Hukum Lingkungan
-
Upload
faried1995 -
Category
Documents
-
view
69 -
download
0
description
Transcript of Hukum Lingkungan
-
BAHAN AJAR HUKUM LINGKUNGAN
(HKU1006 - 2SKS)
A. HUBUNGAN MANUSIA DAN LINGKUNGAN HIDUP
1. Pengertian Lingkungan Hidup, Ekosistem, dan Ekologi
Lingkungan atau lingkungan hidup (environment, milieu, alam sekitar, atau
kapaligiran) dapat didefinisikan sebagai kesatuan ruang dengan semua benda,
daya, keadaan, dan makhluk hidup termasuk di dalamnya manusia dengan
perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan
manusia maupun makhluk hidup lainnya. Dengan demikian lingkungan hidup
merupakan konsep holistik yang meliputi: (a) lingkungan hidup fisik (physical
environment); (b) lingkungan hayati atau biotis (biological environment); dan
lingkungan sosial termasuk lingkungan lingkungan binaan (social/cultural
environment). Sering pula disebut sebagai ABC lingkungan (Abiotic, Biotic, and
Culture environment).
Demikian pula lingkungan hidup dapat dilihat sebagai sistem dinamis,
karena keberadaannya sangat ditentukan oleh komponen-komponen lingkungan
yang membentuknya. Dalam lingkungan senantiasa beriangsung hubungan
interaksi, hubungan saling bergantung atau interdependensi, dan saling
mempengaruhi antara komponen lingkungan yang satu dengan komponen
lainnya.
Segala sesuatu di dunia ini erat hubungannya. satu dengan yang lain.
Antara manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan, bahkan dengan benda-benda
mati di sekelilingnya sekalipun. Pengaruh antara satu komponen dengan lain
komponen ini bermacam-macam bentuk dan sifatnya. Begitu pula reaksi suatu
golongan atas pengaruh dari yang lainnya juga berbeda.
Suatu peristiwa yang menimpa seseorang, dapat disimpulkan sebagai
resultante / akibat dari berbagai pengaruh di sekitarnya. Begitu banyak pengaruh
yang mendorong manusia ke dalam suatu kondisi tertentu, sehingga manusia
tersebut kemudian berusaha untuk mengerti apakah sebenamya yang
-
mempengaruhi dirinya, dan sampai berapa besarkah pengaruh-pengaruh
tersebut. Oleh karena itu berkembanglah apa yang dinamakan Ecology, yaitu ilmu yang mempelajari hubungan antara satu organisme dengan yang lainnya, dan
antara organisme tersebut dengan lingkungannya (Amsyari, 1981:11).
Secara etimologi, kata "ekologi" berasal dan kata oikos (rumah tangga) dan logos (ilmu), yang diperkenalkan pertama kali dalam biologi oleh seorang
biolog Jerman Ernest Haeckel (1869).
Definisi ekologi menurut Otto Soemarwoto adalah "ilmu tentang hubungan timbal balik antara mahluk hidup dengan lingkungannya".
Ekosistem adalah suatu kesatuan daerah tertentu (abiotic community) di mana di dalamnya tinggal suatu komposisi organisme hidup (biotic community)
yang di antara keduanya terjalin suatu interaksi yang harmonis dan stabil,
terutama dalam jalinan bentuk-bentuk sumber energi kehidupan.
Ada dua bentuk ekosistem yang penting, yaitu ekosistem alamiah (natural eco-system) dan ekosistem buatan (artificial-ecosystem) berupa hasil
kerja manusia terhadap ekosistemnya.
Suatu ekosistem dapat dibagi dalam beberapa subekosistem. Misalnya,
ekosistem bumi kita dapat dibagi dalam subekosistem kelautan, subekosistem
daratan, subekosistem danau, dan subekosistem sungai. Subekosistem daratan
dapat pula dibagi dalam bagian-bagian subekosistem, misalnya subekosistem
hutan, subekosistem padang pasir, dan lain-lain. Dengan konsep ekosistem kita
memandang unsur-unsur dalam lingkungan tidak secara tersendiri melainkan
secara terintegrasi sebagai komponen yang berkaitan dalam suatu sistem
(pendekatan ekosistem / holistik).
Suatu kesatuan ekosistem senantiasa mengarah kepada keadaan
seimbang, artinya seluruh komponen dalam ekosistem berada dalam ikatan-ikatan
interaksi yang harmonis dan stabil, sehingga keseluruhan ekosistem itu berbentuk
suatu proses yang teratur dan berjalan terus menerus. Apabila dikarenakan suatu
peristiwa, baik yang alamiah maupun non alamiah keseimbangan ekosistem
terganggu sehingga terjadi ancaman-ancaman terhadap eksistensi organisme
hidup yang ada, maka akan terjadi proses adaptasi pada semua organisme hidup
yang terancam tersebut untuk kembali ke arah proses yang harmonis dan stabil
lagi (Proses Keseimbangan Kemball/Equilibrium Process).
-
2. Permasalahan Lingkungan: Global-Nasional Secara ringkas, berdasarkan karakteristiknya, isu global
yang dihadapi dapat diklasifikasikan kedalam empat golongan, yakni :
a. Masalah atmosfir Yang tergolong dalam kelompck ini adalah mengenai perubahan iklim
(climate change) dan periindungan ozon. Isu yang paling menarik perhatian pada
saat ini adalah keengganan Amerika Serikat - negara
penyumbang emisi terbesar di dunia - untuk meratifikasi Protokol Kyoto yang
mengandung komitmen mengikat bagi pengurangan komisi.
b. Masalah daratan Masalah ini berkaitan dengan masalah penggurunan dan degradasi tanah,
serta penggulungan hutan. Tercatat, penggundulan hutan yang terjadi khususnya
di Asia, Afrika dan Amerika Latin diperkirakan seluas rata-rata 14, 6 juta hektar per
tahun. Di sisi lain, negara-negara berkembang di Afrika memiliki sumber dana
yang sangat terbatas dalam memerangi penggurunan ini.
c. Masalah kimia dan limbah berbahaya Masalah menonjol dalam bidang ini adalah berkaitan dengan
digunakannya lahan di negara berkembang sebagai lokasi pembuangan limbah
dan bahan-bahan berbahaya yang diekspor ke negara-negara maju.
d. Masalah keanekaragaman hayati Isu keanekaragaman hayati yang berkaitan dengan "nilai ekonomis"
banyak bersinggungan dengan isu-isu perdagangan global yang diatur dalam
WTO, termasuk di dalamnya isu Hak-hak atas'Kekayaan Intelektual, yang hingga
saat ini masih diperdebatkan. Sering sekali, negara berkembang, yang kurang
memiliki sumber daya dan ketentuan HAKI yang memadai dirugikan oleh
perusahaan multinasional yang mendaftarkan "temuannya" tersebut di kantor
paten negara maju. Akibatnya, negara berkembang harus "membeli" hak paten
tersebut yang sebetulnya berasal dari negara berkembang tersebut.
Isu lainnya adalah berkurangnya secara signifikan keanekaragaman hayati baik
akibat bencana seperti kebakaran hutan maupun pengelolaan lingkungan yang
tidak berkelanjutan, seperti pembabatan hutan secara membabi buta yang
-
ditujukan bagi keuntungan ekonomis setinggi-tingginya.
e. Masalah lainnya Terlepas dari isu "sektoral" di atas, dunia juga menghadapi masalah global
lain yang patut mendapat perhatian serius dari seluruh negara. Beberapa isu
menonjol adalah masalah pendanaan bagi pembangunan berkelanjutan,
meledaknya pertumbuhan penduduk, kemiskinan, pola konsumsi dan produksi
yang tidak berkelanjutan, air bersih, malnutrisi, kesehatan seperti HIV/AIDS dan
penyakit menular lainnya, pemanfaatan energi minyak bumi yang tidak dapat
diperbaharui (rewenable), serta dampak globalisasi terhadap lingkungan dan
sosial.
Untuk tujuan ini, Majelis Umum PBB memutuskan untuk melaksanakan
World Summit on Sustainable Development (WSSD) melalui Resolusi Majelis
Umum PBB no. Res. A/RES/55/1999. Resolusi ini "menugaskan" WSSD untuk
melakukan review pelaksanaan Agenda 21, memperkuat kembali komitmen politik
bagi pelaksanaan Agenda 21 di masa mendatang serta, yang paling penting,
menghasilkan dokumen yang action-oriented dengan time-bound measures dan
means of implementation yang jelas.
Permasalahan lingkungan hidup di Indonesia sebenamya lebih disebabkan
oleh 4 (empat) sumber utama, yaitu: (1) kependudukan (population); (2)
kemiskinan (poverty); (3) pencemaran dan atau kerusakan lingkungan (pollution);
dan (4) kebijaksanaan (policy). Sebagaimana lazimnya di negara-negara
berkembang, maka dinamika kependudukan telah menimbulkan berbagai
masalah lingkungan. Pertumbuhan dan kepadatan penduduk yang tinggi
menimbulkan antara lain:
a. Tekanan terhadap hutan, sehingga persentase luas hutan kurang
memenuhi fungsi orchidologi serta konservasi tanah dan air, Terjadi gejala
gerakan tanah, erosi dan sedimentasi serta banjir yang tidak terkendali.
b. Periuasan tanah pertanian disertai dengan intensifikasi lahan'tersebut
untuk mengejar peningkatan produksi berhubung adanya kenaikan
penduduk yang cepat, mengakibatkan pula dampak negatif terhadap
lingkungan antara lain pencemaran perarian dan tanah oleh residu pupuk
kimia dan pestisida. Di beberapa pulau walaupun telah diupayakan
-
intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian tetapi karena tekanan penduduk
yang tinggi, daya dukung lahan teriampaui.
c. Urbanisasi beriebih menimbulkan pelbagai bentuk penurunan kualitas
lingkungan kota, termasuk tata ruang yang tidak memenuhi syarat,
terbentuknya daerah kumuh, bertambahnya jumlah sampah,
meningkatkan pencemaran perairan dan tanah oleh limbah domestik dan
lain-lain. Penurunan kualitas lingkungan kota juga ditopang oleh
perkembangan industri, lalu lintas dan prasarana lain dalam kota, antara
lain berakibat timbulnya pencemaran udara, sekali lagi pencemaran air dan
tanah.
d. Urbanisasi juga mengakibatkan menurunnya estetika, menimbulkan
ancaman terhadap peninggalan-peninggalan historis, menyempitnya
ruang terbuka, taman kota, lapangan olahraga, rekreasi dan lain-lain.
Gejala ini nampaknya melanda kota-kota di Indonesia, e. Pencemaran
yang ditimbulkan di daratan terutama yang terdapat di perairan
mengakibatkan pula pencemaran di pantai dan laut. Pantai dan laut adalah
"long Pencemar" yang berakibat ancaman terhadap kualitas dan kuantitas
terhadap sumber daya laut, terutama sumber daya pantai dan laut. Belum
lagi kerusakan terumbu karang dilepas pantai sesungguhnya
keberadaannya sangat penting baik sebagai pelindung pantai maupun
habitat biota laut. Ancaman kerusakan sumber daya pantai diperkuat
dengan penebangan tanaman dalam hutan mangrove untuk kayu bakar
dan sebagai bahan yang lainnya, Perluasan daerah sawah dan tambak
ikan akibat pertambahan penduduk yang cepat. Disamping pencemaran
laut, pencemaran udara termasuk hujan asam dapat bersifat lintas batas
negara.
