ILT kelompokkkkkkk
-
Upload
elly-enggarreni -
Category
Documents
-
view
269 -
download
16
Transcript of ILT kelompokkkkkkk
TUGAS
ILMU LINGKUNGAN TERNAK
PENGATURAN SUHU TUBUH PADA TERNAK
Oleh :
Kelompok V
1. Christian Tezar A H.0510021
2. Dria Anggita F H.0510023
3. EllyEnggarreni H.0510027
4. Fahrun Nisa H.0510029
5. Fauzan Hermanu H.0510031
6. Ganang Dwi Bintoro H.0510067
7. Yunita Trissiana H.0510075
JURUSAN PETERNAKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2011
PENDAHULUAN
A. LatarBelakang
Ternak memiliki suhu tubuh yang dapat dijelaskan sebagai panas tubuh yang
terbentuk dari proses metabolisme dan dibawa oleh darah ke seluruh tubuh
sehingga tubuh menjadi panas. Hal ini memerlukan suatu thermoregulasi yaitu
suatu sistem pengaturan panas pada mahluk hidup agar terjadi keseimbangan
antara produksi panas (thermogenesis) dan pembuangan panas (thermolisis).
Suhu tubuh normal adalah panas tubuh yang terdapat dalam zona
thermonetral.
TINJAUAN PUSTAKA
Thermoregulasi adalah suatu sistem pengaturan panas pada makhluk
hidup agar terdapat keseimbangan antara produksi panas (thermogenesis) dan
pembuangan panas (thermolisis).Bahwa dapat digolongkan menjadi 2, yaitu :
1. Golongan poikiloterm yaitu golongan berdarah dingin, makhluk hidup
yang suhunya dipengaruhi lingkungan.
2. Golongan homioterm yaitu golongan berdarah panas, makhluk hidup
yang suhu badannya konstan dan tidak dipengaruhi oleh suhu sekitarnya
(Guyton, 1997).
Berdarah panas digunakan pada burung dan mamalia, karena dari fakta
merekabiasanya dapat memelihara suhu badannya lebih tinggi daripada suhu
lingkungannya, tetapi tidak selalu demikian kasusnya, beberapa dari mereka
meningkatkan suhunya turun hampi rsampai dengan suhu lingkungan. Dan
beberapa dari mereka di daerah tropic harus memelihara suhu badanya di
bawah suhu yang tinggi di tempat mereka hidup, walaupun demikian ada
duabentuk yang menempatkan burung dan mamalia terpisah dari sebagian
besar hewan lainnya dari dunia hewan (Kimball, 1994).
Pada temperatur lingkungan yang lebih rendah dari temperatur tubuh,
secara normal akan terjadi peningkatan metabolisme tubuh, hal mana hanya
mungkin bila terjadi kerja urat daging meningkat. Peningkatan kerja urat
daging ini akan dapat meningkatkan produksi panas. Hewan yang di
tempatkan di dalam kamar dingin tanpa diberi kesempatan untuk
menggerakkan tubuhnya, hewan tersebut tidak dapat meningkatkan
metabolism tubuhnya, sehingga temperature dingin di rasa dapat
menguntungkan , semakin dingin temperature lingkungan semakin rendah
pula rentangan untuk di sipasi (Kimball, 1994).
PEMBAHASAN
Suhu efektif adalah suhu yang dimanfaatkan oleh ternak untuk
kehidupannya, dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban udara (RH), radiasi
matahari dan kecepatan angin (West, 1994). Suhu efektif dapat memperlihatkan
tingkat kenyamanan dan stress bagi sapi perah. Hubungan suhu efektif dengan
paremeter iklim mikro ditunjukkan pada beberapa persamaan berikut (Yamamoto,
1983):
(1) hubungan suhu efektif dengan suhu bola basah dan bola kering
(2) hubungan suhu efektif dengan suhu bola kering (suhu tubuh sapi) dan
kecepatan angin
(3) hubungan suhu efektif dengan suhu bola kering (suhu pernafasan) dan
kecepatan angin
(4) hubungan suhu efektif dengan suhu bola kering dan radiasi matahari
(5) hubungan suhu efektif dengan suhu bola basah dan suhu udara
lingkungan.
