I. file/Data... · Web viewSumber Data Sekunder merupakan sumber data yang didapatkan secara tidak...
Transcript of I. file/Data... · Web viewSumber Data Sekunder merupakan sumber data yang didapatkan secara tidak...
A. Judul : PELAKSANAAN PEMBANGUNAN UNTUK
KEPENTINGAN UMUM DALAM RANGKA PERLINDUNGAN
HUKUM BAGI PEMEGANG HAK ATAS TANAH (Analisis
Substansi Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan
Tanah bagi Pembangunan demi Kepentingan Umum)
B. Latar Belakang Masalah
Tanah memiliki arti yang sangat penting bagi kehidupan
manusia, yaitu karena kehidupan manusia sama sekali tidak dapat
dipisahkan dari tanah. Manusia hidup di atas tanah (bermukim) dan
memperoleh bahan pangan dengan cara mendayagunakan tanah.
Manusia akan hidup senang serba kecukupan kalau mereka dapat
menggunakan tanah yang dimilikinya sesuai dengan hukum alam yang
berlaku, dan manusia akan dapat hidup tenteram dan damai kalau
mereka dapat menggunakan hak-hak dan kewajibannya sesuai dengan
batas-batas tertentu dalam hukum yang berlaku untuk mengatur
kehidupan manusia itu dalam masyarakat.
Tanah memiliki hukumnya sendiri yaitu keberadaannya tak
dapat di tambah namun sebaliknya kebutuhan atas tanah selalu
meningkat seiring dengan jumlah penduduk. Betapa pentingnya arti
sebuah tanah sehingga sesuai dengan falsafah atau kultur masyarakat
Jawa ”Sedumuk bathuk senyari bumi”.Tersedianya tanah merupakan
kunci eksistensi manusia dan pengaturan serta penggunaannya
merupakan kebutuhan yang sangat penting. Tanah dalam pembangunan
nasional merupakan salah satu modal dasar yang strategis. Hal ini
untuk menopang tujuan nasional sesuai yang termaktub dalam
pembukaan Undang Undang Dasar 1945 yaitu memajukan
kesejahteraan umum, sehingga akan terwujud suatu masyarakat adil
dan makmur baik dalam materiil maupun spirituil berdasarkan
1
Pancasila dalam ruang lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang merdeka dan berkedaulatan rakyat serta kehidupan berbangsa
bernegara yang tertib, aman dan dinamis untuk mewujudkan
kesejahteraan yang adil dan merata bagi segenap rakyat Indonesia.
Oleh karena itu, untuk mewujudkan tujuan tersebut maka dilaksanakan
suatu program pembangunan yang terpadu dan menyeluruh dan
berkelanjutan termasuk dalam bidang pertanahan.
Betapa pentingnya tanah bagi kehidupan manusia sehingga
diatur dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan “Bumi air
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara
dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Berdasarkan
ketentuan tersebut kita mengetahui bahwa kemakmuran masyarakat
adalah tujuan utama dalam pemanfaatan sumber daya alam di
Indonesia. Pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan
umum merupakan tuntutan yang tidak dapat dielakkan oleh pemerintah
mana pun. Semakin maju masyarakat, semakin banyak diperlukan
tanah-tanah untuk kepentingan umum (awam). Sebagai konsekuensi
dari hidup bernegara dan bermasyarakat, jika hak milik individu
(peribadi) berhadapan dengan kepentingan umum maka kepentingan
umumlah yang harus didahulukan. Namun demikian negara harus tetap
menghormati hak-hak warnanegaranya kalau tidak mau dikatakan
melanggar hak azasi manusia1.
Sebagai implementasi dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, pada
tanggal 24 September 1960 pemerintah mengundangkan Undang-
Undang No.5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria yang lebih dikenal dengan UUPA yang termuat dalam
1 Mukmin Zakie, Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum (Perbandingan antara Malaysia dan Indonesia), Jurnal Hukum No. Edisi Khusus Vo. 18, Oktober 2011: 187-206, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesioa, Yogyakarta.
2
Lembaran Negara No.104 tahun 1960. Kebijakan dikeluarkannya
Undang-Undang ini sebagai bentuk perhatian pemerintah di bidang
Agraria.
Dengan demikian kebijakan pemerintah, akan berjalan dengan baik karena mendapat dukungan dari masyarakat, termasuk dalam hal pengadaan tanah untuk pembangunan. Kebijakan pemeriantah yang dilakukan dalam waktu ke waktu tentunya mengalami perkembangan, yang pada intinya bertujuan demi perbaikan. Pemerintah tidak akan mengeluarkan kebijakan yang tentunya tidak sesuai harapan. Seperti yang disampaikan oleh Owen Hughes dalam Pan S. Kim.2
“Summarized for this group: “The administrative paradigma in is terminal stages and unlikely to be revbuved...(It is being replaced by) a new paradigm of public management which pust forward a different relationship betwen government, the public service aand the public”. (Paradigma administrasi berada pada tahap akhir dan tidak mungkin dibangkitkan kembali... (hal ini digantikan oleh) sebuah paradigma baru tentang manajemen pemerintah yang mengusulkan suatu hubungan yang berbeda antara pemerintah, pelayanan masyarakat dan masyarakat).
Menurut Herma Yulis dalam Achmad Rubaeie, tanah
mempunyai arti penting karena mempunyai fungsi ganda, yaitu sebagai
social asset dan capital asset. Sebagai social asset, tanah merupakan
sarana pengikat kesatuan sosial di kalangan masyarakat Indonesia
untuk hidup dan kehidupan, sedangkan sebagai capital asset tanah
merupakan faktor modal dalam pembangunan dan tanah telah tumbuh
sebagai benda ekonomi yang sangat penting sekaligus sebagai bahan
perniagaan dan objek spekulasi3.
Menurut hukum adat, manusia dengan tanah mempunyai
hubungan magis religius selain hubungan hukum. Hubungan itu tidak
2Pan S. Kim, Civil Service reform in Japan and Korea toward Competitiveness and competency, International Rteview of Administrative Science. Vo. 68
3 Achmad Rubaeie, Hukum Pengadaan Tanah Untuk KepentinganUmum ,Bayumedia Publishing, Malang, 2007, hlm. 1
3
hanya antara individu dengan tanah tetapi juga antar kelompok anggota
masyarakat suatu persekutuan hukum adat (Rechtgemeenschap) di
dalam hubungan dengan hak ulayat4.
Di satu sisi tanah dipergunakan dan dimanfaatkan sebesar-
besarnya untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara lahir,
batin, dan merata, di sisi lain perlu dijaga kelestariaannya. Tanah
merupakan karunia Tuhan yang dapat digunakan untuk mewujudkan
kemakmuran dan kesejahteraan rakyat bangsa Indonesia, maka perlu
adanya campur tangan pemerintah untuk mewujudkan hal tersebut. Hal
ini sesuai dengan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia 1945 (selanjutnya ditulis UUD 1945) yang berbunyi : “Bumi
dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat
“. Dari bunyi Pasal tersebut dapat diketahui bahwa penggunaan bumi
(tanah), air dan kekayaan alam yang terkandung didalam harus dikuasai
oleh negara untuk dipergunakan bagi sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat yaitu untuk mewujudkan kesejahteraan seluruh
rakyat Indonesia.
Seluruh batang tubuh UUD 1945 merupakan suatu penjabaran
dari Pancasila, maka dengan sendirinya kesejahteraan yang dimaksud
adalah kesejahteraan lahir batin, adil, dan merata bagi seluruh rakyat
Indonesia. Melihat materi dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 di atas
maka tujuan negara di sini merupakan tujuan dari negara Republik
Indonesia yang bersifat mendasar dan abadi, juga bersifat filosofi dan
keadilan5. Dengan demikian, antara dikuasai negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat adalah dua hal yang tidak
dapat dipisahkan satu sama lain. Artinya, dikuasainya bumi (tanah), air,
4 Mohammad Hatta, Hukum Tanah Nasional dalam Perspektif Negara Kesatuan. Media Abadi. Yogyakarta, 2005, hlm.40
5Ibid, hlm.1
4
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya oleh negara, semata-
mata dimaksudkan untuk dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat bukan untuk kepentingan kelompok atau golongan elit tertentu
dari instansi pemerintah yang memerlukan tanah tersebut6.
Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun1960 Tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya ditulis UUPA)
menegaskan, bahwa kewenangan negara terkait hak menguasai tanah
dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 adalah :
1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
persediaan atau pemeliharaannya;
2. Menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas bagian
(bagian dari) bumi, air dan ruang angkasa itu; dan
3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi,
air, dan ruang angkasa, segala sesuatunya dengan tujuan untuk
mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam masyarakat
adil dan makmur.
Dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,
dalam Pasal 2 ayat (3) UUPA diartikan sebagai kebahagiaan,
kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum
Indonesia yang merdeka berdaulat, adil, dan makmur. Sehubungan
dengan ketentuan tersebut, maka penggunaan tanah tidak hanya untuk
kepentingan individu saja tetapi juga kepentingan masyarakat luas di
Indonesia. Bunyi Pasal tersebut tersirat bahwa penggunaan tanah juga
harus memperhatikan dan mempertimbangkan kepentingan sosial.
Hak-hak atas tanah yang individual dan bersifat pribadi dalam
konsepsi hukum tanah nasional mengandung unsur kebersamaan7.
6Achmad Rubaei, Op. Cit. hlm. 27 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia (Sejarah Pembentukan Undang-
Undang Agraria, Isi dan Pelaksanaannya edisi Revisi).Djambatan, Jakarta, 2005, hlm. 231
5
Unsur kebersamaan atau unsur kemasyarakatan tersebut ada pada tiap
hak atas tanah, karena semua hak atas tanah secara langsung ataupun
tidak langsung bersumber pada hak bangsa, yang merupakan hak
bersama. Pasal 6 UUPA, menyatakan : “Semua hak atas tanah
mempunyai fungsi sosial.” Dari ketentuan tersebut berarti penggunaan
tanah tidak hanya menyangkut kepentingan individu atau golongan
pemegang hak atas tanah tersebut, melainkan juga harus
memperhatikan kepentingan masyarakat. Sebab, kepentingan pribadi
sudah termasuk juga di dalam kepentingan masyarakat. Jadi harus ada
keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan umum
(masyarakat) dalam pemanfaatan serta penggunaan tanah.
Menurut Ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 Juncto Pasal 2
ayat (3) Juncto Pasal 6 UUPA, maka terkait hak atas tanah mempunyai
fungsi sosial, negara perlu melakukan berbagai ragam kebijakan dan
kegiatan yang memerlukan berbagai macam ketrampilan dan keahlian,
termasuk mengatur penggunan tanah bagi kepentingan umum dalam
pengadaan tanah untuk pembangunan, di mana tujuan utamanya tetap
harus untuk kemakmuran rakyat secara adil dan merata. Sebagaimana
dalam Pasal 18 UUPA dinyatakan bahwa untuk kepentingan umum,
termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama
dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberikan ganti
kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-
undang.
Pembangunan yang dilaksanakan pemerintah yang
membutuhkan tanah dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum
dalam pelaksanaanya harus mempertimbangkan banyak hal.
Argumentasinya, menurut Imam Koeswahyono yang mengutip
6
pendapat Soemarjono dan Oloan Sitorus, bahwa pengadaan tanah harus
berdasarkan atau mencangkup prinsip8:
1. Penguasaan dan penggunaan tanah oleh siapapun dan untuk keperluan apapun harus ada landasan haknya;
2. Semua hak atas tanah secara langsung maupun tidak langsung bersumber pada hak bangsa (ini kaitannya dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 Juncto Pasal 1 dan 2 UUPA);
3. Cara untuk memperoleh tanah yang sudah dimiki haknya oleh seseorang atau badan hukum harus melalui kata sepakat antar pihak yang bersangkutan (kaitannya dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia ( selanjutnya ditulis UU HAM));dan
4. Dalam keadaan yang memaksa artinya jalan lain yang ditempuh gagal, maka presiden memiliki kewenangan untuk melakukan pencabutan hak tanpa persetujuan subyek hak menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 Tentang Pencabutan Hak-Hak Tanah dan Benda-Benda yang Ada di Atasnya (selanjutnya ditulis UU No 20 Tahun 1961).
Pemilikan tanah oleh individu sebagaimana diuraikan dalam
Pasal 9 ayat (2) UUPA sewaktu-waktu dapat digugurkan karena
berhadapan dengan pembangunan bagi kepentingan umum. Adapun di
lain pihak sebagian dari masyarakat memerlukan tanah sebagai tempat
pemukiman dan tempat mata pencahariannya. Bilamana hal tersebut
diambil begitu saja dan dipergunakan untuk keperluan pembangunan,
maka dapat berdampak mengesampingkan kepentingan perseorangan
yang dikhawatirkan akan menghilangkan hak perseorangan untuk hidup
secara layak. Secara tegas Hak Milik telah mendapatkan perlindungan
yang kuat dalam pasal 28H UUD 1945, dinyatakan “Setiap orang berhak
mempunyai milik pribadi dan Hak Milik tersebut tidak boleh diambil
alih secara sewenang-wenang oleh siapapun”. Pasal 36 ayat (1) dan (2)
UU HAM, menyatakan: “(1) Setiap orang berhak mempunyai milik,
baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain demi
8 Imam Koeswahyono, Melacak Dasar Konstitusional Pengadaan Tanah untuk KepentinganPembangunan Bagi Umum”, dimuat dalam Artikel Jurnal Konstitusi. Vol.1 Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2008. Hlm. 5
7
pengembangan dirinya, keluarga, bangsa, dan masyarakat dengan cara
yang tidak melanggar hukum. (2) Tidak seorangpun boleh dirampas
miliknya dengan sewenang-wenang dan secara melawan hukum”.
Salah satu persoalan yang masih dihadapi sehubungan dengan
pelaksanaan kepentingan umum adalah menentukan keseimbangan
antara kepentingan umum dan kepentingan pribadi pemegang hak atas
tanah. Pembangunan yang tengah dilaksanakan oleh pemerintah
seringkali berbenturan berbagai masalah pengadaan tanah yang
mengabaikan hak atas tanah yang dimiliki masyarakat. Permasalahan ini
muncul baik dalam tahap awal, pelaksanaan maupun pemberian ganti
rugi yang kurang layak yang tanpa melibatkan masyarakat pemegang
hak atas tanah
(http://sosiologipertanahan.blogspot.com/2014/04/hambatan-fungsi-
sosial.html , 3 April 2014), sehingga pengadaan tanah yang berdalih
untuk kepentingan umum sering kali melanggar hak asasi manusia.
Selain itu, persoalan yang paling disorot adalah kriteria
pembatasan “kepentingan umum” yang membuka kemungkinan
pengadaan tanah oleh swasta difasilitasi oleh Pemerintah. Pengertian
kepentingan umum dikhawatirkan akan diartikan secara luas sehingga
dapat melanggar hak milik atas tanah di Indonesia yang belum
sepenuhnya dilindungi sistem hukum9. Demikian juga selain perangkat
aturan yang ada saat ini dilihat belum mengakomodasi keperluan
kepentingan pembangunan. Wadahnya pun disorot tidak layak, lantaran
persoalan tanah yang terkait hak asasi manusia tidak dihimpun dalam
undang-undang.
Pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang diadakan oleh
Pemerintah, apabila melalui pembebasan tanah tidak bisa tercapai maka
melalui pencabutan hak milik. Hal demikian diatur dalam Pasal 1 UU No
20 Tahun 1961, menyatakan bahwa: “Untuk kepentingan umum, 9 Mohammad Hatta, Op. Cit, hlm 157
8
termasuk kepentingan Bangsa dan Negara serta kepentingan bersama
dari rakyat, sedemikian pula kepentingan pembangunan, maka Presiden
dalam keadaan yang memaksa setelah mendengar Menteri Agraria,
Menteri Kehakiman dan Menteri yang bersangkutan dapat mencabut
hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada diatasnya”.
Terkait dengan pelaksanaan pencabutan hak atas tanah, terkadang
organ Pemerintah melakukan perbuatan yang melanggar hukum
(onrechmatige overheidsdaad) publik, seperti dalam hal pelaksanaan
pencabutan Hak Milik. Pelanggaran hukum tersebut seperti dalam hal10:
1. Penetapan ganti rugi oleh panitia penaksir telah ditetapkan dengan
tidak mengindahkan dasar-dasar pertimbangan yang layak, sehingga
dirasa sangat mustahil untuk diterima oleh yang
bersangkutan;dan/atau
2. Daerah penampungan yang ditunjuk Pemerintah ternyata tidak
memenuhi persyaratan hidup untuk dihuni berhubung tiada sumber air
atau air yang terdapat di daerah itu tidak berfungsi sebagaimana
mestinya karena adanya pencemaran lingkungan.
Apabila kita ikuti kasus-kasus seputar pengadaan tanah untuk
kepentingan umum, yang kebanyakan pemicunya terkait dengan
pemberian ganti rugi, baik dalam bentuk, pelaksanaan
pembayarannya maupun besarnya ganti rugi. Pembayarannya
terkadang tidak langsung tunai dan diundur-undur dan besarnya ganti
rugi tidak layak. Guna menghindari konflik terkait pemberian ganti
rugi baik mengenai bentuk maupun besarnya harus ditetapkan
berdasarkan musyawarah antara kedua belah pihak yang mempunyai
kedudukan sama dan sederajad, sehingga antara pihak pemerintah
dengan pemegang hak atas tanah terjadi keseimbangan.
10 Marmin M.Roosadijo. Tinjauan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada di Atasnya. Ghalia Indonesia, Jakarta,1979, hlm. 31
9
Berdasarkan uraian di atas, maka menarik penulis untuk
mempelajari dan mengakaji lebih dalam terkait hal tersebut dalam
sebuah penulisan penelitian hukum dengan judul : PELAKSANAAN
PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM DALAM
RANGKA PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMEGANG
HAK ATAS TANAH (Analisis Substansi Undang-Undang No. 2
Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan demi
Kepentingan Umum)
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan Latar belakang Di atyas di atas permasalahan yang
dikaji dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana tata cara pengadaan tanah bagi pelaksanaan
pembangunan untuk kepentingan umum yang dapat memberikan
perlindungan hukum bagi pemegang hak atas tanah?
2. Kelemahan apakah yang ada dalam Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan
khususnya pengadaan tanah bagi kepentingan umum ?
D. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah hal-hal tertentu yang hendak dicapai
dalam suatu penelitian. Tujuan penelitian akan memberikan arah dalam
pelaksanaan penelitian. Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu:
1. Tujuan Objektif
Tujuan Objektif dari penelitian ini adalah:
10
a. Mengetahuitata cara pengadaan tanah bagi pelaksanaan
pembangunan untuk kepentingan umum yang dapat
memberikan perlindungan hukum bagi pemegang hak atas
tanah.
b. Mengetahui Kelemahan yang ada dalam Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan khususnya pengadaan tanah bagi kepentingan
umum
2. Tujuan Subjektif
Tujuan Subjektif penelitian ini adalah :
a. Menambah wawasan, pengetahuan, dan kemampuan analitis
penulis mengenai Hukum Agraria, terutama menyangkut prinsip
penghormatan hak atas tanah dalam pengadaan tanah untuk
Pembangunan demi kepentingan umum;
b. Melatih kemampuan penulis dalam menerapkan teori ilmu
hukum, mengembangkan, dan memperluas wacana pemikiran
serta pengetahuan yang didapat selama perkuliahan guna
menganalisis permasalahan-permasalahan yang muncul dalam
hal prinsip penghormatan hak atas tanah dalam pengadaan tanah
untuk kepentingan umum.
c. Memperoleh bahan dan informasi secara lebih jelas dan lengkap
sebagai bahan untuk menyusun Tesis, guna memenuhi
persyaratan akademis dalam mencapai Magister Kenotariatan di
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
E. Manfaat Penelitian
11
Penelitian yang penulis lakukan mempunyai manfaat bukan
hanya bagi penulis saja, tapi diharapkan juga dapat berguna bagi pihak-
pihak lain. Adapun manfaat dalam penelitian ini, yaitu :
1. Manfaat Teoretis
Manfaat Teoretis dari penelitian ini adalah:
a. Menambah pengetahuan mengenai ilmu hukum agraria terutama
mengenai masalah Pengadaan Tanah untuk pembangunan demi
kepentingan umum.
b. Mengembangkan wawasan ilmiah yang dapat digunakan dalam
penulisan ilmiah di bidang hukum terutama hukum agraria.
a. Memperkaya referensi dan literatur kepustakaan hukum Hukum
Agraria tentang prinsip penghormatan hak atas tanah dalam
pengadaan tanah untuk Pembangunan demi kepentingan umum.
2. Manfaat Praktis
Manfaat Praktis dari penelitian ini adalah:
a. Menjadi wahana bagi penulis untuk mengembangkan penalaran
dan pola pikir ilmiah, serta untuk mengetahui kemampuan
penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh;dan
b. Hasil dari penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan terhadap
penelitian-penelitian sejenis pada tahap selanjutnya dan berguna
bagi para pihak yang pada kesempatan lain mempunyai minat
untuk mengkaji permasalahan yang sejenis.
F. Tinjauan Pustaka
1. Tinjauan Tentang Hak Atas Tanah
a. Pengertian Hak Atas Tanah
Menurut Boedi Harsono, hak atas tanah merupakan hak
penguasaan atas tanah yang berisikan serangkaian wewenang,
kewajiban dan/atau larangan bagi pemegang haknya untuk
berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki. Sesuatu yang boleh,
12
wajib atau dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi hak
penguasaan itulah yang menjadi kriteria atau tolok pembeda di
antara hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam hukum
tanah11.
