IDENTIFIKASI JENIS DAN POTENSI TUMBUHAN PAKU DI …
Transcript of IDENTIFIKASI JENIS DAN POTENSI TUMBUHAN PAKU DI …
IDENTIFIKASI JENIS DAN POTENSI TUMBUHAN PAKU
DI SEKITAR CURUG LONTAR DESA KARYASARI
KECAMATAN LEUWILIANG KABUPATEN BOGOR
PUJA NURCAHYANI
PROGRAM STUDI BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2021 M / 1442 H
IDENTIFIKASI JENIS DAN POTENSI TUMBUHAN PAKU
DI SEKITAR CURUG LONTAR DESA KARYASARI
KECAMATAN LEUWILIANG KABUPATEN BOGOR
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains
Pada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
PUJA NURCAHYANI
11160950000012
PROGRAM STUDI BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2021 M / 1442 H
ii
IDENTIFIKASI JENIS DAN POTENSI TUMBUHAN PAKU
DI SEKITAR CURUG LONTAR DESA KARYASARI
KECAMATAN LEUWILIANG KABUPATEN BOGOR
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains
Pada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
PUJA NURCAHYANI
11160950000012
Menyetujui:
Pembimbing I, Pembimbing II,
Dr. Priyanti, M.Si. Dr. Dasumiati, M.Si.
NIP. 19750526 200012 2 001 NIP. 19730923 199903 2 002
Mengetahui,
Ketua Program Studi Biologi
Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidyatullah Jakarta
Dr. Priyanti, M.Si.
NIP. 19750526 200012 2 001
v
ABSTRAK
Puja Nurcahyani. Identifikasi Jenis dan Potensi Tumbuhan Paku di Sekitar
Curug Lontar Desa Karyasari Kecamatan Leuwiliang Kabupaten Bogor.
Skripsi. Program Studi Biologi. Fakultas Sains dan Teknologi. Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2021. Dibimbing oleh Priyanti dan
Dasumiati.
Tumbuhan paku merupakan tumbuhan kormus berspora, dan banyak tumbuh di
kawasan curug. Habitat tumbuhan paku akan terancam keberadaannya oleh
aktivitas pengembangan kawasan Curug Lontar sebagai geopark. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui jenis-jenis tumbuhan paku yang tumbuh di sekitar
Curug Lontar dan potensinya oleh masyarakat sekitar. Pengambilan sampel
dilakukan dengan metode jelajah. Informasi pemanfaatan tumbuhan paku diperoleh
melalui wawancara yang ditentukan dengan teknik purposive sampling, dan
snowball sampling. Identifikasi dilakukan dengan mengamati habitat, morfologi
vegetatif, dan generatif tumbuhan paku. Berdasarkan hasil identifikasi, ditemukan
18 jenis tumbuhan paku, yaitu Adiantum capillus-veneris, Asplenium nidus,
Christella dentata, Cibotium barometz, Deparia petersenii, Drynaria sparsisora,
Gleichenia linearis, Odontosoria chinensis, Phymatodes longissima,
Pityrogramma calomelanos, Platycerium bifurcatum, Pleocnemia irregularis,
Pteridium aquilinum, Pteris fauriei, P. vittata, Selaginella plana, S. willdenowi, dan
Tectaria vasta. Masyarakat sekitar Curug Lontar memanfaatkan P. irregularis
sebagai sayuran, S. willdenowi sebagai jamu paluluntur yang diminum pasca
persalinan, A. nidus, A. capillus-veneris, dan P. bifuractum sebagai tanaman hias.
Sebanyak 18 jenis tumbuhan paku yang tumbuh di sekitar Curug Lontar memiliki
potensi sebagai sayuran, tanaman hias, dan bahan obat tradisional.
Kata kunci: Curug Lontar; Identifikasi; Potensi; Tumbuhan Paku
vi
ABSTRACT
Puja Nurcahyani. Identification of Types and Potential of Ferns Around
Curug Lontar Karyasari Village Leuwiliang District Bogor Regency.
Departement of Biology. Faculty of Science and Technology. State Islamic
University Syarif Hidayatullah Jakarta. 2021. Advised by Priyanti and
Dasumiati.
Ferns are corms with spores, and many grow in the curug area. The habitat of ferns
will be threatened by the development of the Curug Lontar area as a geopark. This
study aims to determine the types of ferns that grow around Curug Lontar and their
potential by the surrounding community. Sampling was done by roaming method.
Information about the use of ferns was done by roaming method. Information on
the use of ferns was obtained through interviews with purposive sampling and
snowball sampling techniques. Identification is done by observing the habitat,
vegetative morphology, and generative of ferns. Based on the identification results,
18 types of ferns were found, namely Adiantum capillus-veneris, Asplenium nidus,
Christella dentata, Cibotium barometz, Deparia petersenii, Drynaria sparsisora,
Gleichenia linearis, Odontosoria chinensis, Phymatodes longissima,
Pityrogramma calomelanos, Platycerium bifurcatum, Pleocnemia irregularis,
Pteridium aquilinum, Pteris fauriei, P. vittata, Selaginella plana, S. willdenowi, and
Tectaria vasta. People around Curug Lontar make use of P. irregularis as
vegetables, S. willdenowi as a paluluntur herbal medicine that is taken after
childbirth, A. nidus, A. capillus-veneris, and P. bifurcatum as an ornamental plant.
As many as 18 types of ferns that grow around Curug Lontar have potential as
vegetables, ornamental plants, and ingredients for traditional medicine.
Keywords: Curug Lontar; Identification; Potency; Ferns
vii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penyusunan skripsi yang berjudul
“Identifikasi Jenis dan Potensi Tumbuhan Paku di Sekitar Curug Lontar Desa
Karyasari Kecamatan Leuwiliang Kabupaten Bogor” dapat terselesaikan
dengan baik. Selawat serta salam selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW
yang membawa kebaikan bagi seluruh umat manusia.
Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan
banyak pihak. Penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Nashrul Hakiem, S.Si., M.T., Ph.D selaku Dekan Fakultas Sains dan
Teknologi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Priyanti, M.Si. selaku Ketua Program Studi Biologi serta dosen
pembimbing I yang selalu memberikan bimbingan dan saran bermanfaat.
3. Narti Fitriana, M.Si. selaku Sekretaris Program Studi Biologi yang telah
membantu dalam administrasi.
4. Dr. Dasumiati, M.Si. selaku dosen pembimbing II yang telah memberikan
bimbingan dan arahan bermanfaat dalam penyusunan skripsi.
5. Ardian Khairiah, M.Si. selaku dosen penguji seminar proposal dan seminar
hasil yang telah memberikan kritik dan saran yang membangun.
6. Dr. Ir. Iwan Aminudin, M.Si. selaku dosen penguji seminar proposal dan
seminar hasil yang telah memberikan kritik dan saran yang membangun.
7. Kepala Desa dan staf yang telah membantu dalam penelitian ini.
8. Para pembantu lapangan dan responden yang telah membantu dalam
penelitian ini.
Penulis membuka diri terhadap kritik dan saran yang bersifat membangun.
Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Jakarta, April 2021
Penulis
viii
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ............................................................................................................. v
KATA PENGANTAR ......................................................................................... vii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... viii
DAFTAR TABEL .................................................................................................. x
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. xi
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ........................................................................................ 1
1.2. Rumusan Masalah ................................................................................... 3
1.3. Tujuan Penelitian .................................................................................... 3
1.4. Manfaat Penelitian .................................................................................. 3
1.5. Kerangka Berpikir Penelitian .................................................................. 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Curug Lontar ........................................................................................... 5
2.2. Profil Desa Karyasari .............................................................................. 6
2.3. Morfologi Tumbuhan Paku ..................................................................... 6
2.4. Klasifikasi Tumbuhan Paku .................................................................... 7
2.4.1. Kelas Psilophytinae (Paku Purba) .................................................. 7
2.4.2. Kelas Lycopodiinae (Paku Kawat atau Paku Rambat) ................... 8
2.4.3. Kelas Equisetinae (Paku Ekor Kuda) ............................................. 9
2.4.4. Kelas Filicinae (Paku Sejati) ........................................................ 10
2.5. Penyebaran dan Habitat Tumbuhan Paku ............................................. 11
2.6. Manfaat Tumbuhan Paku ...................................................................... 12
BAB III METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ............................................................... 14
3.2. Alat dan Bahan ...................................................................................... 14
3.3. Rancangan Penelitian ............................................................................ 14
3.4. Cara Kerja ............................................................................................. 15
3.4.1. Survei Awal dan Penentuan Lokasi Penelitian ............................. 15
3.4.2. Pengambilan Sampel .................................................................... 15
3.4.3. Pembuatan Herbarium .................................................................. 16
ix
3.4.4. Wawancara ................................................................................... 16
3.4.5. Deskripsi Tumbuhan Paku ........................................................... 17
3.4.6. Identifikasi Tumbuhan Paku......................................................... 17
3.4.7. Analisis Data ................................................................................ 18
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Jenis Tumbuhan Paku yang ditemukan di Sekitar Curug Lontar ......... 19
4.2. Deskripsi Tumbuhan Paku yang ditemukan di Sekitar Curug Lontar .. 21
4.3. Pemanfaatan Tumbuhan Paku di Sekitar Kawasan Curug Lontar ........ 40
4.3.1. Karakteristik Responden di Desa Karyasari ................................. 40
4.3.2. Pemanfaatan Tumbuhan Paku Masyarakat Sekitar Curug Lontar 41
4.3.3. Pemanfaatan Tumbuhan Paku sebagai Sayuran ........................... 42
4.3.4. Pemanfaatan Tumbuhan Paku sebagai Bahan Obat ..................... 42
4.3.5. Pemanfaatan Tumbuhan Paku sebagai Tanaman Hias ................. 43
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan ........................................................................................... 46
5.2. Saran ..................................................................................................... 46
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 47
LAMPIRAN ......................................................................................................... 58
x
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Jenis Tumbuhan Paku yang ditemukan di Sekitar Curug Lontar............ 19
Tabel 2. Data Responden Wawancara .................................................................. 40
Tabel 3. Pemanfaatan Tumbuhan Paku Masyarakat Sekitar Curug Lontar .......... 41
xi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Kerangka Berpikir Penelitian Identifikasi Jenis dan Potensi Tumbuhan
Paku di Sekitar Curug Lontar Desa Karyasari Kecamatan Leuwiliang
Kabupaten Bogor.................................................................................. 4
Gambar 2. Curug Lontar ......................................................................................... 5
Gambar 3. Morfologi Tumbuhan Paku ................................................................... 6
Gambar 4. Psilotum complanatum .......................................................................... 8
Gambar 5. Selaginella plana ................................................................................... 9
Gambar 6. Equisetum giganteum .......................................................................... 10
Gambar 7. Dicksonia antarctica ........................................................................... 11
Gambar 8. Peta Lokasi Penelitian di Kawasan Curug Lontar ............................... 14
Gambar 9. Morfologi Asplenium nidus ................................................................. 21
Gambar 10. Morfologi Deparia petersenii ........................................................... 22
Gambar 11. Morfologi Pteridium aquilinum ........................................................ 23
Gambar 12. Morfologi Cibotium barometz ........................................................... 24
Gambar 13. Morfologi Pleocnemia irregularis .................................................... 26
Gambar 14. Morfologi Gleichenia linearis ........................................................... 27
Gambar 15. Morfologi Odontosoria chinensis ..................................................... 28
Gambar 16. Morfologi Phymatodes longissima.................................................... 29
Gambar 17. Morfologi Drynaria sparsisora ......................................................... 30
Gambar 18. Morfologi Platycerium bifurcatum ................................................... 31
Gambar 19. Morfologi Adiantum capillus-veneris ............................................... 32
Gambar 20. Morfologi Pityrogramma calomelanos ............................................. 33
Gambar 21. Morfologi Pteris fauriei .................................................................... 34
Gambar 22. Morfologi Pteris vittata ..................................................................... 35
Gambar 23. Morfologi Selaginella plana ............................................................. 36
Gambar 24. Morfologi Selaginella willdenowi ..................................................... 37
Gambar 25. Morfologi Tectaria vasta .................................................................. 38
Gambar 26. Morfologi Christella dentata ............................................................ 39
Gambar 27. Tumis Paku Andam ........................................................................... 42
Gambar 28. Jamu Paluluntur ................................................................................ 43
Gambar 29. Pemanfaatan Platycerium bifurcatum ............................................... 44
Gambar 30. Pemanfaatan Asplenium nidus ........................................................... 44
Gambar 31. Pemanfaatan Adiantum capillus-veneris ........................................... 45
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Pertanyaan Wawancara Pemanfaatan Tumbuhan Paku .................... 58
Lampiran 2. Pemanfaatan Tumbuhan Paku Masyarakat Sekitar Curug Lontar.... 59
Lampiran 3. Potensi Tumbuhan Paku di Kawasan Curug Lontar ......................... 60
Lampiran 4. Proses Pembuatan Tumis Paku Andam dan Jamu Paluluntur ......... 62
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tumbuhan paku merupakan tumbuhan kormus berspora yang memiliki
karakteristik berupa daun muda menggulung seperti gagang biola. Tumbuhan paku
memiliki manfaat yang dapat digunakan untuk kesejahteraan makhluk hidup, yaitu
bahan pangan, obat-obatan, maupun tanaman hias. Tumbuhan paku secara ekologis
berperan dalam keseimbangan ekosistem hutan, yaitu pencegah erosi, pencampur
serasah bagi pembentukan hara tanah, dan produsen dalam rantai makanan
(Suraida, Susanti, & Amriyanto, 2013). Salah satu tempat yang memiliki
keanekaragaman tumbuhan paku di sekitar kaki Gunung Salak adalah air terjun atau
curug. Kawasan ini memiliki beberapa curug, yaitu Curug Cigamea, Curug Seribu,
Curug Ngumpet, Curug Cihurang, Curug Pangeran, dan Curug Lontar (Jatmika,
2018).
Geopark merupakan sebuah wilayah geografi tunggal atau gabungan yang
memiliki situs warisan geologi (geosite) dan bentang alam yang bernilai, terkait aset
warisan geologi (geoheritage), keragaman (geodiversity), keanekaragaman hayati
(biodiversity) dan keragaman budaya (cultural diversity), serta dikelola untuk
keperluan konservasi, edukasi dan pembangunan perekonomian masyarakat secara
berkelanjutan dengan keterlibatan aktif dari masyarakat dan pemerintah daerah
(Riyady, Siregar, & Nurhayati, 2019). Melalui Surat Keputusan Bupati Nomor
556/177/kpts/perUU/2018 tentang Penetapan Kawasan Geopark Pongkor pada
tanggal 26 Maret 2018, dan pada tanggal 30 November 2018 Geopark Pongkor di
tetapkan sebagai Geopark Nasional yang mencakup 15 kecamatan di wilayah
Kabupaten Bogor, yaitu kecamatan Ciampea, Jasinga, Leuwiliang, Leuwisadeng,
Nanggung, Pamijahan, Tenjo, Tenjolaya, Tamansari, Sukajaya, Rumpin, Ciseeng,
Cigudeg, Cibungbulang dan Parung, dengan luas wilayah 130 ribu ha (Yasin,
Burhanudin, & Purnawan, 2019).
Curug Lontar merupakan bagian dari Geopark Nasional Pongkor, dengan luas
kawasan 3 ha yang berlokasi di Desa Karyasari, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten
Bogor, Provinsi Jawa Barat (Bappedalitbang Kabupaten Bogor, 2019). Untuk
2
mewujudkan pembangunan dan pengembangan kawasan Curug Lontar tentunya
terdapat dukungan berupa infrastruktur dan fasilitas di kawasan tersebut. Masalah
yang dihadapi berkaitan dengan eksistensi tumbuhan paku di kawasan Curug
Lontar adalah akan adanya pengembangan kawasan tersebut yaitu berupa
pembukaan lahan untuk pembangunan sarana dan prasarana penunjang maka
dikhawatirkan akan terjadi gangguan terhadap ekosistem tumbuhan paku.
Masyarakat di sekitar Bogor masih mengandalkan pemenuhan kebutuhan
pangan dengan memanfaatkan potensi alam yang salah satunya adalah tumbuhan
paku yang dikonsumsi sebagai sayuran. Selain dikonsumsi pribadi, tumbuhan paku
juga diperjualbelikan untuk menambah pendapatan rumah tangga. Masyarakat di
sekitar Bogor juga memanfaatkan tumbuhan paku sebagai salah satu bahan dari
jamu yang biasanya diminum pasca persalinan. Dengan demikian tumbuhan paku
memiliki peran secara ekonomi (Turot, Polii, & Walangitan, 2016).
Penelitian tentang tumbuhan paku sudah dilakukan oleh Jamsuri (2007), yaitu
tumbuhan paku di sekitar Curug Cikaracak dapat dimanfaatkan sebagai tanaman
hias, kerajinan tangan, bahan obat tradisional, dan sayuran. Masyarakat sekitar
kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak memanfaatkan Selaginella
willdenowi untuk membersihkan darah kotor pasca persalinan dan S. plana sebagai
obat untuk menghentikan pendarahan (Wijayanto, 2009). Sedangkan pada
penelitian Syafrudin, Haryani, & Wiedarti (2016), masyarakat di sekitar Taman
Nasional Gunung Gede Pangrango memanfaatkan tumbuhan paku sebagai sayuran,
tanaman obat tradisional maupun tanaman hias yang dapat diperjualbelikan.
Berdasarkan survei awal yang telah dilakukan, kawasan Curug Lontar memiliki
keanekaragaman jenis tumbuhan paku yang belum dieksplorasi. Penelitian
mengenai potensi tumbuhan paku oleh masyarakat sekitar Curug Lontar juga belum
pernah dilakukan. Berdasarkan uraian di atas maka perlu diketahui jenis serta
potensi tumbuhan paku oleh masyarakat sekitar Curug Lontar agar informasi
pemanfaatan tumbuhan paku yang sudah turun-temurun tidak hilang.
3
1.2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada penelitian ini adalah:
a. Apa saja jenis-jenis tumbuhan paku yang tumbuh di sekitar kawasan Curug
Lontar Desa Karyasari Kecamatan Leuwiliang Kabupaten Bogor?
b. Apa saja potensi tumbuhan paku oleh masyarakat sekitar kawasan Curug
Lontar Desa Karyasari Kecamatan Leuwiliang Kabupaten Bogor?
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
a. Mengetahui jenis-jenis tumbuhan paku yang tumbuh di kawasan Curug
Lontar Desa Karyasari Kecamatan Leuwiliang Kabupaten Bogor.
b. Mengetahui potensi tumbuhan paku oleh masyarakat sekitar kawasan Curug
Lontar Desa Karyasari Kecamatan Leuwiliang Kabupaten Bogor.