A. Pengaruh Suhu dan Kelembaban Udara Terhadap Sapi Perah FH
Suhu dan kelembaban udara merupakan dua faktor iklim yang
mempengaruhi produksi sapi perah, karena dapat menyebabkan perubahan
keseimbangan panas dalam tubuh ternak, keseimbangan air, keseimbangan
energi dan keseimbangan tingkah laku ternak (Hafez, 1968; Esmay, 1978).
McDowell (1974) menyatakan bahwa untuk kehidupan dan produksinya,
ternak memerlukansuhu lingkungan yang optimum. Zona termonetral suhu
nyaman untuk sapi Eropa berkisar 17 – 21oC (Hafez, 1968); 13 – 18oC
(McDowell, 1972); 4 – 25Oc (Yousef, 1985), 5 – 25oC (Jones & Stallings,
1999). Bligh dan Johnson (1985) membagi beberapa wilayah suhu lingkungan
berdasarkan perubahan produksi panas hewan, sehingga didapatkan batasan
suhu yang nyaman bagi ternak, yaitu antara batas suhu kritis minimum dengan
maksimum. Hubungan besaran suhu dan kelembaban udara atau biasa disebut
“Temperature Humidity Index (THI)” yang dapat mempengaruhi tingkat stres
sapi perah dapat dilihat pada. Sapi perah FH akan nyaman pada nilai THI di
bawah 72. Jika nilai THI melebihi 72, maka sapi perah FH akan mengalami
stres ringan (72 £ THI £ 79), stres sedang (80 £ THI £ 89) dan stres berat ( 90 £
THI £ 97) (Wierema, 1990). Untuk sapi perah FH, penampilan produksi terbaik
akan dicapai pada suhu lingkungan 18,3ºC dengan kelembaban 55%. Bila
melebihi suhu tersebut, ternak akan melakukan penyesuaian secara fisiologis
dan secara tingkah laku (behaviour). Secara fisiologis ternak atau sapi FH yang
mengalami cekaman panas akan berakibat pada :
1) penurunan nafsu makan
2) peningkatan konsumsi minum
3) penurunan metabolisme dan peningkatan katabolisme
4) peningkatan pelepasan panas melalui penguapan
5) penurunan konsentrasi hormon dalam darah
6) peningkatan temperatur tubuh, respirasi dan denyut jantung (McDowell,
1972) 7) perubahan tingkah laku (Ingram & Dauncey, 1985)
8) meningkatnya intensitas berteduh sapi (Combs, 1996).
Cekaman panas dapat direduksi dengan menurunkan suhu tubuh sapi FH
melalui penyemprotan air dingin ke seluruh permukaan tubuh (Shibata, 1996).
Hasil simulasi menunjukkan bahwa penurunan suhu lingkungan mikro (sekitar
kandang) sebesar 5ºC dapat meningkatkan produksi susu sapi FH sebesar 10
kg/hari yaitu dari 35 kg/hari menjadi 45 kg/hari (Berman, 2005).
