II. TINJAUAN PUSTAKA MAKANAN RINGAN (SNACK) · o m enggunakan pengemasan at m osfer dengan gas...
-
Upload
phungduong -
Category
Documents
-
view
228 -
download
0
Transcript of II. TINJAUAN PUSTAKA MAKANAN RINGAN (SNACK) · o m enggunakan pengemasan at m osfer dengan gas...
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. MAKANAN RINGAN (SNACK)
Makanan ringan atau lebih dikenal sebagai snack food adalah kata
benda yang memiliki arti makanan yang dikonsumsi diantara waktu makan utama
(Kamus Webster ke 9, 1985). Menurut Muchtadi et al., (1988) juga
mendefinisikan snack sebagai makanan ringan yang dimakan dalam waktu antara
ketiga makanan utama dalam sehari. Booth (1990) menjelaskan produk yang
termasuk dalam kategori snack food antara lain: permen dan produk konfeksioneri;
cookies/cracker dan produk asal tepung lainnya; meat snack; snack dengan basis
susu; fish snacks dan shellfish snacks, extruded snacks, snack berbasis buah;
kacang-kacangan; potato based textured snacks; dan health food snacks. Snack
food juga sering disebut sebagai savory snack karena sebagai besar snack
memiliki rasa asin, berbumbu, maupun gurih.
Dari beberapa jenis produk yang disebutkan di atas, tidak semuanya
dikenal oleh konsumen Indonesia, hanya beberapa produk saja yang beredar dan
disukai oleh konsumen Indonesia. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini:
Tabel 1. Klasifikasi snack yang beredar di Indonesia dan teknologi yang
digunakan
Jenis Snack Basis Bahan Teknologi
Ebisen (sheeted snack) Terigu Ebisen line
Second generation snack
(direct expanded)
Jagung, beras Twist extruder
Third generation snack
(pellet)
Pati Pellet extruder
Co-extruder snack Serealia Single and twin screw
extruder
Fabricated chips Tepung Sheeting, stamping, frying,
flavorings
Slice chip Kentang, buah Frying, flavoring
Saat ini industri makanan ringan di dunia memiliki pasar tetap yang
potensial bahkan terus meningkat setiap tahun, data dari Snack Food and
4
Wholesale Bakery menunjukkan dari tahun 1990-1999 industri ini mengalami
peningkatan 4.7% dalam dollar dan bertambah 3.1% dalam volume dengan
penjualan mencapai 19.37 juta US$ pada akhir tahun 1999 hanya untuk wilayah
Amerika Serikat saja. Karena itu produsen berusaha mengeluarkan berbagai
macam produk dengan berbagai rasa, bentuk, dan bahan dasar untuk memenuhi
keinginan konsumen. Mulai dari pengembangan teknologi untuk menghasilkan
bentuk dan rasa beraneka ragam sampai menghasilkan produk makanan ringan
yang sehat.
Selain rasanya yang lezat, produk makanan ringan pada masa modern
ini mempunyai beberapa ciri-ciri (Lusas, 2000), diantaranya:
aman dan bebas dari bahaya kimia, substansi toksik, dan mikroorganisme
pathogen, serta menyesuaikan dengan peraturan berlaku,
biasanya dipersiapkan secara komersial dalam jumlah besar dengan proses
yang kontinyu,
diberikan bumbu, biasanya garam dan kadang-kadang ditambahkan flavor
lainnya,
stabil selama penyimpanan, tidak membutuhkan pendinginan untuk
pengawetan,
dikemas dengan kemasan siap konsumsi (ready to eat), biasanya dibagi
menjadi potongan-potongan ukuran makan (bite size), mudah diambil
dengan jari, dan memiliki penampakan berminyak atau kering tergantung
dengan konsumen untuk produk tertentu, dan
dijual kepada konsumen dalam kondisi segar, yang dicapai dengan:
o pemakaian bahan pengemas untuk menghindari air, oksigen dan
cahaya, menjaga kerenyahan produk, memperlambat oksidasi alami
minyak dan menghilangkan katalis oksidasi,
o menggunakan pengemasan atmosfer dengan gas inert (nitrogen)
dan sistem antioksidan untuk proteksi penambahan minyak, dan
o pengkodean tanggal pada pengemas dan membuangnya dari rak
penyimpanan jika tidak terjual selama umur simpan produk
5
B. SEJARAH TORTILLA
Tortilla adalah roti tipis yang terbuat dari jagung atau gandum
(Wikipedia, 2009). Kata Tortilla sendiri berasal dari bahasa Spanyol yaitu Torta
yang berarti roti bulat. Sebenarnya tortilla pertama kali dikenal oleh suku Aztec
yang berada di Meksiko dan terbuat dari biji jagung yang dikeringkan namun
makanan ini disebarluaskan oleh bangsa Spanyol yang pernah bertemu dan
mempelajari kebudayaan suku Aztec. Sampai sekarang tortilla banyak dikonsumsi
oleh masyarakat Amerika Utara (Meksiko), Amerika Tengah, Amerika Selatan
(Venezuela dan Kolumbia, bahkan menurut data Tortilla Industry Association
(TIA) memperkirakan bangsa Amerika mengkonsumsi hampir 85 milyar tortillas
pada tahun 2000 (tidak termasuk tortilla chip).
