IDENTITAS DIALEK BANYUMASAN SEBAGAI SEBUAH …/Identitas... · Purbalingga, Banyumas, Cilacap dan...
Transcript of IDENTITAS DIALEK BANYUMASAN SEBAGAI SEBUAH …/Identitas... · Purbalingga, Banyumas, Cilacap dan...
1
IDENTITAS DIALEK BANYUMASAN
SEBAGAI SEBUAH KONSTRUKSI BUDAYA
(Studi Penggunaan Dialek Banyumasan di Kalangan Mahasiswa Asli
Banyumasan Yang Belajar di Universitas Sebelas Maret, Surakarta
Tahun 2009)
SKRIPSI
Oleh :
MEIDAWATI SUSWANDARI
K8405024
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2009
2
IDENTITAS DIALEK BANYUMASAN
SEBAGAI SEBUAH KONSTRUKSI BUDAYA
(Studi Penggunaan Dialek Banyumasan di Kalangan Mahasiswa Asli
Banyumasan Yang Belajar di Universitas Sebelas Maret, Surakarta
Tahun 2009)
Oleh :
MEIDAWATI SUSWANDARI
K8405024
SKRIPSI
Ditulis dan diajukan untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Sarjana
Pendidikan Program Studi Pendidikan Sosiologi Antropologi Jurusan Pendidikan
Ilmu Pengetahuan Sosial
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2009
3
ABSTRAK
Meidawati Suswandari, Identitas Dialek Banyumasan Sebagai Sebuah Konstruksi Budaya (Studi Penggunaan Dialek Banyumasan di Kalangan Mahasiswa Asli Banyumasan Yang Belajar di Universitas Sebelas Maret, Surakarta) Tahun 2009. Skripsi. Surakarta : Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret, 2009.
Penelitian ini bertujuan untuk menggali data dan informasi tentang dialek banyumasan menjadi suatu bentuk identitas kedaerahan yang dikonstruksi dan dinegosiasikan, dilihat dari a).persepsi mahasiswa asli banyumasan terhadap dialek banyumasan dalam pergaulan sehari-hari, b).adanya lingkungan yang berpengaruh dalam mempertahankan identitas kedaerahan, c).upaya mahasiswa asli banyumasan dalam mempertahankan identitas kedaerahan (khususnya dialek banyumasan). Penelitian ini menggunakan metode pendekatan deskriptif kualitatif. Sumber data didapat dari subjek penelitian yaitu mahasiswa asli banyumasan yang belajar di Universitas Sebelas Maret, Surakarta baik di lingkungan kos ataupun di lingkungan sekitar kampus. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi partisipasi dan wawancara mendalam. Teknik pengambilan informan meliputi informan kunci dan informan pendukung. Teknik analisis data yang digunakan adalah model analisis interaktif.
Berdasarkan hasil penelitian, disimpulkan konstruksi identitas dialek banyumasan yang diambil dari teori Anthony Giddens meliputi 4 pernyataan. Pertama, bermula dari persepsi yang berisi stereotip tertentu tentang dialek banyumasan. Stereotip yang telah muncul sebelumnya, memberikan gambaran pada mahasiswa asli banyumasan dan mahasiswa luar banyumasan tentang dialek banyumasan. Persepsi yang muncul seperti dialek banyumasan dianggap sebagai dialek masyarakat bawah dan kadang masih dianggap ndeso dan katro. Kedua, adanya penanaman persepsi tersebut, mengarah pada faktor pemilihan dialek banyumasan di kalangan mahasiswa asli banyumasan. Mahasiswa asli banyumasan melakukan pemilihan dialek karena kedekatan emosional yang secara nalar dan emosional. Ketiga, mahasiswa asli banyumasan yang telah memilih dalam penggunaan dialek merupakan proses yang dinegosiasikan dan berlangsung secara rutinitas. Keempat, disisi lain, lingkungan kos dan kampus juga berperan dalam konstruksi identitas dialek banyumasan. Identitas dibentuk dan dibangun berdasarkan lingkungan kos dan kampus yang sifatnya homogen (mayoritas mahasiswa asli banyumasan) dan heterogen (mayoritas mahasiswa luar banyumasan). Dialek banyumasan akan mengalami eksis pada saat berada di wilayah induknya yaitu sekitar BARLINGMASCAKEB (Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap dan Kebumen). Akan tetapi pada saat keluar wilayah BARLINGMASCAKEB (terutama di lingkungan UNS), dialek banyumasan mengalami pergeseran dialek meliputi dialek modifikasi antara dialek banyumasan dengan dialek Solo (Jawa alus), antara dialek banyumasan dengan Bahasa Indonesia, ataupun antara tiga bahasa yaitu dialek banyumasan, dialek Solo dan Bahasa Indonesia.
4
ABSTRACT
Meidawati Suswandari. Banyumasan Dialect Identity as a Culture Construction (A Study of The Use of Banyumasan Dialect in Banyumasan Origin Student Civitas Who Are Taking Course in Sebelas Maret University, Surakarta) 2009. Thesis. Surakarta: Teaching Faculty And Education Science of Sebelas Maret University-Surakarta, 2009. This research has aim to explore any data and information about banyumasan dialects as becoming a local identity form which is constructed and negotiated, seen from a). banyumasan origin student’s perception toward banyumasan dialect in day-to-day socialization, b) there is a environment which has influence in maintaining local identity, c) banyumasan origin student’s effort in maintaining local identity (especially banyumasan dialect). This research uses qualitative descriptive approach method. The data source is taken from research subject that is banyumasan origin students taking course in Sebelas Maret University, Surakarta both around boarding house or around campus’ environment. The data collection method used is participation observation and deep interview. The technique of taking tke informant such as key informant and supporting informant. The technique of data analysis used is interactive analysis model. Based on the research finding, it is concluded that the identity construction of banyumasan dialect from Anthony Giddens there are four statement. First, it is started from the perception containing certain stereotype about banyumasan dialect. The previous occurring perception give a picture to banyumasan-native student and outside-banyumasan student about banyumasan dialect. Second, the existing perception for example is that banyumasan dialect is considered a low-class society’s dialect and it is sometimes considered ndeso (countrified dialect) and katro (plebeian dialect). The existence of above perception directs toward the selection factor of banyumasan dialect in the civitas of banyumasan origin students. The banyumasan origin do the selection of the dialect because of a emotional and logical emotion closeness. Third, the banyumasan origin student who has chosen toward the use of dialect is a process that is negotiated and going on as a routine. Four, in other hand, the boarding house and campus environment also has a role in the construction of banyumasan dialect construction. The identity is constructed and built based on boarding house and campus environment which is homogenous (the majority is banyumasan origin student) and heterogeneous (the majority is outside-banyumasan student). The banyumasan dialect will experience existence when it is in its host area that is around BARLINGMASCAKEB (Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap, dan Kebumen). Nevertheless, when it is outside the BARLINGMASCAKEB area (especially UNS area), the banyumasan dialect experiences dialect shift covering dialect modification between banyumasan dialect with Solo dialect (Smooth Jawa), between banyumasan dialect with Indonesian, as well as three dialect that are banyumasan dialect, Solo dialect, and Indonesian.
5
PERSETUJUAN
Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji
Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
Surakarta, Juli 2009
Pembimbing I Pembimbing II
Drs. Basuki Haryono, M.Pd Atik Catur Budiati, S.Sos, M.A.
NIP. 19500225 197501 1 002 NIP. 132 308 880
6
PENGESAHAN
Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima
untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.
Pada hari :
Tanggal :
Tim Penguji Skripsi :
Nama Terang Tanda Tangan
Ketua : Drs. M.H. Sukarno, M.Pd 1. ...................
NIP. 19510601 197903 1 001
Sekretaris : Drs. Haryono, M.Si 2. ...................
NIP. 130 906 771
Anggota I : Drs. Basuki Haryono, M.Pd 3. ....................
NIP. 19500225 197501 1 002
Anggota II : Atik Catur Budiati, S.Sos, M.A 4. ....................
NIP. 132 308 880
Disahkan oleh
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sebelas Maret
Dekan,
Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd
NIP. 19600727 198702 1 001
7
MOTTO
Bahasa Mewujudkan Tingkah Laku Seseorang
(Lindha Thomas)
Bersatu Kita Kompak, Berkata Kita Ngapak
(Anonim)
Bahasa Ibarat Raga Tanpa jiwa
(Penulis)
8
PERSEMBAHAN
Karya ini dipersembahkan
Kepada :
v Ayah dan Ibu tercinta.
v Kakak dan adikku.
v Teman-teman angkatan 2005.
v Almamater.
9
KATA PENGANTAR
Puji syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat
dan hidayah-Nya skripsi ini dapat terselesaikan pada waktunya untuk memenuhi
sebagian persyaratan dalam mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan. Skripsi berisi
tentang pendeskripsian konstruksi identitas dialek banyumasan di lingkungan
UNS yang dikaji dari teori Anthony Giddens.
Banyak hambatan dan rintangan yang cukup menimbulkan kesulitan
dalam penyelesaian skripsi ini, namun berkat bantuan dari berbagai pihak
akhirnya kesulitan-kesulitan yang muncul dapat teratasi. Untuk itu, ucapan terima
kasih peneliti haturkan atas segala bantuannya kepada yang terhormat :
1. Bapak Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd selaku Dekan Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Bapak Drs. Saiful Bachri, M.Pd selaku Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu
Pengetahuan Sosial FKIP UNS.
3. Bapak Drs. H. MH. Sukarno, M.Pd selaku Ketua Program Studi Pendidikan
Sosiologi-Antropologi FKIP UNS.
4. Bapak Drs. Basuki Haryono, M.Pd sebagai Pembimbing I yang senantiasa
memberikan dukungan dalam penyusunan skripsi ini.
5. Ibu Atik Catur Budiati, S.Sos, M.A sebagai Pembimbing II yang memberikan
ide dan masukan serta bimbingannya dalam penyusunan skripsi.
6. Ibu Siany Indria L, S.Ant, M.Hum sebagai Pembimbing Akademik.
7. Seluruh Dewan Dosen Pendidikan Sosiologi-Antropologi FKIP UNS.
8. Serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang turut
membantu baik dari rekan-rekan informan maupun rekan-rekan yang lainnya.
Peneliti dalam hal ini juga menyadari bahwa skripsi yang telah disusun
masih terdapat kekurangan. Namun, diharapkan skripsi ini dapat bermanfaat bagi
perkembangan ilmu pengetahuan khususnya bidang sosial.
Surakarta, Juli 2009
Peneliti
10
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...............................................................................................i
HALAMAN PENGAJUAN .................................................................................. ii
ABSTRAK ............................................................................................................ iii
ABSTRACT ...........................................................................................................iv
PERSETUJUAN.....................................................................................................v
PENGESAHAN .....................................................................................................vi
MOTTO ............................................................................................................... vii
PERSEMBAHAN............................................................................................... viii
KATA PENGANTAR...........................................................................................ix
DAFTAR ISI...........................................................................................................x
DAFTAR TABEL .............................................................................................. xiii
DAFTAR GAMBAR...........................................................................................xiv
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................xv
BAB I . PENDAHULUAN
A. Belakang Masalah ...........................................................................................1
B. Rumusan Masalah ...........................................................................................6
C. Tujuan Penelitian.............................................................................................6
D. Manfaat Penelitian...........................................................................................7
BAB II. LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka ..............................................................................................8
1. Perkembangan Kebudayaan Masyarakat Indonesia ...............................8
a. Kebudayaan Masyarakat Indonesia di Era Orde Baru ........................11
b. Kebudayaan Masyarakat Indonesia di Era Reformasi........................13
2. Bahasa Sebagai Unsur Budaya ..............................................................15
a. Bahasa dan Dialek...............................................................................17
b. Dialek Banyumasan dan Perkembangannya.......................................23
3. Identitas Kedaerahan Sebagai Sebuah Konstruksi Budaya ...................26
a. Identitas...............................................................................................26
b. Bahasa, Identitas Kedaerahan dan Konstruksi Budaya ......................29
11
B. Kerangka Berpikir .....................................................................................34
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian ....................................................................37
1. Tempat Penelitian ..................................................................................37
2. Waktu Penelitian....................................................................................38
B. Bentuk dan Strategi Penelitian ...................................................................38
1. Bentuk Penelitian ...................................................................................38
2. Strategi Penelitian ..................................................................................40
C. Sumber Data ...............................................................................................42
D. Teknik Pengambilan Informan...................................................................45
E. Teknik Pengumpulan Data .........................................................................45
F. Validitas Data .............................................................................................48
G. Analisis Data ..............................................................................................50
H. Prosedur Penelitian.....................................................................................51
BAB IV. LAPORAN DAN ANALISIS PENELITIAN
A. Deskripsi Lokasi Penelitian........................................................................54
1. Lingkungan Kos Sekitar UNS ...............................................................54
2. Lingkungan Kampus UNS.....................................................................55
B. Deskripsi Data Penelitian ...........................................................................57
1. Penggunaan Dialek Banyumasan di Kalangan Mahasiswa Asli
Banyumasan.........................................................................................58
a. Persepsi tentang Dialek Banyumasan 58
b. Peran Dialek Banyumasan bagi Mahasiswa Asli Banyumasan ........62
c. Pemilihan Penggunaan Dialek di Kalangan Mahasiswa Asli
Banyumasan ......................................................................................63
2. Pengaruh Lingkungan dalam Mempertahankan Identitas Kedaerahan .64
a. Penggunaan Dialek Banyumasan di Kos ..........................................64
b. Penggunaan Dialek Banyumasan di Kampus ...................................67
3. Upaya Pelestarian Dialek Banyumasan .................................................72
a. Komunitas Banyumasan....................................................................72
b. Upaya Secara Individu......................................................................73
12
C. Pembahasan dan Analisis Hasil Penelitian.................................................73
1. Terbentuknya Identitas Dialek Banyumasan Melalui Stereotip ............79
2. Pemilihan Penggunaan Dialek Secara Nalar dan Emosional.................83
3. Rutinitas Berdialek di Kalangan Mahasiswa Asli Banyumasan............86
4. Lingkungan Sebagai Determinasi Dialek Banyumasan.........................88
BAB V. SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN
A. Simpulan.....................................................................................................96
B. Implikasi.....................................................................................................98
1. Implikasi Teoritis ...................................................................................98
2. Implikasi Praktis ....................................................................................99
C. Saran.........................................................................................................100
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................101
LAMPIRAN-LAMPIRAN ...............................................................................103
13
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Waktu Penelitian……………………………………………………… 38
14
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Alur berpikir Konstruksi Identitas Dialek Banyumasan......................36
Gambar 2. Komponen-Komponen Analisis Data Model Interaktif.......................51
15
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Perijinan Menyusun Skripsi.............................................................104
Lampiran 2. Data Mahasiswa UNS tahun 2005-2008.........................................106
Lampiran 3. Interview Guide dan Observasi........................................................128
Lampiran 4. Fieldnote ..........................................................................................129
Lampiran 5. Matriks Hasil Penelitian Mahasiswa Asli Banyumasan ..................165
Lampiran 6. Matriks Hasil Penelitian Mahasiswa Luar Banyumasan.................179
Lampiran 7. Matriks Hasil Penelitian dan Teori..................................................180
Lampiran 8. FotoPenelitian..................................................................................185
Lampiran 9. Curiculum Vitae...............................................................................187
16
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang plural. Hal ini
ditandai dengan kemajemukan masyarakat Indonesia yang penduduknya terdiri
dari berbagai suku bangsa dan golongan sosial yang berbeda. Mereka hidup dalam
satuan kelompoknya masing-masing yang tidak hanya beraneka ragam suku-
bangsa, juga beragamnya agama yang dianut. Namun, mengenai jumlah suku-
bangsa itu ternyata terdapat perbedaan dari para ahli ilmu sosial. Menurut
Koentjaraningrat (1979:21-34), bahwa watak majemuk secara sosio-kultural
masyarakat Indonesia adalah terdiri atas bangsa yang bersuku-suku dengan cara
hidup bermasyarakat dan berbudaya, adat istiadat serta 300 lebih dialek lokal,
hidup di atas lebih kurang 17 ribu pulau-pulau yang membentang dari Sabang ke
Merauke serta dari Zulu ke Pulau Rote.
Dalam wilayah nusantara yang berpulau-pulau tersebut, bahasa nasional
yaitu bahasa Indonesia adalah lambang semangat kebangsaan, alat menyatukan
berbagai masyarakat yang berbeda latar belakang kebudayaan, kesukuan dan
kebahasaan kedalam satu masyarakat Indonesia antar suku, antar daerah dan antar
budaya. Hal ini sudah ada pada tahun 1928, para pemuda menyelenggarakan
kongres pemuda yang terkenal dengan Sumpah Pemuda yang menghasilkan
kesepakatan secara ideologis, yaitu satu tanah air, tanah air Indonesia; satu
bangsa, bangsa Indonesia; dan satu bahasa, bahasa persatuan bahasa Indonesia.
Walaupun telah ada di atas, tetapi bahasa-bahasa lokal yang ada pada setiap suku
bangsa atau setiap daerah tertentu, tetap hidup subur dan terjamin eksistensinya
hingga sekarang ini. Karena bahasa-bahasa lokal seperti bahasa Jawa dan bahasa
banyumasan, dapat memperkaya khasanah bahasa persatuan yaitu bahasa
Indonesia.
Mahasiswa yang belajar secara berkesinambungan dalam menempuh
pendidikan hingga ke luar daerah tempat tinggalnya dan menjadi tantangan
tersendiri bagi mahasiswa untuk lebih memperluas wawasan dalam ilmu
17
pengetahuan. Salah satu arena untuk memperluas ilmu pengetahuan adalah
melalui pendidikan. Pendidikan merupakan jalur seseorang untuk mempersiapkan
anggotanya menjadi warga yang terampil dan bertanggung jawab berupa
penanaman dan pengukuhan norma sosial dan nilai-nilai budaya yang berlaku di
suatu masyarakat. Pendidikan membuka peluang kreativitas inovatif yang
membekali peserta didik yang menghantar seseorang untuk meniti jenjang kerja
membuka peluang bagi mobilitas sosial yang bersangkutan.
Apabila kita berbicara menyangkut mobilitas sosial, biasanya kita
berpikir tentang perpindahan dari suatu tingkat yang rendah ke suatu tingkat yang
lebih tinggi. Akan tetapi, mobilitas dapat berlangsung dalam dua arah.
Sebagaimana orang berhasil mencapai status yang tinggi, namun beberapa orang
mengalami kegagalan, dan selebihnya tetap tinggal pada tingkat status yang
dimiliki oleh orang tua mereka, bahkan turun lebih rendah daripada itu. Mobilitas
jenis di atas merupakan bentuk mobilitas dalam lingkup antar generasi yakni kita
bisa membandingkan status pekerjaan ayah dan anak, selain itu kita juga bisa
mengetahui sampai sejauh mana sang anak mengikuti jejak sang ayah dalam hal
pekerjaan. Mobilitas juga bisa ditelaah dari segi gerak intragenerasi, yakni kita
bisa mengukur sejauh mana individu yang sama mengalami perubahan sosial
dalam masa hidupnya. Kekuatan perubahan sosial yang amat besar dapat
menumbuhkan kreativitas peserta didik untuk mengembangkan pembaharuan
(innovation) dalam meningkatkan kesejahteraan hidup seseorang. Bahkan dalam
masyarakat majemuk Indonesia dengan multikulturnya. Pendidikan mempunyai
fungsi sebagai sarana integrasi bangsa yang menanamkan saling pengertian dan
penghormatan terhadap sesama warga negara tanpa membedakan asal-usul dan
latar belakang sosial-budaya, kesukubangsaan, keagamaan, kedaerahan dan rasial.
Berdasarkan latar belakang sosial budaya yang berbeda, mahasiswa yang
belajar untuk mencari ilmu yang bersifat akademik, mereka juga dituntut untuk
bersosialisasi dengan kehidupan sosial dan budaya tersebut. Sosialisasi dapat
berupa penyesuaian diri atau proses pembelajaran tentang kebiasaan masyarakat
setempat dengan harapan dapat diterima dan sesuai aturan serta norma yang
berlaku di daerah tersebut. Bahkan untuk mendalami lebih jauh tentang nilai,
18
sikap, budaya dan kehidupan sosial dalam suatu masyarakat yang didatangi,
mengharuskan mereka untuk belajar bahasa setempat. Hal ini bertujuan untuk
lebih mudah memahami dan mampu berbaur secara cepat dengan masyarakat
setempat.
Mempelajari bahasa setempat merupakan salah satu unsur pendukung
berjalannya proses komunikasi atau penyampaian pesan, baik antara seorang
individu dengan individu lainnya ataupun antara individu dengan sekelompok
masyarakat. Bahasa menjadi salah satu kekuatan bangsa dari suku bangsa yang
besar dengan berjuta-juta penduduk yang akan melahirkan variasi tentang
perbedaan daerah secara geografi maupun kehidupan sosial budaya yang beragam
pula. Sementara dialek-dialeknya merupakan alat subetnis yang harus dipelihara
keberadaannya sebagai pendukung dan pemerkaya bahasa Jawa standar.
Dalam bahasa daerah khususnya bahasa Jawa standar terdapat
perbedaaan logat atau pengucapan oleh para penuturnya, yang biasa disebut
dengan dialek (dialect). Pengucapan dialek bahasa Jawa yang diucapkan orang
Jawa seperti Purwokerto (Banyumas), Tegal, Surakarta, atau Surabaya memiliki
ciri khas masing-masing. Salah satu dialek yang memiliki kekhasan dalam
pengucapan vocal ‘a’ yang sangat mantap, tegas, lugas dan tidak setengah-tengah
yaitu dialek Banyumasan atau yang biasa disebut dialek ngapak.
Namun eksistensi dialek banyumasan oleh para penutur aslinya terutama
di kalangan mahasiswa asli banyumasan sudah secara tidak utuh menggunakan
bahasa ibu mereka. Penggunaan dialek banyumasan yang mulai mengalami
pergeseran dikalangan mahasiswa asli banyumasan terlihat adanya penggunaan
dialek banyumasan dengan bahasa campuran seperti menyisipi kata-kata atau
istilah asing atau bahasa lain yang dianggap lebih gaul serta ada pula yang sama
sekali menghilangkan bahasa asal dengan beralih bahasa Indonesia sebagai bahasa
pemersatu dan bahasa yang lebih mudah dipahami.
Gambaran secara langsung penulis rasakan ketika suatu saat berbincang
dengan kakak tingkat di kampus. Ketika sudah banyak bercakap-cakap,
mahasiswa tersebut sangat fasih dengan bahasa Indonesia. Mahasiswa tersebut
bukan berasal dari warga Jakarta dan sekitarnya, namun berasal dari asli
19
banyumasan. Dalam hal ini, dialek banyumasan sudah tidak dipergunakannya
dalam berkomunikasi.
Dari fenomena tersebut, mengidentifikasikan faktor penutur dari generasi
muda dengan dipengaruhi faktor lingkungan seperti faktor geografis, faktor sosial
dan faktor budaya yang menjadikan dialek banyumasan mengalami pergeseran.
Selain itu, perasaan gengsi atau karena tidak mau dianggap sebagai orang tidak
modern, yang kemudian menjadikan para mahasiswa semakin beralih bahasa
sehari-hari dengan bahasa yang tidak secara utuh berdialek banyumasan.
Bangsa Indonesia yang terdiri dari banyak suku bangsa akan
menimbulkan konsekuensi terkait dengan bahasa daerah yang digunakan oleh
masing-masing suku bangsa tersebut. Maka, sangat penting bahasa daerah perlu
terus dibina dan dilestarikan. Salah satu wujud dalam melestarikan bahasa daerah
khususnya bahasa Jawa yang berdialek banyumasan adalah adanya komunitas
mahasiswa yang asli banyumasan, yaitu seperti Kepamba yang merupakan secara
umum bagi mahasiswa asli se-eks Karesidenan Banyumas (Banjarnegara,
Purbalingga, Banyumas, Cilacap, Kebumen), Kecap (mahasiswa yang hanya
berasal dari Cilacap), Kluban (kelompok mahasiswa Banyumas), Fosimba (forum
komunikasi mahasiswa Banjarnegara), dan Kemangga (Forum komunikasi
mahasiswa Purbalingga).
Sedangkan, penutur dialek banyumasan berjumlah 12 juta sampai 15 juta
penduduk. Dialek banyumasan yang memiliki karakter vokal dominan "a" itu lahir
lebih dahulu dibandingkan bahasa "wetan" (keratonan), yang karakter vokal
dominan "o" (Anonim, 2006). Menurut Achmad Tohari seiring perkembangan
zaman, jumlah penutur dialek banyumasan secara berangsur-angsur terancam
karena semakin sedikitnya penutur yang secara utuh berdialek banyumasan. Hal
ini dikarenakan, masyarakat banyumasan ada yang menganggap rendah dan malu
menggunakan bahasanya sendiri dan lebih memilih menggunakan bahasa daerah
lain, seperti Solo dan Yogyakarta yang dianggap lebih halus dan berperadaban
(sumber : wawancara 19 November 2008).
Dialek banyumasan yang mengalami pergeseran oleh para penuturnya,
tidak terlepas dari proses konstruksi budaya yang dilabelkan oleh masyarakat luar
20
banyumasan. Mereka menganggap dalam pengucapan atau logat pada dialek
banyumasan memiliki karakteristik yang berbeda dari yang lain karena kadang
dianggap sebagai bahasa yang kasar dan tidak memiliki unggah-ungguh (sopan
santun). Hal inilah yang mengidentikkan dialek banyumasan sebagai bahasa
pelawak (guyonan) dan bahasa kaum lapisan bawah (rakyat jelata).
Contoh sebuah kasus dalam dunia hiburan, dialek dijadikan peluang yang
besar bagi para komedian untuk menjual kepamorannya dengan beberapa
kekhasan tertentu dengan menggunakan dialek tertentu pula. Fenomena ini secara
tidak sengaja menimbulkan identitas yang melekat pada seseorang dikarenakan
menggunakan dialek yang khas. Sebagai contoh Cici Tegal, meski dirinya bukan
asli dari Tegal, tetapi masyarakat memberikan icon atau identitas seorang
komedian dengan logat khas Tegalnya yang menjadikan penonton atau orang
yang mendengar pada saat dia melakon menjadi bahan tertawaan. Komedian yang
serupa juga terjadi pada aktor komedian Kadir dan Doyok dengan logat Madura,
serta Parto dengan dialek banyumasan.
Meski memunculkan identitas tertentu, secara tidak langsung terjadi
proses stereotip atau label sosial. Proses stereotip atau label sosial ini, dibentuk
atau dikontrusikan oleh masyarakat yang berada di luar komunitas atau penutur
suatu dialek, yang kemudian akan memberikan label tertentu dari suatu dialek.
Hal yang terjadi dalam pelabelan tentang dialek banyumasan, yang oleh
masyarakat luar banyumasan memberikan label atau penyebutan dengan bahasa
ngapak.
Anggapan lucu dialek banyumasan atau bahasa ngapak oleh orang luar
inilah yang kemudian menimbulkan perasaan malu serta menganggap rendah
budaya sendiri sebab bahasanya dinilai kasar dan menjadi bahan tertawaan.
Stereotip semacam ini yang kemudian berkembang di luar daerah banyumasan.
Pada akhirnya dialek banyumasan mengalami pergeseran oleh para penutur
aslinya.
Mengacu dari permasalahan di atas, pada kesempatan ini peneliti tertarik
melakukan penelitian tentang dialek banyumasan yang berkembang dikalangan
mahasiswa asli banyumasan yang belajar di Universitas Sebelas Maret (UNS)
21
dalam upaya mempertahankan dialek banyumasan sebagai identitas lokal atau
kedaerahan. Maka penelitian ini mengambil judul : ”IDENTITAS DIALEK
BANYUMASAN SEBAGAI SEBUAH KONSTRUKSI BUDAYA (Studi
Penggunaan Dialek Banyumasan di Kalangan Mahasiswa Asli Banyumasan
Yang Belajar di Universitas Sebelas Maret, Surakarta Tahun 2009)”
B. Rumusan Masalah
Mengacu pada latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah bagaimana konstruksi identitas budaya yang bersifat
kedaerahan dalam dialek banyumasan dibentuk dan dinegosiasikan, dilihat dari :
a. bagaimana persepsi mahasiswa asli banyumasan terhadap dialek banyumasan
dalam pergaulan sehari-hari ?,
b. bagaimana pengaruh lingkungan dalam mempertahankan identitas
kedaerahan?,
c. bagaimana upaya mahasiswa banyumasan dalam mempertahankan identitas
kedaerahan (khususnya dialek banyumasan) ?.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk menggali data dan informasi
tentang dialek banyumasan menjadi bentuk identitas kedaerahan yang
dikonstruksi dan dinegosiasikan, dilihat dari :
a. persepsi mahasiswa asli banyumasan terhadap dialek banyumasan dalam
pergaulan sehari-hari,
b. adanya lingkungan yang berpengaruh dalam mempertahankan identitas
kedaerahan,
c. upaya mahasiswa banyumasan dalam mempertahankan identitas kedaerahan
(khususnya dialek banyumasan).
22
D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Berdasarkan teori Antony Giddens, penelitian ini secara teoritis bermanfaat
untuk mendeskripsikan konstruksi identitas dialek banyumasan di lingkungan
UNS yang memberikan pengaruh tentang persepsi dialek banyumasan dan
faktor pemilihan dialek di kalangan mahasiswa asli banyumasan.
2. Mendeskripsikan tentang pergeseran penggunaan dialek banyumasan di
kalangan mahasiswa asli banyumasan di lingkungan UNS berdasarkan teori
Anthony Giddens.
3. Bagi peneliti agar lebih meningkatkan peran dan kemampuan melalui
perngkajian dialek banyumasan di wilayah Surakarta.
23
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Perkembangan Kebudayaan Masyarakat Indonesia
Kebudayaan merupakan bagian dari kehidupan manusia dalam hidup
bermasyarakat. Dalam bahasa sansekerta, kata kebudayaan berasal dari
“buddayah” yang merupakan bentuk jamak kata “buddhi” yang berarti budi atau
akal. Kebudayaan diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau
akal. Kata kebudayaan dalam bahasa Inggris diterjemahkan dengan istilah culture
dan dalam bahasa Belanda disebut cultuur. Kedua kata ini berasal dari kata latin
colere yang berarti mengolah, mengerjakan, menyuburkan dan mengembangkan
tanah (bertani). Dengan demikian, ”culture dan cultuur berarti sebagai segala daya
kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah alam” (Kun Maryati dan Juju
Suryawati, 2006:109).
Selanjutnya, seorang antropolog sosial, E.B. Tylor dalam mendefinisikan
kebudayaan sebagai sistem kompleks manusia sebagai anggota masyarakat yang
terdiri dari pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat dan
lain kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan (Soerjono Soekanto,
2003:172). Sedangkan menurut Koentjoroningrat (1990:180), ”kebudayaan adalah
keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka
kehidupan manusia yang dijadikan milik dari manusia dengan belajar”.
Manusia merupakan makhluk yang mampu mengubah dirinya sesuai
dengan potensi yang dimilikinya. Secara garis besar potensi yang ada pada
manusia terdiri atas empat potensi, yaitu a. hidayat al- gharizziyat yaitu manusia
mempunyai dorongan secara primer untuk memelihara keutuhan dan kelanjutan
hidup manusia berupa instink, dorongan untuk mempertahankan diri, dorongan
untuk mengembangkan jenis dan dorongan yang melekat pada diri manusia secara
fitrah, b. hidayat al- hassiyat adalah potensi inderawi manusia berupa indera
penglihatan, pencium, peraba, pendengar dan perasa yang menghubungkan
manusia dengan dunia luar dirinya, c. hidayat al-aqliyyat yaitu manusia dibekali
24
dengan kemampuan akal, d. hidayat al-diniyyat adalah manusia dengan potensi
keagamaan untuk mengabdi kepada sesuatu yang dianggapnya memiliki
kekuasaan yang lebih tinggi (Jalaluddin, 2006:32-34).
Manusia dengan kemampuan akal memiliki peran dalam aktivitas dan
tingkah lakunya dalam kehidupan sehari-hari. Adapun peran manusia dilihat dari
aspek 1). al-basyr merupakan aspek fisik atau biologis manusia yang terdiri dari
unsur materi (ragawi), 2). al-insan adalah kemampuan manusia untuk tumbuh dan
berkembang secara fisik dan mental spiritual (rohani), 3). al-nas merupakan
manusia secara fitrah, hidup sebagai makhluk yang berkelompok, sejak dari
keluarga, bangsa dan umat manusia, 4). konsep bani adam yaitu menyatukan visi
manusia dari nenek moyang yang sama, yaitu Adam As, 5). konsep al-ins adalah
bahwa manusia merupakan makhluk yang diciptakan untuk mengabdi kepada
Allah dan makhluk yang jinak serta hidup menetap, 6). konsep abd-Allah adalah
peran manusia disesuaikan dengan kedudukannya sebagai abdi (hamba), 7).
konsep khalifah Allah yaitu membangun dan mengelola alam sekitar berdasar
kemampuan dan tidak lepas dari kehendak Penciptanya (Jalaluddin, 2006:18-30).
Peran manusia di atas, memberikan gambaran kepada kita bahwa
manusia makhluk sosial, sehingga dalam kehidupannya tidak bisa lepas dari
kesatuan integrasi dalam suatu kelompok masyarakat yang berbudaya. Hal ini
dijelaskan oleh Astrid Susanto (1983:123) dari pandangan Malinowski,
mengemukakan bahwa budaya adalah “culture is an integrated comosed of partly
autonomous, partly coordinated institutions. It is iontegrated on a series of
principies such as the community of blood through procreation, the continuity in
space related to cooperation the specialization of activities ang last but not least,
the use of power in political organization”. Artinya, kebudayaan adalah kesatuan
integrasi dari bagian yang otonom, bagian dari kelembagaan yang terkoordinasi.
Kesatuan integrasi ini, sebagai bagian dari proses komunitas atau masyarakat yang
berjalan secara terus-menerus terkait dengan tingkah laku yang khusus, tetapi juga
berkaitan dengan kekuasaan dalam kehidupan politik.
Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kebudayaan adalah hal-hal yang
bersangkutan dengan budi atau akal, peran dan potensi manusia meliputi
25
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat, kemampuan
dan kebiasaan sebagai hasil dari sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya
manusia yang diperoleh melalui proses belajar dalam pengorganisasian kehidupan
suatu kelompok masyarakat.
Disamping itu, proses terjadinya kebudayaan manusia merupakan proses
yang sifatnya turun-temurun dan secara geografis. Hal ini dapat dilihat dari (1)
pakaian, perumahan, alat-alat yang mereka pakai sehari-hari sesuai dengan adapt
masyarakat setempat, (2) bahasa yang dipakai di lingkungan mereka yang
akhirnya merupakan bahasa khas seperti Jawa, Sunda dan sebagainya juga dialek-
dialek atau campuran-campuran dari bahasa-bahasa yang terdapat di daerah
perbatasan seperti Cirebon (bahasa pada masyarakat perbatasan antara Jawa Barat
dan Jawa Tengah), Banyuwangi (bahasa pada masyrakat perbatasan antara Jawa
Timur dan Madura), (3) terdapat perkawinan diantara mereka-mereka dan tidak
ada atau kurangnya percampuran dari daerah luar, corak-corak khas mengenai
bentuk muka, perawakan dan yang menjadi ciri khas ragawi dari bahasa atau
golongan tertentu seperti mata sipit, hidung mancung, rambut keriting dan
sebagainya (Hassan Sadily, 1984:84).
Seperti halnya pakaian, bahasa dan terjadi perkawinan campuran
hegemoni) merupakan contoh proses terjadinya kebudayaan yang diwariskan
secara genealogis (turun-temurun) dan bersifat geografis (berdasar latar belakang
kedaerahan). Akan tetapi kebudayaan memiliki sifat yang dinamis. Kebudayaan
mengalami pergerakan atau perubahan karena unsur-unsur kebudayaan lain,
melalui :
a). akulturasi adalah proses sosial yang timbul kertika suatu kelompok manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur dari suatu kebudayaan asing, b). asmilasi adalah terjadinya percampuran yang memunculkan adanya kebudayaan baru akibat adanya interaksi antara kebudayaan yang berbeda-beda, c). inovasi adalah sebuah proses pembauran dalam unsur kebudayaan masyarakat, seperti adanya penemuan baru dalam teknologi manusia, d). difusi adalah proses penyebaran kebudyaan dari satu daerah ke daerah lain yang terjadi secara langsung atau tidak langsung (Kun Maryati dan Juju Suryawati, 2006:126-127).
Sistem kebudayaan suatu daerah dengan perkembangan atau dinamika
kebudayaan yang dinamis, akan menghasilkan wujud-wujud kebudayaan yang
26
berbeda-beda. Menurut Koentjoroningrat, kebudayaan dibagi dalam tiga wujud,
yaitu (1). wujud kebudayaan berupa sistem ide-ide, gagasan, nlai-nilai, norma-
norma, dan peraturan yang sifatnya abstrak, tidak dapat diraba, dipegang ataupun
difoto dan tempatnya di alam pikiran warga masyarakat dimana kebudayaan yang
bersangkutan itu hidup, (2). wujud kebudayaan berupa aktivitas serta tindakan
berpola dari manusia dalam masyarakat yang bisa diobservasi, difoto dan
didokumentasikan, seperti perilaku dan bahasa pada saat mereka berinteraksi
dalam pergaulan hidup sehari-hari di masyarakat, (3). wujud kebudayaan berupa
artefak atau benda-benda hasil karya manusia yang secara fisik (aktivitas
perbuatan dan karya semua manusia dalam masyarakat) yang sifatnya paling
konkret, dapat diraba, dilihat dan difoto (Elly M. Setiadi dkk, 2006:28-30).
Berdasarkan ketiga wujud kebudayaan di atas, pada dasarnya Indonesia
merupakan negara kepulauan yang memiliki etnis dan adat istiadat yang
beranekaragam. Keberagaman adat istiadat mencakup ide, gagasan, seperangkat
aktivitas atau perilaku serta hasil karya manusia yang melahirkan karakteristik
masyarakat yang sifatnya majemuk dan multikultural. Hal inilah yang akan
mengarah pada dinamika masyarakat yang terjadi pada masa Orde baru dan Era
Reformasi.
a. Kebudayaan Masyarakat Indonesia di Era Orde Baru
Pemerintah Orde Baru banyak menggalakkan pluralisme sosial untuk
memperkuat persatuan nasional, misalnya dengan menghindari permasalahan
suku, agama, ras dan antargolongan (SARA). Akan tetapi, pluralisme politik tidak
mendapatkan dukungan dan dibatasi oleh pemerintahan Orde Baru. Hal ini
dikarenakan, pluralisme politik mengarahkan kepada perbedaan pendapat dan
konflik dengan sesama warga negara atau pemerintah, dianggap mengganggu
stabilitas nasional. Sehingga, pada era Orde Baru dapat dilihat dari dominannya
pemerintahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ormas-ormas sebagai
representasi dari masyarakat madani (civil society) dan partai-partai politik
sebagai representasi masyarakat politik (politic society) kurang memiliki otonomi
yang cukup untuk menentukan kebijakan organisasi masing-masing, termasuk
27
dalam hal kebijakan kebudayaan nasional sebagai puncak kebudayaan daerah
(Nur Cholish Madjid, 2001:14).
Salah satu khasanah kebudayaan nasional yaitu bahasa Indonesia
mengalami pembatasan di Era Orde Baru. Pembatasan terhadap pengembangan
bahasa dengan dimunculkannya pembakuan bahasa dalam bentuk penggunaan
ejaan bahasa Indonesia yang disempurnakan (EYD) dan melalui penerapan
ketetapan MPR No.11/MPR/1983 yang menyatakan bahwa ”bahasa harus dibina
dan dikembangkan secara baik dan benar serta digunakan secara baik dan benar”.
Adapun akibat dari pembakuan bahasa ini kemudian bahasa Indonesia tidak
berkembang secara wajar yaitu menjadikan bahasa Indonesia terasa asing dan
kaku (M.Ainul Yaqin, 2005:93-94)
Oleh sebab itu, dalam masa Orde Baru ini, bangsa Indonesia diarahkan
kepada masyarakat yang sifatnya majemuk dalam kesatuan integrasi sosial.
Menurut Furnival, pada masa Hindia-Belanda masyarakat Indonesia sudah
menjadi bagian dari masyarakat majemuk (plural societies) yaitu masyarakat yang
terdiri atas dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran
satu sama lain di dalam suatu kesatuan politik, perbedaan ras yang bersifat
organis, atau suatu masyarakat dengan sistem nilai yang dianut oleh kesatuan
sosial yang menjadi sub-sub kebudayaan dalam anggota masyarakat yang bersifat
diverse yaitu masyarakat yang terbagi dalam sub-sub kebudayaan tertentu dan
oleh Clifford Geertz menyebutnya dengan istilah primordial (Nasikun, 2001:28-
33).
Sedangkan menurut Alo Liliweri, (2001:167), konsep masyarakat
majemuk adalah adanya pertahanan melalui pengakuan adanya bhineka tunggal
ika sebagai masyarakat Indonesia dengan ciri-ciri adanya suku, agama, ras dan
golongan yang homogen dan tidak tersegregasi.
Masyarakat majemuk yang merupakan bagian dari masyarakat organis
yang terbagi dalam sub-sub kebudayaan tertentu, menurut Furnival (1940) dalam
Alo Liliweri (2001:166) pada dasarnya ciri-ciri masyarakat majemuk itu sendiri
adalah “kehidupan masyarakat yang berkelompok-kelompok yang hidup
28
berdampingan secara fisik, tetapi mereka hidup secara terpisah-pisah karena
perbedaan sosial dan tidak tergabung dalam sebuah unit politik”.
Masyarakat yang hidup terpisah-pisah dengan adanya perbedaan antar
suku bangsa, agama, ras dan adat istiadat di dalam masyarakat majemuk tidak
telepas dari unsur konflik. Dalam hal ini dikemukakan oleh Pierre L.Van Den
Berghe, bahwa dalam masyarakat majemuk memiliki ciri-ciri seperti 1) adanya
segmentasi kelompok-kelompok, 2) struktur sosial kelembagaan yang bersifat
non-komplementer, 3) kurang mengembangkan konsensus atau kesepakatan
diantara para anggotanya terhadap nilai-nilai yang bersifat dasar, 4) sering
mengalami konflik diantara kelompok satu dengan yang lain, 5) muncul integrasi
sosial atas dasar paksaan (coercion), 6) muncul dominasi politik dari suatu
kelompok atas kelompok lain (Nasikun, 2001:33).
Oleh sebab itu, masyarakat majemuk yang hidup berdampingan satu
sama lain dan tidak menutup kemungkinan adanya sub-sub kebudayaan dengan
struktur sosial kelembagaan yang bersifat non-komplementer dan terkadang
menimbulkan konflik. Karena pada dasarnya dalam suatu masyarakat majemuk
terbagi atas dua hal, yaitu a) masyarakat yang terbentuk secara horisontal seperti
masyarakat etnik, ras (masyarakat berdasarkan atas asal-usul keturunan),
masyarakat berdasarkan bahasa daerah, adat istiadat atau perilaku, agama, dan
pakaian atau makanan serta budaya material lainnya, b) masyarakat terbentuk
secara vertikal, yaitu berdasarkan penghasilan (ekonomi), pendidikan,
pemukiman, pekerjaan, dan kedudukan sosio-politik (Nasikun, 2001:28).
b. Kebudayaan Masyarakat Indonesia di Era Reformasi
Menjelang jatuhnya pemerintahan Orde Baru, massa melakukan
dukungan terhadap pemerintah reformasi, dengan harapan adanya pluralisme
politik yang akan membawa dampak munculnya ”euforia demokrasi”. Rakyat
dapat mengapresiasikan pendapatnya secara bebas, tetapi hal ini tidak disertai
dengan pengembangan aspek-aspek pluralisme politik lainnya, terutama
desentralisasi dengan pemberian otonomi kepada daerah, baik dalam hal
rekruitmen kepemimpinan maupun pengelolaan sumber daya alam. Disisi lain
29
banyak diantara warga negara yang secara umum tingkat pendidikannya masih
rendah, belum cukup memiliki budaya demokratis dalam menghadapi perbedaan-
perbedaan. Hal ini menimbulkan akses konflik terbuka dan bentrokan fisik
diantara beberapa kelompok sosial, atas dasar agama, suku, maupun hanya
sekedar perbatasan area tempat tinggal sepeerti peristiwa di Sambas, Ketapang,
Ambon dan lainnya (Nur Cholish Madjid, 2001:15).
Namun, dalam hal pengembangan kebudayaan nasional di masing-
masing daerah diberikan suatu otonom untuk mengembangkan potensinya. Hal ini
diarahkan berdasarkan Peraturan Pemerintah No.25 Tahun 2000 pasal 3 tentang
Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai daerah Otonom diatur
kewenangan propinsi dalam Bidang Pendidikan dan Kebudayaan. Kewenangan
tersebut berbunyi ”... penyelenggaraan museum propinsi, suaka peninggalan
sejarah, kepurbakalaan, kajian sejarah dan nilai-nilai tradisional serta
pengembangan bahasa dan budaya daerah” (Sri Kusrini, 2002:254).
Kewenangan suatu daerah dalam mengembangkan potensi kedaerahan
diberi keleluasan pada masa reformasi. Hal inilah yang menimbulkan perbedaan
satu sama lain yang kemudian mengatasnamakan masyarakat multikultural.
Multikulturalisme adalah paham dalam memahami dan menerima perbedaan yang
setiap individu manusia, akan tetapi memiliki potensi besar terjadinya konflik
antar kelompok. Keberagaman kelompok menimbulkan konflik dengan latar
belakang perbedaan prinsip dari masing-masing kelompok. Bahkan konflik
multikulturalisme mengarah pada perbedaan geografis, etnis, budaya, bahasa,
agama, keyakinan, pola pikir dan perbedaan kemampuan secara fisik serta
psikologi (M.Ainul Yaqin, 2005:v).
Mengacu pada dinamika ataupun bentuk masyarakat majemuk dan
masyarakat multikultural di atas, diperkirakan terdapat lebih dari 500 suku bangsa
yang mendiami wilayah Indonesia. Bagi bangsa Indonesia, bahasa Indonesia yang
telah diikrarkan pada Sumpah pemuda 1928 adalah satu-satunya bahasa yang
mempersatukan bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia yang pada mulanya berasal
dari bahasa Melayu telah menjadi simbol integrasi bangsa dan menjadi kerangkan
acuan dalam berkomunikasi. Menurut AJawaila dalam Nani Tuloli dkk (2003:27),
30
bahwa “pengakuan tentang kemajemukan masyarakat dan budayanya serta upaya
membangun persatuan tersebut diperlihatkan pula lewat semboyan bhineka
tunggal ika, berbeda-beda tetapi tetap satu”. Hal tersebut dijadikan pedoman yang
untuk membangun dan mengembangkan kebudayaan nasional yang tercantum
dalam pasal 32 UUD 1945. Pasal tersebut berisi tentang “kebudayaan bangsa ialah
kebudayaan yang timbul sebagai hasil buah usaha budi daya rakyat Indonesia
seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak-puncak
kebudayaan di daerah-daerah di seluruh Indonesia terhitung sebagai kebudayaan
bangsa”. Puncak-puncak kebudayaan daerah berarti unsur-unsur kebudayaan
daerah yang dianggap bermutu tinggi yang dimiliki oleh suku bangsa di
Indonesia. Maka, kebudayaan nasional, bukan dominasi dan monopoli
kebudayaan dari salah satu daerah, tetapi sebagai kesatuan berbagai budaya
unggul di Indonesia. Kebudayaan nasional tersebut berupa unsur atau simbol-
simbol sistem nilai budaya atau pranata sosial budaya dari salah satu suku bangsa
yang dapat diterima sebagai kerangka dalam pergaulan antarsuku bangsa.
