Humanitarian Intervention - Democratization

19
(1) a. Jelaskan definisi, konteks, dan evolusi prinsip Humanitarian Intervension. b. Analisa perkembangan situasi termutakhir di Libya dengan menggunakan konsep yang telah anda dapatkan di dalam kuliah. (2) a. Jelaskan apa yang dimaksud dengan realism, neorealism, liberalism, serta neoliberalism. b. Analisa situasi terkini penyebaran demokrasi. Gunakan contoh kontemporer. Tugas ini disusun untuk memenuhi pemilaian Ujian Tengah Semester (UTS) Isu-Isu Global Masa Kini Dosen: Rico Marbun Oleh: Siti Octrina Malikah 209000061

Transcript of Humanitarian Intervention - Democratization

Page 1: Humanitarian Intervention - Democratization

(1)

a. Jelaskan definisi, konteks, dan evolusi prinsip Humanitarian Intervension.b. Analisa perkembangan situasi termutakhir di Libya dengan menggunakan konsep

yang telah anda dapatkan di dalam kuliah.

(2)

a. Jelaskan apa yang dimaksud dengan realism, neorealism, liberalism, serta neoliberalism.b. Analisa situasi terkini penyebaran demokrasi. Gunakan contoh kontemporer.

Tugas ini disusun untuk memenuhi pemilaian Ujian Tengah Semester (UTS)

Isu-Isu Global Masa Kini

Dosen: Rico Marbun

Oleh:

Siti Octrina Malikah

209000061

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS FALSAFAH DAN PERADABAN

UNIVERSITAS PARAMADINA

2011

Page 2: Humanitarian Intervention - Democratization

(1)

a. Definisi, Konteks, dan Evolusi Prinsip Humanitarian Intervention

Definisi Humanitarian Intervention

Ada banyak pemikir mengenai definisi dari humanitarian intervention seperti Adam

Roberts, Tony Brems Knudsen, Martha Finnemore, Bhikhu Parekh, Will D. Verwey, dan

lain-lain. Namun, berbagai pemikiran dari ahli-ahli tersebut dapagt dirangkum menjadi empat

hal, antara lain:

1. Penggunaan militer : memang beberapa kajian turut membicarakan aksi humanitarian

intervention tanpa kekerasan dan paksaan namun mayoritas biasanya menggunakan

kekerasan dan paksaan. Alasan yang dikemukakan mengapa seringkali menggunakan

kekerasan dan paksaan, yang direpresentasikan oleh militer, adalah karena pihak-pihak

yang berkonfrontasi di dalam suatu Negara memang telah pada tahap saling mencederai

satu sama lain, oleh karena itu penanganan mereka juga membutuhkan keterlibatan

militer atas nama keamanan.

2. Tanpa izin Negara yang berdaulat tersebut : hal dasar yang membedakan humanitarian

intervention dari peace keeping adalah eksistensi perizinan dari Negara yang bermasalah

tersebut. Dalam peace keeping, pasti didahului oleh izin Negara yang bersangkutan.

Berbeda dengan peace keeping, humanitarian intervention dieksekusi terhadap Negara

yang dinilai tidak memiliki pemerintahan potensial yang berkuasa untuk menghentikan

konflik atau justru kekerasan dilakukan oleh Negara itu terhadap rakyatnya. Misalnya

seperti kasus di Libya yang masih berlangsung hingga kini.

3. Bertujuan untuk membantu : selain bertujuan untuk melindungi kondisi nasional Negara

tertentu, humanitarian intervention juga berfungsi untuk melindungi non-nasional dari

konfrontasi yang ada.

