HUKUMAN MATI BAGI TERPIDANA NARKOBA Tinjauan Etis...
Transcript of HUKUMAN MATI BAGI TERPIDANA NARKOBA Tinjauan Etis...
i
HUKUMAN MATI BAGI TERPIDANA NARKOBA
Tinjauan Etis Kristen dari Pemikiran Malcolm Brownlee
TUGAS AKHIR
Diajukan kepada Program Studi: Teologi, Fakultas Teologi guna memenuhi
sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Sains dalam bidang
Teologi (S.Si.Teol)
Program Studi Teologi
Oleh:
Yaspis Edgar Nugroho Funay
712013016
FAKULTAS TEOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2017
ii
iii
iv
v
vi
KATA PENGANTAR
Segala ungkapan syukur penulis naikkan kepada Tuhan Yesus Kristus, karena
melalui berkat dan kasih karunia-Nya yang melimpah, Tugas Akhir ini dapat
terselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya. Campur tangan-Nya yang
begitu besar telah nyata dalam penyertaannya di setiap langkah perjuangan
penulis. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada:
Pertama, terima kasih yang sebesar-besarnya untuk Papi John, Mama Yetty,
Arin, Feril dan Regina, untuk setiap doa, kepercayaan dan motivasi yang selalu
menjadi penyemangat terbesar. Salam penuh cinta untuk kalian.
Kedua, terima kasih dan salam hormat kepada kedua dosen pembimbing,
Bapak Pdt. Izak Yohan Matriks Lattu Ph.D dan Bapak Pdt. Dr. Nelman A. Weny,
atas bimbingan dan pengarahan yang diberikan, sehingga penulis dapat
menyelesaikan Tugas Akhir ini dengan baik.
Ketiga, terima kasih yang sebesar-besarnya untuk wali study, Ibu Pdt. Irene
Ludji, MAR dan bapak Pdt. Yusak B. Setyawan Ph.D, yang telah menjadi orang
tua yang selalu mengarahkan, membimbing, dan memperhatikan penulis ditanah
perantauan selama masa perkuliahan ini.
Keempat, terima kasih dan hormat bagi seluruh dosen Fakultas Teologi
Universitas Kristen Satya Wacana, atas seluruh ilmu dan pengalaman yang telah
dibagikan untuk membuka wawasan berpikir penulis selama proses perkuliahan
yang selalu menginspirasi saya dalam memaknai kehidupan.
Kelima, terima kasih untuk seluruh staff tata usaha Fakultas Teologi
Universitas Satya Wacana (Ibu Budi, Mas Adi, Mas Eko, Mbak Liana) yang
sangat membantu penulis dalam mengurus administrasi.
Keenam, salam penuh cinta untuk Dhavid K. Dira Tome, Marcel Leasa, Fajar
Pratama Putra, Bobby Nenokeba, Juan Liu, Gian Noach, Jear Nenohai, Andre
Sebayang, Alti Howan, dan Yunus Djabumona yang selalu menemani dan
memberikan semangat untuk menyelesaikan Tugas Akhir ini.
Ketujuh, salam penuh kasih untuk Anggrayni Bunga yang selalu menemani,
memberikan semangat dan motivasi bagi penulis dalam menyelesaikan Tugas
Akhir ini. Kiranya Tuhan memberkati setiap langkah perjalanan ini.
vii
Kedelapan, terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang
telah membantu penulis dalam menyelesaikan Tugas Akhir ini. Mohon maaf oleh
karena keterbatasannya, penulis tidak dapat disebutkan satu persatu. Kiranya
berkat Tuhan selalu melimpah.
Akhir kata penulis berharap agar Tugas Akhir ini dapat bermanfaat dan
memberikan sumbangan pengetahuan bagi sivitas akademika dan pihak-pihak
yang membutuhkan. Tuhan memberkati.
Salatiga, 12 September 2017
Penulis
viii
DAFTAR ISI
Judul ......................................................................................................................... i
Lembar Pengesahan ................................................................................................ ii
Pernyataan Tidak Plagiat ....................................................................................... iii
Pernyataan Persetujuan Akses .............................................................................. iv
Pernyataan Persetujuan Publikasi ........................................................................ v
Kata Pengantar ....................................................................................................... vi-vii
Daftar Isi .................................................................................................................. viii
Motto ........................................................................................................................ ix
Abstrak ..................................................................................................................... x
I. Pendahuluan
Latar Belakang .................................................................................................... 1-3
II. Hukuman Mati Sebagai Objek Penelitian Etika
Etika Kristen Malcolm Brownlee ...................................................................... 5-9
Beberapa Pemikiran Norman L. Geisler dan J. Verkuyl .................................... 9-13
III. Hukuman Mati Kasus Narkoba dalam Kaca Mata Etika Kristen
Data Kasus Pidana Narkotika ............................................................................. 13-20
Hukuman Mati Kasus Narkoba dalam Perfektif Etika Kristen .......................... 20-24
IV. Penutup
Kesimpulan ........................................................................................................ 24
Daftar Pustaka ......................................................................................................... 25
ix
MOTTO
“Tidak peduli seberapa berat kelihatannya sebuah
masalah, menyerah bukan sebuah pilihan”.
x
Abstrak
Tulisan ini adalah sebuah usaha untuk menjawab masalah dilema etis
“hukuman mati bagi para terpidana narkoba” dengan alasan dan bukti-bukti yang
kuat. Dalam penelitian ini saya menggunakan teknik pengumpulan data dalam
bentuk studi literatur, dalam hal ini saya mengumpulkan data dari sumber buku
dan jurnal terkait dengan permasalahan yang saya angkat. Proses penelitian ini
akan menggunakan metode deskriptif kualitatif, dengan pengertian bahwa
penelitian ini akan dilakukan dengan cara mendeskripsikan permasalahan yang
ada untuk kemudian dianalisa dengan menggunakan data yang didapatkan dari
hasil pembacaan literatur yang terkait. Saya berpendapat dalam tulisan ini bahwa
hukuman yang tepat untuk terpidana narkoba adalah bukan hukuman mati
(retribusi), melainkan rehabilitasi.
Kata Kunci: Hukuman Mati, Narkoba, Etika Kristen, Malcolm Brownlee.
1
Pendahuluan
Penulisan artikel ini bertujuan untuk menjawab permasalahan dilema
etis “hukuman mati bagi para terpidana narkoba” dengan alasan dan bukti-
bukti yang kuat. Saya mencoba untuk melihat pelaksanaan hukuman mati bagi
terpidana narkoba melalui perspektif kekristenan dengan mengambil
pemikiran Malcolm Brownlee dan akan dilengkapi dengan beberapa
pemikiran para ahli lainnya seperti J. Verkuyl dan Norman L Geisler.
Munculnya dilema dalam pelaksanaan hukuman mati menjadi sebuah
pergumulan tersendiri di kalangan masyarakat, gereja, bahkan penegak hukum
yang harus melaksanakan hukuman mati di saat dunia gempar menyerukan
tentang Hak Asasi Manusia. Bahaya narkoba sudah merasuk ke dalam
kehidupan kita, bahkan telah membahayakan kehidupan bangsa. Ini memang
bukan persoalan ringan karena perdagangan narkoba telah memiliki jaringan
internasional. Sampai tahun 2000, di Indonesia tercatat dua juta korban dari
berbagai usia dan latar belakang. Narkoba berperan besar dalam proses
penghancuran sebuah negara. Efeknya sangatlah dasyat sehingga pecandu
narkoba sering disebut sebagai lost generation. Pada saat krisis seperti
sekarang ini narkoba menjadi obat penenang sehingga bisa meninabobokan
orang. Barang terlarang itu seringkali muncul dalam obat yang mengandung
zat adiktif.1 Di dalamnya juga termasuk narkotika sintesis yang menghasilkan
zat-zat, obat-obat yang termasuk dalam hallucinogen, depresant dan
stimulant.2
Seiring berjalannya waktu, hukuman mati bagi terpidana narkoba
dihadapkan dengan dilema etis yang terjadi di masyarakat. Salah satunya
adalah hukuman mati sangat berlawanan dengan konsep Hak Asasi Manusia
yang selama ini berlaku. Pendukung konsep ini berpendapat bahwa hanya
Tuhan yang bisa mengambil nyawa seseorang. Sudah menjadi pengetahuan
dikalangan para ahli hukum bahwa “Criminal Justice System is not infallible”
atau sistem peradilan pidana tidaklah sempurna. Peradilan pidana dapat saja
1 Clara R. P. Ajisuksmo, Narkoba: Petunjuk Praktis bagi Keluarga untuk
Mencegah Penyalahgunaan Narkoba (Yogyakarta: Media Pressindo, 2001), 1. 2 Wilson Nadeak, Korban Ganja dan Masalah Narkotika (Bandung: Indonesia
Publishing House, 1978), 122.