Dalam ranah pergaulan antarsuku bangsa, keberadaan kebudayaan lokal
sebagai alat komunikasi yang dikembangkan sebagai bagian dari kebudayaan
nasional, sehingga kebudayaan global yang melanda dunia tanpa adanya
hambatan. Kebudayaan global yang menyebar ke berbagai penjuru berpengaruh
pada kehidupan masyarakat terkait perkembangan dan kemajuan masyarakat
modern saat ini (Nani Tuloli dkk, 2003:27-29).
2. Bahasa Sebagai Unsur Budaya
Masyarakat Indonesia dengan kemajemukan dan multikulturalnya,
memilki unsur-unsur kebudayaan yang beranekaragam terutama untuk menjaga
eksistensi bahasa di suatu masyarakat. Maka, bahasa mempunyai hubungan yang
sangat erat dengan budaya dari suatu masyarakat. Dapat dikatakan bahwa bahasa
tidak bisa dipisahkan dengan budaya, karena budaya merupakan bagian dari
bahasa dan begitu juga sebaliknya. Menurut Soerjono Soekanto, (2003:176 )
menyatakan bahwa kebudayaan memiliki tujuh unsur-unsur pokok (besar) atau
cultural universals berupa peralatan dan perlengkapan hidup, mata pencaharian
31
hidup dan sistem-sistem ekonomi, sistem kemasyarakatan, bahasa, kesenian,
sistem pengetahuan, dan religi. Sedangkan dalam pandangan Kottak (1987:244)
dalam M. Ainul Yaqin (2005:87) menjelaskan bahwa “perubahan-perubahan yang
terjadi pada kultur juga menghasilkan perubahan-perubahan pada bahasa dan cara
berfikir seseorang”. Kultur dan bahasa terjadi relasi satu sama lain yaitu kultur
dapat menjadi bagian dari bahasa atau sebaliknya. Di dalam kultur tersebut, dapat
dilihat melalui bahasa yang digunakan. Bahasa Jawa dengan ciri-ciri lugas,
intonasinya keras dan kosakata yang khas seperti rek, cak, opo, gak termasuk
orang yang berkultur Jawa Timuran. Sedangkan bahasa Jawa dengan ciri-ciri
tenang, intonasinya halus dan kosakata yang khas, seperti kata cab, kang, pripun,
ora, termasuk orang yang berkultur dari Yogyakarta, Jawa Tengah atau dari
wilayah Mataram (bekas wilayah mataram seperti Ngawi, Madiun, Magetan,
Pacitan, Tulungagung dan Blitar).
Bahkan ada pembedaan lain mengenai bahasa yang digunakan secara
geografis. Bahasa masyarakat yang tinggal di sekitar pantai dan masyarakat petani
yang tinggal di pedalaman dan pegunungan akan memiliki perbedaan. Bahasa
yang digunakan oleh orang-orang yang tinggal di wilayah pantai dan berprofesi
sebagai nelayan biasanya mempunyai ciri-ciri yang keras, lugas, dan cepat
pengucapannya. Hal tersebut disebabkan oleh kehidupan yang keras seperti
suasana pantai yang panas, angin laut yang kencang dan jenis pekerjaan nelayan
yang beresiko tinggi. Sedangkan bahasa orang-orang yang tinggal di wilayah
pedalaman dan pegunungan sebagai petani mempunyai ciri-ciri halus, pelan dan
santai. Ciri-ciri tersebut dipengaruhi oleh latar belakang seperti suasana
pegunungan yang sejuk, tenang dan pekerjaan bertani yang tidak sekeras dan tidak
beresiko tinggi pekerjaaan sebagai nelayan (M.Ainul Yaqin, 2005:87-89).
Oleh karena itu, setiap bahasa mempunyai struktur dan sistem tanda yang
mencerminkan struktur dalam sistem kebudayaan masyarakatnya. Terkadang
pencampuran budaya dapat mengubah gaya dan struktur bahasa. Sebaliknya
bahasa dapat mengubah kebudayaan pada saat globalisme. Karena bahasa adalah
alat canggih dalam menstranformasikan budaya dan nilai-nilai bahasa lokal atau
bahasa ibu. Pada saat modernisasi muncul kebijakan politik yaitu satu bahasa
32
nasional, bahasa Indonesia. Dalam hal ini, bahasa-bahasa pinggiran, bahasa
daerah atau bahasa lokal tersubordinasi (Ubed Abdilah, 2002:70-71).
a. Bahasa dan Dialek
Bahasa mempunyai struktur dan sistem tanda tertentu yang
mencerminkan latar belakang kehidupan suatu masyarakat terkait dengan
kehidupan budayanya, menurut Kridalaksana dalam Abdul Chaer (1994:33-58)
definisi bahasa antara lain 1) bahasa sebagai sistem, artinya bahasa tersusun
menurut pola, tidak tersusun acak, dan secara sembarangan, 2) bahasa berupa
lambang, artinya bahasa menunjukan tanda atau isyarat tertentu dari suatu benda,
3) bahasa memiliki bunyi, artinya bahasa menunjukan bunyi atau kesan pada
pusat saraf sebagai akibat dari getaran-getaran di telinga yang bereaksi karena
perubahan tekanan udara, 4) bahasa adalah arbiter, artinya berubah-ubah, tidak
tetap, tidak ada hubungan wajib antara lambang bahasa yang berwujud bunyi
dengan konsep atau pengertian yang dimaksud oleh suatu lambang tertentu.
Sebagai contoh antara kuda dengan yang dilambangkan sejenis binatang berkaki
empat yang biasa dikendarai. Penjelasan kenapa binatang tersebut dilambangkan
dengan bunyi kuda, bukan rusa atau gajah, 5) bahasa memiliki makna, artinya
pengucapan kata tertentu yang memiliki suatu makna tertentu pula (untuk
menunjukan sesuatu), 6) bahasa bersifat konvensional, artinya semua anggota
masyarakat mematuhi konvensi bahwa lambang tertentu untuk mewakili konsep
yang diwakilinya, 7) bahasa itu unik, artinya mempunyai ciri khas masing-masing
yang tidak dimiliki oleh bahasa lainnya, 8) bahasa itu dinamis, artinya adanya
perubahan sepanjang waktu, 9) bahasa itu bervariasi, artinya memiliki variasi
bahasa seperti idiolek, dialek dan ragam. Idiolek adalah variasi atau ragam bahasa
yang bersifat perseorangan. Dialek adalah variasi bahasa yang digunakan
sekelompok anggota masyarakat pada suatu tempat atau suatu waktu. Ragam
adalah variasi bahasa yang digunakan dalam situasi, keadaan atau untuk keperluan
tertentu, 10) bahasa itu manusiawi, artinya bahasa hanya milik manusia dan hanya
dapat digunakan oleh manusia, 11) bahasa itu universal, artinya unsur bahasa yang
33
paling umum dari bahasa lainnya, 12) bahasa bersifat produktif. maksudnya
meskipun unsur bahasa terbatas, tapi terdiri dari satuan yang tidak terbatas.
Disamping itu, menurut Linda Thomas dan Shan Wareig (2007:9),
bahasa bukan saja ciri khas dari suatu masyarakat tertentu, tetapi bahasa dapat
menjadi sesuatu yang menyatakan apa yang menjadi maksud atau tujuan kita.
Bahasa merupakan suatu sistem yang hidup yang menjadi bagian dari
perlengkapan budaya dari suatu kelompok orang. Namun, bahasa juga
menunjukan ujung tombak suatu budaya, kelompok-kelompok kekeluargaan atau
lembaga-lembaga politik. Menurut Sapir Whorf, “bahasa adalah unsur terpenting
dalam budaya karena bahasa menunjukkan pandangan dunia tentang suatu
masyarakat pemakainya dan tentang lingkungan mereka”. Bahasa mengarahkan
pada persepsi para pemakainya terhadap hal-hal tertentu, seperti memberi
petunjuk atau isyarat berdasarkan perbedaan dan persamaan budaya diantara
berbagai suku bangsa (Deddy Mulyana dan Jalalluddin Rakhmat, 2000:118-119).
Selain itu, pengertian bahasa adalah “a system of arbitrary vocal symbol
by which members of a speech community cooperate and interact in terms of their
total culture”, artinya bahasa sebagai lambang-lambang vokal yang arbitrer
(berubah) dan membentuk sistem yang ajeg bagi penutur bahasa tersebut. Penutur
adalah anggota masyarakat dari bahasa tertentu yang terikat budaya yang
terbentuk secara konvensional. Sehingga, bahasa merupakan cermin budaya dari
penutur bahasa tersebut (Anton dkk, 1991:203).
Menurut M. Ainul Yaqin, (2005:74), definisi bahasa yaitu, pertama,
bahasa adalah kumpulan bermacam-macam simbol dengan menggunakan aturan-
aturan tertentu untuk mengkomunikasikan pesan kepada orang lain. Kedua,
bahasa sebagai alat berkomunikasi individu dalam bertukar pikiran (sharing idea)
dan perasaan (feeling) satu dengan yang lainnya.
Uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa bahasa adalah alat untuk
menyampaikan pesan dengan maksud dan tujuan tertentu yang didalamnya
menunjukkan sifat arbiter (berubah), pemaknaan, simbol atau lambang, petunjuk
tentang masyarakat pemakainya dalam berinteraksi sosial.
34
Mengacu pada beberapa definisi bahasa di atas, adapun ciri-ciri bahasa,
yaitu “a) bahasa digunakan untuk menstransmisikan pesan, b) bahasa merupakan
kode yang pemakaiannya ditentukan bersama oleh warga suatu kelompok atau
satu masyarakat. Oleh karena itu, bahasa berdimensi sosial dan merupakan
aktivitas kehidupan manusia” (Dwi Purnanto, 1999:91).
Bahasa merupakan alat penyampaian pesan kepada orang lain, oleh
Abdul Chaer (1994:71-81) membedakan jenis-jenis atau klasifikasi bahasa
menjadi empat diantaranya (1) pendekatan genetis yaitu bahasa yang diturunkan
secara genealogis (berdasarkan keturunan), (2) klasifikasi tipologi yaitu
berdasarkan kesamaan tipe bahasa seperti bunyi, morfem, kata, frase, kalimat, dan
sebagainya, (3) klasifikasi areal yaitu berdasarkan hubungan timbal balik antar
bahasa dalam suatu areal atau wilayah, tanpa memperhatikan apakah bahasa itu
berkerabat secara genetika atau tidak, (4) klasifikasi sosiolinguistik yaitu
berdasarkan hubungan bahasa dengan status, fungsi, penilaian yang diberikan
masyarakat terhadap bahasa itu.
Dari penjabaran di atas, jenis-jenis bahasa dapat dikategorikan menjadi
empat macam, yaitu dilihat dari kategori atau pendekatan genetis yang
berdasarkan keturunan bahasa-bahasa itu, kategori tipologi yang berlandaskan
kesamaan tipe bahasa, kategori areal yang berupa interaksi antarbahasa dan
kategori sosiolinguistik yang berdasarkan hubungan bahasa dan peran status
dalam masyarakat.
Bahasa suatu masyarakat terdiri dari ragam bahasa berdasar letak
geografis masing-masing. Ragam bahasa dalam geografis kecil disebut dengan
dialek atau logat. Istilah tersebut oleh masyarakat bahasa yang besar memiliki
nilai yang merendahkan. Orang yang memakai bahasa besar atau bahasa baku
dalam kehidupan sehari-hari cenderung menganggap rendah orang-orang yang
menggunakan dialek atau logat (Khaidir Anwar, 1990:33-34).
Oleh sebab itu, fenomena perkembangan sebuah dialek dipengaruhi oleh
lima faktor pembentukan yaitu (a).faktor regional, (b).sosial, (c).historis,
(d).profesional, (e).terpengaruh oleh kontak bahasa. Pertama, faktor regional yaitu
perbedaan lokasi atau tempat bermukim, hal tersebut di karenakan tempat yang
35
terpencil yang membuat penutur jarang berkomunikasi, keterisolasian daerah
mengakibatkan hubungan dengan dunia luar jarang, dan komunitas dialek
berdasar bertempat tinggal secara terpisah dari kelompok bahasa induk. Kedua,
faktor sosial yaitu menunjukkan kedudukan sosial penutur bahasa. Geertz dalam
buku The Religion of Java (1960) oleh berpendapat bahwa “perbedaan
penggunaan styleme yang terdiri atas krama, madya, ngoko berkaitan erat dengan
kedudukan sosial penutur dan gaya hidup religionitas para penutur, yang terbagi
dalam golongan priyayi, santri dan abangan”. Ketiga, faktor historis yaitu
hubungan bahasa dalam kurun waktu bahasa tertentu dipakai orang. Keempat,
faktor profesi adalah dengan melihat profesi seseorang. Ragam bahasa ini disebut
register. Sebagai contoh, seorang ahli kimia, menyebutkan istilah “air” dengan
istilah kimia “H2O”. Kelima, faktor kontak bahasa. Dalam kontak bahasa muncul
diglosa. Menurut Ferguson (1959) diglosa adalah situasi kebahasaan akan
memunculkan dua atau lebih ragam bahasa yang secara sosial dianggap baik atau
kurang baik (Herudjati Purwoko dan IM Hendrarti, 2004:10-17).
Pembentukan setiap bahasa manusia seperti bahasa Inggris dan bahasa
Cina (Mandarin) bersifat kultural maupun individual dengan orang lain. Bahasa
sebagai sistem dalam kehidupan manusia sebagai anggota masyarakat yang khas,
memiliki 3000 bahasa yang berbeda dengan keanekaragaman dan kehasan
masing-masing (William A.Havilan, 1985:360-376).
Dalam kajian sosio-kultural, menurut Ashadi Siregar (2003:126) bahwa
fungsi bahasa adalah :
(i). Pathic funtion berupa percakapan basa-basi untuk memelihara hubungan atau menciptakan hubungan dengan orang yang belum dikenal, (ii). Regulatory function dalam bahasa digunakan dalam hubungan sosial dengan tujuan yang sudah ditentukan bersama seperti dalam kegiatan profesional atau manajemen, (iii). Emotive function merupakan bahasa untuk mengekpresikan perasaan, seperti anak-anak yang menciptakan bunyi sendiri atau seperti bahasa plesetan di kalangan kaum muda kota di Jawa pada masa Orde Baru, (iv). Aesthetic function merupakan bahasa yang mirip dengan fungsi emotif yang diekspresikan dengan kaidah tertentu untuk mendapatkan efek keindahan, (v) metalinguistic function adalah memberikan pemaknaan atas kenyataan yang mendasari suatu bahasa diekspresikan.
36
Pada perkembangannya bahasa tidak hanya berfungsi sebagai alat untuk
berkomunikasi bagi manusia, akan tetapi bahasa juga wilayah politik, sosial dan
budaya. Menurut Hooker dalam M. Ainul Yaqin (2005:74-75) yang mengambil
pendapat dari bahasa dapat memasuki wilayah politik dapat dilihat dari politisasi
terhadap penggunaan bahasa Indonesia oleh kelompok gerakan perlawanan
sebelum kemerdekaan, pemerintahan Orde Lama, Orde Baru, Era Reformasi dan
Era Pasca Reformasi melalui berbagai cara seperti penggunaan kata-kata yang
menjadi ikon pada era-era tertentu, hingga pembakuan bahasa. Politisasi bahasa
ini menjadi bagian dari upaya pemerintah untuk memperkuat rezim kekuasaannya.
Oleh karena itu, dalam pendapat Spring (2001:153-64) konstruksi identitas
merupakan bagian dari interpretatif dan narasi dari orang-orang yang lebih
memiliki kekuasaan yang lebih elit. Sedangkan bahasa memasuki wilayah sosial
dapat dilihat dari anggapan positif maupun negatif terhadap penggunaan bahasa
tertentu. Contohnya adanya anggapan negatif terhadap masyarakat penggunaan
bahasa dari kelas sosial tertentu seperti bahasanya orang yang mempunyai status
sosial tinggi lebih halus daripada bahasanya orang yang status sosialnya rendah.
Bahasa juga dapat memasuki wilayah budaya dapat dilihat dari bahasa Jawanya
masyarakat yang tinggal di pesisir pantai utara pulau Jawa mempunyai ciri-ciri
bernada tinggi, lugas dan apa adanya. Sedangkan bahasa Jawanya atau logat
Jawanya masyarakat yang tinggal di pedalaman Pulau Jawa mempunyai ciri-ciri
bernada lebih pelan, lebih halus, dan lebih sering menggunakan unggah-ungguh
(tata cara bersikap khususnya bagi suku Jawa pedalaman untuk membangun kesan
sopan terhadap orang lain).
Menurut Rodman dan Adler (1997) dalam M.Ainul Yaqin (2005:76-80)
bahasa memiliki kekuatan bahasa yang meliputi delapan kategori yaitu
penanaman, kredibilitas, status, seks dan ras, kekuatan, afiliasi, keinginan dan
tanggung Jawab. Pertama, kekuatan bahasa dipakai sebagai tanda menyebut
sesuatu berupa benda hidup atau benda mati. Contohnya nama Abdul Hamid
merupakan nama orang dari suku kata bahasa Arab. Kedua, menunjukan
kredibilitas. Bahasa dapat mengetahui kredibilitas orang lain yang sedang
berbicara. Sebagai contoh, orang pada saat pidato akan nampak berwibawa dan
37
memiliki kredibilitas ataupun sebaliknya. Ketiga, menunjukan status. Bahasa
menunjukan status penuturnya. Keempat, menunjukan ras dan seks. Bahasa
mempunyai kekuatan untuk menunjukkan identitas dan mengkategorikan dari ras
apa orang yang sedang menggunakan bahasa tersebut dan berdasarkan jenis
kelamin, baik pria atau wanita. Sedangkan identitas berdasarkan pembedaan jenis
kelamin dikemukakan oleh Winter (1999:59-80). Identitas tersebut terjadi pada
masyarakat Kubo di Papua Nugini secara partifial dibedakan lebih pada gender
yang sifatnya pembedaan atas laki-laki dan perempuan atau kaum muda dan kaum
yang tua. Kelima, menunjukan kekuatan seperti gaya, intonasi bahasa dengan
kepercayaan diri, bergaya memberikan perintah kepada orang lain dan dapat
membuat orang lain kagum. Keenam, menunjukan keinginan seseorang dan
maksud tertentu. Misalkan, seorang calon presiden yang berkampanye ”janji-janji
manis” untuk menarik simpati rakyat. Ketujuh, memperlihatkan adanya afiliasi
(solidaritas) terhadap orang lain. Kedelapan, menunjukan tanggung Jawab yaitu
bahasa yang bercirikan logis, realitstis, tidak dibuat-buat dan dengan bahasa tubuh
yang santun serta apa adanya.
Sedangkan menurut Fishman (1982) fungsi dialek ada dua, yaitu untuk
sarana berkomunikasi dan untuk menjalin persahabatan dengan sesama remaja
dan untuk memenuhi kebutuhan penutur bahasa tentang identitas sosial budaya
(Herudjati, 2004:30).
Uraian di atas dapat ditarik simpulan, fungsi bahasa ataupun dialek
adalah sebagai alat untuk mengkomunikasikan pesan antar penutur dan mitra tutur
secara tertulis, ide, gagasan atau perasaan (tujuan estetis) dalam wilayah politik,
sosial, dan budaya yang menunjukkan suatu kekuatan bangsa dalam bentuk
penanaman, kredibilitas, status seks dan ras, kekuatan, afiliasi keinginan dan
tanggung Jawab serta perwujudan identitas sosial-kultural.
Fungsi bahasa yang salah satunya sebagai alat komunikasi, pada
dasarnya memiliki peran tersendiri dalam mempersatukan berbagai kelompok
masyarakat yang latar belakang etnis, budaya, dan bahasa yang berbeda. Haugen
berpendapat bahwa “bahasa manusia akan berubah apabila para penutur secara
geografis terpisah dari kelompok induk. Sebaliknya selama para penutur tinggal di
38
satu tempat, mereka cenderung mempertahankan bahasa yang sama” (Herudjati,
2004:5). Khaidir Anwar (1990:33-35), juga berasumsi bahwa “bagaimanapun juga
terdapat masalah mengenai hubungan bahasa baku atau bahasa umum dengan
dialek-dialeknya”. Sehingga, dalam dialek terdapat penilaian yang subyektif
mengenai kegunaan dialek. Misalkan dialek dalam kehidupan sehari-hari,maka
dialek dianggap sebagai sesuatu yang penting dan menguasai tingkah laku sosial
penuturnya.
Dengan demikian, peran yang dapat diambil dari keberadaaan bahasa
adalah perwujudan identitas penuturnya dan menyatukan kelompok masyarakat
yang berbeda budaya.
b. Dialek Banyumasan dan Perkembangannya
Setiap bahasa mencerminkan latar belakang masyarakat dan
kebudayaannya. Hal ini terlihat pada saat kita bertanya pada lawan bicara tentang
ciri-ciri orang lain.
“Kita sering mengatakan atau bertanya “bahasa Indonesianya dialek apa, Sunda, Batak, atau Jawa?”. Atau apabila orang yang kita tanyakan tersebut menggunakan bahasa Jawa maka kita juga mengatakan, “bahasa Jawanya dialek Jawa Timur “Suroboyonan” (dialek masyarakat pantai utara Jawa Timur) atau bahasa Jawanya dialek Jawa Timur “Mataram” (dialek masyarakatnya seperti Madiun, Ngawi, Bojonegoro, Pacitan, Magetan)?. “Apakah bahasa Jawanya berdialek Jogjakarta, Jawa Tengahan atau Banyumasan”. (M.Ainul Yaqin. 2005:80-81).
Masyarakat yang memiliki karakteristik masing-masing muncul
perbedaaan logat atau yang biasa disebut dengan dialek atau logat. Salah satu
masyarakat dengan dialek khususnya yaitu masyarakat dengan dialek
banyumasan. Wilayah Banyumasan secara geografis dari sisi barat daya Provinsi
Jawa Tengah (Pulau Jawa bagian tengah). Secara astronomi berada diantara 5˚
Lintang Selatan, 10˚ Lintang Selatan dan 105˚ Bujur Timur, 115˚ Bujur Timur,
dari rangkaian kepualauan nusantara bagian barat. Wilayah Banyumas secara
administrasi terbagi menjadi empat kabupaten yaitu Banyumas, Cilacap,
Purbalingga, dan Banjarnegara. Di sebelah barat berbatasan dengan Provinsi Jawa
Barat dan Sungai Citanduy. Sebelah selatan dibatasi oleh Samudera Hindia,
39
sebelah tenggara berbatasan dengan daerah Bagelen (Kabupaten Kebumen),
sebelah timur dengan Kabupaten Wonosobo, sedang sebelah utara berbatasan
dengan kabupaten Pekalongan, Pemalang, Tegal dan Brebes.
Secara morfologi Karesidenan Banyumas bagian tengah merupakan
tanah pegunungan kapur yang membujur dari barat ke timur, yang disebut
pegunungan Kendeng. Batas bagian utara yaitu pegunungan Perahu dengan
puncak tertingginya Gunung Slamet dan Gunung Perahu di dataran tinggi Dieng.
Wilayah tersebut terbelah menjadi lembah karena adanya beberapa aliran sungai.
Di daerah yang paling barat, mengalir sungai Citaduy. Didaerah bagian timur-
utara mengalir anak sungai Klawing dan sungai Sapi. Di bagian tenggara mengalir
Kali Bodho yang menjadi batas dengan daerah Kabupaten Kebumen.
Secara historologi, sosiologi, dan kulturiologi, yang disebut wong
banyumasan yaitu pertama, orang-orang yang merasa dan mengakui kakek-nenek
moyang (leluhur) sampai dengan bapak-ibunya dilahirkan, meninggal dunia atau
seumur hidup menetap di wilayah Banyumas. Kedua, orang-orang masih bangga
menjadi anak, putu, buyut, canggah, wareng, udheg-udheg, gantung siwur,
gropak senthe, kandang bubrah, debok bosok, galih asem (sebelas silsilah Jawa
untuk nama-nama tingkat garis keturunan dari wong banyumasan). Ketiga, yang
disebut wong banyumasan yaitu siapa saja yang pernah tinggal-menetap di
wilayah eks-Karesidenan Banyumas.
Selain itu, wong banyumasan juga tidak ada sangkut pautnya sama sekali
dengan batas wilayah atau siapapun yang berkuasa di wilayah administrasi
pemerintahan adipati Banyumas. Wong banyumasan pada awalnya bertempat
tinggal di luar batas wilayah kadipaten Pasir Luhur, Wirasaba, Banyumas dan
Bagelen Barat (kini Kebumen). Akan tetapi, pada awal abad ke-21 menjadi
wilayah pembangunan BARLINGMASCAKEB (Banjarnegara, Purbalingga,
Banyumas, Cilacap, Kebumen) ( Budiono, 2008:13-19).
Adapun sejarah pertama kali tentang dialek banyumasan menurut
Budiono (2008:6-7), bahwa dialek banyumasan adalah bahasa yang lebih tua
daripada bahasa Jawa lainnya. Dialek banyumasan sebagai bahasa Jawa pada
tahap awal yang disebut bahasa Jawa dwipa atau bahasa Jawa murni (Pure
40
Javaness Language). Sedangkan pengguna atau penutur dialek banyumasan
disebut wong banyumasan atau komunitas Jawa banyumasan. Dialek banyumasan
yang biasa disebut dialek ngapak memiliki ciri-ciri pengucapan vokal ‘a’ dan ‘o’,
konsonan ‘b, d, k, g, h, y, l, dan w’ sangat mantap (luged), tegas, lugas, tidak
mengambang (ampang) atau setengah-setengah.
Dialek banyumasan dengan karakteristik pengucapan vokal ‘a’ dan ‘o’
ini, memiliki ciri utama bahasa ibu wong banyumasan menurut Budiono
(2008:20) yaitu “jika mereka berbicara terlihat cowag (keras nada suaranya),
gemluthuk (bergelutuk artinya kalau berbincang-bincang seperti saling tergesa-
gesa atau cepat menanggapi), logatnya kenthel, luged, mbleketaket (kental,
mengasyikkan, sedap di dengar oleh sesama asal daerahnya), dan cara bicaranya
tentu mulutnya mecucu (maju kedepan)”.
Dalam hal ini, dialek banyumasan dengan ciri khas tersebut, antar
penuturnya saling terjadi kontak bahasa. Menurut Fathur Rokhman dalam
Kongres Bahasa Jawa III (2001:39) ada tiga kemungkinan yang terjadi dalam
kontak dua bahasa di masyarakat. Pertama adalah dua bahasa menyatu sehingga
lahirlah bahasa baru disebut pijin. Kedua adalah bahasa lama kalah dan tergeser
oleh bahasa pendatang. Ketiga adalah bahasa lama dan bahasa baru hidup
berdampingan dalam suatu masyarakat yang bersangkutan.
Menurut Irwan Abdullah (2006:94-96) perkembangan bahasa nusantara
dalam konteks global memiliki tiga bentuk. Pertama, disebabkan oleh interaksi
antarbahasa. Interaksi antara bahasa daerah yang penuturnya terbatas dengan
bahasa daerah dengan penuturnya sangat banyak. Hal tersebut akan
mempengaruhi perkembangan kedua bahasa daerah tersebut seperti adanya satu
bahasa tertentu. Kedua, disebabkan interaksi bahasa daerah dengan bahasa
nasional. Hal ini terjadi sejak awal 1970-an (pemerintah Orde Baru), yaitu bahasa
Indonesia sebagai bahasa nasional sehingga pembinaan bahasa daerah kurang
diperhatikan.
Adanya interaksi antar bahasa tersebut, muncul keprihatinan terhadap
eksistensi bahasa pimggiran. Menurut Abdullah (1999) dalam Irwan Abdullah
41
(2006:97) perkembangan bahasa dalam rangka pengembalian bahasa pada
function dan performance (Abdullah, 1999) dapat dilihat dari tiga fakta, yaitu :
1). fakta tentang berkurangnya jumlah penutur bahasa nusantara. Hanya ada kelompok tertentu yang masih bisa berbahasa daerah, terutama kalangan tua sementara anak-anak muda tidak dapat lagi dapat berbahasa daerah dengan baik. Kondisi semacam ini dialami secara khusus oleh kelompok bahasa kecil yang memiliki penutur dengan jumlah terbatas, 2). fakta berkurangnya penggunaan sehari-hari bahasa nusantara. Kegiatan sosial tertentu yang melibatkan emosi dan bersifat informal dapat berlangsung dalam bahasa daerah, meskipun ketergantungan pada konteks sosial menjadi penting. Dalam masyarakat yang heterogen bahasa daerah ini pun ditinggalkan dalam komunikasi karena komunikasi melibatkan anggota etnis yang berbeda, 3). fakta tentang gagalnya bahasa daerah merespon kebutuhan komunikai global yang ditandai dengan masuknya bahasa teknologi melalui teknologi produk sejak tahun 1990-an.
Selain dari ketiga fakta perkembangan bahasa tersebut, ada tiga arah
pengembangan bahasa. Pertama, bahasa mengalami proses stylization yaitu
bahasa dengan sentuhan gaya dominan dibandingkan penggunaan kata-kata atau
kalimat gaul. Kedua, proses privatisasi bahasa nusantara dalam penggunaan
bahasa pada kelompok tertentu. Bahasa daerah sebagai bahasa yang khas untuk
membangun kembali pada saat bahasa Indonesia mendominasi. Ketiga,
melemahnya fungsi kontrol bahasa akibat kredibilitas bahasa. Bahasa tidak efektif
untuk komunikasi antar orang karena terbatas pada kelompok dan kelas tertentu.
Dalam hal ini, eksistensi bahasa daerah mengalami peminggiran dan bersifat
terbatas (Irwan Abdullah, 2006:99-100).
Dari beberapa faktor perkembangan dialek-dialek yang ada di Indonesia,
dapat disimpulkan bahwa adanya pergerseran karena : a) faktor globalisasi, b)
interaksi antarmasyarakat yang multilingual, c) proses stylization dengan sentuhan
gaya berbahasa yang normatif, d) adanya privatisasi bahasa nusantara, e)
melemahnya fungsi kontrol bahasa.
3. Identitas Kedaearahan Sebagai Konstruksi Budaya
a. Identitas
Pada dasarnya, bahasa yang diucapkan oleh setiap orang menunjukkan
identitasnya masing-masing, baik itu menunjukkan latar belakang kehidupan
sosial budaya, politik maupun status dan peran seseorang dalam suatu masyarakat.
42
Menurut Giddens definisi identitas adalah “apa yang kita pikirkan tentang diri
sebagai pribadi bukanlah kumpulan sifat-sifat yang kita miliki, ataupun benda
yang kita tunjuk” (Barker, 2006:171). Identitas merupakan salah satu cara berpikir
tentang diri kita yang berubah dari satu situasi ke situasi yan lain menurut ruang
dan waktu. Seperti halnya pendapat Joanna Thornborrow dalam Linda Thomas
dan Shan Wareig (2006:224), “identitas yaitu siapa diri kita, bagaimana cara kita
memandang diri kita sendiri, bagaimana cara orang lain memandang diri kita,
tidak semata ditentukan oleh dari kalangan mana kita dilahirkan dan dibesarkan
atau dari mana kita termasuk”.
Giddens menambahkan bahwa identitas yang kita ciptakan membangun
apa yang kita pikir tentang diri kita dari situasi masa lalu dan masa kini dan
dengan apa yang sedang kita inginkan untuk masa yang akan datang. Proses ini
disebut dengan proyek. Proyek identitas ini tergantung pada situasi dimana kita
menerjemahkan budaya dalam konteks budaya tertentu. Giddens memberikan
pengertian tentang “proyek identitas adalah sesuatu yang kita ciptakan dan
dibentuk, sesuatu yang dalam proses, suatu gerak maju ketimbang sesuatu yang
dating kemudian” (Barker, 2006:171).
Bagi Giddens, identitas juga dianalogikan “sebagai isu agensi (individu
mengkonstruksikan suatu proyeksi) dan sebagai determinasi sosial (proyeksi kita
dikonstruksikan secara sosial dan identitas sosial melekat pada kita)” (Barker,
2006:186). Pengertian tersebut memiliki arti bahwa identitas dibentuk dengan
adanya individu yang tidak hanya dipengaruhi oleh faktor dalam diri individu
tersebut, namun lingkungan atau kehidupan sosial budaya yang
mengkonstruksikan hal demikian.
Konsep agensi diistilahkan oleh Giddens dengan kebebasan, kehendak
bebas, kreativitas dan orisinalitas. Agensi ini diproduksi secara sosial dan sumber
daya sosial yang beraneka ragam, kemudian menimbulkan kemampuan bertindak
pada ruang tertentu dengan berdasar atas pilihan dan determinasi sosial. Adapun
pilihan dan determinasi dalam menciptakan identitas adalah 1).dengan
membandingkan hasil dari tindakan kita di masa lalu dengan membuat penilaian
tentang tindakan mana yang terbaik, nilai yang telah dibangun secara sosial untuk
43
kita sebelumnya. Hal ini terlihat dalam perilaku mahasiswa asli banyumasan
dalam menggunakan dialeknya, 2).gagasan untuk memilih berdasarkan nalar
psikis dan emosional yang tidak pernah dapat sepenuhnya kita sadari seperti
halnya adanya pengaruh faktor eksternal yaitu lingkungan, 3).pilihan bersifat
rutinitas atau harian dan tidak terpikirkan secara sadar. Rutinitas menurut Giddens
(2005:158) meliputi ikatan dan bentuk kehidupan sehari-hari dibangun ulang
dalam kaitannya dengan perubahan sosial yang lebih luas, 4).dalam memilih,
kadang kita tidak memiliki pengetahuan ‘obyektif’ tentang kondisi tindakan kita
sendiri karena kita tidak dapat melangkah keluar dari situasi-situasi tersebut,
karena dipengaruhi oleh lingkungan sosial budaya. Hal inilah yang akan mengarah
kepada identitas dalam dialek banyumasan (Barker, 2006:188).
Dalam pilihan dan determinasi terdapat istilah orisinalitas.
Menindaklanjuti hal demikian, identitas sebagai sebuah hal yang tidak menentu
dan ditentukan, yang tidak berarti bahwa kita tidak orisinal. Identitas adalah suatu
proses sosial dan budaya, dimana individualitas tentang diri kita dapat dipahami
secara spesifik dimana sumber daya sosial diri kita diatur untuk melakukan pilihan
dan determinasi (Barker, 2006:189).
Oleh sebab itu, identitas bukan sesuatu yang tetap dan alamiah,
melainkan sebuah proses yang terus menerus berubah dan memiliki titik-titik
perbedaan yang semakin berkembang. Contohnya identifikasi dalam kelas,
gender, umur, seksualitas, agama, etnisitas, maskulin, dan lain-lain. Identitas ini
kemudian menjadi terkotak-kotak dengan beberapa makna identitas tertentu
(Barker, 2006:181).
Pemaknaan identitas ini dipengaruhi adanya individu dengan sosial
budaya yang berbeda dan dibentuk adanya tatanan sosial yang ada di masyarakat.
Hal tersebut menimbulkan identitas yang ditunjuk seseorang selalu berubah
menurut bagaimana subyek yang dipresentasikan. Hall berargumen bahwa
“identitas dibangun oleh sesuatu yang bersifat kontradiktif dan saling silang atau
saling meniadakan satu sama lain” (Barker, 2006:183). Maka, elastisitas
untuk memberikan makna dalam identitas menunjukan bagaimana kita
44
memikirkan diri kita dan orang lain yang disebabkan oleh pergeseran dan
perubahan karakter sang pemberi identitas.
Jadi, definisi identitas menurut Giddens dimaksudkan bahwa identitas
merupakan sesuatu yang kita pikirkan yang didalamnya terdapat proses
penciptaan dan pembentukan atau proyek identitas dengan melibatkan konsep
agensi berupa pilihan dan determinasi (pemaknaan identitas). Hal tersebut tidak
terlepas dari pemaknaan identitas yang bersifat bebas, dinamis, terus-menerus
berkembang dan berubah.
.
b. Bahasa, Identitas Kedaerahan dan Konstruksi Budaya
Eksistensi dialek banyumasan merupakan wujud dari identitas
kedaerahan, dalam proses tersebut terjadi sebuah konstruksi budaya dari suatu
kelompok masyarakat tertentu. Perkembangan bahasa daerah dengan perbedaan
logat atau dialeknya yang khas, dalam kerangka pemikiran Chaika (1994:270)
bahwa dialek menunjukan bagaimana orang berbicara terkait dengan identitas
yang dimilikinya. Akan tetapi, dialek juga sebagai proses awal pembentukan
terbentuknya masyarakat untuk saling berkomunikasi satu sama lain dengan
bahasa ibu yang mereka sepakati bersama, “dialect studies show that how one
speaks is inextricably bound up with one’s identity. Who one is, how one may be
treated, and how one may treat other are all proclaimed in one’s speech. In
earlier times, in stable societies, people in a community knew one another and
knew where everyone belonged on the social scale”. Artinya, studi tentang dialek
menunjukan bagaimana seseorang berbicara yang tidak bisa terlepas dari identitas
seseorang. Seseorang yang dapat dikatakan dan seseorang yang dapat mengatakan
menjadi bagian yang lainnya (satu kelompok identitas) adalah dengan cara
berbicara orang tersebut. Pada awalnya, masyarakat dibangun oleh orang dalam
suatu komunitas satu dengan komunitas lainnya dan memasukan diri mereka
menjadi bagian dalam skala sosial.
Masing-masing masyarakat khususnya suku bangsa yang mendiami
wilayah tertentu, membangun dan mengembangkan kebudayaan serta
memperlihatkan identitas sebagai pendukung kebudayaan. Begitu juga dengan
45
bahasa. Salah satu hal untuk menentukan identitas kita dan untuk mempengaruhi
cara orang lain memandang kita adalah melalui cara kita menggunakan bahasa.
Orang akan menggunakan bahasa untuk membentuk identitas sosial atau lebih
dari identitas sosial. Bahasa sangat penting bagi pembentukan identitas individu
dan identitas sosial. Masalah identitas tersebut meliputi siapa diri kita, bagamana
cara kita memandang diri kita sendiri, bagaimana cara orang lain memadang diri
kita, tidak semata ditentukan dari kalangan mana orang tua kita dilahirkan dan
dibesarkan atau dari kelas mana orang tua kita berasal, dan digolongan mana kita
termasuk. Keberadaan identitas individu dan identitas sosial atau identitas
institusional adalah sesuatu yang terus-menerus dibentuk dan dinegosiasikan
dalam sepanjang kehidupan kita lewat interaksi kita dengan orang lain (Linda
Thomas, 2007:223-235).
Selain itu, bahasa memiliki konsep konstruksi yang mengarah pada
pandangan untuk memperkuat pemahaman diri. Menurut Hall “bahasa dan
pemikiran membentuk ‘aku’, keduanya membawa ’aku’ kepada hakikat melalui
proses pemaknaan” (Barker, 2006:178). Seseorang yang tidak memiliki ‘aku’,
maka orang tersebut tidak memiliki identitas. Bahasa membangun makna melalui
serangkaian perbedaan yang bersifat relasional dan tidak stabil. Akan tetapi,
bahasa juga bersifat mendefinisikan, mengkonstruksikan dan memproduksi obyek
pengetahuan seseorang terhadap sesuatu, sehingga muncul karakteristik identitas
sesuatu tersebut.
Karakteristik identitas tentang sesuatu merupakan hasil konstruksi diri.
Menurut Anthony Giddens, (2005:163) adalah sebagai ”proyek refleksif, bagian
elemental dari refleksivitas modernitas, seorang individu harus menemukan
identitasnya sendiri diantara sejumlah strategi dan pilihan yang disediakan oleh
sistem abstrak”.
Identitas merupakan satu unsur subyektif yaitu berhubungan dengan
dialektis di masyarakat. Karena, identitas dibentuk oleh proses-proses sosial,
maka identitas dipelihara, dimodifikasi atau malahan dibentuk ulang oleh
hubungan-hubungan sosial. Proses-proses sosial yang terlibat dalam membentuk
dan mempertahankan identitas ditentukan oleh struktur sosial. Sebaliknya
46
identitas yang dihasilkan oleh interaksi antara organisme, kesadaran individu dan
struktur sosial yang sudah diberikan, memeliharanya, memodifikasinya atau
bahkan membentuknya kembali. Masyarakat mempunyai sejarah dan di dalam
perjalanan sejarah itu muncul identitas-identitas khusus, tetapi sejarah itu dibuat
oleh manusia dengan identitas-identitas tertentu pula.
Oleh sebab itu, menurut Khan (1995) dalam Yekti Mauneti (2006:24-25),
identitas merupakan budaya yang dikonstruksi dan menemukan konteksnya.
Karena kebudayaan dipandang sebagai produk dari proses budaya sebelumnya
dan sebagai sesuatu yang terbuka bagi segala gagasan lama dan baru.
Demikian pula pernyataan Ariel Haryanto (1989:3), ”bahasa tidak hanya
dibentuk dan ditentukan, tetapi juga membentuk dan menentukan sejarah sosial”.
Karena bahasa bukan hanya sebagai alat mengungkapkan pikiran dan komunikasi,
tetapi juga pembentuk pikiran dari tatanan sosial dari tiap individu.
Konstruksi identitas juga terkait dengan dialektika antara individu dan
masyarakat, karena identitas merupakan produk-produk sosial secara sosial
obyektif. Selain itu, dialektika juga berkaitan antara alam (sosio-historis) dan
masyarakat. Dialektika ini terjadi dalam situasi sosio-historis yang sudah
berstruktur. Dialektika berlangsung terus-menerus dari awal dan terus
berkembang selama eksistensi individu dalam masyarakat secara sosio-historis.
Secara lahiriah, individu sebagai dialektika dengan dunia sosialnya dan
merupakan produk sosial. Sedangkan secara batin, individu merupakan dialektika
antara faktor biologis individu. Faktor biologis individu memberi batasan secara
sosial bagi tiap individu, karena dunia sosial yang ada telah menetapkan batas-
batas sosial secara biologis. Dialektika dianggap sebagai pertarungan antara diri
yang lebih tinggi dengan diri yang lebih rendah, yang masing masing-masing
dipersamakan dengan identitas secara pro-sosial dan anti-sosial. Terkadang, diri
yang lebih tinggi menguasai diri yang lebih rendah (Berger, Peter L. dan Thomas
Luckmann, 1990:248-261).
Menurut Eriksen (1993) dalam Yekti Mauneti (2006:27-28) identitas
kultural sebagai konstruksi untuk memperkuat identitas kelompok yang terancam
atau golongan minoritas. Identitas sifatnya berubah secara situasional tergantung
47
identitas tersebut dikontruksikan. Identitas yang dikonstruksi melibatkan other.
Menurut Eriksen (1993:62) dalam Yekti Mauneti (2006:24) sejumlah other
adalah:
“kelompok-kelompok dan kolektivitas-kolektivitas selalu terbentuk dalam hubungannya dengan sejumlah other. Identitas bersama bangsa Eropa, misalnya akan selalu harus mendefinisikan dirinya dalam kontras dengan identitas Muslim Timur Tengah, atau Arab mungkin juga dalam hubungannya dengan identitas-identitas Afrika, Asia Timur, dan Amerika Utara, tergantung pada situasi sosialnya (1993:62)” (Yekti Mauneti, 2006:29).
Menurut Khan (1995) dalam Yekti Mauneti (2006:28) terjadinya
konstruksi identitas terdapat tumpang tindih permasalahan budaya. Sedangkan
menurut King (1982) dalam Yekti Mauneti (2006:29) bahwa proses pertukaran
kebudayaan terjadi dalam waktu yang lama meliputi proses asimilasi antar
kelompok etnis. Sehingga proses konstruksi identitas tersebut bersifat kompleks
sebagian karena konstruksi merupakan salah satu produk sejarah.
Jadi konstruksi identitas sebagai identitas budaya yang dibentuk dan
dibangun berkaitan dengan konsep budaya. Proses kebudayaan terdapat interaaksi
yang berjalan terus-menerus bahkan terjadi asimilasi budaya.
Identitas yang dibentuk dan dibangun oleh masyarakat merupakan proses
sosial (proyek identitas) yang didalamnya terdapat pemberian nama atau tanda.
Menurut Joanna Thornborrow dalam Linda Thomas dan Shan Wareig (2007:230).
”pemberian nama kepada seseorang, juga dapat sekaligus menjadi tanda bahwa
orang itu diterima kedalam kelompok budaya atau agama tertentu, sehingga nama
itu tidak hanya memberikan identitas individu tapi juga sekaligus memberikan
identitas individu kelompok atau agama”.
Identitas berupa pemberian nama atau tanda mengarah kepada pelabelan
atau pengkategorian kelompok tertentu. Hal ini dicontohkan oleh Sacks terhadap
para remaja yang mengendarai mobil yang dianggapnya karena masih remaja dan
seharusnya belum mengendarai mobil. Dari pengkategorian tersebut
mengidentifikasikan bahwa seseorang atau kelompok tersebut masuk dalam
golongan remaja yang merupakan bagian dari konstruksi orang dewasa yang
menyebut mereka masih dalam kategori remaja.
48
Peristiwa tersebut memposisikan seseorang atau kelompok dalam suatu
kategori tertentu dengan pemberian label tertentu. Kelompok yang lebih kuat
posisinya (mayoritas) akan membuat dan memberikan label kepada kelompok
yang lemah (minoritas) untuk penilaian terhadap kelompok yang dilabeli (Linda
Thomas dan Shan Wareig, 2007:237).
Bahkan dalam penelitian Yekti Mauneti tentang identitas masyarakat
Dayak dengan mengambil ringkasan dari tulisan Vickers (1989) yang
memberikan gambaran bagaimana penjajah Belanda mendefinisikan citra Bali
dari citra sebagai sebuah tempat yang liar tidak beradab menjadi citra sebuah
pulau surga.
Selain itu, menurut M. Ainul Yaqin (2005:98-101), istilah stereotip atau
pelabelan masuk dalam kategori penilaian yang bersifat negatif. Hal ini dijelaskan
bahwa didalam beragamnya bahasa khususnya dialek, dapat menimbulkan
penilaian-penilaian terhadap dialek yang ada, yang berupa penilaian positif dan
penilaian negatif (stereotip). Penilaian positif sebuah bahasa dapat dilihat dari
penggunaan Bahasa Inggris secara sukarela oleh masyarakat internasional sebagai
bahasa resmi antar bangsa di dunia. Penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa
Internasional lebih didasari oleh sejarah masa lalu. Pada era kolonialisme Inggris
yang mempunyai wilayah jajahan terluas. Sedangkan di Indonesia sendiri,
penilaian positif dapat dilihat dari disetujuinya bahasa Indonesia sebagai bahasa
persatuan, bahasa nasional resmi bagi seluruh bangsa Indonesia pada Kongres
Pemuda 1928. Hal ini dikarenakan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional
untuk bahasa perdagangan di wilayah Nusantara.
Akan tetapi, stereotip dapat terjadi kepada satu bahasa tertentu. Stereotip
ini disebabkan oleh etnosentrisme budaya yang berakibat pada etnosentrime
bahasa. Pandangan etnosentrisme bahasa yaitu kecenderungan mengukur bahasa
orang lain dengan bahasa sendiri. Sehingga akan berakibat pada pemaknaan
bahwa bahasa orang lain akan dinilai sebagai bahasa yang aneh, lucu, kasar dan
dinilai tidak baik.
Penjelasan di atas mengarahkan kita kepada pengertian bahwa bahasa
dengan adanya perbedaan dialeknya masing-masing merupakan hasil kontruksi
49
masyarakat terkait dengan konstruksi identitas kedaerahan. Identitas yang terdiri
dari identitas individu dan identitas sosial tersebut, mengalami proses dialektika
dan adanya proses sosialisasi dengan penafsiran secara sosial dan historis. Karena
konsep identitas tidak bisa terlepas dari konteks sejarah dan proses kontruksi
kehidupan sosial budaya di masyarakat. Bahasa yang memiliki keanekaragaman
dialek atau logat terdapat penilaian-penilaian atau pemberian suatu label (cap)
terhadap dialek, yang berupa penilaian positif dan penilaian negatif (stereotip).
