Ibnusina Dan - Copy

23
1 KONSEP PENDIDIKAN IBNU SINA, AL-GHAZALI DAN AL- MAWARDI TENTANG PENDIDIK DAN ANAK DIDIK Oleh: muhiddin I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Al-Qur`an mengintroduksikan dirinya sebagai pemberi petunjuk kepada jalan yang lurus. 1 Petunjuk-petunjuknya memberi kesejahteraan dan kebahagiaan bagi manusia, baik secara pribadi maupun kelompok. Oleh karenanya, ditemukan petunjuk-petunjuk bagi manusia dalam bentuk tersebut. 2 Al-Qur`an berbicara tentang rasio dan kesadaran (Conscience) manusia. Selanjutnya al-Qur`an juga menunjukkan kepada manusia jalan terbaik guna merealisasikan dirinya, dalam mengembangkan dirinya dan mengantarkannya pada jenjang-jenjang kesempurnaan insani sehingga dengan demikian bisa merealisasikan kebahagiaan bagi dirinya baik di dunia maupun di akhirat. 3 Islam selaku agama yang paripurna memberikan tuntunan kepada umatnya di segala bidang kehidupan termasuk bidang pendidikan, yang segala sesuatunya berkenaan dengan pendidikan harus bersumber dari al- Qur'an maupun al-Hadits. Oleh Sebab itu, pakar pendidikan Islam seperti Ibnu Sina, Al-Ghazali, dan Al-Mawardi senantiasa berupaya menggali dan menganalisis sumber pendidikan dari al-Qur'an dan al-hadits terutama yang berkenaan dengan konsep pendidik dan anak didik. 1 Lihat QS. Al-Baqarah (2): 38, 37, 185, Ali Imran (3): 73,138, al- Taubah (9): 33. 2 M. Quraiysh Shihab, Membumikan al-Qur`an (Cet. I; Bandung: Mizan, l992), h. 172. 3 M. Usman Najati, Al-Qur`an dan Ilmu Jiwa (al-Qur`an wa Ilmu an- Nafs), terj. Ahmad Rafii Usmani (Cet.I; Bandung: Pustaka, l985), h. 1. Lihat QS. Al-Jatsiyah (45): 20.

Transcript of Ibnusina Dan - Copy

Page 1: Ibnusina Dan - Copy

1

KONSEP PENDIDIKAN IBNU SINA, AL-GHAZALI DAN AL-MAWARDI TENTANG PENDIDIK DAN ANAK DIDIK

Oleh: muhiddin

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al-Qur`an mengintroduksikan dirinya sebagai pemberi petunjuk kepada jalan yang lurus.1 Petunjuk-petunjuknya memberi kesejahteraan dan kebahagiaan bagi manusia, baik secara pribadi maupun kelompok. Oleh karenanya, ditemukan petunjuk-petunjuk bagi manusia dalam bentuk tersebut.2 Al-Qur`an berbicara tentang rasio dan kesadaran (Conscience) manusia. Selanjutnya al-Qur`an juga menunjukkan kepada manusia jalan terbaik guna merealisasikan dirinya, dalam mengembangkan dirinya dan mengantarkannya pada jenjang-jenjang kesempurnaan insani sehingga dengan demikian bisa merealisasikan kebahagiaan bagi dirinya baik di dunia maupun di akhirat.3

Islam selaku agama yang paripurna memberikan tuntunan kepada umatnya di segala bidang kehidupan termasuk bidang pendidikan, yang segala sesuatunya berkenaan dengan pendidikan harus bersumber dari al-Qur'an maupun al-Hadits. Oleh Sebab itu, pakar pendidikan Islam seperti Ibnu Sina, Al-Ghazali, dan Al-Mawardi senantiasa berupaya menggali dan menganalisis sumber pendidikan dari al-Qur'an dan al-hadits terutama yang berkenaan dengan konsep pendidik dan anak didik.

Terkait orang tua sekarang hampir setiap saat dicekam berbagai kecemasan karena tingkah laku anak didik tidak sesuai dengan ajaran al-Qur’an dan al-Hadits, sehingga kecurigaan orang tua peserta didik selalu tertuju pada upaya guru atau pendidik dalam mendidik anak-anaknya.

Kecurigaan orang tua lebih terfokus pada prilaku yang ditampilkan anak dalam kehidupan mereka sehari-hari di mana harapan mereka selaku orang tua, anaknya harus berprilaku seperti prilaku Rasulullah, namun mungkin karena dampak negatif yang dibawa oleh era globalitas ditambah dengan kurangnya profesionalitas guru dalam membina akhlak anak didik sehingga menyebabkan prilaku anak kontradiktif dengan nilai-nilai pendidikan yang diharapkan oleh orang tua mereka, yakni menjadi generasi islami yang diharapkan kelak dapat mengimplementasikan nilai-nilai ajaran al-Qur'an dan sunnah dalam kehidupan mereka di masa kini dan mendatang.

1 Lihat QS. Al-Baqarah (2): 38, 37, 185, Ali Imran (3): 73,138, al-Taubah (9): 33.

2 M. Quraiysh Shihab, Membumikan al-Qur`an (Cet. I; Bandung: Mizan, l992), h. 172.

3 M. Usman Najati, Al-Qur`an dan Ilmu Jiwa (al-Qur`an wa Ilmu an-Nafs), terj. Ahmad Rafii Usmani (Cet.I; Bandung: Pustaka, l985), h. 1. Lihat QS. Al-Jatsiyah (45): 20.

Page 2: Ibnusina Dan - Copy

2

Oleh karena itu dalam makalah ini penulis akan mengkaji pemikiran para pakar pendidikan seperti Ibnu Sina, Al-Ghazali, dan Al-Mawardi untuk menemukan kembali konsep pendidik dan anak didik yang bersumber dari ajaran agama Islam.