3. Reran Manusia Dalam Ekosistem Manusia adalah bagian dari ekosistem, manusia adalah juga pengelola
dari sistem tersebut. Kerusakan lingkungan merupakan pengaruh sampingan dari
tindakan manusia untuk mencapai suatu tujuan yang mempunyai konsekuensi
terhadap lingkungan. Pencemaran lingkungan adalah akibat dari tindakan
manusia yang ambisius. Di dalam permasalahan lingkungan, manusia pada
akhirnya berhadapan dengan dirinya sendiri. Dalam alam yang dipengaruhi
-
manusia (man-made nature) manusia yang dipengaruhi alam (nature-made man)
menemukan dirinya sendiri. Dalam hubungannya dengan alam, manusia harus
memperhitungkan nilai-nilai lain, di samping nilai-nilai teknis dan ekonomis. Berarti
bahwa ancaman terhadap alam tidak dapat dipertanggung jawabkan kepada pihak
lain, akan tetapi pada sikap manusia itu sendiri, baik sebagai pribadi secara
mandiri, maupun sebagai anggota masyarakat (Leenen, 1976: 12-13).
Di antara populasi, yaitu kumpulan individu suatu spesies organisme hidup
yang sama, yang terdapat dalam ekosistem, manusia adalah populasi yang paling
sempurna konstruksinya, yang mempunyai akal dan budi. Dengan kelebihannya
atas populasi-populasi yang lain, manusia mengemban tugas dan kewajiban untuk
mengatur adanya keselarasan dan keseimbangan antara seluruh komponen
ekosistem, baik ekosistem alamiah maupun ekosistem buatan. Kesadaran akan
tugas dan kewajiban ini melepaskan manusia dari anggapan lama bahwa
"Manusia karena dikaruniai akal dan budi oleh Sang Pencipta maka dipenntahkan
untuk menguasai, sehingga dibolehkan berbuat semaunya terhadap lain-lain
subs/stem dan ekosistem seluruhnya".
Menurut Fuad Amsyari, manusia harus berfungsi sebagai subyek dari
ekosistemnya akan tetapi tidak boleh mengabaikan arti pentingnya menjaga
kestabilan ekosistemnya. Karena perubahan-perubahan yang terjadi di dalam
daerah lingkungan hidupnya mau tidak mau akan mempengaruhi ekosistem
manusianya, karena manusia akan banyak sekali bergantung pada ekosistemnya.
Salah satu alat yang kuat dan ampuh dalam melindungi lingkungan hidup adalah
hukum yang mengatur perlindungan lingkungan hidup (Danusaputro, 1980:69-70
dalam Hardjasoemantri, 1999: 1-6).
Lingkungan hidup adalah suatu konsep holistik yang berwujud di bumi ini
dalam bentuk susunan, dan fungsi interaktif antar semua komponen yang ada,
baik yang insani (biotik), maupun yang ragawi (abiotik), dan sosial. Ketiganya
saling mempengaruhi, menentukan, dan sating interaksi, sehingga senantiasa
lingkungan berada dalam dinamika, perubahan, dan ketidakpastian. Lingkungan
hidup tidak bisa lepas dari kehidupan manusia, untuk kesejahteraan manusia,
tetapi tanpa melupakan makhluk hidup lainnya. Pada kehidupan manusia,
manusia mempunyai kemampuan adaptasi lebih besar daripada makhluk hidup
lainnya melalui adaptasi kultural, oleh karenanya lingkungan sosial budaya
menjadi penting bagi manusia.
-
B. SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM LINGKUNGAN 1. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Lingkungan
Drupsteen mengemukakan, bahwa Hukum Lingkungan (Milieurecht)
adalah hukum yang berhubungan dengan lingkungan alam (natuurlijk milieu)
dalam arti seluas-luasnya. Ruang lingkupnya berkaitan dengan dan ditentukan
oleh ruang lingkup pengelolaan lingkungan. Dengan demikian hukum lingkungan
merupakan instrumentarium yuridis bagi pengelolaan lingkungan. Demikian pula terdapat hukum lingkungan keperdataan (privaatrechielijk milieurecht),
hukum lingkungan ketatanegaraan (strafrechtelijk milieurecht), hukum lingkungan
kepidanaan (strafrechtelijk milieurecht), sepanjang bidang-bidang hukum ini
memuat ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan
hidup.
Menurut Prof. Koesnadi, Hukum Lingkungan di Indonesia dapat meliputi
aspek-aspek sebagai berikut:
a. Hukum Tata Lingkungan, selanjutnya disingkat HTL, mengatur penataan
lingkungan guna mencapai keselarasan hubungan antara manusia dan
lingkungan hidup, baik ling-kungan hidup fisik maupun lingkungan hidup
sosial budaya.
Bidang garapannya meliputi tata ruang, tata guna tanah, tata cara peran
serta masyarakat, tata cara peningkatan upaya pelestarian kemampuan
lingkungan, tata cara penumbuhan dan pengembangan kesadaran
masyarakat, tata cara perlindungan lingkungan, tata cara ganti kerugian
dan pemulihan lingkungan serta penataan keterpaduan pengelolaan
lingkungan hidup.
Hukum Tata Lingkungan merupakan instrumentarium yuridis bagi
penataan lingkungan hidup, yang dapat mencakup segi lingkungan fisik
maupun lingkungan social budaya. la mengatur tatanan kegunaan dan
penggunaan lingkungan untuk berbagai keperluan melalui tata cara konkrit
dalam rangka melestarikan kemampuan lingkungan yang serasi dan
seimbang.
Adapun hal-hal yang khusus atau lebih rinci ditangani oleh aspek-aspek
lainnya dari Hukum Lingkungan, seperti beikut ini.
-
b. Hukum Perlindungan Lingkungan, merupakan peraturan perundang-
undangan di bidang pengelolaan lingkungan yang berkaitan dengan
lingkungan biotis.
c. Hukum Kesehatan Lingkungan, adalah hokum yang berhubungan
dengan kebijaksanaan di bidang kesehatan lingkungan, dengan
pemeliharaan kondisi air, tanah dan udara, dan pencegahan kebisingan.
d. Hukum Pencemaran Lingkungan, dalam kaitan misalnya dengan
pencemaran oleh industry.
e. Hukum Lingkungan Transnasional/Internasional, dalam kaitannya dengan hubungan antar negara.
f. Hukum Sengketa Lingkungan, dalam kaitan misalnya dengan
penyelesaian masalah ganti kerugian.
Aspek-aspek tersebut di atas dapat ditambah dengan aspek-aspek lainnya
sesuai dengan kebutuhan perkembangan pengelolaan lingkungan hidup di
masa-masa yang akan datang (Hardjasoemantri, 1999: 36-42).
2. Kebijaksanaan Pengelolaan Lingkungan Global Perkembangan Hukum Lingkungan di Indonesia tidak dapat dipisahkan
dari gerakan sedunia untuk memberikan perhatian yang lebih besar kepada
lingkungan hidup, mengingat kenyataan bahwa lingkungan hidup telah menjadi
masalah yang perlu ditanggulangi bersama demi kelangsungan hidup di dunia ini.
Sejalan dengan perkembangan teknologi yang menimbulkan adanya sifat
ambifalen dari perkembangan itu sendiri yang di satu sisi dapat menimbulkan
kemajuan dan kesejahteraan manusia, tapi di sisi lain dapat menjadikan
lingkungan rusak, misalnya: pemakaian tenaga nuklir yang dapat menghasilkan
limbah radioaktif yang membahayakan, isu mengenai pemanasan bumi, lapisan
ozon dsb. Maka terjadilah kesadaran serta komitmen bersama mengenai pertunya
pengelolaan lingkungan secara global.
Perhatian terhadap masalah lingkungan hidup dimulai dari kalangan
Dewan Ekonomi dan Sosial PBB pada waktu diadakan peninjauan terhadap
hasil-hasil gerakan "Dasawarsa Pembangunan Dunia ke-1 (1960-1970)" guna
merumuskan strategi "Dasawarsa Pembangunan Dunia ke-2 (1970-1980)".
Pembicaraan tentang masalah lingkungan hidup ini diajukan oleh wakil dari
Swedia, disertai saran untuk dijajagi kemungkinan guna menyelenggarakan suatu
-
konferensi intemasional mengenai lingkungan hidup manusia.
a. Konferensi Stockholm Kebijakan global pengelolaan lingkungan hidup ditetapkan pertama kali
dalam Konperensi PBB tentang Lingkungan Hidup Manusia (United Nations
Conference on the Human Environment) yang diselenggarakan di Stockholm pada
tanggal 5-16 Juni 1972, diikuti oleh 113 negara dan beberapa puluh peninjau.
Soviet Uni dan negara-negara Eropa Timur telah memboikot konperensi ini
sebagai terhadap ketentuan yang menyebabkan beberapa negara tidak diundang
dengan kedudukan yang sama dengan kedudukan yang sama dengan
peserta-peserta lain, seperti antara lain Republik Demokrasi Jerman.
Pada akhir sidang, yaitu pada tanggal 16 Juni 1972, Konperensi mengesahkan
nasil-hasilnya berupa:
1. Deklarasi tentang Lingkungan Hidup Manusia, terdiri atas: Preamble dan
26 asas yang lazim disebut Stockholm Declaration;
2. Rencana Aksi Lingkungan Hidup Manusia (Action Plan), terdiri dari 109
rekomendasi termasuk di dalamnya 18 rekomendasi tentang Perencanaan
dan Pengelolaan Permukiman Manusia;
3. Rekomendasi tentang kelembagaan dan keuangan yang menunjang
pelaksanaan Rencana Aksi tersebut di atas, terdiri dari:
a. Dewan Pengurus (Governing Council) Program Lingkungan Hidup
(UN Environment Progamme = UNEP)
b. Sekretariat, yang dikepalai oleh seorang Direktur Eksekutif;
c. Dana Lingkungan Hidup;
d. Badan Koordinasi Lingkungan Hidup.
Dalam suatu resolusi khusus, Konperensi menetapkan tanggal 5 Juni
sebagai "Hari Lingkungan Hidup Sedunia". Atas tawaran Kenya, sekretariat UNEP
ditempatkan di Nairobi.
Pada Sidang Umum PBB tahun 1972, semua keputusan Konperensi
disahkan dengan resolusi Sidang Umum PBB No. 2997 (XXVII) pada tanggal 15
Desember 1972.
Dengan adanya Stockholm Declaration ini, perkembangan Hukum
Lingkungan telah memperoleh dorongan yang kuat, baik pada taraf nasional,
regional maupun internasional. Keuntungan yang tidak sedikit adalah mulai
-
tumbuhnya kesatuan pengertian dan bahasa di antara para ahli hukum dengan
menggunakan Stockholm Declaration sebagai referensi bersama.
Sekalipun hasil dari Deklarasi Stockholm tidak mengikat langsung, karena
merupakan soft law (berbeda dari Konvensi yang hasilnya mengikat langsung,
karena merupakan hard law), tapi pengaruh dari Deklarasi Stockholm besar sekali
terutama bagi Indonesia. Asas-asas lingkungan yang semula diperkenalkan dalam
Deklarasi Stockholm sebanyak 26 asas, kemudian diperbaharui dalam Deklarasi
Rio de Janeiro menjadi 27 asas, yang kemudian diambil 3. Ketiga asas ini dapat
dilihat dalam GBHN: Bab III huruf B ayat 10 TAP MPR No. IV Tahun 1973 yang
berbunyi:
"Dalam pelaksanaan pembangunan, sumber-sumber alam Indonesia
hams digunakan secara rasional. Penggalian ... tersebut harus diupayakan agar
tidak merusak ...., dilaksanakan dengan kebijaksanaan yang menyeluruh dan
dengan memperhitungkan kebutuhan generasi yang akan datang"(D. Silalahi,
2001: 33).
