Hukum Perdagangan Indonesia
-
Upload
api-19482307 -
Category
Documents
-
view
218 -
download
0
Transcript of Hukum Perdagangan Indonesia
-
8/14/2019 Hukum Perdagangan Indonesia
1/11
Hukum Perdagangan Indonesia: Quo Vadis?
Dalam sebuah seminar yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan
Hukum Nasional 10 tahun yang lalu, Mochtar Kusumaatmadjamengungkapkan adanya sebuah kendala besar dalam pengembangan hukum
perdagangan di Indonesia.
Kendala tersebut antara lain sehubungan dengan belum adanya kejelasan
akan peraturan-peraturan mengenai bentuk-bentuk usaha.
Kesulitan lain dalam mengembangkan hukum perdagangan di Indonesia
adalah belum adanya undang-undang atau hukum tertulis yang mengatur
hal ihwal hukum perdata dan dagang sebagai soal yang mendasar seperti
misalnya hukum yang mengatur perikatan atau kontrak ataupun bentuk
usaha lain selain perseroan terbatas.
Bentuk-bentuk atau badan-badan usaha yang dikenal saat ini (denganperkecualian PT dan Koperasi), diadaptasi dalam praktek hukum di
Indonesia melalui proses penerimaan (resepsi) hukum perdata yang
berlaku di masa penjajahan Belanda.
Dapat dikatakan bahwa hukum perdata dan dagang yang tadinya berlaku
bagi golongan Eropa, melalui proses (hukum) resepsi sudah menjadi
bagian dari hukum Indonesia sebagai hukum yang nyata diterima (hukumyang hidup).
Sumber hukum persekutuan (maatschap) dan perseroan (vennootschap)
misalnya, tidak lain dari peraturan-peraturan yang termaktub di dalam
KUH Perdata yang merupakan terjemahan dari BW (Burgerlijk Wetboek)
dan KUHD sebagai terjemahan dari WvK (Wetboek van Koophandel).
1
-
8/14/2019 Hukum Perdagangan Indonesia
2/11
Sebagai sebuah terjemahan, maka dengan sendirinya pendapat hukum
yang berkembang berdasar pada kedua sumber hukum tersebut amatlah
beragam. Keberagaman ini terjadi akibat adanya keberagaman
interpretasi dalam memahami isi teks yang berasal dari teks berbahasaBelanda.
Dalam kesempatan ini penulis tidak akan membahas lebih lanjut
keberagaman pendapat tersebut secara khusus. Setidaknya satu buku
tersendiri barulah cukup untuk, misalnya, membicarakan perkembangan
hukum tentang perkumpulan di Indonesia. Yang ingin penulis bahas lebih
lanjut adalah bagaimana keberagaman pemahaman akan ikon-ikon hukumdari masa penjajahan Belanda tersebut berkembang dan mengakibatkan
lahirnya ketidakpastian hukum.
Penerjemahan Ganda
Seperti telah dituturkan di atas, mau tak mau kita hatus mengakui bahwa
telah terjadi proses penerimaan (resepsi) hukum Eropa di dalam sistem
hukum Indonesia, dalam hal ini berkaitan dengan pengaturan hukum
perikatan dan hukum perdagangan. Sedang untuk pengaturan hukum
waris, hukum perkawinan, serta hukum keluarga, hukum adat dan hukum
Islamlah yang berperan.
Namun begitu, masa sekarang ini setidaknya telah jauh berbeda dari
masa prakemerdekaan, di mana di masa itu masih banyak terdapat
sarjana hukum Indonesia yang menguasai bahasa hukum Belanda.
Sarjana-sarjana hukum yang lahir belakangan, tidak lagi mendapatkan
pengetahuan tentang hukum dagang Eropa yang dibawa Belanda dari
sumber pertama. Telah terjadi proses pemindahan dan perpindahan
pengetahuan yang bisa disebut sebagai proses penerjemahan ganda.
2
-
8/14/2019 Hukum Perdagangan Indonesia
3/11
Penerjemahan ganda, karena terjadi dua kali proses interpretasi dalam
memahami satu masalah hukum yang bersumber dari BW atau WvK.Akibatnya, apa yang diterima oleh sarjana-sarjana hukum Indonesia saat
ini, lebih dipengaruhi oleh bagaimana sarjana-sarjana hukum sebelumnya
menginterpretasikan isi BW atau WvK. Proses penerimaan yang terjadi,
pada kenyataannya telah diikuti dengan proses pengembanan dan
pengembangan hukum yang dilakukan sarjana-sarjana hukum Indonesia
sendiri.
