Imam Hidayatullah NIM...
Transcript of Imam Hidayatullah NIM...
TERJEMAH AL-QUR’AN BAHASA SASAK
Studi Kitab Juz ‘Amma al-Majīdi
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S. Ag)
Imam Hidayatullah
NIM :1112034000084
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018 M./1439 H.
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke pada Allah SWT yang telah memberikan berbagai macam
nikmat dan rahmat-Nya kepada penulis, sehingga dengan nikmat dan rahmat
tersebut penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Shalawat serta salam
semoga tetap tercurahkan kepada Saiyyidina Nabi Muhammad SAW., berserta
para keluarrga dan sahabatnya yang telah mengajarkan berbagai macam ilmu
pengetahuan dan budi pekerti yang baik kepada umat manusia.
Skripsi berjudul “Terjemah Al-Qur’an Bahasa Sasak Studi Kitab Juz
‘Amma al-Majīdi “ disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Agama pada jurusan Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Penulis menyadari skripsi ini tidak mungkin dapat terselesaikan tanpa
dukungan, bantuan dan motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis
mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, M.A., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA., selaku Ketua Jurusan Ilmu Al-Qur‟an
dan Tafsir Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sekaligus
Penguji I dalam skripsi ini.
3. Ibu Banun Binaningrum, M.Pd., selaku Sekretaris Jurusan Ilmu Al-Qur‟an
dan Tafsir Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Bapak Dr. Eva Nugraha, M.Ag selaku penguji II dalam skripsi ini, yang
menurut penulis banyak memberikan perspektif baru (fresh perspektif)
sehingga finishing skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
5. Dosen Pembimbing Bapak Dr. Yusuf Rahman, MA., yang telah berkenan
membimbing, hingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
6. Bapak Jauhar Azizi, MA., selaku dosen penguji Proposal Skripsi, yang
telah memberikan banyak perspektif dalam penulisan skripsi ini.
ii
7. Bapak Dr. Kusmana, MA., selaku Dosen Pembimbing Akademik, yang
telah memberikan banyak ilmu dan arahan-arahan di dalam penyusunan
dan pengajuan proposal skripsi.
8. Bapak Dr. Isa Salam, M.Ag yang telah memberikan banyak dukungan,
nasehat, dan kritikan agar penulis segera menyelesaikan penyususan
skripsi ini.
9. Seluruh Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Semoga ilmu yang telah diberikan dapat penulis amalkan dan kelak
mendapat balasan yang terbaik di sisi Allah SWT.
10. Kepada Ayahanda tercinta H. Imam Hidayat Ma‟in, SH dan Ibunda Hj.
Sumiati yang telah memberikan segala bentuk dukungan kepada penulis,
kesabaran, do‟a dan kerja keras beliau selalu memberikan semangat yang
lebih. Juga kepada Kakakku Muhammad Robi Abror dan Adik-adikku
Maulana Putra Malik dan Rifa Risa Liani, yang selalu mendukung dan
memberikan semangat terus menerus hingga penulis dapat menyelesaikan
penyusunan skripsi ini.
11. Kepada Bapak H. Maman Sutriaman, SH dan Ibu Hj. Ida Fatimah yang
telah berkenan memberikan support dan do‟a hingga penulis bisa
meyelesaikan penulisan skripsi ini.
12. Kepada tunanganku tersayang Siti Khairina, S. Pd., yang telah
memberikan support, dukungan serta saran hingga penulis bisa
merampungkan penyusunan skripsi ini.
13. Kepada teman-teman Ikatan Mahasiswa Sasak (IMSAK) Jakarta. Semeton
Maliki, Bang Helmy, Bang Zulfan, Bang Deni, Khalik, Lalu Hafiz, Kanda
Hadi, Gufron, Syamsuddin, Kanda Hirman Jayadi, Dianul Malik, Saiful
Hadi dan kawan-kawan yang lain.
14. Kepada kawan-kawan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang
Ciputat, Kanda Jarwo (BJ), Kanda Ali Taufan, Aan Suherman, Adul,
Ihsan, Amar, Syauki, Yakub Batubara dan kawan-kawan kawan yang lain.
15. Kepada teman-teman angkatan wabil khusus saudaraku Nurkhalis, Arjuna,
Ridho Ilahi, Yasir dan kawan-kawan yang lain yang sudah banyak
membantu dalam proses penyususnan skripsi ini.
iii
16. Akhirnya penulis hanya bisa bersyukur dan memanjatkan do‟a atas segala
perhatian, dukungan, motivasi dan bantuan mereka, mudah-mudahan
Allah SWT membalas kebaikan mereka dengan balasan yang terbaik.
Amin ya Rabb
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih sangat jauh dari
kata sempurna, untuk itu penulis sangat mengharapakan saran dan kritik yang
konstruktif demi kesempurnaan skripsi ini. Besar harapan penulis semoga skripsi
ini dapat bermanfaat untuk penulis dan bagi khalayak banyak.
Ciputat, 6 Juni 2018.
Penulis
iv
ABSTRAK
IMAM HIDAYATULLAH
Terjemah al-Qur’an Bahasa Sasak : Studi Kitab Juz ‘Amma al-Majīdi.
Skripsi ini mengkaji tentang penerjemahan al-Qur‟an dalam bahasa Sasak
yang dilakukan oleh tim dari Lajnah Penerjemah al-Qur‟an Bahasa Sasak
(LPQBS) bekerjasama dengan Forum Alumni Timur Tengah (FKATT) Nusa
Tenggara Barat yang diberi judul Juz ‘Amma al-Majīdi Terjemahan Bahasa
Sasak. Diangkatnya terjemahan tersebut untuk memperkenalkan kepada publik,
karena sejauh ini belum dikaji para peneliti untuk dikelompokkan sebagai
literature terjemah atau tafsir di Indonesia. Rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah: : Bagaimana karakteristik dan dialek bahasa Sasak yang di gunakan dalam
penerjemahan kitab Kitab Juz’Amma al-Majīdi oleh tim Lajnah Penerjemahan al-
Qur‟an Bahasa Sasak (LPQBS) dan Forum Komunikasi Alumni Timteng NTB
(FKATT) pada kitab Juz ‘Amma al-Majīdi.
Jenis penilitian ini adalah penelitian deskriptif. Sumber data primernya
adalah kitab Juz ‘Amma al-Majīdi Terjemahan Bahasa Sasak dan wawancara
(interview) dengan tim penulis, sedangkan data sekundernya adalah bahan
pendukung seperti Literature Tafsir Indonesia karya Mafri Amir, Khazanah Tafsir
Indonesia karya Islah Gusmian, Tafsir al-Qur’an Nusantara Tempo Doeloe karya
Ervan Nurtawab, dan beberapa tulisan di jurnal yang berkaitan dengan tema
tersebut. Selanjutnya penulis menggunakan lima tahapan analisis dari mulai,
mengorganisasi data, koding data, hingga klasifikasi data berdasarkan sejumlah
dialek yang digunakan dalam kitab Juz ‘Amma al-Majīdi Juz ‘Amma al-Majīdi.
Karakteristik kitab Juz ‘Amma al-Majīdi Juz ‘Amma al-Majīdi Terjemahan
Bahasa Sasak ini memiliki komposisi yang cukup sederhana. Penulisnya memulai
penerjemahan al-Qur‟an dari surah al-Fatiḥaḥ kemudian dilanjutkan ke surah an-
Naba’ sampai dengan surah an-Nas. Format penerjemahan kemudian dilakukan
setelah mengetengahkan teks al-Qur‟an di bagian kanan, dan terjemahannya di
bagian kiri. Dengan format seperti ini dimungkinkan setiap orang mengetahui arti
kata dari masing-masing ayat yang diterjemahkan.
Dialek bahasa Sasak yang digunakan dalam kitab Juz ‘Amma al-Majīdi
Terjemahan Bahasa Sasak ini lebih cenderung menggunakan dialek secara
campuran, yakni dialek ngeno-ngene, dialek keto-kete, dan dialek meno-mene.
Sehingga tidak merepresentasikan semua dialek yang ada.
Penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan bahasa Sasak dalam kitab
Juz ‘Amma al-Majīdi masih memerlukan penyempurnaan, karena masih terdapat
inkonsistensi dan pemilihan dialek yang digunakan dalam kitab Kitab Juz’Amma
al-Majīdi ini termasuk dalam kategori bahasa Sasak “kasar” (sogol). Oleh karena
itu, penulis menyarankan agar kitab Juz ‘Amma al-Majīdi Terjemahan Bahasa
Sasak di terjemahkan ulang ke dalam bahasa Sasak yang lebih sopan dan halus
(sasak alus), seperti bahasa Sasak yang ditampilkan atau digunakan dalam karya
sastra babad atau bahasa Sasak yang digunakan dalam acara-cara besar dan formal
Masyarakat Sasak.
v
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB - LATIN
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara Latin
yang digunakan dalam skripsi ini: 1
A. Konsonan
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
tidak dilambangkan ا
b Be ب
t Te ت
ts te dan es ث
j Je ج
ḥ h dengan titik bawah ح
kh ka dan ha خ
d da د
dz de dan zet ذ
r er ر
z zet ز
s es س
sy es dan ya ش
ṣ es dengan titik bawah ص
ḍ de dengan titik bawah ض
ṭ te dengan titik bawah ط
zh zet dengan titik bawah ظ
,koma terbalik di atas „ ع
menghadap ke kanan
gh ge dan ha غ
f ef ف
q ki ق
k ka ك
l el ل
1Diambil dari : Tim penyusun, Pedoman Akademik Uiniversitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2013/2014), h. 391-393 dengan
beberapa pengecualian pada huruf yang awalnya bergaris bawah menjadi diberi titik bawah.
vi
m em م
n en ن
w we و
h ha ه
apostrof , ء
y ye ي
B. Vokal Tunggal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari
vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal
tunggal alih aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal
Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
A fatḥah
I Kasrah
U ḍammah و
Adapun vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:
Tanda Vokal
Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
Ai a dan i ي
Au a dan u و
C. Vokal panjang (Madd)
Ketentuan alih aksara vocal panjang (madd) yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal
Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
Ā a dengan garis di atas ئَا
Ī i dengan daris di atas ي
Ū u dengan garis di atas سو
vii
D. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan
huruf, yaitu alif dan lam, dialih aksarakan menjadi huruf /l/ baik diikuti huruf
syamsiyyah maupun qamariyyah. Contoh: al-rijāl bukan ar-rijāl, al-diwān bukan
ad-diwān.
E. Syaddah (Tasydid)
Syaddah atau tasydid yang dalam sistem Arab dilambangkan dalam
sebuah tanda, dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan
menggandengkan huruf yang diberi syaddah itu. Akan tetapi, hal itu tidak berlaku
jika huruf yang menerima tanda/syaddah itu terlektak setelah kata sandang yang
diikuti oleh huruf-huruf syamsyiah. Misalnya secara lisan berbunyi ad-dauurah,
tidak ditulis “ad-daurah”, melainkan “al-daurah”, demikian seterusnya.
F. Ta marbūṯah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf Ta marbūṯah terdapat pada
kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut di alih aksarakan menjadi huruf /h/
(lihat contoh satu dibawah ini). Hal yang sama juga berlaku jika Ta marbūṯah
tersebut diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2). Akan tetapi, jika huruf Ta
marbūṯah tersebut diikuti oleh kata benda (isim), maka huruf tersebut dialih
aksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3).
No Kata Arab Alih Aksara
1 Ṭariqah طريقة
2 al-jāmi‟ah al-islāmiyyah الجامعة اإلسالمية
3 waḥdat al-wujūd وحدة الوجود
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ...................................................................... i
KATA PENGANTAR .............................................................................. ii
ABSTRAK ................................................................................................ v
PEDOMAN TRANSLITRASI ARAB-LATIN ...................................... vi
DAFTAR ISI ............................................................................................ x
DAFTAR TABEL.................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah....................................... 4
C. Tujuan Penelitian ..................................................................... 5
D. Kajian Pustaka .......................................................................... 5
E. Metode Penelitian.................................................................... 10
F. Sistematika Penulisan.............................................................. 11
BAB II TINJAUAN UMUM PENERJEMAHAN AL-QUR’AN
DAN DIALEK BAHASA SASAK ...................................... 13
A. Perbedaan Antara Terjemah, Tafsir, dan Ta’wil ..................... 13
1. Perbedaan Terjemah dengan Tafsir .................................... 13
2. Perbedaan Tafsir dengan Ta’wil ......................................... 15
B. Syarat-Syarat dan Macam-Macam Terjemah.......................... 16
1. Syarat-Syarat Terjemah dan Menerjemahkan .................... 17
2. Macam-Macam Terjemahan .............................................. 19
C. Sejarah Penerjemahan al-Qur‟an di Indonesia ........................ 20
1. Periode Pertama Abad XVI-XIX ...................................... 21
2. Periode Kedua Abad XX-XXI .......................................... 32
D. Dialek Bahasa Sasak ................................................................ 29
1. Pengertian Dialek .............................................................. 29
2. Ragam Dialek Bahasa Sasak .............................................. 29
BAB III SEKILAS TENTANG PENULIS DAN GAMBARAN
UMUM KITAB JUZ ‘AMMA AL-MAJĪDI ........................ 33
A. Tujuan Penerjemahan al-Qur‟an Bahasa Sasak ...................... 33
ix
B. Anggota Tim Penerjemah Kitab Juz ‘Amma al-Majīdi .......... 36
C. Gambaran Umum Kitab Juz ‘Amma al-Majīdi ....................... 40
BAB IV TERJEMAHAN AL-QUR’AN BAHASA SASAK
KITAB JUZ ‘AMMA AL-MAJĪDI......................................... 41
A. Karakteristik Kitab ................................................................. 41
1. Sistematika Penterjemahan ......................................... 41
2. Metode Terjemah Kitab Juz ‘Amma al-Majīdi ........... 43
B. Dialek Bahasa Sasak yang Digunakan .................................... 45
BAB V PENUTUP ............................................................................... 52
A. Kesimpulan ............................................................................. 52
B. Saran-Saran ............................................................................. 53
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 54
Lampiran
x
Daftar Tabel
Tabel 4.1: Identifikasi Penggunaan Dialek Bahasa Sasak dalam kitab Juz
‘Amma al-Majīdi Terjemahan Bahasa Sasa…………………………45
Tabel 4.2: Pilihan alternatif dialek terjemah kitab Juz ‘Amma al-Majīdi
dengan dialek yang lebih sopan atau alus..........................................51
xi
Daftar Gambar
Gambar 3.1 : Sampul depan dan belakang kitab Juz ‘Amma al-
Majīdi……………………………………………………40
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Upaya menerjemahkan al-Qur‟an bukanlah hal baru. Ia telah dilakukan
sejak permulaan abad ke-2 M di mana al-Qur‟an diterjemahkan ke dalam bahasa
Latin oleh Robert of Ketton (Robert de Retines). Hingga saat ini al-Qur‟an telah
diterjemahkan ke berbagai bahasa dunia, seperti bahasa Persia, Turki, Urdu, India,
Jepang, Inggris, Prancis, Spanyol, Mandarin, Indonesia hingga beberapa bahasa
negara-negara di Afrika. Ini dilakukan berangkat dari berbagai kebutuhan
masyarakat setempat, baik non-muslim maupun muslim, untuk tujuan positif
maupun negatif; pengembangan studi keagamaan, misi perpolitikan, memahami
agama (Islam), menjawab persoalan-persoalan kehidupan yang dihadapi sehari-
hari dan sebagainya.1
Melihat kebutuhan-kebutuhan yang semakin mendesak dan kompleks,
maka menerjemahkan al-Qur‟an menjadi kebutuhan ketika agama Islam masuk ke
wilayah-wilayah non-Arab.2 Realitas yang paling dekat adalah masuknya Islam
ke Indonesia. Masyarakat Indonesia dalam kesehariannya menggunakan bahasa
Indonesia atau bahasa daerah masing-masing. Dimungkinkan mereka tidak bisa
memahami al-Qur‟an secara langsung kecuali orang-orang yang menguasai
dwibahasa (bahasa Indonesia dan Arab sekaligus),3 sehingga penerjemah al-
Qur‟an ke dalam bahasa Indonesia atau ke bahasa daerah di Indonesia menjadi
kebutuhan, guna menjadi perantara bagi masyarakat Indonesia yang ingin
memahami pesan-pesan yang terkandung dalam al-Qur‟an.4
Namun, pada saat menerjemahkan, penerjemah dituntut menjaga amanah
teks awal, agar pesan inti dari teks itu tersampaikan. Selain tuntutan amanah,
seorang penerjemah juga dihadapkan dengan masalah ketepatan memilih kosa
1Lihat Rifa‟i Sauqi dan M. Ali Hasan, Pengantar Ilmu Tafsir (Jakarta: Bulan Bintang,
1992), h. 169-171. 2M. Hadi Ma‟rifat, Sejarah al-Qur’an. Penerjemah Thoha Musawa (Jakarta: al-Huda,
2007), h. 276. 3Siti Rohmatin Fitriani, “Membandingkan Metodologi Penafsiran A. Hassan dalam
Tafsir al-Furqon dan H.B Jassin dalam al-Qur‟an al-Karim Bacaan Mulia,” (Skripsi S1 Tafsir
Hadis Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2003), h. 3. 4Howard M. Federspiel, Kajian al-Qur’an di Indonesia. Penerjemah Rahmat Taufiq
Hidayat (Bandung: Mizan, 1996), h. 154.
2
kata, agar pesan yang terkandung dalam teks awal ke dalam bahasa sasaran
tersampaikan secara utuh. Begitulah kesulitan yang dihadapi oleh seorang
penerjemah, sampai-sampai terkadang ia harus melakukan “pengkhianatan”
kepada salah satu bahasa bahkan pada keduanya. Apa lagi yang diterjemahkan
adalah teks al-Qur‟an yang posisinya sebagai firman tuhan.5
Dalam bahasa Indonesia sulit didapatkan tejemahan yang berhasil karena
banyak ide-ide dalam al-Qur‟an yang tidak tertampung oleh bahasa Indonesia. Ini
persis apa yang ditulis oleh Nurcholish Madjid dalam artikel Terjemahan al-
Qur’an sebagai Tafsir, Nurcholish Madjid mencontohkan terjemahan Bismi Allah
ar-Rahman ar-Rahim “Dengan Menyebut Nama Allah yang Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang”. Menurut Nurcholish Madjid, ini merupakan contoh terjemahan
yang dipaksakan, karena kata Bismi Allah artinya “atas nama Allah” atau kalau
dalam terjemahan bahasa Inggris In The Name Of Allah, bandingkan dengan
terjemahan sekarang “dengan nama”. Menurut beliau ini penerjemahan semi
analitik, sebab “dengan nama” itu tidak ada artinya. Apalagi kadang-kadang ada
tambahan sisipan “dengan menyebut nama Allah”.6
Ahmad Syarbashi mengatakan Allah mengajarkan arti-arti isyarat,
rumusan-rumusan dan dalil-dalil yang tidak bisa diungkapan dalam bahasa
apapun. Walau seberapa kuat, jenius dan mampunya seseorang tidak akan mampu
untuk memindahkan arti-arti kata dalam al-Qur‟an ke bahasa lain. Jika
penerjemah memaksakan arti kata lain dan beranggapan lafaz tersebut lebih tepat
dari arti sebenarnya, berarti dia telah mengadakan perubahan.7
Hal ini terjadi karena setiap bahasa tidak mungkin disamakan dalam
semua aspek baik lafaz, susunan, bentuk metaphor, kosa kata, kata kerja dan
lainnya.8 Senada dengan apa yang dipaparkan oleh Komaruddin Hidayat, di
dalam bukunya Memahami Bahasa Agama, bahwa al-Qur‟an ketika
5Muchlis M. Hanafi, “Problematika Terjemah al-Qur‟an: Studi Pada Penerbitan al-Qur‟an
dan Kasus Kontemporer”, dalam Suhuf Vol. 4, No.2 (2011): h. 170. 6M. Fudail, “Terjemah al-Qur‟an dalam bahasa Mandar: Telaah Metodologi
Penerjemahan Karya Khalid Bodi,” (Skripsi S1 Tafsir Hadis, Fakultas Ushuluddin, Universitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2003), h. 4. 7Ahmad Syarbashi, Dimensi-Dimensi Kesejatian al-Qur’an (Yogyakarta: Ababil, 1996),
h. 45. 8Muchlis M. Hanafi, “Problematika Terjemah al-Qur‟an: Studi Pada Penerbitan al-Qur‟an
dan Kasus Kontemporer,” h. 170.
3
diterjemahkan sudah pasti mengalami perubahan makna, baik perubahan yang
bersifat pengembangan maupun penyusutan.9
Melihat realitas yang ada di Indonesia, terjemahan al-Qur‟an berbahasa
Indonesia10
tidak cukup memberikan solusi bagi masyarakat daerah yang ada di
Indonesia untuk memahami al-Qur‟an, karena mereka dalam kesehariannya
menggunakan bahasa daerah. Dari itu, banyak ulama daerah yang
menterjemahkan al-Qur‟an ke dalam bahasa daerahnya, seperti terjemahan bahasa
Sunda yang ditulis oleh K.H. Ahmad Sanusi bin K.H. Abdurrahim,11
dengan
menggunakan Arab pegon.12
Tafsīr al-Ibriz Lima‘rifati Tafsīr al-Qur’an bi al-
Lughati al-Jawiyyah karya K.H. Bisri Musthafa.13
Dari namanya tafsir ini sudah
kelihatan bahwa karya ini menggunakan bahasa Jawa dengan tulisan Arab-
Pegon.14
Dari semua buku yang membahas tentang Tafsir di Indonesia, seperti
Literatur Tafsir Indonesia karya Mafri Amir, dan Khazanah Tafsir Indonesia
karya Islah Gusmian dan Tafsir al-Qur’an Nusantara Tempo Doeloe karya Ervan
Nurtawab, belum dijelaskan terjemah al-Qur‟an bahasa Sasak atau Lombok.
Buku-buku di atas membahas tafsir Indonesia sampai tahun 2000-an, tepatnya
pada Tafsīr al-Misbah karya Muhammad Quraish Shihab. Padahal penulis
menemukan karya dari kumpulan beberapa ulama‟ Lombok yang tergabung dalam
tim Lajnah penerjemah al-Qur‟an Bahasa Sasak yang di beri nama Juz ‘Amma al-
Majīdi Terjemahan Bahasa Sasak.15
Melihat realitas di atas, penting kiranya Kitab Juz ‘Amma al-Majīdi
Terjemahan al-Qur’an Bahasa Sasak tersebut untuk diteliti. Dengan ini akan
9Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 172.
