Ideologi Bahasa dan Diskursus Identitas dalam Permainan ...

15
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 42 NO. 1 2021 1 Ideologi Bahasa dan Diskursus Identitas dalam Permainan Roleplay Bilingual di Twitter Fanny Syawbriyanti Universitas Indonesia [email protected] Abstract The emergence of new interaction spaces on the internet opened up to the creation of computer-mediated discourse which includes language use in various forms of conversation. This paper describes how discourse developed in role-playing game community on Twitter as a discourse community. Generally, there were three different roleplaying groups based on the use of language: Indonesian, English, and bilingual roleplaying group. This paper focuses on the use of English and Indonesian language among bilingual roleplayers. This language practice was based on language ideologies regarding a dichotomy of ‘in-context’ and ‘out-of-context’ in role-playing game. The use of English was commonly associated with ‘in-context’ situation in which players were entirely immersed into their character. On the contrary, the use of Indonesian language represented ‘out-of-context’ condition in which players detach themselves from their character to express some aspects of their self in real life. However, these opposing poles seemed to merge in the identity construction of bilingual roleplayers as reflected on the ‘decent roleplayer’ discourse. Thus, this paper also explores the relationship between language practice and identity through the way bilingual roleplayers position themselves in interactions. Keywords: discourse community, identity, language ideologies, roleplaying game, Twitter. Ketika membicarakan media sosial, salah satu fenomena yang menarik untuk didiskusikan adalah komunitas penggemar. Kajian mengenai komunitas penggemar dalam kaitannya dengan media bukanlah hal yang asing dalam perkembangan ilmu antropologi. Jonathan Gray, dkk. (2017) dalam Fandom: Identities and Communities in Mediated World menjelaskan bahwa ketertarikan antropologi terhadap kajian mengenai budaya penggemar muncul dalam tiga gelombang. Gelombang pertama berpusat pada isu kekuasaan dan representasi. Dalam hal ini, media elektronik dan media sosial menjadi wadah untuk melakukan aktivitas dan memediasi diskursus penggemar, sehingga setiap kelompok penggemar bebas menyuarakan pemikiran serta aktif memberikan respons. Gelombang kedua berporos pada isu replika hierarki sosial-budaya dalam kebudayaan dan sub-kebudayaan penggemar serta kaitannya dengan perbedaan praktik konsumsi objek-objek penggemar yang dapat menimbulkan kesenjangan dan diskriminasi. Adapun pada gelombang ketiga, terdapat usaha untuk melihat budaya penggemar dari dua pendekatan, yaitu mikro dan makro. Kacamata mikro berfokus pada kenikmatan dan motivasi intrapersonal dalam kelompok, sementara kacamata makro berfokus pada

Transcript of Ideologi Bahasa dan Diskursus Identitas dalam Permainan ...

Page 1: Ideologi Bahasa dan Diskursus Identitas dalam Permainan ...

ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 42 NO. 1 2021

1

Ideologi Bahasa dan Diskursus Identitas dalam Permainan Roleplay Bilingual di Twitter

Fanny Syawbriyanti Universitas Indonesia

[email protected]

Abstract

The emergence of new interaction spaces on the internet opened up to the creation of computer-mediated discourse which includes language use in various forms of conversation. This paper describes how discourse developed in role-playing game community on Twitter as a discourse community. Generally, there were three different roleplaying groups based on the use of language: Indonesian, English, and bilingual roleplaying group. This paper focuses on the use of English and Indonesian language among bilingual roleplayers. This language practice was based on language ideologies regarding a dichotomy of ‘in-context’ and ‘out-of-context’ in role-playing game. The use of English was commonly associated with ‘in-context’ situation in which players were entirely immersed into their character. On the contrary, the use of Indonesian language represented ‘out-of-context’ condition in which players detach themselves from their character to express some aspects of their self in real life. However, these opposing poles seemed to merge in the identity construction of bilingual roleplayers as reflected on the ‘decent roleplayer’ discourse. Thus, this paper also explores the relationship between language practice and identity through the way bilingual roleplayers position themselves in interactions.

Keywords: discourse community, identity, language ideologies, roleplaying game, Twitter.

Ketika membicarakan media sosial, salah satu fenomena yang menarik untuk didiskusikan adalah komunitas penggemar. Kajian mengenai komunitas penggemar dalam kaitannya dengan media bukanlah hal yang asing dalam perkembangan ilmu antropologi. Jonathan Gray, dkk. (2017) dalam Fandom: Identities and Communities in Mediated World menjelaskan bahwa ketertarikan antropologi terhadap kajian mengenai budaya penggemar muncul dalam tiga gelombang. Gelombang pertama berpusat pada isu kekuasaan dan representasi. Dalam hal ini, media elektronik dan media sosial menjadi wadah untuk melakukan aktivitas dan memediasi

diskursus penggemar, sehingga setiap kelompok penggemar bebas menyuarakan pemikiran serta aktif memberikan respons. Gelombang kedua berporos pada isu replika hierarki sosial-budaya dalam kebudayaan dan sub-kebudayaan penggemar serta kaitannya dengan perbedaan praktik konsumsi objek-objek penggemar yang dapat menimbulkan kesenjangan dan diskriminasi. Adapun pada gelombang ketiga, terdapat usaha untuk melihat budaya penggemar dari dua pendekatan, yaitu mikro dan makro. Kacamata mikro berfokus pada kenikmatan dan motivasi intrapersonal dalam kelompok, sementara kacamata makro berfokus pada

Page 2: Ideologi Bahasa dan Diskursus Identitas dalam Permainan ...

ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 42 NO. 1 2021

2

transformasi sosial, kultural, dan ekonomi secara menyeluruh.