Menurut Urip Santosa yang mengutip pendapat Soedikno
Mertokusumo yang dimaksud hak atas tanah adalah hak yang
memberi wewenang kepada yang mempunyai hak untuk
menggunakan atau mengambil manfaat dari tanah yang
dihakinya. Kata “menggunakan” mengandung pengertian bahwa
hak atas tanah digunakan untuk kepentingan pembangunan,
misalnya rumah, toko, hotel, kantor, dan pabrik. Kata “
mengambil manfaat” mengandung pengertian bahwa hak atas
tanah digunakan untuk kepentingan pertanian, perikanan,
peternakaan, perkebunan12.
b. Macam Hak Atas Tanah
Pasal 4 ayat (1) dan (2) UUPA dinyatakan bahwa atas
dasar menguasai dari negara ditentukan adanya macam-macam
hak atas tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai baik
sendirian maupun secara bersama-sama dengan orang lain serta
badan-badan hukum di mana hak atas tanah ini memberi
wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan
sedemikian rupa, begitu pula bumi dan air serta ruang udara
diatasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung
berhubungan dengan penggunaan tanah itu, dalam batas-batas
menurut UUPA dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih
tinggi.
11Boedi Harsono, Op. Cit. hlm. 28312 Urip Santosa, Pendaftaran dan Perolehan Hak Atas Tanah. Kencana, Jakarta,
2010, hlm. 49
13
Macam-macam hak atas tanah yang disebutkan dalam
Pasal 16 UUPA dan Pasal 53 UUPA dikelompokkan menjadi 3
bidang, yaitu:
1) Hak atas tanah yang bersifat tetap
Yaitu hak-hak atas tanah ini akan tetap ada atau berlaku
selama UUPA masih berlaku atau belum dicabut dengan
undang-undang yang baru. Macam hak atas tanah ini adalah
hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai,
hak sewa untuk bangunan, hak membuka tanah, dan hak
memungut hasil hutan.
2) Hak atas tanah yang akan ditetapkan dengan undang-undang
Yaitu hak atas tanah yang akan lahir kemudian yang akan
ditetapkan dengan undang-undang. Hak macam tanah ini
belum ada. Berkaitan dengan hak atas tanah ini, menurut
Emelan Ramelan dalam Urip Santosa menyatakan bahwa
pembentukan UUPA menyadari bahwa dalam
perkembangannya nanti akan sangat dimungkinkan timbulnya
hak atas tanah yang baru sebagai konsekuensi dari adanya
perkembangan masyarakat, hanya saja pengaturannya harus
dalam bentuk Undang-Undang.
3) Hak atas tanah yang bersifat sementara
Yaitu hak atas tanah yang sifatnya sementara, dalam waktu
yang singkat akan dihapuskan dikarenakan mengandung sifat-
sifat pemerasan, mengandung sifat feodal, dan bertentangan
dengan jiwa UUPA. Macam hak atas tanah ini adalah Hak
Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang, dan Sewa
Tanah Pertanian.
Berdasarkan asal tanahnya, hak atas tanah dibagi menjadi
2 kelompok, yaitu:13
13Ibid, hlm. 52-53
14
1) Hak atas tanah yang bersifat primer.
Yaitu hak atas tanah yang berasal dari tanah negara. Macam-
macam hak atas tanah ini adalah hak milik, hak guna usaha,
hak guna bangunan atas tanah negara, dan hak pakai atas
tanah negara.
2) Hak atas tanah yang bersifat sekunder.
Yaitu hak atas tanah yang berasal dari tanah pihak lain.
Macam-macam hak atas tanah ini adalah hak guna bangunan
atas tanah hak pengelolaan, hak guna bangunan atas tanah hak
milik, hak pakai atas tanah hak milik, hak sewa untuk
bangunan, hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang,
dan hak sewa tanah Pertanian.
Berdasarkan macam hak atas tanah di atas, lebih jelasnya
sebagai berikut :
1) Hak milik
Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan
terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan tetap
mengingat ketentuan tentang hak atas tanah untuk fungsi
sosial (Pasal 20 ayat (2) UUPA). Hak milik merupakan hak
yang paling kuat atas tanah, yang memberikan kewenangan
kepada pemiliknya untuk memberikan kembali suatu hak lain
di atas bidang tanah hak milik yang dimilikinya tersebut
(dapat berupa hak guna bangunan atau hak pakai, dengan
pengecualian hak guna usaha), yang hampir sama
kewenangan negara (sebagai penguasa) untuk memberi hak
atas tanah kepada warganya14.
Hak milik berjangka waktu selama-lamanya (tidak
dibatasi oleh jangka waktu). Selama pemegang haknya masih
14 Kartini Muljadi,dkk., . Hak-Hak Atas Tanah. Prenada Media, Jakarta, 2004, hlm.30
15
memenuhi syarat sebagai subyek hak milik, maka hak milik
tersebut tetap berlaku. Sebaliknya, kalau pemegang haknya
tidak lagi memmenuhi syarat sebagai subyek hak milik, maka
hak milik tersebut menjadi hapus.
Sifat khas dari hak milik yaitu turun temurun, terkuat,
dan terpenuh. Turun-temurun artinya hak milik tidak hanya
berlangsung selama hidupnya orang yang mempunyai, tetapi
dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya apabila pemiliknya
meninggal dunia. Terkuat menunjukkan:
a) Jangka waktu hak milik tidak terbatas. Jadi berlainan
dengan hak guna usaha atau hak guna bangunan,
jangka waktunya tertentu.
b) Hak yang terdaftar dan adanya “tanda bukti hak”. Hak
milik juga hak yang terkuat, karena terdaftar dan yang
mempunyai diberi “tanda hak milik”.
Terpenuh artinya:
a) Hak milik itu memberikan wewenang kepada yang
empunya, yang paling luas jika dibandingkan dengan
hak lain.
b) Hak milik bisa merupakan induk daripada hak-hak
lainnya. Artinya seseorang pemilik tanah bisa
memberikan tanah kepada pihak lain dengan hak-hak
yang kurang daripada hak milik: menyewakan,
membagi hasilkan, menggadaikan, menyerahkan tanah
itu kepada orang lain dengan hak guna bangunan atau
hak pakai.
c) Hak milik tidak berinduk kepada hak atas tanah lain.
d) Dilihat dari peruntukannya, hak milik juga tak terbatas.
Hak guna bangunan untuk keperluan bangunan saja,
16
hak guna usaha terbatas hanya untuk pertanian
sedangkan hak milik dapat digunakan untuk usaha
pertanian maupun untuk bangunan.15
Subyek hak milik atas tanah yaitu WNI dan badan
hukum. Hal demikian, sesuai dengan Pasal 21 ayat (2)
UUPA yang menyatakan bahwa oleh pemerintah
ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai
hak milik dengan syarat-syarat. Pemberian landasan
hukum yang terkuat kepada badan-badan hukum untuk
medapatkan hak milik atas tanah, Pemerintah
mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun
1963 tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum yang
dapat mempunyai hak milik atas tanah16. Pasal 1 Peraturan
Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 menyatakan bahwa
Badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik
atas tanah, masing-masing dengan pembatasan yang
disebut pada Pasal 1,2, dan 4 peraturan ini :
a) Bank-bank yang didirikan oleh negara (selanjutnya
disebut bank negara);
b) Perkumpulan-perkumpulan koperasi pertanian yang
didirikan berdasarkan Undang-Undang No. 79 Tahun
1958;
c) Badan-badan keagamaan, yang ditunjuk oleh Menteri
Pertanian/Agraria setelah mendengar Menteri Agama;
dan
15 Effendi Perangin, Hukum Agraria Indonesia, Alumni, Bandung, 1989, hlm. 236-237
16Supriyadi,Hukum Agraria. Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hlm. 66
17
d) Badan-badan sosial, yang ditunjuk oleh Menteri
Pertanian/Agraria setelah mendengar Menteri
Kesejahteraan Sosial.
Hapusnya hak milik diatur dalam Pasal 27 UUPA yang
menyatakan bahwa Hak Milik Hapus apabila:
a) Tanahnya jatuh kepada negara :
(1)Karena pencabutan hak berdasarkan Pasal 18
UUPA;
(2)Karena penyerahan sukarela oleh pihak pemiliknya;
(3)Karena ditelantarkan; dan
(4)Karena ketentuan Pasal 21 ayat (3) (hilangnya
kewarganegaraan) dan Pasal 26 ayat (2) UUPA.
b) Tanahnya musna.
2) Hak Guna Usaha (HGU)
Hak guna usaha (selanjutnya disebut HGU) adalah hak
untuk mengusahakan tanah yang dikuasasi langsung oleh
Negara, dalam jangka waktu tertentu guna perusahaan
pertanian, perikanan atau peternakan (Pasal 28 UUPA). HGU
merupakan hak atas tanah yang bersifat primer yang memiliki
spesifikasi. Spesifikasi HGU tidak bersifat terkuat dan
terpenuh, dalam artian bahwa HGU ini terbatas daya
berlakunya walaupun dapat beralih dan dialihkan pada pihak
lain17. Penjelasan UUPA telah diakui dengan sendirinya
bahwa HGU ini sebagai hak-hak baru guna memenuhi
kebutuhan masyarakat modern dan hanya diberikan terhadap
tanah-tanah yang dikuasai langsung oleh negara. Jadi, tidak
dapat terjadi atas suatu perjanjian antara pemilik suatu hak
milik dengan orang lain.
17Ibid, hlm 110
18
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun
1996 Pasal 8 ayat (1), HGU diberikan untuk jangka waktu 35
tahun dan dapat diperpanjang 25 tahun, dan diperbarui untuk
jangka waktu 35 tahun atas permintaan pemegang hak dengan
mengingat keadaan perusahannya.
HGU diberikan atas tanah yang paling sedikit 5 hektar,
dengan ketentuan bahwa jika luasnya 25 hektar atau lebih
harus memakai investasi modal yang layak dan tehnik
perusahaan yang baik, sesuai dengan perkembangan zaman.
HGU dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain, dengan
cara: jual beli, tukar-menukar, penyertaan dalam modal,
hibah, dan pewarisan (Pasal 16 ayat (2) PP No.40 tahun
1996).
Subyek HGU diatur dalam Pasal 2 PP No. 40 Tahun
1996, dinyatakan bahwa yang dapat mempunyai HGU adalah:
a) Warga Negara Indonesia;
b) Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia
dan berkedudukan di Indonesia.
Berkaitan dengan subyek HGU di atas, maka
bagaimana kalau subyek pemegang HGU tersebut beralih
menjadi warga negara lain atau status badan hukum tersebut
berubah, yaitu yang tadinya nasional Indonesia menjadi
berstatus asing atau pemilikan sebuah Perseroan Terbatas (PT)
telah beralih ke tangan pihak asing. Bagaimana status HGU-
nya tersebut. Menurut Supriadi yang mengutip pendapat
Sudargo Gautama, berlaku teori ketiga tentang status badan
hukum yaitu teori tentang siapa yang memegang managing
control, pengawasan atau manajemen dan kontrol atas PT
bersangkutan. Dengan demikian, lebih lanjut dikatakan18:18Ibid, hlm. 111
19
Jika jatuh semua dalam tangan asing, maka dipandang Perseroan Terbatas bersangkutan ini sebagai sudah berstatus asing. Dengan demikian, maka harus dilepaskan HGU yang telah dimilikinya semula sesuai ketentuan Pasal 3 PP Nomor 40 Tahun 1996. Jika tidak dilakukan pelepasan ini dalam waktu 1 tahun setelah perubahan status dari pemegangnya, maka karena hukum HGU bersangkutan menjadi hapus dan tanh menjadi tanah negara (ayat (2) dari Pasal 3).
HGU mempunyai batas waktu berlakunya. Hal ini
sesuai dengan ketentuan Pasal 34 UUPA dinyatakan bahwa,
HGU hapus karena:
a) Jangka waktunya berakhir;
b) Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena
sesuai syarat tidak dipenuhi;
c) Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktu
berakhir;
d) Dicabut untuk kepentingan umum;
e) Ditelantarkan;
f) Tanahnya musnah;
g) Ketentuan dalam Pasal 30 ayat (2).
Ketentuan Pasal 34 UUPA ini diatur kembali dalam Pasal 17
PP Nomor 40 Tahun 1996, HGU Hapus karena:
a) Berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam
keputusan pemberian atau perpanjangannya;
b) Dibatalkan hanya oleh pejabat yang berwenang sebelum
jangka waktunya berakhir karena: (1) tidak terpenuhinya
kewajiban-kewajiban pemegang hak dan atau
dilanggarnya ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12, Pasal 13 dan/atau 14; (2) putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
20
c) Dicabut berdasarkan UU No.20 Tahun 1961;
d) Ditelantarkan;
e) Tanahnya musnah; dan
f) Ketetapan Pasal 3 ayat (2), yaitu apabila dalam jangka
waktu satu tahun HGU itu tidak dilepaskan atau dialihkan.
3) Hak Guna Usaha (HGB)
Hak Guna Bangunan (HGB) adalah hak untuk
mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah
yang bukan miliknya sendiri (Pasal 35 UUPA), dengan jangka
waktu paling lama 30 tahun yang dapat diperpanjang dengan
waktu paling lama 20 tahun atas permintaan pemegang
haknya dengan mengingat keadaan keperluan dan keadaan
bangunannya. HGB atas tanah hak milik tidak dapat
diperpanjang jangka waktunya, akan tetapi atas kesepakatan
dengan pemilik tanah dapat diperbaharui haknya.
Subyek yang dapat menjadi pemegang HGB adalah:
warga negara indonesia, badan hukum yang didirikan menurut
hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia (Pasal 19 PP
No. 40 Tahun 1996). HGB dapat beralih dan dialihkan kepada
pihak lain, peralihan HGB terjadi karena: jual beli, tukar
menukar, penyertaan modal, hibah, dan pewarisan. (Pasal 34
ayat (1) dan (2) No. 40 Tahun 1996).
HGB mempunyai batas waktu berlakunya. Hal ini
sesuai dengan ketentuan Pasal 35 PP No. 40 tahun 1996
dinyatakan bahwa, HGB hapus karena:
a) Berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam
keputusan pemberian atau perpanjangannya atau dalam
perjanjian pemberiannya;
21
b) Dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, pemegang hak
pengelolaan atau hak milik, sebelum jangka waktunya
berakhir, karena: (1) tidak terpenuhinya kewajiban
pemegang hak dan/atau dilanggarnya ketentuan-ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, dan Pasal 32; atau
(2) tidak dipenuhinya syarat-syarat atau kewajiban-
kewajiban yang tertuang dalam pemberian HGB antara
pemegang HGB dan Hak milik atau perjanjian
penggunaan tanah hak pengelolaan; atau (3) putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekeuatan hukum yang
tetap;
c) Dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya
sebelum janghka waktu berakhir;
d) Dicabut berdasarkan UU No. 20 tahun 1961;
e) Ditelantarkan;
f) Tanahnya musnah;
g) Ketentuan Pasal 20 ayat (2) (pemegang HGB yang tidak
lagi memnuhi syaratdalam satu tahun yang tidak
melepaskan atau mengalihkan haknya).
4) Hak Pakai
Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan atau
memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh
negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang
dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan
pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya
atau perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan
tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan
22
ketentuan undang-undang. Hak pakai diatur dalam Pasal 39-
58 Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996.
Hak pakai berjangka waktu untuk pertama kalinya
paling lama 25 tahun, dapat diperpanjang untuk jangka waktu
paling lama 20 tahun, dan dapat diperbaharui haknya untuk
jangka waktu paling lama 25 tahun. Untuk perpanjangan
jangka waktu dan pembaharuan hak pakai atas tanah hak
pengelolaan harus ada persetujuan tertulis terlebih dahulu
pemegang hak pengelolaan. Hak pakai atas tanah hak milik
tidak dapat diperpanjang jangka waktunya, akan tetapi atas
kesepakatan dengan pemilik tanah dapat diperbabaharui
haknya.
5) Hak Sewa
Hak sewa adalah hak yang memberi wewenang untuk
mempergunakan tanah milik orang lain dengan membayar
kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewanya. Jangka
waktu Hak Sewa untuk bangunan berdasarkan kesepakatan
dengan pemilik tanah. Hapusnya hak ini sesuai dalam
ketentuan perjanjian sewa-menyewa dalam Kitap Undang-
Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).
2. Tinjauan Tentang Fungsi Sosial Hak Atas Tanah
Konsep fungsi sosial baru timbul sekitar abad ke-19 sebagai
reaksi daripada penerapan dan penggunaan hak milik secara mutlak
dan formalistis di dalam masa puncak perkembangan kapitalis (Hoch
kapitalismus) dan industrialisme di Eropa. Menurut Wolfgang
Friedman yang dikutip Sunarjati Hartono, menyatakan bahwa di
dalam masyarakat yang sederhana (pra-industri) hak milik
mempunyai fungsi memenuhi kebutuhan seseorang, sesuai dengan
23
pekerjaannya dalam rangka pencarian nafkah. Di dalam masyarakat
pra-industri yang sederhana, seperti di dalam hukum adat Indonesia,
apabila orang berbicara tentang hak milik atau kepunyaan, maka yang
dimaksud olehnya adalah barang yang dikuasai sepenuhnya dan yang
dapat dinikmati sepenuhnya pula19.
Sebagai makhluk sosial yang merdeka, setiap orang
mempunyai berbagai macam hak untuk menjamin dan
mempertahankan kehidupannya di tengah-tengah masyarakat, dimana
salah satunya adalah hak atas tanah. Hak atas tanah merupakan hak
yang dipunyai seseorang yang menurut sifatnya termasuk hak yang
secara wajar boleh dimiliki oleh suatu pihak karena hubungannya
yang khusus dengan orang atau pihak lain pada suatu tempat dan
waktu tertentu serta situasi dan kondisi yang dianggap tepat. Hak ini
masih dapat dikesampingkan dari kehidupan seseorang karena adanya
suatu atau beberapa kepentingan yang memaksa20. Artinya hak atas
tanah dapat diperoleh berdasarkan hukum tetapi masih dapat
diganggu gugat melalui hukum itu sendiri bila ada satu atau beberapa
kepentingan sebagai sebabnya yang lebih memaksa, yang antara lain
adalah kepentingan umum.
Bangsa Indonesia yang sejak semula hidup dalam suasana
kekeluargaan dan hukum adat tidak pernah memberi tekanan kepada
kepentingan perseorangan, manusia Indonesia selamanya hanya
berarti dalam lingkungan suatu kelompok masyarakat yaitu sebagai
warga masyarakat. Boedi Harsono merumuskan bahwa konsepsi
hukum adat adalah komunalistik-religius, yang juga memungkinkan
penguasaan tanah secara individual sekaligus mengandung unsur
19 Sunarjati Hartono, Beberapa Pemikiran Kearah Pembaharuan Hukum Tanah. Alumni, Bandung, 1978, hlm. 16-17
20 Purnadi Purbacaraka dan A.Ridwan, 1982. Hak Milik Keadilan dan Kemakmuran Tinjauan Falsafah Hukum. Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, hlm. 7-8
24
kebersamaan21. Ini berarti bahwa hak atas tanah yang dikuasai secara
individual tidak dibenarkan penggunaan tanah tersebut untuk
kepentingan pribadi, melainkan penggunaannya harus disesuaikan
dengan manfaat bagi masyarakat dan negara. Hak milik atas tanah
dalam hukum adat yang berkembang sebelum bangsa barat datang
adalah hukum adat yang merupakan hukum asli golongan pribumi,
yang merupakan hukum yang hidup dalam bentuk tidak tertulis dan
mengandung unsur-unsur nasional yang asli yaitu sifat
kemasyarakatan dan kekeluargaan yang berasaskan keseimbangan
serta diliputi oleh suasana keagamaan.
Pasal 6 UUPA menyebutkan bahwa “semua hak tanah
mempunyai fungsi sosial”. Di dalam penjelasan umum fungsi sosial
hak-hak atas tanah tersebut dinyatakan bahwa:
ini berarti, bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang, tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu merugikan masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat daripada haknya, sehingga bermanfaat bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyai maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan negara. Tetapi dalam pada itu, ketentuan tersebut tidak berarti, bahwa kepentingan seseorang akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum (masyarakat). Undang-Undang Pokok Agraria memperhatikan pula kepentingan-kepentingan perseorangan. Kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan haruslah saling mengimbangi, hingga pada akhirnya akan tercapai tujuan pokok: kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya. (Penjelasan Pasal 2 ayat 3 UUPA).
Dari ketentuan di atas berarti hak atas tanah bukanlah bersifat
pribadi semata-mata. Penggunaannya juga harus memperhatikan
21Boedi Harsono, OP. Cit, hlm. 79
25
kepentingan bersama yaitu kepentingan umum, karena bidang tanah
yang dikuasai itu adalah sebagian dari tanah bersama.
Dalam konsep hukum barat, pengertian fungsi sosial pada
hakikatnya berupa pengurangan atau pembatasan kebebasan individu
bagi kepentingan bersama. Sebaliknya konsep fungsi sosial dalam
hukum adat dan hukum tanah nasional merupakan bagian dari alam
pikiran asli orang Indonesia. Bahwa manusia Indonesia adalah
manusia pribadi yang sekaligus makhluk sosial, yang mengusahakan
terwujudnya keseimbangan, keserasian, dan keselarasan antara
kepentingan pribadi dan kepentingan bersama, kepentingan
masyarakatnya22.