B. Rumusan Masalah

Bertolak dari uraian singkat di atas, maka yang menjadi rumusan permasalah dalam makalah ini adalah:

1. Bagaimana konsep pendidikan Ibnu Sina, dan pandangannya tentang Pendidik dan Anak Didik?

2. Bagaimana konsep pendidikan Al-Ghazali dan pandangannya tentang Pendidik dan Anak Didik?

3. Bagaimana konsep pendidikan Al-Mawardi dan pandangannya tentang Pendidik dan Anak Didik?

II. PEMBAHASAN

A. konsep pendidikan Ibnu Sina, dan pandangannya tentang Pendidik dan Anak Didik

1. Konsep Pendidikan Ibnu Sina

Berbicara masalah konsepsi pendidikan, terutama konsep pendidikan Islam maka sosok seorang Abu Ali al-Hussein bin Abdallah Ibnu Sina, sulit untuk diabaikan karena beliau telah banyak memberikan andil yang besar dalam meletakkan dasar-dasar pendidikan Islam, yang sangat berharga sekali dan tidak kecil pengaruhnya terhadap pendidikan Islam dewasa ini.

Ibnu Sina memandang bahwa pendidikan Islam adalah suatu proses untuk menyampaikan sesuatu menuju kesempurnaan.4 Dari konsep Ibnu Sina tentang pendidikan ini, penulis dapat memahaminya bahwa pendidikan merupakan suatu proses yang dilakukan orang dewasa secara sadar untuk mengantarkan anak yang sedang berkembang ke arah kesempurnaan secara berangsur-angsur dan berkesinambungan.

Dalam menganalisa pandangan Ibnu Sina di atas terindikasi bahwa ternyata Ibnu Sina telah mengintegrasikan antara nilai-nilai idealis dengan pandangan pragmatis. Hal ini tampak ketika Ibnu Sina memaparkan seperti yang dikutip Ali Al

4Mahmud Ahmad Assayyid, Mu’jizat al-Islam al-Tarbawiyah diterjemahkan oleh S.A.Zemool dengan judul “Mendidik Generasi Gur’ani” (Cet. III; Solo: Pustaka Mantiq, 1992), h. 18. “Kesempurnaan”, yang dimaksud dalam hemat penulis adalah penyucian dari berbagai hal yang dapat mengganggu konsentrasi anak sehingga anak tidak dapat membaca dengan perenungan yang berisikan pemahaman, pengertian, tanggung jawab dan penanaman amanah. Selanjutnya bandingkan dengan seorang pakar pendidikan Islam Abdul Fattah Jalal dalam bukunya Min Ushul al-Tarbawiyah Fii al-Islam (Mesir: Dar al-Baby al-Khalabiy, 1977), h. 29.

Page 3: Ibnusina Dan - Copy

3

Jumbulati bahwa jika anak telah selesai belajar Al-Qur'an dan menghafal dasar-dasar pragmatika, saat itu amatilah apa yang ia inginkan mengenai pekerjaannya, maka arahkanlah ia ke jalan itu. Jika ia menginginkan menulis maka hubungkanlah dengan pelajaran bahasa surat menyurat, bercakap-cakap dengan orang lain serta berbincang-bincang dengan mereka dan sebagainya.5

Dalam perspektif penulis pendidikan Islam modern hendaknya mengarahkan manusia (anak didik) agar menjadi pribadi yang utuh dalam segala aspeknya, sebagaimana yang diharapkan yakni manusia setelah mendapatkan predikat sebagai manusia terdidik, maka ia harus mampu mengembangkan potensi akal dan hati nuraninya untuk kepentingan diri dan lingkungan (masyarakat) sekitarnya. Sebenarnya, konsep pendidikan Ibnu Sina dititikberatkan pada pendidikan usia dini, yang hingga sekarang ini pendidikan usia dini ini cukup menggembirakan karena merupakan hal yang urgen bagi kelangsungan hidup seseorang.

Ibnu Sina dalam kitab al-Siyasahnya sejak awal telah memberikan perhatian serius terhadap pendidikan anak usia dini. Dalam kitabnya tersebut, Ibnu Sina memaparkan tentang konsep pendidikan usia dini yang harus diawali dengan pemberian nama yang baik. Hal ini penting karena nama yang baik merupakan hal urgen bagi pembentukan karakter diri si anak (fi takwin mafhum al-Dzat inda al-thifli). Sebuah nama berpretensi bagi kelangsungan sikap, prilaku, dan tradisi yang baik. Sejak awal, anak harus diberikan atau dibiasakan berprilaku, berucap-kata, dan berpenampilan yang baik. Pujian dan hukuman dalam mendidik anak (istkhdam al-tsawab wa al-‘iqab fi ta’dib al-thifli) adalah dibenarkan, sepanjang tidak merusak mental atau kejiwaan dan fisik si anak, melainkan dapat memulihkan kesadaran dan kepekaan mereka ke arah yang lebih baik.

Dalam hal tersebut Ibnu Sina berkata seperti yang dikutip Imam Tholkhah dan Ahmad Barizi sebagai berikut:

Jika anak sudah disapih dari susu ibunya, maka hendaknya segera dididik dan dilatih atau dibiasakan dengan etika yang baik sebelum pribadinya dikuasai oleh etika yang jelek, sebelum dikurung oleh sangkar tabiat yang buruk, dan sebelum dipenjara oleh tradisi yang salah. Karena anak kecil mudah sekali dipengaruhi oleh etika yang baik dan sekaligus etika yang buruk. Karena itu, pendidikan yang diberikan kepadanya harus diusahakan menjauhkan mereka dari etika yang jelek, dari tabiat yang buruk, dan dari tradisi yang salah, dengan pujian dan celaan, ganjaran dan hukuman, penerimaan dan penolakan, hadiah dan siksaan, sesuai kondisi yang bersangkutan. Jika perlu, pendidikan pemulihan anak ke arah etika yang baik dilakukan dengan pukulan sejauh tidak merusak dan menjadikannya penakut sebagaimana banyak dilakukan oleh ahli hikmah bagi murid-muridnya.6

5Ibid., h. 118. 6Imam Tholkhah dan Ahmad Barizi, Membuka Jendela Pendidikan (Mengenai Akar Tradisi

dan Integrasi Keilmuan Pendidikan Islam) (Edisi 1; Cet. 1; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), h. 254.