Proses tradisional pembuatan tortilla memiliki tahapan penting yaitu
tahap nixtamalisasi yang dikembangkan oleh bangsa Mesoamericans pada zaman
dahulu. Pada proses ini jagung dimasak dengan air dan larutan alkali pada suhu
90-98 C selama 5-50 menit kemudian direndam selama 8-16 jam. Larutan alkali
yang digunakan adalah kalsium dioksida yang berfungsi membantu melepaskan
perikarp pada jagung. Proses perendaman akan meningkatkan kadar air pada butir
jagung hingga mencapai 48-50%, air akan terdistribusi merata pada butir jagung
sehingga strukturnya lebih lunak.
Proses selanjutnya adalah pembentukan masa yang didahului dengan
penggilingan jagung yang lepas perikarp dan air dengan menggunakan batu
penggilingan. Hasil penggilingan yang dihasilkan disebut sebagai masa. Masa
yang dihasilkan akan dibentuk secara manual dengan tangan sehingga dihasilkan
adonan yang tipis kemudian dipanggang pada suhu 190-2600 C selama 30-60
detik. Tortilla yang sudah selesai dipanggang biasanya dikonsumsi dengan
tambahan kacang-kacangan, daging, keju, dan sayur-sayuran. Proses
pembuatannya secara tradisional dapat dilihat pada Gambar 1 di halaman
selanjutnya.
6
Gambar 1. Proses pembuatan tortilla secara tradisional
7
C. TORTILLA CHIP DAN PROSES PRODUKSINYA
Seiring perkembangan zaman, produk tortilla juga mengalami banyak
perkembangan menjadi beberapa produk turunan, salah satu diantaranya adalah
tortilla chip. Tortilla chip memiliki proses pembuatan yang mirip seperti tortilla
yang membedakan adalah proses sheeting pada adonan masa sehingga dihasilkan
lembaran-lembaran tipis yang dipotong berbentuk segitiga. Lembaran-lembaran
tipis berbentuk segitiga ini kemudian dipanggang dengan suhu 350-480 0C selama
35-50 detik kemudian dilanjutkan pada proses penggorengan dalam minyak
bersuhu 180-200 0C selama 50-80 detik. Tahap selanjutnya adalah pemberian
garam, bumbu, ataupun seasoning sesuai selera. Proses lengkapnya dapat dilihat
pada Gambar 2 di bawah ini :
Gambar 2. Proses produksi Tortilla Chips skala industri
8
Gambar 2. Proses produksi Tortilla Chips skala industry (sambungan)
9
D. PERUBAHAN FISIKOKIMIA YANG TERJADI PADA PRODUKSI
TORTILLA CHIPS
Proses pengolahan tortilla chip mulai dari biji jagung menjadi produk
akhir melewati beberapa tahapan seperti pemasakan, perendaman, pencucian,
penghalusan, pembentukan masa, pemanggangan, dan diakhiri dengan
penggorengan. Tahapan produksi tentu akan mengubah fisikokimia dari produk
yang dihasilkan. Perubahan fisikokimia selama proses produksi tortilla chip akan
dibahas lebih lanjut mekanisme serta akibat yang ditimbulkan.