Fungsi sosial hak atas tanah adalah salah satu dari tiga
kewajiban dalam UUPA yang bersifat umum yang dibebankan pada
setiap pemegang hak atas tanah, yakni:
a. Kewajiban menjalankan fungsi sosial hak atas tanah (Pasal 6);
b. Kewajiban memelihara tanah (Pasal 52 ayat (1));dan
c. Kewajiban untuk mengerjakan sendiri secara aktif tanah
pertanian (Pasal 10)23.
Fungsi sosial hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 6 UUPA mengandung beberapa prinsip keutamaan
antara lain24:
a. Merupakan suatu pernyataan penting mengenai hak-hak atas tanah
yang merumuskan secara singkat sifat kebersamaan atau
kemasyarakatan hak-hak atas tanah menurut konsepsi hukum
tanah nasional;
b. Tanah seseorang tidak mempunyai fungsi sosial bagi yang punya
hak itu saja, tetapi juga bagi bangsa Indonesia. Sebagai
22Ibid, hlm. 30223Ibid, hlm. 42-4324Ibid, hal. 299
26
konsekuensinya, dalam mempergunakan tanah yang bersangkutan
tidak hanya kepentingan individu saja yang dijadikan pedoman,
tetapi juga kepentingan masyarakat; dan
c. Fungsi sosial hak-hak atas tanah mewajibkan hak untuk
mempergunakan tanah yang bersangkutan sesuai dengan
keadaannya, artinya keadaan tanahnya, sifatnya, dan tujuan
pemberian haknya. Hal tersebut dimaksudkan agar tanah harus
dipelihara dengan baik dan dijaga kualitas, kesuburan serta
kondisi tanah sehingga dapat dinikmati tidak hanya pemilik tanah
saja tetapi juga masyarakat lainnya. Oleh karena itu kewajiban
memelihara tanah tidak saja dibebankan kepada pemiliknya atau
pemegang hak yang bersangkutan, melainkan juga beban dari
setiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai suatu
hubungan hukum dengan tanah.
Maria S.W. Soemardjono yang mengemukakan bahwa
interpretasi asas fungsi sosial hak atas tanah, di samping
mengandung makna bahwa hak atas itu harus digunakan sesuai
dengan sifat dan tujuan haknya, sehingga bermanfaat bagi si
pemegang hak dan bagi masyarakat, juga berarti bahwa harus
terdapat keseimbangan antara kepentingan perseorangan dan
kepentingan umum, dan bahwa kepentingan perseorangan diakui dan
dihormati dalam rangka pelaksanaan kepentingan masyarakat secara
keseluruhan25. Maka jika kepentingan umum menghendaki
didesaknya kepentingan individu, hingga yang terakhir ini
mengalami kerugian, maka kepadanya harus diberikan ganti rugi26.
3. Tinjauan Tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum
a. Pengertian Pengadaan Tanah
25 Maria S.W. Soemardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implentasi (Edisi Revisi +). PT.Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2009, hlm. 79
26Boedi Harsono, Op. Cit. hlm. 298-299
27
Menurut John Salindeho pengadaan tanah adalah
menyediakan tanah atau mengadakan tanah untuk kepentingan
atau keperluan pemerintah, dalam rangka pembangunan proyek
atau pembangunan sesuatu sesuai program pemerintah yang telah
ditetapkan27.
Pada dasarnya pengertian di atas dimaksudkan untuk
menyediakan atau mengadakan tanah untuk kepentingan atau
keperluan Pemerintah, dalam rangka proyek atau pembangunan
infrastruktur negara sesuai program pemerintah yang telah
ditentukan. Bukan tidak ada tanah yang tersedia, tetapi tanah
bebas dari hak orang atau badan hukum yang justru dibutuhkan
oleh pemerintah untuk kepentingan pembangunan sesuai strategi
pembangunan nasional, diperlukan (tanah) demi terlaksananya
program bertalian dengan proyek yang telah direncanakan28.
Sementara menurut Keputusan Presiden No. 55 tahun
1993 dikatakan bahwa Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan
untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti
kerugian kepada yang berhak atas tanah tesebut”.
Pasal 1 angka (3) Peraturan Presiden No 36 Tahun 2005
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden No 65
Tahun 2006, menyebutkan bahwa Pengadaan tanah adalah setiap
kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan
ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah,
bangunan, tanaman, dan benda-benda yang berkaitan dengan
tanah.
Menurut Ketentuan Pasal 1 ayat (2)Undang-Undang No.
2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan
27 John Salindeho, Masalah Tanah dalam Pembangunan. Sinar Grafika, Jakarta, 1993, hlm. 31
28Ibid, hal. 31-32
28
untuk Kepentingan Umum, menyebutkan bahwa Pengadaan
adalah kegiatanh menyediakan tanah dengan cara memberi ganti
rugi yang layak adan adil kepada pihak yang berhak. Dalam
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum
dengan mendasarkan pada asas: Kemanusiaan, keadilan,
kemanfaatan, kepastian, keterbukaan, kesepakatan, keikutsertaan,
kesejahteraan, keberlanjutan serta kesetaraan.
b. Kepentingan Umum dalam Pengadaan Tanah
1) Pengertian Kepentingan Umum :
Istilah kepentingan umum, pertama kali bermula dari
ketentuan Pasal 18 UUPA, “...kepentingan umum, termasuk
kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama
dari rakyat,,,,”. Selanjutnya Pasal 1 UU No. 20 Tahun 1961
sebagai pelaksana Pasal 18 UUPA, menyatakan
“ ,,,kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan
negara serta kepentingan bersamadari rakyat, sedemikian pula
kepentingan pembangunan,,,”. Pasal 1 butir 5 Peraturan
Presiden No 36 tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (Perpres No 36
Tahun 2005), menyatakan, “ Kepentingan umum adalah
kepentingan sebagian besar lapisan masyarakat”. Hakikat
Kepentingan Umum dapat dikatakan untuk keperluan,
kebutuhan, atau kepentingan orang banyak atau tujuan sosial
yang luas. John Salindeho telah merumuskan bahwa
kepentingan umum sebagai kepentingan bangsa dan negara
serta kepentingan bersama dari rakyat, dengan memperhatikan
segi-segi sosial, politik, psikologis, dan hankamnas atas dasar
29
asas-asas pembangunan nasional dengan mengindahkan
ketahanan nasional serta wawasan nusantara29.
Menurut Ketentuan Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang
No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan untuk Kepentingan Umum, yang dimaksud
kepentingan umum dalah kepentingan bangsa, negara dan
masyarakat yang harus diwujudkan oleh Pemerintah dan
digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat.
Ketentuan Pasal 1 Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun
1973 (sudah tidak berlaku), menyebutkan apa yang dimaksud
dengan kepentingan umum, yakni :
a) Suatu kegiatan dalam rangka pelaksanaan pembangunan
mempunyai sifat kepentingan umum apabila kegiatan
tersebut menyangkut kepentingan bangsa dan negara,
dan/atau kepentingan masyarakat luas dan/atau
kepentingan rakyat banyak/bersama dan/atau,
kepentingan pembangunan.
b) Bentuk-bentuk kegiatan pembangunan yang mempunyai
sifat kepentingan umum meliputi bidang-bidang
pertahanan, pekerjaan umum, jasa umum, keagamaan,
ilmu pengetahuan dan seni budaya, kesejahteraan
olahraga, keselamatan umum terhadap bencana alam,
kesejahteraan sosisal, makam/kuburan, pariwisata dan
rekreasi, usaha-isaha ekonomi yang bermanfaat bagi
kesejahteraan umum.
Pasal 5 Perpres No 65 tahun 2006, menyatakan bahwa
pembangunan untuk kepentingan umum yang dilaksanakan
Pemerintah atau pemerintah daerah, yang selanjutnya dimiliki
29Ibid, hal. 40
30
atau akan dimiliki oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah,
meliputi :
a) jalan umum dan jalan tol, rel kereta api (di atas tanah, di
ruang atas tanah, ataupun di ruang bawah tanah), saluran
air minum/ air bersih, saluran pembuangan air dan
sanitasi;
b) waduk, bendungan, bendungan irigasi dan bangunan
pengairan lainnya;
c) pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api, dan
terminal;
d) fasilitas keselamatan umum, seperti tanggul
penanggulangan bahaya banjir, lahar, dan lain-lain
bencana;
e) tempat pembuangan sampah;
f) cagar alam dan cagar budaya; atau
g) pembangkit, transmisi, distribusi tenaga listrik.
2) Karakteristik Kepentingan Umum ;
Menurut Adrian Suteji, ada tiga prinsip suatu kegiatan
benar-benar untuk kepentingan umum, yaitu :
a) Kegiatan tersebut benar-benar dimiliki oleh pemerintah.
Bahwa kegiatan kepentingan umum tidak dapat dimiliki
oleh perorangan atau swasta. Dengan kata lain, swasta dan
perorangan tidak dapat memiliki jenis-jenis kegiatan
kepentingan umum yang membutuhkan pembebasan
tanah-tanah hak maupun negara.
b) Kegiatan pembangunan terkait dilakukan oleh pemerintah.
Bahwa proses pelaksanaan dan pengelolaan suatu kegiatan
untuk kepentingan umum hanya dapat diperankan oleh
pemerintah.
31
c) Tidak mencari keuntungan.
Bahwa Fungsi suatu kegiatan untuk kepentingan umum
sehingga benar-benar berbeda dengan kepentingan swasta
yang bertujuan untuk mencari keuntungan sehingga
terkualifikasi bahwa kegiatan untuk kepentingan umum
sama sekali tidak boleh mencari keuntungan.
Adrian Suteji, juga berpendapat bahwa kriteria sifat,
kriteria bentuk, dan kriteria karakteristik dari kegiatan untuk
kepentingan umum, yaitu :30
a) Penerapan untuk kriteria sifat suatu kegiatan untuk
kepentingan umum agar memiliki kualifikasi untuk
kepentingan umum harus memenuhi salah satu sifat dari
beberapa sifat yang telah ditentukan dalam daftar sifat
kepentingan sebagaimana tercantum dalam pasal 1 Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 1961, yaitu untuk kepentingan
umum, termasuk kepentingan Bangsa dan Negara serta
kepentingan bersama dari rakyat, sedemikian pula
kepentingan pembangunan, maka Presiden dalam keadaan
yang memaksa setelah mendengar Menteri Agraria,
Menteri Kehakiman dan Menteri yang bersangkutan dapat
mencabut hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada
di atasnya;
b) Penerapan untuk kriteria bentuk suatu kegiatan untuk
kepentingan umum agar mempunyai kualifikasi sebagai
kegiatan untuk kepentingan umum harus memenuhi syarat
bentuk kepentingan umum sebagaimana Pasal 2 lampiran
Instruksi Presiden 1973 (bahwa sebelumnya proyek tersebut
sudah termasuk dalam rencana pembangunan yang telah
30 Adrian Suteji, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum Dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan. Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hlm. 75
32
diberitahukan kepada masyarakat yang bersangkutan, sudah
termasuk dalam rencana induk pembangunan dari daerah
yang bersangkutan dan yang telah mendapatkan persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah setempat) dan Pasal 5
Perpres No. 36 Tahun 2005; dan
c) Penerapan untuk kriteria ciri-ciri suatu kegiatan untuk
kepentingan umum sehingga benar-benar berbeda dengan
bukan kepentingan umum, maka harus memasukkan ciri-
ciri kepentingan umum, yaitu bahwa kegiatan tersebut
benar-benar dimiliki pemerintah, dikelola oleh pemerintah
dan tidak untuk mencari keuntungan.
c. Tata Cara Pengadaan Tanah untuk kepentingan umum
Menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku,
pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk
kepentingan umum oleh pemerintah atau pemerintah daerah
dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas
tanah, atau pencabutan hak atas tanah. Pengadaan tanah selain
bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh
Pemerintah atau pemerintah daerah dilakukan dengan cara jual
beli, tukar-menukar, atau cara lain yang disepakati secara
sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Pasal 2 ayat (1) dan (2) Perpres No. 65 tahun 2006
mengatakan bahwa cara pengadaan tanah ada 2 (tiga ) macam,
yakni: Pertama, pelepasan atau penyerahan hak atas tanah.
Kedua, jual-beli, tukar-menukar, atau cara lain yang disepakati
secara suka rela oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Pengadaan tanah yang dilakukan dengan yang pertama
dan kedua di atas masuk dalam katagori pengadaan tanah secara
33
sukarela (voluntary land acquisition). Dalam klasifikasi teoritis
cara pengadaan dengan jual-beli, tukar-menukar, atau cara lain
yang disepakati secara suka rela oleh pihak-pihak yang
bersangkutan ini disebut sebagai pemindahan hak, dengan cara
pemindahan hak tersebut, hak atas tanah langsung berpindah dari
pihak yang empunya kepada pihak yang membutuhkan. Jika yang
ditempuh adalah cara pelepasan atau penyerahan hak, maka
setelah tanah “dilepaskan” atau “diserahkan” status tanah
menjadi tanah negara, yang selanjunya dilakukan permohonan
hak oleh pihak yang membutuhkan tanah31. Cara pengadaan yang
dilakukan dengan pencabutan hak atas tanah, yang telah diatur
sebelumnya dalam UU No. 20 tahun 1961 merupakan pengadaan
tanah yang dilakukan tanpa persetujuan yang empunya tanah
(compulsory acquisition of land).
Jelaslah bahwa hukum tanah di negara Republik
Indonesia sesungguhnya sudah mengatur berbagai cara
pengadaan tanah, baik untuk kepentingan umum, usaha maupun
pribadi. Cara yang digunakan tergantung pada (Boedi Harsono,
2005: 5):32
1) Status hukum tanah yang diperlukan;
2) Status hukum pihak yang memerlukan tanah;
3) Peruntukan tanah yang diperlukan;
4) Ada atau tidaknya kesediaan pemilik tanah untuk
menyerahkan tanah yang bersangkutan.
Meskipun ada 4 (empat) faktor yang harus diperhatikan
dalam menentukan cara pengadaan tanah, namun untuk
31 Oloan Sitorus dan Dayat Limbong, Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum. Mitra Kebijakan Tanah Indonesia. Yogyakarta, 2004, hlm. 14
32Boedi Harsono, Op. Cit. hlm. 5
34
menetapkan sistem tata cara pengadaan tanah sekarang ini cukup
jika sudah diketahui33:
1) Status (hukum) tanah yang tersedia, apakah merupakan tanah negara, tanah ulayat masyarakat hukum adat atau tanah hak;
2) Ada-tidaknya kesediaan yang empunya tanah. Artinya, kalau yang tersedia tanah hak, apakah yang empunya tanah:a) Bersedia menyerahkan tanah atau melepaskan hak atas
tanah yang dipunyainya,ataub) Tidak bersedia menyerahkan tanah atau melepaskan hak
atas tanah yang dipunyainya;3) Status hukum yang memerlukan tanah
kalau yang tersedia tanah hak dan pihak yang mempunyai bersedia menyerahkan atau melepaskan hak atas tanah yang dipunyainya, apakah yang memerlukannya:a) Memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah yang
diterimanya, ataub) Tidak memenuhi syarat sebagai subyek hak yang akan
diperolehnya.
Berdasar kreteria di atas, maka cara pengadaan tanah
dapat disusun dalam suatu sistem sebagai berikut34:
1) Jika tanah yang tersedia/diperlukan berstatus tanah negara, maka tanah yang harus digunakan adalah acara permohonan dan pemberian hak atas tanah;
2) Jika tanah yang tersedia berstatus tanah ulayat, maka acaranya adalah meminta kesediaan Penguasa Masyarakat Hukum Adat yang bersangkutan untuk melepaskan hak ulayatnya, dengan pemberian ganti-rugi atas tanam tumbuh rakyat yang ada diatasnya.Tanah tersebut kemudian dimohonkan hak atas tanh sesuai dengan status pihak yang akan menggunakannya melalui cara permohonan pemberian hak tersebut di atas.
3) Jika tanah yang dimohon berstatus tanah hak, maka acara yang digunakan, tergantung pada ada atau tidaknya kesediaan yang empunya tanah untuk menyerahkan kepada yang memerlukan, dengan ketentuan:a) Jika ada kesediaan untuk menyerahkan secara suka rela,
maka ditempuh:(1)Acara perpemindahan hak, melalui jual-beli, tukar-
menukar atau hibah, yaitu jika yang memerlukan 33Ibid, hal. 5-634Ibid, hlm. 6-7
35
memenuhi syarat sebagai subyek hak tanah yang dipindahkan itu;
(2)Acara penyerahan atau pelepasan hak, diikuti dengan permohonan hak baru yang sesuai, yaitu jika pihak yang memerlukan tidak memenuhi syarat sebagagi subyek hak yang semula menentukan status tanah tersebut.
b) Jika yang empunya tanah tidak bersedia menyerahkannya dengan suka rela, apabila syarat-syarat telah terpenuhi, maka dapat ditempuh acara pencabutan hak, sebagai cara pengambilan tanah secara paksa35.
Pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilakukan
oleh Panitia Pengadaan Tanah sebagaimana dijelaskan dalam
Pasal 6 Perpres No. 36 Tahun 2005 sebagaimana telah diubah
dengan Perpres No 65 Tahun 2006, bahwa pengadaan tanah
untuk kepentingan umum di wilayah Daerah Istimewa/kota
dilakukan dengan bantuan panitia pengadaan tanah Daerah
Istimewa/kota yang dibentuk oleh Bupati/Walikota, sedangkan
untuk Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dibentuk oleh
Gubernur. Panitia pengadaan tanah bertugas (Pasal 7):
1) Mengadakan penelitian dan inventarisasi atas tanah,
bangunan, tanaman dan benda –benda lain yang ada
kaitannya dengan tanah yang haknya akan dilepaskan atau
diserahkan;
2) Mengadakan penelitian mengenai status hukum tanah yang
haknya akan dilepaskan atau diserahkan, dan dokumen yang
mendukungnya;
3) Menetapkan besarnya ganti rugi atas tanah yang haknya akan
dilepaskan atau diserahkan;
4) Memberikan penjelasan atau penyuluhan kepada masyarakat
yang terkena rencana pembangunan dan/atau pemegang hak
atas tanah mengenai rencana dan tujuan pengadaan tanah 35Oloan Sitorus dan Dayat Limbong, Op. Cit, hlm. 14
36
tersebut dalam bentuk konsultasi publik baik melalui tatap
muka, media cetak maupun media elektronik agar dapat
diketahui oleh seluruh masyarakat yang terkena rencana
pembangunan dan/atau pemegang hak atas tanah;
5) Mengadakan musyawarah dengan para pemegang hak atas
tanah dan instansi Pemerintah dan/atau pemerintah daerah
yang memerlukan tanah dalam rangka menetapkan bentuk
dan/atau besarnya ganti rugi;
6) Menyaksikan pelaksanaan penyerahan ganti rugi kepada para
pemegang hak atas tanah,bangunan, tanaman, dan benda-
benda lain yang ada di atas tanah;
7) Membuat berita acara pelepasan atau penyerahan hak atas
tanah; dan
8) Mengadministrasikan dan mendokumentasikan semua berkas
pengadaan tanah dan menyerahkan kepada pihak yang
berkompeten.
Pelaksanaan pengadaan tanah dilakukan dengan
musyawarah, sehingga didapat kesepakatan baik mengenai
pelaksanaan pembangunannya dan juga mengenai ganti ruginya.
Berdasarkan Pasal 12, ganti rugi diberikan untuk: hak atas tanah,
bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang berkaitan dengan
tanah.
Pasal 20 mengatur mengenai pengadaan tanah skala kecil,
pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang
memerlukan tanah yang luasnya tidak lebih dari 1 (satu) hektar,
dapat dilakukan langsung oleh instansi pemerintah yang
memerlukan tanah dengan para pemegang hak atas tanah, dengan
cara jual beli atau tukar menukar atau cara lain yang disepakati
kedua belah pihak.
37
Berkaitan dengan prosedur, peraturan presiden ini telah
memperkenalkan perusahaan penilai (appraisal) yang secara
independen akan menetapkan harga tanah, yang selanjutnya akan
digunakan sebagai acuan oleh Panitia Pengadaan Tanah.
Sementara itu berkaitan dengan waktu, peraturan presiden ini
telah memperkenalkan pembatasan waktu (120 hari) dan
konsepsi konsinyasi (penitipan uang di Pengadilan Negeri
setempat). Perpaduan antara kinerja perusahaan penilai, batasan
waktu, dan konsepsi konsinyasi akan dapat menghindarkan
berlarut-larutnya pengadaan tanah, yang sekaligus untuk
menghindari pencabutan hak atas tanah sebagaimana dimaksud
Undang-Undang Nomor 20 tahun 1961.
Secara garis besar dikenal 2 (dua) jenis pengadaan tanah,
yaitu: pengadaan tanah untuk kepentingan Pemerintah dan
pengadaan tanah untuk kepentingan swasta. Pengadaan tanah
yang dilakukan Pemerintah dibagi atas pengadaan tanah bagi
kepentingan umum dan pengadaan tanah bukan untuk
kepentingan umum (misalnya: kepentingan komersial).
Selanjutnya pengadaan tanah bagi kepentingan swasta bisa pula
digolongkan menjadi kepentingan komersial dan bukan
komersial, yakni yang bersifat menunjang kepentingan umum
termasuk pembangunan sarana umum dan fasilitas sosial
lainnya36.
d. Prinsip Penghormatan Hak Atas Tanah dan Ganti Kerugian
dalam Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum.