Page 4: Ibnusina Dan - Copy

4

Jika dianalisis pandangan Ibnu Sina di atas, tergambar bahwa jika anak kecil sudah mampu berbicara dan siap menerima pelajaran, maka yang perlu diajarkan adalah al-Qur'an, prinsip-prinsip agama, menulis, lagu-lagu dan syair serta sastra. Karena hal ini dapat menjadikan bagi anak untuk mampu menghayati nilai-nilai bagi terwujudnya etika yang utama, ilmu yang terpuji, hinanya kebodohan, dan celanya kelemahan atau sesuatu yang tidak masuk akal (‘aib al-sakhaf). Di samping itu, Ibnu Sina juga terkenal dengan konsep pendidikannya “learning by doing” yakni belajar sambil bekerja.7 Konsep “learning by doing” ini sesungguhnya merupakan integrasi antara teori dan praktik. Model pendidikan seperti ini dipraktikkan oleh Ibnu Sina pada semua sistem pendidikan profesional khususnya bidang kedokteran.8 Asumsi ini penulis memandangnya bahwa teori tanpa praktik tidak bermakna, sebaliknya praktik tanpa teori tidak bisa menghasilkan kualitas yang memadai, artinya seluruh sistem dan metode yang ada harus bisa diselaraskan secara berkesinambungan terhadap minat, bakat, dan kebutuhan anak didik di segala situasi dan kondisi.

Bertolak dari uraian yang telah dipaparkan di atas, maka penulis mencoba menarik suatu konklusi bahwa konsep pendidikan Ibnu Sina pada dasarnya selain sebagai suatu proses menyampaikan sesuatu menuju kesempurnaan, maka seorang pendidik bertugas menyampaikan sesuatu kepada anak didik ke arah kesempurnaan secara berkesinambungan yang diawali dengan tazkirah atau penyucian dan pembersihan diri anak didik dari segala kotoran dan menjadikan diri anak didik itu untuk senantiasa berada dalam kondisi yang prima untuk menerima al-hikmah. Konsep pendidikan Ibnu Sina juga bertumpuh pada perbaikan etika (pendidikan akhlak), pendidikan usia dini dan konsep pendidikan learning by doing atau belajar sambil bekerja yang dipraktikkan sendiri oleh Ibnu Sina pada semua sistem pendidikan keprofesionalan terutama dalam bidang kedokteran. Beliau beralasan bahwa teori tanpa praktik tidak bermakna, praktik tanpa didasari teori tidak akan bisa memberikan hasil yang berkualitas. Karena itu, seluruh sistem dan metode harus sesuai dengan kognitif, afektif dan psikomotor anak didik, sehingga pendidikan yang diberikan kepada anak didik dapat selaras dan berkesinambungan.

2. Pendidik dan Anak Didik2.1. Pendidik

Bertolak dari konsep pendidikan yang dikemukakan Ibnu Sina bahwa pendidikan adalah suatu proses untuk menyampaikan sesuatu menuju kesempurnaan, maka seorang pendidik bertugas menyampaikan sesuatu kepada anak didik ke arah kesempurnaan secara berkesinambungan yang diawali dengan tazkirah atau penyucian dan pembersihan diri anak dari segala kotoran dan menjadikan diri anak didik itu untuk senantiasa berada dalam kondisi yang prima untuk menerima al-hikmah.

7Ibid., h. 259. 8Ibid.

Page 5: Ibnusina Dan - Copy

5

Menurut Ibnu Sina bahwa guru yang baik adalah guru yang memiliki wawasan keagamaan dan etika (dza din wa khuluq), kepribadian yang kokoh, kecerdasan dan retorika yang baik (labib wa huluw al-hadits),9 dan kearifan dalam memilih metode yang pas bagi pendidikan anak. Dengan demikian, menurut Ibnu Sina guru yang baik dipilih berdasarkan kompetensi profesional di dalam pembentukan kepribadian anak didik.10 Lebih lanjut Ibnu Sina menambahkan bahwa seorang guru itu sebaiknya dari kaum pria yang terhormat dan menonjol budi pekertinya, cerdas, teliti, sabar, telaten dalam membimbing anak-anak, adil, hemat dalam penggunaan waktu, gemar bergaul dengan anak-anak, tidak keras hati dan senantiasa menghias diri. Selain itu, juga guru harus mengutamakan kepentingan umat daripada kepentingan diri sendiri, menjauhkan diri dari meniru sifat raja dan orang-orang yang berakhlak rendah, mengetahui etika dalam majelis ilmu, sopan dan santun dalam berdebat, berdiskusi dan bergaul.11

Konsep guru yang ditawarkan Ibnu Sina seperti dipaparkan di atas berkisar pada guru yang baik. Dalam hubungan ini, guru yang baik adalah guru yang berakal cerdas, beragama, mengetahui cara mendidik akhlak, cakap dalam mendidik anak, berpenampilan tenang, jauh dari berolok-olok dan main-main di hadapan anak didiknya, tidak bermuka musam, sopan santun, bersih dan suci murni.

Bertolak dari persepsi Ibnu Sina tentang konsep pendidik (guru), jika diamati secara seksama tampak bahwa potret guru yang dikehendaki Ibnu Sina adalah guru yang lebih lengkap dari potret guru yang dikemukakan para ahli lainnya. Dalam pendapatnya, Ibnu Sina selain menekankan unsur kompetensi atau kecakapan dalam mengajar, juga berkepribadian yang baik. Dengan kompetensi itu, seorang guru akan dapat mencerdaskan anak didiknya dengan berbagai pengetahuan yang diajarkannya, dan dengan akhlak ia akan dapat membina mental dan akhlak anak.

Guru seperti itu, dapat dipahami bahwa konsep pendidikan Ibnu Sina ternyata hingga sekarang ini baik di negara-negara maju maupun bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia, dijadikan suatu acuan dalam memilih dan mengangkat seorang guru. Dalam pemilihan dan pengangkatan seorang guru persyaratan utamanya yang harus diperhatikan oleh pihak yang berwenang adalah kemampuan kompetensinya dalam menjalankan tugas utamanya sebagai pendidik dan pengajar. Sebab dalam analisis penulis, menunjukkan bahwa guru yang demikian itu, tampaknya diangkat dari sifat dan kepribadian yang terdapat pada diri Ibnu Sina sendiri, yang selain memiliki kompetensi akhlak yang baik, juga memiliki kompetensi kecerdasan dan keluasan ilmu, sebagaimana Ibnu Sina dikenal sebagai salah satu pelopor ilmu pengetahuan terutama dari bidang ilmu kedokteran.

