I NYOMAN DARMA PUTRA - erepo.unud.ac.id
Transcript of I NYOMAN DARMA PUTRA - erepo.unud.ac.id
1
Makin Lama Makin Baru: Revitalisasi Tembang Sastra Bali Tradisional
dalam Ranah Ritual dan Digital
I Nyoman Darma Putra
Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana
Email: [email protected]
Abstrak:
Warisan budaya tembang (kidung) dalam dunia sastra Bali tradisional sempat dikhawatirkan
akan lenyap seiring dengan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi. Akan tetapi, dalam
dua dekade terakhir ini, tradisi kidung hidup semarak dan dinamis baik dalam aktivitas upcara
adat (ranah ritual) maupun dalam acara hiburan media massa elektronik (ranah digital). Hal ini
bisa amati lewat kidung interaktif di acara-acara radio dan televisi di Bali, praktik kidung dalam
komunikasi handy talky (HT), dan video klip di YouTube. Tulisan ini mengkaji revitalisasi
kidung dalam ranah ritual dan ranah digital. Kajian diawali dengan uraian metamorfosis praktik
tembang dalam kehidupan masyarakat Bali dari ranah ritual ke digital, para peminat dan
penikmat, serta masa depan warisan budaya kidung di era global. Data diambil dari rekaman
acara kidung interaktif di radio dan televisi serta hasil pengamatan atas kehidupan warisan
budaya sastra di Bali secara umum dan kehidupan kidung di masyarakat secara khusus. Tulisan
ini menyimpulkan bahwa metamorfosis tradisi kidung dari ranah ritual ke ranah digital
merupakan proses revitalisasi yang terbukti membuat kehidupan tradisi tembang teks sastra
tradisional Bali semakin semarak, bukan lenyap seperti pernah dikhawatirkan. Hal ini
disebabkan oleh tiga faktor utama. Pertama, era reformasi memberikan kebebasan berekspresi
yang membuka ruang bagi pengelola radio dan televisi untuk menyiarkan acara kidung
interaktif. Kedua, kidung khususnya dan sastra tradisional Bali pada umumnya bersifat adaptif
dalam perubahan zaman, termasuk dalam pemanfaatan media digital atau media sosial. Ketiga,
warisan budaya kidung bersifat fungsional dalam kegiatan ritual, bernilai hiburan, dan wahana
bagi masyarakat untuk mengartikulasikan aspirasi termasuk kritik sosial.
Katakunci: warisan budaya, sastra Bali, ranah ritual, ranah digital, kebebasan berekspresi
1. Pendahuluan
Kemajuan teknologi, modernisasi, globalisasi dianggap merupakan kekuatan baru yang
memarjinalkan warisan budaya lokal. Hal ini terjadi karena media-media modern seperti radio
dan televisi hadir lebih sebagai saluran penyebaran kebudayaan Barat ke berbagai pelosok
dunia, terutama ke negara Timur yang sedang atau belum berkembang. Fenomena derasnya
arus aliran budaya Barat ke berbagai penjuru benua memunculkan kekhawatiran pada apa yang
diistilahkan dengan cultural homogenisation (Suryadi 2005), proses penyeragaman budaya.
Dalam konteks Indonesia, Suryadi (2005:133) menulis:
In a developing country like Indonesia, it can be argued that the electronic media–
associated with negative features such as homogenisation, deculturalisation,
monopolisation, indoctrination and manipulation–has become an agent for flooding
2
the country with ‘Western’ culture which destroys and endangers the ‘national
culture’ and Indonesian identity .
Kutipan di atas menegaskan bahwa banjirnya budaya ‘Barat’ tidak saja membahayakan
budaya daerah tetapi juga budaya nasional dan identitas Indonesia. Stigma negatif radio sudah
muncul sejak lama, misalnya dalam novel Indonesia tahun 1940-an, masa akhir zaman kolonial
Suryadi (2009). Beberapa roman Indonesia melukiskan kehadiran radio di masyarakat sebagai
sebuah paradoks, di satu pihak adalah lambang modernitas di pihak lain ‘membahayakan
jatidiri’ identitas pribumi Indonesia (2009:239).
Para ahli menyadari ada persoalan mendasar dalam pemahaman globalisasi. Barker
(1999:38) menyebutkan bahwa globalisasi tidaklah ditandai sepenuhnya dengan aliran budaya
satu arah ‘from the West to the rest’ (dari Barat ke belahan benua lainnya). Selain itu, kenyataan
menunjukkan bahwa aliran kebudayaan wacana secara dominan juga terjadi dari Utara ke
Selatan dan proses itu bukan serta merta merupakan bentuk dominasi. Barker menambahkan
bahwa globalisasi bukan semata sebuah proses homogenisasi karena dalam globalisasi, proses
fragmentasi dan hibriditi juga terjadi secara kuat (Barker 1999:38). Ini berarti bahwa tekanan
dari globalisasi justru dapat membangkitkan kesadaran baru untuk melestarikan budaya lokal
agar tidak lenyap tertindas. Jika ancaman dari luar tidak ada, masyarakat akan lalai menjaga
warisan budayanya.
Fenomena budaya di Bali memberikan ilustrasi yang menarik untuk melihat bagaimana
globalisasi justru membangkitkan kesadaan baru untuk merevitalisasi kebudayaannya. Di Bali,
tekanan dari luar tidak saja datang dari kemajuan teknologi dan modernisasi, tetapi juga
mengalir deras lewat saluran pariwisata. Tahun 1970-an, Bali menunjukkan tanda-tanda
berkembang menjadi destinasi pariwisata massal. Saat itu muncul banyak kekhawatiran akan
kehancuran budaya Bali akibat komersialisasi berlebihan dan pengaruh negatif kepariwisataan
(Vickers 2011 [1989]; Picard 1996). Kritik dari sosiolog seperti Umar Kayam (1981) dan
penyair W.S Rendra (1993) serta introspeksi internal membuat Bali bangkit dan bertekad
melestarikan kebudayaan. Tanpa perlu menutup diri dari pengaruh luar, Bali justru menjadikan
pengaruh luar sebagai inspirasi pemacu untuk memajukan kebudayaan dan memperkuat
benteng budaya sebagai landasan identitas. Kondisi Bali yang mempertahakan jati diri dan
terbuka akan pengaruh luar dengan tepat diistilahkan oleh Henk Schulte Nordholt (2007)
sebagai ‘benteng terbuka’ (open fortress).
3
Dalam menangkis berbagai kritik, masyarakat Bali mencari berbagai solusi budaya untuk
revitalisasi, seperti menyusun kategori kesenian yang sakral dan profan sebagai panduan mana
yang bisa dipentaskan untuk wisatawan dan mana yang hanya untuk kegiatan upacara. Bali
menggelar Pesta Kesenian Bali sejak 1979, setiap tahun sampai sekarang tanpa pernah absen.
