran termotivasi untuk ikut melaksanakan kebijakan tersebut. Dalam
kebijakan Pos Pembinaan Terpadu Usia Lanjut (Posbindu Usila) di wilayah kerja
Puskesmas Singandaru, perumus kebijakannya yaitu Bidang Bina Kesehatan
Masyarakat Seksi Gizi Lanjut Usia Dinas Kesehatan Kota Serang dan bidang bina
kesehatan masyarakat lanjut usia di Puskesmas Singandaru, sedangkan kelompok
sasarannya adalah masyarakat berusia lanjut di atas 60 tahun.
Motivasi pada kelompok sasaran untuk ikut serta dalam melaksanakan
kebijakan tersebut tentunya harus disertakan dengan isi kebijakan yang sesuai
dengan apa yang dibutuhkan oleh kelompok sasaran. kesesuaian isi kebijakan
dengan apa yang dibutuhkan oleh kelompok sasaran tercermin dalam
respon/tanggapan kelompok sasaran terhadap pelaksanaan kebijakan tersebut.
Kebijakan publik yang dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan kelompok sasaran
dan mendapatkan respon yang baik termasuk dalam suatu kebijakan yang ideal.
Dalam pelaksanaan kebijakan Pos pembinaan Terpadu Usia Lanjut
(Posbindu Usila), Puskesmas Singandaru telah melakukan upaya
mensosialisasikan kebijakan tersebut kepada kelompok sasaran dengan tujuan
agar kelompok sasaran mengetahui kebijakan Posbindu Usila dan termotivasi
untuk ikut melaksanakan kebijakan tersebut. Seperti yang diungakapan oleh I1-1:
94
“Awalnya saya yang mengajukan, sebelumnya saya telah mendengar ada
Posbindu Usila karena di tiap pertemuan di Puskesmas membahas tentang
Posbindu, pada saat itu saya belum tertarik. Ketika saya tahu Posbindu
Usila untuk lansia dan banyak lansia di sini yang meminta ada
pemeriksaan kesehatan untuk Lansia, saya mengajukan pembentukan
Posbindu ke Kepala Puskesmas.”
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan I1-1 dapat diketahui bahwa
Puskesmas Singandaru telah berupaya mensosialisasikan kebijakan Posbindu
Usila melalui pertemuan rutin dengan kader Posyandu Balita, dengan harapan
kader Posyandu Balita yang menghadiri pertemuan tersebut mengetahui isi
Kebijakan Posbindu Usila dan termotivasi untuk membentuk Posbindu Usila di
lingkungannya. Sosialiasi kebijakan merupakan komunikasi yang dilakukan
dengan tujuan untuk memperkenalkan suatu kebijakan agar kelompok sasaran
memiliki pengetahuan terkait kebijakan Pos Pembinaan Terpadu Usila Lanjut
(Posbindu Usila).
Upaya sosialisasi yang dilakukan Puskesmas Singandaru berhasil
memotivasi kelompok sasaran untuk mendirikan Posbindu Usila sehingga
kebijakan Posbindu Usila dapat dilaksanakan di lingkungan kelompok sasaran.
Selain itu, informasi tentang kebijakan Posbindu Usila yang telah tersebar di
masyarakat berdampak pada adanya keinginan masyarakat khususnya yang
berusia lanjut untuk mengadakan kebijakan Posbindu Usila di likungannya,
seperti yang diungkapkan oleh I1-3:
“Awalnya masyarakat yang mengusulkan ingin ada pemeriksaan
kesehatan untuk lansia. Lalu kader mengusulkan keinginan masyarakat ke
Puskesmas melalui pertemuan antar kader dan pihak Puskesmas di
Puskesmas Singandaru. Setelah itu Puskesmas menerima usulan saya dan
memberitahu saya.”
95
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan I1-3 dapat diketahui bahwa
warga berusia lanjut yang telah mengetahui adanya pemeriksaan kesehatan untuk
Lansia menyampaikan keinginannya untuk diadakan pelayanan kesehatan tersebut
di lingkungan tempat tinggalnya kepada kader Posyandu balita, lalu kader
Posyandu Balita menyampaikannya kembali kepada pihak Puskesmas Singandaru.
Awal pembentukan Posbindu Usila di lingkungan kelompok sasaran merupakan
keinginan kelompok sasaran bukan hasil mobilisasi pemerintah, karena kebijakan
Posbindu Usila adalah kebijakan yang terbentuk dalam Upaya Kesehatan
Bersumber daya Masyarakat (UKBM) di mana pelaksanaan kebijakan tersebut
dilakukan oleh, dari dan untuk masyarakat itu sendiri. Maka dari itu tidak ada
unsur paksaan dari pemerintah untuk membentuk Posbindu Usila, akan tetapi
berdasarkan atas keinginan dan kebutuhan masyarakat itu sendiri. seperti yang
diungkapkan oleh I2:
“Puskesmas tidak meminta masyarakat bentuk Posbindu. Awal
pembentukan Posbindu, masyarakat yang meminta mendirikan Posbindu
ke Puskesmas, cara mengajukan pendirian Posbindu yaitu dengan
mengajukan ke bidan desa lalu bidan desa menyampaikannya ke
Puskesmas.”
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan I2 dapat diketahui bahwa
Pembentukan Posbindu Usila merupakan permintaan dari kelompok sasaran
bukan Puskesmas Singandaru. Cara mengajukan permintaan pembentukan
Posbindu Usila yaitu menyampaikannya kepada Bidan desa yang kemudian
disampaikan kembali ke Pihak Puskesmas. Berbagai macam upaya yang
dilakukan kader untuk menyampaikan pengajuan pembentukan Posbindu Usila,
96
selain melalui bidan desa, kader menyampaikannya langsung ke Kepala
Puskesmas Singandaru ataupun melalui pertemuan antar kader dengan bidang
bina kesehatan masyarakat di Puskesmas Singandaru. Walaupun melalui cara
yang berbeda-beda, tetap pesan tersebut tersampaikan sehingga pengajuan dapat
dikabulkan. Bahkan ada Posbidu yang terbentuk dari suatu organisasi yang sudah
ada sebelumnya, seperti yang diungkapkan oleh I1-5:
“Ini organisasi Persatuan Purnawirawan dan Warakauri TNI dan POLRI
(PEPABRI). Sepertinya begini, pengajuan dilakukan Puskesmas ke sini
karena seharusnya kegiatan apapun mengajukannya ke sini lalu disetujui,
disepakati oleh ketua organisasi lalu terlaksanalah Posbindu.”
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan I1-5 dapat diketahui bahwa
Posbindu Usila PEPABRI adalah Posbindu yang terbentuk dari suatu organisasi
Persatuan Purnawirawan dan Warakauri TNI dan POLRI (PEPABRI). Puskesmas
Singandaru yang mensosialisasikan kebijakan Posbindu Usila serta
mengajukannya ke Kepala organisasi tersebut karena diharuskan mengikuti alur
birokrasi dalam organisasi. Organisasi Posbindu memang tidak hanya terbentuk
oleh masyarakat setempat saja, tetapi bisa dibentuk oleh suatu organisasi yang
sudah ada. Anggota yang hadir dalam organisasi PEPABRI adalah perkumpulan
para istri ataupun janda dari pensiunan TNI POLRI Kabupaten Serang. Lokasi
organisasi ini berada di Kelurahan Lontar Baru yang berarti masuk dalam wilayah
kerja Puskesmas Singandaru. Hal ini membuktikan bahwa sosialisasi terkait
adanya kebijakan Posbindu Usila telah sampai pada organisasi tersebut, sehingga
adanya kesepakatan antara pihak Puskesmas Singandaru dengan ketua organisasi
97
PEPABRI untuk melaksanakan kebijakan Posbindu di dalam kegiatan Organisasi
PEPABRI.
Dalam pembentukan Posbindu Usila juga terdapat persyaratan yang wajib
dimiliki kelompok sasaran agar kebijakan terlaksana dengan optimal. Maksud dari
optimal adalah pelaksanaan Posbindu yang terlaksanakan dengan baik yang sesuai
dengan kebutuhan Lansia dan didukung dengan kuantitas tenaga kesehatan yang
cukup. Maka dari itu jumlah Posbindu Usila yang terbentuk perlu disesuaikan
dengan kondisi jumlah tenaga kesehatan yang tersedia di Puskesmas Singandaru,
seperti yang diungkapkan oleh I2:
“Setelah mengajukan pembentukan Posbindu, lalu dilihat kelompok
sasaran di mana saja yang jumlah sasarannya mencukupi, apabila sedikit
berarti tidak perlu dibentuk Posbindu, mengingat Puskesmas Singandaru
juga kekurangan SDM”
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan I2 dapat diketahui bahwa
pengajuan pembentukan posbindu tidak dapat dikabulkan begitu saja oleh bagian
bina kesehatan masyarakat Puskesmas Singandaru. Maka dalam pengajuan
pembentukan Posbindu Usila ada beberapa syarat yang perlu dimiliki kelompok
sasaran yaitu terkait dengan jumlah sasaran yang ada, seperti yang diungkapkan
oleh I3:
“Bisa atau tidak dibentuk Posbindu tergantung dari jumlah lansianya,
Posbindu tidak jauh berbeda dengan Posyandu, kalau Posyandu bisa
dibentuk apabila ada 100 balita sama halnya dengan Posbindu, bisa
dibentuk apabila ada 100 lansia. Permasalahannya adalah usia lansia
dimulai dari umur 45 tahun, sedangkan umur 45-58 sebenarnya adalah
orang yang masih bekerja, jadi otomatis sebenarnya sasaran yang masuk
dalam kebijakan Posbindu adalah sasaran yang berumur 58 tahun ke atas.”
98
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan I3 dapat diketahui bahwa
persyaratan yang perlu dimiliki kelompok sasaran untuk membentuk Posbindu
Usila adalah memiliki 100 lansia yang berusia 58 tahun ke atas. Namun
berdasarkan data yang peneliti temukan pada laporan kegiatan Lansia di Wilayah
Kerja Puskesmas Singandaru, ketiga wilayah yang di bawahi Puskesmas
Singandaru yaitu Kelurahan Lontar baru, Kelurahan Kagungan dan Kelurahan
Kota Baru, hanya memiliki 5 (lima) Posbindu Usila yaitu 3 (tiga) Posbindu Usila
di Kelurahan Lontar Baru dan 2 (dua) Posbindu di Kelurahan Kagungan.
Kelurahan Kota baru tidak memiliki satu pun Posbindu Usila.
Berdasarkan monografi Kelurahan Kota Baru tahun 2014, jumlah
penduduk di atas usia 50 tahun sebanyak 1.020 orang atau sebesar 15% dari total
penduduk sebanyak 6.813 orang. Hal ini berarti Kota baru memenuhi persyaratan
untuk membentuk Posbindu Usila. Akan tetapi, pengajuan Kota Baru untuk
mengadakan Posbindu Usila tidak dapat dikabulkan oleh Puskesmas Singandaru,
seperti yang diungkapkan oleh I2:
“Warga Kelurahan Kota Baru sudah mengajukan permohonan membentuk
Pobindu Usila di wilayahnya, namun pengajuan tersebut tidak dapat
dikabulkan Puskesmas karena jumlah tenaga pelaksana Posbindu dari
Puskesmas tidak mencukupi. Saya bekerja sebagai perawat dan biasa
bekerja di bagian poli umum, selain itu saya juga bekerja ke lapangan
untuk Posbindu.”
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan I2 dapat diketahui bahwa
pengajuan pembentukan Posbindu Usila dari Kelompok sasaran di Kota Baru
tidak dapat dikabulkan karena kuantitas tenaga kesehatan untuk Posbindu Usila
yang kurang. Kelomopok sasaran termotivasi untuk membentuk Posbindu Usila
99
karena kebijakan Posbindu dinilai sesuai dengan kebutuhan akan pelayanan
kesehatan untuk warga lansia. Dengan demikian Lansia di kelurahan Kota Baru
tidak terpenuhi oleh pelayanan kesehatan yang dapat diperoleh di Posbindu Usila.
Selain kekurangan tenaga kesehatan di Puskesmas Singandaru, tenaga
kesehatan yang bertugas di Posbindu pun memiliki tugas rangkap baik bertugas di
Puskesmas juga bertugas untuk Posbindu Usila. Tenaga kesehatan yang sebaiknya
bertugas di Posbindu Usila adalah dokter dan perawat. Namun berdasarkan profil
Puskesmas Singandaru Tahun 2014, jumlah dokter umum yang ada di Puskesmas
hanya ada 2 (dua) orang sedangkan perawat berjumlah 6 (enam) orang. Dokter
dan perawat tersebut medapatkan pembagian tugasnya masing-masing. Dokter
bertugas di Puskesmas, sedangkan perawat lainnya bertugas di Puskesmas
maupun di Posyandu Balita.
Jumlah Posyandu balita lebih banyak dibandingkan dengan Posbindu
Usila, ada 30 (tiga puluh) Posyandu Balita yang tersebar di tiga wilayah yaitu
Lontar Baru, Kagungan dan Kota baru. Posyandu balita dilaksanakan rutin 1
(satu) bulan sekali di masing-masing Poyandu. Maka dari itu cukup sulit untuk
mencari teman yang bisa membantu melaksanakan pemeriksaan kesehatan di
Posbindu Usila, seperti yang diungkapkan oleh I2:
“Berhubung dokternya pada sibuk di Puskesmas jadi saya sendiri yang
turun ke Posbindu. Karena kesibukan dokter dan perawat lain juga
membuat saya tidak enak untuk meminta bantuannya. Perawat lain sudah
memiliki jadwalnya sendiri di Posyandu. Apabila ada perawat atau bidan
yang tidak sibuk, mereka membantu saya. Kebetulan sekarang ada
mahasiswa Akper (Akadem Keperawatan) yang sedang magang, jadi bisa
membantu saya.”
100
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan I2 dapat diketahui bahwa
dokter dan perawat yang ada di Puskesmas Singandaru telah memiliki jadwal
bertugas masing-masing sehingga membuat pelaksana bina kesehatan masyarakat
bagian Lansia merasa tidak enak meminta bantuan dari mereka. Hanya ketika ada
tenaga kesehatan lain yang tidak sibuk atau mahasiswa akademik keperawatan
yang sedang magang di Puskesmas Singandaru yang dapat membantu pelaksana
bina kesehatan bagian Lansia dalam memberikan pelayanan kesehatan di
Posbindu Usila. Pelaksana bidang bina kesehatan masyarakat bagian lanjut usia
yang bertugas sebagai tenaga kesehatan di Posbindu Usila hanya berjumlah satu
orang saja. Kekurangan dokter dan perawat di Puskesmas Singandaru berdampak
pada tidak meratanya kebijakan Posbindu Usila. Padahal Kebijakan Posbindu
merupakan kebijakan yang dibutuhkan oleh warga berusia lanjut karena
memenuhi kebutuhan akan kesehatan Lanjut Usia, seperti yang diungkapkan oleh
I1-1:
“Posbindu memenuhi kebutuhan kesehatan Lansia. Dengan adanya
Posbindu Usila membantu lansia yang biasa mengeluh sakit kepala. Maka
dari itu banyak Lansia yang datang karena mereka menderita sakit. Lansia
yang tidak mengeluh sakit juga datang untuk sekedar mengetahui berat
badan atau naik turunnya tensi darah untuk mencegah darah tinggi dengan
mengatur asupan makannya. Kadangkala mereka menanyakan penyakit
yang didertia dari keluhan yang dirasakan. Selain itu Posbindu juga dekat
dari rumah warga.”
Berdasakan hasil wawancara peneliti dengan I1-1 terkait kesesuaian
kebijakan Posbindu Usila dalam memenuhi kebutuhan akan kesehatan Lansia,
dapat diketahui bahwa keberadaan Posbindu sangat berarti bagi Lansia untuk
kesehatan Lansia baik yang menderita sakit ataupun hanya sekedar memeriksakan
101
kesehatannya. Pemeriksaan kesehatan berupa cek gula darah, kolesterol, asam urat
dan tensi darah serta adanya konsultasi kesehatan lansia dan pemberian resep obat
yang ada pada pelayanan kesehatan di Posbindu Usila merupakan manfaat yang
didapatkan sasaran untuk memenuhi kebutuhan akan kesehatan mereka.
Mengingat lansia rentan terhadap penyakit tidak menular seperti darah tinggi,
diabetes, kolesterol dan asam urat maka dari itu perlu rutin mengontrol kesehatan
mereka, seperti yang diungkapkan oleh I1-2:
“Sudah cukup memenuhi kebutuhan Lansia. Kesehatan kebutuhan utama
Lansia. Banyak permasalahan yang kompleks pada Lansia. Maka dari itu
perlu setiap bulannya mengontrol kesehatan, terutama seperti tensi darah.
Dari pada pergi jauh ke rumah sakit dan Puskesmas untuk kontrol
kesehatan, di Posbindu lebih dekat. Terutama untuk cek darah. Di tempat
lain lama mengantri, di Posbindu juga bisa periksa gula darah, kolesterol,
asam urat. Walaupun hasilnya tidak akurat 100%, setidaknya dari hasil
pemeriksaan kita mendapatkan perhatian untuk bisa rubah pola
makannya.”
Hal yang sama juga diuangkap oleh I4-5:
“Iya memenuhi,apabila saya merasa sakit dan kebetulan ada Posbindu saya
berobat ke Posbindu untuk periksa penyakit kolesterol.”
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan I1-2 dan I4-5 terkait
kesesuaian isi kebijakan posbindu dalam memenuhi kebutuhan Lansia, dapat
diketahui bahwa penyakit tidak menular seperti asam urat, kolesterol dan gula
darah yang lazim diderita oleh Lansia dapat terkontrol dengan rutin melakukan
pemeriksaan di Posbindu Usila. Sehingga lansia dapat merubah pola makannya
untuk mecegah penyakit tersebut agar tidak semakin parah. Selain itu dalam
pelaksanaan Posbindu Usila, Lansia dapat menyampaikan keluhan-keluhan yang
mengganggu kesehatannya.
102
Manusia yang usianya semakin menua, organ tubuhnya akan semakin
melemah dan tidak berfungsi dengan baik seperti saat usianya masih muda. Maka
dari itu tidak jarang apabila lansia mengeluhkan adanya rasa nyeri ditubuhnya
yang membuat lansia merasa tidak nyaman. Keberadaan Posbindu Lansia
memberikan manfaat pada Lansia untuk memberikan pelayanan kesehatan secara
rutin setiap satu bulan sekali dan dekat dengan lingkungan masyarakat, seperti
yang diungkapkan oleh I1-4:
“Sudah memenuhi kebutuhan Lansia. Ada pemeriksaan tensi darah,
kolesterol dan diabet. Posbindu itu pelayanan kesehatan untuk para lanjut
usia jadi memudahkan Lansia agar tidak pergi terlalu jauh ke Puskesmas
atau ke rumah sakit, dan memudahkan Lansia untuk berobat.”
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan I1-4 dapat diketahui bahwa
Lokasi Posbindu Usila yang dekat dengan lingkungan tempat tinggal sasaran
membantu lanjut usia mendapatkan pelayanan kesehatan. Lokasi Posbindu yang
dekat dengan tempat tinggal Lansia memudahkan Lansia untuk menjangkau
tempat tersebut karena lanjut usia memiliki keterbatasan fisik untuk mencapai
lokasi yang tidak dekat. Manfaat lain dengan mengikuti Posbindu Usila selain
dapat memeriksa kesehatan dan lokasi yang dekat, dari hasil pemeriksaan dan
konsultasi kesehatan dengan tenaga kesehatan lansia dapat mengatur pola makan
dan asupan makanan mereka. Maka dari itu lansia dapat memelihara kesehatan
mereka sendiri, seperti yang diungkapkan oleh I1-3:
“Usia sudah tua sering terkena penyakit, jadi apabila ikut Posbindu bisa
periksa kesehatan dan mengontrol makanannya.”
103
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan I1-3 dapat diketahui bahwa
pola makan Lansia dapat terkontrol dengan mengikuti Posbindu Usila. Posbindu
Usila memang sangat bermanfaat sekali bagi warga yang berusia lanjut untuk
dapat memperoleh hidup yang sehat karena dari hasil pemeriksaan serta konsultasi
kesehatan dengan tenaga kesehatan, Lansia dapat mengurangi asupan makanan
yang tidak baik bagi kesehatannya. Dengan memiliki hidup yang sehat, Lansia
bisa menjalankan aktivitasnya dengan madiri dan berdaya guna. Kebijakan
Posbindu Usila di keluarkan pemerintah karena mengatasi dampak dari
keberhasilan pembangunan di bidang kesehatan, seperti yang diungkapkan oleh I3:
“Pembangunan kesehatan itu salah satu tujuannya adalah umur harapan
hidup. Semakin baik pembangunan kesehatan berarti umur harapan
hidupnya semakin panjang. Lansia itu yang berumur 45 tahun ke atas, tapi
yang perlu mendapat perhatian adalah yang berumur renta yang terutama
masuk Posbindu yaitu berumur 60 tahun atau 70 tahun. Supaya Lansia
memiliki kualitas hidup yang lebih baik, otomatis kita harus perhatikan.
Itu sebabnya ada kebijakan tentang program lansia.”
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan I3 dapat diketahui bahwa
kebijakan Posbindu Usila dikeluarkan pemerintah sebagai tindakan lanjut dari
keberhasilan dalam meningkatkan angka harapan hidup masyarakat dengan tujuan
meciptakan kualitas hidup yang lebih sehat bagi lanjut usia. Meningkatnya umur
harapan hidup masyarakat berdampak pada meningkatnya jumlah penduduk yang
berusia lanjut. Masyarakat yang berusia lanjut rentan terkena penyakit tidak
menular serta memiliki keterbatasan fisik karena fungsi tubuh mereka yang
berkurang mengakibatkan melemahnya tenaga yang mereka miliki. Maka dari itu
perlu ada kebijakan di bidang kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan
terdekat bagi lanjut usia melalui kebijakan Posbindu Usila. Posbindu Usila
104
merupakan kebijakan derivat atau turunan dari suatu kebijakan. Kebijakan
Posbindu Usila adalah kebijakan yang terwujud dari program lanjut Usia yang
terwujud lagi dari Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 2004 tentang
pelaksanaan upaya peningkatan kesejahteraan lanjut usia.
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa kebijakan yang ideal adalah kebijakan
yang sesuai dengan keinginan atau kebutuhan sasaran. Kebijakan yang memenuhi
kebutuhan sasaran akan tercermin dari tanggapan sasaran terhadap keberadaan
Posbindu Usila. Kebijakan Posbindu Usila mendapatkan respon yang baik dari
sasaran, seperti yang diungkapkan oleh I4-2:
“Posbindu itu penting sekali. Saya sudah tidak kuat pergi ke Puskesmas.
Kalau mau minta antar ke Puskesmas ke keponakan saya merasa tidak
enak karena mereka sudah pada bekerja, saya takut merepotkan mereka.
sebelumnya saya biasa ke klinik atau tidak ke Puskesmas, tapi ketika ada
Posbindu alhamdulillah saya bisa berobat dan kontrol kolesterol.
Lokasinya juga dekat, jadi tidak usah pergi jauh ke Puskesmas lagi.”
Hal yang sama juga diungkapkan oleh I4-6:
“Bagus, dengan adanya Posbindu Lansia dapat berobat. Yang saya lihat
banyak Lansia yang mengeluhkan nyeri di lutut karena penyakit asam urat.
Maka dari itu Lansia perlu berobat.
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan I4-2 dan I4-6 terkait tanggapan
sasaran tentang keberadaan Posbindu Usila, dapat diketahui bahwa keberadaan
Posbidu Usila dirasakan manfaatnya oleh Lansia seperti lokasi yang dekat dan
terpenuhinya pelayanan kesehatan yang dibutuhkan untuk mencegah penyakit
yang diderita agar tidak menjadi lebih buruk. Lokasi Posbindu yang dekat,
mempermudah lansia yang memiliki keterbatasan fisik untuk mencapai tempat
tersebut serta bisa pergi untuk memeriksakan kesehatan mereka tanpa harus
105
diantar oleh keluarganya. Selain itu manfaat mengikuti Posbindu juga dirasakan
oleh Lansia, seperti yang diungkapkan oleh I4-4:
“Dengan ada Posbindu saya bisa tahu naik turunya kolesterol saya, bisa
dapat obat, terus kalau sudah tahu kolesterol saya naik berarti saya tidak
boleh makan gorengan, kalau darah tinggi berarti tidak boleh makan yang
asin-asin.”
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan I4-4 dapat diketahui bahwa
hasil pemeriksaan kesehatan yang diketahui oleh Lansia pada saat mengikuti
Posbindu Usila, membuat Lansia mengontrol asupan makannya agar tidak
memperburuk penyakit yang dideritanya. Pada pelaksanaan kebijakan Posbindu
Usila, selain dapat memeriksa kesehatan lansia, lansia pun mendapat arahan dari
tenaga kesehatan terkait larangan untuk memakan makanan yang dapat
mengganggu kesehatannya. Tanggapan yang baik terkait keberadaan Posbindu
Usila dari sasaran juga dapat dirasakan oleh pelaksana bidang bina kesehatan
masyarakat bagian lanjut usia, seperti yang diungkapkan oleh I2:
“Tanggapanya baik, mereka menunggu saya datang apabila saya telat
datang. Biasanya saya datang jam 10 pagi, saya telat jadi datang jam 11
siang. Ketika telat datang, saya kira mereka sudah pada pulang, tapi
ternyata mereka masih menunggu saya karena mereka juga butuh untuk
memeriksa kesehatannya.”
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan I2 terkait menilai respon
kelompok sasaran terhadap kebijakan Posbidu Usila, dapat diketahui bahwa
antusias kelompok sasaran yaitu masyarakat yang berusia lanjut begitu baik dalam
mengikuti Posbindu Usila. Hal ini dikarenakan atas kebutuhan mereka untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan yang dekat dan dan didapatkan secara rutin
untuk mengontrol kesehatan mereka. Kegiatan yang ada pada kebijakan Posbindu
106
tidak hanya terkait dengan pemeriksaan kesehatan, namun ada kegiatan lain yang
bermanfaat bagi kesehatan mereka, seperti yang diungkapkan oleh I3:
“Kegiatan kesehatan di Posbindu itu kegiatannya ada pemeriksaan
kesehatan dan ada senam lansia. Senam lansia berbeda dengan senam
biasanya karena gerakannya juga ringan dan bisa diikuti lansia. Asalkan
lansia itu memiliki aktivitas dan bisa bergerak tidak hanya berdiam di
rumah saja.”
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan I3 dapat diketahui bahwa
kegiatan lainnya di Posbindu Usila selain pemeriksaan kesehatan adalah senam
lanjut usia, di mana dalam senam tersebut meperagakan gerakan senam yang
ringan yang dapat diikuti lanjut usia dengan tujuan memberikan aktivitas ringan
pada Lansia. Lansia tidak memiliki banyak aktivitas seperti aktivitas yang biasa
dilakukan penduduk berusia produktif sehingga membuat lansia tersebut kurang
bergerak dan akan melemahkan tubuh mereka. Lansia memerlukan suatu aktivitas
ringan yang membuat tubuh mereka selalu bergerak. Maka dari itu Dinas
kesehatan mengadakan senam lansia yang dilaksanakan melalui Puskesmas.
Seperti yang diungkapkan oleh I2:
“Puskesmas yang mengadakan senam, memberikan uang transportasi bagi
lansia untuk ikut senam, snack, dan menyewa instruktur senam. Lansia
hanya mengikutinya saja”
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan I2 dapat diketahui bahwa
pelaskanaan senam Lansia di Posbindu yang berada di wilayah kerja Puskesmas
Singandaru diadakan oleh Puskesmas Singandaru, dengan instruktur senam yang
disediakan oleh Puskesmas Singandaru dan adanya pemberian uang transportasi
dan makanan ringan bagi Lansia yang mengikuti senam. Pemberian uang
107
transportasi pada lansia yang mengikuti senam lansia serta adanya suguhan
makanan ringan atau snack merupakan suatu iming-iming yang diberikan oleh
Puskesmas untuk meningkatkan partisipasi lansia pada kegiatan senam lansia.
Pengadaan senam lansia berbeda dengan Posbindu Usila yang diadakan
berdasarkan pengajuan dari masyarakat. Pada senam Lansia, Puskesmas
memobilisasi Lansia untuk mengikuti senam, namun tetap tidak ada unsur
paksaan sehingga ikut atau tidaknya lansia pada senam lansia merupakan hak
lansia tersebut. Jadi Puskesmas hanya mengajak sasaran untuk ikut kegiatan
senam serta memotivasi mereka dengan adanya uang transportasi dan makanan
ringan, seperti yang diungkapkan oleh I1-3:
“Senam itu Ibu Tatu (pelaksana bidang bina kesehatan masyarakat bagian
lanjut usia) yang mengajak kader. Awalnya dilaksanakan di Puskesmas
jam 06.30, yang hadir banyak siapa saja kader ataupun lansia, tapi
sekarang sudah tidak di Puskesmas lagi. Terakhir yang kemarin senam di
Posbindu. Saat senam disediakan kue dan dikasih uang transport.”
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan I1-3 dapat diketahui bahwa
sebelum pelaksanaan senam Lansia di Posbindu, senam dilaksanakan di
Puskesmas Singandaru dengan dihadiri seluruh kader Posbindu dan Lansia
lainnya. Akan tetapi lokasi puskesmas Singandari cukup jauh dari tempat tinggal
masyarakat. Maka dari itu, kini senam Lansia dilaksanakan di masing-masing
Posbindu, seperti yang diungkapkan oleh I1-1:
“Awalnya Ibu Tatu memberitahu saya ada senam Lansia tapi harus di
Puskesmas. Menurut saya kalau dilaksanakan di Puskesmas yang hadir
paling hanya beberapa saja. Namanya juga Lansia sudah tidak kuat,
jaraknya jauh harus ada kendaraan. Saya menyarankan kepada Ibu Tatu,
kalau bisa dilakukan di Posbindu.”
108
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan I1-1 dapat diketahui bahwa
lokasi pelaksanaan senam lansia di Puskesmas Singandaru terlalu jauh bagi
Lansia, sehingga tidak semua Lansia yang tercakup dalam wilayah Posbindu
dapat hadir dalam pelaksanaan senam Lansia. Pelaksanaan senam Lansia di
Puskesmas memang dinilai kurang efisien bagi kader Posbindu maka dari itu
kader menyampaikan suatu rekomendasi kepada pihak Puskesmas untuk
melaksanakan senam di Posbindu. Hal ini memperlihatkan bahwa adanya suatu
interaksi antara kader dengan pihak Puskesmas sehingga kebijakan yang
dilaksanakan sesuai dengan yang diharapkan oleh kelompok sasaran sehingga
kelompok sasaran termotivasi untuk berpartisipasi dalam kebijakan tersebut.
Pelaksanaan senam lanjut usia memang lebih efisien dan efektif
dilaksanakan di Posbindu bukan di Puskesmas, mengingat lansia memiliki
keterbatasan fisik untuk mencapai lokasi yang tidak dekat. Selain itu senam lansia
pun dapat diikuti bukan hanya lansia yang berusia 45 tahun sampai dengan 59
tahun, tetapi juga dapat diikuti oleh lansia berusia 60 tahun ke atas. Kegiatan
senam Lansia mendapatkan tanggapan yang baik dari sasaran, seperti yang
diungkapkan oleh I1-5:
“Sudah beberapa bulan sudah tidak ada senam lagi, lansia pada
menanyakan kapan ada senam lagi. Yang ikut senam dikasih uang
transport sebesar Rp. 10.000,- atau Rp. 15.000. tapi kemarin Ibu Tatu
memberitahu saya senam nanti hanya ada kue. Tapi itu tidak masalah
karena yang terpenting Lansia pada diam tidak menanyakan kapan ada
senam lagi.”
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan I1-5 dapat diketahui bahwa
tanggapan masyarakat terkait adanya senam lansia sangat menerima dengan baik,
109
terbukti ketika senam sudah lama tidak diadakan masyarakat meminta diadakan
senam lagi karena menurut mereka senam lansia dibutuh oleh mereka. Tanggapan
baik ini bukan dikarenakan adanya iming-iming uang yang diberikan Puskesmas
Singandaru, akan tetapi karena kebutuhan Lansia untuk mengikuti senam Lansia.