4. Agensi intervensi : meskipun humanitarian intervention pada dasarnya dilakukan oleh

Negara namun dalam era kontemporer ini ada tendensi untuk menggunakan pola

intervensi di bawah paying United Nations (UN)

Perubahan Konteks Humanitarian Intervention Paska Perang Dingin

Akhir dari Perang Dingin telah banyak mempengaruhi perubahan konsep dan praktik

dari humanitarian intervention karena Perang Dingin itu sendiri telah merubah tatanan norma

Page 3: Humanitarian Intervention - Democratization

dunia internasional. Beberapa perubahan konteks dijabarkan dalam beberapa poin, sebagai

berikut:

1. Setelah berakhirnya Perang Dingin maka tidak ada lagi persaingan antara dua Negara

superpower. Berakhirnya konfrontasi ideologi antara Uni Soviet dan Amerika Serikat

juga membentuk pola baru di mana rezim yang bersahabat lebih diutamakan.

2. Berakhirnya Perang Dunia, muncul suatu nilai yang memberikan posisi special bagi hak-

hak individu, terutama di kalangan Negara-negara Barat. Ini memberikan atmosfer politik

yang sesuai untuk menginisiasi intervensi karena besarnya hak individu, tanpa kekuasaan

mutlak/ otoriter, ini akan berpotensi lebih besar untuk berkonfrontasi.

3. Humanitarian intervention bukan hanya semata-mata respon terhadap pemerintahan yang

represif, tetapi juga kepada hal-hal yang mengarah kepada konflik internal, misalnya

disintegrasi Negara, sebagai akibat dari pencederaan hak asasi manusia. Misalnya,

mayoritas konflik bersenjata paska Perang Dingin diakibatkan oleh perang sipil.

4. Paska Perang Dingin, banyak instabilitas yang membutuhkan keterlibatan kemanusiaan

dan hal ini mendorong UN Security Council untuk membuat aturan yang lebih rijit lagi

dengan menambahkan beberapa poin baru di dalam resolusinya. Dalam beberapa kasus,

the Security Council mengkategorikan beberapa pencederaan hak asasi manusia dan

konflik sipil sebagai ancaman pagi kedamaian dan keamanan internasional sehingga

akhirnya mereka memutuskan untuk memberikan sanksi ekononomi atau mengintervensi

permasalahan tersebut secara paksa.

5. Pada era Perang Dingin, ide intervensi dianggap illegal sebab hal itu melanggar norma

kedaulatan dan self-determinationi (hak untuk menentukan nasib sendiri. Namun ada

pergeseran melalui Pasal 2 (4) hingga 2 (7) pada UN Charter yang akhirnya melakukan

interpretasi ulang atas dua norma sebelumnya di mana "… it is no longer tenable to assert

whenever a government massacres its own people or a state collapses into anarchy that

international law forbids military intervention altogether.“

6. Disamping dari bantuan personal dari sebuah Negara, sebagian besar intervensi pasak

Perang Dingin berhubungan erat dengan tindakan regional atau bahkan global dengan

legitimasi dan lisensi yang lebih kuat melalui resolusi UN Security Council. Peningkatan

keterlibatan UN dalam hal humanitarian intervention menjadi semakin mungkin karena

intervensi itu sendiri memiliki kaitan dengan isu-isu yang diusung oleh UN.

7. Berhubungan dengan peningkatan keterlibatan UN, saat ini meningkatnya peran

multilateralisme merupakan perubahan yang dicapai paska Perang Dingin.

Page 4: Humanitarian Intervention - Democratization

Evolusi Konsep Perubahan Humanitarian Intervention

Perbincangan awal mengenai konsep dari humanitarian intervention telah dimulai

oleh para pemikir hokum internasional klasik dari sekitar abad ke-16 dan ke-17 terutama

mengenai konsep ‘just war’. Ketika memasuki abad ke-18 dan ke-19, filsuf-filsuf liberalism,

seperti Mill, mengaitkan konsep humanitarian intervention dengan hak asasi manusia.

Praktik humanitarian intervention pada abad ke-19 dianggap sebagai bagian dari konsep

modernnya karena pada masa inilah Negara menggunakan prinsip kemanusiaan untuk

melegitimasi intervensi yang mereka lakukan.