B. Kerangka Berpikir
Bangsa Indonesia dalam perkembangan menuju mayarakat yang bebas
dan berdaulat dalam keanekaragaman suku, budaya, agama, ras, dan bahasa. Pada
dasarnya dinamika masyarakat dan kebudayaan di Indonesia sesuai dengan
perjalanan waktu dari masa ore baru dan masa reformasi muncul masyarakat
majemuk dan masyarakat multikultural. Salah satu perkembangan kebudayaan
dalam masa orde baru dan reformasi adalah mengenai eksistensi bahasa. Bahasa
merupakan salah satu unsur budaya dan berfungsi dalam berinteraksi dan
berkomunikasi antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya untuk
mencapai kesatuan integrasi dalam puncak kebudayaan nasional. Istilah bahasa,
ada yang berupa bahasa nasional dan bahasa lokal (bahasa daerah). Bahasa daerah
ini memiliki perbedaan dalam hal logat atau yang biasa disebut dengan dialek.
Dalam penelitian ini akan meneliti tentang dialek banyumasan yang oleh
orang luar daerah banyumasan disebut dengan dialek ngapak. Dialek ini telah
mengalami pergeseran bahasa dari para penuturnya, terutama kalangan mahasiswa
yang asli dari banyumasan di kota Surakarta. Penelitian ini berdasarkan kasus
penggunaan dialek banyumasan oleh mahasiswa asli banyumasan yang datang
dengan tujuan belajar di Universitas Sebelas Maret Surakarta terutama dalam
berinteraksi sehari-hari di lingkungan kos dan kampus. Fenomena yang terjadi
adalah mereka sudah jarang menggunakan bahasa asli banyumasan, bahkan ada
yang benar-benar menghilangkan bahasa ibu mereka dengan Bahasa Indonesia
ataupun menyisipkan kata-kata atau istilah asing. Fenomena tersebut ada beberapa
50
kecenderungan perasaan malu, gengsi dan alasan untuk beradaptasi dengan daerah
yang didatanginya.
Akan tetapi, dialek banyumasan disatu pihak merupakan salah satu
kekuatan dan ciri khas suatu daerah, apalagi mahasiswa sebagai generasi muda
sudah selayaknya melestarikan budaya dari warisan luhur. Dialek banyumasan
merupakan perwujudan bagaimana orang berbicara terkait dengan identitas
masyarakat banyumasan. Identitas dalam dialek banyumasan ini ada kaitannya
dengan sebuah konstruksi budaya. Konstruksi budaya terkait konstruksi identitas
dialek banyumasan di lingkungan UNS. Hal tersebut merujuk dari teori Anthony
Giddens yang mencakup empat hal, yaitu adanya stereotip dan persepsi berupa
tindakan masa lalu yang berasal dari mahasiswa asli banyumasan dan mahasiswa
luar banyumasan, adanya pilihan penggunaan dialek di kalangan mahasiswa asli
banyumasan, rutinitas berdialek bagi mahasiswa asli banyumasan, serta
keberadaan lingkungan kos dan kampus dalam konstruksi dialek banyumasan.
Keempat hal tersebut merupakan alur yang menggambarkan proyek identitas di
UNS. Selanjutnya keempat hal tersebut akan memberikan gambaran mengenai
upaya mahasiswa asli banyumasan untuk mempertahankan bahasa ibu mereka
pada saat berada di luar induk banyumasan yaitu di lingkungan kos dan kampus
UNS.
Untuk memperjelas keterangan di atas, berikut kerangka berpikir dalam
penelitian ini :
51
Gambar 1. Alur Berpikir Konstruksi Identitas Dialek Banyumasan
KONSTRUKSI IDENTITAS DIALEK BANYUMASAN
IDENTITAS (GIDDENS)
Stereotip dan Persepsi
Pemilihan Dialek
Rutinitas Penggunaan Dialek
Lingkungan Kos dan Kampus
Upaya Mahasiswa Asli Banyumasan Dalam Mempertahankan
Dialek Banyumasan
52
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Secara umum, metode adalah prosedur atau cara untuk mengetahui
sesuatu secara sistematis. Sementara metodologi ialah suatu kajian untuk
mempelajari peraturan-peraturan dari suatu metode. Jadi metode penelitian adalah
kajian untuk mempelajari peraturan-peraturan dalam penelitian. Jika ditinjau dari
segi filsafat, metodologi penelitian merupakan epistemologi penelitian, yaitu
menyangkut bagaimana seorang peneliti mengadakan penelitian (Husaini Usman
dan Purnomo Setiady A, 2000: 42)
Sedangkan menurut Agus Salim (2006:11) dan Dedy Mulyana
(2006:145), metodologi adalah proses, prinsip, dan prosedur untuk memecahkan
problem dan mencari jawaban dengan mengkaji topik penelitian. Perspektif
metodologi dipengaruhi perspektif yaitu perspektif yang memungkinkan peneliti
memahami data dan menghubungkan data yang rumit dengan peristiwa atau
situasi yang lain.
Adapun pokok-pokok kajian dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
A. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di lingkungan kos dan kampus sekitar
Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS). Subyek penelitian yaitu mahasiswa
asli banyumasan yang belajar di UNS. Secara spesifik mahasiswa asli
banyumasan yang dimaksud yaitu mahasiswa asli banyumasan yang berasal dari
eks Karesidenan Banyumasan meliputi Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas,
Cilacap dan Kebumen. Pertimbangan secara ilmiah terkait dengan subyek dalam
penelitian ini adalah karena para penutur atau pengguna dialek banyumasan asli
yaitu mereka (mahasiswa asli banyumasan) yang dari kecil hingga saat ini
menempuh studi secara akademik berkecimpung dengan dialek banyumasan.
Akan tetapi fenomena sosial yang muncul, dialek banyumasan mulai terjadi
pergeseran di kalangan mahasiswa asli banyumasan. Pergeseran tersebut nampak
53
pada penggunaan dialek banyumasan yang tidak secara utuh terutama di
lingkungan kos dan kampus. Sebagai contoh pergeseran pada dialek Solo-Yogya
dan Bahasa Indonesia.
2. Waktu Penelitian
Penelitian ini diawali dengan penyusunan proposal, penyusunan desain
penelitian, pengumpulan data, analisis data dan penulisan laporan hingga
penulisan laporan akhir. Adapun rincian waktu yang dibutuhkan untuk melakukan
penelitian ini adalah sebagai berikut.
Tabel 1. Waktu Penelitian
Waktu No. Kegiatan
Des ’08 Januari -
April’09
Mei’09 -
Juni’09
Juli’09
1. Penyusunan Proposal
2. Penyusunan Desain
Penelitian
3. Pengumpulan Data
4 Analisis Data
5. Penulisan Laporan
Akhir
B. Bentuk dan Strategi Penelitian
1. Bentuk Penelitian
Bentuk penelitian dalam penelitian ini yaitu penelitian kualitatif yang
bertujuan untuk menggali atau membangun proporsi atau menjelaskan makna di
balik realita. Peneliti melihat peristiwa di lapangan, berupaya menemukan apa
yang sedang terjadi dalam dunia yang diteliti (Burhan Bungin, 2003:82).
Penelitian kualitatif merupakan penelitian multimetode dengan satu fokus masalah
54
penelitian. Disamping itu penelitian kualitatif memiliki sudut pandang naturalistik
dan pemahaman interpretif tentang pengalaman manusia (Agus Salim, 2006:35-
38). Sudut pandang naturalistik menurut H.B. Sutopo (2002:33) bahwa topik
penelitian kualitatif diarahkan pada kondisi asli (yang sebenarnya) dari subyek
penelitian. Kondisi subyek tersebut tidak dipengaruhi oleh perlakuan (treatment)
secara ketat oleh peneliti. Sedangkan sudut pandang interpretif dalam penelitian
kualitatif yaitu penafsiran data (termasuk penarikan simpulannya) secara
idiografis, yaitu mengkhususkan kasus daripada secara nomotetis (mengikuti
hukum-hukum generalisasi). Karena interprestasi dalam penelitian kualitatif tidak
mengarah pada melakukan generalisasi dari hasil penelitiannya (H.B.Sutopo,
2002:44). Sedangkan menurut Bogdan dan Taylor (1975:5) dalam Lexy
J.Moleong, 2007:4) mendefinisikan ”metodologi kualitatif sebagai prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan
dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati”.
Tugas peneliti dalam penelitian kualitatif menurut H.B Sutopo (2002:35)
yaitu menggambarkan atau menjelaskan tentang situasi yang sebenarnya untuk
mendukung penyajian data dari lapangan. Pendekatan kualitatif ini meliputi pada
latar ilmiah dan individu secara holistik (utuh) yaitu tidak mengisolasi individu
atau organisasi kedalam variabel atau hipotesis, tetapi sebagai bagian dari
keutuhan atau keseluruhan. Menurut Denzin dan Lincoln (1987) dalam Lexy
J.Moleong (2007:5) mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai penelitian yang
menggunakan latar ilmiah dengan tujuan untuk menafsirkan fenomena yang
terjadi dengan metode yang telah ada. Disamping itu, dalam konteks Jane Richie,
penelitian kualitatif adalah ”upaya untuk menyajikan dunia sosial dan
perspektifnya di dalam dunia dari segi konsep, perilaku, persepsi dan persoalan
tentang manusia yang diteliti” (Lexy J. Moleong, 2007:6).
Dari kajian tentang definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa
penelitian kualittatif adalah penelitian untuk memahami fenomena tentang apa
yang dialami oleh subyek penelitian meliputi perilaku, persepsi, tindakan yang
sifatnya secara holistik dan naturalistik. Penafsiran kualitatif secara interpretif atas
55
pengalaman manusia dengan menggunakan deskripsi dalam bentuk kata-kata dan
bahasa dan dengan metode yang sistematis.
Oleh karena itu, dalam penelitian ini, peneliti hendak mendeskripsikan
dan menggali data tentang pergeseran penggunaan dialek banyumasan yang
terjadi di lingkungan kos dan kampus UNS tentang konstruksi identitas dialek
banyumasan.
2. Strategi Penelitian
Menurut Edward Taylor (1991) dan Gadamer (1991) dalam Achmad
Fedyani S (2005:286) pendekatan interpretif menolak antara subyektivitas dan
objektivitas yang berarti bahwa mereduksi makna yang kompleks produk diri
sendiri, tapi berdasarkan jaringan makna yang tidak pernah direduksi sebelumnya.
Maka, pendekatan interpretif merupakan ”titik balik ke dunia obyektif yang
memandang dunia sebagai lingkaran makna yang di dalamnya kita menemukan
diri sendiri dan yang tak pernah dapat kita melampauinya”. Hal tersebut menjadi
garis besar pendekatan interpretif sebagai pemahaman untuk menemukan makna
dari suatu kejadian atau praktik sosial dalam konteks sosial tertentu.
Achmad Fedyani S (2005:290-297) menambahkan bahwa penelitian ini
mengikuti pendapat Clifford Geertz tentang pendekatan interpretif simbolik atau
antropologi simbolik. Dalam dunia antropologi, istilah simbol sudah ada semenjak
abad ke-19 dengan tokoh Edward Taylor bahwa kekuatan penggunaan kata-kata
sebagai tanda untuk mengekspresikan pemikiran dan bersifat arbiter (berubah).
Mengekspresikan bunyi tidak secara langsung maka dihubungkan dengan simbol
yang berupa bahasa yang ada pada manusia. Disamping itu, pendapat Cassier
(1976) bahwa simbol merupakan ekspresi dari simbolik pengalaman manusia.
Pada dasarnya ”manusia tidak lagi hidup semata-mata dalam semesta fisik,
manusia hidup dalam semesta simbolik. Bahasa, mite, seni dan agama adalah
bagian dari semesta alam ini. Bagian-bagian dari semesta alam ini bagaikanan
aneka ragam benang yang terjalin membangun anyaman jaring-jaring simbolik”.
Dan salah satunya bahasa yang merupakan bagian dari bentuk interaksi yang
berbentuk simbol secara verbal. Bahasa dalam sistem simbol dijadikan pedoman
untuk memberikan suatu tanda makna yang spesifik karena simbol atau tanda
56
memiliki makna dalam satu konteks sosial dan makna lain dalam konteks yang
berbeda pula. Jadi antropologi simbolik atau interpretif simbolik adalah strategi
pendekatan dalam penelitian sosial yang memandang manusia sebagai pembawa
dari produk, sebagai subyek sekaligus obyek, dari suatu sistem tanda dan simbol
yang berlaku dalam berkomunikasi pesan.
Oleh karena itu, Miles Richarson (1984) dalam Achmad Fedyani S
(2005:298) bahwa antropologi dengan pendekatan interpretif merupakan
kombinasi konsep kebudayaan yang berupa simbol dengan konsep kebudayaan
yang berupa interaksi sosial. Sedangkan, menurut Denzin dalam Dedy Mulyana,
(2006:149) ada tujuh karakteristik interaksi simbolik, yaitu (a). simbol dan
interaksi menjadi satu sebelum penelitian tuntas, (b). peneliti meneliti perspektif
atau peran orang lain yang bertindak dan memandang dunia dari sudut pandang
subyek, (c). peneliti mengaitkan simbol dan definisi subyek hubungan sosial dan
kelompok sosial, (d). Pengamatan dan pencatatan setting perilaku dalam interaksi,
(e). metode penelitian tentang proses atau bentuk perubahan perilaku yang statis
(tetap), (f). pelaksanaan penelitian sebagai interaksi simbolik, (g). menggunakan
konsep operasional (jelas) dan teori universal serta interaksional).
Berdasarkan pendekatan interpretif simbolik di atas, maka penelitian ini
menggunakan sudut pandang penelitian yang sifatnya emik. Menurut Clifford
Geertz tugas dari interpretif simbolik merupakan penelitian yang menyediakan
jawaban bagi kita adalah orang lain dan dengan demikian melibatkan catatan
(rekaman) mengenai apa yang dikatakan orang. Maka, untuk mengungkapkan
jawaban mengenai masalah-masalah mendasar dari manusia termasuk hakikat dan
makna, selain bagaimana identitas manusia didefinisikan dan dipelihara,
kemudian menterjemahkan jawaban-jawaban itu menjadi konsep-konsep yang
dipahami bagi peneliti dengan memperluas universe. Memperluas universe yaitu
bahwa tugas peneliti mengungkapkan struktur-struktur konseptual (keadaan
sebenarnya) yang menginformasikan perilaku subyek diri kita dan
mengkonstruksi yang berisi informasi perilaku yang sebenarnya dari subyek
penelitian (Achmad Fedyani S, 2005:304).
57
Pendekatan interpretif simbolik dengan sudut pandang emik yang
universe ini, oleh Clifford Geertz menggambarkan penelitian dengan deskripsi
yang tebal. Artinya bahwa dengan adanya kemajemukan konseptual dalam teori
dimaksudkan untuk memahami makna kemudian menginterprestasikan makna
tersebut dalam bahasa yang dapat dipahami (Achmad Fedyani S, 2005:306).
Selain itu, menurut H.B Sutopo (2002:110), penelitian deskriptif adalah penelitian
yang merupakan pengembangan dari penelitian eksploratif. Artinya bahwa dalam
penelitian yang mengarah kepada pada pendeskripsian secara rinci dan mendalam
mengenai kondisi sebenarnya lapangan.
Deskripsi penelitian ini yaitu yaitu pergeseran dialek banyumasan di
kalangan mahasiswa asli banyumasan yang belajar di UNS. Pendeskripsian
tersebut meliputi persepsi mahasiswa asli banyumasan mengenai dialek
banyumasan, penggunaan dialek banyumasan di lingkungan kos dan kampus serta
upaya mahasiswa asli banyumasan mempertahankan identitas dialek banyumasan.
C. Sumber Data
Penelitian ini menggunakan sumber data berupa informan, peristiwa atau
aktivitas, dan tempat atau lokasi. Menurut H.B.Sutopo (2002:50) informan
(narasumber) adalah individu yang memiliki informasi.
“Dalam penelitian kualitatif posisi sumber data manusia (narasumber) sangat penting perannya sebagai individu yang memiliki informasinya. Peneliti dan narasumber disini memiliki oposisi yang sama, dan narasumber bukan sekedar memberikan tanggapan pada yang diminta peneliti, tetapi ia bisa lebih memilih arah dan selera dalam menyajikan informasi yang ia miliki. Karena posisi ini, sumber data yang berupa manusia di dalam penelitian kualitati lebih tepatnya disebut sebagai informan daripada responden”
Definisi informan menurut Fontan dan Frey (1994) bahwa :
“informan adalah seseorang yang bertindak sebagai pembantu peneliti, tetapi ia berasal atau menjadi anggota kelompok yang diteliti. Tugas informan yang utama adalah sebagai petunjuk jalan (guide) dan penerjemah kebiasaan-kebiasaan yang bersifat kultural, serta istilah-istilah khas atau ungkapan-ungkapan yang dikembangkan secara khusus oleh anggota masyarakat”
58
Sedangkan definisi informan menurut James P. Spradley (1997:46),
“informan adalah manusia yang mempunyai masalah, keprihatinan dan
kepentingan”. Informan merupakan bagian dari masyarakat yang hidup kompleks
antar satu masyarakat satu dengan masyarakat lainnya, sehingga peneliti harus
mengetahui situasi penelitian lapangan yang sedang dihadapi dan harus
memperhatikan kepentingan tertentu pada diri si informan.
Menurut Suwardi Endraswara (2006:119), sangat penting dalam
menentukan informan kunci. Adapun karakteristik informan kunci, diantaranya
1.informan memiliki pengalaman pribadi sesuai dengan permasalahan yang
diteliti, 2.usia informan telah dewasa, 3.informan sehat jasmani dan rohani,
4.informan bersifat netral, tidak mempunyai kepentingan pribadi untuk
menjelekkan orang lain, 5.Informan tersebut merupakan tokoh masyarakat,
6.Informan memiliki pengetahuan yang luas mengenai permasalahan yang diteliti.
Adapun informan kunci dalam penelitian ini adalah mahasiswa asli
banyumasan yang belajar di UNS dengan karakteristik informan, yaitu
a.mahasiswa asli banyumasan yang meliputi mahasiswa yang berasal dari
Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap dan Kebumen, b.mahasiswa asli
banyumasan dilihat dari latar belakang ekonomi, pendidikan, dan sosial budaya
(interaksi sosial dan kebiasaan sehari-hari), c.mahasiswa asli banyumasan yang
baru dan sudah lama tinggal di kota Surakarta (UNS), d.mahasiswa asli
banyumasan dalam lingkungan kos dan kampus, e.mahasiswa asli banyumasan
yang mengikuti dan yang tidak mengikuti komunitas mahasiswa banyumasan.
Peran informan di atas adalah untuk menjawab tentang konstruksi identitas
dialek banyumasan dalam proses individu dan proses sosial, yang meliputi :
1). persepsi mahasiswa asli banyumasan terhadap dialek banyumasan dalam
pergaulan sehari-hari dilihat dari :
a). persepsi mahasiswa asli banyumasan jika dikatakan bahwa dialek
banyumasan semakin ditinggalkan oleh para penutur aslinya dan bahasa yang
lucu serta bersifat prestise,
b). peran dialek banyumasan,
c). pemilihan penggunaan dialek di kalangan mahasiswa asli banyumasan,
59
2). pengaruh lingkungan dalam mempertahankan identitas kedaerahan, yaitu :
a). penggunaan dialek banyumasan di kos,
b). penggunaan dialek banyumasan di kampus,
3). upaya mahasiswa asli banyumasan dalam melestarikan dialek banyumasan,
melalui :
a). komunitas banyumasan,
b). upaya secara individu.
Disamping itu, dalam penelitian ini juga melibatkan beberapa informan
pendukung yaitu mahasiswa luar banyumasan. Tujuan penggalian informasi dari
mahasiswa luar banyumasan adalah untuk mencari makna identitas tentang dialek
banyumasan dari luar penutur aslinya.
Adapun dalam rangka penggalian informasi kepada mahasiswa luar
banyumasan, terkait:
(1). makna dialek banyumasan yang didapat baik pada saat mendengarkan
percakapan maupun persepsi secara umum,
(2). kesan yang diperoleh pada saat mendengarkan percakapan yang berdialek
banyumasan melalui pemutaran film veronika.
Sumber data yang kedua pada penelitian ini yaitu berupa peristiwa atau
aktivitas. Peristiwa adalah sumber data secara disengaja ataupun tidak disengaja,
sedangkan aktivitas merupakan rutinitas yang berulang atau yang hanya satu kali
terjadi. Aktivitas tersebut meliputi aktifivas secara formal ataupun tidak formal,
tertutup atau terbuka untuk dapat diamati oleh siapapun (H.B Sutopo, 2002:51).
Terkait dengan peristiwa, aktivitas dan perilaku, dalam penelitian ini
hendak mengamati atau mengobservasi mengenai lingkungan kos dan kampus
yang berpengaruh pada pergeseran dialek banyumasan dan upaya untuk
mempertahankan identitas kedaerahan.
Sumber data yang ketiga, yaitu berkaitan dengan tempat atau lokasi
penelitian. Menurut HB Sutopo (2002:52), “informasi mengenai kondisi dari
lokasi peristiwa atau aktivitas dilakukan bisa digali lewat sumber lokasinya baik
yang merupakan tempat maupun lingkungannya. Dari pemahaman lokasi dan
60
lingkungannya peneliti bisa secara cermat mencoba mengkaji dan secara kritis
menarik kemungkinan simpulan yang berkaitan dengan permasalahan penelitian”.
Oleh karena itu, lokasi yang diambil dalam penelitian ini, merujuk pada
peristiwa atau aktivitas yang terjadi dalam penggunaan dialek banyumasan
dikalangan mahasiswa asli banyumasan yang meliputi kehidupan sehari-hari di
lingkungan kos dan kampus di UNS.
D. Teknik Pengambilan Informan
Penelitian ini menggunakan teknik informan berdasarkan informan kunci
dan informan pendukung. Menurut James Spradley (1997:61), kriteria pemilihan
informan, yaitu 1.enkulturasi penuh, 2. keterlibatan langsung, 3. suasana budaya
yang tidak dikenal, 4. waktu yang cukup, 5. non analitis.
Selain itu, ada pertanyaan dasar dalam menentukan informan yang benar
adalah a. pemilihan informan yang memadai, b.menanyakan pada mereka
berbagai hal yang mereka tahu dan kuasai. Dengan kata lain, kita harus
mengadakan seleksi para informan yang mempunyai kemampuan yang kita
butuhkan. Penentuan informan dilakukan dengan menggunakan jaringan, yaitu
berdasarkan informasi yang diperoleh dari pemilihan mahasiswa yang berasal dari
asli banyumasan melalui perkenalan dengan teman di lingkungan kos dan kampus.
Selain itu, penentuan informan melalui perkumpulan atau komunitas banyumasan
dari masing-masing daerah seperti komunitas mahasiswa yang asli banyumasan,
yaitu seperti Kepamba yang merupakan secara umum bagi mahasiswa asli se-eks
Karesidenan Banyumasan (Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap,
Kebumen), Kecap (mahasiswa yang hanya berasal dari Cilacap), Kluban
(kelompok mahasiswa Banyumas), Fosimba (forum komunikasi mahasiswa
Banjarnegara), dan Amarangga (Forum komunikasi mahasiswa Purbalingga).
E. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data berupa wawancara
dan observasi. Menurut Denzin (1970) dalam (Black, James A. dan Dean J.
Champion, 1992:306) “wawancara adalah pertukaran percakapan dengan tatap
61
muka dimana seseorang memperoleh informasi dari yang lain”. Sehingga, dalam
wawancara terdapat dua pelaku. Menurut Lexy J.Moleong (2007 : 186), dua
pelaku tersebut yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan
dan terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan.
Selanjutnya Koentjoroningrat (1986:129) memberikan penjelasan berdasar
metode penelitian masyarakatnya, bahwa wawancara adalah penelitian untuk
mengumpulkan keterangan kehidupan manusia dalam masyarakat dan sebagai alat
pembantu utama dari metode observasi (pengamatan)
Adapun wawancara dalam penelitian ini yaitu wawancara tidak
terstruktur, atau yang biasa disebut dengan wawancara mendalam (indepth
interviewing), karena peneliti tidak tahu apa yang belum diketahuinya.
Wawancara dilakukan untuk mencari kedalaman informasi dengan cara yang tidak
terstruktur berupa pertanyaaan open-ended (terbuka) untuk menggali pandangan
subyek yang diteliti. Wawancara mendalam (indepth interviewing) akan
mendapatkan situasi yang akrab. Peneliti berhadapan langsung dengan subyek
yang diwawancarai dan situasi di sekitar informan (H.B Sutopo, 2002:59-60).
Sedangkan menurut Malinowski, wawancara mendalam merupakan
wawancara tidak terstruktur yang digunakan untuk memahami perilaku kompleks
dari anggota masyarakat tanpa kategorisasi penelitian (Burhan Bungin, 2003:90).
Wawancara mendalam menurut Bogdan dan Taylor (1975:8) tugas peneliti
dengan dua pertanyaan yaitu pertanyaan subtantif dan pertanyaan teoritik.
Pertanyaan substansif meliputi persoalan aktivitas budaya, dan pertanyaan teoritik
berupa pertanyaan tentang makna dan fungsi. Disamping itu, wawancara
mendalam tidak hanya dilakukan sekali atau dua kali, melainkan berulang-ulang.
Peneliti tidak percaya begitu saja pada apa yang dikatakan informan, melainkan
perlu melakukan pengecekan melalui pengamatan. Itulah sebabnya cek dan re-cek
secara bergantian dari hasil wawancara ke pengamatan di lapangan, atau dari
informan yang satu ke informan yang lain (Suwardi Endraswara, 2006:152).
Dalam hal ini, wawancara akan dilakukan kepada informan, yaitu
mahasiswa asli banyumasan (Banyumas, Purbalingga, Banjarnegara, Cilacap dan
Kebumen) yang belajar di UNS. Selain itu, informan pendukung yang
62
diwawancari adalah mahasiswa luar banyumasan, hal ini ditunjukan untuk
mencari jawaban tentang pemaknaan secara sosial tentang identitas dialek
banyumasan di lingkungan kos dan kampus.
Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa dalam pencarian data yang
mendalam, tidak hanya membutuhkan wawancara mendalam, tetapi juga
memerlukan pengamatan atau observasi. Observasi adalah pengamatan dengan
mendatangi lokasi peristiwa. Peneliti aktif sebagai pengamat, tetapi mengikuti
situasi penelitian dengan mempertimbangkan posisi yang bisa memberikan akses
untuk pengumpulan data lengkap dan mendalam (H.B. Sutopo, 2006:67).
Sedangkan menurut Suwardi Endraswara (2006:135), observasi adalah penelitian
sistematis dengan kemampuan indera manusia. Dalam hal ini peneliti bertindak
sebagai instrumen penelitian. Tugas peneliti berupa pengamatan tentang : “apa
yang mereka lakukan, apa yang mereka ketahui dan benda-benda apa saja yang
mereka buat dan gunakan dalam kehidupan mereka”.
Metode observasi dalam penelitian ini yaitu observasi partisipan aktif atau
pengamatan berperan serta. Menurut Bruyn, metode pengamatan berperan serta
adalah “prosedur riset yang dapat memberikan basis yang memadai untuk
menangkap makna yaitu makna mengenai eksistensi manusia dilihat dari sudut
pandang orang dalam”. Pengamat sebagai partisipan yang belajar untuk masuk
dan betah dalam budaya yang diamati dan menelaah serta melaporkan temuannya.
Peneliti harus menemukan rumahnya kembali setelah keluar dari penelitiannya.
Oleh sebab itu, pengamatan berperan serta dianggap cocok untuk meneliti
perilaku manusia dan realitas kehidupan secara rutinitas dan alamiah. Tugas
peneliti adalah berusaha memahami makna dari subyek maupun obyek penelitian
yang diamati. Sehingga menempatkan manusia sebagai humanistik yang
berperilaku (Dedy Mulyana, 2006:167-180).
Pengamatan partisipan dalam penelitian ini yaitu mengamati tentang
aktivitas atau perilaku informan (mahasiswa asli banyumasan) dalam lingkungan
kos dan kampus. Lingkungan tersebut meliputi pengamatan lingkungan kos putra
dengan observasi tidak langsung. Agar data yang diperoleh akurat, maka peneliti
63
dengan melibatkan informan teman-teman kos putra dalam memberikan gambaran
tentang si informan kunci melalui wawancara.
Selain itu, pengamatan yang sifatnya observasi partisipan juga dilakukan
pada saat pemutaran film dokumenter yangberdialek banyumasan yang berdurasi
tiga belas menit tiga belas detik. Film tersebut berjudul yang berjudul “peronika”
yang merupakan buah karya dari Laely Leksono. Pengamatan ini bertujuan untuk
melihat bagaimana reaksi atau respon saat pemutaran film tersebut, dan tidak
menutup kemungkinan ada wawancara untuk menggali respon yang muncul pada
informan-informan tersebut. Adapun informan yang dimaksud adalah informan
kunci dan informan pendukung, yaitu mahasiswa asli banyumasan dan mahasiswa
luar banyumasan.
F. Validitas Data
Penelitian kualitatif menyadari bahwa realitas obyektif tidak pernah bisa
ditangkap, maka untuk pemahaman mendalam tentang fenomena yang diteliti,
dalam memperoleh validitas data, dapat dilakukan dengan trianggulasi.
“Triangulasi bukan alat atau strategi pembuktian, melainkan suatu alternatif
pembuktian secara empiris, sudut pandang pengamatan yang teratur dan menjadi
strategi yang baik untuk menambah kekuatan, keluasan dan kedalaman suatu
penelitian (Agus Salim, 2006:35).
Dalam penelitian ini, triangulasi yang peneliti menggunakan yaitu
triangulasi sumber (data) dan triangulasi metode. Menurut Sutopo ( 2002:79)
triangulasi data atau sumber mengarahkan peneliti menggunakan sumber data
yang berbeda. Artinya, data yang sama atau sejenis, secara kelompok berasal dari
sumber sejenis ataupun berbeda jenis. Triangulasi sumber dalam penelitian ini
yaitu informan. Kedudukan informan sebagai narasumber dengan teknik
wawancara mendalam (wawancara tidak terstruktur), sehingga informasi dari
narasumber yang satu bisa dibandingkan dengan informasi dari narasumber
(informan) lainnya.
Sedangkan menurut Patton (1987:331) triangulasi sumber merupakan
pengecekan balik tentang derajat kepercayaan (validitas) informasi berupa waktu
dan alat yang berbeda dengan cara :
64
1.membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara, 2.membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa yang dikatakan secara pribadi, 3.membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian dengan apa yang ikatakannya sepanjang waktu, 4.membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang seperti rakyat biasa, orang berpendidikan menengah atau tinggi, orang berada, orang pemerintahan, 5.membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan (Lexy J.Moleong, 2007:330-331)
Penelitian ini menggunakan triangulasi data (sumber) yaitu informan
yang berbeda-beda dengan mengkategorikan informan yang berasal dari
Banyumas, Purbalingga, Banjarnegara, Cilacap dan Kebumen. Pengecekan balik
untuk memperoleh derajat kepercayaan (validitas) dilakukan dengan :
a. membandingkan persepsi informan yang satu dengan informan yang lainnya
tentang dialek banyumasan serta membandingkan penggunaan dialek
banyumasan di lingkungan kos dan kampus,
b. membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara yaitu
membandingkan antara persepsi informan dengan pengamatan yang
sebenarnya tentang penggunaan dialek banyumasan di lingkungan kos dan
kampus,
c. membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian
dengan apa yang dikatakan informan. Dalam hal ini mencari data dari
mahasiswa luar banyumasan dan mahasiswa asli banyumasan untuk mencari
jawaban tentang konstuksi identitas dialek banyumasan di lingkungan kos dan
kampus UNS.
Triangulasi kedua dalam penelitian ini yaitu triangulasi metode. Menurut
H.B Sutopo (2002:80), triangulasi metode adalah pengumpulan data-data yang
sejenis, tetapi dengan menggunakan teknik atau metode yang berbeda. Hal ini
bertujuan membandingkan data yang telah diperoleh dari beberapa metode atau
teknik pengumpulan data, sehingga dapat ditarik simpulan data untuk lebih kuat
validitasnya.
Sehingga, seperti yang telah dijabarkan di atas, triangulasi metode yang
digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan metode wawancara mendalam
65
(indepth interviewing) dan metode observasi partisipan (pengamatan berperan
serta).
G. Analisis Data
Menurut Miles dan Huberman (1992:16-20) analisis data penelitian
kualitatif terdapat tiga alur kegiatan secara bersamaan, yaitu reduksi data,
penyajian data, dan penarikan kesimpulan (verifikasi). Pertama, reduksi data yaitu
proses pemilihan, penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar
atau mentahdari lapangan. Reduksi data secara terus-menerus selama kegiatan
penelitian di lapangan. Bahkan sebelum data terkumpul, antisipasi akan adanya
reduksi data sudah nampak. Selama pengumpulan data, terdapat tahapan reduksi
berikutnya yaitu meringkas, mengkode, menelusur tema, membuat gugus-gugus,
membuat pemilihan data, dan menulis memo. Kemudian reduksi data berlanjut
sampai sesudah penelitian di lapangan, hingga laporan akhir lengkap tersusun.
Kedua, penyajian data yaitu alur kedua dalam kegiatan analisis atau sekumpulan
informasi untuk penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Hal tersebut
meliputi pemahaman apa yang sedang terjadi dan apa yang harus dilakukan untuk
penelitiannya. Menurut Faust (1982) penyajian data kualitatif berupa teks naratif
yaitu memproses infomasi kedalam bentuk tulisan yang sederhana. Kegiatan
penyajian data berupa pembuatan matriks, grafik, jaringan dan bagan untuk
menggabungkan informasi yang mengarah pada analisis. Akan tetapi, membuat
matrik juga merupakan bagian dari kegiatan reduksi data. Ketiga, penarikan
kesimpulan (verifikasi) yaitu menarik kesimpulan dan verifikasi. Kegiatan
tersebut meliputi pengumpulan data, mencarai makna, mencatat keteraturan, pola-
pola, penjelasan, menganalisis sebab akibat, dan proposisi yang ada pada masalah
penelitian. Penarikan kesimpulan hanya sebagian dari konfigurasi yang utuh.
Kesimpulan juga diverifikasi selama penelitian berlangsung yaitu dengan cara
merefleksi kembali (meninjau ulang) apa yang telah ditemukan.
Proses seperti ini disebut model analisis yang dapat diperjelas dengan
bagan berikut ini :
66
Gambar 2. komponen-komponen analisis data model interaktif
(Matthew B.Miles dan A.Michael Huberman, 1992:20)
Berdasarkan model interaktif di atas, penelitian ini meliputi kegiatan
pengumpulan data, kegiatan reduksi data, penyajian data dan penarikan
kesimpulan (verifikasi). Pengumpulan data berupa persepsi dan penggunaan
dialek banyumasan di kalangan mahasiswa asli banyumasan. Selain itu, dalam
mengumpulkan data tentang konstruksi identitas dialek banyumasan meliputi
persepsi mahasiswa asli banyumasan dan mahasiswa luar banyumasan. Hasil
penelitian lapangan tersebut dinarasikan dalam bentuk fieldnote. Kemudian
peneliti melakukan reduksi data dari fieldnote tersebut dalam bentuk matriks hasil
penelitian. Kemudian matriks yang telah ada di lanjutkan pada penyajian data
dengan membuat matriks gabungan antara matriks hasil penelitian dengan matriks
teori sebagai bahan analsis data. Data yang sudah dianalisis tersebut, kemudian
ditarik kesimpulan dan diverifikasi (kroscek) dengan triangulasi data (sumber) dan
triangulasi metode.
H. Prosedur Penelitian
Langkah-langkah penelitian kualitatif tidak dapat ditentukan secara pasti
seperti halnya penelitian kuantitatif. Menurut Husnaini Usman dan Purnomo
Setiady A, 2000:82-84), langkah-langkah penelitian kualitatif dapat dibagi
menjadi lima, diantaranya :
1. studi pendahuluan untuk penjajagan keadaan di lapangan agar lebih fokus,
Pengumpulan data Penyajian data
Reduksi data
Penarikan kesimpulan
67
2. pembuatan pradesain penelitian yaitu membuat desain tentang teori, instrumen
penelitian dan mendesain analisis data,
3. seminar pradesain yaitu melakukan seminar sebagai umpan balik dari proposal
penelitian untuk mengadakan perbaikan tulisan,
4. pengumpulan data dan memasuki lapangan meliputi memilih lokasi atau
tempat, informan (pelaku) dan kegiatan (aktivitas) di lapangan,
5. analisis data yang terdiri dari reduksi data, penyajian data dan penarikan
kesimpulan (verifikasi).
Akan tetapi, langkah-langkah yang diambil dalam penelitian ini adalah
dengan mengambil prosedur penelitian dari H.B.Sutopo (2002:187-190) yang
meliputi empat tahap, yaitu: persiapan, pengumpulan data, analisis data, dan
penyusunan laporan penelitian. Untuk lebih jelas akan diuraikan sebagai berikut.
a. Persiapan.
1) Menyusun proposal penelitian yang meliputi pengajuan judul dan tulisan
proposal penelitian kepada dosen pembimbing .
2) Membuat desain penelitian yaitu dengan mengumpulkan bahan/sumber
materi penelitian yang berasal dari lapangan berupa data dan pengamatan
awal serta menyiapkan instrumen penelitian atau alat observasi.
3) Mengurus perizinan penelitian.
b. Pengumpulan Data.
1) Pengumpulan data dilakukan dengan teknik wawancara mendalam dan
pengamatan berperan serta atau observasi partisipan.
2) Membuat fieldnote (catatan lapangan) dan transkrip hasil wawancara.
3) Memilah dan mengatur data sesuai kebutuhan.
c. Analisis Data.
1) Menentukan teknik analisis data yang tepat sesuai desain penelitian yang
meliputi reduksi data (pembuatan matriks hasil penelitian lapangan),
penyajian data (pembuatan matriks hasil lapangan dengan matriks teori)
dan penarikan kesimpulan (verifikasi).
2) Mengembangkan hasil intepretasi data dengan analisis lanjut kemudian
disesuaikan dengan hasil temuan di lapangan.
68
3) Melakukan pengayaan dalam menganalisis data yang sudah ada dengan
dosen pembimbing.
4) Membuat simpulan akhir sebagai temuan penelitian.
d. Penyusunan Laporan Penelitian.
1) Penyusunan laporan awal.
2) Review laporan yaitu mendiskusikan laporan yang telah disusun dengan
dosen pembimbing.
3) Melakukan perbaikan laporan sesuai hasil diskusi
4) Penyusunan laporan akhir.
69
BAB IV
LAPORAN DAN ANALISIS DATA
A. Deskripsi Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di lingkungan kos dan kampus Universitas
Sebelas Maret, Surakarta (UNS). Adapun hal-hal yang dapat dideskripsikan
mengenai lokasi penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Lingkungan Kos Sekitar UNS.
Lingkungan kos yang berkaitan dengan penelitian ini yaitu lingkungan
kos di sekitar kampus UNS, baik yang berada di depan kampus atau pun di
belakang kampus. Karakteristik kos yang diambil yaitu lingkungan kos terdapat
mahasiswa asli banyumasan. Hal tersebut meliputi penghuni kos secara homogen
(berasal dari mahasiswa asli banyumasan) dan lingkungan kos yang heterogen
(penghuni kos mayoritas mahasiswa yang berasal dari luar banyumasan).
Penelitian di lingkungan kos bertujuan untuk menggali data tentang
penggunaan dialek banyumasan, meliputi lingkungan kos putra ataupun putri.
Data-data yang diambil dalam penelitian ini berupa letak geografis kamar kos dan
kehidupan sosial budaya. Letak geografis kamar kos mencakup letak strategis
kamar kos mahasiswa asli banyumasan dengan teman-teman kos lainnya dalam
satu blok atau satu kompleks kamar kos. Kehidupan sosial budaya meliputi
kehidupan keluarga mahasiswa asli banyumasan, latar belakang pendidikan,
kehidupan ekonomi, dan kehidupan sosial. Kehidupan keluarga berkaitan tentang
hubungan kekeluargaan dengan ayah, ibu, dan saudara. Latar belakang pendidikan
berkaitan dengan pendidikan terakhir ayah dan ibu serta pola pendidikan dalam
lingkungan keluarga. Kehidupan ekonomi menyoroti tentang jumlah uang saku
dan fasilitas yang berkenaan dengan perkuliahan dan kehidupan sehari-hari.
Kehidupan sosial mencakup kebiasaan sehari-hari berupa interaksi dan
komunikasi antar teman-teman kos, baik dengan teman kos yang berasal dari satu
dialek banyumasan atau pun berasal dari luar banyumasan.
70
Lingkungan kos di sekitar kampus UNS terdiri dari kos Surya 1, Surya 2,
Surya 3, kos Panggung Rejo, Kos Jalan Kabut, Kos Sawah Karang, kos Ngoresan,
kos Gulon, kos Tejo, kos Pucang Sawit dan kompleks STSI. Kos tersebut,
masing-masing kos memiliki karakteristik masing-masing. Jika dilihat dari
penutur dialek banyumasan dan luar banyumasan, ada beberapa kompleks kos-
kosan yang mayoritas mahasiswa luar banyumasan dan ada pula kos yang
mayoritas mahasiswa asli banyumasan. Sebagai contoh di kos IK di kos
Ngoresan, SLV di kos Tejo, dan Ulya di kos Surya 2 sebagaian besar penghuni
kos tersebut yaitu mahasiswa sekitar Solo-Yogya. Sedangkan kos yang mayoritas
mahasiswa asli banyumasan dapat diambil contoh dari hasil penelitian ini, yaitu
kos Ichen di kos Jalan Kabut dan kos DD di kompleks STSI.
2. Lingkungan Kampus UNS.
Karena sulitnya mencari data mahasiswa asli banyumasan dari tiap
daerah penutur seperti dari Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap dan
Kebumen, maka penelitian ini hanya menyajikan hasil rekapitulasi data tentang
penutur dialek banyumasan berdasarkan letak provinsi. Provinsi yang menjadi
obyek kajian tentang penutur dialek banyumasan yaitu Provinsi Jawa Tengah
khususnya wilayah se-eks Karesidenan Banyumas. Banyumas merupakan salah
satu dari Karesidenan yang ada di Jawa Tengah. Sedangkan, Provinsi Jawa
Tengah terbagi atas 2 kawasan, yaitu Jawa Tengah kawasan Utara dan Jawa
Tengah kawasan Selatan. Jawa Tengah bagian Utara meliputi Banyumas,
Purwokerto, Banjarnegara, Purbalingga, Tegal, Brebes, Pekalongan, Semarang
dan sekitarnya. Sedangkan Jawa Tengah bagian Selatan meliputi Cilacap,
Kebumen, dan eks-Karesidenan Surakarta.
Data mengenai jumlah mahasiswa asli banyumasan dapat diperoleh dari
Sekertariat SPMB UNS. Data tersebut berisi tentang penerimaan Mahasiswa Baru
(Maru) berdasarkan asal provinsi mulai tahun 2005 sampai 2008. Provinsi Jawa
Tengah pada tahun 2008 menempati urutan terbanyak mengenai jumlah
mahasiswa dibandingkan provinsi lainnya. Provinsi lain meliputi Provinsi Jawa
71
Barat, DKI, Jawa Timur, Yogyakarta, Jawa Timur dan Luar Jawa. Pada tahun
2008 UNS menerima.......mahasiswa baru. Provinsi Jawa Tengah berjumlah 3780
mahasiswa, dengan prosentase 78,20%. Hal tersebut sebagai deskripsi awal
bahwa Provinsi Jawa Tengah menempati urutan paling banyak di tahun 2008.
Bahkan hampir di setiap tahunnya mengalami penambahan jumlah mahasiswa
sejak tahun 2005 sampai tahun 2008 dari semula jumlah mahasiswa pada tahun
2005 hanya 1806 mahasiswa, menjadi 3780 mahasiswa. Sedangkan Provinsi Jawa
Barat pada tahun 2008 mendapat prosentase 2,28% dengan jumlah 113
mahasiswa, Jakarta 3,74% dengan jumlah 185 mahasiswa, Yogyakarta 2,83%
dengan jumlah 140 mahasiswa, Jawa Timur 9,92% dengan jumlah 491
mahasiswa, dan Luar Jawa 3,03% dengan jumlah 150 mahasiswa.
Disamping itu, kehidupan sosial budaya mahasiswa asli banyumasan
sebagai pendatang selalu melakukan adaptasi dengan kehidupan sosial budaya
yang ada di Surakarta. Selain itu, meneliti tentang pola interaksi dan komunikasi
sehari-hari di lingkungan kampus. Sedangkan, kehidupan budaya berkaitan
dengan keberagaman budaya diantara mahasiswa satu dengan mahasiswa lainnya.
Hal ini meliputi perbedaan asal daerah dan perbedaan fakultas satu dengan
fakultas yang lain.
Kampus sebagai tempat belajar para mahasiswa dengan pendidikan,
pengajaran dan penelitian serta pengembangan masyarakat dengan acuan
kurikulum yang tertata rapi oleh masing-masing program studi (prodi) atau
jurusan tertentu, memberikan konsekuensi untuk menghasilkan lulusan sarjana
yang berkualitas dan multitalenta sesuai dengan prodi atau jurusan yang
diambilnya. Disamping itu, lingkungan kampus yang beranekaragam dari
berbagai belahan daerah merupakan bagian dari masyarakat multikultural di UNS.
Tiap-tiap daerah memiliki karakteristik budaya yang membawa konsekuensi pada
pola pergaulan dan khususnya penggunaan dialek dalam rangka berinteraksi dan
berkomunikasi di lingkungan kampus.
72
B. Deskripsi Data Penelitian
Masyarakat merupakan sebuah komunitas atau sekumpulan orang-orang
dalam suatu wilayah karakteristik tiap-tiap tertentu seperti adat-istiadat, budaya,
kehidupan sosial, politik, ekonomi, maupun nilai serta norma menjadi satu bagian
yang tidak bisa terpisahkan satu sama lainnya. Masyarakat dengan kehidupan
yang kompleks, senantiasa mengalami perkembangan dan perubahan yang
sifatnya dinamis. Namun karena gejala tersebut memiliki intensitas yang begitu
kuat, maka makin banyak nilai-nilai masyarakat yang telah mapan menjadi goyah
lalu perlahan-lahan akan mengalami perubahan.
Telah menjadi hukum alam bahwa masyarakat memiliki perbedaan
kemampuan dan kepekaan dalam mengadopsi setiap perubahan ataupun tentang
inovasi baru. Ada masyarakat yang masih erat memegang teguh adat mereka, ada
pula yang semakin terbuka dengan adat daerah lain, sehingga sangat
dimungkinkan akan terjadi perubahan adat dan kebiasaan.
Perubahan adat dan kebiasaan dalam masyarakat yang multilingual dan
multikultural terutama bangsa Indonesia yang memiliki banyak suku bangsa yang
beragam, menimbulkan konsekuensi banyaknya bahasa daerah yang digunakan
oleh masing-masing suku bangsa di Indonesia. Oleh sebab itu, bahasa daerah
perlu terus dibina dan dilestarikan dalam rangka mengembangkan serta
memperkaya perbendaharaan bahasa dan khasanah kebudayaan nasional sebagai
salah satu unsur kepribadian bangsa. Bahasa daerah perlu terus dibina agar tetap
mampu menjadi ungkapan budaya masyarakat yang mendukung kebhinekaan
budaya sebagai kreativitas dan sumber kekuatan bangsa.
Salah satu sumber kreativitas dan kekuatan bangsa di antara bermacam-
macam dialek yang ada di Pulau Jawa salah satunya dialek banyumasan. Secara
historis, etnologis, sosiologis, kultural dan formal, penutur asli dialek banyumasan
meliputi daerah Kabupaten Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap dan
Kebumen dan biasa disebut wilayah BARLINGMASCAKEB. Dari para penutur
asli tersebut tersebar ke berbagai pelosok di daerah yang berbeda. Ada yang
dengan tujuan bekerja di daerah orang lain, alasan hidup merantau, ataupun
karena tujuan untuk belajar. Penelitian ini meneliti tentang mahasiswa asli
73
banyumasan yang belajar di UNS dengan tujuan belajar. Penelitian ini mencakup
penggalian data tentang penggunaan dialek banyumasan di kalangan mahasiswa
asli banyumasan, baik di kos dan di kampus.