Gambar 1. Tampilan profil akun roleplay informan (dokumentasi pribadi, Januari 2019). Dalam konteks Indonesia,

perkembangan budaya penggemar tidak dapat dilepaskan dari penyebaran budaya pop Korea (K-Pop) secara masif melalui media sosial, salah satunya Twitter. Menurut data statistik yang dirilis oleh Hootsuite pada Januari 2019, pengguna aktif media sosial di Indonesia mencapai 150 juta pengguna, di mana 52%-nya merupakan pengguna Twitter. Dari jumlah pengguna Twitter tersebut, 15% perempuan dan 18% laki-laki berusia 18–24 tahun, sementara 16% perempuan dan 19% laki-laki berusia 25–34 tahun. Penelitian yang dilakukan oleh Sun Jung dan Doobo Shim (2014) mengenai aktivitas daring (online) penggemar K-Pop di Indonesia menunjukkan bahwa popularitas K-Pop dalam skala global yang sebagian besar dituai melalui distribusi secara daring mendorong anak-anak muda Indonesia untuk memanfaatkan media sosial karena akses informasi yang mudah, cepat (real-time), dan tidak memakan banyak biaya. Salah satu aktivitas penggemar K-Pop yang menjadi topik utama dalam artikel ini ialah permainan roleplay.

Berbeda dengan permainan peran (role-playing game) berbasis grafik visual seperti The Sims dan Second Life, permainan

roleplay yang berakar dari aktivitas penggemar K-Pop tersebut memanfaatkan media sosial sebagai dunia virtual di mana mereka dapat memainkan peran sebagai artis idola mereka dengan membuat akun Twitter khusus. Adapun ruang lingkup dunia virtual dalam hal ini sejalan dengan definisi yang dicetuskan oleh David Crystal (2011:12) yaitu ‘…imaginary environments which people can enter to engage in text-based fantasy social interaction.’ Dengan begitu, segala hal yang terjadi dalam permainan roleplay merupakan imaji pemain yang dituangkan ke dalam interaksi berbasis teks. Berikut tampak profil akun roleplay:

Interaksi dalam permainan roleplay ini dapat dilihat dari sejumlah perspektif. Dari perspektif manajemen komunikasi (Fatmawati dan Ali, 2017), interaksi dalam permainan roleplay dilihat dari motif-motif yang mendorong keterlibatan pemain-pemainnya. Hal ini dijelaskan berdasarkan klasifikasi Max Weber (dalam Ritzer, 1975), mencakup empat motif utama terjadinya interaksi sosial, yaitu (1) motif interaksi sosial rasionalitas instrumental, (2) motif interaksi sosial berorientasi nilai, (3) motif interaksi sosial tindakan tradisional, dan (4) motif interaksi sosial berdasarkan afektif.

Ditilik dari sudut pandang antropologis, kajian-kajian sebelumnya memaparkan hubungan dialektik antara kehidupan luring (offline) dan daring yang terjalin dalam permainan roleplay (Kuswana, 2012 dan Agustina, 2018) namun dengan dua fokus yang berbeda. Di satu sisi, kompleksitas hubungan antara yang daring dan luring dapat dilihat melalui penelaahan terhadap hubungan romantis (cyberlove) yang dilakukan oleh pemain roleplay sebagai pasangan (couple) sebagai bentuk praktik

Page 3: Ideologi Bahasa dan Diskursus Identitas dalam Permainan ...

ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 42 NO. 1 2021

3

bermedia (Agustina, 2018). Melalui proyeksi imaji akan sebuah hubungan romantis, kehidupan daring dan luring para pemain roleplay tersebut ternyata saling tumpang tindih sehingga batasan antara keduanya menjadi kabur. Di sisi lain, permainan roleplay dapat dilihat sebagai sebuah permainan mimikri (meniru) yang terbentuk dari ‘ritual performatif’ (performative ritual). Dalam hal ini, berlangsung proses liminal ketika para pemain roleplay melepaskan diri dari kehidupan ‘nyata’ untuk masuk ke kehidupan ‘virtual’ dengan identitas dan kebiasaan baru, meski banyak imaji yang dituangkan dalam kegiatan roleplay mengacu pada peristiwa yang terjadi di ranah luring (Kuswana, 2012). Proses liminal juga menunjukkan bagaimana pemain roleplay berusaha mendapatkan status atau identitas sosial tertentu agar dapat diterima oleh komunitasnya.

Melalui pendekatan sosiologis, dunia permainan roleplay dipahami sebagai blogsphere, di mana proses representasi dan pembentukan identitas virtual terjadi (Ascha, 2015). Dalam hal ini, kegiatan dalam permainan roleplay dilakukan dengan ‘representasi diri dan membentuk identitas virtual sebagai media untuk melakukan interaksi, pelepasan diri, dan memberikan kebebasan berekspresi’ (Achsa, 2015:11).

Namun, berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya, penelitian ini tidak memperlihatkan adanya kompleksitas identitas daring dan luring karena berfokus pada identitas yang ‘dipinjam’ oleh pemain roleplay dari artis idola sebagai identitas mereka di dunia maya. Apa yang luput dari penelitian sebelumnya adalah signifikansi bahasa dalam interaksi di antara para pemain

roleplay. Meski media sosial merupakan arena yang menyediakan keleluasaan berbahasa, permainan roleplay justru tersegmentasi berdasarkan penggunaan bahasa. Terdapat tiga kelompok besar permainan roleplay, yakni kelompok yang dominan berbahasa Indonesia (disebut roleplay bahasa Indonesia), dominan bahasa Inggris (disebut roleplay bahasa Inggris), serta kelompok roleplay bilingual (berbahasa Inggris dan Indonesia). Setiap kelompok tentunya memiliki ciri khas dan pola interaksi yang berbeda. Tulisan ini secara spesifik membahas kompleksitas diskursus pada kelompok roleplay bilingual di mana mereka mengonstruksi dunia dan identitas mereka, khususnya terkait identitas ‘pemain yang baik’ (decent roleplayer) yang marak menjadi perbincangan hangat dalam kelompok tersebut. Muncul beragam asumsi mengenai kriteria pemain yang baik, yang salah satu di antaranya terkait dengan penggunaan bahasa dan kemampuan literasi.

Dalam penelitian ini, kelompok roleplay bilingual didudukkan sebagai sebuah ‘komunitas diskursus’ (discourse community), yaitu sekelompok orang yang memiliki kesamaan cara dalam memikirkan, memercayai, memperlakukan, dan menggunakan bahasa yang terwujud dalam peran-peran sosial tertentu (Saville-Troike, 2003:255). Menurut Swales (1990), salah satu hal yang membedakan komunitas diskursus dengan ‘komunitas bertutur’ (speech community) adalah kemampuan mengakomodasi komunitas dengan anggota yang biasanya berkomunikasi jarak jauh sehingga cenderung menggunakan tulisan untuk merespons satu sama lain. Hal ini relevan dengan medium permainan roleplay

Page 4: Ideologi Bahasa dan Diskursus Identitas dalam Permainan ...

ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 42 NO. 1 2021

4

itu sendiri yang berbasis teks, yakni Twitter. Batasan diskursus dalam tulisan ini mengacu pada konsep ‘diskursus yang diperantarai komputer’ atau computer-mediated discourse (CMD), yaitu penggunaan bahasa yang dimediasi melalui jaringan komputer atau perangkat bergerak (Herring, 2007 dalam Kim & Varobel, 2015:275).

Praktik bahasa dalam permainan roleplay tidak terlepas penilaian dan kepercayaan terhadap bahasa itu sendiri. Dalam antropologi linguistik, sikap, opini, kepercayaan, atau teori tentang bahasa yang dimiliki oleh seseorang atau suatu komunitas disebut ideologi bahasa (Ahearn, 2011:20). Paul V. Kroskrity (2003) mengemukakan lima level dalam ideologi bahasa, yakni (1) representasi dari persepsi terhadap bahasa dan diskursus yang dikonstruksi dalam kepentingan kelompok sosial atau budaya yang spesifik, (2) keberagaman ideologi sebagai hasil dari perbedaan divisi dan sub-kelompok dalam masyarakat, (3) variasi derajat kesadaran terhadap ideologi bahasa lokal, (4) fungsi ideologi bahasa sebagai mediasi antara struktur sosial dan bentuk-bentuk percakapan, serta (5) penggunaan ideologi bahasa secara produktif dalam kreasi dan representasi berbagai identitas sosial dan budaya.

Dalam prosesnya, saya menemukan adanya penilaian-penilaian terhadap dua bahasa yang digunakan oleh para pemain roleplay, yakni bahasa Inggris dan Indonesia, terkait dengan konsepsi mereka mengenai in-character dan out-of-character. Dalam hal ini, bahasa Inggris biasanya diasosiasikan dengan representasi karakter artis yang baik dan pantas (in-character), sementara bahasa Indonesia diidentikkan dengan hal-hal yang

berhubungan dengan kehidupan nyata (real-life) atau kehidupan pemain di dunia luring (out-of-character). Oleh karena itu, tulisan ini akan menjelaskan bagaimana penilaian dan kepercayaan pemain roleplay bilingual terhadap penggunaan bahasa Inggris dan Indonesia membentuk sekaligus dibentuk oleh praktik-praktik berbahasa yang mereka lakukan di media sosial. Roleplay Bilingual: Sebuah Komunitas Diskursus Sebelum masuk ke dalam lingkungan roleplay bilingual, para pemain biasanya melalui suatu fase transisi dari satu lingkungan ke lingkungan lainnya. Salah satu informan bernama Liam mengatakan bahwa ia mulai berkecimpung dalam permainan roleplay pada tahun 2012 berkat pertemuannya dengan sebuah akun roleplay melalui akun pribadinya. Saat itu, Liam menggunakan akun pribadinya untuk menghimpun informasi mengenai Super Junior dan Girls’ Generation yang merupakan dua grup K-Pop kesukaannya. Liam menyebut akun tersebut sebagai akun penggemar (fan-account). Akun roleplay tersebut menceritakan apa itu roleplay beserta cara kerjanya kepada Liam, kemudian mengajaknya untuk bermain sebagai salah satu anggota Girls’ Generation yang bernama Hyoyeon. Ia pun menyetujui ajakan tersebut dan mulai bermain dalam segmen permainan roleplay berbahasa Indonesia karena pada saat itu hanya ada dua segmen penggunaan bahasa yang mendominasi, yakni roleplay bahasa Indonesia (‘roleplay Bahasa’) dan roleplay bahasa Inggris (‘roleplay English’).

Page 5: Ideologi Bahasa dan Diskursus Identitas dalam Permainan ...

ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 42 NO. 1 2021

5

Roleplay bilingual muncul sebagai alternatif bagi penggunaan bahasa yang lebih fleksibel dan kontekstual dibandingkan dua segmen permainan yang sudah ada sebelumnya. Roleplay bahasa Inggris, misalnya, memiliki aturan yang sangat ketat terkait bahasa, yakni tidak memperbolehkan pemainnya menggunakan bahasa selain bahasa Inggris. Hal ini didorong oleh latar belakang kewarganegaraan pemain roleplay bahasa Inggris yang lebih variatif, sehingga menempatkan bahasa Inggris sebagai bahasa yang lebih ‘universal’ untuk mengakomodasi interaksi mereka.

‘Terus karena aku nggak sreg sama anak yang Bahasa, aku masuk English. Jadi bener-bener nggak ada bahasa Indonesianya. Jadi, waktu itu tuh temen banyak yang dari Filipin, Malaysia… Aku baru tau, baru masuk yang bilingual tuh baru-baru 2019 ini. Eh 2019, 2018 lah, soalnya kayaknya dari dulu agensi tuh banyak yang strictly English sih.’

(wawancara dengan Liam, 2019)

Penggunaan bahasa yang ketat tidak selalu memberikan kenyamanan bagi para pemainnya, khususnya bagi mereka yang sebelumnya bermain di lingkungan roleplay bahasa Indonesia. Urgensi untuk kembali berkomunikasi dengan bahasa Indonesia pun muncul. Maka dari itu, para pemain roleplay bahasa Inggris memanfaatkan ruang percakapan privat seperti ‘pesan langsung’ (direct message) guna mengakomodasi kebutuhan tersebut, terlebih dengan adanya larangan untuk berinteraksi dalam bahasa selain bahasa Inggris di ‘lini masa’ (timeline) sebagai ruang publik. Informan lain, Selena, mengatakan bahwa ia mulai tertarik untuk

menggunakan bahasa Indonesia ketika menjalin kontak dengan teman-teman baru yang kebanyakan berinteraksi dalam bahasa tersebut.