2
keliru dalam menghukum orang-orang yang tidak bersalah. Polisi, jaksa
penuntut umum, maupun hakim adalah juga manusia yang bisa saja keliru
ketika menjalankan tugasnya. Berkaitan dengan dengan hukuman mati maka
kekeliruan tersebut dapat berakibat fatal. Orang yang telah dieksekusi mati
tidak dapat dihidupkan lagi walaupun dikemudian hari diketahui bahwa yang
bersangkutan tidak bersalah.3 Pemaparan ini dengan jelas ingin mengatakan
bahwa hukuman mati bertentangan dengan pasal 281 ayat (4) UUD 1945.
Jika dihadapkan dengan situasi seperti ini, sudah seharusnya kita harus
mempertimbangkan seluruh teori etika yang ada, tidak terkecuali dengan
Malcolm Brownlee. Brownlee terkenal dengan etika situasionalnya, sebuah
keputusan etis bisa diambil dengan mempertimbangkan situasi yang sedang
terjadi, karena dalam pengambilan sebuah keputusan etis sering menyangkut
pilihan yang sukar.4 Dalam pengambilan keputusan etis, individu seharusnya
diperhadapkan dengan situasi yang dilematis, bukan saja antara benar atau
salah, yang baik atau yang buruk, yang tepat atau yang tidak tepat, tetapi juga
antara kurang benar dan hampir benar. Keputusan etis tidak selalu
menyangkut yang hitam atau yang putih, tetapi juga yang abu-abu atau yang
sering kali disebut the lesser evil 5 (yang paling sedikit buruknya). Sadar atau
tidak, dalam berbagai kesempatan kita harus membuat keputusan yang bersifat
lesser evil untuk memilih menjunjung hak asasi manusia atau menghukum
yang telah melakukan pelanggaran berat. Orang-orang yang memandang etika
sebagai pilihan mutlak antara baik dan jahat kurang siap untuk menghadapi
keputusan yang sukar seperti ini. pemikiran etis bermaksud untuk menolong
mendekati pemilihan itu dengan pikiran yang lebih cerdas.6
Dalam kasus ini pengambil keputusan dihadapkan dengan dua situasi
yang masing-masing memiliki landasan yang kuat. Seperti yang sudah
dijelaskan pada bagian awal, hukuman mati sangat bertentangan dengan Hak
Asasi Manusia yang berlaku di negara. Pandangan bahwa hanya Tuhan yang
3 Todung Mulya Lubis, Kontroversi Hukuman Mati (Jakarta: Kompas, 2009), 43.
4 Malcolm Brownlee, Pengambilan Keputusan Etis dan Faktor-Faktor di
Dalamnya (Jakarta: Gunung Mulia, 2006), 20. 5 Ebenhaizer Nuban Timo dan Irene Ludji, Panorama Etika Kristen (Salatiga:
Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana, 2015), 73. 6 Brownlee, Pengambilan Keputusan, 21.
3
memiliki kuasa penuh akan kelangsungan hidup manusia membuat hukuman
mati sangat ditentang oleh prinsip dasar HAM. Sedangkan, disisi lain terdapat
pemikiran yang sangat berlawanan dengan pemikiran pertama yaitu bahwa
terpidana narkoba sudah sepantasnya dihukum seberat-beratnya karena sudah
merugikan banyak pihak bahkan dalam hal ini negara demi kepentingan diri
sendiri, hukuman mati menjadi pilihan yang sangat tepat guna memberikan
efek jerah kepada oknum yang bersangkutan maupun oknum lain yang akan
melakukan kegiatan terlarang ini.
Penelitian ini menjadi sangat penting karena dewasa ini banyak kasus
narkoba yang akhirnya hanya menjadi catatan hitam negara dan masyarakat
tanpa penyelesaian yang jelas oleh pihak berwajib. Pengambilan keputusan
yang tidak jelas dan hukum yang saling berlawanan membuat dilema etis ini
akhirnya menemukan jalan buntu. Hukuman mati yang sangat menyita
perhatian masyarakat adalah eksekusi bagi terpidana narkoba Feddy Budiman,
satu dari empat terpidana narkoba yang dieksekusi tanggal 29 juli 2016, di
Lapangan Tembak Tunggal Panaluan, Nusakambangan, Jawa Tengah.
Dalam penelitian ini saya menggunakan teknik pengumpulan data
dalam bentuk studi literatur, dalam hal ini saya mengumpulkan data dari
sumber buku dan jurnal terkait dengan permasalahan yang saya angkat. Proses
penelitian ini akan menggunakan metode deskriptif kualitatif, dengan
pengertian bahwa penelitian ini akan dilakukan dengan cara mendeskripsikan
permasalahan yang ada untuk kemudian dianalisa dengan menggunakan data
yang didapatkan dari hasil pembacaan literatur yang terkait. Saya berpendapat
dalam tulisan ini bahwa hukuman yang tepat untuk terpidana narkoba adalah
bukan hukuman mati (mematikan terpidana), melainkan hukuman yang
bersifat memperbaiki terpidana.
Hukuman Mati sebagai Objek Penelitian Etika Kristen
Kata narkotika barasal dari bahasa Yunani, dari kata narke yang berarti:
beku, lumpuh, dan dungu. Orang Amerika menyebutnya narcotics yang
kemudian diikuti oleh Indonesia dengan kata narkotika. Narkotika ini juga
diartikan sebagai obat bius, yang membuat orang tertidur. Biro Bea dan Cukai
4
Amerika Serikat mendefinisikan, bahwa narkotika adalah candu, ganja,
kokain, zat-zat bahan mentahnya kemudian diolah menjadi morfin, heroin,
kodein, hashish, dan kokain. Di dalamnya juga termasuk narkotika sintesis
yang menghasilkan zat-zat, obat-obat yang termasuk dalam hallucinogen,
depresant dan stimulant.7
Pada prinsipnya narkoba tidak dilarang jika digunakan sebagaimana
mestinya. Namun demikian, kepemilikannya juga harus mendapatkan izin dari
pemerintah. Hal yang dilarang adalah peredaran gelap dan
penyalahgunaannya. Sebagaimana yang kita ketahui narkoba banyak
ditransaksikan secara sembunyi-sembunyi bahkan terkadang sudah terang-
terangan di dalam lingkungan masyarakat untuk dikonsumsi dengan
mengambil efeknya berupa kesenangan, padahal kita ketahui dampak negatif
dari narkoba sangat berbahaya, serta dapat menimbulkan komplikasi berbagai
macam penyakit hingga kematian.8
Penggunaan obat dan narkotika di Indonesia sudah menjadi semacam
way of life, khususnya dikalangan artis, yuppies (young urban professionals),
dan kelas menengah keatas lainnya.9 Ibarat kanker, jaringan narkotika
internasional dari tahun ke tahun terus berkembang menggerogoti sendi-sendi
kehidupan manusia dan susah dibasmi. Jaringan produksi dan pemasarannya
pun seperti internet, yaitu tidak mengenal batas negara, jangkauannya luas,
dan bisa diakses oleh pengedarnya dimana-mana, tetapi sulit dilacak ujung
pangkalnya.10
Terdapat tiga elemen yang tercakup didalamnya yaitu pemilik, pengedar
dan pengguna. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9/1976
tentang Narkotika, ketentuan pidana yang akan didapatkan oleh seorang
pengguna narkoba adalah berupa pidana penjara selama-lamanya 6 tahun dan
denda setinggi-tingginya Rp. 10.000.000, dan atau mendapatkan pengobatan
7 Wilson Nadeak, Korban Ganja dan Masalah Narkotika (Bandung: Indonesia
Publishing House, 1978), 122. 8 Heriadi Willy, Berantas Narkoba Tak Cukup Hanya Bicara (Yogyakarta:
Kedaulatan Rakyat, 2015), 5. 9 Soejono Dirdjosisworo, Narkoba dan Peradilannya di Indonesia (Jakarta: O.C.