Di dalam diktum pertimbangan Perpres No. 36 tahun
2005 sebagaimana telah diubah dengan Perpres No. 65 Tahun
2006, menyatakan “bahwa dengan meningkatnya pembangunan
36Ibid, hlm. 5
38
untuk kepentingan umum yang memerlukan tanah, maka
pengadaannya perlu dilakukan secara cepat dan transparan
dengan tetap memperhatikan prinsip penghormatan terhadap hak-
hak yang sah atas tanah”. Pasal 4 menyatakan “Pelepasan atau
penyerahan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
dilakukan berdasarkan prinsip penghormatan terhadap hak atas
tanah.”.Maria S.W. Soemardjono berpendapat prinsip
penghormatan ini diberikan kepada pemegang hak atas tanah
(subyek), karena konstitusi menjamin hak seseorang atas tanah
yang merupakan hak ekonominya.
Kebijakan pengambilalihan tanah dalam pengadaan tanah
untuk kepentingan umum harus bertumpu pada prinsip
demokrasi dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, di mana
perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut37:
1) Pengambilalihan tanah merupakan perbuatan hukum yang berakibat terhadap hilangnya hak-hak seseorang yang bersifat fisik maupun non-fisik, dan hilangnya harta benda untuk sementara waktu atau selama-lamanya, tanpa membedakan bahwa mereka yang tergusur tetap tinggal di tempat semula atau pindah ke lokasi lain;
2) Ganti kerugian sebagai upaya mewujudkan penghormatan kepada hak-hak dan kepentingan perseorangan yang telah dikorbankan untuk kepentingan umum38, maka ganti kerugian yang diberikan harus memperhitungkan: (3) Hilangnya hak atas tanah, bangunan, tanaman, dan
benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah; (4) Hilangnya pendapatan dan sumber kehidupan lainnya; (5) Bantuan untuk pindah ke lokasi lain, dengan
memberikan alternatif lokasi baru yang dilengkapai dengan fasilitas dan pelayanan yang layak; dan
(6) Bantuan pemulihan pendapatan agar tercapai keadaan yang setara dengan keadaan sebelum terjadi pengambil alaihan. Besarnya ganti kerugian untuk tanah dan bangunan seyogyanya didasarkan pada biaya pengggantian nyata. Bila diperlukan dapat diminta jasa
37 S.W. Soemardjono, Op. Cit. hlm. 90-9138Ibid, hlm. 80
39
penilai independent untuk melakukan taksiran ganti kerugian.
3) Mereka yang tergusur karena mengambilalihan tanah dan harus diperhitungkan dalam pemberian ganti kerugian harus diperluas, mencangkup: a) Pemegang hak atas tanah yang bersertifikat; b) Mereka yang menguasai tanah tanpa sertifikat dan bukti
pemilikan lain; c) Penyewa bangunan; d) Buruh tani atau tunawisma yang akan kehilanagan
pekerjaan; e) Pemakai tanah tanpa hak yang akan kehilangan lapangan
kerja atau penghasilan; dan f) Masyarakat hukum adat/masyarakat tradisional yang
akan kehilangan tanah dan sumber penghidupannya.4) Untuk memperoleh data yang akurat tentang mereka yang
terkena penggusuran dan besarnya ganti kerugian, mutlak dilaksanakan survei dasar dan survei sosial ekonomi;
5) Perlu ditetapkan instansi yang bertanggung jawab untuk pelaksanaan pengambilalihan tanah dana permukiman kembali, dengan catatan bahwa keikutsertaan masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi kegiatan sungguh-sungguh terjamin;
6) Cara musyawarah untuk mencapai kesepakatan harus ditumbuhkembangkan dalam hal terjadi pemukiman kembali, integrasi dengan masyarakat setempat perlu disiapkan semenjak awal untuk menghindari hal-hal yang diharapkan oleh kedua belah pihak;dan
7) Perlu adanya sarana untuk menampung keluhan dan menyelesaiakan perselisihan yang timbul dalam proses pengambilalihan tanah dan permukiman kembali, beserta tatacara penyampaiannya.
Ganti kerugian merupakan bukti terhadap pengakuan,
penghormatan, dan perlindungan hak asasi manusia. Keadilan
dalam memberi ganti kerugian diterjemahkan sebagai
mewujudkan penghormatan kepada seorang yang haknya
dikurangi dengan memberikan imbalan berupa sesuatu yang
setara dengan keadaannya sebelum hak tersebut dikurangi atau
diambil, sehingga yang bersangkutan tidak mengalami degradasi
40
kesejahteraan. Karena setidaknya kerugian yang akan terjadi itu
meliputi39 :
1) Kehilangan tanah (tanah pertanian, pekarangan, akses ke hutan dan sumber-sumber alam lain, kehilangan tanah kepunyaan bersama);
2) Kehilangan bangunan (untuk rumah atau bangunan fisik lain);
3) Kehilangan penghasilan dan sumber penghidupan (karena ketergantungannya kepada hutan dan sumber-sumber alam lainnya); dan
4) Kehilangan pusat-pusat kehidupan dan budaya masyarakat (tempat-tempat religius, tempat ibadah, kuburan, hak atas sumber daya alam).
Ganti rugi adalah penggantian terhadap kerugian baik
bersifat fisik dan/atau nonfisik sebagai akibat pengadaan tanah
kepada yang mempunyai tanah, bangunan, tanaman, dan/atau
benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah yang dapat
memberikan kelangsungan hidup yang lebih baik dari tingkat
kehidupan sosial ekonomi sebelum terkena pengadaan tanah.
Bentuk ganti rugi dapat berupa (Pasal 13 Perpres No 65 tahun
2006) :
1) Uang; dan/atau
2) Tanah pengganti; dan/atau
3) Pemukiman kembali; dan/atau
4) Gabungan dari dua atau lebih bentuk ganti kerugian
sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c;
5) Bentuk lain yang disetujui oleh pihak-pihak yang
bersangkutan.
Dasar perhitungan besarnya ganti rugi didasarkan atas
(Pasal 15 ayat (1) Perpres No.65 tahun 2006):
39Oloan Sitorus dan Dayat Limbong, Op. Cit, hlm.33
41
1) Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) atau nilai nyata/sebenarnya
dengan memperhatikan Nilai Jual Obyek Pajak tahun berjalan
berdasarkan penilaian Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah
yang ditunjuk oleh panitia;
2) Nilai jual bangunan yang ditaksir oleh perangkat daerah yang
bertanggung jawab di bidang bangunan;dan
3) Nilai jual tanaman yang ditaksir oleh perangkat daerah yang
bertanggungjawab di bidang pertanian.
4. Teori Normatif Hukum
Pandangan Normatif adalah Kerangka berpikir tentang
hukum, keberlakuannya, penerapannya, pembentukannya dan
penegakannya harus berdasar kepada segala bentuk peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang hukum tersebut.
Pandangan ini mutlak memberlakukan dogmatika hukum yang
bersumber pada hukum positif, sehingga tidak memperhitungkan
tentang faktor Empiris yang mengukur manfaat keberlakuan hukum
dengan melihat kondisi/ fakta di masyarakat, disebut pandangan
Positivistik.
llmu hukum adalah ilmu yang memiliki kepribadian yang
khas (sui generis). Ciri ilmu hukum sebagai sui generis: karakter
normatif ilmu hukum, terminologi ilmu hukum, jenis ilmu hukum,
lapisan ilmu hukum. Dari sudut kualitas sulit dikelompokkan dalam
Ilmu Pengetahuan Alam atau dalam Ilmu Pengetahuan
Sosial. Jelaslah, sangat sulit untuk mengkategorikan ilmu hukum ke
dalam kelompok ilmu yang mana, sehingga lebih tepat jika ilmu
hukum adalah ilmu yang suigeneris. Ilmu hukum mempunyai tiga
lapisan, jika dalam tataran dogmatik hukum dapatlah dikatakan
42
bahwa ilmu hukum termasuk ilmu praktis, karena bertujuan untuk
problem solving. Tetapi dalam tataran teori hukum ilmu hukum
masuk ilmu normatif. Dalam tataran filsafat, tidak dapat ilmu hukum
dipertanyakan masuk apa karena filsafat bukan ilmu, tetapi filsafat
adalah induk dari ilmu. Terakhir, ilmu Hukum dibedakan menjadi
Ilmu hukum normatif obyeknya norma dengan Ilmu hukum empiris
yang terdiri dari factual patterns of behavior, Sociological
jurisprudence dan socio-legal studies.
5. Teori Ipositivisme Hukum
Pemikir positivisme hukum yang terkemuka adalah John
Austin (1790-1859) yang berpendirian bahwa hukum adalah perintah
dari penguasa. Hakikat hukum sendiri menurut Austin terletak pada
unsur “perintah” (command). Hukum dipandang sebagai suatu sistem
yang tetap, logis, dan tertutup.
Sebelum Abad Ke-18 Pikiran berkenaan dengan
Positivisme Hukum sudah ada, Tetapi pemikiran itu baru menguat
setelah lahirnya negara-negara modern. Di sisi lain, pemikiran
positivisme hukum juga tidak terlepas dari pengaruh perkembangan
positivisme (ilmu) dan sekaligus menunjukkan perbedaannya dari
pemikiran hukum kodrat, dimana hukum kodrat disibukkan dengan
permasalahan validasi hukum buatan manusia, sedangkan pada
positivisme hukum aktivitas justru diturunkan kepada permasalahan
konkrit. Melalui positivisme, hukum ditinjau dari sudut pandang
positivisme yuridis dalam arti yang mutlak dan positivisme hukum
seringkali dilihat sebagai aliran hukum yang memisahkan antara
hukum dengan moral dan agama. Bahkan tidak sedikit pembicaraan
terhadap positivisme hukum sampai pada kesimpulan, bahwa dalam
43
kacamata positivisme tiada hukum lain kecuali perintah penguasa
(law is command from the lawgivers), hukum hukum itu identik
dengan undang-undang.
Bahwa munculnya gerakan positivisme mempengaruhi banyak
pemikiran di berbagai bidang ilmu tentang kehidupan manusia.
Positivisme sebagai suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam
sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak
aktifitas yang berkenaan dengan metafisik. Tidak mengenal adanya
spekulasi, semua didasarkan pada data empiris. Sesungguhnya aliran
ini menolak adanya spekulasi teoritis sebagai suatu sarana untuk
memperoleh pengetahuan.
Positivisme Hukum (Aliran Hukum Positif) memandang perlu
memisahkan secara tegas antara hukum dan moral (antara hukum
yang berlaku dan hukum yang seharusnya, antara das sein dan das
sollen). Dalam pandangan positivis, tidak ada hukum lain, kecuali
perintah penguasa. Bahkan, bagian dari Aliran Hukum Positif yang
dikenal dengan nama Legisme berpendapat lebih tegas, bahwa hukum
itu identik dengan Undang-Undang. Positivisme adalah suatu aliran
dalam filsafat hukum yang beranggapan bahwa teori hukum itu hanya
bersangkut paut dengan hukum positif saja. Ilmu hukum tidak
membahas apakah hukum positif itu baik atau buruk, dan tidak pula
membahas soal efektivitas hukum dalam masyarakat. Termasuk
dalam aliran ini ajaran Analytical Jurisprudence yang dikemukakan
oleh John Austin. Inti dari ajaran Analytical Jurisprudence adalah
Law is a command (hukum merupakan perintah dari penguasa).
John Austin mendefinisikan hukum sebagai berikut:40
40Satjipto Rahardjo, Memahami Ilmu Hukum, Gramedia, jakarta, 2009, hlm.42
44
”Law is a command set, either directly or circuitously, by a sovereign individual or body, to a members of some independent political society in which his auhority is supreme.”
Jadi hukum adalah seperangkat perintah, baik langsung ataupun tidak
langsung, dari pihak yang berkuasa kepada warga masyarakatnya
yang merupakan masyarakat politik yang independen, dimana
otoritasnya (pihak yang berkuasa) merupakan otoritas yang tertinggi.
Menurut Austin hukum adalah peraturan-peraturan yang berisi
perintah, yang diperuntukkan bagi makhluk yang berakal dan dibuat
oleh makhluk yang berakal yang mempunyai kekuasaan terhadap
mereka itu. Jadi, landasan dari hukum adalah “kekuasaan dari
penguasa”. Austin menganggap hukum sebagai suatu sistem yang
logis, tetap dan bersifat tertutup (closed logical system), dimana
keputusan-keputusan hukum yang benar/tepat biasanya dapat
diperoleh dengan alat-alat logika dari peraturan-peraturan hukum
yang telah ditentukan sebelumnya tanpa memperhatikan nilai-nilai
yang baik atau buruk.
6. Penelitian yang Relevan.
Penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah :
a. Penelitian Tesis Wahyu Candra Alam (2010), Program Magister
Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro tentang
Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum Kurang dari satu
hektar dan penetapan ganti kerugiannya (Studi Kasus Pelebaran
Jalan Gatot Subroto di Kota Tangerang). Penelitian ini meneliti
tentang pelaksanaan Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan
Umum yang Luasnya Kurang Dari Satu Hektar dan Penetapan
Ganti Kerugiannya dalam pembangunan Pelebaran Jalan Gatot
45
Subroto dan pembuatan Over Pass di Kota Tangerang apakah
sudah sesuai dengan peraturan yang berlaku dan memenuhi rasa
keadilan masyarakat yang terkena pembangunan tersebut.
b. Penelitian Tesis Rini Mulyanti, 2013, Program Magister
Kenotariatan Salemba dengan judul Analisis Pengadaan Tanah
Untuk Kepentingan Umum (Studi Kasus Pembangunan jalan Tol
Jorr Wist 2). Tesis ini membahas tentang sekngketa Pengadaan
Tanah Untuk pembangunan jalan tol Jakarta Outer Ring Road
West 2 (JORR W 2) antara pemerintah Provinsi DKI Jakarta
dengan perusahaan pengembang perumahan di Wilayah Jakarta
Barat, dengan menganalisa Putusan Pengadilan Tata Usaha
Negara yang telah memenangkan perusahaan pengembang
perumahan sampai tingkat kasasi.
c. Penelitian Tesis Dwi Fratmawati, 2006, Program Magaister
Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang
dengan judul Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan
bagi kepentingan umum di Semarang (Studi kasus Pelebaran
Jalan Raya Ngaliyan-Mijen), penelitian yang dilakukan meneliti
tentang pelaksanaan pengadaan tanah untuk pembangunan
pelebaran jalan Ngaliyan-Mijen, untuk mengetahui besar dan
bentuknya ganti kerugian yang diberikan dan untuk mengetahui
alasan-alasan belum selesainya pembangunan jalan tersebut
sampai sekarang.
Perbedaan dengan penelitian ini adalah bahwa penelitian tesis
ini meneliti tentang tata cara pengadaan tanah bagi pelaksanaan
pembangunan untuk kepentingan umum yang dapat memberikan
perlindungan hukum bagi pemegang hak atas tanah\ serta
Kelemahan yang adadalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012
46
tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan khususnya pengadaan
tanah bagi kepentingan umum.
G. Kerangka Pemikiran
Betapa pentingnya tanah bagi kehidupan manusia sehingga
diatur dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang manyatakan “Bumi air
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara
dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Melalui hak
menguasai dari negara ini maka negara akan dapat senantiasa
mengendalikan atau mengarahkan pengelolaan fungsi tanah sesuai
dengan peraturan dan kebijakan yang ada. Hal ini memberikan hak bagi
negara untuk campur tangan, dengan pengertian bahwa setiap
pemegang hak atas tanah tidak akan terlepas dari hak menguasai negara
tersebut, karena kepentingan nasional diatas kepentingan individu atau
kelompok. Atau dengan kata lain, setiap pemegang hak atas tanah tidak
boleh mengabaikan fungsi sosial dari tanah tersebut (Pasal 6 UUPA).
Alur pemikiran PenulisKelemahan yamg terdapat dalam
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan khususnya pengadaan tanah bagi kepentingan umum
serta tata cara pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk
kepentingan umum yang dapat memberikan perlindungan hukum bagi
pemegang hak atas tanah dapat digambarkan bahwa pengadaan tanah
untuk Pembangunan demi kepentingan umum bermula dari konsep
dalam UUPA dan konsep fungsi sosial hak atas tanah. Pasal 6 UUPA
menyatakan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.
Dari ketentuan tersebut, penggunaan hak tanah tidak hanya
menyangkut kepentingan individu atau golongan pemegang hak atas
tanah tersebut, melainkan harus memperhatikan kepentingan
masyarakat luas (kepentingan umum). Interpretasi asas fungsi sosial
47
hak atas tanah, disamping mengandung makna bahwa hak atas itu harus
digunakan sesuai dengan sifat dan tujuan haknya, sehingga bermanfaat
bagi si pemegang hak dan bagi masyarakat, juga berarti bahwa harus
terdapat keseimbangan antara kepentingan perseorangan dan
kepentingan umum dengan berdasarkan asas kemanusiaan, keadilan,
kemanfaatan, kepastian, keterbukaan, kesepakatan, keikutsertaan,
kesejahteraan, keberlanjutans serta asas keselarasan.
Dalam hal ini penulis menganalisis penjabaran kelemahan
prinsip penghormatan hak atas tanah dalam pengadaan tanah untuk
kepentingan umum dengan ajaran teori Theo Hujbers, ajaran Michael
G. Kitay, pengiterpretasikan peraturan perundang-undangan yang
terkait, dengan teori-teori, doktrin-doktrin maupun asas-asas yang
berkaitan dengan prinsip penghormatan hak atas tanah dalam
pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Prinsip penghormatan hak
atas tanah tersebut dapat tercemin melalui interpretasi konsep
kepentingan umum, musyawarah dalam pelaksanaannya, dan ganti
kerugian bagi pemegang hak atas tanah. Konsep kepentingan umum
dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia harus dapat
menyeimbangkan antara kepentingan umum (Pemerintah) dengan
kepentingan pribadi pemegang hak atas tanah. Musyawarah dilakukan
untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti
kerugian maupun masalah lain yang timbul dari kegiatan pengadaan
tanah tersebut, atas dasar kedudukan yang setara dan sederajad antara
pihak yang membutuhkan tanah dalam hal ini pemerintah dengan
pemegang hak atas tanah. Pemberian ganti rugi sebagai penghormatan
dari segi ekonomi dari pemegang hak atas tanah supaya tidak
mengalami kemunduran kondisi ekonomi maupun sosialnya.
Dari analisis konsep kepentingan umum, musyawarah dan
pemberian ganti kerugian pengadaan tanah dalam peraturan perundang-
48
undangan di Indonesia maka dapat ditarik kesimpulan mengenai
konstruksi hukum prinsip penghormatan hak atas tanah dalam
pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis dapat membuat suatu
kerangka pemikiran yang diwujudkan dalam skema sebagai berikut :
Teori Normatif Hukum
49
1. Konsep fungsi sosial hak atas tanah
2. Kepentingan umum menurut
3. UUPA (UU No.5 Th 1960)4. UU No. 20 Th 19615. UU No 2 Tahun 2012
tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum
6. Keppres No. 55 Th 19937. Perpres No. 36 Th 2005
Sebagaimana telah diubah dengan Perpres No. 65 Th 2006 terakhir dengan Perpres No. 71 Tahun 2012
Teori Posiutivisme Hukum
H. Metode Penelitian
Ilmu hukum mengarahkan refleksinya kepada norma dasar
yang diberi bentuk konkret dalam norma-norma yang ditentukan dalam
bidang-bidang tertentu. Metode Penelitian hukum adalah suatu proses
untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun
doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.
Penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori
atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah
yang dihadapi41.Penelitian hukum dilakukan untuk mencari pemecahan
atas isu hukum yang timbul dan hasil yang dicapai adalah untuk
memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogyanya atas isu hukum
yang diajukan42.Sebelum penulis mengemukakan jenis penelitian yang
akan digunakan, maka terlebih dahulu perlu diuraikan secara singkat
mengenai metode, demikian pula penelitian.
41 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum. Kencana Prenada Media, Jakarta, 2005, hlm. 35
42Ibid, hlm. 41
50
Prinsip Penghormatan hak atas tanah :
1. Konsep Kepentingan Umum
2. Musyawarah3. Ganti kerugian
Fakta Hukum:Prinsip penghormatan hak atas tanah dalam pengadaan tanah untuk Pembangunan demi kepentingan umum:
Kendala dalam pengadaan untuk Pembangunan demi kepentingan umum
Metode menurut Setiono43 adalah suatu alat untuk mencari
jawaban dari pemecahan masalah, oleh karena itu suatu metode atau
alatnya harus jelas terlebih dahulu apa yang akan dicari. Penelitian
dalam penulisan ini termasuk jenis penelitian hukum sosiologis atau
non doktrinal serta di dukung dengan data sekunder, sedangkan dilihat
dari sifatnya termasuk penelitian yang deskriptif kualitatif, yaitu suatu
penelitian yang bertujuan mendeskripsikan tentang Kelemahan yamg
terdapat dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan khususnya pengadaan tanah bagi
kepentingan umum serta tata cara pengadaan tanah bagi pelaksanaan
pembangunan untuk kepentingan umum yang dapat memberikan
perlindungan hukum bagi pemegang hak atas tanah.
Metode merupakan cara yang utama yang digunakan untuk
mencapai suatu tujuan, untuk mencapai tingkat ketelitian, jumlah dan
jenis yang dihadapi. Akan tetapi, dengan mengadakan klarifikasi yang
berdasarkan pada pengalaman, dapat ditentukan teratur dan terpikirnya
alur yang runtut dan baik untuk mencapai maksud 44. Penelitian
merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan
konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis, dan
konsisten 45. Penelitian dapat diartikan pula suatu usaha untuk
menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu
pengetahuan, gejala atau hipotesa, usaha mana dilakukan dengan
metode ilmiah46.
