HW dan emosional remaja
Transcript of HW dan emosional remaja
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Gerakan kepanduan Hizbul Wathan sebagai organisasi otonom,
mempunyai visi dan mengemban misi Muhammadiyah dalam pendidikan anak,
remaja, dan pemuda, sehingga mereka menjadi muslim yang sebenar-benarnya
dan siap menjadi kader Persyarikatan, Umat, dan Bangsa.
Kepanduan Hizbul Wathan adalah sistem pendidikan di luar keluarga dan
sekolah untuk anak, remaja, dan pemuda dilakukan di alam terbuka dengan
metode yang menarik, menyenangkan dan menantang, dalam rangka membentuk
warga negara yang berguna dan mandiri.
Dalam mewujudkan cita-cita di atas, pada tanggal 10 Sya’ban 1420 H
bertepatan dengan 18 November 1999 M, Persyarikatan Muhammadiyah
membangkitkan kembali Gerakan Kepanduan Hizbul Wathan, yang dalam seluruh
kegiatannya bersemboyan fastabiqul khairat (berlomba-lombalah dalam berbuat
kebaikan).
Seluruh kegiatan HW ini bertujuan untuk menggali agar semua pandunya
menjadi kreatif dan mandiri. Berdasarkan alasan inilah penyusun mencoba
menguraikan HW sebagai pilihan Kreativitas siswa.
“Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap
kepada - Nya. Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan! Di
mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari
kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu“ [Q.S.Al-
Baqarah (2):148].
Pendidikan adalah suatu usaha atau kegiatan yang dijalankan dengan
sengaja, teratur dan berencana dengan maksud mengubah atau mengembangkan
perilaku yang diinginkan. Sekolah sebagai lembaga formal merupakan sarana
dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan tersebut. Melalui sekolah, siswa
1
belajar berbagai macam hal. Dalam pendidikan formal, belajar menunjukkan
adanya perubahan yang sifatnya positif sehingga pada tahap akhir akan didapat
keterampilan, kecakapan dan pengetahuan baru. Hasil dari proses belajar tersebut
tercermin dalam prestasi belajarnya. Namun dalam upaya meraih prestasi belajar
yang memuaskan dibutuhkan proses belajar.
Proses belajar yang terjadi pada individu memang merupakan sesuatu
yang penting, karena melalui belajar individu mengenal lingkungannya dan
menyesuaikan diri dengan lingkungan disekitarnya. Menurut Irwanto (1997 :105)
belajar merupakan proses perubahan dari belum mampu menjadi mampu dan
terjadi dalam jangka waktu tertentu. Dengan belajar, siswa dapat mewujudkan
cita-cita yang diharapkan.
Belajar akan menghasilkan perubahan-perubahan dalam diri seseorang.
Untuk mengetahui sampai seberapa jauh perubahan yang terjadi, perlu adanya
penilaian. Begitu juga dengan yang terjadi pada seorang siswa yang mengikuti
suatu pendidikan selalu diadakan penilaian dari hasil belajarnya. Penilaian
terhadap hasil belajar seorang siswa untuk mengetahui sejauh mana telah
mencapai sasaran belajar inilah yang disebut sebagai prestasi belajar.
Proses belajar di sekolah adalah proses yang sifatnya kompleks dan
menyeluruh. Banyak orang yang berpendapat bahwa untuk meraih prestasi yang
tinggi dalam belajar, seseorang harus memiliki Intelligence Quotient (IQ) yang
tinggi, karena inteligensi merupakan bekal potensial yang akan memudahkan
dalam belajar dan pada gilirannya akan menghasilkan prestasi belajar yang
optimal. Menurut Binet dalam buku Winkel (1997:529) hakikat inteligensi adalah
kemampuan untuk menetapkan dan mempertahankan suatu tujuan, untuk
mengadakan penyesuaian dalam rangka mencapai tujuan itu, dan untuk menilai
keadaan diri secara kritis dan objektif.
Kenyataannya, dalam proses belajar mengajar di sekolah sering ditemukan
siswa yang tidak dapat meraih prestasi belajar yang setara dengan kemampuan
inteligensinya. Ada siswa yang mempunyai kemampuan inteligensi tinggi tetapi
memperoleh prestasi belajar yang relatif rendah, namun ada siswa yang walaupun
2
kemampuan inteligensinya relatif rendah, dapat meraih prestasi belajar yang
relatif tinggi. Itu sebabnya taraf inteligensi bukan merupakan satu-satunya faktor
yang menentukan keberhasilan seseorang, karena ada faktor lain yang
mempengaruhi. Menurut Goleman (2000 : 44), kecerdasan intelektual (IQ) hanya
menyumbang 20% bagi kesuksesan, sedangkan 80% adalah sumbangan faktor
kekuatan-kekuatan lain, diantaranya adalah kecerdasan emosional atau Emotional
Quotient (EQ) yakni kemampuan memotivasi diri sendiri, mengatasi frustasi,
mengontrol desakan hati, mengatur suasana hati (mood), berempati serta
kemampuan bekerja sama.
Dalam proses belajar siswa, kedua inteligensi itu sangat diperlukan. IQ
tidak dapat berfungsi dengan baik tanpa partisipasi penghayatan emosional
terhadap mata pelajaran yang disampaikan di sekolah. Namun biasanya kedua
inteligensi itu saling melengkapi. Keseimbangan antara IQ dan EQ merupakan
kunci keberhasilan belajar siswa di sekolah (Goleman, 2002). Pendidikan di
sekolah bukan hanya perlu mengembangkan rational intelligence yaitu model
pemahaman yang lazimnya dipahami siswa saja, melainkan juga perlu
mengembangkan emotional intelligence siswa .