2.2. Anak Didik

9Ibid., h. 257. 10Ibid., h. 258. 11Lihat Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam (Seri Kajian Filsafat

Pendidikan Islam). (Cet. II; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001), h. 78.

Page 6: Ibnusina Dan - Copy

6

Keluarga, dideskripsikan Ibnu Sina, seharusnya bisa menjadi taman pendidikan pertama dan utama bagi anak. Karena itu, orang tua sebaiknya memahami apa yang sebetulnya dibutuhkan anak-anak mereka. Selain orang tua, juga harus bisa menularkan nilai-nilai sosial, seperti rasa belas kasih (pendekatan kekeluargaan) dan empati terhadap orang lain. Caranya, melakukan sharing atau berbagi pengalaman yang dapat dilakukan secara informal ataupun dengan bermain di rumah.

Para orang tua seringkali salah dalam menilai atau mengawasi anak-anaknya, karena adanya rasa kekhawatiran pada anak-anaknya tidak beranjak dewasa seperti yang diharapkannya membuat mereka cenderung mengekang kebebasan anak-anaknya, padahal langkah tersebut justeru tidak membuat anak bahagia karena diperhatikan orang tuanya. Sebaliknya, anak merasa terkekang sehingga malah menimbulkan sesuatu yang justeru jauh dari harapan orang tuanya.

Sementara sekolah yang menyelenggarakan pendidikan usia dini dalam asumsi penulis haruslah melibatkan partisipasi aktif orang tua agar tidak terkesan hanya menjadi panti penitipan anak. Artinya, jangan sampai sekolah pendidikan anak itu hanya menjadi majelis anak secara rutin, kurang variatif, kurang memperhatikan kompetensi pribadi si anak, sosialisasi kepatuhan daripada otonomi, dan celakanya orang tua pun cenderung melepaskan tanggung jawab mereka sebagai pengasuh kepada sekolah.

Partisipasi aktif orang tua dan keterlibatan mereka dalam pertemuan-pertemuan di sekolah mutlak dibutuhkan bagi kesinambungan pendidikan anak, karena anak didik dalam perspektif Ibnu Sina adalah termasuk objek atau sasaran yang harus diarahkan agar kelak menjadi lebih baik (anak didik menjadi tujuan bagi pengajaran yang dilakukan guru agar anak dapat kembali menjadi fitrah, sesuai dengan potensi kelahirannya).

B. konsep pendidikan Al-Ghazali dan pandangannya tentang Pendidik dan Anak Didik

1. Konsep Pendidikan Al-Ghazali

Salah satu keistimewaan Al-Ghazali adalah beliau sebagai seorang peneliti, pembahasan dan pemikirannya yang sangat luas dan mendalam, sehingga beliau memandang suatu problem dari berbagai aspek dan sudut pandang yang luas dan mendalam. Demikian pula menurut penulis, bahwa Al-Ghazali mempunyai pemikiran dan pandangan luas mengenai aspek-aspek pendidikan dalam arti bukan hanya memperlihatkan aspek akhlak semata-mata sebagaimana yang dituduhkan oleh sebagian sarjana dan ilmuan, tetapi juga memperhatikan aspek-aspek yang lain, seperti aspek keimanan atau ketauhidan, akhlak, sosial dan jasmaniyah serta lainnya. Jadi pada hakikatnya, usaha pendidikan dalam pandangan Al-Ghazali adalah mementingkan aspek-aspek pendidikan itu dan mewujudkannya secara utuh dan terpadu karena konsep pendidikan yang dikembangkan Al-Ghazali senantiasa berlandaskan dan berangkat dari kandungan ajaran Islam dan tradisi Islam, berprinsip pada pendidikan manusia seutuhnya.

Page 7: Ibnusina Dan - Copy

7

Pemaparan di atas, mendorong penulis berusaha menganalisis pokok-pokok pikiran Al-Ghazali tentang pendidikan yang diklasifikasikan menurut faktor-faktor pendidikan. Pada dasarnya, perspektif Al-Ghazali tentang pendidikan dikategorikan kepada 5 (lima) faktor, yakni faktor tujuan pendidikan, faktor alat pendidikan (media), faktor lingkungan, faktor pendidik dan faktor anak didik.12

Pada prinsipnya, pendidikan dalam perspektif Al-Ghazali mengacu kepada tujuan pendidikan dan teknik atau metode mengajar dan adab sopan santun seorang guru. Al-Ghazali menegaskan bahwa tugas pendidikan adalah mengarah pada realisasi tujuan keagamaan dan akhlak, di mana fadhilah dan taqarrub kepada Allah merupakan tujuan yang paling penting dalam pendidikan.13

Pandangan Al-Ghazali tentang tujuan pendidikan mendapat pengaruh dari falsafah tasawwufnya, yakni bersifat keagamaan dan keakhlakan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt., sekaligus untuk mendapatkan keridhoanNya.14 Dalam analisis Zainuddin, dkk., menemukan tiga tujuan pendidikan yang ditemukan dalam kitab Al-Ghazali, terutama dalam kitab Ihya’ Ulum al-Dien, yakni:

1. Tujuan mempelajari ilmu pengetahuan semata-mata untuk ilmu pengetahuan itu saja.

2. Tujuan utama pendidikan adalah pembentukan akhlak.

3. Tujuan pendidikan adalah untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.15

Jika dilihat dari tujuan pendidikan Al-Ghazali yang dikemukakan oleh Zainuddin di atas, tergambar bahwa Al-Ghazali menghendaki keluhuran rohani, keutamaan jiwa, kemuliaan akhlak dan kepribadian yang kuat, merupakan tujuan utama dari pendidikan bagi kalangan manusia muslim, karena akhlak adalah aspek fundamental dalam kehidupan seseorang, masyarakat maupun suatu negara. Karena itu, tujuan siswa dalam mempelajari segala ilmu pengetahuan pada masa sekarang, adalah kesempurnaan dan keutamaan jiwanya.16

