II. TINJAUAN PUSTAKAeprints.mercubuana-yogya.ac.id/1182/2/BAB II.pdf · Senyawa fenolik/polifenol...
Transcript of II. TINJAUAN PUSTAKAeprints.mercubuana-yogya.ac.id/1182/2/BAB II.pdf · Senyawa fenolik/polifenol...
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Kunir Putih
Kunir putih termasuk tanaman tahunan yang berbentuk rumpun, berbatang
semu dan memiliki sejumlah anakan. Rimpang kunir putih bercabang, di bagian luar
berwarna kekuningan, sedang warna daging rimpang kuning lebih gelap yang
dilingkari warna putih. Daun berbentuk elips yang meruncing di bagian ujung daun,
dengan panjang 15-95 cm dan lebar 5-23 cm, hijau, terdapat 3 warna ungu di bagian
tangkai daun. Sistem perakaran tanaman termasuk akar serabut. Akar melekat dan
keluar dari rimpang induk. Panjang akar sekitar 25 cm dan letaknya tidak beraturan.
Gambar kunir putih tersaji pada Gambar 1.
Gambar 1. Kunir putih (Anonim, 2015)
Kunir putih secara visual kenampakannya mirip dengan tanaman temu lawak,
bila diiris secara melintang terlihat warna kuning, dan mengeluarkan aroma seperti
mangga. Tanaman ini banyak ditemukan di Benggala India (Darwis, et al., 1991).
6
Rimpang kunir putih seperti halnya temu-temuan yang lain dapat tumbuh dan
berproduksi dengan baik di dataran rendah sampai pada ketinggian 1000 m di atas
permukaan laut (dpl) dan ketinggian optimum 300-500 m dpl (Bautistuta dan
Aycardo, 1979; PCARR, 1980). Kondisi iklim yang sesuai untuk budidaya kunir
putih yaitu dengan curah hujan 1000-2000 mm (Purseglove et al., 1981), baik
ditanam pada kondisi dengan sedikit naungan (Balittro, 1990) hingga terbuka penuh
(Effendi dan Emmyzar, 1997), tumbuh pada berbagai jenis tanah, untuk
menghasilkan produksi yang maksimal membutuhkan tanah dengan kondisi yang
subur, banyak bahan organic, gembur dan berdrainase baik (tidak tergenang)
(Sudiarto et al., 1998).
Kunir putih lebih dikenal dengan temu mangga karena aroma rimpangnya
spesifik seperti aroma mangga, dapat dikonsumsi sebagai simplisia (diiris,
dikeringkan dan direbus) instant, asinan, permen/manisan, sirup, selai, lalapan
(rimpang segar), dan botokan. Selain itu juga produk olahnya berupa minyak atsiri,
sirup, kristal, oleoresin, dan jam (Hernani dan Suhirman, 2001).
Sistematika tumbuhan Curcuma mangga Val. (Backer dan Bachuizen, 1968)
sebagai berikut :
Divisio : Spermatophyta
Kelas : Angiospermae
Sub Kelas : Dicotyledoneae
Bangsa : Zingiberceae
Suku : Curcuma
Jenis : Curcuma mangga Val.