Memotivasi masyarakat dengan diiming-imingi uang dan makanan merupakan
cara yang kurang baik dan tidak efisien. Kebijakan di bidang kesehatan yang
diberikan kepada masyarakat seharusnya bertujuan untuk menyadarkan
masyarakat akan pentingnya kesehatan bukan karena kebutuhan masyarakat untuk
mendapatkan uang dan makanan, seperti yang diungkapkan oleh I1-4:
“Awalnya yang ikut lansia hanya sekitar 15 orang. Tapi ketika masyarakat
tahu akan dapat uang, yang datang banyak bahkan yang datang bukan
hanya Lansia. lama-kelamaan jumlah uang yang diberikan berkurang dari
Rp. 20.000 menjadi Rp. 10.000/orang. Walaupun besaran uang yang
diberikan berkurang, partisipasi masyarakat untuk ikut senam tidak
berkurang. Itu karena kita kasih pengertian kepada mereka bahwa kalau
kita senam di luar kita bayar sedangkan di sini gratis dan yang penting kita
sehat. Tanggapan terkait adanya senam sangat baik. Senam lansia bisa
dijadikan sebagai hiburan yang sehat karena memakai musik dangdut dan
gerakannya sederhana”.
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan I1-4 dapat diketahui bahwa
senam lansia tidak hanya diikuti oleh lansia saja karena adanya uang transportasi
yang didapatkan oleh masyarakat, namun ketika nominal uang yang diberikan
berkurang tidak mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam megikuti senam
karena kader memberikan pengertian terkait pentingnya senam bagi kesehatan.
Tanggapan masyarakat terhadap adanya senam Lansia sangat baik karena senam
lansia merupakan kegiatan yang menghibur dan sehat dan membuat lansia
menjadi aktif bergerak. Adanya pembagian uang transportasi bukan menjadi
110
alasan bagi mereka untuk mengikuti senam Lansia karena tidak adanya
pembagian uang transportasi tidak mempengaruhi jumlah partisipasi lansia dalam
kegiatan senam tersebut.
Pemahaman yang diberikan kepada lansia terkait pentingnya kegiatan
yang bertujuan untuk meningkatkan kesehatan Lansia merupakan cara terbaik
dibandingkan dengan memberikan uang. Dengan memberikan pemahaman
pentingnya kesehatan akan menyadarkan mereka untuk memanfaatkan kebijakan
yang diberikan pemerintah untuk kesehatan mereka. Peneliti memahami bahwa
cara memotivasi Lansia dengan membagi-bagikan uang merupakan cara yang
dilakukan Puskesmas pada awal pelaksanaan kegiatan senam agar Lansia
termotivasi untuk berpartisipasi dalam kegiatan senam Lansia, dan lambat laun
Lansia akan sadar dengan manfaat yang terutama didapatkan dari mengikuti
senam lansia bukan karena memperoleh uang.
Berdasarkan penyajian data hasil wawancara di atas dapat disimpulkan
bahwa sosialisasi Posbindu melalui pertemuan rutin Puskesmas Singandaru
membuat kelompok sasaran termotivasi untuk membentuk Posbindu Usila.
Kebijakan Pos Pembinaan Terpadu Usia Lanjut (Posbindu Usila) merupakan
kebijakan yang ideal bagi kelompok sasaran yang memilki Posbindu Usila, dalam
arti kebijakan tersebut sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat lanjut
usia yaitu adanya kegiatan pemeriksaan kesehatan dan kegiatan senam lanjut usia.
Kesesuaian isi kebijakan Posbindu Usila terlihat dari respon masyarakat yang baik
dalam menerima keberadaan dan mengikuti Posbindu Usila dan senam lanjut usia.
Akan tetapi kebijakan posbindu Usila tidak ideal bagi kelompok sasaran yang
111
tidak memiliki Posbindu Usila, sehingga tidak seluruh sasaran tercakup dalam
Posbindu Usila. Hal ini dikarenakan keterbatasan sumber daya manusia yang
dimiliki Puskesmas Singandaru.
4.3.2 Target Groups (Kelompok Sasaran)
Pada aspek target group berkenaan dengan kemampuan kelompok sasaran
untuk menjadi bagian dari stakeholder dalam pelaksanaan kebijakan Posbindu
Usila. Dalam penelitian tentang Implementasi Kebijakan Pos Pembinaan Terpadu
Usia Lanjut (Posbindu Usila) di wilayah Kerja Puskesmas Singandaru, kelompok
sasaran yang menyediakan segala sumber daya pendukung pelaksanaan kebijakan
Posbindu Usila. Sumber daya yang dipersiapkan kelompok sasaran yaitu sumber
daya manusia ,sumber daya financial dan sarana dan prasarana pendukung
pelaksanaa Posbindu Usila.
Kebijakan Pos Pembinaan Terpadu Usila lanjut (Posbindu Usila)
merupakan bentuk Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) yang
dilaksanakan oleh, dari dan untuk masyarakat itu sendiri. Maka dari itu kelompok
sasaran bukan hanya menjadi objek kebijakan, tetapi juga sebagai subjek
kebijakan. Dengan demikian kelompok sasaran memiliki sumber daya manusia
sebagai perwakilan dari kelompok sasaran yang turut melaksanakan kebijakan
Posbindu Usila yang disebut sebagai kader Posbindu Usila. Berdasarkan pedoman
pelaksanaan Posyandu Lansia, tenaga yang dibutuhkan dalam pelaksanaan
Posbindu Usila sebaiknya 8 (delapan) orang, namun bisa kurang dengan
112
konsekuensi bekerja rangkap. Berikut adalah kepengurusan yang dianjurkan
beserta struktur organisasinya:
Gambar 4.3.2.1 Struktur Organsiasi Posbindu Usila
Tenaga pelaksana Posbindu Usila sebanyak 8 (orang) tersebut terdiri dari:
1. Ketua
2. Sekretaris
3. Bendahara
4. Kader sekitar 5 (lima) orang:
a. Meja 1 tempat pendaftaran
b. Meja 2 tempat penimbangan dan pencatatan berat badan, pengukuran dan
pencatatan tinggi badan serta penghitungan indeks massa tubuh (IMT)
c. Meja 3 tempat melakukan kegiatan Pemeriksaan dan pengobatan
sederhana (tekanan darah, gula darah, Hb dan pemberian vitamin, dan
lain-lain)
d. Meja 4 tempat melakukan kegiatan konseling (kesehatan, gizi dan
kesejahteraan)
113
e. Meja 5 tempat memberikan informasi dan melakukan kegiatan sosial
(pemberian makan tambahan, bantuan modal, pendampingan, dan lain-
lain sesuai kebutuhan)
Berdasarkan hasil temuan di lapangan, jumlah pelaksana Posbindu Usila
kelima Posbindu di wilayah kerja Puskesmas Singandaru tidak berjumlah 8
(delapan) orang, seperti yang terjadi di Posbindu Manggis, I1-4 mengungkapkan
bahwa:
“Ada kader yang mengurusi Posbindu. Jumlah kader di sini ada lima yang
terdiri dari perwakilan masing-masing RT. Struktur kepengurusannya ada
ketua, sekretaris, bendahara, dua anggota.”
Jumlah kader yang tidak mengikuti pedoman Posyandu Lansia juga terjadi di
Posbindu Melati, I1-3 mengungkapkan bahwa:
“Kadernya cuma ada dua orang saja, itu pun cukup karena kader cuma di
bagian pendaftaran dan penimbangan saja.Saya yang komunikasi dengan
Bu Tatu membicarakan jadwal pelaksanaan Posbindu lalu beritahu kader
lainnya, saya juga bagian pendaftaran.”
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan I1-4 dan I1-3 terkait kader
Posbindu Usila, dapat diketahui bahwa penentuan kader Posbindu Usila di kedua
Posbindu tersebut tidak mengikuti jumlah kader yang disarankan dalam pedoman
pelaksanaan Posyandu Lansia yaitu sebanyak 8 (delapan) orang, melainkan hanya
berjumlah 5 (lima) orang yang terdiri dari ketua, sekretaris, bendahara, dan 2
(dua) kader atau bahkan hanya 2 (orang) saja. Jumlah kader yang sedikit ini
memberikan konsekuensi kader berkerja rangkap seperti berkomunikasi dengan
pelaksana bidang bina kesehatan masyarakat bagian lanjut usia Puskesmas
Singandaru yang merupakan salah satu tugas seorang ketua kader yaitu
114
bertanggung jawab terhadap kerjasama dengan semua stake holder juga bertugas
di bagian pendaftaran dan penimbangan berat badan Lansia saat pelaksanaan
Posbindu Usila. Terkait struktur kepengurusan Posbindu Usila I2 menanggapi
bahwa:
“Jumlah kader minimal ada lima orang. Lima orang itu terbagi menjadi
ketua, sekretaris,bendahara sisanya anggota. Tapi penentuan jumlah kader
terserah dari masyarakat jadi bisa kurang bisa juga lebih.”
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan I2 selaku pelaksana bidang
bina kesehatan masyarakat bagian lanjut usia dalam menanggapi penetapan
struktur pengurus Posbindu, diketahui bahwa Puskesmas Singandaru memberikan
standar minimal jumlah pengurus Posbindu sebanyak 5 (lima) orang, akan tetapi
kurang atau lebihnya dari jumlah minimal tersebut merupakan keputusan dari
kelompok sasaran. Maka dari itu kelompok sasaran diberikan wewenang dalam
menentukan struktur kepengurusan Posbindu yang tentunya didasarkan atas
kondisi yang ada di masyarakat. Berdasarkan hasil observasi peneliti masing-
masing Posbindu Usila di wiliayah kerja Puskesmas Singandaru yaitu Posbindu
Manggis dan Posbindu Sirsak memiliki 5 (lima) kader, Posbindu Melati dan
PEPABRI memilikii 2 (dua), Posbindu Teratai memiliki 4 (empat) kader.
Berdasarkan hasil temuan di lapangan, kader Posbindu merangkap
menjadi kader Posyandu Balita. Hal ini terjadi di tiga Posbindu yaitu Posbindu
Manggis, Sirsak dan Teratai, seperti yang diungkapkan oleh I1-4:
“Kader Posbindu dan Posyandu itu sama saja orangnya. Tidak ada
kesulitan dalam pelaksanaannya karena tugas kader hanya menimbang
berat badan dan catat lansia yang hadir saja. Lansia yang datang juga tidak
sekaligus banyak tapi satu persatu. Tidak ada pembagian tugas seperti
sekretaris harus mencatat, siapa saja yang bisa, biasanya saya juga
115
membantu mencatat nama Lansia. Kalau bagian keuangan ada bendahara
yang mengurus”
Penggabungan kader Posbindu Usila dengan Posyandu Balita juga terjadi di
Posbindu Sirsak, I1-1 mengungkapkan bahwa:
“Walaupun kader Posbindu digabung dengan kader Posyandu, saat kerja
kita saling membagi tugas. Ada yang di bagian Lansia, ada yang di bagian
Balita. Kader di bagian Lansia juga hanya bagian penimbangan berat
badan dan pencatatan nama saja. Ada PMT kadang biskuit atau bubur
kacang untuk Balita. Jadi bagian pencatatan bukan sekretaris saja, kadang
dibantu kader lainnya juga.”
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan I1-4 dan I1-1 terkait
penggabungan kader Posbindu Usila dan kader Posyandu Balita, dapat diketahui
bahwa penggabungan antara kedua kader tersebut tidak menjadi suatu kesulitan
bagi kader karena saat pelaksanaannya kader membagi tugas untuk melayani
Lansia dan Balita. Selain itu saat pelaksanaan Posbindu Usila kader hanya
melakukan tugas manulis daftar Lansia yang hadir dan melakukan penimbangan
berat badan lansia lalu hasilnya dicatat kedalam buku laporan hasil kegiatan
Posbindu yang dimiliki kader. Penggabungan kader Posbindu Usila dengan
Posyandu Balita merupakan suatu inisiatif kelompok sasaran dalam menyesuaikan
kondisi yang ada saat pelaksanaan kedua kebijakan tersebut, di mana Posbindu
dan Posyandu Balita dilaksanakan dalam waktu yang sama dan tugas yang
dilakukan kader hanya pada pendaftaran dan penimbangan berat badan Lansia,
sehingga seluruh kader mendapatkan tugas ketika Posbindu Usila dan Posyandu
Balita dilaksanakan.
116
Berdasarkan hasil observasi peneliti, kader Posbindu yang melayani lansia
hanya 2 (dua) orang saja di bagian meja 1 bagian pendaftaran, meja 2 bagian
penimbangan berat badan Lansia yang kemudian kedua meja tersebut digabung
menjadi satu meja. Sedangkan kader ada 3 orang apabila ditambah dengan
Pemberian makanan Tambahan (PMT) di meja 5. Jumlah kader yang hanya 2
sampai 3 orang untuk Posbindu berpengaruh terhadap tidak adanya kader yang
membantu tenaga kesehatan dalam menulis nama, umur, berat badan, tekanan
darah, hasil pemeriksaan darah dan resep obat Lansia untuk laporan hasil
pelaksanaan Posbindu yang dimiliki oleh tenaga kesehatan tersebut. Tenaga
kesehatan yang ada di Posbindu Usila adalah pelaksana bidang bina kesehatan
masyarakat bagian lanjut usia Puskesmas Singandaru.
Berdasarkan observasi peneliti, jumlah tenaga kesehatan di Posbindu
hanya ada satu orang saja, sehingga dalam memberikan seluruh pelayanan
kesehatan yang ada di meja 3 dan 4 seperti pemeriksaan tekanan darah,
pemeriksaan darah untuk mengetahui tinggi rendahya kolesterol, gula darah dan
asam urat, konsultasi kesehatan dan pemberian resep obat termasuk menulis
nama, umur, berat badan, hasil pemeriksaan dan resep obat Lansia yang dapat
dibantu oleh kader dilakukannya sendiri. Dalam menanggapi hal ini, I2
mengungkapkan bahwa:
“Kader punya buku catatan Lansia sendiri. Saya juga punya jadi saya
mengisi sendiri. Lagi pula kader sudah cukup di bagian pendaftaran dan
penimbangan.”
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan I2 terkait tanggapan
pelaksana bidang bina kesehatan masyarakat bagian lanjut usia Puskesmas
117
Singandaru, diketahui bahwa tenaga kesehatan melakukan pencatatan Lansia yang
hadir serta hasil pemeriksaan sendiri karena rasa tanggung jawab dalam
melakukan tugas sebagai pelaksana bidang bina kesehatan masyarakat bagian
lanjut usia dan tidak ada ketersediaan kader yang membantu, maka dari itu beliau
melakukannya sendiri tanpa bantuan dari kader Posbindu. Kurangnya tenaga
kesehatan di Posbindu Usila seharusnya didukung dengan jumlah kader Posbindu
yang cukup misalkan tersedia 3 (tiga) kader, satu orang di bagian pendaftaran,
satu orang di bagian penimbangan berat badan, dan satu orang membantu tenaga
kesehatan dalam hal pencatatan. Dengan demikian adanya kerjasama yang baik
antara kader dan tenaga kesehatan sehingga pekerjaan tenaga kesehatan pun
menjadi ringan.
Sumber daya manusia tidak hanya terkait dengan penyediaan jumlah
tenaga yang cukup tetapi juga pengetahuan yang dimiliki manusia itu dalam
melakukan tugasnya. Dalam pedoman pelaksanaan Posyandu Lansia, pada meja 2
selain dilakukan penimbangan berat badan Lansia juga dilakukan pengukuran
tinggi badan dan Indeks Massa Tubuh (IMT) Lansia. Namun berdasarkan hasil
observasi peneliti saat pelaksanaan Posbindu Usila, pengukuran tinggi badan dan
IMT tidak dilakukan di semua Posbindu Usila di wilayah kerja Puskesmas
Singandaru, salah satunya di Posbindu Melati, I1-3 mengungkapkan bahwa bahwa:
“Pernah diajarkan cara menghitung Indeks Massa Tubuh (IMT), tapi
karena tidak pernah digunakan jadi lupa caranya. Tinggi badan lansia tidak
dihitung karena yang penting adalah tensi darah dan berat badan. Lansia
sudah berumur maka sudah tidak akan bertambah lagi tinggi badannya.”
118
Terkait tidak adanya perhitungan Indeks Massa Tubuh (IMT) Lansia di Posbindu
juga terjadi di Posbindu Sirsak, I1-1 mengungkapkan bahwa:
“Tidak tahu IMT karena belum pernah diajarkan cara menghitung IMT.
Tidak ada pengukuran tinggi badan, alatnya ada tetapi tidak dilakukan
karena angka tinggi badan tidak terlalu dibutuhkan seperti berat badan
yang dibutuhkan lansia.”
Berdasarkan hasil wawancara penelitli dengan I1-3 terkait pengukuran
tinggi badan dan IMT yang tidak dilakukan, dapat diketahui bahwa angka tinggi
badan Lansia tidak diperlukan bagi Lansia sedangkan pengajaran terkait
perhitungan IMT belum menyeluruh kesemua kader Posbindu Usila, meskipun
kader sudah mendapatkan pengajaran tersebut, tetapi tidak pernah diterapkan saat
Posbindu sehingga kader menjadi tidak ingat dengan cara perhitungannya. Kader
tidak melakukan pengukuran tinggi badan dan IMT sebenarnya karena kader tidak
memahami kegunaan hasil pengukuran tinggi badan dan manfaat dari hasil IMT.
Indeks Massa Tubuh (IMT) digunakan untuk mengukur ideal atau
tidaknya berat badan, dan merupakan cara pengukuran yang baik untuk menilai
risiko penyakit yang dapat terjadi akibat berat badan berlebih. Hasil pengukuran
tinggi badan ada hubungannya dengan perhitungan IMT karena untuk mengetahui
IMT Lansia melalui perhitungan pembagian berat badan dalam kilogram dengan
kuadrat tinggi badan dalam meter. Apabila pengukuran tinggi badan tidak
diketahui maka perhitungan IMT tidak dapat dilakukan. Menanggapi hal ini, I2
mengungkapkan bahwa:
“Pengukuran tinggi badan jarang dilakukan karena di Posbindu yang biasa
dilakukan adalah penimbangan berat badan, tensi darah, pemeriksaan
darah. Itu pemeriksaan rutin yang dibutuhkan lansia. IMT sebaiknya
119
dilakukan untuk mengetahui gizi lansia, akan tetapi kader tidak bisa
menghitung IMT dan tenaga kesehatan kurang, serta yang dibutuhkan
lansia adanya pemeriksaan penyakit kolesterol, gula darah, asam urat dan
tensi darah untuk mengetahui menderita darah rendah atau darah tinggi,
bukan IMT, maka tidak ada IMT.”
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan I2 dalam menanggapi
pengukuran tinggi badan dan IMT yang tidak dilakukan, dapat diketahui bahwa
meskipun pelayanan yang diberikan pada Lansia sudah ditentukan dalam
pedoman pelaksanaan Posyandu Lansia, tetapi pelaksana bina masyarakat Lansia
Puskesmas Singandaru mengikuti apa yang dibutuhkan kelompok sasaran.
Dengan tidak adanya perhitungan IMT maka status gizi Lansia pun tidak dapat
diketahui sehingga risiko menderita gizi buruk ataupun terkena penyakit akibat
kegemukan yaitu penyakit jantung dan diabetes pun tidak dapat dihindarkan.
Dalam kebijakan Posbindu Usila, kelompok sasaran menjadi subjek
kebijakan sehingga kelompok sasaran diberi wewenang dalam menyediakan
sumber daya financial (keuangan). Sumber daya financial (keuangan) yang
terkumpul disebut dengan kas Posbindu. Kader Posbindu memiliki inisiatif dalam
melakukan upaya mengadakan kas Posbindu yang dibantu oleh Lansia, seperti
yang diungkapkan oleh I1-1:
“Dana yang terkumpul dari kenclengan. besaran uang kenclengan yang
dikasih Lansia secara sukarela ada yang memberi Rp. 500,- atau Rp.
1.000,- seikhlasnya.”
Upaya mengumpulkan kas Posbindu dengan bantuan sasaran juga dilakukan oleh
kader Posbindu Melati, I1-3 mengungkapkan bahwa:
“Kas Posbindu ada dari hasil kenclengan dari Lansia ada yang memberi
Rp. 1.000,- ada juga yang memberi Rp. 2.000,- seikhlasnya dari Lansia.”
120
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan I1-1 dan I1-3 terkait upaya
kader dalam menyediakan sumber daya financial (keuangan) atau kas Posbindu,
dapat diketahui bahwa Lansia yang mengikuti Posbindu Usila memberikan
bantuan dalam bentuk uang untuk pelaksanaan Posbindu Usila. Bantuan uang atau
sumbangan tersebut dinamakan kenclengan. Nominal uang kenclengan yang
diberikan sasaran tidak ditentukan, tetapi berdasarkan atas kemauan dari sasaran.
Adanya uang kenclengenan memperlihatkan bahwa adanya kerjasama dari seluruh
sasaran yang tergabung dalam kebijakan Posbindu Usila untuk mendukung
pelaksanaan kebijakan Posbindu Usila. Upaya kader dalam mengumpulan dana
kas Posbindu tidak hanya dari kenclengan saja, seperti yang dilakukan kader
Posbindu manggis I1-4 mengungkapkan bahwa:
“Ada kenclengan tapi hanya untuk yang ingin memberikan uang
kenclengan saja. Sumbangan dana ada dari hasil jual beras Raskin di tiap
RT. Kita mengambil sebagian dari hasil raskin itu karena di sini tidak ada
kas RW.”
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan I1-4 terkait pengumpulan
dana kas Posbindu, dapat diketahui bahwa tokoh masyarakat ikut berkontribusi
dalam bentuk dana dari hasil penjualan beras miskin. Hal ini menunjukan adanya
dukungan dari masyarakat sekitar terhadap kebijakan Posbindu Usila sehingga
masyarakat bersedia mengalokasikan sebagian hasil dari penjualan beras miskin
untuk mendukung pelaksanaan Posbindu Usila.
Berdasarkan hasil observasi peneliti dari kelima Posbindu Usila di wilayah
kerja Puskesmas Singandaru ada dua Posbindu yang tidak mengadakan uang
kenclengan yaitu Posbindu Teratai dan PEPABRI. Kader kedua Posbindu tersebut
121
memiliki insiatif lain dalam melakukan upaya menyediakan dana kas Posbindu
dengan mendapatkan bantuan dana dari alokasi dana kas lain, seperti yang
diungkapkan oleh I1-2:
“Di Posbindu sini tidak mengambil dana dari kenclengan tetapi dari kas
RW yang diambil Rp. 100.000,-. Pembagian dana Kas RW menjadi bagian
dari dana Posbindu sudah mendapatkan kesepakatan antara kader dan
RW.”
Upaya menyediakan kas Posbindu dari alokasi kas lain juga dilakukan di
Posbindu PEPABRI, I1-5 mengungkapkan bahwa:
“Penyediaan dana Posbindu ada dari kas arisan. Besaran dananya
tergantung apa yang diperlukan untuk Posbindu.”
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan I1-2 dan I1-5 terkait upaya
pengadaan dana kas Posbindu Usila, dapat diketahui bahwa sumber daya
keuangan yang dimiliki Posbindu mendapat dukungan dari kas lain seperti kas
RW dan kas arisan yang dilakukan kelompok sasaran. Hal ini menunjukan
kemampuan kelompok sasaran yang berupaya dalam menyediakan sumber daya
keuangan untuk Posbindu adalah baik, karena kader Posbindu berupaya
mengajukan permintaan bantuan dana dari kas lain. Adanya bantuan dana untuk
Posbindu Usila dari masyarakat sekitar merupakan suatu bentuk tanggapan yang
baik terhadap kebijakan Posbindu dan sebagai bentuk dukungan untuk
pelaksanaan Posbindu Usila.
Selain mendapatkan bantuan dana dari masyarakat ataupun kas lain,
Posbindu mendapatkan pemasukan dana kas Posbindu dari Puskesmas
Singandaru, seperti yang diungkapkan oleh I1-1:
122
“Saat Posbindu, Puskesmas memberikan dana hasil pemeriksaan darah,
besaran dananya tergantung dari banyaknya Lansia yang memeriksa darah.
Puskesmas juga memberikan uang insentif bergilir Rp. 250.000 untuk satu
Posbindu.”
Terkait pemasukan dana dari Puskesmas Singandaru, diungkapkan juga oleh I2:
“Biaya cek darah yang dibayar oleh Lansia sebagian dibagi untuk Kader.
Besaran biaya tersebut untuk satu Lansia yang membayar cek darah, kader
mendapat Rp. 2000,-. Sedangkan insentif diberikan secara bergilir besaran
nominalnya Rp. 250.000,- dari Dinas Kesehatan. Insentif tersebut bukan
khusus untuk Posbindu tetapi juga untuk Posyandu Balita.”
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan I1-1 dan I2 terkait pemasukan
dana kas Posbindu dari Puskesmas Singandaru, dapat diketahui bahwa uang
insentif yang berasal dari Dinas kesehatan Kota Serang diberikan bukan hanya
untuk Posbindu Usila tetapi juga Posyandu Balita karena adanya penggabungan
antara kas Posbindu Usila dan Posyandu Balita, sedangkan Puskesmas Singandaru
memberikan dukungan dana yang berasal dari bagi hasil biaya pemeriksaan yang
dipungut dari Lansia yang kemudian diberikan kepada kader setelah Posbindu
Usila selesai dilaksanakan. Meskipun kebijakan Posbindu Usila dilaksanakan dari
masyarakat dalam arti segala sumber daya disediakan dari kelompok sasaran atas
insiatif kelompok sasaran, pemerintah tetap mendukung kelompok sasaran dalam
bentuk dana. Dana yang telah terkumpul diatur penggunaannya oleh kelompok
sasaran untuk keperluan kelompok sasaran yang berkenaan dengan Posbindu
Usila, seperti yang diungkapkan oleh I1-2:
“Kas posbindu digunakan untuk PMT (Pemberian Makanan Tambahan)
seperti kemarin kader membuat bubur kacang hijau dan menyediakan air
mineral untuk Lansia dan tenaga kesehatan.”
123
Dana kas Posbindu dialokasi untuk PMT juga dilakukan di Posbindu Sirsak, I1-1
mengungkapkan:
“Dana Posbindu digunakan untuk PMT (Pemberian Makanan Tambahan),
biaya transportasi kader ke Puskesmas saat mengahadiri pertemuan rutin
di setiap bulannya, digunakan juga untuk menjenguk warga yang sakit,
atau bahkan sebagian ingin dibagi-bagikan untuk upah kader atau
dibelikan perlengkapan Posbindu seperti buku catatan dan alat tullis.”
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan I1-2 dan I1-1 terkait
penggunaan dana kas Posbindu, dapat diketahui bahwa dana kas Posbindu
digunakan untuk keperluan yang berkaitan dengan Posbindu Usila seperti
pengadaan PMT, upah kader, perlengkapan yang dibutuhkan Posbindu Usila, juga
digunakan untuk keperluan sosial seperti menjenguk warga yang sakit. Dalam hal
ini dapat diketahui bahwa kader Posbindu telah mengatur pengalokasian dana kas
Posbindu dengan baik karena mereka memanfaatkan dana kas Posbindu tersebut
untuk keperluan Posbindu demi kebijakan Posbindu yang terlaksana dengan baik.
Dana kas tersebut juga digunakan untuk biaya kader mengahadiri pertemuan rutin
di Puskesmas sehingga kader terus mendapatkan bimbingan dari Puskesmas
Singandaru yang membuat wawasan kader terkait kesehatan masyarakat pun
bertambah. Selain itu dana kas Posbindu digunakan untuk menjenguk warga yang
sakit merupakan rasa sosial kelompok sasaran yang baik, dan hal itu sebagai
bentuk empati serta dapat mengeratkan hubungan antara warga.
Selain sumber daya keuangan, dalam pelaksanaan kebijakan Posbindu
Usila perlu adanya sarana prasaran pendukung yang tercantum dalam pedoman
pengelolaan kegiatan kesehatan di kelompok usia lanjut, yaitu:
1. Tempat Kegiatan.
124
2. Meja dan kursi.
3. Buku pencatatan kegiatan.
4. Kit Lansia, yang berisi: timbangan dewasa, meteran pengukur tinggi badan,
stetoskop, tensimeter, dan peralatan laboratorium sederhana.
5. Kartu Menuju sehat.
Kebijakan Posbindu dilaksanakan oleh, dari dan untuk masyarakat, maka
sudah seharusnya masyarakat mampu mengarahkan segala sumber daya yang
diperlukan untuk menyediakan sarana prasarana posbindu usila. kelompok sasaran
telah menyediakan beberapa sarana prasarana Posbindu, seperti yang diungkapkan
oleh I1-2:
“Gedung Posbindu, meja dan kursi sudah ada dari hasil swadaya
masyarakat. timbangan kita dapatkan dari bantuan koperasi.”
sarana yang dihasilkan dari swadaya masyarakat juga sama seperti yang
diungkapkan oleh I1-1:
“Gedung Posbindu, meja dan kursi sudah ada. Timbangan, meteran, dan
KMS (Kartu Menuju Sehat) adalah bantuan dari Puskesmas. Kemarin kita
dapat papan nama posbindu dari Kelurahan.”
Selain dari hasil swadaya masyarakat, kelompok sasaran pun mendapat bantuan
perlengakapan dari pihak lain seperti Puskesmas Singandaru dan Kelurahan, hal
ini juga diungkapkan oleh I1-4:
“Sarana dan prasarana sudah lengkap. Gedung kita dapatkan dari tanah
yang diwakafkan. KMS (Kartu Menuju Sehat) dari Puskesmas, timbangan
dari Ibu Bidan, sedangkan Meja kami dapatkan dari Pak Lurah. Saat itu
ada rapat kader di kelurahan lalu saya mengajukan bantuan pengadaan
meja.”
125
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan I1-2, I1-1 dan I1-4 terkait
pengadaan fasilitas posbindu Usila, dapat diketahui bahwa dalam pengadaan
sarana prasara selain dari hasil swadaya, kelompok sasaran pun mendapatkan
bantuan dari Puskesmas, kelurahan dan koperasi. Berdasarkan hasil observasi
peneliti, gedung yang digunakan untuk Posbindu Usila digunakan pula untuk
pelaksanaan Posyandu Balita. Hal ini meperlihatkan bahwa kelompok sasaran
telah mampu mengarahkan masyarakat untuk bersama-sama mendirikan tempat
Posbindu, hal ini sebagai bentuk antusias masyarakat dalam mendukung adanya
Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat yang terwujud dalam pelaksanaan
Posbindu Usila dan Posyandu Balita. Bantuan sarana dan prasarana dari
Puskesmas ditanggapi oleh I2:
“KMS (Kartu Menuju Sehat) dari Dinas Kesehatan Kota Serang yang
diberikan melalui Puskesmas, sedangkan fasilitas yang disebut dengan Kit
Lansia dan tenaga kesehatan sudah disiapkan dari Puskesmas. Tetapi
untuk meja, kursi, gedung, buku catatan berasal dari hasil swadaya
masyarakat.”
Peralatan medis yang disebut dengan Kit Lansia disediakan oleh pemerintah juga
diungkapkan oleh I3:
“Sarana prasarana penyediaan alat kesehatan seperti Kit Lansia itu berasal
dari Dinas Kesehatan Kota Serang”
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan I2 dan I3 terkait bentuan
sarana dan prasarana Posbindu Usila, dapat diketahui bahwa bantuan sarana dan
prasarana Posbindu yang disediakan bukan dari hasil swadaya masyarakat
merupakan perlengakapan yang berkaitan dengan seperangkat alat kesehatan
seperti Kit Lansia dan KMS (Kartu Menuju Sehat). Kit Lansia merupakan
126
seperangkat alat kesehatan yang berisi timbangan dewasa, meteran pengukuran
tinggi badan, stetoskop, tensimeter, peralatan laboratorium sederhana. Dalam hal
penyediaan sarana dan prasarana Posbindu, pemerintah tidak memberatkan
kelompok sasaran sehingga kelompok sasaran hanya berupaya dalam
menyediakan sarana dan prasarana yang sekiranya mampu disediakan oleh
mereka, sedangkan prasarana terkait peralatan medis dibantu oleh pemerintah
yang berkecimpung di bidang kesehatan.
Berdasarkan pemaparan data-data hasil wawancara peneliti dengan
informan yang berkenaan dengan aspek Target Group (kelompok sasaran), dapat
disimpulkan bahwa kelompok sasaran mampu menjadi bagian dari stakeholder
dalam kebijakan Posbindu dengan menyediakan sumber daya financial
(keuangan) dan sarana dan prasarana yang dihasilkan dari swadaya masyarakat.
