Hukum Pengangkutan Tanggung Jawab Pengusaha
-
Upload
zainal-abidin -
Category
Law
-
view
462 -
download
1
Transcript of Hukum Pengangkutan Tanggung Jawab Pengusaha
Makalah
Diajukan sebagai salah satu Tugas Mata Kuliah Hukum Pengangkutan
Dosen : Apip Nur, S.H.,M.H.
Zainal Abidin
430.200.12.2868
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat
dan hidayah-Nya, tak lupa sholawat serta salam terlimpah curahkan
kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW kepada
keluarganya, sahabatnya serta kita selaku umatnya yang taat kepada
ajarannya sampai akhir zaman, sehingga makalah ini dapat
terselesaikan dengan tepat waktu untuk memenuhi salah satu tugas
Hukum Pengangkutan.
Makalah ini berisikan tentang Tanggung Jawab Pengusaha
Pengangkutan, saya berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi
para pembaca pada umumnya dan rekan Sekolah Tinggi Hukum
Galunggung Tasikmalaya pada khususnya.
Saya ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
mendoakan Saya dalam proses penyusunan makalah ini, sehingga
saya dapat menyelesaikannya dengan tepat waktu. Saran dan kritik
yang sifatnya membangun sangat diharapkan untuk kesempurnaan
penulisan makalah ini.
Tasikmalaya, 21 Desember 2014
Penyusun
Kata Pengantar......................................................................................................................... i
Daftar isi................................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang................................................................................................................. 1
B. Identifikasi Masalah......................................................................................................... 2
BAB II TINJAUAN MATERI
Tanggung Jawab Pengangkutan dan Pengiriman Barang
A. Pengertian Pengangkutan................................................................................................ 3
B. Perjanjian Pengangkutan Barang..................................................................................... 4
C. Tanggung Jawab Pengusaha Pengangkutan.....................................................................5
D. Ganti Rugi........................................................................................................................ 6
BAB III Analisis Kasus
Kecelakaan Travel Cipaganti yang Terjadi pada Tanggal Enam Maret 2011.............................. 7
BAB IV
Kesimpulan.................................................................................................................................8
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................................10
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut arti katanya pengangkutan berasal dari kata dasar “angkut” yang berarti
angkat dan bawa, muat dan bawa atau kirimkan. Mengangkut artinya mengangkat dan
membawa, memuat dan membawa atau mengirimkan. Pengangkutan artinya pengangkatan
dan pembawaan barang atau orang, pemuatan dan pengiriman barang atau orang, barang
atau orang yang diangkut. Jadi, dalam pengertian pengangkutan itu tersimpul suatu proses
kegiatan atau gerakan dari satu tempat ke tempat lain.1
Dengan demikian, Pengangkutan adalah proses kegiatan memuat barang atau
penumpang ke dalam alat pengangkutan, membawa barang atau penumpang dari tempat
pemuatan ke tempat tujuan, dan menurunkan barang atau penumpang dari alat
pengangkutan ke tempat yang ditentukan.
Pengangkutan adalah salah satu bidang kegiatan yang sangat vital dalam kehidupan
masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari berbagai faktor seperti diuraikan berikut ini :
1. Keadaan geografis Indonesia
Keadaan geografis Indonesia yang terdiri dari beribu-ribu pulau besar dan kecil serta
sebagian besar lautan memungkinkan pengangkutan dilakukan melalui Negara dapat
dijangkau. Adanya tiga jalur pengangkutan ini mendorong penggunaan alat pengangkutan
modern yang digerakkan secara mekanik.
2. Menunjang pembangunan berbagai sektor
Kemajuan bidang pengangkutan terutama yang digerakkan secara mekanik akan
menunjang pembangunan di berbagai sektor, misalnya :
Sektor Perhubungan, pengangkutan memperlancar arus manusia, barang, jasa, informasi ke
seluruh penjuru tanah air ;
Sektor Pariwisata, pengangkutan memungkinkan para wisatawan men-jangkau berbagai
objek wisata yang berarti pemasukan devisa bagi Negara ; sektor perdagangan,
pengangkutan mempercepat penyeberangan perdagangan barang kebutuhan sehari -hari
dan kebutuhan pembangunan sampai ke seluruh pelosok tanah air ;
Sektor Pendidikan, pengangkutan menunjang penyebaran sarana pendidikan dan tenaga
kependidikan ke seluruh daerah dan mobilitas penyeleng-garaan pendidikan ; dan demikian
juga sektor-sektor lainnya.