Perubahan suhu pada kandang dapat mempengaruhi perubahan denyut
jantung dan frekuensi pernapasan sapi FH. Denyut jantung sapi FH yang sehat
pada daerah nyaman (suhu tubuh 38,6ºC) adalah 60 – 70 kali/menit dengan
frekuensi nafas 10 – 30 kali/menit (Ensminger, 1971). Reaksi sapi FH terhadap
perubahan suhu yang dilihat dari respons pernapasan dan denyut jantung
merupakan mekanisme dari tubuh sapi untuk mengurangi atau melepaskan
panas yang diterima dari luar tubuh ternak. Peningkatan denyut jantung
merupakan respons dari tubuh ternak untuk menyebarkan panas yang diterima
ke dalam organ-organ yang lebih dingin (Anderson, 1983)
Pindah Panas dan Massa pada Kandang Sapi Perah FHBangunan perkandangan akan mendapatkan perolehan dan kehilangan
panas dan massa dari dan ke lingkungan sekitarnya melalui proses perpindahan
panas dan massa secara konduksi, konveksi dan radiasi. Perpindahan panas
konduksi terjadi melalui dinding dan atap bangunan dengan arah masuk dan
keluar bangunan termasuk konduksi panas dari dan ke dalam tanah.
Perpindahan panas dan massa secara konveksi terjadi karena aliran udara yang
masuk dan keluar melalui bukaan ventilasi. Perpindahan panas radiasi
gelombang pendek dari radiasi matahari dan refleksinya serta difusivitasnya
selalu memiliki nilai positif. Perpindahan panas radiasi gelombang panjang
adalah radiasi yang dipancarkan oleh permukaan bangunan dan yang diterima
dari lingkungan di sekitar bangunan. Panas lainnya yang ditimbulkan oleh
penghuni atau peralatan yang ada di dalam kandang juga harus dapat
diperhitungkan (Soegijanto, 1999). Perpindahan panas radiasi gelombang
panjang terjadi antara ternak (sapi perah FH) dengan lingkungan di sekitarnya
melalui kulit sapi FH yang dominan berwarna putih atau hitam. Perpindahan
panas radiasi gelombang panjang pada ternak dengan lingkungannya terjadi
karena ternak mengeluarkan panas tubuhnya melalui permukaan kulit dan
saluran pernafasan (Esmay dan Dixon, 1986).
Perpindahan panas secara konveksi pada kandang sapi perah FH di
lingkungantropika basah terjadi pada atap bangunan kandang, sapi perah,
lantai, serta bangunan penopangnya seperti dinding, kerangka dan peralatan
lainnya. Keseimbangan panas di permukaan lantai pada bangunan
perkandangan ternak sapi perah FH meliputi radiasi gelombang panjang dari
lantai ke atap, pindah panas konveksi dari permukaan lantai ke udara dalam
kandang, dan pindah panas konduksi dari permukaan lantai ke lapisan di
bawahnya atau sebaliknya. Keseimbangan panas di udara dalam kandang sapi
perah lebih mudah dihitung karena proses pindah panas terjadi secara konveksi
dari penutup (atap) kandang keudara dalam kandang terjadi secara alami dan
melalui bukaan ventilasi baik masuk maupun keluar (Esmay dan Dixon, 1986).
Perpindahan panas konveksi dipengaruhi oleh koefisien konveksi udara,
kecepatan angin dan suhu lingkungan. Semakin besar nilai koefisien konveksi
dan kecepatan angin, maka akan semakin cepat keseimbangan panas dalam
ruangan konveksi. Perpindahan panas secara konduksi terjadi pada penutup
(atap) kandang sapi FH, dinding bangunan, kerangka bangunan, ternak (sapi
FH), air minum sapi FH, tubuh sapi FH. Perpindahan panas konduksi sangat
dipengaruhi oleh konduktivitas bahan dan suhu lingkungan. Semakin besar
nilai konduktivitasnya, bahan tersebut semakin cepat merambatkan panas
(Esmay dan Dixon, 1986).