Hasil beberapa penelitian di University of Vermont mengenai analisis
struktur neurologis otak manusia dan penelitian perilaku oleh LeDoux (1970)
menunjukkan bahwa dalam peristiwa penting kehidupan seseorang, EQ selalu
mendahului intelegensi rasional. EQ yang baik dapat menentukan keberhasilan
individu dalam prestasi belajar membangun kesuksesan karir, mengembangkan
hubungan suami-istri yang harmonis dan dapat mengurangi agresivitas, khususnya
dalam kalangan remaja (Goleman, 2002 : 17).
Memang harus diakui bahwa mereka yang memiliki IQ rendah dan
mengalami keterbelakangan mental akan mengalami kesulitan, bahkan mungkin
tidak mampu mengikuti pendidikan formal yang seharusnya sesuai dengan usia
mereka. Namun fenomena yang ada menunjukan bahwa tidak sedikit orang
dengan IQ tinggi yang berprestasi rendah, dan ada banyak orang dengan IQ
sedang yang dapat mengungguli prestasi belajar orang dengan IQ tinggi. Hal ini
3
menunjukan bahwa IQ tidak selalu dapat memperkirakan prestasi belajar
seseorang.
Kemunculan istilah kecerdasan emosional dalam pendidikan, bagi
sebagian orang mungkin dianggap sebagai jawaban atas kejanggalan tersebut.
Teori Daniel Goleman, sesuai dengan judul bukunya, memberikan definisi baru
terhadap kata cerdas. Walaupun EQ merupakan hal yang relatif baru dibandingkan
IQ, namun beberapa penelitian telah mengisyaratkan bahwa kecerdasan emosional
tidak kalah penting dengan IQ (Goleman, 2002:44).
Menurut Goleman (2002 : 512), kecerdasan emosional adalah kemampuan
seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage our
emotional life with intelligence); menjaga keselarasan emosi dan
pengungkapannya (the appropriateness of emotion and its expression) melalui
keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan
keterampilan sosial.
Menurut Goleman, khusus pada orang-orang yang murni hanya memiliki
kecerdasan akademis tinggi, mereka cenderung memiliki rasa gelisah yang tidak
beralasan, terlalu kritis, rewel, cenderung menarik diri, terkesan dingin dan
cenderung sulit mengekspresikan kekesalan dan kemarahannya secara tepat. Bila
didukung dengan rendahnya taraf kecerdasan emosionalnya, maka orang-orang
seperti ini sering menjadi sumber masalah. Karena sifat-sifat di atas, bila
seseorang memiliki IQ tinggi namun taraf kecerdasan emosionalnya rendah maka
cenderung akan terlihat sebagai orang yang keras kepala, sulit bergaul, mudah
frustrasi, tidak mudah percaya kepada orang lain, tidak peka dengan kondisi
lingkungan dan cenderung putus asa bila mengalami stress. Kondisi sebaliknya,
dialami oleh orang-orang yang memiliki taraf IQ rata-rata namun memiliki
kecerdasan emosional yang tinggi.
4
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan yang digunakan dalam penyusunan makalah ini penyusun dasarkan
pada beberapa hal berikut ini;
1. Apa pengertian dari Hizbul Wathan?
2. Apa arti, identitas dan ciri dari Hizbul Wathan?
3. Apa yang dimaksuud dengan Kecerdasan Emosional?
4. Apa saja faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional?
5. Apa yang dimaksud dengan remaja?
6. Apa hubungan HW dengan kecerdasan emosional Remaja?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk;
1 Mengetahui pengertian dari Hizbul Wathan
2 Mengetahui arti, identitas dan ciri dari Hizbul Wathan
3 Memahami tentang Kecerdasan Emosional
4 Mengetahui faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional
5 Mengetahui tentang remaja
6. Mengetahui hubungan HW dengan kecerdasan emosional Remaja
1.4 Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam pembuatan makalah ini adalah dengan cara
mengkaji teori yang berkaitan dengan materi yang dibahas dalam makalah ini.
Adapun yang dijadikan sumber rujukan dalam pembuatannya yaitu buku-buku
tentang Hizbul Wathan serta mencari informasi di internet tentang Hizbul Wathan.
1.5 Sistematika Penelitian
5
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan Penelitian
1.4 Metode Penelitian
1.5 Sistematika Penelitian
BAB II ISI
2.1 Dasar – dasar Teoritis Hizbul Wathan dan Kecerdasan Emosional
Remaja
2.2 Uraian atau analisis masalah
2.3 Hasil Penelitian
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran-saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB II
6
ISI
2.1 Dasar – dasar Teoritis Hizbul Wathan dan Kecerdasan Emosional
Remaja
2.1.1. Dasar Teoritis Hizbul Wathan
1. Pengertian HW
Gerakan Kepanduan Hizbul Wathan (disingkat HW) adalah salah satu
organisasi otonom (ortom) di lingkungan Persyarikatan Muhammadiyah. Ortom
Muhammadiyah lainnya adalah: 'Aisyiyah, Nasyiatul 'Aisyiyah (NA), Pemuda
Muhammadiyah (PM), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Tapak Suci
Putera Muhammadiyah, dan Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM).