Pesta Kesenian ini menjadi ajang untuk merevitalisasi dan merayakan kekayaan kesenian Bali.
Revitalisasi tampak dalam berbagai bidang, termasuk dalam seni sastra tradisional dan kidung.
Dinamika kesenian juga tampak dalam apresiasi sastra lewat aktivitas kidung,
macapatan, atau mabebasan, seni menembangkan dan menafsirkan puisi Bali tradisional.
Mulai awal 1990-an, kegiatan menembangkan teks sastra tradisional mulai bermunculan dalam
acara di radio-radio di Denpasar dan di kota lain di Bali. Tahun 2000-an, acara serupa juga
muncul dalam acara Bali TV (stasiun lokal yang berdiri Mei 2002) dan TVRI Bali.
Menariknya, menembangkan teks sastra tradisional Bali di media massa elektronik ini
dilakukan secara interaktif, sebuah format siaran postmodern yang memberikan ruang aktif
bagi pemirsa untuk berpartisipasi dalam mengisi siaran (Hill dan Sen 2005; Jurriens 2006;
2011). Dalam format siaran interaktif, pemirsa yang semula dikategorikan sebagai audiens
pasif, menjadi pendengar atau pemirsa aktif.
Tulisan ini menelusuri metamorfosis kidung dari ranah ritual ke ranah digital, latar
belakang perubahan, para peminat dan penikmat, serta masa depan warisan budaya kidung di
era global. Tujuannya adalah untuk menunjukkan bahwa kemajuan teknologi, modernisasi, dan
globalisasi yang sering dituduh tidak berpihak pada budaya lokal justru dapat disiasati secara
kreatif untuk pelestarian warisan budaya.
Studi tentang kidung atau mabebasan atau gita shanti atau apa pun istilahnya sudah
banyak dilakukan para sarjana, seperti Bhadra (1937), Robson (1972), Jendra (1979), Granoka
(1981), dan Rubinstein (1993). Hampir semua dari studi itu dilakukan terhadap perkembangan
mabebasan pra-semaraknya gita shanti lewat panggung elektronik atau ranah ritual. Hanya
sedikit studi terhadap fenomena baru perkembangan makidung lewat radio dan televisi. Dari
yang sedikit itu, misalnya, ada studi Helen Creese (2009) dan yang saya lakukan sendiri (Putra
1996; 1998; 2009). Sehubungan dengan itu, uraian sejarah perkembangan makidung di
panggung elektronik dapat mengisi gap pengetahuan kita mengenai fenomena baru tradisi gita
shanti di Bali.
Materi kajian diambil dari hasil observasi, wawancara dengan penggemar dan penyiar,
kajian pustaka, dan dokumen relevan lainnya. Rekaman sejumlah acara kidung interaktif antara
4
lain yang disiarkan Bali TV, TVRI Bali, RRI Denpasar, Radio Yudha, Radio Mandala Gianyar,
Radio Pemkot Denpasar, dan Radio RRI Singaraja.
2. Metamorfosis dari Ranah Ritual ke Ranah Digital
Yang dimaksud dengan ‘ranah ritual’ adalah ruang atau kegiatan upacara adat dan
keagamaan, seperti pada upacara persembaha di pura, upacara adat pernikahan, kremasi,
potong gigi, dan upacara korban suci (yadnya) lainnya. Secara tradisional dan konvensional,
kidung biasanya dilakukan di ranah ritual. Kegiatan ritual Hindu yang lengkap senantiasa
diiringi oleh panca suara (lima suara) yaitu mantra, genta, gamelan, kentongan (kulkul), dan
kidung. Ini berarti kidung merupakan bagian yang esensial dari kegiatan upacara. Istilah ‘ranah
ritual’ disinonimkan dengan ‘panggung ritual’.
Yang dimaksudkan dengan ‘ranah digital’ adalah panggung media massa elektronik
seperti radio, televisi, media komunikasi handy talky (HT), dan media sosial seperti YouTube.
Kehadiran media digital ini tidak saja digunakan untuk berkomunikasi dan sharing informasi
tetapi juga untuk menyalurkan kegemaran menembang. Pengguna HT, misalnya, banyak
menggunakan alat komunikasi ini untuk menghibur diri lewat kidung sebagai selingan obrolan.
Istilah ‘ranah digital’ disinonimkan dengan ‘panggung elektronik’.
Penampilan kidung di dua ranah yang berbeda ini ditandai dengan fungsi yang berbeda
pula, yaitu di ‘ranah ritual’ dominan fungsinya sebagai pengiring ritual adat atau keagamaan,
sedangkan di ranah digital atau panggung elektronik fungsinya dominan untuk hiburan.
Tersedianya ranah digital membuat tradisi makidung mengalami metamorfosis dari aktivitas
monologik yang dilaksanakan di ruang terbatas menjadi dialogik antara penembang dan
pendengar dalam ruang yang luas.
Aktivitas kidung di ranah digital merupakan fenomena yang muncul dan semarak dalam
tiga atau dua dekade terakhir. Fenomena kidung di panggung elektronik diawali awal tahun
1980-an dengan kegiatan melantunkan tembang lewat HT. Sejumlah anggota ORARI Bali
yang biasanya ngobrol santai atau serius di udara, lama-lama menemukan kenikmatan baru
dengan makidung lewat HT. Seperti dalam berkomunikasi biasa, satu orang melantunkan
gaguritan, yang lain di ujung lain, memberikan arti, persis seperti yang dilakukan dalam format
konvensionl, yaitu duduk berhadapan. Bedanya, adalah kidung lewat HT, peserta berjauhan.
Satu orang bisa di Denpasar, satu lagi yang memberikan arti berada Nusa Dua. HT bersifat
multi channel, jadi peserta lain dalam frekuensi yang sama bisa bergantian memberikan arti.
5
Bersamaan dengan tumbuhnya fenomena makidung lewat HT, di Jembrana muncul
aktivitas serupa, hanya saja menggunakan Kontek, sarana komunikasi dengan kabel
berjaringan. Kontek muncul di Negara sejak pertengahan 1980-an, dan sempat menyebar ke
beberapa tempat di Denpasar. Keterampilan merakit sarana komunikasi Kontek itu dengan
cepat dikuasai oleh beberapa orang setempat sehingga cepat menyebar. Peralatannya
sederhana, namun anggota harus tersambungkan lewat kabel. Belakangan, lintasan kabel
Kontek di kota Negara yang menggunakan jaringan tiang telepom tidak diizinkan lagi sehingga
alat komunikasi dengan sistem jaringan terbatas ini meredup. Gangguan cuaca dan lain-lain
yang membuat jaringan kabel kecil tidak aman membuat alat komunikasi ini rentan, mudah
ditinggalkan. Alat komunikasi sederhana ini juga ditinggalkan karena hadirnya teknologi hand
phone yang lebih canggih dan praktis.
