HUKUM SYARIAT ISLAM DAN HUKUM INDONESIA

13
1. Tujuan Syariat Islam Menurut buku “Syariah dan Ibadah” (Pamator 1999) yang disusun oleh Tim Dirasah Islamiyah dari Universitas Islam Jakarta, ada 5 (lima) hal pokok yang merupakan tujuan utama dari Syariat Islam, yaitu: 1) Memelihara kemaslahatan agama (Hifzh al-din) Agama Islam harus dibela dari ancaman orang-orang yang tidak bertanggung-jawab yang hendak merusak aqidah, ibadah dan akhlak umat. Ajaran Islam memberikan kebebasan untuk memilih agama, seperti ayat Al-Quran: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)…” (QS Al- Baqarah [2]: 256). Akan tetapi, untuk terpeliharanya ajaran Islam dan terciptanya rahmatan lil’alamin, maka Allah SWT telah membuat peraturan-peraturan, termasuk larangan berbuat musyrik dan murtad: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya. Barangsiapa yang mempesekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS An-Nisaa [4]: 48). Dengan adanya Syariat Islam, maka dosa syirik maupun murtad akan ditumpas. 2) Memelihara jiwa (Hifzh al-nafsi) Agama Islam sangat menghargai jiwa seseorang. Oleh sebab itu, diberlakukanlah hukum qishash yang merupakan suatu bentuk hukum pembalasan. Seseorang yang telah membunuh orang lain akan dibunuh, seseorang yang telah mencederai orang lain, akan dicederai, seseorang yang yang telah menyakiti orang lain, akan disakiti secara setimpal. Dengan demikian seseorang akan takut melakukan kejahatan. Ayat Al-Quran menegaskan: “Hai orang-orang yang beriman! Telah diwajibkan kepadamu qishash (pembalasan) pada orang-orang yang dibunuh…” (QS Al- Baqarah [2]: 178). Namun, qishash tidak diberlakukan jika si pelaku dimaafkan oleh yang bersangkutan, atau daiat (ganti rugi) telah dibayarkan secara wajar. Ayat Al-Quran menerangkan hal ini: “Barangsiapa mendapat pemaafan dari saudaranya, hendaklah mengikuti cara yang baik dan hendaklah (orang yang diberi maaf) membayar diat kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula)” (QS Al-Baqarah [2]: 178).

Transcript of HUKUM SYARIAT ISLAM DAN HUKUM INDONESIA

Page 1: HUKUM SYARIAT ISLAM DAN HUKUM INDONESIA

1. Tujuan Syariat Islam

Menurut buku “Syariah dan Ibadah” (Pamator 1999) yang disusun oleh Tim Dirasah Islamiyah dari Universitas Islam Jakarta, ada 5 (lima) hal pokok yang merupakan tujuan utama dari Syariat Islam, yaitu:

1) Memelihara kemaslahatan agama (Hifzh al-din)Agama Islam harus dibela dari ancaman orang-orang yang tidak bertanggung-jawab yang hendak merusak aqidah, ibadah dan akhlak umat. Ajaran Islam memberikan kebebasan untuk memilih agama, seperti ayat Al-Quran: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)…” (QS Al-Baqarah [2]: 256).Akan tetapi, untuk terpeliharanya ajaran Islam dan terciptanya rahmatan lil’alamin, maka Allah SWT telah membuat peraturan-peraturan, termasuk larangan berbuat musyrik dan murtad:“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya. Barangsiapa yang mempesekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS An-Nisaa [4]: 48).Dengan adanya Syariat Islam, maka dosa syirik maupun murtad akan ditumpas.