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah:
a. Informasi mengenai potensi tumbuhan paku masyarakat sekitar kawasan
Curug Lontar.
b. Panduan, dan acuan untuk pengembangan penelitian yang terkait.
4
1.5. Kerangka Berpikir Penelitian
Kerangka berpikir penelitian ini ditampilkan dalam bagan (Gambar 1)
sebagai berikut:
Gambar 1. Kerangka Berpikir Penelitian Identifikasi Jenis dan Potensi Tumbuhan
Paku di Sekitar Curug Lontar Desa Karyasari Kecamatan Leuwiliang
Kabupaten Bogor
Tumbuhan paku memiliki manfaat untuk makhluk hidup maupun ekosistem
Penelitian mengenai identifikasi jenis dan potensi tumbuhan paku di sekitar
kawasan Curug Lontar belum pernah dilakukan
Masyarakat Kabupaten Bogor masih memanfaatkan tumbuhan paku untuk
dikonsumsi pribadi maupun diperjualbelikan
Perlu diadakan pendataan jenis dan potensi tumbuhan paku di sekitar
kawasan Curug Lontar
Kawasan Curug Lontar merupakan salah satu tempat vegetasi tumbuhan
paku
Metode yang digunakan yaitu metode jelajah, dan wawancara
menggunakan teknik purposive sampling, dan snowball sampling
Harapan penelitian adalah mengetahui jenis tumbuhan paku dan potensinya
agar informasi yang sudah turun-temurun tidak hilang
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Curug Lontar
Salah satu warisan bumi yang masuk ke dalam kawasan Geopark Nasional
Pongkor adalah Curug Lontar yang terletak di Desa Karyasari, Kecamatan
Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat (Gambar 2). Curug Lontar
merupakan bagian dari Sungai Cianten, yang berasal dari pegunungan Halimun
Salak. Sungai ini terhubung dengan aliran Sungai Cikaniki, dan bermuara ke aliran
Sungai Cisadane. Aliran sungai ini dijadikan sebagai sumber air untuk PLTA
(Pembangkit Listrik Tenaga Air) Cikaracak. Ketinggian Curug Lontar sekitar 35 m
dengan diameter kubangan 7000 m2, kedalaman 26 m, dan luas kawasan 3 ha
(Bappedalitbang Kabupaten Bogor, 2019).
Curug lontar merupakan situs geologi yang dibentuk oleh batuan gunung api
purba berumur antara Pliosen – Pleistosen (sekitar 4 – 2 juta tahun lalu). Di kawasan
ini terdapat batuan berbentuk seperti tiang (colonnade) yang ditutupi oleh batuan
dengan pola tidak beraturan (entablature). Kedua bentuk batuan tersebut bersumber
dari satu aliran lava yang membeku dengan cara berbeda. Entablature merupakan
bagian dari lava panas pijar, yang membeku secara cepat dengan bentuk tidak
beraturan akibat bersentuhan dengan udara dingin di permukaan bumi atau air. Pada
saat entablature sudah membeku, colonnade masih berupa cairan lava panas pijar.
Selanjutnya secara perlahan membeku membentuk pola seperti tiang
(Bappedalitbang Kabupaten Bogor, 2019).
Gambar 2. Curug Lontar (Dokumentasi Pribadi, 2020)
6
2.2. Profil Desa Karyasari
Desa Karyasari adalah salah satu desa yang secara administrasi terdapat di
Kabupaten Bogor terletak di Kecamatan Leuwiliang dengan luas wilayah 6.58,20
ha, dan jumlah penduduk 8.765 jiwa. Desa Karyasari terbentuk sekitar tahun
1979/1980 sebagai desa pemekaran dari Desa Karacak (Desa Karyasari, 2013).
Secara geografis Desa Karyasari terletak pada titik koordinat 106.6347 BT / -
6.614502 LS, ketinggian tanah dari permukaan laut 600 - 700 mdpl, dan curah hujan
300 - 450 MM. Desa ini berbatasan dengan Desa Pabangbon di sebelah barat, Desa
Puraseda di sebelah selatan, Desa Pamijahan di sebelah timur, dan Desa Karacak di
sebelah utara (Desa Karyasari, 2013).
2.3. Morfologi Tumbuhan Paku
Tumbuhan paku atau pteridophyta berasal dari bahasa yunani yaitu pteron yang
berarti sayap atau bulu, dan phyta yang berarti tumbuhan (Tjitrosomo et al., 2010).
Tumbuhan paku merupakan tumbuhan kormus berspora atau tumbuhan yang sudah
dapat dibedakan akar, batang, dan daunnya (Gambar 3).
Gambar 3. Morfologi Tumbuhan Paku (Dokumentasi Pribadi, 2020)
Pada umumnya tumbuhan paku memiliki akar yang kecil dan kasar, tetapi
terdapat beberapa tumbuhan paku yang memiliki akar yang berdaging dan halus
seperti pada famili Ophioglossaceae, dan famili Marattiaceae (Mickel, Wagner,
Gifford Walker, & Yatskievych, 2010). Akarnya berupa rizoid yang sifatnya seperti
akar serabut dengan ujung dilindungi kaliptra (Priawarsana & Purnaningsasi, 2013).
Daun
Tangkai
Caudex (rizoma tegak)
7
Tumbuhan paku memiliki batang yang terkadang tidak tampak. Tetapi pada
paku pohon, batangnya tumbuh menyerupai batang pinang. Beberapa jenis
tumbuhan paku yang hidup di tanah, batangnya tumbuh sejajar dengan tanah.
Batang ini sering tertutup rambut atau sisik yang berfungsi sebagai pelindung.
Karena tumbuhnya menyerupai akar, batang tersebut disebut rizoma atau rimpang.
(Sastrapradja, Afriastini, Darnaedi, & Widjaja, 1980).
Daun tumbuhan paku terdiri dari dua bagian, yaitu tangkai, dan helaian daun.
Susunan daun tumbuhan paku umumnya menyirip, dan pada bagian pucuk terdapat
bulu-bulu (Hasanuddin & Mulyadi, 2014). Tumbuhan ini memiliki jumlah helaian
daun tunggal maupun majemuk bersirip (Tjitrosomo et al., 2010). Ujung daun
tumbuhan paku yang masih muda selalu menggulung seperti gagang biola atau
dikenal dengan istilah fiddlehead dan menjadi ciri khas tumbuhan paku (Wibowo,
2019).
Pada permukaan bawah daun terdapat bintik-bintik yang terkadang tumbuh
teratur, menggerombol atau tersebar. Masing-masing bintik itu adalah kotak spora
yang dikenal dengan istilah sporangium. Kotak tersebut berisi spora yang
jumlahnya banyak, tetapi ukurannya sangat kecil. Dengan spora inilah tumbuhan
paku memperbanyak diri. Karena, jika kotak spora pecah, maka butir-butir spora
akan terbawa angin dan menyebar (Sastrapradja et al., 1980).
2.4. Klasifikasi Tumbuhan Paku
2.4.1. Kelas Psilophytinae (Paku Purba)
Paku purba merupakan jenis tumbuhan paku yang sebagian besar telah punah.
Jenis paku purba yang sampai saat ini masih ada hanya sebagian kecil dan
merupakan sisa dari jenis-jenis yang lebih banyak. Anggota dari paku purba
merupakan paku telanjang (tidak berdaun) atau mempunyai daun kecil (mikrofil)
(Tjitrosoepomo, 2011). Sebagian lagi belum memiliki akar, bercabang menggarpu
dengan sporangium pada ujung batang, dan bersifat homospora (Wibowo, 2019).
Paku ini terdiri atas 2 ordo yaitu: ordo Psilophytales dan ordo Psilotales. Ordo
Psilophytales merupakan tumbuhan paku yang paling rendah tingkat
perkembangannya, karena belum memiliki daun dan akar. Batangnya bercabang
menggarpu dengan sporangium diujung cabang. Ordo Psilophytales terdapat 3
8
famili yaitu famili Rhyniaceae, Asteroxylaceae, dan Pseudosporochnaceae
(Tjitrosoepomo, 2011). Famili Rhyniaceae memiliki 6 genus yaitu Rhynia,
Horneophyta, Sporogonities, Cooksonia, Yarravia, dan Hicklingia. Famili
Asteroxylaceae dan Pseudosporochnaceae masing-masing memiliki 1 genus yaitu
Asteroxylon dan Pseudosporochnus (Vashista et al., 2006).
Ordo Psilotales hanya memiliki 1 famili yaitu Psilotaceae dan memiliki 1 genus
yaitu Psilotum (Wardani, Hidayat, & Darnaedi, 2012). Psilotum (Gambar 4) berupa
terna kecil yang tidak memiliki akar, hanya memiliki tunas tanah dengan rizoid,
pada batangnya terdapat daun kecil berbentuk sisik, dan tidak bertulang
(Tjitrosoepomo, 2011).
Gambar 4. Psilotum complanatum (Wikimedia, 2012)
2.4.2. Kelas Lycopodiinae (Paku Kawat atau Paku Rambat)
Kelas Lycopodiinae memiliki daun yang berukuran kecil (mikrofil), tidak
bertangkai, dan bertulang satu. Daunnya ada yang berbentuk seperti jarum dan
tersusun spiral (Wibowo, 2019). Pada beberapa ordo daun tersebut memiliki lidah-
lidah (ligula) (Tjitrosoepomo, 2011).
Kelas Lycopidiinae terdiri atas 4 ordo yaitu ordo Lycopodiales, Selaginellales,
Lepidodendrales, dan Isoetales. Ordo Lycopodiales memiliki 1 famili yaitu
Lycopodiaceae dan memiliki 3 genus yaitu Huperzia, Lycopodium serta
Lycopodiella. Genus Lycopodium berupa terna kecil, batangnya tumbuh tegak atau
berbaring dengan cabang yang menjulang ke atas. Daunnya berbentuk garis atau
jarum. Ordo Selaginellales memiliki 1 famili yaitu Selaginellaceae dan 1 genus
yaitu Sellaginella (Gambar 5). Sebagian ordo ini mempunyai batang berbaring,
sebagian berdiri tegak, dan bercabang menggarpu. Pada batang terdapat daun kecil
9
yang berhadapan. Ordo Lepidodendrales memiliki 1 famili yaitu Lepidodendraceae
dan memiliki 4 genus yaitu Lepidodendron, Stigmaria, Sigillaria, dan
Lepidocarpon (Vashishta et al., 2006). Jenis-jenis tumbuhan yang tergolong dalam
ordo ini sekarang telah punah. Ordo Lepidodendrales berbentuk pohon dengan
tinggi mencapai 30 m. Ordo Isoetales memiliki 1 famili dan 1 genus yaitu
Isoetaceae dan Isoetes (Wardani et al., 2012). Tumbuhan dalam ordo ini berupa
terna, sebagian hidup tenggelam dalam air, sebagian lagi hidup pada tanah yang
basah, dan memiliki batang seperti umbi. Ordo ini mempunyai daun berujung lancip
yang panjangnya dapat mencapai 1 m (Tjitrosoepomo, 2011).
Gambar 5. Selaginella plana (Dokumentasi Pribadi, 2020)
2.4.3. Kelas Equisetinae (Paku Ekor Kuda)
Paku ekor kuda dapat ditemukan di tempat lembap. Batangnya bercabang,
berbuku-buku, beruas-ruas, memiliki daun yang berukuran kecil atau mikrofil
(Wibowo, 2019). Kelas Equisetinae dibagi dalam 3 ordo yaitu: ordo Equisetales,
Sphenophyllales, dan Protoarticulatales (Tjitrosoepomo, 2011). Ordo Equisetales
memiliki 1 famili dan 1 genus yaitu famili Equisetaceae dan genus Equisetum
(Gambar 6) (Wardani et al., 2012). Tumbuhan dalam ordo ini sebagian hidup di
darat dan sebagian hidup di rawa. Di dalam tanah tumbuhan ini mempunyai rizoma
yang merayap.
Ordo Sphenophyllales memiliki 1 famili yaitu Sphenophyllaceae dan memiliki
4 genus yaitu Sphenophyllum, Sphenophyllostachys, Bowmanites, dan Eviostachya.
Tumbuhan dari ordo ini hanya dikenal sebagai fosil dari zaman Paleozoikum
dengan daun menggarpu dan tulang daun bercabang menggarpu (Tjitrosoepomo,
10
2011). Ordo Protoarticulatales memiliki 1 famili dan 1 genus yaitu
Protohyeniaceae dan Protohyenia (Vashista et al., 2006). Warga ordo ini pun telah
menjadi fosil berupa semak kecil, batang bercabang menggarpu, dan mempunyai
helaian daun yang sempit (Tjitrosoepomo, 2011).
Gambar 6. Equisetum giganteum (Pinterest, 2020)
2.4.4. Kelas Filicinae (Paku Sejati)
Kelas Filicinae memiliki daun yang berukuran besar (makrofil), lebar,
bertangkai, tulang daun banyak, daun muda tergulung, dan mempunyai banyak
sporangium. Secara ekologi tumbuhan ini termasuk higrofit, banyak tumbuh di
tempat yang teduh dan lembap. Sehingga jika berada di tempat yang terbuka akan
mengalami kerusakan akibat penyinaran yang terlalu lama. Kelas Filicinae yang
masih hidup sampai sekarang dibedakan menjadi 3 anak kelas yaitu:
Eusporangiatae, Leptosporangiate (Filices), dan Hydropterides (Tjitrosoepomo,
2011).
Anak kelas Eusporangiate terdiri dari 2 ordo, yaitu: Ordo Ophioglossales dan
Marattiales. Ordo Ophioglossales terdiri dari 1 famili yaitu Ophioglossaceae dan
3 genus yaitu Botrychium, Helminyostachys, dan Ophioglossum. Ordo Marattiales
memiliki 1 famili yaitu Marattiaceae dan 3 genus yaitu Angiopteris, Christensenia,
dan Ptisana (Wardani et al., 2012).
Anak kelas Leptosporangiate terdiri dari beberapa Ordo yaitu: Osmundales,
Schizacales, Gleicheniales, Matoniales, Loxsomales, Hymenophyllales,
Dicksoniales, Thrysopteridales, Cyathales, dan Polypodiales. Leptosporangiate
terdiri dari beberapa famili yaitu: Osmundaceae, Schizaeaceae, Gleicheniaceae,
11
Matoniaceae, Hymenophyllaceae, Cyathaceae, dan Polypodiaceae. Famili
Osmundaceae, Schizaeceae, Gleichenaceae, Matoniaceae masing-masing
memiliki 2 genus yaitu famili Osmundaceae: Leptopteris dan Osmunda, famili
Schizaeaceae: Lygodium dan Schizea, famili Gleichenaceae: Dicranopteris dan
Gleichenia, famili Matoniaceae: Matonia dan Phanerosorus. Famili
Hymenphyllaceae terbagi menjadi 6 genus yaitu Callistopteris, Cephalomanes,
Didymoglossum, Hymenophyllum, Trichomanes, dan Vandenboschia. Famili
Cyathaceae terdiri dari 5 genus yaitu Cibotium, Culcita, Cyathea, Cystodium, dan
Dicksonia (Gambar 7). Famili Polypodiaceae terdiri beberapa genus yaitu
Acrosorus, Aglaomorpha, Arthremoris, Calymodon, Christiopteris,
Chrysogrammitis, Cochlidium, Ctenopterella, Dasygrammitis, Drynaria,
Ghoniophelibium, Grammitis, Lecanopteris, Lemmaphyllum, Lepisorus,
Leptochilus, Loxogrammae, Micropolypodium, dan lain sebagainya (Wardani et al.,
2012).
Anak kelas Hydropterides (paku air) memiliki 2 ordo yaitu ordo Salviniales dan
Marsileales. Ordo Salviniales memiliki 1 famili dan 1 genus yaitu Salviniaceae dan
Salvinia. Begitu juga dengan ordo Marsileales mempunyai 1 famili dan 1 genus
yaitu Marsileaceae dan Marsilea (Wardani et al., 2012).
Gambar 7. Dicksonia antarctica (Miguel, 2017)
2.5. Penyebaran dan Habitat Tumbuhan Paku
Pteridophyta tersebar di seluruh dunia, baik daerah tropis maupun daerah
beriklim sedang, kecuali daerah bersalju abadi dan daerah kering atau gurun
(Vashista et al., 2006). Jumlah jenis tumbuhan paku di dunia yang diketahui hampir
10.000 jenis dan diperkirakan yang tumbuh di Indonesia mencapai 3.000 jenis
12
(Hasanuddin & Mulyadi, 2014). Mengingat jumlah jenis tumbuhan paku yang
banyak, tumbuhan ini dapat ditemukan di tepi pantai sampai pegunungan.
Umumnya jumlah jenis paku di pegunungan lebih banyak dari pada di dataran
rendah. Hal ini disebabkan oleh kelembapan yang tinggi, banyak aliran air, dan
curah hujan yang tinggi (Sastrapradja et al., 1980).
Tumbuhan paku juga dapat dijumpai di kawah gunung (Sastrapradja et al.,
1980), padang terbuka, bahkan di lingkungan xerofitik (Tjitrosomo et al., 2010).
Tumbuhan paku pada umumnya tumbuh di daratan, pada tanah (terestrial),
menumpang di tumbuhan lain (epifit), dan di batu (epipetrik) (Tjitrosomo et al.,
2010). Selain itu, beberapa jenis tumbuhan paku dapat hidup di air (Sastrapradja et
al., 1980).
2.6. Manfaat Tumbuhan Paku
Jenis tumbuhan paku di bumi sangat beraneka ragam, masyarakat biasanya
memanfaatkan tumbuhan ini sebagai tanaman hias, sayuran, obat-obatan
tradisional, dan dipergunakan untuk berbagai keperluan lainnya. Banyak
diantaranya yang mempunyai bentuk menarik sehingga bagus untuk dijadikan
sebagai tanaman hias di dalam rumah, halaman rumah, taman, ataupun tanaman
hias jalan (Sastrapradja et al., 1980). Misalnya Adiantum cuneatum, Platycerium
coronatium, Asplenium nidus (Wibowo, 2019), Asplenium pellucidum, dan Dipteris
conjugate (Arini & Kinho, 2012).
Beberapa jenis tumbuhan paku dapat pula dimanfaatkan sebagai sayuran.