Mulai tahun 1990-an, fenomena kidung lewat panggung elektronik muncul di radio,
dipelopori oleh dua radio di Denpasar, yaitu RRI Denpasar dan Radio Yudha Denpasar. Dulu,
sekitar tahun 1970-an, usaha menggunakan radio untuk menyiarkan gegitaan sudah dilakukan
oleh RRI Denpasar dan RRI Singaraja, serta radio pemerintah daerah seperti RKPD
Klungkung, namun siaran itu bukan interaktif. Terbatasnya siaran telepon dan ketatnya kontrol
pemerintah atas media massa elektronik waktu itu membuat penyiaran program interaktif
tidaklah mungkin.
Mulai tahun 2000-an, makidung lewat panggung elektronik kian semarak ditandai
dengan munculnya program kidung interaktif di Bali TV dan TVRI Bali. Stasiun lain, yitu
Dewata TV (kini namanya Kompas Dewata TV) menyiarkan acara serupa dalam bentuk
rekaman (pre-recorded). Karena merupakan media massa, panggung elektronik memiliki
jangkauan yang cukup luas, tidak saja lintas desa, daerah, tapi juga terkadang lintas pulau dan
benua. Warga Bali yang di Sulawesi atau Australia dengan antena parabola bisa menikmati
siaran Bali TV, termasuk tentunya acara Gita Shanti atau Kidung Interaktif yang disiarkan
secara reguler harian dan mingguan.
Selain potensi jangkauan audience-nya luas, panggung elektronik memiliki kelebihan
praktis lainnya. Peserta makidung tidak perlu datang berkumpul, duduk bersila atau berdekatan
seperti dalam kegiatang kidung konvensional, tetapi bisa melakukannya dari jauh dalam posisi
terpisah. Seorang penembang bisa berada di Ubud, sedangkan yang memberikan arti tinggal di
Gianyar atau Denpasar. Mereka dapat melakukan itu dengan HT, atau jika mengikuti siaran
kidung interaktif di radio atau televisi, mereka bisa menelepon ke studio. Dialog mereka
ditayangkan secara interaktif.
6
Media elektronik juga memudahkan proses belajar masanthi. Seorang guru shanti dari
Denpasar, populer dengan sebutan Pak Raden, tidak perlu naik motor ke Jimbaran (sekitar 15
km jaraknya), karena dia bisa menuntun muridnya makidung lewat HT. Pak Raden, seperti
halnya guru shanti lainnya, adalah orang yang sudah lanjut usia, mobilitasnya tidak segesit
dulu. Mereka bisa masuk angin kalau bepergian jauh malam hari apalagi hujan rintik-rintik.
Dengan adanya teknologi komunikasi, mereka bisa duduk di rumah, dan melakukan pengajaran
jarak-jauh.
Kesemarakan kidung di ranah digital tidak membuat aktivitas kidung di ranah ritual
lenyap. Keduanya saling mendukung. Makin banyak orang yang gemar makidung, makin
bergairah kegiatan kidung di panggung ritual dan elektronik. Banyak orang mulai belajar di
panggung elektronik, dan tampil ngayah (voluntir) di panggung ritual, dan juga sebaliknya.
3. Momentum Politik
Perkembangan kidung interaktif di Bali tidak bisa dipisahkan dengan perkembangan
sosial politik lokal dan nasional terutama sejak reformasi 1998. Gerakan reformasi yang
mengakhiri kekuasaan Presiden Suharto secara paksa membawa era baru bagi kebebasan
berekspresi termasuk lewat media cetak dan elektronik (Sen and Hill 2000; Kitley 2000).
Pada zaman Suharto berkuasa, di Indonesia hanya ada beberapa TV dan radio. Saat itu,
hanya stasiun pemerintah, TVRI dan RRI, yang boleh memproduksi berita, sementara itu
stasiun swasta harus me-relay-nya. Kebebasan berekspresi hampir tidak ada. Pers dikontrol
ketat, kalau berani memberitakan hal negatif tentang pemerintah, akan dibredel seperti nasib
Tempo, Editor, Detik tahun 1994. Program dialog interkatif di radio atau TV tidak ada, kalau
pun ada biasanya bersifat semu, lebih untuk memasyarakatkan program pemerintah daripada
mengartikulasikan aspirasi masyarakat.
Sesudah Presiden Suharto jatuh dalam gerakan reformasi tahun 1998, keadaan berubah
drastis. Reformasi melahirkan apa yang bisa disebut dengan new media culture atau budaya-
media-massa baru. Ketentuan perizinan pers dan media massa dicabut, dan akibatnya surat
kabar, stasiun radio, serta televisi menjamur. Menjamurnya pendirian media massa elektronik
pasca-reformasi ini bisa dilihat dari Data Menkonminfo hingga Desember 2007 yang
menunjukkan bahwa lamaran untuk pendirian stasiun TV baru mencapai 185 stasiun, sebagian
besar sudah beroperasi sementara aplikasinya sedang diproses. Asosiasi TV Lokal Indonesia
(ATLI) sampai Juni 2008 telah memiliki anggota 28 stasiun, tersebar di berbagai daerah di
Indonesia (Putra 2009:253-4). Hal yang sama juga terjadi untuk radio. Sampai Desember 2007,
jumlah permohonan radio yang sudah dan sedang menanti proses perizinan mencapai 2020,
7
dua kali lipat dibandingkan jumlah tahun 2003. Selain data kuantitatif, secara kualitatif muncul
budaya media baru yakni radio dan TV swasta berhak memproduksi berita sendiri (D’Haenens
et al.1999; Kitley 2000; Sen 2003), tidak ada lagi wajib-relay dari RRI dan TVRI. Hal yang
paling penting dalam lahirnya budaya media massa baru ini adalah semaraknya program-
program interaktif, baik lewat radio maupun TV.
Fenomena menjamurnya media massa elektronik juga terjadi di Bali. Jumlah TV yang
semula hanya satu, TVRI Denpasar (kini TVRI Bali), belakangan muncul Bali TV, Dewata
TV, Jimbarwana TV (sudah tutup), dan ATV. Stasiun radio di Bali tahun 2002 tercatat 29 buah,
meningkat tahun 2008 menjadi 63 buah, di mana 24 di antaranya sudah berizin (Putra
2009:254). Termasuk RRI Denpasar dan Singaraja, radio-radio swasta lainnya rata-rata
mempunyai acara interaktif dari sekadar untuk mengirim salam, sampai dengan interaktif yang
membahas masalah sosial, hukum, politik, pendidikan dan lain-lain yang lebih serius. Program
interaktif sosial politik dan news and current affairs-nya sangat berkembang baik, terutama
awal tahun 2000-an, sehingga menarik minat sarjana asing untuk menelitinya, seperti peneltian
atas Dialog Interaktif Warung Global Radio Global FM milik kelompok media Bali Post
(Jurriëns 2006; 2007). Selain interaktif isu sosial, pihak radio dan pengelola TV juga
mengudarakan program interaktif untuk seni budaya, khususnya gegitaan.