Dinas Kesehatan Kota Serang dan Puskesmas Singandaru pun turut mendukung
kelompok sasaran dalam bentuk pemberian bantuan dana serta sarana dan
prasarana kesehatan. Dalam penyediaan sumber daya manusia, kader memiliki
inisiatif untuk menggabungkan kader Posbindu Usila dengan Posyandu balita,
namun keputusan penggabungan kader ini tidak diimbangi dengan jumlah kader
yang cukup sehingga berpengaruh pada tidak adanya kader yang membantu
tenaga kesehatan yang hanya berjumlah satu orang di bagian pemeriksaan
kesehatan. Pengetahuan kader Posbindu saat melayani lansia di Posbindu hanya
sebatas pada pencatatan Lansia yang hadir dan penimbangan berat badan saja,
sedangkan perhitungan IMT dan pengukuran tinggi badan merupakan kesulitan
127
bagi kader dan kader pun mengetahui kegunaan dari hasil IMT dan pengukuran
tinggi badan Lansia.
4.3.3 Implementing Organitation (Organisasi Pelaksana)
Aspek implementing organization (organisasi pelaksana) berkenaan
dengan peran dan kinerja organisasi yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan
kebijakan. Organisasi yang terlibat dalam pelaksanaan kebijakan Pos Pembinaan
Terpadu Usia Lanjut (Posbindu Usila) di wilayah kerja Puskesmas Singandaru
yaitu Dinas Kesehatan Kota Serang, Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD)
Puskesmas Singandaru dan Organisasi Pos Pembinaan Terpadu Usia Lanjut
(Posbindu Usila).
Kebijakan Pos Pembinaan Terpadu Usia Lanjut (Posbindu Usila)
marupakan kebijakan yang terbentuk dalam Upaya Kesehatan Bersumberdaya
Masyarakat (UKBM) di mana kebijakan tersebut dilaksanakan oleh, dari dan
untuk masyarakat itu sendiri sehingga kelompok sasaran memiliki peran dalam
pelaksanaannya, seperti yang diungkapkan oleh I2:
“Peran Kader sebagai pelaksana Posbindu karena Posbindu itu dibentuk
oleh masyarakat di lingkungan masyarakat. Masyarakat yang menyiapkan
tempatnya, memobilisasi Lansia agar datang ke Posbindu dan ikut
melayani lansia pada pencatatan nama Lansia yang datang dan menimbang
berat badan Lansia.”
Kelompok sasaran memilki wewenang dalam pelaksanaan kebijakan Posbindu
Usila juga sama seperti ungkapan yang disampaikan oleh I3:
“Posyandu itu UKBM (Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat) jadi
dari masyarakat, oleh masyarakat, untuk masyarakat. Seyogyanya
masyarakat yang membentuk, kita yang membina.”
128
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan I2 dan I3 terkait peran
kelompok sasaran dalam kebijakan Posbindu Usila, dapat diketahui bahwa
masyarakat yang tergabung dalam kelolmpok sasaran kebijakan memiliki
wewenang dalam pelaksanaan kebijakan Posbindu, di mana kelompok sasaran
yang membentuk Posbindu di lingkungan masyarakat turut serta melaksanakan
Posbindu dan memobilisasi, menyiapkan tempat serta melayani Lansia saat
pelaksanaan Posbindu.
Dalam kebijakan Posbindu Usila, kelompok sasaran tidak hanya menjadi
objek kebijakan melain juga sebagai subjek kebijakan, maka dari itu kelompok
sasaran menjadi bagian dari pemangku kebijakan yang turut melaksanakan
kebijakan tersebut. Maka dari itu kader Posbindu Usila memiliki tugas dalam
pelaksanaan Posbindu Usila yang tercantum dalam pedoman pelaksanaan
Posyandu Lansia, tugas tersebut antara lain:
1. Memobilisasi sasaran pada hari pelayanan Posyandu.
2. Mempersiapkan sarana dan prasarana yang diperlukan pada kegiatan
posyandu.
3. Melakukan pendaftaran sasaran pada pelayanan posyandu lanjut usia.
4. Melaksanakan kegiatan penimbangan berat badan dan pengukuran tinggi
badan para lanjut usia dan mencatatnya dalam KMS atau buku pencatatan
lainnya.
5. Membantu tenaga dalam pelaksanaan pemeriksaan kesehatan dan pelayanan
lainnya.
129
6. Melakukan penyuluhan (kesehatan, gizi, sosial, agama dan karya) sesuai
dengan minatnya.
Kader Posbindu yang merupakan bagian dari kelompok sasaran
melakukan tugas-tugas tersebut sebelum dan saat pelaksanaan Posbindu Usila.
Kader Posbindu Usila memiliki peran sebagai pelaksana kebijakan Posbindu,
maka dari itu kader memiliki tanggung jawab dalam melakukan tugasnya.
Tanggung jawab kader yang baik tercermin dari kinerja kader. Terkait dengan
kinerja kader I2 mengungkapkan bahwa:
“Kinerja kader baik. Sebelum mulai Posbindu, kader sudah
mempersiapkan Posbindunya. Kader mempunyai buku sendiri untuk
mencatat Lansia yang datang. Pelayanan yang diberikan oleh kader sudah
baik, kader mencatat nama lansia yang datang dan menimbang berat badan
Lansia. Hasil penimbangan berat badan Lansia di catat dibuku itu.”
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan I2 terkait kinerja kader
Posbindu, dapat diketahui bahwa kader melakukan tugas pada memobilisasi
Lansia, mempersiapkan sarana dan prasarana, pendaftaran dan penimbangan berat
badan Lansia dengan baik. Sedangkan tugas lain seperti pelayanan kesehatan dan
penyuluhan menurut observasi peneliti dilakukan oleh tenaga kesehatan karena
tugas tersebut membutuhkan tenaga ahli di bidang kesehatan. Sebelum
pelaksanaan Posbindu dimulai, kader memobilisasi sasaran terlebih dahulu agar
sasaran datang mengikuti Posbindu. Dalam melakukan tugas memobilisasi
sasaran saat hari pelayanan Posbindu Usila, kader Posbindu melakukan berbagai
upaya, seperti yang diungkapkan oleh oleh I1-2:
“Cara mengajak lansia untuk datang ke Posbindu informasi Posbindu
diumumkan melalui speaker Masjid. Warga diberitahu akan ada Posbindu
130
hari ini dimulai pukul berapa, akan ada dokter yang memeriksa kesehatan
dan apabila ada penyuluhan kami beritahu ke warga.”
Kader Posbindu memberikan pengumuman adanya Posbindu Usila melalui
speaker masjid juga dilakukan di Posbindu Manggis, I1-4 mengungkapkan bahwa:
“Saya umumkan di speaker Masjid dua kali, sekali di Masjid, sekali lagi di
Masjid majelis taqlim agar informasinya terdengar ke seluruh masyarakat
di RW sini.”
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan I1-2 dan I1-4 terkait upaya
kader Posbindu dalam memobilisisi sasaran, dapat diketahui bahwa
mengumumkan adanya Posbindu Usila kepada masyarakat melalui pengeras suara
di masjid merupakan upaya yang lazim dilakukan oleh kader Posbindu Usila.
Informasi waktu dan tempat pelaksanaan Posbindu adalah informasi yang
diberikan kepada masyarakat. Memobilisasi warga lansia agar hadir di
pelaksanaan Posbindu usila dilakukan dengan cara menginformasikan jadwal
pelaksanaan Posbindu melalui pengeras suara di Masjid memang merupakan cara
yang efektif dan efisien. Dikatakan efektif karena informasi tersebut tersampaikan
secara langsung ke seluruh warga sekitar, sedangkan dikatakan efisien karena cara
menginformasikan lewat pengeras suara di Masjid dapat menghemat biaya dan
tidak memerlukan waktu yang lama untuk menyampaikan informasi pelaksanaan
Posbindu Usila. Selain dengan mengumumkannya melalui pengeras suara di
masjid, kader Posbindu memiliki upaya lain dalam memobiliasi sasaran, seperti
yang diungkapkan oleh oleh I1-1:
131
“Diumumkan lewat speaker Masjid, sebelum adanya Posbindu di sini ada
kegiatan pengajian ibu-ibu, jadi ibu-ibu yang hadir di pengajian setelah
selesai mengaji mereka datang ke posbindu.”
Kader memobilisasi sasaran dengan cara mengadakan kegiatan Lansia sebelum
pelaksanaan Posbindu juga dilakukan di Posbindu PEPABRI, I1-5 mengungkapkan
bahwa:
“Di sini memang sudah ada kegiatan organisasi pada tanggal 4 dan
bertepatan dengan jadwal Posbindu. Kegiatannya yaitu pengajian dan
arisan.”
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan I1-1 dan I1-5 terkait upaya
lain dalam memobilisasi sasaran, dapat diketahui bahwa selain meinformasikan
melalui pengeras suara di masjid, kelompok sasaran juga menempatkan jadwal
pelaskanaan Posbindu Usila setelah kegiatan pengajian dan arisan yang dilakukan
oleh kelompok sasaran. Cara memanfaatkan kegiatan rutin yang dilakukan
kelompok sasaran merupakan cara yang cermat dalam memobilisasi sasaran selain
meningkatkan partisipasi masyarakat juga memberikan aktivitas positif bagi
sasaran. Manusia usia lanjut biasanya memiliki sedikit aktivitas dan menyebabkan
mereka kurang melakukan gerak serta membuatnya lebih banyak berdiam di
rumah. Dengan adanya kegiatan rutin seperti pengajian dan arisan menjadikan
warga lansia bergerak karena disibukan dengan aktivitas kecil yang bermanfaat.
Kader Posbindu tidak hanya melakukan tugas sebelum pelaksanaan
posbindu Usila seperti memobilisasi sasaran, selain itu kader Posbindu juga
bertugas mempersiapkan tempat pelayanan Posbindu dan turur melayani Lansia
132
ketika pelaksanaan Posbindu Usila sedang berlangsung, seperti yang diungkapkan
oleh I1-3:
“Kader bersama-sama menyiapkan perlengkapan seperti meja, kursi,
timbangan, buku catatan Lansia, KMS, dan membersihkan gedung
Posbindunya. Satu orang bagian mencatat lansia yang datang, satu orang
menimbang berat badan Lansia.”
Tugas yang dilakukan kader sebelum dan saat Pelaksanaan Posbindu yang
diungkapkan oleh I1-3 juga sama seperti yang dilakukan I1-1 yang mengungkapkan
bahwa:
“Kader mengumumkan lalu membersihkan tempat Posbindu bersama-
sama dan mempersiapkan meja, kursi, dan timbangan. Saat Posbindu tugas
kader pertama saya catat nama, umur, jenis kelamin, dan berat badan di
buku catatan lalu ditimbang di meja situ juga oleh kader lain, lalu saya
berikan KMS Lansianya ke ibu bidan dan Lansia duduk menunggu
dipanggil oleh ibu bidan, setelah dipanggil Lansia datang ke meja ibu
bidan untuk periksa kesehatan.”
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan I1-3 dan I1-1 terkait tugas
yang dilakukan kader Posbindu Usila, dapat diketahui bahwa kader Posbindu
telah melakukan tugasnya sebelum pelaksanaan Posbindu yaitu memobilisasi
sasaran dan menyiapkan sarana dan prasaran Posbindu, serta tugas saat
pelaksanaan posbindu yaitu melakukan pendaftaran dan penimbangan berat badan
Lansia. Hal ini menunjukan bahwa kader telah bertanggung jawab dalam
melaksanakan tugasnya dan tugas ini telah dipahami oleh kader sehingga kader
melakukannya tanpa perlu diperintahkan kembali oleh pelaksana bidang bina
kesehatan masyarakat bagian lanjut usia. Berdasarkan hasil observasi peneliti saat
pelaksanaan Posbindu, kader memang melakukan pendaftaran Lansia dan
133
menimbang berat badan, tetapi kader tidak mengatur antrian Lansia sehingga yang
peneliti lihat Lansia menunggu di meja pemeriksaan kesehatan, hal ini terjadi di
Posbindu Teratai dan PEPABRI, seperti yang diungkapkan oleh I1-2:
“Kader duduk di meja 1 menimbang berat badan Lansia dan mencatatat
nama, umur dan berat badan Lansia di buku dan kertas kecil, lalu kertas
kecil itu diberikan ke Ibu Tatu, setelah itu Lansia diserahkan ke meja Ibu
Tatu untuk periksa tensi darah dan periksa darah.”
Kader Posbindu tidak mengatur antrian Lansia karena setelah melakukan
pendaftaran dan penimbangan segera diarahkan langsung ke meja pemeriksaan
juga terjadi di Posbindu PEPABRI, I1-5 mengungkapkan bahwa:
“Saya bagian pendaftaran dan penimbangan, setelah itu lansia langsung ke
meja Ibu Tatu untuk periksa kesehatan.”
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan I1-2 dan I1-5 dapat diketahui
bahwa tidak adanya pemanggilan nama Lansia secara berurutan yang dilakukan
kader sehingga Lansia yang telah mendaftar dan menimbang berat badan langsung
ke meja berikutnya untuk memeriksa kesehatan, konsultasi kesehatan dan
mendapatkan resep obat. Hal ini teradi karena tidak adanya komunikasi antara
kader dan tenaga kesehatan sehingga tidak adanya kerjasama dalam mengatur
antrian Lansia, maka dari itu hal ini menyebabkan semua Lansia yang telah
melakukan pendaftaran dan penimbangan berat badan menunggu di dekat meja
pemeriksaan, dan membuat tenaga kesehatan perlu memilah Lansia untuk dilayani
berdasarkan urutan yang lebih awal duduk disekitar meja kerjanya.
Pelayanan dalam Posbindu teradapat tahapan, dimana ada tahap
pendaftaran dan tahap pemeriksaan, sebelum lansia memperoleh pelayanan di
134
tahap berikutnya lansia perlu menunggu untuk mendapatkan giliran. Dalam hal ini
komunikasi antara kader dan tenaga kesehatan diperlukan, agar tahapan pelayanan
Lansia terorganisir dengan rapih dan tertib.
Dalam pelaksanaan kebijakan Pos Pembinaan Terpadu Usia Lanjut
(Posbindu Usila), kader pun memerlukan bantuan serta kerjasama pihak lain yang
memiliki kemampuan dan pengetahuan di bidang kesehatan, salah satunya yaitu
Dinas Kesehatan Kota Serang. Dinas Kesehatan memiliki peran dalam kebijakan
ini, seperti yang diungkapkan oleh I3:
“Peran Dinas Kesehatan yaitu pertama, kita membuat program kerja
tentang Posbindu Usila. Kita tidak bisa membentuk Posbindu karena
Posbindu dibentuk oleh sasaran. Tugas kita membina saja, jadi kita
membina yang ada di Puskesmas, lalu yang di Puskesmas membina lagi
kader yang ada di Posbindu. Kedua, kita melatih kader seperti apa yang
harus dilakukan kader apabila ada Lansia yang tidak mampu pergi ke
Posbindu lalu kader memberitahu keluarga lansia bagaimana cara merawat
lansia.”
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan I3 dapat diketahui bahwa
Dinas Kesehatan Kota Serang memiliki peran dalam kebijakan Posbindu Usila
yaitu sebagai pembina pelaksana kebijakan Posbindu Usila. Pelaksana kebijakan
Posbindu Usila yaitu kelompok sasaran yang diwakilkan oleh beberapa sasaran
yang menjadi kader Posbindu Usila. Pembinaan tersebut diberikan kepada pihak
Puskesmas terutama bidang bina kesehatan masyarakat Puskesmas Singandaru,
kemudian hasil pembinaan yang diberikan oleh Dinas Kota Serang disampaikan
kembali kepada Kader Posbindu Usila. Peran Dinas Kesehatan Kota Serang
lainnya adalah membina kader dalam melakukan tindakan terhadap sasaran yang
135
tidak mampu pergi ke Posbindu Usila dan memberikan pemahaman terkait
perawatan Lansia.
Dinas Kesehatan memang perlu dilibatkan dalam kebijakan Posindu usila
karena Dinas Kesehatan diperuntukan bagi kebijakan pemerintah di bidang
kesehatan. Berdasarkan struktur organisasi Dinas Kesehatan Kota Serang, Dinas
Kesehatan Kota Serang memiliki bidang yang berwenang dalam kebijakan
Posbindu Usila yaitu bidang bina kesehatan masyarakat di mana dalam bidang
tersebut terdapat seksi gizi lanjut usia yang memiliki program lanjut usia lalu
terwujud dalam salah satu kebijakan yaitu Pos Pembinaan Terpadu Usia lanjut
(Posbindu Usila). Kinerja Dinas Kesehatan Kota Serang terkait kebijakan
Posbindu Usila, I2 mengungkapkan bahwa:
“Kinerja Dinas Kesehatan Kota Serang cukup baik, Dinas Kesehatan
memang tidak secara langsung membantu saat pelaksanaan Posbindu,
tetapi mereka memberikan pembinaan terkait kesehatan Lansia, pernah
diadakan di rumah makan S’rizki atau sesekali memberikan pembinaan
pada pertemuan rutin.”
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan I2 terkait kinerja bidang
bina kesehatan masyarakat bagian gizi Lansia Dinas Kesehatan Kota Serang,
dapat diketahui bahwa Dinas Kesehatan Kota Serang telah melakukan perannya
dengan baik yaitu dengan memberikan pembinaan terkait kesehatan lansia baik
secara langsung kepada kader atau pun dibantu oleh Puskesmas Singandaru
melalui pertemuan rutin di Puskesmas.
Dalam memberikan pembinaan kepada kader Posbindu Usila, Dinas
kesehatan Kota Serang tidak mungkin secara terus menerus memberikan
pembinaan secara langsung kepada kader Posbindu Usila, karena Dinas Kesehatan
136
tidak dapat menjangkau seluruh daerah di Kota Serang, Maka dari itu pembinan
yang diberikan Dinas kesehatan direalisasikan dengan bantuan pihak Puskesmas.
dalam hal ini, Puskesmas juga memiliki peran dalam pelaksanaan Kebijakan ini
yaitu menyampaikan hasil pembinaan yang Puskesmas dapatkan dari Dinas
Kesehatan dengan memberikan pembinaan kembali pada kader. Pembinaan ini
terwujud dalam bimbingan rutin yang dilakukan oleh bidang bina kesehatan
masyarakat Puskesmas Singandaru, seperti yang diungkapkan oleh I2:
“Di Puskesmas ada pertemuan rutin setiap sebulan sekali di minggu
pertama hari rabu. Yang datang seluruh kader Posyandu dan Posbindu di
wilayah kerja Puskesmas Singandaru. Pegawai Puskesmas yang
memberikan bimbingan biasanya bagian bina kesehatan masyarakat
pernah juga dari Dinas Kesehatan Kota Serang”
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan I2 tentang pembinaan kader,
dapat diketahui bahwa Puskesmas Singandaru mengadakan pertemuan rutin setiap
satu bulan sekali yang dilaksanakan setiap hari rabu pada minggu pertama di
bulan tersebut, yang dihadiri oleh kader Posbindu Usila dan Posyandu Balita.
Pembinaan kader diberikan oleh bidang bina kesehatan masyarakat Puskesmas
Singandaru atau secara langsung diberikan oleh bidang kesehatan masyarakat
Dinas Kesehatan Kota Serang.
Pertemuan rutin dilaksanakan guna memberikan pemahaman tentang
kesehatan Lansia kepada Kader Pobindu. Dalam pertemuan tesebut tidak ada
pengkhususan seperti hanya untuk kader Posbindu Usila saja, akan tetapi
digabung dengan Posyandu Balita. Hal ini dikarenakan mayoritas kader Posbindu
dan kader Posyandu adalah orang yang sama. Melalui pertemuan tersebut kader
137
diberikan pengetahuan sekitar kesehatan lanjut usia, seperti yang diungkapkan
oleh I1-4:
“Ada pertemuan kader di Puskesmas dilaksanakan sebulan sekali setiap
hari rabu di minggu pertama. Biasanya di sana diberi pemahaman tentang
penyakit tidak menular dan penyakit Balita karena pertemuan digabung
antara kader Posbindu Usila dan Posyandu Balita.”
Hal yang sama juga diungkapkan oleh I1-1:
“Ada pertemuan setiap sebulan sekali dan dihadiri oleh perwakilan salah
satu kader. Di Puskesmas diberi arahan tentang penyakit tidak menular, flu
burung, lebih banyak diberi tahu tentang penyakit.”
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan I1-4 dan I1-1 terkait
pembinaan yang diperoleh kader, dapat diketahui bahwa pembinaan yang
diberikan pada pertemuan rutin tersebut sebagian besar terkait penyakit terutama
penyakit yang lazim diderita Lansia dan Balita. karena ada penggabungan kader
Posbindu dan posyandu, maka pemberian wawasan terkait kesehatan Lansia
diberikan secara bergantian dalam setiap pertemuan rutin di Puskesmas
Singandaru.
Pembinaan berupa pemberian pemahaman tentang kesehatan Lansia perlu
diberikan kepada Kader Posbindu Usila, karena kader Posbindu adalah bagian
dari sasaran kebijakan Posbindu Usila yang berasal dari masyarakat sekitar.
Berbagai latar pendidikan yang dimiliki seorang kader Posbindu Usila, maka dari
itu perlu diberikan wawasan tentang penyakit yang lazim diderita oleh Lansia
yaitu penyakit tidak menular seperti Kolesterol, gula darah, asam urat dan darah
tinggi.
138
Pertemuan yang dilaksanakan di Puskesmas Singandaru sangat bermanfaat
bagi kader untuk menambah pengetahuan mereka tentang penyakit yang diderita
Lansia. Namun pemberian wawasan tentang kesehatan di Puskesmas Singandaru
tidak diikuti oleh salah satu Posbindu yaitu Posbindu PEPABRI, seperti yang
diungkapkan oleh I1-5:
“Sepertinya ada pertemuan tiap bulan. Tapi saya belum pernah ikut hadir
di pertemuan di Puskesmas karena tidak pernah ada undangan. Mungkin
karena disini adalah wadah yang mendapat dukungan kesehatan dari
Puskesmas maka informasi apapun diberitahunya secara langsung.
Penyuluhan tentang penyakit biasanya diberi oleh mahasiswa saat
Posbindu.”
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan I1-5 dapat diketahui bahwa
Puskesmas Singandaru tetap memberikan pemahaman terkait Penyakit yang lazim
diderita Lansia melalui penyuluhan yang diberikan oleh mahasiswa bidang
kesehatan di Posbindu. Dengan demikian meskipun Posbindu PEPABRI tidak
pernah menghadiri pertemuan rutin di Puskesmas Singandaru, Lansia di Posbindu
PEPABRI tetap mendapatkan pengetahuan tentang kesehatan Lansia.
Menganggapi hal ini, I2 mengungkapkan bahwa:
“PEPABRI itu organisasi yang anggotanya adalah istri TNI POLRI tidak
seperti di masyarakat yang juga ada Posyandu Balita. Sedangkan
pertemuan di Puskesmas kader Posbindu dan Posyandu digabung dan
penjelasan tentang penyakit yang diberikan tidak hanya Lansia tapi juga
Balita. Jadi biasanya melalui penyuluhan kesehatan di Posbindu untuk
menjelaskan penyakit tidak menular.”
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan I2 dalam menanggapi
masalah terkait Posbindu PEPABRI yang tidak menghadiri pertemuan rutin, dapat
diketahui bahwa di Posbindu PEPABRI tidak seperti Posbindu di lingkungan
139
masyarakat yang juga terdapat Posyandu Balita. PEPABRI adalah suatu
organisasi di mana anggotanya merupakan istri pensiunan TNI POLRI di
Kabupaten Serang. Maka bagi Posbindu PEPABRI tidak cukup efektif untuk
hadir dalam pertemuan tersebut. Menangani permasalahan ini maka Puskesmas
Singandaru memberikan wawasan tentang kesehatan melalui penyuluhan
kesehatan yang diberikan di Posbindu sebelum pelayanan Posbindu Usila dimulai.
Dengan demikian Posbindu PEPABRI tetap mendapatkan pengetahuan tentang
penyakit tidak menular.
Peran lainnya yang dimiliki Dinas Kesehatan Kota Serang yaitu
memberikan pembinaan kepada kader terkait tindakan kader terhadap sasaran
yang tidak mampu pergi ke Posbindu Usila dan memberikan pemahaman terkait
cara merawat Lansia. Tindakan yang dilakukan kader dalam menangani Lansia
yang tidak mampu datang ke posbindu adalah menghubungi pelaksana bina
kesehatan masyarakat bagian Lansia untuk mengunjungi Lansia tersebut, seperti
yang diungkapkan oleh I1-1:
“Apabila ada Lansia yang sakit lumpuh, saya diminta Ibu Tatu untuk
menghubungi beliau, agar beliau bisa mengunjungi ke rumah Lansia yang
lumpuh untuk memeriksa kesehatannya.”
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan I1-1 dapat diketahui bahwa
kader tetap menjalin kerjasama dengan tenaga kesehatan Puskesmas Singandaru
dalam menangani Lansia yang tidak mampu pergi ke Posbindu. Hal ini
dikarenakan Lansia tersebut memerlukan pelayanan kesehatan yang hanya dapat
diberikan oleh orang yang ahli di bidang kesehatan. Kader hanyalah seorang
140
perantara yang menghubungkan lansia tersebut dengan tenaga kesehatan
Puskesmas Singandaru. Hal ini juga sama seperti yang diungkapkan oleh I2:
“Kader yang memberitahu saya apabila ada Lansia yang perlu saya
kunjungi. Kunjungan dilakukan setelah Posbindu selesai. Lansia yang
dikunjungi biasanya Lansia yang sudah sulit bergerak. yang dilakukan saat
kunjungan sama seperti di Posbindu yaitu memeriksa kesehatan, konsultasi
kesehatan seperti menjelaskan asupan makanan yang dihindari serta
diberitahu kepada keluarga bagaimana merawat Lansia, dan pemberian
resep obat.”
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan I2 terkait kunjungan ke
rumah Lansia, dapat diketahui bahwa pelaksana bidang bina kesehatan
masyarakat bagian lanjut usia saling berkomunikasi dengan kader sehingga
pelaksana bidang bina kesehatan masyarakat bagian lanjut usia mengetahui
keberadaan Lansia yang memerlukan kunjungannya. Kunjungan dilakukan untuk
lansia yang memiliki keterbatasan fisik sehingga tidak mampu bergerak. Dalam
kunjungan tersebut pelaksana bidang bina kesehatan masyarakat bagian lanjut
usia memberikan pelayanan kesehatan yang sama seperti saat pelaksanaan
Posbindu Usila yaitu pemeriksaan kesehatan, konsultasi kesehatan, dan pemberian
resep obat.
Pembinaan terkait cara merawat Lansia yang sakit tidak dilakukan oleh
kader namun dilakukan oleh pelaksana bidang bina kesehatan masyarakat bagian
lanjut usia pada saat melakukan kunjungan ke rumah Lansia. Kunjungan yang
dilakukan pelaksana bidang bina kesehatan masyarakat bagian lanjut usia
merupakan hal yang bermanfaat sekali bagi Lansia yang sudah tidak mampu
bergerak. Dengan adanya kunjungan, Lansia bisa dengan mudah memperoleh
141
pelayanan kesehatan dan keluarga lansia pun dapat mengetahui secara langsung
hasil pemeriksaan kesehatan serta cara merawat Lansia dengan baik.
Dalam pelaksanaan kebijakan Posbindu Usila, sasaran diberikan pelayanan
kesehatan seperti pemeriksaan kondisi kesehatan Lansia, konsultasi kesehatan
Lansia, dan pemberian resep obat untuk Lansia. Meskipun Kelompok sasaran
berperan sebagai pelaksana kebijakan Posbindu Usila, akan tetapi terkait
pemberian pelayanan kesehatan kepada Lansia dilakukan oleh tenaga kesehatan
Puskesmas, seperti yang diungkapkan oleh I3:
“Peran Puskesmas dalam pelaksanaan Posbindu Usila sebagai pembina
kader dan pelaksana program Lansia di Puskesmas. beliau yang menjadi
tenaga kesehatan yang memegang peralatan medis, bukan kader karena
bukan ahlinya.”
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan I2 terkait dengan peran
Puskesmas Singandaru dalam pelaksanaan Posbindu Usila, dapat diketahui bahwa
Puskesmas memiliki peran sebagai pembina kader dan sebagai tenaga kesehatan
yang memberikan pelayanan kesehatan di Posbindu Usila. Pembinaan yang
diberikan Puskesmas Singandaru direalisasikan dalam bentuk bimbingan pada
pertemuan rutin yang dilaksanakan satu bulan sekali seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya. Tenaga kesehatan diperlukan saat pelaksanaan Posbindu karena
hanya tenaga kesehatan yang memiliki pengetahuan dalam menggunakan
peralatan medis dan wawasan di bidang kesehatan, seperti yang diungkapkan oleh
I2:
“Saya di bidang bina kesehatan masyarakat bagian Lanjut Usia. Peran saya
sebagai pelaksana program kesehatan usia lanjut dan tenaga kesehatan di
142
Posbindu. Tenaga kesehatan dibutuhkan di Posbindu karena hanya tenaga
kesehatan yang bisa melakukan pemeriksaan kesehatan pada Lansia. Saya
juga membuat laporan hasil kegiatan Posbindu yang diserahkan ke Dinas
Kesehatan.”
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan I2 diketahui bahwa
Puskesmas Singandaru memiliki bidang khusus untuk Posbindu Usila yaitu
bidang bina kesehatan masyarakat bagian lanjut usia karena Puskesmas
Singandaru memiliki program kesehatan usia lanjut yang terwujud dalam
kebijakan Posbindu Usila. Pelaksana bidang tersebut melakukan tugasnya sebagai
pelaksana program kesehatan lanjut usia dan tenaga kesehatan yang memberikan
pelayanan kesehatan pada Lansia di Posbindu Usila. Sebagai pelaksana program
kesehatan Lansia, bidang bina kesehatan masyrakat Lansia Puskesmas Singandaru
memiliki tanggung jawab dalam pelaksanaan program tersebut serta memiliki data
terkait hasil pelaksanaan program tersebut. Ukuran tanggung jawab terlihat dari
kinerja pelaksana program kesehatan Lansia Puskesmas Singandaru yang
diungkapkan oleh I3:
“Kinerja pelaksana Posbindu Puskesmas Singandaru cukup baik, ia
bertanggung jawab ikut melaksanakan Posbindu Usila dan rutin
memberikan laporan hasil kegiatan Posbindu tiap bulan.”
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan I3 terkait kinerja bidang bina
kesehatan masyarakat Lansia Puskesmas Singandaru, diketahui bahwa bidang
tersebut telah bertanggung jawab dalam melakukan perannya sebagai pelaksana
Posbindu Usila karena dilihat dari kinerjanya yang rutin memberikan laporan hasil
kegiatan Posbindu Usila tiap bulannya. Dalam memberikan pelayanan kesehatan
kepada Lansia bukan hanya mengenai data Lansia,tetapi tenaga kesehatan juga
143
perlu memberikan pelayanan yang baik karena yang dilayani adalah Lansia,
sehingga pelayanan yang diberikan perlu dibedakan dengan pelayanan kesehatan
yang diberikan pada yang bukan Lansia, seperti yang diungkapkan oleh I1-1:
“Kinerja cukup baik, ramah dalam memberikan pelayanan pada Lansia.
Lansia seperti bayi lagi jadi memerlukan perlakuan yang lembut, tenaga
kesehatan memberikan pelayanannya dengan sabar. Apalagi sering ada
kunjungan ke rumah untuk Lansia yang tidak bisa bangun”
Kinerja tenaga kesehatan yang baik dalam memerikan pelayanan kesehatan pada
Lansia pun diungkapkan oleh I1-2:
“Kinerjanya baik, pelayanan kesehatan yang diberikan cukup baik, hanya
saja tenaga kesehatannya sering sibuk jadi jadwal pelaksanaan Posbindu
sering mundur. Kita sudah punya jadwal Posbindu setiap tanggal 10, tetapi
sebelum posbindu kita komunikasi dahulu.”
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan I1-1 dan I1-2 terkait kinerja
tenaga kesehatan yang sekaligus sebagai pelaksana bidang bina kesehatan
masyarakat bagian lanjut usia Puskesmas Singandaru, dapat diketahui bahwa
kinerja tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan baik, namun
kinerjanya kurang baik dalam menentukan waktu pelaksanaan Posbindu Usila.