7
Gambar 2. Rimpang kunir putih
Kunir putih mengandung minyak atsiri, tannin, guls dan dammar (Fauziah,
1999). Kandungan kunir putih yang juga sangat penting adalah pigmen kurkuminoid
yang berwarna oranye, kandungan pigmen kurkuminoid dalam kunir putih berkisar
0.5-6%. Pigmen ini merupakan campuran dari tiga komponen analog yaitu kurkumin,
demotiksi kurkumin dan bisdemetoksi kurkumin (Tonnesen, 1986). Adapun
komposisi kimia kunir putih dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi kimia kunir putih dan bubuk kunir putih dalam 100 g
Komponen Kunir putih Bubuk kunir putih Energi 349,00 390 Air (g) 13,10 5,80 Protein (g) 6,30 8,60 Lemak (g) 5,10 8,90 Total karbohidrat (g) 69,40 69,90 Serat Kasar (g) 2,60 6,90 Abu (g) - 6,80 Kalsium (mg) 0,15 0,20 Fosfor (mg) 0,28 0,26 Natrium (mg) 0,03 0,01 Kalium (mg) 3,30 2,50 Besi (mg) 18,60 47,50 Tiamin (mg) 0,03 0,09 Riboflavin (mg) 0,05 0,19 Sumber : Lukman, 1984 dalam Pujimulyani, 2010
8
B. Komponen Kunir Putih
1. Antioksidan
Antioksidan merupakan salah satu komponen yang bermanfaat bagi
kesehatan karena dapat menghambat spesies oksigen reaktif (ROS) atau spesies
nitrogen reaktif (RNS) dan juga radikal bebas sehingga antioksidan dapat mencegah
penyakit-penyakit yang dihubungkan dengan radikal bebas seperti karsinogenesis,
kardiovaskuler, dan penuaan (Halliwell dan Gutteridge, 2000). Beberapa studi
epidemiologi menunjukkan bahwa kandungan antioksidan yang terdapat dalam buah
dan sayur-mayur bermanfaat dalam melindungi tubuh manusia terhadap ROS/RNS,
karenanya sangat penting untuk meningkatkan intake antioksidan dalam diet, dan
salah satunya adalah dengan memperkaya bahan makanan dengan antioksidan
(Soong and Barlow, 2004).
Radikal bebas dapat menginduksi penyakit kanker, arteriosklerosis, dan
penuaan yang disebabkan oleh kerusakan jaringan karena oksidasi, sehingga
diperlukan suatu antioksidan yang mampu menangkap radikal bebas tersebut
sehingga penyakit-penyakit yang terkait dengan radikal bebas ini dapat dicegah
(Kikuzaki dkk., 2002). Radikal bebas dan juga spesies oksigen reaktif lainnya
dihasilkan secara terus-menerus melalui proses fisiologis yang normal, terlebih lagi
dalam keadaan patologis. Tubuh memiliki sistem pertahanan internal terhadap
radikal bebas yakni antioksidan (Mathew dan Abraham, 2006). Sistem pertahanan
tubuh dapat dikelompokkan menjadi 3 golongan (Niki dkk., 1995, Wilmsen dkk.,
2005) sebagai berikut: (1) Antioksidan primer, yaitu antioksidan yang dapat
menghalangi pembentukan radikal bebas baru. Termasuk golongan ini adalah
superoksida dismutase (SOD) dan katalase; (2) antioksidan sekunder atau penangkap
9
radikal (radical scavenger), yakni antioksidan yang dapat menekan terjadinya reaksi
rantai baik pada awal pembentukan rantai maupun pada fase propagasi. Vitamin E,
β–karoten dan kurkuminoid termasuk golongan antioksidan sekunder; (3) antioksidan
tersier, yakni antioksidan yang memperbaiki kerusakan-kerusakan yang telah terjadi.
Termasuk kelompok ini adalah enzim yang memperbaiki DNA dan metionin
sulfoksida reduktase.
Antioksidan dapat diperoleh secara alami maupun sintetik. Antioksidan
sintetik mempunyai efektivitas yang tinggi, namun kurang aman bagi kesehatan
sehingga pengunaannya diawasi dengan ketat di berbagai negara. Publikasi
menunjukkan bahwa antioksidan sintetik seperti butil hidroksi anisol (BHA) dan
butil hidroksi toluen (BHT) berpotensi menyebabkan efek toksis pada hewan atau
manusia (Javanmardi dkk., 2003, Kahkonen dkk., 1999). Ketertarikan antioksidan
alami baru-baru ini meningkat secara dramatis disebabkan oleh keamanan
penggunaanya (Dorman and Hiltunen, 2004). Oleh karena itu, perlu dicari sumber
antioksidan alami yang lebih aman dari pada antioksidan sintesis untuk
dikembangkan misalnya antioksidan yang berasal dari rempah-rempah, buah, atau
tanaman (Pujimulyani, 2003). Adanya ketertarikan pada senyawa fenolik sebagai
antioksidan dikarenakan sifat antioksidannya yang kuat dan toksisitasnya yang
rendah dibanding dengan senyawa antioksidan fenolik sintesis seperti BHA dan BHT
(Cailet et al., 2006). Ekstrak tanaman yang kaya senyawa fenolik dan flavonoid
menarik bagi kalangan industri makanan, karena mampu menunda kerusakan
oksidatif senyawa-senyawa lemak, dan karenanya mampu meningkatkan nilai nutrisi
suatu makanan (Kahkonen et al.,1999). Senyawa-senyawa fenolik dan flavonoid
10
merupakan komponen fitokimia yang sering kali dihubungkan dengan aktivitas
antioksidan (Akowuah dkk., 2004).