[Selena] [11:52 AM] kalau gue kayaknya pengaruh lingkungan rp gue deh. gue mulai join agency yg ternyata kebanyakan orang indo kan dan mereka kalau ngobrol ya pasti pake bahasa. jadi dari situ mulai deh gue selain eng, juga komunikasi sama temen rp gue pake bahasa. (wawancara dengan Selena, 2019)

Disebutkan bahwa salah satu alasan

yang memengaruhi perubahan kebiasaan Selena adalah keikutsertaannya dalam ‘agensi’ (agency). Dalam permainan roleplay, agensi dapat dipahami sebagai arena bagi pemain roleplay untuk berkegiatan secara kolektif, biasanya dijalankan oleh satu atau lebih admin. Agensi juga menyediakan repertoar bagi pemain roleplay, biasanya diejawantahkan dalam aturan tertulis yang disebut ‘rules.’ Penggunaan dua bahasa diatur dalam proporsi tertentu, misalnya 65% bahasa Inggris dan 35% bahasa Indonesia seperti yang saya temukan pada sebuah agensi roleplay bernama Inamarines. Elsa, salah seorang admin Inamarines, menjelaskan bahwa penggunaan bahasa Inggris lebih diutamakan dalam percakapan ‘dalam konteks’ (in-context), misalnya dituangkan dalam ‘cuitan’ (tweet) berisi update kegiatan artis tersebut. Adapun bahasa Indonesia biasanya digunakan dalam percakapan ‘luar konteks’ (out-of-context), seperti event dan game.

Page 6: Ideologi Bahasa dan Diskursus Identitas dalam Permainan ...

ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 42 NO. 1 2021

6

1 Keleluasaan berbahasa Indonesia diberikan kepada para anggota ketika berpartisipasi dalam game dan event. Tidak hanya itu, dalam kondisi ini admin juga bisa dengan bebas merespons anggota menggunakan bahasa Indonesia.

‘Jadi, gue bikin agensi yang, satu, bisa lebih diterima majority, kedua karena gue lebih nyaman pake bilingual itu ya karena kita jadi agensi buat para “artis” ini, jadi kalo misalnya ngomongnya in context ya speaking English tuh lebih nyaman aja walaupun ujung-ujungnya pas lagi main game juga kadang-kadang kan rl dibawa, gitu gitu dan Bahasa Indonesianya keluar kan. Tapi, di situ jadinya out of context kan. Out of context berarti udah detach dari kehidupan artis aslinya gitu kan…’

(wawancara dengan Elsa, 2019)

‘Latar’ (setting) merupakan aspek penting yang harus diperhatikan oleh para pemain roleplay ketika melakukan peralihan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia, maupun sebaliknya. Goffman (1956) menyebutkan bahwa latar umumnya bersifat tetap (secara geografis), sehingga siapa pun yang hendak menggunakan latar tertentu sebagai bagian dari pertunjukan tidak dapat memulai aksi mereka sebelum mereka berada dalam situasi yang pantas serta harus meninggalkan pertunjukan tersebut ketika mereka selesai. Dalam hal ini, agensi menyediakan ‘panggung’ bagi anggota-anggotanya untuk mempertontonkan sisi

1 Seperti mayoritas istilah-istilah yang muncul di media sosial, permainan roleplay juga didominasi oleh istilah-istilah berbahasa Inggris. Pada era new media, dominasi Bahasa Inggris sebagai “bahasa internet” atau yang disebut David Crystal (2004) sebagai Netspeak diperkuat oleh spesifikasi teknis dalam berbagai aplikasi perangkat lunak yang sebagian besar dirancang menggunakan bahasa tersebut. Meski telah tersedia padanan dalam Bahasa Indonesia bagi sejumlah istilah, konteks penggunaan kedua kata tersebut mungkin saja berubah setelah diterjemahkan sehingga melahirkan makna yang berbeda.

mereka yang lebih cair dan jenaka—atau bisa dibilang menjadi ‘diri mereka sendiri’—melalui event dan game dalam mana anggota diperbolehkan menggunakan bahasa Indonesia ketika berinteraksi. Namun, saat acara selesai, mereka harus segera menanggalkan peran tersebut dan kembali mengaktifkan peran sebagai artis idola di panggung yang lain.

Gambar 2. Cuitan plotting game Inamarines (kiri) dan tweet update karakter Nayeon Twice.

(Dokumentasi pribadi, Januari 2019)

Page 7: Ideologi Bahasa dan Diskursus Identitas dalam Permainan ...

ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 42 NO. 1 2021

7

Sebagaimana terlihat pada contoh di atas, terdapat perbedaan yang kontras antara suasana game di mana seorang anggota Inamarines diberi tantangan untuk berlakon sebagai pagar jalan yang tertabrak bus dengan tweet update2 berbahasa Inggris ketika pemain tersebut kembali ke persona artisnya. Penilaian terhadap Penggunaan Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris dalam Interaksi Antarpemain Roleplay Bilingual Kelompok roleplay bilingual memproduksi penilaian, kepercayaan, dan sikap terhadap penggunaan bahasa Inggris dan Indonesia dalam hubungannya dengan dikotomi ‘dalam konteks’ (in-context) dan ‘luar konteks’ (out-of-context). Bahasa Inggris sering kali diasosiasikan dengan percakapan formal. Bahasa Inggris juga dianggap sebagai bahasa yang ‘pantas’ untuk mempresentasikan karakter dalam ruang-ruang publik. Penggunaan tata bahasa serta pemilihan kata yang tepat—misalnya ketika membuat caption untuk update kegiatan artis—menjadi perhatian bagi para pemain roleplay. Adapun bahasa Indonesia digunakan dalam percakapan yang tidak formal dan cenderung bersinggungan dengan topik-topik kehidupan nyata (real life), seperti gosip maupun humor. Dengan demikian, bahasa Indonesia diidentikkan dengan situasi ‘luar konteks’ (out-of-context). Beberapa informan mengungkapkan bahwa intensi humor dalam candaan berbahasa Inggris sering disalahartikan sebagai hinaan.

2 Istilah yang digunakan ketika seorang pemain roleplay membagikan informasi mengenai kegiatan artis yang dia mainkan dalam bentuk cuitan (tweet).