Kaligis & Associates), 236. 10
Dirdjosisworo, Narkoba dan Peradilannya, 249.
5
dan rehabilitasi.11
Sedangkan bagi pemilik dan pengedar narkoba akan
mendapatkan ganjaran dan ketentuan pidana jauh lebih berat, yaitu berupa
pidana mati atau pidana penjara seumur hidup dan denda setinggi-tingginya
Rp 50.000.000.12
Negara dalam hal ini harus segera mengambil tindakan tegas
untuk menghukum setiap orang yang terkait dengan peredaran narkoba.
Hukuman yang diberikan haruslah bersifat sangat tegas sehingga memberikan
efek jerah bagi sang pelaku maupun orang-orang yang menyaksikan hukuman
ini. Akhirnya hukuman mati menjadi salah satu opsi yang dianggap paling
ampuh untuk mengatasi hal ini. Hukuman mati dianggap valid karena
mengandung keadilan dalam hal pertanggungjawaban atas kesalahan yang
telah diperbuat. Para terpidana narkoba dianggap telah merugikan banyak
pihak sehingga pantas untuk dikenakan hukuman mati.13
2.1 Etika Kristen Malcolm Brownlee
Malcolm Brownlee mengemukakan tiga jenis etika, yakni etika akibat,
etika kewajiban, dan etika tanggung jawab. Menurutnya, etika akibat adalah
etika yang lebih situasional, yang cenderung “melegitimasi akibat” yang
membawa kebaikan terbesar, apa pun dasarnya atau alasan dari setiap tindakan
(etika situasi). Disatu lain, etika kewajiban menegaskan bahwa “untuk segala
sesuatu ada hukumnya.” Jenis etika ini legalistik (etika legalistik). Namun di
lain sisi, etika tanggung jawab memberiruang bagi “tanggung jawab Kristen”
dalam membuat setiap keputusan etis. Tanggung jawab etis dalam membuat
keputusan ini diberlakukan akan tetapi sambil memperhitungkan kebenaran
Allah, iman, keluarga, sesama manusia, situasi, hukum, masyarakat, bahkan
orang yang tersangkut dalam pengambilan keputusan etis berlandaskan
kebenaran sehingga dapat menghasilkan sebuah tindakan yang membawa
kebaikan tertinggi (summum bonum) bagi semua orang.14
11
Nadeak, Korban Ganja, 142-149. 12
Nadeak, Korban Ganja, 142-149. 13
Gregory C. Higgins, Dilema Moral Zaman Ini, (Yogyakarta: Kanisius,2006),
hal 131. 14
Malcolm Brownlee, Pengambilan Keputusan Etis dan Faktor-Faktor di
Dalamnya, ed. Nelman A. Weny, ALLAH-Pemilik Serta Penguasa Tunggal Atas Kehidupan,
3.
6
Lebih rinci dijelaskan bahwa menurut etika akibat, kehidupan etis
sama dengan proses membuat sesuatu. Kita memilih tujuan-tujuan atau kita
diberi tujuan-tujuan oleh Allah. Kemudian kita mengerjakan hal-hal yang
mendekatkan kita kepada tujuan itu. Kita berusaha mencapai tujuan tersebut.
Kalau demikian kebaikan atau keburukan perbuatan kita bergantung kepada
tujuan atau hasilnya. Suatu tindakan dianggap benar apabila mengakibatkan
hasil baik yang lebih besar daripada hasil buruk. Suatu tindakan dianggap
salah apabila mengakibatkan hasil buruk yang lebih besar daripada hasil baik.
Suatu tindakan harus dilaksanakan apabila akan mengakibatkan hasil baik
yang lebih besar daripada tindakan-tindakan lain yang ada sebagai alternatif.
Mengambil keputusan memang kita perlu memperhatikan tujuan-
tujuan dan akibat-akibatnya. Namun demikian, kita akan mengalami persoalan
besar jikalau kita hanya memperhatikan tujuan-tujuan dan akibat-akibat saja.
Salah satu persoalan dalam membatasi diri kepada teori etika akibat yaitu
ketidakmampuan kita untuk menentukan akibat perbuatan-perbuatan kita. Juga
sering kali kita kurang mampu menguasai jalan-jalan yang kita pakai untuk
mencapai akibat itu.
Persoalan kedua dalam etika akibat ialah: apakah tidak ada faktor lain
selain akibat yang menjadikan perbuatan buruk. Misalnya, apakah orang boleh
melanggar hukum atau memperkosa hak-hak asasi orang lain untuk mencapai
akibat yang baik? Pernyataan ini ditujukan kepada etika akibat oleh teori etika
yang kedua.15
Cara pengambilan keputusan etis yang kedua adalah etika kewajiban
atau deontologis. Etika deontologis adalah cara berfikir etis yang mendasarkan
diri kepada prinsip, hukum, norma objektif yang dianggap harus berlaku
mutlak dalam situasi dan kondisi apapun juga. Etika deonologis masih bisa
dibagi menjadi lagi menjadi dua aliran: deontologis aturan dan deontologis
situasi. Deontologis aturan mengandaikan bahwa aturan moral selalu berlaku
dalam situasi apapun. Mengenai deontologis situasi adalah satu tindakan etis
yang menolak segala macam peraturan moral umum. Menurut deontologis
15
Malcolm Brownlee, Pengambilan Keputusan Etis dan Faktor-Faktor di
Dalamnya (Jakarta: Gunung Mulia, 2016), 31.
7
situasi setiap orang harus memutuskan sendiri bagaimana dia harus bertindak
dalam situasi tertentu.16
Di dalam etika tanggungjawab, kehendak Allah dikenali lewat
pekerjaan-pekerjaanNya di dalam kehidupan manusia. Individu yang percaya
pada Allah bertanggungjawab untuk menanggapi pekerjaan Allah dalam
hidupnya. Dosa terjadi ketika manusia hidup dengan tidak percaya pada
pekerjaan Allah dalam hidupnya akibatnya ia berdosa, ia hidup terpisah dari
pekerjaan Allah. Bagi manusia yang berdosa, dibutuhkan penyelarasan agar ia
menemukan kembali damai sejahtera Allah lewat tindakan pencerahan diri dan
penerimaan atas kasih karunia Allah.
Pengambilan keputusan etis yang masuk dalam teori etika yang
diusung oleh Malcolm Brownlee memiliki ciri sebagai berikut:
Selalu memiliki pertimbangan tentang apa yang benar dan apa yang
salah, apa yang baik dan apa yang buruk. Etika didefinisikan secara sederhana
sebagai penyelidikan tentang apa yang baik atau benar atau luhur dan apa
yang buruk atau salah atau jahat dalam kelakuan manusia. Etika menaruh
perhatian pada norma-norma yang membimbing perbuatan manusia dan cita-
cita yang membentuk tujuan manusia17
.
Pengambilan keputusan etis sering kali menyangkut pada pilihan yang
sukar. Seringkali, keputusan kita bukan pilihan antara hitam dan putih,
melainkan antara dua corak yang kelabu. Orang-orang yang setuju tentang
prinsip-prinsip etis tidak selalu setuju dengan penerapan prinsip-prinsip itu
dalam kasus yang nyata. Sayang, orang-orang yang memandang etika sebagai
pilihan mutlak antara baik dan jahat kurang siap untuk menghadapi keputusan-
keputusan yang sukar. Karena mereka tidak bisa memilih antara kelabu tua
dan kelabu muda. Meskipun tekad dan ketetapan hati perlu diperhatikan oleh
bidang etika, tetapi etika juga harus menjelaskan persoalan-persoalan yang
terlibat dalam pemilihan-pemilihan etis yang sulit. Etika bermaksud untuk
menolong mendekati pemilihan itu dengan pikiran lebih cerdas18
.
16
Franz Von Magnis, Etika Umum: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral
(Yogyakarta: Penerbitan Yayasan Kanisius, 1975), 86. 17
Malcolm Brownlee, Pengambilan Keputusan Etis dan Faktor-Faktor di
Dalamnya, 16. 18
Brownlee, Pengambilan Keputusan Etis, 20.