Adapun deskripsi hasil penelitian tentang identitas dialek banyumasan
sebagai sebuah konstruksi budaya.
1. Penggunaan Dialek Banyumasan di Kalangan Mahasiswa Asli
Banyumasan.
a. Persepsi Tentang Dialek Banyumasan.
Bahasa dengan dialek (pengucapan/logat) dari tiap-tiap daerah, tidak ada
bedanya dengan cerminan dari para pengguna bahasa/dialek tersebut. Bahasa
mempermudah orang untuk saling berkomunikasi satu sama lain dan
menunjukkan identitas seseorang tentang keberadaan akan siapa dirinya di dalam
masyarakat. Pemaknaan bahasa yang bisa dikaji dalam hal kekuasaan, politik,
status sosial, maupun berkaitan dengan identitas seseorang. Akan tetapi, dalam
tulisan ini difokuskan pada kajian bahasa sebagai sebuah identitas yang dibentuk
dan dibangun oleh masyarakat dalam lingkungan sosial budaya. Lingkungan
sosial budaya meliputi lingkungan kos dan lingkungan kampus di kalangan
mahasiswa asli banyumasan yang belajar di UNS.
Namun, di antara mahasiswa asli banyumasan terdapat persepsi yang
berlmacam-macam tentang dialek banyumasan. Persepsi yang muncul menurut
mahasiswa asli banyumasan, bahwa dialek banyumasan adalah bahasa dengan
dialek atau logat yang cepat dan ceplas-ceplos (terbuka). Hal ini diungkapkan
oleh TFA yang selama delapan belas tahun dibesarkan di kota Banyumas dan baru
dua tahun di Solo, berpendapat bahwa dialek banyumasan adalah bahasa yang
memiliki logat cepat dan sifatnya “ceplas-ceplos” (terbuka). Selain itu, dialek
banyumasan terlihat dari para penutur aslinya pada saat pengucapan vokal ‘a’
yang sangat mantap. Contohnya : “Rika lagi ngapak ?” (kamu sedang apa?).
Selain itu, konsonan ‘d’, ‘g’, dan‘k’ juga dilafalkan dengan sangat mantap. Hal
inilah yang oleh orang luar banyumasan memberikan istilah dialek ngapak-
74
ngapak. Disamping itu, Rista yang menjadi salah satu penghuni kos di daerah
Surya 1, menyatakan bahwa dialek banyumasan adalah dialek yang disebut dialek
ngapak, memiliki volume tinggi ,adanya penekanan dalam kata tertentu dan
pengucapan kalimat cepat. Penekanan dalam huruf tertentu misalnya pada huruf
‘k’, jika dengan dialek Jawa alus atau Jawa wetan (Solo-Yogya) yang menyatakan
kata “dhéwé’ tanpa adanya penekanan huruf ‘k’, sedangkan untuk dialek
banyumasan pelafalannya yaitu “dhéwék”, dimana huruf ‘k’ mengalami
penekanan dalam pelafalannya. Menurut DON hal tersebut merupakan bagian dari
kajian fonologi.
Dialek banyumasan yang memiliki keunikan dan ciri khas pengucapan
pada huruf dan kosakata tertentu dalam pelafalannya, diakui oleh DD dan Wan
mahasiswa asli Kebumen, serta Wh mahasiswa asli Purbalingga bahwa dialek
banyumasan sarat dengan nuansa humor atau kelucuan. Dialek banyumasan
menurut DD sebagai bahasa yang unik dan memiliki nilai tersendiri, apalagi
sangat kental dengan hal-hal yang bersifat lucu. “Kadang ngomong bahasa
banyumasan luwih ana lucune ketimbang bahasa jawa alus, lucuné garing
banget. Angger bahasa banyumasan toli ngomong sithik-sithik mesti ana baé sing
gawé weteng kepingkel-pingkel”. (Kadang berbicara dengan bahasa banyumasan
lebih ada lucunnya daripada bahasa jawa alus sangat susah sekali. Kalau bahasa
banyumasan itu, berbicara sedikit-sedikit pasti ada saja yang membuat perut
(orang) terbahak-bahak). (L/DD/5/4/09).
Wan berpendapat bahwa dialek banyumasan adalah dialek yang sifatnya
lucu (humoris) yang merupakan percampuran bahasa antara Jawa alus dan Jawa
Timuran alias dialek tengah-tengah. Pernyataan Wan tersebut juga dikuatkan oleh
DON mahasiswa asli Purbalingga yang menyatakan jika dilihat dari segi
geografis, dialek banyumasan merupakan dialek yang diapit oleh dua dialek, yaitu
dialek Jawa Barat (Sunda) dan Jawa Timuran.
Menurut ST, dialek banyumasan merupakan bahasa yang fulgar, tidak
membedakan status seseorang (tidak ada unggah-ungguh), tidak plin-plan (apa
adanya) dan dialek yang sifatnya datar. Menurut NP mahasiswa asli Kebumen
yang sudah lima tahun berada di Solo mengungkapkan bahwa dialek banyumasan
75
adalah bahasa yang sifatnya terbuka, fulgar dan ibaratnya tidak plin-plan
(konsisten). “Dialek banyumasan kuwe pokoke angger ngomong iya, ya iya. Ora
ya ora. Dadine ora ditutup-tutupi” (Dialek banyumasan itu pokoknya kalau
berbicara iya, maka bilang iya. Kalau dalam hati berkata tidak. Maka bilang tidak.
Jadi tidak ada yang ditutup-tutupi).(W/NP/13/4/09).
Selain itu dialek banyumasan tidak berdasarkan atas strata atau tidak
membeda-bedakan pelapisan sosial atau status seseorang dalam suatu masyarakat.
NP menambahkan bahwa dialek banyumasan sifatnya datar antar perasaan sedih
dan senang pada dasarnya sama saja, tidak ada bedanya. Sebagai contoh ada
sebuah pertanyaan : “rika kenangapa tiba !?” (Kamu kenapa jatuh!?). Dari
pertanyaan di atas, bisa berarti dua hal yaitu menyatakan pertanyaan dengan nada
keras (marah) atau ikut bersedih sehingga berempati untuk bertanya.
Penjelasan mengenai dialek banyumasan dari mahasiswa asli
banyumasan memiliki keberagaman persepsi. Ada kalanya dialek banyumasan
merupakan dialek yang sudah merupakan bagian dari hidup orang banyumasan
dan tidak bisa dipisahkan dari sifatnya yang medhok. Hal ini dijelaskan oleh Ichen
mahasiswa asli Cilacap bahwa dialek banyumasan sudah menjadi bagian dari
hidupnya yang tidak bisa terpisahkan. “inyong angger ora ngomong ngapak-
ngapak, kayané ana sing ilang baé sekang inyong kiyé”. (Aku kalau tidak
berbicara ngapak-ngapak sepertinya ada yang hilang pada diriku ini)
(W/Ichen/15/4/09).
Selain itu, menurut DON dialek banyumasan jika dilihat dari segi sejarah
merupakan dialek yang paling lama atau tertua dari bahasa jawa lainnya, hal ini
terjadi pada zaman batu (palaeolitikum). Dialek banyumasan dengan usia yang
paling tua dari dialek Jawa lainnya, oleh karena itu dialek banyumasan memiliki
kosakata yang paling banyak. Hal ini dibenarkan oleh Epra mahasiswa asli
Purbalingga yang sudah empat tahun di kampus UNS. Dialek banyumasan juga
diartikan sebagai dialek yang dapat menunjukkan identitas penuturnya. Hal ini
diterangkan oleh IK mahasiswa asli Banjarnegara bahwa dialek banyumasan
merupakan bahasa yang menunjukkan inilah ‘aku’. “iya, mba. Dialék
banyumasan kue njelasna tentang siapa si inyong kiyé. Logaté sing akéh huruf ‘a’
76
-né”.. (Iya, Mba. Dialek banyumasan itu menjelaskan tentang siapa aku ini.
Logatnya banyak menggunakan huruf ‘a’) (W/IK/6/4/09)
Identitas diri yang ditunjukkan bahwa seseorang berasal dari daerah
banyumasan akan nampak juga pada sifat kepolosan orang banyumasan pada saat
berbicara ngapak-ngapak. Menurut GNC mahasiswa asli Purbalingga, dialek
banyumasan memiliki definisi sebagai dialek yang memiliki keunikan karena
adanya perbedaan dengan dialek-dialek yang lain. Uniknya disini kadang
membuat orang lain merasa terhibur dengan kelucuan dan kepolosannya pada saat
penutur asli kaum banyumasan melafalalkan logat banyumasan.
Oleh karena itu, dialek banyumasan oleh masyarakat luas di luar
banyumasan yang dikenal adalah bahasa yang menggunakan dialek "ngapak"
yang selama ini hanya diidentikkan sebagai bahasa pelawak (guyonan) dan bahasa
kaum lapisan bawah (rakyat jelata). Bahasa ibu wong banyumasan adalah jika
mereka berbicara terlihat cowag (keras nada suaranya), gemluthuk (bergelutuk
artinya kalau berbincang-bincang seperti saling tergesa-gesa atau cepat
menanggapi), logatnya kenthel, luged, mbleketaket (kental, mengasyikkan, sedap
di dengar oleh sesama asal daerahnya), dan cara bicaranya tentu mulutnya mecucu
(maju kedepan).
Berdasarkan uraian di atas, dapat diambil simpulan tentang persepsi
mahasiswa asli banyumasan terkait dialek banyumasan yaitu pertama bahwa
dialek banyumasan identik dengan vokal ‘a’ dan konsonan ‘d’, ‘g’ dan ‘k’ yang
mantap dalam pengucapannya, sehingga logatnya cepat dengan volume tinggi dan
ceplas-ceplos (terbuka dan tidak plin-plan). Kedua, dialek banyumasan
merupakan dialek yang menyatukan penutur yaitu mahasiswa asli banyumasan
yang berada di UNS. Ketiga, dialek banyumasan sebagai wujud identitas wong
banyumasan. Keempat, dialek banyumasan sering dikaitkan dengan nuansa
humor dan kepolosan dari para penuturnya. Kelima, dialek banyumasan memiliki
sifat yang datar, baik kalimat sedih atau kalimat gembira sama saja. Keenam,
dialek banyumasan tidak ada pembedaan tingkatan dalam penuturan kepada orang
yang lebih tua atau muda (tidak ada tingkatan dialek). Ketujuh, dialek yang
77
merupakan bagian dari hidup mahasiswa asli banyumasan dan secara historis
dialek banyumasan merupakan dialek yang tertua diantara dialek Jawa lainnya.
b. Peran Dialek Banyumasan bagi Mahasiswa Asli Banyumasan.
Dialek banyumasan yang dipergunakan oleh mahasiswa asli banyumasan
yang belajar di UNS memiliki peran yang bermacam-macam. Dialek banyumasan
sebagai identitas orang banyumasan yang memliki ciri khas dan logat yang
berbeda dari dialek dalam bahasa jawa lainnya. Menurut DD dialek banyumasan
memiliki peran sebagai penyatu antar penutur banyumasan. Maka, dialek
banyumasan menjadi salah satu perekat kedekatan emosional diantara mahasiswa
asli banyumasan yang belajar di UNS. Hal ini terjadi pada TFA pada saat bertemu
dengan mahasiswa banyumasan yang pada awalnya tidak kenal, kemudian
berkenalan dan ternyata berasal dari satu kawasan yang sama yaitu banyumasan,
maka secara tidak langsung berbicara ngapak-ngapak. “Inyong angger ketemu
karo kancané, apa pas kenalan karo wong sing habitaté pada baé kaya inyong, ya
ngomong kaya kiyé, mba” (Aku kalau bertemu dengan teman atau pada saat
berkenalan dengan orang yang sama dengan aku, maka akan berbicara dengan
dialek banyumasan) (W/TFA/3/4/09).
Selain itu, menurut mahasiswa asli banyumasan bahwa dialek
banyumasan sebagai salah satu bentuk keanekaragaman budaya dari bangsa
berupa dialeknya yang khas. Oleh karena itu, menurut DON bahwa peran dialek
banyumasan di lingkungan kos dan kampus selain sebagai alat komunikasi dan
untuk mengenalkan budaya banyumasan. Sedangkan pendapat Rista mahasiswa
asli Cilacap, bahwa peran dari penggunaan dialek banyumasan di lingkungan
kampus sebagai identitas diri yang memiliki ciri khas yang unik dan tidak ada di
tempat lain. Disamping itu, dialek banyumasan berperan sebagai dialek yang
dekat dengan strandarisasi dari bahasa daerah ke bahasa Indonesia. Misalkan
standarisasi atau EYD ke bahasa Indonesia tentang “apa”. Dalam dialek
banyumasan, pelafalan tetap “ngapak” sesuai tulisan, untuk jawa alus “opo”.
Penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa peran dialek banyumasan
bagi mahasiswa asli banyumasan yaitu pertama mengenalkan kebudayaan dialek
78
banyumasan pada masyarakat Solo dan sekitarnya, terutama di wilayah UNS.
Kedua, dialek banyumasan berperan sebagai bentuk identitas dari mahasiswa
banyumasan. Ketiga, dialek banyumasan berperan sebagai penyatu antar
mahasiswa dialek banyumasan di wilayah UNS. Keempat, dialek banyumasan
berperan sebagai dialek yang dekat dengan standarisasi ke dalam bahasa
Indonesia.
c. Pemilihan Penggunaan Dialek di Kalangan Mahasiswa Asli Banyumasan.
Mahasiswa asli banyumasan memiliki pemilihan yang berbeda dalam
menggunakan dialek mana yang akan dipergunakan untuk berinteraksi dan
berkomunikasi sehari-hari baik di lingungan kos maupun kampus. Dalam hal ini
faktor yang disoroti yaitu faktor internal dari tiap-tiap mahasiswa asli
banyumasan. Menurut Ng, ST dan Wh, mereka melalukan pemilihan secara
personal dalam memilih dialek yang akan mereka pergunakan yaitu tergantung
lawan bicara mereka. Sehingga dalam hal ini bersifat kondisional, karena
bertujuan untuk berkomunikasi dengan lawan bicaranya. Hal serupa juga terjadi
pada DD, GNC, Wan dan Ns. Mereka menyatakan bahwa faktor pemilihan dialek
yang dipergunakan dalam lingkungan kos dan kampus karena untuk
memperlancar komunikasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Ulya bahwa faktor
pemilihan dialek bertujuan untuk memudahkan orang lain khususnya mahasiswa
luar banyumasan agar mencerna bahasa lebih mudah dipahami. Dalam hal ini,
sangat dimungkinkan adanya percampuran dialek seperti modifikasi dialek
banyumasan dengan dialek Solo-Yogya, dialek banyumasan dengan Bahasa
Indonesia, atau pun variasi dialek banyumasan, dialek Solo-yogya dan Bahasa
Indonesia.
Fenomena pemilihan dialek dari mahasiswa asli banyumasan di
lingkungan kos dan kampus karena secara emosional dipilih untuk mempermudah
interaksi dan komunikasi. Hal ini terjadi pada Rista, yang memilih menggunakan
dialek campuran pada saat di kos dan di kampus karena sifatnya menyesuaikan.
Bahkan menurut Ichen, memilih dialek banyumasan sebagai dialek alternatif di
79
UNS, baik di kos dan di kampus adalah untuk mengenalkan budaya banyumasan
khususnya terkait dengan dialeknya.
Uraian di atas dapat diambil simpulan bahwa proses pemilihan dialek
tertentu khususnya dialek banyumasan yaitu petama faktor pemilihan dilakukan
secara emosional dan berlangsung secara terus-menerus. Kedua, faktor pemilihan
dikarenakan untuk beradaptasi dengan lawan bicara (adaptasi dengan mahasiswa
luar banyumasan) agar lebih mempermudah interaksi dan komunikasi.
2. Pengaruh Lingkungan dalam Mempertahankan Identitas Kedaerahan.
a. Penggunaan Dialek Banyumasan di Kos.
Secara umum penggunaan dialek banyumasan di kalangan mahasiswa
asli banyumasan terbagi dalam dua kategori, yaitu lingkungan kos yang homogen
(mayoritas mahasiswa asli banyumasan) dan lingkungan kos yang heterogen
(mayoritas mahasiswa luar banyumasan). Adapun penggunaan dialek banyumasan
di lingkungan yang homogen mahasiswa asli banyumasan seperti TFA, DD, NP,
Ichen, GNC, Wan, dan Ng. TFA yang kos di daerah belakang kampus yaitu di
jalan Surya 1 dengan nama kos TSD.
Kehidupan sehari-hari di lingkungan kos, TFA menggunakan dialek
banyumasan sebagai prioritas utamanya dalam bercakap-cakap dengan teman-
teman kos. Kos TSD yang terdiri dari 60-an penghuni kos putri memiliki
keanekaragaman asal-usul daerah dari tiap warga kos TSD tersebut. Untuk
satu blok yang terletak di lantai dua sebelah barat terdapat sepuluh kamar.
Dari kesepuluh kamar dengan sepuluh penghuni kamar, delapan orang berasal
dari daerah banyumasan yang terdiri dari dua orang Cilacap, tiga orang asli
Kebumen, dua orang berasal dari Purbalingga dan seorang lagi berasal dari
Banyumas yaitu si TFA. Sedangkan dua orang lagi dari jumlah kesepuluh
orang di blok barat lantai dua tersebut, mereka berasal dari daerah / wilayah luar
80
banyumasan seperti dari Pati dan Blora. Dialek yang dipergunakan dalam blok
kamar tersebut, didominasi oleh dialek banyumasan. Sehingga tidak jarang dua
orang yang berasal dari Pati dan Blora mengikuti sedikit demi sedikit tentang
pelafalan beberapa kata-kata yang berkenaan dengan dialek banyumasan.
Hal serupa juga terjadi pada Ichen. Penggunaan dialek banyumasan di
kos masih sangat kental, karena hampir sebagian besar di kosnya (kos IN)
mayoritas adalah anak asli Cilacap dengan perbedaan jurusan dan fakultas dari
tiap-tiap mahasiswa asli banyumasan yang berada di kos IN tersebut. Kos IN yang
berada di daerah belakang kampus, kos tersebut lebih tepatnya terletak di daerah
Jalan Kabut. Unsur kekentalan dan keutuhan berdialek banyumasan masih ada.
Kos IN yang merupakan kos bagi mahasiswa perempuan, dengan jumlah kamar
seluruhnya ada 18 kamar dengan 18 penghuni, hampir sebagian besar berasal dari
Cilacap semua yaitu ada 17 anak, sedangkan sisanya satu orang adalah berasal
dari Ngawi (Jawa Timur). Begitu juga yang terjadi di kos Ng, dua orang
mahasiswa yang dengan dialek halus (Solo-Yogya) atau dengan vokal ”o”,
mereka mengikuti teman-teman kos dari banyumas yang berjumlah enam orang
dan letak kamar masih berada dalam satu blok kamar di kos tersebut.
Selain itu, fenomena yang terjadi pada mahasiswa asli banyumasan yang
masih kental dengan dialek ngapak-ngapak mendapat identitas tertentu di
lingkungan kampus oleh teman-temannya. Ng mendapat julukan inyong, yaitu
merujuk pada nama panggilan untuk diri sendiri dalam dialek banyumasan yaitu
inyong (”aku” dalam bahasa Indonesia). Begitu juga dengan Ichen, di lingkungan
kampus tetap secara utuh menggunakan dialek banyumasan, dan oleh teman-
temannya mendapat julukan “miss ngapak”.
Lain halnya dengan lingkungan kos yang heterogen atau memiliki
keanekaragaman asal daerah. Mahasiswa asli banyumasan memiliki kuantitas
yang minoritas dibandingkan mahasiswa luar banyumasan, baik yang berasal dari
se-eks Karesidenan Surakarta (Solo), Yogyakarta, Semarang, Jakarta, Jawa Timur,
Jawa Barat bahkan Luar Jawa sekalipun. Fenomena tersebut terjadi pada kos IK,
Rista, DON, Ulya, SLV, Epra, ST, Ns dan Wh. Rista dalam kehidupan sehari-hari
terutama di lingkungan kos, lebih banyak menggunakan dialek yang sudah
81
dimodifikasi dengan dialek Jawa alus. Artinya bahwa dialek banyumasan yang
dipergunakan oleh Rista sudah tidak utuh lagi, bahkan yang menjadi dominasi
dalam berdialog sehari-hari dengan teman-teman kosnya yaitu dengan dialek Solo
(Jawa alus). Hal ini terkait kehidupan kos Rista yang mayoritas terdiri dari daerah
Solo, Boyolali, Sragen dan Wonogiri, sedangkan hanya Rista saja yang berasal
dari luar daerah Solo. Sehingga mau tidak mau, menyesuaikan diri dan ikut
bercampur dengan belajar dialek Solo. Sebab, teman-teman di kos memberikan
kesan lucu dan tersenyum pada saat Rista bercakap-cakap dengan dialek
banyumasan. Lantas lambat laun semakin lama hidup di Solo, kurang lebih
selama tiga tahun, Rista lebih menggunakan dialek Jawa alus (dialek Solo). Hal
ini dikarenakan di lingkungan kos mayoritas mahasiswa luar banyumasan
khususnya mahasiswa dengan dialek Jawa alus bahkan berasal dari asli daerah
sekitar kawasan Solo. Bahkan pacar Rista yang masih satu kelas dan berasal dari
Klaten menjadi salah satu faktor pergeseran dialek pada Rista. Percakapan sehari-
hari dalam intensitas pertemuan sepasang sejoli tersebut yaitu dialek Solo. Karena
RK pacar Rista tidak memahami dialek banyumasan, sehingga Rista
menyesuaikan diri dengan dialek RK yaitu dialek Jawa alus.
Begitu juga yang terjadi pada ST mahasiswa asli Purbalingga yang baru
satu tahun berada di UNS. ST kos di salah satu daerah Ngoresan. Kos yang
ditempati ST, mayoritas mahasiswa luar banyumasan. Kos dengan sistem kontrak
tersebut, terdapat dua belas anak kos yang terdiri dari sembilan anak kos dari eks-
Karisidenan Surakarta seperti Wonogiri, Sragen, dan Klaten. Sedangkan satu anak
dari Yogyakarta, dan dua anak lagi yaitu ST dan satu anak dari Kebumen.
Meskipun ST ada teman satu kos yang berasal dari banyumasan yaitu Kebumen
yang bernama Rzk, akan tetapi Rzk secara batas geografis rumahnya berbatasan
dengan Purworejo, sehingga dialek yang dipakai sudah mengalami peralihan.
Dialek yang lebih dominan pada saat di rumah yaitu dialek Yogya (Jawa alus).
Oleh karena itu, dari uraian di atas dapat ditarik simpulan bahwa
lingkungan kos yang mayoritas mahasiswa luar banyumasan, sangat
dimungkinkan memiliki peluang yang kecil untuk mahasiswa asli banyumasan
menggunakan dialek banyumasan karena lawan bicara yang sudah berbeda.
82
Kebiasaan yang dilakukan terus-menerus maka menjadi terbiasa dan terasah.
Begitu juga mahasiswa asli banyumasan yang jarang atau bahkan tidak sama
sekali menggunakan dialek banyumasan di lingkungan kos, maka dialek-dialek
tertentu akan menjadi dialek barunya.
b. Penggunaan Dialek Banyumasan di Kampus.
Penggunaan dialek banyumasan di kalangan mahasiswa asli banyumasan
di lingkungan kampus, tidak jauh beda yang terjadi di lingkungan kos. Hal
tersebut dengan mengkategorikan antara lingkungan kampus yang homogenitas
dan heterogenitas. Sebagian besar dari penelitian yang diperoleh, mahasiswa asli
banyumasan di lingkungan kampus mengunakan dialek campuran atau modifikasi.
Dialek modifikasi tersebut meliputi dialek banyumasan, dialek Jawa alus (Solo-
Yogya) dan Bahasa Indonesia. Hal ini dapat diambil contoh dari informan yang
bernama DD. Di lingkungan kampus yang heterogen dari teman-teman satu
angkatan DD yang berasal dari Jawa alus (Solo, Yogya, dan Purworejo) dan Jawa
Timuran (Gresik, Magetan dan Ngawi) mengharuskan DD menyesuaikan dengan
bahasa teman-temannya yaitu dialek Solo-Yogya. Sedangkan, ada dua orang
temannya yang satu angkatan yang berasal dari Banyumas dan Cilacap, maka oleh
DD diajak bercakap-cakap dengan dialek banyumasan, dan terkadang teman-
teman lainnya merasa terhibur dengan obrolan tiga orang ini. “Inyong ngomong
karo si IJH karo si NING kadang malah kanca-kancané memperhatikan kami,
jéréné kayané gayeng temen” (Aku berbicara dengan si IJH dan si NING kadang
teman-teman bahkan memperhatikan kami, kata mereka kita mengobrol
sepertinya akrab sekali).(L/DD/5/4/09).
Hal serupa juga terjadi pada GNC. Pada saat di kampus, GNC
menyesuaikan dengan lawan bicaranya, yaitu dengan tiga unsur bahasa sekaligus
meliputi dialek Solo, dialek banyumasan, dan Bahasa Indonesia. Namun yang
lebih sering adalah dialek Solo, karena sebagian besar teman-temannya berasal
dari wilayah Solo dan sekitarnya. Mekipun demikian, logat ngapak dalam setiap
kalimat ataupun percakapan masih ada. “Íya, Mba. Inyong angger ngomong
dadiné ya, campur bawur, campur aduk deh pokoknya. Sing penting
83
menyesuaikan dan tidak meninggalkan dialek sendiri. Karena nék inyong
ngomong ngapak-ngapak, kanca-kancané pada ora ngerti”. (Iya, Mba. Aku kalau
berbicara jadinya ya, campur bawur, campur aduk deh pokoknya. Yang penting
menyesuaikan dan tidak meninggalkan dialek sendiri. Karena kalau aku berbicara
ngapak-ngapak teman-teman tidak mengerti) (L/GNC/20/4/09). Sedangkan yang
terjadi pada Ulya sangat didominasi penggunaan Bahasa Indonesia. Ulya
mahasiswa asli Banjarnegara yang sudah dua tahun di UNS, pada saat di kampus
lebih sering menggunakan Bahasa Indonesia. Hal ini dikarenakan, sebagian besar
teman yang mengambil jurusan D3 perpustakaan kebanyakan warga Solo.
Mahasiswa yang berasal dari luar Solo, hanya Ulya dan dua orang temannya, satu
laki-laki yang bernama YG berasal dari Gombong dan yang perempuan bernama
ME yang berasal dari Tambak, Banyumas. “Konco-koncoku neng kampus nék
ngomong, nganggone bahasa Indonesia. Tapi nek karo si YG tidak pernah
omong-omongan, kecuali tanya-tanya tentang kuliah, yo tetep nganggo bahasa
Indonesia. Tapi nék karo Me karena kami tidak begitu akrab kadang-kadang
ngomong dialék banyumasan kadang-kadang bahasa Indonesia”. (Teman-
temanku di kampus kalau berbicara menggunakan Bahasa Indonesia. Tapi jika
dengan si YG tidak pernah mengobrol, kecuali tanya-tanya tentang kuliah, ya
tetap menggunakan Bahasa Indonesia. Tapi, kalau dengan ME karena kami tidak
begitu akrab, terkadang bicara dialek banyumasan kadang bahasa Indonesia)
(W/Ulya/18/4/09).
Uraian di atas dapat diambil simpulan bahwa penggunaan dialek
banyumasan di lingkungan kampus di kalangan mahasiswa asli banyumasan
sudah mengalami pergeseran dialek. Hal tersebut disebabkan lingkungan kampus
yang sedemikian beragam asal-usul daerah dan begitu cepatnya mobilitas
lingkungan pergaulan diantara mahasiswa satu dengan mahasiswa yang lainnya.
Apalagi intensitas pertemuan dalam perkuliahan ataupun di luar perkuliahan
menjadikan mudah dan cepatnya berkomunikasi dan berinteraksi satu sama
lainnya. Tidak jarang juga pergeseran menuju dialek Jawa alus ataupun Bahasa
Indonesia sebagai salah satu alternatif untuk mempermudah komunikasi (karena
84
teman-teman di kampus tidak begitu paham dengan dialek banyumasan) dan
dengan alasan agar cepat beradaptasi dengan teman-teman yang ada di kampus.
Selain itu, menurut TFA ada beberapa hal yang mempengaruhi
pergeseran dialek banyumasan di kalangan mahasiswa asli banyumasan,
diantaranya faktor geografis dan lingkungan pergaulan. Lingkungan geografis
berupa perbedaan atara letak daerah Solo dengan daerah banyumasan. Daerah
Solo dan sekitarnya masih termasuk dalam lingkup Kasunanan Surakarta,
sedangkan daerah banyumasan jauh dengan lingkup keraton baik keraton
Kasultanan Yogyakarta bahkan Kasunanan Surakarta. Disamping itu, menurut DD
pergeseran dialek banyumasan disebabkan oleh faktor lokasi terkait dengan
kehidupan kos dan kampus. Lingkungan kos dan kampus menjadi titik awal dari
pergeseran dialek banyumasan karena terjadi secara terus-menerus. Menurut NS
mahasiswa asli Purbalingga yang mengalami pergeseran dialek menyatakan
beralih kepada dialek campuran dengan tujuan untuk beradaptasi. Hal ini memiliki
pengertian bahwa lingkungan kos dan kampus berlangsung secara terus-menerus
akan membentuk pola atau perilaku seseorang. Hal tersebut berasumsi bahwa
seseorang bergaul dengan lingkungan yang memiliki kesamaan berdialek
banyumasan, maka dialek banyumasan akan lebih kental daripada di lingkungan
yang heterogenitas atau mayoritas orang luar banyumasan.
Sedangkan menurut DON dialek banyumasan mengalami pergeseran dari
para penuturnya disebabkan karena diglosa yaitu terjadinya perubahan bahasa dari
kebudayaan yang berbeda. Kebudayaan yang berbeda, menyangkut kebudayaan
orang Solo dengan kebudayaan orang banyumasan dalam satu komunitas
kebudayaan Solo. Sebagai contoh Ng yang sudah selama enam tahun hidup di
Solo, karena terbiasa di lingkungan kos menggunakan dialek banyumasan dan
mayoritas adalah mahasiswa asli banyumasan, maka yang terjadi adalah dialek
banyumasan masih sangat kental. Lain halnya dengan Ns yang baru dua tahun
hidup di Solo. Karena di lingkungan kosnya sebagian besar mahasiswa luar
banyumasan,yang terjadi adalah adanya percampuran antara dialek banyumasan
dengan dialek Solo. Hal ini disebabkan oleh kebiasaan menggunakan dialek
modifikasi dialek banyumasan dan dialek Solo.
85
Ns juga menambahkan, faktor yang mempengaruhi pergeseran dialek
banyumasan yaitu faktor pendidikan. Dalam hal ini, pendidikan yang dimiliki
seseorang akan semakin membuatnya memiliki prestise yang tinggi pula. Hal
tersebut, karena tidak mau dianggap ndeso dan katro. Tapi lain halnya dengan DD
penyebutan ndeso dan katro yang terjadi pada mahasiswa banyumasan yang
kemudian beralih dengan dialek campuran atau modifikasi yaitu karena faktor
adaptasi atau keinginan untuk menyesuaikan diri.
Menurut NP jika menanggapi perkembangan dialek banyumasan bagi
mahasiswa asli banyumasan yang belajar di UNS yaitu semakin mengalami
pergeseran sekitar 60% dan 40% antara Jawa banyumasan dan Jawa alus (Jawa
wetan). Faktor yang mempengaruhi pergeseran, menurut NP adalah karena
pengaruh budaya, lingkungan geografis, pola makan dan bawaan dari nenek
moyang. NP mengemukakan bahwa pengaruh budaya karena budaya yang
dimiliki oleh orang banyumasan bersifat terbuka, sedangkan orang Solo memiliki
sifat yang alus. Dilihat dari letak geografis karena perbedaan tempat tinggal
dengan latar belakang dekat atau jauh dengan lingkungan keraton. Selain itu jika
dilihat dari pola makan, dibedakan bahwa orang Solo lebih menyukai makanan
yang manis dan tidak terlalu pedas, lain halnya dengan orang banyumasan yang
menyukai rasa asin dan rasa pedas. Secara struktur rasa pedas dalam kandungan
lombok (cabé) sangat membantu untuk meningkatkan atau menggerakkan
adrenalin manusia. Sedangkan berdasarkan bawaan nenek moyang karena bahasa
merupakan sudah dari dahulu diturunkan sejak dini dari orang tua kepada anaknya
lewat interaksi satu sama lain.
Menurut Rista, mahasiswa asli Cilacap, pergeseran dialek banyumasan di
kalangan mahasiswa asli banyumasan terkait dengan dua hal, yaitu dari segi intern
dan segi ekstern. Segi intern yaitu dari diri pribadi orang banyumasan ketika
berada di daerah perantauan melakukan pemilihan dialek yang akan
dipergunakan. Selain itu juga, dalam pemilihan dialek yang akan dipergunakan
yaitu karena prestise atau penghargaan terhadap diri sendiri. Artinya, bahwa orang
banyumasan masih menganggap dialek banyumasan identik dengan orang yang
masih tradisional atau dari kalangan bawah. Dilihat dari segi ekstern yaitu
86
berdasarkan pengaruh lingkungan dan tuntutan. Artinya, bahwa lingkungan
memiliki peran besar dalam eksistensi dialek banyumasan. “Lingkungan sifaté
okeh Mba. Ono sing termasuké lingkungan pergaulan, lingkungan kampus, ya
kuwé ditambah lingkungan kos” (Lingkungan sifatnya banyak, Mba. Ada yang
termasuknya lingkungan pergaulan, lingkungan kampus dan lingkungan kos)
(W/Rista/17/4/09).
Uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa ada beberapa hal yang mempengaruhi
terjadinya pergeseran dialek banyumasan yaitu faktor intern dan ekstern.
Pertama faktor intern meliputi faktor diri tentang pemilihan dialek yang
dipergunakan untuk berinteraksi dan berkomunikasi. Serta faktor perasaan malu,
gengsi dan prestise mengenai pencitraan terhadap rendahnya dialek banyumasan
yang identik dengan kelas menengah bawah. Kedua, faktor ekstern yang meliputi
faktor geografis, faktor lokasi yaitu lingkungan kos dan kampus, lingkungan
pergaulan dan kebiasaan sehari-hari, faktor adaptasi dan faktor diglosa yang
multilingual, pendidikan, pengaruh budaya, pola makan, dan faktor tuntutan.
Faktor geografis secara umum meliputi perbedaan wilayah banyumasan yang jauh
dengan keraton dibandingkan dengan Solo. Secara spesifik yaitu perbedaan letak
strategis kamar kos diantara informan banyumasan. Hal ini mencakup, kamar kos
atau tempat kos yang homogen mahasiswa asli banyumasan dengan jumlah yang
mayoritas dan heterogen (mayotitas mahasiswa luar banyumasan). Begitu juga
yang terjadi di lingkungan kampus yaitu mengenai pola interaksi dan komunikasi
sesama mahasiswa yang memiliki perbedaaan asal daerah. Faktor lingkungan
pergaulan dan kebiasaan sehari-hari terutama kegiatan rutinitas pada saat
berbicara denagn lawan bicara (mahasiswa lain). Faktor untuk adaptasi dengan
tujuan mempermudah menyesuaikan diri dengan teman di kos dan di kampus agar
lebih interaktif dan komunikatif. Faktor diglosa yang multilingual, yaitu adanya
peran dua atau lebih bahasa Jawa Solo dengan dialek banyumasan dalam satu
lingkungan Solo. Faktor pendidikan memberikan pengertian adanya latar belakang
dunia perkuliahan yang merupakan jenjang tertinggi dari pendidikan formal
lainnya, menjadi salah satu alternatif untuk meningkatkan taraf hidup yang lebih
baik. Pengaruh budaya mencakup perbedaan budaya Solo dan banyumasan. Pola
87
makan meliputi pengertian bahwa orang banyumasan lebih menyukai makanan
pedas dibandingkan dengan orang Solo. Hal ini memberikan argumen bahwa jenis
makanan yang berstruktur pedas lebih menguatkan daya semangat dan adrenalin
sehingga mempengaruhi logat bicara dialek banyumasan yang bernada keras dan
tegas. Sedangkan faktor tuntutan yaitu berupa proses penyesuaian diri dengan
lingkungan barunya.
3. Upaya Pelestarian Dialek Banyumasan.
a. Komunitas Banyumasan.
Mahasiswa asli banyumasan yang dengan tujuan belajar di UNS dalam
mempererat antar sesama wong banyumasan, muncul komunitas banyumasan.
Komunitas tersebut meliputi komunitas mahasiswa yang asli banyumasan, yaitu
seperti Kepamba yang secara umum bagi mahasiswa asli se-eks Karesidenan
Banyumas (Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap, Kebumen), Kecap
(mahasiswa yang hanya berasal dari Cilacap), Kluban (kelompok mahasiswa
Banyumas), Fosimba (forum komunikasi mahasiswa Banjarnegara), dan
Kemangga (Forum komunikasi mahasiswa Purbalingga).
Jumlah mahasiswa UNS yang mengikuti komunitas mahasiswa Cilacap
(Kecap) terdapat 78 mahasiswa. Sedangkan jumlah mahasiswa UNS yang
mengikuti komunitas banyumas (Kluban) terdapat 29 mahasiswa., komunitas
mahasiswa banjarnegara (Fosimba) terdapat 37 mahasiswa, komunitas mahasiswa
Kebumen terdapat 5 mahasiswa, dan komunitas mahasiswa Purbalingga
(Kemangga) terdapat 34 mahasiswa.
Komunitas bagi mahasiswa asli banyumasan adalah komunitas yang
dijadikan sebagai ajang untuk berkumpul mahasiswa asli banyumasan yang ada di
UNS. Informan yang mengikuti dialek banyumasan yaitu DD dan Wh komunitas
anak Kebumen, Ichen dan Rista komunitas anak Cilacap, Ng komunitas anak
Banyumas, serta ST dan Ns komunitas anak Purbalingga. Fungsi komunitas
banyumasan yaitu salah satunya adalah merekatkan persaudaraan antar mahasiswa
asli banyumasan di UNS. Selain itu, menurut DD komunitas banyumasan
bermanfaat untuk menyalurkan canda dan tawa yang nota bene dialek
88
banyumasan sarat dengan lucu dan humor. Menurut Ichen, komunitas dialek
banyumasan sebagai ajang menjalin silaturahmi dan kekeluargaan terutama
dengan mengadakan acara atau agenda untuk buka bersama dan jalan-jalan ke
suatu tempat. Ataupun dapat menjadi forum temu kangen dan mengasah
kembali dialek ngapak-ngapak. Diakui oleh Ng yang pernah mengikuti
komunitas banyumasan selama satu periode, komunitas banyumasan dapat
mengasah kembali dialek ngapak-ngapak yang mengalami modifikasi ke dialek
Solo atau Bahasa Indonesia.
Akan tetapi eksistensi komunitas mahasiswa banyumasan di lingkungan
UNS mengalami pasang surut. Hal ini disebabkan, kurangnya koordinasi antara
mahasiswa asli banyumasan. Komunitas banyumasan minimal dalam
eksistensinya mengadakan agenda buka bersama dalam setiap tahunnya. Untuk
intensitas pertemuan secara rutinitas belum terkodisikan, karena mahasiswa asli
banyumasan yang tersebar di beberapa fakultas. Selain itu, sulitnya pendataan dan
mengkomunikasikan waktu yang serentak untuk pertemuan atau sekedar kumpul
bersama dalam event-event tertentu.
b. Upaya Secara Individu.
Berbagai macam cara untuk bisa melestarikan dialek banyumasan yang
sudah mengalami pergeseran diantara para penutur aslinya terutama di kalangan
mahasiswa asli banyumasan yang belajar di UNS. Adapun cara atau langkah yang
dapat diambil, yaitu menurut IK dan SLV masih tetap menggunakan dialek
banyumasan meski hanya lingkup teman-teman yang ada di kampung melalui
teknologi mutakhir yaitu pesan singkat sms atau telepon dengan berdialek
banyumasan. Selain itu menurut Wan dan Epra, pada saat pulang kampung,
menggunakan kembali dialek asal (dialek banyumasan) untuk melatih kembali
kosakata yang selama ini sudah ada percampuran dengan dialek Solo dan bahasa
Indonesia. Bahkan menurut NP, melestarikan dialek banyumasan yaitu dengan
pulang dan menikah dengan orang banyumasan, masukkan muatan lokal atau
kurikulum yang berdialek banyumasan dalam pelajaran sekolah, dan membeikan
sosialisasi melalui siaran radio yang berdialek banyumasan.
89
C. Pembahasan dan Analisis Hasil Penelitian
Manusia dalam kehidupan sosial memiliki sifat saling hidup
ketergantungan satu sama lain. Peran manusia untuk kehidupan sosialnya adalah
saling bekerja sama dan membantu satu sama lain. Manusia yang saling
bekerjasama akan membentuk suatu masyarakat dalam kesatuan organis. Manusia
yang tergabung dalam sekelompok orang dan membentuk masyarakat tidak bisa
terpisah dari kehidupan sosial dan budayanya. Masyarakat secara sosial memiliki
intensitas saling berinteraksi dan komunikasi satu sama lain. Sedangkan
masyarakat dalam kehidupan budayanya meliputi pola perilaku, kebiasaan, tata
nilai, norma, aturan, sekelompok pengetahuan, kepercayaan yang hidup di
dalamnya. Oleh karena itu, masyarakat dan kebudayaan memiliki keterkaitan
dalam membentuk pola perilaku dari tiap-tiap pribadi manusia.
Kebudayaan yang terjadi pada manusia, pada dasarnya diturunkan secara
genealogis (turun-temurun atau terus-menerus) dan tidak dapat lepas dari
lingkungan geografis. Menurut Hassan Sadily (1984:84) pakaian, perumahan,
bahasa, sistem perkawinan yang ada di suatu daerah diwariskan secara regenerasi
dari nenek moyangnya karena kebudayaan itu sifatnya dinamis.
Indonesia sebagai salah satu negara yang berbentuk kepulauan memiliki
keanekaragaman berupa adat istiadat, agama, ras dan suku bangsa yang
merupakan hasil dari ide, gagasan, dan seperangkat aktivitas atau perilaku serta
hasil karya manusia. Seperangkat ide dan gagasan tersebut mengalami dinamika
dalam masyarakat yang majemuk dan masyarakat yang multikultural.
Perkembangan kebudayaan pada masyarakat majemuk terjadi di Era Orde Baru
dengan sistem pluralisme. Selain itu, peristiwa Sumpah Pemuda 1928 juga
merupakan salah satu bentuk kesatuan integrasi dalam masyarakat majemuk yang
menghasilkan kesepakatan secara ideologis, yaitu satu tanah air, tanah air
Indonesia; satu bangsa, bangsa Indonesia; dan satu bahasa, bahasa persatuan
bahasa Indonesia. Menurut Furnival dalam Alo Liliweri (2001:166) masyarakat
majemuk adalah masyarakat yang hidup berkelompok dan saling berdampingan
secara fisik, akan tetapi mereka hidup secara terpisah-pisah karena adanya
perbedaan sosial dan tidak tergabung dalam satu unit politik. Kemudian, jatuhnya
90
Era Ode Baru digantikan dengan Era Reformasi. Pada Era Reformasi tidak lagi
disertai dengan pengembangan pluralisme, akan tetapi masing-masing daerah
diberikan otonom untuk mengembangkan kebudayaan daerahnya yang
mengatasnamakan masyarakat multikultural.
Salah satu perkembangan kebudayaan masyarakat Indonesia dalam
masyarakat multikultural yaitu bahasa. Menurut Koentjoroningrat (Soerjono
Soekanto, 2003:176) bahasa merupakan bagian dari unsur kebudayaan. Bahasa
sebagai unsur budaya bahwa bahasa digunakan pada masyarakat untuk
mempermudah dalam menyampaikan pesan.
Menurut Sapir Whorf (Deddy Mulyana dan Jalalluddin Rakhmat,
2000:118-119), “bahasa adalah unsur terpenting dalam budaya karena bahasa
menunjukkan pandangan dunia tentang suatu masyarakat pemakainya dan tentang
lingkungan mereka”. Bahasa mengarahkan pada persepsi para pemakainya
terhadap hal-hal tertentu, seperti halnya memberi petunjuk atau isyarat dengan
berdasarkan perbedaan dan persamaan budaya diantara berbagai suku bangsa.
Selain itu, bahasa dapat memasuki wilayah politik, sosial dan budaya.
Menurut Hooker dalam M. Ainul Yaqin (2005:74-75) bahasa dapat memasuki
wilayah politik terutama di Era Orde Baru. Sebagai contoh, adanya politisasi
terhadap penggunaan bahasa Indonesia yang disempurnakan dalam EYD.
Politisasi bahasa ini biasanya menjadi bagian dari upaya pemerintah untuk
memperkuat rezim kekuasaannya. Sedangkan bahasa memasuki wilayah sosial
dapat dilihat dari anggapan positif maupun negatif terhadap penggunaan bahasa
tertentu. Contohnya adanya anggapan negatif terhadap masyarakat yang
menggunakan bahasa dari kelas sosial tertentu seperti bahasanya orang yang
mempunyai status sosial tinggi lebih halus daripada bahasanya orang yang status
sosialnya rendah, meskipun anggapan ini belum tentu benar. Bahasa juga dapat
memasuki wilayah budaya. Hal ini terlihat dari dialek pada masyarakat yang
tinggal di Pesisir Pantai Utara Pulau Jawa biasanya mempunyai ciri-ciri bernada
tinggi, lugas dan apa adanya. Sedangkan dialek pada masyarakat yang tinggal di
daerah dekat keraton mempunyai ciri-ciri bernada lebih pelan, lebih halus, dan
91
lebih sering menggunakan unggah-ungguh (tata cara bersikap khususnya bagi
daerah dekat keraton untuk membangun kesan sopan terhadap orang lain.
Sedangkan menurut Ubed Abdilah (2002:70-71) bahasa merupakan alat
dalam menstranformasikan budaya dan nilai-nilai bahasa lokal atau bahasa ibu
ketika terjadi globalisme. Dalam kondisi ini, bahasa-bahasa pinggiran, bahasa
daerah, bahasa lokal tersubordinasi. Bahkan, bahasa lokal menjadi bahasa
kesekian, marginal dan mengalami diskriminasi.
Menurut Khaidir Anwar (1990:33-34), bahasa terdiri dari ragam bahasa
yang berbeda-beda secara geografis. Ragam bahasa dalam suatu daerah yang
geografisnya kecil disebut dengan dialek atau logat. Salah satu pulau yang ada di
Indonesia yang memiliki keberagaman dialek yaitu Pulau Jawa. Setiap daerah di
Pulau Jawa memiliki perbedaan dialek dengan ciri khasnya masing-masing.
Pengucapan dialek bahasa Jawa yang diucapkan orang Jawa seperti Purwokerto
(Banyumas), Tegal, Surakarta, atau Surabaya memiliki perbedaan. Salah satu
dialek yang memiliki kekhasan dalam pengucapan vocal ‘a’ yang sangat mantap,
tegas, lugas dan tidak setengah-tengah yaitu dialek banyumasan atau yang biasa
disebut dialek ngapak.
Penutur dialek ngapak, ada kalanya melakukan mobilitas hingga keluar
daerah banyumasan. Ada yang dengan tujuan bekerja, merantau dan tujuan
belajar. Salah satu penutur dialek dengan tujuan belajar hingga ke luar daerah
asal, yaitu mahasiswa asli banyumasan yang belajar di UNS. Mahasiswa yang
belajar secara berkesinambungan dalam menempuh pendidikan hingga ke luar
daerah tempat tinggalnya, menjadi tantangan tersendiri bagi mereka untuk lebih
memperluas wawasan dalam ilmu pengetahuan bahkan harus bisa menyesuaikan
diri dengan kebudayaan setempat. Penelitian ini dilakukan pada mahasiswa asli
banyumasan yang belajar di UNS mencakup penelitian tentang kehidupan yang
ada di kampus dan di kos.