Motif dibalik intervensi dan siapa yang benar kerap menjadi perdebatan dan

pertanyaan mengenai indikator dari korupsi itu sebenarnya apa. Kurangnya pembatasan

penggunaan kekerasan dalam hubungan internasional merupakan alasan yang cukup penting

untuk menjelaskan praktik intervensi. The UN Charter memberikan solusi baru untuk

penggunaan kekerasan dalam hubungan internasional dengan mengkualifikasikan

penggunaan kekerasan dalam masyarakat internasional sekaligus memberi batasan atas hal

tersebut, sebagai berikut:

1. Mengatur prinsip non-intervensi bagi semua Negara sebagai norma universal.

2. Memberikan peluang untuk penggunaan kekerasan hanya untuk self-defense atau ketika

membahayakan keamanan bersama (diatur oleh chapter VII). Dengan kata lain, legitimasi

intervensi satu-satunya adalah ketika suatu hal dianggap membahayakan kedamaian dan

keamanan internasional.

3. Menegaskan prinsip yang diusung hak asasi manusia sebagai pertimbangan utama

organisasi ini di mana pada Pasal 55 UN harus mempromosikan penghormatan terhadap

hak asasi manusia dan kebebasan mendasar. Humanitarian intervention dianggap sebagai

bentuk asertif dalam mempromosikan hak asasi manusia di tingkat global yang mana di

lain sisi sebenarnya hal ini melemahkan kedaulatan Negara dan prinsip non-intervensi.

4. Hasilnya, the UN Security Council sejak 1945 telah memiliki kekuasaan untuk

menentukan penggunaan paksaan atau kekerasan untuk menghentikan pencederaan hak

asasi manusia.

b. Analisa kejadian termutakhir di Libya

Sebelum memutuskan apakah dibutuhkan intervensi atau tidak terhadap krisis hak

asasi manusia dan krisis stabilitas Negara di Libya, ada beberapa poin yang bisa dirangkum

dari perkembangan isu di Libya saat ini, antara lain:

Page 5: Humanitarian Intervention - Democratization

1. Krisis di Libya telah membuat begitu banyak Negara di dunia bergerak untuk

mengevakuasi warga negaranya masing-masing dari Libya karena ada kekhawatiran yang

besar atas keselamatan warga Negara ini. Turki mengevakuasi 3000 warga negaranya,

begitu pula dengan Amerika Serikat dan China yang melakukan hal yang sama.

2. Instabilitas politik di Libya telah mempengaruhi harga minyak dunia. Hal ini pastilah

menjadi konsern bersama mengingat betapa pentingnya posisi energy untuk

kesinambungan setiap Negara di dunia. Oleh karena itu, harapan untuk Libya yang lebih

stabil bukan hanya menjadi fokus domestik tetapi juga fokus internasional karena peran

minyak yang sangat signifikan. Apabila kondisi Libya yang seperti sekarang ini tidak

kunjung diselesaikan maka dikhawatirkan dunia akan mengalami lambungan harga

minyak yang tinggi karena kurangnya pasokan minyak dari Libya.

3. Instabilitas politik domestik Libya yang menuntut turunnya Khadafi dari tampuk

kekuasaan lebih keras dibandingkan Tunisia dan Mesir. Konflik sipil ini telah

menewaskan ribuan penduduk di tangan pemerintahannya sendiri.

Dari tiga poin di atas, sebenarnya sudah cukup representatif mewakili persyaratan

untuk melakukan interfensi karena apa yang terjadi di Libya telah mencederai hak asasi

manusia sementara di lain sisi juga menciptakan instabilitas internasional. Tanpa bermaksud

untuk mengurangi kedaulatan di Libya, namun Negara ini memang membutuhkan bantuan

luar negeri untuk menyelesaikan permasalahannya. Kondisi domestic Libya yang memang

telah menggunakan kekerasan mengharuskan penerapan intervensi yang militeristik pula

sebab tidak mungkin lagi dilakukan metode soft diplomacy seperti negosiasi di tengah situasi

yang kian memanas ini.

Lantas siapakan yang dianggap paling berhak untuk melakukan intervensi? Tentunya

UN sebagai organisasi multilateral yang mempunyai anggota paling banyak di dunia.