Proses pertama pengolahan tortilla chip adalah proses pemasakan,
perendaman, dan pencucian. Pada proses pemasakan, biji jagung dimasak
bersamaan dengan air dan larutan alkali (kalsium dioksida). Penggunaan larutan
alkali bertujuan memudahkan pelepasan perikarp pada biji jagung. Mekanisme
pelepasan perikarp ini disebabkan kalsium dioksida menghasilkan suasana alkali
yang nantinya akan mendegradasi dinding sel dan bagian tengah lamella yang
akan mempermudah pelepasan perikarp. Proses ini lebih dikenal sebagai proses
nixtamalisasi yang menjadi kunci dalam pembuatan tortilla chip.
Proses nixtamalisasi ini juga dapat menghambat pembengkakan dan
hidrasi dari granula pati pada jagung. Proses perendaman biasa akan membuat
granula pati menyerap air dan membengkak namun dengan proses nixtamalisasi
jika dilihat dengan SEM maka terlihat granula pati dilepaskan dari sel namun tetap
dalam bentuk aslinya dalam sel endosperm. Selain itu ketika perikarp terlepas
maka akan dihasilkan gum yang berfungsi sebagai “lem” yang akan melekatkan
adonan lanjutan yang disebut masa.
Tahap pemasakan akan menyebabkan kadar air biji jagung akan meningkat dari
10-12% menjadi 48-50%. Penyerapan air terbesar terjadi pada 15 menit awal
pemasakan. Penggunaan kalium dioksida juga meningkatkan penyerapan air 15-
20% jika dibandingkan dengan pemasakan dengan air saja. Pemasakan dengan
alkali juga menyebabkan terlepasnya niasin yang terikat sehingga jumlah niasin
dalam produk akhir akan meningkat walaupun akhirnya jumlahnya akan menurun
pada proses pencucian dan penggorengan. Proses perendaman juga menyebabkan
10
distribusi air pada biji jagung menjadi lebih merata sehingga biji jagung menjadi
lebih lunak. Selain itu juga terdapat perubahan pada kandungan zat gizinya yang
dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 2. Komposisi dari produk yang diolah secara alkali
(McDonough, Cassandra M. 2001)
Bentuk
produk
Kadar
air
(%)
Kadar
protein
(%)
Total
Pati
(%)
Ekstrak
eter
Kadar
abu
(%)
Serat
pangan
(%)
Serat
kasar
(%)
Biji
jagung
mentah
12.6 10.2 74.3 4.8 1.3 13.3 1.6
Nixtamal 49.7 10.6 78.8 4.3 1.5 11.8 0.8
Adonan
Masa 52.5 9.7 75.7 4.8 1.8 - -
Tortilla
chip 1.7 7.6 67.1 24.2 2.3 11.5 0.9
Ket : Nilai ekstrak eter menggambarkan kadar lemak
Proses penghalusan bertujuan untuk mengecilkan ukuran dari biji
jagung, proses ini dibantu dengan air menggunakan batu gerinda atau alat
penggilingan yang terbuat dari stainless steel. Biji jagung akan mengalami gaya
mekanik cutting dan shearing yang dihasilkan oleh batu gerinda. Air ditambahkan
pada proses ini bertujuan untuk mengurangi panas yang dihasilkan proses
penggilingan dan meningkatkan kadar air dari masa sehingga diperoleh tekstur
optimum untuk pembentukan lembaran-lembaran tipis. Komponen granula pati
dan protein akan sedikit mengalami hidrasi akibat penambahan air ini selain itu
panas yang dihasilkan akibat friksi batu gerinda akan menambah gelatinisasi pada
pati.