Menjamurnya stasiun radio dan bertambahnya stasiun TV membuat program inovatif
kidung interaktif menjadi semarak, di seluruh Bali. Hampir tiada hari atau waktu kosong tanpa
kidung interaktif di radio, dari satu saluran atau gelombang ke saluran atau gelombang yang
lain. Seperti saling mendukung, kidung di ranah digital dan ranah ritual sama-sama membuat
satu sama lainnya semakin semarak dari hari ke hari. Namun jelas, kesemarakan itu tidak bisa
dipisahkan dari dampak kebebasan berekspresi dari momentum gerakan politik reformasi.
4. Media Pelopor Kidung Interaktif
Tidak bisa dibantah lagi bahwa lembaga yang memelopori kidung interaktif adalah RRI
Denpasar lewat acara ‘Dagang Gantal’ dan Radio Yudha lewat acara ‘Gegitaan’. Mereka
memulainya dalam waktu yang kurang lebih bersamaan, yaitu sekitar bulan Agustus 1991.
Namun, perlu ditegaskan bahwa usaha mereka mempopulerkan kidung lewat ‘panggung
elektronik’ bukanlah yang pertama kalinya. Tahun 1970-an, Listibiya dan cabang-cabangnya
di kabupaten sudah menyiarkan acara kidung lewat radio seperti di RRI Denpasar, RRI
Singaraja, dan radio pemerintah daerah di Klungkung (Rubinstein 1993: 105; Putra 2009:255-
6).
8
Tahun 1980-an, aktivitas mabebasan yang rilek sifatnya berlangsung lewat pesawat
handy talky (Manda 2002; Rai Putra 2002), sesuatu yang masih berlangsung terus sampai
sekarang di berbagai tempat di Bali. Berbeda dengan pesantian biasa di mana peserta duduk
berdekatan atau melingkar, dalam pesantian HT, peserta berada di tempat masing-masing,
mereka menembangkan atau memberi arti lewat pesawat HT. Tahun 1980-an, HT populer
sekali sebagai sarana komunikasi, lalu di sela-sela kekosongan topik percakapan menarik, para
peserta mulai matembang, melantunkan geguritan atau kekawin.
Kegiatan kidung lewat panggung elektronik yang sempat berbenih lewat HT namun
jangkauannya terbatas ditanggapi oleh RRI Denpasar dan Radio Yudha. Acara pesantian di
RRI Denpasar diawali Agustus 1991, diawali dengan acara teka-teki atau tebak-tebakan
(macecimpedan), lalu diselingi dengan tembang. Penyair terkenal pengasuh acara Dagang
Gantal, Mbok Luh Camplung (nama asli Ni Wayan Murniasih), dalam buku sederhana berjudul
Ceraken Tingkeb; Pasuwiteran Dagang Gantal RRI Denpasar (2003), menulis kisah awal atau
cikal-bakal acara kidung interaktif Dagang Gantal, sebagai berikut:
Acara Dagang Gantal RRI Denpasar lahir/pertama kali mengudara tanggal 14
Agustus 1991 pk. 11.05-11.15 wita cuma 10 menit atas kerja sama RRI Denpasar
dengan Kolam Renang Penyu Dewata Padang Galak (Sponsor I). Enam bulan
kemudian Penyu Dewata tidak bisa melanjutkan kerja sama ini, akhirnya atas
permintaan para Fan’s Dagang Gantal para pengasuh bersedia melanjutakan
mengasuh acara ini walaupun tanpa sponsor. Juga para fans minta tambahan waktu
siaran 10 menit menjadi 15 menit, 30 menit, kemudian 60 menit sampai tahun 2002
hari Senin sampai dengan Sabtu walaupun hari libur. Mulai tahun 2003 durasinya
menjadi 90 menit (1½ jam siaran) dari Senin sampai dengan Jumat (Camplung
2003:2)
Secara rinci dapat dicatat bahwa penambahan waktu siaran itu menjadi 60 menit mulai
terjadi tahun 1994. Acara yang semula hanya setengah jam, ditambah menjadi satu jam, dan
kemudian dua jam. Sampai sekarang, acara Dagang Gantal disiarkan untuk 1,5 jam, mulai jam
10.00 sampai 12.00 (dipotong siaran berita pukul 11.00), diasuh oleh duet Bli Gde Tomat dan
Mbok Luh Camplung. Keduanya adalah karyawan tetap RRI Denpasar yang sehari-hari adalah
seniman panggung. Mereka berdua sering mementaskan topeng bersama, atau tampil dalam
seni pertunjukan arja. Penambahan waktu siaran itu terjadi karena penggemar acara Dagang
Gantal sangat banyak.
Tentang nama Dagang Gantal, Camplung menjelaskan bahwa nama ini diambil dari
istilah ‘dagang gantal’ yang berarti pedagang kecil yang berjualan secara keliling khususnya
9
di tempat-tempat ramai. Pedagang ini tidak mempunyai tempat tertentu, tidak mempunyai
warung. Dagangan yang dijual adalah camilan seperti jajan khas Bali, kacang rebus/goreng,
pisang rebus, dan paling khas menjual sirih (Camplung 2003:1). Dagang gantal biasanya
muncul di tempat keramaian seperti kalau ada upacara di pura, hari raya Galungan/Kuningan,
atau di keramaian sabungan ayam (tajen). Ciri khas dagang gantal adalah dagangannya ditaruh
dan dijunjung di meja kecil, selalu berpindah, berjualan di keramain. Menurut Camplung, acara
Dagang Gantal tidak menjual makanan tetapi berisi percakapan jenaka (bebondresan), teka-
teki, dalam bahasa Bali. Tujuannya adalah mengetuk hati pendengar agar mencintai bahasa
Bali, baik melalui percakapan maupun melalui tembang.
Mungkin karena baru dan satu-satunya muncul di awal, penggemar Dagang Gantal
banyak sekali. Mereka berasal dari hampir seluruh Bali. Asal mereka sering disingkat dengan
akronim Batan Sinar Bagi Rasa rauh ke Lomba Pelecing, artinya: Badung (termasuk
Denpasar), Tabanan, Singaraja, Nagara, Bangli, Gianyar, Semarapura, Karangasem, Lombok,
Sumbawa, Penida, Lembongan, Ceningan. Tahun 2008, akronim diubah menjadi Batan Sinar
Bagi Rasa Den Lomba Pelecing, di mana ‘Den’ artinya ‘Denpasar’. Secara administratif,
pemerintahan Badung dan Denpasar mulai terpisah, menjadi Kabupaten Badung dan
Pemerintah Kota Denpasar. Dari nama ini juga diketahui bahwa jangkauan pendengar Dagang
Gantal sampai ke luar Bali, seperti Lombok dan Sumbawa.
Melayani banyaknya penggemar itu, pengasuh melakukan dua hal saling berkaitan.