Pemanfaatan seperti ini dijumpai di sekitar Bogor, dan Sumatra Barat. Selain
dimanfaatkan untuk konsumsi pribadi, pucuk paku sayur juga biasa
diperjualbelikan (Sastrapradja et al., 1980). Misalnya Pteris mertensioides (Arini &
Kinho, 2012), Pteridium aquilinum, dan Marsilea crenata (Hasanuddin & Mulyadi,
2014).
Dari segi obat-obatan tradisional pteridophyta tidak luput dari kehidupan
manusia, baik bagian daun atau rizoma yang digunakan untuk membuat ramuan
obat (Lubis, 2009), seperti Dryopteris expansa sebagai obat penurun panas.
Lycopodium cernuum untuk obat batuk, dan lelah. Blechnum orientale untuk obat
bisul maupun gangguan saluran kemih. Lygodium circinatum dan Drynaria
13
sparsisora untuk obat luka (Suraida et al., 2013). Selain itu, dahulu masyarakat
sekitar kawasan Curug Lontar memanfaatkan Stenochlaena palustris sebagai obat
penambah darah bagi penderita anemia.
Batang tumbuhan paku yang sudah keras, dimanfaatkan untuk berbagai
keperluan. Tidak jarang dimanfaatkan sebagai tiang rumah sebagai pengganti kayu,
atau diukir untuk dijadikan patung seperti Cyathea contaminans (Lubis, 2009),
selain itu dapat juga dimanfaatkan sebagai bahan baku kerajinan tangan yaitu
Gleichenia linearis dan sebagai tali atau bahan pengikat yaitu Gleichenia hispida
(Arini & Kinho, 2012).
14
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan selama 6 bulan, yaitu bulan April – September 2020
meliputi pengambilan sampel, pembuatan herbarium, wawancara, identifikasi
sampel, dan analisis data. Penelitian ini dilakukan di kawasan Curug Lontar dan
sekitarnya yang berlokasi di Desa Karyasari, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten
Bogor (Gambar 8). Identifikasi sampel dilakukan di Jl. Subulussalam No.37,
Kampung Panggulan, Kelurahan Pengasinan, Kecamatan Sawangan, Kota Depok.
Gambar 8. Peta Lokasi Penelitian di Kawasan Curug Lontar
3.2. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat tulis, kamera handphone,
pisau potong, gunting, kantong plastik, dan botol semprot. Bahan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah alkohol 70%, tisu, kertas manila, kertas koran, kardus,
selotip, lem fox, tali rafia, tali benang, dan sampel tumbuhan paku.
3.3. Rancangan Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode jelajah (cruise
methods) dan wawancara. Metode jelajah dilakukan dengan menjelajahi seluruh
15
kawasan Curug Lontar yang luasnya 3 ha dan mengoleksi jenis tumbuhan paku
yang tumbuh di sepanjang jalur pengamatan.
Responden dipilih dari masyarakat sekitar Curug Lontar yang mengetahui
potensi tumbuhan paku menggunakan teknik purposive sampling dan snowball
sampling. Teknik purposive sampling merupakan teknik pengambilan sampel
dengan tujuan atau kriteria tertentu (Asnawi & Wijaya, 2005) sedangkan teknik
snowball sampling adalah teknik pemilihan responden yang dilakukan berdasarkan
rekomendasi dari responden sebelumnya (Nurdiani, 2015).
3.4. Cara Kerja
3.4.1. Survei Awal dan Penentuan Lokasi Penelitian
Survei awal dilakukan untuk mengetahui tumbuhan paku di sekitar kawasan
Curug Lontar dan menentukan jalur pengamatan. Jalur pengamatan mengikuti jalan
setapak atau track yang sudah ada di kawasan Curug Lontar. Lokasi sampling
dibagi menjadi tiga jalur pengamatan yang berbeda-beda jaraknya karena terdapat
jurang yang terjal dan arus sungai yang deras.
Jalur pengamatan 1 pada sisi kanan dan kiri jalan menuju kawasan Curug Lontar
berjarak 95 m, jalur pengamatan 2 adalah pada sisi kiri sungai berjarak 160 m (sisi
kanan sungai memiliki arus yang deras, dan kedalaman air yang tinggi ± 1,5 m).
Jalur pengamatan 3 adalah pada sisi kanan dan kiri jalan menuju kawasan Curug
Lontar berjarak 130 m. Ketiga jalur pengamatan tersebut merupakan akses menuju
kawasan Curug Lontar.
3.4.2. Pengambilan Sampel
Sebelum pengambilan sampel tumbuhan paku di habitat alami, sampel tersebut
akan didokumentasikan berupa gambar dengan menggunakan kamera handphone.
Sampel tumbuhan paku yang digunakan pada penelitian terdiri atas caudex (rizoma
tegak atau menjalar), batang, daun dengan atau tanpa spora yang diambil dengan
cara mencabut satu individu tumbuhan paku dan dimasukkan kedalam kantong
plastik. Individu tumbuhan paku yang sulit dicabut dicungkil tanahnya
menggunakan pisau potong hingga individu bisa terambil. Kemudian sampel
tumbuhan paku dicuci dengan air bersih dan diletakkan diatas kertas koran.
16
Selanjutnya, semua sampel tumbuhan paku yang berbeda jenis akan diamati,
dikoleksi dan dibuat herbarium kering.
3.4.3. Pembuatan Herbarium
Pembuatan herbarium tumbuhan paku dilakukan dengan menggunakan teknik
herbarium kering (Tjitrosoepomo, 2011). Sampel tumbuhan paku yang akan dibuat
herbarium harus lengkap, terdiri dari caudex (rizoma tegak atau menjalar), batang,
daun yang disertai dengan spora jika ada. Hal ini untuk memberikan informasi yang
lengkap tentang tumbuhan paku yang dikoleksi.
Sampel tumbuhan paku dirapikan dan diletakkan pada kertas koran sambil
disemprot dengan alkohol 70%. Pemberian alkohol berfungsi untuk menjaga agar
tumbuhan paku yang diambil tidak rusak (membusuk atau berjamur) (Tamin,
Anggraini, & Ulfa, 2017). Sampel tumbuhan paku ditata rapi dalam kertas koran,
dan diapit dengan kardus. Selanjutnya, sampel tumbuhan paku dijemur di bawah
sinar matahari langsung sampai benar-benar kering. Sampel tumbuhan paku yang
telah kering ditempel pada kertas manila. Kemudian diberi label yang berisi
informasi mengenai tanggal, tempat tumbuh, nama kolektor, famili, genera, nama
ilmiah, nama lokal, dan deskripsi tumbuhan paku tersebut.
3.4.4. Wawancara
Responden dipilih dengan teknik purposive sampling dan snowball sampling.
Responden terdiri atas informan kunci yang banyak memiliki pengetahuan tentang
kondisi masyarakat sekitar kawasan Curug Lontar yaitu staf kesejahteraan rakyat
Desa Karyasari. Selanjutnya, peneliti menggunakan teknik snowball sampling yang
bertujuan untuk mengembangkan informasi dari informan kunci. Kriteria
responden yang ditunjuk oleh informan kunci, yaitu masyarakat sekitar Curug
Lontar yang memanfaatkan tumbuhan paku.
Wawancara dilakukan secara terstruktur dan dilakukan secara langsung atau
tatap muka dengan memberikan beberapa pertanyaan yang sudah disiapkan, seperti
jenis tumbuhan paku yang dimanfaatkan, cara pemanfaatan, bagian yang
dimanfaatkan, cara pengolahan, lokasi pengambilan, dan intensitas pemanfaatan
17
tumbuhan paku (Lampiran 1). Kemudian, jawaban responden dicatat di lembar
pertanyaan atau direkam dengan menggunakan handphone.
Kategori jumlah responden yang diperlukan untuk metode snowball sampling
adalah 2 – 9 orang untuk kategori kecil, sedang 10 – 30 orang, dan besar >30 orang
(Nurdiani, 2015). Penelitian ini menggunakan ukuran sampel sedang, dimana
jumlah responden pada penelitian ini sebanyak 10 orang (3 laki-laki dan 7
perempuan). Pemilihan responden berdasarkan mata pencaharian, yaitu pegawai
negeri sipil, karyawan swasta, dan ibu rumah tangga. Usia responden yang
diwawancarai berkisar antara usia 33 – 60 tahun.
3.4.5. Deskripsi Tumbuhan Paku
Deskripsi tumbuhahan paku dilakukan dengan mengamati karakter morfologi
vegetatif, generatif dan habitat. Karakter morfologi vegetatif yang diamati adalah
caudex (rizoma tegak atau menjalar), batang, daun sedangkan karakter morfologi
generatif berupa spora. Deskripsi tumbuhan paku dilakukan dengan mengamati
bentuk rizoma, warna rizoma, arah tumbuh batang, warna batang, warna tangkai
daun, warna daun, bentuk daun, bentuk ujung daun, bentuk tepi daun, bentuk
pangkal daun, permukaan daun, letak spora, dan warna spora. Suatu jenis tumbuhan
paku yang tidak ditemukan spora maka akan diamati pada karakter morfologi
vegetatif dan habitatnya.
3.4.6. Identifikasi Tumbuhan Paku
Identifikasi dilakukan di Jl. Subulussalam No.37, Kampung Panggulan,
Kelurahan Pengasinan, Kecamatan Sawangan, Kota Depok. Karakter morfologi
yang sudah dibuat deskripsinya kemudian dicocokan dengan buku identifikasi
tumbuhan paku dan artikel-artikel yang sudah dipublikasi pada jurnal. Buku
identifikasi tumbuhan paku yang digunakan, yaitu Jenis Paku Indonesia
(Sastrapradja et al., 1980), Kerabat Paku (Sastrapradja & Afriastini, 1985), Plant
Resources of South-East Asia Cryptogams: Ferns and Fern Allies (De winter &
Amoroso,2003), dan Botany for Degree Students Pteridophyta (Vashista et al.,
2006). Artikel-artikel tentang tumbuhan paku yang dipublikasi antara lain hasil
18
penelitian Kinho (2009), Adjie & Lestari (2011), Hartanto, Rosaline, & Baskoro
(2015), Dewi & Ayatusa’adah (2017), dan Riastuti & Ernawati (2018).
3.4.7. Analisis Data
Data hasil penelitian ditabulasikan berdasarkan famili, genera, nama ilmiah,
nama lokal, dan cara hidup. Data yang sudah diperoleh dianalisis secara deskriptif
berupa nama-nama jenis tumbuhan paku, deskripsi jenis, dan manfaatnya.
19
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Jenis Tumbuhan Paku yang ditemukan di Sekitar Curug Lontar
Berdasarkan hasil identifikasi tumbuhan paku di sekitar kawasan Curug
Lontar, Desa Karyasari, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor ditemukan 18
jenis tumbuhan paku yang dikelompokkan dalam 16 genera dan 12 famili. Jenis
tumbuhan paku yang ditemukan disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Jenis tumbuhan paku yang ditemukan di Sekitar Curug Lontar
Famili Genera Nama ilmiah Nama lokal Cara hidup
Aspleniaceae Asplenium Asplenium
nidus
Kadaka Terestrial
Athyriaceae Deparia Deparia
petersenii
Paku wanita
jepang
Terestrial
Dennstaedtiaceae Pteridium Pteridium
aquilinum
Paku garuda Terestrial
Dicksoniaceae Cibotium Cibotium
barometz
Paku monyet Terestrial
Dryopterdiaceae Pleocnemia Pleocnemia
irregularis
Paku andam Terestrial
Gleicheniaceae Gleichenia Gleichenia
linearis
Paku rasam Terestrial
Lindsaeaceae Odontosoria Odontosoria
chinensis
Paku camara Terestrial
Polypodiaceae Drynarisa Drynaria
sparsisora
Paku
langlayangan
Epipetrik
Phymatodes Phymatodes
longissima
Paku leyat Epipetrik
Platycerium Platycerium
bifurcatum
Paku tanduk
rusa
Epifit
Pteridaceae Adiantum Adiantum
capillus-
veneris
Suplir Terestrial
Pityrogramma Pityrogramma
calomelanos
Paku perak Terestrial
Pteris Pteris fauriei Paku rem Epipetrik
P. vittata Paku pedang Epipetrik
Selaginellaceae Selaginella Selaginella
plana
Rane biru Epipetrik
S. willdenowi Rane halus Terestrial
Tectariaceae Tectaria Tectaria vasta Paku tombak Terestrial
Thelypteridaceae Christella Christella
dentata
Paku binung Terestrial
20
Komposisi tumbuhan paku yang ditemukan di kawasan Curug Lontar memiliki
kesamaan jenis dengan tumbuhan paku yang ditemukan di kawasan Curug
Cikaracak Bogor yang diteliti oleh Jamsuri (2007). Tumbuhan Paku yang dijumpai
di kedua lokasi, yaitu Gleichenia linearis, Drynaria sparsisora, Phymatodes
longissima, dan Selaginella willdenowi. Hal tersebut dapat dipengaruhi oleh faktor
lingkungan seperti iklim, tanah maupun topografi (Kurniawan & Parikesit, 2008).
Sebanyak 18 jenis tumbuhan paku yang ditemukan termasuk ke dalam 12
famili, dimana Pteridaceae merupakan famili yang memiliki keanekaragaman jenis
yang paling tinggi sebanyak 4 jenis. Hal tersebut karena jenis-jenis tumbuhan paku
dari famili Pteridaceae merupakan tumbuhan paku yang mampu tumbuh pada
daerah yang terbuka dan kering. Hingga daerah yang lembap dan ternaungi (Astuti,
Murningsih, & Jumari, 2017), serta bersifat kosmopolitan atau dapat ditemukan di
berbagai habitat baik di darat maupun di air (Abotsi, Radji, Rouhan, Dubuisson, &
Kouami, 2015).
Jenis yang paling sedikit ditemukan dari famili Aspleniaceae, Athyriaceae,
Dennstaedtiaceae, Dicksoniaceae, Dryopteridaceae, Tectariaceae, Lindsaeaceae,
Gleicheniaceae, dan Thelypteridaceae yang masing-masing familinya terdiri atas
satu jenis. Hal tersebut dapat disebabkan oleh adanya tekanan ekologi baik yang
berasal dari faktor biotik yaitu persaingan antar individu tumbuhan untuk setiap
tingkatan (Hadi, Widyastuti, & Wahyuono, 2016), maupun faktor abiotik yaitu
iklim dan tanah (Katili, 2013).
Tumbuhan paku yang ditemukan di sekitar Curug Lontar tumbuh secara
terestrial (permukaan tanah), epifit (menumpang pada tumbuhan lain), dan epipetrik
(menumpang di bebatuan). Sebanyak 11 jenis tumbuhan paku yang hidup secara
terestrial diantaranya Adiantum capillus-veneris, Asplenium nidus, Deparia
petersenii, Pteridium aquilinum, Cibotium barometz, Pleocnemia irregularis,
Gleichenia linearis, Odontosoria chinensis, Pityrogramma calomelanos,
Selaginella willdenowi, Tectaria vasta, dan Christella dentata. Tumbuhan paku
yang ditemukan hidup secara epifit yaitu Platycerium bifurcatum, dan tumbuhan
paku yang ditemukan hidup secara epipetrik yaitu Phymatodes longissima,
Drynaria sparsisora, Pteris fauriei, P. vittata, dan Selaginella plana (Tabel 1).
21
4.2. Deskripsi Tumbuhan Paku yang ditemukan di Sekitar Curug Lontar
1. Famili Aspleniaceae
Famili Aspleniaceae biasa dikenal dengan sebutan paku sarang atau
spleenworth. Famili ini merupakan tumbuhan paku terestrial, epipetrik atau epifit,
rizomanya pendek, menjalar maupun tegak, bersisik, berambut, dan memiliki
bentuk sorus yang menyerupai garis yang berada di sepanjang kanan dan kiri tulang
daun pada daun tunggal atau ibu tulang daun pada daun majemuk (Sofiyanti &
Harahap, 2019). Famili Aspleniaceae memiliki 2 genera dan 650 jenis yang
terdistribusi subkosmopolitan, tetapi paling banyak di wilayah tropis (De Winter &
Amoroso, 2003).
a. Asplenium nidus
Asplenium nidus atau kadaka merupakan jenis tumbuhan paku terestrial.
Rizoma menjalar, berwarna coklat tua, dan berambut. Tangkai daunnya pendek,
berwarna hitam, dan tertutup bulu halus. Daunnya tunggal berwarna hijau muda
dengan warna daun bagian bawah lebih pucat, permukaan daun licin, tekstur daun
seperti kertas, bentuk daunnya lanset, dengan ujung daun meruncing, tepi daun rata,
dan pangkal daun berlekuk. Spora terletak di bawah permukaan daun, melekat
sepanjang kanan dan kiri tulang daun, berwarna coklat muda, dan berbentuk bangun
garis (Gambar 9).
Gambar 9. Morfologi Asplenium nidus (Carolina, 2020)
Asplenium nidus berasal dari Malaya dan kini tersebar luas di seluruh daerah
tropis. Tumbuhan paku jenis ini dapat tumbuh di daerah pantai sampai daerah
pegunungan dengan ketinggian 2.500 mdpl. Di alam bebas sering ditemukan
tumbuh secara epifit pada batang pohon yang tinggi. A. nidus menyukai daerah yang
agak lembab dan tidak tahan sinar matahari langsung. Tumbuhan ini telah lama
dikenal sebagai tanaman hias yang biasa ditanam dalam pot atau menempel pada
Daun
Spora
22
pohon pekarangan rumah (Sastrapradja et al., 1980). A. nidus memiliki kandungan
senyawa metabolit sekunder berupa fenol dan flavonoid yang dimanfaatkan untuk
pengobatan asma, kelelahan, dan obat malaria (Adawiyah, 2020). Manfaat lain
yang dimiliki oleh A. nidus adalah sebagai penyubur rambut, obat penenang,
demam, sakit kepala (A'tourrohman et al., 2020), kaki gajah, pembesaran limfa
(Tnunay & Hanas, 2020), kontrasepsi, bengkak, memar (Adriani & Tjandrawati,
2019), dan obat gigitan atau sengatan hewan berbisa (Ridianingsih et al., 2017).
2. Famili Athyriaceae
Famili Athyriaceae merupakan salah satu famili dalam ordo Polypodiales.
Famili ini merupakan tumbuhan paku terestrial atau epilitik, rizomanya panjang
atau pendek, menjalar maupun tegak, terdapat sisik, dan terkadang berbulu. Famili
Athyriaceae memiliki 5 genera dan 600 jenis yang tersebar di seluruh dunia dari
wilayah tropis hingga dingin (Wang, Zhaorong, & Kato, 2013).
a. Deparia petersenii
Deparia petersenii atau paku wanita jepang merupakan jenis tumbuhan paku
terestrial. Rizoma menjalar, berwarna coklat kehitaman. Tangkai daunnya tegak,
berwarna hijau muda, dan terdapat bulu halus berwarna putih. Daunnya majemuk
bersirip ganjil, berwarna hijau muda, permukaan daun berbulu halus berwarna
putih, bentuk daunnya lanset, dengan ujung daun runcing, tepi daun beringgit, dan
pangkal daun rata. Spora terletak di bawah permukaan daun, di dekat pertulangan
daun, berwarna putih, berbentuk bulat (Gambar 10).