HW didirikan pertama kali di Yogyakarta pada 1336 H (1918 M) atas
prakarsa KH AHMAD DAHLAN, yang merupakan pendiri Muhammadiyah.
Prakarsa itu timbul saat beliau selesai memberi pengajian di Solo, dan melihat
latihan Pandu di alun-alun Mangkunegaran. Gerakan ini kemudian meleburkan
diri ke dalam Gerakan Pramuka pada 1961, dan dibangkitkan kembali oleh
Pimpinan Pusat Muhammadiyah dengan SK Nomor 92/SK-PP/VI-B/1.b/1999
tanggal 10 Sya'ban 1420 H (18 November 1999 M) dan dipertegas dengan SK
Nomor 10/Kep/I.O/B/2003 tanggal 1 Dzulhijjah 1423 H (2 Februari 2003).
HW berasaskan Islam. HW didirikan untuk menyiapkan dan membina
anak, remaja, dan pemuda yang memiliki aqidah, mental dan fisik, berilmu dan
berteknologi serta berakhlak karimah dengan tujuan terwujudnya pribadi muslim
yang sebenar-benarnya dan siap menjadi kader persyarikatan, umat, dan bangsa.
2. Sifat, Identitas, dan Ciri Khas HW
a. Sifat HW
HW adalah sistem pendidikan untuk anak, remaja, dan pemuda di luar
lingkungan keluarga dan sekolah
bersifat nasional, artinya ruang lingkup usaha HW meliputi seluruh wilayah
Negara Kesatuan Repulik Indonesia.
7
Bersifat terbuka, artinya keanggotaan HW terbuka untuk seluruh lapisan
masyarakat, tanpa membedakan gender, usia, profesi, atau latar belakang
pendidikan. Penggolongan keanggotaan HW menurut usia hanyalah untuk
membedakan status sebagai peserta didik atau anggota dewasa (pembina)
Bersifat sukarela, artinya dasar seseorang menjadi anggota HW adalah suka
dan rela, tanpa paksaan atau tekanan orang lain.
Tidak berorientasi pada partai politik, artinya secara organisatoris HW tidak
berafiliasi kepada salah satu partai politik dan HW tidak melakukan aktivitas
politik praktis. Induk organisasi HW hanyalah Persyarikatan
Muhammadiyah.
b. Identitas HW
HW adalah kepanduan islami, artinya pendidikan kepanduan yang dilakukan
oleh HW adalah untuk menanamkan aqidah Islam dan membentuk peserta
didik berakhlak mulia.
HW adalah organisasi otonom Muhammadiyah yang tugas utamanya
mendidik anak, remaja, dan pemuda dengan sistem kepanduan
c. Ciri Khas HW
Ciri khas HW adalah Prinsip Dasar Kepanduan dan Metode Kepanduan, yang
harus diterapkan dalam setiap kegiatan. Pelaksanaannya disesuaikan
kepentingan, kebutuhan, situasi, kondisi masyarakat, serta kepentingan
Persyarikatan Muhammadiyah.
Prinsip Dasar Kepanduan adalah
pengamalan akidah Islamiyah;
pembentukan dan pembinaan akhlak mulia menurut ajaran Islam;
pengamalan kode kehormatan pandu.
Metode Kepanduan
pemberdayaan anak didik lewat sistem beregu;
kegiatan dilakukan di alam terbuka;
pendidikan dengan metode yang menarik, menyenangkan, dan menantang;
penggunaan sistem kenaikan tingkat dan tanda kecakapan;
8
sistem satuan dan kegiatan terpisah antara pandu putera dan pandu puteri.
1. Kode Kehormatan
Kode kehormatan merupakan janji, semangat, dan akhlak Pandu HW baik
dalam kehidupan pribadi maupun bermasyarakat. Kode kehormatan Pandu HW
terdiri dari:
Janji Pandu HW
Diucapkan secara sukarela oleh calon anggota ketika dilantik menjadi
anggota dan merupakan komitmen awal untuk melibatkan diri dalam
menetapi dan menepati janji tersebut. Pengucapan janji selalu diawali
dengan basmalah disambung dua kalimat syahadat berikut artinya.
Undang-undang Pandu HW
Merupakan ketentuan moral untuk dijadikan kebiasaan diri dalam
bersikap dan berperilaku sebagai warga masyarakat yang berakhlak
mulia.
Kode Kehormatan Pandu HW diucapkan saat pelantikan anggota, pelatihan,
dan kegiatan lain yang diatur dalam Buku Peraturan Dasar.
Kode Kehormatan bagi Pandu Athfal
Janji Athfal
Mengingat harga perkataan saya, maka saya berjanji dengan sungguh-
sungguh :
Satu, setia mengerjakan kewajiban saya terhadap Allah.
Dua, selalu menurut Undang-undang Athfal dan setiap hari berbuat
kebajikan.
Undang-Undang Athfal
Satu, Athfal itu selalu setia dan berbakti pada ayah dan bunda.
Dua, Athfal itu selalu berani dan teguh hati.
9
Kode Kehormatan bagi Pandu Pengenal, Pandu Penghela, dan Penuntun
Janji Pandu HW
Mengingat harga perkataan saya, maka saya berjanji dengan sungguh-
sungguh:
Satu, setia mengerjakan kewajiban saya terhadap Allah, Undang-Undang,
dan Tanah Air.
Dua, menolong siapa saja semampu saya.
Tiga, setia menepati Undang-undang Pandu HW.
Undang-undang Pandu HW
Satu, Hizbul Wathan selamanya dapat dipercaya.