Humanitarian intervention yang kini dilaksanakan oleh UN juga didukun oleh liga Arab

karena beberapa pertimbangan seperti yang sudah saya paparkan di awal. Memang intervensi

UN ini menuai banyak pro-kontra seperti tindakan ini merupakan akibat dari AS yang

berusaha memanfaatkan momentum atas nama minyak sehingga ada hidden agenda tersendiri

melalui intervensi ini, dan berbagai isu-isu lainnya. Namun, bagaimanapun derasnya isu

demikian, tetaplah hal itu sebatas teori konspirasi yang tidak bisa diterjemahkan secara

akademik sementara intervensi yang kini dilakukan UN terhadap Libya memiliki alasan yang

kuat.

Page 6: Humanitarian Intervention - Democratization

(2)

a. Paradigma Realisme, Neo-Realisme, Liberalisme, Neo-Liberalisme

Realisme

Realisme adalah suatu faham dalam hubungan internasional yang paling tua diantara

yang lainnya. Realisme telah hadir dalam hubungan internasional sejak zaman yunani kuno

yang diceritakan oleh Thucydides dalam karyanya the pelopponnessian war mengenai

bagaimana kerjaan Athena harus berperang melawan Persia dan memiliki sekutu yaitu Sparta.

Dari Thucydides sebagai sejarawan yang memiliki keterkaitan erat dengan realis banyak

tokoh-tokoh selanjutnya yang kemudian digolongkan menjadi pemikir-pemikir realis di dunia

seperti Niccolo Machiavelli, Clausewitz, Hanz J Morgenthau, Kenneth Waltz, George

Kennan, Raymond Aron, dan lainnya.1

Negara-negara realis ini terkesan selalu bersiap untuk perang dan siap untuk

menginvasi Negara-negara lemah. Namun, tidaklah demikian. Semua kepentingan yang

dilandaskan oleh power tersebut bukan hanya untuk berperang dan berkonflik. Namun, realis

ini menganalogikan sebuah Negara layaknya manusia. Manusia pada dasarnya jahat dan

hanya bergerak berdasarkan kepentingan. Inilah yang menjadi landasan pada realist dalam

mengartikan Negara dan itulah sebabnya kenapa Negara realis itu selalu beranggapan adanya

kompetisi disetiap saat demi power tersebut dengan Negara.negara lain. Pemikirantersebut

dilandasi dengan ketakutan, hal yang sama dan selalu terjadi kepada setiap manusia jika

merasa terancam dengan keberadaan orang-orang terdekatnya.

Negara yang menganut faham realis ini pasti, diasumsikan, lebih menguatkan aspek

militer dan aliansi yang berhubungan dengan keamanan nasionalnya. Negara-negara realis

menganggap kalau isu pertahanan dan keamanan nasional adalah segalanya termasuk untuk

menciptakan sebuah security dilemma bagi Negara lain sehingga jika Negara lain tidak bisa

menyaingi, maka Negara tersebut akan dianggap tunduk dan bisa dengan mudah mengejar

kepentingan atas Negara tersebut. Semua Negara realis selalu melandaskan power dalam

politik luar negerinya.

1 Griffiths, Martin, Steven and Scott Solomon. 2009. Fifty Key Thinkers In International Relations. Routledge. Hlm. vii

Page 7: Humanitarian Intervention - Democratization

Neo-Realisme

Seiring dengan perubahan zaman yang begitu cepat, dengan dinamika hubungan

internasional yang juga begitu cepat mengalami pergeseran norma, maka setelah realis klasik

hadirlah neo realis sebagai kritik sekaligus pembaharuan terhadap pemikiran realis klasik.

Tokohnya yang cukup terkenal saat ini adalah Kenneth Waltz. Waltz mengatakan bahwa

system internasional memang masih anarki namun bukan berarti system internasional

bukanlah sesuatu yang bukan subjek hukum internasional. System internasional itu sendiri

merupakan subjek internasional dan juga sebagai wadah bagi Negara-negara yang ada

didalamnya dimana Negara-negara tersebut berinteraksi dan tentunya hal itu juga akan

mempengaruhi perilaku dari sebuah Negara.