1 Abdul Kadir Muhammad, SH, 1991, Hukum Pengangkutan Darat, Laut, dan Udara, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm 19
3. Keselarasan antara kehidupan kota dan desa
Banyaknya penggunaan jasa pengangkutan oleh masyarakat memberi dampak pada
pembangunan pedesaan berupa keselarasan antara kehidupan kota dan desa. Keselarasan
tersebut dapat terjadi karena arus informasi timbal balik antara kota dan desa, sehingga
perkembangan tingkat berfikir dan kemauan meningkatkan keahlian dan keterampilan
warga desa dapat tumbuh lebih cepat. Kemajuan bidang pengangkutan memungkinkan
penyediaan lapangan kerja berkembang dari kota dan desa. Hal ini akan mencegah terjadi
arus urbanisasi karena untuk mencari kerja warga desa tidak harus pindah ke kota.
4. Pengembangan ilmu dan teknologi
Kemajuan bidang pengangkutan mendorong pengembangan ilmu hukum baik
perundang-undangan maupun kebiasaan pengangkutan. Sesuai tidaknya undang-undang
pengangkutan yang berlaku sekarang dengan kebutuhan masyarakat tergantung dari
penyelenggaraan pengangkutan. Demikian juga perkembangan hukum kebiasaan, seberapa
banyak perilaku yang diciptakan sebagai kebiasaan dalam pengangkutan. Pengembangan
teknologi pengangkutan tergantung juga dari kemajuan bidang pengangkutan yang
digerakkan secara mekanik.
Perkembangan hukum pengangkutan dapat ditelaah dengan baik melalui pendidikan
hukum dengan cara melakukan penelitian dan pengkajian bahan-bahan hukum
pengangkutan yang bersumber pada masyarakat pengguna jasa pengangkutan dan
peraturan hukum pengangkutan di bidang keperdataan.2
B. Identifikasi Masalah
Jika Pengangkut mengalami kecelakaan (kelalaian karyawan bawahan), siapa yang
bertanggung jawab atas kejadian tersebut? Siapakah yang akan bertanggung jawab?
pemimpin perusahaan atau Pengangkut itu sendiri (Pengemudi)?
Menurut ketentuan pasal 1367 KUH Perdata, bahwa pengusaha pengangkutan bertanggung
jawab atas akibat dari perbuatan buruk/karyawannya, misalnya :
Pengemudi kendaraan truk umum/pembantunya, sebuah PT. Transport ordemer
dalam mengemudikan kendaraanya teledor mengantuk hingga kendaraan yg dikemudikan
membentur kendaraan lain dan masuk selokan atau jurang, kemudian cacat yang diderita,
meninggalkan penumpang lain Pasal 1365 KUH Perdata, sebagai analogi Pasal 1602 Ayat 2
KUH Perdata yang berbunyi :
Apabila majikan tidak memenuhi kewajiban dan kelalaian yang mengakibatkan
kerugian bagi buruh, maka majikan wajib memberi ganti rugi, terkecuali bilamana majikan
2 Ibid, hlm 1
dapat membuktikan, bahwa kerugian itu merupakan akibat langsung dari wanprestasi
majikan sebagai pengusaha angkutan yaitu dalam hal :
1. Tidak menyiapkan kendaraan yang layak angkut, dalam arti:
Kendaraan siap melayani reute (regular service) dalam cukup peralatan perwatan,
memenuhi syarat ketentuan 2 peraturan lalu lintas jalan antara lain :
a. Keadaan alat mekanis penggerak (mesin) dalam keadaan baik, mampu melayani
rute yang ditempuh dalam segala macam cuaca.
b. Cukup mempunyai bahan bakar dan minyak 2 untuk mesin dan onderdel
penggerak.
c. Tersedia alat-alat cadangan beserta perlengkapannya termasuk persediaan PPPK.
d. Mempunyai surat-surat kendaraan lengkap, termasuk surat uji kendaraan.