Menyeluruh (integral) dalam arti memperhatikan segala aspek, memperhatikan
sektor-sektor yang terkait dengan sumber daya alam: air, hutan, migas, ikan di
laut. Undang-undang kita sudah mengatur pengelolaannya berdasarkan peraturan
dalam sektor. Dengan memperhitungkan kebutuhan generasi yad., pilihannya
adalah: apakah sumber alam Indonesia akan dihabis-habiskan sekarang atau
tidak.
b. World Conservation Strategy Pada tahun 1980, International Union for the Conservation of Nature and
Natural Resources (IUCN), bersama-sama dengan United Nations Environment
Programme (UNEP) dan World Wildlife Fund (WWF), menerbitkan World
Consevation Strategy (WCS) dalam upayanya untuk memenuhi kebutuhan
konservasi, yang meliputi pengelolaan sistem produksi yang ekologis tepat dan
pemeliharaan kelangsungan hidup dan keanekaragamannya.
Maksud WCS adalah untuk mencapai tiga tujuan utama dari konservasi sumber
daya hayati, yaitu:
a) Memelihara proses ekologi yang esensial serta sistem penyangga
kehidupan;
b) Menjamin pemanfaatan secara lestari spesies serta ekosistemnya.
-
Ketentuan khusus tercantum dalam Section 11 dari WCS tentang tindakan
hukum yang diperlukan untuk melaksanakan kebijaksanaan pembangunan
berkelanjutan pada tingkat nasional, yaitu bahwa suatu komitmen untuk
mengkonservasikan sumber daya hayati negara perlu ditetapkan dalam
undang-undang dasar atau instrumen hukum lainnya yang sesuai. Komitmen
tersebut perlu menyatakan kewajiban negara untuk mengkonservasi sumber daya
hayati dan sistem yang meliputinya, hak warga negara akan lingkungan yang
stabil dan beranekaragam, dan tanggung jawab warga negara terhadap
lingkungan tersebut.
Perlu ada perundang-undangan khusus yang ditujukan kepada
pencapaian tujuan konservasi, baik oleh pemanfaatan secara lestari dan
pertindungan sumber daya hayati maupun oleh sistem penunjang kehidupan.
Perundang-undangan konservasi secara komprehensif pertu menetapkan
ketentuan tentang perencanaan penggunaan tanah dan air dan perlu mengatur
baik dampak langsung terhadap sumber daya seperti eksploitasi dan penggusuran
habitat, maupun dampak tidak langsung seperti pencemaran atau introduksi dari
spesies yang ekskotik. Selain daripada itu, peraturan tersebut perlu meliputi pula
ketentuan tentang pelaksanaan evaluasi ekosistem, analisis mengenai dampak
lingkungan dan tindakan-tindakan lainnya untuk menjamin dimasukkannya
pertimbangan ekologi ke dalam pembuatan kebijaksanaan.
WCS merupakan pernyataan transisi, tidak dimaksudkan sebagai
kerangka definitif untuk pembangunan berkelanjutan. Berbagai masalah yang
mendesak tentang berbagai isyu pembangunan belum dicantumkan, di antaranya
mengenai sebab-sebab pembangunan yang tidak maju serta eksploitasi dan
degradasi lingkungan.
c. Pertemuan Montevideo Kemajuan lebih lanjut diperoleh dengan diadakannya Ad Hoc Meeting of
Senior Goverment Official Expert in Environmental Law di Montevideo, Uruguay,
pada tanggal 28 Oktober - 6 November 1981. Pertemuan internasional dalam
bidang hukum lingkungan ini adalah untuk pertama kalinya diadakan.
Pertemuan ad hoc tersebut diadakan untuk membuat kerangka, metoda
dan program, meliputi upaya-upaya tingkat internasional, regional dan nasional,
-
guna pengembangan serta peninjauan berkala hukum lingkungan dan guna
memberi sumbangan kepada persiapan dan pelaksanaan komponen Hukum
Lingkungan dalam Systemwide Medium Term Environment Programme UNEP.
Pertemuan tersebut telah menghasilkan kesimpulan dan rekomendasinya yang
sangat berarti bagi perkembangan Hukum Lingkungan.
a. World Commission on Environment and Development Perkembangan lebih lanjut dalam pengembangan kebijaksanaan
lingkungan hidup didorong oleh hasil kerja World Commission on Environment and
Development, disingkat WCED.
WCED dibentuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memenuhi
keputusan Sidang Umum PBB Desember 1983 No. 38/161 dan dipimpin oleh
Nyonya Gro Harlem Brundtland (Norwegia) dan Dr. Mansour Khalid (Sudan).
Keanggotaan WCED mencakup pemuka-pemuka dan Zimbabwe, Jerman Barat,
Hongaria, Jepang, Guyana, Saudi Arabia, Italia, Mexico, Brazilia, Aljazair, Nigeria,
Yugoslavia, dan Indomesia (Prof. Dr. Emil Salim). Sekretariat Jenderal WCED
berkedudukan di Geneva. Tugas WCED adalah :
a. Mengajukan strategi jangka panjang pengembangan lingkungan menuju
pembangunan yang berkelanjutan di tahun 2000 dan sesudahnya;
b. Mengajukan cara-cara supaya keprihatinan lingkungan dapat dituangkan
dalam kerja sama antar negara untuk mencapai keserasian antara
kependudukan, sumber daya alam, lingkungan, dan pembangunan;
c. Mengajukan cara-cara supaya masyarakat internasional dapat
menanggapi secara lebih efektif pola pembangunan berwawasan
lingkungan;
d. Mengajukan cara-cara masalah lingkungan jangka panjang dapat
ditangkapi dalam agenda aksi untuk dasawarsa pembangunan.
Dalam melaksanakan tugas ini WCED diminta bertukar fikiran dengan
masyarakat ilmuwan, kalangan pecinta lingkungan, kalangan pembentuk opini,
kalangan generasi muda yang bergerak di bidang lingkungan, dan mereka yang
berminat dengan pembangunan berwawasan lingkungan. Begitu pula
diharapkan pandangan Pemerintah khususnya melalui Governing Council UNEP,
pandangan pemimpin nasional, formal dan informal serta tokoh-tokoh
internasional. WCED diharapkan meningkat-kan hubungan dengan badan-badan
-
antar Pemerintah di luar sistem PBB.
WCED mendekati masalah lingkungan dan pembangunan dari enam sudut
peneropongan:
a. Keterkaitan (interdependency)
b. Berkelanjutan (sustainability)
c. Pemerataan (equity)
d. Sekuriti dan Risiko Lingkungan
e. Pendidikan dan Komunikasi
f. Kerjasama Intemasional
WCED telah memberikan laporannya pada tahun 1987 yang diberi judul
Our Common Future, yang memuat banyak rekomendasi khusus untuk perubahan
institusional dan perubahan hukum.
WCED mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai: development
that meets the needs of the present without compromising the ability of future
generations to meet their own needs. Dengan demikian, pembangunan yang
dijalankan untuk memenuhi kebutuhan sekarang tidak boleh mengurangi
kemampuan generasi-generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya
sendiri.
b. Caring for the Earth Laporan WCED telah memberikan dampaknya pada penyusunan dampak
strategi konservasi baru yang menggantikan World Conservation Strategy (WCS),
yaitu "Caring for the Earth: A Strategy for Sustainable Living", disusun bersama
oleh World Conservation Union (IUCN, singkatan yang dipertahankan karena
sudah dikenal luas, yang merupakan singkatan dari nama terdahulu, yaitu
International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources), the
United Nations Environment Programme (UNEP), dan World Fund for Nature
(WWF, sebagai singkatan yang dipertahankan) dan diumumkan pada bulan
Oktober 1991, dengan ditandatangani oleh Martin W. Holdgate, Direktur Jenderal
IUCN, Mostafa K. Tolba, Direktur Eksekutif UNEP, dan Charles de Haes, Direktur
Jenderal WWF.
Caring for the Earth (CE) diterbitkan dengan tujuan utama untuk membantu
memperbaiki keadaan masyarakat dunia, dengan menetapkan dua syarat.
Pertama adalah untuk menjamin komitmen yang meluas dan mendalam pada
-
sebuah etika baru, yaitu etika kehidupan berkelanjutan dan mewujudkan
prinsip-prinsipnya dalam praktek. Yang lain adalah untuk mengintegrasikan
konservasi dan pembangunan: Konservasi untuk menjaga agar kegiatan-kegiatan
kita berlangsung dalam batas daya dukung bumi, dan pembangunan untuk
memberi kesempatan kepada manusia di manapun guna menikmati kehidupan
yang lama, sehat serta memuaskan.
CE menyatakan, bahwa masyarakat yang berkelanjutan dapat dicapai
apabila dikaitkan dengan sembilan prinsip yang digariskan, yaitu: menghargai dan
memelihara komunitas kehidupan; meningkatkan kualitas kehidupan manusia;
mengkonservasi vitalitas dan keanekaragaman bumi dengan mengkonservasikan
sistem penunjang kehidupan ekologis dan menjamin keanekaragaman hayati
serta pemanfaatan secara lestari sumber daya yang dapat diperbaharui;
meminimumkan penipisan sumber daya yang tidak dapat diperbaharui; merubah
perilaku dan perbuatan pribadi; memberi kesempatan kepada masyarakat untuk
memelihara lingkungannya sendiri; menyediakan kerangkakerja nasional untuk
mengintegrasikan pembangunan dan konservasi; dan menciptakan kerja sama
global untuk mencapai keberlanjutan global.
c. Konperensi Rio de Janeiro Laporan Laporan WCED telah digunakan sebagai materi untuk Konperensi
Tingkat Tinggi Bumi yang diadakan oleh PBB di Rio de Janeiro pada tanggal 3
sampai dengan 14 Juni 1992 dan merupakan peringatan 20 tahun Konferensi
Stockholm 1972. Konperensi yang dinamakan United Nations Conference on
Envinronment and Development disingkat UNCED, dihadiri oleh 177
kepala-kepala negara dan wakil-wakil pemerintah yang berkumpul di Rio de
Janeiro untuk bersama-sama bekerja ke arah menjadikan pembangunan
berkelanjutan sebuah realitas. Konprensi telah dihadiri juga oleh badan-badan di
lingkungan PBB dan lembaga-lembaga lainnya.
Konperensi Rio diadakan dalam rangka pelaksahaan resolusi Sidang
Umum PBB No.45/211 tertanggal 21 Desember 1990 dan keputusan No. 46/468
tertanggal 13 April 1992.
Sebuah Panitia Persiapan UNCED telah dibentuk untuk
mengkoordinasikan berbagai masukan dari badan-badan PBB,
pemerintah-pemerintah serta lembaga-lembaga dan pemerintah, dan untuk
-
mengidentifikasikan tujuan bersama serta kegiatan-kegiatan konkrit yang akan
diajukan kepada kepala-kepala pemerintah untuk diterima. Empat pertemuan
Panitia Persiapan telah diadakan, sebuah proses yang dimulai dengan
pertemuannya yang pertama di Nairobi pada bulan Agustus dan September 1990.
Rio bukanlah semata-mata konperensi negara-negara, akan tetapi juga
konperensi rakyat. Bersamaan dengan konperensi resmi, di Flamengo Park yang
letaknya berdekatan dengan tempat konperensi resmi, diadakan pertemuan yang
disebut the'92 Global Forum, yang diikuti kurang lebih 10.000 orang yang mewakili
9.000 organisasi dan telah menarik sebanyak 20.000 pengunjung.
Global Forum menyediakan berbagai kegiatan yang diselenggarakan oleh
lembaga-lembaga swadaya masyarakat dan asosiasi-asosiasi, yang meliputi
International Forum of NGO's and Social Movement, Open Speakers Forum dan
pertemuan kelompok-kelompok agama. UNCED telah berhasil mencapai
konsensus mengenai beberapa bidang yang sangat penting, yang dituangkan
dalam berbagai dokumen dan perjanjian sebagai berikut:
1) "The Rio de Janeiro Declaration on Environmental and Development'
yang menggariskan 27 prinsip fundamental tentang lingkungan dan
pembangunan.