Adonan masa yang dihasilkan terdiri dari beberapa fraksi kasar
(perikarp, germ, bagian luar endosperm), bagian berukuran sedang dari bagian
endosperm, dan bagian halus termasuk granula pati bebas. Penggilingan jagung
yang belum matang tanpa ditambahkan larutan alkali atau dengan waktu
pemasakan/perendaman yang sebentar akan menghasilkan tekstur yang kurang
11
baik untuk pembentukan lembaran-lembaran. Masa sendiri mengandung 52-54%
kadar air, 12-25% endosperm kecil dan bagian germ, 19-31 garanula pati bebas
dan bagian dinding sel serta 3-4% padatan terdispersi dan lemak bebas. Masa
memiliki gaya kohesif disebabkan campuran seperti lem dari padatan terdispersi
(sekitar 3-4%) yang terdiri dari pati tergelatinisasi, protein terhidrasi, lemak, dan
ion. Penambahan air juga membantu distribusi, kelarutan, serta adhesi dari garnula
pati, protein, dinding sel, dan lemak satu dengan yang lainnya. Gaya kohesif ini
disebabkan oleh amilosa dan amilopektin yang keluar granula pati tergelatinisasi
akibat gaya fisik yang dialami selama proses penggilingan.
Proses selanjutnya adalah proses pemanggangan, sebelumnya
lembaran tipis tortilla dibentuk menjadi segitiga-segitiga kecil, suhu yang
digunakan biasanya lebih dari 240 C. Fungsi dari pemanggangan adalah
pemberian panas pada kedua sisi tortilla sehingga pati akan tergelatinisasi lebih
lanjut. Ketersediaan kadar air yang terbatas pada bagian luar menyebabkan proses
gelatinisasi pati tidak terjadi secara sempurna namun untuk bagian dalam karena
memiliki kadar air yang cukup maka proses gelatinisasi berjalan lebih sempurna.
Selama pemanggangan, air pada bagian dalam akan dikeluarkan dalam bentuk uap
yang dialirkan melalui permukaan tortilla, hal ini menyebabkan pembentukan
lubang-lubang kecil baik di dalam maupun di luar permukaan.
Proses lanjutan dari pemanggangan yaitu penggorengan yang akan
menyebabkan air dalam masa akan menguap dan digantikan oleh minyak. Ketika
tortilla dimasukkan ke dalam minyak panas maka kadar air akan turun dari 34%
hingga 10-11% setelah penggorengan selama 15 detik, di mana minyak akan kadar
minyak akan meningkat dari 2% mencapai 21%. Jumlah kadar minyak akan
meningkat secara bertahap hingga 23% setelah penggorengan selama satu menit.
Hal ini berarti proses penyerapan minyak terjadi secara cepat pada awal
penggorengan. Secara fisik tekstur dari tortilla menjadi lebih keras dan lebih
seragam karena pati tergelatinisasi dan air yang menguap. Ketika tortilla digoreng
terlalu lama maka lubang yang dihasilkan oleh air yang menguap menjadi lebih
12
besar sehingga minyak akan lebih mudah masuk dan menyebabkan produk
menjadi jenuh oleh minyak setelah pendinginan.
E. SEASONING UNTUK PRODUK MAKANAN RINGAN
Seasoning merupakan bahan campuran terdiri dari satu atau lebih
rempah-rempah yang ditambahan ke dalam makanan selama pengolahan atau
dalam persiapan, sebelum disajikan untuk memperbaiki flavor alami makanan
sehingga lebih disukai konsumen (Farrell, 1990). Industri ini mulai berkembang
pada awal abad 19, diawali oleh destilasi minyak esensial dan ekstraksi tumbuh-
tumbuhan sebagai bahan bakunya. Mulai abad 20, seiring berkembangnya riset
kimia, industri ini pun melangkah ke tahap selanjutnya yaitu menghasilkan flavor
atau seasoning sintetis yang memanfaatkan bahan kimia tertentu.(Wright, 2002).
Sampai saat ini bisa disebut untuk menghasilkan suatu seasoning merupakan
pekerjaan yang dianggap berseni karena bukan hanya menghasilkan seasoning
yang memiliki rasa enak namun kita dituntut menghasilkan seasoning yang sesuai
dengan jenis produk, kondisi produksi, dan yang terpenting sesuai dengan
keinginan konsumen.
Untuk produk makanan ringan sendiri disukai konsumen selain karena
ringkas (dapat dimakan di mana saja dan kapan saja) juga karena rasanya.
Sebagian besar produk makanan ringan memiliki rasa asin dan seasoning yang
paling populer untuk produk makanan ringan adalah rasa keju, BBQ, Sour Cream
and Onion, dan Ranch. Keempat jenis seasoning ini adalah basis utama dari semua
rasa yang beredar di pasaran.