2) Memelihara jiwa (Hifzh al-nafsi)Agama Islam sangat menghargai jiwa seseorang. Oleh sebab itu, diberlakukanlah hukum qishash yang merupakan suatu bentuk hukum pembalasan. Seseorang yang telah membunuh orang lain akan dibunuh, seseorang yang telah mencederai orang lain, akan dicederai, seseorang yang yang telah menyakiti orang lain, akan disakiti secara setimpal. Dengan demikian seseorang akan takut melakukan kejahatan. Ayat Al-Quran menegaskan:“Hai orang-orang yang beriman! Telah diwajibkan kepadamu qishash (pembalasan) pada orang-orang yang dibunuh…” (QS Al-Baqarah [2]: 178).Namun, qishash tidak diberlakukan jika si pelaku dimaafkan oleh yang bersangkutan, atau daiat (ganti rugi) telah dibayarkan secara wajar. Ayat Al-Quran menerangkan hal ini:“Barangsiapa mendapat pemaafan dari saudaranya, hendaklah mengikuti cara yang baik dan hendaklah (orang yang diberi maaf) membayar diat kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula)” (QS Al-Baqarah [2]: 178).Dengan adanya Syariat Islam, maka pembunuhan akan tertanggulani karena para calon pembunuh akan berpikir ulang untuk membunuh karena nyawanya sebagai taruhannya. Dengan begitu, jiwa orang beriman akan terpelihara.

3) Memelihara akal (Hifzh al-’aqli)Kedudukan akal manusia dalam pandangan Islam amatlah penting. Akal manusia dibutuhkan untuk memikirkan ayat-ayat Qauliyah (Al-Quran) dan kauniah (sunnatullah) menuju manusia kamil. Salah satu cara yang paling utama dalam memelihara akan adalah dengan menghindari khamar (minuman keras) dan judi. Ayat-ayat Al-Quran menjelaskan sebagai berikut:“Mereka bertanya kepadamu (wahai Muhammad) mengenai khamar (minuman keras) dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa kedua-duanya lebih besar dari manfaatnya.” (QS Al-Baqarah [2]: 219).Syariat Islam akan memelihara umat manusia dari dosa bermabuk-mabukan dan dosa perjudian.

4) Memelihara keturunan dan kehormatan (Hifzh al-nashli)Islam secara jelas mengatur pernikahan, dan mengharamkan zina. Didalam Syariat Islam telah jelas ditentukan siapa saja yang boleh dinikahi, dan siapa saja yang tidak boleh dinikahi. Al-Quran telah mengatur hal-hal ini:

Page 2: HUKUM SYARIAT ISLAM DAN HUKUM INDONESIA

“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu.” (QS Al-Baqarah [2]: 221).“Perempuan dan lak-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman.” (QS An-Nur [24]: 2).Syariat Islam akan menghukum dengan tegas secara fisik (dengan cambuk) dan emosional (dengan disaksikan banyak orang) agar para pezina bertaubat.

5) Memelihara harta benda (Hifzh al-mal)Dengan adanya Syariat Islam, maka para pemilik harta benda akan merasa lebih aman, karena Islam mengenal hukuman Had, yaitu potong tangan dan/atau kaki. Seperti yang tertulis di dalam Al-Quran:“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagaimana) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS Al-Maidah [5]: 38).Hukuman ini bukan diberlakukan dengan semena-mena. Ada batasan tertentu dan alasan yang sangat kuat sebelum diputuskan. Jadi bukan berarti orang mencuri dengan serta merta dihukum potong tangan. Dilihat dulu akar masalahnya dan apa yang dicurinya serta kadarnya. Jika ia mencuri karena lapar dan hanya mengambil beberapa butir buah untuk mengganjal laparnya, tentunya tidak akan dipotong tangan. Berbeda dengan para koruptor yang sengaja memperkaya diri dengan menyalahgunakan jabatannya, tentunya hukuman berat sudah pasti buatnya. Dengan demikian Syariat Islam akan menjadi andalan dalam menjaga suasana tertib masyarakat terhadap berbagai tindak pencurian.