Dua, Hizbul Wathan setia dan teguh hati.
Tiga, Hizbul Wathan siap menolong dan wajib berjasa.
Empat, Hizbul Wathan cinta perdamaian persaudaraan.
Lima, Hizbul Wathan sopan santun dan perwira.
Enam, Hizbul Wathan menyayangi semua makhluk.
Tujuh, Hizbul Wathan siap melaksanakan perintah dengan ikhlas.
Delapan, Hizbul Wathan sabar dan bermuka manis.
Sembilan, Hizbul Wathan hemat dan cermat.
Sepuluh, Hizbul Wathan suci dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan.
2.1.2 Mengenal Kecerdasan Emosional Remaja
1. Pengertian emosi
Kata emosi berasal dari bahasa latin, yaitu emovere, yang berarti bergerak
menjauh. Arti kata ini menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak merupakan
hal mutlak dalam emosi. Menurut Daniel Goleman (2002 : 411) emosi merujuk
pada suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis
dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Emosi pada dasarnya adalah
dorongan untuk bertindak. Biasanya emosi merupakan reaksi terhadap rangsangan
10
dari luar dan dalam diri individu. Sebagai contoh emosi gembira mendorong
perubahan suasana hati seseorang, sehingga secara fisiologi terlihat tertawa, emosi
sedih mendorong seseorang berperilaku menangis.
Emosi berkaitan dengan perubahan fisiologis dan berbagai pikiran. Jadi,
emosi merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan manusia, karena
emosi dapat merupakan motivator perilaku dalam arti meningkatkan, tapi juga
dapat mengganggu perilaku intensional manusia. (Prawitasari,1995)
Beberapa tokoh mengemukakan tentang macam-macam emosi, antara lain
Descrates. Menurut Descrates, emosi terbagi atas : Desire (hasrat), hate (benci),
Sorrow (sedih/duka), Wonder (heran), Love (cinta) dan Joy (kegembiraan).
Sedangkan JB Watson mengemukakan tiga macam emosi, yaitu : fear (ketakutan),
Rage(kemarahan), Love (cinta). Daniel Goleman (2002 : 411) mengemukakan
beberapa macam emosi yang tidak berbeda jauh dengan kedua tokoh di atas, yaitu
:
a. Amarah : beringas, mengamuk, benci, jengkel, kesal hati
b. Kesedihan : pedih, sedih, muram, suram, melankolis, mengasihi diri,
putus asa
c. Rasa takut : cemas, gugup, khawatir, was-was, perasaan takut sekali,
waspada, tidak tenang, ngeri
d. Kenikmatan : bahagia, gembira, riang, puas, riang, senang, terhibur,
bangga
e. Cinta : penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati,
rasa dekat, bakti, hormat, kemesraan, kasih
11
f. Terkejut : terkesiap, terkejut
g. Jengkel : hina, jijik, muak, mual, tidak suka
h. malu : malu hati, kesal
Seperti yang telah diuraikan diatas, bahwa semua emosi menurut
Goleman pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak. Jadi berbagai macam
emosi itu mendorong individu untuk memberikan respon atau bertingkah laku
terhadap stimulus yang ada. Dalam the Nicomachea Ethics pembahasan
Aristoteles secara filsafat tentang kebajikan, karakter dan hidup yang benar,
tantangannya adalah menguasai kehidupan emosional kita dengan kecerdasan.
Nafsu, apabila dilatih dengan baik akan memiliki kebijaksanaan; nafsu
membimbing pemikiran, nilai, dan kelangsungan hidup kita. Tetapi, nafsu dapat
dengan mudah menjadi tak terkendalikan, dan hal itu seringkali terjadi. Menurut
Aristoteles, masalahnya bukanlah mengenai emosionalitas, melainkan mengenai
keselarasan antara emosi dan cara mengekspresikan (Goleman, 2002 : xvi).
Menurut Mayer (Goleman, 2002 : 65) orang cenderung menganut gaya-
gaya khas dalam menangani dan mengatasi emosi mereka, yaitu : sadar diri,
tenggelam dalam permasalahan, dan pasrah. Dengan melihat keadaan itu maka
penting bagi setiap individu memiliki kecerdasan emosional agar menjadikan
hidup lebih bermakna dan tidak menjadikan hidup yang di jalani menjadi sia-sia.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa emosi adalah suatu
perasaan (afek) yang mendorong individu untuk merespon atau bertingkah laku
terhadap stimulus, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar dirinya.
12
2. Pengertian kecerdasan emosional
Istilah “kecerdasan emosional” pertama kali dilontarkan pada tahun 1990
oleh psikolog Peter Salovey dari Harvard University dan John Mayer dari
University of New Hampshire untuk menerangkan kualitas-kualitas emosional
yang tampaknya penting bagi keberhasilan.
Salovey dan Mayer mendefinisikan kecerdasan emosional atau yang sering
disebut EQ sebagai :
“himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan sosial yang melibatkan kemampuan pada orang lain, memilah-milah semuanya dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan.” (Shapiro, 1998:8).
Kecerdasan emosional sangat dipengaruhi oleh lingkungan, tidak bersifat
menetap, dapat berubah-ubah setiap saat. Untuk itu peranan lingkungan terutama
orang tua pada masa kanak-kanak sangat mempengaruhi dalam pembentukan
kecerdasan emosional.