Sebelum membicarakan proses pembuatan produk seasoning untuk
makanan ringan akan lebih baik jika kita mengenal dahulu bahan-bahan utama
yang digunakan. Menurut Lusas XXX, terdapat dua belas bahan utama untuk
pembuatan seasoning makanan ringan, yaitu:
1. Garam
Garam adalah komponen kunci pada seasoning makanan ringan. Tujuan
utama penambahannya adalah meningkatkan flavor secara keseluruhan. Garam
13
yang biasa digunakan berbentuk bubuk dengan distribusi ukuran partikel minimal
96% lolos ayakan berukuran 80 mesh. Semakin besar ukuran partikel garam yang
digunakan maka kelekatan seasoning yang dihasilkan akan semakin rendah atau
akan menghasilkan distribusi bahan yang tidak merata. Persentase garam yang
digunakan adalah 15-25% pada tiap formula jika dosis aplikasi seasoning pada
produk sekitar 5-8%.
2. Bahan pengisi (Filler)
Bahan pengisi digunakan untuk menyesuaikan rasa seasoning jika dirasa
terlalu kuat atau penampakan dari seasoning tidak merata. Bahan pengisi yang
digunakan adalah bahan yang memiliki nilai ekonomi rendah dan tidak memiliki
rasa. Jenis bahan pengisi yang biasa digunakan adalah maltodekstrin, corn syrup
solid, tepung terigu, tepung jagung, dan whey dengan dosis penggunaan antara 20-
40%.
3. Bubuk produk hewani
Penggunaan bubuk produk hewani untuk membuat mouthfeel dan
membantu mencampur rasa semua flavor yang digunakan pada seasoning.
Komponen utama dari bubuk produk hewani adalah lemak. Selain rasa khas dari
produk hewani juga diharapkan kandungan lemaknya, lemak yang diharapkan
adalah lemak yang memiliki titik leleh di bawah suhu mulut. Diharapkan ketika
dikonsumsi lemak tersebut akan meleleh, dan flavor yang lipofilik akan larut
dalam lemak menghasilkan sensasi flavor yang bertahan lebih lama di dalam
mulut. Penggunaan bubuk produk hewani pada dosis rendah akan membantu
pelepasan flavor sedangkan pada dosis tinggi akan berkontribusi signifikan pada
mouthfeel dan rasa seasoning.
4. Bubuk produk tumbuh-tumbuhan
Beberapa jenis tumbuhan yang sering digunakan dalam bentuk bubuk
adalah bawang putih, bawang bombay, dan cabai. Pembuatannya yaitu dengan
mengeringkan ”slurry” dari tumbuhan kemudian dipanaskan serta divakum hingga
kadar airnya kurang dari lima persen. Bawang putih atau bawang bombay bubuk
digunakan hampir pada semua produk makanan ringan, hal ini memberikan
14
”kedalaman” pada bagian tengah profil seasoning. Akibatnya seasoning yang
dihasilkan memiliki profil lebih kompleks dan lebih panjang rasanya.
Penggunaannya pada formulasi seasoning pada dosis sekitar 1-10%, namun
kelemahan bahan ini adalah tinggi akan cemaran mikroorganisme sehingga faktor
ini harus diperhatikan.
5. Rempah-rempah
Rempah-rempah adalah bahan utama yang digunakan sejak zaman dahulu
untuk pembuatan seasoning produk makanan ringan, seperti lada hitam, bubuk
cabai, tepung mustard, oregano, basil, dan kunyit. Beberapa rempah-rempah perlu
dihaluskan menjadi tepung seperti bubuk bawang putih, namun adapula yang
digunakan keseluruhan sehingga tidak hanya mempengaruhi rasa namun
penampakannya pula. Seperti halnya bawang putih, rempah-rempah juga
memberikan ”kedalaman” pada profil seasoning dan flavornya akan dilepaskan
perlahan-lahan selama dikonsumsi dan bertahan lebih lama. Selain dalam bentuk
bubuk, rempah-rempah juga dapat diekstrak sehingga menghasilkan minyak
essensial atau oleoresin, biasanya diproses dengan spray dry yang akan
menghasilkan komponen flavor yang dapat terlepas lebih cepat ketika dikonsumsi.