Uji aktivitas antioksidan IC50 (DPPH (2,2-diphenyl-1-picrylhydrazyl))
Pengukuran aktivitas antioksidan dapat dilakukan dengan beberapa metode
diantaranya dengan CUPRAC, DPPH, dan FRAP. Prakash dkk. (2007) dalam
Herman (2010), metode DPPH merupakan metode pengukuran aktivitas antioksidan
yang cepat, mudah dan sederhana, selain itu metode ini terbukti akurat, reliabel, dan
praktis. Kelebihan dari metode pengujian DPPH adalah telah banyak digunakan di
dunia dan mudah diterapkan karena senyawa radikal yang digunakan bersifat relatif
stabil dibanding metode lainnya Digunakan untuk menguji kemampuan suatu
senyawa untuk bertindak sebagai penangkap radikal bebas atau pendonor hidrogen
sehingga aktivitas suatu senyawa dapat dihitung.
DPPH (2,2-diphenyl-1-picrylhydrazyl) adalah suatu radikal bebas yang cukup
stabil dengan memberikan warna ungu yang diserap pada panjang gelombang
dengan nilai absorbansi DPPH adalah 517 nm (Yoshepine, 2015). Menurut
Milauskas (2004), ketika radikal DPPH (2,2-diphenyl-1-picrylhydrazyl) bereaksi
dengan suatu senyawa antioksidan yang dapat mendonorkan radikal hidrogen,
radikal DPPH (2,2-diphenyl-1-picrylhydrazyl) tersebut akan tereduksi, dan warnanya
akan berubah menjadi kuning dan membentuk DPPH-H (diphenylhydrazine).
Mekanisme penghambatan radikal DPPH dapat dilihat pada Gambar 3.
11
Gambar 3. Mekanisme penghambatan radikal DPPH (Anonim, 2015)
Cara pengukuran aktivitas antioksidan terhadap radikal bebas DPPH (2,2-
diphenyl-1-picrylhydrazyl) dilakukan dengan mereaksikan larutan sampel dengan
radikal DPPH (2,2-diphenyl-1-picrylhydrazyl) yang dilarutkan dalam metanol,
setelah beberapa waktu diinkubasi pada suhu kamar larutan diukur panjang
gelombang maksimal dengan spektrofotometer UV-Vis. Hasil perhitungan aktivitas
antioksidan dinyatakan dalam % aktivitas antioksidan dari nilai % aktivitas
antioksidan tersebut, bisa dicari nilai IC50 (Inhibitor Concentration 50%) atau
biasa disebut juga nilai EC50 (Efficient Concentration 50%). IC50 adalah
besarnya konsentrasi senyawa uji yang mampu menangkap radikal bebas
sebesar 50%. Nilai IC50 diperoleh dengan menggunakan persamaan regresi
linier yang menyatakan hubungan antara konsentrasi senyawa uji dengan
aktivitas penangkap radikal rata-rata. Senyawa yang mempunyai aktivitas
antioksidan tinggi akan mempunyai nilai IC50 yang rendah.