Menurut Budiono (2008:13-19), secara geografis wilayah Banyumasan
terbentang dari sisi barat daya Provinsi Jawa Tengah (Pulau Jawa bagian tengah).
Pulau Jawa berada diantara 5˚ Lintang Selatan, 10˚ Lintang Selatan dan 105˚
Bujur Timur, 115˚ Bujur Timur, dari rangkaian kepualauan nusantara bagian
92
barat. Sedangkan secara administrasi pemerintahan, wilayah Banyumas terbagi
menjadi empat kabupaten yaitu Kabupaten Banyumas, Cilacap, Purbalingga, dan
Banjarnegara. Di sebelah barat berbatasan langsung dengan wilayah Provinsi
Jawa Barat. Sebelah selatan dibatasi oleh Samudera Hindia, sebelah tenggara
berbatasan dengan daerah Bagelen (Kabupaten Kebumen), sebelah timur dengan
Kabupaten Wonosobo, sedang sebelah utara berbatasan dengan kabupaten
Pekalongan, Pemalang, Tegal dan Brebes. Secara historologi, sosiologi, dan
kulturiologi, yang disebut wong banyumasan yaitu orang-orang yang masih
merasa dan mengakui memiliki kakek-nenek moyang (leluhur) sampai dengan
bapak-ibunya dilahirkan, meninggal dunia atau seumur hidupnya tinggal menetap
di wilayah Banyumas. Sedangkan pengguna atau penutur dialek banyumasan
biasa disebut dengan wong banyumasan yang lebih tepatnya disebut sebagai
komunitas Jawa banyumasan, dimana mereka mendiami wilayah bagian Barat
Daya Jawa Tengah. Secara historis, etnologis, sosiologis, kultural dan formal
disebut wilayah barlingmascakeb, yang meliputi daerah Kabupaten Banjarnegara,
Purbalingga, Banyumas, Cilacap dan Kebumen.
Elaine Chaika (1994:270) memberikan argumen pada dasarnya dialek
menunjukan bagaimana orang berbicara terkait dengan identitas yang dimilikinya.
Dialek juga sebagai proses awal pembentukan terbentuknya masyarakat untuk
saling berkomunikasi satu sama lain dengan bahasa ibu yang mereka sepakati
bersama. Selanjutnya, Linda Thomas (2007:223-235) menambahkan tentang
masalah identitas yaitu bahwa identitas merupakan suatu hal yang menunjukkan
siapa diri kita, bagaimana cara kita memandang diri sendiri, bagaimana cara orang
lain memandang pribadi kita, tidak semata-mata ditentukan dari kalangan mana
orang tua kita dilahirkan dan dibesarkan atau dari kelas mana orang tua kita
berasal, dan digolongan mana kita termasuk. Identitas individu dan identitas sosial
atau identitas institusional menjadi sesuatu yang terus-menerus dibentuk dan
dinegosiasikan dalam sepanjang kehidupan lewat interaksi dengan orang lain.
Giddens berasumsi bahwa identitas adalah gagasan identitas yang
sifatnya dinamis, bisa berubah, bisa diciptakan dan dibentuk, senantiasa mengikuti
proses penciptaan dan pembentukan budaya tersebut yang terangkum dalam
93
proyek identitas. Disamping itu, identitas yang dikemukakan Winter (1999:59-80)
yaitu identitas dengan berdasarkan pembedaan jenis kelamin. Identitas tersebut
terjadi pada masyarakat Kubo di Papua Nugini secara partifial dibedakan lebih
pada gender yang sifatnya pembedaan atas laki-laki dan perempuan atau kaum
muda dan kaum yang tua. Menurut Khan (1995) dalam Yekti Mauneti (2006:24-
25), juga menganggap identitas budaya sebagai sesuatu yang sengaja dibangun
yang secara tidak langsung memang tidak lepas dari budaya yang dikonstruksi dan
konteks budaya (sejarah). Jadi menurut Khan identitas budaya tidak hanya
dikonstruksi tapi juga harus menemukan konteksnya (proses konstruksi) yang
berdasarkan sejarahnya. Hal tersebut diperkuat oleh argumen Ariel Haryanto
(1989:3) menambahkan bahwa bahasa tidak hanya dibentuk dan ditentukan, akan
tetapi bahasa juga bisa membentuk dan menentukan sejarah sosial. Dalam hal ini,
dialek banyumasan tidak hanya terbentuk dan ditentukan oleh setiap penuturnya,
tapi dialek banyumasan pada dasarnya telah membentuk dan menentukan sejarah
sosialnya yang berupa pencitraan atau identitas yang melekat pada dialek
banyumasan yang merupakan dialek yang bernada keras, nuansa humor dan tidak
ada struktur tingkatan dialek (tidak ada unggah-ungguhnya).
Pada dasarnya eksistensi bahasa menunjukkan identitas seseorang.
Menurut Giddens (Chris Barker, 2006:186) identitas yang dibangun tergantung
dimana situasi kita menterjemahkan dan diterjemahkan dalam konteks budaya
tertentu. Giddens memberikan asumsi bahwa konstruksi identitas dilihat dari dua
hal, yaitu identitas yang dilihat dari isu (konsep) agensi dan identitas yang dilihat
dari konsep determinasi (pemaknaan sosial). Konsep agensi adalah bahwa
individu mengkonstruksikan suatu proyeksi atau keadaan diri kita sebagai suatu
hal yang memiliki makna dan dengan ciri khas tertentu. Sedangkan, determinasi
sosial adalah identitas seseorang yang dikonstruksikan secara sosial dengan
berdasarkan ciri khas yang sudah melekat pada diri kita yang berasal dari
konstruksi sosial. Pengertian tersebut memiliki arti bahwa identitas dibentuk oleh
individu pemilik identitas dan lingkungan atau kehidupan sosial budaya yang
mengkonstruksikan identitas tersebut.
94
Konstruksi identitas dialek banyumasan di lingkungan kos dan kampus
UNS berdasarkan teori identitas Giddens (Chris Barker, 2006:188) berupa konsep
agensi (pilihan) dan determinasi, dapat dirumuskan dalam empat hal, yaitu
(1)dengan membandingkan hasil dari tindakan kita di masa lalu dengan membuat
penilaian tentang tindakan mana yang terbaik, nilai yang telah dibangun secara
sosial untuk kita sebelumnya. Hal ini terlihat dalam perilaku mahasiswa asli
banyumasan dalam memilih dialek di lingkungan kos dan kampus, (2) gagasan
untuk memilih berdasarkan nalar psikis dan emosional yang tidak pernah dapat
sepenuhnya kita sadari. Hal ini nampak pada faktor-faktor yang mempengaruhi
pergeseran dialek banyumasan di lingkungan kos dan kampus, (3) pilihan memilih
suatu dialek bersifat rutinitas atau harian dan tidak terpikirkan secara sadar.
Menurut Giddens (2005:158) rutinitas meliputi ikatan dan bentuk kehidupan
sehari-hari yang dibangun secara berulang-ulang, (4). dalam memilih, kadang kita
tidak memiliki pengetahuan ‘obyektif’ tentang kondisi tindakan kita sendiri
karena kita tidak dapat melangkah keluar dari situasi-situasi tersebut, karena
dipengaruhi oleh lingkungan sosial budaya. Hal inilah yang akan mengarah
kepada eksistensi identitas dialek banyumasan di lingkungan UNS.
1. Terbentuknya Identitas Dialek Banyumasan Melalui Stereotip.
Mahasiswa asli banyumasan menggunakan dialek berkaitan dengan
tindakan yang berorientasi pada masa lalu yaitu adanya persepsi yang muncul
berupa stereotip (labelisasi) tentang dialek banyumasan. Persepsi yang muncul
dari mahasiswa asli banyumasan merupakan konsep agensi Giddens yang bermula
dari membandingkan hasil dari tindakan kita di masa lalu dengan membuat
penilaian tentang tindakan mana yang terbaik dan nilai yang telah dibangun
secara sosial untuk kita sebelumnya. Karena persepsi itu sendiri merupakan hasil
dari proses stereotip (labelisasi) yang berasal dari mahasiswa luar banyumasan
dan mahasiswa asli banyumasan. Misalkan, bahasa dengan dialek atau logat yang
cepat dan ceplas-ceplos (terbuka). Jika terlihat dari para penutur aslinya pada saat
pengucapan vokal ‘a’ yang sangat mantap. Contohnya : “Rika lagi apa?” (kamu
sedang apa?). Selain itu, konsonan ‘d’, ‘g’, dan‘k’ juga dilafalkan dengan sangat
95
mantap jika dibandingkan dengan dialek Jawa alus atau Jawa wetan (Solo-Yogya)
yang menyatakan kata “dhéwé’ tanpa adanya penekanan huruf ‘k’, sedangkan
untuk dialek banyumasan pelafalannya yaitu “dhéwék”, dimana huruf ‘k’
mengalami penekanan dalam penuturnya. Hal tersebut dilihat dari segi fonologi.
Dampak terhadap penggunaan dialek secara fonologi di kalangan mahasiswa asli
banyumasan yang beralih ke dialek Yogya-Solo atau bahasa Indonesia yaitu pada
saat berbicara masih nampak dialek banyumasan berupa penekanan pada huruf-
huruf tertentu seperti ‘d’, ‘g, dan ‘k.
Sedangkan stereotip yang muncul dari mahasiswa luar banyumasan
bahwa dialek banyumasan sebagai dialek yang aneh, unik, lucu, intonasi cepat,
gemluthuk (rumit).dan ngapak-ngapak, nuansa humor dan membuat tertawa. Pada
waktu pertama kali menjadi mahasiswa yang mengenal heterogenitas asal daerah,
DF mendengar dialek banyumasan muncul perasaan shock. Kemudian ada sebuah
pertanyaan di dalam hati “(termasuk dialek mana?, mahasiswa tersebut berbicara
apa?)”. Selain itu juga, muncul perasaan dialek banyumasan termasuk dialek yang
kasar (tidak ada unggah-ungguh). Disisi lain, pada saat menonton film veronica,
ada sebuah percakapan dari seorang anak yang sekiranya seperti mengatai
(menghina) orang tua sendiri. Kesan yang diperoleh HN mendengar percakapan
dialek banyumasan tersebut tidak memahami makna yang sedang dibicarakan.
Akan tetapi hanya tersenyum dan lebih memperhatikan bahwa dialek banyumasan
banyak pada penekanan huruf ‘k’ yang sangat mantap. Penekanan tersebut juga
memberikan suatu identitas dari orang banyumasan, karena dialeknya yang
kelihatan jelas dan lugas. Dialek banyumasan dari segi percakapan terlalu
mematikan huruf tertentu seperti ‘d’, ‘g’, dan ‘k’. Sehingga dialek banyumasan
yang terkesan tidak halus pengucapannya dan bernada tinggi masih seperti
kelihatan orang ndeso dan katro.
Mahasiswa luar banyumasan memberikan istilah dialek ngapak-ngapak
mencakup tentang identitas dialek yang khas dengan volume keras, sarat dengan
nuansa humor atau kelucuan, bahasa yang unik dan memiliki nilai tersendiri.
Dilihat dari segi geografis dialek banyumasan merupakan dialek yang diapit oleh
dua dialek, yaitu dialek Jawa Barat (Sunda) dan Jawa Timuran, bahasa yang
96
fulgar, tidak membedakan status seseorang (tidak ada unggah-ungguh), tidak plin-
plan (konsisten) dan dialek yang sifatnya datar. Sebagai contoh ada sebuah
pertanyaan : “Rika kenangapa tiba !?” (Kamu kenapa jatuh!?). Dari pertanyaan di
atas, bisa berarti atas dua hal yaitu menyatakan pertanyaan dengan nada keras
(marah) atau ikut bersedih sehingga berempati untuk bertanya. Ada pula yang
beranggapan bahwa dialek banyumasan adalah dialek yang bervolume tinggi
dalam pengucapannya, dialek dengan kosakata banyak, bernuansa lucu (humor)
dan polos.
Menurut Joanna Thornborrow (Linda Thomas dan Shan Wareig,
2007:230) identitas yang dibentuk dan dibangun oleh masyarakat merupakan
proses sosial (proyek identitas) yang didalamnya terjadinya proses label sosial
atau stereotip. ”Pelabelan atau pemberian suatu benda atau nama kepada
seseorang, dapat dijadikan tanda seseorang diterima kedalam kelompok budaya
atau agama tertentu, sehingga nama itu tidak hanya memberikan identitas
individu, tetapi juga sekaligus memberikan identitas individu kelompok atau
agama”. Stereotip tersebut mengarah pada pelabelan secara positif dan negatif.
Stereotip positif menganggap bahwa dialek banyumasan memiliki kekhasan dari
dialek daerah lainnya yang masih satu lingkup dengan Jawa khususnya di Jawa
Tengah. Stereotip negatif ada anggapan bahwa dialek banyumasan identik dengan
masyarakat yang masih menengah ke bawah. Hal tersebut mengarah pada
tingkatan sosial di masyarakat yang cenderung membedakan lapisan sosial secara
berhierarki (bertingkat). Stereotip yang muncul, secara tidak langsung dalam
intensitas yang lama akan menanamkan pola pikir tertentu yang mengarah pada
pemaknaan identitas dialek banyumasan.
Konstruksi identitas dialek banyumasan tidak terlepas dari penilaian atau
pemaknaan dialek banyumasan oleh orang banyumasan dan orang luar
banyumasan itu sendiri. Penilaian dapat berupa penilain yang positif dan penilaian
yang negatif tergantung dari konteks mempersepsikannya. Dalam penilaian
tersebut, akan memunculkan suatu label-label atau cap-cap tertentu pada dialek
banyumasan. Stereotip memiliki sebab-sebab yang kompleks dari suatu
keberadaan masyarakat di lingkungan UNS. Karena pada dasarnya lingkungan
97
UNS merupakan kawasan pelajar yang datang tidak hanya dari se-eks Karisidenan
Surakarta, akan tetapi dari berbagai daerah dan berbagai budaya khususnya dialek
yang dibawanya.
Fenomena yang terjadi pada TFA dan DD, pemberian stereotip berasal
dari proses pemaknaan tertentu yang terucap dari orang yang satu ke yang lain.
Karena orang luar banyumasan tidak memahami keunikan dan arti (makna) dari
percakapan suatu dialek banyumasan. Selain itu, yang terjadi pada IK, mahasiswa
asli Banjarnegara yaitu karena adanya proses budaya dalam lingkungan sosial
masyarakat. Lingkungan budaya berupa pemberian nilai atau tanda terhadap
orang banyumasan yang sifatnya terdominasi oleh dialek Jawa alus. Sebab, orang
luar banyumasan menganggap dialek banyumasan sebagai bahasa yang tidak
memiliki unggah-ungguh dan bernada keras dalam pengucapannya.
Penilaian atau penandaan pada penutur dialek banyumasan juga terjadi
pada Ichen yang di kampus mendapat julukan miss ngapak. Menurut DON,
munculnya stereotip yang terjadi pada dialek banyumasan seperti penyebutan
bahasa planet atau miss ngapak merupakan proses yang terbentuk dari lingkungan
budaya dan lingkungan sosial masyarakat Solo.
Disisi lain proses stereotip dikarenakan adanya prestise. Rista, yang malu
menggunakan dialek banyumasan dengan alasan kadang ditertawakan oleh teman-
teman kos dan kampus terutama pada saat awal masuk wilayah Solo. Prestise
yang terjadi karena penghargaan terhadap diri orang banyumasan, jika ngomong
ngapak-ngapak dianggap orang yang masih tradisional dan dari kalangan bawah.
Munculnya pemaknaan pada dialek banyumasan merupakan bagian dari
unsur geografis. Gejala konstruksi sosial dan pelabelan yang terjadi pada Ng dan
Ns, berdasarkan letak jauh dekatnya dengan area keratin. Ataupun, karena adanya
struktur pembagian lokasi dari pengguna dialek, seperti pembagian area dialek
Jawa wetan (Solo-Yogya) dan dialek Jawa Kulon (ngapak-ngapak).
Konstruksi yang terjadi pada identitas dialek banyumasan tersebut,
kemudian mengarah pada peran bahasa dalam kehidupan bermasyarakat. Peran
bahasa dalam hal ini adalah kekuatan untuk mempersatukan berbagai kelompok
masyarakat yang latar belakang etnis, budaya, dan bahasanya berbeda-beda
98
menjadi satu kesatuan masyarakat. Haugen (Herudjati, 2004:5) berpendapat
bahwa “bahasa manusia akan berubah apabila para penutur secara geografis
terpisah dari kelompok induk. Sebalikya selama para penutur tinggal di satu
tempat, mereka cenderung mempertahankan bahasa yang sama”. Khaidir Anwar
(1990:33-35), juga berasumsi bahwa “bagaimanapun juga terdapat masalah
mengenai hubungan bahasa baku atau bahasa umum dengan dialek-dialeknya”.
Sehingga pada dasarnya, antara dialek yang satu dengan yang lainnya terdapat
penilaian yang subyektif mengenai kegunaannya, kadang-kadang dialek dianggap
lebih dapat diterima dari pada yang lain. Selain itu menurut Spring (2001:153-64)
konstruksi identitas merupakan bagian dari interpretatif dan narasi dari orang-
orang yang lebih memiliki kekuasaan yang lebih elit. Hal inilah yang menandakan
adanya struktur tertentu dalam terjadinya konstruksi identitas. Pemahaman tentang
konstruksi identitas muncul adanya perasaan terpinggir bagi yang tidak memiliki
komunitas yang mendukungnya. Peranan dialek dalam suatu masyarakat dapat
memperluas rasa solidaritas atau dapat memperenggang persaudaraan. Bahkan
dapat memunculkan anggapan bahwa orang kelihatan rendah secara status.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan pembentukan identitas
dialek banyumasan merupakan hasil tindakan yang berorientasi pada masa lalu.
Tindakan masa lalu berupa stereotip yang telah dibangun sebelumnya. Stereotip
yang telah ada, akan memunculkan persepsi-persepsi di kalangan mahasiswa asli
banyumasan dan mahasiswa luar banyumasan. Persepsi tersebut yang akan
mempengaruhi konstruksi dialek banyumasan di lingkungan UNS.
2. Pemilihan Penggunaan Dialek Secara Nalar dan Emosional.
Adanya stereotip yang melekat pada dialek banyumasan, juga akan
mempengaruhi pada pemilihan dialek di kalangan masaiswa asli banyumasan.
Proses pemilihan dialek melibatkan proses negosiasi yang di lakukan dengan
tujuan untuk mempermudah komunikasi dengan mahasiswa luar banyumasan.
Konsep agensi yang berupa pemilihan penggunaan dialek banyumasan secara
personal dari tiap-tiap mahasiswa asli banyumasan memiliki perbedaan satu sama
lain. Menurut Ng, ST dan Wh, mereka melakukan pemilihan dialek secara
99
personal yaitu tergantung lawan bicara mereka. Sehingga dalam hal ini bersifat
kondisional, karena bertujuan untuk menjalin komunikasi dengan lawan
bicaranya. Maka, DD, GNC, Wan dan Ns pun memiliki alasan yang menjadikan
faktor pemilihan secara personal yaitu untuk memperlancar komunikasi.
Disamping itu, faktor pemilihan dialek di kalangan mahasiswa asli
banyumasan adalah melibatkan peran dialek banyumasan di lingkungan UNS.
Gagasan untuk memilih berdasarkan nalar psikis dan emosional yang tidak pernah
dapat sepenuhnya kita sadari. Karena yang terjadi di kalangan mahasiswa asli
banyumasan berasal dari kedekatan emosional yaitu ingin menunjukan budaya
banyumasan yang beranekaragam dari penggunaan dialek banyumasan, keinginan
untuk menunjukkan identitas wong banyumasan dan sebagai alat menyatukan
mahasiswa asli banyumasan yang ada di lingkungan kos dan kampus UNS.
Berdasarkan konsep agensi Giddens, faktor pemilihan dialek di kalangan
mahasiswa asli banyumasan di lingkungan kos dan kampus dibedakan dalam
lingkungan yang homogen dan heterogen. Akan tetapi, faktor pemilihan juga
merupakan bagian dari tindakan masa lalu tentang stereotip dan persepsi dialek
banyumasan. Ada pula persepsi yang muncul dari mahasiswa asli banyumasan
bahwa pola makan mempengaruhi sifat seseorang merupakan bagian dari tindakan
yang nalar dan kedekatan emosional yang tidak disadari sebelumnya. Hal tersebut
mengasumsikan bahwa jika dilihat dari pola makan, orang Solo lebih menyukai
makanan yang sifatnya manis dan tidak terlalu pedas, lain halnya dengan orang
banyumasan yang menyukai rasa asin dan rasa pedas. Secara struktur rasa pedas
dalam kandungan lombok (cabé) sangat membantu untuk meningkatkan atau
menggerakkan adrenalin manusia.
Disamping itu, fenomena pemilihan dialek yang sesuai dari mahasiswa
asli banyumasan dalam lingkungan kos dan kampus UNS dalam hal berinteraksi
dan berkomunikasi, yaitu karena secara sadar ingin memilih untuk berdialek
tertentu. Hal ini terjadi pada Rista, yang memilih menggunakan dialek campuran
pada saat di kos dan di kampus karena sifatnya menyesuaikan. Bahkan menurut
Ichen, memilih dialek banyumasan sebagai dialek alternatif di lingkungan UNS,
100
baik di kos dan di kampus yaitu bertujuan untuk mengenalkan budaya
banyumasan khususnya terkait dengan dialeknya.
Faktor pemilihan dialek di kalangan mahasiswa asli banyumasan terdapat
unsur subyektif yang berupa proses negosiasi atau dialektis. Proses dialektis
menyangkut identitas yang dipelihara, dimodifikasi atau dibentuk ulang oleh
hubungan-hubungan sosial ditentukan oleh struktur sosial. Identitas dihasilkan
oleh interaksi antar mahasiswa asli banyumasan atau antara mahasiswa asli
banyumasan dengan mahasiswa luar banyumasan. Hal tersebut akan menimbulkan
kesadaran individu dan struktur sosial yang sudah diberikan, kemudian dipelihara,
dimodifikasi secara berulang-ulang.
Oleh karena itu, identitas yang terjadi pada dialek banyumasan
merupakan hasil konstruksi suatu fenomena yang dinegosiasikan antara individu
dan masyarakat. Pada dasarnya masyarakat mempunyai sejarah dan di dalam
perjalanan sejarah itu muncul identitas-identitas khusus, tetapi sejarah itu dibuat
oleh manusia dengan identitas-identitas tertentu pula. Hal ini yang terjadi pada
mahasiswa asli banyumasan yang mengalami pergeseran dalam penggunaan
dialek yaitu DON, Rista, Ng, SLV, ST, Ns dan Wh. Fenomena yang terjadi pada
informan tersebut, proses negosiasi muncul sebagai proses yang ditujukan untuk
mempermudah komunikasi dengan mahasiswa luar banyumasan.
Jadi proses negosiasi antara individu dengan masyarakat yaitu mahasiswa
asli banyumasan yang secara sadar melakukan proses negosiasi. Proses negosiasi
tersebut berasal dari dalam diri pribadi mereka menggunakan dialek. Pemilihan
penggunaan dialek bertujuan untuk mempermudah komunikasi lawan bicaranya
yaitu mahasiswa luar banyumasan yang merupakan bagian dari satu kesatuan
masyarakat di lingkungan yang beragam, baik di kos ataupun di kampus.
Berbicara tentang dialek, juga mengarah pada dialektika antara alamiah
dan masyarakat. Lingkungan alamiah yang dimaksud yaitu lingkungan secara
sosio-historis. Dialektika mewujudkan diri kembali dalam diri tiap individu.
Dialektika berlangsung terus-menerus yang terus berkembang selama eksistensi
individu dalam masyarakat antara manusia dan situasi sosio-historisnya.
Dialektika terkadang muncul pertarungan antara diri yang lebih tinggi dan diri
101
yang lebih rendah yang masing-masing dipersamakan dengan identitas sosial dan
manusia yang pro-sosial atau anti-sosial. Diri yang lebih tinggi harus berulang-
ulang menguasai diri yang lebih rendah dan terkadang melalui adu kekuatan.
Menurut Eriksen (1993) dalam Yekti Mauneti (2006:27-28) identitas diarahkan
kepada golongan-golongan minoritas atau kelompok yang terancam atau lemah
atau dalam perubahan sosial yang cepat. Hal ini terjadi pada identitas dialek
banyumasan yang oleh orang awam sebagai dialek yang memiliki dialek berstrata
rendah.
Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pemilihan dialek di kalangan
mahasiswa asli banyumasan yaitu adanya gagasan memilih secara nalar dan
emosional. Nalar dan emosional berarti dialek banyumasan sudah menjadi ciri
khas dan bagian dari mahasiwa asli banyumasan sebagai wong banyumasan.
Faktor pemilihan tersebut meliputi proses negosiasi atau dialektis yang
menyangkut identitas yang terjadi secara berulang-ulang dalam lingkungan sosio-
historis, individu dan masyarakat. Proses negosiasi tersebut memiliki tujuan untuk
mempermudah berkomunikasi dengan mahasiswa luar banyumasan.
3. Rutinitas Berdialek di Kalangan Mahasiswa Asli Banyumasan.
Pemilihan penggunaan dialek di kalangan mahasiswa asli banyumasan
tidak lepas dari lingkungan masyarakat Solo, terutama di lingkungan kos dan
kampus UNS. Lingkungan pergaulan di kos dan kampus merupakan suatu
aktivitas yang berjalan terus-menerus. Begitu juga interaksi dan komunikasi di
kalangan mahasiswa asli banyumasan dengan mahasiswa luar banyumasan.
Kegiatan yang berjalan secara terus-menerus dan sifatnya rutin akan menjadi
suatu kebiasaan. Hal ini berlaku bagi penggunaan dialek di kalangan mahasiswa
asli banyumasan, baik di kos dan di kampus yang akan membentuk kebiasaan
penggunaan dialek yang dipergunakan. Berdasarkan pandangan Giddens (Chris
Barker, 2006:181) bahwa identitas bukan sebagai sesuatu yang tetap dan alamiah
(natural), melainkan sebuah proses yang terus menerus berubah dan memiliki
titik-titik perbedaan yang semakin berkembang. Titik perbedaan yang semakin
berkembang meliputi proses interaksi dan komunikasi yang terus-menerus
102
berjalan di kalangan mahasiswa asli banyumasan dengan mahasiswa luar
banyumasan.
Lingkungan kos yang mayoritas mahasiswa luar banyumasan, sangat
dimungkinkan memiliki peluang yang kecil untuk mahasiswa asli banyumasan
dalam mengembangkan dialek banyumasan karena lawan bicara yang sudah
berbeda. Kebiasaan yang dilakukan terus-menerus maka menjadi terbiasa. Begitu
juga mahasiswa asli banyumasan yang jarang atau bahkan tidak sama sekali
menggunakan dialek banyumasan di lingkungan kos, maka dialek-dialek tertentu
yang akan menjadi dialek barunya. Pada dasarnya mahasiswa asli banyumasan
yang mengalami pergeseran penggunaan dialek banyumasan disebabkan adanya
lingkungan kos dan kampus. Lingkungan tersebut meliputi keberagaman asal-usul
daerah. Selain itu, mahasiswa satu dengan mahasiswa yang lainnya semakin
berkembang pesat dalam mobilitas sosialnya. Hal ini didukung adanya interaksi
dan komunikasi sehari-hari, baik di kos ataupun kampus yang monoton dan terus-
menerus. Apalagi di kampus, intensitas pertemuan dalam perkuliahan ataupun di
luar perkuliahan akan mempermudah dan mempercepat komunikasi dan interaksi
satu sama lainnya. Tidak jarang juga, pergeseran menuju dialek Jawa alus ataupun
Bahasa Indonesia sebagai salah satu alternatif untuk mempermudah komunikasi
(karena teman-teman di kampus tidak begitu paham dengan dialek banyumasan)
atau dengan alasan agar cepat beradaptasi dengan teman-teman yang ada di
kampus. Hal ini terjadi pada mahasiswa asli banyumasan yang bernama IK, Ulya,
Epra, dan Rista juga demikian. Kebiasaan sehari-hari di kos dengan lingkungan
yang mayoritas mahasiswa luar banyumasan khususnya mahasiswa yang berasal
dari dialek Jawa Alus, secara lambat laun karena terbiasa mengikuti dialek
tersebut, pada akhirnya dialek yang dominan saat ini yaitu dialek Jawa Alus
(dialek Solo-Yogya).
Uraian di atas dapat disimpulkan bahawa identitas bukan sebagai sesuatu
yang tetap dan alamiah, melainkan sebuah proses yang terus menerus berubah dan
memiliki titik-titik perbedaan yang semakin berkembang. Titik perbedaan yang
semakin berkembang berkaitan dengan perbedaan antara lingkungan kos dan
kampus yang sifatnya homogen dan heterogen. Lingkungan tersebut
103
mempengaruhi terus menerus dan terjadi secara berulang-ulang dalam intensitas
yang rutin.
4. Lingkungan Sebagai Determinasi Dialek Banyumasan.
Pemilihan penggunaan dialek yang terjadi secara rutin merupakan bagian
dari eksistensi lingkungan yang mengikatnya. Lingkungan pergaulan juga dapat
menjadi salah satu alasan mahasiswa banyumasan dalam rangka pemilihan dialek
yang hendak dipergunakan. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Ulya. Tujuan
penggunaan dialek luar banyumasan untuk mempermudah dalam berkomunikasi
dengan mahasiswa luar banyumasan agar mengetahui dan memahami dialek yang
diucapkan. Dan dalam hal ini, sangat memungkinkan adanya percampuran dialek,
yang terkadang meliputi modifikasi antar dialek, baik dialek banyumasan dengan
dialek Solo, ataupun dialek Solo, banyumasan dan Bahasa Indonesia.
Para penutur dialek banyumasan mampu mengembangkan dialek
banyumasan pada saat mahasisswa asli banyumasan senantiasa berkecimpung di
daerah mereka (wilayah asal sekitar banyumasan). Sedangkan pada saat mereka
keluar, lantas beradaptasi selama beberapa tahun atau bahkan menetap di daerah
yang mereka datangi, lambat laun dialek banyumasan masih nampak terlihat,
namun kemungkinan tersebut kecil. Karena yang terjadi di lingkungan kos dan
kampus pada mahasiswa asli banyumasan di sekitar UNS sudah mengalami
pergeseran dalam penggunaan dialek mereka. Fenomena sosial ini, merupakan
bagian dari pemaknaan identitas yang secara sosial budaya membentuk dan
menanamkan identitas tertentu pada dialek banyumasan.
Identitas dialek banyumasan yang dibentuk dan dibangun tersebut,
khususnya oleh orang luar banyumasan dan berdasarkan konteks lingkungan
sosial budaya. Menurut Hall (Chris Barker, 2006:183), identitas dibangun dengan
melibatkan lingkungan dan konteks lainnya yang sifatnya elastis. Sehingga dalam
pemaknaan identitas selain dipengaruhi individu, tetapi juga bahwa lingkungan
sosial dan budaya yang berbeda akan membentuk tatanan sosial yang ada di
104
masyarakat. Dalam hal ini tatanan sosial dari dialek banyumasan yang
keberadaannya tidak lagi di wilayah induknya di kawasan banyumasan, namun di
lingkungan kos dan kampus UNS.
Fenomena yang muncul yaitu mahasiswa asli banyumasan mengalami
pergeseran penggunaan dialek banyumasan, baik di kos ataupun di kampus.
Lingkungan tersebut meliputi lingkungan secara homogen dan heterogen.
Lingkungan yang homogen, baik di kos ataupun di kampus akan menimbulkan
efek yang berbeda dengan lingkungan yang heterogen. Penggunaan dialek
banyumasan dalam interaksi dan komunikasi di lingkungan yang homogenitas
mahasiswa asli banyumasan akan lebih kental dialek banyumasan jika
dibandingkan dengan lingkungan yang heterogen terutama jumlah mahasiswa luar
banyumasan lebih mendominasi daripada mahasiswa asli banyumasan.
Disisi lain, muncul pendapat dari Irwan Abdullah (2006:94-96) yang
menyatakan bahwa salah satu perkembangan bahasa nusantara dalam konteks
global disebabkan oleh interaksi antarbahasa daerah itu. Hal tersebut diakibatkan
oleh pertemuan langsung dua daerah, seperti yang terjadi daerah-daerah
perbatasan. Hal ini terjadi dalam interaksi beberapa bahasa atau dialek di
lingkungan kos dan kampus diantaranya dialek Solo-Yogya, dialek banyumasan,
dan bahasa Indonesia. Menurut (Appadurai, 1991) dalam Irwan Abdullah
(2006:97) interaksi antar bahasa daerah menyebabkan munculnya kelompok
pemakai bahasa lain dari suatu daerah. Interaksi antara bahasa daerah yang
penuturnya yang terbatas dengan bahasa daerah dengan penuturnya sangat
banyak. Hubungan keduanya akan mempengaruhi perkembangan kedua bahasa
daerah tersebut karena dominasi suatu bahasa akan terbentuk dari interaksi
tersebut. Dalam hal ini terjadi dalam dialek banyumasan sebagai dialek pendatang
di lingkungan kos dan kampus UNS yang terjadi adalah dialek banyumasan tidak
mampu dipertahankan secara utuh oleh para penutur asli banyumasan, yaitu
mahasiswa asli banyumasan.
Ada kecenderungan lainnya yang merujuk pada fenomena perkembangan
dialek di wilayah kos dan kampus bagi mahasiswa asli banyumasan yang belajar
di UNS. Menurut Herudjati (2004:10-17) ada lima faktor yang mempengaruhinya,
105
yaitu : (1) faktor regional, (2) sosial, (3) historis, (4) profesional, (5) terpengaruh
oleh kontak bahasa. Pertama, faktor regional membuat sebuah bahasa berubah
karena para penutur mengucapkan varietas yang berbeda pada lokasi atau tempat
mereka bermukim. Hal ini bisa terdiri dari tiga sebab, yaitu karena tempat yang
terpencil yang membuat penutur jarang berkomunikasi sehingga kemurnian dialek
dan adat istiadat yang mendukung cukup terjaga dari pengaruh dunia luar, karena
keterisolasian daerah mengakibatkan hubungan dengan dunia luar jarang sehingga
secara politis tertutup akibat pengalaman sosial yang menyedihkan seperti perang,
penjajahan, atau usaha mempertahankan adat kebiasaan dan karena komunitas
sebuah dialek bisa terbentuk karena ada segregasi para penutur yang bertempat
tinggal secara terpisah dari kelompok bahasa induk. Dalam hal ini, gejala sosial
yang terjadi pada eksistensi dialek banyumasan di lingkungan kos dan kampus
secara kuantitatif memiliki jumlah yang minoritas dibandingkan penutur yang
termasuk luar banyumasan. Sehingga dialek banyumasan yang keluar dari induk
tempat berkembangnya terutama di kawasan banyumasan, lebih sulit
dikembangkan daripada di daerah banyumasan. Sebab, penutur banyumasan
sifatnya lebih pasif daripada di wilayahnya sendiri.
Menurut William A.Havilan (1985:360-376) konteks regional dengan
melibatkan sistem kebudayaan yang khas yaitu bahwa pembentukan setiap bahasa
manusia seperti bahasa Inggris dan bahasa Cina (Mandarin) adalah sarana untuk
menyampaikan informasi dan berbagai pengalaman, baik yang bersifat kultural
maupun individual dengan orang lain. Bahasa yang menyebar di seluruh dunia
diperkirakan terdapat 3000 bahasa yang berbeda dengan keanekaragaman dan
kekhasan masing-masing. Faktor kedua, adalah faktor sosial menunjukkan
kedudukan sosial antar penutur bahasa, dalam hal ini pembedaan dialek
banyumasan dengan Solo-Yogya. Dialek banyumasan pada dasarnya tidak
berjenjang seperti dialek Yogya-Solo seperti tingkatan ngoko, madya, dan krama.
Dialek banyumasan tidak mengenal istilah strata atau status yang ditunjukkan bagi
penutur lainnya. Sebagai contoh, jika saya (peneliti) “madang” (makan), maka
Ayah juga madang, Ibu juga madang, Nenek juga madang, Kakek juga madang,
Pak Mentri juga madang, dan Pak Presiden juga madang. Lain halnya dengan
106
dialek Solo-Yogya yang sangat kental dengan pembedaan strata dari golongan
masyarakat biasa, priyayi dan sang Raja dan keturunannya. Dalam buku The
Religion of Java (1960) oleh Geertz berpendapat bahwa perbedaan penggunaan
styleme yang terdiri atas ngoko, madya, krama, berkaitan erat dengan kedudukan
sosial penutur dan gaya hidup para penutur yang terbagi dalam golongan priyayi,
santri dan abangan. Dalam hal ini struktur kata madang diperuntukan untuk
bahasa ngoko dan dhahar sebagai tingkatan bahasa krama. Oleh karena itu,
keberadaan dialek banyumasan akan terpinggirkan pada saat di luar induk
banyumasan, yaitu di lingkungan dialek Solo-Yogya. Hal tersebut menimbulkan
strata sesuai stereotip yang telah muncul bahwa dilaek banyumasan dianggap
sebagai dialek yang lebih rendah dibanding dialek Solo-Yogya. Ketiga, faktor
historis memperlihatkan hubungan antara bahasa dan kurun waktu kapan bahasa
itu dipakai orang. Corak atau ragam perbedaan bahasa biasa disebut dialek
temporal atau dialek historikal. Dialek banyumasan pada saat ini sudah
mengalami perkembangan dan sudah tidak utuh lagi berlaku dialek yang sangat
asli dan kadang kedengarannya sangat kasar. Saat ini sudah ada jenjang tertentu
pada saat kita berbicara dengan orang yang lebih tua dengan harapan untuk
menghormati mereka. Sejarah memberikan gambaran, bahwa dahulu untuk
pertama kalinya ada utusan seorang prajurit yang mendapat tugas di luar keraton
yaitu kawasan banyumasan. Masyarakat setempat mengagumi dialek yang halus
dan sopan dari sang Prajurit. Lambat laun proses sosialisasi dan internalisasi serta
perkembangan zaman mengubah status dialek banyumasan memiliki tingkatan
tertentu bagi penuturnya. Keempat, faktor profesional adalah dengan melihat
profesi seseorang. Ragam bahasa ini disebut register. Sebagai contoh, seorang ahli
kimia, menyebutkan istilah “air” dengan istilah kimia “H2O”. Hal ini terkait
dengan dialek banyumasan yang memiliki banyak kosakata tertentu, sebagai
contohnya arti kata makan : badhog; madang; mangan. Kelima, faktor kontak
bahasa. Situasi kebahasaan akan menimbulkan dua atau lebih ragam bahasa yang
secara sosial dianggap baik atau kurang baik, oleh Ferguson (1959) disebut
diglosa. Sebaliknya apabila dua bahasa yang hidup bersama dalam suatu
komunitas mempunyai otoritas dan kekuatan seimbang disebut bilingual atau
107
multilingual jika lebih dari dua bahasa. Di lingkungan kos dan kampus, terjadi
multilingual dialek yaitu dialek Solo-Yogya, dialek banyumasan dan bahasa
Indonesia.
Dalam hal ini, dialek banyumasan dengan ciri khas tersebut, oleh
penuturnya saling terjadi kontak bahasa. Menurut Fathur Rokhman dalam
Kongres Bahasa Jawa III (2001:39) ada tiga kemungkinan yang terjadi dalam
kontak dua bahasa di masyarakat. Pertama adalah dua bahasa menyatu sehingga
lahirlah bahasa baru disebut pijin. Kedua adalah bahasa lama kalah dan tergeser
oleh bahasa pendatang. Ketiga adalah bahasa lama dan bahasa baru hidup
berdampingan dalam suatu masyarakat yang bersangkutan.
Sedangkan fenomena yang terjadi pada dialek banyumasan di lingkungan
kos dan kampus UNS, secara garis besar meliputi dua hal yaitu faktor intern dan
ekstern. Pertama faktor intern meliputi faktor diri tentang pemilihan dialek yang
dipergunakan untuk berinteraksi dan berkomunikasi. Serta faktor perasaan malu,
gengsi dan prestise mengenai pencitraan terhadap rendahnya dialek banyumasan
yang identik dengan kelas menengah bawah.
Kedua, faktor ekstern yang meliputi faktor geografis, faktor lokasi terkait
dengan lingkungan kos dan kampus, lingkungan pergaulan dan kebiasaan sehari-
hari, faktor untuk adaptasi dan faktor diglosa yang multilingual, pendidikan,
pengaruh budaya, pola makan, dan faktor tuntutan. Faktor geografis secara umum
meliputi perbedaan wilayah banyumasan yang jauh dengan keraton dibandingkan
dengan Solo. Secara spesifik yaitu perbedaan letak strategis kamar kos diantara
informan banyumasan. Hal ini mencakup, kamar kos atau tempat kos yang
homogen mahasiswa asli banyumasan dengan jumlah yang mayoritas dan
heterogen (mayoritas mahasiswa luar banyumasan). Begitu juga yang terjadi di
lingkungan kampus yaitu mengenai pola interaksi dan komunikasi dengan sesama
mahasiswa dengan adanya perbedaan asal daerah. Faktor lingkungan pergaulan
dan kebiasaan sehari-hari terutama kegiatan rutinitas pada saat berbicara dengan
lawan bicara (mahasiswa lain). Faktor untuk adaptasi dengan tujuan
mempermudah menyesuaikan diri dengan teman di kos dan di kampus agar lebih
interaktif dan komunikatif. Faktor diglosa yang multilingual, yaitu adanya peran
108
dua atau lebih bahasa jawa Solo dengan dialek banyumasan dalam satu
lingkungan Solo. Faktor pendidikan memberikan pengertian adanya latar belakang
dunia perkuliahan yang merupakan jenjang tertinggi dari pendidikan formal
lainnya, menjadi salah satu alternatif untuk meningkatkan taraf hidup yang lebih
baik. Pengaruh budaya mencakup perbedaan budaya Solo dan banyumasan. Pola
makan meliputi pengertian bahwa orang banyumasan lebih menyukai makanan
pedas dibandingkan dengan orang Solo. Hal ini memberikan argumen bahwa jenis
makanan yang berstruktur pedas lebih menguatkan daya semangat dan adrenalin
sehingga mempengaruhi logat bicara dialek banyumasan yang bernada keras dan
tegas. Sedangkan faktor tuntutan yaitu berupa proses penyesuaian diri dengan
lingkungan barunya.
Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa identitas dibentuk dan dibangun
berdasarkan lingkungan kos dan kampus yang homogen dan heterogen. Dialek
banyumasan eksis pada saat berada di wilayah induknya yaitu di sekitar milayah
barlingmascakeb (Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap dan Kebumen).
Akan tetapi, pada saat keluar wilayah barlingmascakeb, dialek banyumasan
mengalami pergeseran di kalangan penuturnya. Pergeseran tersebut berupa
munculnya dialek modifikasi antara dialek banyumasan dengan dialek Solo,
dialek banyumasan dengan Bahasa Indonesia, atau percampuran antara dialek
banyumasan, dialek Solo dan Bahasa Indonesia.
Oleh karena itu, berdasarkan konsep agensi dan determinasi Giddens,
secara keseluruhan dapat ditarik disimpulkan dalam empat hal. Pertama,
konstruksi identitas dialek banyumasan karena adanya pemaknaan budaya.
Pemaknaan tersebut muncul sebagai proses keberadaan lingkungan yang
mencakup didalamnya adalah lingkungan sosial budaya Solo. Pemaknaan budaya
terkait dengan stereotip yang muncul dari mahasiswa asli banyumasan dan
mahasiswa luar banyumasan. Stereotip dengan berbagai pemaknaan pada dialek
banyumasan akan menciptakan identitas tertentu, baik stereotip dalam hal yang
positif maupun stereotip dalam hal yang negatif. Stereotip positif berupa dialek
yang memiliki kekhasan dan lain dari pada dialek daerah lainnya yang masih satu
lingkup dengan Jawa khususnya di Jawa Tengah. Stereotip negatif ada anggapan
109
bahwa dialek banyumasan identik dengan masyarakat yang masih menengah ke
bawah terutama terkait dengan tingkatan sosial di masyarakat yang masih
cenderung membedakan lapisan sosial secara bertingkat. Stereotip yang
bermunculan secara tidak langsung dan dalam intensitas yang lama akan
menanamkan pola pikir tertentu yang mengarah pada pemaknaan identitas dialek
banyumasan.
Kedua, konstruksi identitas dialek banyumasan terbentuk secara nalar
dan emosinal. Pembentukan identitas dialek banyumasan mengarah pada proses
pemilihan dialek di kalangan mahasiswa asli banyumasan. Mahasiswa asli
banyumasan melakukan pemilihan dialek dengan tujuan untuk menyesuaikan.
Dalam pemilihan tersebut tidak lepas dari persepsi-persepsi tentang dialek
banyumasan yang muncul sebelumnya. Hal inilah yang akan memberikan dampak
pada identitas-identitas tertentu yang dibangun dan dinegosiasikan tentang dialek
banyumasan.
Ketiga, identitas dialek banyumasan terbentuk karena adanya rutinitas
penggunaan dialek di lingkungan kos dan kampus. Tujuan mahasiswa asli
banyumasan dalam pemilihan dialek yaitu untuk menyesuaikan diri dengan
mahasiswa luar banyumasan. Proses penyesuaian tersebut terjadi terus-menerus
dan menjadi rutinitas dalam kesehariannya karena dituntut lingkungan sosialnya
yang baru yaitu di lingkungan berdialek Jawa Alus. Sehingga muncul dialek
modifikasi seperti dialek Solo-Yogya dengan dialek banyumasan ataupun dengan
bahasa Indonesia. Perkembangan zaman dengan adanya modernitas dan
globalisasi memberikan kemungkinan pada perubahan sosial yang terjadi dalam
masyarakat. Gejala sosial yang muncul, dialek banyumasan tidak utuh lagi secara
kosakata dan pelafalannya atau pengucapannya. Hal yang terjadi adalah muncul
tingkatan dalam dialek seperti dialek untuk ngoko dan krama alus.
Keempat, konstruksi identitas dialek banyumasan tidak lepas dari
lingkungan yang mengikatnya yaitu lingkungan kos dan kampus UNS.
Lingkungan kos dan kampus menjadi faktor eksistensi dialek banyumasan.
Lingkungan tersebut mencakup lingkungan yang homogen (mayoritas mahasiswa
asli banyumasan) dan lingkungan heterogen (mayoritas mahasiswa luar
110
banyumasan). Karena lingkungan menjadi bagian dari mahasiswa asli
banyumasan dalam berinteraksi dan berkomunikasi.
Dalam hal ini, dapat diambil simpulan secara keseluruhan tentang
konstruksi identitas dialek banyumasan bahwa terbentuknya identitas dialek
banyumasan bermula dari stereotip yang muncul di kalangan mahasiswa luar
banyumasan dan mahasiswa asli banyumasan. Stereotip tersebut sebagai hasil dari
tindakan masa lalu tentang pemberian tanda atau penilaian pada dialek
banyumasan. Dengan adanya stereotip akan mempengaruhi konstruksi dialek
banyumasan di lingkungan Solo. Konstruksi tersebut meliputi pemilihan dialek di
kalangan mahasiswa asli banyumasan di kos dan di kampus. Lingkungan tersebut
meliputi lingkungan yang homogen (mayoritas mahasiswa asli banyumasan) dan
lingkungan yang heterogen (mayoritas mahasiswa luar banyumasan). Disamping
itu, pemilihan dialek di kalangan mahasiswa asli banyumasan melibatkan proses
negosiasi secara nalar dan emosional. Penggunaan dialek tersebut juga
berlangsung secara terus-menerus (bersifat rutinitas). Rutinitas berkaitan dengan
interaksi dan komunikasi di lingkungan kos dan kampus. Karena pada dasarnya
lingkungan menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi keberadaan dialek
banyumasan.