Keterampilan EQ bukanlah lawan keterampilan IQ atau keterampilan
kognitif, namun keduanya berinteraksi secara dinamis, baik pada tingkatan
konseptual maupun di dunia nyata. Selain itu, EQ tidak begitu dipengaruhi oleh
faktor keturunan. (Shapiro, 1998-10).
Sebuah model pelopor lain yentang kecerdasan emosional diajukan
oleh Bar-On pada tahun 1992 seorang ahli psikologi Israel, yang mendefinisikan
kecerdasan emosional sebagai serangkaian kemampuan pribadi, emosi dan sosial
yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil dalam mengatasi
tututan dan tekanan lingkungan (Goleman, 2000 :180).
13
Gardner dalam bukunya yang berjudul Frame Of Mind (Goleman, 2000 :
50-53) mengatakan bahwa bukan hanya satu jenis kecerdasan yang monolitik
yang penting untuk meraih sukses dalam kehidupan, melainkan ada spektrum
kecerdasan yang lebar dengan tujuh varietas utama yaitu linguistik,
matematika/logika, spasial, kinestetik, musik, interpersonal dan intrapersonal.
Kecerdasan ini dinamakan oleh Gardner sebagai kecerdasan pribadi yang oleh
Daniel Goleman disebut sebagai kecerdasan emosional.
Menurut Gardner, kecerdasan pribadi terdiri dari :”kecerdasan antar
pribadi yaitu kemampuan untuk memahami orang lain, apa yang memotivasi
mereka, bagaimana mereka bekerja, bagaimana bekerja bahu membahu dengan
kecerdasan. Sedangkan kecerdasan intra pribadi adalah kemampuan yang
korelatif, tetapi terarah ke dalam diri. Kemampuan tersebut adalah kemampuan
membentuk suatu model diri sendiri yang teliti dan mengacu pada diri serta
kemampuan untuk menggunakan modal tadi sebagai alat untuk menempuh
kehidupan secara efektif.” (Goleman, 2002 : 52).
Dalam rumusan lain, Gardner menyatakan bahwa inti kecerdasan antar
pribadi itu mencakup “kemampuan untuk membedakan dan menanggapi dengan
tepat suasana hati, temperamen, motivasi dan hasrat orang lain.” Dalam
kecerdasan antar pribadi yang merupakan kunci menuju pengetahuan diri, ia
mencantumkan “akses menuju perasaan-perasaan diri seseorang dan kemampuan
untuk membedakan perasaan-perasaan tersebut serta memanfaatkannya untuk
menuntun tingkah laku”. (Goleman, 2002 : 53).
Berdasarkan kecerdasan yang dinyatakan oleh Gardner tersebut, Salovey
(Goleman, 200:57) memilih kecerdasan interpersonal dan kecerdasan
14
intrapersonal untuk dijadikan sebagai dasar untuk mengungkap kecerdasan
emosional pada diri individu. Menurutnya kecerdasan emosional adalah
kemampuan seseorang untuk mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi
diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati) dan kemampuan untuk membina
hubungan (kerjasama) dengan orang lain.
Menurut Goleman (2002 : 512), kecerdasan emosional adalah kemampuan
seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage our
emotional life with intelligence); menjaga keselarasan emosi dan
pengungkapannya (the appropriateness of emotion and its expression) melalui
keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan
keterampilan sosial.
Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan kecerdasan emosional adalah
kemampuan siswa untuk mengenali emosi diri, mengelola emosi diri, memotivasi
diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati) dan kemampuan untuk membina
hubungan (kerjasama) dengan orang lain.
3. Faktor Kecerdasan Emosional
Goleman mengutip Salovey (2002:58-59) menempatkan menempatkan
kecerdasan pribadi Gardner dalam definisi dasar tentang kecerdasan emosional
yang dicetuskannya dan memperluas kemapuan tersebut menjadi lima
kemampuan utama, yaitu :
a. Mengenali Emosi Diri
Mengenali emosi diri sendiri merupakan suatu kemampuan untuk mengenali
perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Kemampuan ini merupakan dasar dari
15
kecerdasan emosional, para ahli psikologi menyebutkan kesadaran diri sebagai
metamood, yakni kesadaran seseorang akan emosinya sendiri. Menurut Mayer
(Goleman, 2002 : 64) kesadaran diri adalah waspada terhadap suasana hati
maupun pikiran tentang suasana hati, bila kurang waspada maka individu
menjadi mudah larut dalam aliran emosi dan dikuasai oleh emosi. Kesadaran
diri memang belum menjamin penguasaan emosi, namun merupakan salah
satu prasyarat penting untuk mengendalikan emosi sehingga individu mudah
menguasai emosi.
b. Mengelola Emosi
Mengelola emosi merupakan kemampuan individu dalam menangani
perasaan agar dapat terungkap dengan tepat atau selaras, sehingga tercapai
keseimbangan dalam diri individu. Menjaga agar emosi yang merisaukan tetap
terkendali merupakan kunci menuju kesejahteraan emosi. Emosi berlebihan,
yang meningkat dengan intensitas terlampau lama akan mengoyak kestabilan
kita (Goleman, 2002 : 77-78). Kemampuan ini mencakup kemampuan untuk
menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan atau
ketersinggungan dan akibat-akibat yang ditimbulkannya serta kemampuan
untuk bangkit dari perasaan-perasaan yang menekan.
c. Memotivasi Diri Sendiri
Presatasi harus dilalui dengan dimilikinya motivasi dalam diri individu, yang
berarti memiliki ketekunan untuk menahan diri terhadap kepuasan dan
mengendalikan dorongan hati, serta mempunyai perasaan motivasi yang
positif, yaitu antusianisme, gairah, optimis dan keyakinan diri.