Betapapun modernnya suatu pemikiran atau gagasan tentang suatu sistem pendidikan, namun tetap harus mempunyai filsafat khusus yang mengarahkannya, serta menggariskan langkah-langkah dan metode-metodenya. Oleh karena itu, Al-Ghazali tentang filsafat dan pandangannya tentang hidup secara umum telah mensugestinya untuk berpikir tentang sistem pendidikan tertentu yang dibatasi dengan tujuan yang jelas. Dalam bukunya Ihya Ulum al-Dien vol. I tentang ilmu dan pengajaran, ditemukan secara jelas adanya dua sasaran yang hendak dicapai oleh

12Zainuddin, dkk. Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali (Cet. I; Jakarta: Bumi Aksara, 1991), h. 42.

13Ali Al-Jumbulati, Dirasah al-Islamiyah fi al-Tarbiyyah al Islamiyah diterjemahkan oleh H.M. Arifin dengan judul “Perbandingan Pendidikan Islam”, (Cet. I; Jakarta: Rineka Cipta, 1994), h. 113.

14Ibid., h. 135. 15Zainuddin, dkk., op. cit., h. 42-46 16Ibid., h. 44.

Page 8: Ibnusina Dan - Copy

8

pendidikan, yakni kesempurnaan insani yang tujuannya adalah taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah, dan kesempurnaan insani yang tujuannya kebahagiaan dunia dan akhirat.17

Kutipan di atas, menggambarkan bahwa pendidikan dalam perspektif Al-Ghazali secara umum adalah sesuai dengan konsepsi pendidikan Islam, konsepsi religius moralis, namun tetap tidak mengabaikan unsur-unsur duniawinya. Karena dalam pandangan Al-Ghazali dunia adalah ladang tempat persemaian benih-benih akhirat.

Al-Ghazali menegaskan bahwa:

Tujuan manusia itu tergabung dalam agama dan dunia. Agama tidak akan teratur melainkan dengan teraturnya dunia, dan dunia adalah tempat menyebar benih bagi akhirat dan sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah bagi orang yang ingin mengambilnya menjadikan alat dan tempat tinggal.18

Bertolak dari kutipan di atas, tergambar bahwa walaupun Al-Ghazali pernah menghindari kehidupan duniawi tetapi kemudian ia meralatnya melalui konsepsi pendidikannya yang menggambarkan bahwa Al-Ghazali tidak mengabaikan urusan keduniaan, bahkan dia telah mempersiapkan urusan-urusan dan kebahagiaan duniawi hanya merupakan alat untuk mencapai kebahagiaan hidup di akhirat yang lebih utama dan lebih kekal dari kebahagiaan hidup di dunia.

Dari pemaparan singkat di atas, bila ditinjau dari warna agamisnya yang menampilkan corak tersendiri bagi pendidikan Islam, dalam pandangan Al-Ghazali lebih banyak cenderung kepada pendidikan rohaniah. Kecenderungan ini sejalan dengan filsafatnya yang sufi. Jadi tujuan pendidikan menurut Al-Ghazali adalah kesempurnaan insani di dunia dan di akhirat. Manusia dapat mencapai kesempurnaan melalui pencaharian keutamaan dengan menggunakan pengetahuan (ilmu). Keutamaan itu akan memberinya kebahagiaan di dunia serta mendekatkannya kepada Allah, sehingga dia akan mendapatkan pula kebahagiaan di akhirat.

2. Pendidik dan Anak Didik2.1. Pendidik

Al-Ghazali mempergunakan istilah pendidik dengan berbagai kata antara lain al-Muallimin (guru), al-Mudarris (pengajar), al-Muaddib (pendidik), dan al-Walid (orang tua). Namun dalam pembahasan yang terbatas ini, penulis secara spesifikasi hanya akan membahas singkat tentang istilah pendidik dalam arti yang umum, yang bertugas dan bertanggungjawab atas pendidikan dan pengajaran. Pekerjaan “mendidik dan mengajar pada tempat yang paling tinggi karena pekerjaan

17Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Dien Edisi Indonesia oleh Hamzah Ya’qub, vol I, (Cet. I; Bandung: Pustaka Pelajar, 1972), h. 52.

18Ibid., vol III., h. 12.

Page 9: Ibnusina Dan - Copy

9

itu merupakan paling mulia dan pekerjaan yang paling mendekati pekerjaan Rasulullah Saw”.19

Jadi mendidik dan mengajar adalah sangat mulia, karena secara naluri orang yang berilmu itu dimuliakan dan dihormati oleh orang. Dan ilmu pengetahuan itu sendiri adalah mulia, maka mengajarkannya adalah memberikan kemuliaan. Itulah sebabnya, Al-Ghazali menempatkan kedudukan pekerjaan mendidik dan mengajar itu pada proporsi dan status terhormat, tinggi dan mulia. Guru atau pendidik merupakan figur teladan yang mesti ditiru dan diharapkan dalam memperlakukan anak didiknya tidak seperti domba atau ternak yang perlu digembala atau didisiplinkan. Oleh karena itu, seorang guru harus berbudi dan beriman sekaligus amalnya, yang perbuatannya sendiri dapat memberikan pengaruh jiwa anak didiknya.