Pertama, pengasuh menambah jam siaran, agar lebih banyak pendengar bisa berinteraktif,
berdialog, atau menyampaikan tembang. Kedua, mengalokasikan hari tertentu bagi penggemar
untuk menelepon secara bergiliran berdasarkan domisili. Misalnya hari Senin giliran Denpasar,
berarti penggemar dari kabupaten lain mesti siap menjadi pendengar saja atau hanya menelpon
untuk ‘berkirim lagu’, menembang tidak boleh. Untuk memenuhi keinginan penggemar
matembang, RRI membuka program sore hari yang disebut dengan Tembang Warga, dengan
format interaktif, semula untuk memperkenalkan tembang-tembang baru, namun akhirnya
karena keinginan pendengar menjadi tidak berbeda dengan Dagang Gantal.
Yang sangat fenomenal adalah pada tahun 2000-an acara-acara kidung interaktif
menjamur. Lebih dari 20-an stasiun radio di seluruh Bali menyiarkan acara kidung interaktig,
seperti didaftar pada Tabel 1. Hari dan jam siarannya berbeda-beda tetapi jika dijumlah secara
keseluruhan, acara kidung interaktif berlangsugn setiap dalam jumlah jam siaran yang sangat
banyak. Tingkat siaran yang reguler setiap jari dan durasi siaran yang merupakan fenomena
luar biasa dalam kehidupan tradisi gita shanti di Bali.
10
Table 1. Jadwal acara kidung interaktif di radio dan TV bulan Januari 2008
No. Stasiun Acara Hari, Waktu
1. Bali TV Kidung Interaktif *
Gita Santi (rekaman)
Kamis, 14.30-15.30
Senin-Rabu 15.30-16.00;
Kamis16.00-16.30
2. Dewata TV Tembang Guntang (rekaman)
Kidung Dewata (live)
Rabu (rekaman)
Kamis, 17.30-18.00
3. TVRI Bali Gegirang * Rabu, 19.00-20.00
4. RRI Denpasar Dagang Gantal *
Tembang Warga*
Taman Penasar (langsung)
Senin-Jumat, 10.00-12.00
Selasa, Kamis, Sabtu 18.00-
19.00
Sabtu 10.00-12.00
5. RRI Singaraja Sudang Lepet Jukut Undis *
Penglipur Sore *
Widia Sabha *
Senin-Jumat,10.30-11.45
Senin-Jumat,17.00-18.00
Sabtu, Minggu, 10.30-11.45
6. Radio Pesona Bali
(Singaraja)
Manah Egar*
Shanty Sewa Kosala
Gita Jaya Santi
Rabu, 9.00-10.00
Kamis, 9.00-10.00
Sabtu, 9.00-10.00
7. Radio Singaraja FM Dharma Gita * Senin-Sabtu,18.00-19.00
8. Radio Genta Bali
(Denpasar)
Warung Bali *
Darma Kanti (Pesantian)
Gegitaan
Senin-Sabtu, 16.00-17.00
Senin-Sabtu,19.00-20.00
Minggu, 19.00-20.00
9. Radio Besakih
Karangasem
Salak Bali * Senin-Minggu,16.00-17.00
10. Radio Yuda
Denpasar
Gegitaan and Cecantungan * Tiap hari, 13.00-15.00 dan
17.00-19.00
11. Radio Yuda
Denpasar
Gegitaan and Cecantungan* Tiap hari, 13.00-15.00 dan
17.00-19.00
12. Radio Dipa Cantik
Denpasar
Sancita Dipa *
Dipa Santi *
Senin-Sabtu,11.00-13.00
Senin-Minggu, 19.00-21.00
13. Radio Pemkot
Denpasar
Gita Sancaya (rekaman) Minggu, 16.00-18.00
14. Radio Mega Nada
Tabanan
Mega Nada Gita Santi * Senin-Jumat, 15.00-17.00
15. Radio Global
(Tabanan)
Darma Kanti (langsung, grup) Monday-Wednesday,
Friday, Sunday 18.00-19.00
16. Radio Global
(Tabanan)
Darma Kanti (langsung, grupo) Senin-Rabu, Jumat, Minggu,
18.00-19.00
17. Radio Gelora
Gianyar
Panglila Cita * Senin-Jumat, 10.00-12.00
18. Radio Jegeg Bali
Gianyar
Gita Santi *
Parade Pesantian *
Kamis-Sabtu, 14.00-17.00
Minggu-Rabu, 15.00-17.00
19. Radio Mandala
Gianyar
Lila Cita * Tiap hari, 15.00-17.00
20. Radio Dunia
Bokasih,
Klungkung/Bangli
Budaya Bali * Tiap hari kecuali Kamis,
18.00-20.00
21. Radio Dunia
Bokasih,
Klungkung/Bangli
Budaya Bali * Tiap hari kecuali Kamis,
18.00-20.00
* = Porgram Interaktif.
Pelopor siaran kidung interaktif, RRI Denpasar, masih tetap setia menayangkan siaran
sampai sekarang, dengan jumlah jam siaran dan hari siaran sama dengan yang dilakukan tahun
2008. Hal yang sama juga dilakukan oleh TVRI Bali dan Bali TV. Hal ini menunjukkan bahwa
11
acara kidung interaktif mendapat banyak sambutan dari pemirsa-pendengar dan merupakan
acara penting bagi stasiun pelaksana. Kalau tidak menarik dan tidak penting, tidak mungkin
acara kidung interaktif bisa bertahan dua dekade lebih.
Acara kidung interaktif di TVRI Demnpasar, 2014 (Foto Darma Putra).
Acara kidung interaktif di radio dan TV bisa dianggap sebagai acara populer, bukan saja
karena disiarkan media massa elektronik yang bersifat massal, popular, juga karena
penggemarnya banyak. Acara populer biasanya memiliki ciri cepat terkenal dan cepat
ditinggalkan penggemar. Ciri demikian rupanya tidak berlaku untuk acara kidung interaktif.
Antara tahun 2000-an dan 2010-an awal, jumlah penggemar khususnya kelompok pesantian
yang tampil di TV sampai antre, bergilir, menunggu bagian dalam acara mingguan. Kelompok
pesantian datang dari pelosok, jauh dari stasiun, sehingga mereka perlu menginap, seperti yang
dilakukan kelompok dari Pulau Nusa Penida.
Sebuah kelompok pesantian yang tampil di TV biasanya terdiri dari 5-8 penembang dan
sekitar 8-10 penabuh gamelan pengiring. Jumlah dapat bervariasi sesuai dengan tim yang
tampil. Dalam setiap tampil di TV, kelompok pesantian tampil dalam 30 menit pertama, dengan
12
menembangkan dan mengartikan baik-bait geguritan, sedangkan 30 menit sisanya untuk para
penelpon. Jumlah penelpon dalam 30 menit (potong iklan atau jeda) antara 3-4 orang. Untuk
di radio, jumlah itu hampir dua kali lipat untuk acara satu jam, atau tiga kali lipat untuk acara
dua jam. Para penelpon biasanya berlomba cepat-cepatan untuk memutar nomor telepon studio.