10Lihat: Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, (Ciputat: Mazhab Ciputat, 2013). Islah
Gumian, Khazanah Tafsir Indonesia, (Yogyakarta: LKiS, 2013). dan Ervan Nurtawab, Tafsir al-
Qur’an Nusantara Tempo Doeloe, (Jakarta: Usul Press, 2009). 11
Lihat, Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, h. 85-90. 12
Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, h. 100-103. 13
Lihat, Syaiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka
Insan Madani, 2008), h. 214-218. 14
Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, h. 133-145. 15
Tim Lajnah Penerjemah al-Qur‟an Bahasa Sasak (LPQBS) dan Forum Komunikasi
Alumni Timteng NTB (FKATT), Juz ‘Amma al-Majīdi Terjemahan Bahasa Sasak, (Mataram:
LPQBS & FKATT, 2012). Sedangkan “Sasak” adalah suku asli masyarakat yang ada dipulau
Lombok. Daud Gerung mengistilahkan bahwa semua orang bisa jadi orang Lombok, akan tetapi
tidak semua orang bisa menjadi orang Sasak. Lihat: Daud Gerung, dkk, Lombok Mirah Sasak Adi,
Sejarah Sosial, Ekonomi, dan Politik, (Ciputat: IMSAK Press, 2010), h. 27.
4
terlihat perkembangan terjemahan al-Qur‟an dalam bahasa daerah yang ada di
Indonesia. Oleh karena itu, penulis akan melanjutkan penelitian ini dalam bentuk
skripsi mengingat; Pertama: Seperti yang tertera didalam sambutan Gubernur
Nusa Tengara Barat Tuan Guru Bajang Muhammad Zainul Majdi pada lembar
ketiga kitab tersebut, bahwa penerjemahan al-Qur‟an ke dalam bahasa Sasak
merupakan upaya dakwah kultural dalam rangka mendekatkan al-Qur‟an kepada
masyarakat dengan bahasa yang dimiliki sekaligus memberikan notifikasi Islam
terhadap simbol-simbol kultural masyarakat Sasak. Kedua: Kitab Juz’Amma al-
Majīdi memiliki keunikan tersendiri, karena bahasa Sasak yang digunakan dalam
terjemahan al-Qur‟an pada kitab tersebut adalah bahasa Sasak yang hanya
mereprentasikan beberapa bahasa daerah di Lombok, sehingga tidak semua
masyarakat Lombok mengerti. Ketiga: Kitab terjemahan al-Qur‟an bahasa Sasak
ini diberi nama Juz ‘Amma al-Majīdi. Hal ini mengundang peneliti untuk meneliti
sejauh mana peran Gubernur Nusa Tengara Barat Tuan Guru Bajang Muhammad
Zainul Majdi dalam proses penulisan kitab ini.
Sebagai gambaran umum, kitab Juz’Amma al-Majīdi ini dapat dilihat dari
judul kitab tersebut yang hanya baru menyelesaikan penerjemahan al-Qur‟an Juz
30 atau Juz ’Amma, untuk melihat respons masyarakat Lombok atas kitab
Juz’Amma al-Majīdi ini. Cetakan pertama diterbitkan Lajnah Penerjemahan al-
Qur‟an Bahasa Sasak (LPQBS) dan Forum Komunikasi Alumni Timur Tengah
NTB (FKATT) sebagai penerbit kitab ini hanya menerbitkan 6000 eksemplar
yang dibagikan ke masjid-masjid yang ada di pulau Lombok.
Berdasarkan latar belakang di atas, pembahasan penerjemahan al-Qur‟an
bahasa Sasak akan dibahas lebih lanjut dalam bentuk skripsi berjudul
“Terjemahan al-Qur’an Bahasa Sasak Studi Kitab Juz’Amma al-Majīdi”
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Mengacu pada latar belakang yang sudah diuraikan di atas, maka
penelitian skripsi ini akan dibatasi pada surah al-Fatiḥaḥ dan Juz ‘Amma. Karena
itu, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Bagaimana karakteristik dan
dialek bahasa Sasak yang di gunakan dalam penerjemahan kitab Kitab Juz’Amma
al-Majīdi oleh tim Lajnah Penerjemahan al-Qur‟an Bahasa Sasak (LPQBS) dan
5
Forum Komunikasi Alumni Timteng NTB (FKATT) pada kitab Juz ‘Amma al-
Majīdi.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan :
1. Menguraikan karakteristik yang melekat dalam kitab Juz ‘Amma al-
Majīdi.
2. Menganalisis dialek bahasa Sasak yang di gunakan dalam terjemah
kitab Juz ‘Amma al-Majīdi.
3. Mengeksplorasi terjemah al-Qur‟an bahasa daerah karya ulama
Nusantara.
Manfaat Penelitian :
4. Secara teoritis penelitian ini bertujuan untuk melengkapi kajian
terjemah bahasa daerah yang dilakukan oleh Ervan Nurtawab dan
menambah kajian literatur tafsir di Indonesia yang dilakukan oleh Mafri
Amir.
5. Temuan dalam skripsi ini menjadi rekomendasi bagi tim LPQBS dan
FKATT agar melakukan perbaikan dalam terjemahan al-Qur‟an bahasa
Sasak khususnya dari surah an-Naba‟ sampai surah an-Nas.
D. Kajian Pustaka
Terdapat berbagai buku kajian tentang terjemah al-Qur‟an bahasa daerah
karya Ulama Nusantara yang berkaitan tentang tafsir, terjemah atas al-Qur‟an, dan
naskah keagamaan yang dilakukan oleh beberapa peneliti. Di antaranya; Ahmad
Syaifuddin, menulis dalam skripsinya tentang “Kisah-Kisah Isra’iliyat dalam
Tafsir al-Ibriz Karya K.H. Bisri Mustafa (Studi Kisah Umat-umat dan Para Nabi
dalam Kitab al-Ibriz).16
Kitab yang berjudul lengkap al-Ibriz lima’rifati Tafsīr al-
Qur’an al-Aziz, menurut Ahmad Syaifuddin, dalam skirpsi ini K.H. Bisri Mustafa
mampu menjawab tuntutan masyarakat, karena menggunakan bahasa Jawa
16
Achmad Syaefuddin, “Kisah-Kisah Isra‟iliyat dalam Tafsir al-Ibris Karya K.H. Bisri
Mustafa: Studi Kisah Umat-umat dan Para Nabi dalam Kitab al-Ibris,” (Skripsi S1 Tafsir Hadis,
Fakultas Ushuluddin, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2013).
6
sehingga bisa dibaca oleh masyarakat umum. K.H. Bisri Mustafa ketika
menafsirkan kisah-kisah al-Qur‟an pun, berusaha menceritakannya dengan jelas,
sehingga beliau banyak menukil cerita-cerita isra’iliyat secara detail, seperti nama
tempat, dan waktu terjadinya kisah.
Ahmad Syaifuddin, melihat bahwa cerita isra’iliyat merupakan cerita yang
tidak berasal dan sumber-sumber Islam yang keberadaannya dalam penafsiran
masih dalam perdebatan para Ulama, teruma dalam hal maqbul atau mardud-nya
riwayat tersebut. Metodologi yang digunakan dalam skripsi ini, mendeskrisikan
penafsiran K.H. Bisri Mustafa terhadap ayat-ayat kisah, kemudian
menganalisisnya dengan membandingkan dengan penafsiran-penafsiran yang ada.
K.H. Bisri Mustafa berusaha menjelaskan penafsiran ayat-ayat qiṣaṣ tentang para
nabi dan umat terutama yang berhubungan dengan kehidupan dan perkembangan
bangsa Bani Israil (Yahudi) dengan menukil kisah isra’iliyat. Selain itu, tema
isra’iliyat yang ada hanya berupa sejarah ataupun hikmah dan bukan hal hukum
ataupun aqidah. Sedangkan tentang kesesuaian dengan akal dan syari’at, cerita-
cerita tersebut termasuk diterima dan tidak ditemukan yang ditolak, karena K.H.
Bisri Mustafa berhati-hati dalam menukil cerita isra’iliyyun, meskipun mayoritas
tidak dicantumkan asal riwayatnya.
Mursyidi memfokuskan penelitiannya tentang, Terjemahan I’raban
Keterangan Madhurah Atoro’ Lil-Jalalain (Tikmal) Terjemah al-Qur’an bahasa
Madura.17
Terjemah al-Qur‟an bahasa Madura ini di susun oleh tim dari Forum
Mudzakarah Tafsir al-Qur‟an (FMTQ) antara lain beranggotakan: Ali Karrar
Shinhaji, Umar Hamdan, Khazai, Rosyad Imam, Fattah Mahmud. Metodologi
penerjemahan yang digunakan oleh FMTQ dalam Terjemahan I’raban
Keterangan Madhurah Atoro’ Lil-Jalalain (Tikmal), adalah berpola i’raban
karena setiap kata yang memiliki kedudukan dalam struktur bahasa Arab selalu
menggunakan penanda i’rab, seperti dhining sebagai penanda dari mubtada’,
panika sebagai penanda khabar, de’ sebagai penanda dari maf’ul, hale sebagai
penanda hal, dan penanda i’rab lainya, penanda i’rab tersebut juga menjadi bukti
bahwa metode terjemah yang digunakan oleh FMTQ adalah harfiyyah.
17
Mursyidi, “Terjemahan al-Qur‟an Bahasa Madura: Studi Kasus Terjemah I‟raban
Keterangan Madhurah Atoro‟ Lil-Jalalain (Tikmal), (Skripsi Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir, Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016).
7
M. Fudail memfokuskan skripsinya dalam “Terjemahan al-Qur’an dalam
Bahasa Mandar (Telaah Metodologi Penerjemahan Karya M. Idham Khalid
Bodi,”18
pada metodelogi penerjemahan yang digunakan Idham dalam
penyusunan karya Terjemahan al-Qur’an dalam Bahasa Mandar dan Konsistensi
Bahasa Mandar dan konsistensi penggunaan bahasa Mandar dalam
penerjemahannya.
Metodologi yang digunakan Idham dalam karyanya Terjemahan al-
Qur’an dalam Bahasa Mandar adalah bahwa ia menerjemahkan al-Qur‟an ke
dalam bahasa Mandar bukan secara harfiyyah mutlaq dan bukan pula secara
maknawiyah mutlaq karena terkadang ia memberi penjelasan secukupnya secara
langsung dengan bentuk dalam kurung bukan footnote. Dalam penerjemahan
Idham belum sepenuhnya konsisten menggunakan bahasa Mandar. Hal ini dapat
ditemukan dalam ketidakseragaman bahasa yang digunakan, penulisan huruf
Mandar yang seharusnya sesuai dengan fonologi/ucapan namun terkadang
terlupakan, kemudian penggunaan dialek yang bermacam-macam.
M. Nurdin Zuhdi, menulis dalam tesisnya tentang “Tipologi Tafsir al-
Qur’an Madzhab Indonesia.”19
Jenis penelitian yang digunakan dalam tesis ini
adalah library research, dengan sifat analisis diskriptif dengan historis-kritis
dengan latar belakang yang diangkat dari: Potret Metodologi dan Hermeneutika
Tafsir al-Qur’an di Indonesia, pada tahun 2000-2010, Tipologi Tafsir al-Qur’an
di Indonesia, tahun 2000-2010. Dan sejauh manakah kontribusi dan implikasinya
dalam menjawab problem-problem kekinian. Dari metode penelitian yang
digunakan dan masalah yang diangkat ditemukan karya-karya tafsir di Indonesia
dipengaruhi atas dua aspek: pertama; apek metodologi karya tafsir. Kedua; aspek
tipologi karya tafsir. Dengan karya tafsir yang dikaji sebanyak 29 karya tafsir.
Dari jumlah tersebut telah ditemukan bahwa semua karya menggunakan metode
tematik. Kemudian, dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu: model tafsir
tematik klasik dan model tafsir tematik modern. Sedangkan dari segi tipologi,
karya tafsir yang dijadikan tolak ukur adalah quasi-obyektifis tradisionalis,
18
M. Fudail, “Terjemahan al-Qur‟an dalam Bahasa Mandar (Telaah Metodelogi
Penerjemahan Karya M. Idham Khalid Bodi,”( Skripsi S1 Tafsir Hadis, Fakultas Ushuluddin
Sunan Kalijaga Yogjakarta, 2003). 19
M. Nurdin Zuhdi, “Tipologi Tafsir al-Qur‟an Madzhab Indonesia,” (Tesis S2 Program
Pascasarjana, UIN Sunan Kalijaga, 2011).
8
subektifis dan quasi-obyektifis modernis. Dari analisis yang telah dilakukan
terhadap 29 karya tafsir yang dikaji setidaknya ada 17 karya tafsir quasi-obyektifis
tradisionalis. Sedangkan untuk pandangan subyektifis dan karya tafsir yang dikaji,
belum ada satupun yang masuk pandangan subyektifitas. Masih banyak penafsir
yang terlalu mensakralkan metodologi yang telah mapan dalam ulum al-Qur’an
dan tidak berani menggunakan ilmu bantu baru lainnya yang berkembang
sehingga banyak produk tafsir yang stagnan.
Irwan, menulis Skripsinya tentang “Analisis Metodologi Tahsin al-Fatihah
Karya Achamad Chodjim: Aplikasi Metodologi Kajian Tafsir Islah Gusmian.”20
Penelitiannya menggunakan metode penelitian kepustakaan (library research) dan
wawancara dengan metode pemahasan mengikuti rumusan Islah Gusmian yaitu:
Variabel Teknik Penulisan Tafsir dan Aspek Kontruksi Hermeneutika Karya
Tafsir. Penelitian ini fokus pada permasalahan metodologi tafsir al-Fatihah
Achmad Chodjim bila dilihat berdasarkan rumusan metodologi kajian tafsir Islah
Gusmian. Pada akhirnya ia berkesimpulan dari sisi teknis penulisannya al-Fatihah
masuk kedalam kategori tematik klasik, sedangkan dalam bentuk penyajian, al-
Fatihah masuk dalam kategori global. Dari sisi Hermeneutis, al-Fatihah
menggunakan metode interteks. Nuansa sosial kemasyarakatan adalah ruang
dominan yang dijadikan sudut pandang dalam menafsirkan al-Fatihah.
Pendekatan yang digunakan al-Fatihah adalah pendekatan sosial.
Ummi Hanik, menulis skripsinya tentang “Model Terjemah Tafsir al-
Qur’an Bahasa Lokal (Analisis Terjemah Tafsir al-Jalalain Bahasa Madura
Karya Muhammad Arifun).”21
Ia menganalisis bagaimana model terjemah yang
digunakan Muhammad Arifun dalam kitab Terjemah Tafsir al-Jalalain Litashili
al-Fikri bahasa Madura, bagaimana isi keterangan yang diawali kata faidah,
qissah, dan qouluhu ta’ala serta catatan kaki dalam terjemah kiai Arifun dan
bagaimana konsistensi penggunaan simbol gramatikal bahasa Arab dalam
terjemahannya. Hasil penelitian ini menemukan bahwa: kiai Arifun menggunakan
20
Irwan, “Analisis Metodologi Tahsir al-Fatihah Karya Achamad Chodjim: Aplikasi
Metodologi Kaian Tafsir Islah Gusmian,” (Skripsi S1 Tafsir Hadis, Fakultas Ushuluddin, UIN
Syarif Hidayatullah, 2010). 21
Ummi Hanik, menulis dalam skripsinya tentang “Model Terjemah Tafsir al-Qur‟an
Bahasa Lokal (Analisis Terjemah Tafsir al-Jalalain Bahasa Madura Karya Muhammad
Arifun),”(Skripsi S1 Tafsir Hadis, Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015).
9
dua metode dalam menerjemahkan yaitu metode harfiah dan tafsiriah, keterangan
tambahan adalah komentar penerjemah dan penegasan terjemahan atas terjemah
harfiah dan terdapat tiga sombol yang konsisten digunakan dalam
menerjemahkan yaitu mim (mubtada), kha’ (khabar) dan fa’ (fail).
Berikutnya beberapa karya berupa jurnal dan buku yang membahas
tentang penerjemahan al-Qur‟an dan penerjemahan tafsir al-Qur‟an dalam bahasa
daerah. Di antaranya : Tawalinuddin Haris,22
“Al-Qur‟an dan Terjemahannya
Bahasa Sasak Beberapa Catatan,”. Dalam tulisannya, Haris memberikan catatan-
catatan penting, semisal teknik penulisan dan terjemahan tidak konsisten yang
banyak dilakukan oleh tim penerjemah. “Terjemahan al-Qur’an bahasa Sasak”
yang diterbitkan Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan, Kementerian
Agama Republik Indonesia. Selanjutnya, Howard M. Federspiel, dalam buku
Popular Indonesia Literature Of The Qur’an yang telah di terjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia dengan judul Kajian al-Qur’an di Indonesia oleh Tadjul
„Arifin.23
Dalam tulisannya, Federspiel mengkaji literature tafsir, ilmu tafsir,
terjemah al-Qur‟an, dan buku-buku lain yang berkaitan dengan al-Qur‟an. Karya
berikutnya adalah Literatur Tafsir Indonesia karya Mafri Amir.24
Dalam
tulisannya Mafri Amir menghimpun 14 profil kitab beserta profil penulisnya baik
berupa terjemahan tafsir al-Qur‟an maupun terjemahan al-Qur‟an yang ada di
Indonesia. Baik yang menggunakan bahasa Melayu, bahasa Indonesia maupun
bahasa daerah. Karya berikutnya adalah Khazanah Tafsir Indonesia Dari
Hermeneutika Hingga Ideologi, karya Islah Gusmian.25
Dalam tulisan Islah
Gusmian mengungkap khazanah tafsir al-Qur‟an yang ada di Indonesia dengan
pendekatan Hermeneutik dan analisis wacana kritis, dan merangkum keseluruhan
literatur kajian al-Qur‟an di Indonesia atau tafsir al-Qur‟an.
Berdasarkan hasil penelusuran referensi yang ada, penelitian atas
terjemahan al-Qur‟an bahasa Lombok atau bahasa Sasak kitab Juz ‘Amma al-
Majīdi yang disusun oleh tim Lajnah Penerjemah al-Quran Bahasa Sasak
22 Tawalinuddin Haris, “al-Qur‟an dan Terjemahannya Bahasa Sasak Beberapa Catatan,”
Jurnal Suhuf , Vol. 10 No. 1 Juni 2017 23
Howard M. Federspiel, Kajian al-Qur’an di Indonesia, h. 5-7 24
Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, (Tangerang: Madzhab Ciputat, 2013), h.vii-xi. 25
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia Dari Hermeneutika Hingga Ideologi
(Yogyakarta: LkiS, 2013), h. v-vi.
10
(LPQBS) dan Forum Komunikasi Alumni Timur Tengah (FKATT) Nusa
Tenggara Barat, sejauh pengamatan penulis hingga saat ini belum ada yang
mengkajinya. Oleh sebab itu, penelitian ini akan menjadi penelitian pertama yang
akan membahas kitab Juz ‘Amma al-Majīdi Terjemahan Bahasa Sasak. Penulis
akan mengangkat masalah tersebut dalam penelitan berbentuk skripsi.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini termasuk penelitian deskriptif yaitu penelitian yang
dilakukan dengan menelusuri dan menelaah literatur-literatur primer dan
sekunder.26
Data-data dalam penelitian ini diperoleh dari bahan-bahan pustaka
elektronik seperti, makalah, skripsi, tesis, jurnal ilmiah, dan literatur lainnya.
2. Sumber Data
Sumber data terdiri dari dua jenis data, yaitu data primer dan data
sekunder. Data primer dalam penelitian ini adalah Kitab Juz ‘Amma al-Majīdi
Terjemahan al-Qur’an Bahasa Sasak dan hasil wawancara dengan anggota tim
penerjemah. Dalam hal ini peneliti mewancarai LPQBS dan FKATT yang
diwakili oleh Dr. H. Muhammad Said Ghazali, Lc.,MA27
dan Dr. H. L. Supriadi,
Lc., MA.,28
agar penulis mendapatkan data yang akurat. Adapun data sekunder
dalam penelitian ini adalah berbagai buku, jurnal dan makalah yang relevan
dengan judul penelitian ini.
3. Teknik Pengolahan Data
Selanjutnya penulis menggunakan lima tahapan analisis dari mulai,
mengorganisasi data, koding data, hingga klasifikasi data berdasarkan sejumlah
dialek yang digunakan dalam kitab Juz ‘Amma al-Majīdi Juz ‘Amma al-Majīdi
26
Hamka Hasan, Metodologi Penelitian Tafsir Hadis (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN
Syarif Hidayatullah, 2008), h. 128. 27
Lahir di Gelogor Lombok Barat, merupakan salah satu anggota tim penerjemah kitab
Juz ‘Amma al-Majidi Terjemahan Bahasa Sasak LPQBS & FKATT serta sebagai respondent
dalam interview. 28
Lahir di Kotaraja Lombok Timur, merupakan Sekertaris dalam tim penerjemah dan
pencatat hasil penerjemahan LPQBS & FKATT serta sebagai respondent dalam interview.
11
Sedangkan teknik penulisan dan translitrasi, penulis mengacu pada buku
“Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) yang dikelurkan
oleh Center for development and assurance (CEQDA)” Karya Hamid Nasuhi, dan
kawan-kawan terbitan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Cetakan XXIX tahun
2012.29
F. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan dalam penelitian ini, penulis membagi pembahasan
kedalam beberapa bab yang diuraikan ke dalam sitematika sebagai berikut:
BAB I, adalah pendahuluan. Dalam pendahuluan ini penulis membahas
enam sub bab yaitu terdiri dari: latar belakang masalah, batasan dan rumusan
masalah, tujuan dan manfaat dan penelitian, metodologi penulisan dan penelitian,
kajian pustaka dan sistematika penulisan.
BAB II, pada bab ini penulis akan membahas tentang tinjauan umum
penerjemahan al-Qur‟an. Kedua, Syarat-syarat dan macam-macam terjemah.
Ketiga, Sejarah penerjemahan al-Qur‟an di Indonesia.
BAB III, pada bab ini penulis berupaya untuk memberikan gambaran
tentang biografi para penerjemah dan gambaran umum kitab Juz ‘Amma al-
Majīdi. Terdiri dari tujuan penerjemahan al-Qur‟an Bahasa Sasak, penelusuran
Anggota Tim LPQBS dan FKATT dan gambaran umum kitab Juz ‘Amma al-
Majīdi.
BAB IV, pada bab ini penulis akan menguraikan tentang terjemahan al-
Qur‟an bahasa Lombok “Kitab Juz ‘Amma al-Majīdi” terdiri dari tiga sub bab.
Pertama, Karakteristik Kitab. Kedua, Dialek bahasa Sasak yang digunakan.
Ketiga, Metode terjemah al-Qur‟an bahasa Sasak Juz ‘Amma al-Majīdi.
BAB V, adalah penutup yang berkesimpulan dan saran-saran serta diakhiri
dengan daftar pustaka. Kesimpulan menjawab persoalan yang diangkat dalam
penelitian ini, sedangkan pada bagian saran, penulis menyampaikan potensi
masalah yang diangkat diteliti lebih lanjut dari pengkajian yang diteliti, dan saran-
saran untuk pemanfaatan praktis dari tema kajian ini.
29
Tim Penyusun, Pedoman Akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah 2013/2014), h. 391-393.