8
Keputusan-keputusan etis tidak mungkin dielakkan. Individu-individu
juga kelompok-kelompok dan lembaga-lembaga sering dihadapkan dengan
pilihan yang perlu dilakukan. Kerapkali kita harus mengambil keputusan entah
yang sukar atau yang mudah. Sewaktu kita dihadapkan dengan pemilihan etis,
kita tidak mungkin tidak mengambil keputusan. Kita dapat secara aktif
mengambil keputusan kita dengan memikul tanggungjawab diatasnya. Atau
secara pasif kita dapat mengambil keputusan itu dengan membiarkan orang-
orang dan peristiwa-peristiwa berjalan terus tanpa campur tangan kita19
.
Kita hanya bisa memahami pengambilan keputusan etis kalau kita
memperhitungkan juga hal-hal yang tidak dipertimbangkan pada saat
pengambilan keputusan itu. Keputusan kita tidak hanya dipengaruhi oleh
norma-norma yang dipertimbangkan dan pengertian kita tentang situasi, tetapi
juga oleh kepercayaan kita, tabiat dan lingkungan sosial kita. Pengambilan
keputusan kita dipengaruhi oleh hubungan-hubungan kita dengan Tuhan,
orang lain, dan diri sendiri, padahal seringkali kita tidak menyadari pengaruh
itu.20
Dalam pengambilan keputusan etis, individu diperhadapkan pada
situasi yang dilematis, bukan hanya antara yang benar atau yang salah; yang
baik atau yang buruk; yang tepat atau yang tidak tepat; tetapi juga antara yang
kurang benar dan hampir benar. keputusan etis tidak selalu hanya menyangkut
yang hitam atau yang putih, tetapi juga yang abu-abu atau yang sering kali
disebut the lesser evil (yang paling sedikit buruknya). Sadar atau tidak, dalam
banyak kesempatan kita diharuskan untuk membuat keputusan yang sifatnya
the lesser evil. Situasi yang dilematis dalam pengambilan keputusan etis
adalah ciri keputusan etis yang kedua.21
Dalam kasus-kasus seperti ini kita
akan dihadapkan dengan pilihan yang sukar, biasanya antara kejujuran dan
white lie (kebohongan putih).22
19
Brownlee, Pengambilan Keputusan Etis, 23. 20
Brownlee, Pengambilan Keputusan Etis, 25. 21
Ebenhaizer Nuban Timo dan Irene Ludji, Panorama Etika Kristen (Salatiga:
Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana, 2015), 73. 22
White lie adalah istilah yang populer yang digunakan untuk membenarkan
tindakan berbohong dengan alasan tujuan yang hendak dicapai adalah benar.
9
Kadang-kadang kita mendengar orang mengatakan bahwa keputusan-
keputusan moral itu relatif. Kata “relatif” mempunyai bermacam-macam arti.
Kadang-kadang “relatif” berarti keputusan bukan pilihan antara baik dan
buruk secara mutlak melainkan antara campuran-campuran baik dengan
buruk. Satu campuran dianggap hanya relatif lebih baik daripada yang lain.
Pandangan ini dapat disetujui, tetapi tidak membebaskan kita dari
tanggungjawab untuk memilih yang relatif lebih baik dan menolak yang relatif
lebih buruk. Pilihan antara campuran-campuran baik dengan jahat masih perlu
dinilai benar-salahnya.
Arti lain untuk “relatif”: berhubungan. Kata “relatif” sering dipakai
dengan arti ini oleh orang-orang yang berpendapat bahwa keputusan kita
berhubungan dengan situasi. Karena itu mereka merasa bahwa tidak ada
patokan moral yang berlaku untuk semu situasi. Tentu “berhubungan” adalah
arti tepat bagi “relatif”. Namun demikian keputusan-keputusan kita
berhubungan bukan dengan situasi saja melainkan juga iman, tabiat,
lingkungan sosial, dan norma-norma23
.
2.2 Beberapa Pemikiran Norman L. Geisler dan J. Verkuyl
Selain Malcolm Brownlee, ada beberapa tokoh yang juga
mengemukakan teori etika yang lebih khusus menjurus kepada hukuman mati.
Beberapa pemahaman tersebut membagi pemikiran tentang hukuman mati
menjadi tiga pandangan yaitu, rekonstruksionisme, rehabilitasionisme, dan
retrebusionisme.24
Secara singkat menurut Norman L. Geisler, Rekonstruksionisme
merupakan pandangan yang menuntut hukuman mati atas semua kejahatan
serius; Rehabilitasionisme merupakan pandangan yang tidak mengizinkan
hukuman mati atas kejahatan apapun; dan Retribusionisme merupakan
pandangan yang menganjurkan hukuman mati atas sejumlah kejahatan (besar).
Bentuk-bentuk dari ketiga pandangan inilah yang dianut oleh kaum Kristen.25
23
Brownlee, Pengambilan Keputusan Etis, 27. 24
Norman L. Geisler, Etika Kristen: Pilihan dan Isu Kontemporer (Malang:
SAAT, 2015), 238. 25
Geisler, Etika Kristen, 238.
10
Pertama, Kaum rekonstruksionisme percaya bahwa hukuman mati
seharusnya diterapkan untuk semua kejahatan besar atau setiap kejahatan
nonseremonial yang disebutkan dalam hukum Musa yang termasuk
didalamnya dua puluh pelanggaran berbeda. Kaum rekonstruksionisme
percaya bahwa tujuan utama dari keadilan adalah retribusi bukan rehabilitasi.
Tujuannya untuk menghukum bukan untuk pembaharuan.26
Pendukung
rekonstruksi Greg L. Bahnsen menjelaskan hal ini dalam Theonomy in
Christian Ethics; dia berpendapat bahwa “kita harus mengerti ketentuan dari
hukuman mati berdasarkan bahwa hukuman mati bagi warga negara adalah
kejahatan yang beralasan dimata Allah.”27
Mereka percaya bahwa hukuman
mati masih mengikat saat ini. Mereka yakin bahwa pemerintah tunduk pada
kewajiban Ilahi untuk melaksanakan hukuman mati. Intinya mereka percaya
bahwa hukuman mati perlu diberlakukan pada setiap macam pelanggaran
besar, sosial, keagamaan, atau moral.
Kedua, Pendukung pandangan ini adalah orang Kristen dan non
Kristen, yang percaya bahwa tujuan keadilan adalah rehabilitasi bukan
retribusi. Keadilan bersifat rehabilitatif bukan retributif. Kita harus berusaha
memperbaiki penjahat, bukan menghukumnya, atau setidaknya bukan dengan
hukuman mati.28
Ada beberapa pandangan moral yang digunakan oleh kaum
rehabilitasionisme untuk menolak hukuman mati, yaitu: hukuman mati
diterapkan dengan tidak adil, hukuman mati bukanlah pencegah kejahatan,
hukuman mati adalah tindakan yang tidak berprikemanusiaan, para penjahat
seharusnya disembuhkan bukan dibunuh, dan hukuman mati mengirim orang-
orang yang tidak percaya menuju neraka.29
Ketiga, retrebusi (hukuman mati untuk sejumlah kejahatan besar).
Pandangan ini berpendapat bahwa hukuman mati diberlakukan untuk beberapa
kejahatan, yaitu, kejahatan-kejahatan besar. Berbeda dengan
26
Geisler, Etika Kristen, 245. 27
Greg L. Bahnsen, Theonomy in Christian Ethics, edisi yang diperluas
(Philipsburg, NJ: Presbyterian & Reformate, 1998), 441, ed. Norman L. Geisler, Etika
Kristen: Pilihan dan Isu Kontenporer (Malang: SAAT, 2015), 245. 28
Geisler, Etika Kristen, 238. 29
Geisler, Etika Kristen, 240.
11
rehabilitasionisme, retribusionisme tidak percaya bahwa tujuan utama dari
hukuman mati adalah untuk menghukum. Berbeda dangan
rekonstruksionisme, retribusionisme tidak percaya bahwa pemerintahan sipil
saat ini terikat oleh hukum Musa yaitu mengenai hukuman mati.
Retribusionisme berpendapat bahwa penjahat tidaklah sakit tetapi berdosa.
Pelanggarannya yang utama bukan bersifat patologis tetapi moral. Karena
mereka adalah manusia yang bertanggung jawab secara rasional dan moral,
mereka lebih tau dank arena itu layak dihukum. Sekalipun hukuman mati bisa
mencegah kejahatan, setidaknya oleh para pelaku, bagaimanapun ini bukanlah
tujuan utamanya. Tujuan utamanya adalah menghukum orang yang bersalah,
bukan melindungi orang yang tidak bersalah.30
Pandangan lainnya yang juga menyoroti masalah hukuman mati adalah
J. Verkuyl. Tidak seperti Geisler, Verkuyl secara gamblang menyatakan dua
argumentasinya, yaitu alasan untuk tidak menyetujui hukuman mati dan
alasan-alasan teologis sebagai dasar hukuman mati.