12
Tabel 2. Sifat antioksidan berdasarkan nilai IC50
Nilai IC50 (µg/mL atau ppm )
Sifat Antioksidan
< 50 µg/mL Sangat kuat 50 µg/mL-100 µg/mL Kuat
100 µg/mL-150 µg/mL Sedang 150 µg/mL-200 µg/mL Lemah
Sumber : Molineux, 2004
2. Senyawa Fenolik
Senyawa fenolik/polifenol merupakan sekelompok metabolit sekunder yang
mempunyai cincin aromatik yang terikat dengan satu atau lebih substituen gugus
hidroksi (OH) yang berasal dari jalur metabolisme asam sikimat dan fenil propanoid.
Termasuk dalam kelompok senyawa fenolik/polifenol adalah fenol sederhana, asam
fenolat, kumarin, tannin, dan flavonoid. Dalam tanaman, senyawa-senyawa ini
biasanya berada dalam bentuk glikosida atau esternya (Proestos et al., 2006).
Senyawa-senyawa fenolik umumnya ditemukan pada tanaman, baik yang
dapat dimakan ataupun yang tidak dapat dimakan, dan dilaporkan mempunyai
sejumlah aktivitas biologis termasuk antioksidan (Kahkonen et al.,1999). Senyawa
fenolik dapat mencegah berbagai penyakit degeneratif (Joshipura et al.,2001).
Senyawa fenolik mampu melindungi tanaman terhadap radiasi ultraviolet, patogen,
dan herbivora (Akowuah et al., 2004). Ekstrak buah, sayuran dan bahan-bahan lain
yang kaya senyawa fenolik menarik bagi kalangan industri makanan karena ekstrak-
ekstrak ini mampu menunda kerusakan oksidatif senyawa-senyawa lemak, dan
karenanya mampu meningkatkan nilai nutrisi suatu makanan (Kahkonen et al.,
1999).
13
Adanya ketertarikan pada senyawa fenolik sebagai antioksidan dikarenakan
sifat antioksidannya yang kuat dan toksisitasnya yang rendah dibanding dengan
senyawa antioksidan fenolik sintesis seperti BHA dan BHT (Cailet et al., 2006).
Contoh senyawa fenolik pada kunir putih adalah Asam Galat,
epigalokatekingalat, kurkumin (struktur disajikan pada Gambar 4).
Kurkumin
Asam Galat Epigalokatekingalat
Gambar 4. Struktur kurkumin, asam galat ( Paul et al, 1960), EGCG (Anonim, 2015)
Kurkumin, atau disebut juga dengan 1,7-bis(4-hydroxy-3-methoxyfenil)- 1,6-
heptadiene-3,5-dione, adalah sebuah senyawa pewarna alami kuning-oranye, yang
terdapat pada kunyit. Kurkumin lebih aktif dibanding dengan vitamin E dan beta
karoten (Rao, 1995). Hal ini dikarenakan peranan kurkumin sebagai antioksidan
yang menangkal radikal bebas tidak lepas dari struktur senyawa kurkumin.
Kurkumin mempunyai gugus penting dalam proses antioksidan tersebut. Struktur
14
kurkumin terdiri dari gugus hidroksi fenolik dan gugus β diketon. Gugus hidroksi
fenolik berfungsi sebagai penangkap radikal bebas pada fase pertama mekanisme
antioksidatif. Pada struktur senyawa kurkumin terdapat 2 gugus fenolik, sehingga 1
molekul kurkumin dapat menangkal 2 radikal bebas. Gugus β diketon berfungsi
sebagai penangkap radikal pada fase berikutnya.Penelitian ini bertujuan memberikan
gambaranaktivitas antioksidan dan kurkumin pada ekstrak temulawak (curcuma
xanthorrhiza roxb). Struktur kimia kurkumin tersaji pada Gambar 5.
Gambar 5. Struktur kimia kurkumin (Paul et al ,1960)
Berbagai metode kromatografi cair (kromatografi kertas, kromatografi lapis
tipis, kromatografi kolom, dan High Performance Liquid Chromatography (Lee,
2000). Dibandingkan dengan metode kromatografi cair lainnya, HPLC merupakan
metode yang paling mendekati untuk dapat menyediakan dan memberikan respon
yang tepat, baik dalam sensitivitas yang tinggi maupun dalam 21 hal efisiensi
pemisahan karena menggunakan kolom berpartikel kecil terbungkus dengan ketat.