Hal ini menyebabkan tidak konsistennya jadwal pelaksanaan posbindu yang telah
ditetapkan sebelumnya. Kinerja pelaksana bidang bina kesehatan masyarakat
bagian lanjut usia Puskesmas Singandaru yang kurang baik dalam menentukan
waktu pelaksanaan Posbindu juga disampaikan oleh I1-3 yang mengungkapkan
bahwa:
“Kinerjanya baik, melayani Lansia sangat baik. yang kurang baik hanya
masalah waktu saja karena bidannya sibuk kuliah, jadwal Posbindu jadi
144
tidak beraturan. Biasanya Posbindu dilaksanakan setiap tanggal 15, namun
akhir-akhir ini jadwalnya jadi tidak beraturan. Jadi menetapkan waktunya
bicara dahulu dengan bidan di telepon dan kami mengikuti jadwal kapan
bidan bisa hadir ke posbindu.”
Terkait permasalahan kinerja pelaksana bina kesehatan masyrakat Lansia
Puskesmas Singandaru yang kurang baik dalam menentukan waktu juga
disampaikan oleh I1-4, yang mengungkapkan bahwa:
“Kinerjanya kurang, Petugasnya pernah tidak datang. Saya sudah
mengumumkan lewat speaker masjid memberitahu akan ada Posbindu,
Lansianya pun sudah datang, tapi petugasnya tidak ada, itu yang membuat
kita kecewa. Ada yang bilang petugas untuk lansianya kurang untuk kerja
yang di dalam Puskesmas, maka dari itu untuk yang kerja di luarnya tidak
ada, ibu Tatu juga kerja di dalam Puskesmas. Petugas pernah kasih dosis
obat yang tinggi pada Lansia ke tiga Lansia, akibatnya Lansia tersebut
tidak bisa bangun dari tempat tidurnya. Karena itu tiga Lansia tersebut
tidak pernah ingin datang ke Posbindu lagi.”
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan I1-3 dan I1-4 terkait kinerja
pelaksana bidang bina kesehatan masyarakat bagian lanjut usia Puskesmas
Singandaru, dapat diketahui bahwa penilaian kinerja yang kurang baik tentang
pelaksana bina kesehatan masyarkat Lansia Puskesmas Singandaru bukan hanya
pada masalah waktu tetapi juga kurang baik dalam memberikan dosis obat untuk
Lansia. Waktu pelaksanaan kebijakan Posbindu yang konsisten diperlukan agar
adanya kejelasan waktu yang akan disampaikan pada Lansia. Selain itu
pelaksanaan Posbindu pada waktu yang sama setiap bulannya menjadikan Lansia
terbiasa untuk mengikuti Posbindu.
Dalam memberikan pelayanan kesehatan terutama memberikan resep obat
untuk lansia perlu memperhatikan dosis obat yang sesuai dengan penyakit yang
diderita Lansia. kesalahan dalam pemberian dosis obat berakibat fatal bagi Lansia
145
yang mengkonsumsi obat tersebut. Kinerja yang kurang baik tentu diikuti oleh
kendala yang menghambatnya sehingga menyebabkan pelaksana bidang bina
kesehatan masyarakat bagian lanjut usia Puskesmas Singandaru tidak optimal
dalam melakukan tugasnya. Terkait kendala tersebut, I2 mengungkapkan bahwa:
“Kendalanya kurang tenaga di Puskesmas. Seharusnya ada dokter, perawat
laboratorium dan perawat satu lagi untuk bagian pemberian resep obat.
Dokter diperlukan karena seharusnya bagian pemeriksaan kesehatan itu
adalah dokter bukan perawat seperti saya. Berhubung tenaga puskesmas
pada sibuk di Puskesmas dan perawat lain sudah memilki jadwalnya
masing-masing di Puskesmas dan di Posyandu balita, jadi hanya saya yang
melayani kesehatan di Posbindu. Saya bekerja di Puskesmas dan saya juga
bekerja sambil kuliah, itu juga yang menyebabkan saya berhalangan
hadir.”
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan I2 terkait kendala yang
dialami pelaksana bidang bina kesehatan masyarakat bagian lanjut usia
Puskesmas Singandaru, dapat diketahui bahwa jumlah tenaga kesehatan yang
memberikan pelayanan kesehatan pada Lansia sangatlah kurang yakni hanya
berjumlah satu orang saja, dan itu pun tidak berkerja secara khusus untuk
Posbindu Usila saja, tetapi juga berkerja di dalam Puskesmas. Tenaga kesehatan
tersebut berprofesi sebagai perawat, sedangkan dalam pemeriksaan kesehatan dan
penentuan resep obat serta dosisnya seharusnya adalah seorang dokter, hal ini
menyebabkan kualitas tenaga kesehatan tersebut menjadi kurang baik karena
penempatan tenaga kesehatan yang tidak sesuai dengan profesi. Dalam
memberikan pelayanan kesehatan di Posbindu, tenaga kesehatan hanya ada satu
orang sedangkan idealnya adalah berjumlah 3 orang yaitu satu dokter, dan dua
perawat untuk pemeriksaan laboratorium sederhana dan pembagian resep obat.
146
Permasalahan ini pernah diajukan kepada kepala Puskesmas Singandaru, seperti
yang diungkapkan oleh I2:
“Saya sudah pernah menyampaikan kendala kekurangan SDM (Sumber
Daya Manusia) ke Kepala Puskesmas. Saya meminta untuk disediakan
tenaga kesehatan yang bisa membantu saya. Setelah itu saya disarankan
untuk pindah ke bidang keuangan. Saya tidak ingin pindah, saya ingin
tetap di bidang Lansia karena saya sudah nyaman di bidang ini.”
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan I2 dapat diketahui bahwa
permasalahan kekurangan tenaga kesehatan untuk Posbindu sudah pernah
disampaikan kepada kepala Puskesmas Singandaru, akan tetapi solusi yang
didapatkan dari kepala Puskesmas kepada pelaksana bidang bina kesehatan
masyarakat Lansia tersebut adalah pemindahan ke bidang lain yaitu bidang
keuangan di Puskesmas Singandaru. Solusi pemindahan pelaksana bidang bina
kesehatan masyarakat bagian Lansia ke bidang keuangan merupakan solusi yang
tidak berarti karena tidak dapat mengatasi permasalahan kekurangan tenaga
kesehatan di Posbindu Usila, menanggapi hal ini I5 mengungkapkan bahwa:
“Tenaga kesehatan di Puskesmas Singandaru terbatas, itu pun kita
membagi-bagi ke beberapa bagian. Hanya pada waktu tertentu saja ia
didampingi dokter jadi tidak selalu didampingi oleh dokter karena
biasanya ia sendiri dan saat pelaksanaannya juga dibantu oleh kader,
sedangkan bagian pemeriksaan kesehatan tetap dilakukan oleh Ibu Tatu.
Apabila Posbindu meminta dua atau tiga tenaga kesehatan, Puskesmas
Singandaru tidak bisa karena keterbatasan SDM juga, bahkan untuk di
Puskesmasnya saja kekurangan.”
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan I5 terkait kekurangan tenaga
kesehatan untuk Posbindu Usila dapat diketahui bahwa Puskesmas Singandaru
tidak dapat mengatasi permasalahan kekurangan tenaga kesehatan khususnya
147
dokter untuk Posbindu Usila karena Puskesmas Singandaru pun mengalami
kekurangan dokter. Dalam hal ini Puskesmas Singandaru perlu melakukan
penambahan dokter, karena yang sesungguhnya dibutuhkan agar pelaksanaan
Posbindu serta pelayanan kesehatan di Posbindu dapat diberikan secara optimal
adalah dengan menambahkan jumlah dokter, menanggapi hal ini I5
mengungkapkan bahwa:
“Perekrutan khususnya dokter untuk di Puskesmas Singandaru bukan
wewenang kita, kita hanya meminta tambahan dokter. Biasanya
perekrtutan dari Badan Kepegawaian Daerah (BKD). BKD yang merekrut
atas permintaan Dinas Kesehatan, jadi Dinas Kesehatan yang
mengusulkan ke BKD, dan BKD juga tidak terlepas dari formasi yang ada
di Pusat. Setiap awal tahun kita selalu mengajukan usulan SDM, yang
dibutuhkan tenaga apa saja yang kurang, tetapi tidak selalu dikabulkan
karena keterbatasan SDM yang ada. Sebenarnya SDM Puskesmas
Singandaru masih kurang, kita butuh dokter umum satu lagi, tapi apabila
usulan penambahan dokter ke Dinas Kesehatan tidak dikabulkan kita tidak
bisa berbuat apa-apa.”
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan I5 dapat diketahui bahwa
perekrutan dokter dilakukan oleh Badan Kepegawaian Daerah Kota Serang atas
permintaan Puskesmas Singandaru melalui usulan dari Dinas kesehatan Kota
Serang. Permintaan penambahan jumlah dokter dari Puskesmas Singandaru belum
dapat dikabulkan oleh Dinas Kesehatan Kota Serang karena terkendala oleh
terbatasnya jumlah dokter dari pemerintah. Maka dari itu Kepala Puskesmas
Singandaru tidak dapat menyediakan seorang dokter khusus untuk Posbindu
karena untuk di dalam Puskesmasnya saja mengalami kekurangan dan usulan
penambahan dokter umum pun belum dapat dikabulkan oleh Dinas Kesehatan
Kota Serang.
148
Berdasarkan pemaparan data-data hasil wawancara peneliti dengan
informan terkait dengan aspek implementing organization (organisasi pelaksana),
dapat disimpulkan bahwa organisasi atau instansi pemerintah yang terlibat dalam
kebijakan Posbindu Usila sudah tepat, di mana Pengurus organisasi Posbindu
Usila yaitu kader memiliki peran sebagai pelaksana kebijakan, Dinas Kesehatan
Kota Serang seksi gizi Lansia memiliki peran sebagai pembina pelaksana
kebijakan, sedangkan Puskesmas Singandaru bagian Lansia memiliki peran
sebagai pembimbing dan tenaga kesehatan Posbindu Usila.
Kinerja Seksie gizi lanjut usia Dinas Kesehatan Kota Serang sudah baik
dalam membina kader Posbindu Usila yang terwujud dalam bimbingan pada
pertemuan rutin satu bulan sekali kader Posbindu di Puskesmas Singandaru.
bimbingan tersebut diberikan langsung oleh Dinas Kesehatan Kota Serang
ataupun melalui bidang bina kesehatan masyarakat Puskesmas Singandaru.
Tanggung jawab Dinas Kesehatan Kota Serang dalam melakukan perannya tidak
terlepas dari bantuan Puskesmas Singandaru baik dalam memberikan pembinaan
kepada kader ataupun memberikan tindakan kepada Lansia yang tidak mampu
pergi ke Posbindu Usila.
Kader Posbindu bertanggung jawab dengan perannya yang terlihat dari
kinerja kader yang baik dalam mempersiapkan Posbindu dan melayani Lansia.
Namun saat pelaksanaan Posbindu terjadi penumpukan Lansia di meja
pemeriksaan karena tidak adanya komunikasi antar kader dan tenaga kesehatan
untuk mengatur antrian Lansia. Pelaksana bidang bina kesehatan masyarakat
bagian lanjut usia Puskesmas Singandaru telah bertanggung jawab dalam
149
melaksanakan Posbindu Usila, namun kinerjanya kurang baik karena memiliki
kendala kekurangan tenaga kesehatan terutama dokter dan kerangkapan tugas
yang dimiliki baik bertugas di Posbindu maupun di dalam Puskesmas Singandaru,
serta pada saat itu tenaga kesehatan tersebut sedang disibukan oleh kegiatan
perkuliahan. Kendala tersebut menyebabkan jadwal pelaksanaan Posbindu yang
tidak konsisten dan kesalahan dalam memberikan dosis obat pada Lansia.
Sedangkan upaya penambahan jumlah dokter belum dapat dikabulkan karena
belum ada ketersediaan dokter dari Badan Kepegawaian Daerah Kota Serang.
4.3.4 Environtmental Factors (Faktor Lingkungan)
Aspek environtmental factors (faktor-faktor lingkungan) pada penelitian
tentang Implementasi Kebijakan Pos Pembinaan Terpadu Usia Lanjut (Posbindu
Usila) di wilayah kerja Puskesmas Singandaru Kota Serang berkenaan dengan
faktor sosial budaya, ekonomi, dan politik yang ada di lingkungan masyarakat.
Kebijakan Posbindu Usila adalah kebijakan yang terwujud dalam Upaya
Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) yang dilaksanakan oleh, dari dan
untuk masyarakat itu sendiri. Kebijakan Posbindu Usila dilaksanakan di
lingkungan masyarakat maka dari itu terdapat faktor sosial budaya, ekonomi dan
politik yang ada di masyarakat yang mempengaruhi pelaksanaan kebijakan
Posbindu Usila.
Pada faktor sosial budaya berkenaan dengan kegiatan yang biasa
dilakukan masyarakat dengan masyarakat lain di lingkungannya. Dalam kegiatan
masyarakat tersebut tercipta suatu hubungan sosial diantara masyarakat. Ada
150
suatu kegiatan yang rutin dilakukan Lansia di lingkungan masyarakat, seperti
yang diungkapkan oleh I1-1:
“Di sini biasa ada pengajian sebelum Posbindu. Yang ikut pengajian
adalah ibu-ibu mayoritas yang sudah Lansia.”
Kegiatan pengajian dilakukan di lingkungan masyarakat pun sama seperti yang
diungkapan oleh I1-2:
“Ada kegiatan masyarakat seperti pengajian. Yang menghadiri ibu-ibu
Lansia. Selain itu juga ada arisan ibu-ibu di sini.”
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan I1-1 dan I1-2 terkait kegiatan
Lansia di lingkungan masyarakat, dapat diketahui bahwa kegatan pengajian
adalah kegiatan yang biasa dilakukan masyarakat Lansia, terutama perempuan.
Kegiatan pengajian adalah kegiatan yang positif bagi Lansia karena selain
merupakan aktivitas yang tidak memerlukan banyak gerak dan tenaga, juga
merupakan aktivitas spiritual yang meningkatkan keimanan umat muslim terhadap
agamanya. Kegiatan rutin yang dilakukan kelompok Lansia perempuan ini
mempengaruhi partisipasi Lansia dalam mengikuti kebijakan Posbindu Usila,
seperti yang diungkapkan oleh I1-3, yang mengungkapkan bahwa:
“Di sini lebih banyak kegiatan yang diikuti ibu-ibu seperti pengajian yang
ikut adalah ibu-ibu, senam lansia juga yang ikut adalah ibu-ibu tidak ada
bapak-bapaknya. Yang datang ke Posbindu juga mayoritas ibu-ibu, tidak
ada bapak-bapaknya saya tidak tahu kenapa bisa begitu.”
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan I1-3 dapat diketahui bahwa
Lansia perempuan lebih aktif dalam setiap kegiatan Lansia yang ada di
lingkungan masyarakat. Kegiatan pengajian adalah kegiatan yang lazim yang
151
dilakukan oleh masyarakat. Lansia perempuan lebih aktif dalam kegiatan
masyarakat menunjukan bahwa Lansia perempuan yang lebih terbiasa
bersosialisasi dan berkumpul dengan Lansia perempuan lainnya di lingkungan
masyarakat. Keaktifan Lansia perempuan dalam kegiatan di lingkungan
masyarakat ini ternyata berpengaruh pada partisipasi Lansia berdasarkan gender
dalam kebijakan Posbindu Usila, seperti yang diungkapkan oleh I1-1:
“Partisipasi Lansia cukup banyak sekitar 20 sampai 30 orang karena
banyak yang sakit atau hanya ingin check saja. Sebelum Posbindu ada
pengajian jadi banyak ibu-ibu setelah mengaji ke Posbindu. Ada bapak-
bapak 3 atau 4 orang. Jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan ibu-
ibu.”
Partisipasi Lansia perempuan dalam kebijakan Posbindu Usila yang lebih banyak
dibandingkan dengan laki-laki pun terjadi di Posbindu Teratai, I1-2
mengungkapkan bahwa:
“Partisipasi banyak yang ikut sekitar 15-20 orang karena di sini rata-rata
pensiunan dan sangat sadar akan pentingnya menjaga kesehatan.
pasrtisipasi lebih banyak perempuan dibanding laki-laki yang datang
sekitar 3-4 orang.”
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan I1-1 dan I1-2 terkait
partisipasi Lansia dalam kebijakan Posbindu, dapat diketahui bahwa partisipasi
Lansia laki yang mengikuti Posbindu Usila sangatlah sedikit hanya sekitar 3
sampai 4 orang saja. Kebijakan Posbindu Usila diperuntukan bagi seluruh Lansia
tidak ada batasan laki-laki atau perempuan. Meskipun upaya mobilisasi sasaran
telah dilakukan kader Posbindu, tetapi partisipasi Lansia laki-laki tetap kurang.
Hal itu berarti ada faktor yang menjadi alasannya, salah satunya adalah keaktifan
152
Lansia perempuan yang lebih banyak dibandingkan dengan Lansia laki-laki, bisa
jadi ada faktor lain seperti yang diungkapkan oleh I4-5:
“Saya tidak rutin datang ke Posbindu, jadi hanya datang ketika merasa
sakit. Apabila merasa sakit tetapi sedang tidak ada Posbindu saya berobat
ke Klinik. Lagi pula Posbindu hanya untuk orang tidak mampu saja.”
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan I4-5 dapat diketahui bahwa
ketidaksamaan waktu Posbindu dengan saat Lansia menderita sakit tidak
bersamaan dan ketidaktahuan tujuan dari adanya kebijakan Posbindu
menyebabkan Lansia Laki-laki tidak mengikuti Posbindu Usila. Lansia
memanfaatkan Posbindu Usila sebagai tempat berobat, maka dari itu Lansia
membutuhkan Posbindu ketika waktunya bersamaan saat Lansia menderita sakit
saja. sehingga saat merasa penyakitnya tidak dirasakan maka tidak datang meski
hanya untuk mengontrol kesehatannya. Kebijakan Posbindu diperuntukan bagi
seluruh Lansia tanpa memandang gender ataupun tingkatan ekonomi masyarakat.
anggapan Lansia bahwa Posbindu hanya untuk Lansia kurang mampu
menunjukan bahwa Lansia kurang mengetahui kebijakan Posbindu Usila.
Dalam pelaksanaan kebijakan Pos Pembinaan Terpadu Usia lanjut
(Posbindu Usila) terdapat pelayanan kesehatan yang memerlukan biaya untuk
mendapatkan pelayanan tersebut seperti pemeriksaan darah untuk mengetahui
kondisi penyakit kolesterol seharga Rp. 25.000,-, gula darah Rp. 15.000,- dan
asam urat Rp. 25.000,-, serta biaya untuk menebus resep obat. adanya harga yang
ditetapkan tersebut berpegaruh pada pelayanan kesehatan yang didapatkan oleh
Lansia di Posbindu, seperti yang diungkapkan oleh I1-4:
153
“Ada saja Lansia yang memeriksa darah. Tapi bagi Lansia yang tidak
mampu tidak bisa membayar biaya pemeriksaan darah jadi mereka hanya
periksa tensi dan menebus obat.”
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan I1-4 terkait kemampuan
ekonomi sasaran terhadap biaya pemeriksaan kesehatan di Posbindu, dapat
diketahui bahwa Lansia yang tidak mampu hanya memeriksakan tekanan darah
yang dapat diperoleh tanpa dipungut biaya. Pemeriksaan tensi darah yang berguna
untuk mengetahui tinggi atau rendahnya darah. Pemeriksaan ini biasa diminati
Lansia yang tidak mampu membayar biaya pemeriksaan kesehatan lainnya, hal ini
dilakukan oleh sasaran di Posbindu Sirsak, seperti yang diungkapkan oleh I4-1:
“Ibu tidak mampu membayar pemeriksaan darah dan beli obat. Jadi ibu
biasanya hanya memeriksa tensi darah saja karena khawatir darah tinggi.
Ibu sering mengalami sakit kepala.”
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan I4-1 dapat diketahui bahwa
ketidak mampuan sasaran membuat sasaran tidak melakukan pemeriksaan
kesehatan lainnya dan menebus obat untuk penyakitnya. Namun I4-1 tetap
mengikuti Posbindu karena keingin tahuannya terkait tinggi atau rendahnya
tekanan darah yang menggangu kesehatannya. Manusia usia lanjut rentan terkena
penyakit tidak menular seperti kolesterol, gula darah, darah tinggi dan asam urat,
maka dari itu perlu ada pemeriksaan apabila ada keluhan atas gejala dari penyakit
tersebut. Selain itu obat dibutuhkan Lansia untuk menyembuhkan penyakit atau
meringankan rasa sakit yang diderita Lansia. Namun ukuran kemampuan Lansia
dalam membayar biaya pemeriksaan itu relatif, tergantung dari kondisi ekonomi
masing-masing Lansia, ada yang sanggup membayar ada pula yang tidak sanggup
154
sehingga tidak memeriksakan kesehatan yang mengeluarkan biaya atau bahkan
sama sekali tidak datang saat Posbindu. Bagi Lansia yang kondisi ekonominya
cukup baik mampu mengikuti pemeriksaan darah untuk mengetahui peyakit tidak
menular yang dideritanya, seperti yang diungkapkan oleh I4-4:
“Terjangkau harganya tidak terlalu mahal. Saya butuh periksa rutin
kolesterol. Kolesterol saya sering naik.”
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan I4-4 dapat diketahui bahwa
kemampuan ekonomi sasaran serta kebutuhan sasaran untuk memeriksakan
penyakit tertentu yang sering dirasakannya membuat sasaran rutin mengikuti
Posbindu dan memiliki kemauan untuk mengeluarkan biaya demi kesehatannya.
Posbindu Usila diadakan di lingkungan masyarakat agar sasaran dapat
memperoleh pelayanan rujukan yang dekat mengingat Lansia memiliki
kekurangan kemampuan dalam menjangkau lokasi yang jauh. Hal ini
diungkapkan oleh I4-2:
“Saya tidak merasa keberatan dengan biaya pemeriksaan kolesterol.
Biayanya hanya Rp. 25.000,- itu cukup bagi saya dibandingkan dengan
pergi ke Puskesmas yang membutuhkan biaya transportasi dan saya sudah
tidak kuat pergi jauh.”
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan I4-2 dapat diketahui bahwa
biaya pemeriksaan di Posbindu tidak memberatkan karena I4-2 membandingkan
biaya yang perlu dikeluarkan antara memeriksa kesehatan di Posbindu dengan di
Puskesmas, apabila I4-2 memeriksa kesehatan di Posbindu tidak perlu
mengeluarkan biaya transportasi dan tidak mengeluarkan banyak tenaga untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan, sedangkan apabila memeriksa kesehatan di
155
Puskesmas perlu biaya transportasi dan menghabiskan tenaga Lansia untuk
menjangkau lokasi yang jauh. Lokasi Posbindu yang dekat dengan rumah sasaran
memudahkan Lansia untuk memperoleh pelayanan kesehatan tanpa mengeluarkan
banyak tenaga dan biaya tranportasi. Maka dari itu sasaran diharapkan dapat
memanfaatkan adanya kebijakan ini. Pemerintah telah berupaya mengeluarkan
kebijakan di bidang kesehatan untuk seluruh masyarakat agar mudah
mendapatkan pelayanan kesehatan. Kebijakan tersebut yaitu program Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN) di mana masyarakat yang tercakup dalam program
tersebut disebut peserta BPJS Kesehatan. Bagi peserta BPJS Kesehatan
mendapatkan pelayanan kesehatan tanpa dipungut biaya saat mendapatkan
pelayanan kesehatan, seperti yang diungkapkan oleh I4-3:
“Biaya periksa seharusnya gratis untuk ibu, tapi karena kartu ASKES ibu
fasilitas kesehatannya bukan di Puskesmas Singandaru jadi tidak gratis.
Periksa darah juga tidak sepenuhnya gratis tetapi bergantian misalkan
bulan ini periksa kolesterol, bulan depan sudah tidak bisa lagi periksa
kolesterol.”
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan I4-3 dapat diketahui bahwa
Masyarakat yang menjadi peserta BPJS Kesehatan akan menerima pelayanan
kesehatan tanpa dipungut biaya di fasilitas kesehatan yang sesuai dengan yang
tercantum di kartu BPJS Kesehatan. Asuransi Kesehatan (ASKES) adalah
program kesehatan yang telah ditransformasikan menjadi program Jaminan
Kesehatan nasional (JKN). Dalam program JKN, peserta diwajibkan membayar
iuran per bulannya bagi non PBI (Pemberian Bantuan Iuran) dengan penghasilan
sendiri sedangkan PBI dibayarkan oleh pemerintah. Akan tetapi berdasarkan hasil
observasi peneliti, mayoritas sasaran tidak menggunakan kartu BPJS Kesehatan
156
sehingga setiap melakukan pemeriksaan yang memerlukan biaya mereka
membayarkannya secara langsung, seperti yang diungkapkan oleh I2:
“Ada beberapa Lansia yang menggunakan kartu BPJS Kesehatan, tetapi
lebih banyak yang mencantumkan fasilitas kesehatan Klinik Jannah bukan
Puskesmas Singandaru. Maka dari itu pemeriksaan kesehatan di Posbindu
dipungut biaya umum.”
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan I2 terkait biaya pemeriksaan
kesehatan di Posbindu dengan menggunakan kartu BPJS Kesehatan, dapat
diketahui bahwa mayoritas sasan tidak mencantumkan nama Puskesmas
Singandaru dalam memilih fasilitas kesehatan untuk kepesertaannya dalam
program JKN. Posbindu Usila yang dilaksanakan di Wilayah Kerja Puskesmas
Singandaru bekerjasama dengan Puskesmas Singandaru, maka dari itu hanya
peserta BPJS Kesehatan yang mencantumkan fasilitas kesehatan Puskesmas
Singandaru yang dapat menerima pelayanan kesehatan tanpa dipungut biaya. Bagi
peserta BPJS Kesehatan yang mencantumkan fasilitas kesehatan selain Puskesmas
Singandaru tetap dipungut biaya pada umumnya. Mengeluarkan biaya merupakan
hal tersulit bagi lansia yang tidak mampu sehingga mereka tidak dapat
berpartisipiasi dalam kebijakan Posbindu Usila. Bahkan kader Posbindu Manggis
pernah memberikan bantuan untuk warga yang kurang mampu agar mau
berpartisipasi dalam kebijakan Posbindu Usila, seperti yang diungkapkan oleh I1-4:
“Saya pernah menanggung biaya berobat warga khusunya janda berusia
lanjut yang tidak mampu dalam rangka beramal. Jadi sebelum hari H, saya
mengajak mereka untuk beerobat ke Posbindu besok. Saat itu saya
memberikan kupon berobat seharga Rp. 5.000,- untuk menebus resep obat.
Alhamdulillah jadi banyak yang datang. Tetapi setelah tidak ada kupon
lagi, sudah berkurang lagi yang datang ke Posbindu.”
157
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan I1-4 terkait bantuan biaya
berobat bagi lansia kurang mampu, dapat diketahui bahwa kader berupaya
membatu menanggung biaya berobat Lansia yang kurang mampu agar termotivasi
untuk mengikuti Posbindu Usila, namun setelah tidak ditanggung lagi partisipasi
Lansia dalam kebijakan Posbindu Usila pun kembali menurun karena tidak ada
lagi tanggungan biaya berobat. Hal ini berarti menunjukan bahwa kondisi
ekonomi warga berpengaruh pada partisipasi Lansia dalam kebijakan Pos
Pembinaan terpadu Usia Lanjut (Posbindu Usila).
Aspek politik dalam implementasi kebijakan Pos Pembinaan terpadu Usia
Lanjut (Posbindu Usila) berkaitan dengan pemilihan kader Posbindu Usila. Sistem
perekrutan kader ditentukan oleh kebijakan yang dibuat masyarakat itu sendiri
karena masyarkat memiliki wewenang sebagai pelaksana kebijakan Posbindu
Usila. Warga yang menduduki jabatan sebagai ketua kader biasanya adalah
seorang istri dari ketua Rukun Warga (RW), seperti yang diungkapkan oleh I1-4:
“Karena ada pergantian RW, suami saya jadi ketua RW dan saya menjadi
ketua kader. Pemilihan kader yang lain dirundingkan dengan ketua RT
karena anggota kader dipilih dari perwakilan masing-masing RT.”
Sistem perekrutan ketua kader yang merupakan istri dari ketua Rukun
Warga (RW) merupakan cara yang lazim digunakan oleh sebagian masyarakat.
hal yang sama juga diungkapkan oleh I1-2:
“Saya menjadi ketua Kader karena suami saya seorang ketua RW,
sedangkan kader yang lain saya yang memilih yang menurut saya mau
bekerja.”
158
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan I1-4 dan I1-2 terkait pemilihan
kader Posbindu Usila, dapat diketahui bahwa ketua kader terpilih secara otomatis
mengikuti jabatan suami ketua kader yang sebagai ketua Rukun Warga (RW),
sedangkan pemilihan kader tergantung dari keputusan kelompok sasaran, ada
yang dilakukan atas persetujuan kader dan tokoh masyarakat setempat. Dalam
pedoman pelaksanaan Kebijakan Pos Pelayanan Terpadu Lanjut Usia (Posyandu
lansia) atau biasa disebut Pos Pembinaan Terpadu Usia Lanjut (Posbindu Usila) di
Kota Serang, tidak ada ketentuan syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi kader
Posbindu Usila. Maka kedudukan sebagai ketua kader bisa dimiliki oleh siapapun,
Hal ini dialami oleh I1-1 yang mengungkapkan bahwa:
“Saya menjadi ketua kader bukan karena suami saya ketua RW. Saya
menjadi ketua kader karena awalnya saya diajak bergabung menjadi kader
Posyandu Balita sudah lama tahun 90-an. Karena sudah lama saya menjadi
ketua kader. Anggota kader yang lain adalah kader Posyandu juga. Hingga
sekarang tidak ada lagi pergantian kader. Karena belum ada yang bersedia
menjadi kader.”
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan I1-1 diketahui bahwa ketua
kader merupakan istri dari ketua RW tidak menjadi patokan masyarakat dalam
pemilihan ketua kader. Pemilihan kader Posbindu memiliki cara yang berbeda-
beda tergantung dari kebijakan yang dibuat oleh masyarakat. Posbindu Usila yang
terbentuk dari suatu organisasi pun tidak menentukan jabatan ketua organisasi
yang harus menjadi ketua kader, seperti yang diungkapkan oleh I1-5:
“Sebelumnya ibu Misnih yang menjadi pengurus Posbindu. Namun karena
beliau sudah sepuh maka saya ditunjuk sebagai pengurus. Mungkin karena
jabatan saya di perip adalah sebagai sekretaris yang terbiasa menulis
laporan maka saya di percayai oleh ketua organisai dan Ibu Tatu
membantu pelaksanaan kebijakan Posbindu.”
159
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan I1-5 dapat diketahui bahwa
seorang yang menjadi ketua kader Posbindu bukan ditentukan dari jabatan yang
dimiliki merupakan jabatan yang tertinggi dalam suatu organisasi atau lingkungan
masyarakat. Penentuan ketua kader atau pun anggota kader lainnya dapat
ditentukan dari ketersediaan sasaran ataupun melihat kondisi ketua kader
sebelumnya, sehingga apabila telah dianggap tidak mampu mengurus Posbindu
karena telah berumur lebih dari 60 (enam puluh) tahun maka perlu diganti dengan
anggota yang masih memiliki kemampuan untuk mengurusi Posbindu.
Berdasarkan hasil observasi peneliti, usia kader Posbindu memang berusia
diantara 48 (empat puluh delapan) tahun samapai 55 (lima puluh lima) tahun.
Meskipun tidak ada syarat batasan usia untuk menjadi kader Posbindu,
namun pemilihan kader tetap diukur dari kemampuan fisik sesorang. Dari seluruh
anggota kader yang peneliti lihat, tidak ada yang berusia muda seperti warga yang
belum lama lulus sekolah tingkat SMA (Sekolah Menengah Atas), I1-4
mengungkapkan bahwa:
“Usia berapapun bisa menjadi kader, asal mau bekerja saat Posbindu dan
mau mengahadiri pertemuan rutin di Puskesmas saja. Warga berusia muda
tidak ada yang mau menjadi kader alasannya karena mereka belum
memiliki suami. Meskipun begitu, kadang saat saya lelah, saya meminta
keponakan untuk membantu mengisi data Posbindu, setelah itu saya kasih
upah. Tetapi saat saya ajak dia untuk menjadi kader, dia tidak mau karena
tidak bisa meninggalkan kerjaannya seperti mengurus rumah, suami, dan
anak yang masih kecil. Kader yang lama pun begitu, walaupun berkerja
saat Posbindu tetapi pengisian data tetap dikerjakan oleh anaknya karena
tidak mengerti bagaimana cara pengisiannya. Anaknya tidak bisa menjadi
kader karena harus bekerja saat pagi.”
