Hukum Lingkungan

download Hukum Lingkungan

of 67

description

pengetahuan lingkungan

Transcript of Hukum Lingkungan

  • BAHAN AJAR HUKUM LINGKUNGAN

    (HKU1006 - 2SKS)

    A. HUBUNGAN MANUSIA DAN LINGKUNGAN HIDUP

    1. Pengertian Lingkungan Hidup, Ekosistem, dan Ekologi

    Lingkungan atau lingkungan hidup (environment, milieu, alam sekitar, atau

    kapaligiran) dapat didefinisikan sebagai kesatuan ruang dengan semua benda,

    daya, keadaan, dan makhluk hidup termasuk di dalamnya manusia dengan

    perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan

    manusia maupun makhluk hidup lainnya. Dengan demikian lingkungan hidup

    merupakan konsep holistik yang meliputi: (a) lingkungan hidup fisik (physical

    environment); (b) lingkungan hayati atau biotis (biological environment); dan

    lingkungan sosial termasuk lingkungan lingkungan binaan (social/cultural

    environment). Sering pula disebut sebagai ABC lingkungan (Abiotic, Biotic, and

    Culture environment).

    Demikian pula lingkungan hidup dapat dilihat sebagai sistem dinamis,

    karena keberadaannya sangat ditentukan oleh komponen-komponen lingkungan

    yang membentuknya. Dalam lingkungan senantiasa beriangsung hubungan

    interaksi, hubungan saling bergantung atau interdependensi, dan saling

    mempengaruhi antara komponen lingkungan yang satu dengan komponen

    lainnya.

    Segala sesuatu di dunia ini erat hubungannya. satu dengan yang lain.

    Antara manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan, bahkan dengan benda-benda

    mati di sekelilingnya sekalipun. Pengaruh antara satu komponen dengan lain

    komponen ini bermacam-macam bentuk dan sifatnya. Begitu pula reaksi suatu

    golongan atas pengaruh dari yang lainnya juga berbeda.

    Suatu peristiwa yang menimpa seseorang, dapat disimpulkan sebagai

    resultante / akibat dari berbagai pengaruh di sekitarnya. Begitu banyak pengaruh

    yang mendorong manusia ke dalam suatu kondisi tertentu, sehingga manusia

    tersebut kemudian berusaha untuk mengerti apakah sebenamya yang

  • mempengaruhi dirinya, dan sampai berapa besarkah pengaruh-pengaruh

    tersebut. Oleh karena itu berkembanglah apa yang dinamakan Ecology, yaitu ilmu yang mempelajari hubungan antara satu organisme dengan yang lainnya, dan

    antara organisme tersebut dengan lingkungannya (Amsyari, 1981:11).

    Secara etimologi, kata "ekologi" berasal dan kata oikos (rumah tangga) dan logos (ilmu), yang diperkenalkan pertama kali dalam biologi oleh seorang

    biolog Jerman Ernest Haeckel (1869).

    Definisi ekologi menurut Otto Soemarwoto adalah "ilmu tentang hubungan timbal balik antara mahluk hidup dengan lingkungannya".

    Ekosistem adalah suatu kesatuan daerah tertentu (abiotic community) di mana di dalamnya tinggal suatu komposisi organisme hidup (biotic community)

    yang di antara keduanya terjalin suatu interaksi yang harmonis dan stabil,

    terutama dalam jalinan bentuk-bentuk sumber energi kehidupan.

    Ada dua bentuk ekosistem yang penting, yaitu ekosistem alamiah (natural eco-system) dan ekosistem buatan (artificial-ecosystem) berupa hasil

    kerja manusia terhadap ekosistemnya.

    Suatu ekosistem dapat dibagi dalam beberapa subekosistem. Misalnya,

    ekosistem bumi kita dapat dibagi dalam subekosistem kelautan, subekosistem

    daratan, subekosistem danau, dan subekosistem sungai. Subekosistem daratan

    dapat pula dibagi dalam bagian-bagian subekosistem, misalnya subekosistem

    hutan, subekosistem padang pasir, dan lain-lain. Dengan konsep ekosistem kita

    memandang unsur-unsur dalam lingkungan tidak secara tersendiri melainkan

    secara terintegrasi sebagai komponen yang berkaitan dalam suatu sistem

    (pendekatan ekosistem / holistik).