Alasan untuk Tidak Menyetujui Hukuman Mati
Pertama, dalam abad ini dan abad-abad yang lalu, hak itu telah
disalahgunakan dengan cara yang sangat mengerikan. Hak menjatuhkan
hukuman mati kerapkali disalahgunakan untuk memusnahkan ras yang
merupakan golongan kecil, sehingga sesudah perang dunia kedua banyak
orang berkata: “senjata ini, yakni senjata hukuman mati, tidak boleh lagi
berada didalam tangan pemerintah, sebab banyak pemerintah yang telah
bermain-main dengan senjata itu secara sangat mengerikan, dan dengan
demikian mereka telah kehilangan hak untuk mempergunakan senjata
(hukuman mati) itu.” Alasan-alasan itu sungguh sangat berat. Kemarahan dan
keberangan orang tentang penyalahgunaan hak menjatuhkan hukuman mati
mempunyai nilai kesusilaan yang sangat tinggi.31
Kedua, alasan kedua diambil dari firman keenam yang berbunyi:
“jangan membunuh.”, walaupun didalamnya hukum Taurat Israel juga
30
Geisler, Etika Kristen, 256-257. 31
Dr. J. Verkuyl, Etika Kristen: Ras, Bangsa, Gereja, dan Negara (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1992), 154.
12
memberikan hak kepada pemerintah untuk menjatuhkan hukuman mati guna
melindungi hidup dan kehidupan bersama. Kepada pemerintah telah diberikan
pedang untuk dipergunakan, justru karena hidup rakyat harus dilindungi.32
Ketiga, menentang hukuman mati berdasarkan perikemanusiaan.
Perikemanusiaan memandang kehidupan manusia sebagai nilai tertinggi dan
menganggap kehidupan manusia sebagai suatu yang tidak dapat diganggu
gugat secara mutlak.33
Karena kehidupan sendiri merupakn pemberiaan
langsung dari Tuhan.
Keempat, alasan yang istimewa beratnya datang dari pihak pastoral.
Kerapkali ditunjukan bahwa hukuman mati tidak atau sedikit saja memberikan
kesempatan untuk bertobat jika seandainya pemerintah dilarang untuk
menjatuhkan hukuman mati, tetapi misalnya boleh menjatuhkan hukuman
penjara seumur hidup, maka ada lebih banyak kesempatan untuk memberi
pengembalaan kepada tawanan tersebut.34
Alasan-alasan Teologis Sebagai Dasar Hukuman Mati
Menurut Verkuyl, banyak ahli teologi yang berpendapat bahwa
pemerintah harus diberi hak untuk mengenakan hukuman mati. Alasan-alasan
yang mereka ajukan ialah.
Pertama, dalam Kejadian 9:6, Alkitab berkata untuk pertama kalinya
tentang tugas pemerintah. Sekalipun sudah tentu bahwa Alkitab tidak
dimaksudkan sebagai Kitab Undang-undang Hukum Pidana, namun adalah
sangat penting artinya bagi hukum pidana, bahwa perbuatan jahat yang
menyerang hidup manusia diancam disini dengan hukuman yang terberat oleh
Tuhan sendiri.35
Kedua, dalam perjanjian baru disebutkan bahwa pemerintah diberi
“kekuasaan pedang” (Rm. 13:4). Pedang dianggap sebagai lambang hukuman
mati dan sebagai kemungkinan yang terakhir.36
32
Verkuyl, Etika Kristen, 154. 33
Verkuyl, Etika Kristen, 154. 34
Verkuyl, Etika Kristen, 155. 35
Verkuyl, Etika Kristen, 155. 36
Verkuyl, Etika Kristen, 155.
13
Ketiga, hukuman mati sebagai tanda murka Allah. Walaupun hanya
Tuhanlah yang dapat mengadili manusia, tetapi hukuman mati dijadikan
antisipasi atau pendahuluan diadilinya dunia ini. Hukuman mati adalah suatu
tanda yang menunjuk kepada hukuman yang terakhir yang diberikan kepada
manusia di dunia.37
Keempat, hukuman mati hanya dapat diterima sebagai “ultima ratio”,
sebagai alasan atau alat terakhir didalam perkara-perkara yang sangat
istimewa. Yang sangat mengerikan dalam hal hukuman mati ialah bahwa
hukuman itu tidak dapat dibetulkan, ditarik kembali, ataupun dihapuskan
apabila kemudian ternyata hukuman itu salah. Karena itu pemerintah baru
boleh mengenakan hukuman mati pada taraf yang terakhir. Maka
kemungkinan mengenakan hukuman mati perlu juga dicantumkan didalam
KUHP dengan menyebutkan pula dalam kejadian-kejadian apakah hukuman
itu boleh digunakan. 38
Hukuman Mati Kasus Narkoba dalam Kacamata Etika Kristen
3.1 Data Kasus Pidana Narkotika
Upaya pemerintah dalam meletakkan landasan yuridis terhadap
peyalahgunaan Narkotika tersebut tidak dapat dipungkiri akibat dari kian
meningkatnya pelanggaran atau kasus yang terkait dengan masalah tersebut.
Penyalahgunaan narkoba akan menyebabkan ketergantungan fisik, emosional
maupun psikir. Berbagai motivasi dalam penyalahgunaan narkoba ternyata
menyangkut motivasi yang berhubungan dengan keadaan individu, selain itu
penyalahgunaan narkoba merupakan jalan pintas untuk menghadapi beban
kehidupan sebagai dampak factor lingkungan.39
Jumlah tersangka kasus narkoba selama tahun 2004 sampai tahun 2006
yang berada di wilayah hukum Kab. Semarang dapat dilihat dari tabel I
tentang jumlah tersangka berikut:
37
Verkuyl, Etika Kristen, 155. 38
Verkuyl, Etika Kristen, 156. 39
Dr. H. Moh. Hatta, SH. Kebijakan Politik Kriminal: Penegakan Hukum dalam
Rangka Penanggulangan Kejahatan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), 97.
14
Tabel I
Jumlah Tersangka Kasus Narkoba yang Ditangani Polres Kab.
Semarang Tahun 2004 sampai 2006
No Tahun Jumlah
Tersangka
Narkotika
Jumlah
Tersangka
Psikotropika
Jumlah
1 2004 7 5 12
2 2005 15 5 20
3 2006 16 0 16
Total 38 10 48
Sumber: Data sekunder yang telah diolah
Dari tabel I tentang jumlah tersangka kasus diatas dapat diketahui
selama tahun 2004 terdapat 7 (tujuh) tersangka narkotika, tahun 2005 terdapat
15 (lima belas) tersangka kasus narkotika, dan tahun 2006 terdapat 16 (enam
belas) tersangka kasus narkotika yang ditangani oleh Polres Semarang.
Terhadap 48 (empat puluh delapan) tersangka kasus narkoba yang terjadi
selama tahun 2004 sampai 2006, Polres Semarang melakukan tindakan-
tindakan penanganan yang meliputi penyelidikan, penyidikan, dan pelimpahan
perkara ke penuntut umum. Penanganan kasus narkoba oleh kepolisian
didasarkan adanya laporan/pengaduan dari masyarakat, atau mungkin polisi
mengetahui sendiri adanya tindak pidana yang berkaitan dengan narkoba yang
diterima oleh sentral pelayanan kepolisian. Dari jumlah kasus pertahun
tersebut dapat dilihat bahwa dari tahun ke tahun kasus narkotika mengalami
kenaikan.40
Data ini menunjukan presentase hasil yang hampir sama dengan data
yang pernah dikeluarkan oleh Badan Narkotika Nasional tahun 2006.
40
M. Haryanto, S.H., M. Hum dan Shandra Kusumawati, Laporan Penelitian,
Penanganan Kasus Narkoba Oleh Kepolisisan Resor Semarang (Salatiga: Fakultas Hukum
Universitas Kristen Satya Wacana, 2007), 46.