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan I1-4 dapat diketahui bahwa
anggota kader yang biasanya adalah ibu rumah tangga membuat warga yang
160
berusia muda enggan untuk bergabung menjadi kader. Selain itu, bagi seorang ibu
rumah tangga yang terbilang masih muda memiliki kesibukan dalam mengurus
rumah tangganya sehingga memilih untuk tidak menjadi kader Posbindu Usila.
Usia kader memang perlu diperhatikan agar kader dapat bekerja secara optimal
karena usia muda masih memiliki tenaga yang cukup baik dan kemampuan yang
baik dalam memahami dan melaksanakan tugas pokok kader Posbindu. Usia
kader yang hampir memasuki usia lanjut menjadikan kader bekerja kurang
optimal karena terkendala oleh kemampuan fisiknya yang menurun. Dalam
menanggapi hal terkait usia kader, I1-1 memberikan ungkapan yang berbeda:
“Tidak ada persyaratan usia untuk menjadi kader, meskipun masih duduk
di bangku SMP (Sekolah Menengah Pertama) itu tidak menjadi masalah,
malah baik karena ada kader muda yang membantu. Ibu dan kader lainnya
pernah mengajak pemuda untuk bergabung menjadi kader Posbindu, tetapi
karena kader itu bekerja secara sukarela dan tidak diberi upah, maka
mereka lebih memilih bekerja di bangunan yang ada upahnya.”
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan I1-1 dapat diketahui bahwa
tidak adanya upah yang didapatkan dari menjadi kader membuat warga menjadi
apatis untuk bergabung menjadi kader Posbindu Usila. Upah menjadi suatu
motivasi warga untuk melakukan sesuatu. Tetapi pemerintah tidak
mengalokasikan sebagian anggarannya untuk upah kader, I3 mengungkapkan
bahwa:
“Tidak ada insentif untuk kader karena memberikan uang akan membuat
kader menjadi bergantung pada pemerintah. Karena Posbindu itu
dilaksanakan oleh, dari dan untuk masyarakat jadi pelaksananya,
tempatnya dan dananya dari masyarakat. Tugas kita hanya membina saja.”
161
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan I3 terkait insentif untuk
kader Posbindu Usila dapat diketahui bahwa Dinas Kesehatan Kota Serang hanya
memberikan pembinaan kepada pelaksana Posbindu Usila bukan dana khusus
untuk kader Posbindu. Hal ini karena Posbindu Usila adalah Upaya Kesehatan
Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) maka segala sumber daya disediakan oleh
masyarakat.
Dari pemaparan data hasil wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa
kegiatan rutin dimasyarakat yang lebih banyak dilakukan oleh warga lanjut usia
perempuan mempengaruhi jumlah partisipasi lansia berdasarkan gender dalam
pelaksanaan kebijakan Posbindu. Sehingga jumlah partisipan perempuan lebih
banyak dibandingkan dengan partisipan berjenis kelamin laki-laki. Sedangkan
partisipasi secara keseluruhan kurang baim karena Lansia yang kurang
mengetahui kebijakan Posbindu Usila. Kondisi ekonomi warga lanjut usia pun
berpengaruh pada partisipasi Lansia dalam kebijakan Posbindu karena dalam
pemeriksaan kesehatan terutama pemeriksaan penyakit tidak menular memerlukan
biaya yang tidak sedikit bagi warga yang kurang mampu. Dalam pemilihan kader
Posbindu sulit untuk mencari warga yang bersedia menjadi kader Posbindu.
Warga tidak termotivasi untuk menjadi kader karena tidak ada insentif untuk
kader Posbindu Usila dan terkendala oleh kesibukan lainnya.
tidak ditentukan atas jabatan suami ketua kader yang sebagai ketua Rukun
Warga (RW). Pemilihan ketua kader dan anggota kader lainnya ditentukan
berdasarkan kemauan dan ketersediaan secara sukarela menjadi kader Posbindu.
162
4.4 Pembahasan Hasil Penelitian
Langkah selanjutnya dalam analisis data adalah melakukan kegiatan
interpretasi hasil penelitian. Interpretasi hasil penelitian merupakan penafsiran
terhadap hasil akhir, dalam melakukan pengujian data dengan teori, dan konsep
para ahli, sehingga bisa mengembangkan teori, atau bahkan menemukan teori
baru, serta mendeskripsikan hasil data dari data di lapangan. Peneliti dalam hal ini
menghubungkan temuan hasil penelitian di lapangan dengan dasar operasional
yang telah ditetapkan sejak awal, dalam hal ini adalah teori implementasi
kebijakan publik dengan pendekatan bottom up yang dikenalkan oleh Adam
Smith.
Dalam model implementasi kebijakan publik Adam Smith, terdapat empat
aspek yang mempengaruhi implementasi kebijakan publik akan berjalan optimal
atau tidak yaitu idealized policy (kebijakan ideal), target group (kelompok
sasaran), implementing organization (organisasi pelaksana), dan environmental
factors (faktor-faktor lingkungan). Adapun temuan lapangan yang peneliti
temukan mengenai Implementasi kebijakan Pos Pembinaan Terpadu Usia Lanjut
(Posbindu Usila) di Wilayah Kerja Puskesmas Singandaru Kota Serang, adalah
sebagai berikut:
Pertama, aspek idealized policy (kebijakan ideal) menurut Adam Smith
adalah pola interaksi yang digagas oleh perumus kebijakan dengan tujuan untuk
mendorong, mempengaruhi dan merangsang target group untuk
melaksanakannya. Kebijakan Pos Pembinaan Terpadu Usia Lanjut (Posbindu
Usila) merupakan kebijakan yang terwujud dalam bentuk Upaya Kesehatan
163
Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) yang dilaksanakan oleh, dari dan untuk
masyarakat itu sendiri. Maka dari itu perlu adanya komunikasi antara perumus
kebijakan dengan kelompok sasaran melalui sosialisasi kebijakan Posbindu, yang
kemudian akan memotivasi kelompok sasaran untuk ikut melaksanakan kebijakan
tersebut karena isi kebijakan dirasakan memenuhi kebutuhan akan kesehatan
kelompok sasaran. Kesesuaian isi kebijakan dengan kebutuhan kelompok sasaran
akan terermin dalam tanggapan kelompok sasaran tentang keberadaan kebijakan
Posbindu Usila.
Berdasarkan hasil temuan di lapangan, sosialisasi tentang kebijakan
Posbindu Usila dan kesehatan lanjut usia yang dilakukan oleh Puskesmas
Singandaru melalui pertemuan rutin berhasil memotivasi kelompok sasaran untuk
membentuk Posbindu hal ini terbukti dari jumlah Posbindu Usila yang ada di
wilayah kerja Puskesmas Singandaru sebanyak 5 (lima) Posbindu yang tersebar di
kelurahan Lontar baru sebanyak 3 (tiga) Posbindu dan Kelurahan Kagungan
sebanyak 2 (dua) Posbindu. Pelayanan kesehatan yang ada di Posbindu seperti
penimbangan berat badan, pemeriksaan tensi darah, pemeriksaan penyakit
kolesterol, gula darah dan asam urat, konsultasi kesehatan Lansia dan pemberian
resep obat serta adanya senam lanjut usia dirasakan memenuhi kebutuhan Lansia.
Hal ini terlihat dari respon Lansia yang baik tentang keberadaan Posbindu Usila.
Pelaksanaan kebijakan Posbindu Usila yang dirasakan Lansia memenuhi
kebutuhan akan pemeriksaan kesehatan lanjut usia memberi arti bahwa kebijakan
Posbindu adalah kebijakan yang ideal bagi Lansia yang daerahnya memiliki
Posbindu, tetapi tidak bagi Lansia yang tidak memiliki Posbindu Usila seperti di
164
kelurahan Kota Baru yang tidak memiliki sama sekali Posbindu Usila. Sehingga
tujuan adanya Posbindu Usila di lingkungan masyarkat yaitu meningkatnya
kemudahan bagi usia lanjut dalam mendapatkan pelayanan kesehatan dan rujukan
tidak dirasakan oleh Lansia di Kelurahan Kota Baru.
Kelurahan Kota Baru telah mengajukan permohonan pembentukan
Posbindu Usila di daerahnya, tetapi permohonan tersebut tidak dapat dikabulkan
karena terkendala oleh kekurangan jumlah tenaga kesehatan yang ada di
Puskesmas Singandaru. maka dari kebijakan Posbindu Usila belum memenuhi
kebutuhan lansia di wilayah kerja Puskesmas Singandaru karena belum seluruh
Lansia tercakup dalam Posbindu Usila. Berdasarkan profil Puskesmas Singandaru
Tahun 2014, jumlah dokter umum yang ada di Puskesmas hanya ada 2 (dua)
orang sedangkan perawat berjumlah 6 (enam) orang. kedua dokter tersebut telah
bertugas di Puskesmas sedangkan perawat memiliki tugas di Puskesmas dan di
Posyandu Balita, dan tenaga kesehatan Puskesmas Singandaru yang memberikan
pelayanan kesehatan pada Lansia di Posbindu Usila hanya berjumlah satu orang
saja. Keterbatasan sumber daya manusia merupakan kesulitan bagi Puskesmas
Singandaru untuk melayani Posbindu Usila yang lebih banyak lagi.
Kedua, aspek target group (kelompok sasaran) menurut Adam Smith
adalah kelompok sasaran bagian dari stake holder yang diharapkan dapat
mengadopsi pola interaksi sebagai mana yang diharapkan oleh perumus
kebijakan. Aspek ini berkaitan dengan kemampuan kelompok sasaran yang
menjadi bagian dari stakeholder dalam kebijakan Posbindu Usila, karena
kebijakan ini menggunakan pendekatan bottom up. Dalam buku kebijakan publik
165
Riant Nugroho (2012: 701), “bottom up” bermakna meskipun kebijakan dibuat
oleh pemerintah, namun pelaksanaannya oleh rakyat. Maka dari itu, masyarakat
yang menjadi kelompok sasaran diharapkan mampu melaksanaan kebijakan.
Berdasarkan hasil temuan di lapangan, terkait aspek target group
(kelompok sasaran), kelompok sasaran sebagai pelaksana kebijakan telah
berupanya menjadi pelaksana kebijakan, salah satunya dengan menyediakan kader
Posbindu Usila. Jumlah kader untuk pelaksanaan kebijakan Posbindu Usila tidak
sesuai dengan yang direkomendasikan dalam pedoman pelaksanaan Posyandu
lansia yaitu 8 (delapan) orang ataupun yang direkomendasikan oleh Puskesmas
Singandaru yaitu minimal 5 (lima) orang, dari kedua rekomendasi tersebut jumlah
kader bisa kurang dari jumlah yang ditetapkan karena hal itu merupakan
wewenang kelompok sasaran. Adanya penggabungan kader Posbindu Usila
dengan Kader Posyandu Balita mengakibatkan jumlah kader yang bertugas di
Posbindu Usila hanya berjumlah 2 (dua) orang untuk di bagian pencatatan Lansia
yang hadir dan penimbangan berat badan Lansia. Jumlah yang kurang ini
berpengaruh pada tidak adanya kader yang membantu tenaga kesehatan yang
hanya berjumlah satu orang dalam hal pencatatan Lansia yang memeriksa
kesehatan dan hasil pemeriksaan kesehatannya.
Kader Posbindu Usila sebagai pelaksana Posbindu Usila perlu memiliki
pengetahuan yang baik terkait pelayanan yang diberikan kepada Lansia di
Posbindu. Berdasarkan hasil temuan di lapangan, kader Posbindu hanya
memahami pencatatan dan penimbangan berat badan, sedangkan pelayanan
lainnya seperti pengukuran Indeks Massa Tubuh (IMT) Lansia tidak dilakukan.
166
Hal ini dikarenakan karena kesulitan cara perhitungan yang dialami oleh kader,
kader tidak memahami kegunaan dari hasil IMT, dan tidak adanya pengukuran
tinggi badan. Perhitungan IMT perlu dilakukan untuk menilai risiko penyakit
yang dapat terjadi akibat berat badan berlebih seperti penyakit jantung dan
diabetes. Perhitungan IMT dihasilkan dari perhitungan pembagian berat badan
dalam kilogram dengan kuadrat tinggi badan dalam meter. Tidak adanya
perhitungan IMT, maka pengurangan risiko terkena penyakit jantung dan diabetes
tidak dapat dilakukan karena Lansia tidak mengetahui dan tidak dapat menjaga
ideal berat badannya.
Selain menyediakan sumber daya manusia, kelompok sasaran diharapkan
mampu menyediakan sumber daya lain seperti financial dan sarana prasarana.
Dalam menyediakan sumber daya financial, upaya yang dilakukan kelompok
sasaran yaitu mengumpulkan uang yang diberikan anggota Posbindu secara
sukarela yang diberi nama uang kencelengan ataupun bantuan yang diperoleh dari
lingkungan masyarakat itu sendiri seperti kas RW, kas arisan Lansia dan hasil
penjualan beras miskin. Selain dari hasil swadaya masyarakat, kelompok sasaran
pun mendapatkan batuan dalam bentuk dana dari Dinas Kesehatan Kota Serang
berupa insentif bergilir Rp. 250.000/ posyandu atau posbindu dan dana dari hasil
pemeriksaan Lansia yang menggunakan alat laboratorium sederhana yang
diberikan oleh Puskesmas Singandaru berjumlah Rp. 2.000 per satu orang yang
melakukan pemeriksaan. Hal ini berarti kelompok sasaran telah mampu
menyediakan sumber daya financial. Dana yang telah terkumpul dalam kas
Posbindu dialokasikan dengan baik oleh kader dan cukup untuk keperluan
167
Posbindu juga seperti membeli sarana prasana Posbindu, biaya Pemberian
Makanan Tambahan (PMT), dan transportasi kader untuk mengahdiri pertemuan
rutin di Puskesmas.
Dalam pelaksanaan kebijakan Posbindu diperlukan sarana prasarana
pendukung. Sarana prasana yang ada telah sesuai seperti yang ada dalam pedoman
pengelolaan kegiatan kesehatan di kelompok usia lanjut yaitu:
1. Tempat kegiatan
2. Meja dan kursi
3. Buku pencatatan Lansia
4. Kit Lansia, yang berisi: timbangan dewasa, meteran pengukur tinggi
badan, stetoskop tensimeter, peralatan laboratorium sederhana
5. Kartu Menuju Sehat (KMS)
Kelompok sasaran menjadi bagian dari pelaksana kebijakan Posbindu,
maka kelompok sasaran diberikan wewenang untuk menyediakan sarana
prasarana yang sekiraya mampu dilakukan oleh kelompok sasaran. Sarana
prasarana yang disediakan dari hasil swadaya masyarakat berupa tempat kegiatan,
meja, kursi dan buku pencatatan Lansia. Sedangkan sarana parasana seperti KMS
dan yang berbentuk peralatan medis seperti Kit Lansia diiberikan oleh Dinas
Kesehatan Kota Serang melalui Puskesmas Singandaru. Selain itu ada pihak lain
seperti donatur yang memberikan timbangan dewasa ataupun kelurahan yang
memberikan papan nama posyandu. Hal ini memberi arti bahwa sarana prasana
telah tersedia dengan baik dan mendapat dukungan dari berbagai pihak sebagai
bentuk respon yang baik terhadap adanya pelaksanaan kebijakan Posbindu Usila..
168
Ketiga, aspek implementing organization (organisasi pelaksana) menurut
Adam Smith adalah badan-badan yang bertanggung jawab dalam implementasi
kebijakan. Aspek ini berkenaan dengan peran dan kinerja organisasi yang
bertanggung jawab dalam pelaksanaan kebijakan. Pelaksana kebijakan Pos
Pembinaan Terpadu Usia Lanjut (Posbindu Usila) di wilayah kerja Puskesmas
Singandaru yaitu kader Posbindu Usila, Seksi gizi lanjut usia Dinas Kesehatan
Kota Serang, dan bidang bina kesehatan masyarakat bagian lanjut usia Puskesmas
Singandaru.
Berdasarkan hasil temuan di lapangan, peran kader Posbindu Usila adalah
sebagai pelaksana kebijakan Posbindu Usila yang terbentuk dari kelompok
sasaran. Kader Posbindu memiliki tugas yang harus dilakukan baik sebelum
pelaksanaan posbindu ataupun saat pelaksanaan Posbindu. Kader Posbindu telah
bertanggung jawab melakukan tugasnya yang tercermin dalam penilaian kinerja
kader Posbindu yang baik. Sebelum pelaksanaan Posbindu kader Posbindu
memobilisasi sasaran dengan cara menginformasikan waktu pelaksanaan
Posbindu melalui pengeras suara di masjid ataupun dengan menempatkan waktu
pelaksanaan kegiatan pengajian dan arisan yang dilakukan lansia sebelum waktu
pelaksanaan Posbindu Usila, menyiapkan tempat Posbindu sebelum Pelayanan di
Posbindu dimulai, serta melayani lansia di bagian pendaftan Lansia dan
penimbangan berat badan Lansia.
Kinerja kader telah baik dalam melakukan tugasnya sebagai kader
Posbindu, tetapi kader Posbindu Usila belum mampu mengatur antrian Lansia
untuk mengikuti tahapan pelayanan, sehingga menyebabkan lansia menumpuk
169
pada meja pelayanan pemeriksaan kesehatan. Hal ini bisa terjadi karena tidak
adanya komunikasi antara tenaga kesehatan dengan kader untuk bekerjasama
dalam mengatur antrian Lansia. Walaupun mengatur antrian Lansia bukan
termasuk tugas kader Posbindu, tetapi pengaturan antrian Lansia perlu dilakukan
supaya tahapan pemberian pelayanan kesehatan pada lansia dapat berjalan dengan
tertib dan rapih.
Peran seksi gizi lanjut usia Dinas Kesehatan Kota Serang adalah sebagai
pembina pelaksana kebijakan Posbindu. Tanggung jawab seksi gizi lanjut usia
Dinas Kesehatan Kota Serang dalam memberikan pembinaan dan pelatihan
kepada kader Posbindu tentang tindakan yang harus dilakukan kepada Lansia
yang tidak mampu datang ke Posbindu Usila, tidak terlepas dari bantuan
Puskesmas Singandaru. Adanya kerjasama dengan Puskesmas membuat kinerja
Dinas Kesehatan Kota Serang menjadi baik. Pembinaan tentang kesehatan Lansia
selain diberikan secara langsung oleh seksi gizi lanjut usia Dinas Kesehatan Kota
Serang, pembinaan kader juga diberikan melalui penyuluhan ataupun pertemuan
rutin setiap satu bulan sekali yang dilakukan bidang bina kesehatan masyarakat
Puskesmas Singandaru di Puskesmas Singandaru. Sedangkan tindakan kepada
Lansia yang tidak mampu datang ke Posbindu direalisasikan dengan adanya
kunjungan Lansia yang juga atas kerjasama dengan kader Posbindu Usila.
Peran bina kesehatan masyarakat Lansia Puskesmas Singandaru sebagai
tenaga kesehatan di Posbindu Usila. Pelaksana bina kesehatan masyarakat Lansia
Puskesmas Singandaru telah bertanggung jawab dalam melakukan perannya
sebagai tenaga kesehatan di Posbindu dan membuat laporan hasil kegiatan
170
Posbindu Usila, akan tetapi kinerja pelaksana bidang bina kesehatan masyarakat
bagian lanjut usia dinilai kurang baik. Hal tersebut disebabkan karena kurangnya
tenaga kesehatan untuk Posbindu Usila dan penempatan tenaga kesehatan di
Posbindu yang tidak sesuai dengan profesi yang dimiliki, di mana tenaga
kesehatan yang bertugas hanya seorang perawat sedangkan dalam pemeriksaan
kesehatan sebaiknya dilakukan oleh seorang dokter. Hal ini yang menyebabkan
pernah terjadi kesalahan dalam pemberian dosis obat pada Lansia.
Kendala lainnya yaitu kerangkapan tugas yang dimiliki tenaga kesehatan
tersebut baik bertugas di lapangan untuk Posbindu juga bertugas di Puskesmas
Singandaru bagian poli umum serta disibukan dengan kegiatan perkuliahan yang
menyebabkan jadwal pelaksanaan Posbindu menjadi tidak konsisten dengan
jadwal yang telah ditetapkan. Konsistensi waktu pelaksanaan Posbindu Usila akan
membuat Lansia untuk terbiasa menghadiri Posbindu pada waktu yang sama.
Jumlah tenaga kesehatan untuk Posbindu hanya berjumlah satu orang sedangkan
jumlah tenaga kesehatan di Posbindu idealnya berjumlah 3 (tiga) orang yang
terdiri dari dua orang perawat bagian pemeriksaan tensi darah dan pemberian
resep obat, satu orang dokter bagian pemeriksaan kesehatan Lansia. Puskesmas
Singandaru telah berupaya menambahkan jumlah dokter akan tetapi usulan
penambahan dokter di Puskesmas Singandaru pada Dinas Kesehatan Kota Serang
belum bisa dikabulkan karena tidak adanya ketersediaan dokter dari Badan
Kepegawaian Daerah Kota Serang.
Keempat, aspek environmental factors (faktor-faktor lingkungan) menurut
adam Smith yaitu unsur-unsur di dalam lingkungan yang mempengaruhi
171
implementasi kebijakan. Kebijakan Posbindu Usila dilaksanakan di lingkungan
masyarakat, maka dari itu adanya faktor lingkungan yang mempengaruhi
pelaksanaan kebijakan seperti faktor sosial budaya, ekonomi dan politik.
Berdasarkan hasil temuan di lapangan, pada faktor sosial budaya
kelompok sasaran memiliki kegiatan kemasyarakatan seperti pengajian dan arisan
yang dilakukan oleh Lansia perempuan. Kegiatan ini mempengaruhi partisipasi
Lansia dalam kebijakan Posbindu Usila, di mana Lansia perempuan yang lebih
aktif mengikuti Posbindu Usila dibandingkan dengan Lansia laki-laki. Berikut
data jumlah Lansia yang dibina di Posbindu Usila:
Tabel 4.4.1 Persentase Jumlah Lansia ≥60 Tahun yang Dibina Di Posbindu
Usila bulan April – September 2015
No. Bulan
Jumlah
Sasaran
(Orang)
Jumlah yang Dibina (Orang)
Total
Persentase
Jumlah yang
Dibina (%) Laki-laki Perempuan
1 April 5.213 3 38 41 0,79
2 Mei 5.213 3 46 49 0,94
3 Juni 5.213 6 32 38 0,73
4 Juli 5.213 7 38 45 0,86
5 Agustus 5.213 2 33 35 0,67
6 September 5.213 5 24 29 0,56
Sumber: Laporan Kegiatan Lanjut Usila Puskesmas Singandaru, 2015
Berdasarkan tabel 4.4.1 terkait partisipasi Lansia dalam kebijakan
Posbindu Usila, dapat diketahui bahwa jumlah partisipasi Lansia laki-laki setiap
bulannya mengalami peningakatan yang bersifat fluktuatif, namun tetap jumlah
tersebut lebih sedikit dibandingkan dengan perempuan. Persentase jumlah Lansia
yang dibina juga terlihat sangat memprihatinkan karena tidak pernah mencapai
172
1% di setiap bulannya. Berdasarkan hasil wawancara peneliti, diketahui bahwa
Lansia tidak mengikuti Posbindu karena Lansia kurang memahami manfaat
keberadaaan Posbindu Usila, sehingga Posbindu dibutuhkan untuk berobat ketika
sakit bukan untuk mengontrol kesehatannya secara rutin. Selain itu Lansia
beranggapan bahwa pelayanan kesehatan yang ada di Posbindu hanya untuk
Lansia yang tidak mampu. Hal ini memperlihatkan bahwa sasaran belum
mengetahui sepenuhnya tentang kebijakan Posbindu Usila yang diberikan untuk
mengontrol kesehatan Lansia secara rutin dan diberikan pada seluruh Lansia tanpa
melihat kondisi ekonomi lansia tersebut.
Selain kegiatan kemasyarakatan yang mempengaruhi partisipasi Lansia,
kondisi ekonomi Lansia pun mempengaruhi lansia tersebut untuk berpartisipasi
dalam kebijakan Posbindu Usila karena dalam memperoleh pelayanan kesehatan
di Posbindu Lansia perlu mengeluarkan uang seperti pemeriksaan penyakit
koleseterol sebesar Rp. 25.000, gula darah Rp. 15.000,-, asam urat Rp. 25.000 dan
mendapatkan resep obat yang harganya tergantung dari obat yang diberikan. Bagi
Lansia dengan kondisi ekonomi yang tidak baik, memungkinkan hanya
memeriksa kesehatan yang tidak dipungut biaya seperti pemeriksaan tensi darah
atau bahkan tidak hadir sama sekali. Bahkan salah satu kader Posbindu Manggis
memberikan kupon berobat bagi Lansia janda yang kurang mampu untuk
membuat mereka mampu berpartisipasi mengikuti Posbindu Usila. Kartu BPJS
Kesehatan tidak dapat membantu biaya berobat karena sebagian besar fasilitas
kesehatan yang dicantumkan Lansia bukan Puskesmas Singandaru.
173
Pada aspek politik dalam implementasi kebijakan Pos Pembinaan terpadu
Usia Lanjut (Posbindu Usila) berkaitan dengan pemilihan kader Posbindu Usila.
Berdasarkan hasil temuan penelti di lapangan, Dalam pemilihan ketua kader dan
anggota-anggotanya tidak ada syarat apapun melainkan dipilih berdasarkan atas
kemauan dan ketersediaan anggota untuk mengurus Posbindu secara sukarela
tanpa adanya upah yang diperoleh. Dalam memilih kader Posbindu Usila sulit
dilakukan karena masyarakat tidak bersedia menjadi kader dengan alasan
memiliki kesibukan dan tidak mendapatkan upah atau insentif.
Demikian penjalasan pembahasan hasil penelitian yang telah peneliti
paparkan. Penjelasan pembahasan hasil penelitian ini akan peneliti rangkum
dalam bentuk tabel temuan lapangan, yang disertakan keterangan hasil penelitian
pada masing-masing aspek indikator penelitian. berikut adalah tabel temuan
lapangan dalam penelitian ini:
174
Tabel 4.4.2 Hasil Temuan di Lapangan
No. Indikator Hasil Temuan Keterangan
1 Idealized Policy
(Kebijakan Ideal)
1. Sosialisasi Kebijakan Posbindu Usila dari
Puskesmas Singandaru melalui pertemuan
rutin di Puskesmas berhasil memotivasi
kelompok sasaran membentuk Posbindu
Usila.
2. Kebijakan Posbindu Usila belum memenuhi
seluruh Lansia yang ada di wilayah kerja
Puskesmas Singandaru karena masih ada
wilayah yang tidak bisa membentuk
Posbindu Usila yaitu Kelurahan Kota Baru.
3. Tanggapan anggota Posbindu Usila baik
terhadap keberadaan Posbindu Usila.
Belum
Optimal
2 Target Group
(Kelompok Sasaran)
1. Jumlah kader yang tersedia untuk Posbindu
Usila hanya berjumlah dua orang. Jumlah
tersebut tidak sesuai dengan yang
direkomendasikan dalam pedoman
pelaksanaan Posyandu Lansia dan
Puskesmas Singandaru karena adanya
penggabungan kader Posbindu Usila dengan
Posyandu balita yang berpengaruh pada
tidak adanya kader yang membantu tenaga
kesehatan dalam pencatatan lansia yang
memeriksa kesehatan dan hasil pemeriksaan
kesehatan lansia.
2. Pengetahuan kader dalam melayani Lansia
hanya mengerti pencatatan Lansia yang
hadir dan penimbangan berat badan.
Sedangkan IMT dan pengukuran tinggi
badan tidak dilakukan karena kader
kesulitan dengan cara perhitungan dan tidak
mengetahui kegunaan dari hasil IMT dan
pengukuran tinggi badan Lansia.
3. Kelompok sasaran telah mampu
menyediakan sumber daya financial
(keuangan) yang disebut dengan kas
Pobindu yang dihasilkan dari swadaya
masyarakat, serta mendapat pemasukan dari
Belum
Optimal
175
Dinas Kesehatan Kota Serang dalam bentuk
insentif bergilir dan bagi hasil dana
pemeriksaan kesehatan di Posbindu Usila
dengan tenaga kesehatan Puskesmas
Singandaru. Dana yang telah terkumpul
hanya cukup untuk keperluan Posbindu
Usila, sedangkan insentif untuk upah kader
tidak ada karena tidak ada anggaran khusus
untuk upah kader dari pemerintah.
4. Sarana parasana tersedia cukup baik dari
hasil swadaya masyarakat maupun dibantu
oleh Dinas Kesehatan Kota serang dan pihak
lain seperti donatur dan Kelurahan.
3 Implementing
Organization
(Organisasi
Pelaksana)
1. Peran kader sebagai pelaksana Posbindu
Usila. Kinerja kader posbindu baik dalam
melakukan tugasnya. Hanya saja kader
belum mampu mengatur antiran lansia
seperti yang terjadi di Posbindu Teratai dan
Pepabri.
2. Peran Seksi gizi Lansia Dinas Kesehatan
Kota Serang sebagai pembina pelaksana
Posbindu Usila. Kinerja Dinas Kesehatan
baik dalam memberikan pembinaan terkait
kesehatan Lansia yang diberikan secara
langsung ataupun dibantu oleh bidang bina
kesehatan masyarakat Puskesmas
Singandaru. Pelatihan kader terkait tindakan
terhadap lansia yang tidak mampu ke
Posbindu terealisasikan dalam kegiatan
kunjungan Lansia yang dilakukan oleh
tenaga kesehatan Puskesmas Singandaru
atas kerjasama dengan kader Posbindu
Usila.
3. Peran bidang bina kesehatan masyarakat
bagian lanjut usia Puskesmas Singandaru
sebagai tenaga kesehatan di Posbindu Usila.
Kinerja tenaga kesehatan kurang baik karena
pernah terjadi keselahan pemberian resep
obat yang disebabkan oleh ketidak sesuaian
profesi dengan tugas yang dijalani, serta
Belum
Optimal
176
jadwal pelaksanaan Posbindu tidak
beraturan karena kerangkapan tugas yang
dimiliki tenaga kesehatan baik bertugas di
lapangan maupun di dalam Puskesmas.
4 Environmental
Factors (Faktor-
faktor Lingkungan)
1. Kegiatan lansia perempuan lebih banyak
mempengaruhi jumlah partisipan lansia
perempuan lebih banyak dibandingkan laki-
laki. Partisipasi lansia secara keseluruhan
kurang baik karena lansia tidak mengetahui
kebijakan Posbindu Usila.
2. Biaya pemeriksaan kesehatan di Posbindu
Usila tidak dapat dijangkau oleh Lansia
tidak mampu.
3. Pemilihan kader Posbindu Usila berdasarkan
atas ketersidaannya menjadi kader. Dalam
memilih kader Posbindu Usila sulit
dilakukan karena masyarakat tidak bersedia
menjadi kader dengan alasan memiliki
kesibukan dan tidak mendapatkan upah atau
insentif.
Belum
Optimal
177
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Penelitian mengenai Implementasi Kebijakan Pos Pembinaan Terpadu
Usia Lanjut (Posbindu Usila) di Wilayah Kerja Puskesmas Singandaru
berdasarkan teori Implementasi Kebijakan pendekatan bottom up model Adam
Smith dapat disimpulkan implementasi kebijakan Posbindu Usila di Wilayah
Kerja Puskesmas Singandaru berlum berjalan secara optimal. Kesimpulan dari
hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:
Pertama, berdasarkan pada aspek idealized policy (kebijakan ideal),
kebijakan Posbindu Usila belum ideal bagi seluruh kelompok sasaran di wilayah
kerja Puskesmas Singandaru karena masih ada wilayah yang tidak bisa
membentuk Posbindu Usila yaitu Kelurahan Kota Baru.
Kedua, berdasarkan pada aspek target group (kelompok sasaran), kader
Posbindu Usila tidak memahami cara perhitungan Indeks Massa Tubuh (IMT)
Lansia dan tidak mengetahui manfaat dari hasil perhitungan Indeks Massa Tubuh
(IMT) Lansia. Jumlah kader yang bertugas di Posbindu yang hanya 2 (orang)
tidak sesuai dengan jumlah yang disaranakan Puskesmas yaitu minimal 5 (lima)
orang.