Distribusi Suhu dan Kelembaban Udara pada Kandang Sapi Perah FH
Distribusi suhu dan kelembaban udara (RH) pada kandang sapi perah FH
dipengaruhi oleh luas dan tinggi bangunan, jumlah ternak, suhu lingkungan,
sistem ventilasi, radiasi matahari, peralatan peternakan, kecepatan angin,
pergerakan udara di sekitar bangunan. Pada bangunan pertanian (greenhouse),
faktor desain yang sangat menentukan distribusi suhu dan kelembaban udara
adalah dimensi bangunan, posisi dinding atau atap ventilasi, sudut pembukaan
ventilasi, jumlah span dan sebagainya (Boutet, 1987). Pertukaran udara dalam
kandang sapi perah dipengaruhi oleh besarnya suhu lingkungan, produksi
panas hewan, kelembaban, konsentrasi gas dalam kandang, jenis bahan atap
bangunan, pindah panas dari lantai, sistem dan luasan ventilasi, luas dan tinggi
bangunan kandang (Hellickson dan Walker, 1983). Pindah panas pada kandang
sapi perah dapat terjadi secara radiasi, konveksi maupun konduksi (Wathes dan
Charles, 1994) yang mengakibatkan adanya distribusi suhu dalam kandang.
Pindah panas secara radiasi dipengaruhi oleh besarnya radiasi matahari atau
bahan, kecepatan angin dan suhu lingkungan.
Pindah panas pada bahan bangunan kandang dipengaruhi oleh
konduktivitas bahan, tebal bahan dan waktu, sedangkan secara konveksi sangat
dipengaruhi oleh suhu lingkungan, kecepatan angin, waktu dan luasan daerah
konveksi. Analisis distribusi suhu dalam bangunan pertanian dapat dilakukan
dengan perhitungan besarnya pindah panas dan massa pada bangunan melalui
sistem ventilasi sehingga menghasilkan aliran udara yang baik di dalam
kandang.
Pemecahan analisis aliran udara pada kandang sapi perah (bangunan
pertanian) dalam 2 atau 3 dimensi dapat dilakukan dengan metode finite
element, metode finite difference (Cheney dan Kincaid, 1990), metode spectral
dan finite volume dengan computational fluid dynamics atau CFD (Versteeg
dan Malalasekera, 1995).
Metode finite difference menggambarkan yang tidak diketahui pada titik
atau node di dalam garis grid. Untuk mendapatkan nilai aproksimasi digunakan
deret ekspansi Taylor, sehingga menghasilkan persamaan aljabar untuk
menghitung nilai pada tiap titik grid. Metode finite element menggunakan
fungsi sederhana (linear/kuadrat) pada elemen untuk menggambarkan variabel
aliran.
Fungsi pendugaan dimasukkan ke dalam persamaan atur, dan hasilnya
terdapat residual untuk perhitungan error. Selanjutnya error dikalikan dengan
fungsi pembobot dan diintegralkan. Hasilnya didapatkan persamaan aljabar
yang lebih mudah untuk dipecahkan. Metode spektral menduga variabel yang
tidak diketahui menggunakan deret Fourier atau deret polinomial Chebyshev.
Pendekatan pendugaannya secara menyeluruh pada semua domain perhitungan
(tidak per titik). Terdapat residual dan fungsi pembobot seperti metode finite
element.
Metode finite volume dikembangkan dari finite difference khusus dan
dapat diaplikasikan pada kode CFD (FLUENT, PHOENICS, FLOW3D dan
STAR-CD). Algoritma numeriknya terdiri atas beberapa tahapan sebagai
berikut :
(1) Integrasi persamaan atur sepanjang volume kontrol domain
perhitungan
(2) Diskretisasi yang meliputi substitusi berbagai tipe aproksimasi finite
difference sehingga menghasilkan persamaan aljabar (tahapan kunci)
(3) Penyelesaian persamaan aljabar dengan metode iterasi.