Dari keterangan singkat di atas, penulis memandang bahwa dalam perpektif Al-Ghazali tentang pendidik adalah seorang sosok yang harus memiliki berbagai prasyarat sehingga dapat menjadi figur teladan tidak hanya bagi anak didiknya, tetapi juga pada lingkungan sekitarnya. Karena itu, persyaratan yang harus dimiliki guru adalah:

a) Hendaknya mencintai anak didiknya bagaikan anaknya sendiri.

b) Guru jangan mencari bayaran dari pekerjaan mengajarnya demi mengikuti jejak Rasulullah Saw., dengan alasan bahwa pekerjaan mengajar itu lebih tinggi harganya daripada harta benda.

c) Guru hendaknya menasehati anak didiknya agar jangan mencari ilmu untuk kemegahan atau mencari penghidupan.

d) Guru wajib menasehati anak didiknya agar mencari ilmu untuk kebahagiaan dunia dan akhirat.

e) Guru harus memperhatikan bakat, minat dan kemampuan yang dimiliki anak didiknya.

f) Guru harus memperhatikan karakteristik anak didik secara individu.20

Al-Ghazali memberikan tempat terhormat terhadap profesi mengajar. Ia banyak mengutip teks al-Qur'an dan al-Hadits untuk memperkuat argumentasinya bahwa profesi pendidik merupakan tugas yang paling utama dan mulia. Asrorun Ni’am Sholeh dalam mengutip pandangan Al-Ghazali tentang posisi pendidik yang dianggap sama atau sederetan para nabi, sebagaimana Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Dien bahwa:

Makhluk (Allah) yang paling utama di atas bumi adalah manusia. Bagian manusia yang paling utama adalah hatinya. Sedangkan seorang pendidik sibuk memperbaiki, membersihkan, menyempurnakan dan mengarahkan hati agar selalu dekat kepada Allah Swt., maka megajar ilmu adalah ibadah dan

19Ali Al-Jumbulaty, op. cit., h. 136. 20Ibid., h. 142.

Page 10: Ibnusina Dan - Copy

10

pemenuhan tugas sebagai khalifah Allah, bahkan merupakan tugas kekhalifaan Allah yang paling utama. Sebab Allah telah membukakan hati seorang alim untuk menerima suatu pengetahuan dan sifat-sifatNya yang paling istimewa. Hati itu bagaikan gudang yang berisi benda-benda yang paling berharga, kemudian ia diberi izin untuk membagikan kepada orang yang membutuhkan. Maka derajat mana yang lebih tinggi dari seorang hamba yang menjadi perantara antara Tuhan dengan makhluk-Nya dalam mendekatkan mereka kepada Allah dan menggiring mereka menuju surga tempat peristirahatan abadi.21

Dari kutipan di atas, tergambar bahwa posisi pendidik yang sengat mulia itu sebagai konsekuensi atas posisi strategis pendidik di tengah komunitas masyarakat. Itulah sebabnya, Al-Ghazali memberikan batasan profesi pendidik sebagai persyarat yang harus dipenuhi, yakni;

1. Harus mempunyai sifat kasih sayang terhadap anak didik dan mampu memperlakukan mereka seperti anak sendiri.

2. Pendidik melakukan aktivitas karena Allah, yakni tidak mengkomersialisasikan dunia pendidikan (pendidikan Gratis).

3. Harus mampu memberikan nasehat pada anak didik,

4. Harus mampu mengarahkan anak didik kepada hal-hal yang positif dan mencegah mereka melakukan aktivitas yang destruktif,

5. Mengenali tingkat nalar dan intelektualisme anak didik,

6. Pendidik harus mampu menumbuhkan kegairahan anak didik terhadap ilmu yang dipelajarinya tanpa ada sikap apriori terhadap disiplin ilmu yang lain,

7. Harus mampu mengidentifikasi kelompok anak didik usia dini dan secara khusus memberikan materi ilmu pengetahuan yang sesuai dengan perkembangan kejiwaannya,

8. Harus mampu memberikan teladan kepada anak didiknya.22

Dengan demikian, penulis memandang bahwa konsep pendidik bagi Al-Ghazali adalah orang yang berprofesi sebagai pengajar, pendidik sehingga ia bekerja menyempurnakan, membersihkan, mensucikan dan membawakan hati itu mendekatkan kepada Allah Swt. Oleh karena itu, seorang guru adalah orang yang menempati status yang mulia di dataran bumi, ia mendidik jiwa, hati, akal dan roh manusia.

2.2. Anak Didik

Di samping pendidik, Al-Ghazali juga berpandangan bahwa unsur terpenting dari pendidikan adalah anak didik. Al-Ghazali mempergunakan istilah

21Asrorun Ni’am Sholeh, Reorientasi Pendidikan Islam; Mengurai Relevansi Konsep Al-Ghazali dalam Konteks Kekinian. (Cet. V; Jakarta: eLSAS, 2007), h. 71-72.

22Lihat ibid., h. 72-75.

Page 11: Ibnusina Dan - Copy

11

anak dengan beberapa kata, seperti al-Shobiy (kanak-kanak), al-Mutatallim (pelajar), dan tholibul ilmi (penuntut ilmu pengetahuan).23 Oleh karena itulah, istilah anak didik di sini dapat diartikan dengan anak yang sedang mengalami perkembangan jasmani dan rohani sejak awal terciptanya dan merupakan obyek utama dari pendidikan dalam arti yang luas. Al-Ghazali juga memandang bahwa anak didik hendaknya tidak terpaku pada urusan keduniawiah semata, tapi hendaknya ia mengurangi ketergantungannya kepada dunia, karena ketergantungan kepada dunia semata dapat menyebabkan seseorang lalai dalam menuntut ilmu.24

Jika dianalisa pandangan Al-Ghazali di atas, secara singkat diketahui bahwa anak didik memiliki potensi fitrah yang dibawa sejak lahir, yakni suatu sifat dari dasar anak didik (manusia) yang dibekali sejak lahirnya dengan memiliki keistimewaan yang dapat mendorongnya apabila mendapat pendidikan yang baik untuk beriman kepada Allah Swt., dapat mengembangkan kemampuan dan kesediaannya untuk menerima kebaikan dan keturunan atau dasar kemampuan untuk menerima pendidikan dan pengajaran, mensugesti dirinya untuk mencari hakikat kebenaran yang merupakan daya untuk berpikir, dan kekuatan-kekuatan lain dan sifat-sifat manusia yang dapat dikembangkan dan disempurnakan.