2. Sejarah berlakunya syariat Islam di Aceh Ada banyak sekali penelitian terhadap sejarah hukum Islam yang sangat rumit di Aceh, tetapi versi yang disederhanakan adalah sebagai berikut. Sejak abad ketujuhbelas hingga ke masa pembentukan pengawasan administratif oleh pemerintahan penjajah Belanda pada abad kesembilanbelas akhir, pengadilan formal dilaksanakan oleh hakim Islam (qadi), yg diangkat oleh sultan dan pejabat-pejabat lain. Sama seperti di belahan negeri Muslim lainnya, hukum yang berlaku merupakan campuran dari Syari’at dan adat yang bervariasi dari satu tempat ke tempat lain.Dengan kedatangan penjajah Belanda, sistem menggunakan para qadi yang diangkat secara lokal terus dipakai, namun wewenang mereka secara bertahap dikurangi, dan pada waktu itu secara formal tidak ada pengadilan agama atau setidaknya tak ada pengadilan agama yang diakui oleh pemerintahan koloni. Peradilan pidana berada dibawah wewenang pengadilan kolonial, dan Belanda berusaha untuk memindahkan penanganan kasus-kasus lain seperti persoalan tanah dan warisan, menjadi tanggung jawab dewan adat.Lahirnya Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) merupakan upaya pemerintah dalam rangka merebut kembali kepercayaan rakyat guna penyelesaian konflik di Aceh. Memang dalam perjalanan panjang masyarakat Aceh, keberadaan Islam menjadi sendi kehidupan yang tidak dapat dipisahkan.Usaha menerapkan Syari'at Islam terus dilakukan oleh masyarakatnya melalui berbagai upaya. Ini menunjukkan bahwa terdapat desakan yang begitu kuat yang muncul dari arus bawah (masyarakat) agar pemerintah memberikan keluasan bagi masyarakat Aceh menjalankan Syari'at Islam secara kaffah. Perjalanan Syari'at Islam di Aceh setelah kemerdekaan RI mengalami pasang surut. Perubahan dan perkembangan kondisi sosial

Page 3: HUKUM SYARIAT ISLAM DAN HUKUM INDONESIA

dan politik Negara Republik Indonesia turut menjadi penentu tentang penyelenggaraan Syari'at Islam di Aceh.Pada masa awal kemerdekaan upaya pelaksanaan Syari'at Islam dilakukan dengan pembentukan lembaga peradilan yang mandiri dan berkuasa penuh. Karena tuntutan yang terus menerus maka Gubernur Sumatera melalui surat kawat Nomor: 189 tanggal 13 Januari 1947 memberi izin kepada Residen Aceh membentuk Pengadilan Agama (Mahkamah Syar’iyah) dengan kewenangan yang penuh (tidak membutuhkan pengukuhan dari Pengadilan Negeri) dan relatif lebih luas di bidang hukum keluarga yang meliputi nafkah, kekayaan bersama, hak pemeliharaan anak, disamping perceraian dan pengesahan perkawinan dan kewarisan.Tahap baru pelaksanaan Syariat Islam di Aceh terjadi pada tahun 1959. Pada tahun ini-seperti telah disinggung di atas-terjadi kesepakatan antara Dewan Revolusi DI/TII dengan Wakil Pemerintah Pusat (populer dengan sebutan Missi Hardi) untuk mengakhiri "Peristiwa Aceh", dan untuk ini dibuatlah Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor 1/Missi/1959. Dengan keputusan ini Provinsi Aceh mendapat sebutan baru: Daerah Istimewa Aceh. Sebutan ini mengandung makna pemberian "… otonomi yang seluas-luasnya, terutama dalam lapangan keagamaan, peradatan, dan pendidikan." Namun, Keputusan Perdana Menteri ini cenderung tidak efektif di lapangan karena Pemerintah Pusat tidak mengeluarkan peraturan pelaksanaannya.Pada tahun 1965 disahkan undang-undang tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah (UU Nomor 18 tahun 1965), tetapi kehadiran undang-undang ini tidak banyak bermanfaat bagi Daerah Istimewa Aceh karena tidak memberi makna khusus tentang status keistimewaan Aceh. Undang-undang ini menyamakan otonomi yang diberikan kepada semua daerah Indonesia lainnya, sehingga hampir tidak ada arti dari keistimewaan itu selain dari sekedar sebutan dan pengakuan tentang aspek historis istilah saja.Pada masa Orde Baru, undang-undang Pokok Pemerintahan Daerah diganti dengan Undang-Undang Pemerintahan di Daerah, yaitu UU Nomor 5 tahun 1974. Dalam undang-undang ini status keistimewaan Aceh menjadi lebih tragis lagi karena sama sekali tidak dijelaskan. Masalah keistimewaan Aceh hanya disinggung sedikit di dalam penjelasan pasal 93, yang intinya istilah Daerah Istimewa hanyalah sekedar sebutan bagi Provinsi Aceh. Sedang mengenai otonomi yang luas di bidang agama, pendidikan, dan peradatan yang diakui dalam Keputusan Perdana Menteri di atas, sudah ditiadakan, dan tidak disebut-sebut lagi di dalam undang-undang baru. Otonomi yang akan diberikan kepada Aceh adalah sama dengan yang akan diberikan kepada daerah lain, disesuaikan dengan keadaan nyata di lapangan.[5] Dengan aturan ini, sekiranya dibandingkan dengan yang diperoleh beberapa daerah lain maka otonomi di Aceh bisa jadi akan lebih sempit, karena disesuaikan dengan keadaan nyata di lapangan.Namun begitu, di dalam perjalanan sejarahnya Pemerintah Daerah Istimewa Aceh tetap berusaha mengisi keistimewaan Aceh dengan berbagai Peraturan Daerah, Keputusan Gubernur, atau instruksi Gubernur.Dari rangkaian peraturan yang dikeluarkan Gubernur atau Pemerintah Daerah ini, ada sebuah Peraturan Daerah yang tidak disahkan oleh Pemerintah Pusat, yaitu rancangan Peraturan Daerah tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Daerah Istimewa Aceh. Rancangan ini disahkan DPRD pada tahun 1966 dan diajukan kepada Pemerintah Pusat ketika Menteri Dalam Negeri dijabat Basuki Rahmat. Tetapi sebelum peraturan ini disahkan, Basuki Rahmat meninggal dunia dan jabatan Menteri Dalam Negeri digantikan Amir Mahmud. Beliau menolak menyetujui peraturan ini dengan alasan yang tidak jelas. Penolakan tidak diberikan secara resmi dan tertulis, tetapi hanya secara lisan dalam sebuah upacara makan malam di kediaman beliau sendiri, dihadapan beberapa orang tokoh Aceh yang diundang khusus untuk itu, antara lain Gubernur Aceh berikut Ketua dan Wakil Ketua DPRD Aceh.