Untuk pemerataan, pengasuh acara Dagang Gantal RRI Denpasar membagi penggemar tiap
kota berdasarkan hari. Dulu, ketika belum semua penggemar memiliki akses telepon di rumah
atau telepon genggam, RRI Denpasar menyediakan alokasi waktu untuk pengguna telepon
umum, sebuah penghormatan bagi mereka yang sudi antre di tepi jalan. Hal ini tidka terjadi
lagi ketika hampir semua mempunyai HP, atau pernah juga ada telepon fleksi yang ongkosnya
lebih murah.
Pencinta setia Dagang Gantal sejak awal, seperti Kak Gus Kok (Desa Padangasambian)
dan Made Panti (Denpasar) tidak saja aktif mendengarkan tetapi aktif menelpon serta
menciptakan bait-bait puisi tradisional berbahasa Bali (gaguritan) untuk ditembangkan. Gurun
Mirah Maharani dari Nusa Penida, dulu-dulunya kalau ke Denpasar untuk tugas dinas sebagai
karyawan Puskesmas di Nusa Penida, biasanya menyempatkan diri mampir ke studio RRI
Denpasar, untuk menembangkan langsung dari ruang siaran. Kalau tidak bisa datang, dia
mengirimkan bait gaguritan yang diciptakan, seperti yang dikutip di awal tulisan ini, yang
berkisah tentang persoalan anak dalam memperebutkan acara menonton TV, suatu tema yang
merefleksikan kenyataan bagi kebanyakan masyarakat kelas bawah yang tidak memiliki
televisi lebih dari satu.
Mulai tahun 2002, Bali TV dan juga TVRI menyiarkan acara gegitaan interaktif.
Kelompok pesantian datang ke studio untuk pentas, separuh waktu diisi untuk interaktif.
Pemirsa banyak yang menyenangi acara ini karena mereka bisa berpartisipasi,
menyumbangkan gegitaannya, walau hanya sebait karena keterbatasan waktu. Kebanyakan
yang aktif berinteraktif adalah kaum ibu-ibu. Tampil di radio atau TV adalah suatu kebanggaan
tersendiri bagi penggemar. Kebanggaan itu meliputi kebanggaan aktualisasi diri, juga
kebanggaan dalam konteks kontribusi kecil mereka dalam melestarikan kebudayaan Bali. Para
penelepon ke radio dan TV biasanya menganggap partisipasi mereka interaktif itu untuk
menghibur diri atau menghilangkan rasa bosan, jenuh, atau stress. Selain itu, mereka juga
meled alias ingin sekali untuk bisa makidung agar kelak bisa ngayah (voluntir) dalam kegiatan
ritual.
13
5. Peserta Kidung Interaktif
Siapakah peserta atau pecinta gegitaan interaktif? Menurut IGB Sudyatmaka Sugriwa,
Kepala Stasiun RRI Denpasar saat itu, acara Dagang Gantal memiliki sekitar 1000 pendengar
aktif dan 7000 non-aktif. Untuk RRI Singaraja, karena jangkauan siarannya terbatas, acara
gegitaan interaktif mereka yang dikenal dengan nama ‘Sudang Lepet Jukut Undis’ memiliki
sekitar 4500 pendengar non-aktif dan 500 pendengar aktif. Jumlahnya yang banyak sulit sekali
untuk didata secara rinci berikut latar belakang sosialnya.
Namun, sebagai gambaran, catatan dari buku Pasuwitran Dagang Gantal (Camplung
2003) bisa dijadikan sumber. Dalam buku itu disebutkan bahwa penggemar atau audiens dari
acara Dagang Gantal adalah mereka yang mengendarai sepeda sampai membawa Mercy atau
BMW. Dengan kata lain, penggemarnya terbentang ensktrem, dari yang ekonomi lemah
sampai milyuner. Dari segi umur, mereka adalah yang berusi 40 tahun ke atas.
Penggemar acara Dagang Gantal pernah membentuk organisasi disebut dengan
Pasuwitran Dagang Gantal, aktivitasnya mulai dari melaksanakan lomba gegitaan untuk
generasi muda sampai dengan ngayah mesanthi ke berbagai pura utama di Bali seperti Besakih,
Goa Lawah, bahkan ke Gunung Semeru di Jawa Timur. Demikian juga halnya pencinta
Gegitaan Yudha, mereka membentuk organisasi kelompok pesantian yang angotanya sekitar
30 orang dan aktivitasnya adalah ngayah ke berbagai ritual khususnya yang digelar oleh para
anggotanya. Karena penggemar kidung interaktif ini dari berbagai desa/kecamatan, maka
partisipasi seseorang dalam organisasi ini membuka peluang baginya untuk terlibat dalam
kesetiakawanan sosial baru antar-desa/kecamatan. Manfaat atau fungsi kidung interaktif
dibahas lebih lajut dalam bab berikutnya, yang jelas perkembangannya dalam dua atau tiga
dekade terakhir bisa disebutkan mengalami masa jaya, menggoreskan fenomena baru dalam
kehidupan tradisi gegitaan di Bali. Menariknya, fenomena ini terjadi ketika Bali dalam masa-
masa globalisasi yang intens di mana banyak orang merasa pesimistik terhadap kehidupan dan
masa depan tradisi.
6. Perkembangan Terakhir
Memasuki pertengahan 2010-an, kegairahan kidung interaktif masih terasa semangat di
radio-radio di Denpasar, Gianyar, dan Tabanan. Kalaupun ada perubahan, yang terjadi adalah
pergeseran jam, seperti Radio Gelora Gianyar yang semula siaran pk. 10.00-12.00 berubah
menjadi pk. 13.00-15.00; dilanjutkan oleh Radio Mandala juga di Gianyar pk. 15.00-17.00.
Peserta tetap bersemangat dalam acara kidung interaktif. Para penyiar pun tetap bersemangat.
Tayangan acara dan peserta kidung interaktif di TVRI Denpasar juga masih tetap semangat.
14
Kelesun terasa sedikit di Bali TV, terbukti dari berkurangnya jumlah kelompok pesantian
yang mendaftar untuk tampil. Dalam beberapa kali di awal hingga pertengahan tahun 2017,
program Kidung Interaktif Bali TV, diisi dengan rekaman, tidak ada interaktif, sama formatnya
dengan acara Gita Shanti. Sebab-sebab kelesuan beragam, antara lain kurang semangatnya
kelompok pesantian untuk tampil lagi dan untuk di Bali TV kelompok yang tampil harus
membayar sebesar Rp 300.000 ditambah pajak 10%, sehingga menjadi Rp 330.000. Selain
dana itu, peserta tentu harus mengeluarkan biaya lain seperti sesajen yang dipajang di depan
panggung saat tampil, dana latihan, trasnportasi, pakaian seragam, dan banyak lagi. Unttuk di
TVRI, seperti disampaikan oleh I Made Suarsa dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Udayana dan penyiar acara kidung interaktif di TVRI Bali, kelompok kidung tidak membayar
tetapi justru mendapat dana pembinaan (Wawancara 1 Agustus 2018).