Dosis umum penggunaan rempah-rempah sekitar 0.25-2% dalam pembuatan
seasoning. Untuk produk rempah-rempah berbentuk bubuk memiliki kandungan
mikroorganisme yang cukup tinggi namun bisa digantikan dalam bentuk minyak
essensial atau oleoresin yang memiliki resiko mikroorganisme lebih kecil karena
telah melewati proses ekstraksi.
6. Flavor campuran
Dalam sepuluh tahun terakhir, flavor campuran mulai menggantikan peran
utama dari rempah-rempah dalam pembuatan seasoning. Hal ini disebabkan
rempah-rempah tidak stabil dalam penyimpanan dan konsumen menginginkan
flavor yang lebih kuat. Flavor campuran ini diproduksi menggunakan metode
spray drying atau enkapsulasi dan digunakan dengan dosis sekitar 0.1 - 5%.
Pemilihan flavor campuran merupakan tahap penting dalam pembuatan seasoning
sehingga diperlukan screening awal sebelum penggunaannya dalam seasoning.
15
7. Peningkat rasa (Flavor enhancer)
Peningkat rasa juga merupakan komponen penting selain garam dalam
pembuatan makanan ringan. Komponen yang sering digunakan sebagai peningkat
rasa adalah monosodium glutamat, autolyzed yeast, disodium inosinate, disodium
guanylate dan hydrolyzed vegetable protein. Peningkat rasa umumnya memiliki
nukleotida 3’ dan nukleotida 5’ dalam jumlah tinggi yang diketahui meningkat
rasa gurih dalam seasoning. Tanpa komponen peningkat rasa ini maka seasoning
yang dihasilkan akan memiliki rasa tawar atau datar. Dosis penggunaan untuk
monosodium glutamate, autolyzed yeast extract, dan hydrolyzed vegetable protein
sekitar 1-5%, serta disodium guanylate pada dosis 0.01%-0.05%.
8. Pemanis
Pemanis ditambahkan untuk menyeimbangkan rasa dari seasoning yang
dibuat. Beberapa pemanis yang sering dipakai yaitu sukrosa, gula merah, padatan
madu terdehidrasi, molases hasil spray dry, dektrosa serta fruktosa. Pemanis
sukrosa, gula merah,dan molases memiliki persepsi manis yang sama sedangkan
madu dan sukrosa memiliki profil kemanisan yang sama. Untuk dextrosa jika
digunakan memiliki efek sejuk pada mulut. Pemberian pemanis harus diperhatikan
dengan hati-hati karena sifatnya higroskopis sehingga perlu dipikirkan apakah
perlu ditambahkan anti kempal untuk menjaga sifat fisik seasoning.
9. Asam
Asam sering digunakan jika akan dibuat seasoning dengan rasa asam atau
buah-buahan. Beberapa jenis asam yang sering digunakan dalam pembuatan
seasoning adalah asam sitrat, asam laktat, asam malat, dan asam asetat.
10. Pewarna
Pewarna digunakan untuk memberikan warna seasoning sehingga
mempengaruhi persepsi produk akhir. Pewarna yang digunakan biasanya pewarna
buatan karena lebih stabil dan tidak reaktif dibandingkan pewarna alami. Pewarna
sendiri dibedakan menjadi dua yaitu lake dan dye. Pewarna lake adalah pewarna
16
yang larut minyak sedangkan dye adalah pewarna yang larut air dan biasanya
dalam bentuk bubuk. Penggunaan pewarna dye sangat bergantung pada
kelembaban sehingga sangat mudah menempel pada baju atau tangan jika ada
sedikit saja air dan hal ini bisa menyebabkan gangguan pada saat produksi bahkan
pada produk akhir yang dikonsumsi konsumen sedangkan pewarna lake lebih
disukai karena lebih stabil.