Neo-Realis ingin mengatakan bahwa Negara bukanlah satu-satunya aktor dalam

hubungan internasional dan Negara pun bukanlah satu-satunya subjek penentu dalam

hubungan internasional karena Negara itu sendiri masih bisa ditentukan, diubah sesuai

dengan sistem yang berlaku. Berarti sistem internasional juga mempunyai peranan penting

dalam menentukan politik luar negeri suatu Negara. Bukan berarti kedaulatan Negara disini

telah hilang dan digantikan oleh sebuah sistem yang memiliki kedaulatan lebih tinggi. Hanya

saja sistem tersebut merupakan pertemuan dari beberapa Negara yang berdaulat dan

menyepakati hal-hal tertentu untuk mencapai kepentingan bersama yang memang menjadi

tujuan didirikannya perkumpulan Negara tersebut.

Neo-Realisme adalah salah satu perpektif hubungan internasional yang mengatakan

bahwa pada dasarnya setiap Negara ini berada dalam suatu sistem internasional yang anarki

karena tidak ada yang lebih berdaulat lagi selain kedaulatan Negara. Neo-Realisme juga

menganjurkan bahwa setiap Negara didunia harus mengejar kekuasaan atau power untuk bisa

mempertahankan dirinya dari serangan luar. Jika kekuasaan tersebut tidak bisa tercapai

setidaknya Negara tersebut mempunyai aliansi yang kuat dengan Negara lain. Semua itu

dilakukan semata-mata hanya untuk mencapai kepentingan nasional. Seperti yang dikatakan

Hans J. Morgenthau “all politics is basically a struggle for power”.

Liberalisme

Liberalisme adalah perspektif kedua yang cukup tua setelah realisme. Liberalisme ini

hadir sebagai lawan dari asumsi-asumsi realis dimana realis mengatakan bahwa manusia pada

dasarnya anarki dan jahat, menusia juga berkehendak atas kepentingannya sendiri untuk

Page 8: Humanitarian Intervention - Democratization

menguasai orang lain (homo Homini Lupus) maka dari itu sama seperti Negara yang

kemudian akan terus mengejar power untuk mendominasi Negara lainnya. Bertolak dari

realism, liberalis justru mengatakan bahwa manusia pada dasarnya baik dan untuk itulah

manusia akan berkelompok untuk membagi kepentingannya menjadi kepentingan bersama

menuju kebaikan bersama.

Liberalisme percaya bahwa perdamaian dapat dicapai melalui kerjasama, selain itu

paham ini juga menjunjung tinggi system demokrasi karena dengan demokrasi Negara-negara

akan lebih terhindar dari peperangan dibandingkan Negara yang tidak demokratis. Seperti

dijelaskan oleh Immannuel Kant melalui Democratic Peace Theory di mana hal ini bisa

ditinjau secara normatif dan institusional. Secara normatif Negara demokratis yang berpusat

pada rakyat akan selalu memikirkan tentang untung rugi dalam memutuskan, oleh karena itu

kemungkinan untuk bernegosiasi, bertukan pemahaman, dan berunding bisa dilaksanakan

untuk mencegah terjadinya perang. Secara institusional Negara demokratis mengenal konsep

check and balances dan distribusi kekuasaan sehingga keputusan bukan hanya di tangan

kepala pemerintahan melainkan terbagi di setiap unsure masyarakat, dalam hal ini diwakili

oleh legislative. Demokrasi dengan seperangkat aturannya yang birokratis dan rijit akan

memperkecil kemungkinan untuk perang karena akan mengalami perundingan berkali-kali

oleh seluruh aspek masyarakat.

Namun demikian, secara pendekatan konstruktivis, Negara demokrasi memiliki

potensi untuk berperang juga namun bukan dengan Negara demokratis lainnya melainkan

dengan Negara yang tidak demokratis, seperti Negara fasis, komunis, dan Negara otoriter

lainnya. Oleh karenanya, ada keinginan oleh kaum liberalis untuk menyebarkan demokrasi,

meskipun dengan paksaan, ke seluruh dunia agar kedamaian lebih mudah tercapai tanpa perlu

dicederai oleh otoritarianisme.