13
BAB II
TINJAUAN UMUM PENERJEMAHAN AL-QUR’AN
DAN DIALEK BAHASA SASAK
Pada bagian ini, penulis akan menguraikan tinjauan umum mengenai
terjemahan al-Quran, yang penulis bagi menjadi beberapa sub bab, dianataranya:
perbedaan antara terjemah, tafsir dan ta‟wil, syarat-syarat dan macam-macam
terjemah, dan sejarah penerjemahan al-Qur‟an di Indonesia.
A. Perbedaan Terjemah, Tafsir, dan Ta’wil
1. Perbedaan Terjemah dengan Tafsir
Asal kata “terjemah” diambil dari bahasa arab tarjamah merupakan maṣdar
fi‟il ruba„i, yang artinya penjelasan. Menurut beberapa pendapat penulis kamus,
terjemah adalah pengalihan bahasa dari suatu bahasa ke bahasa yang lain.1 Secara
umum terjemah adalah proses memindahkan pesan yang telah diungkapkan dalam
bahasa sumber (Bsu) kedalam bahasa sasaran (Bsa).2
Menurut Husain al-Dzahabi, seperti dikutip Muhammad Amin Suma, kata
tarjamah mengandung dua pengertian. Pertama, mengalihkan atau memindahkan
suatu pembicaraan dari suatu bahasa ke bahasa yang lain, tanpa menerangkan makna
dari bahasa asal yang diterjemahkan. Kedua, menafsirkan suatu pembicaraan dengan
menerangkan maksud yang terkandung di dalamnya, dengan menggunakan bahasa
yang lain.3
Kata “tarjamah” menurut pengertian istilah dapat dipergunakan dalam dua
arti, yaitu 1) Terjemah harifiyyah, yaitu mengalihakan lafaz-lafaz dari suatu bahasa
ke dalam lafaz-lafaz yang serupa dari bahasa lain sedemikian rupa sehingga susunan
dan tertib bahasa kedua sesuai dengan susunan dan tertib bahasa pertama. 2)
Terjemah tafsiriyyah atau terjemah maknawiyyah, yaitu menjelaskan makna
1M. Hadi Ma‟rifat, Sejarah al-Qur‟an. Penerjemah Thoha Musawat (Jakarta: al-Huda, 2007),
h.268. 2Moh. Syarif Hidayatullah, Seluk Beluk Penerjemahan Arab Indonesia Kontemporer: Dasar,
Teori, dan Masalah (Ciputat: UINPress, 2014), h. 17. 3 Muhammad Amin Suma, „Uluml Qur‟an (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), h. 112
14
pembicaraan dengan bahasa lain, tanpa terikat dengan tartib bahasa asal, dan tanpa
memeperhatikan susunan kalimatnya.4
Sedangkan kata tafsir berasal dari kata al-Fasr yang artinya al-Bayan
(penjelasan atau keterangan). Kata kerjanya mengikuti wazan (ḍaraba, yaḍribu,
ḍarban) atau mengikuti wazan (naṣara, yanṣuru, naṣran) yang memiliki arti al-
Ibānah (penjelasan). Pendapat yang lain mengatakan bahwa tafsir berasal dari akar
kata al-Tafsir mengikuti wazan fa„ala di tambah tasydid pada „ain fi‟il-nya yang
mengikuti wazan fassara-yufassiru-tafsiran yang memiliki arti al-Ibānah dan al-
Kasyfu yang artinya menerangkan atau mengungkap. Dengan demikian, dari dua kata
tafsir tersebut dapat diartikan juga, bahwa tafsir dari akar kata al-Fasr berarti
memiliki kata kasyful mughatta‟ yaitu mengungkap sesuatu yang abstrak. Sedangkan
yang berasal dari akar kata al-Tafsir berarti memiliki kata kasyfu al-murād „an al-
lafazh al-musykil yang artinya mengungkap sesuatu lafaz yang muskil. Di antara
kedua bentuk kata tersebut, kata al-Tafsir yang paling banyak digunakan.5
Al-Jurjani, berpendapat bahwa kata tafsir menurut pengertian bahasa adalah
al-Kasyaf wa al-Izhar yang artinya menyingkap, membuka, dan melahirkan.6
Menurut Manna al-Qattan, al-tafsir dan al-fasr bermakna menjelaskan dan bermakna
menyingkap sesuatu yang tertutup.7
Secara istilah tafsir adalah ilmu yang membahas tentang cara pengucapan
lafaz-lafaz al-Qur‟an, indikator-indikatornya, masalah hukum-hukumnya baik
independen maupun yang berkaitan dengan yang lain, serta tentang makna-maknanya
yang berkaitan dengan kondisi struktur lafaz yang melengkapinya.8 Zarqani
menyatakan bahwa tafsir adalah ilmu pengetahuan yang digunakan untuk memahami
kitab Allah (al-Qur‟an) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, selain itu tafsir
4 Manna‟ al-Qattan, Mabāhits Fī Ulūm al-Qur‟an (Surabaya: al-Hidayah, 1973), h. 312.
5 Abdul Qadir Muhammad Shaleh, al-Tafsīr Wa al-Mufassirūn Fī al-Hadits, (Beirut: Dar al-
Ma‟rifah, 1424 H/2003 M), Cet. Ke-1 h. 80-81. 6 al-Jurjani, al-Ta‟rifāt al-Thaba‟ah wa al-Nasyr wa al-Tauzi (Jeddah:T.pn, t.t), h.63.
7 Manna‟ al-Qattan, Mabāhits Fī Ulūm al-Qur‟an, Penerjemah Muzakkir As (Bogor: Litera
Antar Nusa, 1996), h. 407-408 8 Manna‟ al-Qattan, Mabāhits Fī Ulūm al-Qur‟an, h. 314
15
juga menjelaskan makna-makna dan menarik hukum-hukum serta hikmah-hikmah
yang terkandung di dalamnya.9
Dalam tafsir yang diutamakan adalah menyampaikan penjelasan dan pesan
dari bahasa aslinya yang pertama. Sedangkan pada terjemah terutama terjemahan
secara harfiyyah, makna yang diungkap tidak lebih dari sekedar pengganti bahasa
asal. Dalam tafsir yang menjadi pokok perhatian adalah tercapainya penjelasan tepat
sasaran baik secara global maupun secara terperinci. Tidak demikian halnya dengan
terjemah. Ia pada lazimnya mengandung tuntutan terpenuhinya semua makna yang
terpenuhi oleh bahasa pertama.10
Dengan memperhatikan pernyataan-pernyataan di atas, maka dapat dipahami
bahwa antara tafsir dengan terjemah baik tafsiriyyah maupun harfiyyah terdapat
perbedaan yang cukup jelas. Tafsir memungkinkan adanya pemahaman dan arti yang
lebih spesifik atau bahkan lebih luas atas makna ayat atau lafaz al-Qur‟an sedangkan
terjemah lebih pada lafaz tanpa ada tambahan di luar sumber.
2. Perbedaan Tafsir dengan Ta’wil
Kata ta‟wil memiliki makna yang sama dengan tafsir, yakni “menerangkan”
dan “menjelaskan”.11
Takwil berasal dari kata awwala-yuawwilu- ta‟wīlan kata
tersebut dapat berarti al-Marju‟u (kembali, mengembalikan) yakni, mengembalikan
makna pada proporsi yang sesungguhnya.12
Adapun ta‟wil secara istilah menurut al-
Jurjani, memalingkan suatu lafaz dari makna yang sebenarnya terhadap makna yang
dikandungnya, apabila makna alternatif yang dipandang sesuai dengan ketentuan al-
Qur‟an dan hadits.13
Menurut Quraish Shihab, ta‟wil adalah mengembalikan makna
kata, kalimat ke arah yang bukan makna harfiyyah-nya yang dikenal secara umum.14
9 Muhammad „Abd al-Azhim al-Zarqani, Manāhil al-Irfān Fī Ulūm al-Qur‟an (Beirut: Dar
Ihya‟ al-Turats al-Arabi, 1995), h. 5-6. 10
Manna‟ al-Qattan, Mabāhits Fī Ulūm al-Qur‟an, h. 314 11
Muhammad „Ali al-Shabuni, al-Tibyān Fī Ulūm al-Qur‟an (Beirut: Dar al-Irsyad, 1970), h.
74. 12
Usman, Ulūm al-Qur‟an (Yogjakarta: Teras, 2009), h. 37. 13
al-Jurjani, al-Ta‟rifat al-Thaba‟ah wa al-Nasyr wa al-Tauzi, h. 49. 14
M. Quraish Shihah, Kaidah Tafsir (Tanggerang: Lentera Hati, 2013), h. 39
16
Ada beberapa perbedaan pendapat para ulama mengenai tafsir dan ta‟wil di
antaranya; Pertama: apabila kita berpendapat ta‟wil adalah menafsirkan perkataan
dan maknanya, maka ta‟wil dan tafsir adalah dua kata yang berdekatan atau sama
maknanya. Kedua: ta‟wil diartikan sebagai esensi dari perkataan, maka bisa dipahami
ta‟wil dari berita adalah esensi dari yang diberitakan. Jika demikian maka ta‟wil dan
tafsir memiliki perbedaan yang sangat besar, karena tafsir berfungsi sebagai syarh
atau penjelasan bagi suatu perkataan, dan penjelasan berada dalam pikiran yang
diungkapkan melalui lisan. Sedangkan ta‟wil sesuatu yang ada dalam realita. Ketiga:
tafsir adalah sesuatu yang sudah jelas dalam al-Qur‟an dan yang dijelaskan dalam
hadits. Dan ta‟wil adalah apa yang disimpulkan ulama. Sebagian ulama mengatakan,
tafsir adalah apa yang berhubungan dengan riwayat sedangkan ta‟wil adalah apa yang
berhubungan dengan dirayat. Keempat: tafsir lebih pada menjelaskan makna kata,
sedangkan ta‟wil adalah menjelaskan maknanya dan susunan kalimat.15
B. Syarat-syarat dan Macam-macam Terjemah
Seperti yang sudah dibahas di atas menterjemahkan berarti memindahkan atau
mengalihkan dari suatu bahasa ke bahasa yang lain, maka teks yang sudah
diterjemahkan itu sudah bisa dipastikan mengalami perubahan dan mengandung
penafsiran dan penjelasan.16
Karenanya ketika menertejemahkan ke dalam bahasa
yang dituju, harus memilih artikulasi yang akurat untuk memperoleh pemahaman
akurat seperti yang diinginkan bahasa aslinya.17
Sebenarnya hakikat manusia adalah
makhluk penafsir “Man is an interpreter being” yang memungkinkan keakuratan dan
ketepatan masih cendrung salah.18
Oleh karena itu, penting kiranya untuk
memberikan syarat dan ketentuan dalam menerjemahkan, agar hasil penerjemahan
dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.
15
Manna‟ al-Qattan, Mabāhits fī „Ulūm al-Qur‟an, h. 323. 16
Komaruddin Hidayat Memahami Bahasa Agama (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 72. 17 M. Hadi Ma‟rifat, Sejarah al-Qur‟an, h. 269. 18 Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, h. 75.
17
1. Syarat-syarat Terjemah dan Menterjemahkan
Seorang penerjemah harus menguasai syarat-syarat yang telah disepakati oleh
para ulama. Syarif Hidayatullah, dalam bukunya; Seluk Beluk Penerjemahan Arab-
Indonesia Kontemporer: Dasar, Teori dan Masalah, mensyaratkan bagi penerjemah
al-Qur‟an sebagai berikut: Pertama, harus seorang muslim, sehingga tanggungjawab
keislamannya dapat dipercaya. Kedua, tidak fasik. Ketiga, menguasai bahasa sasaran
dengan teknik penyusunan kata, ia harus mampu bahasa sasaran dengan baik.
Keempat, berpegang teguh pada syarat-syarat penafsiran al-Qur‟an dan memenuhi
kriteria sebagai penafsir, karena penerjemah adalah mufasir.19
Syarat nomor satu dan
dua perlu direvisi atau diberi pemaknaan yang berbeda, kerana syarat ini menjadikan
tafsir orientalis (non muslim) tidak dapat diterima. Sebaiknya syarat tersebut diganti
dengan kaliamat objektifitas, maka siapa saja yang objektif, ia berpotensi memahami
ayat-ayat al-Qur‟an, asal syarat minilmal terpenuhi.20
Sedangakan syarat menerjemahkan adalah: Pertama, menghindari istilah-
istilah teknis dan pembahasan-pembahasan ilmiah, kecuali yang dibutuhkan oleh
pemahaman ayat. Kedua, tidak menguraikan atau membahas teori-teori ilmiah.
Ketiga, kalau pemahaman makna ayat membutuhkan pembahasan meluas, maka itu
diletakkan pada catatan kaki. Keempat, tidak terikat denga mazhab tertentu, baik
mazhab fiqih maupun teologi. Kelima, makna ayat dipetik dari qirā‟at hafs. Keenam,
tidak melakukan pemaksaan dalam menghubungkan satu ayat dengan ayat lain.
Ketujuh, menjelaskan tempat atau waktu turunnya ayat, apakah Makkiyah dan
Madaniyyah dan jumlah ayat-ayatnya.21
Menurut Muhammad „Ali al-Sabuni dalam kitab al-Tibyān fī „Ulūm al-
Qur‟an, syarat-syarat terjemah harfiyyah dan terjemah tafsiriyyah adalah: Pertama,
penerjemah harus mengetahui dua bahasa yaitu bahasa naskah yang mau
diterjemahkan dari bahasa terjemah itu sendiri. Kedua, penerjemah harus mengetahui
19
Moh. Syarif Hidayatullah, Seluk-Beluk Penerjemahan Arab Indonesia Kontemporer:Dasar,
Teori dan Masalah, h.100. 20
M Quraish Shihab, Kaidah Tafsir (Tangerang: Lentera Hati, 2013), h. 397. 21
Moh. Syarif Hidayatullah, Seluk-Beluk Penerjemahan Arab Indonesia Kontemporer:Dasar,
Teori dan Masalah, h.100-101
18
uslub-uslub serta ciri khas bahasa yang hendak diterjemahkan. Ketiga, sighah
terjemah harus benar jika diletakkan pada tempat aslinya. Keempat, terjemahan
haruslah cocok benar dengan makna-makna dan tujuan-tujuan aslinya.22
Di samping
itu, terjemahan harfiyyah harus memenuhi dua syarat sebagai berikut; Pertama,
adanya kata yang sempurna dalam bahasa terjemah, yang sesuai dengan kata bahasa
aslinya. Kedua, antara bahasa sumber dan bahasa terjemah harus mempunyai
kesamaan ḍamir (kata ganti orang), mustatir (yang disimpan), dan rabit-rabit
(penghubung) yang menggunakan jumlah untuk menyusun susunan kalimat.23
Syaikh Muhammad bin Salih al-Utsaimin, memberikan syarat atas hasil
terjemah al-Qur‟an; Pertama, hendaknya terjemah tidak dianggap sebagai pengganti
al-Qur‟an sehingga di kemudian hari al-Qur‟an berbahasa Arab tidak dibutuhkan lagi.
Kedua, hendaknya seorang penerjemah memahami makna dari lafaz dari dua bahasa,
makna bahasa sumber dan bahasa terjemahan sesuai dengan konteks kalimat. Ketiga,
selanjutnya penerjemah harus mengetahui syar‟i dari lafaz-lafaz al-Qur‟an.24
Sedangkan pola penyajian hasil penerjemahan terbagi atas dua; Pertama,
menterjemahkan teks al-Qur‟an asli, yaitu bahasa Arab ke bahasa-bahasa lain di mana
teks aslinya masih dimuat. Kedua, menyodorkan terjemahan dalam bahasa lain tanpa
menuliskan teks aslinya.
Hakikat dalam penerjemahan adalah menafsirkan, yang didalamnya terdapat
anggapan dan penafsiran penerjemah. Ini terbukti ketika penerjemah mendatangkan
makna yang dekat atau yang sesuai dengan lafaz-lafaz di dalam al-Qur‟an.25
Ervan
Nurtawab, mengutip penjelasan Gadamer, bahwa tindakan penerjemahan pada
dasarnya adalah tindakan penafsiran karena itu mereka yang melakukan
penerjemahan bisa dianggap penafsir. Akan tetapi Gadamer, tidak menganggap kedua
aktivitas ini sebagai dua hal yang sama, karena Gadamer pada kenyataannya
membuat perbedaan antara terjemahan dan penafsiran dengan mendeskripsikan
22
Muhammad „Ali al-Sabuni dalam kitab al-Tibyān fī „Ulūm al-Qur‟an Praktis. Penerjemah
Qodirun Nur (Jakarta: Pustaka Amani, 2001), h. 333. 23
Muhammad „Ali al-Sabuni dalam kitab al-Tibyān fī „Ulūm al-Qur‟an Praktis,h. 334. 24
Syaikh Muhammad bin Salih al-Utsaimin, Usūl Fī Tafsīr Pengantar Dan Dasar-Dasar
Mempelajari Ilmu Tafsir. Penerjemah Ummu Saniyyah (Solo: al-Qowam,2014), h. 59. 25
Manna‟ al-Qattan, Mabāhits fī „Ulūm al-Qur‟an, h. 313.
19
karakteristik terjemahan. Gadamer, meletakkan terjemahan berada pada titik tertinggi
penafsiran, dimana sang penerjemah memiliki kosa kata yang sesuai dengan bahasa
asli.26
2. Macam-macam Penerjemahan
Secara umum penerjemahan dibagi menjadi tiga yaitu: Pertama,
Penerjemahan tekstual atau harfiyyah,27
adalah menerjemahkan setiap kata dari
bahasa aslinya ke dalam bahasa penerjemah, susunan-susunan kalimat, satu demi
satu, kata demi kata diubah sampai akhir. Ciri dari metode ini, antara lain adalah:
seorang penerjemah meletakkan kata-kata teks sasaran (Tsa) langsung di bawah versi
teks sumber (Tsu), kata-kata dalam (Tsu) diterjemahkan di luar konteks. Seorang
penerjemah juga mencari padanan kata kontruksi gramatikal (Tsu) yang terdekat
dalam (Tsa), dan seorang penerjemah memproduksi makna kontektual, tetapi masih
dibatasi oleh gramatikalnya, kata-kata yang bermuatan budaya dialihbahasakan, tetapi
penyimpangan dari segi tata bahasa dan diksi masih tetap dibiarkan, ia berpegang
teguh pada maksud dan tujuan dari (Tsu), sehingga hasil terjemahannya masih terlihat
kaku dan terasa asing.28
Kedua: Penerjemahan bebas (ma„nawiyyah) adalah memindahkan suatu
makna dari suatu wadah ke wadah yang lain, tujuannya adalah mencerminkan makna
awal dengan sempurna. Metode ini banyak digunakan oleh para penerjemah buku-
buku ilmiyah, karena metode ini dipandang mampu menjaga amanah teks awal
dengan baik.
Ketiga: Terjemah penafsiran atau tafsiriyyah yaitu menjelaskan dan
menguraikan masalah yang tercantum dalam bahasa asli dengan menggunakan bahasa
yang dikehendaki, seperti tafsir-tafsir berbahasa persia atau bahasa-bahasa yang lain.
26
Ervan Nurtawab, Tafsir al-Qur‟an Nusantara Tempo Doeloe, 3-44 27
Metode harfiyyah ini dipandang banyak menimbulkan kontroversi, karena pada umumnya
metode ini digunakan untuk menerjemahkan kalimat-kalimat pendek, dan dianggap sebagai metode
terjemah yang sangat buruk, apalagi yang diterjemahkan adalah al-Qur‟an dimana didalamnya terdapat
banyak ungkapan-ungkapan kiasan dan analog, kiasan dan analog setiap bahasa hanya khusus untuk
bahasa itu sendiri. Lihat: M. Hadi Ma‟rifat, Sejarah al-Qur‟an. Penerjemah Thoha Musawat (Jakarta:
al-Huda, 2007), h. 27. 28
Moh. Syarif Hidayatullah, Seluk Beluk Penerjemahan Arab Indonesia Kontemporer: Dasar,
Teori dan Masalah, h. 57-60
20
Manna‟ al-Qattan dalam Mabāhits fī Ulūm al-Qur‟an membagi terjemah ke dalam
dua yaitu; tekstual atau harfiyyah dan Penerjemahan bebas atau ma„nawiyyah.
Manna‟ al-Qattan, tidak membedakan antara penerjemahan bebas atau ma„nawiyyah
dan terjemah penafsiran atau tafsiriyyah.29
Merujuk pada penelitian Syihabuddin, bahwa Ahmad Hasan al-Zayyat, tokoh
penerjemah modern, menggunakan dua metode dalam menerjemahkan yaitu terjemah
harfiyyah dan terjemah tafsiriyyah. Paling tidak ada tiga langkah yang dilakukan oleh
Ahmad Hasan al-Zayyat dalam menerjemahkan. Pertama, menerjemahkan teks
sumber secara harfiyyah dengan mengikuti struktur dan urutan teks sumber. Kedua,
mengalihkan harfiyyah ke dalam struktur bahasa penerima tanpa menambahkan atau
mengurangi makna asli dari bahasa sumber. Ketiga, mengulangi proses penerjemahan
dengan menyelami perasaan dan spirit penulis melalui penggunaan metafora yang
relevan. Metode yang digunakan Ahmad Hasan al-Zayyan, menurut Syihabuddin,
diistilahkan dengan metode elektrik karena metode tersebut mengambil dan
mengaplikasikan kebaikan yang terdapat dalam metode tafsiriyyah.30
Berdasarkan macam-macam terjemah di atas, maka dapat dipahami terjemah
harfiyyah adalah menerjemahkan setiap kata dari bahasa aslinya ke dalam bahasa
penerjemah, susunan-susunan kalimat, satu demi satu, kata demi kata di rubah hingga
akhir, atau menjelaskan makna lafaz dengan memperhatikan susunan dan urutan
bahasa sumber. Sedangkan Terjemah ma„nawiyyah atau tafsiriyyah, adalah
memindahkan suatu makna dari suatu wadah ke wadah yang lain, tujuannya adalah
mencerminkan makna awal dengan sempurna, menjelaskan dan menguraikan masalah
yang tercantum dalam bahasa asli dengan menggunakan bahasa yang dikehendaki.
C. Sejarah Penerjemahan al-Qur’an di Indonesia
Sejarah penerjemahan al-Qur‟an di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari
sejarah penyebaran Agama Islam di Indonesia, karena dengan tersebarnya agama
Islam maka kitab suci yang diyakini sebagai pedoman hidup umat Islam menjadi
sangat penting untuk dipahami. Oleh karena itu penerjemahan kitab suci al-Qur‟an
29
Manna‟ al-Qattan, Mabāhits fī „Ulūm al-Qur‟an, h. 313 30
Syihabuddin, Penerjemahan Arab-Indonesia, h. 68-69
21
merupakan suatu kebutuhan, sebeb pemeluk agama Islam di Indonesia tidak
semuanya paham bahasa Arab.