43Setiono, Pemahaman terhadap Metode Penelitian Hukum, (Diktad). Surakarta: Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana UNS, 2002, hlm. 1
44Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah. Transito, Yogyakarta, 1990, hlm. 131
45Soerjono Soekanto, Op. Cit, hlm. 4246Sutrisno Hadi, Metodologi Penelitian Hukum. UNS Press, Surakarta, 1989, hlm.
4
51
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa metode
penelitian adalah cara yang teratur dan terpikir secara runtut dan baik
dengan menggunakan metode ilmiah yang bertujuan untuk
menemukan, mengembangkan maupun guna menguji kebenaran
maupun ketidakbenaran dari suatu pengetahuan, gejala atau hipotesa.
Untuk dapat memperoleh hasil penelitian yang dapat
dipertanggungjawabkan secara keilmuan maka diperlukan metode
penelitian yang dapat dijadikan pedoman dalam melakukan penelitian.
Seorjono Soekanto dan Sri Mamudji menyatakan bahwa “penelitian
merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan
maupun teknologi”. Hal demikian disebabkan penelitian bertujuan
untuk mengungkapkan kebenaran sistematis, metodologi dan
konsisten.47
Ada dua syarat yang harus dipenuhi sebelum mengadakan
penelitian dengan baik dan dapat dipertanggungjawabkan adalah
peneliti harus terlebih dulu memahami konsep dasar ilmunya dan
metodologi penelitian disiplin ilmunya.48Penelitian hukum, konsep
ilmu hukum dan metodologi yang digunakan di dalam suatu penelitian
memainkan peran yang sangat signifikan agar ilmu hukum beserta
temuan-temuannya tidak terjebak dalam kemiskinan relevansi dam
aktualitasnya.49
Dilihat dari sifatnya penelitian ini termasuk penelitian diagnostik
yaitu penelitian yang bertujuan untuk mendapatkan keterangan
mengenai sebab-sebab terjadinya suatu gejala atau beberapa gejala50.
Selain itu dalam mempelajari hukum, tentunya tidak boleh lepas dari 5
4729 Soejono Soekarno dan Sri Mamdji, Penelitian Hukum Normatif, CV. Rajawali, Jakarta, 1985, hlm.1
48Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum, 2006, hlm.2649Ibid, hlm. 2850Ibid, hlm. 57
52
(lima) konsep hukum yang menurut Soetandyo Wignjosoebroto51 adalah
sebagai berikut:
1. Hukum adalah asas kebenaran dalam keadilan yang bersifat kodrati dan berlaku universal
2. Hukum adalah norma-norma positif di dalam sistem perundang-undangan hukum nasional
3. Hukum adalah apa yang diputuskan oleh hakim in concreto dan tersistematisasi sebagai judge made low
4. Hukum adalah pola-pola prilaku sosial yang terlembagakan, eksis sebagai variable sosial yang empiris
5. Hukum adalah menifestasi makna-makna simbolik para perilaku sosial sebagaimana tampak dalam interaksi antara mereka.
Konsep hukum dalam penelitian ini adalah konsep yang kedua
yaitu Hukum adalah norma-norma positif di dalam sistem perundang-
undangan hukum nasional . Berdasarkan konsep hukum tersebut diatas
maka penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian
Ditinjau dari sudut penelitian hukum, maka pada penelitian ini
termasuk jenis penelitian hukum normatif. Penelitian hukum
normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan
kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi
normatifnya. Penelitian hukum normatif memiliki definisi yang
sama dengan penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu
penelitian berdasarkan bahan-bahan hukum (library based) yang
fokusnya pada membaca dan mempelajari bahan-bahan hukum
primer dan sekunder.52
2. Sifat Penelitian
51Setiono, Pemahaman terhadap Metode Penelitian Hukum, (Diktad). Surakarta: Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana UNS 2002, hlm. 5
52 Johni Ibrahim, Teori dan Metodogi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media Publishing, Malang, 2006, hlm.44
53
Sifat penelitian hukum ini sejalan dengan sifat ilmu hukum itu sendiri. Ilmu hukum mempunyai sifat sebagai ilmu yang preskriptif, artinya sebagai ilmu yang bersifat preskriptif ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum.53
Dalam penelitian ini penulis akan memberikan preskriptif
mengenai Kelemahan yang ada dalam Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan
khususnya pengadaan tanah bagi kepentingan umum sertatata cara
pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan
umum yang dapat memberikan perlindungan hukum bagi pemegang
hak atas tanah.
3. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini mendasarkan pada penelitian hukum yang
dilakukan dengan pendekatan doktrinal, karena dalam penelitian ini
hukum dikonsepkan sebagai norma-norma tertulis yang dibuat dan
diundangkan oleh lembaga atau oleh pejabat negara yang berwenang.
Hukum dipandang sebagai suatu lembaga yang otonom, terlepas dari
lembaga-lembaga lainnya yang ada di masyarakat. Oleh karena itu
pengkajian yang dilakukan, hanyalah ”terbatas” pada Undang-Undang
No. 2 tahun 2012 khususnya terkait dengan Kelemahan apakah yang
ada dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan
Tanah Bagi Pembangunan khususnya pengadaan tanah bagi
kepentingan umum serta tata cara pengadaan tanah bagi pelaksanaan
pembangunan untuk kepentingan umum yang dapat memberikan
perlindungan hukum bagi pemegang hak atas tanah. Dari berbagai
jenis metode pendekatan yuridis normatif yang dikenal, peneliti
53Peter mahmud Marzuki, Penelitian Hukum. Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2006, hlm. 22
54
memilih bentuk pendekatan normatif yang berupa, penemuan hukum
in-conreto.
4. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Perpustakaan Pascasarjanan
Universitas Sebelas Maret Surakarta, Perpustakaan Pusat Universitas
Sebelas Maret serta Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sebelas
Maret Surakarta dan studi kasus.
5. Jenis Data
Data yang dikumpulkan terutama merupakan data pokok
yaitu data yang paling relevan dengan pokok permasalahan yang
diteliti. Namun untuk kelengkapan dan keutuhan dari masalah yang
diteliti, maka akan disempurnakan dengan penggunaan data
pelengkap yang berguna untuk melengkapi data pokok. Penelitian ini
menggunakan jenis data Sekunder. Data sekunder, adalah data yang
berasal dari data-data yang sudah tersedia misalnya, dokumen resmi,
surat perjanjian atau buku-buku. Data Sekunder dapat berupa bahan
hukum Primer, Sekunder maupun Tertier54.
Adapun yang termasuk data sekunder dalam penelitian ini adalah
meliputi buku-buku kepustakaan, laporan, buku harian, arsip-arsip,
dan lainnya. Data sekunder utama dalam hal ini adalah Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan khususnya pengadaan tanah bagi kepentingan umum.
6. Sumber Data
Sumber data yang akan diperlukan dalam penelitian adalah
Sumber data Sekunder. Sumber Data Sekunder merupakan sumber
data yang didapatkan secara tidak langsung berupa keterangan yang 54 Setiono. Loc. Cit. hlm. 6
55
mendukung data primer. Sumber data sekunder merupakan pendapat
para ahli, dokumen-dokumen, tulisan-tulisan dalam buku ilmiah, dan
literatur-literatur serta peraturan-peraturan perundang-undangan yang
terkait.
Dapat dikatakan bahwa data sekunder, adalah data yang berasal
dari data-data yang sudah tersedia misalnya, dokumen resmi, surat
perjanjian atau buku-buku. Data Sekunder dapat berupa bahan
hukum Primer, Sekunder maupun Tertier55.
Adapun yang termasuk Bahan Hukum Primer dalam
penelitian ini meliputi :
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
b. Undang-Undang No. 5 tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria;
c. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan
Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
d. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah
e. Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah
f. Peraturan Presiden No. 10 Tahun 2006 tentang Badan
Pertanahan Nasional
g. Perpres No. 71 Tahun 2012
h. Per.Ka. BPN No. 5 Tahun 2012
i. Permendagri No. 72 Tahun 2012
j. Per.Menkeu No. 13 Tahun 2013
k. Per.Gub. Jateng No. 18 Tahun 2013
l. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 3 Tahun 1997, Tentang Ketentuan
55Setioo, Op. Cit. hlm..6
56
Pelaksanaam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
Tentang Pendaftaran Tanah
m. Keputusan Presaiden No. 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan
Nasional di Bidang Pertanahan
n. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia No. 1 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan dan
Pengaturan pertanahan
Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang erat
hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu
menganalisis dan memahami bahan hukum primer adalah :
1) Hasil Penelitian yang berkaitan dengan Pengadaan Tanah
untuk pembangunan demi kepentingan umum
2) Buku-buku hukum.
Bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan hukum yang
memberikan informasi tentang bahan hukum primer dan bahan
sekunder, misalnya :
(1) Kamus Besar Bahasa Indonesia;
(2) Kamus Umum Lengkap Inggris – Indonesia, Indonesia-
Inggris
(3) Kamus Hukum.
7. Teknik Pengumpulan Data
Teknik Pengumpulan data yang akan dipergunakan dalam
penelitian ini adalah dengan metode studi pustaka. Dalam studi ini
penulis mengumpulkan data dengan cara membaca, memahami dan
mengumpulkan bahan-bahan Hukum yang akan diteliti, yaitu dengan
membuat lembar dokumen yang berfungsi untuk mencatat informasi
atau data dari bahan-bahan Hukum yang diteliti yang berkaitan
dengan masalah penelitian.
57
8. Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan tahap yang paling penting dalam suatu
penelitian. Agar data yang terkumpul dapat dipertanggungjawabkan
dan dapat menghasilkan jawaban yang tepat dari suatu permasalahan,
maka perlu suatu teknis analisis data yang tepat. Analisis data
merupakan langkah selanjutnya untuk mengolah hasil penelitian
menjadi suatu laporan.
Analisis data adalah proses pengorganisasian dan pengurutan
data dalam pola, kategori dan uraian dasar, sehingga akan dapat
ditemukan tema dan dapat ditemukan hipotesis kerja yang disarankan
oleh data. Dengan kata lain analisis data adalah proses
pengorganiosasian dan pengurutan data dalam pola, kategori dan
uraian dasar, sehigga akan dapat ditemukan jawaban terhadap
permasalahan yang diteliti dan dapat dirumuskan hipotesis kerja, yang
dalam hal ini analisis dilakukan secara logis, sistematis dan yuridis
normatif dalam kaitannya dengan masalah yang diteliti. Adapun yang
dimaksud dengan logis adalah pemahaman data dengan menggunakan
prinsip logika baik deduksi maupun induksi. Dalam penelitian ini
menggunakan prinsip logika deduksi yakni menarik kesimpulan dari
suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan
konkret yang dihadapi56.
56Setiono Op. Cit. hlm 8
58
I. Jadwal Penelitian
Penelitian ini direncanakan selama 3 (tiga) bulan yang akan
dimulai bulan April 2015sampai dengan Juni 2015, dengan rincian
sebagai berikut :
BAGAN JADWAL PENELITIAN
No KegiatanBulanApril 2015 Mei 2015 Juni 2015
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
I Persiapan Penelitian
1. Literatur
2. Proposal
3. Seminar
4. Perijinan
59
5. Questioner
II Pelaksanaan Penelitian
1. Pengumpulan Data
2. Analisis Data
3. Pembuatan Laporan Penyusunan Thesis
III Revisi dan Penggandaan Thesis
60
DAFTAR PUSTAKA
Adi Sulistiyono. 2006. Krisis Lembaga Peradilan di Indonesia. Surakarta: UNS Press.
Adrian Suteji. 2007. Implementasi Prinsip Kepentingan Umum Dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan. Jakarta : Sinar Grafika.
Achmad Rubaie. 2007. Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum. Malang : Bayumedia Publishing.
Ari Purwadi. “Implikasi Pencabutan Hak Atas Tanah terhadap Perlindungan Hak Asasi Manusia”Dimuat dalam Jurnal Legality.http://ejournal.umm.ac.id/index.php/legality/article/view/295
Bambang Sadono. 3 April 2014. Hambatan Fungsi Sosial. Sosiologi Pertanahan. http://sosiologipertanahan.blogspot.com/2014/04/hambatan-fungsi-sosial.html. [26 Februari 2014 pukul 12:17 WIB].
Bernard L. Tanya, dkk. 2010. Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi. Yogyakarta: Genta Publising.
Burhan Ashofa, 2001, Metodologi Penelitian Kualitatif, Gramedia, Jakarta
Boedi Harsono. 2005. Hukum Agraria Indonesia (Sejarah Pembentukan Undang-Undang Agraria, Isi dan Pelaksanaannya edisi Revisi). Jakarta : Djambatan.
Citorejo Waciman dan Kawan-Kawan v. Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Tengah, Menteri Pekerjaan Umum, Putusan Kasasi Mahkamah Agung RI No. 2263 K/Pdt/1991 tanggal 20 Juli 1991 (Perkara Kedungombo).
H. B. Sutopo. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: UNS Press.
Hadjon, Philipus M.. 1988. “Hak-Hak dan Kewajiban Dasar” Yuridika. No. 5 Th. III November 1988
61
Harry Stephan, dkk. 2014. “Land Acquisitions in Africa: A Return to Franz Fanon?”. Tawarikh: International Journal for Historical Studies. 2(1) 2014. http://www.tawarikh-journal.com/files/File/Harry.pdf
Imam Koeswahyono. “Melacak Dasar Konstitusional Pengadaan Tanah untuk KepentinganPembangunan Bagi Umum”, dimuat dalam Artikel Jurnal Konstitusi. Vol.1 Halm 5. Jakarta:Mahkamah Konstitusi RI.
John Salindeho. 1993. Masalah Tanah dalam Pembangunan. Jakarta : Sinar Grafika.
Johny Ibrahim. 2006. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif (edisi Revisi). Malang : Bayumedia Publishing.
John Rawls. 2006. Teori Keadilan (Dasar-Dasar Filsafat Politik untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial dalam Negara). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Maria S.W. Sumardjono. “Perpres No 36/2005, Langkah Maju atau Mundur?” Kompas, 11 Mei 2005.
. . 2008. Tanah dalam Perspektif Ekonomi, Sosial dan Budaya. Jakarta: PT.Kompas Media Nusantara.
. 2009. Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implentasi (Edisi Revisi +). Jakarta: PT.Kompas Media Nusantara.
Marmin M. Roosadijo. 1979. Tinjauan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada di Atasnya. Jakarta : Ghalia Indonesia.
Mohamad Hatta. 2005. Hukum Tanah Nasional dalam Perspektif Negara Kesatuan. Yogyakarta : Media Abadi.
Mukmin Zakie, Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum (Perbandingan antara Malaysia dan Indonesia), Jurnal Hukum No. Edisi Khusus Vo. 18, Oktober 2011: 187-206, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesioa, Yogyakarta
Kartini Muljadi,dkk. 2004. Hak-Hak Atas Tanah. Jakarta : Prenada Media.
Kitap Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek).
62
Lili Rasjidi. 1988. Filsafat Hukum Apakah Hukum Itu?. Bandung: Remaja Karya.
Oloan sitorus dan Dayat Limbong. 2004. Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum. Yogyakarta: Mitra Kebijakan Tanah Indonesia.
Pan S. Kim, Civil Service reform in Japan and Korea toward Competitiveness and competency, International Rteview of Administrative Science. Vo. 68
Peter Mahmud Marzuki. 2005. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media.
Purnadi Purbacaraka dan A.Ridwan Halim. 1982. Hak Milik Keadilan dan Kemakmuran Tinjauan Falsafah Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Satjipto Raharjo. 1991. Ilmu Hukum. Bandung: PT.Citra Adtya Bakti.
_________, 2009, Memahami Ilmu Hukum, Jakarta, Gramedia
Setiono. 2002. Pemahaman terhadap Metode Penelitian Hukum, (Diktad). Surakarta: Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana UNS.
________. 2005. Metode Penelitian Hukum. Surakarta : Program Pascasarjana UNS.
Shidarta, dkk, 2012, Mochtar Kusuma Atmadja dan Teori Hukum Pembangunan: Eksistensi dan Implikasi. Jakarta: HuMa.
Soedikno Mertokusumo. 1988. Hukum Dan Politik Agraria. Jakarta: Karunia-Universitas Terbuka.
Soetandyo Wognjosoebroto. 2002. Hukum. Paradigma dan Dinamika Masalahnya. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) dan Perklumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologi (HuMa)
Subekti. 1979. Hukum Perjanjian. Jakarta: PT. Intermedia.
Sunarjati Hartono. 1978. Beberapa Pemikiran Kearah Pembaharuan Hukum Tanah. Bandung: Alumni.
Supriadi. 2007. Hukum Agraria. Jakarta: Sinar Grafika.
63
Supriadi S,. 2005. “Pembaharuan Pengaturan Pertanahan Nasioanal sebagai Wujud Gerakan Sosial”., Jurnal Reformasi Hukum. Vol.VII No. 1. Jakarta: Jurnal Mimbar Universitas Islam Jakarta.
Soerjono Soekanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : UI Press.
_______.2005. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : UI Press.
Tukgalii, Lieke Lianadevi. 2010. Fungsi Sosial Hak Atas Tanah Dalam Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum. Jakarta: Kertas Putih Communication.
Yusriyadi. 2010. Industrialisasi dan Perubahan Fungsi Sosial Hak Atas Tanah. Yogyakarta: Genta Publishing.
Urip Santosa. 2010. Pendaftaran dan Perolehan Hak Atas Tanah. Jakarta: Kencana.
Undang-Undang Dasar Republik Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Republik Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 1961 Tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada di Atasnya.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Beserta Peraturan Pelaksananya.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1973 Tentang Tentang Acara Penetapan Ganti Kerugian oleh Pengadilan Tinggi sehubungan dengan Pencabutan Hak Atas Tanah dan Benda-Benda di Atasnya.
64
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 1963 Tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum yang dapat memiliki hak milik atas tanah.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1973 Tentang Pelaksanaan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang Diatasnya.
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2007 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 yang telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1975 Tentang Ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah.
65
Pengadaan Tanah untuk Kepentingan UmumMemahami Perlunya UU Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum
Dalam konsideran RUU Pengadaan Tanah yang telah disahkan oleh DPR RI pada rapat paripurna penutupan masa persidangan II tahun 2011-2011 di Gedung, MPR/DPR/DPD RI (Jakarta, 16-12-2011), disebutkan bahwa pembangunan untuk kepentingan umum diperlukan tanah yang pengadaannya dilaksanakan dengan mengedepankan prinsip kemanusiaan, demokratis, dan adil. Pertimbangan berikutnya disebutkan bahwa peraturan perundang-undangan di bidang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum belum dapat menjamin perolehan tanah untuk pelaksanaan pembangunan.
Dari konsideran diatas nampak bahwa pertimbangan utama bagi pemerintah adalah belum adanya jaminan yang dapat lebih memudahkan pemerintah dalam tindakan pengadaan tanah untuk kepentingan umum dalam kelancarankepentingan pembangunan. Sisi lain penguatan akan hak-hak rakyat selaku pemilik tanah agar terjamin rasa kemanusiaan, demokratis dan adil harus tetap terlindungi.
Kepentingan Pemerintah dalam Pengadaan TanahSelama ini pemerintah seringkali mengalami kesulitan untuk melaksanakan proyek-proyek pembangunan karena terkendala dalam pengadaan tanah. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasiona Armida Alisjahbana, mengatakan, RUU Pengadaan Lahan ini sebagai pemecahan masalah atas berbagai proyek infrastruktur mangkrak yang disebabkan oleh proses pembebasan lahan. Pengaruh undang-undang ini akan signifikan terhadap masyarakat Indonesia. “Bottleneck-nya (sumbatan) di situ,” ujar Armida (vivanews.com, 8 Desember 2011). UU pengadaan lahan ini akan menstimulus berbagai proyek pembangunan seperti jalan tol Trans Jawa, kereta bandara, dan lainnya menjadi semakin cepat. Armida berharap implementasi UU ini akan terealisasi pada 2012. “Pokoknya infrastruktur yang kemarin agak terhambat karena lahan, bisa lebih cepat,” tuturnya. Dia lalu menyebut beberapa kementerian yang terlibat dalam penyusunan UU
66
ini. Mereka adalah Kementeriam Hukum dan HAM, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan, dan Kementerian PPN.
Berita kompas.com (16/12-2011) menyebutkan bahwa Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengharapkan UU Pengadaan Tanah dapat melancarkan pembangunan proyek infrastruktur untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang direncanakan mencapai tujuh hingga 7,7 persen pada 2014 mendatang. UU tersebut diharapakan dapat memberikan kemudahan dalam pembangunan sarana infrastruktur yang saat ini masih sering dipersulit karena ketiadaan kesepakatan antara pemilik lahan dengan pemerintah. ” Ada kejelasan kalau pemerintah ingin membangun atau ada proyek pembangunan untuk kepentingan rakyat banyak itu tanahnya bisa dibebaskan dengan harga yang wajar,” ujar Menteri Keuangan saat ditemui di Nusa Dua, Bali. “Kita ingin punya situasi seperti di negara-negara besar lainnya, yang betul-betul saat membuat jalan atau mau membuat infrastruktur itu langsung bisa dilakukan, tidak pakai a dan b,” ujarnya.