2) "Non-Legally Binding Authorative Statement of Principles for a
Global Consensus on the Management, Conservation and
Sus-tainable Development of all Types of Forest (Forestry Principles)". Prinsip-prinsip kehutanan ini merupakan konsensus
intemasional yang terdiri dari 16 pasal yang mencakup aspek pengelolaan,
aspek konservasi, serta aspek pemanfaatan dan pengembangan, bersifat
tidak mengikat secara hukum dan berlaku untuk semua jenis atau tipe
hutan.
3) "Agenda 21" merupakan rencana kerja global yang pertama kali disusun secara menyeluruh mengenai pembangunan berkelanjutan, meliputi
berbagai isu ekonomi, sosial dan lingkungan yang berbeda-beda, dan
menampung masukan dari semua negara di dunia. Agenda 21 Global
merupakan suatu dokumen komprehensif setebal 700 halaman yang
berisikan program aksi pembangunan berkelanjutan menjelang abad 21.
-
Melalui serangkaian penelitian selama 2 tahun, penyusunan konsep dan
negosiasi intensif yang dilakukan sebelum dan menjelang konferensi,
akhirnya Agenda 21 ditandatangani oleh semua negara (termasuk
Indonesia) yang nadir pada konferensi tersebut.
Agenda 21 dapat digunakan baik oleh pemerintah, organisasi
intemasional, kalangan industri maupun masyarakat lainnya untuk
mendukung upaya pengintegrasian lingkungan ke dalam seluruh kegiatan
sosial-ekonomi. Agenda 21 juga membahas dampak kegiatan manusia
terhadap lingkungan dan kesinambungan sistem produksi. Tujuan dari
setiap kegiatan yang tercantum dalam Agenda 21 pada dasamya adalah
untuk mengentaskan kemiskinan, kelaparan, pemberantasan penyakit,
dan buta huruf di seluruh dunia, di samping untuk menghentikan kerusakan
ekosistem yang penting bagi kehidupan manusia.
Dalam rangka mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang
berwawasan lingkungan, maka integrasi pembangunan ekonomi, sosial
dan lingkungan merupakan syarat yang harus dianut oleh semua sektor
pembangunan terkait. Kunci keberhasilan untuk mencapai tujuan ini
adalah dilaksanakannya kemitraan nasional oleh seluruh sektor yang
berkaitan daengan pembangunan dan lingkungan, yang merupakan inti
dan tujuan baik Agenda 21 Global maupun Agenda 21-Indonesia.
Agenda 21-lndonesia memberikan serangkaian pandangan dan inspirasi
yang dapat dimasukkan ke dalam proses perencanaan pada setiap
tingkatan pembangunan di Indonesia, sedemikian rupa sehingga
lembaga-lembaga pemerintah, swasta dan masyarakat luas lainnya dapat
memanfaatkan dokumen ini sebagai referensi bagi penyusunan
perencanaan dan program-program jangka pendek dan panjang dalam
menghadapi pasar bebas di masa mendatang dan dalam mewujudkan
pembangunan berkelanjutan yang dicita-citakan. Dokumen ini secara
komprehensif dan rinci mengungkapkan kaitan antara pembangunan
ekonomi dan sosial, serta memberikan "paradigma baru" bagi pencapaian
pembangunan berkelanjutan di Indonesia.
Sebagai kesimpulan, Agenda 21-lndonesia dapat dijadikan sebagai suatu
advisory document yang mencakup aspek kebijakan, pengembangan
program dan strategi yang meliputi hampir seluruh perencanaan
-
pembangunan bidang sosial, ekonomi dan lingkungan.
4) "The Framework Convention on Climate Change", yang memuat
kesediaan negara-negara maju untuk membatasi emisi gas rumah kaca
dan melaporkan secara terbuka mengenai kemajuan yang diperolehnya
dalam hubungan tersebut. Negara-negara maju juga sepakat untuk
membantu negara-negara berkembang dengan sumber daya dan
teknologi dalam upaya negara berkembang untuk memenuhi kewajiban
sebagaimana tercantum dalam Konvensi. Indonesia telah meratifikasi
Konvensi ini dengan Undang-undang No. 6 Tahun 1994 pada tanggal 1
Agustus 1994.
5) "The Convention on Biological Diversity" (Konvensi
Keaneka-garagaman Hayati), yang memberikan landasan untuk
kerjasama intemasional dalam rangka konservasi spesies dan habitat.
Dalam Pasal 1 Konvensi ini dinyatakan tentang tujuannya, yaitu
melestarikan dan mendayagunakan secara berkelanjutan
keanekaragaman hayati dan berbagai keuntungan secara adil dan merata
dari hasil pemanfaatan sumber genetika melalui akses terhadap sumber
genetika tersebut, alih teknologi yang relevant, serta pembiayaan yang
cukup dan memadai.
Asas dalam Pasal 3 menyatakan, bahwa negara memiliki kedaulatan untuk
mengeksploitasi sumber alamnya sesuai dengan kebijaksanaan
pembangunan dan lingkungannya, serta mempunyai tanggung jawab
untuk menjamin bahwa kegiatannya itu tidak akan merusak lingkungan
baikdi dalam maupun di luar wilayah negaranya. Indonesia telah
meratifikasi Konvensi ini dengan Undang-undang No. 5 Tahun 1994 pada
tanggal 1 Agustus 1994.
Beberapa prinsip yang mengikat secara hukum (soft law) pada Deklarasi
Stockholm dan Deklarasi Rio de Janeiro, mempunyai implikasi penting bagi
perundang-undangan di Indonesia.
Terbentuknya UU No. 4 Tahun 1982 atau UULH di Indonesia, yang diperbaharui
dengan UU No. 23 Tahun 1997 atau UUPLH merupakan salah satu peristiwa
penting, baik di lihat dari sudut pembangunan nasional Indonesia maupun dari
sudut pembinaan hukum nasional.
-
3. Hukum Lingkungan Klasik dan Modem Moenadjat membedakan antara Hukum Lingkungan modern yang
berorientasi kepada lingkungan atau environment-oriented law dan Hukum
Lingkungan klasik yang berorientasi kepada penggunaan lingkungan atau
use-oriented law.
Hukum Lingkungan modern menetapkan ketentuan dan norma-norma
guna mengatur tindak perbuatan manusia dengan tujuan untuk_melindungi
lingkungan dari kerusakan dan kemerosotan mutunya untuk menjamin
kelestariannya agar dapat digunakan oleh generasi sekarang maupun
generasi-generasi mendatang. Sebaliknya Hukum Lingkungan klasik menetapkan
ketentuan dan norma-norma dengan tujuan untuk_menjamin penggunaan dan
eksploitasi sumber-sumber daya lingkungan dengan berbagai akal dan
kepandaian manusia guna mencapai hasil yang maksimal dalam jangka waktu
yang singkat.
Hukum Lingkungan modern berorientasi kepada lingkungan, sehingga sifat
dan wataknya mengikuti lingkungan itu sendiri dan lebih banyak berguru kepada
ekologi. Dengan berorientasi kepada lingkungan, maka Hukum Lingkungan
modern memiliki sifat utuh-menyeluruh atau komprehensif-integral, selalu berada dalam dinamika dengan sifat dan wataknya yang luwes, sedang
sebaliknya Hukum Lingkungan klasik bersifat sektoral, serba kaku dan sukar
berubah.
Dari sudut hukum nasional masuknya aspek lingkungan pada proses
pembentukan hukum baru dari suatu negara yang sedang berkembang seperti
Indonesia tidak saja dianggap suatu keharusan bagi konsepsi pembangunan yang
berwawasan lingkungan (ecodevelopmenf) dan sesuai dengan prinsip-prinsip
yang diletakkan dalam Deklarasi Stockholm 1972, tetapi juga telah membawa
pengaruh yang mendasar pada konsepsi dan sistem hukum lingkungan nasional
Indonesia. Deklarasi Rio de Janeiro 1992 kemudian telah memperluas dan
memperdalam pengertian hukum Lingkungan (D. Silalahi, 2001: 31-32). Konsep
Pembangunan Berwawasan Lingkungan (Eco-development) dari Deklarasi
Stockholm dan konsep Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable development)
dari Deklarasi Rio de Janeiro telah melahirkan konsep baru, yaitu:
Eco-sustainable development
-
Caring for the Earth: a Strategy for Sustainable Living (IUCN, UNEP,
dan WWF, 1991) menjelaskan tentang peranan hukum lingkungan sebagai
berikut:
a. Memberi efek kepada kebijakan-kebijakan yang dirumuskan dalam
mendukung konsep pembangunan yang berkelanjutan.
b. Sebagai sarana penataan melalui penerapan aneka sanksi (variety of
sanction),
c. Memberi panduan kepada masyarakat tentang tindakan-tindakan yang
dapat ditempuh untuk melindungi hak dan kewajibannya.
d. Memberi definisi tentang hak dan kewajiban dan perilaku-perilaku yang
merugikan masyarakat.
e. Memberi dan memperkuat mandat serta otoritas kepada aparat
pemerintah terkait untuk melaksanakan tugas dan fungsinya.
Selanjutnya Caring for the Earth juga mencoba memberikan usulan
tentang bagaimana seharusnya sistem hukum lingkungan yang komprehen-sif
serta mekanisme penegakannya. Secara ringkas, system hukum lingkungan
nasional serta mekanisme penegakan hukum paling tidak harus memberikan
wadah sebagai berikut:
a. Penerapan prinsip pencegahan dini (precautionary principle).
Prinsip yang merupakan Prinsip 15 dari Deklarasi Rio ini menekankan
pentingnya tindakan-tindakan antisipatif sebagai upaya pencegahan
walaupun belum terdapat bukti-bukti ilmiah yang pasti dan meyakinkan
terhadap suatu hal
b. Pendayagunaan instrumen ekonomi melalui penerapan pajak
dan pungutan-pungutan lainnya.
c. Pembertakuan AMDAL untuk proyek-proyek pembar.gunan dan rencana
kebijakan.
d. Pembertakuan sistem audit lingkungan bagi kegiatan industri swasta dan
pemerintah yang telah bertangsung.
e. Sistem pemantauan dan inspeksi yang efektif.
Memberikan jaminan kepada masyarakat mendapatkan informasi Amdal,
audit lingkungan, hasil pemantauan dan informasi tentang produksi,
penggunaan dan pengolahan limbah maupun bahan beracun
dan berbahaya (B3).
-
f. Sanksi yang memadai bagi pelanggar dalam pengertian harus mampu
memberikan efek penjera bagi noncompliance.
g. Sistem pertanggungjawaban yang member dasar pembayaran
kompensasi karena kerugian ekonomis, ekologis, maupun kerugian
(material (intangible losses).
h. Pembertakuan system pertanggungjawaban mutlak atau seketika
(strictliability) untuk kegiatan-kegiatan yang melibatkan bahan-bahan
berbahaya dan beracun.
i. Penyelenggaraan asuransi dan penataan mekanisme pendanaan lainnya
yang mempercepat dan memungkinkan pelaksanaan kompensasi.
j. Memberikan jaminan hak standing bagi kelompok-kelompok lingkungan
dalam proses beracara di forum-forum administratif maupun pengadilan,
sehingga kelompok tersebut dapat berfungsi sebagai komponen penting
dalam penegakan hukum lingkungan.
k. Memberikan jaminan bahwa tindakan-tindakan dari instansi pemerintah
yang berwenang di bidang penegakan hukum lingkungan dapat
dipertanggungjawabkan (accountable).
4. Kebijakan LH dalam UUD 1945 dan GBHN/Propenas Kaedah dasar yang melandasi pembangunan dan perlindungan
lingkungan hidup Indonesia terdapat dalam Pembukaan Undang-undang Dasar
1945 pada alinea ke-4 yang menyatakan: "... membentuk suatu Pemerintah
Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum...".