Ketiga, berdasarkan pada aspek implementing organization (organisasi
pelaksana), Terjadinya penumpukan Lansia di meja pemeriksaan kesehatan.
177
178
Kendala kekurangan tenaga kesehatan, ketidak sesuaian profesi dengan jabatan,
dan keragkangkapan tugas yang dimiliki tenaga kesehatan Posbindu berpengaruh
pada kurangnya kinerja tenaga kesehatan Posbindu Usila.
Keempat, berdasarkan pada aspek environmental factors (faktor-faktor
lingkungan. Kurangnya pengetahuan Lansia dan Kondisi ekonomi Lansia
berpengaruh pada kurangnya partisipasi Lansia dalam mengikuti Posbindu Usila.
Masyarat tidak termotivasi untuk menjadi kader Posbindu Usila karena tidak ada
insentif untuk kader Posbindu Usila
5.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian tentang Implementasi Kebijakan Pos
Pembinaan Terpadu Usia Lanjut (Posbindu Usila) di Wilayah Kerja Puskesmas
Singandaru, peneliti memberikan beberapa saran yang dapat dijadikan referensi
untuk mengoptimalkan pelakaksanaan kebijakan Pos Pembinaan Terpadu Usia
Lanjut (Posbindu Usila) di Wilayah Kerja Puskesmas Singandaru. Adapun saran
tersebut yaitu:
1. Puskesmas Singandaru perlu membantu kelompok sasaran di Kelurahan
Kota Baru untuk membentuk Pos Pembinaan Terpadu Usia lanjut
(Posbindu Usila) yang diimbangi dengan jumlah tenaga kesehatan yang
cukup untuk Posbindu Usila yaitu 2 (dua) orang perawat dan 1 (satu)
orang dokter.
179
2. Kader Posbindu diberikan bimbingan tentang perhitungan Indeks Massa
Tubuh (IMT). Jumlah kader perlu ditambah minimal 1 (satu) orang untuk
membantu tenaga kesehatan di Posbindu Usila.
3. Kader diberikan bimbingan terkait pengturan antrian Lansia. Badan
Kepegawaian Daerah Kota Serang perlu menyediakan tenaga kesehatan
yaitu dokter umum untuk mengatasi kekurangan dokter umum di
Puskesmas Singandaru.
4. Pemerintah lebih serius mensosialisasikan kebijakan Posbindu Usila dan
menurunkan biaya pemeriksaan kesehatan di Posbindu Usila. Pemerintah
memberikan insentif untuk kader Posbindu Usila sebagai bentuk apresiasi
kepada kader Posbindu Usila.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Agustino, M.Si, Leo. 2008. Dasar-Dasar Kebijakan Publik. Alfabeta: Bandung
Denzin, K Norman dan Younna, S. Lincoln. 2009. Handbook of Qualitative
Research. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Djaman & Aan Komariah. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung:
Alfabeta
Fuad, dan Nugroho. 2014. Panduan Praktis Penelitian Kualitatif. Yogyakarta :
GRAHA ILMU.
Indiahono, Dwiyanto. 2009. Kebijakan Publik Berbasis Dynamic Policy
Analisys.Yogyakarta: Gava Media
Islamy, M Irfan. 2001. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara.
Jakarta: Bumi Aksara
. 2004. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara.
Jakarta: Bumi Aksara
Kountur, Ronny. 2009. Metode Penelitian Untuk Penulisan Skripsi dan Tesis.
Jakarta: Buana Printing
Moleong, Lexy J. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya
Notoatmodjo, Soekijdo. 2007. Kesehatan Masyarakat Ilmu Dan Seni. Jakarta: PT.
Rineka Cipta
Nugroho, Riant. 2012. Public Policy Dinamika Kebijakan, Analisis Kebijakan,
Manajemen Kebijakan. Jakarta: Alex media Komputindo
Parsons, Wyne. 2006. Public Policy PengantarTeori dan Praktik Analisis
Kebijakan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Solihin, Abdul Wahab. 2012. Analisis Kebijakan: dari formulasi ke penyusunan
model-model implementasi kebijakan public. Bumi Aksara: Jakarta
Subarsono, AG. 2012. Analisis kebijakan Publik Konsep, Teori dan Aplikasi.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung:
Alfabeta
Winarno, Budi. 2012. Kebijakan Publik: Teori dan Proses. Jakarta: Media
Pressindo
Dokumen:
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 Tentang Kesejahteraan Lanjut Usia
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2004 Tentang
Pelaksanaan Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Lanjut Usia
Banten Dalam Angka 2014
Banten Dalam Angka 2015
Bulletin Lansia 2013
Kecamatan Serang Dalam Angka Tahun 2013
Laporan Kegiatan Lansia Dinas Kesehatan Kota Serang Tahun 2014
Laporan Kegiatan Lansia Dinas Kesehatan Kota Serang Program Kesehatan Usia
Lanjut Tahun 2015
Pedoman Pelaksanaan Posyandu Lansia, Komisi Nasional Lanjut Usia Tahun
2010
Pedoman Pengelolaan Kegiatan Kesehatan Di Kelompok Usia Lanjut Tahun 2002
Profil Kelurahan Lontar Baru Tahun 2014
Profil Kelurahan Kagungan Tahun 2014
Profil Kelurahan Kota Baru Tahun 2014
Profil Kesehatan Indonesia 2013
Rekapan Kasus Penyakit Tidak Menular Triwulan I Sampai Dengan Triwulan III
Kota Serang Tahun 2014
Sumber lain:
Bidan Purnama. 2011. Posyandu Lansia. From http://posyandu.org/posyandu/
posyandu-lansia/525-pengertian-posyandu-lansia.html diakses pada
tanggal 27 maret 2015
Henniwati. 2008. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemanfaatan Pelayanan
Posyandu Lanjut Usia di Wilayah Kerja Puskesmas Kabupaten Aceh
Timur. Diterbitkan Oleh Unversitas Sumatera Utara
Iswanto, Mas Somat Didi. 2015. Angka Harapan Hidup (AHH), Apa dan
Bagaimana Perhitungannya. From http://statistiknawangan.blogspot.co.
id/2015/01/angka-harapan-hidup-ahh-makanan-apa-itu.html diakses pada
tanggal 13 April 2016
Kristiani, Rera Ayu. 2014. Implementasi Program Posyandu Lanjut Usia (Lansia)
di RW IV Kelurahan Wonokromo Kecamatan Wonokromo Surabaya.
Diterbitkan Oleh Universitas Negeri Surabaya
Novalina Hutabarat, Christina. 2012. Studi Kualitatif Pemanfaatan Posyandu
Lansia di Wilayah Kerja Puskesmas Sarudik Kabupaten Tapungali
Tengah Tahun 2012. Diterbitkan Oleh Universitas Indonesia
PEDOMAN WAWANCARA
Aspek No. Pertanyaan
Nomor
Urut
Pertanyaan
Kategorisasi
Informan
Idealized
Policy
(Kebijakan
Ideal)
1. Bagaimana komunikasi
yang terjadi sehingga
kelompok sasaran
termotivasi untuk
membentuk Posbindu
Usila dan mengadakan
senam Lansia di
Posbindu?
Q1 I1, I2
2 Apakah kebijakan
Posbindu Usila memenuhi
kebutuhan akan kesehatan
lanjut usia?
Q2 I1, I4
3 Bagaimana tanggapan
lanjut usia tetang
keberadaan Posbindu
Usila dan senam Lansia?
Q3 I1, I4
Target group
(Keolompok
Sasaran)
4 Bagaimana ketersediaan
sumber daya manusia dari
kelompok sasaran?
Q4 I1, I2
5 Apakah kader Posbindu
memahami tugas yang
dilakukan saat
pelaksanaan Posbindu
Usila?
Q5 I1, I2
6 Bagaimana kamampuan
kelompok sasaran dalam
menyediakan dan
mengalokasikan sumber
Q6 I1, I2,I3
daya financial untuk
Posbindu Usila?
7 Bagaimana kemampuan
kelompok sasaran dalam
menyediakan sarana
prasarana pendukung
Posbindu Usila?
Q7 I1, I2,I3
Implementing
Organization
(Organisasi
Pelaksana)
8 Apa peran dari masing-
masing stakeholder yang
ada dalam kebijakan
Posbindu Usila?
Q8 I1, I2,I3
9 Bagaimana kinerja dari
masing-masing
stakeholder kebijakan
Posbindu Usila?
Q9 I1, I2,I3
Environmental
Factors
(faktor
Lingkungan)
10 Apakah kondisi sosial dan
budaya Lansia
mempengaruhi
pelaksanaan kebijakan
Posbindu Usila?
Q10 I1
11 Apakah kondisi ekonomi
Lansia membuat Lansia
mampu berpartisipasi
dalam kebijakan Posbindu
Usila?
Q11 I1, I4
12 Apakah kondisi politik
yang ada di masyarakat
mempengaruhi dalam
pemilihan pengurus
Posbindu Usila?
Q12 I1
PERTANYAAN LAIN
No. Pertanyaan Kategorisasi Informan
1. Apa saja syarat yang perlu dipenuhi kelompok
sasaran untuk dapat membentuk Posbindu
Usila?
I3
2. Apa kendala yang dialami bidang bina
kesehatan masyarakat bagian lanjut usia yang
mempengaruhi kinerjanya?
I2
3. Bagaimana cara perekrutan dokter umum di
Puskesmas Singandaru dan kapan terakhir kali
dilakukan?
I5
4 Apakah Lansia menggunakan kartu BPJS
Kesehatan untuk memperoleh pemeriksaan
kesehatan di Posbindu Usila?
I2
PERTANYAAN WAWANCARA
KETUA KADER POS PEMBINAAN TERPADU USIA LANJUT
(POSBINDU USILA)
1. Bagaimana komunikasi yang terjadi sehingga kelompok sasaran
termotivasi membentuk Posbindu Usila?
2. Bagaimana kegiatan senam lansia bisa diadakan di Posbindu?
3. Apakan kebijakan Posbindu Usila memenuhi kebutuhan akan kesehatan
lanjut usia?
4. Bagaimana tanggapan lanjut usia tetang adanya Posbindu Usila dan
senam Lansia?
5. Bagaimana ketersediaan sumber daya manusia dari kelompok sasaran?
6. Apakah kader Posbindu memahami tugas yang dilakukan saat
pelaksanaan Posbindu Usila?
7. Bagaimana upaya pengadaan dan penggunaan sumber daya financial
untuk Posbindu Usila?
8. Bagaimana upaya penyediaaan sarana prasarana pendukung Posbindu
Usila?
9. Apa peran kader Posbindu dan pelaksana bidang bina kesehatan
masyarakat bagian lanjut usia Puskesmas Singandaru dalam kebijakan
Posbindu Usila?
10. Bagaimana kinerja kader dalam melakukan tugasnya sebagai kader
Posbindu?
11. Bagaimana Kinerja pelaksana bina kesehatan masyarakat lanjut usia
Puskesmas Singandaru dalam pelaksanaan kebijakan Posbindu Usila?
12. Apakah ada kegiatan sosial yang rutin dilakukan masyarakat Lansia?,
Bagaimana pengaruhnya terhadap kebijakan Pos Pembinaan Terpadu Usia
Lanjut (Posbindu Usila)?
13. Apakah biaya pemerikaaan kesehatan di Posbindu terjangkau dengan
kondisi ekonomi Lansia?
14. Apakah kondisi politik yang ada di masyarakat mempengaruhi dalam
pemilihan pengurus Posbindu Usila?
PERTANYAAN WAWANCARA
BIDANG BINA KESEHATAN MASYARAKAT BAGIAN LANJUT
USIA PUSKESMAS SINGANDARU
1. Bagaimana komunikasi yang terjadi sehingga kelompok sasaran
termotivasi membentuk Posbindu Usila?
2. Bagaimana kegiatan senam lansia bisa diadakan di Posbindu?
3. Adakah ketentuan jumlah kader Posbindu Usila dari Puskesmas
Singandaru?
4. Apakah kader Posbindu memahami tugas yang dilakukan saat
pelaksanaan Posbindu Usila?
5. Apakah Puskesmas Singandaru memberi dukungan sumber daya financial
untuk Posbindu usila?
6. Apakah Puskesmas Singandaru memberi dukungan sarana dan prasarana
untuk Posbindu Usila?
7. Apa peran kader Posbindu Usila dan Dinas Kesehatan Kota Serang dalam
kebijakan Posbindu Usila?
8. Bagaimana kinerja kader Posbindu Usila dan Dinas Kesehatan Kota
Serang dalam melaksanakan kebijakan Posbindu Usila?
9. Apa kendala yang dialami bidang bina kesehatan masyarakat bagian
lanjut usia yang mempengaruhi kinerjanya?
10. Apakah Lansia menggunakan kartu BPJS Kesehatan untuk memperoleh
pemeriksaan kesehatan di Posbindu Usila?
PERTANYAAN WAWANCARA
SEKSI GIZI REMAJA DAN LANJUT USIA DINAS KESEHATAN KOTA
SERANG
1. Apa saja syarat yang perlu dipenuhi kelompok sasaran untuk dapat
membentuk Posbindu Usila?
2. Adakah kontribusi yang diberikan oleh Dinas Kesehatan untuk Posbindu
Usila di wilayah kerja Puskesmas Singandaru?
3. Apa peran Dinas Kesehatan Kota Serang, Puskesmas Singandaru dan
kelompok sasaran dalam pelaksanaan kebijakan Posbindu Usila?
4. Bagaimana kinerja bidang bina kesehatan masyarakat lanjut usia
Puskesmas Singandaru dalam melaksanakan Posbindu Usila?
PERTANYAAN WAWANCARA
MASYARAKAT LANJUT USIA
1. Apakah kebijakan Posbindu Usila memenuhi kebutuhan akan kesehatan
anda?
2. Bagaimana tanggapan anda tetang keberadaan Posbindu Usila dan senam
Lansia?
3. Apakah menurut anda besaran biaya pemeriksaan kesehatan di Posbindu
Usila terjangkau?
PERTANYAAN WAWANCARA
KEPALA PUSKESMAS SINGANDARU
1. Mengapa jumlah tenaga kesehatan yang disediakan untuk Posbindu Usila
hanya satu orang?
2. Menurut anda, apakah jumlah tenaga kesehatan di Puskesmas Singandaru
sudah cukup?
3. Bagaimana cara perekrutan dokter umum di Puskesmas Singandaru dan
kapan terakhir kali dilakukan?
MATRIKS HASIL WAWANCARA
Idealize Policy (Kebijakan Ideal)
Idealitas suatu kebijakan yang diimplementasikan
Q1 Bagaimana komunikasi yang terjadi sehingga kelompok
sasaran termotivasi untuk membentuk Posbindu Usila dan
mengadakan senam Lansia di Posbindu? I
I1-1
Awalnya saya yang mengajukan, sebelumnya saya telah
mendengar ada Posbindu Usila karena tiap pertemuan di
Puskesmas membahas tentang Posbindu, pada saat itu saya
belum tertarik. Ketika saya tahu Posbindu Usila untuk lansia
dan banyak lansia di sini yang meminta ada pemeriksaan
kesehatan untuk Lansia, saya mengajukan pembentukan
Posbindu ke Kepala Puskesmas. Kalau senam Lansia, Ibu Tatu
yang memberitahu saya ada senam Lansia tapi harus di
Puskesmas. Menurut saya kalau dilaksanakan di Puskesmas
yang hadir paling hanya beberapa saja. Namanya juga Lansia
sudah tidak kuat, jaraknya jauh harus ada kendaraan. Saya
menyarankan kepada Ibu Tatu, kalau bisa dilakukan di
Posbindu.
I1-2
Sepertinya dari Puskesmas yang mengusulkan ke sini. saya
tidak tahu pasti karena Posbindu sudah didirikan selama 15
Tahun sedangkan saya menjadi kader baru 10 tahun. Awalnya
ada senam di sini dan dibiayai oleh kita menggunakan uang kas
Posbindu. Tapi setelah itu Puskesmas mengadakan senam
beserta pelatih senamnya. Maka kita berhenti senam di sini lalu
berganti senam di Puskesmas. partisipasi lansia dalam kegiatan
senam banyak.
I1-3 Awalnya masyarakat yang mengusulkan ingin ada pemeriksaan
kesehatan untuk lansia. Lalu kader mengusulkan keinginan
masyarakat ke Puskesmas melalui pertemuan antar kader dan
pihak Puskesmas di Puskesmas Singandaru. Setelah itu
Puskesmas menerima usulan saya dan memberitahu saya.
Senam itu Ibu Tatu (pelaksana bina kesehatan masyarakat
lanjut usia) yang mengajak kader. Awalnya dilaksanakan di
Puskesmas jam 06.30, yang hadir banyak siapa saja kader
ataupun lansia, tapi sekarang sudah tidak di Puskesmas lagi.
Terakhir yang kemarin senam di Posbindu. Saat senam
disediakan kue dan dikasih uang transport.
I1-4
Yang saya amati sepertinya dibentuk dari Puskesmas, saya
tidak terlalu tahu karena Posbindu sudah berdiri 8 tahun dari
sebelum saya yang pegang. Mungkin dari Puskesmas
mengadakan Posbindu dan memberitahu kita, lalu di sini ikut
membentuk Posbindu. Senam lansia itu Puskesmas Singandaru
yang mengajukan ke kami, Puskesmas memberitahu akan ada
seman lansia berikut uang transportasi, snack, dan pelatih
senam, lalu kami setuju untuk ikut senam. Puskesmas
memberitahukannya melalui telepon dan membicarakan waktu
pelaksanaan senam. setelah itu saya umumkan ke lansia
melalui ibu RT lalu ibu RT memberitahukan ke Lansia yang
ada di RT tersebut.
I1-5
Ini organisasi Persatuan Purnawirawan dan Warakauri TNI dan
POLRI (PEPABRI). Sepertinya begini, pengajuan dilakukan
Puskesmas ke sini karena seharusnya kegiatan apapun
mengajukannya ke sini lalu disetujui, disepakati oleh ketua
organisasi lalu terlaksanalah Posbindu. Puskesmas yang
mengajak kita untuk bekerjasama mengadakan senam di sini,
lalu kita setuju kemudia kita beritahu ketua organisasi dan
anggota jadwal pelaksanaan senamnya.
I2
Puskesmas tidak meminta masyarakat bentuk Posbindu. Awal
pembentukan Posbindu, masyarakat yang meminta mendirikan
Posbindu ke Puskesmas, cara mengajukan pendirian Posbindu
yaitu dengan mengajukan ke bidan desa lalu bidan desa
menyampaikannya ke Puskesmas. Setelah mengajukan
pembentukan Posbindu, lalu dilihat kelompok sasaran dimana
saja yang jumlah sasarannya mencukupi, apabila sedikit berarti
tidak perlu dibentuk Posbindu, mengingat Puskesmas
Singandaru juga kekurangan SDM. Ada yang tidak dikabulkan,
warga Kelurahan Kota Baru sudah mengajukan permohonan
membentuk Pobindu Usila di wilayahnya, namun pengajuan
tersebut tidak dapat dikabulkan Puskesmas karena jumlah
tenaga pelaksana Posbindu dari Puskesmas tidak mencukupi.
Saya bekerja sebagai perawat dan biasa bekerja di bagian poli
umum, selain itu saya juga bekerja ke lapangan untuk
Posbindu. Terkait senam, Puskesmas yang mengadakan,
memberikan uang transportasi bagi lansia untuk ikut senam,
snack, dan menyewa instruktur senam. Lansia hanya
mengikutinya saja.
Q2
I
Apakah kebijakan Posbindu Usila memenuhi kebutuhan
akan kesehatan lanjut usia?
I1-1
Sudah memenuhi kebutuhan Lansia, dengan adanya Posbindu
Usila membantu lansia yang biasa mengeluh sakit kepala.
Maka dari itu banyak Lansia yang datang karena mereka
menderita sakit. Lansia yang tidak mengeluh sakit juga datang
untuk sekedar mengetahui berat badan atau naik turunnya tensi
darah untuk mencegah darah tinggi dengan mengatur asupan
makannya. Kadangkala mereka menanyakan penyakit yang
didertia dari keluhan yang dirasakan. Selain itu Posbindu juga
dekat dari rumah warga
I1-2
Cukup memenuhi kebutuhan. Banyak permasalahan yang
kompleks pada Lansia. Maka dari itu perlu setiap bulannya
mengontrol kesehatan, terutama seperti tensi darah. Dari pada
pergi jauh ke rumah sakit dan Puskesmas untuk kontrol
kesehatan, di Posbindu lebih dekat. Terutama untuk cek darah
di tempat lain lama mengantri, di Posbindu juga bisa periksa
gula darah, kolesterol, asam urat. Walaupun hasilnya tidak
akurat 100%, setidaknya dari hasil pemeriksaan kita
mendapatkan perhatian untuk bisa rubah pola makannya.
I1-3
Usia sudah tua sering terkena penyakit, jadi apabila ikut
Posbindu bisa periksa kesehatan dan mengontrol makanannya.
Suka ada senam dari puskesmas singandaru, kadang-kadang di
puskesmas pagi-pagi, kadang-kadang di sini di deket posyandu
ada lapangan tenis sebulan sekali.
I1-4
Sudah cukup, ada pemeriksaan tensi darah, kolesterol dan
diabet. Posbindu itu pelayanan kesehatan untuk para lanjut usia
jadi memudahkan Lansia agar tidak pergi terlalu jauh ke
Puskesmas atau ke rumah sakit, dan memudahkan Lansia
untuk berobat.
I1-5
Mungkin ketua organisasi menyetujui adanya Posbindu di sini
karena anggota PEPABRI Lansia dan kesehatan adalah
kebutuhan utama maka ketua menyetujuinya.
I4-1
Iya, ibu suka terkena darah rendah, jadi ibu sering ke Posbindu
buat tensi darah ibu.
I4-2
Sudah memenuhi, sebelumnya saya biasa ke klinik atau tidak
ke Puskesmas, tapi ketika ada Posbindu alhamdulillah saya
bisa berobat dan kontrol kolesterol. Lokasinya juga dekat, jadi
tidak usah pergi jauh ke Puskesmas lagi.
I4-3 Memenuhi karena ibu sering sakit jadi ingin periksa asam urat
dan kolesterol.
I4-4
Sudah memenuhi karena Ibu sering cek kolesterol. kolesterol
ibu sering tinggi dan badan terasa sakit. terkadang ibu cek
diabetes dan asam urat juga karena sering tinggi.
I4-5
Iya memenuhi, apabila saya merasa sakit dan kebetulan ada
Posbindu saya berobat ke Posbindu untuk periksa penyakit
kolesterol saya dan lokasinya juga tidak jauh dari rumah.
I4-6 Saya belum pernah berobat di Posbindu, saya hanya membantu
kader di Posyandu
Q3
I
Bagaimana tanggapan lanjut usia tetang adanya Posbindu
Usila dan senam Lansia?
I1-1
Masyarakat menerima Posbindu dan senam dengan baik.
Ketika senam diadakan di Puskesmas hanya sedikit yang
datang. ketika diadakan di sini banyak yang datang.
masyarakat menganggap bahwa senam adalah hiburan sehat.
I1-2
Tanggapan masyarakat baik, rata-rata di sini adalah pensiunan,
maka penting sekali untuk periksa kesehatan. Tanggapan
masyarkat terkait senam juga baik. banyak yang ikut senam.
sudah dua bulan tidak ada lagi senam dan lansia banyak yang
menanyakan kapan ada senam lagi.
I1-3
Tanggapan warga Lansia positif menerima Posbindu dengan
baik karena untuk memeriksa kesehatan mereka juga.
Tanggapan Lansia dengan adanya senam juga baik, mereka
pada nanya kapan senam lagi ke bu tatu ketika posbindu terus
lalu kemarin diadakan senam lagi dan yang mengikuti banyak.
I1-4
Tanggapan Lansia di sini baik karena dengan adanya Posbindu
lansia bisa memeriksakan kesehatan di Posbindu dan tidak
perlu jauh pergi ke Puskesmas karena lansia sudah tidak
mampu pergi jauh. Tanggapan terkait adanya senam sangat
baik. Senam lansia bisa dijadikan sebagai hiburan yang sehat
karena memakai musik dangdut dan gerakannya sederhana.
Sekarang pada nanyain lagi kapan ada senam lagi. Saya
sampaikan ke puskesmas katanya belum ada program lagi.
I1-5
Tanggapannya baik. anggota membutuhkan Posbindu, apabila
petugas kesehatan belum datang, Lansia pada bertanya karena
mereka butuh. Tanggapan Lansia dengan adanya senam Lansia
baik, sudah beberapa bulan sudah tidak ada senam lagi, lansia
pada menanyakan kapan ada senam lagi.
I4-1 Bagus yah, ibu jadi bisa tensi darah tiap bulan
I4-2
Posbindu itu penting sekali. Saya sudah tidak kuat pergi ke
Puskesmas. Kalau mau minta antar ke Puskesmas ke
keponakan saya merasa tidak enak karena mereka sudah pada
bekerja, saya takut merepotkan mereka.
I4-3 Bagus ada Posbindu karena ada periksa penyakit lansia seperti
asam urat, kolesterol, gula darah.
I4-4
Dengan ada Posbindu saya bisa tahu naik turunya kolesterol
saya, bisa dapat obat, terus kalau sudah tahu kolesterol saya
naik berarti saya tidak boleh makan gorengan, kalau darah
tinggi berarti tidak boleh makan yang asin-asin.
I4-5 Posbindu penting untuk diadakan, karena Lansia banyak yang
terkena penyakityang sering diderita Lansia.
I4-6
Bagus, dengan adanya Posbindu Lansia dapat berobat. Yang
saya lihat banyak Lansia yang mengeluhkan nyeri di lutut
karena penyakit asam urat. Maka dari itu Lansia perlu berobat.
Target Group (Kelompok Sasaran)
Kemampuan kelompok sasaran menjadi bagian dari Stakeholder
Q4 Bagaimana ketersediaan sumber daya manusia dari
kelompok sasaran? I
I1-1
Jumlah Kader ada lima orang, dua orang laki-laki dan tiga
orang perempuan. Di buku, struktur kepengurusan untuk lima
orang itu adalah ketua, bendahara, sekretaris, anggota. Kader
Posbindu dan Posyandu itu sama saja orangnya. Walaupun
kader Posbindu digabung dengan kader Posyandu, saat kerja
kita saling membagi tugas. Ada yang di bagian Lansia, ada
yang di bagian Balita. Kader di bagian Lansia juga hanya
bagian penimbangan berat badan dan pencatatan nama saja.
Ada PMT kadang biskuit atau bubur kacang untuk Balita. Jadi
bagian pencatatan bukan sekretaris saja, kadang dibantu kader
lainnya juga
I1-2
Kader di sini ada empat orang. Sebelumnya ada lima orang.
Tapi satu orang berhenti menjadi kader karena sibuk
menjalankan usaha laundrynya. Saya ketuanya, yang lain ada
sekretaris, bendahara, dan anggota
I1-3
Di Posbindu sini tidak ada struktur pengurus. Kadernya cuma
ada dua orang saja. Berdua cukup karena kader cuma di bagian
pendaftaran dan penimbangan saja. Sedangkan bagian
Pemberian Makanan Tambahan (PMT) tidak ada, karena tidak
ada PMT di posbindu sini. Saya yang komunikasi dengan Bu
Tatu membicarakan jadwal pelaksanaan Posbindu lalu beritahu
kader lainnya, saya juga bagian pendaftaran.
I1-4
Ada kader yang mengurusi Posbindu. Jumlah kader di sini ada
lima yang terdiri dari perwakilan masing-masing RT. Struktur
kepengurusannya ada ketua, sekretaris, bendahara, dua
anggota. Kader Posbindu dan Posyandu itu sama saja
orangnya. Tidak ada kesulitan dalam pelaksanaannya karena
tugas kader hanya menimbang berat badan dan catat lansia
yang hadir saja. Lansia yang datang juga tidak sekaligus
banyak tapi satu persatu. Tidak ada pembagian tugas seperti
sekretaris harus mencatat, siapa saja yang bisa, biasanya saya
juga membantu mencatat nama Lansia. Kalau bagian keuangan
ada bendahara yang mengurus
I1-5
Organasi pasti ada struktur organisasinya, disini lengkap ada
ketua, wakil pembina, sekretaris, bendahara, seksi. Kalau di
sini sebatas saja struktur untuk organisasi. Kebetulan yang
ditunjuk menjadi pengurus Pobindu saya dan Ibu Iwan. Itupun
saya yang bertugas, saya yang komunikasi dengan Ibu Tatu
serta di bagian pendaftaran dan penimbangan.
I2
Jumlah kader minimal ada lima orang. Lima orang itu terbagi
menjadi ketua, sekretris, bendahara sisanya anggota. Tapi
penentuan jumlah kader terserah dari masyarakat jadi bisa
kurang bisa juga lebih.
Q5 Apakah kader Posbindu memahami tugas yang dilakukan
saat pelaksanaan Posbindu Usila? I
I1-1
Tidak tahu IMT karena belum pernah diajarkan cara
menghitung IMT. Tidak ada pengukuran tinggi badan, alatnya
ada tetapi tidak dilakukan karena angka tinggi badan tidak
terlalu dibutuhkan seperti berat badan yang dibutuhkan lansia.
I1-2 Tidak ada IMT, Posbindu untuk pemeriksaan rutin kondisi
kesehatan lansia bukan IMT.
I1-3
Pernah diajarkan cara menghitung Indeks Massa Tubuh (IMT),
tapi karena tidak pernah digunakan jadi lupa caranya. Tinggi
badan lansia tidak dihitung karena yang penting adalah tensi
darah dan berat badan. Lansia sudah berumur maka sudah tidak
akan bertambah lagi tinnggi badannya.
I1-4 Apa itu IMT? belum pernah diajarkan cara perhitungan IMT,
pelatihan menggunakan peralatan juga tidak ada
I1-5
Dari Puskesmas tidak memerintah ada pengukuran IMT, yang
ada hanya penimbangan berat badan dan pemeriksaan
kesehatan saja
I2
Perhitungan tinggi badan jarang dilakukan. Kalau di Posbindu
yang biasa dilakukan adalah penimbangan berat badan, tensi
darah, pemeriksaan darah. Itu pemeriksaan rutin yang
dibutuhkan lansia. IMT sebaiknya dilakukan untuk mengetahui
gizi lansia, akan tetapi kader tidak bisa menghitung IMT dan
petugas kesehatan kurang, serta yang dibutuhkan lansia adanya
pemeriksaan penyakit kolesterol, gula darah, asam urat dan
tensi darah untuk mengetahui menderita darah rendah tau darah
tinggi, bukan IMT, maka tidak ada IMT.
Q6 Bagaimana kamampuan kelompok sasaran dalam
menyediakan dan mengalokasikan sumber daya financial
untuk Posbindu Usila? I
I1-1
Dana yang terkumpul dari kenclengan. Besaran uang
kenclengan yang dikasih Lansia secara sukarela ada yang
memberi Rp. 500,- atau Rp. 1.000,- seikhlasnya. Setiap
Posbindu Puskesmas memberikan dana hasil pemeriksaan
darah, besaran dananya tergantung dari banyaknya Lansia yang
memeriksa darah. Puskesmas juga memberikan uang insentif
bergilir Rp. 250.000 untuk satu Posbindu. Dana Posbindu
digunakan untuk PMT (Pemberian Makanan Tambahan), biaya
transportasi kader ke Puskesmas saat mengahadiri pertemuan
rutin di setiap bulannya, digunakan juga untuk menjenguk
warga yang sakit, atau bahkan sebagian ingin dibagi-bagikan
untuk upah kader atau dibelikan perlengkapan Posbindu seperti
buku catatan dan alat tullis.
I1-2
Di Posbindu sini tidak mengambil dana dari kenclengan tetapi
dari kas RW yang diambil Rp. 100.000,-. Pembagian dana Kas
RW menjadi bagian dari dana Posbindu sudah mendapatkan
kesepakatan antara kader dan RW. Kas posbindu digunakan
untuk PMT (Pemberian Makanan Tambahan) seperti kemarin
kader membuat bubur kacang hijau dan menyediakan air
mineral untuk Lansia dan petugas kesehatan
I1-3
Kas Posbindu ada dar hasil kenclengan dari Lansia ada yang
memberi Rp. 1.000,- ada juga yang memberi Rp. 2.000,-
seikhlasnya dari Lansia. Uang dari Puskesmas juga ada
sekitaran Rp. 20.000 sesudah Posbindu. Uang itu digunakan
untuk menjamu bidan dan untuk biaya transportasi kader ke
puskesmas setiap ada pertemuan.