Neo-Liberalisme

Sekelompok kecil orang yang ekslusif terdiri dari para akademisi ekonomi, sejarawan

ekonomi dan filsfu-filsuf ekonomi berkumpul dengan dikepalai oleh seorang filsuf politik

Austria bernama Friedrich Von Hayek yang kemudian membentuk Mont Pelerin Society

pada tahun 1947. Beberapa peserta lain yang terlibat termasuk Ludwig Von Mises, Milton

Friedman, Karl Popper, dll. Kelompok ini menyimbolkan diri mereka sebagai ‘liberals’

karena komitmen dasar mereka yang beracuan kepada ide kebebasan individu. Doktrin

Page 9: Humanitarian Intervention - Democratization

Neoliberal secara tegas menolak teori intervensi Negara yang diajukan oleh J. M. Keynes

yang muncul pada tahun 1930an sebagai respon dari great depression.

Pergerakan MPS ini mencakup kebijakan dan akademis. Seperti, institute of economic

affairs di London dan The Herritage Foundation di Washington. Dalam bidang akademis

secara special pengaruh mereka berada di University of Chicago dimana Milton Friedman

mendominasi. Teori Neoliberal mendapatkan pengakuan dan penghomratan akademis

melalui penganugrahan Nobel kepada Hayek ditahun 1974 dan kepada Friedman di tahun

1976.

Meskipun liberalism dan Neo-liberalisme merupakan bagian dari kapitalisme namun

ada perbedaan di antara kedua paham ini. Liberalisme menempatkan ekonomi sebagai salah

satu bentuk interaksi individu dengan masih membicarakan kepentingan publik, sementara

Neo-liberalisme menempatkan ekonomi sebagai satu-satunya landasan interaksi antar

manusia dalam aspek politik, ekonomi, social, budaya, dan tentunya termasuk hubungan

antar bangsa. Yang sama-sama disepakati oleh liberalism dan neo-liberalisme adalah

mengenai prinsip kebebasan individu dan prinsip anti-negara sebagai landasan perilaku

ekonomi karena perekonomian secara otomatis akan mengatur dirinya sendiri untuk sampai

kepada titik kemakmuran dan keseimbangan.

Titik berat dari paham Neo-liberalisme adalah peran aktif sistem internasional dalam

menciptakan liberalisasi individu, liberalisasi pasar, dan liberalisasi perdagangan. Seperti

diungkapkan oleh Robert O.Keohanne dalam bukunya ‘After Hegemony’ yang mengulas

peran dan pola perilaku organisasi internasional terhadap Negara-negara di dunia. Penelitian

ini diawali dengan dua observasi terhadap kerjasama ekonomi yang mencuat di 1970an yaitu

Bretton Woods2 dan GATT. Kedua kerjasama ekonomi ini hadir sebagai bantuan bagi

kehancuran liberalisme akibat krisis Wall Street yang berdampak besar kepada perekonomian

AS dan Eropa. Dapat disimpulkan bahwa Neo-liberalisme secara umum berkaitan dengan

tekanan politik multilateral, melalui berbagai kartel pengelolaan perdagangan seperti WTO,

IMF, dan Bank Dunia. Ini mengakibatkan berkurangnya wewenang pemerintahan sampai

titik minimum. Neoliberalisme melalui ekonomi pasar bebas berhasil menekan intervensi

pemerintah (seperti paham Keynesianisme), dan melangkah sukses dalam pertumbuhan

ekonomi keseluruhan. Untuk meningkatkan efisiensi korporasi, neoliberalisme berusaha

2 Robert Gilpin dan Jean M. Gilpin. The Political Economy of International Relations. 1987. Princeton University Press. New Jersey. Page 131

Page 10: Humanitarian Intervention - Democratization

keras untuk menolak atau mengurangi kebijakan hak-hak buruh seperti upah minimum, dan

hak-hak daya tawar kolektif lainnya3.

b. Analisa Fenomena Demokratisasi di Irak

General Review

Irak memiliki konflik yang sangat kompleks karena lahir dari faktor-faktor internal

yang memang sudah cukup rumit dan juga intervensi dunia internasional yang dalam hal ini

adalah Amerika Serikat yang mengusung strategi demokratisasi-nya. Faktor internal di sini

adalah faktor identitas kelompok, baik suku, politik, regional, maupun aliran agama.