15
Tabel II
Data Kasus Pidana Narkotika dan Obat-Obatan Terlarang di
Indonesia Tahun 2001-2005
N
o
Kasus Tahun Jumla
h
Total
Rata-
rata
Per
Tahu
n
2001 2002 2003 2004 2005
1 Narkotika 1.90
7
2.04
0
3.92
9
3.87
4
8.171 19.921 3.984
2 Psikotropik
a
1.64
8
1.63
2
2.59
0
3.88
7
6.733 16.921 3.398
3 Bahan
Adiktif
62 79 621 648 1.348 2.758 552
Jumlah 3.61
7
3.75
1
7.14
0
8.40
9
16.25
2
39.169 7.834
%kenaikan - 3,7 90,3 17,8 93,3 205 51,3
Sumber: Dit IV/ Narkoba, Badan Narkotika Nasional (BNN), Februari
2006.41
Data pada tabel II menunjukan kasus narkokotika dan psikotropika
secara umum, tanpa membedakan antara produsen, pengedar, dan pemakai
(pemakai tidak diancam hukuman mati). Data ini menunjukan bahwa dari
tahun ke tahun tindak pidana narkotika terus mengalami kenaikan dengan
jumlah rata-rata per tahun 3.984 (tiga ribu Sembilan ratus delapan puluh
empat) kasus narkotika.
41
Sumber: Dit IV/Narkoba, Badan Narkotika Nasional (BNN), Februari 2006,
ed. Todung Mulya Lubis dan Alexsander Lay, Kontroversi Hukuman Mati (Jakarta:
Kompas,2009) 66.
16
Dasar-Dasar Penentuan Hukuman Mati
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa hukuman mati (death
penalty) merupakan hukuman akhir dan hukuman paling berat yang diberikan
kepada seorang tersangka. Seiring dengan perkembangan zaman, hukuman
mati mengalami berbagai penyesuaian dan penentuan hukuman mati sudah
diatur pelaksanaannya dalam peraturan perundang-undangan masing-masing
negara.
Sekalipun ada banyak kritik dan perdebatan dari kelompok yang pro
dan kontra mengenai hukuman mati, tetapi setidaknya ada tiga hal besar yang
menjadi dasar penentuan hukuman mati yaitu,
Pertama, Hukuman mati hanya diterapkan untuk segala bentuk
kejahatan besar (the most serious crimes).42
Dikutip dari putusan MK No 2-
3/PUU-V/2007, ketentuan pasal-pasal UU Narkotika tersebut masing-masing
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 80 ayat (1) huruf a: “Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum:
memproduksi, mengolah, mengekstraksi, mengkonversi, merakit atau
menyediakan narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana mati…”, pasal
80 ayat (2) huruf a: “Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam:
Ayat (1) huruf a didahului dengan permufakatan jahat, dipidana dengan
pidana mati…”, pasal 80 ayat (3) huruf a: “Apabila tindak pidana
sebagaimana dimaksudkan dalam: Ayat (1) huruf a dilakukan secara
terorganisasi, dipidana dengan pidana mati…”, pasal 81 ayat (3) huruf a:
“Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksudkan dalam: Ayat (1) huruf a
dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana mati…”, pasal 82
ayat (1) huruf a: “Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum: mengimpor,
mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli,
menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, atau menukar
narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana mati…”, pasal 82 ayat (2)
huruf a: “Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksudkan dalam Ayat (1)
didahului dengan permufakatan jahat, maka terhadap tindak pidana
sebagaimana dimaksudkan dalam: Ayat (1) huruf a, dipidana dengan pidana
42
Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay, Kontroversi Hukuman Mati
(Jakarta: Kompas, 2009), 49.
17
mati…”, pasal 82 ayat (3) huruf a: “Apabila tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam: Ayat (1) huruf a dilakukan secara terorganisasi, dipidana
dengan pidana mati…”43
Dilihat dari dampaknya, narkoba juga menyebabkan ratusan nyawa
masyarakat Indonesia terutama pemuda yang merupakan generasi bangsa
terancam hilang. Kemudian atas keputusan MK ini, dapat dikatakan bahwa
kasus narkotika tergolong dalam kejahatan serius yang dihadapi oleh negara.
Kedua, Hukuman mati memberikan efek jera bagi tindak pidana.
Secara teoritis dapat dikatakan bahwa ancaman hukuman mati menimbulkan
efek jera (deterrent effect) yang sangat tinggi. Efek jera hukuman mati
tersebut merupakan faktor penting dalam menyebabkan orang mengurungkan
niatnya untuk melakukan tindak pidana.44
Penerapan hukuman mati bagi para
pengedar narkoba diharapkan dapat memberikan efek jera bagi pelaku
pengedar narkoba dan dapat mencegah masyarakat yang berniat untuk
menggunakan dan mengedarkan narkoba. Sehingga kasus kematian akibat
narkotika di Indonesia dapat ditekan dengan adanya penegakan hukuman mati
ini.
Ketiga, Menurut putusan MK No 2-3/PUU-V/2007 menyatakan bahwa
perumusan, penerapan, maupun pelaksanaan pidana mati hendaklah
memperhatikan empat hal penting. Pertama, pidana mati bukan lagi
merupakan pidana pokok, melainkan sebagai pidana yang bersifat khusus dan
alternatif. Kedua, pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan
selama 10 tahun yang apabila terpidana berkelakuan terpuji dapat diubah
dengan pidana penjara seumur hidup atau selama dua puluh tahun. Ketiga,
pidana mati tidak dapat dijatuhkan terhadap anak-anak yang belum dewasa.
Keempat, eksekusi pidana mati terhadap perempuan hamil dan seorang yang
sakit jiwa diyangguhkan sampai perempuan hamil tersebut melahirkan dan
terpidana yang sakit jiwa tersebut sembuh.45
43
Dikutip dari Putusan MK No. 2-3/PUU-V/2007, hal 403-432, Ed. Tudung
Mulya Lubis dan Alexsander Lay, Kontroversi Hukuman Mati, 344. 44
Lubis, Kontroversi Hukuman Mati, 65. 45
Lubis, Kontroversi Hukuman Mati, Xi.
18
Pro dan Kontra Disekitar Hukuman Mati
Seiring berjalannya waktu hukuman mati terkhusus bagi terpidana
narkoba dihadapkan dengan dilema etis yang terjadi dimasyarakat. Hukuman
mati tersebut memperoleh berbagai tanggapan dari berbagai kalangan, baik
tanggapan yang pro maupun kontra terhadap kebijakan tersebut. Disatu sisi
beranggapan bahwa didalam undang-undang narkotika di Indonesia
menjadikan hukuman mati sebagai hukuman berat bagi bandar narkoba yang
dianggap telah merugikan banyak pihak sehingga pantas untuk dikenakan
hukuman mati. Sedangkan disisi lain, terdapat kelompok yang menolak
hukuman mati atas nama hukum HAM Internasional sebagai alasan utamanya.
Pro terhadap Hukuman Mati
Saya tidak akan banyak membahas tanggapan kelompok masyarakat
yang pro atau setuju dengan pidana mati karena kolompok ini kukuh
menggunakan dasar-dasar penentuan hukuman mati (seperti yang dijelaskan
sebelumnya) sebagai alasan utama mereka menyetujui hukuman mati.
Negara dalam hal ini harus mengambil tindakan tegas untuk
menghukum setiap orang yang terkait dengan peredaran narkoba. Hukuman
yang diberikan haruslah bersifat tegas sehingga memberikan efek jera bagi
sang pelaku maupun orang-orang yang menyaksikan hukuman ini. Akhirnya
hukuman mati menjadi salah satu opsi yang dianggap paling ampuh untuk
mengatasi hal ini. Hukuman mati dianggap valid karena mengandung keadilan
dalam hal pertanggungjawaban atas kesalahan yang telah diperbuat. Para
terpidana narkoba dianggap telah merugikan banyak pihak sehingga pantas
dikenakan hukuman mati.46
Kontra terhadap Hukuman Mati
Sama halnya dengan pandangan yang mendukung pidana hukuman
mati, pandangan yang kontra atau tidak setuju dengan hukuman mati juga
memiliki landasan yang kuat. Seperti yang telah dijelaskan dibagian awal,
hukuman mati sangat bertentangan dengan Hak Asasi Manusia yang berlaku
46
Gregory C. Higgins, Dilema Moral Zaman Ini (Yogyakarta: Kanisius, 2006),
131.