‘[Liam] [4:56 PM] Iya. Bahasa inggris buat aku formal speaking only aja sih. Ya bisa buat joking meme and such tapi buat ngobrol guyon tuh... beda’ (wawancara dengan Liam, 2019)

Kroskrity (2003) menyebutkan bahwa level pertama dari ideologi bahasa adalah representasi dari persepsi terhadap bahasa dan diskursus yang dikonstruksi dalam kepentingan kelompok sosial atau budaya yang spesifik. Dengan kata lain, ideologi bahasa berfungsi untuk mengekspresikan penilaian dan stereotip dari segmen-segmen tertentu dalam sebuah komunitas sehingga menimbulkan adanya ketimpangan (Ahearn, 2011:22). Hal ini terlihat dari adanya pandangan yang tidak sejajar antara penggunaan bahasa Indonesia dan Inggris. Bahasa Indonesia tersubordinasi oleh bahasa Inggris dalam kondisi ‘dalam konteks’ (in-context), di mana bahasa Inggris merupakan bahasa standar untuk mempresentasikan karakter artis. Namun, dalam kondisi ‘luar konteks’ (out-of-context), bahasa Indonesia justru berada di atas bahasa Inggris. Hal ini berimplikasi pada penggunaan bahasa di ‘lini masa’ (timeline) sebagai arena publik di mana pemain roleplay dituntut untuk selalu berada dalam kondisi ‘dalam konteks.’ Penggunaan bahasa Indonesia menandakan bahwa mereka sedang melepaskan diri dari karakter artis dan menjadi diri mereka sendiri (‘luar konteks’) yang mana tidak seharusnya ditampilkan dalam arena publik. Meskipun pada beberapa situasi pemain dapat melanggar kebiasaan ini, mengunggah konten ‘luar konteks’ secara berlebihan

Page 8: Ideologi Bahasa dan Diskursus Identitas dalam Permainan ...

ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 42 NO. 1 2021

8

dianggap sebagai tindakan yang tidak pantas. Dengan demikian, percakapan ‘luar konteks’ lebih banyak ditemukan di ruang percakapan pribadi (direct message, DM). Hal inilah yang membedakan kelompok roleplay bilingual dengan kelompok roleplay bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris.

Selanjutnya, adanya keberagaman ideologi bahasa merupakan hasil dari perbedaan divisi dan subkelompok dalam masyarakat. Ahearn (2011:22) menyebutkan bahwa orang-orang bisa saja tergabung dalam berbagai kelompok sosial sekaligus dalam satu waktu, sehingga mereka bisa mempunyai ideologi bahasa yang bermacam-macam. Hal ini terlihat persepsi pemain-pemain roleplay bilingual terhadap kelompok roleplay bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Gaya permainan roleplay bahasa Indonesia dianggap tidak sejalan dengan esensi permainan roleplay karena terlalu banyak melibatkan materi-materi ‘luar konteks.’ Sebaliknya, roleplay bahasa Inggris bisa dibilang cukup mengekang pemain dalam berbahasa secara kreatif karena peraturan berbahasa Inggris yang ketat menuntut mereka untuk berada dalam kondisi ‘dalam konteks’ setiap waktu, bahkan ketika melakukan event dan game.

Kesadaran terhadap ideologi bahasa itu sendiri juga bervariasi. Merujuk Michael Silverstein (dalam Kroskrity, 2004:506), kesadaran (awareness) merupakan produk dari fenomena linguistik atau diskursif yang dapat diidentifikasi dan dibedakan oleh penuturnya baik secara umum maupun khusus mengacu pada kebudayaan spesifik

3 Akun dalam permainan roleplay yang menyediakan jasa pengiriman pesan anonim secara otomatis. 4 Kependekan dari mention confession, yaitu istilah yang digunakan untuk menyebut pesan anonim yang dikirimkan melalui auto-base.

yang mereka yakini. Meskipun bahasa Inggris dipandang lebih baik dan pantas digunakan pada situasi ‘dalam konteks’ daripada bahasa Indonesia, cara seseorang mengoperasikan bahasa Inggris itu sendiri menimbulkan pro dan kontra. Seperti sudah disinggung sebelumnya, beberapa informan menyatakan (baik secara eksplisit maupun implisit) bahwa bahasa Inggris terkesan kaku dan formal apabila digunakan dalam percakapan yang bertujuan untuk membangun hubungan pertemanan yang santai atau untuk bersenda gurau. Perdebatan mengenai penggunaan kata yang tidak umum menjadi isu hangat yang banyak diperbincangkan di kalangan roleplay bilingual dan bahasa Inggris, salah satunya pada diskusi terbuka melalui auto-base.3 Hal ini dipicu oleh sebuah menfess4 yang dikirim lewat akun @ULTIMATERPE, sebagai berikut:

G

Gambar 4. Tangkapan Layar Menfess yang Diunggah oleh @ULTIMATERPE (Dokumentasi pribadi, Agustus 2019) ‘Cuitan’ (tweet) tersebut memicu

beragam respons pada kolom ‘balasan’ (reply), baik pro, kontra, maupun netral. Beberapa respons menunjukkan adanya

Page 9: Ideologi Bahasa dan Diskursus Identitas dalam Permainan ...

ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 42 NO. 1 2021

9

kesamaan opini bahwa bermain roleplay bagi sebagian orang bukanlah untuk membuat orang lain terkesan (impress), tetapi untuk mengekspresikan diri (express) melalui permainan kata, sehingga ‘mengolok-olok’ diks orang lain merupakan tindakan yang tidak dapat dibenarkan. Kubu kontra biasanya menyebut diksi yang tidak umum ini sebagai ‘fancy words’ atau ‘thesaurus words’ karena adanya anggapan bahwa kata-kata sulit tersebut didapatkan dengan cara mencari sinonim dari kata yang umum melalui laman kamus Thesaurus. Mereka mengkritik penempatan kata-kata yang tidak tepat. Muncul opini bahwa orang-orang yang menggunakan diksi sulit ini hanya melakukan ‘salin–tempel’ (copy–paste) kata-kata tersebut dan menampilkannya pada ‘cuitan’ atau profil tanpa memperhatikan struktur bahasa yang benar semata-mata agar bisa terlihat sebagai pemain roleplay yang pintar menulis (literate). Di sisi lain, sebagian orang berpendapat bahwa penggunaan diksi tidak umum dalam interaksi sehari-hari, terutama dalam menfess yang bertujuan untuk mencari teman baru, hanya akan membuat orang lain sulit memahami intensi pengirim, terlebih karena bahasa Inggris bukanlah bahasa ibu sebagian besar pemain roleplay di Twitter. Pandangan lebih netral terlihat pada respons yang menyebutkan bahwa kata-kata tidak umum bisa saja dipakai untuk keperluan menulis plot karena sifatnya yang serupa dengan menulis narasi, namun kurang cocok apabila digunakan dalam percakapan kasual.