Gambar 10. Morfologi Deparia petersenii. A. Habitat alami; B. Herbarium
(Dokumentasi Pribadi, 2020)
Deparia petersenii terdistribusi di Asia, Jepang, Korea, China, Kepulauan
Pasifik, dan Australia. Habitat D. petersenii yaitu di daerah lembap, di semak
Daun
Tangkai
Rizoma
A B
23
belukar, dan daerah hutan (Gul, 2017). Tumbuhan ini mampu hidup pada kondisi
lingkungan yang memiliki naungan tidak terlalu rapat mulai dari dataran rendah
hingga dataran tinggi (Yudhoyono, 2013). Daun muda D. petersenii dimanfaatkan
untuk menyembuhkan batuk (Sathiyaraj, Muthukumar, & Ravindran, 2015), dan
flu (Nikmatullah, Renjana, Muhaimin, & Rahayu, 2020).
3. Famili Dennstaedtiaceae
Famili Dennstaedtiaceae merupakan salah satu dari lima belas famili dalam
ordo Polypodiales. Famili ini merupakan tumbuhan paku terestrial atau memanjat,
rizomanya menjalar panjang, biasanya ditutupi rambut atau bulu, dan tidak terdapat
sisik (Yuehong et al., 2013). Famili Dennstaedtiaceae memiliki 10 genera dan 250
jenis yang kebanyakan terdistribusi di daerah tropis, tetapi juga meluas ke daerah
beriklim sedang (Yatskievych, William, & Melissa, 2017).
a. Pteridium aquilinum
Pteridium aquilinum atau paku garuda merupakan tumbuhan paku terestrial
yang hidup ditempat ternaungi. Rizoma menjalar, ditutupi rambut halus berwarna
coklat. Tangkai daunnya tegak, berwarna hijau muda. Daun P. aquilinum termasuk
daun majemuk bersirip ganjil, berwarna hijau muda, permukaan daunnya licin atau
mengkilat, bentuk daunnya memanjang, dengan ujung daun runcing, tepi daun
beringgit, dan pangkal daun rata (Gambar 11).
Gambar 11. Morfologi Pteridium aquilinum. A. Habitat alami; B. Herbarium
(Dokumentasi Pribadi, 2020)
Pteridium aquilinum tersebar di Alaska, California, Meksiko, Texas, Florida,
Jepang, Hawai, Himalaya, Taiwan, Srilanka, Indonesia, dan Filipina. Tumbuhan ini
hidup di padang rumput, lereng, daerah pertanian yang ditinggalkan, kawah
vulkanik, dan semak belukar yang tingginya dapat mencapai 2 m. Tumbuhan ini
Daun
Tangkai
Rizoma
B A
24
dapat tumbuh dari ketinggian 0 – 3300 mdpl (Marrs & Watt, 2006). P. aquilinum
memiliki kandungan anti-tiamin yang bermanfaat untuk membasmi serangga,
sebagai tanaman hias, dan penyubur lahan gambut (Donnelly, Robertson, &
Robinson, 2002). Di Bangka Belitung daun P. aquilinum dimanfaatkan sebagai obat
luka infeksi (Nurtjahya & Sari, 2013). Masyarakat Angola, Kamerun, Gabon,
Madagaskar, Nigeria, dan Afrika Selatan memanfaatkan P. aquilinum sebagai
bahan sayuran (Maroyi, 2014). Selain itu, abu P. aquilinum juga dapat
dimanfaatkan sebagai sumber kalium atau pupuk (Pamungkas, 2014).
4. Famili Dicksoniaceae
Famili Dicksoniaceae merupakan salah satu jenis paku pohon yang masuk ke
dalam ordo Cyatheales. Famili ini merupakan tumbuhan paku terestrial, rizomanya
tegak, daunnya dapat mencapai beberapa meter (Noben & Lehnert, 2013). Famili
Dicksoniaceae memiliki 6 genera dan 40 jenis yang terdistribusi di daerah tropis
hingga daerah selatan dunia (Kubitzki, 1990).
a. Cibotium barometz
Cibotium barometz atau paku monyet merupakan salah satu jenis paku pohon
terestrial. Batangnya tegak, berwarna coklat, dan ditumbuhi rambut mengkilap
berwarna kuning sampai coklat keemasan yang teksturnya lembut. Daunnya
majemuk bersirip ganjil, berwarna hijau tua, permukaan daun licin, bentuk daun
memanjang, ujung daun runcing, tepi daun bergerigi, dan pangkal daun rata
(Gambar 12).
Gambar 12. Morfologi Cibotium barometz (Dokumentasi Pribadi, 2020)
Paku monyet merupakan tumbuhan asli dari China yang tersebar dari Tiongkok
Selatan hingga Malaya termasuk Sumatera dan Jawa. Paku ini dapat dapat hidup
pada hutan tropika basah dari ketinggian 600 – 800 mdpl (Geiger et al., 2013). Di
Daun
Batang
25
Asia Tenggara C. barometz dimanfaatkan untuk tujuan pengobatan, baik
pengobatan tradisional maupun pengobatan modern (Zhang, Jia, & Zhang, 2008).
Rizoma pada C. barometz memiliki kandungan antiinflamasi dan ekstrak
rambutnya memiliki kandungan antioksidan serta antibakteri (Hartati, Rugayah, &
Praptosuwiryo, 2016). Rizoma C. barometz memiliki potensi sebagai obat penyakit
pernafasan akut yang disebabkan oleh virus corona (SARS-CoV) (Wen et al.,
2011). Daun paku monyet berkhasiat untuk asam urat (Rumouw, 2017). Dahulu
masyarakat sekitar kawasan Curug Lontar memanfaatkan batang C. barometz
sebagai kerajinan tangan berupa pot bunga dan rambut-rambut C. barometz sebagai
bunga. Selain itu, batangnya juga dapat dimanfaatkan untuk obat sakit pinggang
(Tudjuka, Ningsih, & Toknok, 2014), dan media tumbuh anggrek (Oldfield, 1995),
serta rambut-rambut yang melapisi paku monyet bermanfaat untuk menghentikan
pendarahan pada bisul dan luka (Saeni, 2015). Paku monyet juga bermanfaat untuk
obat maag, pingsan, dan prostat (Nikmatullah et al., 2020). Sedangkan, Masyarakat
Mengkiang, Sanggau, Kalimantan Barat memanfaatkan C. barometz untuk
mengobati rematik dan keputihan (Haryono, Wardenaar, & Yusro, 2014).
5. Famili Dryopteridaceae
Famili Dryopteridaceae merupakan salah satu famili dalam ordo Polypodiales.
Famili ini merupakan tumbuhan paku terestrial atau epifit, rizomanya menjalar atau
tegak, dan terdapat sisik dibagian ujungnya. Famili Dryopteridaceae memiliki 25
genera dan 2.100 jenis yang tersebar hampir kosmopolitan, tetapi keanekaragaman
tertinggi terdapat di Asia Timur (Libing et al., 2013).
a. Pleocnemia irregularis
Pleocnemia irregularis atau paku andam merupakan tumbuhan terestrial yang
hidup ditempat yang ternaungi. Rizomanya tegak, berwarna coklat kehitaman,
bagian ujung ditutupi oleh sisik yang tipis dan rapat. Tangkai daunnya tegak,
berwarna hijau kemerahan. Daunnya majemuk bersirip ganjil, berwarna hijau
terang, permukaan daun licin, bentuk daun lanset, ujung daun runcing, tepi daun
beringgit, pangkal daun rata, dan anak daun paling bawah memanjang ke bawah
seperti pita (Gambar 13).
26
Gambar 13. Morfologi Pleocnemia irregularis. A. Habitat alami; B. Herbarium
(Dokumentasi Pribadi, 2020)
Pleocnemia irregularis terdistribusi di wilayah Myanmar, Asia Tenggara,
Kepulauan Caroline, Kepulauan Solomon, dan Fiji. P. irregularis biasanya tumbuh
di permukaan hutan yang ternaungi, tepi hutan, bukit, sekitar perumahan, areal
pertamanan, dan dapat tumbuh hingga ketinggian 800 mdpl. Paku andam biasanya
tumbuh liar di alam dan sering dimanfaatkan sebagai sayuran. Di Asia Tenggara,
daun muda yang masih menggulung biasanya dikonsumsi mentah sebagai salad,
lalapan, atau dikukus sebagai sayur. Bagian akar, dan rizoma dapat dijadikan obat
untuk mengobati kulit kudis. Daun serta pucuk paku andam dapat menanggulangi
demam akibat malaria (De winter & Amoroso, 2003). Manfaat lain dari paku andam
yaitu sebagai obat untuk menyembuhkan diare (Eswani et al., 2010), dan obat luka
pendarahan (Nikmatullah et al., 2020). Masyarakat Dusun Kaliurang Barat, Sleman
Yogyakarta memanfaatkan P. irregularis sebagai tanaman hias (Wakhidah & Sari,
2019). Selain itu, di kawasan hutan Baduy, Kabupaten Lebak, Rangkasbitung-
Banten Selatan, P. irregularis merupakan jenis tumbuhan untuk pakan kukang
(Wirdateti, Setyorani, Suparno, & Handayani, 2005).
6. Famili Gleicheniaceae
Famili Gleicheniaceae merupakan pakis bercabang yang masuk ke dalam ordo
Gleicheniales. Famili ini merupakan tumbuhan paku terestrial atau epipetrik,
memiliki rizoma menjalar, dan terdapat sisik atau rambut (Lima & Salino, 2018).
Famili Gleicheniaceae memiliki 6 genera dan 140 jenis yang terdistribusi di daerah
tropis maupun subtropis (Brownsey & Perrie, 2018).
Daun
Tangkai
Rizoma
A B
27
a. Gleichenia linearis
Gleichenia linearis atau paku rasam merupakan tumbuhan terestrial yang hidup
di tempat terbuka. Rizoma menjalar, berwarna coklat. Tangkai daun bercabang
menggarpu dimana setiap cabang akan bercabang dua, teksturnya licin, berwarna
kuning kecoklatan. Daunnya majemuk menyirip, berwarna hijau tua, permukaan
daun licin, bentuk daun lanset, ujung daun tumpul, tepi daun rata, dan pangkal daun
rata (Gambar 14).
Gambar 14. Morfologi Gleichenia linearis. A. Habitat alami; B. Herbarium
(Dokumentasi Pribadi, 2020)
Paku rasam dapat ditemukan di daerah tropis maupun subtropis di Asia dan
Pasifik. Panjang tumbuhan ini bisa mencapai 10 m atau lebih dan sering dijumpai
di tebing yang teduh, lembap, lereng, perkebunan karet atau sawit mulai dari
ketinggian 100 mdpl hingga 1500 mdpl. G. linearis mengandung senyawa
flavonoid, alkaloid, steroid, saponin, tanin, quinon (Komalasari et al., 2018), dan
triterpenoid (Susanti, Isda, & Fatonah, 2014). Masyarakat Desa Bakung Kecamatan
Indralaya Utara memanfaatkan daun G. linearis sebagai obat sakit kepala
(Komalasari et al., 2018). Dahulu tangkai daun paku rasam dimanfaatkan sebagai
pena. Di Bangka Belitung paku rasam dimanfaatkan sebagai bahan baku kerajinan
anyaman seperti kopiah atau songkok, kotak tisu, pot bunga, topi, tas, gelang, dan
hiasan dinding (Hartanto et al., 2015). Di beberapa daerah dimanfaatkan untuk mata
pisau (Sastrapradja et al., 1980), obat demam maupun sakit pinggang (Fitri,
Oktiarni, & Arso, 2018). Selain itu, G. linearis dapat juga dimanfaatkan sebagai
bioherbisida (Susanti et al., 2014), maupun sebagai media tanam organik (Setiadi,
Yolandari, & Mindawati, 2012).
Daun
Tangkai
Rizoma
A B
28
7. Famili Lindsaeaceae
Famili Lindsaeaceae merupakan salah satu famili dalam ordo Polypodiales.
Famili ini merupakan tumbuhan paku terestrial, jarang memanjat atau epifit,
rizomanya menjalar, dan ditutupi sisik atau rambut (Shiyong, Sujuan, &
Christenhusz, 2013). Famili Lindsaeaceae memiliki 7 genera dan 220 jenis (Xu &
Deng, 2017) yang terdistribusi di daerah tropis, dan beberapa jenis meluas ke daerah
subtropis di Amerika Selatan, Asia Timur maupun Selandia Baru (Lehtonen et al.,
2010).
a. Odontosoria chinensis
Odontosoria chinensis atau paku camara merupakan tumbuhan terestrial.
Rizoma menjalar, berwarna coklat kemerahan. Tangkai daunnya tegak, berwarna
hijau kemerahan. Daun paku camara majemuk bersirip ganjil, berwarna hijau
zaitun, permukaan daun licin, bentuk daun segitiga terbalik, ujung daun berbentuk
rompang, tepi daun rata, dan pangkal daun rata. Spora terletak di bawah daun di
bagian ujung daun, berbentuk bulat, dan berwarna putih (Gambar 15).
Gambar 15. Morfologi Odontosoria chinensis. A. Habitat alami; B. Herbarium
(Dokumentasi Pribadi, 2020)
Odontosoria chinensis dapat tumbuh dari ketinggian 100 - 2500 mdpl, biasanya
tumbuh di tepi sungai, semak belukar, hutan terbuka, lereng, dan tebing curam.
Paku camara tersebar luas di daerah tropis maupun subtropis, dari Madagaskar
(tetapi tidak di benua Afrika), seluruh Asia Tenggara, Polinesia, Hawaii, Jepang,
dan Korea. Di Filipina O. chinensis dimanfaatkan sebagai obat dan tanaman hias.
Bagian tumbuhan yang masih segar atau kering dapat digunakan untuk melawan
disentri bakteri, enteritis, keracunan makanan, penangkal gigitan ular berbisa, luka
berdarah, bisul, luka bakar, serta infeksi saluran pernafasan. Di daerah pegunungan
Jawa O. chinensis ditanam sebagai hiasan (De winter & Amoroso, 2003). Daun
Daun
Tangkai
Rizoma
A B
29
paku camara mengandung senyawa antimikroba yang dapat dimanfaatkan sebagai
obat sakit gigi (Rout, Panda, & Mishra, 2019), dan pewarna coklat alami (Efendi et
al., 2016). Selain itu, masyarakat sekitar Gunung Gandangdewata, Kabupaten
Mamasa memanfaatkan daun O. chinensis sebagai pakan ternak (Achmadi et al.,
2018). Manfaat lain dari paku camara adalah sebagai obat bengkak atau memar,
keseleo, radang usus, dan peluruh air seni (Nikmatullah et al., 2020).
8. Famili Polypodiaceae
Famili Polypodiaceae merupakan salah satu famili dalam ordo Polypodiales.
Famili ini merupakan tumbuhan paku epifit dan epilitik, beberapa terestrial,
rizomanya menjalar, dan terdapat sisik. Famili Polypodiaceae memiliki 50 genera
dan 1.200 jenis yang terdistribusi di wilayah tropis hingga daerah beriklim sedang
(Xianchun et al., 2013).
a. Phymatodes longissima
Phymatodes longissima atau paku leyat merupakan tumbuhan epipetrik yang
menempel pada batu. Rizomanya menjalar, berwarna hijau. Tangkai daunnya tegak,
berwarna hijau kekuningan. Tekstur daun tipis, berwarna hijau terang, tipe daun
majemuk bercangap menyirip, permukaan daun licin, bentuk daun lanset, ujung
daun meruncing, tepi daun rata, dan pangkal daun rata. Spora terletak dibawah
permukaan daun dekat ibu tulang daun, berwarna jingga, membentuk bulatan, dan
berjajar. Permukaan atas daun berbenjol-benjol sesuai dengan letak spora (Gambar
16).
Gambar 16. Morfologi Phymatodes longissima. A. Habitat alami; B. Herbarium
(Dokumentasi Pribadi, 2020)
Paku leyat biasanya tumbuh pada tempat terbuka seperti di perkebunan kopi,
padang alang-alang, padang rumput, dan ladang. Dapat hidup hingga ketinggian
Daun
Tangkai
Rizoma
A B
30
900 mdpl. Jenis ini menyebar di kawasan Assam, Indocina, dan Malesia
(Sastrapradja et al., 1980). Tunas dan daun muda paku leyat dapat dimanfaatkan
sebagai bahan makanan baik dimakan langsung, disayur, ditumis atau dikukus
(Yunasfi, 2013). Selain itu, masyarakat di kawasan Gunung Tambora Sumbawa
memanfaatkan P. longissima sebagai tanaman hias (Wibawa & Peneng, 2013).
b. Drynaria sparsisora
Drynaria sparsisora atau paku langlayangan merupakan tumbuhan paku
epipetrik yang hidup menempel di bebatuan. Rizomanya menjalar, ditutupi sisik
berwarna coklat tua yang pendek dan keras. Tangkai daunnya tegak, berwarna hijau
muda. Daunnya majemuk bercangap menyirip, berwarna hijau tua, permukaan daun
licin, bentuk daun lanset, ujung daun runcing, tepi daun rata, dan pangkal daun rata
(Gambar 17).