16
d. Mengenali Emosi Orang Lain
Kemampuan untuk mengenali emosi orang lain disebut juga empati. Menurut
Goleman (2002 :57) kemampuan seseorang untuk mengenali orang lain atau
peduli, menunjukkan kemampuan empati seseorang. Individu yang memiliki
kemampuan empati lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang
tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan orang lain
sehingga ia lebih mampu menerima sudut pandang orang lain, peka terhadap
perasaan orang lain dan lebih mampu untuk mendengarkan orang lain.
Rosenthal dalam penelitiannya menunjukkan bahwa orang-orang yang
mampu membaca perasaan dan isyarat non verbal lebih mampu menyesuiakan
diri secara emosional, lebih populer, lebih mudah beraul, dan lebih peka
(Goleman, 2002 : 136). Nowicki, ahli psikologi menjelaskan bahwa anak-anak
yang tidak mampu membaca atau mengungkapkan emosi dengan baik akan
terus menerus merasa frustasi (Goleman, 2002 : 172). Seseorang yang mampu
membaca emosi orang lain juga memiliki kesadaran diri yang tinggi. Semakin
mampu terbuka pada emosinya sendiri, mampu mengenal dan mengakui
emosinya sendiri, maka orang tersebut mempunyai kemampuan untuk
membaca perasaan orang lain.
e. Membina Hubungan
Kemampuan dalam membina hubungan merupakan suatu keterampilan yang
menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan antar pribadi
(Goleman, 2002 : 59). Keterampilan dalam berkomunikasi merupakan
kemampuan dasar dalam keberhasilan membina hubungan. Individu sulit
17
untuk mendapatkan apa yang diinginkannya dan sulit juga memahami
keinginan serta kemauan orang lain.
Orang-orang yang hebat dalam keterampilan membina hubungan ini akan
sukses dalam bidang apapun. Orang berhasil dalam pergaulan karena mampu
berkomunikasi dengan lancar pada orang lain. Orang-orang ini populer dalam
lingkungannya dan menjadi teman yang menyenangkan karena
kemampuannya berkomunikasi (Goleman, 2002 :59). Ramah tamah, baik hati,
hormat dan disukai orang lain dapat dijadikan petunjuk positif bagaimana
siswa mampu membina hubungan dengan orang lain. Sejauhmana kepribadian
siswa berkembang dilihat dari banyaknya hubungan interpersonal yang
dilakukannya.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis mengambil komponen-
komponen utama dan prinsip-prinsip dasar dari kecerdasan emosional sebagai
faktor untuk mengembangkan instrumen kecerdasan emosional.
2.1.3 Remaja
Remaja berasal dari kata latin adolensence yang berarti tumbuh atau
tumbuh menjadi dewasa. Istilah adolensence mempunyai arti yang lebih luas lagi
yang mencakup kematangan mental, emosional sosial dan fisik (Hurlock, 1992).
Remaja sebenarnya tidak mempunyai tempat yang jelas karena tidak termasuk
golongan anak tetapi tidak juga golongan dewasa atau tua. Seperti yang
dikemukakan oleh Calon (dalam Monks, dkk 1994) bahwa masa remaja
menunjukkan dengan jelas sifat transisi atau peralihan karena remaja belum
memperoleh status dewasa dan tidak lagi memiliki status anak. Menurut Sri
Rumini & Siti Sundari (2004: 53) masa remaja adalah peralihan dari masa anak
dengan masa dewasa yang mengalami perkembangan semua aspek/ fungsi untuk
memasuki masa dewasa. Masa remaja berlangsung antara umur 12 tahun sampai
18
dengan 21 tahun bagi wanita dan 13 tahun sampai dengan 22 tahun bagi pria.
Sedangkan menurut Zakiah Darajat (1990: 23) remaja adalah:
2.2 Uraian atau Analisis Masalah
Pandu HW dalam Membangun Kecerdasan Emosional Remaja
Seorang ibu, pebisnis, bercerita dengan sedih saat mengikuti kursus
kecerdasan emosional kami di Jakarta. "Pak Anthony, saya merasa ngeri dengan
anak saya sendiri". "Mengapa? Memangnya, anak Anda kayak monster?"
Si ibu itu tersenyum getir dan menjawab, "Bukan begitu, Pak. Begini. Awalnya
saya dan suami begitu bersyukur karena anak saya sangat pintar dan sangat cepat
menangkap apa pun yang diajarkan.
Namun sekarang, saya mulai takut karena dia lebih senang di rumah, dan
tidak mau ke manapun." Saya pun menyela, "Lho, sementara banyak orangtua
bingung karena anaknya keluyuran melulu, malahan Anda bingung dengan anak
Anda yang di rumah melulu".
Si ibu itu pun menyela, "Iya ya Pak. Jadi serba- salah. Anak keluyuran,
bingung. Akan tetapi kebanyakan di rumah, juga bingung. Namun, masalah saya
lebih dari itu. Saya lihat anak saya ini agak anti-sosial. Dia sama sekali tidak mau
bermain. Misalkan kalau sepupunya datang. Malahan dicuekin. Di sekolah pun,
gurunya pernah prihatin karena anak saya cenderung egois. Saya lihat semua
mainannya dan hobinya yang jenis solitair, yang main sendirian. Apakah anak
saya nggak mengalami gangguan?