    Suatu kesatuan ekosistem senantiasa mengarah kepada keadaan

    seimbang, artinya seluruh komponen dalam ekosistem berada dalam ikatan-ikatan

    interaksi yang harmonis dan stabil, sehingga keseluruhan ekosistem itu berbentuk

    suatu proses yang teratur dan berjalan terus menerus. Apabila dikarenakan suatu

    peristiwa, baik yang alamiah maupun non alamiah keseimbangan ekosistem

    terganggu sehingga terjadi ancaman-ancaman terhadap eksistensi organisme

    hidup yang ada, maka akan terjadi proses adaptasi pada semua organisme hidup

    yang terancam tersebut untuk kembali ke arah proses yang harmonis dan stabil

    lagi (Proses Keseimbangan Kemball/Equilibrium Process).

  • 2. Permasalahan Lingkungan: Global-Nasional Secara ringkas, berdasarkan karakteristiknya, isu global

    yang dihadapi dapat diklasifikasikan kedalam empat golongan, yakni :

    a. Masalah atmosfir Yang tergolong dalam kelompck ini adalah mengenai perubahan iklim

    (climate change) dan periindungan ozon. Isu yang paling menarik perhatian pada

    saat ini adalah keengganan Amerika Serikat - negara

    penyumbang emisi terbesar di dunia - untuk meratifikasi Protokol Kyoto yang

    mengandung komitmen mengikat bagi pengurangan komisi.

    b. Masalah daratan Masalah ini berkaitan dengan masalah penggurunan dan degradasi tanah,

    serta penggulungan hutan. Tercatat, penggundulan hutan yang terjadi khususnya

    di Asia, Afrika dan Amerika Latin diperkirakan seluas rata-rata 14, 6 juta hektar per

    tahun. Di sisi lain, negara-negara berkembang di Afrika memiliki sumber dana

    yang sangat terbatas dalam memerangi penggurunan ini.

    c. Masalah kimia dan limbah berbahaya Masalah menonjol dalam bidang ini adalah berkaitan dengan

    digunakannya lahan di negara berkembang sebagai lokasi pembuangan limbah

    dan bahan-bahan berbahaya yang diekspor ke negara-negara maju.

    d. Masalah keanekaragaman hayati Isu keanekaragaman hayati yang berkaitan dengan "nilai ekonomis"

    banyak bersinggungan dengan isu-isu perdagangan global yang diatur dalam

    WTO, termasuk di dalamnya isu Hak-hak atas'Kekayaan Intelektual, yang hingga

    saat ini masih diperdebatkan. Sering sekali, negara berkembang, yang kurang

    memiliki sumber daya dan ketentuan HAKI yang memadai dirugikan oleh

    perusahaan multinasional yang mendaftarkan "temuannya" tersebut di kantor

    paten negara maju. Akibatnya, negara berkembang harus "membeli" hak paten

    tersebut yang sebetulnya berasal dari negara berkembang tersebut.

    Isu lainnya adalah berkurangnya secara signifikan keanekaragaman hayati baik

    akibat bencana seperti kebakaran hutan maupun pengelolaan lingkungan yang

    tidak berkelanjutan, seperti pembabatan hutan secara membabi buta yang

  • ditujukan bagi keuntungan ekonomis setinggi-tingginya.

    e. Masalah lainnya Terlepas dari isu "sektoral" di atas, dunia juga menghadapi masalah global

    lain yang patut mendapat perhatian serius dari seluruh negara. Beberapa isu

    menonjol adalah masalah pendanaan bagi pembangunan berkelanjutan,

    meledaknya pertumbuhan penduduk, kemiskinan, pola konsumsi dan produksi

    yang tidak berkelanjutan, air bersih, malnutrisi, kesehatan seperti HIV/AIDS dan

    penyakit menular lainnya, pemanfaatan energi minyak bumi yang tidak dapat

    diperbaharui (rewenable), serta dampak globalisasi terhadap lingkungan dan

    sosial.

    Untuk tujuan ini, Majelis Umum PBB memutuskan untuk melaksanakan

    World Summit on Sustainable Development (WSSD) melalui Resolusi Majelis

    Umum PBB no. Res. A/RES/55/1999. Resolusi ini "menugaskan" WSSD untuk

    melakukan review pelaksanaan Agenda 21, memperkuat kembali komitmen politik

    bagi pelaksanaan Agenda 21 di masa mendatang serta, yang paling penting,

    menghasilkan dokumen yang action-oriented dengan time-bound measures dan

    means of implementation yang jelas.