Sementara itu, faktor ekternal yang dimaksud di sini bersumber dari Amerika serikat dan

sekutunya. Dalam usaha untuk memahami konflik yang terjadi di Irak, kita tidak bisa lepas

dari kuatnya pengkotak-kotakan masyarakat baik secara kesukuan, ideologi, maupun aliran

keagamaan. Irak terpecah atas suku-suku kurdi, arab, dan turkmen; antara syiah dan sunni;

dan juga antar berbagai ideologi sosialis, islam, pan arabisme, dan pan Islamisme.4

Konflik yang kerap terjadi di Irak dapat dikelompokkan menjadi konflik vertikal dan

konflik horizontal. Namun, paska pemerintahan Saddam Husein, ketika Irak menuju ke arah

demokratisasi ternyata tidak menurunkan intensitas konflik tetapi justru mempertinggi

intensitas konflik terutama konflik horizontal. Pertama, Sunni yang dahulu mempunyai

legitimasi kekuasaan pemerintahan mutlak di pemerintahan Saddam Husein masih belum

mampu menerima kenyataan bahwa sekarang mereka tidak lagi memiliki kekuasaan seperti

di masa lalu. Hal ini semakin diperuncing dengan nihilnya pengampunan bagi Saddam

Husein dan para pengikut setianya. Hukuman mati bagi bagi Saddam semakin berimplikasi

terhadap tindakan Sunni terhadap Syiah, dan sebaliknya, yang semakin keras dan represif.

Kedua, campur tangan asing, terutama Amerika Serikat, terhadap politik domestik Irak pun

semakin mengobarkan kebencian syiah radikal di Irak.

Setelah runtuhnya rezim Saddam Hussein dengan bantuan pihak AS, awalnya

masyarakat Irak mendukung adanya kehadiran AS di Irak. Namun lama kelamaan rakyat Irak

3 http://www.jurnal-ekonomi.org/2009/06/22/jejak-neoliberalisme-di-indonesia/ diakses pada 27 Maret 2011

4 Sugito: Konflik Etnis dalam Masa Transisi Demokrasi di Irak, jurusan Hubungan Internasional UMY.

Page 11: Humanitarian Intervention - Democratization

mulai tidak mendukung kehadiran AS di Irak selain karena kehadiran AS tidak dapat

mengendalikan suasana domestik Irak setelah jatuhnya Saddam, juga karena rakyat Irak

mulai beranggapan mereka berada di bawah pemerintahan kolonial, walaupun AS

menyatakan tujuan mereka hanya untuk mentransformasi Irak menjadi negara demokrasi

liberal. Aksi perlawanan masyarakat Irak terhadap keberadaan AS pun dimulai.

Dalam kondisi kekosongan di posisi puncak pemerintahan Irak, berbagai tokoh dari

oposisi pun mulai menawarkan diri untuk menjadi orang nomor satu di Irak. Namun tokoh-

tokoh ini tidak lebih dari sekedar kontestan karena nantinya pemimpin Irak akan dipilih oleh

AS dan tentunya mereka akan memilih tokoh yang dapat bekerja sama dan tergolong pro-AS.