Terkecuali kerugian akibat kecelakaan itu kelalaian dari pihak buruh sendiri dalam arti tidak
siap mengahadapi tugas mengemudi karena terlalu lelah (mengantuk) dan dalam hal ini
menjadi beban-beban pembuktian pengangkut.3
BAB II TINJAUAN MATERI
Tanggung Jawab Pengangkutan dan Pengiriman Barang
A. Pengertian Pengangkutan
Baik di dalam KUH Perdata maupun KUHD (baik yang sudah dikodifikasikan maupun
yang belum, yng berdasarkan atas dan bertujuan untuk mengatur hubungan-hubungan
yang terbit karena keperluan pemindahan barang-barang dan atau orang-orang dari
suatu ke lain tempat untuk memenuhi perikatan-perikatan yang lahir dan perjanjian-
perjanjian tertentu, termasuk didalamnya perjanjian-perjanjian untuk memberikan
perantaraan mendapatkan pengangkutan/ekspedisi.4
Secara umum pengangkut adalah barang siapa yang baik dnegan persetujuan charter
menurut waktu (time charter) atau charter menurut perjalanan baik dengan suatu
persetujuan lain mengikatkan diri untuk menyelenggarakann pengangkutan barang yagn
seluruhnya maupun sebagian melalui pengangkutan.
Pengangkutan Suatu proses kegiatan memuat barang/penumpang ke dalam alat
pengangkutan membawa barang/ penumpang dari pemuatan ke tempat tujuan dan dan 3 Soegijatna Tjakranegara, S.H., 1995, Hukum Pengangkutan Barang dan Penumpang, PT. Rineka Cipta,
Jakarta, Hlm. 81 4 Sution Usman Adji, S.H., Djoko Prakoso, S.H., Hari Pramono., 1991, Hukum Pengangkutan Di Indonesia, PT. Rinka Cipta, Jakarta, Hlm. 5
menurunkan barnag/penumpang dari alat pengangkutan ke tempat yang ditentukan.
Disini sering menimbulkan tanggungjawab dari pengangkut.
B. Perjanjian Pengangkutan Barang
Perjanjian Pengangkutan ini, adalah Consensuil (timbal balik) dimana pihak pengangkut
mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dari dan ke tempat
tujuan tertentu, dan pengirim barang (pemberi order) membayar biaya/ongkos
angkutan sebagaimana yang disetujui bersama, di sini dapat anda lihat ke dua belah
piahk mempunyai kewajiban yang harus ditunaikan :
1. Pihak Pengangkut : mempunyai kewajiban untuk mengangkut barang ataupun orang
dari satu tempat ke tempat lain dengan selamat.
2. Pihak Pengirim (Pemakai jasa angkutan) : berkewajiban menyerahkan ongkos yang
disepakati serta menyerahkan barang pada alamat tujuan dengan jelas.
Di tempat tujuan barang tersebut diserah terimakan kepada penerima yang mana
dan alamatnya tercantum dalam surat angkutan sebagai pihak ke 3 yang turut serta
bertanggung jawab atas penerimaan barang.
3. Kedudukan pihak penerima barang karena sesuatu perjanjian untuk bebuat sesuatu
bagi penerima barang apakah barang itu diterimanya sebagai suatu hadiah (Pasal
1317 KUHPerdata)5
Perjanjian pengangkutan adalah persetujuan dengan mana pengangkut mengikatkan diri
untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan atau penumpang dari suatu tempat ke
tempat tujuan tertentu dengan selamat, dan pengirim atau penumpang mengikatkan diri
untuk membayar biaya pengangkutan.
Dengan selamat, keadaaan tidak selamat mengandung 2 arti:
1. Pada pengangkutan barang, barangnya tak ada atau musnah, barangnya ada tetapi
rusak sebagian atau seluruhnya disebabkan berbagai kemungkinan peristiwa;
2. Pada pengakutan penumpang, penumpang meninggal dunia atau menderita cacat
tetap atau sementara, karena sesuatu peristiwa atau kejadian.