Selain itu, deteksi komponen dengan penggunaan metode kromatografi lapis tipis
dan kromatografi kertas, bila dibandingkan dengan HPLC, membutuhkan konsentrasi
yang lebih besar. Pada analisis dengan metode HPLC, tidak ada pembatasan dalam
hal volatilitas sampel maupun derivatisasi, seperti yang diperlukan dalam
kromatografi gas (Lee, 2000). Komponen flavonoid bukan merupakan komponen
15
volatil, oleh karena itu, analisis yang tepat adalah dengan menggunakan HPLC.
Untuk penelitian ini dilakukan dengan metode spektrofotometer dan TLC.
a. Kromatografi Lapis Tipis
Kromatografi Lapis Tipis pada plat berlapis yang berukuran lebih besar,
biasanya 5x20 cm, 10x20 cm, atau 20x20 cm. Biasanya memerlukan waktu
pengembangan 30 menit sampai satu jam. Pada hakikatnya KLT melibatkan dua fase
yaitu fase diam atau sifat lapisan, dan fase gerak atau campuran pelarut pengembang.
Fase diam dapat berupa serbuk halus yang berfungsi sebagai permukaan penyerap
atau penyangga untuk lapisan zat cair. Fase gerak dapat berupa hampir segala macam
pelarut atau campuran pelarut (Sudjadi, 1988).
Pemisahan senyawa dengan Kromatografi Lapis Tipis seperti senyawa
organik alam dan senyawa organik sintetik dapat dilakukan dalam beberapa menit
dengan alat yang harganya tidak terlalu mahal. Jumlah cuplikan beberapa mikrogram
atau sebanyak 5 g dapat ditangani. Kelebihan KLT yang lain ialah pemakaian jumlah
pelarut dan jumlah cuplikan yang sedikit. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
merupakan salah satu metode pemisahan yang cukup sederhana yaitu dengan
menggunakan plat kaca yang dilapisi silika gel dengan menggunakan pelarut
tertentu. (Gritter,1991). Nilai utama Kromatografi Lapis Tipis pada penelitian
senyawa flavonoid ialah sebagai cara analisis cepat yang memerlukan bahan sangat
sedikit. Menurut Markham, Kromatografi Lapis Tipis terutama berguna untuk tujuan
berikut:
1. Mencari pelarut untuk kromatografi kolom
2. Analisis fraksi yang diperoleh dari kromatografi kolom
3. Identifikasi flavonoid secara ko-kromatografi.
16
4. Isolasi flavonoid murni skala kecil
5. Penyerap dan pengembang yang digunakan umumnya sama dengan
penyerap dan pengembang pada kromatografi kolom dan kromatografi
kertas.
b. Spektroskopi
Teknik spektroskopi adalah salah satu teknik analisis kimia-fisika yang
mengamati tentang interaksi atom atau molekul dengan radiasi elektromagnetik. Ada
dua macam instrumen pada teknik spektroskopi yaitu spektrometer dan
spektrofotometer. Instrumen yang memakai monokromator celah tetap pada bidang
fokus disebut sebagai spektrometer. Apabila spektrometer tersebut dilengkapi dengan
detektor yang bersifat fotoelektrik maka disebut spektrofotometer. Informasi
Spektroskopi Inframerah menunjukkan tipe – tipe dari adanya gugus fungsi dalam
satu molekul dan Resonansi Magnetik Inti yang memberikan informasi tentang
bilangan dari setiap tipe dari atom hidrogen dan juga memberikan informasi yang
menyatakan tentang lingkungan dari setiap tipe dari atom hidrogen. Kombinasinya
dan data yang ada kadang – kadang menentukan struktur yang lengkap dari molekul
yang tidak diketahui.
c. Spektrofotometri Ultra Violet
Serapan molekul di dalam derah ultra ungu dan terlihat dari spektrum
bergantung pada struktur ultra elektronik dari molekul. Penyerapan sejumlah energi,
menghasilkan percepatan dari elektron dalam orbital tingkat dasar ke orbital yang
berenergi lebih tinggi di dalam keadaan tereskitasi. Spektrum Flavonoid biasanya
ditentukan dalam larutan dengan pelarut Metanol (MeOH) atau Etanol (EtOH).