Sementara itu sumber vivanews.com(16/12-2011) mengabarkan bahwa Menteri Perumahan Rakyat akan segera mencari tanah-tanah milik negara untuk dibangun rumah atau hunian sewa bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah. “Langsung cari tanah milik negara untuk rumah sewa bagi masyarakat penghasilan rendah,” kata Menteri Perumahan Rakyat, Djan Faridz, di sela Sidang Paripurna DPR di Gedung MPR/DPR, Jakarta, Jumat, 16 Desember 2011. Djan Faridz menuturkan, lahan yang diperuntukkan bagi rumah sewa tersebut kriterianya bisa sampai 60 tahun dan itu bisa disamakan seperti hak milik. “Kalau 60 tahun itu kan sudah satu generasi, tuh. Nanti, generasi berikutnya bisa diperpanjang, tapi dalam status kepemilikan tanah tetap milik negara,” ujarnya. Nantinya, kata Djan Faridz, hunian yang akan dibangun di atas lahan milik pemerintah tersebut bisa berbentuk rumah susun sederhana sewa atau rusunawa. “Rusunawa itu seperti di Perumnas, lho, yang sekarang dibangun di Kebon Kacang. Kan itu, lahannya tetap milik pemerintah,” tuturnya.
Lebih lanjut vivanews.com mewartakan bahwa Panitia Khusus Rancangan Undang-undang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan menyatakan bahwa jenis kepentingan umum seperti pengadaan tanah untuk perumahan rakyat yang bukan sewa tidak termasuk ke dalam RUU tersebut. “Dengan demikian, untuk perumahan rakyat yang diikuti dengan pemberian sertifikat hak milik tidak dapat dikategorikan sebagai pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Kecuali, perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah dengan status sewa,” kata Ketua Panitia Khusus RUU Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, Daryatmo Mardiyanto, dalam kata sambutan Sidang Paripurna di Gedung MPR/DPR.
67
Menurut Daryatmo, pengadaan tanah untuk kepentingan umum wajib diselenggarakan oleh pemerintah. “Selanjutnya, tanahnya dimiliki pemerintah pusat atau pemerintah daerah,” ujarnya. Undang-undang tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum bagi tim pansus, merupakan multi kompleks dan terkait dengan berbagai sektor. “Saat ini ada sektor yang ruang lingkupnya termasuk dalam sektor kepentingan umum seperti penyediaan lahan untuk infrastruktur listrik tapi selama ini tidak termasuk dalam jenis kepentingan umum yang pengadaan tanahnya dijamin oleh pemerintah,” katanya.
Masih dari vivanews.com diwartakan Direktur Utama Jasa Marga, Frans S. Sunito menyatakan meski UU tersebut tidak berlaku surut, tidak akan memengaruhi proyek perseroan yang sudah berjalan seperti Tol Ungaran – Bawen, Jawa Tengah karena proyek ini tinggal menyisakan beberapa hektare saja. Termasuk, kata Frans, sebagian besar proyek yang dijalankan dan akan dilaksanakan Jasa Marga tahun depan (2012). Proyek tersebut, yakni jalan tol Jakarta Outer Ring Road (JORR) Ruas W2 yang terdiri dari dua bagian Serpong-Kunciran dan Kunciran-Bandara, Tol Bawen-Solo, Tol Surabaya-Mojokerto, Tol Gempol-Pasuruan. “Itu semua kita harapkan lebih cepat,” tambahnya. Frans menuturkan, dengan UU Pengadaan Lahan itu makelar tanah tidak akan berkutik lagi. Sebab, harga tanah akan dijual sesuai dengan harga pasaran.
Dari republika.co.id diberitakan bahwa pada rapat paripurna tersebut, Kepala Badan Pertahanan Nasional (BPN) Joyo Winoto menjanjikan proses pembebasan lahan untuk proyek infrastruktur akan selesai maksimal selama 256 hari, setelah diberlakukannya UU Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Pengesahan RUU Pengadaan tanah dalam sidang paripurna diwarnai banyak interupsi dan juga catatan. Dari beberapa argumen yang tidak sependapat dengan RUU Pengadaan Tanah adalah adanya penilaian bahwa RUU tersebut melanggar konstitusi dan cenderung melemahkan hak rakyat atas tanah, karena terlalu pro kepada investor yang tidak perhatikan hak-hak tanah rakyat.
Beberapa cuplikan berita diatas menunjukkan bahwa lahirnya UU Pengadaan Tanah tetap dalam domain utama untuk melindungi kepentingan pemerintah dalam melaksanakan pembangunan infrastruktur untuk meningkatkan pelayanan kepentingan umum dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Upaya memahami lebih lanjut tentang UU Pengadaan Tanah tetap tidak dapat dipisahkan dengan kondisi sosiologi kemasyarakatan bangsa ini.
68
Masalah tanah masih tetap menjadi masalah yang rawan untuk menimbulkan pertikaian dan perseteruan jika penanganan dan cara pendekatannya tidak memenuhi asas-asas keadilan bagi masyarakat (pemilik tanah).
Dibawah ini diuraikan penjelasan dari sisi yuridis dan akademis berdasar studi terhadap permasalahan pengadaan tanah yang telah dilaksanakan selama ini sebagai dasar pijakan untuk memahami lebih lanjut kehadiran UU Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum.
Perundangan dan peraturan yang terkait dengan Pertanahan dan Pengadaan TanahUU yang mengatur tentang seluk beluk tanah di Indonesia diatur melalui:
1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
2. Undang-undang Nomor 51 Prp. Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak Atau Kuasanya
3. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-benda yang Ada di Atasnya.
4. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang5. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha,
Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah6. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah7. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan
Tanah8. Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah
Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum9. Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum;10. Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas
Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum;
11. Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan
12. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Sebagaimana Telah Diubah Dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
Untuk kepentingan pengadaan tanah bagi pembangunan ini sejak tahun 1961 menggunakan UU No. 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak
69
Atas Tanah dan Benda-benda yang Ada di Atasnya. Kemudian untuk melaksanakan kebijakan pemerintah tersebut terbit landasan operasionalnya melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975, yang selanjutnya dicabut dan diganti dengan Keputusan Presiden No. 55 Tahun 1993.
Dalam pelaksanaanya karena masih kerapkali menimbulkan permasalahan, konflik, dan dinilai sudah tidak sesuai sebagai landasan hukum dalam rangka melaksanakan pembangunan untuk kepentingan umum, maka Keppres No.55 Tahun 1993 digantikan dengan Perpres Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, yang disahkan pada tanggal 3 Mei 2005.
Setahun kemudian, tepatnya pada tanggal 5 Juni 2006 disahkan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Perubahan ini dilaksanakan lebih karena untuk meningkatkan prinsip penghormatan terhadap hak-hak atas tanah yang sah dan kepastian hukum dalam pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum.
Pokok Perubahan Aturan dalam Perpres No. 65 Tahun 2006Dalam Perpres No. 65 Tahun 2006 ini terdapat beberapa perubahan dan penambahan pasal yang semuanya mengarah pada prinsip penghormatan terhadap hak-hak atas tanah yang sah dan mewujudkan kepastian hukum bagi pengadaan tanah dalam pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum , sebagai berikut :
1. Pasal 1 ayat 3 telah diubah dengan menghapus kata “atau dengan pencabutan hak atas tanah”.
2. Pasal 2 ayat (1) huruf b telah dihapus, sehingga hanya mengenal cara pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan melalui pelepasan atau penyerahan hak atas tanah, dan cara pencabutan hak atas tanah telah dihapus.
3. Pasal 3 telah diubah sehingga berbunyi “Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan berdasarkan prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah.” Semula dalam pasal 3 Perpres No. 36 Tahun 2005 memuat ayat (2) yang berbunyi “Pencabutan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b dilakukan berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-hak Atas Tanah Dan Benda-benda Yang Ada Di Atasnya”.
4. Pasal 5 mengalami perubahan tentang kategori Pembangunan untuk kepentingan umum yang dilaksanakan Pemerintah atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, yang selanjutnya dimiliki
70
atau akan dimiliki oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah hanya menjadi 7 item, sedangkan semula berjumlah 21 item.
5. Pasal 6 mengalami perubahan dengan menambahkan Badan Pertanahan Nasional masuk dalam susunan keanggotaan panitia pengadaan tanah, karena pada tahun 2006 BPN telah terbentuk berdasar Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006.
6. Pasal 7, mengalami perubahan tentang penambahan tugas kepanitiaan pengadaan tanah, yang semula 7 item manjadi 8 item, yaitu penambahan tugas “h. mengadministrasikan dan mendokumentasikan semua berkas pengadaan tanah dan menyerahkan kepada pihak yang berkompeten”.
7. Penambahan Pasal 7A yang sebelumnya tidak ada, yaitu berbunyi : “Biaya Panitia Pengadaan Tanah diatur lebih lanjut oleh Menteri Keuangan setelah berkonsultasi dengan Kepala Badan Pertanahan Nasional.”
8. Perubahan Ketentuan Pasal 10 ayat (1) diubah jangka waktu musyawarah dalam hal kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum yang tidak dapat dialihkan atau dipindahkan secara teknis tata ruang ke tempat atau lokasi lain, yang semula diberi batas waktu paling lama 90 hari kalender terhitung sejak tanggal undangan pertama, menjadi 120 hari kalender terhitung sejak tanggal undangan pertama.
9. Perubahan Pasal 13 tentang bentuk ganti rugi dengan menghapus pencantuman dapat diberikannya kompensasi berupa penyertaan modal (saham) sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangandalam hal pemegang hak atas tanah tidak menghendaki bentuk ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa a. Uang; dan/atau b. Tanah pengganti; dan/atau c. Pemukiman kembali. Dalam Perpres No.65 Tahun 2006, telah diberikannya adanya pilihan d. Gabungan dari dua atau lebih bentuk ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c; dan e. Bentuk lain yang disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan.”
10. Penambahan Pasal 18A diantara Pasal 18 dan 19, sehingga berbunyi sebagai berikut : ” Apabila yang berhak atas tanah atau benda-benda yang ada di atasnya yang haknya dicabut tidak bersedia menerima ganti rugi sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Presiden, karena dianggap jumlahnya kurang layak, maka yang bersangkutan dapat meminta banding kepada Pengadilan Tinggi agar menetapkan ganti rugi sesuai Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada di Atasnya dan Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1973 tentang Acara Penetapan Ganti Kerugian oleh Pengadilan Tinggi Sehubungan dengan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang ada di Atasnya.”
Berlakunya Perpres No.65 Tahun 2006 meski sudah lebih mengakomadasi semangat penghormatan terhadap hak atas tanah ternyata tetap memiliki kelemahan dan potensi konflik, sehingga digagaslah RUU Pengadaan Tanah untuk lebih memberikan jaminan kepastian bagi pemerintah dalam
71
melaksanakan tugas pembangunan dan sebaliknya juga memberikan jaminan bagi pemilik tanah yang terkena program pengadaan tanah.
Permasalahan dalam Pengadaan Tanah dan dampaknyaPermasalahan dalam pengadaan tanah dapat terkait secara langsung dengan proses pengadaan tanahnya sejak perencanaan hingga penyerahan, maupun dampak tidak langsung dari kesejajaran nilai tanah yang telah digantikan dengan uang atau lainnya. Dibanding harta lainnya yang dapat dimiliki manusia, secara umum kepemilikan tanah memiliki keterikatan lebih luas dan menyangkut banyak pihak dibanding dengan kepemilikan harta benda lainnya.
Logika sederhana dapat menunjukkan bahwa kepemilikan tanah biasanya merekam historis dan asal usul atau bahkan sejarah suatu keluarga / kelompok masyarakat, menyangkut pula unsur garis pewarisan, batas kepemilikan tanah dengan pihak-pihak lain, dan kualitas / harga tanah yang sangat variatif sesuai persepsi pribadi pemilik tanah maupun taksiran harga umum sesuai kondisi setempat. Sehingga sebenarnya menangani pelepasan tanah jika bukan atas kesadaran dan kemauan secara suka rela pemiliknya, namun lebih karena diminta untuk kepentingan umum dalam pembangunan, maka menjadi hal yang sangat kompleks, rumit dan perlu hati-hati diselesaikan meski telah ada skema bermacam bentuk pemberian ganti rugi sekalipun, hingga mekanisme musyawarah, keberatan, dan tuntutan melalui pengadilan.
Meski RUU Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum telah disahkan, problem mendasar dari pengadaan tanah yang berpotensi melahirkan konflik di masyarakat tetap perlu menjadi pusat perhatian. Mencermati tulisan Syafruddin Kalo yang berjudul “REFORMASI PERATURAN DAN KEBIJAKAN PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM” meskipun masih dibahas melalui paradigma Perpres 55 Tahun 1993, dari proyeksi pembangunan hukum pertanahan pasca reformasi masih memiliki relevansi sebagai bahan pemahaman mengapa dalam pengadaan tanah masih kerap memunculkan konflik dan problem di masyarakat. Hal tersebut dapat diamati setidaknya dari keadaan sebagai berikut :
1. masyarakat terkadang tidak mempunyai posisi runding (bergaining position) yang seimbang, secara psikologis masyarakat berada di bawah tekanan pihak penguasa.
2. Penentuan bentuk dan besarnya ganti rugi dianggap oleh masyarakat tidak layak, dalam arti bahwa ganti rugi itu tidak dapat digunakan untuk mempertahankan tingkat kesejahteraan sosial ekonominya, bahkan tingkat kesejahteraan sosial ekonominya menjadi lebih buruk jika
72
dibandingkan keadaan sebelum tanahnya dicabut atau dibebaskan haknya.
3. Batasan tentang pengertian kepentingan umum yang dijadikan dasar pengadaan tanah ini sangat abstrak, sehingga menimbulkan penafsiran yag berbeda-beda dalam masyarakat. Akibatnya terjadi “ketidakpastian hukum” dan dapat menjurus pada munculnya konflik.
4. Penggantian kerugian hanya terbatas bagi masyarakat pemilik tanah ataupun penggarap tanah,yang berarti ahli warisnya. Ketentuan ini tanpa memberikan perlindungan terhadap warga masyarakat yang bukan pemilik, seperti penyewa atau orang yang mengerjakan tanah, yang menguasai dan menempati serta yang menggunakan tanah. Di samping itu terhadap hak ulayat yang dibebaskan untuk kepentingan umum, bagi masyarakat adat tersebut belum dilindungi dan belum mendapat kontribusi dari pembangunan itu, serta recognisi sebagai ganti pendapatan, pemanfaatan dan penguasaan hak ulayat mereka yang telah digunakan untuk pembangunan.
5. Musyawarah untuk mencapai kesepakatan, harus dilakukan dengan perundangan yang benar, saling mendengar dan saling menerima pendapat, berdasarkan alur dan patut, berdasarkan sukarela antara para pihak tanpa adanya tekanan psikologis yang dapat menghalangi proses musyawarah tersebut.
6. Pengaturan tentang permukiman kembali tidak diatur lebih lanjut, sehingga permukiman kembali itu dilaksanakan hanya sekedar memindahkan warga masyarakat yang terkena proyek pembebasan dari tempat yang lama ke tempat yang baru, tanpa diikuti dengan kegiatan untuk memulihkan kehidupan sosial ekonomi mereka. Upaya untuk memulihkan kegiatan ekonomi mereka dengan memperhitungkan kerugian yang dialami oleh warga yang terkena dampak pembebasan tanahnya, bagi warga masyarakat yang sebelumnya tanah adalah merupakan aset yang berharga, sebagai tempat usaha, bertani, berkebun dan sebagainya, terpaksa kehilangan aset ini, karena mereka dipindahkan ke tempat permukiman yang baru.
7. Setiap perselisihan yang terjadi dalam pelaksanaan tentang menentukan bentuk dan besarnya ganti rugi perlu adanya pemikiran bahwa penyelesaiannya yang paling utama harus dilakukan dengan penyelesaian ADR (Alternative Dispute Resolution), yaitu melalui musyawarah, negosiasi dan mediasi, jika cara ini tidak membuahkan hasil, maka penyelesaian baru melalui proses yudisial ke pengadilan.
8. Panitia pencabutan hak-hak atas tanah harus juga bertanggung jawab terhadap upaya pemulihan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang terkena dampak pembebasan.
Pengadaan Tanah dan Dampak Bagi Lahan PertanianSemakin jelasnya jaminan pengadaan tanah dalam pembangunan untuk kepentingan umum akan memicu pertumbuhan pembangunan infrastruktur
73
dan meningkatkan iklim investasi. Sudah menjadi pemahaman umum bahwa Pengadaan tanah untuk pembangunan kepentingan umum akan secara spesifik mencakup kebutuhan tanah yang cukup luas.
Potensi yang mungkin munculterkait kebutuhan lahan ini adalah munculnya konversi-konversi lahan yang sangat mungkin akan semakin meluas karena pembangunan infrstruktur biasanya akan diikuti pula dengan kantong pertumbuhan ekonomi baru yang membutuhkan lahan-lahan baru.
Tesis Septia Putri dalam Program Pascasarjana Universitas Diponegoro yang berjudul “PELAKSANAAN PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM DALAM HUBUNGANNYA DENGAN PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN (Studi pada Pembangunan Jalan Tol Trans Jawa di Kabupaten Tegal)” mendeskripsikan secara jelas bagaimana Tol Trans-Jawa khususnya di Jawa Tengah hingga Jawa Timur, akan mengorbankan sekitar 600 hektar lahan pertanian beririgasi teknis. Lahan pertanian mengalami pengurangan secara signifikan akibat pembangunan jalan tol Trans Jawa di Kabupaten Tegal.
Septia dengan mengutip dari http://www.blog.dedenrukmana/jalan tol trans jawa-ketahanan pangan dan energi nasional/18 Nopember 2008 menyebutkan bahwa Pembangunan jalan tol trans-Jawa bukan hanya mengancam ketahanan pangan nasional akibat konversi lahan pertanian dan tenaga kerja pertanian ke sektor perkotaan, tapi juga akan semakin meningkatkan konsumsi bahan bakar minyak akibat peningkatan penggunaan moda transportasi jalan raya. Dampak negatif dari pembangunan jalan tol Trans-Jawa ini akan bertambah bilamana kita menghitung pula dampak lingkungan dari berkurangnya lahan terbuka hijau, termasuk hutan dan perkebunan di pulau Jawa.
Septia, menyebutkan bahwa Mantan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Emil Salim menyatakan bahwa tingkat kesuburan tanah di Jawa delapan kali lipat daripada Kalimantan dan enam kali lipat ketimbang Sumatera.
Secara kritis Agus Susanto berpendapat bahwa Pemerintah sepertinya terlalu menyederhanakan masalah dengan memimpikan petani yang kehilangan lahan dapat bertransformasi begitu saja ke sektor lain yang lebih baik dengan uang hasil penjualan lahannya. Perjalanan Anyer-Panarukan memperlihatkan petani yang kehilangan lahan karena dibebaskan untuk industri gagal masuk ke sektor formal. Mereka kebanyakan jadi buruh atau bermigrasi ke sektor informal di kota-kota di Jawa, khususnya Jakarta. Kantong-kantong industri identik dengan kemiskinan. Sebutlah, misalnya,
74
di Cilegon, Tangerang, Tuban, dan Gresik. (www.kompas.com/Agus Susanto-Dari Jalan Daendels ke Jalan Tol Trans Jawa/22 Agustus 2008).
Bagiamana UU Pengadaan Tanah Menjawab Problem dan Potensi Konflik?Dari berbagai potensi konflik dan beragam permasalahan yang terjadi terkait pengadaan tanah seperti diuraikan di atas, maka pemerintah tidak lagi menghendaki paradigma lama pengadaan tanah melalui pencabutan tanah di era UU No. 20 Tahun 1960 hingga Keppres No. 55 Tahun 1993 dan Perpres No.36 Tahun 2005.
Sejak Badan Pertanahan Nasional di bentuk pada tahun 2006, dan Perpres No.36 Tahun 2005 telah diubah dengan Perpres 65 Tahun 2006, maka paradigma pengadaan tanah dalam pembangunan untuk kepentingan umum telah banyak mengalami perubahan-perubahan yang diarahkan untuk menghormati hak kepemilikan tanah yang berhak.
Prkatek pengadaan tanah untuk kepentingan umum ini terus mengalami perkembangan dan pengujian di lapangan, hingga akhirnya dipandang bahwa pemerintah masih mengalami kesulitan dan ketidakpastian dengan banyaknya program pembangunan infrastruktur yang terkendala pada masalah pengadaan tanahnya.
RUU pengadaan tanah yang telah disahkan telah mengandung paradigma baru secara lebih berkemanusiaan, demokratis dan adil, namun juga harus tetap menjamin kelancaran pengadaan tanah dalam pembangunan untuk kepentingan umum. Semangat ini setidaknya dapat dilihat dan dipahami, dari hal-hal sebagai berikut :
1. Definisi pengadaan tanah menurut Pasal 1 angka 2, adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak. Kata “layak dan adil” dalam definisi tersebut mencerminkan adanya paradigma baru yang menjamin dan menghormati yang berhak. Kata “pihak yang berhak” juga menjawab berbagai persoalan terhadap pelepasan tanah yang diatasnya terdapat bangunan, tanaman dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah tersebut namun belum tentu merupakan hak dari pemilik tanah, bisa saja milik penyewanya, penggunanya, pengolahnya, pengelolanya dan sebagainya. Aturan ini belum ditemukan pada Keppres No. 55 Tahun 1993 dan Perpres No.36 Tahun 2005
2. Pasal 1 angka 3, menyebutkan bahwa pihak yang Berhak adalah pihak yang menguasai atau memiliki objek pengadaan tanah. Jadi yang menguasai obyek pengadaan tanah belum tentu sekaligus sebagai memiliki obyek pengadaan tanah telah masuk dalam definisi pihak yang
75
Berhak. Pasal 1 angka 4, menyebutkan objek pengadaan tanah adalah tanah, ruang atas tanah dan bawah tanah, bangunan, tanaman, benda yang berkaitan dengan tanah, atau lainnya yang dapat dinilai. Dari 2 definisi ini dapat diharapkan adanya pemberian ganti rugi yang adil kepada pihak-pihak yang berhak atas pemberian ganti kerugian yang seringkali memicu potensi konflik.