Dalam rangka mempertahankan dialek banyumasan di lingkungan UNS,
upaya yang dilakukan mahasiswa asli banyumasan melalui upaya secara individu
dan melalui komunitas banyumasan. Upaya secara individu yaitu tetap konsisten
menggunakan dialek banyumasan meski hanya lingkup teman-teman yang ada di
kampung melalui teknologi mutakhir yaitu pesan singkat sms atau telepon dengan
berdialek banyumasan. Sedangkan melalui komunitas banyumasan yaitu untuk
temu kangen dan kebersamaan antar mahasiswa asli banyumasan yang menyebar
di wilayah UNS.
111
BAB V
SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan deskripsi laporan dan analisis data pada bab sebelumnya,
konstruksi identitas dialek banyumasan di lingkungan kos dan kampus UNS
meliputi 4 hal, yaitu persepsi tentang dialek banyumasan, faktor pemilihan dialek
di kalangan mahasiswa asli banyumasan, rutinitas penggunaan dialek di lingungan
kos dan kampus, dan pengaruh lingkungan kos dan kampus dalam konstruksi
identitas dialek banyumasan.
Pertama, persepsi mahasiswa asli banyumasan tentang dialek
banyumasan yaitu dialek sebagai perekat kedekatan emosional di antara
mahasiswa asli banyumasan yang belajar di UNS, dialek banyumasan merupakan
salah satu akses mengenalkan budaya banyumasan, dan sebagai wujud identitas
diri masyarakat banyumasan.
Kedua, adanya persepsi yang muncul memberikan pengaruh pada
pemilihan dialek di kalangan mahasiswa asli banyumasan. Adapun faktor
pemilihan dialek di kalangan mahaisiswa asli banyumasan, yaitu a. pemilihan
secara nalar dan emosional sesuai dengan lawan bicara, b. memilih dialek di luar
dialek banyumasan dengan tujuan untuk mempermudah komunikasi dengan
mahaiswa luar banyumasan.
Ketiga, pemilihan penggunaan dialek di kalangan mahasiswa asli
banyumasan tidak lepas dari lingkungan yang mengikatnya. Lingkungan tersebut
melibatkan lingkungan kos dan kampus secara homogen (mayoritas mahaiswa asli
banyumasan) dan heterogen (mayoritas mahasiswa luar banyumasan). Adapun
penggunaan dialek di lingkungan kos, yaitu menggunakan dialek banyumasan
karena satu blok kamar yang homogen. Sedangkan pada saat mayoritas
mahasiswa asli luar banyumasan lebih banyak, maka yang mendominasi
dialeknya yaitu dialek modifikasi (dialek banyumasan, dialek Solo-Yogya) dan
Bahasa Indonesia).
112
Keempat, adakalanya menggunakan dialek karena menyesuaikan dengan
lawan bicara atau bahkan lebih sering menggunakan dialek Jawa wetan (solo) dan
Bahasa Indonesia. Hal ini dikarenakan beberapa informan (mahasiswa asli
banyumasan) merasa minoritas dari teman-teman kosnya khususnya berdasarkan
asal daerah dan penggunaan dialek banyuamsan.
Sedangkan penggunaan dialek di kalangan mahasiwa asli banyumasan
pada saat di kampus, yaitu dialek campuran (modifikasi) yaitu menggunakan
bahasa Indonesia dengan teman satu angkatan di fakultasnya, akan tetapi pada
saat bertemu dengan orang banyumasan menggunakan dialek banyumasan.
Sehingga penggunaan diialek campuran Solo-Yogya ataupun dialek banyumasan
tergantung lawan bicara.
Mahasiswa asli banyumasan yang mengalami pergeseran penggunaan
dialek banyumasan, adapun dua upaya yang dapat dilakukan dalam
mempertahankan dialek banyumasan. Upaya dindividu yaitu tetap konsisten
menggunakan dialek banyumasan meski hanya lingkup teman-teman yang ada di
kampung melalui teknologi mutakhir yaitu pesan singkat SMS atau telepon
dengan berdialek banyumasan. Sedangkan upaya melalui komunitas banyumasan
yaitu untuk temu kangen dan kebersamaan antar mahasiwa asli banyumasan yang
menyebar di wilayah UNS.
Berdasarkan uraian pada bab sebelumnya, konstruksi identitas dialek
banyumasan dapat disimpulkan bahwa konstruksi identitas dialek banyumasan
dari Anthony Giddens bermula dari persepsi yang berisi stereotip tertentu tentang
dialek banyumasan. Konstruksi bermula dari persepsi yang berisi stereotip
tertentu tentang dialek banyumasan. Stereotip yang telah muncul sebelumnya,
memberikan gambaran pada mahasiswa asli banyumasan dan mahasiswa luar
banyumasan tentang dialek banyumasan. Persepsi yang muncul seperti dialek
banyumasan dianggap sebagai dialek masyarakat bawah dan kadang masih
dianggap ndeso dan katro. Adanya penanaman persepsi tersebut, mengarah pada
faktor pemilihan dialek banyumasan di kalangan mahasiswa asli banyumasan.
Mahasiswa asli banyumasan melakukan pemilihan dialek karena kedekatan
emosional yang secara nalar dan emosional. Mahasiswa asli banyumasan yang
113
telah memilih dalam penggunaan dialek merupakan proses yang dinegosiasikan
dan berlangsung secara rutinitas. Disisi lain, lingkungan kos dan kampus juga
berperan dalam konstruksi identitas dialek banyumasan. Identitas dibentuk dan
dibangun berdasarkan lingkungan kos dan kampus yang sifatnya homogen
(mayoritas mahasiswa asli banyumasan) dan heterogen (mayoritas mahasiswa
luar banyumasan). Dialek banyumasan akan mengalami eksis pada saat berada di
wilayah induknya yaitu sekitar BARLINGMASCAKEB (Banjarnegara,
Purbalingga, Banyumas, Cilacap dan Kebumen). Akan tetapi pada saat keluar
wilayah BARLINGMASCAKEB (terutama di lingkungan UNS), dialek
banyumasan mengalami pergeseran dialek meliputi dialek modifikasi antara
dialek banyumasan dengan dialek Solo (Jawa Alus), antara dialek banyumasan
dengan Bahasa Indonesia, ataupun antara tiga bahasa yaitu dialek banyumasan,
dialek Solo dan Bahasa Indonesia.
B. Implikasi
1. Implikasi Teoritis
Berdasarkan simpulan di atas bahwa konstruksi identitas dialek
banyumasan menurut Gidden yaitu adanya stereotip yang muncul pada dilaek
banyumasan. Stereotip tersebut merupakan bagian dari hasil tindakan di masa
lalu. Stereotip yang muncul mengarah pada pemilihan penggunaan dialek
banyumasan. Pemilihan dialek secara rutinitas bersifat nalar dan emosional serta
dipengaruhi oleh lingkungan kos dan kampus di UNS. Ada stereotip yang
menyatakan bahwa dialke banyumasan dianggap sebagai dialek yang endah
statusnya karena dengan logat cablaka (terbuka) dan tidak ada unggah-ungguh.
Hal tersebut, dalam analsis Giddens merupakan satu kesatuan proses konstruksi
identitas dialek banyumasan yang bermula dari stereotip yang akan
mempengaruhi pada persepsi dan pemilihan dialek di kalangan mahasiswa asli
banyumasan.
114
Namun, ada tokoh neo-marxis yaitu Pierre Bourdieu yang
berargumen bahwa bahasa dapat dikaji tentang kekuasaan yang bersifat
simbolik, yaitu adanya tanda-tanda linguistik yang merupakan comoditas yang
diberikan oleh kekuasaan sesuai dengan hukum pasar dimana bahasa
diwacanakan. Pertukaran linguistik merupakan relasi komunikasi antara
pengirim dan penerima pesan, karena ia adalah sebuah konteks sosial, dan
juga sebuah pertukaran ekonomi. Logika ekonomi seperti produsen dan
konsumen, modal linguistik, dan pasar dimana orang bisa memperoleh
keuntungan baik material dan simbolik. Kekuasaan simbolik yang tejadi pada
dialek banyumasan terlihat pada kampanye calon-calon wakil rakyat atau
calon presiden dan calon wakil presiden untuk mendapatkan simpati rakyat.
Misalkan saja, sang calon wakil rakyat atau calon presiden tersebut
mengemukakan kampanye atau dengan memasang poster dengan menyisipkan
kata atau kalimat dalam bahasa lokal (dialek banyumasan). Hal tersebut
merupakan bagian dari kepentingan yang disampaikan secara simbolik
(bahasa tertentu) dengan tujuan mendapat dukungan suara atau dukungan
massa.
Sesuai penjabaran teori dari Giddens dan Pirre Bourdieu di atas,
maka peneliti tidak melakukan analisis dalam ranah konstruksi bahasa
berdasar kekuasan simbolik. Hal ini disebabkan teori konstruksi yang terjadi
secara kekuasaan simbolik (modal) Pierre Bourdieu memiliki perbedaan
analisis dengan konstruksi yang terjadi secara pilihan dan determinasi
Giddens.
2. Implikasi Praktis
Mendeskripsikan konstruksi identitas dialek banyumasan sebagai dialek
pendatang di lingkungan UNS dilihat dari pengaruh lingkungan kos dan kampus
UNS yang akan memberikan pengaruh pada persepsi tentang dialek banyumasan
dan faktor pemilihan dialek di kalangan mahasiswa asli banyumasan.
Mendeskripsikan tentang pergeseran penggunaan dialek banyumasan di kalangan
mahasiswa asli banyumasan di lingkungan UNS.
115
Adanya pergeseran penggunaan dialek banyumasan di lingkungan UNS,
memberikan arahan pada upaya mahasiswa asli banyumasan untuk
mempertahankan dan melestarikan dialek banyumasan.
C. Saran
Konstruksi identitas dialek banyuamsan terjadi karena adanya stereotip
tertentu tentang dialek banyumasan. Stereotip tersebut memberikan arahan
pada persepsi dan faktor pemilihan penggunaan dialek di kalangan mahasiswa
asli banyumasan. Fenomena yang muncul, dialek banyumasan mengalami
pergeseran di kalangan mahasiswa asli banyumasan yang belajar di UNS.
Oleh karena itu, mahasiswa asli banyumasan diharapkan dapat
mempertahankan dialek banyumasan dimanapun dan kapanpun dengan
menghilangkan stereotip tentang dialek banyumasan. Sebagai contoh
penggunaan dialke banyumasan di lingkungan kos, kampus, ataupun pada saat
berada di wilayah luar induk banyumasan.
1. Melestarikan dialek banyuamsan melalui telekomunikasi jarak jauh
(SMS dan telepon), email, chating dengan teman-teman asli
banyuamsan yaitu adanya konsistensi menggunakan dialek
banyumasan.
2. Mahasiswa luar banyumasan diharapkan tidak lagi memberikan
stereotip negatif terhadapa dialke banyumasan yang masih dianggap
rendah sebagai dialek masyarakat yang berstrata rendah. Misalkan
dengan menganggap dialek banyumasan merupakan salah satu dialek-
dialek di Indonesia yang memiliki ciri khas tertentu yang unik (sebagai
wujud keanekaragaman dialek di Indonesia).
3. Menghidupkan kembali dialek banyuamsan di lingkungan UNS
melalui komunitas banyumasan yang lebih pro-aktif dengan kegiatan
yang bertujuan untuk melestarikan dialek banyumasan. Sebagai contoh
pada saat agenda pertemuan sesama mahasiswa asli banyumasan, para
mahasiswa asli banyumasan yang datang diwajibkan menggunakan
dialek banyumasan.
116
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Chaer. 1994. Linguistik Umum. Jakarta : PT Rineka Cipta. Achmad Fedyani Saifuddin. 2005. Antropologi Kontemporer (Suatu Pengantar
Kritis Mengenai Paradigma, edisi pertama). Jakarta : Prenada Media. Agus Salim. 2006. Teori dan Paradigma (Penelitian Sosial). Yogyakarta : Tiara
Wacana. Alo Liliweri. 2001. Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta : Pustaka
Pelajar. Anonim. 2006. www.wikipedia.com. Bahasa Jawa Banyumas. (24 September
2008). Anton dkk, 1991 : 203. Pellba 4 (Diskusi Panel : Bahasa dan Budaya).
Yogyakarta :Kanisius. Ariel Haryanto. 1989. Prisma (Bahasa, Kekuasaan, dan Perubahan Sosial).
Jakarta : LP3ES. 1989. Ashadi Siregar. 2003. Widyaparwa Jurnal Ilmiah Kebahsaan dan Kesustraan
(Bahasa dan Perkembangan Budaya). Jakarata : Pusat Bahasa Depdiknas. Astid S. Susanto. 1983. Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial. Jakarta :
IKAPI. Barker, Chris. (Terjemahan: Nurhadi). 2006. Cultural Studies. Yogyakarta :
Kreasi Wacana. Berger, Peter L. dan Thomas Luckmann. Tafsir Sosial Atas Kenyataan. 1990.
Jakarta : LP3ES. Black, James A. dan Dean J.Champion. 1992. Metode dan Masalah Penelitian
Sosial. Bandung : PT Eresco. Budiono Herusantoto. 2008. Banyumas (Sejarah, Budaya, Bahasa dan Watak).
Yogyakarta : LKIS. Burhan Bungin. 2003. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta : PT Grafindo
Persada. Chaika, Elaine. 1994. Language : The Social Mirror. USA : Heinle an Heinle
Publishers.
117
Dedy Mulyana. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif (Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya). Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Deddy Mulyana dan Jalalluddin Rakhmat. 2000. Komunikasi Antar Budaya (Panduan Berkomunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya). Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Dwi Purnanto. 1999. Mibas (Fenomena Pemakaian Bahasa dalam Era Reformasi. Giddens, Anthony. 2005. Konsekuensi-Konsekuensi Modernitas. Yogyakarta :
Kreasi Wacana. Hassan Sadily. 1984. Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia. Jakarta : PT Bina
Aksara. Havilan, William A. 1985. Antropologi Edisi keempat. Surakarta : PT Gelora
Aksara Pratama. Herudjati Purwoko dan IM Hendrarti. 2004. Rekayasa Bahasa dan Sastra
Nasional. Semarang : Masscom Media. Husnaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar. 2000. Metodologi Penelitian
Sosial. Jakarta : PT Bumi Aksara. Irwan Abdullah. 2006. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar. Jalaluddin. 2006. Teologi Pendidikan. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Khaidir Anwar, 1990. Fungsi dan Peranan Bahasa. Ogyakarta :UGM Press. Koentjaraningrat. 1979. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta:
Jambatan. . 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : PT Rineka Cipta. Kun Maryati dan Juju Suryawati. 2006. Sosiologi untuk SMA dan MA kelas XI.
Jakarta : Esis Erlangga. Lexy J. Moleong. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif (edisi revisi). Bandung :
PT Remaja Rosdakarya. Linda Thomas dan Shan Wareing. 2007. Bahasa, Masyarakat dan Kekuasaan.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar. M.Ainul Yaqin. 2005. Pendidikan Multikultural (Croos Cultural Understanding
untuk Demokrasi dan Keadilan). Yogyakarta : Pilar Media. Miles, Matthew B dan A.Michael Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif.
Jakarta : Universitas Press.
118
M. Koderi dan Fadjar P. 1996. Kamus Dialek Banyumas-Indonesia. Purwokerto : Badan Kesenian Banyumas (BKB).
Nani Tuloli, dkk, 2003. Dialog Budaya, Wahana Pelestarian dan Pengembangan
Kebudayaan Bangsa. Jakarta : CV Mitra Sari. Nasikun. 2001. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Nur Cholish Madjid. 2001. Pluralitas Agama (kerukunan dalam Keberagaman).
Jakarta : Buku Kompas. Pemerintah DIY, Jateng, Jatim. 2001. Kongres Bahasa Jawa III (Pembinaan dan
Pengajaran).Yogyakarta. Pemerintah DIY, Jateng, Jatim. 2001. Kongres Bahasa Jawa III (Kebahasaan).
Yogyakarta. Pike dan Halliday. 1989. Prisma (Bahasa, Kekuasaan, dan Perubahan Sosial).
Jakarta : LP3ES. Soerjono Soekanto. 2003. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada. Spradley, James P. 1997. Metode Etnografi. Yogyakarta : PT Tiara Wacana. Spring. 2001. Ethnology “Reconstructing Ethnicity: Recorded and
Remembered Identity in Taiwan”. University of Pittsburgh- Of the Commonwealth System of Higher Education. Vol. 40, No.2, pp. 153-164.
Sutopo, HB. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif (Dasar Teori dan
Terapannya dalam Penelitian). Surakarta : UNS Press. Suwardi Endraswara. 2006. Metode, Teori dan Teknik Penelitian Kebudayaan
(Ideologi, Epistemologi dan Aplikasi). Yogyakarta : Pustaka Widyatama. Ubed Abdilah, 2002. Politik Identitas Etnis. Magelang : Indonesiatera.
Winter. 1999. Ethnology “Rereading Relationships: Changing Constructions of Identity Among Kubo of Papua New Guinea1”. University of Pittsburgh- of The Common Wealth System of Higher education., vol. 38, pp. 59-80.
Yekti Maunati. 2006. Identitas Dayak. Yogyakarta : LKIS.
119
Lampiran 3
INTERVIEW GUIDE DAN OBSERVASI
A. Interview Guide
1. Mahasiswa Asli Banyumasan.
a. Bagaimana persepsi Anda tentang dialek banyumasan ?
b. Menurut Anda, apa peran dari dialek banyumasan ?
c. Dalam pergaulan sehari-hari, baik di lingkungan kos dan kampus, Anda
berkomunikasi dengan dialek apa ?
d. Atas dasar apa, Anda memilih dialek tersebut?
e. Menurut Anda bagaimana perkembangan dialek banyumasan di lingkungan
luar banyumasan (khususnya di lingkungan kos dan kampus UNS) ?
f. Bagaimana pendapat Anda, jika dikatakan bahwa dialek banyumasan semakin
ditinggalkan oleh para penutur aslinya ?
g. Menurut Anda, identitas yang berdialek banyumasan yang seperti apa ?
h. menurut Anda, bagaimana pemberian label dalam identitas dialek banyumasan
terbentuk dan dinegosiasikan ?
i. Bagaimana upaya yang dapat dilakukan Anda untuk mempertahankan dialek
banyumasan ?
j. Bagaimana pendapat Anda tentang komunitas mahasiswa banyumasan?
2. Mahasiswa Luar Banyumasan.
a. Bagaimana pendapat Anda tentang dialek banyumasan ?
b. Bagaimana pendapat Anda setelah menonton film “veronica” khususnya pada
saat mendengar percakapan yang menggunakan dialek banyumasan?
B. Observasi
1. Melakukan pengamatan pada mahasiswa asli banyumasan dalam penggunaan
dialek di lingkungan kos dan kampus.
2. Mengamati ekspresi mahasiswa luar banyumasan pada saat menonton film
“veronica”.
120
Lampiran 4
FIELDNOTE
Informan 1
Suasana siang yang panas, peneliti melakukan wawancara dan observasi di
kamar kos TFA sekitar jam 13.15 sampai 14.30 tepatnya pada tanggal 3 April
2009 dan pada hari Sabtu, 4 April 2009 jam 13.20- 14.20 WIB. Pada hari pertama
wawancara, dengan nuansa kamar kos yang sedikit panas, sehingga kipas angin
pun dinyalakan untuk menyegarkan ruangan. TFA yang baru saja selesai kuliah
jam setengah satu, lantas sholat dhuhur, kemudian peneliti melakukan wawacara.
TFA merupakan gadis kelahiran Banyumas 22 Febuari 1989 ini, sudah selama dua
tahun hidup di Solo. Usianya yang sudah 20 tahun, saat ini dia sedang menginjak
semester empat di Fakultas Ekonomi UNS. TFA memiliki tinggi badan sekitar
169 cm dan berat badan 48 kg. Wajahnya yang riang dan polos menjadi salah satu
karakteristik gadis berambut keriting ini. TFA merupakan anak tunggal dari
seorang ayah yang bernama ST dan ibu yang bernama SY. Latar belakang
pendidikan ibu adalah lulusan SMA, sedangkan ayahnya yang wiraswasta
merupakan lulusan D3 pendidikan. Ibu TFA bekerja sebagai guru SD di kota
Banyumas. Kehidupan ekonomi keluarga sangat mapan, karena penghasilan ayah
meskipun wiraswata tapi termasuk wiraswasta yang sukses. Diakui oleh TFA
sebuah mobil mangkir di rumahnya di Banyumas. Gadis yang sangat menyayangi
hewan kelinci ini, memiliki hobby membaca buku, terutama buku tentang
perjalanan sebuah kehidupan seperti buku Tetralogi Laskar Pelangi. Sate, mie
ayam dan bakso merupakan makanan favoritnya. TFA yang mempunyai tingkah
laku polos dan supel, oleh teman-teman kosnya biasa dijuluki ‘si Oneng’. Hal
yang paling disukai oleh gadis yang senantiasa perfek terhadap segala sesuatu
yaitu hal-hal yang rapi dan teratur. Sebuah kelucuan dan peristiwa humoris adalah
hal-hal lain yang paling disukai.
TFA yang selama delapan belas tahun dibesarkan di kota Banyumas
berpendapat bahwa dialek banyumasan adalah bahasa yang memiliki logat cepat
dan sifatnya “ceplas-ceplos” (terbuka), selain itu menurut TFA, dialek
121
banyumasan terlihat dari para penutur aslinya pada saat pengucapan vokal ‘a’
yang sangat mantap. Contohnya : “Rika lagi apa ?” (kamu sedang apa?).
TFA yang kos di daerah belakang kampus letak persisnya di jalan Surya 1
dengan nama kos TSD, dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan kos,
penggunaan dialek banyumasan adalah prioritas utamanya alam bercakap-cakap
dengan teman-teman kos. Kos TSD yang terdiri dari 60-an penghuni kos putri
memiliki keanekaragaman asal-usul daerah dari tiap warga kos TSD tersebut.
Untuk satu blok yang terletak di lantai dua sebelah barat terdapat sepuluh kamar.
Dari kesepuluh kamar dengan sepuluh penghuni kamar, delapan orang berasal dari
daerah Banyumasan yang terdiri dari dua orang cilacap, tiga orang asli Kebumen,
dua orang berasal dari Purbalingga dan seorang lagi berasal dari Banyumas yaitu
si TFA. Sedangkan dua orang lagi dari jumlah kesepuluh orang di blok barat
lantai dua tersebut, mereka berasal dari Pati dan Blora. Bahasa yang dipergunakan
dalam blok kamar tersebut sangat didominasi oleh dialek banyumasan, sehingga
tidak jarang dua orang yang berasal dari Pati dan Blora tersebut mengikuti sedikit
demi sedikit tentang pelafalan beberapa kata-kata yang berkenaan dengan dialek
banyumasan.
Di lingkungan kampus, TFA sifatnya menyesuaikan dengan lawan
bicaranya. Bahkan yang lebih sering dia menggunakan bahasa Indonesia. Hal ini
dikarenakan teman-teman TFA dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan
bahasa Indonesia meski sebenarnya sebagian besar teman-teman satu angkatan
2006 di Fakultas Ekonomi berasal dari daerah Jawa tengan dan Jawa Timuran.
Hanya beberapa orang yang berasal dari Jakarta yaitu ada tiga orang, dan dari
Bangka Belitung satu orang, engkulu satu orang, serta Lampung dan Palembang
masing-masing satu orang.
TFA bisa saja berdialog dengan bahas Indonesia dengan teman-teman sat
fakultasnya, akan tetapi pada saat dia bertemu dan berkenalan dengan teman yang
berasal dari satu kawasan yang sama (daerah banyumasan), maka akan kembali
berdialek ngapak-ngapak.
“Inyong angger ketemu karo kancané, apa pas kenalan karo wong sing
habitaté pada baé kaya inyong, ya ngomong kaya kiyé, mba” (Aku kalau bertemu
122
dengan teman atau pada saat berkenalan dengan orang yang sama dengan aku,
maka akan berbicara dengan dialek banyumasan).(W/TFA/3/4/09).
Bahwasanya dialek banyumasan menunjukkan identitas penuturnya.
Menurut TFA, dialek banyumasan semakin tergeser karena faktor geografis dan
faktor lingkungan pergaulan. Selain itu, adanya beberapa mahasiswa asli
banyumasan yang memang malu atau gengsi menggunakan bahasa asli mereka.
“Angger inyong ora isin ngomong ngapak-ngapak, Nggo ngapa isin, wong
bahasane dhéwék ko. Inyong moh kaya liyane sing jaréné isin ngomong ngapak-
ngapak, Tapi angger neng kampus inyong nganggo bahasa Indonesia, sebab
kanca-kancané ora mudeng bahasané inyong. Wong inyong dhéwék sing kur
ngomong ngapak-ngapak ko. Liyané wong jawa alus apa jawa wétan, jawa
timuran, Jakartaan, trus bangsané wong luar jawa” (Kalau saya tidak malu
berbicara ngapak-ngapak. Buat apa malu, bukankah bahwa bahasanya kita sendiri.
Aku tidak mau seperti lainnya yang katanya malu berbicara ngapak-ngapak. Tapi
kalau di kampus, aku memakai bahasa Indonesia sebab teman-teman tidah paham
bahasaku. Karena cuma aku sendiri yang berbicara dengan bahasa ngapak-ngapak.
Lainnya orang jawa alus atau jawa wetan, Jawa Timuran, Jakarta, dan Luar
Jawa).(W/TFA/4/4/09).
Untuk menanggapi hal demikian, menurut TFA upaya yang dapat
dilakukan dalam melestarikan penggunaan dialek banyumasan di kalangan
mahasiswa asli banyumasan yaitu dengan menggalakkan terus berbicara dengan
dialek banyumasan meski berada di daerah luar banyumasan dan tidak boleh malu
menggunakan dialek sendiri.
“Kadang inyong kesuh karo wong-wong sing ngomongi angger bahasa
banyumasan kasar, ora ana sopan santun, trus dicap sebagai bahasa
planét”(Kadang aku kesal dengan orang-orang yang bilang bahwa bahasa
banyumasan kasar, tidak ada sopan santun, dan dicap sebagai bahasa planet).
Menurut TFA bahwa istilah bahasa planet yang diberikan oleh orang-orang luar
banyumasan merupakan hasil dari proses yang terucap satu sama lain, karena
orang luar banyumasan tidak memahami keunikan dan arti tersendiri dari dialek
banyumasan.(W/TFA/4/4/09).
123
Informan 2
Wawancara dan observasi yang peneliti lakukan kali ini adalah di kos
informan yang bernama DD pada tanggal 5 April 2009 Minggu pagi jam 09.00-
11.30 WIB. DD mahasiswa FKIP di salah satu jurusan PIPS ini merupakan asli
dari daerah Kebumen. DD lahir di kota Kebumen pada dua puluh satu tahun yang
lalu dari ayah yang bernama SHW dan ibu yang bernama Sr. Usia sang ayah yang
lima belas tahun lebih tua dari sang ibu, menjadikan ayah DD lebih matang dan
dewasa dalam menyikapi permasalahan keluarga. Sang ayah memiliki latar
belakang lulusan pendidikan PGSD dan seorang pensiunan PNS. Sedangkan ibu
tamatan SMA. DD adalah anak ketiga dari empat bersaudara. Kehidupan ekonomi
keluarga sudah mapan sendiri-sendiri. DD yang memiliki tinggi badan kurang
lebih 160 cm ini, memiliki hobi mendengar cerita lucu atau komedian.
Alamat kos DD yaitu sebelah barat kampus UNS, lebih tepatnya di daerah
STSI. Kos HDYT adalah nama kos yang selama tiga tahun ditempatinya dan
belum pernah pindah kos karena merasa betah (kerasan) tinggal di kos tersebut.
DD yang saat ini menginjak semester enam sudah sedikit demi sedikit paham
tentang keadaan di daerah Solo. DD sebagai mahasiswa perantauan yang belajar
di UNS mengemukakan bahwa dialek banyumasan merupakan bahasa yang terlalu
cepat, bahasa yang kasar tapi memang sudah tabiatnya demikian. Jika berinteraksi
dengan teman-teman di kos, DD tetap menggunakan dialek banyumasan apalagi
penghuni kos HDYT yang berjumlah tiga belas orang berasal dari daerah
banyumasan semua, yang meliputi Kebumen ada enam orang, dua orang dari
Cilacap, dan lima orang dari Banyumas dan Purwokerto.
Dialek banyumasan menurut DD sebagai bahasa yang unik dan memiliki
nilai tersendiri, apalagi sangat kental dengan hal-hal yang bersifat lucu. “Kadang
ngomong bahasa banyumasan lewih ana lucune daripada bahasa jawa alus,
lucune garing banget. Angger bahasa banyumasan toli ngomong sithik-sithik
mesti ana baé sing gawé weteng kepingkel-pingkel”. (Kadang berbicara dengan
bahasa banyumasan lebiah ada lucunnya daripada bahasa jawa alus sangat susah
sekali. Kalau bahasa banyumasan itu, berbicara sedikit-sedikit pasti ada saja yang
124
membuat perut terbahak-bahak). (L/DD/5/4/09). Selain itu, dialek banyumasan
memiliki peran untuk menyatukan satu komunitas antar penutur dialek
banyumasan itu sendiri.
Di lingkungan kampus yang sifatnya sangat heterogen dari teman-teman
satu angkatan DD yang berasal dari jawa alus (Solo, Yogya, dan Purworejo) dan
Jawa Timuran (Gresik, Magetan dan Ngawi) mengharuskan DD menyesuaikan
dengan bahasa teman-temannya yaitu bahasa ngoko bahasa Jawa alus (bahasa
Jawa Solo-yogya). Sedangkan, ada dua orang temannya yang satu angkatan yang
berasal dari Banyumas dan Cilacap, maka oleh DD diajak bercakap-cakap dengan
dialek banyumasan, dan terkadang teman-teman lainnya merasa terhibur dengan
obrolan tiga orang ini. “Inyong ngomong karo si IJH karo si NING kadang malah
kanca-kancané memperhatikan kami, jéréné kayane gayeng temen” (Aku
berbicara dengna si IJH dan si NING kadang teman-teman bahkan memperhatikan
kami, kata mereka kita mengobrol sepertinya akrab sekali).(L/DD/5/4/09).
Menurut DD perkembangan dialek banyumasan bagi mahasiswa asli
banyumasan yang belajar di UNS bisa dipengaruhi oleh dua sebab, yaitu karena
faktor lokasi terkait hidup beradaptasi dengan daerah yang didatanginya, dan
karena merasa malu atau gengsi menggunakan dialek banyumasan, sehingga takut
dianggap sebagai orang ndéso. Penggunaan dialek banyumasan yang terjadi bagi
mahasiswa asli banyumasan ini, menurut DD sudah termodifikasi dengan jawa
alus. Jadi mahasiswa asli banyumasan sudah tidak secara utuh menggunakan
pengucapan ngapak-ngapak, tetapi jawa alus pun sudah masuk di dalamnya. DD
menambahkan bahwa yang terjadi pada dialek banyumasan yang mengalami
pergeseran tersebut tidak berdasarkan karena letaknya jauh ataupun dekat dngan
keraton kasunanan Surakarta. Akan tetapi, tergantung orang tersebut beradaptasi
dan bergaul dengan siapa yang menjadi lawan bicaranya.
Munculnya pemberian label atau cap terhadap dialek banyumasan yang
oleh orang luar banyumasan disebut dengan istilah ngapak-ngapak ini,
bahwasanya orang luar banyumasan tersebut tidak tahu makna dan nilai dari
persepsi atau percakapan yang didapat dari sebuah komunikasi antar orang
banyumasan. Karena terdapat nilai-nilai tertentu yang diperoleh dalam
125
menggunakan dialek banyumasan, yaitu seperi nilai keluguan, kelucuan dan
sifatnya supel. Selain itu nilai-nilai tertentu adalah seperti dalam hal sifat terbuka
dan menunjukkan suatu identita diri dari pemakai bahasa tersebut.
Dialek banyumasan yang semakin terjadi pergeseran dari para penuturnya,
menurut DD, ada beberapa hal yang harus dilakukan bagi mahasiswa asli
banyumasan yang belajar di UNS, yaitu (1) jangan pernah malu menggunakan
dialek banyumasan dalam situasi apapun dan dalam kelompok kecil manapun, (2).
Dialek banyumasan bisa dikembangkan melalui komunitas yang bisa dijadikan
sebagai ajang untuk berkumpul antar mahasiswa perantauan dari banyumasan
yang belajar di UNS, selain itu dengan adanya komunitas ini dapat menyalurkan
canda dan tawa serta merekatkan persaudaraan.
Informan 3
Senin pagi yang cerah, tepatnya tanggal 6 April 2009 jam 09.15- 11.30 WIB, peneliti melakukan wawancara dan observasi di informan yang ke tiga karena dia jadwal kuliahnya siang sampai sore. Gadis manis berkulit sawo matang bertubuh sedikit gemuk dengan tinggi badan kurang lebih 157 cm memiliki nama samaran IK. Dia yang baru saja selesai mencuci baju tersebut, peneliti wawancarai terkait dalek banyumasan. Ia lahir dari seorang ayah bernama SK yang berusia 51 tahun dan ibu bernama SR yang berusia 48 tahun. IK lahir pada tahun 1989 di kota Banjarnegara. Gadis ini merupakan anak kedua atau bungsu, ia memiliki satu kakak laki-laki yang belum menikah dan sedang menempuh S2. Ayah IK seorang PNS yaitu tepatnya sebagai Penilik Sekolah (PS) di kota Banjarnegara, sedangkan ibunya bekerja sebagai PNS yaitu guru SD yang juga di kota Banjarnegara. Kehidupan ekonomi keluarga cukup mapan walaupun secara nominal, IK keberatan untuk menyebutkan berapa penghasilan dari kedua orang tuanya. Akan tetapi menurutnya penghasilan dari usaha ayah dan gaji ibunya bisa memenuhi semua kebutuhan keluarga. Pola pendidikan yang diterapkan oleh orang tua terhadap anak sangat demokratis yang cenderung liberal karena orang tua tidak pernah memarahi walaupun ia berbuat salah. Akan tetapi orang tuanya tetap memberikan nasihat setelah ia melakukan kesalahan. Gadis yang hobi memelihara ikan cupang di kamar kosnya ini lebih mengarahkan kepada hal-hal yang bersifat atletis dan kebugaran tubuh, sehingga dalam 2 kali seminggu disempatkan untuk berolahraga secara rutin. Jenis olahraga yang paling digemari yaitu olah raga basket dan voli. Selain menyenangi hal-hal tersebut ia juga mengaku menyenangi masakan yang rasanya asin dan pedas. Makanan favorit IK seperti bakso dengan kuah yang pedas. IK yang sangat tidak suka dengan kebohongan dan menunggu akan sesuatu adalah mahasiswa jurusan kebidanan UNS angkatan 2007. Selama dua tahun mengenyam bangku kuliah di UNS, IK masih kental dalam berdialog
126
banyumasan apalagi jika bertemu dengan teman yang berasal dari daerah sekitar karisidenan Banyumas (Purbalingga, Cilacap, Banjarnegara, Banyumas dan Kebumen). IK yang meiliki sifat tegas, cekatan dan periang ini, bahwa dialek banyumasan merupakan bahasa yang menunjukkan inilah ‘si aku’. “iya, mba. Dialek banyumasan kue njelasna tentang siapa si inyong kiyé. Logaté sing akéh huruf ‘a’ -né” , ucap IK. (Iya, Mba. Dialek banyumasan itu menjelaskan tentang siapa aku ini. Logatnya banyak menggunakan huruf ‘a’). (W/IK/6/4/09) Jika berbicara tentang peran dan makna dialek banyumasan menurut gadis yang menyukai warna merah ini, adalah sebagai penunjuk jati diri. Kos IK di GWA daerah belakang kampus dengan mayoritas penghuni kos berasal dari daerah sekitar Solo dan beberapa daerah lain seperti Jakarta. Jumlah anak kos GWA keseluruhan ada 16 anak, di mana 12 anak berasal dari Solo, Klaten, dan Sukoharjo sedangkan 3 anak berasal dari Jakarta serta IK yang seorang diri berasal dari kota Banjarnegara. Dalam percakapan dengan teman-teman kos, IK terkadang bersifat menyesuaikan. Sebab, pada saat IK berbicara dengan dialek banyumasan ada kata-kata tertentu yang tidak dimengerti oleh teman-teman kosnya. Sehingga IK pada saat di kos menggunakan logat bersifat campuran dan tergantung dengan siapa dia berbicara dan dari mana asal lawan bicaranya itu. Sebagai contoh IK yang bercakap dengan WD salah satu teman kos IK yang kamarnya berada di samping kiri kamar IK berasal dari Jakarta. IK menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa percakapan dengan WD. Hal ini juga terjadi pada DV yang berasal dari Klaten, IK menggunakan dialek jawa alus dengan disipi dialek banyumasan ataupun bahasa Indonesia jika dengan dialek banyumasan sukar dipahami oleh DV. Begitu juga di lingkungan kampus, IK menggunakan bahasa campuran tergantung dengan lawan bicaranya. Menanggapi penggunaan dialek banyumasan bagi mahasiswa asli banyumasan yang belajar di UNS, menurut IK memang semakin mengalami pergeseran. Hal ini terjadi pada diri IK. Sebenarnya memiliki keinginan untuk tetap melestarikan dialek sendiri, akan tetapi lingkungan tidak begitu mendukung. Sebagian teman di kos dan di kampus sangat berbanding terbalik dengan harapannya untuk tetap melestarikan dialek banyumasan. Sehingga dialek banyumasan yang berkembang di Solo merupakan bahasa yang sudah mengalami infeksi dari dominasi dialek jawa alus yang sifatnya mayoritas. Oleh karena itu, menurut IK, bahwasanya yang sangat berpengaruh terjadinya hal demikian yaitu faktor lingkungan dimana kita berada dan bergaul dengan teman-teman yang dilihat dari asal-usul yang heterogen. Selain itu, menurut IK, terjadinya pergeseran dialek banyumasan pada kalangan mahasiswa asli banyumasan karena muncul cap-cap atau label tertentu yang menjadikan beberapa diantaranya merasa malu dan gengsi menggunakan dialek ngapak-ngapak. Hal ini terjadi karena adanya proses budaya dalam lingkungan sosial masyarakat dalam memberikan penilaian atau penandaan terhadap orang banyumasan yang sifatnya terdominasi oleh dialek Jawa alus. Sebab, orang luar banyumasan menganggap dialek banyumasan sebagai bahasa yang tidak memiliki unggah-ungguh dan bernada keras dalam pengucapannya.
127
Menurut IK upaya yang dapat dilakukan untuk menjaga terus lestarinya dialek banyumasan yaitu harus memiliki prinsip untuk tidak merasa malu menggunakan dialek sendiri (dialek banyumasan). Informan 4
Suasanana wawancara ditemani langit gelap hanya dengan lampu sinar philips kamar yang menyala terang berwarna putih, peneliti melakukan wawancara sekaligus observasi dengan menginap di tempat informan pada hari Senin, 13 April 2009 jam 20.00- 22.00 WIB setelah selesai sholat isya dan makan malam. Dan pada hari kedua tidak menginap, hanya sekedar wawancara dan observasi pada hari Selasa 14 Paril 2009 jam 13.00-14.00 WIB sebelum NP setelah selesai kuliah. NP saat ini sudah berusia dua puluh empat tahun. Gadis kelahiran Kebumen dari pasangan RNO dan STI sudah lima tahun berada di kota Solo. Mahasiswi dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik ini, memiliki hobi berdebat. Jurusan yang diambil di FISIP yaitu S1 ilmu komunikasi. Sang ayah yang merupakan pensiunan dari guru SMP di kota Kebumen, memiliki semangat untuk membiayai sekolah anak-anaknya hingga jenjang S1 semua. Ibu NP yang sampai sekarang bekerja sebagai penjual sembako di depan rumah harus berjuang membantu ekonomi keluarga. NP terlahir dari tiga bersaudara. NP adalah anak kedua, kakak perempuan yang hanya lulusan SMA, sehingga tidak bisa melanjutkan S1 karena masalah finansial yang pada saat itu belum mencukupi untuk membiayai kuliah. Saat ini sang kakak sudah menikah dan bekerja di swalayan daerah Kebumen. Sedangkan harapan sang ayah agar anak-anaknya bisa mengenyam pedidikan hingga S1 baru terjadi pada diri NP. RSO sang adik laki-laki dari NP, masih duduk di bangku kelas dua SMA. Harapan terbesar orang tua NP adalah bisa menyekolahkan RSO sampai jenjang S1 pula seperti NP kakak perempuannya. . Gadis penggemar kerupuk udang ini, alamat kosnya di jalan Surya 1. NP berinteraksi dan berkomunikasi dengan teman-teman sat kosnya tetap menggunakan dialek banyumasan. Menurut NP dialek banyumasan adalah bahasa yang sifatnya terbuka, fulgar dan ibaratnya tidak plin-plan (konsisten). “Dialék banyumasan kuwé pokoké angger ngomong iya, ya iya. Ora ya ora. Dadiné ora ditutup-tutup” (Dialek banyumasan itu pokoknya kalau berbicara iya, maka bilang iya. Kalau dalam hati berkata tidak. Maka bilang tidak. Jadi tidak ada yang ditutup-tutupi).(W/NP/13/4/09) Selain itu dialek banyumasan tidak berdasarkan atas strata atau tidak membeda-bedakan pelapisan sosial atau status seseorang dalam suatu masyarakat. NP menambahkan bahwa dialek banyumasan sifatnya datar antar perasaan sedih dan senang pada dasarnya sama saja, tidak ada bedanya. Sebagai contoh ada sebuah pertanyaan : “Rika kenangapa tiba !?” (Kamu jatuh!?). Dari pertanyaan di atas, bisa berarti atas dua hal yaitu menyatakan pertanyaan dengan nada keras (marah) atau ikut bersedih sehingga berempati untuk bertanya. Sedangkan, peran dan makna berdialek banyumasan bagi para penuturnya menurut NP adalah sebagai perwujudan identitas diri sebagai kaum banyumasan dan sebagai pengikat sesama orang banyumasan. Dalam lingkungan kampus, NP tetap konsisten menggunakan dialek banyumasan. Pada suatu ketika pada awal-awal menjadi mahasiswa FISIP UNS
128
bercakap-cakap dengan dialek banyumasan, ditertawakan dan dianggap lusu bahasanya oleh teman-temannya. Setelah itu, NP bahkan semakin gencar untuk meningkatkan berdialek ngapak-ngapak untuk berkomunikasi dalam situasi apapun dengan teman-teman di kampusnya. Bahkan sampai saat ini, teman-teman yang dahulu menertawakan NP, sudah semakin terbiasa dengan logat banyumasan. Adapula teman-teman NP yang meniru beberapa ucapan yang mudah diingat “Inyong kecot” (Aku lapar). Jika menanggapi perkembangan dialek banyumasan bagi mahasiswa asli banyumasan yang belajar di UNS, semakin mengalami pergeseran sekitar 60% dan 40% antara jawa banyumasan dan jawa laus (jawa wetan). Faktor yang mempengaruhi pergeseran tersebut, menurut NP adalah karena pengaruh budaya, lingkungan geografis, pola makan dan bawaan dari nenek moyang. NP mengemukakan bahwa pengaruh budaya karena budaya yang dimiliki oleh orang banyumasan bersifat terbuka, sedangkan orang Solo memiliki sifat yang alus. Dilihat dari letak geografis yang pasti sudah jelas karena perbedaan tempat tinggal dengan latar belakang dekat dengan dan jauh dengan lingkungan keraton. Selain itu jika dilihat dari pola makan, dibedakan bahwa orang Solo lebih menyukai makanan yang sifatnya manis dan tidak terlalu pedas, lain halnya dengan orang banyumasan yang menyukai rasa asin dan rasa pedas. Secara struktur rasa pedas dalam kandungan lombok (cabé) sangat membantu untuk meningkatkan atau menggerakkan adrenalin manusia. Sedangkan berdasarkan bawaan dari nenk moyang karena bahasa merupakan sudah dari dulu diturunkan sejak dini dari orang tua kepada anaknya lewat interaksi satu sama lain. Dialek banyumasan yang terkadang muncul istilah bahasa ngapak-ngapak menurut NP merupakan hasil dari budaya yang dibentuk secara bersama-sama dalam suatu masyarakat tertentu. Karena pada dasarnya budaya adalah hasil cipta, rasa dan karsa manusia. “Dadi timbul budaya, ya timbul kata tertentu. Contoné ya, tentang simbol kematian. Angger wong Solo nganggo werna mérah, trus angger wong nggoné inyong nganggo werna putih. Berarti nangkana ganuné ana kesepakatan, trus kesepakatan kuwé dadi turun-temurun maring anak putuné” (Jadi, timbul suatu budaya, maka timbul suatu kata tertentu. Contohnya tentang simbol kematian. Kalau orang Solo menggunakan kain warna merah, sedangkan daerahku menggunakan warna kain putih. Maka, dahulu kala ada sebuah kesepakatan, lalu kesepakatan tersebut diwariskan secara turun-temurun kepada anak cucunya).(W/NP/14/4/09). Dengan adanya fenomena yang terjadi pada dialek banyumasan, sebagai upaya untuk melestarikan dialek banyumasan menurut NP adalah dengan (1). Jangan malu menggunakan dialek banyumasan, (2) pulang dan menikah dengan orang banyumasan, (3) masukkan muatan lokal atau kurikulum yang berdialek banyumasan, (4) sosialisasikan siaran radio dengan berdialek banyumasan atau media elektronik lainnya. Informan 5
Wawancara dan observasi ini dilakukan pada tanggal 16 April 2009 dengan menginap di kos informan. Jadwal wawancara tersebut dilakukan pada jam 19.00-21.30 WIB. Gadis kelahiran Kota Cilacap dan berusia 20 tahun
129
memiliki nama samaran Ichen. Ia lahir dari seorang Ayah bernama SK berusia 60 tahun dan ibu bernama KR yang berusia 55 tahun. Ayahnya lulusan D2 PGSD dan ibunya lulusan SPG. Kedua Orang tua bekerja sebagai Guru SD. Ayah guru SD di Kota Cilacap sedangkan ibu guru SD di kota Cilacap pula. Gadis ini merupakan anak terakhir dari tiga bersaudara dan semua kakaknya perempuan. Kakak yang pertama sudah menikah dan mempunyai satu anak, tinggal bersama orang tuanya di kota Cilacap pula. Sedangkan kakak yang kedua baru lulus bulan September tahun 2007 dari Fakultas Biologi Universitas Jenderal Sudirman. Kehidupan ekonomi sangat sederhana karena pada tahun 2006 rumahnya roboh akibat belum pernah direnovasi karena rumah tersebut adalah rumah warisan dari neneknya. Penghasilan dari gaji ayah dan ibu digunakan untuk membiayai semua kebutuhan kuliah Ichen dan kakak. Selain itu orang tuanya sedang membangun rumah sehingga ia harus hemat dalam mengelola pengeluaran. Akan tetapi Ichen merupakan gadis yang pandai bersyukur dengan apa yang ia peroleh. Hal ini tidak terlepas dari kehidupan keagamaan yang sudah matang. Setiap minggu keluarga mengundang Ustad untuk mengaji bersama di rumah. Orang tuanya adalah sosok yang tegas apabila tidak melaksanakan sholat atau mengaji maka akan ditegur dan jika tidak mempan ia akan dimarahi. Ia memiliki hobi membaca buku dan majalah karena menurutnya dengan membaca akan memberikan berbagai inspirasi yang menakjubkan. Ichen merupakan seorang mahasiswi Fakultas matematika dan Ilmu Pengatahuan Alam (F.MIPA) semester empat. Ia tergolong gadis yang pintar dilihat dari indek prestasi di atas 3. Cewek cantik yang memiliki kulit putih, senang senyum, agak sedikit pemalu dan akrab dengan teman-temannya sehingga tidak heran ia mempunyai banyak teman. Saat diwawancarai cewek ini tidak segan-segan memberikan berbagai komentar panjang lebar mengenai berbagai hal tentang dirinya.