Spektrum khas terdiri atas dua maksimal pada rentang 240-285 nm (pita II) dan 300-
17
550 nm (pita I). Kedudukan yang tepat dan kekuatan nisbi maksima tersebut
memberikan informasi yang berharga mengenai sifat flavonoida dan pola
oksigenasinya. Ciri khas spektrum tersebut ialah kekuatan nisbi yang rendah pada
pita I dalam dihidroflavon, dihidroflavonol, dan isoflavon serta kedudukan pita I
pada spektrum khalkon, auron dan antosianin yang terdapat pada panjang gelombang
yang tinggi. Ciri spektrum golongan flavonoid utama dapat ditunjukkan pada Tabel 3
Tabel 3. Ciri spektrum golongan flavonoid utama
λ maksimul utama
(nm)
λ maksimum tambahan (nm)
(dengan intensitas nisbi) Jenis flavonoid
475-560 390-430 365-390 350-390 250-270 330-350 300-350 275-295 ±225 310-330
± 275 (55%) 240-270 (32%) 240-260 (30%) ± 300 (40%) ± 300 (40%) Tidak ada Tidak ada 310-330 (30%) 310-330 (30%) 310-330 (25%)
Antosianin Auron Kalkol Flavonol Flavonol Flavonol dan biflavonil Flavonol dan biflavonil Flavanon dan flavononol Flavonon dan flavononon Isoflavon
(Markham, 1988, hal : 5-15;39-42 dalam Sariyono, 2016, hal : 26)
3. Kadar Air
kadar air merupakan banyaknya air yang terkandung dalam bahan yang
dinyatakan dalam persen. Kadar air juga salah satu karakteristik yang sangat penting
pada bahan pangan, karena kadar air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, dan
cita rasa pada bahan pangan. Kadar air dalam bahan pangan ikut menentukan
kesegaran dan daya awet bahan pangan tersebur, kadar air yang tinggi
mengakibatkan mudahnya bakteri, kapang dan khamir untuk berkembang biak,
sebingga akan terjadi perubahan pada bahan pangan (Winarno, 2004). Kadar air
adalah perbedaan antara berat bahan sebelum dan sesudah dilakukan pemanasan.
18
Setiap bahan bila diletakan dalam udara terbuka kadar airnya akan mencapai
keseimbangan dengan kelembaban udara disekitarnya. Kadar air bahan ini disebut
dengan kadar air seimbang. Setiap kelembaban relative tertentu dapat menghasilkan
kadar air seimbang tertentu pula. Penetapan kadar air dapat dilakukan dengan
beberapa cara, hal ini tergantung pada sifat bahannya. Pada umumnya kadar air
dilakukan dengan mengeringkan bahan dalam oven suhu 1050C-1100C selama 3 jam
atau sampai didapat berat yang konstan (Winarno, 2004).
Penelitian kunir putih segar dengan uji kadar air ini menggunakan metode
thermogravimetric. Prinsip metode thermogravimetric adalah menguapkan air yang
ada dalam bahan dengan jalan pemanasan, Kemudian menimbang bahan sampai
berat konstan yang berarti semua air sudah diuapkan. Secara umum proses
tehrmogravimetri dilakukan dengan perlakuan yang mencakup
penimbangan,pengovenan, pendinginan hingga diperoleh berat konstan. Metode
pengeringan (thermogravimetric) prinsipnya menguapkan air yang ada didalam
bahan dengan jalan pemanasan, kemudian menimbang bahan sampai berat konstan
berarti semua air sudah diuapkan (Sudarmadji et al., 1989).
C. Hipotesa
Bagian-bagian rimpang kunir putih diduga mempunyai aktivitas antioksidan
(IC50) dan kadar kurkumin yang berbeda.