I1-4
Ada kenclengan tapi hanya untuk yang ingin memberikan uang
kenclengan saja. Sumbangan dana ada dari hasil jual beras di
tiap RT . Kita mengambil sebagian dari hasil raskin itu karena
di sini tidak ada kas RW. Dana tersebut digunakan untuk PMT
posyandu, Posbindu tidak ada PMT. PMT diberikan untuk
balita, serta untuk menjamu Ibu bidan.
I1-5
Penyediaan dana Posbindu ada dari kas arisan. besaran
dananya tergantung apa yang diperlukan untuk Posbindu.
Puskesmas membantu dari penghasilan yang berasal dari hasil
pemeriksaan kesehatan yang sebagiannya diberikan ke
Posbindu sekitar Rp. 10.000 sampai Rp. 30.000 tergantung dari
berapa banyak penghasilan yang didapatkan. Kader dapat uang
Rp. 150.000,- mungkin itu yang disebut insentif. saya baru
mendapatkannya dua kali. Penggunaan dana dari puskesmas
mungkin digabung dari kas-kas arisan biasanya dari seksi
ekonomi juga biasanya digunakan untuk kebutuhan organisasi
mungkin ada yang sakit, yang opnam, yang meninggal, atau
dialokasikan untuk akhir tahun memberikan sembako. Itu pun
ada laporannya pemasukan dan penggunaannya untuk apa.
I2
Biaya cek darah yang dibayar oleh Lansia sebagian dibagi
untuk Kader. Besaran biaya tersebut untuk satu Lansia yang
membayar cek darah, kader mendapat Rp. 2000,-. Sedangkan
insentif diberikan secara bergilir besaran nominalnya Rp.
250.000,- dari Dinas Kesehatan. Insentif tersebut bukan khusus
untuk Posbindu tetapi juga untuk Posyandu Balita.
I3
Kalau dari seksi gizi remaja dan Lansia tidak pernah
memberikan uang kepada masyarakat karena itu akan membuat
masyarakat menjadi tidak mandiri.
Q7
I
Bagaimana kemampuan kelompok sasaran dalam
menyediakan sarana prasarana pendukung Posbindu
Usila?
I1-1
Gedung Posbindu, meja dan kursi sudah ada hasil swadaya.
Timbangan, meteran, dan KMS (Kartu Menuju Sehat) adalah
bantuan dari Puskesmas. Kemarin kita dapat papan nama
posbindu dari Kelurahan.
I1-2 Gedung Posbindu, meja dan kursi sudah ada dari hasil swadaya
masyarakat. timbangan kita dapatkan dari bantuan koperasi.
I1-3
Sarana prasarana sudah ada, ada alat ukut tinggi badan dan
KMS (Kartu Menuju Sehat) dari Puskesmas Singandaru, kader
sudah punya buku catatan untuk mencatat nama-nama Lansia
yang hadir, usia, dan keterangan berat badan dan tensi darah.
gedung sudah ada dari swadaya masyarakat.
I1-4
Sarana dan prasarana sudah lengkap. Gedung kita dapatkan
dari tanah yang diwakafkan. KMS (Kartu Menuju Sehat) dari
Puskesmas, timbangan dari Ibu Bidan, sedangkan Meja kami
dapatkan dari Pak Lurah. semuanya disiapin dulu setengah jam
sebelum ada posbindu.
I1-5
Saya kira sarana dan prasaran sudah cukup. yang dibutuhkan
hanya meja, kursi, dan pembukuan sudah ada dari inventaris
kantor.
I2
KMS (Kartu Menuju Sehat) dari Dinas Kesehatan Kota Serang
ke Puskesmas, fasilitas yang disebut dengan Kit Lansia,
petugas kesehatan sudah disiapkan dari Puskesmas. Tetapi
untuk meja, kursi, gedungdan buku catatan berasal dari hasil
swadaya masyarakat.s
I3
Sarana prasarana penyediaan alat kesehatan seperti Kit Lansia
itu berasal dari Dinas Kesehatan Kota Serang
Implementing Organization (organisasi Pelaksana)
Peran dan kinerja organisasi yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan
kebijakan
Q8 Apa peran dari masing-masing stakeholder yang ada
dalam kebijakan Posbindu Usila? I
I1-1
Peran Ibu Tatu sebagai tenaga kesehatan di Posbindu. Peran
kader dalam Posbindu, kader ikut melaksanakan Posbindu dan
dibantu oleh Ibu Tatu untuk meriksa kesehatan Lansia. Jadi
kader melakukan pencatatan nama Lansia dan menimbang
berat badan Lansia. sebelum dilakukan Posbindu kader yang
menyiapkan tempat dan mengumumkan ke warga apabila akan
ada Posbindu.
I1-2
Peran ibu tatu sebagai petugas kesehatan yang memeriksa
kesehatan Lansia. Peran kader yang melaksanakan,
menyiapkan segala untuk Posbindu dan ikut melaksanakan
Posbindu dibagian pencatatan dan penimbangan
I1-3
Peran kader sebagai yang melaksanakan Posbindu seperti
menyiapkan tempat posbindu, mengajak lansia dan menimbang
berat badan lansia Peran Ibu Tatu sebagai petugas kesehatan
dari Puskesmas yang membantu memeriksa kesehatan Lansia
karena kalau kader tidak bisa memeriksa kesehatan Lansia
I1-4
Peran kader sebagai pelaksana posbindu yang bertugas
menyediakan tempat, membantu ibu Tatu menimbang berat
badan Lansia dan berkomunikasi dengan Ibu Tatu untuk
menetapkan jadwal Posbindu Peran ibu Tatu sebagai tenaga
kesehatan di Posbindu beliau juga pelaksana posbindu sama
seperti kader jadi kita bekerjasama melaksanakan Posbindu.
I1-5 Menurut pengamatan saya Ibu Tatu itu berperan sebagai
perutas kesehatan dari Puskesmas Singandaru yang ditugaskan
untuk memeriksa kesehatan di Posbindu
Kader sebagai tenaga yang membantu petugas kesehatan dalam
menyediakan tempat dan membantu di penimbangan berat
badan Lansia
I2
Saya di bidang bina kesehatan masyarakat bagian Lanjut Usia.
Peran saya sebagai pelaksana program kesehatan usia lanjut
dan tenaga kesehatan di Posbindu. Tenaga kesehatan
dibutuhkan di Posbindu karena hanya tenaga kesehatan yang
bisa melakukan pemeriksaan kesehatan pada Lansia. saya juga
membuat laporan hasil kegiata Posbindu yang diserahkan ke
Dinas Kesehatan. Peran Kader sebagai pelaksana Posbindu
karena Posbindu itu dibentuk oleh masyarakat di lingkungan
masyarakat. masyarakat yang menyiapkan tempatnya,
memobilisasi Lansia agar datang ke Posbindu dan ikut
melayani lansia pada pencatatan nama Lansia yang datang dan
menimbang berat badan Lansia. Dinas Kesehatan yang
membantu menyediakan KMS dan mengadakan pembinaan
untuk kader Posbindu
I3
Posyandu itu UKBM (Upaya Kesehatan Bersumberdaya
Masyarakat) jadi dari masyarakat, oleh masyarakat, untuk
masyarakat. Seyogyanya masyarakat yang membentuk, kita
yang membina. Peran Dinas Kesehatan yaitu pertama, kita
membuat program kerja tentang Posbindu Usila. Kita tidak
bisa membentuk Posbindu karena Posbindu dibentuk oleh
sasaran. Tugas kita membina saja, jadi kita membina yang ada
di Puskesmas, lalu yang di Puskesmas membina lagi kader
yang ada di Posbindu. Kedua, kita melatih kader seperti apa
yang harus dilakukan kader apabila ada Lansia yang tidak
mampu pergi ke Posbindu lalu kader memberitahu keluarga
lansia bagaimana cara merawat lansia. Peran Puskesmas dalam
pelaksanaan Posbindu Usila sebagai pembina kader dan
pelaksana program Lansia di Puskesmas. beliau yang menjadi
tenaga kesehatan yang memegang peralatan medis, bukan
kader karena bukan ahlinya
Q9
I
Bagaimana kinerja dari masing-masing stakeholder
kebijakan Posbindu Usila?
I1-1
Kinerja kader baik karena semua kader aktif, saya ketua yang
komunikasi dengan Ibu Tatu untuk membicarakan jadwal
pelaksanaan Posbindu. bendahara yang mengatur kas,
sedangkan bagian penulisan saat posbindu kita saling bantu
karena pelaksanaan digabung dengan Posyandu. kader laki-laki
yang mengumumkan kepada lansia apabila akan ada Posbindu
melalui speaker masjid. Kinerja petugas kesehatan cukup baik,
ramah dalam memberikan pelayanan pada Lansia. Lansia
seperti bayi lagi jadi memerlukan perlakuan yang lembut,
tenaga kesehatan memberikan pelayanannya dengan sabar.
Apalagi sering ada kunjungan ke rumah untuk Lansia yang
tidak bisa bangun. hanya saja ada masalah dalam waktu
pelaksanaannya, bulan ini belum ada posbindu.biasanya
dilaksanakan setiap hari rabu pada minggu ketiga. Tapi belum
ada informasi juga mungkin Ibu Bidannya sedang sibuk.
I1-2
Kinerja kader baik, maka dari itu kader yang dipilih adalah
kader yang bersedia mengurus Posbindu tanpa upah. ada kader
yang biasa membersihkan tempat Posbindu, sedangkan
konsumsi bergantian. Saat pelaksanaan Posbindu kita saling
banutu bergantian mencatat dan menimbang Lansia. setelah
selesai kader membersihkan gedung Posbindu bersama.
Kinerja Ibu Tatu baik, pelayanan kesehatan yang diberikan
cukup baik, hanya saja Bu Tatunya sering sibuk jadi sering
mundur jadwal pelaksanaan Posbindunya.
I1-3
Kinerja kader baik, kita sudah membagi tugas saya yang
komunikasi dengan Ibu Tatu untuk merencanakan jadwal
Posbindu, Ibu Nini memegang kas Posbindu. sebelum mulai
Posbindu kami menyiapkan tempatnya bersama, memberikan
pengumuman kepada warga bergantian. Kinerja petugas
kesehatan baik, melayani Lansia sangat baik. Hanya saja
petugas kesehatan hanya satu orang, saya melihatnya seperti
kerepotan, tapi dilihat dari jumlah lansia yang datang walaupun
banyak namun datangnya tidak sekaligus tetapi satu persatu
jadi petugas kesehatan bisa menanganinya. yang kurang baik
hanya masalah waktu saja karena bidannya sibuk kuliah,
jadwal Posbindu jadi tidak beraturan. Biasanya Posbindu
dilaksanakan setiap tanggal 15, namun akhir-akhir ini
jadwalnya jadi tidak beraturan. Jadi menetapkan waktunya
bicara dahulu dengan bidan di telepon dan kami mengikuti
jadwal kapanbidan bisa hadir ke posbindu.
I1-4
Kinerja kader lainnya sudah baik. Saya ketua yang biasa
koordinasi dengan Ibu bidan, bendahara mengatur pemasukan
dan pengeluaran kas Posbindu. Untuk tugas pencatatan
biasanya sekretaris tapi kita saling bantu saja bagian
pencatatannya karena pelaksanaan Posbindu dan Posyandu
digabung dalam satu waktu. Kinerja petugas kesehatan kurang
baik, Petugasnya pernah tidak datang. Saya sudah
mengumumkan lewat speaker masjid memberitahu akan ada
Posbindu, Lansianya pun sudah datang, tapi petugasnya tidak
ada, itu yang membuat kita kecewa. Ada yang bilang, petugas
untuk lansianya kurang untuk kerja yang di dalam Puskesmas,
maka dari itu untuk yang kerja di luarnya tidak ada, ibu Tatu
juga kerja di dalam Puskesmas. Petugas pernah kasih dosis
obat yang tinggi pada Lansia ke tiga Lansia, akibatnya Lansia
tersebut tidak bisa bangun dari tempat tidurnya. Karena itu tiga
Lansia tersebut tidak
I1-5
Baik, yang bertugas di Posbindu saya sendiri mengerjakan
penimbangan berat badan dan mencatat Lansia. Kader satu lagi
Ibu Iwan hanya tercatat nama saja, beliau mengurusi uang
arisan.tetapi apabila saya sedang tidak bisa melayani Lansia,
ada anggota lain yang membantu mengerjakan tugas saya.
untuk pengelolaan kas di pepabri memiliki bendahara yaitu Ibu
Insan. Kinerja petugas kesehatan baik dan pelayanannya
memuaskan. Apabila pelayanannya tidak memuaskan, pasti
kita tidak banyak yang berobat dan tidak akan menunggu
petugas kesehatan dating
I2
Kinerja kader baik. Sebelum mulai Posbindu, kader sudah
mempersiapkan Posbindunya. Kader mempunyai buku sendiri
untuk mencatat Lansia yang datang. Pelayanan yang diberikan
oleh kader sudah baik, kader mencatat nama lansia yang datang
dan menimbang berat badan Lansia. Hasil penimbangan berat
badan Lansia di catat dibuku itu. Kinerja Dinas Kesehatan
Kota Serang cukup baik, Dinas Kesehatan memang tidak
secara langsung membantu saat pelaksanaan Posbindu, tetapi
mereka memberikan pembinaan terkait kesehatan Lansia,
pernah diadakan di rumah makan S’rizki atau sesekali
memberikan pembinaan pada pertemuan rutin
I3
Kinerja pelaksana Posbindu Puskesmas Singandaru cukup
baik, ia bertanggung jawab ikut melaksanakan Posbindu Usila
dan rutin memberikan laporan hasil kegiatan Posbindu tiap
bulan.
Environmental Factors (Faktor-faktor Lingkungan)
Faktor sosial budaya, ekonomi dan politik yang mempengaruhi implementasi
kebijakan
Q10 Apakah kondisi sosial dan budaya Lansia mempengaruhi
pelaksanaan kebijakan Posbindu Usila? I
I1-1
Di sini biasa ada pengajian sebelum Posbindu. Yang ikut
pengajian adalah ibu-ibu mayoritas yang sudah Lansia.
Partisipasi Lansia cukup banyak sekitar 20 sampai 30 orang
karena banyak yang sakit atau hanya ingin check saja. Sebelum
Posbindu ada pengajian jadi banyak ibu-ibu setelah mengaji ke
Posbindu. Ada bapak-bapak 3 atau 4 orang. Jumlahnya Lebih
sedikit dibanding ibu-ibu. Kalau ibu-ibu karena setelah
pengajian langsung pergi ke Posbindu.
I1-2
Ada kegiatan masyarakat seperti pengajian. Yang menghadiri
ibu-ibu bukan hanya yang Lansia saja tetapi lebih banyak yang
Lansia yang datang. Selain itu juga ada arisan ibu-ibu di sini.
Partisipasi banyak yang ikut sekitar 15-20 orang karena di sini
rata-rata pensiunan dan sangat sadar akan pentingnya menjaga
kesehatan. partisipasi lebih banyak perempuan dibanding laki-
laki yang datang sekitar 3-4 orang.
I1-3
Di sini lebih banyak kegiatan yang diikuti ibu-ibu seperti
pengajian yang ikut adalah ibu-ibu, senam lansia juga yang
ikut adalah ibu-ibu tidak ada bapak-bapaknya. Yang datang ke
Posbindu juga mayoritas ibu-ibu, tidak ada bapak-bapaknya
saya tidak tahu kenapa bisa begitu. Banyak yang ikut ada
sekitar 15 orangan. Yang datang kebanyakan ibu-ibu,
dibandingkan bapak-bapak yang datang sekitar 2-3 orang saja.
I1-4
Ada pengajian di majelis taqlim dan shalat dhuha jama’ah.
tidak semua hanya beberapa saja yang datang ke Posbindu
Yang datang lumayan banyak sekitar 10 orang. memang tidak
sekaligus datang 10 orang tetapi yang datang satu per satu.
I1-5
Di sini memang sudah ada kegiatan organisasi pada tanggal 4
dan bertepatan dengan jadwal Posbindu. Kegiatannya yaitu
pengajian dan arisan. Partisipasinya banyak yang datang
sekitar 65 orang ke PEPABRI, tetapi yang ikut Posbindu
sebagiannya saja. yang datang perempuan semua karena ini
adalah organsiasi persatuan para istri jadi perempuan semua.
Q11 Apakah kondisi ekonomi Lansia membuat Lansia mampu
berpartisipasi dalam kebijakan Posbindu Usila? I
I1-1
Terjangkau apabila dibandingkan dengan pergi ke Puskesmas
yang jauh dan membutuhkan biaya transportasi, lansia juga
tidak mampu pergi jauh. Banyak yang ikut periksa darah ada
15orangan, soal biaya pemeriksaan lebih mending kalau
dibandingkan pergi ke puskesmas yah jauh terus kondisi lansia
kan tidak sehat semua.
I1-2 Terjangkau apabila dibandingkan dengan pergi ke Puskesmas
yang perlu biaya transportasi dan mengantri.
I1-3 Terjangkau banyak yang periksa darah, daripada ke puskesmas
harus mengeluarkan biaya tranportasi.
I1-4
Bagi yang tidak mampu tidak terjangkau, tetapi ada saja Lansia
yang memeriksa darah. Tapi bagi Lansia yang tidak mampu
tidak bisa membayar biaya pemeriksaan darah jadi mereka
hanya periksa tensi dan menebus obat. Saya pernah
menanggung biaya berobat warga khusunya janda berusia
lanjut yang tidak mampu dalam rangka beramal. Jadi sebelum
hari H, saya mengajak mereka untuk berobat ke Posbindu
besok. Saat itu saya memberikan kupon berobat seharga Rp.
5.000,- untuk menebus resep obat. Alhamdulillah jadi banyak
yang datang. Tetapi setelah tidak ada kupon lagi, sudah
berkurang lagi yang datang ke Posbindu.
I1-5
Menurut saya besarannya relatif umum, tapikalau dari sana ada
kebijaksanaan jangan disamakan dengan umum, saya berharap
diturunkan sedikit karena kalau di Jannah saya tidak
mengeluarkan biaya, sedangkan di klinik herbal hanya Rp.
10.000,- atau Rp. 15.000,- sudah lengkap pemeriksaannya.
Tapi perbedaan harga tersebut tidak mengurangi partisipasi
karena annggota membutuhkan Posbindu.
I4-1
Ibu tidak mampu membayar pemeriksaan darah. Jadi ibu
biasanya hanya memeriksa tensi darah saja karena khawatir
darah tinggi. Ibu sering mengalami sakit kepala.
I4-2
Saya tidak merasa keberatan dengan biaya pemeriksaan
kolesterol. Biayanya hanya Rp. 25.000,- itu cukup bagi saya
dibandingkan dengan pergi ke Puskesmas yang membutuhkan
biaya transportasi dan saya sudah tidak kuat pergi jauh.
I4-3
Biaya periksa seharusnya gratis untuk ibu, tapi karena kartu
ASKES ibu fasilitas kesehatannya bukan dii Puskesmas
Singandaru jadi tidak gratis. Periksa darah juga tidak
sepenuhnya gratis tetapi bergantian misalkan bulan ini periksa
kolesterol, bulan depan sudah tidak bisa lagi periksa kolesterol.
I4-4 Terjangkau harganya tidak terlalu mahal. Saya butuh periksa
rutin kolesterol. Kolesterol saya sering naik
I4-5 Bapak pakai kartu BPJS Kesehatan, jadi tidak dipungut biaya.
Q12 Apakah kondisi politik yang ada di masyarakat
mempengaruhi dalam pemilihan pengurus Posbindu Usila? I
I1-1
Saya menjadi ketua kader bukan karena suami saya ketua RW.
Saya menjadi ketua kader karena awalnya saya diajak
bergabung menjadi kader Posyandu Balita sudah lama tahun
90-an. Karena sudah lama saya menjadi ketua kader. Anggota
kader yang lain adalah kader Posyandu juga. Hingga sekarang
tidak ada lagi pergantian kader. Karena belum ada yang
bersedia menjadi kader.
I1-2
Saya menjadi ketua Kader karena suami saya seorang ketua
RW, sedangkan kader yang lain saya yang memilih yang
menurut saya mau bekerja
I1-3
Kader untuk siapa saja yang sukarela ingn menjadi kader.
selama ini tidak ada pergantian kader karena tidak ada yang
bersedia.
I1-4
Karena ada pergantian RW, suami saya jadi ketua RW dan
saya menjadi ketua kader. Pemilihan kader yang lain
dirundingkan dengan ketua RT karena anggota kader dipilih
dari perwakilan masing-masing RT.
I1-5
Sebelumnya ibu Misnih yang menjadi pengurus Posbindu.
Namun karena beliau sudah sepuh maka saya ditunjuk sebagai
pengurus. Mungkin karena jabatan saya di perip adalah sebagai
sekretaris yang terbiasa menulis laporan maka saya di percayai
oleh ketua organisai dan Ibu Tatu membantu pelaksanaan
kebijakan Posbindu.
HASIL TEMUAN DI LAPANGANN
No. Indikator Hasil Temuan Keterangan
1 Idealized Policy
(Kebijakan Ideal)
1. Sosialisasi Kebijakan Posbindu Usila dari Puskesmas Singandaru melalui
pertemuan rutin di Puskesmas berhasil memotivasi kelompok sasaran
membentuk Posbindu Usila.
2. Kebijakan Posbindu Usila belum memenuhi seluruh Lansia yang ada di
wilayah kerja Puskesmas Singandaru karena masih ada wilayah yang tidak
bisa membentuk Posbindu Usila yaitu Kelurahan Kota Baru.
3. Tanggapan anggota Posbindu Usila baik terhadap keberadaan Posbindu Usila.
Belum
Optimal
2 Target Group
(Kelompok Sasaran)
1. Jumlah kader yang tersedia untuk Posbindu Usila hanya berjumlah dua orang.
Jumlah tersebut tidak sesuai dengan yang direkomendasikan dalam pedoman
pelaksanaan Posyandu Lansia dan Puskesmas Singandaru karena adanya
penggabungan kader Posbindu Usila dengan Posyandu balita yang
berpengaruh pada tidak adanya kader yang membantu tenaga kesehatan dalam
pencatatan lansia yang memeriksa kesehatan dan hasil pemeriksaan kesehatan
lansia.
2. Pengetahuan kader dalam melayani Lansia hanya mengerti pencatatan Lansia
yang hadir dan penimbangan berat badan. Sedangkan IMT dan pengukuran
tinggi badan tidak dilakukan karena kader kesulitan dengan cara perhitungan
dan tidak mengetahui kegunaan dari hasil IMT dan pengukuran tinggi badan
Lansia.
3. Kelompok sasaran telah mampu menyediakan sumber daya financial
(keuangan) yang disebut dengan kas Pobindu yang dihasilkan dari swadaya
masyarakat, serta mendapat pemasukan dari Dinas Kesehatan Kota Serang
dalam bentuk insentif bergilir dan bagi hasil dana pemeriksaan kesehatan di
Posbindu Usila dengan tenaga kesehatan Puskesmas Singandaru.
Belum
Optimal
4. Sarana parasana tersedia cukup baik dari hasil swadaya masyarakat maupun
dibantu oleh Dinas Kesehatan Kota serang dan pihak lain seperti donatur dan
Kelurahan.
3 Implementing
Organization (Organisasi
Pelaksana)
1. Peran kader sebagai pelaksana Posbindu Usila. Kinerja kader posbindu baik
dalam melakukan tugasnya. Hanya saja kader belum mampu mengatur antiran
lansia seperti yang terjadi di Posbindu Teratai dan Pepabri.
2. Peran Seksi gizi Lansia Dinas Kesehatan Kota Serang sebagai pembina
pelaksana Posbindu Usila. Kinerja Dinas Kesehatan baik dalam memberikan
pembinaan terkait kesehatan Lansia yang diberikan secara langsung ataupun
dibantu oleh bidang bina kesehatan masyarakat Puskesmas Singandaru.
Pelatihan kader terkait tindakan terhadap lansia yang tidak mampu ke
Posbindu terealisasikan dalam kegiatan kunjungan Lansia yang dilakukan
oleh tenaga kesehatan Puskesmas Singandaru atas kerjasama dengan kader
Posbindu Usila.
3. Peran bidang bina kesehatan masyarakat bagian lanjut usia Puskesmas
Singandaru sebagai tenaga kesehatan di Posbindu Usila. Kinerja tenaga
kesehatan kurang baik karena pernah terjadi keselahan pemberian resep obat
yang disebabkan oleh ketidak sesuaian profesi dengan tugas yang dijalani,
serta jadwal pelaksanaan Posbindu tidak beraturan karena kerangkapan tugas
yang dimiliki tenaga kesehatan baik bertugas di lapangan maupun di dalam
Puskesmas.
Belum
Optimal
4 Environmental Factors
(Faktor-faktor
Lingkungan)
1. Kegiatan lansia perempuan lebih banyak mempengaruhi jumlah partisipan
lansia perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki. Partisipasi lansia
secara keseluruhan kurang baik karena lansia tidak mengetahui kebijakan
Posbindu Usila.
2. Biaya pemeriksaan kesehatan di Posbindu Usila tidak dapat dijangkau oleh
Lansia tidak mampu.
3. Pemilihan kader Posbindu Usila berdasarkan atas ketersidaannya menjadi
Belum
Optimal
kader. Dalam memilih kader Posbindu Usila sulit dilakukan karena
masyarakat tidak bersedia menjadi kader dengan alasan memiliki kesibukan
dan tidak mendapatkan upah atau insentif.
Struktur Organisasi Unit Pelayanan Terpadu (UPT) Puskesmas Singandaru, 2015
Struktur Organsiasi Pos Pembinaan Terpadu Usia Lanjut
Lampiran Dokumentasi
Gambar 1. Lanjut Usia di Posbindu Sirsak
Gambar 2. Pemeriksaan tekanan darah Lansia di Posbindu Sirsak
Gambar 3. Tempat pendaftaran Lansia di Posbindu Teratai
Gambar 4. Cek darah di Posbindu Teratai
Gambar 5. Pemeriksaan Tekanan darah di Posbindu Manggis
Gambar 6. Konsultasi kesehatan Lansia dengan tenaga kesehatan di Posbindu
Manggis
Gambar 7. Penimbangan berat badan Lansia di Posbindu PEPABRI
Gambar 8. Pemeriksaan tekanan darah Lansia di Posbindu PEPABRI
Gambar 9. Cek darah Lansia di Posbindu PEPABRI
Gambar 10. Penyuluhan Penyakit Tidak menular di Posbindu PEPABRI
Gambar11. Meja Pendaftaran Lansia di Posbindu melati
Gambar 12. Penimbangan berat badan Lansia di Posbindu Melati
Gambar 13. Tenaga kesehatan menulis hasil pemeriksaan kesehatan Lansia di
Posbindu melati
Gambar 14. Senam Lanjut Usia di Posbindu Melati
Gambar 15. Foto bersama Lansia dan Kader Posbindu Melati
Gambar 11. Foto bersama pelaksana bina kesehatan masyarakat lanjut usia
Puskesmas Singandaru dan mahasiswa magang akademi keperawatan
Bagian Peraturan Perundang-undangan Biro Hukum & Humas BPKP
1
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2004
TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN SOSIAL
LANJUT USIA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang: bahwa untuk menindaklanjuti ketentuan Pasal 13, Pasal 15, Pasal 17, Pasal 20, dan Pasal 24 Undang-undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia, dipandang perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Lanjut Usia; Mengingat: 1. Pasa1 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945; 2. Undang-undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia
(Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 190, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3796);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN SOSIAL LANJUT USIA.
BAB I KETENTUANUMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan: 1. Kesejahteraan sosial adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial material
maupun spiritual yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan, dan ketenteraman lahir batin yang memungkinkan bagi setiap warga Negara untuk mengadakan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmaniah, rohaniah, dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak asasi serta kewajiban manusia sesuai dengan Pancasila.
2. Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Lanjut Usia adalah serangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terkoordinasi antara Pemerintah dan masyarakat untuk memberdayakan lanjut usia agar lanjut usia tetap dapat melaksanakan fungsi sosialnya dan berperan aktif secara wajar dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
3. Lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 ( enam puluh) tahun ke atas.
4. Lanjut Usia Potensial adalah lanjut usia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan/atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang dan/atau jasa.
5. Lanjut Usia Tidak Potensial adalah lanjut usia yang tidak berdaya mencari nafkah sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain.
6. Perlindungan Sosial adalah upaya Pemerintah dan/atau masyarakat untuk memberikan kemudahan pelayanan bagi lanjut usia tidak potensial agar dapat mewujudkan dan menikmati taraf hidup yang wajar.
7. Bantuan Sosial adalah upaya pemberian bantuan yang bersifat tidak tetap agar lanjut usia potensial dapat meningkatkan taraf kesejahteraan sosialnya.
8. Aksesibilitas adalah kemudahan untuk memperoleh dan menggunakan sarana, prasarana dan fasilitas bagi lanjut usia untuk memperlancar mobilitas lanjut usia.
Bagian Peraturan Perundang-undangan Biro Hukum & Humas BPKP
2
9. Masyarakat adalah perorangan, keluarga, kelompok dan organisasi sosial dan/atau organisasi kemasyarakatan.
10. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. 11. Pemerintah Pusat adalah perangkat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri
dari Presiden beserta para Menteri. 12. Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah beserta perangkat Daerah Otonom yang
lain sebagai badan eksekutif daerah. 13. Menteri adalah Menteri yang bertanggungjawab dalam urusan pemerintahan di
bidang sosial.
Pasal 2 Uapaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Lanjut Usia ditujukan pada lanjut usis potensial dan lanjut usia tidak potensial.
Pasal 3
(1) Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial bagi Lanjut Usia Potensial meliputi : a. pelayanan keagamaan dan mental spiritual; b. pelayanan kesehatan; c. pelayanan kesempatan kerja; d. pelayanan pendidikan dan pelatihan; e. pelayanan untuk mendapatkan kemudahan dalam penggunaan fasilitas, sarana,
dan prasarana umum; f. pemberian kemudahan dalam layanan dan bantuan hukum; g. bantuan sosial.
(2) Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial bagi Lanjut Usia Tidak Potensial meliputi : a. pelayanan keagamaan dan mental spiritual; b. pelayanan kesehatan; c. pelayanan untuk mendapatkan kemudahan dalam penggunaan fasilitas, sarana dan
prasarana umum; d. pemberian kemudahan dalam layanan dan bantuan hukum; e. perlindungan sosial.
BAB II
PELAKSANAAN UPAYAPENINGKATAN KESEJAHTERAAN SOSIAL LANJUT USIA
Bagian Pertama Umum
Pasal 4
Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Lanjut Usia dilaksanakan oleh dan menjadi tanggung jawab Pemerintah dan masyarat.
Pasal 5 Pelaksanaan Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Lanjut Usia dilaksanakan secara terkoordinasi antar Pemerintah dan masyarakat.
Bagian Kedua Pelayanan Keagamaan dan Mental Spritual
Pasal 6
(1) Pelayanan keagamaan dan mental spiritual bagi lanjut usia dimaksudkan untuk mempertebal rasa keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
(2) Pelayanan keagamaan dan mental spiritual sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselenggarakan melalui peningkatan kegiatan keagamaan sesuai dengan agama dan keyakinannya masing-masing.
Bagian Peraturan Perundang-undangan Biro Hukum & Humas BPKP
3
Pasal 7 Pelayanan keagamaan dan mental spiritual bagi lanjut usia meliputi : a. bimbingan beragama; b. pembangunan sarana ibadah dengan penyediaan aksesibilitas bagi lanjut usia.
Bagian Ketiga Pelayanan Kesehatan
Pasal 8
(1) Pelayanan kesehatan dimaksudkan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan dan kemampuan lanjut usia agar kondisi fisik, mental, dan sosialnya dapat berfungsi secara waJar.
(2) Pelayanan kesehatan bagi lanjut usia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui peningkatan: a. penyuluhan dan penyebarluasan informasi kesehatan lanjut usia; b. upaya penyembuhan (kuratif), yang diperluas pada bidang pelayanan geriatrik/
gerontologik; c. pengembangan lembaga perawatan lanjut usia yang menderita penyakit kronis
dan/atau penyakit terminal. (3) Untuk mendapatkan pelayanan kesehatan bagi lanjut usia yang tidak mampu,
diberikan keringanan biaya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Keempat Pelayanan Kesempatan Kerja
Pasal 9
(1) Pelayanan kesempatan kerja bagi lanjut usia potensial dimaksudkan membeti peluang untuk mendayagunakan pengetahuan, keahlian, kemampuan, keterampilan, dan pengalaman yang dimilikinya.