Dalam perjanjian pengangkutan, kedudukan para pihak, yaitu pengangkut dan pengirim
sama tinggi, tidak seperti dalam perjanjian perburuhan, dimana para pihak tidak sama tinggi
yakni, majikan mempunyai kedudukan lebih tinggi dari si buruh. Kedudukan tersebut
disebut Subordinasi (gesubordineerd), sedangkan dalam penanjian pengangkutan adalah
kedudukan sama tinggi atau Koordinasi (geeoordineerd).
5 Soegijatna Tjakranegara, S.H., 1995, Hukum Pengangkutan Barang dan Penumpang, PT. Rineka Cipta, Jakarta, Hlm. 67
Menurut Purwosutjipto sistem hukum indonesia tidak mensyaratkan pembuatan
perjanjian pengangkutan itu secara tertulis, cukup dengan lisan saja, asal ada persetujuan
kehendak atau konsensus.
Kewajiban dan hak pihak-pihak dapat diketahui dari penyelengaraan pengangkutan,
atau berdasarkan dokumen pengangkutan yang diterbitkan dalam perjanjian tersebut.
Dokumen pengangkutan adalah setiap tulisan yang dipakai sebagai bukti dalam
pengangkutan, berupa naskah, tanda terima, tanda penyerahan, tanda milik atau hak.
Konsep tanggung jawab timbul karena pengangkutan tidak terjadi sebagaimana
mestinya atau pengangkut tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana termuat dalam
dokumen pengangkutan.
Dalam perjanjian pengangkutan ada beberapa hal yang bukan tanggung jawab
pengangkut. Artinya apabila timbul kerugian, pengangkut bebas dari pembayaran ganti
kerugian. Beberapa hal itu adalah:
a. Keadaan memaksa (overmacht)
b. Cacat pada barang atau penumpang itu sendiri
c. Kesalahan atau kelalaian pengirim atau penumpang itu sendiri.6
C. Tanggung Jawab Pengusaha Pengangkutan
Pengusaha Pengangkutan (Transport Ordernemer) atas keselamatan barang,
kelambatan datangnya barang, baik kerusakan dan kehilangan barang yang diangkut,
dengan demikian posisi pengusaha pengangkutan sama dengan pengangkutan yang
dimaksud dalam Pasal 91 KUHD.
Kedudukan hukum Pengusaha Pengangkutan sama dengan Pengangkut.
Tanggung jawab pengangkut ditentukan dalam pasal 1236 dan 1246 KUHPerdata.
Pasal 1236, pengangkut wajib memberi ganti rugi atas biaya dan rugi bunga yang layak
harus diterima, bila ia tidak dapat menyerahkan atau tidak merawat sepantasnya untuk
menyelamatkan barang-barang angkutan.
Pasal 1246, biaya kerugian bunga itu terdiri dari kerugian yang telah dideritanya dan
laba yang sedianya akan diperoleh, kerugian harus diganti ialah misalnya :
- Harga Pembelian
- Biaya pengiriman dan laba yang layak diharapkan.
6 H.M.N. Purwosutjipto, S.H, 1984, Pengertian Pokok Hukum Dagang, Hukum Pengangkutan, Ji l id 3, Cetakan ke-2, Penerbit Djambatan, Jakarta.
Batas tanggung jawab pengangkut dibatasi dengan ketentuan Pasal 1247 dan 1248
KUHD, kerugian penerimaan dan pengiriman barang menjadi beban pengangkut yang
dibatasi dengan syarat sebagai berikut :
a. Kerugian dapat diperkirakan secara layak, pada saat timbulnya perikatan.
b. Kerugian itu harus merupakan akibat langsung dari tidak terlaksananya perjanjian
pengangkutan.
Meskipun pengangkut debitur menjalankan penipuan yang merugikan penerima
pengirim beban tanggung jawab pengganti kerugian dari pengangkut atau debitur tetap
terbatas pada ketentuan yang dimaksud tersebut diatas.7
D. Ganti Rugi
Mengenai penetapan besarnya ganti rugi, berlaku asas yang tercantum dalam Pasal
1246, 1247, dan 1248 KUHPerdata, yang pada pokoknya mengganti apa yang hilang, rusak
dan laba yang tidak jdi diperoleh yang diperkirakan pada saat perjanjian itu dibuat,
termasuk juga kerugian yang tidak dapat dinilai dengan uang.