Penggunaan dialek banyumasan di kos masih sangat kental, karena hampir sebagian besar dikosnya (kos IN) mayoritan adalah anak asli Cilacap, dan yang membedakan adalah berbeda jurusan dan fakultas. kos IN yang juga berada di daerah belakang kampus, tapi kos tersebut lebih tepatnya terletak di daerah jalan kabut. Unsur kekentalan dan keutuhan berdialek banyumasan akan semakin berasa dan tidak ada bedanya yang secara nyata berada di lingkup dan lingkungan daerah Banyumasan. Kos IN yang merupakan kos bagi mahasiswa perempuan, dengan jumlah kamar seluruhnya ada 18 kamar dengan 18 penghuni, hampir sebagian besar berasal dari Cilacap semua yaitu ada 17 anak, sedangkan sisanya satu orang adalah berasal dari Ngawi (Jawa Timur). Tidak bisa terbendung dalam benak kita, apa yang terjadi dalam percakapan sehari-hari oleh para penghuni kos IN yaitu dengan dialek banyumasan. Dan tak khayal satu orang dari Ngawi tersebut mengikuti arus yang menjadi logat mayoritas berdialek banyumasan. Di kos IN yang juga berada di daerah belakang kampus, tapi kos tersebut lebih tepatnya terletak di daerah jalan kabut. Unsur kekentalan dan keutuhan berdialek banyumasan akan semakin berasa dan tidak ada bedanya yang secara nyata berada di lingkup dan lingkungan daerah Banyumasan. Kos IN yang merupakan kos bagi mahasiswa perempuan, dengan jumlah kamar seluruhnya ada 18 kamar dengan 18 penghuni, hampir sebagian besar berasal dari Cilacap semua yaitu ada 17 anak,
130
sedangkan sisanya satu orang adalah berasal dari Ngawi (Jawa Timur). Tidak bisa terbendung dalam benak kita, apa yang terjadi dalam percakapan sehari-hari oleh para penghuni kos EN yaitu dengan dialek banyumasan. Dan tak khayal satu orang dari Ngawi tersebut mengikuti arus yang menjadi logat mayoritas berdialek banyumasan.
Sedangkan ada percakapan sehari-hari yang menjadi kebiasaan di kos tersebut adalah dengan dialek banyumasan. Ada beberapa hal yang terjadi dalam kehidupan kos tersebut, dua orang mahasiswa yang dengan dialek halus (Yogya dan Solo) atau dengan vokal ”o”, mereka mengikuti teman-teman kos yang enam orang tersebut. Meski hanya beberapa kata dan dalam penanda kata tertentu misalnya mengikuti nama panggilan untuk diri sendiri dalam dialek banyumasan yaitu inyong (”aku” dalam bahasa Indonesia), dan penggunaan kata ”aja kaya kuwe lah” (”jangan seperti itu , ya” arti kata dalam bahasa Indonesia). Begitu juga dengan di lingkungan kampus, Ichen tetap secara utuh menggunakan dialek banyumasan, dan oleh teman-temannya mendapat julukan “miss ngapak”.
Menurut Ichen dialek banyumasan sudah menjadi bagian dari hidupnya yang tidak bisa terpisahkan. “inyong angger ora ngomong ngapak-ngapak, kayané ana sing ilang baé sekang inyong kiyé”. (Aku kalau tidak berbicara ngapak-ngapak sepertinya ada yang hilang pada diriku ini). (W/Ichen/15/4/09). Dialek ngapak yang berkembang saat ini sudah semakin mengalami pergeseran, tapi tidak terjadi pada diri si Ichen. Dia senantiasa berdialog dengan dialek banyumasan. Menurut Ichen, ada beberapa orang temannya yang satu kampus yang juga berasal dari Cilacap dan Banjarnegara, untuk logat jawa banyumasannya sudah berubah, ada sisipan dialek jawa alus yang sifatnya modifikasi dialek jawa alus dan jawa banyumasan. Hal ini dimungkinkan faktor dari lingkungan kos yang sangat didominasi oleh orang Solo atau jawa alus (jawa wetan), hal ini terjadi pada salah satu temannya yang bernama MD yang berasal dari Banjarnegara yang kos di daerah Ngoresan.
Terjadinya pergerseran tersebut juga tidak lepas dari konstruksi budaya yang membentuk bahwa dialek banyumasan bersifat keras, bernada tegas dan bahkan ada nilai humor pada saat orang banyumasan mengucapkan logatnya dengan lawan bicaranya. Sebagai upaya untuk mengatasi hal ini, menurut Ichen, mahasiswa asli banyumasan hendaknya tidak secara utuh meninggalkan dialek asli mereka sebagai khasanah budaya sendiri. “Wong kita dilahirkan trus digedhékna neng kana, ya paling ora kudu mewariskan budayane dhéwék. Aja isin”. (Karena kita dilahirkan dan dibesarkan di sana, paling tidak harus mewariskan budaya sendiri. Jangan malu). (W/Ichen/16/4/09). Upaya yang bisa ditempuh selain tetap menggunakan dialek banyumasan dalam keseharian, tapi juga harus bangga dengan dialek banyumasan dengan ikut serta dalam komunitas dialek banyumasan untuk menggelar beberapa acara atau agenda yang sifatnya tetap menjaga pelestarian dialek banyumasan di wilayah Solo khususnya di UNS. Informan 6
Wawancara dan observasi yang peneliti lakukan pada informn ke enam ini adalah di kos pada tanggal 17 April 2009, tepatnya hari Jum’at dengan menginap di kos informan selama semalam. Wawancara yang dilakukan sekitar
131
jam 17-00-18-00 WIB, kemudian berlanjut jam 20.00- 21.30 WIB. Gadis berkulit manis memiliki postur tubuh yang tinggi 160 cm dan berkaca mata memiliki nama samaran Rista. Ia lahir di kota Cilacap pada 19 tahun yang lalu dari seorang ayah bernama DN berusia 54 tahun dan ibu bernama RB yang berusia 50 tahun. Ayahnya lulusan SD bekerja sebagai pedagang sedangkan ibunya lulusan SMP yang bekerja sebagai pegawai administrasi di Puskesmas Cilacap. Rista merupakan anak nomor satu dari dua bersaudara. Sang adik yang bernama DR masih duduk di bangku SMP kelas dua. Kehidupan ekonomi sangat cukup karena ayah Rista sebagai pedagang alat-alat elektronik di sebuah toko yang cukup besar di kota Cilacap, sedangkan sang ibu yang sebagai pegawai perawat di Puskesmas sangat membantu menambah finansial keluarga. Mengenai kehidupan keagamaan, Rista dilahirkan dari keluarga yang taat beribadah karena semenjak kecil usia enam tahun hingga kelas 4 Sekolah Dasar ikut les belajar Alqur’an secara privat. Begitu juga dengan cara mendidik dari sang ayah dan sang ibu yang sangat demokratis. Akan tetapi jika sudah melewati batas, maka ayah dan ibunya akan memarahi. Rista saat ini menempuh kuliah di UNS di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan jurusan Bahasa Indonesia. Gadis yag sangat menyukai hewan kupu-kupu ini menggemari kegiatan olahraga berupa olahraga bola voli. Warna hijau adalah warna favoritnya hal ini nampak dari hiasan dinding yang senantiasa bernuansa hijau muda. Membaca novel menjadi suatu kebiasannya sehari-hari disamping karena jurusan di pendidikan bahasa Indonesia. Rista yang termasuk remaja masjid yang aktif ini memiliki jenis makanan yang tidak pernah membuatnya bosan yaitu cap cay kuah dan steak. Ada satu hal yang tidak diukai oleh Rista yaitu menunggu. Rista yang tergolong anak yang tidak sabar tapi disisi lain memiliki sebuah semangat yang menggebu-gebu, sehingga dalam mengerjakan tugas pun jangan sampai ditunda. Mendapatkan sebuah hadiah ataupun mendapatkan suatu kejutan merupakan harapan dan keinginananya dari setiap orang-orang terdekatnya. Rista yang menjadi salah satu penghuni kos di daerah Surya 1 ini, menyatakan bahwa dialek banyumasan adalah dialek yang disebut dialek ngapak, memiiki volume keras dan adanya penekanan dalam kata tertentu dan penuturan bahasanya terbilang cepat. Penekanan dalam huruf tertentu misalnya pada huruf ‘k’, jika dengan dialek jawa alus atau jawa wetan (Solo-Yogya) yang menyatakan kata “dhéwé’ tanpa adanya penekanan huruf ‘k’, sedangkan untuk dialek banyumasan pelafalannya yaitu “dhéwék”, dimana huruf ‘k’ mengalami penekanan dalam penturannya. Adapun fungsi dari penggunaan dialek banyumasan di lingkungan UNS, menurut Rista yaitu sebagai perwujudan diri, sebagai bahasa yang sifatnya unik dan tidak ada di tempat lain, serta dialek banyumasan fungsinya merupakan dialek yang sangat dekat dengan strandarisasi dari bahasa daerah ke bahasa Indonesia. Sebagai contoh kata ucapan “Apa”. Dalam dialek banyumasan, pelafalan tetap “apa” sesuai tulisan, untuk jawa alus “opo”, sedangkan untuk standarisasi atau EYD ke bahasa Indonesia adalah “apa”. Dalam kehidupan sehari-hari terutama di lingkungan kos, Rista dalam penggunaan dialek banyumasan sudah mengalami percampuran atau modifiksi. Artinya bahwa dialek banyumasan yang dipergunakan oleh Rista sudah tidak utuh lagi, bahkan yang menjadi dominasi dalam berdialog sehari-hari dengan teman-
132
teman kosnya yaitu dengan menggunakan dialek Solo (jawa alus). Hal ini terlihat terpengaruh dengan kehidupan kos Rista yang mayoritas terdiri dari daerah Solo, Boyolali, Sragen dan Wonogiri, sedangkan hanya Rista saja yang berasal dari luar daerah Solo. Sehingga mau tidak mau, menyesuaikan diri dan ikut bercampur dengan belajar dialek Solo. Sebab pada saat awal masuk kuliah, Rista yang masih polos sebagai seorang pendatang dari Cilacap, jika berdialog dengan teman-teman kos menggunakan dialek banyumasan, ada kalanya beberapa teman kosnya yang merasa geli dan merasa lucu dengan bahasa ngapak-ngapaknya. Lantas dengan adanya hal demikian, lambat laun semakin lama hidup di Solo, kurang lebih selama tiga tahun karena Rista sekarang semester enam, dialek yang dipergunakan Rista sudah mengalami perbedaan. Hal ini dikarenakan komunitas yang ada di lingkungan kos sangat mendominasi dari orang-orang kalangan jawa alus bahkan berasal dari asli daerah sekitar kawasan Solo. Sedangkan dalam konteks yang sangat berpengaruh juga, Rista yang saat ini memiliki pacar dengan teman satu kelasnya, juga karena berasal dari daerah Klaten. Secara otomatis, bahasa yang dipergunaka dari pasangan sejoli tersebut yaitu dialek Solo, karena si RK yang merupakan pacar Rista tidak memahami dialek banyumasan, sehingga Rista yang mengharuskan mentransfer ataupun lebih memudahkan untuk berkomunikasi dengan dialek si RK. Rista dalam kehidupan kampus, tidak jauh beda keadaannya di lingkungan kos. Teman-teman kampus Rista didominasi oleh orang-orang yang berasal dari daerah Solo dan Yogya. Menurut Rista perkembangan yang terjadi saat ini dalam penggunaan dialek banyuamsan di kalangan mahasiswa di UNS sifatnya “mandek”, artinya bahwa orang banyumasan menyesuiakan ke Solo dan tidak bisa mempertahankan. Penggunaan dialek banyumasan yang semakin mengalami pergeseran tersebut, Rista menambahkan bahwa ada dua faktor yang mempengaruhi dipandang dari segi intern dan segi ekstern. Maksud segi intern yaitu dari diri pribadi orang banyumasan ketika berada di daerah perantauan yang dialeknya sudah berbeda memiliki kesadaran untuk memilih bahasa apa yang cocok. Selain itu juga, dalam pemilihan dialek yang akan kita pergunakan adalah karena sifat prestise atau penghargaan terhadap diri kita sendiri, mengandung arti bahwa orang banyumasan yang masih menggunakan dialek banyumasan dianggap orang yang masih tradisional dan dari kalangan bawah. Dilihat dari segi ekstern yaitu berdasarkan pengaruh lingkungan dan tuntutan. Maksudnya bahwa lingungan yang akan semakin memiliki peran besar dalam eksistensi dialek banyumasan. “Lingkungan sifat okéh Mba. Ono sing termasuké lingkungan pergaulan, lingkungan kampus, ya kuwé di tambah lingkungan kos” (Lingkungan sifatnya banyak, Mba. Ada yang termasuknya lingkungan pergaulan, lingkungan kampus dan lingkungan kos) (W/Rista/17/4/09) Dialek banyumasan ada kalanya terjadi suatu proses labelisasi atau stereotip atau adanya pemberian cap tertentu. Rista meskipun dalam pergaulan di kos dan di kampus, dialek banyumsan sudah sifatnya termodifikasi dengan dialek jawa Solo, ada keinginan untuk bisa melestarikan dialeknya diantaranya yaitu melestarikan dialek banyumasan dengan melihat keadaan atau melihat lawan bicara kita. Kalaupun lawan bicara kita, adalah orang berasal dari daerah
133
banyumasan maka ngomonglah dengan bahasa ngapak-ngapak, tapi jika lawan bicara kita luar banyumasan dan orang tersebut tidak paham dengan bahsa kita, maka menyesuaikan dengan bahasa yang semmapu kita, entah dengan dialek jawa Solo ataupun bahasa Indonesia tergantung dari konteks lawan bicara, apakah dari Soo-Yogya, Jawa Timuran ataupun dari jawa barat dengan konteks satuan nasional bahasa Indonesia. Informan 7
Pada tanggal 18 April 2009, penenliti melakukan waancara dan observasi kepada informan ke tujuh di kos pada jam 09.30-12.15 WIB. Laki-laki cakep berpostur tinggi 165 dan berkulit lumayan bening bernama DON (samaran). Ia merupakan anak kelahiran kota Purbalingga tahun 1989. Ayahnya bernama KM yang berusia 53 tahun dan ibunya bernama SC yang berusia 50 tahun. Ayahnya lulusan Diploma dan bekerja sebagai Guru SD. Sedangkan ibunya lulusan S1 bekerja sebagai guru SMP. Kedua orang tuanya juga bekerja di kota Purbalingga. DON merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Ia memiliki satu adik laki-laki dan satu adik perempuan. Adik laki-laki bernama VIC yang duduk di bangku kelas 3 SMP, sedangkan adik perempuan bernama SIS yang masih duduk di bangku kelas 4 SD. Pola asuh yang diterapkan dikeluarga adalah kedisiplinan dan cenderung keras. DON semasa kecil paling sering dimarahi karena nakal. Kehidupan ekonomi keluarga cukup berada karena selain penghasilan dari gaji ayah dan ibunya sebagai pegawai negeri juga ada penghasilan dari sawah. Ia lahir dari keluarga yang taat beragama. Orang tuanya sangat menomorsatukan yang namanya agama sehingga sejak kecil ia sudah diajari sholat dan mengaji. Laki-laki yang gemar makan-makanan bernuansa pedas seperti nasi goreng pedas dan mie ayam ini, pada prinsipnya lebih menyukai warna biru dan hitam. Pengalaman organisasi yang pernah dilakoninya adalah seperti pramuka, karang taruna dan Himpunan Mahasiswa Program (HMP). Membaca, menulis, dan bermain musik adalh hobinya. Mahasiswa fakultas Keguruan dan Ilmu Pedidikan ini, di UNS mengambil jurusan bahasa Inggris. DON yang kos di GWS ini, menyatakan bahwa dialek banyumasan adalah dialek yang pengucapannya penuh, seperti konsonan ‘k’ dan ‘g’. Hal tersebut dilihat dari segi fonologi, sedangkan dilihat dari segi sejarah, pada dasrnya dialek yang sifatnya sudah paling lama atau tertua dari bahsa jawa lainnya, hal ini terjadi pada zaman batu (palaeolitikum). Jika dilihat dari segi geografis, dialek banyumasan merupakan dialek yang diapit oleh dua dialek, yaitu dialek Jawa Barat (Sunda) dan Jawa Timuran. Menurut DON, fungsi dialek banyumasan di lingkungan UNS adalah sebagai alat komunikasi dan sebagai alat yang mengenalkan budaya kita dengan yang lainnya. Jika dilingkungan kos, DON menggunakan dialek campuran, karena kos yang berjumlah 14 orang, yang mendominasi adalah mahasiswa yang berasal dari sekitar Solo dan Jakarta. Untuk teman kosnya yang berasal dari Jakarta ada dua orang, sedangkan yang berasal dari daerah solo dan sekitarnya ada sebelas orang, sedangkan DON merasa terpojok dengan kehadiran seorang diri. Sehingga bahasa yang dipergunakn sifatnya sudah terinfeksi dengan dialek campuran, jika berbicara dengan teman yang berasal dari Jakarta, tetap menggunakn bahasa
134
nasional bahasa Indonesia. Sedangkan lainnya adalah dialek Solo. Lingkungan kampus DON juga tidak ada bedanya dengan di kos. Dialek yang DON pergunakan sifatnya campuran atau modifikasi. Dialek banyumasan yang mengalami pergesran dari para penuturnya tersebut, dalam hal ini menrut DON disebabkan karena dua hal yaitu karena keinginan untuk beradaptasi dan karena diglosa (terjadinya perubahan bahasa dari kebudayan yang berbeda dalam ha ini menyangkut kebudayan orang Solo dan kebudayan orang banyumasan). Pada dasarnya DON tidak pernah memiliki keinginan untuk menghilangkan jati dirinya terkait dengan dialek banyumasan. Akan tetapi dalam konteks lingkungan kos dan kampusdialek banyumasan menjadi suatu hal yang sifatnya terdominasi oleh dialek Solo. DON berargumen bahwa kurang lebih pergeseran yang terjadi pada dirinya sekarang adalah perbandingan 5% malu dan 95% tidak malu menggunaka dialek banyumasan. “Aku sebeneré yo ora isin, nganggo dialek banyumasa, tapi mau gimana lagi. Kanca-kancaku neng kos karo kampus sing akéh wong wétan” . (Aku sebenarnya ya tidak malu menggunakan dialek banyumasan, tapi mau gimana lagi. Teman-temanku di kos dan kampus kebanyakan menggunakan bahasa jawa alus (jawa wetan) (L/DON/18/4/09). Sehingga, sikap yang terkadang dilakukan oleh DON dalam hal demikian yaitu jika ditelepon dengan teman-temannya yang kuliah bukan di UNS ataupun teman-temannya yang berada di rumah (Purbalingga) DON berbicara dengan menggunakan dialek banyumasan. Meskipun demikian, diakui oleh DON karena terbiasa menggunakan dialek Solo, jadi ada beberapa kata-kata yang secara tidak sadar sering mengucapkan kata-kata tertentu dengan pelafan menurut dialek Solo. Sebgai contoh, penyebutan kata “kiyé” (dialek banyumasan), tetapi sering diucapkan DON dengan dialek Solo menjadi “iki”. Selain itu, munculnya stereotip yang terjadi pada dialek banyumasan seperti penyebutan ‘bahasa planet’ baghasa ngapak menurut DON merupakan sebuh proses yang terbentuk dari lingkungan. Hal ini nampak bahwa lingkungan yang sangat berpengaru besar pada diri DON adalah di kos da kampus. Munculnya stereotip yang menyatakan bahwa kamu ini orang ngapak, kamu ini orang bandekan terlihat dari cengkoknya atau penekanan tertentu ketika berbicara dengan lawan bicara. “Aku walaupun sudah ngomong karo bahasa Solo, mesti tetap kétok medoké banyumasan. Dadiné angger wong bener-bener isoh ngematké aku walaupun ngomongnya sudah logat Solo, tapi ya ketoro banyumasané”. (Aku walaupun sudah berbicara bahasa Solo, pasti tetap kelihatan cengkok atau medok banyumasan. Jadi jika ada orang yang benar-benar memperhatikan aku walaupun berbicara sudah logat Solo, tapi ya kelihatan banyumasannya) (L/DON/18/4/09). Informan 8
Penelitian selanjutnya adalah di kos Ulya pada hari Sabtu, 18 April 2009 sekaligus menginap di kos Ulya untuk melakukan wawancara dan observasi. Wancara dilakukan pada jam 19.15-21.15 WIB. Dengan ditemani lampu philips, peneliti melakukan wawancara setelah sholat isya dan makan malam. Gadis berbadan mungil dengan memiliki tinggi badan 150 cm bernama Ulya (samaran) dan berusia 20 tahun yang lahir di kota Banjarnegara. Ia lahir dari seorang Ayah
135
yang bernama SRM berusia 55 tahun dan ibu bernama DM berusia 50 tahun. Ayah lulusan SMP dan bekerja sebagai pedagang bakso di Cikampek. Sedangkan ibu lulusan SMP dan tidak bekerja hanya ibu rumah tangga yang sesekali membantu sang ayah mengurus sawah sebagai buruh tani. Ia merupakan anak ke 1 dari 2 bersaudara dan adik laki-lakinya masih kelas 1 SD yang bernama DY. Kehidupan ekonomi keluarga sangat sederhana karena hanya ayahnya yang bekerja buruh tani dan terkadang sebagai buruh bangunan. Ia lahir dari keluarga yang taat beragama karena sejak kecil Ulya dididik dengan penuh kedisiplinan. Ketika kecil sampai SMU orang tuanya memanggil guru agama untuk mengajar mengaji. Ulya merupakan mahasiswa D3 Jurusan Perpustakaan semester empat. Gadis yang memiliki hobi membaca novel ini, termasuk mahasiswa yang sangat ingin membahagiakan orang tuanya. Waktu perkuliahan yang jatuh pada siang sampai sore hari pada setiap harinya yaitu mulai hari senin sampai jum’at, waktu luang pada pagi hari, dia pergunakan untuk part time di perpustakaan pusat sebagai pegawai part time mulai jam 08.00 WIB hingga jam 12.00 WIB. Ulya yang memakai jilbab dalam kesehariannya, mengaku memakai jilbab sejak kelas tiga Sekolah Menengah Atas (SMA). Awalnya ia pakai jilbab karena disuruh oleh ayah dan ibunya dan belum mengerti tentang makna jilbab itu sendiri. Setelah kuliah dan ikut pengajian ia mengetahui kalau berjilbab adalah kewajiban seorang muslimah dan berjilbab berarti bukan hanya sekedar menutupi aurat tubuh tetapi juga menjaga hati dan perilaku. Ulya termasuk anak yang pendiam, dia jarang bergaul dengan teman-teman atau pun berjalan-jalan sekedar membuang waktu yang tidak bermanfaat. Menurut Ulya, dialek banyumasan adalah bahasa yang pengucapannya banyak mnggunakan vokal ‘a’. Ulya kos di SKN di daerah Jalan Surya 2 dalm kesehariannya di lingkungan kos menggunkan dialek solo yang lebih banyak daripada dialek banyumasan. Hidup selama dua tahun di Solo, dengan teman-teman kos yang semuanya berjumlah 18 penghuni kos, rata-rata berasal dari daerah Solo, Sukoharjo Klaten, Wonogiri, Ngawi, Temanggung dan Magelang, Ulya sudah terkontaminasi dengan dialek Solo. Sedangkan pada saat di kampus, Ulya lebih sering menggunakan bahasa Indonesia. Sebenarnya yang mengambil jurusan D3 perpustakaan kebanyakan hampir seluruhnya warga Solo, yang berada di luar Solo, hanya Ulya dan dua orang temannya, satu laki-laki yang bernama YG berasal dari Gombong dan yang perempuan bernama ME yang berasal dari Tambak, Banyumas. “Konco-koncoku neng kampus nek ngomong, nganggone bahasa indonesia. Tapi nek karo si YG tidak pernah omong-omongan, kecuali tanya-tanya tentang kuliah, yo tetep nganggo bahasa Indonesia. Tapi nek karo Me karena kami tidak begitu akrab kadang-kadang ngomong dialek banyumasan kadang-kadang bahasa Indonesia”. (Teman-temanku di kampus kalau berbicara menggunakan bahasa Indonesia. Tapi jika dengan si YG tidak pernah mengobrol, kecuali tanya-tanya tentang kuliah, ya tetap menggunakan bahasa Indonesia. Tapi, kalau dengan Me karena kami tidak begitu akrab, terkadang bicara dialek banyumasan kadang bahasa Indonesia) (W/Ulya/18/4/09). Ulya sebenarnya bangga menggunakan dialek sendiri, apalagi jika berada di daerah orang lain. Akan tetapi situasi lingkungan baik di kos dan di kampus tidak mendukungnya. Sehingga, mau tidak mau menyusaikan dengan bahasa
136
setempat, yaitu dialek Solo pada saat di kos dan bahasa Indonesia pada saat di kampus. Sebagai warga dialek banyumasan sikap yang harus dihadapi oleh Ulya agar dialek banyumasan tidak hilang secara penuh, yaitu pada saat dirinya kembali ke Banjarnegara dengan ayah, ibu, adik dan kerabatnya yang di Banjarnegara tetap menggunakan dialek banyumasan, meskipun dialek banyumasan yang sifatnya tidak utuh lagi karena sudah terlalu terbiasa menggunakan dialek Solo, sehingga dialek Solo pun terbawa juga. Informan 9
Wawancara dan observasi ini peneliti lakukan pada hari Senin, 20 April 2009 jam 14.30- 16.30 setelah GNC selesai kuliah di kampus. Dengan suasana kampus yang masih ramai dengan aktifitas futsal, akhirnya kami mencari tempat duduk yang lebih kondusif untuk melakukan wawancara. Sedangkan pada saat observasi adalah dengan mengamati GNC pada saat mengobrol sebentar dengan teman yang hendak megajak pulang bersama. Laki-laki berkulit sawo matang dan berhidung mancung memiliki nama samaran GNC. Ia merupakan cowok berusia 21 tahun dan lahir di Kota Banyumas. Ayah bernama SP dan ibu bernama SR. Sang ayah lulusan diploma dan sang ibu pendidikan terakhir adalah SMA. Sang ayah adalah seorang guru SD, sedangkan sang ibu hanya ibu rumah tangga. Kehidupan ekonomi sangat sederhana karena semua penghasilan digunakan untuk membiayai sekolah GNC dan 2 saudaranya yang lain. GNC merupakan anak ke 2 dari tiga bersaudara. Kakak peremuannya yang bernama LS kuliah di Fakultas Teknik UNSOED, dan adik laki-laki duduk di bangku kelas 2 STM. Kehidupan keagamaan dari golongan yang taat karena menurutnya ketika menelpon atau pulang ke rumah orang tuanya menanyakan tentang sholatnya. GNC yang memiliki hobi traveling, naik gunung dan memasak ini menyukai olaraga taekwondo. Warna hitam adalah warna favoritnya. Hal ini terlihat pada nuansa hitam yang melekat pada dirinya mulai dari baju, sepatu, tas, serta gantungan kunci sepeda motor yang bergambar kartun detectiv conan yang berwarna hitam kebiruan. Ia saat ini duduk di semester 8 Program Pendidikan Seni Rupa. Laki-laki yang sangat menggemari tokoh Harry Potter ini, sanagt menghargai ebuah persahabatan. Sehingga di lingkungan kos atau kampus, GNC termasuk anak yang mudah dan cepat bergaul. GNC kos di PRJ daerah belakang kampus UNS. Model kos yang ditempatinya bersama dengan kelima orang temannya adalah sistem kontrak. Semua penghuni kos adalah anak banyumasan, yang meliputi dua anak dari Banyumas, dan masing-masing satu anak dari Gombong, Kebumen, Adipala (Cilacap), serta dari Banjarnegara. Jadi sangat dimungkinkan dialek banyumasan begitu amat sangat mendominasi dan bernuansa lebih kental. Namun, ha ini berbeda dengan di kampus. Karena sifatnya yang heterogen, pada saat di kampus, GNC menyesuaikan dengan lawan bicaranya, yaitu dengan tiga unsur bahasa sekaligus meliputi dialek Solo, dialek Banyumasan, dan bahasa Indonesia. Namun yang lebih sering adalah dialek solo, karena sebagian besar teman-temanya orang sekitar Solo. Mekipun demikian logat ngapak dalam setiap kalimat ataupun percakapan masih terucap. “Íya, Mba. Inyong angger ngomong dadiné ya, campur bawur, campuraduk deh pokoknya. Sing penting menyesuaikan dan tidak
137
meninggalkan dialek sendiri. Karena nek inyong ngomong ngapak-ngapak, kanca-kancané pada ora ngerti”. (Iya, Mba. Aku kalau berbicara jadinya ya, campur bawur, campur aduk deh pokoknya. Yang penting menyesuaikan dan tidak meninggalkan dialek sendiri. Karena kalau aku berbicara Ngapak-ngapak teman-teman tidak mengerti) (L/GNC/20/4/09). Oleh karena itu, menurut GNC, pada dasarnya dialek banyumas memiliki definisi sebagai diale yang memiliki keunikan karena adanya perbedaan dengan dialek-dialek yang lain. Uniknya disini kadang membuat oraang lain merasa terhibur dengan keluacuan dan kepolosanya pada saat penutur asli kaum banyumasan melaflalkan logat banyuamsan. Dialek banyumasan yang pada dasarnya mulai semakin tergeser oleh para pentuutr asinya bisa disebabkan oleh beberapa hal. Menurut GNC sebab-sebab tersebut meliputi, keberadan dilaek banyumasan dalam lingkup di daerah pendatang dan lingkup dari dalam diri pribadi orang terebut untuk memilih bahasa yang akan dia pilih dalam memperlancar komunikasi ataupun berbahasa dengan orang lain. Rasa malu dan yang sifatnya prestise menurut GNC bukanlah yng menjadi faktor dirinya untuk bisa mempertahankan sepenuhnya dialek banyumasan. Karena di kampus yang sifatnya heterogen, sangat sulit untuk bisa mendominasi dialek banyumasan, karena disamping teman-temannya tidak paham arti dan maksud dari perkataan dan ucapan yang terlontar dari mulut GNC. Sehingga mau tidak mau menyesuaikan teman atau lawan bicaranya hendak menggunakan Jawa Solo atau bahasa Indonesia. Agar tetap menjaga kelestarian dialek banyumasan sikap yang dilakukan GNC, adalah di kos. Peluang besar untuk menumbuhkembangkan dan kembali pada budaya banyumasan dengan dialek ngapak-ngapak, adalah di kos. Dialek banyumasan yang muncul stereotip sebagai kaum banyumasan atau masyarakat bagian jawa kulon, menurut GNC merupakan bagian dari sebuah masyarakat dan lingkungannya terutama lingkungan sosial dan orang-orang didalamnya dalam berbicara satu sama lain. Informan 10 Penelitian ini dilakukan pada saat setelah selesai kuliah yaitu sekitar jam 11.00- 12.30 WIB di kampus dekat kantin bahasa Indonesia FKIP tepatnya pada hari Selasa 21 April 2009. Dengan suasana yang masih ramai lalu lalang mahasiswa di gedung E, Wan dan peneliti mencari tempat di perpus FKIP untuk melakukan wawancara. Laki-laki berkaca mata dengan postur badan sedang kira-kira 155 cm dan berat 45 kg. Ia bernama Wan (samaran) yang lahir di kota Kebumen dan berusia 20 tahun. Ayah bernama NM yang berusia 57 tahun, lulusan SMP dan bekerja sebagai tani. Sedangkan ibu bernama KH yang berusia 54 tahun, lulusan SMP dan bekerja sebagai tani juga. Kehidupan ekonomi sangat sederhana karena hanya bergantung dari penghasilan saat panen tiba. Sedangkan untuk kehidupan agama ia mengaku dari keluarga yang cukup taat karena ayah dan ibu sangat memperhatikan pendidikan agama. Wan memiliki hobi bernyanyi terutama nyanyi di kamar mandi. Ia merupakan anak keempat dari empat bersaudara. Laki-laki yang menyukai warna biru dan hitam ini mengaku kalau dirinya memiliki sifat yang pemalu akan tetapi jika sudah bercanda adalah sifat yang paling digemarinya. Wan yang saat ini aktif di Lembaga Pers Mahasiswa
138
FKIP (LPM Motivasi) adalah mahasiswa jurusan pendidikan ekonoomi angkatan 2007. Laki-laki yang menyukai tokoh Tom dan Jery ini kosnya ada di daerah STSI, kos tersebut bernama kos DGN. Di kos Wan masih menggunakan dialek banyumasan secara aktif. Karena separuh dari penghuni kos di kos DGN Wan masih bisa mengaktualisasikan dirinya untuk bicara ngapak-ngapak. Jika pada saat sudah ada di kampus ataupun dalam kegiatan organsasi di LPM Motivasi sudah tidak sama seperti di kos. Di kampus, menggunakan bahasa campuran tergantung dari lawan bicaranya menggunakan dialek apa. Menurut Wan dialek bnayumasan adalah dialek yang sifatnya lucu (humoris) bahasa yang merupakan percampuran antara jawa alus dan jawa timuran alisa dialek tengah-tengah, dialek yang menggunakan vokal lebih banyak ‘a’ dan memiliki logat yang sedikit keras dibanding dengan dialek Solo-Yogya. Fungsi dialek banyumasan terutama di daerah UNS yaitu sebagai komunikasi sesama orang banyumasan dan untuk memperlancar warga satu rumpun banyumasan. Jika berkomentar tentang hal-hal yang menjadikan suatu pergeseran dialek banyumasan di lingkup UNS baik di kos atau kampus, bisa dilihat dari segi lingkungan. Hal ini memang tidak terlepas dari kondisi budaya masyarakat Solo yang berbeda dengan kondisi budaya masyarakat banyumasan. Pada dasarnya Wan tidak merasa malu menggunkan dialek banyumasan. Faktor lingkungan dan konteks lawan bicara yang mempesempit ruang gerak untuk mengeksistensikan dialek banyumasan di rumpun Solo dengan jumlah yang mayoritas. Sehingga untuk dapat tetap menjaga kelestarikan dialek banyumasan menurut Wan dapat dilakukan dengan berdialek ngapak-ngapak di kos bersama dengan temn-temanya yang berasal dari rumpun banyumasan. “Saya di kos berusaha memeaki bahasa sendiri agar bisa menyeimbangkan da tidak hilang”. (L/Wan/21/4/09). Informan 11 Penelitian ini dilakukan dengan wawancara sekaligus observasi di kos dan kampus informan yang kesebelas. Wawancara pada hari pertama dengan menginap di kos informan pada hari Selasa 21 April 2009, jam wawancara sekitar jam 19.00-21.00 WIB sedangkan untuk hari kedua dilakukan di kampus informan setelah selesai kuliah hari Rabu, 22 April 2009 jam 13.30-143.45 WIB di dekat ruang parkiran kendaraan bermotor. Gadis berpostur sedang, berkulit putih dengan tinggi kurang lebih 150 cm dan memiliki berat badan 44 kg bernama samaran SLV. Ia lahir di Kota Purbalingga pada tahun 1987 sehingga sekarang sudah berusia 22 tahun pada 6 April lalu. Ayah bernama WH yang berusia 50 tahun, lulusan STM dan bekerja sebagai karyawan swasta di parik permen davos Purbalingga. Sedangkan ibu berinisial LS yang berusia 47 tahun, lulusan Sekolah Dasar SMP dan hanya sebagai ibu rumah tangga. Meskipun demikian, kehidupan ekonomi keluarga tidak kekurangan, karena gaji yang diterima oleh ayah SLV termasuknya besar dan bisa menyekolahkan SLV dan kakak laki-lakinya yang alumni Fakultas Teknik Elektro dari UNDIP. Sekarang sang kakak sudah bekerja di sebuah toko di kota Purbalingga. SLV yang merupakan mahasiswa Fakultas Kedokteran UNS ini, hanya dua bersaudara dengan kakak laki-lakinya. SLV yang anak bungsu, sangat menggemari buku bacaan novel ataupunbuku sepeerti Harry
139
Potter. Makanan favoritnya yang senantiasa bernuansa pedas dan manis itu, dalam keehariannya yang paling disukai adalah kumpul bersama keluarga di rumah. Ada dua jenis film yang sanagt diminati yaitu film Lord Of The Ring dan Twilight. Sebagai marga keturunan Cina atau tionghoa ini, SLV berasal dari marga Oi dari keluarga asang ayah. Sedangkan untuk generasi mulai dari SLV tersebut gelar marga sudah tidak lagi dipakai ataupun diturunkan dlam nama belakang baik dari SLV ataupun sang kakak. Cita-cita yang sangat didambakan semenjak kecil adalah menjadi dokter. Sebagai penggemar warna hitam, biru dan putih ini di kamar kosnya pun identik dengan nuansa lebih dominn biru, hal lain juga terdapat di kuku tangannya yang diberi cat kuku warna biru muda. Dengan raut mata yang sipit dan rambut panjang sepunggung berombak SLV merupakan salah satu penggemar jenis binatang anjing dan kuncing. Dalam keyakinan yang dianut secara turun temurun dari keluarga ayah dan ibu yaitu agamaa katolik. SLV kos di GBES daerah sekitar kentingan belakang kampus UNS. SLV yang dibesarkan dari keluarga Tionghoa menurutnya tidak merasa minder menggunakan dialek banyumasan. Dalam didikan keluarga di Purbalingga, meski masa-masa kecil diajarkan bahasa Indoneisa, tapi khasanah untuk berdialek banyumasan sudah menajdi bagian dirinya. Di kos karena komunitas penghuni sangat kecil dan hanya dia saja yang berasal dari kaum banyumasan sehingga untuk mendapatkan peercakapan dialek banyumasan secara utuh masih begitu sulit. Namun terkadang jika untuk suasana bercanda tertentu dialek banyumasan sebagai lahan percakapan yang menarik dengan teman-temannya di kos yang berjumlah sekitar 34 orang itu. SLV merasa bangga dengan dialek banyumasan karena pada dasarnya dialek banyumasan tidak semua daerrah memiliki dilaek yang seperti dialek banyumasan tersebut yang istilahnya ngapak-ngapak. Begitu juga di kampus, mengalami ketimpangan dan mengalami hal yang serupa dengan yang terjadi di kos. Namun jika di kampus ada beberapa temannya yang satu angkatan anak kedokteran 2005 yang berjumlah 100an orang, ada yang berasal dari purbalingga sekitar dua orang, dari kebumen satu orang, dan dari kawasan banyumasan lain yang SLV tidak memahami sepenuhya teman-teman yang luar non banyumasan. Kadang jika bertemu dengan temna-teman yang satu rumpun, ada kalanya berbicara dan ngobrol dengan dialek banyumasan. Sekedar menjadi celoteh dan temu kangen setelah free tes ataupun setelah kulaih selesai. SLV yang merasa bahwa dialek banyumasan memang mengalami pegeseran diantara para penuturnya akan tetapi tergantung dalam konteks dimana lingkungan dirinya beradada dalam kehidupan sehari-hari. Karena SLV sendiri yang di kos hanya dia saja yang berasal dari banyumasan dari 34 orang penghuni kos, secara otomatis akan terdominasi dari dialek Solo yang sifatnya menyesuaikan karena teman-teman kosnya tidak mengerti arti dan maksud dari dialek banyumasan tyang dituturkannya. Begitu juga di kampus, dari seratus orang hanya beberapa anak yang bisa dijadikan sosialisasi diri untuk kembali ke daerah dialek asal. Selain itu, tidak menutup kemungkinan SLV meskipun berdasarkan garis keturunan Cina, tapi diakui oleh dia bahwa pada saat sms-an atau telepon dengan teman-teman kampung di Purbalingga, entah yang di Purbalingga sendiri atau berpencar kuliah di daerah luar banyumasan, bahasa sms yang di tlis adalah dialek ngapak-ngapak.
140
“Dialek banyumasan itu sudah jadi bagian diri aku, tapi mau gimana lgi neng Solo sebagian besar temenku orang Solo dan ada juga yang dari jawa barat dan Jakarta jadi, ya mau gimana lagi”. (W/SLV/21/4/09). Informan 12 Pada hari Rabu malam tepatnya pada tanggal 22 April 2009, wawancara dan observasi dilakukan di kos informan yang ke-12 . Wawancara dilakukan pada jam 19.30-21.45 WIB di kamar yang dipenuhi foto keluarga, sahabat dan teman-teman serta kerabatnya. Gadis yang memiliki badan semampai, rambut panjang dan senang tersenyum ini, bernama samaran Epra. Gadis cantik kelahiran kota Purbalingga, lahir dari seorang ayah bernama AS dan ibu bernama Wh. Ayahnya lulusan S1 dan bekerja sebagai pegawai negeri Telkom di kota Purbalingga. Sedangkan ibunya lulusan SMP dan hanya sebagai ibu rumah tangga. Epra merupakan adalah anak ke 1 dari 2 bersaudara. Ia memiliki satu adik perempuan yang sekarang sudah duduk di kelas 3 SMA. Kehidupan perekonomian orang tua sangat berada hal ini dapat dilihat dari kondisi tempat tinggal di kos yang termasuk kos elit di daerah depan kampus UNS dan beberapa perlengkapan make up yang bermerek tinggii. Kehidupan agama keluarganya biasa saja karena menurutnya orang tuanya hanya mengajarkan ibadah yang biasa yaitu sholat sedangkan hal-hal yang lain tidak diajarkanseperti puasa yang benar dan berjilbab misalnya Sekarang Epra semester 8 pada Fakultas Teknik Arsitek UNS. Ia yang memiliki hobi membaca komik dan nonton film, sangat menggemari Adrea Hirata dalam bukunya Sang Pemimpi. Gadis yang senang berbelanja dengan teman-teman kosnya, memiliki warna favorit biru, hal ini nampak pada aju-baju yang sebagian besar berwarna biru yang ada di lemari kamarnya. Epra merupakan gadis yang senang dandan, hal ini dapat dilihat dari penampilannya yang selalu cantik. Berbagai alat kosmetik bisa dijumpai dikamarnya dari kosmetik untuk perawatan dari ujung kaki sampai ke kepala. Ia juga sering ke salon untuk perawatan misalnya membonding rambut dan creambath. Baginya wanita itu harus rapi, perfect, rajin, dan bersih agar kelihatan cantik. Kos nya yang bernama kos KD yang berada di depan kampus UNS merupakan menjadi hunian dari awal menjadi mahasiswa hingagga sekarang yang kurang lebih sudah mendekati empat tahun tinggal di kos tersebut. Di lingkungan kos, Epra dalam berdialog dengan teman-teman kosnya menggunakan dialek campuran. Kos KD yang terdapat 23 orang, hanya ada dua orang yang berasal dari kawasan banyumasan yaitu si Epra dan satu orang temannya yang juga tetangga kamar disebelah kanannya yang bernama Sgy anak Fakultas Hukum. Jika pada sat berbicara dengan Sgy, Epra menggunakan dialek banyumasan namun tidak lagi secara utuh, karena sudah terbiasa dengan dialek Solo dengan teman-tema kampus dan sebagian juga di kos. Sehingga tak khayal, dialek banyumasan tidak lagi bisa dikembangkan dalam konteks kampus yang sifatnya heterogen. Bahkan ada teman Epra yang asli dari Gombong (Kebumen) menggunakan dialek Banyumasan sudah tidak bisa, karena meski kelahiran dari Gombng akan tetapi saat SD kelas 5 samapi SMA hidup di Jakarta, lalu kuliah di Solo. Dan bahasa yang dipergunakan pun dialek Jakarta. Menurut Epra, dialek banyumasan adalah bahasa yang
141
memiliki kosakata paling banyak, dan bahasa yang ngapak-ngapak. Oleh karenanya, fungsi dialek banyumasan dalam lingkup di UNS, menurut Epra sebagai bentuk keanekaragaman di wilayah Indonesia yang majemuk dan sebagai alat komunikasi. Epra yang mengalami pergeseran dialek karena lingkungan kos dan kampusnya tidak bersahabat untuk berdialek banyumasan, pada dasarnya Epra merasa bangga dengan dialek banyumasan. Dirinya tidak meras minder atau dianggap rendah. Karena selain wajahnya yang secara fisik cantik, denagn dialek banyumasan menajdi aura tersendiri dari keunikan dari teman-teman lainnya. “Aku angger ngomong ya tetep ngapak, angger karo kancané wong purbalingga sing pada telepon. Tapi neng kos karo kampus, yo ra isoh. Mereka pada ga’ mudeng bahasaku” . (Aku kalau berbicara ya tetap ngapak kalau dengan temanku orang purbalingga yang sering telephon. Tapi kalau di kos dan kampus, ya tidak bisa. Mereka tidak paham bahasaku) (W/Epra/22/4/09). Informan 13 Wawancara dan observasi yang peneliti lakukan pada informan ke tiga belas ini yaitu di kos pada tanggal 23 April 2009, tepatnya hari Kamis dengan menginap di kos informan selama semalam. Wawancara yang dilakukan sekitar jam 08.00-09.30 WIB. Kemudian wawancara dan observasi kedua di kampus informan pada jam 13.30-14.15 WIB hari Jum’at 24 April 2009. Gadis berkulit manis memiliki postur tubuh tinggi sekitar 165 cm memiliki nama samaran Ng. Ia lahir di kota Banyumas pada 19 tahun yang lalu dari seorang ayah bernama DN berusia 54 tahun dan ibu bernama RB yang berusia 50 tahun. Ayahnya lulusan SD bekerja sebagai pedagang sedangkan ibunya lulusan SMP yang bekerja sebagai pegawai administrasi di Puskesmas Banyumas. Ng merupakan anak nomor satu dari dua bersaudara. Sang adik yang bernama DR masih duduk di bangku SMP kelas dua. Kehidupan ekonomi sangat cukup karena ayah Rista sebagai pedagang alat-alat elektronik di sebuah toko yang cukup besar di kota Banyumas, sedangkan sang ibu yang sebagai pegawai perawat di Puskesmas sangat membantu menambah finansial keluarga. Ng saat ini menempuh kuliah di UNS di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Gadis yag sangat menyukai hewan kucing ini menggemari kegiatan traveling. Warna orange adalah warna favoritnya hal ini nampak dari hiasan dinding yang senantiasa bernuansa hijau orange. Ng yang menjadi salah satu penghuni kos di daerah Surya ini, menyatakan bahwa dialek banyumasan adalah dialek yang disebut dialek ngapak, pelafalan jelas dan vokal banyak ‘a’. Dalam kehidupan sehari-hari terutama di lingkungan kos, Ng dalam penggunaan dialek banyumasan tetap banyumasan karena sebagian besar kamar informan yang terletak di lantai dua yaitu mahasiswa asli banyumasan semua. Kecuali lantai satu, terdapat mahasiswa luar banyumasan. Akan tetapi Ng mengalami perbedaan dialek pada saat sudah ada di kampus, karena teman-teman kampus Ng didominasi oleh orang-orang yang berasal dari daerah Solo dan Yogya serta ada beberapa yang berasal dari Luar Jawa. Akan tetapi Ng, yang terkadang masih menggunakan dialek banyumasan dengan beberapa temannya yang juga berasal dari Cilacap dan Kebumen, ada kalanya ngapak-ngapak. Bahkan kadang mendapat julukan inyong.