Proses penerjemahan ganda tersebut, bukannya tidak menimbulkan
masalah. Sebab, seperti sudah penulis singgung sebelumnya, sarjana-
sarjana hukum Indonesia yang lahir belakangan tidak lagi menguasai
bahasa Belanda. Sehingga yang mereka lihat hanyalah adanya beragam
interpretasi akan satu pengertian tertentu, tanpa lagi bisa menyelami
lebih dalam esensi dari perbedaan pendapat yang timbul akan satu
pengertian hukum.
Sebuah ilustrasi menarik penulis temukan dalam disertasi yang ditulis
oleh A.W.H. Massier berjudul Van Recht Naar Hukum: Indonesische
juristen en hun taal 1915-2000 (Dari Recht Ke Hukum: Sarjana-sarjana
hukum Indonesia dan bahasa mereka 1915-2000). Dalam ilustrasi
tersebut, ditunjukkan bagaimana sulitnya mahasiswa-mahasiswa seorang
guru besar pada Universitas Gajah Mada mencoba memahami pengertian
overeenkomst yang diterima di dalam sistem hukum Indonesia dengan
terjemahan perjanjian. Saat ditanyakan apa pengertian perjanjian,maka para mahasiswa tersebut dengan sigap memberikan definisi yang
mereka ketahui melalui kuliah-kuliah maupun diktat-diktat perkuliahan.
Namun, saat ditanyakan bagaimana KUH Perdata (BW) mendefinisikan hal
tersebut, mereka diam seribu bahasa.
3
-
8/14/2019 Hukum Perdagangan Indonesia
4/11
Hal tersebut terjadi, karena dalam KUH Perdata terjemahan Subekti
dan Tjitrosudibio pada waktu itu, kata overeenkomst diterjemahkan
sebagai persetujuan. Baru pada cetakan ke 25 yang dikeluarkan di tahun
1992, Subekti dan Tjitrosudibio mencantumkan kata perjanjian sebagaiganti kata persetujuan.
Bukan Hanya Masalah Bahasa
Dari apa yang penulis ketahui sampai sejauh ini, adanya keterbatasanpemahaman oleh sarjana-sarjana hukum Indonesia saat ini akan hukum
dagang Eropa yang diterima menjadi bagian dalam sistem hukum
Indonesia, tidak hanya pada tataran pemahaman literal yang bersumber
pada terjadinya proses penerjemahan ganda. Memang adanya
keberagaman pemahaman literal tersebutlah yang menjadi tantangan
awal dalam membangun sistem hukum dagang Indonesia. Namun,
bagaimanapun juga, pengembanan dan pengembangan hukum dagang
Indonesia sendiri terus berjalan dan bukannya hanya jalan di tempat.
Pengembanan dan pengembangan hukum, seperti kita ketahui bersama,
juga tak lepas dari peran sarjana-sarjana hukum dalam memahami dan
menerapkan konsep-konsep hukum. Di sisi lain, imbas dari adanya
keterbatasan pemahaman literal sarjana-sarjana hukum Indonesia adalah
terbatasnya pemahaman mereka akan konsep-konsep tersebut.
Akibatnya, di dalam praktek hukum Indonesia, fungsi keilmuan dari
sarjana-sarjana hukum dagang pada khususnya belumlah berjalansebagaimana mestinya.
Fungsi keilmuan yang penulis maksud di sini, adalah peran aktif sarjana-
sarjana hukum dalam proses pengembanan dan pengembangan hukum
berdasar atas wacana teoretis yang mereka kuasai. Yang masih terjadi
sampai sejauh ini, dari pengamatan penulis, adalah bagaimana peran
4
-
8/14/2019 Hukum Perdagangan Indonesia
5/11
sarjana-sarjana hukum yang tak lebih dari juru undang-undang. Sehingga,
tulisan-tulisan mengenai bagaimana cara mendirikan PT atau Koperasi,
misalnya, lebih mengemuka daripada tulisan tentang posisi PT atau
Koperasi di dalam sebuah sistematika hukum dagang Indonesia,berdampingan dengan pemain-pemain lain, seperti bentuk usaha
persekutuan, firma, ataupun perusahaan perseorangan.