Dalam memahami isi al-Qur‟an sendiri perlu adanya pengajaran Islam.
Menurut Islah Gusmian sejak pertama Islam masuk ke Aceh, tahun 1290 M,
pengajaran Islam tersebut mulai tumbuh, terutama setelah berdirinya kerajaan Pasai.
Waktu itu banyak ulama yang mendirikan surau, seperti Teungku Cot Mamplam di
Geureudog dan yang lainya. Pada awal zaman Iskandar Muda Mahkota Alam Sultan
Aceh, awal abad ke-17 M, surau-surau di Aceh mengalami kemajuan. Kemudian
muncul ulama-ulama terkenal waktu itu, seperti Nuruddin al-Raniri, Ahmad Khatib
Langin, Syamsuddin al-Sumatrani, Hamzah Fansuri, „Abd al-Ra‟uf al-Sinkili dan
Burhanuddin. Satu abad kemudian muncul terjemah tafsir yang cukup otoritatif,
yakni Tafsir Tarjuman al-Mustafid yang ditulis oleh „Abd al-Rauf al-Sinkili (1615-
1693 M.) lengkap 30 juz.31
1. Periode Pertama Abad XVI-XIX
Meski berada di kawasan paling timur dari tempat lahirnya Islam, Indonesia
khususnya dan Nusantara (Asia Tenggara) umumnya, telah melahirkan ulama-ulama
yang dapat disejajarkan dengan ulama-ulama besar dari Timur Tengah. Secara
khusus, ulama-ulama Nusantara yang berdiri selevel dengan ulama besar lebih
banyak berkonsentrasi di bidang fikih dan tafsir. Karya-karya ulama Nusantara,
khususnya yang berbahasa Arab, juga diterbitkan dan dibaca di berbagai pusat studi
Islam di Timur Tengah.32
Oleh karenanya perlu bagi penulis untuk menguraikan
pembagian periodesasi ulama‟ tafsir di Indoneia, adapun periodesasi yang di gunakan
dalam penulisan ini lebih banyak merujuk kepada buku yang di tulis oleh Mafri Amir
Literatur Tafsir Indonesia dan Islah Gusmian Khazanah Tafsir Indonesia dari
Hermeneutika hingga Ideologi.
Syaikh „Abd al-Ra‟uf al-Sinkili al-Fansuri dikenal sebagai ulama pelopor
dalam menyusun kitab Tafsir dalam bahasa Melayu. Nasaruddin Umar mengutip
31
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika hingga Ideologi
(Yogyakarta: LkiS, 2013), h. 42-43. 32
Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia (Ciputat: Mazhab Ciputat, 2013), h. iii.
22
pendapat Peter Riddell bahwa penyusunan kitab Tafsir Tarjuman al-Mustafid
dilakukan pada tahun 1675 berdasarkan hasil temuannya atas kopi tertua manuskrip
tafsir ini yang diperkirakan tahunnya lebih dekat kepada saat kembalinya dari Arab
dari pada saat meninggalnya,33
yaitu pada pertengahan abad ke-17 yang juga
merupakan qaḍi Kerajaan Aceh sekitar tahun 1641-1699.34
Sebagai terjemahan tafsir yang pertama maka tidak dapat dipungkiri jika
karya ini banyak tersebar luas di seluruh Nusantara. Bahkan karya ini diterbitkan pula
di luar negeri, seperti di Istanbul pada tahun 1884 M. dan Kairo pada tahun 1951 M.
serta di Makkah dicetak ulang oleh percetakan al-Amiriah tanpa keterangan tahun.
Atas dasar edisi Kairo, karya ini dicetak ulang di Bombay, Singapura dan Penang.
Terakhir karya ini diterbitkan pada tahun 1981 M. di Jakarta.35
Sayang sekali, kepeloporan „Abd al-Ra‟uf al-Sinkili al-Fansuri tidak diikuti
ulama lain dalam waktu singkat. Barulah lebih dua abad kemudian, kitab tafsir karya
ulama Nusantara lain, Syaikh Nawawi al-Bantany muncul dalam bahasa Arab. Kitab
tafsir itu berjudul al-Tafsīr al-Munir li al-Ma„ālimi al-Tanzil al-Musfir „an Wujūhi
Mahasin al-Ta‟wil. Syaikh Nawawi juga menamai karyanya ini dengan Marah Labid
li Kasyfi Ma‟na al-Qur‟an al-Majid karya ini selesai ditulis pada malam Rabu 5
Rabi‟ul Akhir 1305 H betepatan dengan tanggal 21 Desember 1887 M.36
2. Periode Kedua Abad XX-XXI
a. Tahun 1900-1950
Dalam khazanah penerjemahan al-Qur‟an di Indonesia setelah Tafsir
Tarjuman al-Mustafid selanjutnya sebuah terjemah lengkap, yaitu Tarjamah al-
Qur‟an Karim karya Mahmud Yunus (1899-1973 M). Meskipun jarak waktu yang
cukup panjang, penerjemahan yang dilakukan oleh Mahmud Yunus memberikan
angin segar, karena selama sekitar 300 tahun tentu bahasa memiliki perkembangan,
33
Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, h. iii. 34
Ismail Lubis, “Ihwal Penerjemahan Bahasa Arab ke dalam Bahasa Indonesia,” Humaniora,
Vol. 16, No. 16, (Februari 2004), h. 105. 35
Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir, h. 136 Lihat: Ismail Lubis, “Ihwal Penerjemahan
Bahasa Arab ke dalam Bahasa Indonesia,” Humaniora, Vol. 16, No. 16, (Februari 2004), h. 10. 36
Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia (Ciputat: Mazhab Ciputat, 2013), h. iv.
23
sehingga diperlukan terjemah al-Qur‟an yang sesuai dengan masanya dan sesuai
dengan perkembangan bahasa yang ada di daerah tersebut.
Mahmud Yunus mengemukakan bahwa kitab Terjamah al-Qur‟an Karim
dimulai dalam tulisan Jawi, yaitu dalam bahasa Melayu atau bahasa Indonesia yang
ditulis dalam bentuk tulisan Arab Pegon37
yang umum digunakan pada awal abad ke-
20. Mahmud Yunus telah menerbitkan tiga bab pada tahun 1922 ketika “pada
umumnya para sarjana agama di Indonesia menyatakan bahwa menerjemahkan al-
Qur‟an adalah diharamkan.” Beberapa tahun kemudian, ketika menjadi mahasiswa di
Universitas al-Azhar Mesir, ia memperoleh dorongan dan penjelasan dari salah
seorang dosennya mengenai penerjemahan al-Qur‟an. Bahwa penerjemahan al-
Qur‟an yang dimaksud untuk memberitahu umat Islam bahwa menerjemahkan al-
Qur‟an itu diperbolehkan dalam hukum Islam, karena penerjemahan membantu orang
Islam non-Arab untuk memahami ajaran agama Islam, maka itu merupakan perbuatan
yang bermanfaat. Mahmud Yunus mengemukakan bahwa interpretasi dosennya
tersebut telah mendorongnya untuk melanjutkan usahanya dalam menerjemahkan al-
Qur‟an.38
Muhmud Yunus dengan karyanya Terjamah al-Qur‟an Karim ini mudah
untuk dipelajari dan difahami karena di dalamnya sudah dikategorikan surat-surat.
Dalam Terjamah al-Qur‟an Karim ini juga terdapat kesimpulan yang memudahkan
kita untuk mengetahui isi kandungan al-Qur‟an.39
Selanjutnya yang melakukan penerjemahan al-Qur‟an adalah Hasan bin
Ahmad bin Ahmad atau yang dikenal dengan nama Ahmad Hasan denga karyanya al-
Furqān Tafsir al-Qur‟an. Hasan bin Ahmad lahir di singapura pada tahun 1887 M.40
Ia merupakan seorang tokoh fundamentalis41
muslim Indonesia terkemuka yang
37 Arab Pegon, yaitu sebuah tulisan, aksara atau huruf arab tanpa lambang atau tanda baca
atau bunyi. Lihat dalam Pius A Partanto dan M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Popular (Surabaya:
Penerbit Arkola, 1994), h. 756. 38
Howard M. Ferderspiel, Kajian al-Qur‟an di Indonesia, h. 34. 39 Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia (Ciputat: Mazhab Ciputat, 2013), h. 82. 40 Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, h. 111 41
Menurut Muhammad Abid al-Jabiri, istilah “muslim fundamentalis” awalnya dicetuskan
sebagai signifier bagi gerakan Salafiyyah Jamaluddin al-Afghani. Istilah ini, dicetuskan karena bahasa
24
berkiprah mulai tahun 1920-an sampai tahun 1950-an. Ia menulis sejumlah karya
dalam bidang pembelaan terhadap agama Islam dan sejumlah buku-buku bacaan
dasar tentang agama Islam.42
Pada tahun 1928 pertama kali kitab ini diterbitkan, dan
tepatnya pada bulan Muharram 1347 H./Juli 1924 M. Ia menyelesaikan penulisan
karyanya tersebut melalui dua tahapan. Tahapan pertama sampai pada tahun 1941 M.
dengan menyelesaikan hingga surah Maryam, dan tahap kedua atas permintaan Salim
bin Nabhan seorang pengusaha percetakan dan penerbitan di Surabaya. Ahmad Hasan
mengulang kembali Tafsirnya dari awal sampai akhir dengan menempuh cara lain
yakni lebih mementingkan pemberian keterangan ayat demi ayat agar pembaca bisa
memahami maknanya dengan mudah. Sedangkan penerbitan karya ini secara lengkap
dilakukan pada tahun 1956 M.43
Selanjutnya K.H. Ahmad Sanusi Sukabumi dengan karyanya Rawḍatu al-
„Irfān (tafsir al-Qur‟an bahasa sunda). Ahmad Sanusi tidak hanya seorang mufasir,
tetapi juga seorang pejuang kemerdekaan dan organisatoris. Ahmad Sanusi lahir pada
tanggal 18 September 1888 M. bertepatan dengan 12 Muharram 1306 H. Kitab ini
terdiri dari 2 julid. Jilid pertama berisikan juz 1-15 dan jilid kedua berisikan juz 16-
30, dan menggunakan arab pegon dalam penulisannya.44
b. Tahun 1950-1980
Pada tahun 1955 M. terbit Tafsir al-Qur‟an karya H. Zainuddin Hamidy dan
Fachruddin HS. Mengutip pendapat Mafri Amir dalam Literatur Tafsir Indonesia di
bandingkan dengan tafsir karya Mahmud Yunus dan Ahmad Hasan tafsir karya H.
Zainuddin Hamidy dan Fachruddin HS ini lebih baik. Tafsir ini memberikan
komentar lebih luas dan kaya dari segi sumber bacaannya. Banyak sisi-sisi menarik
dari tafsir yang satu ini.45
Menurut Hamidy persiapan yang dilakukan dalam
menyusun tafsir tersebut tidaklah mudah, tapi agak sulit dan kompleks. Persiapan
Eropa tak punya istilah padanan yang tepat untuk menerjemahkan istilah Salafiyyah. Lihat: Azyumardi
Azra, Fenomena Fundamentalisme dalam Islam, (Jakarta: Mizan, 1993), h. 18-19. 42 Howard M. Ferderspiel, Kajian al-Qur‟an di Indonesia, h. 104. 43
Indar Abror, “Potret Kronologis Tafsir Indonesia“, Esensi Vol. 3 No. 2 (Juli 2002): h. 194. 44 Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia (Ciputat: Mazhab Ciputat, 2013), h. 97. 45 Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia (Ciputat: Mazhab Ciputat, 2013), h.121.
25
tersebut meliputi penelitian yang cukup lama dan analisis yang teliti. Secara
keseluruhan, upaya tersebut berlangsung lebih dari seperempat abad.46
Berikutnya Tafsir al-Ibriz Lima‟rifati Tafsiril Qur‟an bi al-Lughati al-Jawiah
karya K.H. Bisri Musthafa. Tafsir ini adalah satu dari beberapa karya tafsir al-Qur‟an
berbahasa Jawa yang cukup fenomenal. K.H. Bisri Musthafa adalah seorang ulama
kharismatik asal Rembang Jawa Tengah. Karya Tafsir ini memuat penafsiran ayat
secara lengkap 30 juz, mulai dari surat al-Fatiḥaḥ hingga Surah al-Nas. Kitab tafsir
ini ditulis dengan tulisan Arab-Pegon dan diterbitkan oleh penerbit Menara Kudus,
Rembang.47
Adapun karya berikutnya yakni Tafsir “an-Nur” al-Qur‟an al-Majid karya
Hasbi Ash-Shiddieqy. Tafsir an-Nur ini dikerjakan oleh Hasbi Ash-Shiddieqy sejak
tahun 1952-1961 (Sembilan tahun) di sela-sela kesibukannya mengajar, memimpin
fakultas, menjadi anggota konstituante dan kegiatan-kegiatan lainnya. Tafsir an-Nur
tidak mempunyai corak dan orientasi terhadap bidang tertentu, sebab jika
diperhatikan semua tafsirnya tidak memuat bidang ilmu tertentu, seprti bidang
bahasa, hukum, sufi filsafat dan sebagainya.
Pada kata pengantar kitab Tafsir an-Nur Hasbi Ash-Shiddieqy menyatakan :
“Meninggalkan uraian yang tidak langsung berhubungan dengan tafsir ayat, supaya
tidak selalu para pembaca dibawa keluar dari bidang tafsir, baik kebidang sejarah atau
bidang ilmiyah yang lain”.48
Selanjutnya Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau yang popular dengan
panggilan Buya Hamka dengan karya monumentalnya Tafsir al-Azhar. Tafsir ini
merupakan tafsir yang lengkap merangkum semua 30 juz dan menggunakan bahasa
Melayu (Indonesia). Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi terciptanya Tafsir
al-Azhar, yaitu: Pertama, adanya semangat para pemuda Indonesia dan di daerah-
daerah yang berbahasa Melayu yang sangat ingin mengetahui isi al-Qur‟an, akan
tetapi di sisi yang lain mereka tidak mempunyai kemampuan bahasa Arab. Untuk
46 Howard M. Ferderspiel, Kajian al-Qur‟an di Indonesia, h. 130. 47 Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia (Ciputat: Mazhab Ciputat, 2013), h.145. 48 Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia (Ciputat: Mazhab Ciputat, 2013), h.168.
26
mereka inilah tujuan pertama tafsir ini disusun. Kedua, golongan peminat Islam yang
disebut muballigh atau ahli dakwah. Maka tafsir ini merupakan satu rujukan dalam
menyampakan dakwahnya.49
Berikunya Terjemahan al-Qur‟an Kementrian Agama RI yang dinamai al-
Qur‟an dan Terjemahannya Terjemahan ini telah mengalami beberapa kali perbaikan
dan penyempurnaan. Sejak pertama kali diedarkan pada 17 Agustus 1965 hingga
sekarang, kitab Terjemahan Kementrian Agama RI ini setidaknya sudah mengalami
dua kali proses perbaikan dan penyempurnaan. Pertama, penyempurnaan redaksional
pada tahun 1989, dan Kedua, penyempurnaan secara menyeluruh yang mencakup
aspek bahasa, konsistensi pilihan kata, substansi, dan aspek transliterasi.
Penyempurnaan tahap kedua ini mengahabiskan waktu yang cukup panjang, yakni
dari tahun 1998 hingga 2002 dan yang terakhir adalah tahun 2010.
Terjemahan berikutnya ialah penerjemahan al-Qur‟an yang dilakukan oleh
H.B. Jassin yang diberi judul al-Qur‟an al-Karim Bacaan Mulia. (1977M). Jassin
lahir di Gorontalo, 31 Juli 1917 dan wafat di Jakarta, 11 Maret 2000.50
Terjemahan
al-Qur‟an yang dilakukan oleh H.B. Jassin ini dilatar belakangi oleh pandangannya
mengenai al-Qur‟an baik edisi Indonesia, Turki, Mesir maupun Arab, yang
menurutnya semua susunannya sama, yakni berbentuk prosa. Selain itu, menurutnya
bahasa al-Qur‟an itu puitis seperti puisi, sehingga rasanya lebih indah kalau disusun
berbentuk puisi dan tentu enak dibaca.
c. Tahun 1981-2000
Pada periode tahun 1981-2000 ini diawali dengan Tafsir Rahmat karya Oemar
Bakry.51
Khusus mengenai Tafsir Rahmat, Oemar Bakry menulis dari tahun 1981
sampai 12 Mei 1983 bertepatan denga 29 Rajab 1342 H, pukul 19.00 WIB di Jakarta.
Tafsir ini sudah mengalami cetak ulang sekitar 20 kali. Selain di Indonesia, tafsir ini
49 Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia (Ciputat: Mazhab Ciputat, 2013), h. 183. 50 Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia (Ciputat: Mazhab Ciputat, 2013), h. 192. 51
Oemar Bakry lahir 26 Juni 1916 M./24 Sya‟ban 1334 H. di Kacang sebuah nageri yang
terletak dipinggir sebelah timur Danau Singkarak yang indah, Sumatera Barat. Lihat: Mafri Amir,
Literatur Tafsir Indonesia (Ciputat: Mazhab Ciputat, 2013), h. 228.
27
juga sampai ke Malaysia, Brunei dan Singapura. Pemasaran tersebut didukung oleh
jaringan kerja sama antara penerbit antar negara yang bersangkutan.
Dalam kata pengantar Tafsir Rahmat, Oemar Bakry mengungkapkan bahwa
masalah menerjemahkan dan menafsirkan isi al-Qur‟an al-Karim masih sangat
diperlukan. Manakala memahami dan menguasai bahasa Arab sudah merata, tentu
umat Islam akan memahami isi al-Qur‟an al-Karim secara langsung, tanpa
terjemahan dan tafsir dalam bahasa ibu atau bahasa nasionalnya. Menurut Oemar
Bakry, umat manusia selalu berkembang alam pikirannya, berkembang cara hidup
dan kehidupannya, berkembang bahasa yang menjadi alat utama untuk
berkomunikasi.52
Tafsir Pase: Kajian Surah al-Fatiḥaḥ dan Surah-surah dalam Juz „Amma:
Paradigma baru. Penyusun: T.H Thalhas, Hasan Basri, Zaki Puad, A. Mufakhir
Muhammad dan Haji Mustafa Ibrahim.
Penamaan tafsir ini diilhami oleh nama sebuah Kerajaan Islam pertama dan
tertua di Indonesia. yaitu Kerajaan/Daulah Kesultanan Samudra Pase atau lebih
popular dengan sebutan Kesultanan Islam Samudra Pase. Tafsir ini diterbitkan oleh
Bale Kajian Tafsir al-Qur‟an Pase Jl. Mampang Prapatan, Jakarta Selatan.53
d. Tahun 2000-Sekarang
Tahun 2001, Mufasir Indonesia yang paling popular yakni M. Quraish Shihab
yang menulis sebuah karya tafsir yang diberinama Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan,
dan Keserasian al-Qur‟an. Quraish Shihab dalam pengantarnya mengungkapkan
bahwa karyanya tersebut bukan terjemahan al-Qur‟an. Beliau mengatakan bahwa
pada hakikatnya al-Qur‟an tidak dapat diterjemahkan dalam arti dialih bahsakan.
Menurutnya yang bisa disajikan hanyalah sebagian makna bukan keseluruhannya,
dan makna itu adalah menurut sudut pandang manusia, bukan makna hakiki yang
dimaksud Tuhan.54
52
Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia (Ciputat: Mazhab Ciputat, 2013), h. 228. 53 Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia (Ciputat: Mazhab Ciputat, 2013), h. 264. 54 Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia (Ciputat: Mazhab Ciputat, 2013), h. 273-204
28
Dalam karyanya tersebut, ia juga menyajikan asbab al-nuzul ayat-ayat
tertentu menurut penelitian para ulama. Selain itu, catatan-catatan ilmiah yang
dicantumkan dalam karyanya pada umumnya diambil dari tafsir al-Muntahab yang
disusun oleh sejumlah pakar di Mesir.
Penerjemahan berikutnya dilakukan oleh Aam Amiruddin, yang dinamai
Terjemah al-Mu‟asir. Terjemahan tersebut diterbitkan pada tahun 2012 oleh penerbit
Khazanah Intelektual di Bandung. Karena adanya gap komunikasi bagi umat Islam
yang tidak memiliki akses pemahaman bahasa Arab sehingga penting untuk
menghadirkan terjemah al-Qur‟an yang lugas dan mudah diterima. Inilah salah satu
hal yang melatar belakangi Aam Amiruddin menerjemahkan al-Qur‟an.55
Selanjutnya adalah beberapa terjemahan al-Qur‟an ke dalam bahasa daerah di
antaranya terjemahan al-Qur‟an bahasa Madura yang dilakukan oleh Lembaga
Penerjemah dan Pengkajian al-Qur‟an (LP2Q) pada 30 Juni 2012.56
Kitab ini adalah
hasil terjemah yang dilakukan oleh tim LP2Q. penggagas penerjemah awal al-Qur‟an
bahasa Madura ini adalah Abdullah Sattar Majid Ilyas yang merupakan pengasuh
Jamaah Pengajian Surabaya (JPS), dan dilanjutkan dengan lokakarya yang
melibatkan banyak komponen yakni para Kiyai, Cendikiawan Muslim, Budayawan,
tokoh Masyarakat, dan Departemen Agama. Tim ini diketuai oleh: Lailaturrahman
dan. Zainul Hasan.
Berikutnya adalah Terjemah I‟raban Keterangan Madhurah Atoro‟ Lil-
Jalalain (Tikmal) Terjemah al-Qur‟an bahasa Madura. Merujuk pada tulisan
Mursyidi,57
Terjemah al-Qur‟an bahasa Madura ini di susun oleh tim dari Forum
Mudzakarah Tafsir al-Qur‟an (FMTQ) antara lain beranggotakan Ali Karrar Shinhaji,
Umar Hamdan, Khazai, Rosyad Imam, dan Fattah Mahmud.
55
Aam Amiruddin, al-Qur‟an dengan Terjemahan Kontemporer (Bandung: Khazanah
Intelektual, 2012), h. 207. 56
Lailaturrahman, dkk, al-Qur‟an Terjemah Bahasa Madura (Pemekasan: Lembaga
Penerjemahan dan Pengkajian al-Qur‟an-LP2Q, 2006), h.v-vi 57
Mursyidi, “Terjemahan al-Qur‟an Bahasa Madura: Studi Kasus Terjemah I‟raban
Keterangan Madhurah Atoro‟ Lil-Jalalain (Tikmal), (Skripsi Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir, Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016), h. 39.