Page 4: HUKUM SYARIAT ISLAM DAN HUKUM INDONESIA

Kekecewaan masyarakat Aceh sebagaimana disebutkan di atas agaknya mulai terobati ketika tanggal 4 Oktober 1999, Presiden BJ Habibi menandatangani UU Nomor 44 tahun 1999,[6] tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh yang meliputi bidang agama, adat, pendidikan, dan peranan ulama. Penyelenggara kehidpan beragama di daerah ini diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan Syari'at Islam bagi pemeluknya. Syari'at Islam didefenisikan dengan tuntunan ajaran Islam dalam seluruh aspek kehidupan.Undang-Undang Nomor 44 tahun 1999 di atas merupakan peluang yuridis formal untuk menerapkan Syari'at Islam sesuai yang diinginkan masyarakat Aceh, sejak bumi Iskandar Muda digangggu Belanda itu.Sementara itu pada tanggal 9 Agustus 2001, Presiden Megawati Soekarno Putri menandatangani UU Nomor 18 Tahun 2001, yang lebih dikenal dengan UU Otonomi Khusus Nanggroe Aceh Darussalam. Terlepas dari plus minus nya UU tersebut, yang terpenting mengenai penerapan Syariat Islam adalah membenarkan pembentukan Mahkamah Syar'iyah, baik pada tingkat rendah (Sagoe) atauapun tingkat tinggi (Nanggroe) yang wewenangnya dapat meliputi seluruh bidang syari'at yang berkaitan dengan peradilan. Kedudukan peradilan tersebut sama dengan tiga saudaranya yang lain, yaitu, Peradilan Umum, Peradilan Militer dan Peradilan Administarsi Negara, yang pembinaan yudisialnya dilakukan oleh Mahkamah Agung. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Nangroe Aceh Darussalam membuka peluang bagi berlakunya hukum Islam di Nangroe Aceh Darussalam dalam kerangka Negara kesatuan. Landasan Koseptual pemberian otonomi kepada provinsi Nangroe Aceh Darussalam didasarkan kepada pertimbangan sejarah panjang keberadaan masyarakat Aceh sebagai komunitas muslim yang selama ini dipandang mampu mewujudkan tatanan kehidupan yang lebih demokratis, egaliter dan menjaga keseimbangan antara kepentingan duniawi dan ukhrawi. Sebagai cermin dari semboyan masyarakat Aceh, yakni Adat bak po Temunrenhoin, hukum bak Syah Kuala, Qonun bak Putro Phang, rensam bak Laksamana ( adat dari sultan, hukum dari ulama, qonun dari putra phang, rensam dari laksamana ). Semboyan ini masih aktual dalam perspektif modern kehidupan berbangsa dan bernegara dan relevan dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.Kekhusussan implementasi UU No. 18 Tahun 2001 ini yakni pemberian kesempatan yang lebih luas kepada Aceh untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya, baik sumber ekonomi, sumber daya alam, maupun sumber daya manusia menumbuhkan prakarsa, kreativitas, dan demokrasi sesuai dengan tata nilai yang berkembang di masyarakat Aceh dengan menerapkan Syariat Islam dalam kehidupan bermasyarakat.UU No. 18 Tahun 2001, sebenarnya merupakan penegasan terhadap UU sebelumnya, yaitu UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh yang memberikan kewenangan kepada Aceh untuk menyelenggarakan kehidupan beragama, penyelenggaraan kehidupan adat, penyelenggaraan pendidikan dan peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah yang di dasarkan pada Syariat Islam. Semangat spiritualitas dalam menegakan hukum Islam (syari’at Islam Di Aceh juga tidak terlepas dari teori-teori eksistensi hukum yang sudah diberlakukan sejak zaman penjajah belanda, yaitu teori Receptio In complexu yang pada waktu itu dikeluarkan oleh snouck hurgronje yang mengatakan bahwa bagi setiap penduduk berlaku hukum agamanya masing-masing, bagi orang Islam berlaku hukum agama Islam, demikian juga yang lain.Berbagai cara sudah ditempuh pemerintah untuk mendamaikan Aceh dan melepaskanya dari konflik, namun hasilnya belum menunjukkan tanda-tanda berakhirnya. Presiden Habibi telah mencoba mengadakan pendekatan.dan menarik simpati msyarakat Aceh dengan berbagai program pembangunan dan kemanusiaan. Demikian juga pada masa Presiden Abdurrahman Wahid, tetapi konflik terus saja berlangsung, bahkan intensitasnya lebih meningkat daripada sebelumnya, karena GAM sendiri terus melakukan konsolidasi. Konsekuensinya sulit memprediksi masa depan Aceh, bahkan

Page 5: HUKUM SYARIAT ISLAM DAN HUKUM INDONESIA

dalam masa pemerintahan Presiden Megawati juga seperti itu. Bagi Indonesia mengizinkan Aceh mengadakan referandum dengan opsi merdeka, dapat menyebabkan pemisahan diri Aceh dari Republik Indonesia. Belajar dari pengalaman Timor Timur, hampir semua rakyat Indonesia percaya bahwa mayoritas masyarakat Aceh akan memilih merdeka dari Indonesia, jika referandum diadakan. Karena Aceh , secara historis merupakan bagian yang tk terpisahkan dari republik ini, bahkan sumbangannya yang cukup besar terutama di awal kemerdekaan, maka sulit kiranya Pemerintah Pusat melepaskan nya. Setelah gagalnya Kesepakatan Penghentian Permusuhan (COHA/ Cessation of Hostilities Agrement) sejak awal 2003, Pemerintah Pusat akhirnya menerapkan Operasi Militer Terpadu dengan Pemerintah Darurat Militer di Aceh pada 19 Mei 2003 yang lalu.Pada era Presiden Susilo Bambang Yudoyono (sejak 2004 hingga kini 2008) kondisi Aceh sempat berstatus sebagai Darurat Sipil. Setelah terjadinya musibah 26 Desember 2004 (Gempa Bumi dan Gelombang Tsunami) Pemerintah Pusat masih mengupayakan pertemuan dengan pihak Gerakan Aceh Mereka) yang dilakukan Finlandia pada tanggal 15 Agustus 2005. Pada waktu itu terdapatlah Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara Pemerintah RI dan GAM, untuk sama-sama membuat lembaran baru di Aceh. Puncak dari kesepakatan itu adalah lahirnya Undang-Undang Republik Indonesia nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dalam undang-undang ini diatur banyak hal yang menyangkut sistem pemerintahan di Aceh, yang tentunya masih dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Demikianlah gambaran beberapa gejolak politik yang terdapat dalam sejarah Aceh untuk mendesakkan pemberlakuan Syari'at Islam di bumi Serambi Mekah tersebut.