142
Menurut Ng, peran dialek banyumasan sangat penting di lingkungan UNS, apalagi pada saat bertemu dengan orang asi banyumasan. Karena terkadang untuk hiburan tersendiri dan mengingatkan akan dialek banyumasan yang sudah semakin bergeser di kalangan penuturnya. Ng mengakui penggunaan dialek banyumasan pada saat di kos beda dengan pada saat di kampus. Hal ini dikarenakan mempermudah komunikasi pada teman-teman yang khususnya tidak paham dan mengerti arti ataupun maksud yangg terkandung dalam dialek banyumasan. Penggunaan dialek banyumasan yang semakin mengalami pergeseran tersebut, Ng menambahkan bahwa memang sejak dahulu daerah banyumasan identik dengan daerah jauh dari keraton, baik keraton Yogya ataupun Solo. Pada saat penyebutan jauh dekat dengan keraton, orang-orang luar banyumasan secara tidak sengaja menjadi bagian dari proses penanaman cap atau label terhadap identitas dialek banyumasan. Sehingga upaya pelestarian dialek banyumasan menurut Ng, kadang sulit dilakukan pada saat lingkungan yang mayoritas mahasiswa luar banyumasan. Sebagian besar teman Ng di kampus yaitu mahasiswa asli eks-Karisidenan Solo dan ada beberapa dari Luar Jawa. Ng yang minoritas kadang untuk bisa ngomong ngapak adalah pada saat teman-teman yang berasal dari Cilacap dan Kebumen mengajak dengan dialek banyumasan. Terkadang teman-teman mahasiswa yang mendengar perbincangan tersebut, merasa tertarik dengan dailek yang bagi mereka asing terdengar. Selain itu, upaya yang dilakukan yaitu mengikuti komunitas banyumasan. Ng yang hanya satu periode gabung di komunitas banyumasan, akan tetapi kurang aktif, jadi tidak termaksimalkan. Menurut Ng, komunitas banyumasan sebagai ajang untuk perkumpulan kekeluargaan dari anak-anak satu wilayah banyumasan, meskipun tidak berjalan rutin dengan agenda-agenda pertemuan antar mahasiswa asli banyumasan. Karena sudah sibuk dengan kegiatan masing-masing. Informan 14
Peneliti melakukan wawancara dan observasi di kampus ST sekitar jam
11.30 sampai 11.55 tepatnya pada tanggal 23 April 2009 dan pada hari Kamis.
Sedangkan pada Kamis sore berlanjut menginap di tempat informan (ST) yang
kos di daerah Panggung Rejo jam 19.20- 21.15 WIB. Pertama kali wawancara,
dengan nuansa kampus FISIP yang ramai dengan lalu lalang mahasiswa keluar
dari ruang perkuliahan, kemudian peneliti melakukan wawacara. ST merupakan
gadis kelahiran Purbalingga 9 Maret 1989 ini, sudah selama dua tahun hidup di
Solo. Usianya yang sudah 20 tahun, saat ini dia sedang menginjak semester empat
di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UNS. ST memiliki tinggi badan sekitar 157 cm
dan berat badan 44 kg. Wajahnya yang riang dan polos menjadi salah satu
karakteristik gadis berambut lurus sebahu tersebut. ST merupakan anak tunggal
dari seorang ayah yang bernama Din dan ibu yang bernama My. Latar belakang
143
pendidikan ibu adalah lulusan D3 pendidikan, sedangkan ayahnya lulusan SMA
yang berwiraswasta. Ibu ST bekerja sebagai guru SD di kota Purbalingga.
Kehidupan ekonomi keluarga sangat mapan, karena penghasilan ayah meskipun
wiraswata tapi termasuk wiraswasta yang sukses. Gadis yang sangat menyayangi
hewan kupu-kupu ini, memiliki hobi membaca komik, terutama komik tentang
kisah percintaan. Bakso merupakan makanan favoritnya.
ST yang selama delapan belas tahun dibesarkan di kota Purbalingga
berpendapat bahwa dialek banyumasan adalah dialek yang agak kasar dan
medhok, terutama untuk pengucapan vokal ‘a’. Dalam kehidupan sehari-hari di
lingkungan kos menggunakan dialek campuran anatara dialek banyumasan
dengan dialek Solo. Kos ST yang terdiri dari 15 penghuni kos putri memiliki
keanekaragaman asal-usul daerah. Sepuluh penghuni kamar berasal dari eks-
Karisidenan Solo seperti Klaten, Sragen, Wonogiri dan Boyolali, dua orang
berasal dari Magelang dan Muntilan, dua orang berasal dari Magetan dan Ngawi,
serta ST sendiri yang berasal dari Purbalingga.
Di lingkungan kampus, ST lebih sering dia menggunakan bahasa
Indonesia. Hal ini dikarenakan teman-teman ST dalam berinteraksi dan
berkomunikasi dengan Bahasa Indonesia. Akan tetapi, terkadang menggunakan
dialekmodifikasi yaitu dialek banyumasan, dialek Solo, dan Bahasa Indonesia.
Sehingga menurut ST, peran dialek banyumasan di lingkungan kos dan kampus
sudah mengalami pergeseran.
“Sebenere kuwi ngomong dialek banyumasan kanggo penyambung
komunikasi karo wong sesama asli banyumasan. Tapi lingkungan tidak
mendukungku, yo meh piyé menéh” (sebenarnya itu berbicara dialek banyumasan
untuk alat komunikasi dengan sesama asli banyumasan. Tapi lingkungan tidak
mendukungku, ya mau gimana lagi) (W/ST/23/4/09).
Untuk berbicara dengan dialek banyumasan, menurut ST pernah merasa
malu pada saat awal datang di Solo. Berkomunikasi dengan teman-teman kos dan
kampus yang seolah-olah menyiratkan lawan bicara ST (teman-teman di kos dan
kampus) ingin tertawa. Selain saat ini lebih sering menggunakan bahasa Indonesia
pada saat di kampus dan menggunakan dialek Solo pada saat di kos, merupakan
144
tujuan utama adalah untuk memudahkan orang lain mencerna percakapan. Jadi,
agar orang lain tidak dibuat kebingungan dengan dialek yang diucapkan ST. Hal
tersebut semakin tergesernya penutur dialek banyumasan.
Untuk menanggapi hal demikian, menurut ST upaya yang dapat dilakukan
dalam melestarikan penggunaan dialek banyumasan di kalangan mahasiswa asli
banyumasan yaitu terus berbicara dengan dialek banyumasan di lingkungan kos
dan kampus. Meski hal demikian sulit untuk dilakukan oleh ST. Karena menurut
ST, sudah pengaruh kebiasaan hidup engan interaksi dan komunikasi yang
berdialek di luar dialek banyumasan. Atau bisa juga dengan mengikuti komunitas
banyumasan yaitu ajang pertemuan anak banyumasan dan untuk menjalin
silaturahmi antar anak banyumasan.
Informan 15 Jum’at pagi menjelang siang dengan langit cerah. Peneliti melakukan wawancara dan observasi yang pertama tepatnya Jum’at, 24 April 2009 jam 09.15-10.30 WIB. Sedangkan wawancara dan observasi kedua yaitu di kos Ns pada hari Sabtu siang 25 April 2009 jam 10.30-11.15 WIB. Gadis manis berkulit kuning langsat, mata agak sipit, meski tidak ada keturunan keluarga China. Ns nama gadis itu. Ns memiliki tubuh sedikit gemuk dengan tinggi badan kurang lebih 158 cm. Pada waktu wawancara yang pertama, Ns baru saja beranjak dari kamar mandi untuk membersihkan badannya alias mandi pagi. Ns lahir dari seorang ayah bernama Ksd yang berusia 51 tahun dan ibu bernama Tri yang berusia 48 tahun. Ns lahir pada tahun 1989 di kota Purbalingga. Gadis ini merupakan anak kedua atau bungsu, ia memiliki satu kakak laki-laki yang belum menikah dan sudah bekerja di daerah Purbalingga juga. Ayah Ns seorang PNS yaitu tepatnya sebagai Pegawai Kabupaten di kota Purbalingga, sedangkan ibunya bekerja sebagai PNS yaitu guru SD yang juga di kota Purbalingga. Kehidupan ekonomi keluarga cukup mapan. Pola pendidikan yang diterapkan oleh orang tua terhadap anak sangat demokratis. Gadis yang hobi memelihara tanaman hias meski sedikit di kosnya. Selain menyenangi hal-hal tersebut Ns juga mengaku menyenangi masakan yang rasanya pedas. Makanan favorit Ns seperti bakso Mie ayam dengan saos merah dan sambal pedas. Ns yang sangat tidak suka dengan kebohongan adalah mahasiswa jurusan komunikasi Fakultas Hukum UNS angkatan 2006. Selama dua tahun mengenyam bangku kuliah di UNS, Ns mengemukakan pendapat bahwa dialek banyumasan yaitu dialek cepat, kasar dan ngapak. “Ana maning lakuné wong Purbalingga. Hehehehe... dialek banyumasan kadang gawé aku ngguyu mba. Mergone jarang bali ngomah tur sering krungu bahasa wong kéné sing nganggoné ‘o’ terus. Dadiné pas bali ngomah, kepikiran neng ati, nék ternyata bahasané aku seperti ni to” (Ada lagi lelakunya orang Purbalingga. Hehehehe...dialek banyumasan
145
kadang membuat aku tertawa mba. Karena jarang pulang ke rumah dan sering mendengar bahasa orang sini yang memakai ‘o’ terus. Jadi, waktu pulang ke rumah, punya pemikiran di hati, kalau ternyata bahasaku seperti ini ya” (W/Sn/25/4/09) Jika berbicara tentang peran dan makna dialek banyumasan menurut gadis yang menyukai warna hijau ini, adalah sebagai penunjuk diri atau identitas diri. Kos Sn di Wdi daerah belakang kampus dengan mayoritas penghuni kos berasal dari daerah sekitar Solo dan beberapa daerah lain seperti Jakarta dan Jawa Barat. Jumlah anak kos Wdi keseluruhan ada 14 anak, di mana 11 anak berasal dari Solo, Klaten, dan Sukoharjo sedangkan 2 anak berasal dari Jakarta dan jawa Barat serta Sn yang seorang diri berasal dari kota Purbalingga. Dalam percakapan dengan teman-teman kos, Sn terkadang bersifat menyesuaikan. Sebab, pada saat Sn berbicara dengan dialek banyumasan ada kata-kata tertentu yang tidak dimengerti oleh teman-teman kosnya. Sehingga Sn pada saat di kos menggunakan logat bersifat campuran dan tergantung dengan siapa dia berbicara dan dari mana asal lawan bicaranya itu. Begitu juga di lingkungan kampus, Sn menggunakan bahasa campuran tergantung dengan lawan bicaranya. Sn yang mengalami pergeseran dialek tersebut, merupakan faktor faktor lingkungan dengan teman-teman dari asal-usul yang heterogen. Selain itu, menurut Sn, terjadinya pergeseran dialek banyumasan pada kalangan mahasiswa asli banyumasan karena muncul cap-cap atau label tertentu yang menjadikan beberapa diantaranya merasa malu dan gengsi menggunakan dialek ngapak-ngapak. Hal tersebut dialami Sn pada saat awal di Solo, terutama dengan mahasiswa luar banyumasan. Ada kalanya teman-teman kos ataupun kuliah ada yang tersenyum setelah Sn mengucap logat banyumasan yang dirasa aneh dan jarang didengar oleh telinga mereka. Hal ini terjadi karena adanya proses budaya dalam lingkungan sosial masyarakat dalam memberikan penilaian atau penandaan terhadap orang banyumasan yang sifatnya lucu. Menurut IK upaya yang dapat dilakukan untuk menjaga terus lestarinya dialek banyumasan yaitu ikut komunitas banyumsan meski saat ini intensitas keaktifan komunitas banyumasan yang ada di Solo, kurang menjaring dan membudidayakan mahasiswa asli banyumasan. Bahwasanya komunitas banyumasan itu adalah forum komunikasi anak-anak ngapak, untuk mengapresiasikan dialek banyumasan. Karena dalam pertemuan mahasiswa asli banyumasan dalam komunitas banyumasan, terkadang mengharuskan mahasiswa asli banyumasan untuk berbicara ngapak-ngapak dengan tujuan untuk melatih kembali dialek banyumasan. Informan 16 Penelitian selanjutnya adalah di kos Wh pada hari Minggu, 25 April 2009 sekaligus menginap di kos Wh untuk melakukan wawancara dan observasi yang pertama. Wawancara tepatnya pada jam 19.15-20.45 WIB. Penelitian kedua dilakukan di kampus Wh, pada Senin siang 27 April 2009 jam 12.15-12.50 WIB yaitu di Fakultas Pertanian. Peneliti melakukan wawancara setelah sholat isya dan makan malam. Gadis berkulit sawo matang ini memiliki tinggi badan 150 cm yang berusia 20 tahun yang lahir di kota Kebumena. Ia lahir dari seorang Ayah yang bernama Rs berusia 56 tahun dan ibu bernama Fd berusia 53 tahun. Ayah
146
lulusan SMP dan bekerja sebagai pedagang soto di Banjarnegara. Sedangkan ibu lulusan SMP dan ibu rumah tangga yang sesekali membantu sang ayah menjual soto. Wh merupakan anak ke 1 dari 2 bersaudara dan adik perempuan masih kelas 5 SD yang bernama Rn. Kehidupan ekonomi keluarga sangat sederhana karena hanya ayahnya hanya menopang dari hasil penjualan soto. Wh lahir dari keluarga yang taat beragama karena sejak kecil Wh dididik dengan rasa tanggung jawab dan kemandirian. Wh merupakan mahasiswa Fakultas Pertanian semester empat. Gadis yang memiliki hobi menghias kamar, termasuk mahasiswa yang sangat ingin sukses untuk kebahagiaan ayah dan ibunya. Dengan biaya kuliah yang tidak murah, Wh juga dibantu oleh Pamannya yang ada di Serang, Banten untuk biaya kuliah seperti SPP (semesteran). Sedangkan biaya hidup ditanggung oleh kedua orang tuanya. Wh termasuk anak yang pendiam dan pekerja keras. Menurut Wh, dialek banyumasan adalah dialek kasar, lucu didengar, ngapak, dan intonasi bernada keras. Wh kos di JNH di daerah Sawah Karang dalam kesehariannya di lingkungan kos menggunakan dialek Solo yang lebih banyak daripada dialek banyumasan. Hidup selama dua tahun di Solo, dengan teman-teman kos yang semuanya berjumlah 13 penghuni kos, rata-rata berasal dari daerah Solo, Sukoharjo Klaten, Wonogiri, Ngawi, dan Temanggung. Wh sudah terkontaminasi dengan dialek Solo. Disisi lain karena wilayah kebumen (rumahnya) berbatasan dengan area Purworejo yang merupakan berdialek sudah mendekati Jawa alus khususnya dialek Yogya. Sedangkan pada saat di kampus, Wh lebih sering menggunakan dialek campuran seperti dialek Solo dan Bahasa Indonesia. Untuk dialek banyumasan jarang, karang teman-teman di kampus Fakultas Pertanian lebih dominan berdialek ‘o’ (eks-Karisidenan Surakarta) dan Jawa Timuran. “Aku nék ngomong nganggo banyumasan wis rada kagok. Mergo wis biasa. Tapi tetep, meski ngango logat Solo tapi banyumasan sing medhok ésih ono” (Aku kalau berbicara dengan banyumasan sudah agak canggung. Karena sudah biasa. Tapi, tetap saja meski dengan logat Solo, tapi banyumasannya yang medhok masih ada) (W/Wh/24/4/09). Menurut Wh peran dialek banyumasan sebagai wujud identitas wong banyumasan. Akan tetapi situasi lingkungan baik di kos dan di kampus tidak mendukungnya. Sehingga, mau tidak mau menyusaikan dengan bahasa setempat, yaitu dialek Solo pada saat di kos dan bahasa Indonesia pada saat di kampus. Hal tersebut dilakukan juga bertujuan untuk mempermudah komunikasi dan beradaptasi dengan mahasiswa lainnya, baik di kos ataupun pada saat di kampus dengan keberagaman asal daerah. Disisi lain, malu karena dalam logat banyumasan yang memang benar-benar asli dan belum tercampur dengan dialek krama alus, amat sangatlah kasar. Menurut Wh, komuitas banyumasan merupakan komunitas anak-anak yang ngomong ngapak-ngapak, dengan tujuan untuk saling temu kangen dengan orang satu daerah banyumasan.
147
Lampiran 5 MATRIKS HASIL PENELITIAN MAHASISWA ASLI BANYUMASAN
PERTANYA
AN PENELITIA
N
INFORMAN 1
INFORMAN
2
INFORMA
N 3
INFORMA
N 4
a. persepsi mahasiswa asli banyumasan terhadap dialek banyumasan dalam pergaulan sehari-hari =
1. persepsi tentang dialek banyumasan
Bahasa yang memiliki logat cepat dan sifatnya “ceplas-ceplos” (terbuka) hal ini terlihat pada saat penutur aslinya mengucapkan vokal ‘a’ yang sangat mantap.
Bahasa yang unik dan memiliki makna tersendiri, dan sangat dominant dengan hal-hal yang bersifat kelucuan (humor).
Dialek banyumasan merupakan bahasa yang menunjukkan inilah ‘si aku’.
Dialek banyumasan adalah bahasa yang sifatnya terbuka, fulgar dan ibaratnya tidak plin-plan (konsisten). Selain itu dialek banyumasan tidak berdasarkan atas strata atau tidak membeda-bedakan pelapisan sosial atau status seseorang dalam suatu masyarakat
148
serta sifatnya datar antar perasaan sedih dan senang pada dasarnya sama saja, tidak ada bedanya.
2. Peran dialek banyumasan
Dialek banyumasan menunjukan identitas penuturnya.
Menyatukan satu komunitas antar penutur dialek banyumasan.
Peran dialek banyumasan adalah sebagai penunjuk jati diri.
Menunjukkan identitas diri banyumasan.
3. Persepsi mahasiswa asli banyumasan jika dikatakan bahwa dialek banyumasan semakin ditinggalkan oleh para penutur aslinya dan bahasa yang lucu serta bersifat prestise.
Menurut informan 1, tidak merasa malu menggunakan dialek banyumasan
Kadang merasa dialek banyumasan susah dicerna oleh orang luar banyumasan dan kadang membuat tertawa.
Bangga menggunakan dialek banyumasan, tapi karena tidak ada lawan bicara yang di kos misalnya, jadi tidak dapat menjaga kelestarian dialek banyumasan.
Bangga dengan dialek ngapak-ngapak.
4. Faktor pemilihan bahasa jika lihat dari individu.
Memilih menggunakan dialek tertentu dengan lawan bicaranya adalah tergantung darimana atau asal
Proses memilih dengan dialek terntentu adalah dengan alasan untuk bisa lancar
Memilih karena menyesuaikan dengan siapa lawan bicara informan.
Memilih dialek banyumasan karena memiliki kekhasan tersendiri.
149
mula si lawan bicara (sifatnya kondisional) dan dikarenakan menyesuikan diri.
berkomunikasi.
b. bagaimana lingkungan berpengaruh dalam mempertahankan identitas kedaerahan
1. penggunaan dialek banyumasan di kos
Dialek banyumasan, karena dari satu blok kamar informan homogenitas orang banyumasan.
Dialek banyumasan karena satu kos yang mendominasi orang banyumasan.
Menyesuaikan dengan lawan bicara, malah lebih sering dialek Jawa wetan (Solo) dan bahasa Indonesia karena informan merasa seorang diri dari kosnya yang berasal dari banyumasan.
Tetap dialek banyumasan utuh.
2. penggunaan dialek banyumasan di kampus
Dialek campuran, kadang menggunakan bahasa Indonesia dengan teman satu angkatan di fakultasnya, akan tetapi pada saat bertemu dengan orang banyumasan menggunakan dialek
Dialek campuran Solo-Yogya dan dialek banyumasan tergantung dari lawan bicara informan kedua.
Menggunakan dialek campuran (Jawa Wetan, dialek banyumasan dan bahasa Indonesia).
Tetap dialek banyumasan secara utuh.
150
banyumasan. c. upaya mahasiswa asli banyumasan dalam melestarikan dialek banyumasan =
1. Melalui komunitas banyumasan
- Komunitas banyumasan dapat menyalurkan canda dan tawa serta merekatkan persaudaraan.
-
-
2.. Upaya secara individu
Melestarikan penggunaan dialek banyumasan dikalangan mahasiswa asli banyumasan yaitu dengan menggalakkan terus berbicara dengan dialek banyumasan meski berada di daerah luar banyumasan dan tidak boleh malu menggunakan dialek sendiri.
(1) jangan pernah malu menggunakan dialek banyumasan dalam situasi apapun dan dalam kelompok kecil manapun, (2). Dialek banyumasan bisa dikembangkan melalui komunitas banyumasan.
Berprinsip tidak malu berbicara ngapak-ngapak.
Jangan malu menggunakan dialek banyumasan, (2) pulang dan menikah dengan orng banyumasan, (3) masukkan muatan lokal atau kurikulum yang berdialek banyumasan, (4) sosialisasikan siaran radio dengan berdialek banyumasan atau media elektronik lainnya.
PERTANYA
INFORMAN 5
INFORMAN
INFORMA
INFORMA
151
AN PENELITIA
N
6 N 7 N 8
a. persepsi mahasiswa asli banyumasan terhadap dialek banyumasan dalam pergaulan sehari-hari =
1.persepsi tentang dialek banyumasan
Dialek banyumasan sudah menjadi bagian dari hidupnya yang tidak bisa terpisahkan.
Dialek banyumasan adalah dialek yang disebut dialek ngapak, memiiki volume keras dan adanya penekanan dalam kata tertentu dan penuturan bahasanya terbilang cepat. Penekanan dalam huruf tertentu misalnya pada huruf ‘k’, jika dengan dialek Jawa alus atau Jawa Wetan
Dialek banyumasan adalah dialek yang pengucapannya penuh, seperti konsonan ‘k’ dan ‘g’. Hal tersebut dilihat dari segi fonologi, sedangkan dilihat dari segi sejarah, pada dasarnya dialek yang sifatnya sudah paling lama atau tertua dari bahasa
Dialek banyumasan adalah bahasa yang pengucapannya banyak menggunakan vokal ‘a’.
152
‘k’, sedangkan untuk dialek banyumasan pelafalannya yaitu “dhewek”, dimana huruf ‘k’ mengalami penekanan dalam penuturannya.
Jawa lainnya, hal ini terjadi pada zaman batu (palaeolitikum). Jika dilihat dari segi geografis, dialek banyumasan merupakan dialek yang diapit oleh dua dialek, yaitu dialek Jawa Barat (Sunda) dan Jawa Timuran.
2.Peran dialek banyumasan
Mengenalkan dialek banyumasan yang memiliki ciri khas tertentu.
Sebagai perwujudan diri, sebagai bahasa yang sifatnya unik dan tidak ada di tempat lain, serta dialek banyumasan fungsinya merupakan dialek yang sangat dekat dengan strandarisasi dari bahasa daerah ke bahasa Indonesia.
Peran dialek banyumasan di lingkup UNS adalah sebagai alat komunikasi dan sebagai alat yang mengenalkan budaya kita dengan yang lainnya.
Sebagai tutur kata yang berdialek ngapak-ngapak.
3.Persepsi mahasiswa asli banyumasan jika dikatakan
Tidak merasa canggung menggunakan dialek banyumasan,
Menyesuaikan diri dan ikut belajar dialek Solo serta ada kalanya
Menggunakan dialek yang sudah modifikasi dan
Pernah merasa bahwa dialek banyumasan
153
bahwa dialek banyumasan semakin ditinggalkan oleh para penutur aslinya dan bahasa yang lucu serta bersifat prestise.
bahkan di kampus mendapat julukan miss ngapak.
beberapa teman kosnya yang merasa geli dan merasa lucu dengan bahasa ngapak-ngapaknya. Lantas dengan adanya hal demikian, lambat laun semakin lama hidup di Solo, dialek yang dipergunakan yang lebih dominant adalah dialek Solo.
tergantung dari lawan bicaranya berasal dari daerah mana.
ada sisi humor (lucu) pada saat pertama kali hidup di Solo.
4.Faktor pemilihan bahasa jika lihat dari individu.
Memilih tetap mengunakan dialek banyumasan karena secara sadar ingin mengenalkan dialek banyumasan untuk tetap eksis (ada)
Secara kesadaran dari diri pribadi memilih bahasa apa yang cocok (faktor individu).
Melakukan proses pemilihan secara sadar dengn bahasa yang sifatnya menyesuaikan dengan lawan bicara informan.
Secara konteks, lingkungan pergaulan (teman-teman di kampus) yang lebih sering menggunakan bahasa Indonesia, maka yang dominan adalah bahasa Indonesia.
b. bagaimana lingkungan berpengaruh dalam mempertahankan identitas kedaerahan
1. pengguna Dialek Dialek Dialek Di
154
an dialek banyumasan di kos
banyumasan karena hamper semua penghuni kos adalah kaum banyumasan.
campuran atau modifikasi, karena homogenitas dari daerah Solo-Yogya.
campuran karena yang mendominasi dari Jakarta dan Solo.
lingkungan kos menggunkan dialek solo yang lebih banyak daripada dialek banyumasan
2. penggunaan dialek banyumasan di kampus
Dialek banyumasan meski teman-teman kampus sudah heterogen asal usul daerahnya.
Dialek menyesuaikan lawan bicara dan sifatnya “mandek”, artinya bahwa orang banyumasan menyesuiakan ke Solo dan tidak bisa mempertahankan.
Dialek campuran atau modifikasi.
Di kampus lebih sering menggunakan bahasa Indonesia.
c. upaya mahasiswa asli banyumasan dalam melestarikan dialek banyumasan =
1. Melalui komunitas banyumasan
Perkumpulan anak banyumasan yang ada di Solo. Komunitas dialek banyumasan untuk menggelar beberapa acara atau agenda yang sifatnya tetap menjaga pelestarian dialek banyumasan di wilayah Solo
Forum komunikasi anak-anak yang satu daerah banyumasan. Mempererat pesaudaraan anak-anak banyumasa yang berada di Solo (UNS)
-
-
2.. Upaya Harus bangga Melestarikan Menggunak Pada saat
155
secara individu
dengan dialek banyumasan dengan ikut serta dalam komunitas dialek banyumasan
dialek banyumasan dengan melihat keadaan atau melihat lawan bicara kita. Kalaupun lawan bicara kita, adalah orang berasal dari daerah banyumasan maka ngomonglah dengan bahasa ngapak-ngapak, tapi jika lawan bicara kita luar banyumasan dan orang tersebut tidak paham dengan bahasa kita, maka menyesuaikan dengan bahasa yang semampu kita, entah dengan dialek jawa Solo ataupun bahasa Indonesia tergantung dari konteks lawan bicara, apakah dari Solo-Yogya, Jawa Timuran ataupun dari Jawa Barat dengan konteks
an dialek yang sifatnya menyesuaikan dengan lawan bicara informan.
informan kembali ke tempat asal dengan ayah, ibu, adik dan kerabatnya tetap menggunakan dialek banyumasan, meskipun dialek banyumasan yang sifatnya tidak utuh lagi karena sudah terlalu terbiasa menggunakan dialek Solo, sehingga dialek Solo pun terbawa juga.
156
satuan nasional bahasa Indonesia.
PERTANYA
AN PENELITIA
N
INFORMAN 9
INFORMAN
10
INFORMA
N 11
INFORMA
N 12
a. persepsi mahasiswa asli banyumasan terhadap dialek banyumasan dalam pergaulan sehari-hari =
1.persepsi tentang dialek banyumasan
Dialek yang memiliki keunikan karena adanya perbedaan dengan dialek-dialek yang lain. Uniknya disini kadang membuat orang lain merasa terhibur dengan kelucuan dan kepolosanya pada saat penutur asli kaum banyumasan melafalkan logat banyumasan.
Dialek banyumasan adalah dialek yang sifatnya lucu (humoris) bahasa yang merupakan percampuran antara Jawa alus dan Jawa Timuran alisa dialek tengah-tengah, dialek yang menggunakan vokal lebih
Dialek bersifat ngapak-ngapak.
Dialek banyumasan adalah bahasa yang memiliki kosakata paling banyak, dan bahasa yang ngapak-ngapak.
157
banyak ‘a’ dan memiliki logat yang sedikit keras dibanding dengan dialek Solo-Yogya.
2.Peran dialek banyumasan
Menujukan jati diri.
Fungsi dialek banyumasan terutama di daerah UNS yaitu sebagai komunikasi sesama orang banyumasan dan untuk memperlancar warga satu rumpun banyumasan.
Bisa dijadikan sosialisasi diri untuk kembali ke daerah dialek asal.
Peran dan makna diael banyumasan sebagai bentuk keanekaragaman di wilayah Indonesia yang majemuk dan sebagai alat komunikasi.
3.Persepsi mahasiswa asli banyumasan jika dikatakan bahwa dialek banyumasan semakin ditinggalkan oleh para penutur aslinya dan bahasa yang lucu serta bersifat prestise.
Rasa malu dan yang sifatnya prestise bukanlah yang menjadi faktor dirinya untuk bisa mempertahankan sepenuhnya dialek banyumasan. Karena di kampus yang sifatnya heterogen, sangat sulit untuk bisa mendominasi dialek banyumasan, karena disamping teman-temannya tidak paham arti dan maksud dari kosakata dialek banyumasan.
Pada dasarnya tidak merasa malu menggunkan dialek banyumasan. Faktor lingkungan dan konteks lawan bicara yang mempesempit ruang gerak untuk mengeksistensikan dialek banyumasan di rumpun Solo.
Kadang ada pemikiran tenyata jika ditelaah logat banyumasan nuansa dengan kelucuan.
Tidak malu dan biasa saja, serta tidak merasa lucu.
4. Faktor pemilihan bahasa jika
Pemilihan dialek banyumasan lebih karena
Pemilihan dialek banyumasan
Pemilihan karena melihat
Pemilihan karena melihat
158
lihat dari individu.
memperlancar komunikasi dan sifatnya menyesuaikan.
lebih karena memperlancar komunikasi dan sifatnya menyesuaikan.
konteks dengan lawan bicara dan lingkungan yang lebih dominan.
konteks dengan lawan bicara dan lingkungan yang lebih dominan.
b. bagaimana lingkungan berpengaruh dalam mempertahankan identitas kedaerahan
1. penggunaan dialek banyumasan di kos
Dialek banyumasan begitu amat sangat mendominasi dan bernuansa lebih kental karena semua teman kos terdiri dari anak banyumasan.
Dialek banyumasan, karena mayoritas anak banyumasan.
Percakapan sehari-hari di kos lebih sering Bahasa Indonesia.
Dialek yang dipergunakan yaitu dialek campuran (Jawa Solo dan ngapak-ngapak).
2. penggunaan dialek banyumasan di kampus
Menyesuaikan dengan lawan bicaranya, yaitu dengan tiga unsur bahasa sekaligus meliputi dialek Solo, dialek banyumasan, dan Bahasa Indonesia.
Dialek campuran tergantung dari lawan bicara informan.
Sifatnya menyesuaiakn karena teman-teman kosnya tidak mengerti arti dan maksud dari dialek banyumasan yang dituturkan informan.
Dialek campuran (bahasa Indonesia, Jawa Solo dan napak-ngapak), tapi yang lebih sering bahasa Indonesia.
c. upaya mahasiswa asli banyumasan dalam melestarikan
159
dialek banyumasan = 1. Melalui komunitas banyumasan
- -
-
2.. Upaya secara individu
Agar tetap menjaga keletarian dialek banyumasan sikap yang dilakukan adalah di kos. Peluang besar untuk menumbuhkembangkan dan kembali pada budaya banyumasan dengan dialek ngapak-ngapak, adalah di kos.
Tetap menjaga kelestarikan dialek banyumasan dapat dilakukan dengan berdialek ngapak-ngapak di kos bersama dengan teman-temannya yang berasal dari rumpun Solo.
Pulang kampung dan bertemu kerabat, keluarga serta teman-teman di sekolah formal (SD, SMP, dan SMA) menggunakan dialek banyumasan lagi, meski dialek Solo ada beberapa kata-kata tertentu yang terbawa.
Dengan teman-teman di kampong dan di daerah lain tapi masih berasal dari banyumasan, tetap menggunakan bahasa sms yang berdialek banyumasan.
PERTANYA
AN PENELITIA
N
INFORMAN 13
INFORMAN
14
INFORMA
N 15
INFORMA
N 16
a. persepsi mahasiswa asli banyumasan terhadap dialek banyumasan dalam pergaulan sehari-hari
160
= 1. persepsi
tentang dialek banyumasan
Dialek yang ngapak-ngapak, cara kata jelas, vokal ‘a’.
Dialek yang agak kasar, dan medhok.
Dialek kasar, lucu didengarkan, ngapak dan intonasi yang bernada keras)
Dielak yang cepat, kasar dan ngapak.
2. Peran dialek banyumasan
Sesama daerah anak banyumasan untuk beradaptsi dengan daerah Solo dan menunjukan bawa informan orng dialek banyumasan.
Sebagai ciri khas dan alat komunikasi.
Menunjukan identitas diri.
Sebagai alat untuk berkomuniaksi dalam pergaulan sehari-hari.
3. Persepsi mahasiswa asli banyumasan jika dikatakan bahwa dialek banyumasan semakin ditinggalkan oleh para penutur aslinya dan bahasa yang lucu serta bersifat prestise.
Tidak malu karena dialek banyumasan sulit dicerna.
Kadang pada waktu awal berkomunikasi dengan teman-teman di kos dan kampus, merasa malu. Karena ada kosakata tertentu yang sifatnya kurang sopan dan kasar (meski dialek asli sebenarnya dari dialek banyumasan memang yang utuh tidak ada unggah-ungguhnya).
Malu karena, ada kata-kata yang memang asli dari banyumasan pada saat terdengar di wilayah Jawa alus.
Malu, karena awal masuk kuliah dan berteman dengan orang yang hetergoen dari daerah asal kadang tersenyum pada sat informan berbicara ngapak-ngapak.
4. Faktor pemilihan bahasa jika lihat
Proses pemilihan karena untuk beradaptasi dan memudahkan
Adanya keinginan untuk memilih dialek yang
Memilih untuk bisa berkomunikasi dan
Proses memilih dialek yang mudah
161
dari individu.
komunikasi. bisa memudahkan orang lain mencerna dialek banyumasan.
beradaptasi dengan lawan bicaranya.
dipahami oleh orang lain, dan menyesuaikan dialek lawan bicaranya (kondisional).
b. bagaimana lingkungan berpengaruh dalam mempertahankan identitas kedaerahan
1. penggunaan dialek banyumasan di kos
Dialek banyumasan, karena mayoritas wong banyumasan.
Campuran (dialek banyumasan dan Jawa Solo).
Campuran (dialek banyumasan dan Jawa Solo).
Campuran (dialek banyumasan dan Jawa Solo).
2. penggunaan dialek banyumasan di kampus
Dialek campuran (dialek ngapak dan ngoko Jawa alus)
Campuran (dialek Jawa Solo, dialek banyumasan dan bahasa Indonesia).
Campuran (dialek Jawa Solo, dialek banyumasan dan bahasa Indonesia).
Campuran (dialek Jawa Solo, dialek banyumasan dan bahasa Indonesia).
c. upaya mahasiswa asli banyumasan dalam melestarikan dialek banyumasan =
1. Melalui komunitas banyumasan
Suatu perkumpulan kekeluargaan dari anak-anak satu klub (banyumasan). Untuk menjalin
Ajang pertemuan anak banyumasan. Mempertemukan dan menjalin
Komunitas anak-anak yang ngomong ngapak-ngapak. Saling temu
Forum komunikasi anak-anak ngapak. Berapresiasi dan mengasah
162
silaturahmi dan kekeluargaan
silaturahmi sesame banyumasan.
kangen dengan orang satu daerah banyumasan.
berdialek banyumasan, karena dalam komunitas tersebut kadang diharuskan berbicara ngapak-ngapak, sehingga untuk lebih mengasah dialek ngapak-ngapak.
2.. Upaya secara individu
Di kampus ada kalanya menggunakan dialek banyumasan.
- -
Bergabung dengan komunitas banyumasan.
163
Lampiran 6 MATRIK HASIL PENELITIAN MAHASISWA LUAR BANYUMASAN
MATRIKS PERTANYAAN
INFORMAN 1 INFORMAN 2 INFORMAN 3
1. Makna dialek banyumasan yang didapat baik pada saat mendengarkan percakapan maupun persepsi awam.
Dialek yang aneh, unik, dan lucu
Dialek yang memiliki intonasi cepat, gemluthuk (rumit).dan ngapak-ngapak.
Lucu, nuansa humor dan membuat tertawa.
2. Kesan yang diperoleh pada saat mendengarkan percakapan yang berdialek banyumasan dan setelah nonton film “veronica”
Kesan pertama jadi mahasiswa yang mengenal heterogenitas asl daerah, mendengar dialek tertentu muncul perasaan shock. Kemudian ada sebuah pertanyaan didalam hati (termasuk dialek mana?, dia berbicara apa?). Selain itu juga, Ada perasaan dialek banyumasan termasuk dialek yang kasar (tidak ada unggah-ungguh) karena pada sat menonton film veronica, ada sebuah percakapan dari
Kesan yang diperoleh mendengar percakapan dialek banyumasan tidak memahami makna yang sedang dibicarakan hanya tersenyum dan lebih memperhatikan bahwa dialek banyumasan banyak pada penekanan huruf ‘k’ yang sangat mantap. Selain itu, penekanan tersebut juga memberikan suatu identitas dari orang banyumasan, karena dialeknya yang kelihatan jelas dan lugas.
Dialek banyumasan dari segi percakapan terlalu mematikan huruf tertentu seperti ‘k’, ‘g’, dan ‘d’. Sehingga dialek banyumasan yang terkesan tidak halus pengucapannya dan bernada tinggi masih seperti kelihatan orang ndeso dan katro.
164
seorang anak yang sekiranya seperti mengatai (menghina) orang tua sendiri.
165
Lampiran 7 MATRIKS HASIL PENELITIAN DAN TEORI
HASIL PENELITIAN KONSEP AGENSI KONSEP DETERMINASI
1. PERSEPSI, PERAN, DAN FAKTOR PEMILIHAN BAHASA v Persepsi dialek banyumasan
§ Dialek dengan logat cepat, ceplas-ceplos
§ Vocal ‘a’, konsonan ‘d’, ‘g’, dan ‘k’ yang mantap
§ Dialek yang tidak plin-lan, terbuka (fulgar) dan volume tinggi dalam pengucapannya.
§ Dialek yang datar § Kosakata banyak § Bernuansa lucu (humor) dan
polos. § Dialek yang menyatukan
penutur banyumasan (mahasiswa asli banyumasan) di wilayah UNS
§ Dialek yang merupakan wujud identitas wong banyumasan
§ Dialek tertua diantara dialek jawa lainnya.
Persepsi yang muncul dari mahasiswa asli banyumasan merupakan konsep agensi Giddens yang bermula dari membandingkan hasil dari tindakan kita di masa lalu dengan membuat penilaian tentang tindakan mana yang terbaik dan nilai yang telah dibangun secara sosial untuk kita sebelumnya. Karena persepsi itu sendiri merupakan hasil dari proses stereotip (labelisasi) yang berasal dari mahasiswa luar banyumasan dan mahasiswa asli banyumasan seperti Dialek dengan logat cepat, ceplas-ceplos, vocal ‘a’, konsonan ‘d’, ‘g’, dan ‘k’ yang mantap, dialek yang tidak plin-lan, terbuka (fulgar) dan volume tinggi dalam pengucapannya, dialek yang datar, kosakata banyak, bernuansa lucu (humor) dan polos.
-
v Peran dialek banyumasan § Mengenalkan keanekaragaman
budaya banyumasan (khususnya dialek banyumasan)
§ Mewujudkan identitas § Menyatukan antara penutur
(mahasiswa asli banyumasan). § Dialek banyumasan berperan
sebagai dialek yang dekat dengan stndarisasi ke bahasa Indonesia.
Peran dialek banyumasan menurut mahasiswa asli banyumasan yang ada di UNS sebagai gagasan untuk memilih berdasarkan nalar psikis dan emosional yang tidak pernah dapat sepenuhnya kita sadari. Hal ini bagian dari kedekatan emosional yang secara tidak langsung ingin menunjukan budaya banyumasan yang beranekaragam dari dialek, keinginan untuk menunjukkan identitas wong banyumasan dan sebagai alat menyatukan
-
166
mahasiswa asli banyumasan yang ada di UNS.
v Faktor pemilihan di kalangan mahasiswa asli banyumasan
§ Secara sadar memilih dialek yang sesuai dengan lawan bicara.
§ Memilih dialek di luar dialek banyumasan dengan tujuan untuk mempermudah komunikasi dengan mahasiswa luar banyumasan
§ Tujuan untuk mengenalkan dialek banyumasan di lingkungan kos dan kampus UNS.
Setelah adanya penanaman persepsi yang bermunculan, mengarah pada faktor pemilihan dialek banyumasan di kalangan mahasiswa asli banyumasan. Tindakan untuk melakukan pemilihan dengan membandingkan penilaian yang muncul (stereotip) sosial dengan pengalaman tindakan mahasiswa asli banyumasan (setelah bercakap-cakap dengan ngapak-ngapak) di wilayah UNS. Mahasiswa asli banyumasan melakukan pemilihan dialek selain karena kedekatan emosional yang secara nalar tanpa disadari dengan tujuan untuk mengenalkan dialek banyumasan, akan tetapi juga berkaitan dengan tindakan yang berorientasi pada masa lalu. Hal ini bermula pada persepsi yang bermunculan(stereotip/labelisasi) pada saat berbicara dengan mahasiswa luar banyumasan dengan tujuan untuk mempermudah interaksi dan komunikasi. Proses pemilihan dialek tersebut juga melibatkan adanya proses negosiasi yang secara asadar di lakukan dengan tujuan untuk mempermudah komunikasi dengan mahasiswa luar banyumasan.
-
2. PENGARUH LINGKUNGAN DALAM MEMPERTAHANKAN DIALEK BANYUMASAN (dilihat dari lingkungan kos dan kampus secara homogen dan heterogen) faktor intern meliputi :
Lingkungan kos dan kampus menjadi faktor yang penting terjadinya konstruksi budaya (identitas dialek banyumasan). Secara intern dapat dikaitkan dengan konsep agensi Giddens dengan melibatkan faktor
Konstruksi yang terjadi pada dialek banyumasan tidak terlepas dari lingkungan yang ada di wilayah
167
§ faktor diri tentang pemilihan dialek yang dipergunakan untuk berinteraksi dan berkomunikasi.
§ faktor perasaan malu, gengsi dan prestise mengenai pencitraan terhadap rendahnya dialek banyumasan yang identik dengan kelas menengah bawah.
faktor ekstern yang meliputi : § Faktor geografis secara umum
meliputi perbedaan wilayah banyumasan yang jauh dengan keraton dibandingkan dengan Solo. Secara spesifik yaitu perbedaan letak strategis kamar kos diantara informan banyumasan. Hal ini mencakup, kamar kos atau tempat kos yang homogen mahasiswa asli banyumasan dengan jumlah yang mayoritas dan heterogen (mayotitas mahasiswa luar banyumasan). Begitu juga yang terjadi di lingkungan kampus yaitu mengenai pola interaksi dan komunikasi dengan sesama mahasiswa dengan adanya perbedaaan asal daerah.
§ Faktor lingkungan pergaulan dan kebiasaan sehari-hari terutama kegiatan rutinitas pada saat berbicara denagn lawan bicara (mahasiswa lain).
§ Faktor untuk adaptasi dengan tujuan mempermudah menyesuaikan diri dengan teman di kos dan di kampus agar lebih interaktif dan komunikatif.
§ Faktor diglosa yang multilingual, yaitu adanya peran dua atau lebih bahasa jawa Solo dengan dialek banyumasan dalam satu lingkungan Solo.
§ Faktor pendidikan memberikan pengertian adanya latar belakang
pemilihan dialek di kalangan mahasiswa asli banyumasan di lingkungan kos dan kampus yang homogen dan heterogen. Faktor pemilihan berawal dari tindakan masa lalu (adanya stereotip) mengenai dialek banyumasan. Akan tetapi, adanya persepsi yang muncul bahwa pola makan akan mempengaruhi sifat seseorang merupakan bagian dari tindakan yang secara nalar dan berupa kedekatan emosinal yang tidak disadari sebelumnya. Lingkungan pergaulan di kos dan kampus merupakan suatu aktivitas yang berjalan terus-menerus. Begitu juga interaksi dan komunikasi di kalangan mahasiswa asli banyumasan dengan mahasiswa luar banyumasan. Kegiiatan yang berjalan secara terus-menerus dan sifatnya rutin akan menjadi suatu kebiasaan. Hal ini berlaku bagi penggunaan dialek di kalangan mahasiswa asli banyumasan, baik di kos dan di kampus yang akan membentuk kebiasaan penggunaan dialek yang dipergunakan dengan melihat dari lingkungan yang homogen dan heterogen.
UNS. Lingkungan kos dan kampus secara homogen dan heterogen akan berpengarh pada penggunaan dialek di kalangan mahasiswa asli banyumasan. Lingkungan tersebut meliputi pendidikan, diglosa, geografis kamar, adaptasi, budaya, dan tuntutan (harapan untuk cepat menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya). Selain itu, konstruksi muncul berasal dari persepsi mahasiswa asli banyumasan yang merasa malu, gengsi dan prestise pada saat menggunakan dialek banyumasan di lingkungan UNS. Persepsi yang demikian, muncul sebagai proses stereotip dari penanaman lingkungan sosial yang menyatakan adanya kekuasan simbolik dari suatu dialek
168
dunia perkuliahan yang merupakan jenjang tertinggi dari pendidikan formal lainnya, menjadi salah satu alternatif untuk meningkatkan taraf hidup yang lebih baik.
§ Pengaruh budaya mencakup perbedaan budaya Solo dan banyumasan.
§ Pola makan meliputi pengertian bahwa orang banyumasan lebih menyukai makanan pedas dibandingkan dengan orang Solo. Hal ini memberikan argumen bahwa jenis makanan yang berstruktur pedas lebih menguatkan daya semangat dan adrenalin sehingga mempengaruhi logat bicara dialek banyumasan yang bernada keras dan tegas.
§ faktor tuntutan yaitu berupa proses penyesuaian diri dengan lingkungan barunya.
§ Adanya stereotip (labelisasi) yang berasal dari mahasiswa luar banyumasan.
banyumasan. Kekuasan simbolik ini memiliki arti bahwa stereotip dan penanaman makna bahwa dialek banyumasan sebagai dialek masyarakat bawah dan kadang masih dianggap ndeso dan katro.
169
Lampiran 8 FOTO PENELITIAN
i
i
Foto 1. Peneliti bersama Ulya (mahasiswi asli Banjarnegara) pada saat pat time di Perpustakaan Pusat.
Foto 3. DD bersama teman-teman di kos yang mayoritas mahasiswa asli banyumasan.
Foto 5. film peronika pada awal durasi.
ii
ii
Foto 2. peneliti pada saat wawancara dengan DD (mahasiswa asli kebumen) di tempat kosnya.
Foto 4. dokumentasi salah satu informan pada saat buka bersama sesama mahasiswa asli banyumasan.
Foto 6. Percakapan antara Jamilah dengan mertuanya dalam dialek banyumasan di film peronika.
iii
iii
Foto 7. Nonton bareng film peronika di kos Wh, Ngoresan.
Foto 9. Salah satu informan asli banyumasan (ST) menyaksikan film peronika.
iv
iv
Foto 8. informan Wh bersama teman-teman pada saat di kantin sekitar kampus.
Foto 10. Salah satu mahasiswa luar banyumasan bersama teman-temannya di area kampus.
v
v
Lampiran 10
CURRICULUM VITAE
Nama : Meidawati Suswandari
NIM : K8405024
Temp, tgl lahir : Purbalingga, 12 Mei 1987
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Program Studi : Pendidikan Sosiologi Antropologi
Fakultas : KIP
Alamat : Dagan RT 02 / RW VIII, Kec.Bobotsari,
Kab.Purbalingga, Jawa Tengah 53353
Riwayat Pendidikan :
• SD Negeri 3 Dagan Tahun 1993-1999
• SMP Negeri 1 Bobotsari Tahun 1999-2002
• SMA Negeri 1 Bobotsari Tahun 2002-2005
• Universitas Sebelas Maret Surakarta Tahun 2005-2009
Nama Ayah : Ruswan
Pekerjaan : Bina Marga Banyumas Utara, Prov.Jateng
Nama Ibu : Kartini
Pekerjaan : Guru SD
Alamat : Dagan RT 02 / RW VIII, Kec.Bobotsari, Kab.Purbalingga,
Jawa Tengah 53353