Bahkan untuk mengisi kekosongan itu, AS membentuk sebuah pemerintah transisi yang

dipimpin Jay Garner, seorang zionis yang anti Arab. Penunjukkan Jay Garner tentunya

disebabkan adanya kepentingan AS di Irak seperti membentuk kerjasama bidang ekonomi

yang menguntungkan AS, membentuk pemerintahan di Irak yang pro AS dan Israel yang

dikenal sebagai sekutu AS, dan menjadikan Irak sebagai kepanjangan tangan AS di kawasan

Timur Tengah.5

Perselisihan antar etnis hingga sekarang masih terjadi di Irak karena berbagai alasan

mulai alasan politik, historis, budaya, dan agama. Masing-masing etnis di Irak belum dapat

bersatu dan menjalankan pemerintah secara baik karena sentimen rasial yang masih kental di

Irak ditambah dengan adanya fakta historis tentang kekejaman etnis yang pernah terjadi di

Irak. Perselisihan vertikal antara pemerintah dan rakyat juga masih terjadi karena adanya

ketidak setujuan etnis-etnis minoritas terhadap pemerintah yang mayoritas Syiah walaupun

pemerintahan Irak sekarang terdiri dari berbagai etnis.

Hingga kini, Irak telah menjalankan dua kali pemilihan yang pertama pada tahun

2005 dengan adanya kehadiran tentara AS di Irak dan yang kedua adalah pemilihan yang

baru berlangsung pada tahun 2010 ini. Dimana pemilihan yang kedua dinilai lebih demokratis

karena warga etnis Sunni juga turut memberikan suara setelah pada pemilihan 2005 tidak

berpartisipasi. Walaupun rezim Saddam telah berakhir dan pemerintahan Irak telah

mengadopsi sistem pemerintahan demokratis, perselisihan dan konflik etnis di Irak masih

belum terhindarkan, selain karena perebutan kekuasaan yang didasari etnik serta peran Kurdi

sebagai korban berbagai kekerasan yang menentukan juga karena adanya larangan bagi

anggota partai Baath (partai yang pernah dipimpin Saddam dan telah berkuasa sekian lama di

5 http://www.angelfire.com/planet/ppitunisia/artikel/Iraq%20Pasca%20Rezim%20Saddam%20Husain.htm

Page 12: Humanitarian Intervention - Democratization

Irak) untuk mencalonkan diri. Irak juga mengalami kesulitan untuk berkembang sebagai

sebuah negara dikarenakan kondisi Irak saat ini dikategorikan sebagai negara lemah dengan

pasukan keamanan besar, memiliki berbagai institusi yang tidak efisien, serta pelayanan

umum seperti listrik dan kesehatan yang sangat buruk bagi masyarakat Irak.6

Paradigma Liberalisme

Apa yang terjadi di Irak setelah intervensi AS tidaklah terlepas dari politik luar negeri

AS yang mengusung nilai demokratis sebagai sistem kenegaraan. Dahulu AS merasa dengan

ia, sebagai Negara superpower, mempraktekkan demokrasi yang seutuhnya maka Negara-

negara lain akan meniru kesuksesan demokratis di negaranya. Namun, prediksi AS ternyata

salah, Negara-negara seperti di Timur tengah sebagaian besar tidak memperdulikan

mekanisme demokrasi yang ada di AS. Ditinjau dari constructivist democratic peace theory,

AS memiliki tendensi untuk penerapan dua pandangan di mana di satu sisi memicu

perdamaian namun di sisi lain juga akan berperang melawan Negara-negara yang tidak

demokratis. AS menganggap kehadiran Negara yang otoriter, atau tidak demokratis, hanya

akan memicu perang sehingga untuk menerapkan pemahaman damai yang mutlak harus

dilakukan promosi seluas-luasnya atas demokrasi, bila perlu melalui pemaksaan.

Intervensi yang dilakukan AS terhadap Irak dilakukan dengan dalih demokratisasi

namun ternyata tidak memberikan hasil yang signifikan. Meskipun rezim Saddam Husein

telah lewat, Irak tidak kunjung memperoleh kedamaian walau demokrasi telah diterapkan

dengan bantuan AS. Ternyata demokrasi yang diusung oleh AS belum tentu memberikan

hasil yang baik bagi Negara lain karena setiap Negara haruslah menemukan makna

demokrasinya sendiri. Bukan melalui intervensi asing, dalam hal ini AS.

6 http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2010/03/10/101711/Irak-Pascapemilu-Perjuangan-Menuju-Stabilitas