Gambar 17. Morfologi Drynaria sparsisora. A. Habitat alami; B. Herbarium
(Dokumentasi Pribadi, 2020)
Paku langlayangan tersebar luas di daerah Srilanka, Malaysia hingga ke
Polinesia, dan Australia Tropika. Di alam tumbuhan ini seringkali ditemukan di
bebatuan, di daerah yang terbuka, disepanjang tepi sungai, dan di pepohonan yang
tinggi. Ental muda paku langlayangan sering digunakan sebagai sayuran
(Sastrapradja et al., 1980). Batang D. sparsisora dimanfaatkan oleh masyarakat
Suku Muna Kecamatan Wakarumba, Sulawesi Tenggara sebagai obat batu ginjal
(Windadri, Rahayu, Uji, & Rustiami, 2006). Daun D. sparsisora dimanfaatkan
untuk obat hipertensi (Suraida et al., 2013), dan usus turun (Idris, Ibrahim, &
Nurgahani, 2018). Masyarakat Desa Mengkiang Kecamatan Sanggau Kapuas
Kabupaten Sanggau memanfaatkan D. sparsisora sebagai obat tumor (Haryono et
al., 2014). Masyarakat di sekitar Hutan Pendidikan Wanagama Yogyakarta
Daun
Tangkai
Rizoma
A B
31
memanfaatkan D. sparsisora sebagai obat spiritual (obat kerasukan dan obat
santet), pakan ternak, bahan kerajinan tangan, dan alat permainan anak (Romdhoni,
Reginald, Nurhadi, Octaviani, & Sedayu, 2015). Sedangkan, masyarakat di
kawasan Estuaria Takisung Kabupaten Tanah Laut memanfaatkan akar D.
sparsisora sebagai obat sakit mata dan diare (Lestari, 2016). Selain itu, D. sparsiora
juga dapat dimanfaatkan sebagai obat luka (Suraida et al., 2013) maupun tanaman
hias (Wibawa & Peneng, 2013).
c. Platycerium bifurcatum
Platycerium bifurcatum atau paku tanduk rusa merupakan tumbuhan epifit yang
hidup menempel di pohon. Rizoma menempel pada pohon inang, berwarna coklat,
dan tertutup oleh daun-daun penyangga sehingga tidak terlihat. Daunnya tunggal
bercabang menggarpu, berwarna hijau muda, permukaan daunnya kasar, ujung
daun runcing, tepi daun rata, pangkal daun runcing, dan pada permukaan daun
bagian bawah berbulu tipis. Spora terdapat di ujung daun bagian bawah yang
menutupi seluruh permukaan berwarna coklat (Gambar 18).
Gambar 18. Morfologi Platycerium bifurcatum (Dokumentasi Pribadi, 2020)
Platycerium bifurcatum berasal dari Australia dan Kaledonia Baru, kemudian
tersebar di daerah tropis. Di Indonesia P. bifurcatum ditemukan di Jawa, Papua,
Nusa Tenggara, Sumatera, dan Pulau Kangean yang dapat tumbuh menjuntai
hingga 1 m. Tumbuhan ini dapat tumbuh dengan baik pada tempat terbuka dari
dataran rendah hingga ketinggian 500 mdpl. Di alam biasanya P. bifurcatum
tumbuh menempel pada batang pohon yang besar, di kebun karet, dan hutan jati.
Tumbuhan ini umumnya dimanfaatkan sebagai tanaman hias (Sastrapradja et al.,
1980). Potensi lain yang dimiliki oleh P. bifurcatum adalah sebagai tanaman obat
tradisional. Masyarakat Desa Tanah Hitam Bengkulu Utara memanfaatkan daun
Daun
32
dan rizoma P. bifurcatum sebagai obat sakit kepala dan penurun panas (Supriati,
Nurliana, & Malau, 2012). Sedangkan, masyarakat Suku Dayak Kanayatn Desa
Ambawang memanfaatkan P. bifurcatum sebagai perangkat ritual pengobatan
(Fadilah, Lovadi, & Linda, 2015). Selain itu, daun P. bifurcatum juga dapat
dimanfaatkan sebagai obat menyuburkan kandungan, obat bisul (Zuraida, Dalem,
& Joni, 2018), dan berpotensi sebagai adsorben atau zat penyerap timbal
(Fascavitri, Rachmadiarti, & Bashri, 2018).
9. Famili Pteridaceae
Famili Pteridaceae merupakan salah satu famili dalam ordo Polypodiales.
Famili ini merupakan tumbuhan paku terestrial atau epilitik, beberapa epifit,
rizomanya tegak atau menjalar, memiliki sisik berwarna coklat atau hitam. Famili
Pteridaceae memiliki 50 genera dan 950 jenis yang terdistribusi subkosmopolitan,
tetapi paling banyak di daerah tropis dan gersang (Gangmin et al., 2013).
a. Adiantum capillus-veneris
Adiantum capillus-veneris atau suplir merupakan tumbuhan terestrial. Rizoma
menjalar dengan sisik berwarna coklat. Tangkai daunnya melengkung, berwarna
hitam mengkilat, dan halus. Suplir memiliki tipe daun majemuk bersirip ganjil,
warna daun hijau tua pada bagian atas serta hijau muda pada permukaan bawah,
daun berbentuk membulat, permukaan daun licin, pangkal daun tumpul, tepi daun
rata, dan ujung daun berlekuk. Spora terletak pada bagian tepi sisi bawah daun,
berbentuk bulat, berwarna coklat (Gambar 19).
Gambar 19. Morfologi Adiantum capillus-veneris (Dokumentasi Pribadi, 2020)
Adiantum capillus-veneris berasal dari Amerika tetapi ditemukan di seluruh
dunia. Tumbuhan ini ditemukan di Himalaya Barat pada ketinggian 2.400 mdpl dan
meluas ke Manipur, Punjab, Bihar, Maharasthra, India Selatan, hingga Jepang dan
Daun
33
Asia Tenggara (Khan, Kapoor, & Parveen, 2017). Tumbuhan ini menyukai daerah
yang ternaungi, lembap, dan tidak menyukai sinar matahari langsung. Di alam
tumbuhan ini biasa tumbuh di dinding kolam, pagar, sumur, selokan, tepi sungai,
dan air terjun. Suplir dapat tumbuh di dataran rendah maupun di dataran tinggi.
Tumbuhan ini umumnya dimanfaatkan sebagai tanaman hias dan berpotensi
dijadikan pemanis dalam rangkaian bunga potong (Lestari, 2011). Suplir
mengandung flavonoid, triterpenoid, steroid (Ibrahiem, Ahmed, & Gouda, 2011),
dan antimikroba untuk melawan Escherichia coli, Trichopyton rubrum, dan
Aspergillus tereus (Lestari, 2011). Selain itu, suplir juga berpotensi dijadikan
sebagai obat untuk menyembuhkan penyakit cacar (Trivedi, 2009).
b. Pityrogramma calomelanos
Pityrogramma calomelanos atau paku perak merupakan tumbuhan terestrial
yang hidup di tempat terbuka. Rizoma menjalar, berwarna coklat tua. Tangkai
daunnya tegak, berwarna merah kecoklatan. Paku perak memiliki tipe daun
majemuk bersirip ganjil, warna daun hijau tua, permukaan daun licin, bentuk daun
lanset, ujung daun runcing, tepi daun bergerigi, dan pangkal daun runcing. Spora
berupa serbuk berwarna putih yang tersebar diseluruh permukaan bawah daun
(Gambar 20).
Gambar 20. Morfologi P. calomelanos. A. Habitat alami; B. Herbarium
(Dokumentasi Pribadi, 2020)
Pityrogramma calomelanos berasal dari Amerika wilayah tropis dan kini
tersebar luas di Asia wilayah tropis. Di alam tumbuhan paku ini biasa tumbuh di
tepi sungai baik ditempat terbuka maupun ditempat yang agak terlindungi, di lereng
bukit, dan bekas tembok tua (Ridianingsih, Pujiastuti, & Hariani, 2017). Paku perak
dapat hidup di dataran rendah maupun dataran tinggi hingga ketinggian 1200 mdpl.
Daun
Tangkai
Rizoma
A B
34
Di dalam P. calomelanos terkandung senyawa metabolit sekunder golongan
saponin, steroid (Yusna, Sofiyanti, & Fitmawati, 2016), dan flavonoid yang
berpotensi sebagai bahan antibakteri (Julita & Suyatno, 2012). Menurut Sukumaran
& Kuttan (1991) P. calomelanos memiliki potensi aktivitas sitotoksik dan
antitumor. Masyarakat sekitar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango
memanfaatkan paku perak sebagai tanaman hias yang dapat diperjualbelikan
(Syafrudin et al., 2016). Masyarakat di sekitar Taman Nasional Kayan Mentarang
memanfaatkan paku perak sebagai bahan makanan (Uluk, Sudana, & Wollenberg,
2001). P. calomelanos juga bermanfaat untuk fitoremediasi tanah yang tercemar
Arsenik (Muslimah, 2017), Timbal, dan Zink (Mustafa & Wahyuni, 2018). Selain
itu, paku perak juga bermanfaat sebagai obat malaria, sakit ginjal (Nikmatullah et
al., 2020), dan penyakit disentri (De Winter & Amoroso, 2003).
c. Pteris fauriei
Pteris fauriei atau paku rem merupakan tumbuhan paku epipetrik yang hidup
menempel dibebatuan. Tumbuhan ini hidup di tempat yang teduh. Rizomanya
tegak, berwarna coklat. Tangkai daunnya tegak, berwarna hijau, dan terdapat bulu
berwarna putih. Daun P. fauriei merupakan daun majemuk bersirip ganjil, berwarna
hijau muda, permukaan daun licin atau mengkilat, bentuk daun lanset, ujung daun
runcing, tepi daun bergerigi, dan pangkal daun rata (Gambar 18).
Gambar 21. Morfologi Pteris fauriei. A. Habitat alami; B. Herbarium
(Dokumentasi Pribadi, 2020)
Pteris fauriei terdistribusi di Jepang, Cina, Kepulauan Ryukyu, Taiwan, dan
Vietnam. Di Jawa, P. fauriei umumnya tumbuh di tempat yang teduh yaitu di bawah
pohon maupun di semak belukar. Tumbuhan ini dapat hidup di tanah humus atau
bebatuan (Praptosuwiryo, 2008). P. fauriei berpotensi dimanfaatkan sebagai
Daun
Rizoma
Tangkai
A B
35
fitoremediasi lingkungan yang terkontaminasi logam berat Arsenik (Wang et al.,
2007).
d. Pteris vittata
Pteris vittata atau paku pedang merupakan tumbuhan paku epipetrik yang
tumbuh menempel pada bebatuan. Rizomanya menjalar, bersisik, berwarna coklat
tua. Tangkai daunnya tegak, kaku, berwarna hijau kemerahan. P. vittata memiliki
daun berwarna hijau muda, dengan tipe daun majemuk bersirip ganjil, permukaan
daun licin atau mengkilat, bentuk daun lanset, ujung daun runcing, tepi daun rata,
dan pangkal daun rata (Gambar 22).
Gambar 22. Morfologi Pteris vittata. A. Habitat alami; B. Herbarium
(Dokumentasi Pribadi, 2020)
Pteris vittata merupakan tumbuhan paku liar yang tersebar di daerah tropis
maupun subtropis. Jenis ini dapat hidup mulai dari daerah dataran rendah hingga
dataran tinggi (2000 mdpl). P. vittata hidup di daerah yang terbuka. Tumbuhan ini
hidup menempel pada bebatuan di pinggir jalan atau celah tembok bangunan
(Elsifa, Arisandy, & Harmoko, 2019). Di dalam P. vittata terkandung senyawa
metabolit sekunder yaitu flavonoid dan saponin (Yusna et al., 2016). P. vittata juga
dapat dimanfaatkan sebagai tanaman hias (Suharni, Titisari, & Elfis, 2019),
tanaman hiperakumulator terhadap logam berat merkuri (Akbar, 2017), dan sumber
antioksidan untuk mencegah penuaan serta penyakit kronis (Singh, Malhotra, &
Singh, 2015).
10. Famili Selaginellaceae
Famili Selaginellaceae biasa dikenal dengan sebutan tapak dara, cakar ayam,
dan rane yang masuk ke dalam ordo Selaginellales. Famili ini merupakan tumbuhan
Daun
Tangkai
Rizoma
A B
36
paku terestrial, epilitik, atau terkadang epifit, rizomanya tegak atau menjalar, dan
bercabang. Famili Selaginellaceae memiliki 1 genus dan 750 jenis (Jermy, 1990),
yang terdistribusi kosmopolitan dengan keanekaragaman tertinggi di daerah tropis
(Xianchun et al., 2013).
a. Selaginella plana
Selaginella plana atau rane biru merupakan tumbuhan epipetrik yang hidup
menempel pada batu. Tumbuhan paku ini terdapat di daerah yang teduh dan lembap.
Rizomanya tegak, berwarna merah kehijauan, dan terdapat rambut pada
permukaanya. Daun tumbuhan ini berukuran kecil, berwarna biru mengkilat,
permukaan daun licin, bentuk daun memanjang, ujung daun runcing, tepi daun rata,
serta pangkal daun rata (Gambar 23).
Gambar 23. Morfologi Selaginella plana. A. Habitat alami; B. Herbarium
(Dokumentasi Pribadi, 2020)
Selaginella plana tersebar di Asia Tenggara, di Jawa tumbuhan ini dapat
tumbuh hingga ketinggian 750 mdpl. Di daerah yang cocok tumbuhan ini dapat
mencapai panjang 1 m. Pada umumnya S. plana ditemukan dipinggir sungai atau di
lereng-lereng jurang yang lembap dan ternaungi. Di dalam S. plana terkandung
senyawa metabolit sekunder yaitu saponin, tanin, dan flavonoid yang bermanfaat
sebagai antioksidan (Miftahudin, Steyaningsih, & Chikmawati, 2015). Di Indonesia
biasanya tumbuhan ini dimanfaatkan sebagai obat luka-luka ringan (Heyne, 1988).
Masyarakat Dayak dan masyarakat sekitar Taman Wisata Alam Gunung Pancar
memanfaatkan S. plana sebagai obat untuk menghentikan pendarahan (Wijayanto,
2009). Sedangkan, masyarakat Wonosobo memanfaatkannya sebagai obat penyakit
jantung dan stroke. Selain itu, masyarakat Banjarmasin juga memanfaatkan S. plana
sebagai obat malaria (Setyawan, 2009). Di Maluku Utara tumbuhan paku ini
dimanfaatkan sebagai penangkal roh halus dan ular berbisa (Kinho, 2009). Manfaat
Daun
Rizoma
A B
37
lain dari S. plana yaitu untuk obat ulu hati maupun dijadikan tanaman hias
(Sastrapradja et al., 1980).
b. Selaginella willdenowi
Selaginella willdenowi atau rane halus hidup terestrial di daerah yang terpapar
cahaya matahari dan sedikit ternaungi. Rizomanya tegak, bersisik halus, berwarna
merah kecoklatan. Daun S. willdenowi berwarna hijau, jika terpapar cahaya daun
akan terlihat berwarna metallic, permukaan daun licin, bentuk daun memanjang,
ujung daun runcing, tepi daun rata, serta pangkal daun rata (Gambar 24).
Gambar 24. Morfologi Selaginella willdenowi. A. Habitat alami; B. Herbarium
(Dokumentasi Pribadi, 2020)
Selaginella willdenowi dapat ditemukan di hutan yang tidak begitu lebat,
semak belukar, pinggir hutan, pinggir jalan, serta pada tebing-tebing yang curam
(Heyne, 1988). Tinggi tumbuhan ini dapat mencapai 1 – 2 m, tersebar di Asia
Tenggara dan dapat hidup di dataran rendah maupun di dataran tinggi hingga
ketinggian 1200 m. Daun muda tumbuhan ini dimanfaatkan sebagai sayuran di
kawasan Pulau Jawa, sedangkan di Malaya dimanfaatkan sebagai obat sakit panas,
dan abu tumbuhan ini dimanfaatkan sebagai obat gosok pada penderita sakit
pinggang (Sastrapradja et al., 1980). Manfaat lain dari S. willdenowi yaitu sebagai
jamu yang biasanya diminum pasca persalinan, obat oles pada penyakit kulit, obat
luka-luka yang disebabkan oleh harimau, maupun obat luka-luka ringan (Heyne,
1988). Masyarakat di sekitar Gunung Bunder memanfaatkan S. willdenowi sebagai
lalapan yang berkhasiat untuk meningkatkan daya tahan tubuh (Wijayanto, 2009).
Selain itu, S. willdenowi juga dapat dimanfaatkan sebagai kerajinan tangan atau
ornamen (Bisay, Mofu, & Rahawarin, 2019).
Daun
Rizoma
A B
38
11. Famili Tectariaceae
Famili Tectariaceae merupakan salah satu famili dalam ordo Polypodiales.
Famili ini merupakan tumbuhan paku terestrial, tinggi 10 - 300 cm, rizomanya tegak
atau menjalar, dan terdapat sisik berwarna coklat (Fuwu, Yuehong, & Chriztenhusz,
2013). Famili Tectariaceae memiliki 20 genera dan 400 jenis yang terdistribusi di
seluruh wilayah tropis (Wang & Wu, 1999), dan beberapa jenis meluas hingga utara
dan selatan daerah beriklim sedang (Brownsey & Perrie, 2018).
a. Tectaria vasta
Tectaria vasta atau paku tombak merupakan tumbuhan paku terestrial yang
hidup di tempat lembap. Tumbuhan ini memiliki rizoma tegak, berwarna hijau, dan
terdapat sisik berwarna coklat. Tangkai daunnya tegak, berwarna hijau kecoklatan,
dan terdapat bulu berwarna merah. Daunnya majemuk bercangap menyirip,
berwarna hijau muda, permukaan daunnya licin atau mengkilat, bentuk daun
memanjang, dengan ujung daun runcing, tepi daun rata, dan pangkal daun rata
(Gambar 25).
Gambar 25. Morfologi Tectaria vasta. A. Habitat alami; B. Herbarium
(Dokumentasi Pribadi, 2020)
Tectaria vasta umumnya tumbuh di dekat hutan yang lebat, di daerah berbukit,
dan di dekat sungai (Haque et al., 2017). Tingginya dapat mencapai 60 – 150 cm.
Tumbuhan ini dapat tumbuh dari ketinggian 600 - 800 mdpl dan terdistribusi di
Yunnan, India, Indonesia maupun Thailand (Fuwu et al., 2013). Akar T. vasta dapat
dimanfaatkan untuk mengobati tumor perut (Rahman, Uddin, & Wilcock, 2007).
12. Famili Thelypteridaceae
Famili Thelypteridaceae merupakan salah satu famili dalam ordo Polypodiales.
Famili ini merupakan tumbuhan paku terestrial atau epifit di atas bebatuan,
Rizoma
Daun
Tangkai
A B
39
rizomanya tegak atau menjalar, dan terdapat sisik berwarna coklat. Famili
Thelypteridaceae memiliki 20 genera dan 1.000 jenis yang terdistribusi di wilayah
tropis maupun subtropis, keanekaragamannya lebih banyak di dataran rendah dan
lebih sedikit di wilayah beriklim sedang (Youxing, Zhongyang, Iwatsuki, & Smith,
2013).
a. Christella dentata
Christella dentata atau paku binung merupakan tumbuhan paku terestrial.
Rizomanya tegak dan terdapat ramenta atau sisik berwarna coklat dipermukaanya.