29
D. Dialek Bahasa Sasak
1. Pengertian Dialek
Menurut Poedjosoedarmo dialek adalah variasi sebuah bahasa yang adanya di
tentukan oleh oleh sebuah latar belakang asal si penutur. Nababan menjelaskan
bahwa idiolek-idiolek58
yang menunjukkan lebih banyak persamaan dengan idiolek-
idiolek yang lain dapat di golongkan dengan satu kumpulan kategori yang disebut
dialek. Besarnya persamaan ini disebabkan oleh letak geografis yang berdekatan dan
memungkinkan komunikasi antara penutur-penutur idiolek itu.59
2. Ragam Dialek Bahasa Sasak
Dalam Kamus Bahasa Sasak-Indonesia yang disusun oleh Nazir, yang
diterbitkan oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, dijelaskan bahwa bahasa Sasak memiliki lima dialek
yang disebabkan faktor tempat dan lingkungan. Kelima dialek tersebut adalah dialek
ngeno-ngene, dialek meno-mene, dialek mriak mriku dialek keto-kete, dan dialek
ngeto-ngete.60
Daerah persebaran dialek Mriak-Mriku adalah Lombok Tengah bagian
Selatan (Pujut, Batujai, Ungga, Darek). Di Lombok Barat dialek ini antara lain
digunakan masyarakat Sasak di lingkungan Petemon, Kelurahan Pagutan Timur,
Kecamatan Ampenan. Mataram. Dialek Ngeno-Ngene, di Selaparang, Swela,
Pringgabaya, dan Paok Gading (Lombok Timur). Sementara di Lombok Barat dialek
ini antara lain digunakan masyarakat Sasak di lingkungan Karanggenteng dan Presak,
Kelurahan Pagutan Barat, Kecamatan Ampenan. Mataram. Dialek Meno-mene
digunakan di Pejanggik (Lombok Tengah) dan sekitarnya. Sementara di Lombok
Barat dialek ini antara lain digunakan masyarakat Sasak di Dusun Pelulan, Desa
58 Pengertian idiolek adalah keseluruhan ujaran seorang pembicara pada suatu saat yang
dipergunakan untuk berinteraksi dengan orang lain. Lihat: Poedjosoedarmo, artikel diakses pada 9
oktober 2018 dari http://eprints.uny.ac.id/9462/3/bab%202-08205244036.pdf 59
Poedjosoedarmo, artikel diakses pada 9 oktober 2018 dari
http://eprints.uny.ac.id/9462/3/bab%202-08205244036.pdf 60
Nazir Thohir, Kamus Sasak-Indonesia (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985)
30
Kuripan Utara, Kuripan. Dialek Keto-kete digunakan di Bayan (Lombok Utara), dan
dialek Ngeto-ngete digunakan di daerah Sembalun, Suralaga (Lombok Timur).61
Tawalinuddin Haris, mengutip pendapat A Teeuw dalam bukunya Atlas
Dialek Pulau Lombok, mencatat bahwa untuk kata barangkali dapat diterjemahkan ke
dalam 11 dialek bahasa Sasak, yaitu berembe, berembi, berembik, ngumbe, kumbe,
kumbeq, kumbeke, akumbeke, ngembe, kembe dan kembea. Bahkan untuk kata
“jangan”, Teeuw mencatat ada 23 dialek dalam bahasa Sasak, ndaq, jerah, jera,
jeraq, jera ngkah, jera kendeq, jah, sah, ngkah, ngkaq, kendeq, nkendeq, ndeqndeq,
dendeq, wah, waq, wah ndendeq, wah kaq, kuah kaq, kuaq, ah kuaq, dan yaqyaq.62
Dari aspek sejarah, dapat diasumsikan bahwa tingginya diversitas dialek
dalam bahasa Sasak seperti dipaparkan di atas menunjukkan atau menjadi bukti
bahwa pada masa lalu suku Sasak belum pernah dipersatukan atau diikat oleh sebuah
kekuasaan yang kuat dalam bentuk kerajaan. Suku Sasak terpecah dalam beberapa
kelompok masyarakat adat yang dipimpin oleh seorang yang bergelar “datu”, antara
lain Datu Pujud, Datu Praya, Datu Pejanggik, Datu Gerung, Datu Selaparang, Datu
Kuripan, dan Datu Bayan. Ada kemungkinan mereka merupakan para “tuan tanah”
atau cikal bakal pendiri desa tertentu. Wilayah kekuasaan para Datu ini disebut
Kedatuan. Alfons van der Kraan menyebutnya sebagai “pemerintahan supradesa”
atau setara dengan pemerintahan setingkat kecamatan.63
Menurut historiografi tradisional Babad Lombok dan Selaparang, asal mula
kehadiran penguasa Bali dari Dinasti Karangasem di Lombok bukan semata-mata
dikarenakan serangan atau invasi ke pulau Lombok, yaitu antara Datu Pejanggik
dengan patihnya, Banjar Getas,64
yang kemudian meminta bantuan Raja Karangasem.
Demikian pula kehadiran penguasa kolonial Belanda di Lombok dikarenakan
terjadinya perselisiahan antara penguasa Bali dengan elit Sasak yang kemudian
61
Tawalinuddin Haris, “al-Qur‟an dan Terjemahannya Bahasa Sasak Beberapa Catatan,”
Jurnal Suhuf Vol. 10 No. 1 Juni 2017, h. 216 62
Tawalinuddin Haris, “al-Qur‟an dan Terjemahannya Bahasa Sasak Beberapa Catatan,”
Jurnal Suhuf Vol. 10 No. 1 Juni 2017, h. 217 63
Alfons van der Kraan, Lombok: Conquest, Colonization and Underdevlopment, 1870 -1940
(Singapore: Heinemann Educational Books, 1980), h. 215. 64
Anonim, Babad Selaparang (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek
Pengembangan Permuseuman, Nusa Tenggara Barat, 1974), h. 16-20.
31
berkirim surat kepada Residen Bali dan Lombok untuk meminta bantuan Belanda.65
Selain itu, Pulau Lombok memang pernah menjadi ajang perebutan kekuasaan atau
pengaruh antara orang-orang Bali, Sumbawa, dan Makasar.66
Ditinjau dari segi bahasa, bahasa Sasak dipengaruhi oleh bahasa-bahasa Jawa,
Bali, dan Melayu, seperti yang terlihat dalam banyak karya sastra. Bahasa-bahasa
Jawa, Bali dan Melayu ikut memperkaya dan mempengaruhi pembentukan kosakata
bahasa Sasak dan tema-tema kesusastraan, sehingga sebagian bentuk sastra Sasak
berasal dari Jawa, Bali dan Melayu. Hampir semua bentuk tembang Sasak dituangkan
dalam sejumlah matra macapat Jawa. Demikian pula huruf Jejawan yang dikenal di
kalangan masyarakat suku Sasak sebagai tulisan Sasak, sesungguhnya adalah aksara
Jawa atau aksara Bali yang sudah disederhanakan dan diadopsi, kemudian dianggap
sebagai milik sendiri. Sejak abad ke-15 dan seterusnnya ada beberapa bukti
masuknya kesusastraan Jawa ke Pulau Lombok, di samping penyaduran dan
penulisan karya-karya dalam bahasa Jawa.67
Saat pemugaran Makam Seriwa, di Desa Pejanggik, Kecamatan Praya
Tengah, Kabupaten Lombok Tengah tahun 1981-1982, pada salah satu batu nisan
ditemukan empat baris inskripsi bertuliskan huruf Jawa atau Bali Kuno yang
mengandung angka tahun 1643 Jawa/Saka. Demikian pula di Desa Jenggik Lombok
Timur, pernah ditemukan 12 lempengan prasasti tembaga beraksara Jawa Baru dan
aksara Bali baru.68
Banyak kosakata dalam bahasa Sasak yang diadopsi dari bahasa Jawa semisal
kata-kata dasa (telung dasa, petang dasa, enam dasa, pitung dasa), rare, sendiko,
lamun, saking, pamit tampiasih, mangan, sare, mesiram, ngandika, meneng mangan,
dahar, kula, tiyang, dewek, dan lain-lain. Adakalanya kosakata bahasa Sasak yang
65
Alfons van der Kraan, Lombok: Conquest, Colonization and Underdevlopment, 1870 -1940,
h. 192-205. 66
Tawalinuddin Haris, “al-Qur‟an dan Terjemahannya Bahasa Sasak Beberapa Catatan,”
Jurnal Suhuf Vol. 10 No. 1 Juni 2017, h. h. 218. 67 Tawalinuddin Haris, “al-Qur‟an dan Terjemahannya Bahasa Sasak Beberapa Catatan,”
Jurnal Suhuf Vol. 10 No. 1 Juni 2017, h. h. 218. 68 Wawancara dengan Amaq Mini ((Tokoh Adat Sasak/peraih Maestro Kebudayaan Seni
Lontar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia tahun 2014) pada hari Selasa
Tanggal 2 Januari 2018 Jam. 20.00-22.00 di Pelulan, Kuripan Lombok Barat NTB.
32
diadopsi dari bahasa Jawa atupun Bali mengalami perubahan ucapan atau pergeseran
makna, terkadang secara radikal, semisal kata tiyang (saya) diadopsi dari bahasa Bali,
titinyang (saya) atau dari bahasa Jawa tiyang yang artinya orang. Kata dewek dalam
bahasa Sasak artinya saya atau aku, diadopsi dari bahasa Jawa. Dhewek, artinya
sendiri, tanpa kawan, atau dari dheweke artinya dia atau mereka. Sebagai kata ganti,
tiyang dalam bahasa Jawa adalah kata ganti orang ketiga, tetapi dalam bahasa Sasak
bergeser menjadi kata ganti orang pertama. Sebaliknya kata dheweke dalam bahasa
Jawa yang merupakan kata ganti orang ketiga, dalam bahasa Sasak bergeser menjadi
kata ganti orang pertama. Pengaruh bahasa Bali pada bahasa Sasak antara lain
terlacak pada nama-nama bilangan atau angka, misalnya selikur (21), due likur (22),
telulikur (23), empat likur (24), dan seterunya.69
69
Tawalinuddin Haris, “al-Qur‟an dan Terjemahannya Bahasa Sasak Beberapa
Catatan,” Jurnal Suhuf Vol. 10 No. 1 Juni 2017, h. 219.
33
BAB III
SEKILAS TENTANG PENULIS DAN GAMBARAN UMUM
KITAB JUZ ‘AMMA AL-MAJĪDI
Pada bagian ini, penulis akan menguraikan tentang tujuan dari penerjemahan
al-Qur’an bahasa Sasak yang dilakukan oleh tim dari Lajnah Penerjemah al-Qur’an
Bahasa Sasak (LPQBS) bekerjasama dengan Forum Alumni Timur Tengah (FKATT)
Nusa Tenggara Barat, sekilas profil penulis, dan gambaran umum kitab Juz ‘Amma
al-Majīdi Terjemahan Bahasa Sasak.
A. Tujuan Penerjemahan al-Qur’an Bahasa Sasak
Menurut Lalu Supriadi penerjemahan al-Qur’an ke bahasa Sasak telah melalui
berbagai proses dan tahapan yang tidak mudah, dan yang paling penting sebelum
finalisasi terjemahan pada tanggal 16 Agustus 2011 diadakan Rapat Kerja ulama al-
Qur’an se-pulau Lombok yang dihadiri 50 alim ulama, akademisi, pakar bahasa, dan
budaya Sasak untuk dimintai pendapat, masukan, koreksi dan revisi terhadap hasil
terjemahan.1
Setelah semua proses penerjemahan selesai, pada tahun 2012 Lajnah
penerjemahan al-Qur’an Bahasa Sasak (LPQBS) dan Forum Komunikasi Alumni
Timur Tengah NTB menerbitkan terjemahan al-Qur’an bahasa Sasak dengan judul
Juz ‘Amma al-Majīdi, Terjemahan Bahasa Sasak. Terjemahan ini telah ditahsin oleh
Lajnah Pentahsihan Mushaf al-Qur’an Kementerian Agama RI dengan Nomor:
P.VI/1/TL.02.1/459/2010 Kode: AAAS-I/U/0,5/VI/2010.2
Menurut Kepala Bagian Hubungan Masyarakat dan Protokoler Setda Nusa
Tenggara Barat Tri Budiprayitno edisi pertama diterbitkan sebanyak 6.000 eksemplar,
dan didistribusikan ke berbagai pondok pesantren, lembaga pendidikan Islam, dan
masjid-masjid yang ada di pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat.
1 Wawancara dengan Lalu Supriadi di Kampus Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Mataram,
pada Selasa 2 Januari 2018, jam 11.30-12.00 WITA. 2Tim Penerjemah, Juz ‘Amma al-Majīdi, Terjemahan Bahasa Sasak (Lajnah Penerjemah al-
Qur’an Bahasa Sasak (LPQBS) dan Forum Komunikasi Alumni Timur Tengah NTB, 2012)
34
Tri Budiprayitno mengatakan, terjemahan al-Qur’an dalam bahasa Sasak
diserahkan tim penerjemah kepada Gubernur Nusa Tenggara Barat, Tuan Guru
Bajang Muhammad Zainul Majdi, saat peringatan Nuzul al-Qur’an 5 Agustus 2012
M, bertepatan dengan tanggal 17 Ramadhan 1433 H yang digelar di Masjid Raya at-
Taqwa Mataram, seusai peletakan batu pertama pembangunan menara 99 (minaret)
Masjid Akbar Islamic Center Nusa Tenggara Barat, yang terletak di jantung Kota
Mataram.3
Terjemahan al-Qur’an ke dalam bahasa Sasak ini dinamakan Juz ‘Amma al-
Majīdi, sebagai bentuk penghargaan terhadap keluarga besar Gubernur Nusa
Tenggara Barat, Tuan Guru Bajang Muhammad Zainul Majdi, atas jasa-jasanya
dalam penyebaran agama Islam di pulau Lombok khususnya dan Nusa Tenggara
Barat pada umumnya. Maulana Syaikh Tuan Guru Kiyai Haji Zainuddin Abdul
Majid4 yang merupakan kakek dari Tuan Guru Bajang Muhammad Zainul Majdi.
5
Penerjemahan al-Qur’an ke dalam bahasa Sasak memiliki sejumlah alasan.
Pertama, untuk memperkaya khazanah penerjemahan al-Qur’an ke dalam bahasa
daerah; kedua, memperluas dan mempermudah pemahaman al-Qur’an bagi
masyarakat pengguna bahasa daerah; ketiga, melestarikan bahasa daerah sebagai
bagian dari sistem budaya lokal untuk menghindari kepunahannya; dan keempat,
3Wawancara dengan Tri Budiprayitno di Pondok Pesantren Al-Madani Pelulan Desa Kuripan
Utara Kecamatan Kuripan Kabupaten Lombok Barat, pada Rabu 10 Januari 2018 , jam 13.00-14.00
WITA.
4Maulana Syaikh Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid lahir di Bermi
Pancor, Selong, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, 5 Agustus 1898, wafat di Pancor, Selong,
Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, 21 Oktober 1997 pada umur 99 tahun adalah seorang ulama
karismatis dari Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat dan merupakan pendiri Nahdlatul Wathan,
organisasi masa Islam terbesar di provinsi Nusa Tenggara Barat. Di pulau Lombok, Tuan
Guru merupakan gelar bagi para pemimpin agama yang bertugas untuk membina, membimbing, dan
mengayomi umat Islām dalam hal-hal keagamaan dan sosial kemasyarakatan, yang di Jawa identik
dengan Kyai. Seperti Hamka, Muhammad Zainuddin Abdul Madjid memiliki nama singkatan,
yaitu Hamzanwadi (Haji Muhammād Zainuddīn Abdul Madjīd Nahdlatul Wathan Dīniyah Islāmiyah).
Selain melakukan dakwah Islam di Lombok, ia juga merupakan Tuan Guru pertama yang
mengembangkan dakwah Islam yang berbasis sistem pendidikan. Lihat: Masnun, Tuan Guru KH.
Muhammad Zainuddin Abdul Majid; Gagasan dan Gerakan Pembaharuan Islam di Nusa Tenggara
Barat, (Jakarta: Pustaka al-Miqdad, 2007), h. 6. Lihat juga Muhammad Harfin Zuhdi, dkk, Visi
Kebangsaan Religius,Refleksi Pemikiran dan Perjuangan Tuan Guru Kiyai Haji Muhmmad Zainuddin
Abdul Majid 1904-1997, (Jakarta: Logos, 2004), h. 11. 5Wawancara dengan Lalu Supriadi di Kampus Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Mataram,
pada Selasa 2 Januari 2018, jam 11.30-12.00 WITA.
35
mempermudah penerapan ajaran yang terkandung dalam al-Qur’an.6 Singkatnya,
upaya penerjemahan al-Qur’an ke dalam bahasa daerah bertujuan untuk
mempermudah pemahaman dan penerapan kandungan isi al-Qur’an serta
melestarikan budaya. Melalui kegiatan seperti ini diharapkan kualitas kehidupan
keberagamaan di Indonesia khususnya di pulau Lombok semakin meningkat. Namun
sebagaimana telah diuraikan para penerjemah, bahwa kitab Juz ‘Amma al-Majīdi
tidak luput dari kekurangan sehingga untuk saran dan kritik yang bersifat konstruktif
sangat terbuka.7
Gubernur Nusa Tenggara Barat Tuan Guru Bajang Muhammad Zainul Majdi
dalam sambutannya di muqadimah kitab ini menyatakan bahwa, secara kultural upaya
penerjemahan al-Qur’an ke dalam bahasa Sasak memiliki nilai strategis dalam
membangun peradaban masyarakat Sasak, sedangkan secara kebahasaan terjemahan
ini bisa juga menjadi referensi utama dalam mempelajari bahasa Sasak. Selain itu
terjemahan al-Qur’an ke dalam bahasa Sasak juga merupakan upaya dakwah kultural
dalam rangka mendekatkan al-Qur’an kepada masyarakat dengan bahasa yang
dimiliki sekaligus memberikan notifikasi Islam terhadap simbol-simbol kultural
masyarakat Sasak. Diharapkan dengan terbitnya kitab Juz ‘Amma al-Majīdi
Terjemahan Bahasa Sasak ini akan memberikan sedikit kelegaan bagi masyarakat
Muslim di Nusa Tenggara Barat, khususnya masyarakat Sasak, untuk lebih mudah
mempelajari dan memahami kandungan al-Qur’an sehingga dapat mengamalkannya
secara lebih utuh.8 Agar harapan itu bisa menjadi kenyataan, ke depan perlu
dilakukan langkah-langkah perbaikan dan penyempurnaan terhadap kitab Juz ‘Amma
al-Majīdi Terjemahan Bahasa Sasak.
6Tim Penerjemah, al-Qur’an dan Terjemahannya Bahasa Sasak (Jakarta: Puslitbang Lektur
dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, 2014), h. iii-iv 7Wawancara dengan sahabat Tuan Guru Bajang. Dr. TGH. Muhammad Said Ghazali, MA di
Desa Gelogor, Kecamatan Labuapi Lombok Barat NTB. 8Tim Penerjemah, Juz ‘Amma al-Majīdi, Terjemahan Bahasa Sasak (Lajnah Penerjemah al-
Qur’an Bahasa Sasak (LPQBS) dan Forum Komunikasi Alumni Timur Tengah NTB, 2012), h. x
36
B. Anggota Tim Penerjemah Kitab Juz ‘Amma al-Majīdi
Menurut Lalu Supriadi penerjemahan dan penyusunan kitab Juz ‘Amma al-
Majīdi Terjemahan Bahasa Sasak ini awalnya digagas oleh beberapa alumni
Universitas Al-Azhar Kairo, Universitas Islam Madinah, Institut Dar al-Hadits al-
Hassaniyah Maroko yang tergabung dalam Forum Kumunikasi Alumni Timur
Tengah (FKATT) Nusa Tenggara Barat. Di antaranya, Tuan Guru Bajang
Muhammad Zainul Majdi yang juga merupakan Gubernur Nusa Tenggara Barat dan
beberapa alumni Timur Tengah Nusa Tenggara Barat, seperti: Muhammad Said
Ghazali, Subhan Abdullah, Lalu Ahmad Zainuri, dan Lalu Supriadi. Di saat yang
bersamaan Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan, Kementerian Agama
Republik Indonesia sedang giat-giatnya mencanangkan terjemahan al-Qur’an ke
dalam bahasa daerah, antara lain, : bahasa Bugis, bahasa Kaili, dan bahasa Mandar.
Akhirnya karena kesamaan visi Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan,
Kementerian Agama Republik Indonesia bekerja sama dengan Forum Komunikasi
Alumni Timur Tengah (FKATT) untuk melanjutkan proses penerjemahan al-Qur’an
bahasa Sasak ini sampai 30 Juz.9
Selanjutnya pada tahun 2014 hasil terjemahan dari Puslitbang Lektur dan
Khazanah Keagamaan, Kementerian Agama Republik Indonesia bekerja sama dengan
Forum Komunikasi Alumni Timur Tengah (FKATT) Nusa Tenggara Barat ini di
terbitkan oleh Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan, Kementerian Agama
Republik Indonesia.10
Adapun tim penerjemah dan penyusun kitab Juz ‘Amma al-
Majīdi ini terdiri dari :
1. Dr. TGH. Muhammad Zainul Majdi, MA.
Muhammad Zainul Majdi atau yang akrab disapa Tuan Guru Bajang (TGB)
lahir di Pancor Selong Lombok Timur, 31 Mei 1972, adalah Gubernur Nusa Tenggara
Barat 2 periode, masa jabatan 2008-2013 dan 2013-2018. Sebelumnya, Majdi
9Wawancara dengan Lalu Supriadi di Kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram, pada
Selasa 2 Januari 2018, jam 11.30-12.00 WITA. 10
Wawancara dengan Lalu Supriadi di Kampus Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Mataram,
pada Selasa 2 Januari 2018, jam 11.30-12.00 WITA.
37
menjadi anggota DPR RI masa jabatan 2004-2009 dari Partai Bulan Bintang (PBB)
yang membidangi masalah pendidikan, pemuda, olahraga, pariwisata, kesenian dan
kebudayaan (Komisi X). Sebelum memasuki perguruan tinggi ia menghafal al-Qur'an
di Ma’had Darul Qur’an wal Hadits Nahdlatul Wathan Pancor selama setahun (1991-
1992). Kemudian pada tahun 1992, Majdi berangkat ke Kairo guna menimba ilmu di
Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir dan Ilmu-Ilmu Al-Qur’an di Universitas Al-
Azhar Kairo dan lulus meraih gelar Lc, pada tahun 1996. Lima tahun berikutnya, ia
meraih Master of Art (M.A.) dengan predikat Jayyid Jiddan. Majdi melanjutkan ke
program S3 di universitas yang sama dan lulus pada tahun 2011.11
2. Dr. H. Muchlis Hanafi, Lc., MA
Muchlis Muhammad Hanafi yang lahir di Jakarta 18 Agustus 1971,
adalah Kepala Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur`an Kementeian Agama RI.
Sebelum memasuki perguruan tinggi ia nyantri di Pondok Pesantren Modern Gontor
selama 6 tahun. Ia juga sempat memperdalam al-Qur’an di Ma’had Aly di Bangil.
Pendidikan S1 sampai S3 konsentrasi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir ia peroleh dari
Universitas al-Azhar Kairo Mesir.12
3. Dr. H. Subhan Abdullah, Lc., MA
Subhan Abdullah yang lahir di Sumbawa Nusa Tenggara Barat, adalah Dekan
Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram.