Dalam konteks permainan roleplay, para pemain tidak hanya diharapkan memiliki pengetahuan gramatika dan perbendaharaan kata yang memadai untuk

bisa terlibat dalam perbincangan dan membangun hubungan dengan orang lain, tapi juga memahami situasi-situasi percakapan di mana mereka dapat mengaplikasikan pengetahuan mereka dalam derajat tertentu. Hal ini saya ketahui setelah melempar sebuah pertanyaan terkait peran struktur bahasa dan gaya mengetik (typing) dalam membangun pertemanan dengan sesama pemain roleplay melalui auto-base @ULTIMATERPE. Pertanyaan saya tersebut mendapatkan sejumlah balasan yang variatif.

Bagi sebagian orang, pengoperasian struktur bahasa merupakan aspek yang penting untuk menjelaskan konteks dan dimensi waktu dari percakapan karena struktur bahasa menyediakan kerangka dasar untuk berkomunikasi. Struktur bahasa memudahkan mereka untuk memahami pesan yang disampaikan oleh lawan bicara, sehingga percakapan dapat terus berlanjut. Interaksi terus-menerus, didukung dengan adanya kesalingan, mampu mempererat hubungan antarpihak—yang tadinya hanya sebatas kenalan menjadi teman, atau bahkan lebih dekat. Namun, mereka mengaku tidak semua orang yang mereka temui memiliki kemampuan gramatikal yang sama, bahkan mereka sendiri sering melakukan kesalahan penulisan ketika membalas ‘cuitan’ orang lain. Sebagian orang lainnya tidak mempermasalahkan kemampuan gramatikal dan gaya mengetik orang lain sama sekali selama pesan yang disampaikan dapat dicerna dan dimengerti dengan baik.

Karakteristik terakhir ideologi bahasa melekat pada penggunaannya secara produktif dalam kreasi dan representasi berbagai identitas sosial dan budaya. Dalam

Page 10: Ideologi Bahasa dan Diskursus Identitas dalam Permainan ...

ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 42 NO. 1 2021

10

hal ini, bahasa berperan dalam menaturalisasi batasan-batasan sosial melalui standar yang disepakati bersama. Menurut Kroskrity (2004:509), dalam sejumlah penelitian terkait ideologi bahasa dan pembentukan identitas nasional atau identitas etnis, persatuan dapat dicapai dengan adanya pola stratifikasi bahasa yang mengakibatkan subordinasi terhadap kelompok-kelompok yang tidak mengikuti standar tersebut. Hal ini terlihat pada munculnya diskursus mengenai identitas ‘pemain yang baik’ (decent roleplayer) yang tercipta melalui konteks-konteks percakapan dan cara pemain roleplay mempresentasikan dirinya kepada orang lain. Konstruksi identitas ‘pemain yang baik’ ini tentu tidak terlepas dari dikotomi ‘dalam konteks’ dan ‘luar konteks.’ Melalui diskursus ini, kelompok roleplay bilingual mendefinisikan dan menegosiasikan derajat ‘kepantasan’ serta merefleksikan diri mereka sebagai seorang pemain roleplay guna mencapai posisi tertentu dalam kelompok. Lebih dalam, hal ini akan dijelaskan pada bagian selanjutnya. ‘Pemain yang Baik:’ Sebuah Diskursus Identitas Problematika penggunaan bahasa dalam kelompok roleplay bilingual menghantarkan saya pada diskursus mengenai identitas ‘pemain yang baik’ (decent roleplayer). Secara harfiah, kata ‘decent’ dapat diartikan sebagai sesuatu yang ‘layak’ atau ‘pantas.’ Dalam konteks roleplay, istilah ini sering digunakan untuk menyebut pemain yang dianggap mampu mencerminkan karakter artis aslinya dengan akurat sehingga tidak jarang apa yang dilakukan pemain-pemain ini

kerap dijadikan standar oleh pemain lain. Oleh karena itu, saya berusaha untuk mengidentifikasi lebih lanjut kriteria seperti apa yang membentuk seorang ‘pemain yang baik.’

Layaknya sebuah pertunjukan, kriteria-kriteria ‘pemain yang baik’ merupakan aspek ‘personal front,’ yakni kekhasan-kekhasan yang dimiliki seorang pelakon yang diharapkan untuk selalu dipertunjukkan kemana pun ia pergi (Goffman, 1956:14), biasanya tersusun dari ragam stimulus yang membentuk penampilan (appearance) dan sikap (manner) pelakon tersebut. Kriteria pertama adalah penggunaan bahasa: pemain yang baik biasanya dapat memilih dan merangkai kata dalam bahasa Inggris dengan tepat. Liam menekankan bahwa pengetahuan tata bahasa yang tidak memadai dapat berpotensi merusak citra artis yang dimainkan karena dianggap terlalu memaksakan diri untuk mendapatkan validasi sebagai pemain yang baik ketika menulis.

‘Terus kalo gimana ya, the use of language bisa sih. Kayak, kadang RP Inggris tuh kalo grammar-nya agak gimana-gimana gitu kan kita juga kayak kadang ill-feel juga kan sebenernya. Kayak, ya we all still learn tapi jangan sampe bener-bener parah gitu maksain bahasa Inggrisnya. Itu kadang juga ngerusak karena artisnya kadang gak se-try hard itu lah.’ (Liam, 2019)

Kriteria selanjutnya adalah kemiripan dengan kepribadian artis yang dimainkan. Poin yang ditekankan dari kepantasan (decency) seorang pemain roleplay bukan hanya pada cara mereka mengetik atau berusaha menunjukkan kepada banyak orang jika diri mereka ‘relevan’ melalui konten-konten yang mereka unggah, melainkan

Page 11: Ideologi Bahasa dan Diskursus Identitas dalam Permainan ...

ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 42 NO. 1 2021

11

bagaimana mereka menginterpretasikan kepribadian dan kebiasaan artis yang mereka mainkan lalu menginkorporasikannya ke dalam tulisan untuk membangun citra semirip mungkin dengan artis tersebut. Namun, informan bernama Rico menegaskan bahwa interpretasi itu sendiri menjadi masalah yang pelik ketika citra yang ditampilkan seorang pemain roleplay dianggap tidak sesuai dengan artis aslinya sehingga dapat memberikan impresi yang tidak baik pada orang lain. Oleh karena itu, cara seorang pemain roleplay bertingkah laku dan membangun koneksi dengan orang lain turut menjadi poin penting bagi ‘pemain yang baik.’

[Rico] [5:43 PM] Decency is not only a matter of how someone types in a "cool" way gitu. Kayak ya tipikal rp decent jaman sekarang kan yang cool dan relatable 24/7 but imo it's far from that, mungkin iya dua faktor itu memengaruhi tapi yang paling penting itu how they try to act like the real idol misalnya nih aslinya si Zico kan dia tuh sangat loyal ke temen and not a cold person at all tapi rata rata rp zico milih buat jadi keren dan cold city namja when in fact Zico is all friendly and nice [Rico] [5:44 PM] That's not decency, malah orang jadi perceive karakter Zico asli kayak gitu dan malah ujungnya ruining the real idol's image (Rico, 2019)

Di sisi lain, mengimitasi sifat dan perilaku artis seutuhnya tentu merupakan hal yang sulit untuk dilakukan, sekalipun pemain roleplay telah melakukan penelusuran melalui berbagai macam media. Dalam hal ini, salah seorang informan mengatakan bahwa citra artis yang ia mainkan adalah kombinasi antara asumsi dan interpretasi terhadap kepribadian artis tersebut dengan kepribadian si pemain sendiri. Sebagai

contoh, seorang informan yang berperan sebagai Lucas WayV melihat Lucas sebagai seseorang yang humoris sehingga ia berusaha menyesuaikan selera humornya sendiri dengan selera humor Lucas untuk menghasilkan citra Lucas dengan merujuk pada versi dirinya. Dengan kata lain, konstruksi citra dalam permainan roleplay tidak hanya melibatkan proses imitasi berdasarkan asumsi dan interpretasi pemain terhadap karakter yang ia mainkan, tetapi juga elaborasi kepribadian pemain dengan karakter artis tersebut.

‘Tapi kayak gimana ya… dia tuh bisa ngebawain portrayalnya tuh nggak cuma mirip, soalnya kalo dibilang mirip mah itu RP bot ya, pasti itu kan mirip-mirip. Tapi kalo ini tuh gimana dia bisa ngebawain trait dia ke dalam karakter dia gitu. Jadi, kayak gimana ya, kayak misalnya Lucas tuh emang lucu gitu ya, tapi gue yakin dia ngelenongnya, maksudnya ngelucunya itu nggak sereceh gue gitu misalnya. Tapi gue bisa ngebawain image Lucas itu receh. It doesn’t effect much gitu loh, karena orang ngeliat oh Lucas emang receh gitu. Cuma gue tetep ngebawain recehnya Lucas dengan cara gue, ada head cannon gue sendiri gitu loh. Jadi portrayalnya itu juga based on my assumption about Lucas gitu, jadi emang nggak fully Lucas emang kayak gitu, nggak.’ (Liam, 2019)

Dalam hal ini, praktik bahasa yang dilakukan oleh kelompok roleplay bilingual dapat dilihat melalui ‘kerangka permainan’ (play frame). Lytra (2007 dalam Jaworska, 2014:58) mendefinisikan ‘kerangka permainan’ sebagai ‘performance that is “bound by convention,” but at the same time, is open to variability and innovation.’ ‘Kerangka permainan’ memungkinkan para pelaku untuk memanipulasi norma-norma bahasa dan kebiasaan berbahasa secara

Page 12: Ideologi Bahasa dan Diskursus Identitas dalam Permainan ...

ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 42 NO. 1 2021

12

kreatif untuk merekonfigurasi berbagai hubungan dan peran sosial serta untuk menciptakan klaim terhadap identitas tertentu (Jaworska, 2014:59).

Percakapan dalam ‘kerangka permainan’ (play frame) merupakan sebuah ‘pertunjukan’ (performance) yang sangat terkontekstualisasi, sehingga sulit dimengerti di luar konteks interaksi tersebut (Coates, 2007 dalam Jaworska, 2014). Kreativitas juga terlihat dari cara pemain roleplay bilingual mengoperasikan apa yang disebut oleh Jaworska (2014:60) sebagai ‘kode ketiga’ (third code), yakni pencampuran unik antara elemen-elemen dan aturan-aturan yang melandasi kode-kode yang tersedia bagi pengguna, tetapi akan sulit dimengerti bahkan oleh penutur bilingual lain apabila dipisahkan dari konteks penggunaannya.

Bagaimana kelompok roleplay memikirkan, menilai, serta mempraktikkan bahasa memperlihatkan bahwa keterlibatan seseorang dalam komunitasnya tidak hanya membutuhkan ‘kompetensi berbahasa’ (linguistic competence), yakni pengetahuan mengenai aturan-aturan gramatika dalam bahasa yang didapatkan seseorang pada masa kanak-kanak, tetapi juga ‘kompetensi berkomunikasi’ (communicative competence), yakni pengetahuan mengenai apa yang pantas dan tidak pantas untuk diucapkan dalam konteks budaya yang spesifik (Salzmann, dkk., 2012). Konsep ‘kompetensi berbahasa’ pertama kali muncul dari kajian linguistik murni yang dicetuskan oleh Noam Chomsky, di mana bahasa dilihat sebagai sebuah sistem kognisi mengenai aturan bahasa yang terpisah dari praktik (performance) (dalam Ahearn, 2011:9). Pemikiran serupa juga disampaikan oleh de

Saussure melalui konsep langue (sistem bahasa) dan parole (praktik ujaran). Meski begitu, pendekatan ini membuat fokus terhadap sistem bahasa menjadi dominan sehingga praktiknya terabaikan.