Kelesuan peminat kelompok kidung tampil di Bali TV diselamatkan sedikit oleh hadirnya
kelompok kidung baru, yakni yang dibentuk oleh para penyuluh bahasa Bali di seluruh
kabupaten di Bali. Sejak tahun 2016, Pemprov Bali mengangkat 700 orang lebih penyuluh
bahasa Bali yang ditempatkan di desa-desa di kabupaten di Bali dengan tugas membina bahasa
Bali. Mereka juga melakukan kegiatan yang berkaitna dengan pelestarian warisna budaya lain
seperti mendata naskah lontar atau membantu masyarakat pemilik lontar untuk memahami isi
pustaka lontar yang mereka miliki. Para penyuluh juga melakukan pembinaan kelomppk
kiudng (sekaa shanti atau pesantian). Dalam kaitan dengan ini, mereka terlebih dahulu mengisi
dan mempelajari kidung, dengan membentuk kelompok pesantian dan untuk memperkenalkan
diri mereka tampil di Bali TV. Dari salah satu grup penyuluh itulah, diperoleh informasi bahwa
kelompok pesantian wajib bayar (bukannya dibayar) untuk tampil.
Terlepas dari pembayaran tersebut, dan biaya memang diperlukan dalam rangka
pembinaan seni budaya, dana Rp 330.000 itu tidak seberapa. Yang jelas, kegiatan kidung
interaktif di media elektronik atau ranah digital tetap jalan dan tradisi makidung terus dapat
dilestarikan. Program kidung interaktif di ranah digital masih berjalan secara reguler, meskipun
acaranya tidak sesemarak tahun 1990-an/2000-an.
7. Partisipasi Generasi Muda dan Peran Media Sosial
Perkembangan tradisi kidung juga tampak pada pemanfaatan media sosial oleh kalangan
generasi muda. Perkembangan ini menarik dicatat karena penggemar kidung adalah mereka
yang berasal dari siswa atau mahasiswa. Awalnya mereka berpartisipasi dalam kegiatan
perlombaan kidung di tingkat daerah yang diselenggarakan oleh pemerintah kabupaten/ kota
atau provinsi atau lembaga pendidikan. Mereka juga ambil bagian dalam lomba tingkat
15
nasional yang dilaksanakan oleh Dirjen Bimas Hindu Kementerian Agama. Keberhasilan
sebagai juara atau kemampuan makidung ditambah dengan hobi membuat mereka terus
menekuni dunia seni tarik suara teks sastra tradisional ini. Ada juga anak-anak yang berbakat
yang dengan bangga menunjukkan identitas Balinya dengan bangga memposting rekaman
tembang dari kidung mereka di FB atau YouTube. Media sosial terutama YouTube menjadi
ranah digital baru bagi penggemar kidung untuk memperkenalkan warisan budaya ini kepada
masyarakat luas. Jika orang tua memanfaatkan radio dan televisi, anak-anak muda
memanfaatkan (juga) media sosial dalam mengekspresikan kegemaran mereka melantunkan
kidung.
Ada beberapa nama kelompok profesional atau amatir (dilihat dari mutu clip-nya) yang
mengunggah produksi kidungnya di YoutTube seperti Dika Swara, Putu Bejo Channel,
Sanggar Kayon Pejeng, Bali Video, dan Arja Widyaksara. Ada kidung yang diunggah
sebagian, ada juga yang penuh. Unggahan mereka mendapat klik puluhan bahkan ratusan ribu.
Kidung ‘Ida Sanghyang Widhi Wasa’ unggahan Putu Bejo Channel misalnya mendapat 57,062
views, sedangkan kidung ‘Siwa Tatwa’ sajian Arja Widyaksara misalnya mendapat sebanyak
120,754 views (diunggah 20 Desember 2017), Geguritan Cangak oleh Susila Darma ditonton
oleh 123,467 views (diunggah 1 November 2017).
Para penonton tidak saja menyaksikan tetapi juga memberikan komentar positif tentang
tayangan kidung di ranah digital. Para pemberi komen berdomisili di berbagai tempat,
termasuk di laur negeri. Seorang komentator dari Jerman menamkana dirinya ‘BVB1909 Bali’
menuliskan komen dalam bahasa Bali sebagai berikut:
Bapak/ibu Dane medue video, sire sane megeguritan niki? Suarane beciiiik gati. Mohon
info inggih. Suksma. Salam saking Jerman.1
Artinya: Bapak/Ibu yang memiliki video ini, siapakah yang melantunkan grguritan ini.
Suaranya bagus sekali. Mohon info ya. Terima kasih. Salam dari Jerman.
Komentar yang memuja dna mendukung pelestarian budaya Bali banyak muncul dalam
unggahan clip di Youtube. Ada komen yang memuji kemerduan suara penembang,
kecantikannya, ada komen minta nomor WhatApps penembang untuk belajar kidung, ada
ekspresi dukungan untuk melestarikan warisna budaya Bali, dan ucapan terima kasih kepada
‘generasi pemuda asli Bali’. Komentar untuk video klip kidung ‘Siwa Tatwa’ sajian Arja
1 https://www.youtube.com/watch?v=oEyfGfLzptA [diakses 29 Agustus 2018]
16
Widyaksara yang diunggah 20 Desember 2017, menarik disimak karena mengandung ekspresi
kesukaannya pada kidung, tidak bosan memutar, sangat menghibur, dan ingin belajar dari
penembangnya. Berikut adalah komentar yang ditulis dengan tipikal bahasa media sosial
dengan singkatan, campuran, dan tulisan gaya milenial (WhatApp ditulis whasup).
Wayan Supriatna 2 months ago
Galuh manis arja widyaksara suaranya sangat merdu sekali ngulangunin dan saya tdk
pernah bosan memutarnya. Pingin belajar dg galuh manis walau lewat whasup mungkin,
tapi berapa ya no wa nya, ijin bagi yg tahu tolong dikasitahu. Sekali lagi sangat2
menghibur. Suksme bagi yg sudi ngasi no wa nya galuh manis. 2
Artinya:
Pemain Galuh Manis Arja Widyaksara suaranya sangat merdu sekali memukau dan saya
tdk pernah bosan memutarnya. Ingin belajar dg Galuh Manis walau lewat whasup
mungkin, tapi berapa ya no wa nya, ijin bagi yg tahu tolong dikasitahu. Sekali lagi sangat2
menghibur. Terima kasih bagi yg sudi ngasi no wa nya Galuh Manis.