Pedidikan S1 ia peroleh dari Universitas Islam Madinah konsentrasi Tafsir-Hadits, S2
dan S3 ia peroleh dari Institut Dar al-Hadits al-Hassaniyah Maroko.13
4. Dr. H. Lalu Ahmad Zaenuri, Lc., MA
Ahmad Zaenuri yang lahir di Lombok Tengah Praya, adalah Wakil Dekan 3
Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram.
11
Irfan Ali Hakim, Tuan Guru Bajang, Berpolitik dengan Dakwah dan Berdakwah dengan
Politik, (Kediri: Kasysamedia, 2009), h. 8-11. 12
Artikel diakses pada 3 maret 2018 dari website Ikatan Alumni Al-Azhar Indonesia.
http://ikpma-mesir.blogspot.com/2014/07profil-dr-muchlis-hanafi-ma-kesuksesan.html?m=1. 13
Wawancara dengan Lalu Supriadi di Kampus Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Mataram,
pada Selasa 2 Januari 2018, jam 11.30-12.00 WITA.
38
Pendidikan S1 ia peroleh dari Universitas Yordan, S2 dan S3 di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarata, konsentrasi Kajian Dakwah.14
5. Dr. H. Muhammad Said Ghazali, Lc., MA
Muhammad Said Ghazali yang lahir di Desa Gelogor Lombok Barat, adalah
Wakil Dekan 3 Fakultas Ushuluddin dan Sosiologi Agama UIN Mataram. Pendidikan
S1 sampai S3 konsentrasi Ushul Fiqh ia peroleh dari Universitas al-Azhar Kairo
Mesir.15
6. Dr. H. Lalu Supriadi, Lc., MA
Lalu Supriadi yang lahir di Kota Raja Lombok Timur, 25 Agustus 1976,
adalah Kepala Pusat Pengembangan Bahasa UIN Mataram. Pendidikan S1 ia peroleh
dari Universitas Islam Madinah Arab Saudi, S2 dan S3 bidang Ushul Fiqh ia peroleh
dari Universitas Omdurman Sudan.16
7. Dr. H. Lalu Muhsin
Lalu Muhsin yang lahir di Pemenang, Lombok Utara, adalah dosen di
Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram
Pindidikan S1 ia peroleh dari Universitas al-Azhar Kairo Mesir, S2 Dan S3 ia
selesaikan di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, konsentrasi
Kajian Dakwah.17
8. Dr. H. Dedy Wahyudin, MA
Dedy Wahyudin yang lahir di Pelambek, Lombok Tengah, adalah dosen
Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram. Pendidikan S1 Ponpes Asembagus
14
Wawancara dengan Lalu Supriadi di Kampus Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Mataram,
pada Selasa 2 Januari 2018, jam 11.30-12.00 WITA. 15
Wawancara via telepon dengan Dr. H. Muhammad Said Ghazali, pada kamis 4 Januari
2018. 16
Wawancara dengan Lalu Supriadi di Kampus Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Mataram,
pada Selasa 2 Januari 2018, jam 11.30-12.00 WITA. 17
Wawancara dengan Lalu Supriadi di Kampus Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Mataram,
pada Selasa 2 Januari 2018, jam 11.30-12.00 WITA.
39
Walisongo Situbondo, S2 dan S3 ia peroleh dari Universitas Abdel Malek Essaadi
Maroko, konsentrasi Pemikiran Islam.18
9. Dr. Jamaluddin
Jamaluddin yang lahir di Kembang Kerang Lombok Timur, adalah dosen
Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram. Pendidikan S1 sampai S3 ia Peroleh dari
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, konsentrasi Sejarah Kebudayaan Islam.19
10. Dr. Salimul Jihad, MA
Salimul Jihad lahir di Pancor Lombok Timur, adalah dosen Fakultas Tarbiyah
dan Ilmu Keguruan UIN Mataram. Pendidikan S1 ia peroleh dari Universitas Al-
Azhar Kairo Mesir, S2 dan S3 ia peroleh dari UIN Sunan Ampel Surabaya,
konsentrasi Usul Fiqh.20
11. Muhammad Sa’i, MA
Muhammad Sa’i yang lahir di Mataram, adalah dosen Fakultas Dakwah UIN
Mataram. Pendidikan S1 dan S2 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta konsentrasi Sastra
Arab.21
C. Gambaran Umum Kitab Juz ‘Amma al-Majīdi
Kitab Juz ‘Amma al-Majīdi yang dibahas dalam tulisan ini dicetak pada tahun
2012, berukuran 24 x 15,5 cm, margin 1,5 kiri-kanan, margin atas dan bawah 2 cm.
Jumlah halaman 65, ditambah lima halaman kata pengantar (vii-xi). Nomor halaman
ditempatkan di bagian tengah bawah, kualitas kertas kurang baik, kemungkinan
dikarenakan cetakan pertama. Setiap halaman disertai bingkai hiasan, dan pada awal
surah dilengkapi dengan keterangan surah makiyyah dan madaniyyah. Desain sampul
18
Wawancara dengan Lalu Supriadi di Kampus Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Mataram,
pada Selasa 2 Januari 2018, jam 11.30-12.00 WITA. 19
Wawancara dengan Lalu Supriadi di Kampus Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Mataram,
pada Selasa 2 Januari 2018, jam 11.30-12.00 WITA. 20
Wawancara dengan Lalu Supriadi di Kampus Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Mataram,
pada Selasa 2 Januari 2018, jam 11.30-12.00 WITA. 21
Wawancara dengan Lalu Supriadi di Kampus Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Mataram,
pada selasa 2 Januari 2018, jam 11.30-12.00 WITA.
40
berwarna dasar putih kemudian dibingkai dengan hiasan berwarna ungu, kuning hijau
dan merah hingga berbentuk semacam batik dan di tengah sampul buku ini terdapat
gambar berugak22
yang bertuliskan Juz ‘Amma al-Majīdi Terjemahan Bahasa Sasak.
Gambar 3.1: Sampul Depan dan Belakang Kitab Juz ‘Amma al-Majīdi
(Gambar diambil dari dokumen pribadi penulis)
Kitab Juz ‘Amma al-Majīdi Terjemahan Bahasa Sasak ini dikerjakan oleh
sebuah tim dari Lajnah Penerjemah al-Qur’an Bahasa Sasak (LPQBS) dan Forum
Komunikasi Timur Tengah Nusa Tenggara Barat yang beranggotakan pakar yang
beberapa di antaranya merupakan pengajar (dosen) UIN Mataram. Tujuh di antaranya
bergelar Doktor, selain kemampuan dalam ilmu tafsir dan bahasa Arab untuk
menerjemahkan al-Qur’an ke dalam bahasa daerah tertentu (termasuk bahasa Sasak),
dalam proses penerjemahan juga didukung kepakaran dari ahli bahasa Sasak, baik
sebagai anggota tim maupun sebagai editor. Hal ini mengingat kemampuan untuk
berbahasa Sasak tidak secara otomatis menjadikan seseorang menjadi ahli dalam
bahasa Sasak. Sebagai pembanding, kemampuan berbahasa Indonesia tidak serta
merta menjadikan mereka sebagai ahli atau pakar dalam bahasa Indonesia.
22
Berugak merupakan jenis arsitektur tradisional masyarakat suku Sasak yang saat ini telah
dikenal oleh masyarakat dunia dan bahkan bangunan berugak sudah diadopsi dan dijadikan sebagai
bangunan penghias halaman rumah oleh masyarakat di beberapa negara yang ada di dunia. Wawancara
dengan Amaq Mini (Nari) pada hari Selasa Tanggal 2 Januari 2018 Jam. 20.00-22.00 di Pelulan,
Kuripan Lombok Barat NTB.
41
BAB IV
TERJEMAHAN AL-QUR’AN BAHASA SASAK
KITAB JUZ ‘AMMA AL-MAJĪDI
Pada bagaian ini penulis akan memberikan gambaran terkait karakteristik
yang melekat pada kitab Juz „Amma al-Majīdi Terjemahan Bahasa Sasak, dialek
bahasa Sasak yang digunakan dalam penerjemahan, dan metode penerjemahan
yang digunakan oleh tim dari Lajnah Penerjemah al-Qur‟an Bahasa Sasak
(LPQBS) dan Forum Alumni Timur Tengah (FKATT) Nusa Tenggara Barat.
A. Karakteristik Kitab
Karakteristik yang dimaksud pada bagian ini adalah sifat khas yang
melekat pada teknik penyajian kitab.1 Ada beberapa karakteristik yang setidaknya
dapat memberikan gambaran utuh mengenai kitab Juz „Amma al-Majīdi ini, yaitu
sistematika penerjemahan dan Dialek Bahasa Sasak yang digunakan.
1. Sistematika Penterjemahan
Kitab Juz „Amma al-Majīdi Terjemahan Bahasa Sasak ini memiliki
komposisi yang cukup sederhana. Penulisnya memulai penerjemahan al-Qur‟an
dari surah al-Fatiḥaḥ kemudian dilanjutkan ke surah an-Naba‟ sampai dengan
surah an-Nas. Format penerjemahan kemudian dilakukan setelah
mengetengahkan teks al-Qur‟an di bagian kanan, dan terjemahannya di bagian
kiri. Dengan format seperti ini dimungkinkan setiap orang mengetahui arti kata
dari masing-masing ayat yang diterjemahkan.
1Islah Gusmian,”Karakteristik Naskah Terjemahan al-Qur‟an Pegon Koleksi
Perpustakaan Masjid Agung”, Suhuf Vol. 5, No. 1 (2012), h. 57
42
Gambar 4.1: Terjemahan Surah al-Fatiḥaḥ pada kitab Juz „Amma
al-Majīdi (Gambar diambil dari dokumen pribadi penulis)
Artinya : Sareng ngucap asma Allah si Maha Pengasih dait Maha Penyayang,
Selapuq puji tipak Allah, Neneq sekalian alam, Si Maha Pehasih dait Maha
Penyayang, Si ndoweang jelo pembalesan, Dekaji dong si kami sembah, dait
dekaji dong taok kami pade nunasan tulung, Langan dengan-dengan sik sampun
dekaji icanin nikmat, endekne langan dengan si temanggahin dait ndekne langan
dengan si seset.
Kutipan di atas menunjukkan bahwa kata perkata ayat al-Qur‟an telah
diterjemahkan satu persatu, sehingga masing-masing kata dapat dengan mudah
diketahui terjemahannya.
43
2. Metode Terjemah al-Qur’an Bahasa Sasak Kitab Juz ‘Amma al-Majīdi
Metode terjemah berarti cara penerjemahan yang digunakan oleh
penerjemah dalam mengungkapkan makna teks sumber secara keseluruhan ke
dalam bahasa penerima (bahasa terjemahan). Jika sebuah nash misalnya al-Qur‟an
diterjemahkan dengan metode harfiyyah, maka makna yang terkandung dalam
surah pertama hingga surah terakhir diungkapkan secara harfiyyah, kata demi kata
hingga selesai.2
Menurut M. Hadi Ma‟rifat terjemahan setiap kata dari bahasa aslinya ke
dalam kata dari bahasa lain disebut jenis terjemahan dengan penerjemahan
tekstual. Dari terjemahan tersebut, susunan kalimat satu demi satu kata diubah
hingga akhir. Cara ini juga disebut dengan istilah terjemahan lafzhiyyah atau
musawiyyah.3
Lalu Supriadi menjelaskan, bahwa terjemahan al-Qur‟an bahasa Sasak
kitab Juz „Amma al-Majīdi ini sepenuhnya mengikuti model atau metode
terjemahan al-Qur‟an bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Kementerian Agama
pada tahun 2011, yakni menerjemahan al-Qur‟an secara harfiyyah. hal ini bisa kita
lihat dari model terjemahan yang dilakukan dari surah al-Fatihah, surah an-Naba‟
sampai surat an-Nas dari kitab Juz „Amma al-Majīdi.4
Sebagai ilustrasi, berikut ini adalah contoh umum terjemahan al-Qur‟an
yang dilakukan oleh Lajnah Penerjemah al-Qur‟an Bahasa Sasak (LPQBS) dan
Forum Alumni Timur Tengah (FKATT) Nusa Tenggara Barat.
Terjemahan dari Kementerian Agama RI.
2 Syihabuddin, Penerjemahan Arab-Indonesia (Bandung: Humaniora, 2005), h.69.
3 M. Hadi Ma‟rifat, Sejarah al-Qur‟an. Penerjemah Thoha Musawa (Jakarta: al-Huda,
2007), h. 271-272. 4 Wawancara dengan Lalu Supriadi di Kampus Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Mataram, pada Selasa 2 Januari 2018, jam 11.30-12.00 WITA.
44
Katakanlah (Muhammad), “Dialah Allah, Yang Maha Esa, Allah tempat
meminta segala sesuatu, (Allah) tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, dan
tidak ada sesuatu yang setara dengan dia.5
Terjemahan dari Lajnah Penerjemah al-Qur‟an Bahasa Sasak (LPQBS)
dan Forum Alumni Timur Tengah (FKATT) Nusa Tenggara Barat.
Gelis Muni (Muhammad): “Iye Allah Si Maha Esa”, Allah doang taoqte
nunas selapuq juwaq, Ndekne bedowe bije dait ndeqne tebijeang, Dait ndeqne
arak sopoq juwaq si sekupu kance iye.6
Bandingkan dengan terjemahan al-Qur‟an bahasa Sasak yang dilakukan
oleh TGH. Subki Sasaki.
Maniqkan (Muhmammad) “Allah nike tunggal”, Allah doang taoqte
nunasan selapuq ape, Nenten bedoe bije dait nenten tebijean, Dait nenten arak
sopoq juak siq pade kanje iye.7
Dari dua terjemahan surah al-Ikhlas/112 di atas, dapat dibedakan bahasa
Sasak yang Alus dan bahasa Sasak yang kasar. Selain kata gelis muni yang artinya
segera berkata tidak cocok karena kata muni/munian tingkatannya sama dengan
kata ngeraos. Ini adalah tingkatan yang paling bawah dalam struktur bahasa
Sasak. Padahal banyak pilihan kata yang lebih alus atau lebih sopan semisal
baosan atau maniqkan (Muhammad), “Allah nike tunggal.” Selain itu menurut
Subki Sasaki kata munian yang artinya berbicara, tidak sama dengan katakanlah
yang merupakan kata perintah (imperatif). Begitu juga dengan kata ndekne yang
tergolong bahasa yang tidak sopan dan tidak cocok untuk menerjemahkan kata
(Allah) tidak beranak karena, masih ada kata-kata yang lebih sopan. Seperti kata
nenten atau kata edaq iye.
B. Dialek Bahasa Sasak yang Digunakan
5Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya (Direktorat Jenderal Bimbingan
Masyarakat Islam, Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Tahun 2012), h. 922 6Tim Penerjemah, Juz „Amma al-Majīdi, Terjemahan Bahasa Sasak (Lajnah Penerjemah
al-Qur‟an Bahasa Sasak (LPQBS) dan Forum Komunikasi Alumni Timur Tengah NTB, 2012), h.
63. 7Wawancara dengan TGH. Muhammad Subki Sasaki, via telepon pada hari Jum‟at,
tanggal 16 Maret 2018, jam 05.00 WIB.
45
Bahasa Sasak adalah bahasa yang memiliki ragam dialek.8 Meskipun
penulis berasal dari suku Sasak, tapi penulis juga menemukan banyak kata atau
kaliamat dalam kitab Juz „Amma al-Majīdi Terjemahan Bahasa Sasak yang boleh
jadi tidak dapat dimengerti, dikarenakan perbedaan dialek tersebut. Sebagai
contoh, dalam kitab Juz „Amma al-Majīdi terdapat kata-kata ranjaq, ngengos,
lumeq, umaq meq, bepete,dan lain-lain. Arti dan makna kata tersebut baru dapat
dipahami setelah membaca al-Qur‟an terjemahan bahasa Indonesia. Jika hal itu
benar-benar terjadi, maka tujuan pembumian al-Qur‟an pada masyarakat Suku
Sasak tidak akan tercapai, atau tidak maksimal.
Menurut Lalu Supriadi dialek yang digunakan dalam kitab Juz „Amma al-
Majīdi ini adalah dialek Selaparang (Ngeno-ngene), karena dialek ini dapat
dipahami oleh semua penutur bahasa.9 Akan tetapi setelah membaca kitab Juz
„Amma al-Majīdi Terjemahan Bahasa Sasak secara keseluruhan, penulis
menemukan kecenderungan yang muncul lebih banyak mengarah pada
penggunaan dialek secara campuran. Tabel beikut menampilkan beberapa contoh
penggunaan dialek campuran dalam kitab Juz „Amma al-Majīdi Terjemahan
Bahasa Sasak.
Tabel 4.1: Identifikasi Penggunaan Dialek Bahasa Sasak dalam kitab
Juz ‘Amma al-Majīdi Terjemahan Bahasa Sasak.
Surah/Ayat Bahasa Indonesia Terjemahan
Kitab Juz ‘Amma
al-Majidi
Dialek
Yang di
Gunakan
QS. al-Ikhlās :
3
(Allah) tidak beranak (Allah) ndekn
bedowe anak
Ngeno-ngene
QS. al-Falaq :1 Katakanlah Munian Meno-mene
QS. „Abasa: 35 Ibu Bapak Inaq Amaq Meno-mene
QS. al-Fātihah:
5
Mohon pertolongan Endeng tulung Meno-mene
QS. an-Naba‟:
3
Yang dalam hal itu
mereka berselisih
Sino siqne pade
pegejuhang
Keto-kete
QS. an-Naba:
16
Dan kebun-kebun yang
rindang
Dait kebon-kebon
si rembak melaq
Keto-kete
8Tawalinuddin Haris, “al-Qur‟an dan Terjemahannya Bahasa Sasak Beberapa Catatan,”
Jurnal Suhuf Vol. 10 No. 1 Juni 2017, h. 216 9Wawancara dengan Lalu Supriadi di Kampus Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Mataram, pada Selasa 2 Januari 2018, jam 11.30-12.00 WITA.
46
QS. an-
Nāzi‟at: 39
Maka sungguh,
nerakalah tempat
tinggalnya
Sejatine, lek nerake
taoqne ndot
Ngeno-ngene
QS. „Abasa: 1 Dia (Muhammad)
berwajah masam dan
berpaling
Niye (Muhammad)
nyebeng dait
ngengos
Ngeno-ngene
dan ngeto-
ngete
QS. „Abasa: 2 Karena seorang buta
telah datang kepadanya
Sengak sopok
dengan bute dating
tipaq iye
Ngeno-ngene
dan keto kete
QS. „Abasa: 38 Pada hari itu ada wajah-
wajah yang berseri-seri
Luweq pemuaq
dengan leq jelo
sino bungah
Keto-kete
QS. al-Infitār:
2
Dan apabila bintang-
bintang jatuh
berserakan
Dait lamun
bintang-bintang
geriq begeritik
Ngeno-ngene
dan keto-kete
QS. at-Tāriq :
10
Maka manusia tidak
lagi mempunyai suatu
kekuatan dan tidak
(pula) ada penolong
Banjur manusiye
ndeqne bedoe
balung dait
penulung malik
Keto-kete
QS. al-Fajr: 28 Kembalilah pada
Tuhanmu dengan hati
yang ridha dan
diridhainya
Tulaq tipaq neneq
meq isiq ate si ride
dait ridayang ne
Ngeno-ngene
dan keto-kete
QS. al-Lail: 3 Demi penciptaan laki-
laki dan perempuan
Demi pepina‟qan
nine kance mame
Ngeno-ngene
QS. ad-Duha :
6
Bukankah dia
mendapatimu sebagai
seorang yatim, lalu dia
melindungi (mu)
Ndek ke kamu
tedait isiq naneq
jari anaq iwoq
banjur tepeliharaq
Ngeno-ngene
dan keto-kete
QS. asy-Syarh
: 2
Dan kamipun telah
menurunkan bebanmu
darimu
Dait wah ku
turunang bande
meq
Ngeno-ngene
dan keto-kete
QS. al-
Bayyinah : 3
Di dalamnya terdapat
(isi) kitab-kitab yang
lurus
Lek dalemne arak
kitab-kitan sik
lombok
Ngeno-ngene
Q.S al-„Alaq
:18
Kelak kami akan
memanggil malaikat
Eraq ku kelek
malaikat zabaniyah
Ngeto-ngete
Q.S al-Ādiyat:
4
Sehingga
menerbangkan debu
Poqne kelepang
kerepuk
-
Q.S at-
Takātsur: 4
Kemudian sekali-kali!
Kelaq kamu akan
mengetahui
Bajur kendeq gati-
gati! Eraq gen
kamu taoq
Ngeto-ngene
Q.S al-Fātihah:
7
Yang telah engkau beri
nikmat
Si sampun de kaji
icanin nikmat
Ngeno-ngene
47
Dari tabel di atas, jelas sekali bahwa dialek yang digunakan lebih dari dua
dialek (mungkin tiga atau empat). Penggunaan kata atau kalimat yang sering
muncul adalah dialek ngeno-ngene dan dialek keto-kete. Namun secara umum
sebagian besar kosakata yang digunakan termasuk dalam kategori bahasa Sasak
“kasar” (sogol). Hal ini sangat disayangkan, mengingat upaya penerjemahan kitab
suci al-Qur‟an seharusnya dapat dilakukan ke dalam bahasa yang lebih sopan dan
halus (sasak alus), seperti bahasa Sasak yang ditampilkan atau digunakan dalam
karya sastra babad atau bahasa Sasak yang digunakan dalam acara-cara besar dan
formal. Tujuannya tidak lain agar budaya Sasak yang akan diwariskan kepada
generasi penerus melalui upaya penerjemahan ini bisa menjadi contoh yang baik
dan memancarkan nilai-nilai kesasakan yang baik.10
Bahasa Sasak yang diperkenalkan kepada para pembaca terjemahan al-
Qur‟an sebaiknya merupakan bahasa Sasak yang menampilakan sopan santun.
Contoh keseharian yang tampak misalnya penggunaan ucapan “silahkan” yang
dalam bahasa Sasak berarti Ngiring, Dawek. Atau kata terima kasih yang dalam
bahasa Sasak berarti tampi asih. Kosakata ini masih jarang dipergunakan oleh
orang Sasak, terutama kelompok masyarakat jajar karang11
yang belum terlalu
paham, dikarenakan yang mereka kenal dan gunakan selama ini adalah bahasa
Sasak yang kurang sopan.