Dalam konteks permainan roleplay, menjadi seorang pemain yang dianggap ‘pantas’ (decent) tidak hanya ditentukan oleh semahir apa seseorang menggunakan kata-kata dan menjalinnya dalam struktur kalimat, tetapi bagaimana mereka mengoperasikan bahasa dan memosisikan diri sesuai dengan konteks-konteks sosial yang ada. Oleh sebab itu, mengacu pada argumen Dell Hymes (1962:16) terkait ‘etnografi wicara’ (etnography of speaking)—yang kemudian disempurnakan menjadi ‘etnografi komunikasi’ (ethnography of communication)—tulisan ini menekankan bahwa dalam mempelajari bahasa, penting untuk meletakkan perhatian pada percakapan sebagai tindakan yang di dalamnya mencakup situasi dan penggunaan, pola, serta fungsi dalam masyarakat. Kesimpulan Media sosial memberikan arena bagi kelompok roleplay bilingual untuk mengembangkan nilai, aturan, serta praktik bahasa melalui interaksi sehari-hari dalam rangka mencapai tujuan bersama. Penggunaan bahasa dalam berbagai bentuk percakapan di antara para pemain roleplay bilingual merupakan manifestasi dari CMD (computer mediated discourse) yang pada praktiknya tidak hanya mempersoalkan bagaimana bahasa sebagai percakapan bekerja dalam memainkan peran, tetapi juga mengonstruksi serta menegosiasi identitas pemain roleplay dalam komunitasnya di media sosial. Diskursus utama yang menjadi

Page 13: Ideologi Bahasa dan Diskursus Identitas dalam Permainan ...

ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 42 NO. 1 2021

13

sorotan adalah dikotomi ‘dalam konteks’ (in-context) dan ‘luar konteks’ (out-of-context). Kelompok roleplay bilingual mempraktikkan bahasa secara kreatif dengan memanipulasi aturan-aturan berbahasa yang konvensional dengan memanfaatkan sumber-sumber linguistik yang tersedia di media sosial serta melakukan alih kode dalam konteks percakapan yang berbeda.

Terciptanya kode-kode tersebut turut dipengaruhi oleh adanya ideologi bahasa yang membedakan persepsi para pemain roleplay bilingual terhadap penggunaan bahasa Indonesia dan Inggris dalam aktivitas mereka. Dalam hal ini, bahasa bukan hanya berperan sebagai alat untuk mengekspresikan identitas, tetapi juga sebagai praktik di mana identitas itu muncul dan bekerja. Berangkat dari dikotomi ‘dalam konteks’ dan ‘luar konteks,’ agar dapat dipandang sebagai ‘pemain yang baik’ (decent roleplayer), seseorang harus mampu menyeimbangkan penggunaan bahasa Inggris dan Indonesia sesuai dengan konteks percakapan yang ada.

Pengonsepsian mengenai bahasa kemudian berakibat pada pengonsepsian mengenai identitas interpretan. Pembentukan

identitas ini tidak lepas dengan cara masing-masing pemain mengartikulasi kepribadian artis yang mereka mainkan dan menyelaraskannya dengan kepribadian mereka sendiri, karena pada hakikatnya mereka tidak bisa sepenuhnya lepas dari jati diri mereka sebagai pemain untuk menjadi cerminan dari artis tersebut. Validasi terhadap identitas ‘pemain yang baik’ terjadi secara dua arah, yakni pengakuan yang datang dari hubungan antara individu dengan kelompok serta yang datang dari diri individu yang di dalamnya terdapat subjektivitas dan proses refleksi dalam melihat diri sendiri, orang lain, serta dunianya.

Saya berharap tulisan ini dapat menghantarkan kajian-kajian selanjutnya mengenai permainan roleplay dari perspektif lain, misalnya organisasi sosial. Oleh karena, tulisan ini secara khusus tidak membahas unit-unit penyusun permainan roleplay seperti agency, squad, dan family sebagai aktor yang saling mengonstruksi jejaring. Ketiga unit dalam permainan roleplay tersebut cukup menarik untuk ditelusuri lebih lanjut dalam rangka memperkaya khazanah mengenai organisasi sosial berbasis daring.

Page 14: Ideologi Bahasa dan Diskursus Identitas dalam Permainan ...

ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 42 NO. 1 2021

14

Referensi

Achsa, Hatmi Prawita

2015 ‘Representasi Diri dan Identitas Virtual Pelaku Roleplay dalam Dunia Maya,’ Paradigma 3(3):1-12.

Agustina, Riviana Dwi

2018 ‘Cyberlove: Romantisme Avatar Selebriti Korea dalam Permainan Roleplay.’ Depok: Universitas Indonesia.

Ahearn, Laura M.

2011 Living Language: An Introduction to Linguistic Anthropology. Hoboken: John Wiley & Sons, Incorporated.

Crystal, David

2004 Language and the Internet. Cambridge: Cambridge University Press.

Goffman, Erving.

1956 The Presentation of Self in Everday Life. Garden City, N.Y.: Doubleday.

Gray, Jonathan, dkk.

2017 Fandom: Identities and Communities in a Mediated World. New York: New York University Press.

Jaworska, Sylvia

2014 ‘Playful Language Alternation in An Online Discussion Forum: The Example of Digital Code Plays,’ Journal of Pragmatics 71:56-68.

Jung, Sun dan Doobo Shim

2014 ‘Social Distribution: K-Pop Fan Practices in Indonesia and the Gangnam Style Phenomenon,’ International Journal of Cultural Studies 17(15):485-501.

Kroskrity, Paul V.

2004 ‘Ideologi Bahasa,’ dalam Alessandro Duranti (peny.), A Companion to Linguistic Anthropology. Blackwell Publishing Ltd. Pp. 496-517.

Kuswana, Desi

2014 ‘Performative Ritual dalam Permainan Role-Play di Media Sosial Twitter.’ Depok: Universitas Indonesia.

Salzmann, Zdenek, dkk.

2012 ‘Ethnography of Communication,’ dalam Language, Culture, and Society, An Introduction to Linguistic Anthropology, 5th Edition. Boulder: Westview Press. Pp. 185-204.

Page 15: Ideologi Bahasa dan Diskursus Identitas dalam Permainan ...

ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 42 NO. 1 2021

15

Saville-Troike, Muriel

2003 The Ethnography of Communication: An Introduction. Oxford: Blackwell Publishing.

Swales, John

1990 ‘The Concept of Discourse Community,’ dalam Genre Analysis: English in Academics and Research Settings. Boston: Cambridge University Press. Pp. 21-32.