Terdapat dua cara penambahan pewarna dalam pembuatan
seasoning, yaitu: (a). langsung ditambahkan pada saat proses pencampuran bahan-
bahan seasoning dan (b) pembelian bahan yang telah dikeringkan dengan spray
dryer, di mana warna sudah ditambahkan sebelum proses spray dry. Keuntungan
dari penambahan secara langsung pada saat pencampuran adalah fleksibilitas
dalam mencampur sehingga bisa langsung disesuaikan warnanya jika terjadi
reformulasi. Sedangkan cara kedua memiliki keuntungan bahan memiliki warna
yang seragam dan mempermudah dalam penanganan dan penimbangan.
11. Bahan penolong
Bahan penolong adalah bahan yang digunakan untuk membantu dalam
proses pencampuran dan biasanya ditambahkan ketika dilakukan proses
pencampuran. Seperti penambahan silikon dioksida atau trikalsium fosfat pada
saat pencampuran untuk mencegah penggumpalan pada produk seasoning
sehingga mudah mengalir atau penambahan minyak goreng dalam proses
pencampuran komponen seasoning yang larut minyak sehingga lebih mudah
bergabung dan tercampur merata.
12. Antioksidan
Penambahan langsung antioksidan dalam formulasi seasoning jarang
digunakan karena tidak memiliki pengaruh langsung pada seasoning. Pengaruh
dari antioksidan lebih pada melindungi bahan baku selama penyimpanan, dan
dapat ditambahkan pada bahan-bahan yang larut minyak seperti oleoresin.
Beberapa antiosidan yang sering digunakan adalah: Vitamin E, Alpha-tocopherols,
ekstrak rosemary, butylated hydroxyanisole (BHA), dan butylated hydroxy toluene
(BHT). Sekarang ini produsen seasoning sudah mulai meninggalkan penggunaan
17
bahan pengawet dan lebih memfokuskan penggunaan kemasan dengan barrier
atau penggunaan gas karena bahan pengawet di mata konsumen memiliki persepsi
yang kurang baik untuk kesehatan.
Setelah mengetahui bahan-bahan yang digunakan untuk membuat
seasoning maka selanjutnya adalah tahap pembuatan seasoning. Ketika memulai
pembuatan formulasi suatu seasoning kita harus memiliki kerangka berpikir
seperti piramid, bertahap demi tahap dari bagian atas hingga ke bawah, seperti
yang ditunjukkan pada Gambar 3. Bagian paling atas adalah penentuan
karakteristik flavor dari seasoning yang akan diciptakan, pada tahap ini dilakukan
konsep dari seasoning yang akan dibuat mulai penentuan mulai dari rasa serta
penentuan produk aplikasi. Level selanjutnya adalah penentuan bahan-bahan
material utama yang akan digunakan. Pada tahap ketiga adalah penentuan
penambahan bahan-bahan untuk memperkaya rasa seperti garam, pemanis,
peningkat rasa, dan asam. Bagian paling bawah dari pembuatan seasoning adalah
adalah penentuan bahan pengisi, pewarna, dan bahan penolong untuk membantu
proses pencampuran.
Gambar 3. Piramida pembuatan formulasi seasoning
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah penentuan target dari flavor
seasoning yang akan dikembangkan Dengan menjawab pertanyaan di bawah maka
Penentuan karakteristik flavor mulai dari rasa hingga jenis produk
aplikasi
Penentuan bahan-bahan material utama penyusun flavor
Penentuan bahan-bahan untuk memperkaya rasa : garam, pemanis, asam, peningkat rasa
Penentuan bahan pengisi, pewarna , dan bahan penolong untuk membantu proses blending
18
dapat mengurangi waktu pengembangan produk karena akan lebih fokus pada rasa
yang sudah diterima konsumen target, yaitu:
Siapakah target konsumen? Konsumen dinilai mulai dari jenis kelamin dan
umur konsumen
Tipe flavor apa yang disukai konsumen target? Apakah yang mempunyai rasa
yang kuat atau ringan?
Apakah yang perlu dilakukan agar membuat flavor yang dikembangkan
menarik minat konsumen target? Apakah meniru rasa yang sudah ada atau
mengkreasikan yang baru?