Efek Angin dan Efek Termal
Efek angin digolongkan menjadi dua komponen, yaitu efek turbulen
dan efek steady. Efek steady terjadi karena pada saat angin bertiup di atas dan
di sekeliling bangunan. Pergerakan angin ini dapat membangkitkan perbedaan
tekanan pada lokasi yang berbeda yang menghasilkan distribusi
tekanan pada bangunan. Distribusi tekanan di sekitar bangunan dinyatakan
sebagai distribusi dari koefisien tekanan. Apabila koefisien tekanan bernilai
positif maka akan terjadi aliran udara masuk (inflow) melalui bukaan pada
bangunan. Apabila koefisien tekanan bernilai negatif maka akan terjadi aliran
udara keluar dari bangunan (outflow). Efek turbulen terjadi karena kecepatan
angin tidak bersifat statis melainkan bervariasi secara kontinyu yang
menghasilkan fluktuasi tekanan.
Efek termal timbul dari perbedaan temperatur di dalam dan di luar
kandang (Bockett & Albright, 1987). Konveksi panas dari atap dan
materialpenyusun kandang dapat meningkatkan temperatur udara dan
menurunkan kerapatan udara dalam kandang sehingga mengakibatkan
perbedaan tekanan udara di dalam dan di luar kandang yang pada akhirnya
terjadi aliran udara keluar masuk kandang melalui bukaan.
Akibat faktor termal, terdapat suatu bidang pada bukaan kandang
dimana tidak terjadi aliran udara karena tekanan udara di dalam dan di luar
kandang besarnya sama. Bidang ini disebut bidang tekanan netral. Posisi
bidang tekanan netral memberikan gambaran bukaan yang berfungsi sebagai
saluran masuk dan saluran keluarnya udara. Pada bagian bawah bidang
tekanan netral, tekanan udara luar lebih tinggi daripada tekanan udara di
dalam kandang sehingga terjadi aliran udara masuk ke dalam kandang. Pada
bagian di atas bidang tekanan netral, tekanan udara di dalam lebih tinggi dari
tekanan udara di luar sehingga terjadi aliran udara keluar (Brockett &
Albright, 1987).
B. Ayam
Pengaruh Suhu Lingkungan Tinggi terhadap Kondisi Fisiologis dan
Produktivitas Ayam Buras
Produktivitas ayam buras yang optimum dapat dicapai pada kondisi
thermoneutral zone, yaitu suhu lingkungan yang nyaman. Suhu lingkungan
yang nyaman bagi ayam buras belum diketahui, namun diperkirakan berada
pada kisaran suhu 18 hingga 25°C. Ayam buras pada suhu lingkungan yang
tinggi (25-31°C) menunjukkan penurunan produktivitas, yaitu produksi dan
berat telur yang rendah, serta pertumbuhan yang lambat. Penurunan produksi
telur pada suhu lingkungan tinggi dapat mencapai 25% bila dibandingkan
dengan yang dipelihara pada suhu nyaman. Berat badan ayam buras umur 8
minggu juga berbeda, yaitu 257 g/ekor pada suhu tinggi, sedangkan pada
lingkungan nyaman dapat mencapai berat 427 g/ekor. Penurunan produktivitas
tersebut terutama disebabkan oleh penurunan jumlah konsumsi pakan,
maupun perubahan kondisi fisiologis ayam.
Upaya meningkatkan produktivitas ayam buras di daerah suhu
lingkungan tinggi antara lain melalui seleksi dan perkawinan silang,
manipulasi lingkungan mikro, perbaikan tatalaksana pemeliharaan dan
manipulasi pakan. Manipulasi kualitas pakan adalah metode yang paling
murah, mudah dilakukan dan umumnya bertujuan meningkatkan jumlah
konsumsi zat gizi. Metode ini berupa penambahan vitamin C, mineral
phosphor atau pemberian sodium bikarbonat dalam ransum. Disarankan
jumlah penambahan vitamin C sebanyak 200-600 mg/kg ransum pada fase
produksi telur dan sebanyak 100-200 mg/kg ransum pada fase pertumbuhan.
a. PENGARUH SUHU LINGKUNGAN TERHADAP FISIOLOGIS
Suhu lingkungan yang tinggi akan berpengaruh terhadap aktivitas
metabolisme, aktivitas hormonal dan kontrol suhu tubuh.