(2) Pelayanan kesempatan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan pada sektor formal dan non formal, melalui perseorangan, kelompok/organisasi, atau lembaga baik Pemerintah maupun masyarakat.
Paragraf Kesatu Sektor Formal
Pasal 10
Pelayanan kesempatan kerja bagi lanjut usia potensial dalam sektor formal dilaksanakan melalui kebijakan pemberian kesempatan kerja bagi lanjut usia potensial untuk memperoleh pekerjaan.
Pasal 11
(1) Dunia usaha memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada tenaga kerja lanjut usia potensial yang memenuhi persyaratan jabatan dan kualifikasi pekerjaan untuk memperoleh pekerjaan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya.
(2) Penetapan persyaratan jabatan dan kualifikasi pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan dengan memperhatikan faktor: a. kondisi fisik; b. keterampilan dan/atau keahlian; c. pendidikan; d. fonnasi yang tersedia; e. bidang usaha; f. faktor lain.
(3) Persyaratan jabatan dan kualifikasi pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung jawab dalam urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan setelah mendapat pertimbangan Menteri dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Peraturan Perundang-undangan Biro Hukum & Humas BPKP
4
Pasal 12
Setiap pekerja/buruh lanjut usia potensial mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan pekerja/buruh lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Paragraf Kedua Sektor Non Formal
Pasal 13
(1) Pelayanan kesempatan kerja bagi lanjut usia potensial dalam sektor non formal dilaksanakan melalui kebijakan menumbuhkan iklim usaha bagi lanjut usia potensial yang mempunyai keterampilan dan/atau keahlian untuk melakukan usaha sendiri atau melalui kelompok usaha bersama.
(2) Penumbuhan iklim usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 14
Dunia usaha dan masyarakat berperan serta secara aktif dalam menumbuhkan iklim usaha bagi lanjut usia potensial.
Pasal 15
(1) Lanjut usia potensial yang mempunyai keterampilan dan/atau keahlian untuk melakukan usaha sendiri atau melalui kelompok usaha bersama dapat diberikan bantuan sosial.
(2) Pemberian bantuan sosial sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan mengenai bantuan sosial bagi lanjut usia potensial yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini.
Bagian Kelima
Pelayanan Pendidikan dan Pelatihan
Pasal 16 (1) Pelayanan pendidikan dan pelatihan dimaksudkan untuk meningkatkan pengetahuan,
keahlian, keterampilan, kemampuan, dan pengalaman lanjut usia potensial sesuai dengan potensi yang dimilikinya.
(2) Pelayanan pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan oleh lembaga pendidikan dan pelatihan, baik yang diselenggarakan Pemerintah maupun masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku.
Bagian Keenam
Pelayanan Untuk Mendapatkan Kemudahan Dalam Penggunaan Fasilitas, Sarana, dan Prasarana Umum
Pasal 17
(1) Pelayanan untuk mendapatkan kemudahan dalam penggunaan sarana dan prasarana umum dimaksudkan sebagai perwujudan rasa hormat dan penghargaan kepada lanjut usia.
(2) Pelayanan untuk mendapatkan kemudahan dalam penggunaan fasilitas umum dilaksanakan melalui: a. pemberian kemudahan dalam pelayanan administrasi pemerintahan dan
masyarakat pada umumnya; b. pemberian kemudahan dalam pelayanan dan keringanan biaya; c. pemberian kemudahan dalam melakukan perjalanan; d. penyediaan fasilitas rekreasi dan olahraga khusus.
Bagian Peraturan Perundang-undangan Biro Hukum & Humas BPKP
5
(3) Pelayanan untuk mendapatkan kemudahan dalam penggunaan sarana dan prasarana umum dimaksudkan untuk memberikan aksesibilitas tertutama di tempat-tempat umum yang dapat menghambat mobilitas lanjut usia.
Paragraf Kesatu
Kemudahan Dalam Penggunaan Fasilitas Umum
Pasal 18 (1) Pemerintah memberikan kemudahan dalam pelayanan administrasi pemerintahan
kepada lanjut usia untuk: a. memperoleh Kartu Tanda Penduduk (KTP) seumur hidup; b. melaksanakan kewajibannya membayar pajak negara; c. memperoleh pelayanan kesehatan pada sarana kesehatan milik Pemerintah; d. melaksanakan pemikahan; e. melaksanakan kegiatan lain yang berkenaan dengan pelayanan umum.
(2) Ketentuan mengenai pemberian kemudahan dalam pelayanan administrasi pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Menteri dan Menteri lain, baik secara sendiri-sendiri mapun bersama-sama sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 19
(1) Pemerintah dan masyarakat memberikan kemudahan dalam pelayanan dan keringanan biaya kepada lanjut usia untuk: a. pembelian tiket perjalanan dengan menggunakan sarana angkutan umum; b. akomodasi; c. pembayaran pajak; d. pembelian tiket masuk tempat rekreasi.
(2) Ketentuan mengenai pemberian kemudahan dalam pelayanan dan keringanan biaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Menteri dan Menteri lain, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 20
(1) Pemerintah dan masyarakat memberikan kemudahan dalam melakukan perjalanan kepada lanjut usia untuk: a. penyediaan tempat duduk khusus b. penyediaan loket khusus; c. penyediaan kartu wisata khusus; d. penyediaan informasi sebagai himbauan untuk mendahulukan lanjut usia.
(2) Ketentuan mengenai pemberian kemudahan dalam melakukan perjalanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Menteri dan Menteri lain, baik secara sendiri- sendiri maupun bersama-sama sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 21
(1) Pemerintah dan masyarakat menyediakan fasilitas rekreasi dan olah raga khusus kepada lanjut usia dalam bentuk: a. penyediaan tempat duduk khusus di tempat rekreasi; b. penyediaan alat bantu lanjut usia di tempat rekreasi; c. pemanfaatan taman-taman untuk olah raga; d. penyelenggaraan wisata lanjut usia; e. penyediaan tempat kebugaran.
(2) Ketentuan mengenai penyediaan fasilitas rekreasi dan olah raga khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Menteri dan Menteri lain, baik secara
Bagian Peraturan Perundang-undangan Biro Hukum & Humas BPKP
6
sendiri-sendiri maupun bersama-sama sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Paragraf Kedua
Kemudahan Dalam Penggunaan Sarana dan Prasarana Umum
Pasal 22 Setiap pengadaan sarana dan prasarana umum oleh Pemerintah dan/atau masyarakat dilaksanakan dengan menyediakan aksesibilitas bagi lanjut usia.
Pasal 23 Penyediaan aksesibilitas bagi lanjut usia pada sarana dan prasarana umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dimaksudkan untuk menciptakan keadaan dan lingkungan yang lebih menunjang lanjut usia dalam melaksanakan fungsi sosialnya dan berperan aktif secara wajar dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Pasal 24 Penyediaan aksesibilitas bagi lanjut usia pada sarana dan prasarana umum dapat berbentuk: a. fisik; b. non fisik.
Pasal 25 (1) Penyediaan aksesibilitas yang berbentuk fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24
huruf a, dilaksanakan pada sarana dan prasarana umum yang meliputi: a. aksesibilitas pada bangunan umum; b. aksesibilitas pada jalan umum; c. aksesibilitas pada pertamanan dan tempat rekreasi; d. aksesibilitas pada angkutan umum.
(2) Penyediaan aksesibilitas yang berbentuk non fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf b meliputi: a. pelayanan informasi; b. pelayanan khusus.
Pasal 26
Aksesibilitas pada bangunan umum sebagaimana rlimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf a, dilaksanakan dengan menyediakan: a. akses ke, dari, dan dalam bangunan; b. tangga dan lift khusus untuk bangunan bertingkat; c. tempat parkir dan tempat naik turun penumpang; d. tempat duduk khusus; e. pegangan tangan pada tangga, dinding, kamar mandi dan toilet; f. tempat telepon; g. tempat minum; h. tanda-tanda peringatan darurat atau sinyal.
Pasal 27 Aksesibilitas pada jalan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasa1 25 ayat (1) huruf b, dilaksanakan dengan menyediakan: a. akses ke dan dari jalan umum; b. akses ke tempat pemberhentian bis/kendaraan; c. jembatan penyeberangan; d. jalur penyeberangan bagi pejalan kaki; e. tempat parkir dan naik turun penumpang; f. tempat pemberhentian kendaraan umum; g. tanda-tanda/rambu-rambu dan/atau marka jalan; h. trotoar bagi pejalan kaki/pemakai kursi roda; i. terowongan penyeberangan.
Bagian Peraturan Perundang-undangan Biro Hukum & Humas BPKP
7
Pasal 28 Aksesibilitas pada pertamanan dan tempat rekreasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf c, dilaksanakan dengan menyediakan: a. akses ke, dari, dan di dalam pertamanan dan tempat rekreasi; b. tempat parkir dan tempat naik turun penumpang; c. tempat duduk khusus/istirahat; d. tempat telepon; e. tempat minum; f. toilet; g. tanda-tanda atau sinyal.
Pasal 29 Aksesibilitas pada angkutan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf d, dilaksanakan dengan menyediakan: a. tangga naik/turun; b. tempat duduk khusus yang aman dan nyaman; c. alat bantu; d. tanda-tanda atau sinyal.
Pasal 30 Pelayanan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf a, dilaksanakan dalam bentuk penyediaan dan penyebarluasan informasi yang menyangkut segala bentuk pelayanan yang disediakan bagi lanjut usia.
Pasal 31 Pelayanan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf b, dilaksanakan dalam bentuk: a. penyediaan tanda-tanda khusus, bunyi dan gambar pada tempat-tempat khusus yang
disediakan pada setiap sarana dan prasarana pembangunan/fasilitas umum; b. penyediaan media massa sebagai sumber informasi dan sarana komunikasi antar
lanjut usia.
Pasal 32 (1) Penyediaan aksesibilitas oleh Pemerintah dan masyarakat dilaksanakan secara
bertahap dengan memperhatikan prioritas aksesibilitas yang dibutuhkan lanjut usia dan disesuaikan dengan kemampuan keuangan Negara.
(2) Sarana dan prasarana umum yang telah ada dan belum dilengkapi dengan aksesibilitas wajib dilengkapi dengan aksesibilitas sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini.
(3) Prioritas aksesibilitas yang dibutuhkan lanjut usia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Menteri setelah mendapat persetujuan dari Menteri lain sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing.
Pasal 33
Standardisasi penyediaan aksesibilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, dan Pasal 32, ditetapkan oleh Menteri terkait sesuai dengan bidang tugas dan fungsinya masing-masing. ,
Bagian Ketujuh Pemberian Kemudahan Layanan dan Bantuan Hukum
Pasal 34
(1) Pemberian kemudahan layanan dan bantuan hukum dimaksudkan untuk melindungi dan memberikan rasa aman kepada lanjut usia.
(2) Pemberian kemudahan layanan dan bantuan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui: a. penyuluhan dan konsultasi hukum;
Bagian Peraturan Perundang-undangan Biro Hukum & Humas BPKP
8
b. layanan dan bantuan hukum di luar dan/atau di dalam pengadilan.
Bagian Kedelapan Pemberian Perlindungan Sosial
Pasal 35
(1) Pemberian perlindungan sosial dimaksudkan untuk memberikan pelayanan bagi lanjut usia tidak potensial agar dapat mewujudkan taraf hidup yang wajar.
(2) Perlindungan sosial sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial yang diselenggarakan baik di dalam maupun di luar panti.
(3) Lanjut usia tidak potensial terlantar yang meninggal dunia dimakamkan sesuai dengan agamanya dan menjadi tanggung jawab Pemerintah dan/atau masyarakat.
Bagian Kesembilan
Bantuan Sosial
Pasal 36 (1) Bantuan sosial diberikan kepada lanjut usia potensial yang tidak mampu agar lanjut
usia dapat meningkatkan taraf kesejahteraannya. (2) Bantuan sosial sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bersifat tidak tetap, berbentuk
material, finansial, fasilitas pelayanan dan informasi guna mendorong tumbuhnya kemandirian.
Pasal 37
Pemberian bantuan sosial bertujuan untuk: a. memenuhi kebutuhan hidup lanjut usia potensial yang tidak mampu; b. mengembangkan usaha dalam rangka meningkatkan pendapatan dan kemandirian; c. mendapatkan kemudahan dalam memperoleh kesempatan berusaha.
Pasal 38 Pemberian bantuan sosial dilakukan dengan memperhatikan keahlian, keterampilan, bakat, minat, dan kemampuan lanjut usia potensial yang tidak mampu serta tujuan pemberian bantuan sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37.
Pasal 39 (1) Pemberian bantuan sosial dapat diberikan kepada lanjut usia potensial yang tidak
mampu perorangan atau kelompok untuk melakukan usaha sendiri atau kelompok usaha bersama dalam sektor usaha non formal.
(2) Untuk memperoleh bantuan sosial, lanjut usia potensial yang tidak mampu perorangan atau kelompok sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 40
(1) Dalam rangka pemberian bantuan sosial, Menteri melakukan pembinaan terhadap lanjut usia potensial yang tidak mampu.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui bimbingan, penyuluhan, pendidikan dan latihan keterampilan, pemberian informasi, dan/atau bentuk pembinaan lainnya.
Pasal 41
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian bantuan sosial dan pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, dan Pasa1 40 diatur oleh Menteri.
Bagian Peraturan Perundang-undangan Biro Hukum & Humas BPKP
9
BAB III PENGHARGAAN
Bagian Pertama
Penghargaan
Pasal 42 (1) Menteri memberikan penghargaan kepada masyarakat yang berperan dalam upaya
peningkatan kesejahteraan sosiallanjut usia. (2) Penghargaaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), disebut dengan Penghargaan
Kesejahteraan Sosial Lanjut Usia.
Pasal 43 Penghargaan Kesejahteraan Sosial Lanjut Usia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 merupakan bentuk penghormatan dan rasa terima kasih Pemerintah kepada masyarakat yang memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku berkenaan dengan pelaksanaan upaya peningkatan kesejahteraan sosial lanjut usia.
Bagian Kedua Jenis dan Bentuk
Pasal 44
Jenis Penghargaan Kesejahteraan Sosial Lanjut Usia berupa medali.
Pasal 45 (1) Medali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 berbentuk bulat dengan bentuk
gambar dan tulisan tertentu di dalamnya. (2) Ketentuan mengenai ukuran, bahan, warna, bentuk gambar dan tulisan dalam medali
sebagaimana maksud dalam ayat (1), diatur lebih lanjut oleh Menteri.
Pasal 46 (1) Setiap pemberian Penghargaan Kesejahteraan Sosial Lanjut Usia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 44 dan Pasal 45 disertai dengan pemberian piagam penghargaan.
(2) Ketentuan mengenai bentuk, ukuran, bahan, warna dan tulisan dalam piagam penghargaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur lebih lanjut oleh Menteri.
Bagian Ketiga
Persyaratan
Pasal 47 Penghargaan Kesejahteraan Sosial Lanjut Usia dapat diberikan kepada perorangan, keluarga, kelompok dan organisasi, sosial dan/atau organisasi kemasyarakatan yang memenuhi persyaratan yang ditetapkan.
Pasal 48 (1) Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasa1 47 me1iputi:
a. Untuk perorangan adalah: 1) Warga Negara Indonesia; 2) dewasa; 3) mampu untuk melakukan perbuatan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. b. Untuk keluarga adalah:
1) salah seorang anggota keluarga bertindak mewakili keluarga yang bersangkutan;
Bagian Peraturan Perundang-undangan Biro Hukum & Humas BPKP
10
2) anggota keluarga yang bertindak mewakili keluarga memenuhi persyaratan untuk perorangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
c. Untuk kelompok adalah: 1) mempunyai pengunis kelompok; 2) setiap anggota pengurus kelompok memenuhi persyaratan untuk perorangan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a. d. Untuk organisasi sosial dan/atau organisasi kemasyarakatan adalah organisasi
sosial dan/atau organisasi kemasyarakatan Indonesia yang dibentuk sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Selain persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), perorangan, keluarga, kelompok, dan organisasi sosial dan/atau organisasi kemasyarakatan harus memenuhi persyaratan sekurang-kurangnya selama 2 (dua) tahun secara terus menerus atau selama 5 (lima) tahun secara terputus-putus melaksanakan upaya peningkatan kesejahteraan sosial lanjut usia.
(3) Ketentuan mengenai tata cara penghitungan waktu dan penilaian pelaksanaan kegiatan yang dilakukan oleh perorangan, keluarga, kelompok dan organisasi sosial dan/atau organisasi kemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), diatur lebih lanjut oleh Menteri.
Bagian Keempat
Tata Cara Pemberian Penghargaan
Pasal 49 Penghargaan Kesejahteraan Sosial Lanjut Usia diberikan dengan Keputusan Menteri.
Pasal 50 Pemberian Penghargaan Kesejahteraan Sosial Lanjut Usia dilaksanakan dalam upacara resmi pada peringatan Hari Lanjut Usia Nasional (HLUN) yang telah ditetapkan.
Pasa151 Pemberian Penghargaan Kesejahteraan Sosial Lanjut Usia dapat dilakukan secara anumerta.
Pasal 52 Pemberian Penghargaan Kesejahteraan Sosial Lanjut Usia dapat disertai dengan penyerahan hadiah kepada penerima penghargaan.
Pasal 53 Pemberian Penghargaan Kesejahteraan Sosial Lanjut Usia dilaksanakan oleh Menteri atau atas nama Menteri oleh Pimpinan tertinggi unit kerja di lingkungan Kantor Menteri.
Pasal 54 Ketentuan mengenai tata cara pemberian Penghargaan Kesejahteraan Sosial Lanjut Usia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51, Pasal 52, dan Pasal 53, diatur lebih lanjut oleh Menteri.
Bagian Kelima Pemberian Penghargaan Secara Berulang
Pasal 55
Perorangan, keluarga, kelompok dan organisasi sosial dan/atau organisasi kemasyarakatan yang telah memperoleh Penghargaan Kesejahteraan Sosial Lanjut Usia dapat diberikan Penghargaan Kesejahteraan Sosial Lanjut Usia secara berulang apabila perorangan, keluarga, kelompok dan organisasi sosial dan/atau organisasi kemasyarakatan memenuhi persyaratan kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasa148.
Bagian Peraturan Perundang-undangan Biro Hukum & Humas BPKP
11
Pasal 56 Pemberian Penghargaan Kesejahteraan Sosial Lanjut Usia secara berulang hanya dapat dilakukan untuk sebanyak-banyaknya 2 (dua) kali.
Pasal 57
Tata cara pemberian Penghargaan Kesejahteraan Sosial Lanjut Usia secara berulang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan mengenai tata cara pemberian Penghargaan Kesejahteraan Sosial Lanjut Usia yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini.
Bagian Keenam Pemberian Penghargaan Di Daerah
Pasal 58
(1) Penghargaan Kesejahteraan Sosial Lanjut Usia dapat diberikan kepada perseorangan, keluarga, kelompok dan organisasi sosial dan/atau organisasi kemasyarakatan yang berperan penting dalam pelaksanaan upaya peningkatan kesejahteraan sosial lanjut usia di tingkat Propinsi dan Kabupaten/Kota.
(2) Di Propingi pemberian penghargaan dilakukan oleh Gubernur. (3) Di Kabupaten/Kota pemberian penghargaan dilakukan oleh Bupati/Walikota. (4) Pemberian Penghargaan Kesejahteraan Sogial Lanjut Ugia sebagaimana dimakgud
dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), dilaksanakan dengan memperhatikan ketentuan mengenai tata cara pemberian Penghargaan Kesejahteraan Sosial Lanjut Usia yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini.
Bagian Ketujuh
Ketentuan Lain-Iain
Pasal 59 Penghargaan Kegejahteraan Sosial Lanjut Usia dapat diberikan kepada badan usaha, warga negara aging, organisagi internasional dan/atau badan-badan internasional yang mempunyai peran penting dalam pelaksanaan upaya peningkatan kesejahteraan sosial lanjut usia.
BAB IV KETENTUAN PENUTUP
Pasal 60
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 18 Oktober 2004
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI Diundangkan di Jakarta pada tanggal 18 Oktober 2004 SEKRETARISNEGARA REPUBLIK INDONESIA, ttd. BAMBANGKESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 144
Bagian Peraturan Perundang-undangan Biro Hukum & Humas BPKP
12
PENJELASAN ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 T AHUN 2004
TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN LANJUT USIA
I. UMUM Lanjut usia sebagai bagian dari masyarakat Indonesia perlu diberi kesempatan untuk berperan aktif dalam pembangunan nasional, oleh karena itu peran lanjut usia perlu ditingkatkan dan didayagunakan seoptimal mungkin. Undang-undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia yang diundangkan pada tanggal 30 Nopember 1998 merupakan suatu bentuk upaya pemerintah bersama masyarakat untuk memberdayakan lanjut usia melalui upaya peningkatan kesejahteraan sosial lanjut usia di segala aspek kehidupan dan penghidupan guna mewujudkan kesamaan kedudukan, hak, kewajiban dan peran lanjut usia. Untuk melaksanakan upaya peningkatan kesejahteraan lanjut usia, Undang-undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia mengamanatkan untuk menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksanaan dari Undang-undang dimaksud. Sehubungan dengan hal tersebut, Peraturan Pemerintah ini disusun untuk memberikan kejelasan serta menjabarkan hal-hal yang berkenaan dengan upaya peningkatan kesejahteraan sosial lanjut usia agar pelaksanaannya memberikan hasil yang optimal sehingga dapat mewujudkan kemandirian dan kesejahteraan lanjut usia. Pelaksanaan upaya peningkatan kesejahteraan lanjut usia yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini meliputi: pelayanan keagamaan dan mental spiritual, pelayanan kesehatan, pelayanan kesempatan kerja, pelayanan pendidikan dan latihan, pelayanan untuk mendapatkan kemudahan dalam penggunaan fasilitas, sarana dan prasarana umum, pemberian kemudahan dan layanan bantuan hukum, pemberian perlindungan sosial, bantuan sosial dan pemberian penghargaan terhadap masyarakat.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2 Cukup jelas Pasal 3 Cukup jelas Pasal 4 Cukup jelas Pasal 5 Cukup jelas Pasal 6 Cukup jelas Pasal 7 Huruf a Bimbingan beragama dimaksudkan untuk memberikan tuntunan dan pegangan hidup serta ketenangan bagi lanjut usia di hari tuanya agar lebih memantapkan keyakinan sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing. Bimbingan beragama antara lain berupa: pengajian, ceramah, siraman rohani dan sebagainya. Huruf b Pembangunan sarana ibadah dengan menyediakan aksesibilitas bagi lanjut usia dimaksudkan agar dalam membangun tempat beribadah seperti masjid, gereja, pura, wihara, dan tempat ibadah lainnya perlu memperhatikan kemudahan bagi lanjut usia dalam melaksanakan ibadah.
Bagian Peraturan Perundang-undangan Biro Hukum & Humas BPKP
13
Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Penyuluhan dan penyebarluasan informasi kesehatan dalam ayat ini diutamakan pada upaya pemampatan penyakit. Yang dimaksud dengan geriatrik adalah suatu ilmu yang mempelajari penyakit pada lanjut usia (degeneratit), sedangkan gerontologi adalah suatu ilmu yang mempelajari aspek yang ada pada lanjut usia (fisik, mental, dan psikososial). Penyakit terminal adalah penyakit yang tidak dapat disembuhkan, seperti kanker stadium akhir. Ayat (3 ) Cukup jelas Pasal 9 Ayat (1) Ketentuan ini disamping untuk memberikan kesempatan kepada lanjut usia untuk bekerja sesuai dengan pengetahuan, keahlian, dan kemampuannya, juga dimaksudkan agar lanjut usia tersebut dapat mengalihkan keahlian dan kemampuannya kepada generasi penerus. Ayat (2) Yang dimaksud dengan sektor formal dalam ayat ini adalah bidang usaha yang menghasilkan barang dan atau jasa yang diatur secara normatif. Sektor nonformal adalah suatu bentuk usaha yang mandiri dan tidak terikat secara resmi dengan aturan-aturan normatif. Misal : usaha kaki lima, kios, dan asongan. . Pasal 10 Cukup jelas Pasal 11 Cukup jelas Pasal 12 Ketentuan dalam Pasal ini mempertegas kembali ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam hal ini, pengusaha wajib memberikan tanggung jawab dan hak-hak pekerja tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, dan agama termasuk pekerja/buruh lanjut usia. Pasal 13 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Penumbuhan iklim usaha telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan dan kebijakan pemerintah, antara lain Undang- undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil. Pelaksanaan penumbuhan iklim usaha bagi lanjut usia didasarkan pada peraturan perundang-undangan dan kebijakan pemerintah yang ada dan juga disesuaikan dengan kondisi fisik, mental, dan sosial serta lingkungan lanjut usia. Pasal 14 Cukup jelas Pasal 15 Cukup jelas Pasal 16 Cukup jelas Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Huruf a
Bagian Peraturan Perundang-undangan Biro Hukum & Humas BPKP
14
Pada ayat ini yang dimaksud dengan pelayanan administrasi adalah kemudahan bagi lanjut usia dalam urusan-urusan yang bersangkut paut dengan urusan administrasi, seperti kartu tanda penduduk (KTP) seumur hidup, pelayanan membayar pajak, pengambilan uang, dan pelayanan kesehatan. Huruf b Kemudahan dalam pelayanan dan keringanan biaya merupakan suatu penghargaan bagi lanjut usia yang akan menikmati dan/atau memenuhi berbagai kebutuhan baik transportasi maupun akomodasi seperti tiket (bus, kereta api, pesawat, kapal laut) dan penginapan. Huruf c Kemudahan dalam melakukan perjalanan merupakan suatu renyediaan fasilitas bagi lanjut usia, dalam bentuk antara lain penyediaan loket khusus, tempat duduk khusus, dan kartu wisata khusus, agar mereka tidak mendapat hambatan dalam melakukan perjalanan seperti melaksalnkan ibadah, ziarah atau wisata. Huruf d Penyediaan fasilitas rekreasi dan olah raga khusus dimaksudkan sebagai upaya untuk memberikan rasa senang, bahagia, dan kebugaran kepada lanjut usia agar dapat mengisi waktu luang dengan menikmati rekreasi dan olah raga yang secara khusus disediakan baginya. Ayat (3) Yang dimaksud dengan aksesibilitas pada ayat ini adalah tersedianya sarana dan prasarana umum yang dapat memudahkan mobilitas lanjut usia di tempat-tempat umum, seperti jalan untuk kursi roda, jalan bagi mereka yang bertongkat, pintu, tangga, lift khusus untuk bangunan bertingkat, dan tempat penyeberangan bagi pejalan kaki. Pasal 18 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas Huruf e Kegiatan lain yang berkenaan dengan pelayanan umum seperti pembayaran listrik, telepon, air minum, dan sebagainya. Ayat (2) Cukup j elas Pasal 19 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud angkutan umum adalah bis, kereta api, kapal laut, dan pesawat. Huruf b Yang dimaksud dengan akomodasi adalah biaya penginapan di hotel, wisma, dan penginapan lainnya. Huruf c Yang dimaksud dengan pembayaran pajak seperti Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Huruf d Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 20 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas
Bagian Peraturan Perundang-undangan Biro Hukum & Humas BPKP
15
Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Huruf d Yang dimaksudkan dengan penyediaan inforrnasi adalah pemasangan tulisan-tulisan sebagai himbauan untuk mendahulukan lanjut usia dalam melakukan perjalanan seperti di stasiun, terminal, pelabuhan, dan bandara. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 21 Cukup jelas Pasal 22 Cukup jelas Pasal 23 Cukup jelas Pasal 24 Cukup jelas Pasal 25 Cukup jelas Pasal 26 Cukup jelas Pasal 27 Cukup jelas Pasal 28 Cukup jelas Pasal 29 Cukup jelas Pasal 30 Pelayanan yang dimaksud dalam Pasal ini seperti pelayanan sosial lanjut usia dalam panti, luar panti, kelembagaan, bimbingan dan konsultasi, kesehatan, pelatihan kerja, dan lain-lain. Pasal 31 Cukup jelas Pasal 32 Cukup jelas Pasal 33 Cukup jelas Pasal 34 Cukup jelas Pasal 35 Ayat (1) Hakikat upaya perlindungan sosial terdiri atas serangkaian proses pemeliharaan, perawatan, dan pemenuhan kebutuhan lanjut usia sehingga perlu didahului dengan upaya penyuluhan dan bimbingan sosial agar perseorangan, keluarga, kelompok, dan organisasi sosial/lembaga kemasyarakatan memiliki kesadaran dan tanggung jawab sosial serta kepedulian terhadap peningkatan taraf kesejahteraan sosial lanjut usia. Ayat (2) Pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial merupakan upaya pemeliharaan terhadap lanjut usia tidak potensial yang mencakup pelayanan fisik, mental, sosial, kesehatan, dan pendekatan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial diselenggarakan baik di dalam maupun di luar panti sosial oleh Pemerintah dan masyarakat dalam kurun waktu tak terbatas sampai lanjut usia tersebut meninggal dunia. Ayat (3 )
Bagian Peraturan Perundang-undangan Biro Hukum & Humas BPKP
16
Tata cara pemakaman jenazah dilaksanakan sesuai dengan agama yang dianut oleh lanjut usia yang bersangkutan; apabila tidak ditemukan identitasnya, pemakaman dilaksanakan sesuai dengan agama yang melakukan pemakaman tersebut. Pasal 36 Cukup jelas Pasal 37 Cukup jelas Pasal 38 Cukup jelas Pasal 39 Cukup jelas Pasal 40 Cukup jelas Pasal 41 Cukup jelas Pasal 42 Cukup jelas Pasal 43 Cukup jelas Pasal 44 Cukup jelas Pasal 45 Ayat (1) Medali dengan bentuk, gambar dan tulisan tertentu pada dasamya mengandung makna pengabdian kepada lanjut usia. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 46 Cukup jelas Pasal 47 Cukup jelas Pasal 48 Ayat (l) Huruf a Dewasa dimaksudkan sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Huruf b Keluarga dimaksudkan terdiri dari keluarga inti (nuclear family) atau keluarga luas (extended family). Keluarga inti terdiri dari suami istri dan anak, atau ayah dan anak, atau ibu dan anak. Sedangkan keluarga luas terdiri dari nenek-kakek-suami-istri-anak-keponakan dan lain-lain. Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup Jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 49 Cukup jelas Pasal 50 Hari Usia Lanjut Nasional (HLUN) diperingati setiap tanggal 29 Mei yang dicanangkan oleh Presiden pada tanggal 29 Mei 1996 di Semarang. Pasal 51
Bagian Peraturan Perundang-undangan Biro Hukum & Humas BPKP
17
Pemberian Penghargaan Kesejahteraan Lanjut Usia dapat dilakukan secara anumerta dimaksudkan penghargaan dapat diberikan kepada ahli waris apabila yang bersangkutan telah meninggal dunia. Pasal 52 Cukup jelas Pasal 53 Cukup jelas Pasal 54 Cukup jelas Pasal 55 Cukup jelas Pasal 56 Cukup jelas Pasal 57 Cukup jelas Pasal 58 Cukup jelas Pasal 59 Cukup jelas Pasal 60 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4451
RIWAYAT HIDUP
Identitas Pribadi
Nama : Anis Yuliana
Tempat / Tanggal Lahir : Serang, 16 Juli 1993
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Komplek Ciceri Permai Blok E2 Nomor 30
Kelurahan Sumur Pecung
Kecamatan Serang, Kota Serang,
Provinsi Banten
E-mail : [email protected]
Motto Hidup : Keberhasilan akan tercapai dengan terus berusaha dan
iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii berdo’a
Data Pendidikan
2011 – Sekarang : Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Sarjana (S1) Jurusan Ilmu
Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
2008 – 2011 : SMK Negeri 01 Kota Serang
2005 – 2008 : SMP Negeri 07 Serang
1999 – 2005 : SD Negeri 03 Serang
1998 – 1999 : TK Artha Kencana
Pengalaman Organisasi
2011 – 2013 Paduan Suara Mahasiswa Gita Tirtayasa UNTIRTA
2009 – 2010 Anggota Osis SMK Negeri 01 Kota Serang
2008 – 2011 Anggota Bantara Pramuka SMK Negeri 01 Kota Serang