Secanggih apapun metode yang digunakan, jika tidak didukung oleh kondisi terbaik anak didik maka proses pendidikan itu tidak berhasil. Anak didik dalam proses pendidikan ditempatkan sebagai obyek sekaligus subyek. Kondisi anak didik sangat menentukan suksesnya proses pendidikan.25

Pada dasarnya, sungguh banyak hal yang dapat dibicarakan tentang konsep Al-Ghazali yang berkenaan dengan pendidikan, terutama anak didik. Namun demikian, pada uraian ini penulis hanya membahas secara singkat saja yang dianggap inti dari sekian pembahasan yang ada, baik oleh Al-Ghazali sendiri maupun pandangan pakar lain tentang Al-Ghazali. Oleh karena itu, Al-Ghazali memandang bahwa anak didik adalah manusia kecil yang masih memiliki jiwa suci dan bersih sehingga masih mudah untuk dibina dan didik. Namun pada usia dini ini pula anak didik gampang menerima apa saja yang diajarkan, dilihat dan didengar olehnya, sehingga bilamana pendidikan yang diterimanya adalah pendidikan yang baik, maka kelak iapun akan menjadi baik. Demikian pula sebaliknya, jika pendidikan yang diterimanya tidak baik, maka kelak anak itupun menjadi kurang baik.

Dari situlah menurut hemat penulis perlunya tercipta hubungan kerjasama yang komunikatif antara pihak pendidik, orang tua anak didik, dan lingkungan sekitar (masyarakat), dan pemerintah sehingga setidaknya mempersempit ruang gerak bagi anak untuk berbuat (mengembangkan potensi nigatif yang diterimanya dari luar)

23Zainuddin, dkk., op. cit., h. 64.

24 Fathiyyah Hasan Sulaiman, Mazahib Fi al-Tarbiyah Bahtsu Fi al-Mazahib al-Tarbawiyi Inda al-Ghazali diterjemahkan oleh Herry Noer Aly, dengan judul “Alam Pikiran al-Ghazali Mengenai Pendidikan dan Ilmu”. (Cet. I; Bandung: Diponegoro, 1986). h. 57.

25Asrorun Ni’am Sholeh, op. cit., h. 75.

Page 12: Ibnusina Dan - Copy

12

segala tindakan yang kontra produktif dengan norma-norma agama, norma adat istiadat masyarakat dan hukum-hukum negara yang berlaku.

Selanjutnya, jika dikaji uraian-uraian Al-Ghazali dalam berbagai karyanya terutama pada Ihya’ al-Ulum al-Dien tentang aspek pendidikan, dapat dipahami bahwa dalam dunia pendidikan aspek-aspek afektif dan psikomotorik perlu mendapatkan perhatian. Sebaliknya, Al-Ghazali menempatkan aspek kognitif dalam prioritas kedua. Pertimbangannya, bahwa jika anak kecil sudah terbiasa melakukan hal yang positif maka di masa berikutnya akan lebih mudah untuk berkepribadian saleh. Kemudian secara otomatis pengetahuan yang bersifat kognitif akan mudah diperoleh.

C. konsep pendidikan Al-Mawardi dan pandangannya tentang Pendidik dan Anak Didik

1. Konsep Pendidikan Al-Mawardi

Pemikiran Al-Mawardi dalam bidang pendidikan sebagian besar terkonsentrasi pada masalah etika hubungan guru dan anak didik dalam proses belajar mengajar. Pemikiran ini dapat dipahami, karena dari seluruh aspek pendidikan, guru memegang peranan amat penting, bahkan berada pada garda terdepan. Keberhasilan pendidikan sebagian besar bergantung kepada kualitas guru baik dari segi penguasaannya terhadap materi pelajaran yang diajarkan maupun cara menyampaikan pelajaran tersebut serta kepribadiannya yang baik, yakni pribadi yang terpadu antara ucapan dan perbuatannya secara harmonis.26

Jika dilihat kutipan di atas, tampak jelas bahwa pemikiran Al-Mawardi dalam bidang pendidikan banyak terkonsentrasi pada masalah kepribadian guru. Kepribadian inilah yang tampaknya diutamakan. Sebenarnya, seorang guru tidak hanya harus memiliki kepribadian yang baik, tetapi juga harus memiliki latar belakang ilmu keguruan dan penguasaan yang baik terhadap materi pelaajran yang akan diajarkannya.

2. Pendidik dan Anak Didik

2.1. Pendidik

Al-Mawardi memandang penting seorang guru yang memiliki sikap tawadhu serta menjauhi sikap ujub (besar kepala). Hal ini terlihat pandangan Al-Mawardi tentang sikap tawadhu akan menimbulkan simpatik dari pada anak didik, sedangkan sikap ujub akan menyebabkan guru kurang disenangi.27

Sikap tawadhu bukanlah menghinakan diri atau merendahkan diri ketika berhadapan dengan orang lain, karena sikap ini akan menyebabkan orang lain meremehkannya. Sikap tawadhu akan menumbuhkan rasa persamaan, menghormati orang lain, toleransi serta rasa senasib dan cinta keadilan.

26Ibid., h. 47. 27Ibid., h. 50.

Page 13: Ibnusina Dan - Copy

13

Sikap tawadhu akan menyebabkan guru bersikap demokratis dalam menghadapi anak didiknya. Sikap demokratis ini mengandung makna bahwa guru berusaha mengembangkan individu seoptimal mungkin, menempatkan peranannya sebagai pemimpin dan pembimbing dalam proses belajar mengajar yang berlangsung dengan utuh dan luwes di mana seluruh anak didik terlibat di dalamnya. Pelaksanaan demokratis di dalam kegiatan belajar mengajar dapat diwujudkan dalam bentuk interaksi antara siswa dengan siswa, dan antara siswa dengan guru.

Seorang guru menurut Al-Mawardi selanjutnya adalah harus bersikap ikhlas dan menghindari riya’. Juga seorang guru harus mencintai tugasnya, dan motif yang paling utama adalah karena panggilan jiwanya untuk berbakti kepada Allah Swt., dengan tulus ikhlas, dan menjadikan keridhaan dan pahala dari Allah sebagai tujuan dalam melaksanakan tugas mengajar dan mendidik anak didiknya, bukan mengharapkan balasan berupa materi.28

Pemaparan tentang pendidik dalam perspektif Al-Mawardi di atas, dapat dipahami bahwa Al-Mawardi mengingatkan tentang peranan dan figur yang dimiliki seorang guru yang dapat dicontoh (teladani) oleh anak didik dan masyarakat sekitarnya. Oleh karena itu, segala tingkah laku guru harus sesuai dan sejalan dengan norma dan nilai ajaran agama yang berasal dari wahyu. Oleh karena itulah, hendaknya seorang guru atau pendidik menjadikan amal atas ilmu yang dimilikinya serta memotivasi diri untuk selalu berusaha memenuhi segala tuntutan ilmu.