1. Aktivitas metabolisme
Suhu lingkungan dapat mempengaruhi fisiologis ayam secara
langsung, yaitu dengan cara memberikan pengaruh terhadap fungsi
beberapa organ tubuh seperti jantung dan alat pernafasan; serta dapat
mempengaruhi secara tak langsung dengan meningkatnya hormon
kortikosteron dan kortisol, serta menurunnya hormon adrenalin dan
tiroksin dalam darah.
Suhu lingkungan yang tinggi menyebabkan naiknya suhu
tubuh ayam. Peningkatan fungsi tubuh organ ayam dan alat
pernafasan merupakan gambaran dari aktivitas metabolisme basal
pada lingkungan tinggi menjadi naik. Meningkatnya laju metabolisme
basal menurut Fuller dan Rendon (1977) disebabkan karena
bertambahnya penggunaan energi akibat bertambahnya frekuensi
pernafasan, kerja jantung serta bertambahnya sirkulasi dalam periferi.
Berkurangnya aktifitas metabolisme karena suhu lingkungan yang
tinggi, dapat dilihat manifestasinya berupa menurunnya aktifitas
makan dan minum.
Lemak merupakan unsur pakan yang memiliki heat increament
paling rendah dibanding dengan karbohidrat dan protein, sehingga
tingginya energi metabolis pakan yang berasal dari lemak,
menyebabkan tidak menurunnya konsumsi pakan.
2. Kontrol suhu tubuh
Zona tubuh kenyamanan (comfort zone) pada ternak ayam di
daerah tropik adalah antara 15 sampai 25 °C (EL Boushy dan Marle,
1978). Suhu lingkungan optimum atau thermoneutral zone untuk ayam
potong di Indonesia adalah 18 sampai 23 °C (Sinurat, 1986). Suhu
lingkungan optimum untuk ayam buras di Indonesia belum di ketahui,
namun dalam kisaran suhu lingkungan 18 sampai 25 °C diperkirakan
pertumbuhan ayam buras baik.
Pada suhu lingkungan di atas thermoneutral, produksi panas
meningkat karena ayam tak dapat mengontrol hilangnya panas dengan
menguapkan air dari pori-pori keringat, akhirnya cara yang dilakukan
adalah melalui pernafasan cepat, dangkal atau suara-suara terengah-
engah (panting). Pada suhu lingkungan 23 °C, sekitar 75 % dari panas
tubuh dikeluarkan dengan cara sensible yaitu melalui kenaikan suhu
lingkungan disekitarnya, 25% panas tubuh selebihnya dikeluarkan
dengan jalan penguapan (insensible) yaitu dengan mengubah air dalam
tubuh menjadi uap air. Pada suhu lingkungan 35 °C, sekitar 25 %
panas tubuh dikeluarkan melalui kulit dan 75 % melalui penguapan,
biasanya ayam terengah-engah sehingga lebih banyak air dapat
diuapkan dari permukaan paru-paru (Bird et al, 2003).
b. PENGARUH SUHU LINGKUNGAN TERHADAP
PRODUKTIVITAS
1. Produksi dan berat telur
Nataamijaya et al. (1986) mengemukakan bahwa suhu
lingkungan yang tinggi memberikan pengaruh terhadap telur ayam ras.
Diduga hal yang sama akan terjadi pula terhadap produksi telur ayam
ras. Produksi ayam buras yang dipelihara pada suhu lingkungan tinggi
(25-31°C ) adalah 25 % lebih rendah disbanding dengan yang
dipelihara pada suhu lingkungan tinggi rendah (19-25°C) (Nataamijaya
et al. 1990). Menurut BIRD et al. (2003) suhu lingkungan tinggi dapat
menurunkan produksi telur. Pada suhu lingkungan tinggi diperlukan
energi lebih banyak untuk pengaturan- suhu tubuh, sehingga
mengurangi penyediaan energi untuk produksi telur. Pada suhu
lingkungan tinggi konsumsi pakan turun, ini berarti berkurangnya
nutrisi dalam tubuh, dan akhirnya menurunkan produksi telur.