Tentu saja tidak dapat dinyatakan bahwa semua kosakata bahasa Sasak
yang digunakan dalam kitab Juz „Amma al-Majīdi Terjemahan Bahasa Sasak ini
tergolong kurang sopan atau “kasar” karena terdapat pula penggunaan kosakata
yang tergolong halus. Sebagai contoh digunakan kata bije atau tebijeang pada
Surah al-Ikhlas ayat 3 untuk terjemahan kata “anak”/”diperanakan”, deside Allah
ta‟ala ( Allahu ta‟ala/Allah subhanahu wa ta‟ala ), dekaji doang (hanya engkau),
nunas tulung (minta pertolongan), sampun (sudah), saking (dari). Untuk kata ganti
10
Wawancara dengan TGH. Muhammad Subki Sasaki, via telepon pada hari Jum‟at,
tanggal 16 Maret 2018, jam 05.00 WIB. 11
Jajar karang adalah sebutan untuk masyarakat biasa suku Sasak. Secara garis besar
masyarakat yang berada di pulau Lombok dibagi menjadi dua kalangan, yaitu Bangsawan atau
Pemenak dan Jajar karang. Namun sebenarnya masyarakat Lombok terdiri dari tiga tingkat
kebangsawanan yaitu Perwangsa Raden, Triwangsa, dan Jajar karang. Wawancara dengan Amaq
Mini (Tokoh Adat Sasak/peraih Maestro Kebudayaan Seni Lontar Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia 2014) pada hari Selasa Tanggal 2 Januari 2018 Jam. 20.00-22.00
di Pelulan, Kuripan Lombok Barat NTB.
48
orang pertama ”saya” atau “aku” dalam bahasa Sasak kasar adalah aku/eku, alih-
alih menggunakan kata-kata ingsun, sun, dewek, tiang,dan kaji. Untuk kata ganti
orang kedua, penggunaan kata kamu, kemu, anta, epe dan pe memiliki rasa bahasa
agak kasar, dan terdapat pilihan kata yang lebih halus seperti side, pelinggih,
pelungguh, dekaji. Contoh penggunaan alternatif lain, selain kata mangan
(makan), tedok (diam), ndeq tauq, ndek kenaon (tidak tahu) dalam bahasa Sasak
kasar, terdapat kata-kata dahar dan medaran (makan), menang (diam), dan
mindah (tidak tahu) dalam bahasa Sasak yang lebih halus. Dengan penggunaan
bahasa Sasak halus dalam terjemahan al-Qur‟an kita berharap pemahaman
masyarakat Sasak menjadi lebih baik mengenai khazanah bahasa ibu mereka
sendiri. Demikian juga harapan Gubernur Nusa Tenggara Barat seperti telah di
singgu diatas akan dapat terwujud.
Hal lain yang perlu mendapatkan perhatian adalah penerjemahan kata
Rabb, yang diterjemahkan kedalam bahasa Sasak dengan kata Nenek Kaji Sak
Kuase yang artinya Tuhan yang Maha Kuasa seperti yang terdapat dalam surah
an-Nas (114), surah al-Falaq (113), dan surah an-Naba‟(78).
Artinya : Gelis muni, aku berlindung tipaq Neneq ne manusie, Raje ne
manusie, Sesembahan manusie, Lekan kejahatan (pesa‟an) setan sik nyeboq, Si
memiseq (Kejahatan) tipaq dalem dade manusie, Lekan (kaum) jin dait manusie.12
Kata qul (قل) pada surah al-Ikhlas/112, surah al-Falaq/113, surah an-
Nas/114 yang berarti katakan/katakanlah diterjemahkan dengan gelis muni yang
artinya segera berkata. Bahkan dalam surah al-Kafirun/109, kata tersebut
diterjemahakan dengan gelis ngeraos. Kata ngeraos artinya berbicara, tidak sama
dengan katakanlah yang merupakan kata perintah (imperatif).
Kitab Juz „Amma al-Majīdi Terjemahan Bahasa Sasak juga mendapat
perhatian berkenaan dengan pilihan kata (diksi), karena terdapat sejumlah kata
12
Tim Penerjemah, Juz „Amma al-Majīdi, Terjemahan Bahasa Sasak (Lajnah Penerjemah
al-Qur‟an Bahasa Sasak (LPQBS) dan Forum Komunikasi Alumni Timur Tengah NTB, 2012), h.
65.
49
yang artinya sama atau hampir sama, tetapi harus dibedakan dalam
penggunaannya dalam kalimat. Terlebih lagi jika dikaitkan dengan status sosial
tertentu, misalnya kata solah dan bagus. Kata solah lebih spesifik bagi kaum
wanita yang berarti cantik, misalnya dedare solah (gadis cantik) padanannya
inges. Sedangkan bagus lebih umum sifatnya. Contoh penggunaannya dalam
kalimat terjemahan, “Sejabaning dengan-dengan berimandait gaeq pegawean
solah serte saling nasehat adeqne gawek pegawean solah dait adekne pade
sabar,”13
pada surah al-Ashar/103: 3. Pada kalimat ini penggunaan kosakata solah
tampaknya kurang sesuai, dan yang lebih tepat adalah kata bagus. Demikian juga
dengan penempatan kata muniang, puniang, raosang, dan manikang, meskipun
memiliki arti yang sama atau hampir (sinonim), tetapi berbeda penempatannya
dalam kalimat.
Terkait dengan waktu misalnya, penggunaan kosakata tipaq atau ojok,
harus sangat memperhatikan konteksnya dalam kalimat agar dapat dimengerti.
Sebagai perbandingan, dalam bahasa Indonesia naik hampir sama makna dengan
panjat, tetapi berbeda dalam pemakaiannya, misalnya saya naik tangga atau saya
memanjat pohon. Kata naik/menaiki dan manjat/memanjat dalam kedua kalimat
tersebut kurang elok kalau tempatnya dipertukarkan. Kosakata kamu, kemu, dan
anta dalam bahasa Indonesia maknanya sama, yakni kamu atau engkau, tetapi
perlu diperhatikan bahwa kosakata anta digunakan hanya untuk jenis kelamin
laki-laki dan kosakata ini tidak ditemukan dalam dialek Mriak-mriku. Sedangkan
kemu digunakan hanya untuk jenis kelamin perempuan dalam dialek Ngeno-
ngene. Kata “alam semesta” kurang tepat kalau diterjemahkan dengan gumi paer
yang artinya sama dengan bumi atau arḍ ( رضع ). Kemungkinan kata alam semesta
akan lebih tepat kalau diterjemahkan dengan jagatraya yang dalam bahasa
Arabnya adalah alamin.14
Dalam terjemahan al-Qur‟an akan lebih baik jika dipergunakan bahasa
sastra atau bahasa Sasak Alus dengan mengambil salah satu di antara kelima
dialek Sasak, sehingga lebih konsisten dan taat asas, baik dalam pilihan kata
13
Tim Penerjemah, Juz „Amma al-Majīdi, Terjemahan Bahasa Sasak (Lajnah Penerjemah
al-Qur‟an Bahasa Sasak (LPQBS) dan Forum Komunikasi Alumni Timur Tengah NTB, 2012), h.
56 14
Tawalinuddin Haris, “al-Qur‟an dan Terjemahannya Bahasa Sasak Beberapa Catatan,”
Jurnal Suhuf Vol. 10 No. 1 Juni 2017, h. h. 218.
50
maupun dalam teknik penulisan. Sebelum salah satu dialek ditetapkan untuk
digunakan dalam terjemahan, sebaiknya dilakukan pemetaan mengenai jumlah
penutur kelima dialek di atas dan luas daerah persebarannya, sehingga dapat
dipilih dialek yang paling banyak dan luas penggunaannya.15
Jika hal ini menjadi pilihan, maka peta dialektologi seperti yang dibuat A
Teeuw dalam bukunya Atlas Dialek Pulau Lombok. Dalam peta yang dibuat
Teeuw digambarkan bahwa daerah persebaran dialek Ngeto-ngete atau dialek
Meno-mene paling luas. Kemungkinan pada masa lampau kedua dialek tersebut
yang banyak digunakan sebagai lingua franca atau sarana komunkasi di kalangan
orang-orang Sasak. Selain itu, kemungkinan juga telah terjadi pergerakan
penduduk dari Lombok bagian timur ke bagian barat atau dari bagian selatan dan
utara ke bagian tengah, karena daerah ini merupakan dataran rendah yang subur.
Perpindahan boleh jadi berlangsung setelah orang-orang Bali dari Karangasem
berdatangan dan membangun permukiman di Mataram, Cakranegara, Pagesangan,
Pagutan dan sekitarnya sehingga ketiga dialek di atas (Ngeto-ngete, Meno-mene
dan Mriak-mriku) memiliki penutur di beberapa kampung di Lombok bagian
barat. Penggunaan lebih dari satu dialek akan memunculkan kesulitan ketika
sebuah kata pada satu dialek memiliki makna yang berbeda dalam dialek yang
lain atau tidak ditemukan pada dialek yang lain. Dalam Kamus Bahasa Sasak yang
disusun oleh Nazir Thohir kata tesekoq diterjemahkan dengan kata “disikut”,
tetapi dalam dialek Mriak-mriku, tesekoq memiliki arti “terikat” atau “diikat‟.16
Pilihan yang kedua, bahasa Sasak yang digunakan dalam terjemahan
adalah bahasa pergaulan yang penggunaannya didasarkan pada perbedaan dalam
hal kedudukan, pangkat, usia, dan tingkat keakraban antara yang disapa dan yang
menyapa, yang dikenal dengan tingkat tutur atau unggah- ungguh dalam bahasa
Jawa.17
Selain kata-kata kamu, kemu, meq, dan anta (kata ganti orang kedua), ada
kata-kata side, pelinggih, pelungguh, dan dekaji; selain kata-kata aku, eku (kata
ganti orang pertama), ada kata-kata tiang, kaji dan dewek. Bahasa Sasak unggah-
15
Wawancara dengan TGH. Muhammad Subki Sasaki, via telepon pada hari Jum‟at,
tanggal 16 Maret 2018, jam 05.00 WIB. 16
Tawalinuddin Haris, “al-Qur‟an dan Terjemahannya Bahasa Sasak Beberapa Catatan,”
Jurnal Suhuf Vol. 10 No. 1 Juni 2017, h. h. 219. 17
Tawalinuddin Haris, “al-Qur‟an dan Terjemahannya Bahasa Sasak Beberapa Catatan,”
Jurnal Suhuf Vol. 10 No. 1 Juni 2017, h. h. 219.
51
ungguh masih hidup dan tetap digunakan dalam upacara-upacara adat sorong
serah, pembayunan, dan lain-lain. Bahasa Sasak unggah-ungguh ini perlu
disebarluaskan dan diwariskan kepada masyarakat, termasuk generasi penerus,
melalui berbagai media, di antaranya Terjemahan al-Qur‟an Bahasa Sasak Juz
„Amma al-Majīdi.18
Tabel 4.2: Pilihan alternatif dialek terjemah kitab Juz ‘Amma al-
Majīdi dengan dialek yang lebih sopan atau alus.
Surah/Ayat Bahasa Indonesia Terjemahan
Kitab Juz ‘Amma
al-Majidi
Dialek
Yang di
Gunakan
QS. al-Ikhlās :
3
(Allah) tidak beranak (Allah) Nenten
bedoe bije
Meno-mene
QS. al-Falaq :1 Katakanlah Maniqan Meno-mene
QS. „Abasa: 35 Ibu Bapak Inaq Mamiq Meno-mene
QS. al-Fātihah:
5
Mohon pertolongan Tunas tolung Meno-mene
18
Wawancara dengan TGH. Muhammad Subki Sasaki, via telepon pada hari Jum‟at,
tanggal 16 Maret 2018, jam 05.00 WIB.
52
QS. an-Naba‟:
3
Yang dalam hal itu
mereka berselisih
Sak nike siqne
pade pesiaq
Meno-mene
QS. an-Naba:
16
Dan kebun-kebun yang
rindang
Dait kebon-kebon
sik bao elen
Meno-mene
QS. an-
Nāzi‟at: 39
Maka sungguh,
nerakalah tempat
tinggalnya
Sejatine, lek nerake
taoqne ndot
Meno-mene
QS. „Abasa: 1 Dia (Muhammad)
berwajah masam dan
berpaling
Nike (Muhammad)
nyebeng dait
ngengos
Meno-mene
QS. „Abasa: 2 Karena seorang buta
telah datang kepadanya
Sengak sopok
dengan bute dawek
tipaq iye
Meno-mene
QS. „Abasa: 38 Pada hari itu ada wajah-
wajah yang berseri-seri
Luweq pemuaq
dengan leq jelo
nike seneng
Meno-mene
QS. al-Infitār:
2
Dan apabila bintang-
bintang jatuh
berserakan
Dait lamun
bintang-bintang
geriq begeritik
Meno-mene
QS. at-Tāriq :
10
Maka manusia tidak
lagi mempunyai suatu
kekuatan dan tidak
(pula) ada penolong
Sejatine manusiye
nenten bedoe
balung dait
penulung malik
Meno-mene
QS. al-Fajr: 28 Kembalilah pada
Tuhanmu dengan hati
yang ridha dan
diridhainya
Tulaq tipaq neneq
kaji sak kuase
ngiring ati si ride
dait ridayang
Meno-mene
QS. al-Lail: 3 Demi penciptaan laki-
laki dan perempuan
Demi pepina‟qan
nine kance mame
Meno-mene
QS. ad-Duha :
6
Bukankah dia
mendapatimu sebagai
seorang yatim, lalu dia
melindungi (mu)
Ndek ke kamu
tedait isiq naneq
jari kanaq iwoq
banjur tepeliharaq
Meno-mene
QS. asy-Syarh
: 2
Dan kamipun telah
menurunkan bebanmu
darimu
Dait wah tiang
turunan bande mu
Meno-mene
QS. al-
Bayyinah : 3
Di dalamnya terdapat
(isi) kitab-kitab yang
lurus
Lek dalem arak
kitab-kitan sik
Lombok
Meno-mene
Q.S al-„Alaq
:18
Kelak kami akan
memanggil malaikat
lemaq ku empoh
malaikat zabaniyah
Meno-mene
Q.S al-Ādiyat:
4
Sehingga
menerbangkan debu
Poqne terbangin
ore
Meno-mene
Q.S at-
Takātsur: 4
Kemudian sekali-kali!
Kelaq kamu akan
mengetahui
lemaq dendeq gati-
gati! Eraq gen
kamu taoq
Meno-mene
Q.S al-Fātihah:
7
Yang telah engkau beri
nikmat
Si sampun de kaji
icanin nikmat
Meno-mene
53
52
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian pembahasan yang telah dipaparkan pada bab-bab
sebelumnya tentang: Penerjemahan al-Qur’an bahasa Sasak yang dilakukan oleh
Lajnah penerjemahan al-Qur’an Bahasa Sasak (LPQBS) dan Forum Komunikasi
Alumni Timur Tengah (FKATT) Nusa Tenggara Barat, maka jawaban atas rumusan
masalah dalam penelitian ini dapat disimpulkan:
Karakteristik kitab Juz ‘Amma al-Majīdi Juz ‘Amma al-Majīdi Terjemahan
Bahasa Sasak ini memiliki komposisi yang cukup sederhana. Penulisnya memulai
penerjemahan al-Qur’an dari surah al-Fatiḥaḥ kemudian dilanjutkan ke surah an-
Naba’ sampai dengan surah an-Nas. Format penerjemahan kemudian dilakukan
setelah mengetengahkan teks al-Qur’an di bagian kanan, dan terjemahannya di bagian
kiri. Dengan format seperti ini dimungkinkan setiap orang mengetahui arti kata dari
masing-masing ayat yang diterjemahkan.
Dialek bahasa Sasak yang digunakan dalam kitab Juz ‘Amma al-Majīdi
Terjemahan Bahasa Sasak ini lebih cenderung menggunakan dialek secara campuran,
yakni dialek ngeno-ngene, dialek keto-kete, dan dialek meno-mene. Sehingga tidak
merepresentasikan semua dialek yang ada.
Penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan bahasa Sasak dalam kitab Juz
‘Amma al-Majīdi masih memerlukan penyempurnaan, karena masih terdapat
inkonsistensi dan pemilihan dialek yang digunakan dalam kitab Kitab Juz’Amma al-
Majīdi ini termasuk dalam kategori bahasa Sasak “kasar” (sogol). Oleh karena itu,
penulis menyarankan agar kitab Juz ‘Amma al-Majīdi Terjemahan Bahasa Sasak di
terjemahkan ulang ke dalam bahasa Sasak yang lebih sopan dan halus (sasak alus),
seperti bahasa Sasak yang ditampilkan atau digunakan dalam karya sastra babad atau
bahasa Sasak yang digunakan dalam acara-cara besar dan formal masyarakat Sasak.
53
B. Saran
Sesuai sifat dasar penelitian keilmuan, bahwa dalam sebuah penelitian pasti
menyisakan masalah yang belum tuntas, karena proses penambahan keterangan dan
pengeditan sampai skripsi ini ditulis masih berlangsung, masih terbuka luas bagi para
peneliti berikutnya untuk melanjutkan penelitian ini. Oleh karena itu akan sangat
berharga jika dapat dikaji lebih lanjut mengenai bagaimana isi dari keterangan yang
ada di kitab Juz ‘Amma al-Majīdi. Mengingat masih kurangnya kajian seputar
terjemah al-Qur’an ataupun terjemah tafsir al-Qur’an, khususnya dalam bahasa Sasak.
Penulis merasa dalam karya skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan dan
kesalahan yang kiranya pembaca dapat memakluminya, karena penulispun masih
dalam tahap belajar. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis
khususnya, para pembaca, dan orang banyak. Amin
54
DAFTAR PUSTAKA
Abror, Indar. “Potret Kronologis Tafsir Indonesia. “ Esensi Vol. 3 No.
2 Juli 2002.
Amir, Mafri. Literatur Tafsir Indonesia. Ciputat: Mazhab Ciputat.
2013.
Abd al-Azhim. al-Zarqani Muhammad. Manāhil al-Irfān Fī Ulūm al-
Qur’an. Beirut: Dar Ihya‟ al-Turats al-Arabi, 1995.
Anonim. Babad Selaparang. Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. Proyek Pengembangan Permuseuman. Nusa
Tenggara Barat, 1974.
Federspiel, Howard M. Kajian al-Qur’an di Indonesia dari Mahmud
Yunus hingga Quraish Shihab. Penerjemah Rahmat Taufiq
Hidayat. Bandung: Mizan, 1996.
Fudail, M. “Terjemah al-Qur‟an dalam bahasa Mandar: Telaah
Metodologi Penerjemahan Karya Khalid Bodi”. Skripsi S1
Tafsir Hadis, Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri
Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2003.
Fitriani, Siti Rohmatin. “Membandingkan Metodologi Penafsiran A.
Hassan dalam Tafsir al-Furqon dan H.B Jassin dalam al-Qur‟an
al-Karim Bacaan Mulia”. Skripsi S1 Tafsir Hadis Fakultas
Ushuluddin Universitas Islam Negri Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2003.
Gusmian, Islah. Khazanah Tafsir Indonesia Dari Hermeneutika
Hingga Ideologi. Yogyakarta: LkiS, 2013.
_______.“Karakteristik Naskah Terjemahan al-Qur‟an Pegon Koleksi
Perpustakaan Masjid Agung”, Suhuf Vol. 5, No. 1 2012.
Ghofur, Syaiful Amin. Profil Para Mufasir al-Qur’an. Yogyakarta:
Pustaka Insan Madani, 2008.
55
Gerung, Daud, dkk. Lombok Mirah Sasak Adi, Sejarah Sosial,
Ekonomi, dan Politik. Ciputat: IMSAK Press, 2010.
Hanafi, Muchlis M. “Problematika Terjemah al-Qur‟an: Studi pada
penerbitan al-Qur‟an dan Kasus Kontemporer”. Suhuf Vol. 4,
No. 2. 2011.
Hanik, Ummi. “Model Terjemah Tafsir al-Qur‟an Bahasa Lokal
(Analisis Terjemah Tafsir al-Jalalain Bahasa Madura Karya
Muhammad Arifun)”. Skripsi S1 Tafsir Hadis, Fakultas
Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015.
Hidayat. Komaruddin, Memahami Bahasa Agama. Jakarta:
Paramadina, 1996.
Haris, Tawalinuddin. “al-Qur‟an dan Terjemahannya Bahasa Sasak
Beberapa Catatan,” Jurnal Suhuf , Vol. 10 No. 1 Juni 2017.
Hasan, Hamka. Metodologi Penelitian Tafsir Hadis. Jakarta: Lembaga
Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2008.
Hakim, Irfan Ali. Tuan Guru Bajang, Berpolitik dengan Dakwah dan
Berdakwah dengan Politik. Kediri: Kasysamedia, 2009.
Hidayatullah, Moh. Syarif. Seluk Beluk Penerjemahan Arab Indonesia
Kontemporer: Dasar, Teori, dan Masalah. Ciputat: UINPress,
2014.
Irwan. “Analisis Metodologi Tahsir al-Fatihah Karya Achamad
Chodjim: Aplikasi Metodologi Kaian Tafsir Islah Gusmian”.
Skripsi S1 Tafsir Hadis, Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif
Hidayatullah, 2010.
Kraan, Alfons van der. Lombok: Conquest, Colonization and
Underdevlopment, 1870 -1940. Singapore: Heinemann
Educational Books, 1980.
56
Kementerian Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Direktorat
Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Direktorat Urusan
Agama Islam dan Pembinaan Syariah Tahun 2012.
Lubis, Ismail. “Ihwal Penerjemahan Bahasa Arab ke dalam Bahasa
Indonesia.” Humaniora, Vol. 16, No. 16, Februari 2004.
Lailaturrahman, dkk. Al-Qur’an Terjemah Bahasa Madura.
Pemekasan: Lembaga Penerjemahan dan Pengkajian al-Qur‟an-
LP2Q, 2006.
Ma‟rifat, M. Hadi. Sejarah al-Qur’an. Penerjemah Thoha Musawat.
Jakarta: al-Huda, 2007.
Masnun. Tuan Guru KH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid;
Gagasan dan Gerakan Pembaharuan Islam di Nusa Tenggara
Barat. Jakarta: Pustaka al-Miqdad, 2007.
Muhammad „Ali. al-Tibyān fī ‘Ulūm al-Qur’an Praktis. Penerjemah
Qodirun Nur. Jakarta: Pustaka Amani, 2001.
Mursyidi. “Terjemahan al-Qur‟an Bahasa Madura: Studi Kasus
Terjemah I‟raban Keterangan Madhurah Atoro‟ Lil-Jalalain
(Tikmal). Skripsi Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir, Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016.
Nurtawab, Ervan. Tafsir al-Qur’an Nusantara Tempo Doeloe. Jakarta:
Usul Press, 2009.
Al-Qattan, Manna‟. Mabāhits Fī Ulūm al-Qur’an. Surabaya: al-
Hidayah, 1973.
_________. Mabāhits Fī Ulūm al-Qur’an. Penerjemah Muzakkir As,
Bogor: Litera Antar Nusa, 1996.
Sauqi, Rifa‟i dan M. Ali Hasan. Pengantar Ilmu Tafsir. Jakarta: Bulan
Bintang, 1992.