3. Definisi kepentingan umum adalah kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat yang harus diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Pada draft naskah akademik RUU ini definisi kepentingan umum belum termuat. Pada Perpres No. 36 Tahun 2005 pengertian kepentingan umum adalah kepentingan sebagian besar lapisan masyarakat. Definisi kepentingan umum dalam RUU yang disahkan tersebut ternyata lebih memiliki kejelasan dengan menekankan adanya kepentingan bangsa, negara dan masyarakat yang harus diwujudkan oleh pemerintah.
4. Diperkenalkannya instrumen konsultasi publik dalam proses pengadaan tanah untuk kepentingan umum, sebagaimana dimuat dalam Pasal 1 angka 8 yang menyebutkan bahwa konsultasi publik adalah proses komunikasi dialogis atau musyawarah antarpihak yang berkepentingan guna mencapai kesepahaman dan kesepakatan dalam perencanaan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan. Dengan konsultasi publik ini instansi yang memerlukan tanah menjelaskan antara lain mengenai rencana pembangunan dan cara perhitungan ganti kerugian yang akan dilakukan oleh penilai pertanahan.
5. Pencantuman asas pengadaan tanah untuk kepentingan umum, yang meliputi 10 asas yaitu :a. Asas Kemanusiaan, adalah pengadaan tanah harus memberikan perlindungan serta menghormati terhadap hak asasi manusia, harkat, dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.b. Asas Keadilan, adalah memberikan jaminan penggantian yang layak kepada Pihak yang Berhak dalam proses pengadaan tanah sehingga mendapatkan kesempatan untuk dapat melangsungkan kehidupan yang lebih baik.c. Asas Kemanfaatan, adalah hasil pengadaan tanah mampu memberikan manfaat secara luas bagi kepentingan masyarakat, bangsa dan Negara.d. Asas Kepastian, adalah memberikan kepastian hukum tersedianya tanah dalam proses pengadaan tanah untuk pembangunan dan memberikan jaminan kepada Pihak yang Berhak untuk mendapatkan ganti kerugian yang layak.e. Asas Keterbukaan, adalah bahwa pengadaan tanah untuk pembangunan dilaksanakan dengan memberikan akses kepada masyarakat untuk mendapatkan informasi yang berkaitan dengan pengadaan tanah.f. Asas Kesepakatan, adalah bahwa proses pengadaan tanah dilakukan
76
dengan cara musyawarah para pihak tanpa unsur paksaan untuk mendapatkan kesepakatan bersama.g. Asas Keikutsertaan, adalah dukungan dalam penyelenggaraan pengadaan tanah melalui partisipasi masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung sejak perencanaan sampai dengan pembangunan.h. Asas Kesejahteraan,adalah bahwa pengadaan tanah untuk pembangunan dapat memberikan nilai tambah bagi kelangsungan kehidupan pihak yang berhak dan masyarakat secara luas.i. Asas Keberlanjutan, adalah kegiatan pembangunan dapat berlangsung secara terus menerus, berkesinambungan untuk mencapai tujuan yang diharapkan.j. Asas Keselarasan, adalah bahwa pengadaan tanah untuk pembangunan dapat seimbang dan sejalan dengan kepentingan masyarakat dan Negara.Asas kemanusiaan pada draft RUU naskah akademik sebelumnya belum termuat. Dimuatnya tambahan asas kemanusiaan dan ditempatkan paling awal telah menegaskan adanya prinsip kemanusiaan yang harus dipatuhi dalam setiap pengadaan tanah untuk kepentingan umum, selain mematuhi 9 asas lainnya. Secara mudah argumentasinya dapat dijelaskan bahwa meski pengadaan tanah untuk kepentingan umum bersifat wajib/keharusan bagi pemerintah untuk mewujudkannya, namun harus tetap memperhatikan sisi kemanusiaan bagi yang berhak.
6. Adanya penegasan tujuan dari pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang dimuat Pasal 3, yaitu bertujuan menyediakan tanah bagi pelaksanaan pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa, negara, dan masyarakat dengan tetap menjamin kepentingan hukum Pihak yang Berhak.
7. Cakupan pengadaan tanah yang digunakan untuk kepentingan umum dalam pembangunan telah dipertegas dalam Pasal 10 dengan jumlah 18 item. Dilihat dari materinya merupakan penegasan dan penyempurnaan cakupan dari Pasal 5 Perpres 63 Tahun 2005 yang memiliki 21 item, dan perpres 65 tahun 2006 dengan 7 item. Ke 18 item cakupan pengadaan tanah untuk kepentingan umum tersebut adalah meliputi :a. Pertahanan dan keamanan nasional;b. Jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta api, dan fasilitas operasi kereta api;c. Waduk, bendungan, bending, irigasi, saluran air minum, seluran pembuangan air dan sanitasi, bangunan pengairan lainnya;d. Pelabuhan, Bandar udara, dan terminal;e. Infrastruktur minyak, gas dan panas bumi, meliputi transmisi dan/atau distribusi minyak, gas dan panas bumi;f. Pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan distribusi tenaga listrik;g. Jaringan telekomunikasi and informatika;h. Tempat pembuangan dan pengolahan sampah;i. Rumah sakit pemerintah/pemerintah daerah;j. Fasilitas keselamatan umum
77
k. Tempat pemakaman umum pemerintah/pemerintah daerah;k. Fasilitas keselamatan umum;l. Fasilitas sosial, fasilitas umum, dan ruang terbuka hijau publik;m. Cagar alam dan cagar budaya;n. Kantor pemerintah/pemerintah daerah/desa;o. Penataan pemukiman kumuh perkotaan dan/atau konsolidasi tanah, serta perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah dengan status sewa;p. Prasarana pendidikan atau sekolah pemerintah/pemerintah daerah;q. Prasarana olah raga Pemerintah/Pemerintah Daerah; danr. Pasar umum dan lapangan parkir umum.
8. Pasal 11 mengatur bahwa pengadaan tanah untuk kepentingan umum wajib diselenggarakan oleh pemerintah dan tanahnya selanjutnya dimiliki Pemerintah atau Pemerintah Daerah. Jika yang memerlukan BUMN maka tanah untuk kepentingan umum menjadi milik BUMN.
9. Pasal 12 mengatur bahwa pembangunan untuk kepentingan umum wajib diselenggarakan Pemerintah, dan dapat bekerjasama dengan BUMN, BUMD, atau Badan Usaha Swasta. Dalam hal pembangunan pertahanan dan keamanan nasional maka pembangunannya diselenggarakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
10. Tahapan pengadaan tanah untuk kepentingan umum diselenggarakan melalui : a. perencanaan; b. persiapan, c. pelaksanaan; dan d. penyerahan hasil, yang rincian pengaturannya dibahas dalam pasal-pasal selanjutnya.
11. Penilaian besarnya ganti kerugian oleh Penilai dilakukan per bidang tanah, meliputi : a. tanah; b. ruang atas tanah dan bawah tanah; c. bangunan; d. tanaman; e. benda yang berkaitan dengan tanah; dan/atau f. kerugian lain yang dapat dinilai. Dalam bagian penjelasan diterangkan bahwa yang dimaksud “Kerugian lain yang dapat dinilai” adalah kerugian nonfisik yang dapat disetarakan dengan niai uang, misalnya kerugian karena kehilangan usaha atau pekerjaan, baiaya pemindahan tempat, biaya alih profesi, dan nilai atas properti sisa.
12. Dalam hal bidang tanah tertentu yang terkena pengadaan tanah terdapat sisa yang tidak lagi dapat difungsikan sesuai peruntukan dan penggunaannya, Pihak yang berhak dapat meminta penggantian secara utuh atas bidang tanahnya.
13. Perencanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum disusun dalam bentuk dokumen perencanaan pengadaan tanah, yang paling sedikit memuat :a. maksud dan tujuan rencana pembangunan;b. kesesuaian dengan rencana tata ruang wilayah dan rencana pembangunan nasional dan daerah;c. letak tanah;d. luas tanah yang dibutuhkan;e. gambaran umum status tanah;f. perkiraan waktu pelaksanaan pengadaan tanah;
78
g. perkiraan jangka waktu pelaksanaan pembangunan;h. perkiraan nilai tanah; dani. rencana penganggaran.Dokumen perencanaan ini disusun berdasar studi kelayakan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, dan ditetapkan oleh instansi yang memerlukan tanah.
14. Pemberian ganti kerugian diberikan langsung kepada pihak yang berhak berdasar hasil penilaian yang ditetapkan dalam musyawarah dan/atau putusan pengadilan/Mahkamah Agung. Tuntutan pihak lain atas objek pengadaan tanah yang telah diserahkan kepada Instansi yang memerlukan tanah menjadi tanggung jawab pihak yang berhak menerima ganti kerugian. Bilamana pihak yang berhak menolak bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian, maka ganti kerugian dititpkan di pengadilan negeri setempat.
15. Penitipan ganti kerugian selain disebabkan karena ditolak dari pihak yang berhak, juga dapat dilakukan terhadap pihak yang berhak menerima ganti kerugian tidak diketahui keberadaannya, objek pengadaan tanah yang akan diberikan ganti kerugian sedang menjadi objek perkara di pengadilan, masih dipersengketakan kepemilikannya, diletakkan sita oleh pejabat yang berwenang; atau menjadi jaminan di Bank.
16. Pendanaan untuk pengadaan tanah bersumber dari APBN dan/atau APBD, dana internal perusahaan untuk BUMN. Dana pengadaan tanah ini digunakan untuk membiayai : perencanaan, persiapan, pelaksanaan, penyerahan hasil, administrasi dan pengelolaan, dan sosialisasi. Pendanaan pengadaan tanah ini harus dituangkan dalam dokumen penganngaran sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
17. Hak bagi Pihak yang Berhak dalam pengadaan tanah meliputi : mengetahui rencana penyelenggaraan pengadaan tanah; dan memperoleh informasi mengenai pengadaan tanah. Setiap orang wajib mematuhi ketentuan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.
18. Dalam ketentuan peralihan diatur bahwa Proses pengadaan tanah yang sedang dilaksanakan sebelum berlakunya UU Pengadaan Tanah ini diselesaikan berdasarkan ketentuan sebelum berlakunya UU ini. Sisa tanah yang belum selesai pengadaannya dalam proses pengadaan tanah diselesaikan berdasar ketentuan yang diatur dalam UU ini. Peraturan perundang-undangan mengenai tata cara pengadaan tanah dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan yang baru berdasarkan ketentuan UU pengadaan tanah ini.
19. Selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak diundangkan UU Pengadaan tanah ini maka peraturan pelaksanaan UU ini harus sudah ditetapkan.
20. UU pengadaan tanah ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan.
PenutupDemikian hasil penyajian gambaran kondisi aktual tentang pengadaan tanah
79
untuk kepentingan umum yang mengalami perbaikan dari waktu ke waktu, dan semuanya itu bertujuan untuk memberikan rasa keadilan dan demokratis bagi rakyat maupun pemerintah yang membutuhkan tanah untuk pembangunan sehingga menghasilkan win-win solution, memperkecil potensi konflik dan permasalahan kerawanan yang terjadi dalam pengadaan tanah.
Selama ini praktek pengadaan tanah untuk kepentingan umum semenjak tidak berlakunya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-benda yang Ada di Atasnya, masih didasarkan pada Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Sebagaimana Telah Diubah Dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006.
Dengan disahkannya RUU Pengadaan Tanah dalam pembangunan untuk kepentingan Umum oleh DPR pada tanggal 16 Desember 2011, ada sebuah pemahaman bahwa Pemerintah dan DPR telah berusaha mewadahi paradigma pengadaan tanah yang manusiawi, berkeadilan, demokratis dan mampu memberikan kepastian hukum bagi semua pihak yang terlibat dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
Ada harapan besar yang disandarkan pada UU Pengadaan tanah ini mampu menjawab persoalan dan permasalahan, serta meminimalkan potensi konflik yang terjadi dalam pengadaan tanah. Demikian pula korban-korban yang terjerat persoalan pidana dalam pengadaan dari pihak panitia, kemunculan spekulan tanah, pemulihan ekonomi yang tidak sebanding, dan problem-problem lainnya dapat dicegah dengan disahkannya UU ini.
Meskipun ada pihak-pihak yang tidak/belum sepakat dengan hadirnya UU ini, menurut hemat penulis, pada tatanan hukum dan tatanan sosial perihal pengaturan pengadaan tanah untuk kepentingan umum ini sudah seharusnya diatur dalam UU karena menyangkut kepentingan masyarakat luas, kepentingan pribadi yang berhak, kepentingan pemerintah, bangsa dan negara dalam pembangunan untuk kepentingan umum. Pengadaan tanah untuk kepentingan umum ini juga memiliki dampak ikutan yang mampu menjadi agen perubahan sosial dan ekonomi masyarakat.
80
Dengan memahami materi RUU yang telah disahkan ini kiranya dapat dirasakan dan ditemukan paradigma baru yang diusung untuk menjaga keseimbangan hak dan kewajiban anatara pemerintah dan rakyat dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum, serta penghormatan terhadap hak atas tanah bagi yang berhak.
Penulis : E.Iman P (Staf Kominfo Kab. Pekalongan).
Sumber Peraturan Perundangan :1. Peraturan perundangan Pengadaan Tanah oleh Direktorat PKPS Link : http://pkps.bappenas.go.id/2. http://www.dpr.go.id/uu/appbills/RUU_RUU_Tentang_Pengadaan_Tanah_Bagi_Pembangunan_Untuk_Kepentingan_Umum.pdfSumber Artikel/Jurnal/Paper/Tesis :1. http://library.usu.ac.id/download/fh/pidana-syafruddin12.pdf2. http://eprints.undip.ac.id/24123/1/SEPTIA_PUTRI_RIKO.pdf
Sumber Berita/News:1. www.vivanews.com 2. www.republika.co.id 3. www.antaranews.com 4. www.kompas.com
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum “Antara Regulasi dan Implementasi”
Pendahuluan
Pembangunan merupakan upaya manusia dalam mengolah dan memanfaatkan sumber daya yang dipergunakan bagi pemenuhan kebutuhan dan peningkatan kesejahteraan hidup yang dimanisfestasikan melalui seperangkat kebijakan publik. Setiap negara akan memilih dan menerapkan strategi pembangunan tertentu yang dianggap tepat untuk mewujudkan hal tersebut. Yang dimaksud dengan sejahtera adalah situasi manakala kebutuhan dan hak dasar rakyat telah terpenuhi tidak semata terkait dengan tingkat konsumsi (tingkat ekonomi) dan akses kepada layanan publik yang diberikan pemerintah, tetapi juga pada kesempatan untuk berpartisipasi dan menyampaikan aspirasi dalam kerangka pembangunan untuk kepentingan umum.
81
Termasuk dalam kegiatan pembangunan adalah pembangunan untuk kepentingan umum yang harus terus diupayakan pelaksanaannya seiring dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk yang disertai dengan semakin meningkatnya kemakmurannya.Penduduk yang semakin bertambah dengan tingkat kemakmuran yang semakin baik, tentunya membutuhkan berbagai fasilitas umum seperti : jalan jembatan,transportasi, fasilitas pendidikan, peribadatan, sarana olah raga, fasilitas komunikasi, fasilitas keselamatan umum dan sebagainya.
Tanah merupakan modal dasar pembangunan, hampir tak ada kegiatan pembangunan (sektoral) yang tidak memerlukan tanah. Oleh karena itu tanah memegang peranan yang sangat penting, bahkan menentukan berhasil tidaknya suatu pembangunan. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan di segala bidang kehidupan terutama untuk kepentingan umum selalu membutuhkan tanah sebagai wadah untuk diletakkannya pembangunan tersebut. Kini pembangunan terus meningkat dan tiada henti tetapi persediaan tanah semakin sulit dan terbatas. Keadaaan seperti ini dapat menimbulkan konflik karena kepentingan umum dan kepentingan perorangan atau kelompok saling berbenturan. Kondisi seperti ini diperlukan upaya pengaturan yang bijaksana dan adil guna menghindari konflik-konflik yang terjadi di masyarakat karena hal tersebut.
Pemerintah yang dalam hal ini sebagai pemangku kebijakan telah melakukan upaya dengan mengeluarkan peraturan tantang pangadaan tanah untuk pembangunan dalam rangka kepentingan umum. Hal tersebut bertujuan untuk menghindari konflik yang terjadi sehingga pembangunan dapat berjalan dengan lancar. Tetapi dalam implementasi dan pelaksanaannya sering menemui kendala atau hambatan yang berujung pada kebuntuan sehingga proses pembangunan menjadi terhambat.
Paper ini mencoba menguraikan secara ringkas mengenai teori pengadaan tanah sebagai sebuah tinjauan, peraturan tentang pengadaan tanah untuk pembangunan bagi kepentingan umum yang berlaku di Indonesia dan beberapa kasus yang terjadi di lapangan sebagai implementasi atas pelaksanaan peraturan yang berlaku. Penulis akan mencoba mensarikan penyebab-penyebab yang menjadi masalah pada proses pengadaan tanah dan solusi yang ditawarkan berdasar dari uraian tersebut.
Teori Pengadaan Tanah
Tanah dan manusia mempunyai hubungan multidemensi antara lain tanah sebagai faktor produksi, tanah sebagai unsur lingkungan, tanah sebagai property, sebagai barang yang punya nilai emosional, sebagai ruang da lokasi (OECD, 1992 dalam Djurdjani, 2009). Dalam sistem property right,
82
hubungan tanah dan manusia akan mengatur tentang cara membagi, melemahkan, menekan dan mengambil hak (Buitelaar, 2003b) atau satu berkas property rights terdiri atas hak untuk memiliki (mengelola, mengeluarkan dari), menggunakan dan memindahkan hak atas tanah (Guerin,2003). Hubungan formalnya disebut dengan land tenure, ditinjau dari subyeknya dapat dibedakan kedalam tanah negara dan tanah private.
Aktor yang terlibat dalam pengadaan tanah adalah pemerintah, pemilik tanah dan pihak swasta (Ball dkk, 1998; Fischer, 2005). Keterlibatan pemerintah dengan memberlakukan aturan-aturan formal seperti property right. Pemilik aktif dicirikan dengan keinginan untuk membangun tanah, mau bekerjasama dengan swasta untuk membangun atau mentransfer tanah bila tidak mampu membangun. Sedangkan pemilik pasif dicirikan tidak adanya langkah diambil untuk membangun atau membawa ke pasar tanah. Ada banyak alasan yang menyebabkan kendala supl ai yaitu harapan pemilik tanah untuk memperoleh harga yang tinggi, tidak adanya kesepakatan antara penjual dan pembeli atau memang tak ada keinginan dari pemilik (Adams, 1994). Sedangkan pihak swasta adalah para pengembang adalah rekanan pemerintah yang mewujudkan pembangunan yang direncanakan.
Pada dasarnya ada dua cara pemilik tanah melepaskan hak kepemilikan yaitu melalaui pelepasan secara suka rela (pasar) dan melalui pembebasan tanah (Eggertsson, 1995). Pelepasan suka rela sangat dipengaruhi sikap dari pemilik tanah terhadap cara pandang secara sosial, pengaruh adat atau nilai historis, nilai ekonomi dan kondisi fisik tanah. Dalam pembebasan tanah, persoalan yang sering dihadapi dan menimbulkan konflik adalah nilai kompensasi. Usilapan (1996) mengatakan bahwa dalam kompensasi pengertian harga pasar sering menjadi sumber perbedaan karena cara pandang pemilik tanah dengan pihak pemerintah tidak selalu sama. Hal lain yang sering muncul adalah penggunaan definisi “kepentingan umum” dalam proses pembebasan tanah yang sering tak definitip (Andrian, 2007).
Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan untuk menyiapkan tanah agar siap apabila dilakuka pembangunan adalah konsolidasi tanah (Andrian, 2007). Konsolidasi tanah dimaksudkan untuk menata kembali struktur keruangan tanah seperti bidang tanah yang kecil sehingga akan meme nuhi aspek kemudahan akses pada setiap tanah yang pada akhirnya meningkatkan nilai, hasil dari tanah tersebut (Djurdjani, 2009).
Peraturan Tentang Pangadaan Tanah Di Indonesia
Peraturan tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum dalam perkembangannya telah mengalami berbagai perubahan yakni Peraturan
83
Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 15 Tahun 1975 Tentang Ketentuan-Ketentuan mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah, Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum sebagaimana telah dirubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 dan yang terakhir dalam rapat paripurna di DPR, Jumat 16 Desembar 2011.
Undang-Undang tersebut mengatur secara komprehensif pengadaan tanah untuk kepentingan umum mulai dari perencanaan, persiapan, hingga pelaksanaan. Hal itu untuk memastikan pengadaan tanah sesuai tujuan, yakni untuk kepentingan umum. Ketua Panitia Khusus Undang-Undang Pengadaan Tanah Daryatmo Mardiyanto mengatakan adanya penjelasan secara spesifik mengenai kriteria kepentingan umum agar tidak terjadi penyalahgunaan pengadaan tanah dengan dalih kepentingan umum. Dalam definisinya, kepentingan umum disebutkan kepentingan umum adalah kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat yang harus diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan sebesar-besanrnya untuk kemakmuran rakyat.