Beberapa konsep dasar yang biasa digunakan untuk formulasi
seasoning adalah:
Dilakukan melalui proses trial dan error
Level penggunaan 6% bisa dijadikan dosis awal aplikasi
Penentuan jenis produk yang cocok untuk jenis flavor yang sedang
dikembangkan
Harus memperhatikan biaya namun memberikan keleluasaan penggantian
bahan lain jika terjadi formulasi ulang
Harus mempertimbangkan peraturan yang berlaku, mulai dari halal hingga
batas aman penggunaan bahan–bahan yang digunakan
F. APLIKASI SEASONING
Seasoning yang telah dihasilkan tentu harus diaplikasikan pada produk
dengan karakteristik yang sesuai, tetapi hal lain yang harus diperhatikan adalah
teknik aplikasi yang digunakan. Teknik aplikasi yang tepat diperlukan untuk
menghasilkan produk makanan ringan yang memiliki penampakan seragam dan
kelekatan seasoning yang baik. Secara umum seasoning dapat diaplikasikan dalam
bentuk kering namun juga bisa diaplikasikan dengan bentuk slurry.
Dalam bentuk kering, seasoning dapat ditaburkan sambil diaduk
sampai merata sedangkan untuk slurry yaitu mencampurkan seasoning kering
dengan carrier cairan. Carrier yang digunakan bisa berupa minyak atau air. Untuk
19
produk makanan ringan dengan rasa asin lebih sering digunakan carrier minyak
sedangkan carrier air lebih banyak digunakan untuk produk makanan ringan dengan
rasa manis.
Teknik aplikasi seasoning sendiri dibagi menjadi tiga yaitu:
1. Seasoning satu tahap
Teknik ini adalah teknik yang paling mudah dan paling sering digunakan.
Biasanya seasoning yang digunakan adalah seasoning kering berbentuk bubuk.
Teknik ini hanya bisa digunakan jika terdapat minyak yang cukup pada permukaan
base produk yang akan berfungsi sebagai perekat seasoning. Awalnya seasoning
akan ditaburkan oleh auger di dalam coating drum yang berputar. Coating drum
yang digunakan biasanya terbuat dari stainless steel, selama berputar base akan
terangkat dan jika sudah mencapai sudut 90-1200 maka produk akan turun kembali
ke bagian bawah. Untuk mendapatkan dosis yang sesuai perlu dilakukan penentuan
kecepatan auger menaburkan seasoning, kecepatan putaran coating drum, serta
jumlah base yang masuk ke dalam coating drum.
2. Elektrostatik seasoning
Teknik aplikasi jenis ini menggunakan prinsip elektrostatik dan pertama kali
digunakan oleh industri cat. Untuk jenis flavor yang dapat diaplikasikan adalah
yang berada dalam bentuk kering (bubuk) dan dilakukan sebanyak satu tahap dan
beberapa ada yang menggunakan udara sebagai mediumnya. Pertama-tama coating
drum dihubungkan dengan ground sehingga base produk yang bersentuhan dengan
coating drum secara tidak langsung dihubungkan dengan ground. Seasoning
dimasukkan ke dalam mixing area dengan bantuan udara, di mana pada area ini
terdapat elektroda sehingga seasoning akan menerima gaya elektrostatik dan
diteruskan ke coating drum. Karena ada perbuatan muatan elektrostatik maka
seasoning akan menempel ke pada base. Karena menggunakan udara maka perlu
diperhatikan ukuran partikel dari seasoning itu sendiri. Partikel dengan ukuran kecil
akan mudah keluar dari coating drum karena dorongan udara yang dihembuskan.
20
3. Seasoning dua tahap
Pada teknik aplikasi ini digunakan untuk produk yang tidak memiliki cairan
yang cukup pada permukaan luarnya sehingga seasoning sulit menempel. Oleh
karena itu perlu ditambahkan cairan sebagai perekat seasoning kering. Cairan yang
dimaksud bisa berupa minyak, gum arab atau dekstrin yang dilarutkan dalam air.
Penggunaan minyak selain berfungsi melekatkan juga bermanfaat menambah
mouthfeel dari seasoning yang diaplikasikan. Pertama-tama cairan tersebut harus
menyebar merata di permukaan base sehingga selain kelekatan akan meningkat juga
penampakan produk akan seragam. Setelah itu kemudian seasoning kering baru
diaplikasikan pada base produk.