Pada ayam buras betina dewasa, makanan yang dikonsumsi
digunakan untuk kebutuhan hidup pokok dan kebutuhan produksi
telur. Dengan terjadinya penurunan konsumsi pakan, maka yang lebih
dahulu dipenuhi adalah kebutuhan hidup pokok, sehingga penurunan
konsumsi pakan berakibat langsung terhadap penurunan produksi telur.
2. Bobot badan dan karkas
Dalam membahas suhu lingkungan pengaruhnya terhadap
bobot badan dan karkas ayam buras. Perbedaan ayam buras disebabkan
oleh perbedaan konsumsi pakan dan karena serangan penyakit (CDR,
koksidiosis dan cacingan). Penurunan konsumsi pakan merupakan
suatu reaksi fisiologis tubuh untuk mengurangi beban panas yang di
timbulkan oleh proses pencernaan pakan (heat increment). Sebagai
perbandingan, digunakan data pertumbuhan bobot badan ayam ras
pedaging yang dipelihara pada suhu lingkungan 25-35 °C adalah 17 %
lebih rendah dibandingkan dengan yang dipelihara pada lingkungan
18-25 °C (sinurat, 1986).
Rendahnya persentase bobot karkas pada suhu lingkungan
rendah disebabkan oleh tingginya bobot alat pencernaan (jeroan),
berhubung tingginya konsumsi pakan pada ayam di daerah suhu
lingkungan rendah. Terjadinya peningkatan konsumsi pakan, diikuti
peningkatan bobot jeroan dan isi. Kaitan antara suhu lingkungan
dengan konsumsi pakan, dijelaskan melalui pengaruhnya pada
aktivitas metabolisme.
3. Mortalitas ayam
Hasil penelitian Nataamijaya et al. (1990) menunjukkan bahwa
mortalitas ayam buras sebanyak 20,2% pada suhu lingkungan rendah
(19-25°C ) dan 25,1% pada suhu lingkungan tinggi (25-31°C). oleh
karena itu, dapat dikatakan bahwa dalam kisaran suhu lingkungan 19
sampai 31°C mortalitas ayam buras tidak dipengaruhi oleh suhu
lingkungan. Perbedaan mortalitas pada ayam buras diduga karena
perbedaan tatalaksana pemeliharaan di peternak.
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa :
Sapi perah sangat mudah mengalami stress panas.
Stress panas terjadi apabila temperatur lingkungan berada di zona termo
netral atau toleransi sapi perah terhadap lingkungan menurun.
Sress panas pada sapi perah dapat menyebabkan perubahan hormonal,
penurunan produksi susu dan penurunan komposisi air susu,
Strategi mengurangi stress panas pada sapi perah dapat dilakukan dengan
perbaikan mutu genetik, makanan dan manajemen.
Suhu lingkungan yang tinggi di daerah tropis dapat mempengaruhi kondisi
fisiologis dan penurunan produktivitas ayam buras, berupa penurunan
produksi dan berat telur, serta bobot badan. Suhu lingkungan yang tinggi
akan berpengaruh terhadap aktivitas metabolisme, aktivitas hormonal dan
kontrol suhu tubuh.
Penurunan produktivitas ayam buras terutama disebabkan oleh penurunan
konsumsi zat gizi maupun perubahan kondisi fisiologis ayam yang timbul
karena pengaruh suhu lingkungan tinggi. Upaya yang dapat dilakukan
untuk mengatasi penurunan produktivitas adalah penyesuaian tatalaksana
pemeliharaan dan manipulasi zat gizi pakan, antara lain melalui
penambahan vitamin C, mineral phospor atau sodium bikarbonat dalam
ransum. Penambahan vitamin C dapat memperbaiki produksi telur dan
penambahan ransum dibutuhkan untuk memperbaiki pertumbuhan ayam
buras.