Al-Shabuni, Muhammad „Ali. al-Tibyān Fī Ulūm al-Qur’an. Beirut:
Dar al-Irsyad, 1970) al-Sabuni,
57
Shihab, M. Quraish. Kaidah Tafsir. Tanggerang: Lentera Hati, 2013.
Syarbashi, Ahmad. Dimensi-Dimensi Kesejatian al-Qur’an.
Yogyakarta: Ababil, 1996.
Suma, Muhammad Amin. ‘Uluml Qur’an. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2013.
Shaleh, Abdul Qadir Muhammad. al-Tafsīr Wa al-Mufassirūn Fī al-
Hadits. Beirut: Dar al-Ma‟rifah, 1424 H/2003 M.
Syaefuddin, Achmad. “Kisah-Kisah Isra‟iliyat dalam Tafsir al-Ibris
Karya K.H. Bisri Mustafa: Studi Kisah Umat-umat dan Para
Nabi dalam Kitab al-Ibris”. Skripsi S1 Tafsir Hadis, Fakultas
Ushuluddin, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2013.
Tim Lajnah Penerjemah al-Qur‟an Bahasa Sasak (LPQBS) dan Forum
Komunikasi Alumni Timteng NTB (FKATT). Juz ‘Amma al-
Majīdi Terjemahan Bahasa Sasak. Mataram: LPQBS &
FKATT, 2012.
Tim Penyusun, Pedoman Akademik Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah
2013/2014.
Thohir, Nazir. Kamus Sasak-Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1985.
Utsaimin, Syaikh Muhammad bin Salih. Usul Fi Tafsir Pengantar
Dan Dasar-Dasar Mempelajari Ilmu Tafsir. Penerjemah
Ummu Saniyyah. Solo: al-Qowam, 2014.
Zuhdi, M. Nurdin. “Tipologi Tafsir al-Qur‟an Madzhab Indonesia”.
Tesis S2 Program Pascasarjana, UIN Sunan Kalijaga, 2011.
Zuhdi, Muhammad Harfin, dkk. Visi Kebangsaan Religius, Refleksi
Pemikiran dan Perjuangan Tuan Guru Kiyai Haji Muhmmad
Zainuddin Abdul Majid 1904-1997. Jakarta: Logos, 2004.
58
Wawancara :
Wawancara dengan Lalu Supriadi di Kampus Institut Agama Islam
Negeri (IAIN) Mataram, pada Selasa 2 Januari 2018, jam
11.30-12.00 WITA.
Wawancara dengan Tri Budiprayitno di Pondok Pesantren Al-Madani
Pelulan Desa Kuripan Utara Kecamatan Kuripan Kabupaten
Lombok Barat, pada Rabu 10 Januari 2018 , jam 13.00-13.00
WITA.
Wawancara dengan Muhammad Said Ghazali di Desa Gelogor,
Kecamatan Labuapi Lombok Barat NTB.
Wawancara dengan Amaq Mini (Tokoh Adat Sasak/peraih Maestro
Kebudayaan Seni Lontar Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan RI 2014) pada hari Selasa Tanggal 2 Januari 2018
Jam. 20.00-22.00 di Pelulan, Kuripan Lombok Barat NTB.
Wawancara dengan TGH. Muhammad Subki Sasaki, via telepon pada
hari Jum‟at, tanggal 16 Maret 2018, jam 05.00 WIB.
Lampiran
Wawancara dengan Dr. H. Lalu Supriadi, MA
(Sekretaris tim penerjemah Juz ‘Amma al-Majidi)
1. Urgensi Penerjemahan al-Qur’an bahasa Sasak?
Saya mulai dari sejarah, pertama urgensi mungkin ya. Al-Qur’an
ini menjadi penting bagi masyarakat Sasak di Nusa Tenggara Barat karena
beberapa hal yang pertama adalah berhikmah terhadap Al-Qur’an
merupakan kegiatan dan aktifitas yang agung dan mulia karena ia
merupakan kitab suci umat islam, yang kedua penerjemahan Al-Qur’an
bahasa Sasak berarti membuka dialog kontak langsung antara bahasa Al-
Qur’an tanpa perantara bahasa lain yang universal di dunia ini, yang
ketiga, penerjemahan ini lahir dari putra-putra daerah yang sebagian besar
pernah mengenyang Pendidikan di Universitas-Universitas Timur Tengah
seperti Mesir, Arab Saudi, Maroko, dan Sudan, sehingga kualitas
penguasaan terhadap bahasa yang diterjemahkan tidak diragukan.
Keempat, penerjemahan ini juga melibatkan pakar bahasa dan budaya
Sasak sehingga sentuhan lokalnya masih murni. Kelima, program ini
berarti melestarikan kembali lokalism masyarakat Sasak ternyata kalau
pentingnya adalah program ini, program penerjemahan Al-Qur’an bahasa
Sasak menjadi upaya untuk memudahkan internalisasi nilai-nilai Al-
Qur’an dalam kehidupan masyarakat lokal.
2. Sejarah singkat ide pembuatan terjemahan al-Qur’an bahasa Sasak?
Sejarah singkat, ide ini penerjemahan Al-Qur’an. Jadi program ini
bermula dari ide sahabat kami Tuan Guru Bajang Zainul Majdi yang ingin
melakukan atau ingin melihat adanya terjemah Al-Qur’an bahasa Sasak
atau dalam istilah beliau menginternalisasi Al-Qur’an kedalam bahasa
Sasak kita, setelah adanya ide ini beliau (TGB) mengundang beberapa
teman-teman yang tergabung dalam Ikatan Alumni Timur Tengah NTB
dan seingat saya waktu itu kita mulai rapat pertama pada akhir tahun 2011
sekitar bulan November, setelah rapat pertama waktu itu sebenarnya kita
menghasilkan beberapa keputusan atau hasil diantaranya menentukan
anggota tim penerjemah sebagaimana yang ada di kitab juz amma al-
Majidi tersebut, akan tetapi waktu itu juga seingat saya PUSLITBANG
Lektur Keagamaan sedang giat-giatnya menerjemahkan Al-Qur’an ke
beberapa bahasa daerah diantaranya waktu itu terjemahan al-Qur’an
bahasa Makasar, dan bahasa Kaili. Itu juga bahasa Kaili ini bahasa
didaerah Ujung Pandang, Mandar juga termasuk, tapi dalam tahun 2011
itu, Kementerian Agama itu dalam hal ini PUSLITBANG Lektur dan
Keagamaan, ini memliki program menerjemahkan 3 (tiga) bahasa daerah.
Jadi, menerjemahkan Al-Qur’an ke bahasa daerah, yang pertama bahasa
Makasar, Bali dan Kaili. Setelah kitab Juz Amma al-Majidi itu terbit
beberapa bulan setelah itu tim dari Lektur menghubungi kami yang
tergabung dalam tim tersebut untuk kemudian di tawarkan menerjemahkan
al-Qur’an seluruhnya 30 juz ke dalam bahasa Sasak, Lektur
mengkomunikasikan program ini ke Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara
Barat (NTB), tapi sebelumnya Lektur Keagamaan juga berkomunikasi
dengan para akademisi yang semuanya itu menjadi dosen di Universitas
Mataram, jadi yang terlibat disini, program ini, itu ditawarkan oleh
PUSLITBANG Lektur Keagamaan pada akademisi-akademisi Universitas
Mataram, kemudian disupport oleh Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara
Barat.
Imam : berarti Gubernur ya? kenapa yang digunakan ini bukan bahasa
Lombok tapi bahasa Sasak?
Dr. H. Lalu Supriadi : Karena berbeda, kenapa bukan bahasa Lombok,
karena kan suku kita dikenal dengan nama Suku Sasak, dan bahasa juga
kalau bahasa Sasak, bukan bahasa Lombok.
Imam : trus pemilihan anggota tim ini dari Lektur langsung, Gubernur
langsung atau bagaimana?
Dr. H. Lalu Supriadi : Jadi kalau untuk kitab Juz ‘Amma al-Majidi
sepenuhny dari Tuan Guru Bajang (TGB), tapi kalau yang 30 juz
pemilihan anggota ini itu dari PUSLITBANG Lektur dan Keagamaan,
kemudian dari Pemerintah Provinsi juga.
3. Bagaimana proses penerjemahan al-Qur’an bahasa Sasak?
Mulai dari pihak yang terkait dengan proses penerjemahan ini yang
pertama adalah PUSLITBANG Lektur keagamaan, Kementerian Agama,
kemudian Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), kemudian
pelaksananya adalah rekan-rekan Dosen di Universitas Islam Negeri
Mataram, khususnya yang alumni Timur Tengah, kemudian karena Al-
Qur’an ini diterjemahkan ke bahasa Sasak, perlu juga melibatkan pakar
budaya kemudian pakar bahasa Sasak, ada dua waktu itu yang pertama
adalah Lalu Fathurrahman kemudian yang kedua adalah (Alm) Lalu
Jaelan.
Imam : Mengenai pembagian proses penerjemahan ini bapak tidak ada
pembagian, kan di struktur itu banyak nama yang tercantum.
Dr. H. Lalu Supriadi: Karena Al-Qur’an ini sebagaimana kita ketahui tidak
bisa dikerjakan oleh satu atau dua Orang, dan oleh sebab itu melibatkan
tim dan masing-masing dari tim ini, itu dibagi misalnya dimulai yang
pertama dilakukan waktu itu penerjemahan Al-Qur’an ini yang Juz Amma
jumlah penerjemah dari Mataram itu dibagi delapan, ada mungkin data
yang lebih kongkrit mengenai jumlahnya kemudian dibagi, setelah itu lagi
kita bertemu dengan pakar bahasa dan budaya. jadi bertemu, kemudian ada
Konsinyering di Hotel, kemudian setelah melalui Konsinyering setelah itu
proses lainnya yaitu Raker Ulama’ Al-Qur’an se-Lombok yang dihadiri
sekitar 50 orang Alim Ulama’ Akademisi bahasa Mataram maupun
Universitas Mataram, pakar bahasa dan budaya Sasak dan praktisi bahasa
Sasak untuk memberikan catatan, masukan, dan koreksi terhadap
terjemahan Al-Qur’an jadi seperti itu prosesnya, jadi yang seksama kita
terjemahkan dulu dari masing-masing punya tugas untuk menerjemahkan
yang ayat misalnya.
Imam : pada waktu itu bapak dapat apa? (2X) misalnya surat apa begitu
pak
Dr. H. Lalu Supriadi : waktu itu surat yang Juz Amma (kurang ingat)
yang jelas kita masing-masing diberikan tugas untuk menerjemahkan Juz
Amma itu, bahkan dalam Al-Qur’an dalam semua prosesnya itu, kemudian
setelah selesai terjemahan, kemudian kumpul dengan pakar bahasa dan
sastra kemudian selanjutnya itu ada konsinering, kemudian setelahn itu ada
raker ulama’ sepulau Lombok, baru setelah melewati empat tahapan ini
naskah hasil terjemahan kita berikan ke tim dari TGB, tapi seingat saya
kalau untuk penerjemahan juz amma memang waktu itu terkesan terburu-
buru karena menjelang pilgub 2013, dan waktu itu di launching di Masjid
Raya at-Taqwa Mataram, dulukan belum ada Masjid Hubbul Wathan
Islamic Center.
4. Dialek bahasa Sasak yang digunakan dalam terjemahan ini?
Jadi berdasarkan pengamatan itu yang dilakukan oleh tim pakar bahasa
dan budaya Sasak itu terdapat sistem bahasa yang terstrata Namanya
ditandai ada kumpulan bahasa yang berbeda-beda tingkatannya, ada
bahasa halus kemudian ada bahasa Sasak kasar seperti itu, jadi Al-Qur’an
ini bahasanya tidak semuanya bahasa halus, tidak semuanya bahasa kasar
Cuma sempat terjadi dialog, diskusi dengan beberapa pihak, misalnya
kenapa tidak pilih bahasa Lombok Tengah, yang kebanyakan
menggunakan bahasa halus misalnyakan, terus kenapa tidak memilih
bahasa Pancor misalnya, kan agak kasar seperti itu, jadi setelah diamati
oleh kami tim waktu itu walaupun tidak banyak yang menggunakan dialek
ngeno ngene tapi waktu itu memang kebanyakan dari anggota tim
penerjemah menggunakan ngeno ngene jadi kita sepakati menggunakan
dialek itu khususnya dalam kitab Juz Amma al-Majidi. Atau mungkin
seperti variasi pemakaian bahasa yang secara faktor sosiologis terdapat
pula variasi yang disebabkan faktor geografi, keadaan lingkungan itu
dialek ataukah lahjah memiliki 5 dialek yaitu dialek ngeno ngeni, dialek
meno meni, dialek meriak meriku (pernah denger dialek ini), dialek keto
kete dan dialek gento gente, ini ada lima dialek. Jadi lima dialek ini karena
di Lombok yang paling banyak digunakan setelah diamati paling banyak
menggunakan dialek ngeno ngeni, jadi standar bahasa yang paling banyak
digunakan dalam penerjemahan Al-Qur’an adalah dialek ngeno ngeni
karena dialek ini paling banyak digunakan di Lombok daerah Lombok
Timur tepatnya di daerah Pringgebaye, kemudian kesana-kesana
pokoknya.
5. Kenapa dinamakan kitab Juz ‘Amma al-Majidi?
Jadi dinamakan Juz Amma Al majdi karena pemerintah provinsi
juga mensupport kegiatan ini, dan pemerintah provinsi yang memberi
nama jadi kenapa dinamakan Juz Amma Al Majdi mungkin karena ada
dua pemaknaan yang pertama Misbahillah Al Mukarrom TGKH. M.
Zainuddin Abdul Madjid, kemudian kedua bisa juga ada muatan lokal
disini TGKH. Maulana Syeikh, kira-kira seperti itu. Makanya ada dua
makna kenapa dinamakan Al Majdi.
Imam : anda masih ingat kapan mulai dilakukan penerjemahan ini?
Dr. H. Lalu Supriadi : tahun 2011 sampai tahun 2013 karena seingat saya
waktu itu penyerahan naskah ke Kementerian Agama. Tahun 2013 naskah
terjemahan diserahkan secara keseluruhan.
Imam : itu kan sudah dapat tahsin di lajnah penghafal Al-Qur’an
Kementerian Agama tahun 2012.
Dr. H. Lalu Supriadi : karena waktu itu banyak kebutuhan program kita
di daerah, banyak kegiatan salah satunya hari raya Idul Fitri dan ada
aktifitas keagamaan pada waktu itu, pemerintah provinsi menganggap
penting mencetak terjemahan Al-Qur’an mungkin kalau semuanya
diterjemakhkan waktunya tidak memungkinkan akhirnya yang paling
memungkinkan bisa jadi satu buku adalah juz Amma Al Majdi, dan waktu
itu dibagi orang-orang yang melaksanakan sholat Idul Fitri.
6. Metode penerjemahan yang digunakan?
Jadi waktu kita menerjemahkan kita dibekali oleh terjemahan
terbaru tahun 2011 itu terjemahan yang dilakukan oleh Kementerian
Agama versi terbaru dan mengikuti itu kira-kira. Adapun metode
penerjemahan saya kira ini masuk metode harfiyah ya, karena walapun
kita agak sulit mencari terjemahan al-Qur’an atau bahasa Arab ke bahasa
Sasak tapi kita mencoba mencari padanan kata yang benar benar pas dalam
menerjemahkan, jadi ini kita tidak terjemahkan bahasa Indonesia yang dari
kemenag ke bahasa Sasak. Tidak seperti itu. Walaupun dalam
menerjemahkan al-Qur’an saya kira tidak mungkin bisa harfiyah tapi kalau
kita bagi terjemahan itu kedalam dua pembagian yakni, harfiyah dan
tafsiriyah saya kira juz amma al-Majidi ini lebih cocok di kategorikan
terjemahan harfiyah.
7. Biodata singkat tim penerjemah?
Dari Dr. Subhan Abdullah, beliau adalah Dosen di UIN Mataram
alumni Daarul Hasaniah Maroko S1 di Universitas Islam Madinah dan S2,
S3 di Maroko.
Imam : Jurusannya?
Dr. H. Lalu Supriadi : Jurusannya adalah Tafsir Hadits, dan beliau
pejabat juga di kampus, kemudian sekarang dekan Fakultas Dakwah dan
Ilmu Komunikasi.
Imam : asli beliau (Dr. Subhan Abdullah) bapak?
Dr. H. Lalu Supriadi: asli beliau dari Sumbawa.
Imam : terus ada Dr. H. L. Ahmad Zainuri.
Dr. H. Lalu Supriadi : Dr. H. L. Ahmad Zainuri ini dari Praya Lombok
Tengah, beliau Dosen juga di UIN Mataram Pendidikan S1 di Yordania,
kemudian S2 S3 di UIN Ciputat jurusannya dakwah.
Imam : berarti sekarang beliau dekan 3.
Imam : tahun lahirnya (Dr. H. L. Ahmad Zainuri)?
Dr. H. Lalu Supriadi : tahun lahir mungkin ada datanya di Internet.
Imam : kemudian Dr. H. Muhammad Said Ghazali?
Dr. H. Lalu Supriadi : Dr. H. Muhammad Said Ghazali berasal dari
Gelogor Lombok Barat, S1 S2 S3 di Universitas Al Azhar Mesir Dosen di
Fakultas Syari’ah UIN Mataram dan sekarang dia wakil dekan 3 di
Fakultas Ushuluddin dan Sosiologi Agama, konsentrasinya Ushul Fiqh.
Imam : Dr. H. L. Supriadi, MA?
Dr. H. Lalu Supriadi : ia berasal dari Kutaraja Lombok Timur, 25
Agustus 1976, Pendidikan S1 di Universitas Islam Madinah, S2 S3 di
Universitas Islam AsSunnah Sudan, konsentrasi Ushul Fiqh dan sekarang
kepala fakukltas pusat pengembangan bahasa UIN Mataram.
Imam : kemudian DR. H. L. Muhsin?
Dr. H. Lalu Supriadi : Dr. H. L. Muhsin ini dari Pemenang Kabupaten
Lombok Utara Dosen di Fakultas Tarbiyah UIN Mataram, S1 di
Universitas Al Azhar Mesir, S2 S3 di UIN Ciputat. Sekarang beliau Dosen
di Fakultas Tarbiyah bidang Ilmu Keguruan.
Imam : kemudian ada Dr. H. Dedi Wahyudi?
Dr. H. Lalu Supriadi : beliau berasal dari Pelambek Lombok Tengah, S1
di Universitas Wali Songo yang di Jawa, S2 S3 di Maroko, namanya
Universitas Abdul Malik Saaqil, konsentrasi di pemikiran islam.
Imam : kemudian Dr. Jamaludin MA?
Dr. H. Lalu Supriadi : beliau dari kembang keram Lombok Timur, S1 S2
S3 di UIN Ciputat.
Imam : ini direktur pascasarjana.
Dr. H. Lalu Supriadi : beliau konsentrasi di Sejarah Kebudayaan Islam,
banyak meneliti tentang situs-situs purbakala dan makam-makam.
Imam : kemudian ada TGH. Salimun Jihan?
Dr. H. Lalu Supriadi : beliau dari Pancor Lombok Timur, S1 di
Universitas Al Azhar Mesir, S2 S3 di UIN Sunan Ampel, beliau belum
ditulis gelar S3 nya, Dosen Fakultas Tarbiyah. baiklah kebetulan waktu itu
belum selesai S3 nya, konsentrasi Ushul Fiqh. Ust. M. Sa’i? beliau S1 S2
S3 di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Sastra Arab berasal dari dekat
Sweta Mataram, (lupa nama desanya), beliau sekarang Dosen Fakultas
Dakwah dan Komunikasi.
Imam : selanjutnya pak mungkin ada rekomendasi dari bapak? Ada tidak
jurusan ilmu Al-Qur’an dan tafsir di UIN Mataram yang lulusannya?
Dr. H. Lalu Supriadi : belum ya, karena masih baru, IQT namanya (Ilmu
Qur’an dan Tafsir).
Imam : berarti belum ada ya untuk skripsi mengenai itu?
Dr. H. Lalu Supriadi : belum ada.
Imam : berarti ini tulisan-tulisan yang belum mengkaji tentang itu, bapak
mungkin ada rekomendasi yang bisa saya baca?
Dr. H. Lalu Supriadi: kalau tentang Al-Qur’an tidak ada. Tapi kalau
bahasa Sasak, kamus bahasa Sasak ada, memang ada beberapa refrensi
yang dipergunakan termasuk bahasa.
Dr. H. Lalu Supriadi: dibagikan juga kita dahulu kamus bahasa Sasak,
kemudian ada juga misalnya dalam buku pelajaran bahasa Sasak celaten,
karya pak Lalu Ije yang dikoreksi oleh L. Muksir.
Imam : sebelum atau sesudah ini?
Dr. H. Lalu Supriadi : waktu itu sebelum dia diserahkan ke Kementerian
Agama kebetulan saya berdua diminta untuk ke Jakarta sebagai pembahas
Al-Qur’an terjemahan bahasa daerah termasuk Makasar, kemudian Kaili
dan Sasak, waktu setelah pulang dari sana saya menulis opini, mungkin
mudah-mudahan bermanfaat terkait misalnya adanya keterbatasan-
keterbatasan bahasa Sasak untuk menerjemahkan Al-Qur’an begitu kan,
keterbatasa-keterbatasan seperti keterbatasan kosa-kata dan kalau KBBI
ada 62.100 jadi jumlahnya yang dipakai kosa-kata Indonesia itu, jadu
jumlah entry dalam KBBI 62.100. Berhadapan dengan bahasa Arab yang
lebih kaya lebih dari 80.000 entry, sementara bahasa Sasak ini katanya dia
tidak sampai 5000 entry. jadi bahasa Sasak 5000 entry, bahasa Indonesia
62.100 entry kemudian bahasa Arab 80.000 entry jadi bagaimana bisa
berhadapan bahasa Sasak dengan bahasa Arab yang kosa-katanya banyak,
kemudian yang kedua ada keterbatasan gramatikal dalam format logika, ini
kemudian ada juga misalnya metodologi belum. misalnya ketika
menggunakan perumpamaan, majas dan kinayah misalnya keterbatasan
aspek fungsional, misalnya kata belian, dalam kata belian yang ada,
kemudian secara fungsional bergeser ke dokter, jadi belian sudah tidak
ada, semakin tidak banyak dipergunakan tapi diganti oleh dokter,
kemudian matak diganti dengan merampek.
Imam : kalau literatur yang sudah diterbitkan mengenai ini ada yang
kemudian di Yogya yang pernah wawancara anda ada tidak? Atau buku,
tesis, disertasi yang menulis tentang ini ada tidak?
Dr. H. Lalu Supriadi : saya belum tahu, untuk itu maksudnya mengenai
bahasa Sasak kan?
Imam : iya mengenai terjemahan ini maksudnya.
Dr. H. Lalu Supriadi: sejauh ini sih belum ada, dulu ada yang katanya mau
nulis dari UIN ciputat juga tapi saya dengar dari Dr. Saparuddin tidak jadi
melakukan penelitian karena masa studinya habis.