3. Asas dan Hierarki hukum di Indonesia Materi muatan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dalam Pasal 6 UU No.10 Th. 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan megandung asas sebagai berikut :

pengayoman; kemanusian; kebangsaan; kekeluargaan; kenusantaraan; bhinneka tunggal ika; keadilan; kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

Kemudian Peraturan Perundang-undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan.

Jenis dan hirarki Peraturan Perundang-undangan sebagai mana dalam Pasal 7 UU No.10 Th. 2004 adalah :

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden; Peraturan Daerah.

Page 6: HUKUM SYARIAT ISLAM DAN HUKUM INDONESIA

Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud diatas diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.Adapun jenis peraturan perundang-undangan selain yang dimaksud diatas diterangkan dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (4) UU No.10 Th. 2004 yang berbunyi sebagai berikut : “Jenis Peraturan Perundang-undangan selain dalam ketentuan ini, antara lain, peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, Menteri, kepala badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentak oleh undang-undang atau pemerintah atas perintah undang-undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.”

4. Qanun yang lahir sejak berlakunya Syariat Islam di AcehSyariat islam yang akan menjadi hukum materil dituliskan dalam bentuk qanun terlebih dahulu, untuk mencegah kesimpangsiuran. Penerapan hukum jika hakim mengambil langsung dari buku-buku fikih dan berijtihad sendiri dari al-quran dan sunnah rasul.Sebelum terbentuknya qanun terlebih dahulu di buat rancangan oleh sebuah team untuk disosialisasikan kepada masyarakat untuk memperoleh masukan dan tanggapan. Setelah itu dilakukan konsultasi antara DPRD dengan MPU.Beberapa qanun yang telah disahkan (agustus 2005)Sampai tahun 2005 sudah ada beberapa qanun yang disusun dan disahkan bahkan sudah ada pelaku pelanggar syariat yang ditindak dengan hukum ini, diantaranya :

1. Qanun nomor 11 tahun 2002 tentang pelaksanaan syariat islam bidang aqidah. Ibadah dan syariat islam.

2. Qanun nomor 12 tahun 2003 tentang larangan khamar (minuman keras), pelaku yang mengkonsumsi khamar akan dijatuhi hukuman cambuk 40 kali. Hakim tidak di beri izin untuk memilih (besar kecil atau tinggi rendah) hukuman. Bagi yang mem[roduksi khamar dijatuhi hukuman ta’zir berupa kurungan paling lama satu tahun, paling sedikit 3 bulan dan denda paling banyak Rp. 75.000.000 (tujuh puluh lima juta) dan paling sedikit Rp. 25.000.000 (dua puluh lima juta rupiah).

3. Qanun nomor 13 tahun 2003 tentang larangan maysir (perjudian).4. Qanun nomor 14 tahun 2003 tentang larangan khalwat (perbuatan mesum).5. Qanun nomor 7 tahun 2004 tentang pengelolaan zakat.