Pada kejadian yang lain, seorang bapak merasa sedih dengan anak
remajanya. Pasalnya, putranya ini mengambil uang sekolah untuk dipakai traktir
teman-teman dan pacarnya. Enam bulan uang sekolah tidak disetorkan ke sekolah,
tetapi dipakainya sendiri.
Selama ini, anak ini berpikir bisa berkelit dengan berbagai alasan hingga
akhirnya sekolah menagih kepada si bapak tersebut yang terkaget-kaget.
Masalahnya, si bapak tersebut merasa sudah memberikan uang sekolah tersebut
lewat anaknya.
Saat dikonfirmasi, si anak remaja itu hanya bisa menangis sejadi-jadinya.
Si bapak ini begitu kecewa, bagaimana anak yang tergolong pintar ini bisa begitu
19
konyol berpikir bahwa tidak akan ketahuan dengan apa yang dilakukannya?
a. Kecerdasan emosional
Menjelang camp inspirasional kecerdasan emosional bagi kaum muda
yang akan kami adakan pada musim liburan Juli tahun ini, kami menerima banyak
sekali e-mail sejenis di atas yang menanyakan langkah-langkah penanganan bagi
para remaja.
Ada orangtua yang begitu bingungnya, sampai-sampai tidak tahu lagi apa
yang mesti mereka lakukan dengan anak mereka. Sebagian berharap dengan
mengikuti berbagai kursus dan pelatihan, anak mereka bisa berubah.
Memang, kita tidak berharap bahwa anak-anak remaja bisa berubah dalam sekejab
setelah pelatihan beberapa hari. Namun, optimistisnya, setelah dibekali dengan
berbagai metode dan cara, para remaja menjadi lebih siap memahami dirinya dan
berhadapan dengan dunia luar.
Itulah sebabnya, dalam berbagai pelatihan dan workshop kecerdasan
emosional bagi para remaja, penekanannya dilakukan pada empat tangga yang
penting untuk membangun kecerdasan emosional para remaja dengan model EQM
yang saya kembangkan kita yakni Awareness, Acceptance, Affection, dan
Affirmation.
b. Emotional awareness
Sebenarnya, saat ini ada banyak sekali alat-alat assessment psikologis yang
bisa dipakai sebagai alat bantu potret diri untuk para remaja kita. Dari hasil potret
ini, dapat dibicarakan mengenai perilaku serta kebiasaan mereka.
Seperti pada kasus pertama yang digambarkan di atas, bisa jadi anak tersebut
sebenarnya tergolong introvert dan sebenarnya tidaklah keliru amat kalau bisa
diarahkan.
Toh Bill Gates yang terkenal pun, dikatakan awalnya adalah pribadi yang
intorvert. Hanya saja, para remaja ini perlu didampingi untuk mengarahkan
perilaku mereka sehingga tidak berkembang menjadi antisosial.
Perlu seseorang dewasa yang bisa menjadi pegangannya, meski awalnya adalah
20
penolakan dari remaja itu. Misalkan saja seorang bapak bahwa "Kini, anak remaja
saya seolah-olah tidak membutuhkan saya lagi".
Akan tetapi kenyataannya justru menunjukkan bahwa anaknya sebenarnya
berpendapat lain. "Kami memang ingin independen, tapi kami sadar, justru kami
haus untuk didampingi".
Pendampingan yang juga penting di bagian awareness ini adalah orang tua
mengajarkan mengenai pilihan serta konsekuensinya. Para remaja perlu belajar
mengenai prinsip 'mengangkat ujung tongkat yang lain'.
Prinsip ini pernah diucapkan oleh Stephen R. Covey bahwa, "Kita bisa
memilih mau mengangkat tongkat yang mana pun. Namun setelah memilihnya,
kita tidak bisa mencegah bahwa selalu ada ujung lain dari tongkat yang akan ikut
terangkat".
Bahasa sederhananya, kita bisa membuat pilihan, tetapi setiap pilihan pasti
ada konsekuensinya. Seperti pada kasus kita, si remaja bisa memilih untuk tidak
membayarkan uang sekolahnya, tetapi akhirnya dia akan berhadapan dengan suatu
konsekuensi.
Konsekuensinya adalah ketahuan dan mungkin dihukum berat. Begitu pun
pada saat remaja ditawarkan pada pilihan seperti alkohol, narkoba, dll. Mereka
perlu dibekali bahwa mereka memiliki kekuatan pada saat 'memilih', tetapi
mereka tidak bisa lagi mencegah adanya konsekuensi pada saat pilihan sudah
dijatuhkan. Inilah hukum alam. Celakanya, banyak rekan muda kita ini terlalu
berpikir 'kesenangan sesaat' dan lupa akan adanya konsekuensi-konsekuensi.
c. Emotional acceptance
Krisis identitas terbesar pada kaum remaja adalah tatkala mereka merasa
kurang oke dengan dirinya dan mulai banyak membanding-bandingkan dengan
orang lain. Itulah sebabnya, dikatakan oleh hasil survei bahwa kebanyakan fan
yang menggandrungi pemusik atau artis/aktor biasanya berada pada usia-usia ini.
Intinya, di tahapan ini banyak kaum muda yang setelah menyadari hidupnya,
justru merasa kurang oke.
21
Mereka mengadopsi identitas. Bayangkan kalau identitas yang diadopsi ini
keliru! Itulah sebabnya, di tahapan ini pelajaran terpenting bagi remaja adalah
berdamai serta menerima diri mereka.