Seperti kita ketahui bersama, kedua bentuk badan hukum tersebut (PT
dan Koperasi) telah diatur keberadaannya dengan undang-undang. Dan
memang itu pokok persoalannya. Bahwa mahasiswa-mahasiswa hukum
memang lebih terarah untuk hanya sebatas melihat aturan yang ada didalam undang-undang, ketimbang memahami konsep-konsep yang menjadi
pondasi undang-undang itu sendiri. Akibatnya, setiap masalah hukum baru
akan coba dipecahkan dengan membuat aturan perundangan baru.
Sementara di sisi lain, masih banyak aturan-aturan perundangan
berkaitan dengan hukum dagang, terutama yang bersumber dari BW dan
WvK yang masih bisa digali lagi, untuk memperjelas sistematika hukumdagang yang dibangun oleh konsep-konsep hukum.
Sistem Hukum: Sebuah Sistematika
Dalam praktek hukum dagang Indonesia permasalahan ini bukannya tidakpenting. Sudah lazim seseorang atau satu pihak yang ingin memulai
berkecimpung di dunia usaha menanyakan bentuk usaha seperti apakah
yang cocok bagi mereka. Sarjana hukum tentu saja dituntut untuk dapat
menjelaskan sistematika hukum dagang Indonesia kepada mereka. Dalam
bahasa yang sederhana tentunya. Begitu juga apabila timbul pertanyaan
akan keberadaan badan-badan hukum lain yang diakui oleh sistem hukum
Indonesia.
5
-
8/14/2019 Hukum Perdagangan Indonesia
6/11
Dalam klinik sebuah situs hukum terkemuka (www.hukumonline.com),
pernah ditanyakan akan perbedaan perkumpulan dan yayasan. Pihak yangkompeten menjawab pertanyaan tersebut--tanpa mencantumkan
sumber--menjawab bahwa perkumpulan, antara lain, bersifat dan
bertujuan komersial, serta mementingkan keuntungan (profit oriented).
Menurut pemahaman sarjana hukum tersebut, menurut hemat penulis,
tidak ada perbedaan antara bentuk persekutuan (maatschap) dari pasal
1618 KUH Perdata dengan bentuk perkumpulan (vereniging) dari pasal
1653 KUH Perdata.
Pertanyaan yang timbul dalam benak penulis ketika membaca jawaban
tersebut adalah dari mana pendapat tersebut bersumber. Lebih serius
lagi, apakah pendapat bahwa perkumpulan bersifat dan bertujuan
komersial, serta mementingkan keuntungan (profit oriented) merupakan
pendapat hukum yang diterima di Indonesia? Yang jelas, tak ada
ketentuan KUH Perdata yang mencantumkan pendapat tentang
perkumpulan (vereniging) tersebut. Juga penulis kira bukan perkumpulan
yang diakui sebagai subyek hukum dalam Stb. 1870 No. 64. Masalahnyasekarang, perkumpulan yang dimaksud di sini adalah perkumpulan yang
mana? Kalaupun tidak ada beda antara persekutuan (maatschap) dan
perkumpulan (vereniging), mengapa si pembuat BW yang diterjemahkan
sebagai KUH Perdata tersebut mesti menetapkan dua pokok aturan yang
berbeda?
Contoh di atas menunjukkan bagaimana pentingnya memahami sistemhukum sebagai sebuah sistematika. Satu aspek dalam sistem hukum tidak
akan lepas dari aspek yang lain. Akibatnya, keterbatasan pemahaman
yang bersumber pada tidak tuntasnya proses penerimaan hukum Eropa
yang juga membuat beberapa aspek hukum tidak jelas, akan membawa
hukum dagang Indonesia ke arah ketidakpastian. Ini terjadi karena
timpangnya sistematika yang dipakai. Sehingga, pemahaman akan konsep
hukum dagang pun menjadi sepotong-sepotong dan tidak menyeluruh.