5. Bentuk hukuman yang ada dalam Syariat Islam dan Bentuk Hukuman yang ada di Indonesia 1. Bentuk hukuman yang ada dalam Syariat Islam

Bentuk Hukuman dalam Islam Hudûd

Secara bahasa, hudûd berarti sesuatu yang membatasi di antara dua hal. Secara syar‘î, hudûd bermakna sanksi atas kemaksiatan yang telah ditetapkan (kadarnya) oleh syariat dan menjadi hak Allah. Di sebut hudûd karena umumnya mencegah pelakunya dari kemaksiatan serupa. Sebutan hudud dikhususkan bagi sanksi kejahatan yang didalamnya terdapat hak Allah. Hudûd hanya dijatuhkan atas tindak kejahatan berikut:o zina (pelaku dirajam [jika muhshan/telah menikah] atau cambuk 100 kali [jika

ghayr muhshan/belum menikah]);o homoseksual/liwâth (pelaku dibunuh);o qadzaf/menuduh berzina tanpa didukung 4 orang saksi (pelaku dicambuk 80

kali);o minum khamar (pelaku dicambuk 40/80 kali);o murtad yang tidak mau kembali masuk Islam (pelaku dibunuh);

Page 7: HUKUM SYARIAT ISLAM DAN HUKUM INDONESIA

o membegal/hirâbah (pelaku dibunuh jika hanya membunuh dan tidak merampas; dibunuh dan disalib jika membunuh dan merampas harta; dipotong tangan dan kaki secara bersilang jika hanya merampas harta dan tidak membunuh; dibuang jika hanya meresahkan masyarakat.

o memberontak terhadap Negara/bughât (pelaku diperangi dengan perang yang bersifat edukatif, yakni agar pelakunya kembali taat pada Negara, bukan untuk dihancurkan.

o Mencuri (pelaku dipotong tangannya hingga pergelangan tangan jika memang telah memenuhi syaratuntuk dipotong).

JinâyâtJinâyât adalah penganiayaan atau penyerangan atas badan yang mewajibkan adanya qishâsh (balasan setimpal) atau diyât (denda). Penganiayaan di sini mencakup penganiayaan terhadap jiwa dan anggota tubuh. Jenis-jenisnya adalah:o Pembunuhan/penganiayaan yang berakhir dengan pembunuhan;o Penganiayaan tanpa berakhir dengan pembunuhan.

Qishâsh diberlakukan jika tindakan penganiayaan dilakukan dengan sengaja, sementara denda (diyât) diberlakukan jika penganiayaan dilakukan tidak dengan sengaja atau jika tindakan itu kemudian dimaafkan korban. Qishâsh ataupun diyât tidak diberlakukan jika korban membebaskan pelakunya dengan rela/tidak menuntutnya.

Ta‘zîrTa’zîr secara bahasa bermakna pencegahan (al-man‘u). Secara istilah ta’zîr adalah hukuman edukatif (ta‘dîb) dengan maksud menakut-nakuti (tankîf). Sedangkan secara syar‘î, ta’zîr bermakna sanksi yang yang dijatuhkan atas kemaksiatan yang di dalamnya tidak ada had dan kafârat. Dalilnya adalah perbuatan Rasul saw.Kasus ta‘zîr secara umum terbagi menjadi: o pelanggaran terhadap kehormatano pelanggaran terhadap kemuliaano perbuatan yang merusak akalo pelanggaran terhadap hartao gangguan keamanano subversio pelanggaran yang berhubungan dengan agama.o Sanksi ta‘zîr dapat berupa:o hukuman matio cambuk yang tidak boleh lebih dari 10 kalio penjarao pengasingano pemboikotano salibo ganti rugi (ghuramah)o peyitaan hartao mengubah bentuk barango ancaman yang nyatao nasihat dan peringatano pencabutan sebagain hak kekayaan (hurmân)o pencelaan (tawbîkh)o pewartaan (tasyhîr).

Bentuk sanksi ta‘zîr hanya terbatas pada bentuk-bentuk tersebut. Khalifah atau yang mewakilinya yaitu qâdhî (hakim) diberikan hak oleh syariat untuk memilih

Page 8: HUKUM SYARIAT ISLAM DAN HUKUM INDONESIA

di antara bentuk-bentuk sanksi tersebut dan menentukan kadarnya; ia tidak boleh menjatuhkan sanksi di luar itu.

MukhâlafâtMukhalafat adalah pelanggaran terhadap aturan yang telah ditetapkan negara. Syariat telah memberikan hak kepada Khalifah untuk memerintah dan melarang warganya, menetapkan pelanggaran terhadapnya sebagai kemaksiatan, serta menjatuhkan sanksi atas para pelanggarnya.