Ada 18 jenis kegiatan pembangunan yang dikategorikan kepentingan umum adalah sebagai berikut :1. pertahanan dan keamanan nasional,2. jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta api, dan fasilitas operasi kereta api,3. waduk, bendungan, bendung, irigasi, saluran air minum, saluran pembuangan air dan sanitasi, dan bangunan pengaitan lainnya,4. pelabuhan, bandar udara, dan terminal,5. infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi,6. pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan distribusi tenaga listrik,7. jaringan telekomunikasi dan informatika pemerintah,8. tempat pembuangan dan pengolahan sampah,9. rumah sakit pemerintah/pemerintah daerah,10. fasilitas keselamatan umum11. tempat pemakamam umum pemerintah/pemerintah daerah,12. fasilitas sosial, fasilitas umum, dan ruang terbuka hijau publik,13. cagar alam dan cagar budaya,14. kantor pemerintah/pemerintah daerah/desa,15. penataan permukimam kumuh perkotaan dan/atau konsolidasi tanah, serta perumahan untuk masyarakat berpenghasilan dengan status sewa,16. prasarana pendidikan atau sekolah pemerintah/pemerintah daerah,17. prasarana olahraga pemerintah/pemerintah daerah dan18. pasar umum dan lapangan parkir umum.
84
Hal penting lainnya adalah diwajibkannya konsultasi publik dalam tahap perencanaan pengadaan tanah. Jika dalam konsultasi publik itu tidak menemui titik temu, pihak yang berhak atas tanah dapat mengajukan keberatan kepada pemerintah. Pemerintah melalui gubernur dapat membentuk tim untuk mengkaji keberatan itu, lalu mengambil keputusan. Jika gubernur menolak keberatan, pihak yang berhak atas tanah diberi kesempatan mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) hingga ke Mahkamah Agung.Ketentuan itu agar pemerintah provinsi atau gubernur cermat mengikuti seluruh ketentuan dan prosedur pengadaan tanah yang diatur dalam undang-undang ini.
Yang tidak kalah pentingnya adalah dibentuknya lembaga penilai independen untuk menentukan ganti rugi atas tanah. Adapun bentuk ganti rugi yang ditawarkan tak hanya uang, melainkan tanah pengganti, permukiman, kepemilikan saham, atau bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak.
Implementasi Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan
Berikut diuraikan beberapa kasus dan permasalahan yang terjadi di lapangan berdasar beberapa penelitian yang dilakukan sebagai bentuk implementasi dari undang-undang tentang pengadaan tanah bagi Pembangunan untuk kepentingan umum berikut solusi yang ditawarkan.
I. Pengadaan Tanah Proyek Kanal (Flood Way) Sei Deli-Sei Percut, Medan
Untuk mengatasi luapan Sei-Deli ketika terjadi hujan yang mengakibatkan banjir di kota Medan maka perlu dibuat kanal atau dikenal dengan istilah flood way. Untuk membuat kanal tersebut dibutuhkan tanah seluas 19 ha yang meliputi dua kecamatan atau enam kelurahan. Adapun lokasi yang terkena jalur kanal tersebut adalah berupa lahan pemukiman, pertanian dan industri. Sebagai dasar hukum pelaksanaan untuk memenuhi kebutuhan tanah tersebut adalah Keppres No.55 Th. 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Leonardi menunjukkan bahwa terdapat beberapa hambatan yang terjadi dalam proses pengadaan tanah tersebut, antara lain:a. Masalah Non Teknis, Surat bukti kepemilikan tanah tidak lengkap, Pemilik tanah tidak berada ditempat, Nilai ganti rugi dirasakan kurang sesuai dengan harga pasar, Terhadap tanah yang akan dibebaskan masih dipasang Hak Tanggungan, Penguasaan tanah oleh masyarakat secara fisik tetapi tidak beralaskan hak, Ketidakakuratan panitia pengadaan tanah dalam inventarisasi.
85
b. Masalah Teknis, Perubahan desain proyek kanal (flood way) sehingga menyebabkan ketidak-tepatan penetapan batas-batas tanah dan luas yang diperlukan oleh panitia pengadaan tanah, Pembayaran ganti rugi yang terlalu cepat sementara masih terganjal masalah ketidaksepakatan harga sehingga terjadi penggusuran paksa, Proses pengukuran yang lama, Tenggang waktu yang lama dari penetapan lokasi sampai pada realisasinya, Salah satu industri kertas yang terkena proyek akan menimbulkan permasalah lain yaitu terhadap tenaga kerja, sementara industri yang baru sebagai pengganti belum dibangun.
Dari permasalahan yang ada disarankan agar dalam proses pengadaan tanah perlu dilakukan penelitian yang akurat sebelum dilakukan penetapan besarnya ganti rugi dengan mempertimbangkan letak tanah, kriteria terhadap tanah dan bangunan, penggunaan tanah, kualitas bangunan, kondisi ekonomi masyarakat yang terdampak, sosialisasi yang tepat dan berulang berkaitan dengan tingkat pentingnya kegiatan pengadaan tanah sehingga masyarakat memahami akan manfaat proyek dan ikut berpartisipasi dalam pembangunan untuk kepentingan umum tersebut.
II. Pengadaan Tanah Proyek Bandara Kwala Namu Kecamatan Pantai Labu dan Pelebaran Jalan Tanjung Morawa Kecamatan Tanjung Morawa, Deli Serdang
Sebagai dasar yuridis pengadaan tanah proyek Bandara Kwala Namu Kecamatan Pantai Labu dan Pelebaran Jalan Tanjung Morawa Kecamatan Tanjung Morawa, Deli Serdang menggunakan Perpres No. 36 Th. 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.Penelitian yang dilakukan Hamzah menunjukkan bahwa proses pelaksanaan pengadaan tanah untuk proyek tersebut tidak dapat dijalankan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada, karena penentuan besarnya ganti rugi tidak melalui musyawarah tetapi dilakukan dengan ancaman dan intimidasi. Harga tanah yang diberlakukan ditetapkan oleh pemerintah karena berkaitan dengan ketersediaan dana APBD sehingga berada dibawah harga yang seharusnya. Akibat dari hal tersebut sikap dari masyarakat adalah tidak mau melepaskan tanahnya. Sebagai solusi alternatif yang diberikan adalah dibentuknya badan independen yang mengawasi pelaksanaan pengadaan tanah agar dilakukan sesuai dengan peraturan atau perundang-undangan yang berlaku.
III. Pangadaan Tanah Untuk Jalan Lingkar Ambarawa, Semarang
Hasil studi kelayakan menunjukkan bahwa untuk menghindari kemacetan lalu lintas di kota Ambarawa perlu kiranya dibangun jalan lingkar (ring
86
road). Pembangunan jalan melewati beberapa desa sepanjang lebih kurang 7,3 km dengan lebar 30m menggunakan dana APBD Kabupaten Semarang dan bantuan APBD Propinsi Jawa Tengah.Pelaksanaan pangadaan tanah mengacu pada Perpres No. 36 Th. 2005 jo Perpres No. 65 th. 2006 yang dalam implementasinya muncul beberapa persoalan yang berkaitan dengan pelepasan hak atas tanah baik perorangan, kelompok maupun badan hukum. Salah satunya adalah penolakan oleh masyarakat karena harga tanah yang terlalu rendah dan anggaran yang terbatas.
Penelitian oleh Iskandar (2006) mengindikasi beberap problem antara lain adalah sebagai berikut :a. Prosedur pemberian ganti rugi tanah milik TNI AD dan tanah bengkok yang lebih rumit dibandingkan dengan milik perorangan. Yang akhirnya disepakati bahwa pembayaran pada anggaran tahun 2006.b. Tidak ditemukan pemilik/penggarap pada sejumlah bidang tanah yang diputuskan untuk diumumkan di media masa dan apabila dalam jangka waktu satu bulan tidak ada yang merespon maka uang ganti rugi akan dititipkan melalui pengadilan.
IV. Pengadaan Tanah Untuk Pelebaran Jalan Raya Ngaliyan – Mijen, Semarang
Fratmawati melakukan penelitian tentang pengadaan tanah untuk pelebaran Jalan Raya Ngaliyan – Mijen, sepanjang 8,8 km dan lebar 30 m di Kota Semarang yang prosesnya tidak kunjung selesai. Adapun hambatan atau permasalahan yang ditemukan adalah :a. Pemerintah tidak cukup dalam penyediaan anggaran sehingga tidak dapat memberikan besaran yang sesuai dengan keinginan masyarakat.b. Masyarakat tidak sepakat dalam menentukan harga ganti kerugian, beberapa sudah menerima 1:1 tetapi sebagian yang belum menerima menghendaki 1:3. Perbedaan tersebut dikhawatirkan akan menimbulkan permasalahan tersendiri jika dipenuhi.c. Sebagian masyarakat merasa dibohongi oleh KAWULA (Kerukunan Warga Untuk Pelebaran Jalan) yang menyepakati besarnya tanah pengganti sebesar 1:3 yang kenyataannya tidak ditepati.
Dijelaskan pula bahwa proses pengadaan tanah tidak sesuai dengan perundangan yang berlaku, misalnya pemberian ganti kerugian hanya berdasar pada Surat Perjanjian yang dibuat dibawah tangan antara Tim dengan pemilik tanah sehingga tidak memperoleh kata sepakat secara keseluruhan.
87
V. Pengadaan Tanah Untuk Kawasan Simpang Lima Gumul Kecamatan Gampengrejo, Kediri
Untuk meningkatkan kegiatan ekonomi di Kecamatan Gampengrejo perlu dirangsang dengan pembangunan pusat bisnis yang rencananya sebagai pusat wisata belanja dengan nama Trade Center Simpang Lima Gumul (TC SLG). Program Bupati Kediri tersebut tidak lain untuk memecah pusat kegiatan perekonomian yang ada di Kecamatan Pare.
Sebagai tahap awal proses pekerjaan tersebut adalah pembangunan jalan dan monumen Simpang Lima Gumul. Permasalahan muncul karena dalam kawasan pengembangan terdapat Showroom Produk Unggulan yaitu masalah umum tentang tidak sepakatnya jumlah ganti kerugian yang diberikan. Adapun jenis lahan yang terdampak adalah tanah pertanian, pemukiman dan tanah kas desa.
Pembangunan jalan yang terhambat karena tidak adanya kesepakatan dilakukan dengan merubah rencana untuk sementara waktu sehingga proyek dapat berjalan. Setelah selang sekian lama dibiarkan oleh Panitia Pengadaan Tanah dari 7 orang yang keberatan akhirnya 5 orang bersedia sedangkan 2 orang tetap tidak bersedia dengan alasan bahwa untuk pengurusan ijin usaha diperlukan biaya yang tidak sedikit dan rumit serta lokasi yang baru belum tentu memberikan keuntungan seperti yang terdahulu. Upaya pencabutan hak seperti yang ada di undang-undang tidak dilakukan karena tidak manusiawi dan tidak menghormati kepemilikan hak atas tanah terhadap seseorang sehingga jalur musyawarah selalu sebagau upaya penyelesaian.
VI. Pengadaan Tanah di Sektor Industri
Pembangunan kawasan industri dan infrastruktur pendukungnya memerlukan pengadaaan tanah, misalnya; dalam rangka mendukung program swasembada gula, berdasar perhitungan sementara saat ini diperlukan lahan seluas 300 ribu ha, yang hingga kmi masih belum diperoleh kepastian di mana lokasinya. Hal tersebut dalam rangka mengembangkan klaster industri terkait dengan pengembangan koridor ekonomi untuk percepatan pembangunan nasional.
Menteri Perindustrian M. S. Hidayat mengemukakan adanya sejumlah masalah yang timbul dalam pengadaan tanah, antara lain:a. Dalam bidang hukum sering terjadi tumpang tindih kepentingan antar sektor (industri dengan pertanian, kehutanan dengan pertambangan, pertanian dan kehutanan, dan sebagainya).b. Dalam hal harga tanah, kadang-kadang dengan ditetapkannya
88
peruntukan lokasi suatu proyek melalui keputusan bupati atau walikota, sering dimanfaatkan oleh spekulan tanah untuk menguasai sementara, yang kemudian akan dijual kembali dengan harga yang tinggi dan tidak wajar.c. Masalah pembebasan tanah masih kesulitan karena masyarakat sering menolak wilayahnya dijadikan lokasi pembangunan pabrik, karena secara psikologis takut kehilangan tanah atau memiliki nilai historis dan budaya, serta sering adanya provokasi dari pihak-pihak yang mencari keuntungan.d. Di sisi lain sering terjadi adanya ketidaksepakatan harga yang dituntut pemilik tanah dengan panitia pengadaan. Panitia mempunyai kecenderungan menggunakan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) sebagai acuan, sementara pemilik tanah menggunakan harga pasar, bahkan sering menuntut harga tiga atau empat kali lebih besar dari NJOP.
Kemenperin mengusulkan perlunya aturan atau ketentuan mengenai tata cara penghitungan ganti kerugian dan disosialisasikan kepada semua pihak, sehingga diperoleh transparansi tentang nilai ganti rugi yang diberikan.
Terkait dengan administrasi pertanahan beragamnya status penggunaan tanah oleh masyarakat seperti ada yang bersertifikat, ada yang menggunakan tanah negara dalam kurun waktu yang lama, menggunakan tanah milik adat, tanah wakaf, dipandang masih menyulitkan pengadaan tanah, karena akan makan waktu lama dalam membuktikan status tanah tersebut. Itulah sebabnya perlu dibuat aturan hukum yang lebih berkapasitas dan lebih adil dalam memberi ganti rugi untuk berbagai macam status penggunaan tanah tersebut.
Untuk tanah yang dikuasai lembaga atau instansi pemerintah perlu aturan atau ketentuan mengenai mekanisme pengadaan tanah (misal; di atas kawasan hutan dan di atas tanah yang bersinggungan dengan tanah aset milik negara/daerah dan tanah aset BUMN/D) sehingga soal perizinan pengadaan tanah tidak menjadi penghambat pembangunan di sektor industri.
VII. Pengadaan Tanah Untuk Proyek Infrastruktur
Faktor-faktor yang sering menjadi kendala pengadaan tanah untuk pembangunan diantaranya adalah soal penetapan ganti kerugian, penetapan ruang lingkup kepentingan umum, perencanaan pembangunan yang komprehensif, dan kepatuhan pada pelaksanaan prosedur, demikian menurut Direktur Paramadina Public Policy Institute (PPPI) Bima Priya Santosa dalam diskusi “Mencari Solusi Masalah Pertanahan, Mendorong Pembangunan Nasional” di Kampus Paramadina, Jakarta,18 Oktober 2011.
89
Kecilnya alokasi anggaran pemerintah untuk pembangunan infrastruktur serta ketidakjelasan peraturan pertanahan dan implementasinya di lapangan juga menjadi penyebab terhambatnya pembangunan infrastruktur. Perbaikan terhadap kebijakan, prosedur, dan praktik-praktik pengadaan tanah untuk pembangunan adalah langkah yang tepat. Pelaksanaan pembebasan tanah dapat dipermudah dengan dua pendekatan, yaitu dengan meningkatkan keberpihakan dan penghormatan terhadap pemilik hak atas dengan mengedepankan sosialisasi, negosiasi, dan pemberian kompensasi yang lebih komprehensif.
Pendekatan yang lain menurut Bima adalah melalui penguatan kelembagaan negara terhadap tanah masyarakat demi kepentingan umum, sehingga peran kuat negara diperlukan adalah dengan memperkuat kewenangan negara untuk mengambil tanah pada harga yang ditetapkan walaupun tanpa kerelaan pemilik tanah.
Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat ditarik beberapa kesimpulan antara lain :1. Keberhasilan proses pangadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum ditentukan oleh 3 aktor yang terlibat didalamnya, yaitu: Pemerintah sebagai regulator, Pemilik tanah sebagai penyedia tanah, Pihak Swasta sebagai pelaksana pembangunannya.2. Pangadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum lebih banyak dilakukan dengan cara pembebasan tanah yang mekanismenya diatur oleh undang-undang atau peraturan tertentu.3. Undang-undang dan peraturan yang dibuat pemerintah bertujuan untuk memastikan pengadaan tanah sesuai dengan tujuannya yakni untuk kepentingan umum dan agar tidak terjadi penyalahgunaan pengadaan tanah dengan dalih kepentingan umum.4. Sebagian besar permasalahan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum adalah tidak tercapainya kesepakatan mengenai harga ganti kerugian. Hal ini disebabkan karena adanya dua nilai jual tanah yang selalu tidak sama yaitu pemerintah berpijak pada NJOP (Nilai Jual Obyek Pajak) yang selalu dibawah harga pasar yang digunakan pijakan bagi pemilik tanah.5. Pada kasus tertentu pemilik tanah sering menuntut harga tiga atau empat kali lebih besar dari NJOP untuk ganti kerugian dikarenakan pertimbangan tertentu, misalnya; kekhawatiran memulai kehidupan atau membangun usaha ditempat yang baru, penyebab lainnya adalah adanya provokasi atau spekulan tanah.6. Meningkatkan keberpihakan dan penghormatan terhadap pemilik hak atas dengan mengedepankan sosialisasi, negosiasi, dan pemberian
90
kompensasi yang lebih komprehensif adalah salah satu jalan keluat yang ditawarkan.
Harapan Baru
Ganjalan berupa pembebasan lahan yang kerap mengganggu dan menghambat pembangunan untuk kepentingan umum telah diminimalkan dengan pengesahan Undang-Undang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum oleh DPR pada 16 Desember 2011.
Undang-undang itu jelas membuka banyak harapan. Sebagai contoh, UU itu akan memberikan kepastian hukum baik bagi masyarakat, pengusaha, maupun pemerintah. Warga pemilik tanah yang dibebaskan demi kepentingan publik akan memperoleh kompensasi wajar.
Begitu juga bagi kalangan dunia usaha, mereka bisa melakukan perhitungan bisnis lebih feasible dan reasonsible. Tanah yang dibebaskan akan ditangani tim penilai independen melalui sejumlah kriteria yang transparan, kredibel, dan akuntabel.
Perhatian perlu difokuskan dalam upaya mencari terobosan baru guna meminimalkan dampak negatif bagi rakyat yang diambil tanahnya, serta memaksimalkan dampak positif bagi masyarakat secara luas. Disinilah peran peraturan yang komprehensif dan aplikatif, prosedur yang sederhana, tranparan dan pasti, serta aparat yang berintegritas dan tidak pilih kasih memegang peran sangat penting.
Daftar Pustaka
Andrian S. 2007. Implementasi Prinsip Kepentingan Umum dalam Pengadaan Tanah untuk Pembangunan”., Sinar Grafika, JakartaAdams, D. (1994). Urban Planning and the Development Process. London: UCL Press.Ball, M., Lizieri C and Bryan D.M. (1998). The Economics of Commercial Property Markets. London:RoutledgeBuitelaar, E. (2003b). User rights regimes analysed. Proceeding of AESOP-ACSP Congress . Leuven.Djurdjani, (2009), “Suplai Tanah Untuk Pembangunan: Suatu Tinjauan Teoritis”, Prosiding Seminar Nasional: Peran Informasial Untuk Pembangunan Berkelnajutan, FIT ISI, SemarangEggertsson,T. (1995). Economic Perspective on Property Rights and the Economic of Institutions. In PalFoss (Ed) Economic Approaches to Organizations and Institutions. (pp.47-61). Aldershot:Dartmouth.
91
Fisher, P. (2005). The property development process. Case studies from Grainger Town. Property Management. Vol. 23 No. 3. 159-175.Fratmawati, D., (2006), “Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Di Semarang (Studi Kasus Pelebaran Jalan Raya Ngaliyan-Mijen)”, Tesis, Pascasarjana, Universitas DiponegoroGuerin, K. (2003). Property rights and Environmental Policy: A New Zealand Perspective. New Zealand Treasury Working Paper 03/02. New Zealand.Hamzah, A., (2006), “Aspek Yuridis Pelaksanaan Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum Setelah Keluarnya Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 (Studi Kasus Proyek Kwala Namu Kecamatan Pantai Labu dan Proyek Pelebaran Jalan Tanjung Morawa Di Desa Buntu Bedimbar Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang”, Tesis, Pascasarjana Program Studi Kenotariatan, Universitas Sumatra Utarahttp://bataviase.co.id/node/619457, dikunjungi pada 29 Desember 2011, pukul 14.45 WIBhttp://www.neraca.co.id/2011/10/18/tanah-jadi-kendala-klasik-proyek-infrastruktur/, dikunjungi pada 29 Desember 2011, pukul 21.40 WIBhttp://www.taputkab.go.id/page.php?news_id=1051, dikunjungi pada 30 Desember 2011, pukul 00.30 WIBIskandar, A.S., (2006), “ Pelaksanaan Pengadaan Tanah Untuk Jalan Lingkar Ambarawa Kabupaten Semarang”, Tesis, Pascasarjana, Universitas DiponegoroLeonardi, L., “Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum (Studi Mengenai Ganti Rugi Pengadaan Tanah Kanal (Flood Way) Sei Deli-Sei Percut Medan)”, Tesis, Pascasarjana Program Studi Kenotariatan, Universitas Sumatra UtaraOktavio, W.P., “Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Kawasan Simpang Lima Gumul Di Kecamatan Gampengrejo Kabupaten Kediri Propinsi Jawa Timur”, penelitia
92