- Barang yang musnah laba yang tidak jadi diperoleh terhadap barang yang diangkut,
hingga harga eceran yang tertinggi.
- Cacat badan penumpang sejak dirawat dirumah sakit hingga selesai dan terdapat
cacat badan hingga tidak dapat bekerja dengan sempurna (baik).
- Jiwa yan meninggal dunia.8
7 Soegijatna Tjakranegara, S.H., 1995, Hukum Pengangkutan Barang dan Penumpang, PT. Rineka Cipta, Jakarta, Hlm. 75 8 Soegijatna Tjakranegara, S.H., 1995, Hukum Pengangkutan Barang dan Penumpang, PT. Rineka Cipta, Jakarta, Hlm. 82
BAB III ANALISIS KASUS
Analisa terhadap kasus “Kecelakaan Travel Cipaganti yang Terjadi pada Tanggal Enam Maret
2011”
A. Diketahui: Korban luka-luka sebanyak tiga orang tidak meninggal dunia. Korban adalah
penumpang Travel Cipaganti.
B. Pertanyaan:
a. Peraturan apakah yang dipakai jika terjadi kecelakaan angkutan dijalan terhadap
penumpang atau terhadap pihak ketiga? Jelaskan!
b. Peraturan apakah yang akan digunakan jika kecelakaan tersebut menimpa penumpang?
Jelaskan!
c. Peraturan apakah yang akan digunakan jika kecelakaan tersebut menimpa pihak ketiga?
Jelaskan!
d. Apakah pengemudi angkutan umum dapat dipertanggung jawabkan untuk bayar ganti
kerugian? Dasar hukumnya?
C. Jawaban:
a. Pada kecelakaan angkutan umum diberlakukan pasal 191 UULLAJ 2009 sedangkan pada
kecelakaan angkutan pribadi diberlakukan pasal 234 UULLAJ 2009. Diberlakukannya pasal
191 pada kecelakaan angkutan umum karena berisikan mengenai tanggung jawab
perusahaan angkutan umum terhadap segala perbuatan yang dikerjakan oleh anak
buahnya. Hal ini tepat karena bila dikaitkan dengan pasal 1367 (1) KUHPerdata menegaskan
bahwa perusahaan angkutan umum bertanggung jawab secara perdata untuk memberi
ganti kerugian kepada penumpang, pengirim barang maupun terhadap pihak ketiga yang
dikibatkan oleh segala perbuatan orang yang dipekejakanya dalam kegiatan
penyelenggaraan angkutan. Namun karena berlakunya adagium lex speciale derogate lex
generale sehingga pasal yang diberlakukan adalah pasal 191 UULLAJ 2009. Pasal 234 UULLAJ
2009 tidak dapat diberlakukan pada kecelakaan angkutan umum di jalan. Hal ini disebabkan,
berpijak dari adanya tiga macam pengemudi yaitu pengemudi angkutan umum, pengemudi
(supir pribadi) dari angkutan pribadi, dan pengemudi sebagai pemilik angkutan pribadinya.
Kecelakaan angkutan umum tidaklah mungkin dikenakan oleh pasal 234, karena pasal 234
memungkinkan pengemudinya dituntut untuk mengganti rugi kerugian (secara perdata),
padahal sudah di jelaskan pada pasal sebelumnya yaitu pasal 191, ganti kerugian pada
kecelakaan angkutan umum ditanggung oleh perusahaan angkutan umum sedangkan
pengemudi angkutan umum hanya dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Sehingga
apabila terjadi kecelakaan angkutan umum di jalan dipakai pasal 191 UULLAJ 2009.