2. Bentuk hukuman yang ada di Indonesia Berdasarkan Pasal 10 KUHP membagi hukuman menjadi dua bentuk, yakni;

1) hukuman pokoka. Hukuman mati. Atas tindak pidana tertentu, undang-undang memberikan

kewenangan kepada pengadilan untuk menjatuhkan hukuman terhadap seseorang pelaku tindak pidana sampai kebentuk penjatuhan hukuman mati. Dapatnya dijatuhkan hukuman berupa hukuman mati itu misalnya terhadap pelaku tindak pidana narkotika sebagaimana diatur dalam UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Meskipun penjatuhan hukuman mati terhadap pelaku tindak pidana melahirkan pandangan pro-kontra. Pelaksanaan dari hukuman mati itu sebagaimana diatur UU No.2/PNPS/1964.

b. Hukuman Penjara. Hukum penjara secara teknis memiliki batasan maksimal dan untuk tindak pidana tertentu memiliki batas minimal. Hukum penjara secara umum dapat dikenakan seumur hidup atau selama waktu tertentu. Terkait dengan hukuman penjara selama waktu tertentu yakni antara satu hari hingga dua puluh tahun berturut-turut (Pasal 12 KUHP). Namun pada tindak pidana tertentu ada batas minimal, misalnya dalam hal seseorang dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana korupsi melanggar Pasal 2 UU No.31 Tahun 1999, maka kepada terdakwa dijatuhikan hukuman minimal 4 tahun sebagai batas bawah. Artinya seorang pelaku tindak pidana yang terbukti melanggar Pasal 2 UU No.31Tahun 1999, pengadilan tidak boleh menjatuhkan hukuman penjara kurang dari 4 tahun.

c. Hukuman Kurungan Baik hukuman penjara maupun hukuman kurungan, keduanya adalah bentuk pemidanaan dengan menahan kebebasan seseorang karena melakukan suatu tindak pidana sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 22 KUHP. Pidana kurungan dikenakan kepada orang yang melakukan tindak pidana pelanggaran (lihat buku ketiga KUHP tentang Pelanggaran), atau sebagai pengganti pidana denda yang tidak bisa dibayarkan [Pasal 30 ayat (2) KUHP]. Untuk mengetahui lebih jauh mengenai perbedaan hukuman kurungan dengan hukuman penjara akan dibahas pada kesempatan lain.

d. Hukuman Denda. Dalam lapangan hukum pidana dikenal pula apa yang disebut dengan hukuman denda yang dikenakan terhadap pelanggaran yang diatur dalam undang-undang. Berdasarkan Pasal 30 ayat (2) KUHP, jika pidana denda tidak dibayar, ia diganti dengan pidana kurungan.

e. Hukuman Tutupan. Pidana tutupan merupakan salah satu bentuk pidana pokok yang diatur dalam Pasal 10 KUHP. Penambahan pidana tutupan ini didasarkan pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1946 tentang Hukuman Tutupan ("UU 20/1946").

2) Hukuman tambahan

Page 9: HUKUM SYARIAT ISLAM DAN HUKUM INDONESIA

Telah dikemukakan sebelumnya, bahwa dalam KUHP dikenal pula hukuman tambahan disamping hukuman pokok. Adapun hukuman tambahan tersebut antaranya adalah berupa; o pencabutan beberapa hak yang tertentu; o perampasan barang yang tertentu; o pengumuman keputusan hakim.

Mencermati KUHP, maka terkait dengan hukuman tambahan, KUHP sesunggunya tidak membatasi hukuman tambahan hanya seperti tersebut diatas saja. Bahkan terlihat ada kecenderungan bentuk dari hukuman tambahan berkembang sedemikian rupa, terutama dengan makin banyak ketentuan pidana yang lahir diluar KUHP misalnya dalam UU No 31 Tahun 1999 yakni dengan adanya hukuman tambahan berupa pembayaran uang pengganti. Artinya bentuk-bentuk hukuman tambahan akan terus berkembang dan tentunya akan sejalan dengan tindak pidana yang terjadi itu dalam bidang apa, misalnya tindak pidana dalam bidang perikanan dan lain sebagainya.