Pelajaran self esteem (harga diri) adalah dasar dari membangun potensi
mereka. Sebenarnya, kalau self esteem mereka bisa dipupuk sejak awal, potensi
mereka juga akan keluar lebih cepat!
d. Emotional affection
Pelajaran menjadi mandiri, memang penting bagi para remaja kita. Namun,
terlalu mandiri juga akan menjerumuskan mereka menjadi individu yang terlalu
egois serta tidak peduli dengan orang lain.
Karena itulah, semakin cepat mereka menyadari pentingnya networking,
semakin cepat remaja ini bisa membangun pondasi interpersonal skills yang akan
berguna kelak pada masa depannya.
Membangun 'affection' adalah penting dengan melibatkan diri dalam
berbagai kegiatan dan aktivitas yang bersinggungan dengan orang lain.
Sebenarnya, di sinilah dasar-dasar kepemimpinan tehadap orang lain dipupuk
sejak dini.
Pelajaran bergesekan, dan konflik dengan orang lain adalah pelajaran-
pelajaran penting yang berguna bagi para remaja. Saat mereka mampu mengatasi
konflik, masalah dengan orang lain, akan memupuk keyakinan diri yang semakin
tinggi dalam berinteraksi dengan orang lain.
Seorang remaja 'tercerahkan' menggambarkan dengan bagus dalam
diarynya tatkala ia mengatakan, "Awalnya aku merasa tidak terlalu butuh orang
lain. Aku pikir aku bisa usahakan semua sendirian. Tapi, aku ternyata bisa belajar
banyak dari teman-temanku, terutama bisa saling tukar informasi. Sebenarnya,
asyik juga punya teman yang sejalan. Tidak semua teman menjerumuskan kok,
asal bisa pilih teman".
e. Emotional affirmation
Pada bagian terakhir ini, remaja belajar untuk bisa membangun dan
menyemangati dirinya tatkala jatuh, berproblem dan gagal. Sangatlah penting
22
bahwa remaja berlatih untuk mengarahkan energi kehidupan yang positif. Jika
tidak, energi tersebut bisa dipakai untuk merugikan dirinya sendiri ataupun
dengan merugikan orang lain.
Berbagai kasus penembakan oleh remaja di Amerika adalah contoh
pengarahan energi yang keliru. Sebenarnya, untuk pengarahan energi ini dimulai
dari hal yang sederhana yakni self talk yang terjadi pada diri internal remaja ini
saat mengalami peristiwa yang tidak menyenangkan. Di sinilah, pentingnya kaum
muda kita didampingi untuk belajar membuat self talk alternatif yang positif.
Akhirnya, sebagai orangtua yang sibuk, mestinya kita semakin menyadari
bahwa kenakalan para remaja kita sebenarnya adalah upaya teriakan minta tolong
dari remaja untuk didampingi.
2.3 Hasil Penelitian
Berdasarkan dari latar belakang penelitian ini dan dari teori yang
digunakan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara hizbul wathan dan
kecerdasan emosional remaja, maka dapat dibuktikan bahwa ada hubungan antara
kecerdasan emosional dengan hizbul wathan.
Sebagai mana yang terdapat dalam sifat-sifat dan dasar-dasar Hizbul
Wathan bahwa dengan adanya kepanduan ini seruruh siswa akan dibina untuk bisa
mencapai tingkat kesetabilan emosional (keimanan kepada tuhan yang maha esa).
BAB III
23
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Hizbul Wathan sebagai gerakan kepanduan memiliki fungsi sebagai sarana
untuk melatih dan mengolah potensi pandunya. Adapun yang dilatih salah satunya
ialah kecerdasan emosional siswa sebagai remaja yang berjiwa muda. Keberadaan
Hizbul Wathan ini akan menjadi sangat penting ketika seorang siswa sudah
merasa perlu adanya suatu wadah yang akan bisa mempasilitasi dirinya untuk bisa
mengolah seluruh potensi yang ada dalam dirinya.
3.2 Saran
Selanjutnya sebagai penutup dalam penyusunan makalah ini penyusun
mengingatkan bahwa selama mengikuti kegiatan Hizbul Wathan harus bisa
merasakan adanya perubahan positif terhadap emosinya. Indikator yang harus
dicapai ialah; adanya kemandirian dalam segalahal, setabil emosi ketika
menghadapi seluruh masalah dan rintangan, istiqomah dalam menjalankan ibadah
kepada tuhannya (Allah SWT).
Kepada guru pembimbing saya harapkan memberikan keringanan kepada
siswa dalam pembuatan tugas – tugas.
Diharapkan bapak/ibu dapat memaklumi apabila dalam pembuatan
makalah ini ada beberapa kesalahan maupun ketidak lengkapan mengenai
materi yang telah ditugaskan.
DAFTAR PUSTAKA
24
Goleman, Daniel. (2000). Working With Emotional Intelligence (terjemahan). Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Saphiro, Lawrence E. (1998). Mengajarkan Emotional Intelligence Pada Anak. Jakarta : Gramedia.
Sarlito Wirawan. (1997). Psikologi Remaja. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada.
Sia, Tjundjing. (2001). Hubungan Antara IQ, EQ, dan QA dengan Prestasi Studi Pada Siswa SMU. Jurnal Anima Vol.17 no.1
Sri, Lanawati. (1999). Hubungan Antara Emotional Intelligence dan Intelektual Quetion dengan Prestasi Belajar Siswa SMU.Tesis Master : Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
25