Tangkai daunnya tegak, berwarna hijau. Daun C. dentata termasuk daun majemuk
bersirip ganjil, berwarna hijau muda, permukaan daunnya licin atau mengkilat,
bentuk daun lanset, ujung daun runcing, tepi daun beringgit, dan pangkal daun rata.
Spora terletak di bawah permukaan daun, di dekat pertulangan daun, berwarna
krem, berbentuk bulat (Gambar 26).
Gambar 26. Morfologi Christella dentata. A. Habitat alami; B. Herbarium
(Dokumentasi Pribadi, 2020)
Christella dentata tersebar luas di daerah tropis maupun subtropis, dari Afrika,
India, Asia, Australia, dan sebagian besar pulau di Pasifik yang tingginya dapat
mencapai 50 – 70 cm. Tumbuhan ini hidup di padang rumput, di daerah rawa, di
pinggir sungai, dan di pinggir jalan (Brownsey & Perrie, 2018). C. dentata dapat
dimanfaatkan sebagai obat tradisional yaitu sebagai antimikroba yang berpotensi
melawan Bacillus subtilis, Escherichia coli, Salmonella typhi, dan Staphylococcus
aureus (Kumar & Kaushik, 2011). Daun C. dentata dapat dimanfaatkan untuk
meredakan nyeri tubuh (Alfred, Sheeja, Sukumaran, Jeeva, & Alfred, 2018). Selain
itu, C. dentata juga dapat dimanfaatkan sebagai tanaman hias (Yulianty, Ernawiati
& Lande, 2010).
Rizoma
Tangkai
Daun
A B
40
4.3. Pemanfaatan Tumbuhan Paku di Sekitar Curug Lontar
4.3.1. Karakteristik Responden di Desa Karyasari
Perolehan data mengenai pemanfaatan tumbuhan paku di sekitar kawasan
Curug Lontar dilakukan dengan wawancara. Responden pada penelitian ini adalah
masyarakat sekitar kawasan Curug Lontar, Desa Karyasari, Kecamatan Leuwiliang,
Kabupaten Bogor. Data responden yang di wawancara disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Data Responden Wawancara
Responden Jenis Kelamin Usia Pekerjaan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Laki-laki
Laki-laki
Laki-laki
Perempuan
Perempuan
Perempuan
Perempuan
Perempuan
Perempuan
Perempuan
33 tahun
53 tahun
40 tahun
54 tahun
36 tahun
42 tahun
50 tahun
47 tahun
60 tahun
44 tahun
Pegawai negeri sipil
Karyawan swasta
Karyawan swasta
Ibu rumah tangga
Ibu tumah tangga
Ibu rumah tangga
Pegawai negeri sipil
Ibu rumah tangga
Ibu rumah tangga
Ibu rumah tangga
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa mayoritas responden berjenis
kelamin perempuan sebanyak 7 orang. Hal ini dikarenakan umumnya perempuan
di Desa Karyasari merupakan ibu rumah tangga yang lebih banyak memanfaatkan
tumbuhan paku, sedangkan laki-laki sebagai kepala rumah tangga memiliki
tanggung jawab untuk bekerja.
Berdasarkan pekerjaan, mayoritas pekerjaan responden adalah ibu rumah
tangga. Ibu-ibu atau wanita lebih banyak melakukan kegiatan dirumah dan lebih
sering bersosialisasi antar sesama di lingkungan sehingga setiap informasi dapat
diterima lebih mudah termasuk pemanfaatan tumbuhan paku. Hal ini membuat
pengetahuan dari ibu rumah tangga terus bertambah (Merdekawati, 2016).
Usia responden yang diwawancara pada penelitian ini berkisar antara 33 - 60
tahun. Hal ini menggambarkan bahwa masyarakat yang memanfaatkan tumbuhan
paku di sekitar kawasan Curug Lontar merupakan usia dewasa. Berdasarkan
pendapat Notoatmodjo (2007) semakin bertambahnya usia seseorang, maka
semakin banyak pengalaman maupun hal yang telah dijumpai atau dikerjakan.
41
4.3.2. Pemanfaatan Tumbuhan Paku Masyarakat Sekitar Curug Lontar
Berdasarkan wawancara yang dilakukan di sekitar kawasan Curug Lontar
diketahui bahwa masyarakat mengenal dan memanfaatkan tumbuhan paku dengan
berbagai macam cara pemanfaatannya, ada satu jenis tumbuhan paku yang memiliki
beragam pemanfaatan atau hanya memiliki satu jenis pemanfaatan. Jenis tumbuhan
paku dan pemanfaatannya disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Pemanfaatan Tumbuhan Paku Masyarakat Sekitar Curug Lontar
Jenis tumbuhan paku Bagian Pemanfaatan
Nama ilmiah Nama lokal
Pleocnemia
irregularis
Paku andam Daun, batang
muda
Tumis, sayur bening,
sayur santan, urab,
lalapan, dan bakwan.
Selaginella
willdenowi
Rane atau paku
ceker ayam
Akar, batang,
daun
Jamu paluluntur
Asplenium nidus Kadaka Akar, batang,
daun
Tanaman hias
Adiantum capillus-
veneris
Suplir Akar, batang,
daun
Tanaman hias
Platycerium
bifurcatum
Paku tanduk
rusa
Akar, batang,
daun
Tanaman hias
Pada umumnya masyarakat sekitar Curug Lontar sudah turun-temurun
memanfaatkan tumbuhan paku sebagai bahan makanan (sayur bening, tumis, sayur
santan, lalapan, bakwan, urab), tanaman hias, dan bahan obat tradisional (Lampiran
2). Sedangkan, pada penelitian Jamsuri (2007) tumbuhan paku disekitar kawasan
Curug Cikaracak Bogor dapat dimanfaatkan sebagai tanaman hias, kerajinan
tangan, bahan obat tradisional, dan sayuran (tumis). Menurut Syafrudin et al.,
(2016), tumbuhan paku sudah dimanfaatkan sejak dulu terutama sebagai bahan
makanan (sayuran), pemanfaatannya semakin berkembang sebagai bahan baku
kerajinan tangan, tanaman hias maupun sebagai bahan obat tradisional.
42
4.3.3. Pemanfaatan Tumbuhan Paku sebagai Sayuran
Masyarakat sekitar kawasan Curug Lontar memanfaatkan batang dan daun
muda P. irregularis sebagai bahan makanan seperti sayur bening, sayur santan,
lalapan, bakwan, urab, dan tumis (Gambar 27). Hal ini sesuai dengan pendapat De
winter & Amoroso (2003), bahwa P. irregularis merupakan salah satu sayuran
indigenous yang tumbuh liar di alam dan sering dimanfaatkan sebagai sayuran
(Lampiran 4).
Gambar 27. Tumis Paku Andam (Handoko, 2018)
Selain dikonsumsi untuk pemenuhan pangan rumah tangga maupun
mengurangi pengeluaran rumah tangga, masyarakat juga memanfaatkan pucuk P.
irregularis untuk menambah pendapatan rumah tangga yang dijual dengan harga
Rp.2,000,- untuk satu ikat. Hal ini sesuai dengan pendapat Tjitrosoepomo (1980),
bahwa di daerah sekitar Bogor pucuk paku sayur biasa diperjualbelikan.
4.3.4. Pemanfaatan Tumbuhan Paku sebagai Bahan Obat
a. Selaginella willdenowi
Jenis tumbuhan paku lain yang dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar kawasan
Curug Lontar adalah akar, batang, dan daun S. willdenowi atau rane halus. S.
willdenowi merupakan salah satu bahan untuk pembuatan jamu paluluntur yang
biasa diminum pasca persalinan sebagai pembersih darah kotor. Jamu paluluntur
biasa diolah dengan cara dikeringkan (bubuk) (Gambar 28). Hal ini sesuai dengan
pendapat Heyne (1988), bahwa S. willdenowi merupakan salah satu bahan dari jamu
yang biasanya diminum pasca persalinan.
Masyarakat Desa Citalahab dan Kasepuhan Adat Banten Kidul yang
merupakan masyarakat sekitar Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS)
juga memanfaatkan S. willdenowi sebagai pembersih darah kotor pasca persalinan
43
(Wijayanto, 2009). Masyarakat sekitar kawasan Curug Lontar juga memanfaatkan
Jamu paluluntur sebagai obat maag, sesak nafas, asam urat, sakit pinggang, dan
insomnia. Hal tersebut karena S. willdenowi mengandung alkaloid, fenol
(flavonoid, tanin, saponin), terpenoid (triterpen, steroid) (Chikmawati &
Miftahudin, 2008; Chikmawati, Setyawan, & Miftahudin, 2012), biflavonoid
(amentoflavone, 2’,8’’-biapigenin, delicaflavone, ginkgetin, heveaflavone,
hinokiflavone, isocryptomerin, kayaflavone, ochnaflavone, podocarpusflavone A,
robustaflavone, sumaflavone, dan taiwaniaflavone) (Setyawan, 2011), 4,7-di-O-
metilamentoflavon, isokripto merin, dan 7-O-metilrobusta-flavon (Silva et al.,
1995). Senyawa tersebut bertindak sebagai antioksidan, antiinflamasi, antikanker,
antialergi, antimikroba, antijamur, antibakteri, antivirus, pelindung terhadap
iradiasi UV, vasorelaxant, penguat jantung, antihipertensi, dan mempengaruhi
metabolisme enzim (Setyawan & Darusman, 2008).
Gambar 28. Jamu Paluluntur (Uum, 2020)
Jamu paluluntur biasanya dibuat oleh paraji, sesepuh desa maupun ibu rumah
tangga, dan diperjualbelikan. Harga jamu paluluntur ukuran plastik berukuran kecil
Rp.2,000,- ukuran satu kaleng kecil Rp.100,000,- dan untuk ukuran satu kaleng
besar Rp.150,000,-. Dari aspek ekonomi jamu paluluntur memegang peranan
sebagai salah satu sumber pendapatan keluarga.
4.3.5. Pemanfaatan Tumbuhan Paku sebagai Tanaman Hias
a. Platycerium bifurcatum
Masyarakat sekitar kawasan Curug Lontar memanfaatkan P. bifurcatum atau
paku tanduk rusa sebagai tanaman hias di pekarangan rumah (Gambar 29). P.
bifurcatum telah lama dikenal masyarakat karena penampilannya yang indah dan
menarik. Hal ini sesuai dengan pendapat Darma & Peneng (2007) bahwa P.
44
bifurcatum dapat dimanfaatkan sebagai tanaman hias, orang belanda menyebutnya
hertshoornvaren.
Gambar 29. Pemanfaatan Platycerium bifurcatum (Dokumentasi Pribadi, 2020)
Umumnya masyarakat memperbanyak tumbuhan ini dengan memisahkan atau
membagi P. bifurcatum menjadi dua atau lebih yang kemudian ditempelkan pada
pohon (Darma & Peneng, 2007). Selain itu, perbanyakan P. bifurcatum dapat
dilakukan dengan cara menyemai spora (Hartini, 1998).
b. Asplenium nidus
Masyarakat sekitar kawasan Curug Lontar memanfaatkan A. nidus atau kadaka
sebagai tanaman hias di pekarangan rumah yang biasanya ditanam dalam pot
(Gambar 30). Selain itu, masyarakat Desa Malasari yang terletak di dalam kawasan
Gunung Halimun Salak juga memanfaatkan A. nidus sebagai tanaman hias. Hal ini
sesuai dengan pendapat Kinho (2009) bahwa A. nidus memiliki potensi sebagai
tanaman hias.
Gambar 30. Pemanfaatan Asplenium nidus (Carolina, 2020)
Menurut kepercayaan orang Bugis, bila A. nidus tumbuh subur merupakan
pertanda bahwa keluarga yang memeliharanya akan makmur. Sedangkan, bila
45
pertumbuhannya kurang baik maka kemungkinannya yang memiliki tanaman
tersebut akan mendapat kesulitan (Sastrapradja et al., 1980).
c. Adiantum capillus-veneris
Masyarakat sekitar kawasan Curug Lontar memanfaatkan A. capillus-veneris
atau suplir sebagai tanaman hias di pekarangan rumah yang biasanya di tanam
dalam pot (Gambar 31). Hal ini sesuai dengan pendapat Sukarsa, Apriliana &
Chasanah (2011) bahwa A. capillus-veneris berpotensi dijadikan sebagai tanaman
hias dan dapat hidup baik langsung ditanam ditanah maupun ditanam dalam pot.
Gambar 31. Pemanfaatan Adiantum capillus-veneris (Dokumentasi Pribadi, 2020)
Di Eropa dan Amerika sudah tercipta beberapa kultivar (varietas hasil kultur)
baru. Kebaruannya terletak pada bervariasinya warna dan bentuk daun, seperti daun
yang tepinya tidak rata, maupun daun yang saling tumpang tindih tetapi teratur
seperti susunan genting (Soesono, 1993).
46
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Kesimpulan dari penelitian ini adalah:
1. Terdapat 18 jenis tumbuhan paku yang ditemukan di sekitar Curug Lontar, yaitu
Asplenium nidus, Adiantum capillus-veneris, Christella dentata, Cibotium
barometz, Deparia petersenii, Drynaria sparsisora, Gleichenia linearis,
Odontosoria chinensis, Phymatodes longissima, Pityrogramma calomelanos,
Platycerium bifurcatum, Pleocnemia irregularis, Pteridium aquilinum, Pteris
fauriei, P. vittata, Selaginella plana, S. willdenowi, dan Tectaria vasta.
2. Potensi tumbuhan paku oleh masyarakat sekitar kawasan Curug Lontar yaitu
sebagai sayuran, tanaman hias, dan bahan obat tradisional.
5.2. Saran
Saran dari penelitian ini adalah:
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai kandungan fitokimia rizoma
Cibotium barometz sebagai obat herbal untuk mengatasi penyakit Covid-19.
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai ekologi kawasan Curug
Lontar.
47
DAFTAR PUSTAKA
Abotsi E.K., Radji, A. R., Rouhan, G., Dubuisson, J. Y., & Kouami, K. (2015). The
pteridaceae family diversity in Togo. Biodiversity Data Journal 3: e5078.
Achmadi, A. S., Hamidy, A., Maryanto, I., Lupiyaningdyah, P., Sihotang, V, B, L.,
Kahono, S., Kartonegoro, A., Ardiyani, M., Mulyaningsih, E. S., & Kanti, A.
(2018). Ekspedisi Sulawesi Barat flora, fauna, dan mikroorganisme
Gandangdewata. Jakarta: LIPI Press.
Adawiyah, R. (2020). Kandungan fenol dan flavonoid pada tumbuhan paku sarang
burung (Asplenium nidus L.) di Garahan dan Gumitir Kabupaten Jember
(Skripsi sarjana). Program Studi Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Universitas Jember, Jember, Indonesia.
Adjie, B., & Lestari, W. S. (2011). Ferns of Bali. (2020, 28 February). Retrieved
from http://www.krbali.lipi.go.id.
Adriani, R. R., & Tjandrawati, O. S. (2019). Tumbuhan hutan sekolah berkhasiat
obat SDN 002 Malinau Selatan Hilir. Malinau: WWF Indonesia-ESD Unit.
Akbar, S. (2017). Fitoremediasi tanaman paku pakis (Pteris vittata) dengan
penambahan karbon aktif eceng gondok (Eichornia crassipes) terhadap
limbah merkuri (Skripsi sarjana). Program Studi Kimia, Fakultas Sains dan
Teknologi, Universitas Islam Negeri Alauddin, Makassar, Indonesia.
Alfred, V., Sheeja, B. D., Sukumaran, S., Jeeva, S., & Alfred, V. (2018). Diversity
and ethnobotanical significance of pteridophytes in Marunthuvazhmalai – The
Southern Tip of Western Ghats in Peninsular India. The Saudi Jurnal of Life
Sciences, 3(6), 454–458.
Arini, D, I, D., & Kinho, J. (2012). Keragaman jenis tumbuhan paku (pteridophyta)
di Cagar Alam Gunung Ambang Sulawesi Utara (The pteridophyta diversity
in Gunung Ambang Nature Reserve North Sulawesi). Info BPK Manado, 2(1),
17–39.
Asnawi, S. K., & Wijaya, C. (2005). Riset keuangan: pengujian-pengujian empiris.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Astuti, F. K., Murningsih., & Jumari. (2017). Keanekaragaman Jenis Tumbuhan
Paku (Pteridophyta) di Jalur Pendakian Selo Kawasan Taman Nasional
Gunung Merbabu, Jawa Tengah. Jurnal Biologi, 6(2), 1-6.
A'tourrohman, M., Surur, M. A., Nabilah, R. E., Rahmawati, S. E., Fatimah, S.,
Ma'rifah, D. N., & Lianah. (2020). Keanekaragaman jenis paku-pakuan
(pteridophhyta) dan kajian potensi pemanfaatannya di Cagar Alam Ulolanang
Kecubung. Bioeduscience, 4(1), 73-81.
Bappedalitbang Kabupaten Bogor. (2019). Pemasangan panel Geopark Pongkor
48
Site Curug Lontar di Kecamatan Leuwiliang Kabupaten Bogor. (2020, 25
January). Retrieved from https://bappedalitbang.bogorkab.go.id/
topik/pemasangan-panel-geopark-pongkor-site-curug-lontar-di-kecamatan-le
uwiliang-kabupaten-bogor/.
Bisay, E. E., Mofu, W. Y., & Rahawarin, Y. Y. (2019). Identifikasi jenis-jenis bank
benih pada hutan pendidikan Anggori-Manokwari. Jurnal Kehutanan
Papuasia, 5(1), 1-14.
Brownsey, P.J., & Perrie, L. R. (2018). Flora of New Zealand ferns and lycophytes
(issue december). New Zealand: Manaaki Whenua Press.
Carolina, N. (2020). Asplenium nidus. (2021, 14 January). Retrieved from
https://images.app.goo.gl/Fi8dC1tyiZPo43HN6.
Chikmawati, T., & Miftahudin. (2008). Biodiversitas dan potensi marga
Selaginella sebagai anti oksidan dan anti kanker. Bogor: LPPM IPB.
Chikmawati, T., Setyawan, A. D., & Miftahudin. (2012). Phytocemical
composition of Selaginella spp. from Java Island Indonesia. Makara Journal
of Science, 16(2), 129-133.
Darma, I. D. P., & Peneng, I. N. (2007). Inventarisasi tumbuhan paku di kawasan
Taman Nasional Laiwangi-Wanggameti Sumba Timur, Waingapu, NTT.
Biodiversitas, 8(3), 242-248.
Desa Karyasari. (2013). Profil Desa Karyasari. Bogor.