Ketentuan ini menegaskan "Kewajiban Negara" dan "Tugas Pemerintah"
untuk melindungi segenap sumber-sumber insani Indonesia dalam lingkungan
hidup Indonesia guna kebahagiaan seluruh rakyat Indonesia dan segenap umat
manusia.
Pemikiran dasar tersebut dirumuskan lebih konkrit dalam Pasal 33 ayat (3)
UUD 1945 sebagai berikut: "Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besamya untuk
kemakmuran rakyat.
Ketentuan tersebut memberikan "hak penguasaan" kepada negara atas
seluruh sumber daya alam Indonesia dan memberikan "kewajiban kepada negara"
-
untuk menggunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.
Ketentuan-ketentuan dasar tersebut dijabarkan oleh MPR dalam TAP MPR
No. IV/MPR/1973 tentang GBHN, pada Bab III, butir 10 dari Pendahuluan yang
berbunyi:
"Dalam pelaksanaan pembangunan, sumber-sumber alam Indonesia (1) harus
digunakan secara rasional. Penggalian sumber kekayaan alam tersebut (2) harus
diusahakan agar tidak merusak tata lingkungan hidup manusia, (3) dilaksanakan
dengan kebijaksanaan yang menyeluruh dan (4) dengan memperhatikan
kebutuhan generasi yang akan datang" (Hardjasoemantri, 1999: 62-67).
Demikian pula dalam GBHN 1999-2004 telah mencantumkan ketentuan
tentang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup. Ketentuan dalam GBHN
1999-2004 tersebut selanjutnya dijabarkan lebih lanjut dalam Undang-undang No.
25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun
2000-2004.
Dari sudut pembangunan nasional masuknya aspek lingkungan dalam
konsepsi pembangunan (dikenal dengan prinsip pembangunan yang berwawasan
lingkungan} erat hubungannya dengan perkembangan yang terjadi di masyarakat
internasional yang sedang 'membangun (dikenal dengan dekade Pembangunan
PBB 1: 1960-1970). Pads, dekade ini hubungan antara pembangunan dan
masalah lingkungan dipersoalkan untuk pertama kalinya.
C. PERUNDANG-UNDANGAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN
1. UU No. 4 Tahun 1982 Undang-undang pertama yang mengatur tentang pengelolaan lingkungan
hidup secara menyeluruh (=komprehensif integral) dan bersifat environment
oriented law adalah Undang-undang No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, selanjutnya disingkat UULH, yang diundangkan pada tanggal 11 Maret 1982. Penyusunan Rancangan Undang-undang tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup didasarkan
atas alasan-alasan sebagai berikut :
a. Didalam Repelita III, Bab 7 tentang "Sumber Alam dan Lingkungan Hidup" tertera petunjuk mengenai periunya Undang-undang yang memuat ketentuan-ketentuan pokok tentang masalah lingkungan.
-
Hal ini berarti bahwa Pemerintah berkewajiban untuk mengusahakan
terbentuknya Undang-undang tersebut dalam kurun waktu Repelita III.
Undang-undang yang memuat asas serta prinsip-prinsip pokok tentang
perlindungan dan pengembangan lingkungan hidup ini beserta
sanksi-sanksinya akan merupakan dasar bagi semua peraturan
perundang-undangan lainnya yang diciptakan secara sektoral sesuai
dengan kepentingan perlindungan dan pembangunan lingkungan hidup di
masing-masing bidang. Dalam merumuskan berbagai peraturan
perundang-undangan tersebut, perlu diperhatikan asas serta
prinsip-prinsip yang digunakan oleh konvensi-konvensi internasional di
bidang lingkungan hidup. Peraturan perundang-undangan yang mengatur
pokok-pokok kebijaksanaan di bidang lingkungan secara menyeluruh dan
peraturan perundang-undangan secara sektoral yang dilengkapi peraturan
pelaksanaan serta tatacara kelembagaannya perlu dikembangkan lebih
cepat, agar kesimpangsiuran wewenang dan tanggungjawab dalam
pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup dapat dikurangi.
Analisis pengaruh lingkungan yang telah dibuat oleh proyek-proyek perlu
diikuti oleh tatacara kelembagaannya, agar koordinasi dalam penilaian
suatu proyek atau kegiatan dapat dilakukan dengan baik, sehingga
hambatan-hambatan prosedural dapat dihilangkan. Keseluruhan
peraturan-peraturan tersebut selanjutnya akan membina suatu sistem
hukum lingkungan nasional.
b. Peraturan perundang-undangan yang ada kurang memuat segi
lingkungan hidup. Sebaliknya perkembangan kesadaran lingkungan sudah meningkat di
kalangan produsen selaku "perusak lingkungan potensial" dan di kalangan
konsumen masyarakat umum selaku "penderita kerusakan lingkungan
potensial".
Maka perlu dikembangkan peraturan perundang-undangan sesuai dengan
kebutuhan dan peningkatan kesadaran lingkungan dalam masyarakat.
c. Indonesia mulai memasuki tahap industrialisasi bersamaan dengan peningkatan pengembangan pertanian, sebagai bagian dari pelaksanaan
-
pembangunan secara bertahap yang bertujuan: (1) meningkatkan taraf
hidup dan kesejahteraan seluruh rakyat serta (2) meletakkan landasan
yang kuat untuk pembangunan tahap berikutnya.
Dalam rangka peletakan landasan pembangunan yang kuat ini, tersimpul
pertunya mengusahakan pembangunan tanpa merusak lingkungan
mengelola sumber serta daya alam secara bijaksana untuk dapat
menopang tahapan pembangunan jangka panjang.
d. Arab pembangunan jangka panjang tertuju pada pembangunan
manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia, yang sepertitercantum dalam GBHN.
2. Pembaharuan UULH 1982: UU No. 23 Tahun 1997.
UULH dicabut dan diganti dengan Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang. Pengelolaan Lingkungan Hidup, selanjutnya disingkat UUPLH, yang diundangkan pada tanggal 19 September 1997.
Pertimbangan digantikannya UULH oleh UUPLH adalah pada butir d
konsiderans UUPLH, yaitu bahwa penyelenggaraan pengelolaan lingkungan
hidup dalam rangka pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan
hidup harus didasarkan pada norma hukum dengan memperhatikan tingkat
kesadaran masyarakat dan perkembangan lingkungan global serta perangkat
hukum internasional yang berkaitan dengan lingkungan hidup.
Sejak diundangkannya UULH pada tahun 1982 kesadaran dan kehidupan
masyarakat dalam kaitannya dengan pengelolaan lingkungan hidup terus
meningkat sehingga pokok materi sebagaimana diatur dalam Undang-undang
No.4 Tahun 1982 pertu disempurnakan. Demikian pula hasil Konperensi Rio de
Janeiro 1992 menjadi perhatian dalam penyusunan UUPLH.
3. Sifat dan Fungsi UUPLH Materi bidang lingkungan sangat luas mencakup segi-segi ruang angkasa,
puncak gunung, sampai ke perut bumi dan dasar laut, dan meliputi sumber daya
manusia, sumber daya alam hayati, sumber daya alam nonhayati dan sumber
daya buatan. Materi seperti ini tidak mungkin diatur secara lengkap dalam satu
Undang-undang, tetapi memerlukan seperangkat peraturan perundang-undangan
-
dengan arah dan ciri yang serupa. Karena itu sifat UULH mengatur
"ketentuan-ketentuan pokok pengelolaan lingkungan hidup".
UULH memuat asas dan prinsip pokok bagi pengelolaan lingkungan hidup,
sehingga berfungsi sebagai "payung" (umbrella act) bagi penyusunan peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan lingkungan hidup
dan bagi penyesuaian peraturan perundang-undangan yang telah ada.
UULH yang kemudian dicabut dengan Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan selanjutnya disingkat UUPLH ini pun berfungsi sebagai "payung".
D.IMPLIKASI UNDANG-UNDANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN 1. Asas dan Tujuan Pengelolaan Lingkungan
Asas, tujuan dan sasaran pengelolaan lingkungan hidup, sebagaimana
tercantum dalam Pasal 3 UUPLH berbunyi:
"Pengelolaan lingkungan hidup diselenggarakan dengan asas tanggung jawab
Negara, asas keberlanjutan dan asas manfaat, bertujuan untuk mewujudkan
pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam rangka
pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat
Indonesia seluruhnya yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa".
Penjelasan pasal tersebut berbunyi:
"Berdasarkan asas tanggung jawab negara, di satu sisi, negara menjamin
bahwa pemanfaatan sumber daya alam akan memberikan manfaat yang
sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan mutu hidup rakyat, baik generasi masa
kini maupun generasi masa depah. Di sisi lain, negara mencegah dilakukannya
kegiatan pemanfaatan sumber daya alam dalam wilayah yurisdiksinya yang
menimbulkan kerugian terhadap wilayah yurisdiksi negara lain, serta melindungi
negara terhadap dampak kegiatan di luar wilayah negara. Asas ketertanjutan
mengandung arti setiap orang memikul kewajiban dan tanggung jawab terhadap
generasi mendatang, dan terhadap sesamanya dalam satu generasi. Untuk
melaksanakan kewajiban dan tanggung jawab tersebut, maka kemampuan
lingkungan hidup harus dilestarikan, karena lestarinya kemampuan lingkungan
hidup menjadi tumpuan kelanjutan pembangunan".
-
Tujuan sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 UULH berubah menjadi
sasaran dalam Pasal 4 UUPLH.
Terkendalinya pemanfaatan sumber daya secara bijaksana sebagaimana
tercantum dalam Pasal 4 huruf e mempunyai arti penting dalam kaitannya dengan
pemakaian sumber daya tak terbaharui (non-renewable resource), sehingga
aspek-aspek seperti kehematan, daya guna serta hasil guna menjadi mutlak
diperhatikan, di samping aspek daur ulang (recycling) yang senantiasa/selalu
harus diusahakan dengan menggunakan bermacam-macam teknologi, baik
teknologi maju maupun teknologi madya dan teknologi sederhana atau teknologi
pedesaan (rural technology).
Pengendalian pemanfaatan sumber daya secara bijaksana tidak hanya
ditujukan kepada penghematan sumber daya tak terbaharui, tetapi juga pada
pencarian sumber daya alternatif lainnya guna memperoleh energi. Sumber daya
lainnya itu dapat berupa biogas, biomassa, energi angina (windenergy), energy
surya (solar energy), OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion), energi nuklirdan
lain-lain (Hardjasoemantri, 1999: 89-92).
2. Hak Atas Lingkungan Hidup Pasal 5 ayat (1) UULH berbunyi: "Setiap orang mempunyai hak atas
lingkungan hidup yang baik dan sehat", sedangkan dalam Pasal 5 ayat (1) UUPLH
dipertegas menjadi "hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat".
Heinhard Steiger c.s. menyatakan, bahwa apa yang dinamakan hak-hak
subyektif (subjective rights) adalah bentuk yang paling luas dari periindungan
seseorang. Hak tersebut memberikan kepada yang memilikinya suatu tuntutan
yang sah guna meminta kepentingannya akan suatu lingkungan hidup yang baik
dan sehat itu dihormati, suatu tuntutan yang dapat didukung oleh prosedur hukum,
dengan periindungan hukum oleh pengadilan dan perangkat-perangkat lainnya.
Tuntutan tersebut mempunyai 2 fungsi yang berbeda, yaitu:
(a). the function of defense (Abwehrfunktion), yang dikaitkan pada hak
membela diri terhadap gangguan dari luar yang menimbulkan kerugian
pada lingkungannya.
(b). the function of performance (Leistungsfunktion), dikaitkan pada hak
menuntut dilakukannya suatu tindakan agar lingkungannya dapat
dilestarikan, dipulihkan atau diperbaiki, terdapat dalam (Pasal 20 ayat (2)
-
dan (4) UULH)/Pasal 34 UUPLH yang mengatur tentang ganti kerugian
kepada orang dan atau melakukan tindakan tertentu.