19
di negara. Pandangan bahwa hanya Tuhan yang memiliki kuasa penuh akan
keberlangsungan hidup manusia membuat hukuman mati bertentangan dengan
prinsip dasar HAM. Beberapa alasan lain yang disampaikan adalah
diragukannya efek jera hukuman mati dalam menurunkan jumlah tindak
pidana47
, dan hukuman mati merupakan suatu bentuk penghukuman yang
kejam dan merendahkan martabat manusia.48
“Efek jera hukuman mati tersebut merupakan factor penting dalam
menyebabkan orang mengurungkan niatnya untuk melakukan tindak pidana”.
Secara logika argument ini masuk akal, namun tidak terdapat data statistic
(empiris) dan riset yang secara meyakinkan mendukung kesimpulan tersebut.
Yang terjadi justru sebaliknya.49
Sebagai contoh, jumlah tindak pidana
narkotika dan psikotropika di Indonesia justru meningkat dari tahun ke tahun
walaupun UU narkotika dan UU No. 5 tahun 1997 tentang psikotropika
memberlakukan hukuman mati. Hal ini cukup membuktikan bahwa ancaman
hukuman mati bukanlah faktor utama dan bukan merupakan faktor yang tidak
tergantikan dalam upaya mengurangi tindak pidana narkotika dan psikotropika
ataupun tindak pidana lainnya.
Salah satu sebab hukuman mati dihapuskan diberbagai negara didunia
adalah kenyataan bahwa hukuman mati dianggap merupakan satu bentuk
hukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan
martabat manusia. Kejamnya hukuman mati dilukiskan oleh Mahkama
Konstitusi Afrika Selatan ketika menghapus hukuman mati dari sistem hukum
Afrika Selatan. Dalam kasus ini Hakim Chaskalson, mendeskripsikan
hukuman mati sebagai berikut: kematian adalah sebuah hukuman yang kejam,
dan proses-proses hukum untuk menentukan dibatalkan atau tidak dilakukan
hukuman, yang membuat si terpidana menunggu dalam ketidakpastian,
semakin menambah kekejaman tersebut. Hukuman mati juga berada diluar
batas perikemanusiaan, karena… ”dengan sendirinya merupakan
pengingkaran terhadap kemanusiaan yang bersangkutan”50
47
Lubis, Kontroversi Hukuman Mati, 65. 48
Lubis, Kontroversi Hukuman Mati, 338. 49
Lubis, Kontroversi Hukuman Mati,65-66. 50
Lubis, Kontroversi Hukuman Mati, 338-339.
20
Fakta ini membuktikan bahwa pada dasarnya permasalahannya terletak
pada hakikat hukuman mati itu sendiri sebagai suatu bentuk penghukuman
yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia. Upaya
mencari metode eksekusi yang lebih “berperikemanusiaan” bukanlah
solusinya. Jika terjadi kesalahan pada sistem peradilan pidana hukuman mati,
terpidana yang sudah terlanjur dieksekusi sudah tidak bisa dibebaskan
kembali. Pada kasus hukuman mati yang telah dieksekusi, kelemahan ini
menjadi fatal. Orang yang telah dieksekusi tidak dapat dihidupkan kembali.51
3.2 Hukuman Mati Kasus Narkoba dalam Perfektif Etika Kristen
Pada dasarnya setiap kasus pelanggaran narkoba dikarenakan oleh
penggunaan narkoba dalam kadar yang tidak wajar dan tidak memiliki izin
atau hak dalam menggunakannya. Sebagaimana yang kita ketahui narkoba
banyak ditransaksikan secara sembunyi-sembunyi bahkan terkadang sudah
terang-terangan dalam lingkungan masyarakat untuk dikonsumsi dengan
mengambil efeknya berupa kesenangan, padahal kita ketahui dampak negatif
dari narkoba sangat berbahaya, serta dapat menimbulkan komplikasi berbagai
macam penyakit hingga kematian.52
Oleh karena itu menurut pandangan saya,
hal ini disebabkan oleh banyak faktor. Beberapa diantaranya adalah kurangnya
pengetahuan mengenai dampak yang akan ditimbulkan oleh narkoba dan
barang-barang sejenisnya, menganggap bahwa narkoba merupakan jalan
keluar atas masalah kehidupan yang dihadapi, dan yang terakhir adalah
narkoba dijadikan gaya hidup zaman sekarang.
Data yang saya kumpulkan berasal dari penanganan kasus narkoba
oleh kepolisian resor Semarang yang terangkum dalam tabel I (jumlah
tersangka kasus narkoba yang ditangani Polres Kab. Semarang tahun 2004
sampai 2006)53
dan data yang dikeluarkan oleh Badan Narkotika Nasional
51
Lubis, Kontroversi Hukuman Mati, 339. 52
Heriadi Willy, Berantas Narkoba Tidak Cukup Hanya Bicara (Yogyakarta:
Kedaulatan Rakyat, 2015), 5. 53
M. Haryanto, S.H., M. Hum. dan Ahndra Kusumawati, Penanganan Kasus
Narkoba oleh Kepolisian Resor Semarang (Salatiga: Fakultas Hukum Universitas Kristen
Satya Wacana, 2007), 29.
21
yang dirangkum dalam tabel II (data kasus pidana narkotika dan obat-obat
terlarang di Indonesia)54
Dari penelitian literarur yang dilakukan penulis, dari tahun ke tahun
kasus narkotika terus mengalami kenaikan. Pada tabel I tentang jumlah
tersangka kasus narkotika yang ditangani oleh Polres Kab. Semarang terdapat
total 38 (tiga puluh delapan) kasus narkotika. Hal yang sama juga terlihat pada
tabel II dengan total 19.921 (sebilan belas ribu Sembilan ratus dua puluh satu)
kasus pidana narkotika dan obat-obatan terlarang di Indonesia.
Berkaitan dengan kenaikan tindak pidana narkoba tiap tahunnya, fakta
ini cara tidak langsung membuktikan bahwa hukuman yang diberikan terhadap
pelaku tidak terlalu efektif karena tidak dapat memberikan efek jera bagi
pelaku tindak pidana narkoba.
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa hukuman mati
merupakan hukuman yang paling berat bagi seorang terpidana. Atas dasar
tersebut, hukuman mati jelas membutuhkan alasan yang kuat untuk dikenakan
pada seorang terpidana. Pada sistem pelaksanaan hukuman mati harus benar-
benar valid dan tidak boleh ada sedikitpun kesalahan. Karena pada dasarnya
hukuman mati adalah hukuman terakhir, orang yang telah dihukum mati tidak
dapat dihidupkan kembali (jika nantinya terbukti tidak bersalah).
Menurut Malcolm Brownlee pada dasarnya setiap pengambilan
keputusan etis memiliki ciri sebagai berikut: Selalu memiliki pertimbangan
tentang apa yang benar dan apa yang salah, pengambilan keputusan etis sering
kali menyangkut pada pilihan yang sukar, keputusan etis tidak mungkin
dielakkan, dan kita hanya bisa memahami pengambilan keputusan etis kalau
kita memperhitungkan hal-hal yang tidak dipertimbangkan pada saat
pengambilan keputusan itu.55
Dari hasil perbandingan data yang telah dikumpulkan dan teori etika
Kristen Brownlee, saya dapat jelaskan bahwa memang tindak pidana narkoba
jelas merupakan sebuah kejahatan paling serius yang pantas untuk dikenakan
54
Sumber: Dit IV/Narkoba, Badan Narkotika Nasional (BNN), Februari 2006,
ed. Todung Mulya Lubis dan Alexsander Lay, Kontroversi Hukuman Mati (Jakarta:
Kompas,2009) 66. 55
Brownlee, Pengambilan Keputusan Etis, 16-25.
22
hukuman mati. Tetapi dalam prakteknya, pidana mati harus tetap
memperhatikan hal-hal lain sebagai bentuk pertimbangan etis, seperti: umur,
kesehatan mental dan fisik, serta kemajuan bentuk tingkah laku dalam masa
percobaan.56
Putusan MK tentang syarat penentuan hukuman mati ini sangat
jelas, sehingga hukuman mati tidak boleh dilakukan diluar empat poin yang
telah ditetapkan. Jika ditemukan kasus yang sesuai dengan ciri-ciri tersebut,
hukuman mati harus ditangguhkan. Selain harus sah dimata hukum, hukuman
mati sebagai salah satu bentuk hukum harus menghasilkan kebaikan yang
maksimal bagi seluruh komponen masyarakat.