De winter, W, P., & Amoroso, V, B. (2003). Prosea plant resources of South-East
Asia 15 (2) Cryptogams: Ferns and fern allies. Leiden: Backhuys Publishers.
Dewi, N., & Ayatusa’adah. (2017). Pembelajaran materi klasifikasi tumbuhan.
Jurnal Pendidikan Sains & Matematika, 5(2), 50–61.
Donnelly, E., Robertson, J., & Robinson, D. (2002). Potential and historical uses
for Bracken (Pteridium aquilinum (L.) Kuhn) in organic agriculture.
Proceedings of the COR Conference, March 26-28th2002, 255-256.
Efendi, M., Hapitasari, I. G., Rustandi, R., & Supriyatna, A. (2016). Inventarisasi
tumbuhan penghasil pewarna alami di Kebun Raya Cibodas. Bumi Lestari
Journal of Environment, 16(1), 50–58.
Elsifa, A., Arisandy, D. A., & Harmoko, H. (2019). Eksplorasi tumbuhan paku
(pteridophyta) di STL Ulu Terawas, Musi Rawas, Sumatera Selatan. Biosfer:
Jurnal Tadris Biologi, 10(1), 47–55.
Eswani, N., Kudus, K. A., Nazre, M., Noor, A. G, A., & Ali, M. (2010). Medicinal
plant diversity and vegetation analysis of logged over hill forest of Tekai
Tembeling forest reserve, Jerantut, Pahang. Journal of Agricultural Science,
2(3), 189–210.
49
Fadilah., Lovadi, I., & Linda, R. (2015). Pemanfaatan tumbuhan dalam pengobatan
tradisional masyarakat Suku Dayak Kanayatn di Desa Ambawang Kecamatan
Kubu Kabupaten Kubu Raya. Protobiont, 4(3), 49-59.
Fascavitri, A., Rachamdiarti, F., & Bashri, A. (2018). Potensi tanaman lili paris
(Chlorophytum comosum), melati jepang (Pseuderanthemum reticulatum),
dan paku tanduk rusa (Platycerium bifurcatum) sebagai absorben timbal (Pb)
di udara. Lentera Bio, 7(3), 188-195.
Fitri, R., Oktiarni, D., & Arso, D. D. (2018). Eksplorasi pengetahuan obat
tradisional dalam prespektif hukum kekayaan intelektual di Bengkulu.
Mimbar Hukum, 30(2), 304–315.
Fuwu, X., Yuehong, Y., & Chriztenhusz, M, J, M. (2013). Tectariaceae. Flora of
China, 2(3), 730–746.
Gangmin, Z., Wenbo, L., Mingyan, D., Youxing, L., Zhaohong, W., Xainchun, Z.,
Shiyong, D., Prado, J., Gilbert, M. G., Yatskievych, G., Ranker, T. A., Hooper,
E.A., Slverson, E. R., Metzgar, J.S., Funzton, A. M., Masuyama, S., & Kato,
M. (2013). Pteridaceae. Flora of China, 2(3), 169-256.
Geiger, J. M. O., Korall, P., Ranker, T. A., Kleist, A. C., & Nelson, C. L. (2013).
Molecular phylogenetic relationships of Cibotium and origin of the endemics.
American Fern Journal, 103(3), 141–152.
Gul, A. (2017). Floristic and conservation studies of the pteridophytes of District
Mansehra (Thesis). Departemen of Botany, Hazara University Mansehra,
Pakistan.
Hadi, E. E. W., Widyastuti, S. M., & Wahyuono, S. (2016). Keanekaragaman dan
pemanfaatan tumbuhan bawah pada sistem agroforesti di Perbukitan Manoreh,
Kabupaten Kulonprogo. J. Manusia dan Lingkungan, 23(2), 206-215.
Haque, A. K., Khan, S. A., Uddin, S. N., & Rahim, M. A. (2017). Taxonomic
checklist of the pteridophytes of Rajkandi reserve forest, Moulvibazar,
Bangladesh. Jahangirnagar University Journal of Biological Sciences, 5(2),
27–40.
Handayani, P. (2018). Resep tumis pakis merah. (2021, 19 January). Retrieved from
https://cookpad.com/id/resep/4609344-tumis-pakis-merah.
Handoko, N. (2018). Tumis pakis simple. (2021, 25 February). Retrieved from
https://cookpad.com/id/resep/5839865-27-tumis-pakis-simple.
Hartanto, S., Rosaline, R., & Baskoro, A. (2015). Pemanfaatan serat alami resam
dalam perancangan aksesoris rumah. Jurnal Dimensi Seni Rupa dan Desain,
12(2), 147–160.
Hartati, S., Rugayah., & Praptosuwiryo, T. N. (2016). Isolasi kandungan senyawa
kimia dari pakis simpei (Cibotium barometz) serta uji bioaktivitas antioksidan,
50
uji toksisitas (BSLT) dan antidiabetes. Jurnal Kimia Terapan Indonesia,
18(1), 1-10.
Hartini, S. (1998). Simbar menjangan (Platycerium bifurcatum (Cav.) C.Chr.).
Warta Kebun Raya, 2(2), 9-14.
Haryono, D., Wardenaar, E., & Yusro, F. (2014). Kajian etnobotani tumbuhan obat
di Desa Mengkiang Kecamatan Sanggau Kapuas Kabupaten Sanggau. Jurnal
Hutan Lestari, 2(3), 427-434.
Hasanuddin, & Mulyadi. (2014). Botani tumbuhan rendah. Banda Aceh: Syiah
Kuala University Press.
Heyne. (1988). Tumbuhan berguna Indonesia. Jakarta: Departemen Kehutanan.
Ibrahiem, Z. Z., Ahmed, A. S., & Gouda, Y. G. (2011). Phytocemical and biological
studies of Adiantum capillus-veneris L. Saudia Pharmaceutical Journal, 19,
65-74.
Idris., Ibrahim, N., & Nugrahani, A. W. (2018). Studi tanaman berkhasiat obat Suku
Mori di Kecamatan Petasia, Petasia Barat, dan Petasia Timur Kabupaten
Morowali Utara Sulawesi Tengah. Biocelebes, 12(1), 23-31.
Jamsuri. (2007). Keanekaragaman tumbuhan paku di sekitar Curug Cikaracak,
Bogor, Jawa Barat (Skripsi sarjana). Program Studi Biologi, Fakultas Sains
dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta,
Indonesia.
Jatmika, E. (2018). Laporan penelitian penyusunan strategi pemasaran pariwisata
Kabupaten Bogor tahun 2018. Bogor: Universitas Pakuan.
Jermy, A. C. (1990). Selaginellaceae, pterdiophytes and gymnospermae. Germany:
Springer.
Julita, N., & Suyatno. (2012). Aktivitas antibakteri senyawa flavonoid dari
tumbuhan paku perak (Pityrogramma calomelanos). UNESA Journal of
Chemistry, 1(1), 75-79.
Katili, A. S. (2013). Deskripsi pola penyebaran dan faktor bioekologis tumbuhan
paku (pteridophyta) di kawasan Cagar Alam Gunung Ambang Sub Kawasan
Kabupaten Bolaang Mongondow Timur. Sainstek, 7(2), 1 - 13.
Khan, A. A., Kapoor, P., & Parveen, S. (2017). Parisiyoshan (Adiantum capillus-
veneris)- a riview. International Journal of Institutional Pharmacy and Life
Science, 7(1), 37 - 45.
Kinho, J. (2009). Mengenal beberapa jenis tumbuhan paku di kawasan Hutan
Payahe Taman Nasional Aketajawe Lolobata Maluku Utara. Manado: Balai
Penelitian Kehutanan Manado.
51
Komalasari, O., Maryani, S., Juairiyah, O., & Novriadhy, D. (2018). Kearifan lokal
masyarakat Desa Bakung dalam memanfaatkan resam (Gleichenia linearis),
seduduk (Melastoma malabathricum) dan tembesu (Fagaraea fragrans) yang
tumbuh di tanah bergambut sebagai obat herbal. Prosiding Seminar Nasional
Lahan Suboptimal, Oktober 18-19 2018, 354-359.
Kubitzki, K. (1990). The families and genera of vascular plants. Pteridophytes and
gymnosperms, vol 1. Germany: Springer-Verlag.
Kumar, A., & Kaushik, P. (2011). Antibacterial activity of Christella dentata frosk.
study in different seasons. Journal of Chemical and Pharmaceutical Research,
3(6), 153–158.
Kurniawan, A., & Parikesit. (2008). Persebaran jenis pohon di sepanjang faktor
lingkungan di Cagar Alam Panunjang Pangandaran, Jawa Barat. Biodiversitas,
9(4), 275-279.
Lehtonen, S., Tuomisto, H., Rouhan, G., & Christenhusz, M. J. M. (2010).
Phylogenetics and classification of the pantropical fern family Lindsaeaceae.
Botanical Journal of the Linnean Society, 163, 305-359.
Yasin, A., Burhanudin., & Purnawan, R. I. (2019). Lembaran Daerah Kabupaten
Bogor.
Lestari, E. (2016). Teknik konvensional penggunaan tumbuhan obat di kawasan
Estuaria Takisung. Jurnal Humaniora, II(1), 1-11.
Lestari, W. S. (2011). Suplir, tanaman paku dengan banyak potensi. Warta Kebun
Raya, 11(1), 3-7.
Libing, Z., Sugong, W., Jianying, X., Fuwu, X., Hai, H., Faguo, W., Shugang, L.,
Shiyong, D., Barrington, D., Iwatsuki, K., Christenhusz, M., Mickel, J., Kato,
M., & Gilbert, M. (2013). Dryopteridaceae. Flora of China, 2(3), 541-724.
Lima, L. V., & Salino, A. (2018). The fern family Gleicheniaceae (Polypodiopsida)
in Brazil. Phytotaxa, 358(3), 199-234.
Lubis, S. R. (2009). Keanekaragaman dan pola distribusi tumbuhan paku di Hutan
Wisata Alam Taman Eden Kabupaten Toba Samosir Provinsi Sumatera Utara
(Tesis). Sekolah Pasca Sarjana, Universitas Sumatera Utara, Medan,
Indonesia.
Maroyi, A. (2014). Not just minor wild edible forest products: Consumption of
pteridophytes in Sub-Saharan Africa. Journal of Ethnobiology and
Ethnomedicine, 10(1), 1-78.
Marrs, R. H., & Watt, A. S. (2006). Biological flora of the British Isles: Pteridium
aquilinum (L.) Kuhn. Journal of Ecology, 94(6), 1272–1321.
Merdekawati, R. B. (2016). Gambaran dan tingkat pengetahuan penggunaan obat
52
tradisional sebagai alternatif pengobatan pada masyarakat RW 005 Desa
Sindurjan, Kecamatan Purworejo, Kabupaten Purworejo (Karya Tulis Ilmiah).
Program Studi Farmasi, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta, Yogyakarta, Indonesia.
Mickel, J. T., Wagner, W. H., Gifford, E. M., Walker, W. F., & Yatskievych, G.
(2010). Fern plant. (2020, 18 November). Retrieved from https://www.
britannica.com/plant/fern.
Miftahudin., Setyaningsih., & Chikmawati, T. (2015). Pertumbuhan dan kandungan
bioaktif Selaginella plana dan Selaginella willdenowii pada beberapa media
tanam. Jurnal Sumber Daya Hayati, 1(1), 1-6.
Miguel, S. (2017). Dicksonia antarctica. (2021, 23 February). Retrieved from
https://images.app.goo.gl/M2WQZtFqZaFGZTck7.
Muslimah. (2017). Dampak pencemaran tanah dan langkah pencegahan. Jurnal
Penelitian Agrisamudra, 2(1), 11–20.
Mustafa, A. B., & Wahyuni, S. (2018). Fitoremediasi sebagai alternatif pemulihan
lahan pasca tambang. Peneliti PPBBI, 6(1), 1-6.
Nikmatullah, M., Renjana, E., Muhaimin, M., & Rahayu, M. (2020). Potensi
tumbuhan paku (ferns & lycophytes) yang dikoleksi di Kebun Raya Cibodas
sebagai obat. Al-kauniyah : Jurnal Biologi, 13(2), 278-287.
Noben, S., & Lehnert, M. (2013).The genus Dicksonia (Dicksoniaceae) in the
Western Pasific. Phytotaxa, 155(1), 23-34.
Notoatmodjo. (2007). Pengantar pendidikan kesehatan dan ilmu perilaku
kesehatan. Yogyakarta: Andi offset.
Nurdiani, N. (2015). Teknik sampling snowball dalam penelitian lapangan.
Comtech, 6(4), 523–1204.
Nurtjahya, E., & Sari, E. (2013). Tumbuhan obat Suku Lom seri tumbuhan obat
Bangka Belitung. Pangkal Pinang: UBB Press.
Oldfield, S. (1995). Significant trade in CITES appendix II plants. Cambridge UK:
Prepared dor the CITES Secretariat by the World Conservation Monitoring
Centre.
Pamungkas, A. D. (2014). Jenis-jenis tumbuhan dari proses regenerasi alami di
lahan bekas tambang batu bara. Kalimantan Timur: Balai Penelitian
Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam.
Paraptosuwiryo, T. N. (2008). Cytological obseravtion on fern genus Pteris in the
Bogor Botanic Garden. Buletin Kebun Raya Indonesia, 11(2), 15–23.
Pinterest. (2020). Equisetum giganteum. (2021, 23 February). Retrieved from https:
53
//images.app.goo.gl/Ld9sGfiARvtYT6zr9.
Priawarsana, E., & Purnaningsasi, D. R. (2013). Identifikasi tumbuhan paku
(Pteridophyta) di kawasan "Hutan Penelitian Sumberwringin" Kecamatan
Sukosari Kabupaten Bondowoso sub pokok bahasan pteridophyta pokok
bahasan plantae SMA kelas X. Jurnal Pendidikan dan Pengajaran Eksakta
Alam Hijau, 2(2), 77-89.
Ridianingsih, D, S., Pujiastuti, P., & Hariani, S. A. (2017). Inventarisasi tumbuhan
paku (pteridophyta) di Pos Rowobendo-Ngagelan Taman Nasional Alas
Purwo Kabupaten Banyuwangi. Bioeksperimen: Jurnal Penelitian Biologi,
3(2), 20–30.
Rahman, M., Uddin, S., & Wilcock, C. (2007). Medicinal plants used by Chakma
Tribe in Hill Tracts Districts of Bangladesh. Indian Journal of Traditional
Knowledge (IJTK), 6(3), 508–517.
Riastuti, R. D., & Ernawati, D. (2018). Identifikasi divisi pteridophyta di kawasan
Danau Aur Kabupaten Musi Rawas. Bioedusains: Jurnal Pendidikan Biologi
Dan Sains, 1(1), 52–70.
Riyady, S., Siregar, H. F., & Nurhayati. (2019). Aspek yuridis kewenangan
pemerintah daerah Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat dalam
pengelolaan kawasan Geowisata Geopark Nasional Ciletuh-Palabuhan Ratu.
Jurnal Hukum, 2(1), 575-588.
Romdhoni, H., Reginald, Y., Nurhadi, M., Octaviani, R., & Sedayu, A. (2015).
Pengetahuan sosio-edukasi survei etnobotani tumbuhan paku pada masyarakat
di sekitar Hutan Pendidikan Wanagama, Yogyakarta. PROS SEM BAS MASY
BIODIV INDON, 1(8), 2044-2050.
Rout, S. D., Panda, T., & Mishra, N. (2019). Ethnomedicinal studies on some
pteridophytes of similipal biosphere reserve, Orissa, India. International
Journal of Medicine and Medical Scinces, 1(5), 192-197.
Rumouw, D. (2017). Identifikasi dan analisis kandungan fitokimia tumbuhan alam
berkhasiat obat yang dimanfaatkan masyarakat sekitar kawasan Hutan
Lindung Sahedaruman. LPPM Bidang Sains Dan Teknologi, 4(2), 53–66.
Saeni, F. (2015). Pola pemanfaatan tumbuhan berkhasiat obat oleh masyarakat di
sekitar kawasan Hutan Taman Wisata Alam Kota Sorong. Median, VII(1), 1–
8.
Sastrapradja, S, Afriastini, J, J., Darnaedi, D., & Widjaja, E, A. (1980). Jenis Paku
Indonesia. Bogor: Lembaga Biologi Nasional-LIPI.
Sastrapradja, S., & Afriastini, J, J. (1985). Kerabat paku. Bogor: Lembaga Biologi
Nasional-LIPI.
Sathiyaraj, G., Muthukumar, T., & Ravindran, K. (2015). Ethnomedicinal
54
importance of fern and fern- allies traditionally used by tribal people of Palani
Hills (Kodaikanal), Western Ghats, South India. Journal of Medicinal Herbs
and Ethnomedicine, 1(1), 4–9.
Setiadi, Y., Yolandari., & Mindawati, N. (2012). Pemanfaatan bioorganik
campuran pakis Gleichenia linearis (Burm). Clarke dan serasah daun Pinus
merkusii Jungh et de Vriese sebagai media bibit jabon (Anthocephalus
cadamba Miq.). Jurnal Silvikultur Tropika, 3(2), 114-120.
Setyawan, A. D. (2009). Traditionally utilization of Selaginella; Field research and
literature riview. Nusantara Bioscience, 1(3), 146-158.
Setyawan, A. D. (2011). Riview: Natural products from genus Selaginella
(Selaginellaceae). Nusantara Bioscence, 3(1), 44-58.
Setyawan, A. D., & Darusman, L. K. (2008). Riview: Senyawa biflavonoid pada
Selaginella Pal. Beauv. dan pemanfaatannya. Biodiversitas, 9(1), 64-81.
Shiyong, D., Sujuan, L., Christenhusz, M. J. M., & Barcelona, J. (2013).
Lindsaeaceae. Flora of China, 2(3), 139-146.
Singh, M., Malhotra, K., & Singh, C. (2015). Phytochemical evaluation and
antioxidant activity of different samples of Pteris Vittata in Doon Valley,
Uttarakhand Region. Int. J. Pure App. Biosci, 3(4), 296–304.
Silva, G. L., Chai, H., Gupta, M. P., Farnsworth, N. R., Cordell, G. A., Pezzuto, J.
M., Beecher, C. W. W., & Kinghorn, A. D. (1995). Cytotoxic biflavonoids
from Selaginella willdenowii. Journal Phytochemistry, 40(1), 129-134.
Soesono, S. (1993). Suplir perawatan dan pembibitan paku hias. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama.
Sofiyanti, N. & Harahap. P. H. (2019). Inventarisasi dan kajian planologi jenis-jenis
tumbuhan paku (pteridophyta) epifit di kawasan Universitas Riau, Provinsi
Riau. Jurnal Biologi Tropis, 19(2), 214-220.