Dalam penjelasan Pasal 34 ayat (1) UUPLH dinyatakan bahwa tindakan tertentu
meliputi misalnya:
a. memasang atau memperbaiki unit pengolahan limbah sehingga limbah
sesuai dengan baku mutu lingkungan hidup yang ditentukan;
b. memulihkan fungsi lingkungan hidup;
c. menghilangkan atau memusnahkan penyebab timbulnya pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan hidup.
Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana tertera
dalam berbagai konstitusi di negara lain selafu dikaitkan dengan kewajiban untuk
melindungi lingkungan hidup. Ini berarti bahwa lingkungan hidup dengan
sumber-sumber dayanya adalah kekayaan bersama yang dapat digunakan oleh
setiap orang, yang harus dijaga untuk kepentingan masyarakat pada saat ini dan
untuk generasi-generasi mendatang. Dengan demikian pertindungan lingkungan
hidup dan sumber daya alamnya mempunyai tujuan ganda, yaitu melayani
kepentingan masyarakat secara keseluruhan dan melayani kepentingan
individu-individu.
Secara konstitusional, hak subyektif sebagaimana tertera dalam Pasal 5
UUPLH tersebut dapat dikaitkan dengan hak umum yang tercantum dalam alinea
keempat Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan "... membentuk suatu
Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia...",
serta dikaitkan pula dengan hak penguasaan kepada Negara atas bumi dan air
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besamya
kemakmuran rakyat.
Berbagai hak subyektif yang berkaitan dengan hak atas lingkungan hidup
yang baik dan sehat serta hak-hak lainnya juga tercantum dalam Piagam Hak
Asasi Manusia (Harjasoemantri, 1999: 93-96).
3. Hak Informasi dan Reran Serta
Hak atas informasi yang diatur dalam Pasal 5 ayat (2) UUPLH merupakan
hal baru, yang dalam UULH 1982 belum diatur secara eksplisit. Dalam penjelasan
Pasal 5 ayat (2) di antaranya dinyatakan bahwa hak atas informasi lingkungan
merupakan konsekuensi logis dari hak berperan dalam pengelolaan lingkungan
-
yang bertandaskan pada asas keterbukaan. Contoh pengaturan hak atas
informasi secara sektoral adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) huruf
a UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, yang menyatakan bahwa
setiap norang berhak mengetahui rencana tata ruang.
Hak untuk berperan serta bagi setiap orang dalam pengelolaan lingkungan
terdapat dalam Pasal 5 ayat (3) UUPLH. Berbagai perundang-undangan organik
yang mengatur peran serta tersebut, seperti dalam UU No. 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, UU No. 5 Tahun 1992
tentang Benda Cagar Budaya, UU No. 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan
Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera, UU No. 24 Tahun 1992
tentang Penataan Ruang maupun UU No. 8 Tahun 2000 tentang Pertindungan
Konsumen.. Sebagai contoh dapat dikemukakan Pasal 4 ayat (2) huruf b UUPR
yang menyatakan bahwa setiap orang berhak berperan serta dalam penyusunan
rencana tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Reran serta dapat diwujudkan dalam bentuk mengajukan usul, member! saran,
atau mengajukan keberatan kepada Pemerintah dalam rangka penataan ruang.
Penjabaran ketentuan ini diatur dalam PP No. 69 Tahun 1996 tentang
Pelaksanaan Hak dan Kewajiban serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta
Masyarakat dalam Penataan Ruang.
Apabila informasi yang diberikan itu ternyata palsu, menghilangkan,
me-nyembunyikan, atau merusak, maka bagi pelakunya dikenakan sanksi pidana
sebagai-mana tercantum dalam Pasa! 43 ayat (2) UUPLH.
Hak peran serta ini berkaitan pula dengan peran lembaga swadaya
masyarakat (LSM) lingkungan sebagai penunjang dalam pengelolaan lingkungan,
sebagaimana tercantum dalam Pasal 19 UULH, yang dapat pula dikaitkan dengan
freedom of associations. Peran LSM ini dalam UUPLH tidak dicantumkan setegas
UULH, akan tetapi tercantum dalam Penjelasan Umum dan Pasal 38 ayat (1)
UUPLH yang berkaitan dengan hak organisasi lingkungan untuk menggugat atas
nama lingkungan.
4. Wewenang dan Kelembagaan Pengeloiaan Lingkungan PasaL 3 UUPLH menyatakan sebagai berikut: "Pengelolaan lingkungan
hidup yang diselenggarakan dengan asas tanggung jawab negara, asas berkelanjutan, dan asas manfaat bertujuan untuk mewujudkan pembangunan
-
berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan
manusia Indonesia seutuhnya ............"
Dengan demikian, berdasarkan asas tanggung jawab negara (state responsibility), di satu sisi negara menjamin bahwa pemanfaatan sumber daya
alam akan memberikan manfaat yang sebesar-besamya bagi kesejahteraan dan
mutu hidup rakyat, baik generasi masa kini maupun generasi masa depan. Di lain
sisi, negara mencegah dilakukannya kegiatan pemanfaatan sumber daya alam
dalam wilayah yurisdiksinya yang menimbulkan kerugian terhadap wilayah
yurisdiksi negara lain, serta melindungi negara terhadap dampak kegiatan di luar
wilayah negara.
Asas ini terkait dengan hak penguasaan negara atas sumber daya alam
yang berimplikasi adanya kewenangan Pemerintah untuk:
(1). mengatur dan mengembangkan kebijaksanaan dalam rangka pengelolaan
lingkungan hidup;
(2). mengatur penyediaan, peruntukan, penggunaan, dan pemanfaatan
kembali sumber daya alam, termasuk sumber daya genetika;
(3). mengatur perbuatan hukum dan hubungan hukum antara orang dan atau
subyek hukum lainnya serta perbuatan hukum terhadap sumber daya alam
dan sumber daya buatan;
(4). mengendalikan kegiatan yang mempunyai dampak sosial;
(5). mengembangkan pendanaan bagi upaya pelestarian fungsi lingkungan
sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Di samping memiliki kewenangan mengatur, maka dalam rangka
pengelolaah lingkungan pemerintah juga mempunyai kewajiban, di antaranya
adalah mengembangkan dan menerapkan perangkat yang bersifat preemtif, preventif, dan proaktif dalam upaya pencegahan penurunan daya dukung dan daya tampung lingkungan.
Asas kebertanjutan mengandung makna setiap orang memikul kewajiban
dan tanggung jawab terhadap generasi mendatang, dan terhadap sesamanya
dalam satu generasi. Untuk terlaksananya kewajiban dan tanggung jawab
tersebut, maka kemampuan lingkungan hidup harus dilestarikan. Terlestarikannya
kemampuan lingkungan menjadi tumpuan tertanjutkannya pembangunan. Oleh
karena itu, kepentingan lingkungan hidup tidak tepat apabila dipertentangkan
dengan pembangunan. Di samping itu, yang dilestarikan bukanlah lingkungan an
-
sich, akan tetapi kemampuan lingkungan sesuai dengan fungsinya.
Sesuai amanat yang tertuang dalam UUD45, pemerintah selaku
penyelenggara negara, dengan kewenangannya dalam mendayagunakan sumber
daya alam yang dimiliki, mempunyai tanggung jawab untuk memajukan
kesejahteraan umum, yaitu dengan melaksanakan pembangunan berkelanjutan
yang berwawasan lingkungan hidup.
Dalam Pasal 10 UUPLH disebutkan secara rinci kewajiban pemerintah
dalam rangka pengelolaan Lingkungan Hidup, diantaranya (dalam huruf e) adalah
mengembangkan dan menerapkan perangkat yang bersifat preemtif (diutamakan), preventif dan proaktif dalam upaya pencegahan kerusakan lingkungan hidup.
Perangkat yang bersifat preemtif adalah tindakan yang dilakukan pada
tingkat pengambilan keputusan dan perencanaan seperti Tata Ruang dan
AMDAL. Adapun preventif adalah tindakan pada tingkatan pelaksanaan melalui
penataan baku mutu limbah dan/atau instrumen ekonomi. Proaktif adalah
tindakan pada tingkat produksi dengan menerapkan standarisasi Lingkungan
Hidup, spt. ISO 14000.
Perangkat pengelolaan Lingkungan Hidup yang mencakup ketiganya, yaitu
yang bersifat preemtif, preventif & proaktif misalnya adalah pengembangan dan
penerapan teknologi akrab LH, penerapan asuransi LH dan audit LH yang
dilakukan secara sukarela oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan guna
meningkatkan kinerja.
Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, pemerintah pusat dapat
menyerahkan urusan di bidang Lingkungan Hidup kepada daerah sesuai
kemampuan, situasi dan kondisi daerah masing-masing.
Konsep otonomi daerah itu sebenamya baik, yaitu dengan menyerahkan
sebagian urusan kepada daerah menjadi urusan rumah tangganya sendiri, tapi
praktek pelaksanaannya yang seringkali buruk.
Ini terjadi akibat persepsi otonomi daerah terhadap Lingkungan Hidup yang
buruk, yaitu berusaha memanfaatkan Sumber Daya Alam sebanyak-banyaknya
guna mencapai PAD yang ditargetkan tanpa menghiraukan kondisi Lingkungan
Hidupnya yang semakin merosot, sehingga periu ada biaya recovery/pemulihan.
Seringkali yang terjadi Sumber Daya Alam kita hilang tanpa meninggalkan
kontribusi yang berarti pada negara, seperti yang terjadi pada penambangan
-
batubara atau penebangan kayu di Kalimantan. Contoh lainnya adalah Freeport,
yang termasuk perusahaan penambangan besar dunia yang menggali Sumber
Daya Alam kita tanpa memberikan royalty yang sepadan pada pemerintah.
Ironinya, Sumber Daya Alam yang sangat melimpah, tapi pembagiannya
yang tidak merata, sehingga rakyat rmasih banyak yang miskin dan upah buruh
yang masih di bawah standar.
5. Prinsip Keterpaduan Pengelolaan Sesuai dengan batasan pengelolaan lingkungan menurut Pasal 1 butir 2
UUPLH, maka esensi dan pengelolaan lingkungan adalah pertunya penggunaan
hak dan kewenangan secara terpadu. Untuk itu Pasal 9 ayat (2) UUPLH lebih
lanjut menegaskan bahwa "Pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan secara
terpadu oleh instansi pemerintah sesuai dengan bidang tugas dan tanggung jawab
masing-masing, masyarakat, serta pelaku pembangunan lain dengan
memperhatikan keterpaduan perencanaan dan pelaksanaan kebijaksanaan nasional pengelolaan lingkungan hidup.
Yang dimaksud dengan keterpaduan (integration) menurut A.V. van den
Berg (dalam Rangkuti, 1987) adalah penyatuan dari wewenang ("fusion of
competences"), sedang koordinasi (coordination) adalah kerjasama dalam
pelaksanaan wewenang yang bersifat mandiri ("working together in the exertion of
autonomous competences'). Pemahaman keterpaduan tersebut nampaknya tidak
dapat sepenuhnya diterapkan di Indonesia. Apabila memperhatikan pengaturan
kelembagaan pengelolaan lingkungan menurut Pasal 11, 12, dan 13 UUPLH serta
dihubungkan dengan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan
PP No. 25 Tahun 2000, maka dari segi hukum administrasi negara yang
menyangkut wewenang kelembagaan, pengelolaan lingkungan di Indonesia
dewasa ini lebih bersifat koordinatif. Upaya keterpaduan tercermin dalam
perumusan dan penyelenggaraan kebijaksanaan lingkungan, penentuan
langkah-langkah dan program, termasuk di bidang peraturan
perundang-undangan.