Hukum dan hukuman mati adalah dua hal yang berbeda. Hukum (law)
dapat dimaknai sebagai “norma yuridis legal yang tersistem yang berfungsi
sebagai dasar yang mengatur, melindungi, dan mendukung kehidupan
masyarakat sebagai entitas sipil dari sebuah negara.” Sedangkan hukuman
mati (capitalpunishment , or death penalty) merujuk kepada eksekusi oleh
negara atas seseorang yang diyakini (secara yuridis formal) terbukti
melakukan jenis kejahatan tertentu.57
Hukuman mati memang salah satu
bentuk hukuman yang banyak mengundang kontroversi dalam setiap
pelaksanaannya. Berbagai pandangan turut mewarnai pelaksanaan hukuman
mati, ada pandangan yang sejutu dengan diberlakukannya hukuman mati dan
ada pula yang justru menentang pelaksanaan hukuman mati. Secara umum
alasan yang diangkat oleh pandangan yang menyetujui hukuman mati adalah
bahwa hukuman mati merupakan bentuk hukuman yang cocok untuk
memberikan efek jera bagi terpidana kejahatan serius dan orang-orang yang
menyaksikan hukuman ini. Sedangkan disisi lain, pandangan yang kontra
terhadap hukuman mati berpandangan bahwa hukuman mati sangat
berlawanan dengan konsep HAM yang berlaku.
Jika kita berkaca pada pemikiran Malcolm Brownlee pilihan untuk pro
terhadap hukuman mati lebih condong kepada jenis etika akibat yang
cenderung “melegitimasi akibat” yang membawa kebaikan terbesar, apa pun
dasarnya atau alasan dari setiap tindakan. Suatu tindakan dianggap benar
56
Lubis, Kontroversi Hukuman Mati, xi. 57
Weny, Allah Pemilik setra Penguasa, 1.
23
apabila mengakibatkan hasil baik yang lebih besar daripada hasil buruk. Suatu
tindakan dianggap salah apabila mengakibatkan hasil buruk yang lebih besar
daripada hasil baik. Suatu tindakan harus dilaksanakan apabila akan
mengakibatkan hasil baik yang lebih besar daripada tindakan-tindakan lain
yang ada sebagai alternatif.58
Hukuman mati dianggap baik karena dapat menghukum terpidana
narkoba yang dianggap telah merugikan banyak pihak sehingga pantas untuk
dihukum. Hal ini mengesampingkan fakta bahwa si terpidana memiliki hak
untuk hidup, dan hanya Tuhan yang bisa mengambil nyawa seseorang. Fakta
lain yang mungkin juga terlupakan adalah bahwa yang harus diberantas
adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan narapidana melakukan tindak
pidana, bukan narapidana yang bersangkutan.59
Pandangan yang kontra terhadap hukuman mati lebih condong kepada
etika tanggungjawab yang selalu memberiruang bagi “tanggung jawab
Kristen” dalam membuat setiap keputusan etis. Tanggung jawab etis dalam
membuat keputusan ini diberlakukan akan tetapi sambil memperhitungkan
kebenaran Allah, iman, keluarga, sesama manusia, situasi, hukum,
masyarakat, bahkan orang yang tersangkut dalam pengambilan keputusan etis
berlandaskan kebenaran sehingga dapat menghasilkan sebuah tindakan yang
membawa kebaikan tertinggi (summum bonum) bagi semua orang.60
Atas dasar perbandingan tersebut, menurut saya hak menjatuhkan hukuman
mati boleh dimasukan ke dalam perundang-undangan, asalkan diterangkan
secara sejelas-jelasnya dalam kejadian yang bagaimana pemerintah boleh
mengenakan hukuman mati. Lebih dalam, hukuman mati menurut saya baru
boleh dilakukan ketika penegak hukum telah menemukan alasan dan bukti-
bukti yang kuat untuk melakukannya. Pemikiran yang tidak kalah penting
adalah hukuman mati hanya digunakan sebagai bentuk tindakan yang paling
terakhir.61
Karena menurut Todung Mulya Lubis, jika terdapat kesalahan
58
Brownlee, Pengambilan Keputusan Etis, 31. 59
Lubis, Kontroversi Hukuman Mati, 65. 60
Malcolm Brownlee, Pengambilan Keputusan Etis dan Faktor-Faktor di
Dalamnya, ed. Nelman A. Weny, ALLAH-Pemilik Serta Penguasa Tunggal Atas Kehidupan,
3. 61
J. Verkuyl, Etika Kristen, 157.
24
dalam sistem hukuman mati (salah tangkap atau terbukti tidak bersalah), orang
yang sudah dihukum mati tidak dapat dihidupkan kembali.
Penutup
1.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas, penulis dapat mengemukakan kesimpulan
sebagai berikut:
Tindak pidana narkoba jelas merupakan suatu bentuk kejahatan yang
serius dan pantas untuk dihukum seberat-beratnya karena telah merugikan
banyak pihak didalamnya. Tetapi hukuman mati bukan merupakan pilihan
yang etis untuk menghukum terpidana narkoba. Meskipun hukum negara
memberikan alasan yang sangat jelas, hukuman mati tidak boleh dijadikan
hukuman pokok melainkan hanya sebagai hukuman sekunder terutama dalam
jenis kasus pidana narkoba.
Hukuman mati adalah hukuman yang terakhir. Orang yang telah
dihukum mati tidak dapat dihidupkan kembali jika dikemudian hari
didapatkan fakta bahwa terpidana ternyata tidak bersalah.
Keputusan etis yang harus diperlihatkan dalam kasus seperti ini adalah
rehabilitasi bukan retrebusi. Kita harus memperbaiki penjahat, bukan
mematikan penjahat. Karena pada dasarnya yang harus dimatikan atau
dihilangkan adalah tingkah lakunya yang buruk, bukan nyawanya. Bukan
tidak mungkin, dengan pendampingan atau rehabilitasi terpidana narkoba
dapat dipulihkan mental dan tingkah lakunya.
25
DAFTAR PUSTAKA
Ajisuksmo, Clara R. P. Narkoba: Petunjuk Praktis Bagi Keluarga Untuk
Mencegah Penyalahgunaan Narkoba. Yogyakarta: Media Pressindo,
2001.
Brownlee, Malcolm. Pengambilan Keputusan Etis dan Faktor-Faktor di
Dalamnya. Jakarta: Gunung Mulia, 2006.
Dirdjosisworo, Soejono. Narkoba dan Peradilannya di Indonesia. Jakarta: O.C.
Kaligis & Associates.
Geisler, Norman L. Etika Kristen: Pilihan dan Isu Kontemporer. Malang: SAAT,
2015.
Haryanto, M, dan Shandra Kusumawati. Penanganan Kasus Narkoba oleh
Kepolisian Resor Semarang. Laporan Penelitian, Salatiga: Fakultas
Hukum Universitas Kristen Satya Wacana, 2007.
Hatta, Moh. Kebijakan Politik Kriminal: Penegakan Hukum dalam Rangka
Penanggulangan Kejahatan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Higgins, Gregory C. Dilema Moral Zaman Ini. Yogyakarta: Kanisius, 2006.
Lubis, Todung Mulya. Kontroversi Hukuman Mati. Jakarta: Kompas, 2009.
Magnis, Franz Von. Etika Umum: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral.
Yogyakarta: Penerbitan Yayasan Kanisius, 1975.
Nadeak, Wilson. Korban Ganja dan Masalah Narkotika. Bandung: Indonesia
Publishing House, 1978.
Nubantimo, Ebenhaizer dan Irene Ludji. Panorama Etika Kristen. Salatiga:
Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana, 2015.
Verkuyl, J. Etika Kristen: Ras, Bangsa, Gereja, dan Negara. Jakarta: Gunung
Mulia, 2015.
Weny, Nelman A. “Allah-Pemilik Serta Penguasa Tunggal Atas Kehidupan:
Sebuah Pandangan Teologis Kristen Atas Hukuman Mati”. Kuliah
Umum Agama UKSW, Salatiga Jawa Tengah, 23 Juli 2016.”
Willy, Heriadi. Berantas Narkoba Tak Cukup Hanya Bicara. Yogyakarta:
Kedaulatan Rakyat, 2015.