2.2. Anak Didik

Al-Mawardi memandang bahwa seorang anak didik atau murid akan belajar sungguh-sungguh dan ulet dengan mencurahkan pikiran, tenaga, biaya dan waktu yang cukup banyak demi mencapai kesuksesan, jika ia menyadari manfaat belajar, sehingga kegiatan belajar ini dirasakannya sebagai suatu kebutuhan, dan sesuatu hal yang penting baginya.29

Jika dianalisis lebih mendalam perspektif Al-Mawardi tentang anak didik, tergambar betapa besarnya perhatian beliau terhadap anak didik. Hal ini terbukti betapa besar perhatian Al-Mawardi terhadap guru dengan persyaratan yang ketat namun longgar yang tertumpu keikhlasan guru menjalankan tugasnya, sehingga ia memiliki kemampuan berkreasi dan berinovasi dalam proses belajar mengajar yang dilandasi dengan rasa sayang, keadilan, mempermudah jalan bagi muridnya, berusaha keras menolong dan membantu muridnya, yang kesemuanya itu akan menghasilkan pahala yang besar di sisi Allah Swt.

III. KESIMPULAN

Pada uraian ini, secara khusus akan dikemukakan secara deskriptif tentang kesimpulan dari uraian sebelumnya.

28Ibid., h. 51. 29Ibid., h. 57.

Page 14: Ibnusina Dan - Copy

14

1. Ibnu Sina konsep pendidikannya bertumpuh pada perbaikan etika (pendidikan akhlak), pendidikan usia dini dan konsep pendidikan learning by doing atau belajar sambil bekerja yang dipraktikkan sendiri oleh Ibnu Sina pada semua sistem pendidikan keprofesionalan terutama dalam bidang kedokteran. Guru yang baik dipilih berdasarkan kompetensi profesional di dalam pembentukan kepribadian anak didik. Anak didik dalam perspektifnya termasuk objek atau sasaran yang harus diarahkan agar kelak menjadi lebih baik (anak didik menjadi tujuan bagi pengajaran yang dilakukan guru agar anak dapat kembali menjadi fitrah, sesuai dengan potensi kelahirannya).

2. Pendidikan dalam perspektif Al-Ghazali secara umum adalah sesuai dengan konsepsi pendidikan Islam, konsepsi religius moralis, namun tetap tidak mengabaikan unsur-unsur duniawinya. Karena dalam pandangan Al-Ghazali dunia adalah ladang tempat persemaian benih-benih akhirat. Konsep pendidik bagi Al-Ghazali adalah orang yang berprofesi sebagai pengajar, pendidik sehingga ia bekerja menyempurnakan, membersihkan, mensucikan dan membawakan hati itu mendekatkan kepada Allah Swt.

3. Pemikiran Al-Mawardi dalam bidang pendidikan banyak terkonsentrasi pada masalah kepribadian guru. Kepribadian inilah yang tampaknya diutamakan. Al-Mawardi memandang bahwa seorang anak didik atau murid akan belajar sungguh-sungguh dan ulet dengan mencurahkan pikiran, tenaga, biaya dan waktu yang cukup banyak demi mencapai kesuksesan, jika ia menyadari manfaat belajar, sehingga kegiatan belajar ini dirasakannya sebagai suatu kebutuhan, dan sesuatu hal yang penting baginya.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Assayyid, Mahmud, Mu’jizat al-Islam al-Tarbawiyah diterjemahkan oleh S.A.Zemool dengan judul “Mendidik Generasi Gur’ani”. Cet. III; Solo: Pustaka Mantiq, 1992.

Al Jumbulati, Ali. Dirasah al Islamiyah fi al Tarbiyyah al Islamiyah diterjemahkan oleh H.M. Arifin dengan judul “Perbandingan Pendidikan Islam”, Cet. I; Jakarta: Rineka Cipta, 1994.

Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad, Ihya’ Ulum al-Dien Edisi Indonesia oleh Hamzah Ya’qub, vol I, Cet. I; Bandung: Pustaka Pelajar, 1972.

Hassan Sulaiman, Fathiyyah, Mazahib Fi al-Tarbiyah Bahtsu Fi al-Mazahib al-Tarbawiyi Inda al-Ghazali diterjemahkan oleh Herry Noer Aly, dengan judul “Alam Pikiran al-Ghazali Mengenai Pendidikan dan Ilmu”. Cet. I; Bandung: Diponegoro, 1986.

Page 15: Ibnusina Dan - Copy

15

Jalal, Abdul Fattah, Min Ushul al-Tarbawiyah Fii al-Islam. Mesir: Dar al-Baby al-Khalabiy, 1977.

Muhammad Amien, Miska. Epistemologi Islam, Pengantar Filsafat Pengetahuan Alam. Jakarta: UI-Press, 1983.

Najati, M. Usman, Al-Qur`an dan Ilmu Jiwa (al-Qur`an wa Ilmu an-Nafs), terj. Ahmad Rafii Usmani, Cet.I; Bandung: Pustaka, l985.

Nata, Abuddin, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam (Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam). Cet. II; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001.

Shihab, M. Quraiysh, Membumikan al-Qur`an .Cet. I; Bandung: Mizan, l992.

Sholeh, Asrorun Ni’am. Reorientasi Pendidikan Islam; Mengurai Relevansi Konsep Al-Ghazali dalam Konteks Kekinian. Cet. V; Jakarta: eLSAS, 2007.

Tholkhah, Imam dan Ahmad Barizi, Membuka Jendela Pendidikan (Mengenai Akar Tradisi dan Integrasi Keilmuan Pendidikan Islam). Edisi 1; Cet. 1; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004.

Zainuddin, dkk. Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali. Cet. I; Jakarta: Bumi Aksara, 1991.