Tampilnya kidung di ranah digital YouTube memberikan ruang luas sosialisasi seni kidung
di era global. Menariknya, seni ini bisa dinikmati peminat di mana saja. Selain itu, mereka juga
memberikan komentar atas penerimaan mereka. Banyak anak muda yang menjadi bagian dari
perkembangan kidung di ranah digital. Mereka adalah bagian dari usaha pelestarian warisan
budaya kidung Bali di era global.
8. Simpulan
Seperti terang dari uraian di atas bahwa kemajuan teknologi, modernisasi, dan globalisasi
tidak menjadi hambatan dalam usaha masyarakat Bali dalam melestarikan warisan budaya
kidung atau gita shanti. Seni kidung yang secara konvensional merupakan praktik untuk
mendukung kegiatan ritual keagamaan ternyata dapat berkembang semarak di ranah digital,
seperti di acara radio dan televisi, komunikasi HT, dan YouTube.
Metamorfosis kidung dari ranah ritual ke ranah digital merupakan proses revitalisasi yang
dimungkinkan terjadi karena perubahan suasana politik reformasi yang ditandai dengan
kebebasan bereskpresi dan tersedianya teknologi digital media ekspresi seperti media
elektronik (radio, TV, HT), telepon, hingga media sosial. Kehadiran dan perkembangan kidung
di ranah digital tidak saja memungkinkannya untuk memikat peminat dan penikmat generasi
muda atau milenial tetapi juga dari mereka yang tinggal di berbagai tempat, termasuk orang
Bali diaspora. Dari kenyataan itu kuatlah alasan untuk mengatakan bahwa perubahan ruang
2 https://www.youtube.com/watch?v=jSzfI91F3sk [Akses 30 Agustus 2018]
17
ekspresi dan pendukung kidung membuat metamorfosis kidung sastra Bali tradisional makin
lama makin baru dan pelestarian tradisi dan kemajuan teknologi bisa seiring sejalan.
Daftar Pustaka
Barker, Chris, 1999. Television, Globalization and Cultural Identities. Buckhingham: Open
University.
Bhadra, I Wayan. 1937. Het ‘mabasan’ of de beoefening van het Oud-Javaansch op Bali
[‘Mabasan’ and the study of Old Javanese in Bali]. Mededelingen van de Kirtya
Liefrinck-van der Tuuk, 5, (Supplement).
Camplung, Luh. 2003. Caraken Tingkeb Pasuwiteran Dagang Gantal RRI Denpasar Pelestari
Budaya Bali. Denpasar: RRI Denpasar.
Creese, Helen. 2000. Balinese television histories: broadcasting historical discourses in late
New Order Indonesia. Review of Indonesian and Malaysian Affairs 34: 39–81.
Creese, Helen. 2004. Women of the kakawin world: marriage and sexuality in the Indic courts
of Java and Bali. Armonk NY: M.E. Sharpe.
Creese, Helen. 2009. Singing the text: on-air textual interpretation in Bali. In J. van der Putten
and M.K. Cody (eds), Lost times and untold tales from the Malay world. Singapore:
Singapore University Press, pp. 210–26.
Granoka, Ida Wayan Oka. 1981. “Pikenoh basa Bali sajeroning mabebasan manut tinjoan
teoritis”. Denpasar: Panitia Pelaksana Pesta Kesenian Bali.
Hill, David and Sen, Krishna. 2005. The internet in Indonesia’s new democracy. London:
Routledge.
Jendra, I Wayan (ed.). 1979. “Kehidupan mababasan di kabupaten Badung”. Denpasar: Jurusan
Bahasa dan Sastra Jawa Kuna, Fakultas Sastra, Universitas Udayana.
Jurriens, Edwin. 2006. Radio awards and the dialogic contestation of Indonesian journalism.
Indonesia and the Malay World 34 (99): 119–49.
Jurriens, Edwin. 2007. Indonesian radio culture: modes of address, fields of action. Review of
Indonesian and Malaysian Affairs 41 (1): 33–70.
Jurriens, Edwin. 2009. From monologue to dialogue: radio and reform in Indonesia. Leiden:
KITLV Press.
Jurriens, Edwin. 2011. ‘Radio active’: the creation of media-literate audience in post- Soeharto
Indonesia. In Krishna Sen and David Hill (eds), Politics and the media in twenty-first
century Indonesia: decade of democracy. London: Routledge, pp. 141–58.
Kayam, Umar. 1983. Seni, Tradisi, Masyarakat. Jakarta: Sinar Harapan.
Nordholt, Henk Schulte. 2007. Bali: An Open Fortress, 1995-2005: Regional Autonomy,
Electoral Democracy and Entrenched Identities. Singapore: NUS Press.
Putra, I Nyoman Darma & Helen Creese 2012: MORE THAN JUST ‘NUMPANG
NAMPANG’, Indonesia and the Malay World, 40:118, 272-297
Putra, I Nyoman Darma 2009. ‘Kidung interaktif’: vocalising and interpreting traditional
literature through electronic mass media in Bali. Indonesia and the Malay World 37
(109): 249–76.
Putra, I Nyoman Darma. 1998. Kesenian Bali di panggung elektronik: perbandingan acara
apresiasi budaya RRI dan TVRI Denpasar [Balinese arts on the electronic stage: a
18
comparison of cultural appreciation programs on RRI and TVRI Denpasar]. Mudra 6:
18–42.
Picard, Mchelle. 1996 Bali; Cultural tourism and touristic culture. Singapore: Archipelago
Press.
Rendra, W.S. 1993. Potret Pembangunan dalam Puisi. Jakarta: Pustaka Jaya.
Robson, Stuart. 1972. “The Kawi classics in Bali”, Bijdragen tot de Taal-, Land- en
Volkenkunde 128 (2/3): 308–29.
Rubinstein, R. 1993. Pepaosan: challenges and change. In Danker Schaareman (ed.), Balinese
music in context: a sixty-fifth birthday tribute to Hans Oesch. Winterthur: Amadeus
Verslag, pp. 85–113.
Rubinstein, R. 2000. Beyond the realm of the senses: the Balinese ritual of kekawin
composition. Leiden: KITLV Press.
Suardiana, I Wayan. 2015. “Kidung Interaktif sebagai Transmisi Nilai-nilai Budaya Bali: Studi
Seni Magegitaan Lewat Radio di Buleleng, Bali Utara”, dalam I Nyoman Kutha Ratna
(ed.) Ragam Wacana; Bahasa, Sastra, dan Budaya, pp.873-884. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Suryadi. 2009. “Teknologi, Modernitas, dan Zaman ‘Pantjaroba’: Representasi Radio dalam
Dua Roman Indonesia di Akhir Zaman Kolonial”, Jurnal Humaniora Vol 21, No 2
(2009), pp. 223-243.
Suryadi. 2005. Identity, media and the margins: radio in Pekanbaru, Riau (Indonesia). Journal
of Southeast Asian Studies 36 (1): 131–51.
Vickers, Adian. 2011 (1989). Bali A Paradise Created. Singapore: Tuttle Publishing.