6
-
8/14/2019 Hukum Perdagangan Indonesia
7/11
Kepastian Hukum
Kembali pada pembuka tulisan ini, 10 tahun yang lalu Mochtar
Kusumaatmadja dalam makalahnya juga memberikan jalan keluar untuk
masalah ketidakpastian di dalam hukum perdagangan di Indonesia.
Pedoman yang dapat digunakan dalam membangun hukum nasional adalahuntuk mengusahakan kesatuan apabila mungkin, membolehkan
keanekaragaman bila keadaan menghendakinya, tetapi bagaimanapun juga
mengutamakan kepastian.
Kunci pokok dari pembaharuan hukum, menurut beliau, adalah menjamin
adanya satu kepastian hukum atau tertib hukum. Bagaimana tertib hukum
itu dapat terwujud?
Soalnya demi kepastian hukum kesemuanya ini sebaiknya diberi bentuk
hukum tertulis atau undang-undang.
Kepastian hukum atau tertib hukum tersebut hanya dapat terwujudapabila ada hukum tertulis atau undang-undang yang mengaturnya. Hanya
saja, menurut beliau penyusunan kitab undang-undang hukum perdata dan
kitab undang-undang hukum dagang akan memakan waktu yang sangat
lama. Untuk itu, ujarnya lebih lanjut, pilihan terbaik adalah dengan
penyusunan produk perundangan secara sebagian demi sebagian, menurut
urgensi masing-masing.
7
-
8/14/2019 Hukum Perdagangan Indonesia
8/11
Penyusunan produk perundangan secara sebagian demi sebagian bukannya
tidak mengandung risiko. Pertama, seperti telah disinggung sebelumnya,
bahwa bukan tidak mungkin penyusunan secara sebagian demi sebagiantanpa pemahaman sistematik akan melahirkan ketidakjelasan baru.
Mengapa? Karena produk perundangan yang satu semestinya
berkesinambungan dengan produk perundangan yang lain. Dengan kata lain
produk-produk perundangan tersebut ada dalam satu sistem hukum yang
sama. Pada penyusunan secara sebagian demi sebagian, bagaimanapun hal
tersebut mesti dicermati dengan sungguh-sungguh.
Permasalahan kedua, adanya kecenderungan untuk menyusun produk
perundangan secara reaktif, artinya melimpahkan segala permasalahan
hukum pada proses pengaturan semata. Seolah-olah suatu masalah hukum
sudahlah terpecahkan begitu undang-undang ditetapkan. Untuk
mengantisipasi hal tersebut, mau tak mau peran keilmuan sarjana-sarjana
hukum Indonesia mesti dioptimalkan lagi. Yaitu dengan mencermati
sekaligus mengkritisi setiap peraturan perundangan yang baru
ditetapkan. Sebab, dengan adanya keterkaitan satu produk hukum dengan
produk hukum lainnya, bukan tidak mungkin satu undang-undang baruakan menimbulkan suatu masalah hukum baru. Sehingga, adanya
pemahaman sistematik, untuk sebuah konstruksi sistem hukum paling
abstrak sekalipun, menjadi kebutuhan yang tak bisa ditinggalkan.
Sebagai contoh produk perundangan yang penulis anggap masih kurang
didasari oleh proses pemahaman sistematik adalah pengertian yayasan
seperti yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Yayasantahun 2001. Di dalam pasal tersebut disebutkan bahwa: Yayasan adalah
badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan
diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial,
keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota.
8
-
8/14/2019 Hukum Perdagangan Indonesia
9/11
Apakah ini juga berarti bahwa di Indonesia ada badan hukum yang tidak
terdiri atas kekayaan yang dipisahkan? Bukankah suatu badan hukum
adalah juga merupakan subyek hukum mandiri yang dengan sendirinya
mengandung pengertian memiliki kekayaan yang terpisah dari kekayaan sipendiri? Kalaupun ada, badan hukum yang manakah itu?
Pada tingkat peraturan yang lebih rendah, kerancuan seperti ini terlihat
lebih parah lagi. Apabila pembaca mencoba mencari tahu konsep badan
hukum yang diterima di daerah, maka pada Pasal 1 ayat(7) Perda Kab.
Jayapura No. 3 tahun 2000 barangkali dapat disebutkan sebagai contoh
kerancuan yang cukup mencolok. Pengertian badan hukum menurutperaturan daerah tersebut dapat dilihat di dalam teks di bawah ini.