b. Ketentuan yang akan digunakan adalah pasal 192 UULLAJ 2009. Pada 192 (1) diatur
tentang tanggung jawab perusahaan angkutan umum adalah untuk mengganti kerugian
apabila kerugian terjadi akibat penyelenggaraan angkutan, dimana kerugian tersebut
diberikan kepada penumpang yang meninggal dunia atau luka-luka. Sistem tanggung
jawabnya adalah presumption of liability, perusahaan angkutan umum harus membuktikan
adanya kerugian yang diderita penumpang, sehingga menyebabkan penumpang meninggal
atau luka. Akan tetapi, dalam system ini, perusahaan angkutan dapat membabaskan diri dari
tanggung jawabnya untuk membayar ganti kerugian, jika perusahaan angkutan dapat
membuktikan salah satu dari dua hal, yaitu: disebabkan karena overmacht atau krn
kesalahan penumpang sendiri. Besarnya ganti kerugian pada 192 (2) harus dibayar oleh
perusahaan angkutan umum kepada penumpang yang meninggal dunia atau luka-luka yang
dihitung berdasarkan kerugian yang nyata-nyata dialami atau bagian biaya perawatan. Di
ayat ini diatur system limitation of liability namun tidak diatur secara jelas mengenai
perhitungan kerugiannya di UU ini maupun penjelasannya.
c. Di dalam kasus ini, kecelakaan tidak menimbulkan kerugian kepada pihak ketiga. Tidak
ada korban selain penumpang.
d. Tidak, pengemudi angkutan umum tidak dapat diminta pertanggung jawabannya untuk
bayar ganti kerugian. Perusahaan pengangkutlah yang bertanggung jawab secara perdata
atas tuntutan ganti rugi yang diajukan oleh penumpang atau ahli warisnya atau pengirim
barang atau pihak ketiga. Sedangkan terhadap supir hanya dapat dikenakan tuntutan secara
pidana karena menyebabkan luka atau meninggalnya seseorang. Jadi supir tidak dapat
dituntut secara perdata, karena diatur secara tegas dalam ketentuan umum 1367 (1)
KUHPerdata maupun dalam ketentuan khusus pada pasal 191. Hal ini juga disebabkan
karena sifat hubungan hukum antara perusahaan angkutan umum dengan supirnya adalah
bersifat perjanjian perburuhan yang menimbulkan hubungan hukum atas dan bawah, tidak
sejajar dan bersifat perjanjian pemberian kuasa tanpa upah, karena upahnya ada dalam
perjanjian perburuhan itu sendiri.
BAB IV
A. Kesimpulan
1. PENGERTIAN PENGANGKUT Secara umum pengangkut adalah barang siapa yang baik
dnegan persetujuan charter menurut waktu (time charter) atau charter menurut
perjalanan baik dengan suatu persetujuan lain mengikatkan diri untuk
menyelenggarakann pengangkutan barang yagn seluruhnya maupun sebagian
melalui pengangkutan.
2. PENGANGKUTAN Suatu proses kegiatan memuat barang/penumpang ke dalam alat
pengangkutan membawa barang/ penumpang dari pemuatan ke tempat tujuan dan
dan menurunkan barnag/penumpang dari alat pengangkutan ke tempat yang
ditentukan. Disini sering menimbulkan tanggungjawab dari pengangkut.
3. TUJUAN PENGANGKUTAN Untuk memindahkan suatu barang/penumpang dari suatu
tempat ke tempat tertentu. Pengangkutan juga bertujuan untuk menaikkan nilai
barang tapi tidak menaikkan nilai penumpang namun menaikkan kualitas orangnya.
4. PERJANJIAN PENGANGKUTAN adalah suatu perjanjian dimana satu pihak
menyanggupi untuk dengan aman membawa orang/barang dari suatu tempat ke
tempat yang lain. Sedangkan pihak yang lain menyanggupi untuk membayar ongkos.
DAFTAR PUSTAKA
1. Abdul Kadir Muhammad, SH, 1991, Hukum Pengangkutan Darat, Laut, dan Udara, Penerbit
PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
2. Sution Usman Adji, S.H., Djoko Prakoso, S.H., Hari Pramono., 1991, Hukum Pengangkutan Di Indonesia, PT. Rinka Cipta, Jakarta.
3. Soegijatna Tjakranegara, S.H., 1995, Hukum Pengangkutan Barang dan Penumpang, PT. Rineka Cipta, Jakarta.
4. H.M.N. Purwosutjipto, S.H, 1984, Pengertian Pokok Hukum Dagang, Hukum Pengangkutan, Jilid 3, Cetakan ke-2, Penerbit Djambatan, Jakarta.