Unsur keterpaduan merupakan ciri utama dan hal yang esensial dalam
pengelolaan lingkungan, mengingat lingkungan yang dikelola sebagai konsep
ekologis tidak mengenal batas wilayah/administrasi (prinsip bioregionalism).
Padahal pengelolaan lingkungan selalu didasarkan adanya kewenangan yang
-
mengenal batas wilayah (Pasal 2 UUPLH=Wawasan Nusantara). Oleh sebab itu
pengelolaan lingkungan mutlak menuntut beyond the administrative boundary
karena ciri-ciri ekologisnya, sehingga idealnya dikelola dengan prinsip
bioregionalism.
Keterpaduan horizontal menjamin adanya keserasian hubungan antar
sektor/ bidangdan atau antar daerah, agar hasil yang diperoleh merupakan upaya
bersama yang memperhitungkan banyak kepentingan yang kadang-kadang saling
berbenturan satu sama lain. Di era otonomi daerah sekarang ini, keterpaduan
horizontal harus diarahkan pada kesatuan bio-region agar tidak terjadi saling
lempar tanggung jawab jika terjadi kerusakan dan atau pencemaran lingkungan.
Koordinasi ini dituangkan dalam kelembagaan dengan disertai pengaturan yang
dirumuskan bersama seluruh stakeholders dalam menjaga pelestarian fungsi
lingkungan.
Keterpaduan vertikal merupakan keserasian antara pelaksanaan
kebijaksanaan dan program Pusat dengan Daerah. Di samping itu juga harus
dibangun keterpaduan dalam bentuk keserasian pengaturan (harmonisasi
hukum). Pelaksanaan keterpaduan di bidang peraturan perundang-undangan
lingkungan telah dirintis oleh Kantor Menteri Negara KLH dengan menyusun
matriks peraturan perundang-undanggan lingkungan yang berkaitan dengan
ketentuan dalam UULH yang memeriukan pengaturan tersendiri atau penjabaran
secara lebih terinci. Matriks tersebut memuat substansi yang harus diatur,
kaitannya pada pasal tertentu dalam UULH, instansi yang harus mengambil
prakarsa dan dengan instansi apa saja kerjasama harus dijalin untuk menyusun
rancangan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
6. Ketentuan Insentif dan Disinsentif Ketentuan tentang insentif dan disinsentif dengan tegas tercantum dalam
Pasal 8 UULH 1982 yang dalam ayat (1)-nya menyatskan bahwa Pemerintah
menggariskan kebijaksanaan dan melakukan tindakan yang mendorong
ditingkatkannya upaya pelestarian kemampuan lingkungan. Penjelasannya
menyatakan bahwa ketentuan pasal ini memberi wewenang kepada pemerintah
untuk mengambil langkah-langkah tertentu misalnya dalam bidang perpajakan, sebagai insentif guna lebih meningkatkan pemeliharaan lingkungan, dan
disinsentif untuk mencegah dan menanggulangi kemsaka.n dan pencemaran
-
lingkungan. Kebijak-sanaan dan tindakan tersebut dapat pula diarahkan kepada
pemberian penghargaan kepada setiap orang yang amat berjasa dalam pelestarian kemampuan lingkungan.
Dalam UUPLH 1997, tentang ketentuan insentif dan disinsentif tidak lagi
tercantum secara tegas. Namun demikian di dalam penjelasan Pasal 10 huruf (e)
terdapat pemyataan yang di antaranya berbunyi: Adapun preventif adalah
tindakan tingkat pelaksanaan melalui penaatan baku mutu limbah dan atau melalui
instrumen ekonomi.
7. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Pada dasarnya, instrumen hukum lingkungan yang berfungsi mencegah
pen-cemaran atau perusakan lingkungan adalah baku mutu lingkungan (BML) dan
baku kerusakan lingkungan, analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL), dan
izin lingkungan, di samping instrumen ekonomik berupa pungutan pencemaran
(pollution charges).
Sebagai salah satu instrumen hukum preventif melalui prosedur
administratif bertahap, AMDAL diatur dalam Pasal 15 UUPLH yang tata cara
penyusunan dan penilaian-nya ditetapkan dengan PP. Prosedur AMDAL
terintegrasi ke dalam sistem perizinan lingkungan menurut Pasal 18-21 UUPLH.
Dewasa ini, yang termasuk jenis perizinan lingkungan menurut hukum positif
adalah: (1) perizinan usaha; (2) izin tempat usaha (Hinder Ordonnantie); (3) izin
pembuangan limbah cair; (4) izin pembuangan limbah ke media lingkungan; (5)
perizinan bahan beracun berbahaya (B-3); (6) perizinan benda cagar budaya; dan
(7) perizinan pemanfaatan ruang dan bangunan.
a. Pengaturan AMDAL Dengan diterbitkannya Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997, maka PP.
No. 51 Tahun 1993 pertu disesuaikan. Oleh karena itu, pada tanggal 7 Mei 1999
Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 (PP 27
tahun 1999) sebagai penyempurnaan PP 51/1993 yang berlaku efektif mulai
tanggal 7 November 2000. Melalui PP. 27 Tahun 1999 ini diharapkan pengelolaan
lingkungan hidup dapat lebih optimal. Satu hal penting yang diatur dalam PP 27
Tahun 1999 ini adalah dihapuskannya keberadaan Komisi Penilai AMDAL
departemental / sektoral, dalam rangka pemberdayaan penilaian AMDAL kepada
-
Daerah. Dengan berlaku efektifnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah dan PP No. 25 Tahun 2000 tentang Pembagian Kewenangan, maka
kekurangsempurnaan pengaturan dalam PP 27 Tahun 1999 (disharmonisasi
dengan pengaturan Otonomi Daerah), selanjutnya "cukup" diselesaikan dengan
Kepmeneg LH No. 40, 41, dan 42 Tahun 2000.
Berbagai peraturan pelaksanaan PP AMDAL yang merupakan paket pedoman
bagi penyusun dan penilai, adalah:
1) Keputusan Kepala BAPEDAL No. 299/11/1996 tentang Pedoman Kajian
Aspek Sosial Dalam AMDAL;
2) Keputusan Kepala BAPEDAL No. 105 Tahun 1997 tentang Panduan
Pemantauan Pelaksanaan RKL dan RPL;
3) Keputusan Kepala BAPEDAL No. 124/12/1997 tentang Panduan Kajian
Aspek Kesehatan Masyarakat Dalam AMDAL;
4) Keputusan Meneg LH No. 30 Tahun 1999 tentang Panduan Penyusunan
Dokumen Pengelolaan Lingkungan;
5) Keputusan Meneg LH No. 2 Tahun 2000 tentang Panduan Penilaian
Dokumen AMDAL;
6) Keputusan Meneg LH No. 17 Tahun 2000 tentang Jenis Usaha dan atau
Kegiatan yang Wajib Dilengkapi Dengan AMDAL (sebagai pengganti
Kepmeneg LH No. 3 Tahun 2000 yang menimbulkan kontroversial);
7) Keputusan Meneg LH No. 4 Tahun 2000 tentang Panduan Penyusunan
AMDAL Kegiatan Pembangunan Permukiman Terpadu;
8) Keputusan Meneg LH No. 5 Tahun 2000 tentang Panduan Penyusunan
AMDAL Kegiatan Pembangunan di Daerah Lahan Basah;
9) Keputusan Kepala BAPEDAL No. 08 Tahun 2000 tentang Keterlibatan
Masyarakat dan Keterbukaan Informasi Dalam Proses AMDAL;
10) Keputusan Kepala BAPEDAL No. 09 Tahun 2000 tentang Pedoman
Penyusunan AMDAL;
11) Keputusan Meneg LH No. 40 Tahun 2000 tentang Pedoman Tata Kerja
Komisi Penilai AMDAL;
12) Keputusan Meneg LH No. 41 Tahun 2000 tentang Pedoman Pembentukan
Komisi Penilai AMDAL Kabupaten/Kota;
13) Keputusan Meneg LH No. 42 Tahun 2000 tentang Susunan Keanggotaan
Komisi Penilai dan Tim Teknis AMDAL Pusat.
-
14) Keputusan Meneg LH No. 86 Tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan
UKL dan UPL
Di samping pedoman pelaksanaan di atas, bagi penyusun dan penilai AMDAL
hendaknya harus berpegangan pada berbagai kebijakan lain, meliputi:
1) Kebijakan yang menyangkut penataan ruang dan pertanahan;
2) Kebijakan tentang penyelenggaraan usaha dan atau kegiatan yang
bersangkutan (sektoral atau bidang);
3) Kebijakan pertindungan dan pengendalian lingkungan hidup, termasuk
peraturan baku mutu lingkungan dan kriteria baku kerusakan lingkungan.
4) Kebijakan Internasional di bidang lingkungan, khususnya yang sudah
diratifikasi oleh Pemerintah, bahkan juga kebiasaan-kebiasaan.
b. Kaitan dengan Peraturan Pertanahan dan Tata Ruang Aspek ini harus diperhattkan dengan benar oleh penyusun dan penilai.
Mengapa? Karena dalam setiap kegiatan pembangunan, ruang adalah wadah dan
juga sumber daya untuk pembangunan itu. Untuk maksud tersebut periu dihindari
masalah-masalah hukum sebagai berikut:
1) Terjadinya benturan kepentingan berbagai sektor pembangunan
(pertambangan dengan kehutanan, perkebunan dengan pertambangan,
kehutanan dengan transmigrasi, pertanian dengan permukiman, dan
sebagainya);
2) Konflik-konflik horizontal akibat pengadaan dan konversi hak atas tanah,
mengingat sebagian besar tanah wilayah Negara telah dikuasai dan atau
dimiliki orang atau badan hukum dengan berbagai bentuk hukum;
3) Berkurangnya luas tanah pertanian subur menjadi tanah permukiman,
industri, dan keperluan non pertanian lainnya;
4) Menurunnya kualitas lingkungan yang ditandai dengan meluasnya tanah
kritis dan pencemaran oleh buangan limbah.
Kebijakan peraturan perundang-undangan yang harus diperhatikan guna
menghindari atau memperkecil permasalahan di atas, di antaranya :
a. UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
(UUPA);
b. UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang;
c. UU No.6 . Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia;
-
d. PP No. 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan tanah
Teriantar;
e. Keppres No.32 tahun 1990 Tentang Pengeloiaan Kawasan Lindung;
f. Keppres No. 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan
Pembangunan untuk Kepentingan Umum;
g. Peraturan Meneg Agraria/kepala BPN No. 1 tahun 1994 tentang Ketentuan
Pelaksanaan Keppres No.55 Tahun 1993;
h. Keppres No. 33 tahun 1990 tentang Penggunaan Tanah bagi
Pembangunan Industri;
i. Keppres No. 75 tahun 1993 tentang Koordinasi Pengeloiaan Tata Ruang
Nasional;
j. Peraturan Meneg Agraria/Kepala BPN No.2 Tahun 1999 tentang Tata Cara
memperoleh Izin Lokasi dan hak Atas Tanah bagi Perusahaan dalam
rangka Penanaman Modal;
k. PERDA Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah.
c. Kaitan dengan Peraturan Bidang Kegiatan/Usaha Pengeloiaan lingkungan memerlukan koordinasi dan keterpaduan sebagai
ciri utama, yang sejalan dengan Pasal 11 UUPLH, secara sektoral dilakukan oleh
departemen dan lembaga pemerintah non-depertemen sesuai dengan bidang
tugas dan tanggung jawab masing-masing. Dengan demikian, penerapan AMDAL
harus ditunjang dengan peraturan perundang-undangan sektoral/bidang, seperti:
1) UU No. 44 Prp. Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan gas Bumi
(telah dicabut dan diganti dengan UU No. 22 Tahun 2001);
2) UU No. 5 Tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan
(telah dicabut dan diganti dengan UU No.41 Tahun 1999);
3) UU No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Pertambangan;
4) UU No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan;
5) UU No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian;
6) UU No. 9 tahun 1985 tentang Perikanan;
7) UU No. 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan;
8) UU No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman;
9) UU No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budi Daya Tanaman;
-
10) UU No. 14 Tahun 1992 tentang Lalulintas dan Angkutan jalan;
11) UU No. 16 tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan;
12) UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan;
13) UU No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran;
14) UU No. 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian;
Untuk setiap bidang kegiatan atau usaha tentunya masih harus
diperhatikan peraturan-peraturan pelaksanaan yang relevan dengan sub pokok
kajiannya. Peraturan pelaksanaan dapat berupa peraturan pemerintah, keputusan
presiden, peraturan menteri atau keputusan pimpinan LPND.