DAFTAR PUSTAKA
Bird, N.A., P. Hunton, W.D. Morrison dan L.J. Weber. 2003. Heat Stress in Caged Layers. Ontario-Ministry -ifAgriculture and Food.
Charles, D.R. 1974. The Definition and measurement of the climatic environment in poultry houses. In: Energy Requirement of Poultry. T.R. Morris and B. M. Freeman (Eds.). Br. Poultry Sci. Ltd., Edinburgh.
Daghir, N.J. 1995. Poultry Production in Hot Climates. CAB International.Farell, D.J. 1979. Pengaruh dari suhu terhadap kemampuan biologis dari unggas.
Laporan Seminar Ilmu dan Industri Perunggasan 11. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.
Fuller, H.L dan M. Rendon.1977. Energitic efficiency of diferent dietary fats for
growth of young chicks. Poultry Sci. 56 : 569.
Herawati, Sri. 2008. Pengaruh Musim Terhadap Produksi Susu Sapi Perah Fries Holland (diposkan oleh Dwi Cipto Nuryanto.blog.com) (diakses 29 Maret 2009).
Huffman , H.2003. Assessing your ventilation Performance, Do you need
upgrading? Ontario-Ministry of Agricultur and food.
Mutyanto, Subiharta, D.M. Yuwono dan W. Dirjopratono. 1994. Optimalisasi
produksi ayam buras melalui perbaikan pakan dan tata laksana
pemeliharaan. J. Ilmiah Penelitian Ternak Klepu. Sub Balitnak Klepu,
Ungaran. 1(2): 9-14
Nataamijaya, A.G, D. Sugandi dan U. Kusnadi. 1986. Peningkatan keragaan
ayam bukan ras di daerah transmigrasi Batumarta, Sumatra Selatan.
Lokakarya Pola Usaha tani. Badan Litbang, Jakarta.
Pardue, S.L. dan J.P Thaxton. 1986. Ascorbic acid in polutry: a review. World’s
Poultry Sci.42:107-123.
Prasetyo, T. 1989. Keragaan ayam kampung yang dipelihara dengan sistem
pemisahan anak di pedesaan. Pros. Seminar Nasional tentang Unggas
Lokal. Fak. Peternakan. Univ. Diponegoro., Semarang. Him. 20-28.
Rismaniah, I., Amsar, Soebadi dan Priyono. 1989. Studi Karkas Murni Kambing
Lokal. Prosiding Penelitian Ruminansia Kecil. Ciawi, Bogor.
Short, R.V.1980.The Hormanal Control of Growth at Puberty. In T.L.J Lawrence
(ed.) Growht in.
Sinurat, A.P. 1986. The Effect of Hight Ambient Temerature on Broiler Growth
and some Plasma Growth-Related Hormone Profile. Phd. Thesis.
University of Sydney, Camden, NSW, Australia.
Soeharsono. 1976. Respon Broiler Terhadap Berbagai Kondisi Lingkungan.
Disertasi Universitas Padjadjaran, Bandung.
Thalib, Ch., T. Sugiarti and A.R. Siregar, 2002. Friesien Holstein and Their
Adaptability to the Tropical Environtment In Indonesia. International
Training of strategies of Reducing Heat Stress in Dairy Cattle. Taiwan
Livestock Reserch Institute (TLRI-COA) August 26-31, 2002, Tainan,
Taiwan, ROC.
Turner, C.D. and J.T. Bagnara, 1976. General Endocrinology. Sixth Edition. W.
B. Sauder Company. Philadelphia.P. 28: 561-597.
Yousef, M.K. 1985.. Stress Physiology in Livestock Poultry. Vol.3. CRC Press.
Inc., Boca Raton, Florida.pp. 70-75.