Suharni, N., Titisari, P. W., & Elfis. (2019). Keanekaragaman jenis tumbuhan paku
(pteridophyta) di kawasan Tahura Sultan Syarif Hasim Provinsi Riau.
Prosiding Seminar Nasional Biologi 4, 25 April 2019, 53–59.
Sukarsa., Apriliana, H., & Chasanah, T. (2011). Diversitas spesies tumbuhan paku
hias dalam upaya melestarikan sumberdaya hayati Kebun Raya Baturraden.
Biosfera, 28(1), 23-31.
Sukumaran, K., & Kuttan, R. (1991). Screening of 11 ferns cytotoxic and antitumor
potential with special references to Pityrogramma Calomelanos. Journal of
Ethnopharmacology, 34, 93-96.
Supriati, R., Nurliana, S., & Malau, F. (2012). Keanekaragaman jenis tumbuhan
yang dimanfaatkan oleh masyarakat Desa Tanah Hitam Kecamatan Padang
55
Jaya Kabupaten Bengkulu Utara. Konservasi Hayati, 8(1), 44-50.
Suraida., Susanti, T., & Amriyanto, R. (2013). Keanekaragaman tumbuhan paku
(pteridophyta) di Taman Hutan Kenali Kota Jambi. Prosiding SEMIRATA
FMIPA Universitas Lampung, 1(1), 387–392.
Susanti, A. T. A., Isda, M. N., & Fatonah, S. (2014). Potensi alelopati ekstrak daun
Gleichenia linearis (Burm.) Underw. terhadap perkecambahan dan
pertumbuhan anakan gulma Mikania micrantha (L). Kunth. JOM FMIPA,
1(2), 1-7.
Syafrudin, Y., Haryani, T. S., & Wiedarti, S. (2016). Keanekaragaman dan potensi
paku (pteridophyta) di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Cianjur
(TNGGP). Ekologis, 16(2), 24–31.
Tamin, R. P., Anggraini, R., & Ulfa, M. (2017). Penyuluhan dan pelatihan
eksplorasi botani hutan dalam upaya konservasi hutan. Karya Abadi
Masyarakat, 1(2), 119-128.
Tjitrosoepomo, G. (2011). Taksonomi tumbuhan schizophyta, thallophyta,
bryophyta, pteridophyta. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Tjitrosomo, S., Harran, S., Sudiarto, A., Hadisunarso, Mondong, R.,
Koesoemaningrat, T., Tjondronegoro, P., Hadioetomo, R., Djaelani, M.,
Adiwikarta, T., Prawiranata, W., Suadarnadi, H., Zakaria, M., & Natasaputra,
M. (2010). Botani umum 3. Bandung: Angkasa.
Tnunay, M. I. Y., & Hanas, D. F. (2020). Keragaman tumbuhan paku sebagai
pendukung objek wisata di Hutan Wisata Alam Oeluan, Timur Tengah Utara.
Jurnal Saintek Lahan Kering, 3(1), 10-12.
Trivedi, P. C. (2009). Medicinal plants utilisation and conservation. India:
Aavishkar Publisher.
Tudjuka, K., Ningsih, S., & Toknok, B. (2014). Keanekaragaman jenis tumbuhan
obat pada kawasan hutan lindung di Desa Tindoli Kecamatan Pamona
Tenggara Kabupaten Poso. Warta Rimba, 2(1), 120–128.
Turot, M., Polii, B., & Walangitan, H. D. (2016). Potensi pemanfaatan tumbuhan
paku Diplazium esculentum Swartz (Studi Kasus) di Kampung Ayawasi ,
Distrik Aifat Utara, Kabupaten Maybarat, Provinsi Papua Barat. Agri-Sosio
Ekonomi Unsrat, 12(3A), 1–10.
Uluk, A., Sudana, M., & Wollenberg, E. (2001). Ketergantungan masyarakat
Dayak terhadap hutan di sekitar Taman Nasional Kayan Mentarang. Jakarta:
Centre For International Forestry Research (CIFOR).
Uum. (2020). Jamu paluluntur. Bogor.
Vashista, P, C., Sinha, A, K., & Kumar, A. (2006). Botany for degree students
56
pteridophyta (vascular cryptogams). New Delhi: S. Chand & Comapany
Limited.
Wakhidah, A. Z., & Sari, I. A. (2019). Etnobotani pekarangan di Dusun Kaliurang
Barat, Kecamatan Pakem, Sleman-Yogyakarta. Jurnal EduMatSains, 4(1), 1-
28.
Wang, C. H., & Wu, S. H. (1999). Flora reipublicae popularis sinicae (in Chinese).
Science Press: Beijing.
Wang, H. B., Wong, M. H., Lan, C, Y., Baker, A. J. M., Qin, Y. R., Shu, W. S.,
Chen, G. Z., & Ye, Z. H. (2007). Arsenic uptake and accumulation in fern
species growing at arsenic-contaminated sites of Southern China: Field
surveys. Environmental Pollution, 145(1), 225–233.
Wang, Z., Zhaorong, H., & Kato, M. (2013). Athyriaceae. Flora of China, 2(3),
418-534.
Wardani, W., Hidayat, A., & Darnaedi, D. (2012). The new pteridophyte
classification and sequence employed in the Herbarium Bogoriense (BO) for
Malesian ferns. Reinwardtia, 13(4), 367–377.
Wen, C-C., Shyur, L-F., Jan, J-T., Liang, P-H., Kuo, C-J., Arulselvan, P., Wu, J-B.,
Kuo, S-C., Yang, N-S. (2011). Traditional chinese medicine herbal extracts of
Cibotium barometz, Gentiana scabra, Dioscorea batatas, Cassia tora, and
Taxillus chinensis inhibit SARS-Cov replication. Journal of Traditional and
Complementary Medicine, 1(1), 44-50.
Wibawa, I. P. A. H., & Peneng, I. N. (2013). Eksplorasi jenis-jenis tumbuhan paku
di kawasan Gunung Tambora Sumbawa. Prosiding Simposium, Workshop dan
Kongres IX PTTI, 31-35.
Wibowo, J. (2019). Buku pintar tumbuhan. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Wijayanto, A. (2009). Biodiversitas, etnobotani, dan kemampuan antioksidan
Selaginella spp. asal Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS)
(Skripsi sarjana). Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor, Bogor, Indonesia.
Wikimedia. (2012). Psilotum complanatum. (2021, 8 March). Retrieved from https:
//commons.m.wikimedia.org/wiki/File:Psilotum_complanatum_(Psilotum_fl
accidum)_-_Talcott_Greenhouse_-_Mount_Holyoke_College_ DSC04534.JP
G.
Windadri, F. I., Rahayu, M., Uji, T., & Rustiami, H. (2006). Pemanfaatan tumbuhan
sebagai obat oleh masyarakat lokal Suku Muna di Kecamatan Wakarumba,
Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara. Biodiversitas, 7(4), 333-339.
Wirdateti., Setyorini, L. E., Suparno., & Handayani, T. H. (2005). Pakan dan habitat
kukang (Nycticebus coucang) di Hutan Lindung Perkampungan Baduy,
57
Rangkasbitung-Banten Selatan. Biodiversitas, 6(1), 45-49.
Xianchun, Z., Shugang, L., Youxing, L., Xinping, Q., Moore, S., Fuwu, X., Faguo,
W., Hovenkamp, P. H., Gilbert, M. G., Nooteboom, H. P., Parris, B. S.,
Haufler, C., Kato, M., & Smith, A. R. (2013a). Polypodiaceae. Flora of China,
2(3), 758-850.
Xianchun, Z., Nooteboom, H. P., Kato, M. (2013b). Selaginellaceae. Flora of
China, 2(3), 37-66.
Xu, Z., & Deng, M. (2017). Lindsaeaceae. In: Identification and control of common
weeds: Volume 2. Springer, Dordrecht. (2020, 3 November). Retrieved from
https://doi.org/10.1007/978-94-024-1157-7_7.
Yatskievych, G., William, L., & Melissa, P. (2017). Dennsataedtiaceae. (2020, 3
Desember). Retrieved from https://www.britannica.com/plant/Dennstae
dtiaceae.
Yuehong, Y., Xinping, Q., Wenbo, L., Fuwu, X., Mingyan, D., Faguo, W.,
Xianchun, Z., Zhaohong, W., Serizawa, S., Prado, J., Funzton, A. M., Gilbert,
M. G., & Nooteboom, H. P. (2013). Dennstaedtiaceae, Flora of China, 2(3),
147-168.
Youxing, L., Zhongyang, L., Iwatsuki, K., & Smith, A. R. (2013).
Thelypteridaceae. Flora of China, 2(3), 319-396.
Yudhoyono, A. (2013). 3500 plant species of the Botanic Gardens of Indonesia.
Jakarta: PT Sukarya Pandetama.
Yulianty., Ernawiati, W., & Lande, M. L. (2010). Keanekaragaman dan potensi
tumbuhan paku di Kampus Unila. Prosiding Seminar Nasional Sains dan
Teknologi III, 503-507.
Yunasfi. (2013). Jenis-jenis flora di ekosistem mangrove. Medan: Kehutanan USU.
Yusna, M., Sofiyanti, N., & Fitmawati. (2016). Keanekaragaman pteridaceae
berdasarkan karakter morfologi dan fitokimia di hutan PT. Chevron Pacific
Indonesia (PT.CPI) Rumbai. Jurnal Riau Biologia, 1(2), 165-172.
Zhang, X. C., Jia, J. S., & Zhang, G. M. (2008). Non-detriment finding for Cibotium
barometz in China. Beijing: NDF Workshop Case Studies.
Zuraida, A., Dalem, A. A. G. R., & Joni, M. (2018). Inventarisasi jenis-jenis
tanaman hias introduksi di Desa Penglipuran, Kabupaten Bangli, Bali. Jurnal
Simbiosis, VI(1), 25-29.
58
LAMPIRAN
Lampiran 1. Pertanyaan Wawancara Pemanfaatan Tumbuhan Paku
1. Jenis tumbuhan paku apa yang dimanfaatkan?
2. Jenis tumbuhan paku tersebut dimanfaatkan sebagai?
3. Bagian tumbuhan paku apa saja yang dimanfaatkan?
4. Bagaimana cara pengolahan tumbuhan paku yang dimanfaatkan?
5. Dimana lokasi pengambilan jenis tumbuhan paku yang dimanfaatkan?
6. Sejak kapan memanfaatkan tumbuhan paku?
7. Tau dari mana informasi tentang pemanfaatan tumbuhan paku?
8. Mengapa anda masih memanfaatkan tumbuhan paku?
9. Seberapa sering anda memanfaatkan tumbuhan paku?
10. Berapa harga yang dipasarkan? (khusus bidang ekonomi)
59
Lampiran 2. Pemanfaatan Tumbuhan Paku Masyarakat Sekitar Curug Lontar
Responden Jenis Bagian
Tumbuhan
Pemanfaatan
Nama Ilmiah Nama Lokal
1 P. irregularis
Paku andam
Daun,
batang muda
Lalapan, tumis,
urab, sayur,
bakwan
S. willdenowi Rane Akar,
batang, daun
Jamu paluluntur
A. nidus Kadaka Akar,
batang, daun
Tanaman hias
2 P. irregularis Paku andam Daun,
batang muda
Tumis, urab,
sayur
S. willdenowi Rane Akar,
batang, daun
Jamu paluluntur
3 P. irregularis Paku andam Daun,
batang muda
Urab, Sayur
bening
A. capillus-
veneris
Suplir Akar,
batang, daun
Tanaman hias
4 P. irregularis Paku andam Daun,
batang muda
Tumis, lalapan
5 P. irregularis Paku andam Daun,
batang muda
Sayur bening,
bakwan
6 P. irregularis Paku andam Daun,
batang muda
Sayur santan,
tumis, urab
7 P. irregularis Paku andam Daun,
batang muda
Sayur bening
8 S. willdenowi Rane Akar,
batang, daun
Jamu paluluntur
P. bifurcatum Paku tanduk
rusa
Akar, batang
daun
Tanaman hias
9
S. willdenowi Paku ceker
ayam
Akar,
batang, daun
Jamu paluluntur
10
P. irregularis
P. irregularis
Paku andam
Paku andam
Daun,
batang muda
Daun,
batang muda
Tumis
Tumis, sayur
santan
60
Lampiran 3. Potensi Tumbuhan Paku di Kawasan Curug Lontar
Suku Jenis Potensi
Aspleniaceae Asplenium nidus Tanaman hias, obat asma, kelelahan,
malaria, penyubur rambut, penenang,
demam, sakit kepala, kaki gajah,
pembesaran limfa, kontrasepsi,
bengkak, memar, gigitan atau
sengatan hewan berbisa.
Athyriaceae Deparia petersenii Obat flu dan batuk.
Dennstaedtiaceae Pteridium aquilinum Membasmi serangga, tanaman hias,
penyubur lahan gambut, obat luka
infeksi, sayuran, dan pupuk.
Dicksoniaceae Cibotium barometz Obat asam urat, sakit pinggang,
rematik, keputihan, maag, pingsan,
prostat, obat penyakit pernafasan
akut yang disebabkan oleh
coronavirus (SARS-CoV),
menghentikan pendarahan bisul dan
luka, bunga, dan pot bunga.
Dryopteridaceae Pleocnemia
irregularis
Sayur, salad, lalapan, obat kulit
kudis, demam akibat malaria, diare,
luka pendarahan, tanaman hias, dan
pakan kukang.
Gleicheniaceae Gleichenia linearis Pena, kopiah, kotak tisu, pot bunga,
topi, tas, gelang, hiasan dinding,
mata pisau, bioherbisida, media
tanam organik, obat demam, sakit
pinggang, dan sakit kepala.
Lindsaeceae Odontosoria
chinensis
Tanaman hias, pakan ternak, obat
disentri bakteri, enteritis, keracunan
makanan, penangkal gigitan ular
berbisa, luka berdarah, bisul, luka
bakar, infeksi saluran pernafasan,
pewarna coklat alami, bengkak atau
memar, keseleo, radang usus,
peluruh air seni, dan sakit gigi.
Polypodiaceae Pyhmatodes
longissima
Bahan pangan, dan tanaman hias.
Drynaria sparsisora Sayuran, obat hipertensi, batu ginjal,
usus turun, tumor, sakit mata, diare,
luka, kerasukan, santet, pakan ternak,
kerajinan tangan, alat permainan
anak, dan tanaman hias.
Platycerium
bifurcatum
Tanaman hias, obat sakit kepala,
penurun panas, menyuburkan
kandungan, bisul, perangkat ritual
pengobatan, dan adsorben timbal.
61
Lampiran 3. Lanjutan
Suku Jenis Potensi
Pteridaceae Adiantum capillus-
veneris
Tanaman hias, pemanis dalam
rangkaian bunga potong, obat
penyakit cacar, antimikroba untuk
melawan Escherichia coli,
Tricophyton rubrum, dan Aspergillus
tereus.
Pityrogramma
calomelanos
Tanaman hias, bahan pangan,
fitoremediasi tanah yang tercemar
Arsenik, Timbal, Zink, obat disentri,
malaria,dan sakit ginjal.
Pteris fauriei Fitoremediasi lingkungan yang
terkontaminasi logam berat Arsenik.
P. vittata Tanaman hias, hiperakumulator
terhadap logam berat merkuri,
mencegah penuaan dan penyakit
kronis.
Selaginellaceae Selaginella plana Obat luka ringan, menghentikan
pendarahan, jantung, stroke, malaria,
ulu hati, tanaman hias, penangkal roh
halus, dan ular berbisa.
S. willdenowi Sayuran, obat sakit panas, sakit
pinggang, penyakit kulit, luka yang
disebabkan oleh harimau, luka
ringan, jamu yang biasa diminum
pasca persalinan, kerajinan tangan
atau ornamen.
Tectariaceae Tectaria vasta Obat tumor perut.
Thelypteridaceae Christella dentata Antimikroba yang berpotensi
melawan Bacillus subtilis,
Escherichia coli, Salmonella typhi,
Staphylococcus aureus, meredakan
nyeri tubuh, dan tanaman hias.
62
Lampiran 4. Proses Pembuatan Tumis Paku Andam dan Jamu Paluluntur
1. Proses Pembuatan Tumis Paku Andam
Bahan yang digunakan dalam proses pembuatan tumis paku andam atau P.
irregularis yaitu batang dan daun muda paku andam, bawang merah, bawang putih,
cabai rawit, garam, kaldu bubuk, saus tiram (selera), air, dan minyak goreng
secukupnya. Langkah pembuatannya yaitu batang dan daun muda paku andam
dicuci bersih, lalu direbus selama 1 menit, dan ditiriskan. Selanjutnya, bawang
merah, bawang putih, cabai merah di tumis hingga harum. Kemudian, masukkan
batang dan daun muda paku andam, tambahkan air, saus tiram, garam, dan kaldu
bubuk. Selanjutnya, tunggu hingga mendidih dan bisa disajikan.
2. Proses Pembuatan Jamu Paluluntur
Bahan yang digunakan dalam proses pembuatan jamu paluluntur yaitu daun
baluntas, daun sembung, daun dan akar ki urat, daun kiremak, daun kumis kucing,
daun singa depa, daun kuning (rumput bau), daun antanan beurit, daun ramu kuya,
daun tutul mata, daun kitajam, daun jonge item, daun kimules, daun kigenteng, daun
sirih, daun kahitutan, daun teh cina, daun binahong, daun kisepet, daun alpukat,
daun salam, daun mangandeuh (benalu), daun puspa, daun atau kulit manggis, daun
sirsak, daun harendong gula, daun tai landak, daun kibeling (pagar gedong), daun
kaluwis, daun suji, daun meniran, daun miana, akar dan daun pepaya, akar sirit
eurih, kunyit kuning, kunyit putih, kunyit hitam, banggle kuning, banggle hitam,
temu kunci, temulawak, lempuyang, buah laja goah, buah pala, cengkeh,
kayumanis, ketumbar, kencur, jahe hitam, jawer hayam, kacang tanah, serta akar,
batang, daun rane halus atau S.willdenowi, nasi aking, dan jagung.
Langkah pembuatan jamu paluluntur yaitu semua bahan dicuci bersih, lalu
dijemur. Selanjutnya bahan rimpang seperti kunyit dan sebagainya dipotong
terlebih dahulu, kemudian dijemur 1 - 3 hari hingga kering. Setelah kering, semua
bahan ditumbuk dan disangrai. Selanjutnya ditambah nasi aking dan jagung yang
telah digoreng.