Pengaturan desentralisasi pengelolaan lingkungan sebagaimana
dinyatakan dalam Pasal 12 dan 13 UUPLH, hendaknya perlu memperhatikan
semangat pelaksanaan otonomi daerah seperti diatur dalam UU No. 22 tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, dan PP No. 25 Tahun 2000
tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah
Otonom guna mencapai pemberdayaan pembangunan daerah. Dengan demikian,
sudah saatnya pihak-pihak yang teriibat dalam penyusunan AMDAL cepat
tanggap dan mampu mengakomodasikan semangat tersebut.
d. Kaitan dengan Peraturan Baku Mutu Lingkungan
AMDAL mempunyai hubungan yang erat dengan baku mutu lingkungan
dan kriteria baku kerusakan lingkungan yang diwujudkan dalam dokumen RKL
dan RPL sebagai persyaratan dan kewajiban izin.
Baku mutu merupakan instrumen yuridis yang diperiukan untuk menjamin
agar upaya pemeliharaan kelangsungan daya dukung dan daya tampung
lingkungan hidup dapat tercapai secara maksimal. Di samping fungsinya sebagai
alat bukti yang menunjukkan dilanggar tidaknya kewajiban pengendalian dampak
lingkungan oleh penanggung jawab suatu kegiatsn atau usaha, serta ada tidaknya
pencemaran atau kerusakan lingkungan.
Kriteria dan pembakuan ini dapat berbeda untuk setiap lingkungan,
wilayah, atau waktu mengingat akan perbedaan peruntukkannya. Perubahan
keadaan lingkungan setempat serta perkembangan teknologi akan ikut
mempengaruhi kriteria dan pembakuan yang telah ditetapkan.
Dengan demikian, kompleksitas ketentuan baku mutu akan ditentukan
-
menurut perbedaan lingkungannya (udara, air, air laut, tanah, dan sebagainya),
perbedaan jenis dan parameter buangannya, perbedaan wiiayah dan
peruntukkannya, ataupun dapat berubah berdasarkan waktu dan perkembangan
teknologi. Oleh sebab itu pihak-pihak yang terkait dalam penyusunan dan
penilaian AMDAL hendaknya mencermati ketentuan-ketentuan baku mutu yang
akan digunakan.
Beberapa ketentuan yang menyangkut baku mutu, di antaranya adalah :
1) PP No. 82 Tahun 2001 tentang tentang Pengelolaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran Air (pengganti PP No. 20 Tahun 1990);
2) PP No. 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah bahan Berbahaya dan
Beracun (Juncto PP No. 85 tahun 1999);
3) PP No. 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan atau
Perusakan Laut;
4) PP No. 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara;
5) PP No. 150 Tahun 2000 tentang Pengendalian Kerusakan Tanah Untuk
Produksi Biomassa;
6) PP No. 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau
Pen-cemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan
dan atau Lahan;
7) Keputusan Meneg LH No. KEP-13/MENLH/3/1995 tentang Baku Mutu
Emisi Sumber Tidak Bergerak;
8) Keputusan Meneg LH No. KRP-51/MENLH/10/1995 tentang Baku Mutu
Limbah Cair Bagi Kegiatan Industri;
9) Keputusan Meneg LH No. KEP-52/MENLH/10/1995 tentang Baku Mutu
Limbah Cair bagi Kegiatan Hotel;
10) Keputusan Meneg LH No. KEP-58/MENLH/12/1995 tentang Baku Limbah
Cair Bagi Kegiatan Rumah Sakit;
11) Keputusan Meneg LH No. KEP-42/MENLH/10/1996 tentang Baku Mutu
Limbah Cair bagi Kegiatan Minyak dan Gas serta Panas Bumi;
12) Keputusan Meneg LH No. KEP-43/MENLH/10/1996 tentang Kriteria
Kerusakan Lingkungan bagi Usaha dan atau Kegiatan Penambangan
Bahan Galian Golongan C Jenis Lepas di Daratan;
13) Keputusan Meneg LH No. KEP-48/MENLH/11/1996 tentang Baku Tingkat
Kebisingan;
-
14) Keputusan Meneg LH No. KEP-49/MENLH/11/1996 tentang Buku Tingkat
Getaran;
15) Keputusan Meneg LH No. KEP-50/MENLH/11/1996 tentang Baku Tingkat
Kebauan;
16) Peraturan Menteri kesehatan No. 416/Menkes/Per/ 1X/1990 tentang
Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air;
17) Keputusan Gubemur mengenai Baku Mutu Lingkungan di setiap Wilayah
Propinsi;
18) Keputusan Gubernur mengenai Penggolongan Air dan Penetapan
Peruntukan Air Sungai;
19) Keputusan KA. BAPEDAL NO. 113 Tahun 2000 tentang Pedoman Umum
dan Pedoman Teknis Laboratorium Lingkungan.
e. Tujuan dan Kegunaan Tujuan AMDAL adalah untuk menjamin agar suatu usaha dan/atau
kegiatan pembangunan dapat beroperasi secara berkelanjutan tanpa merusak
dan mengorbankan lingkungan atau dengan kata lain usaha atau kegiatan
tersebut layak dan aspek lingkungan hidup. Melalui pengkajian AMDAL, kelayakan
lingkungan sebuah rencana usaha dan./atau kegiatan pembangunan diharapkan
mampu secara optimal meminimalkan ke-mungkinan dampak lingkungan hidup
yang negatif, serta dapat memanfaatkan dan mengelola sumber daya alam secara
efisien.
Sebagai kajian kelayakan lingkungan suatu rencana usaha/atau kegiatan
yang prosesnya melibatkan pihak-pihak yang berkepentingan, AMDAL sangat
berguna bagi:
1) Pemerintah (a). Sebagai alat pengambil keputusan tentang kelayakan lingkungan dan"
suatu rencana usaha dan/atau kegiatan.
(b). Merupakan bahan masukan dalam perencanaan pembangunan
wilayah.
(c). Untuk mencegah agar potensi sumber daya alam di sekitar lokasi
proyek tidak rusak dan menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup.
2) Masyarakat (a). Dapat mengetahui rencana pembangunan di daerahnya sehingga
-
dapat mempersiapkan din untuk berpartisipasi.
(b). Mengetahui perubahan lingkungan yang akan terjadi dan
manfaat serta kerugian akibat adanya suatu kegiatan.
(c). Mengetahui hak dan kewajibannya di dalam hubungan dengan usaha
dan/atau kegiatan di dalam menjaga dan mengelola kualitas
lingkungan.
3) Pemrakarsa (a). Untuk mengetahui masalah-masalah lingkungan yang akan di hadapi
pada masa yang akan datang.
(b). Sebagai bahan untuk analisis pengelolaan dan sasaran proyek.
(c). Sebagai pedoman untuk melaksanakan pengelolaan dan pemantauan
lingkungan.
f. Pendekatan Studi AMDAL Pendekatan studi AMDAL yang tepat dibutuhkan untuk mengoptimalkan
hasil kajian, serta untuk mengefisiensikan proses pelaksanaannya. Artinya, suatu
jenis rencana usaha dan/atau kegiatan akan dapat diproses dalam waktu jauh
lebih singkat dan menyeluruh bila menggunakan pendekatan yang tepat,
dibandingkan dengan apabila menggunakan pendekatan yang lain. Pendekatan
pelaksanaan studi AMDAL yang dikenal di Indonesia adalah:
1) AMDAL Kegiatan Tunggal, penyusunan studi AMDAL bagi satu jenis
usaha dan/atau kegiatan yang kewenangan pembinaannya di bawah satu
instansi yang membidangi jenis usaha/atau kegiatan tersebut.
2) AMDAL Kegiatan Terpadu/Multisektor, penyusunan studi AMDAL bagi
usaha dan/atau kegiatan terpadu baik dalam hal perencanaan, proses
produksinya maupun pengelolaannnya melibatkan lebih dari satu instansi
yang membidangi kegiatan tersebut serta berada dalam kesatuan
hamparari ekosistem.
3) AMDAL Kegiatan dalam Kawasan, penyusunan studi AMDAL bagi usaha
dan/atau kegiatan yang beriokasi di dalam suatu kawasan yang telah
ditetapkan atau berada dalam kawasan/zona pengembangan wilayah
sesuai dengan tata ruang wilayah dan/atau kawasan yang telah ditetapkan
pada kesatuan hamparan ekosistem.
-
g. Pihak-pihak Yang Berkepentingan Dengan AMDAL Pada dasamya ada tiga pihak yang berkepentingan dalam AMDAL, yaitu
Pemerintah, Kelompok Usaha, dan Masyarakat.
Ketiga komponen ini dilibatkan dalam proses penilaian dan pemrosesan
dokumen AMDAL, di mana uraian tugas, hak, dan kewajiban masing-masing
masuk dalam lingkup peran berikut ini:
1) Komisi Penilai AMDAL; yaitu komisi yang bertugas menilai dokumen AMDAL dengan pengertian di tingkat pusat oleh Komisi Penilai Pusat, dan
di tingkat daerah oleh Komisi Penilai Daerah. Unsur pemerintah yang
berkepentingan dan warga masyarakat yang terkena dampak duduk
sebagai anggota di dalam Komisi Penilai ini.
2) Pemrakarsa; yaitu orang atau badan yang bertanggungjawab atas suatu rencana usaha dan/atau kegiatan yang akan dilaksanakan.
3) Warga masyarakat yang terkena dampak; yaitu seorang atau kelompok warga masyarakat yang akibat akan dibangunnya suatu rencana usaha
dan/atau kegiatan tersebut akan menjadi kelompok yang diuntungkan
(beneficiary groups), dan kelompok yang dirugikan (at-risk groups).
Lingkup warga masyarakat yang terkena dampak ini dibatasi pada
masyarakat yang berada dalam ruangan dampak rencana usaha dan/atau
kegiatan tersebut.
Namun demikian dalam pelaksanaannya, ada beberapa komponen lainnya
yang ikut teriibat, seperti:
a) Pemberi Izin; yaitu instansi yang berwenang menerbitkan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan bagi suatu usaha atau kegiatan
atas dasar hasil studi AMDAL yang dilakukan.
b) Pakar Lingkungan dan Pakar Teknis; yaitu seseorang yang ahli di bidang lingkungan dan bidang ilmu tertentu.
c) Lembaga Pelatihan; yaitu lembaga yang menyelenggarakan kursus-kursus dan/atau pelatihan-pelatihan yang berhubungan
dengan pengelolaan lingkungan hidup/AMDAL.
d) Konsultan; orang atau badan hukum yang diberi wewenang oleh pemrakarsa untuk menyusun studi AMDAL.
-
h. Proses Penilaian Dokumen AMDAL Proses penilaian dokumen KA-ANDAL dan ANDAL, RKL, RPL secara
formal dilakukan dalam siding Komisi Penilai. Ketidaksiapan, ketidaklengkapan,
maupun rendahnya kualitas dokumen yang diserahkan untuk din