Badan Hukum adalah suatu bentuk badan usaha yang meliputi Perseroan
Terbatas, Perseroan Komanditer, Perseroan lainnya, Badan Usaha Milik
Negara atau Daerah dengan nama dan bentuk apapun, Persekutuan,
Perkumpulan, Firma, Kongsi, Koperasi, Yayasan atau Organisasi yang
sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap serta bentuk badan usaha lainnya;
Bukankah isi peraturan ini sendiri sudah merupakan pengingkaran dari
prinsip sistem tertutup badan hukum (het gesloten systeem van het
rechtspersonenrecht) yang melalui literatur diterima sebagai konsep
yang berlaku di Indonesia? Fenomena tersebut menunjukkan seolah-olah
tidak ada keseriusan untuk menata hukum perdagangan di Indonesia
dengan sistematis. Pengaturan normatif dengan karakter top downmenjadi kata kunci dalam proses pengembangan hukum di Indonesia
selama ini. Akibatnya, politik hukum menjadi lebih dominan ketimbang
pengembanan hukum. Kepastian hukum pun pada gilirannya tak lebih
menjadi kepastian akan hukum kekuasaan.
9
-
8/14/2019 Hukum Perdagangan Indonesia
10/11
Pertanyaan selanjutnya adalah: Masih adakah gairah dari sarjana-sarjana
hukum di Indonesia sendiri untuk mengoptimalkan fungsi keilmuannya
dengan menanggapi kondisi tersebut?
Quo Vadis?
Sampailah kita pada penutup dari tulisan ini, dengan satu pertanyaanmendasar: Ke mana arah pengembangan hukum perdagangan Indonesia?
Quo Vadis? Apabila kita konsisten dengan apa yang dilontarkan oleh
Mochtar Kusumaatmadja 10 tahun yang lalu, yaitu dengan proses
kodifikasi secara sebagian demi sebagian, sepatutnya kita juga mesti
mengevaluasi kembali produk perundangan yang telah lahir 10 tahun
terakhir ini. Sudahkah ada kesinambungan antara produk-produk hukum
yang ada? Sudahkah masalah-masalah hukum yang ditinggalkan oleh
produk hukum klasik, dalam hal ini peninggalan pemerintah kolonial
Belanda, dapat kita antisipasi?
Undang-undang tentang PT dan undang-undang tentang yayasan telah
ditetapkan dalam jangka waktu satu dasawarsa. Sebaliknya, bentuk-
bentuk usaha yang diatur di dalam KUH Perdata dan atau di dalam KUHD
masih meninggalkan banyak pertanyaan. Undang-Undang Yayasan 2001
sendiri, seperti penulis tuturkan di atas, bukannya tidak membuka satu
tanda tanya baru. Belum lagi apabila kita telusuri kembali UUPerkoperasian tahun 1992, penulis yakin masih banyak hal yang masih
diperdebatkan lagi. Salah satu contoh adalah tentang jatidiri koperasi
sendiri. Benarkah koperasi, seperti dituturkan oleh Abdulkadir
Muhammad, adalah varian dari perkumpulan? Lalu di mana bisa kita
temukan sumber hukum yang memberi kejelasan akan pengertian
perkumpulan itu sendiri? KUH Perdata? Benarkah koperasi pada
kenyataannya memang sebuah perkumpulan yang marupakan akumulasi
orang dan bukan (semata) akumulasi modal?
10
-
8/14/2019 Hukum Perdagangan Indonesia
11/11
Pertanyaan-pertanyaan tersebut tentu saja mesti dijawab berdasar atasasas-asas maupun konsep-konsep hukum yang dikuasai oleh sarjana-
sarjana hukum. Meminjam jalan keluar yang ditawarkan oleh A.W.H.
Massier, kesadaran hukum dan inisiatif atas proses penyadaran hukum ini
memang semestinya timbul dari mereka yang memang berkecimpung di
bidang hukum dan bukan merupakan proses pengaturan top down dari
penguasa. Peran penguasa sendiri, menurut hemat penulis, tentu tak lebih
dari peran untuk mendorong kesadaran dan penyadaran tersebut, di
antaranya dengan memberi perhatian lebih besar, serta menyediakan
fasilitas yang kondusif bagi perkembangan dunia akademik di Indonesia.
11