    Permasalahan lingkungan hidup di Indonesia sebenamya lebih disebabkan

    oleh 4 (empat) sumber utama, yaitu: (1) kependudukan (population); (2)

    kemiskinan (poverty); (3) pencemaran dan atau kerusakan lingkungan (pollution);

    dan (4) kebijaksanaan (policy). Sebagaimana lazimnya di negara-negara

    berkembang, maka dinamika kependudukan telah menimbulkan berbagai

    masalah lingkungan. Pertumbuhan dan kepadatan penduduk yang tinggi

    menimbulkan antara lain:

    a. Tekanan terhadap hutan, sehingga persentase luas hutan kurang

    memenuhi fungsi orchidologi serta konservasi tanah dan air, Terjadi gejala

    gerakan tanah, erosi dan sedimentasi serta banjir yang tidak terkendali.

    b. Periuasan tanah pertanian disertai dengan intensifikasi lahan'tersebut

    untuk mengejar peningkatan produksi berhubung adanya kenaikan

    penduduk yang cepat, mengakibatkan pula dampak negatif terhadap

    lingkungan antara lain pencemaran perarian dan tanah oleh residu pupuk

    kimia dan pestisida. Di beberapa pulau walaupun telah diupayakan

  • intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian tetapi karena tekanan penduduk

    yang tinggi, daya dukung lahan teriampaui.

    c. Urbanisasi beriebih menimbulkan pelbagai bentuk penurunan kualitas

    lingkungan kota, termasuk tata ruang yang tidak memenuhi syarat,

    terbentuknya daerah kumuh, bertambahnya jumlah sampah,

    meningkatkan pencemaran perairan dan tanah oleh limbah domestik dan

    lain-lain. Penurunan kualitas lingkungan kota juga ditopang oleh

    perkembangan industri, lalu lintas dan prasarana lain dalam kota, antara

    lain berakibat timbulnya pencemaran udara, sekali lagi pencemaran air dan

    tanah.

    d. Urbanisasi juga mengakibatkan menurunnya estetika, menimbulkan

    ancaman terhadap peninggalan-peninggalan historis, menyempitnya

    ruang terbuka, taman kota, lapangan olahraga, rekreasi dan lain-lain.

    Gejala ini nampaknya melanda kota-kota di Indonesia, e. Pencemaran

    yang ditimbulkan di daratan terutama yang terdapat di perairan

    mengakibatkan pula pencemaran di pantai dan laut. Pantai dan laut adalah

    "long Pencemar" yang berakibat ancaman terhadap kualitas dan kuantitas

    terhadap sumber daya laut, terutama sumber daya pantai dan laut. Belum

    lagi kerusakan terumbu karang dilepas pantai sesungguhnya

    keberadaannya sangat penting baik sebagai pelindung pantai maupun

    habitat biota laut. Ancaman kerusakan sumber daya pantai diperkuat

    dengan penebangan tanaman dalam hutan mangrove untuk kayu bakar

    dan sebagai bahan yang lainnya, Perluasan daerah sawah dan tambak

    ikan akibat pertambahan penduduk yang cepat. Disamping pencemaran

    laut, pencemaran udara termasuk hujan asam dapat bersifat lintas batas

    negara.

    3. Reran Manusia Dalam Ekosistem Manusia adalah bagian dari ekosistem, manusia adalah juga pengelola

    dari sistem tersebut. Kerusakan lingkungan merupakan pengaruh sampingan dari

    tindakan manusia untuk mencapai suatu tujuan yang mempunyai konsekuensi

    terhadap lingkungan. Pencemaran lingkungan adalah akibat dari tindakan

    manusia yang ambisius. Di dalam permasalahan lingkungan, manusia pada

    akhirnya berhadapan dengan dirinya sendiri. Dalam alam yang dipengaruhi

  • manusia (man-made nature) manusia yang dipengaruhi alam (nature-made man)

    menemukan dirinya sendiri. Dalam hubungannya dengan alam, manusia harus

    memperhitungkan nilai-nilai lain, di samping nilai-nilai teknis dan ekonomis. Berarti

    bahwa ancaman terhadap alam tidak dapat dipertanggung jawabkan kepada pihak

    lain, akan tetapi pada sikap manusia itu sendiri, baik sebagai pribadi secara

    mandiri, maupun sebagai anggota masyarakat (Leenen, 1976: 12-13).

    Di antara populasi, yaitu kumpulan individu suatu spesies organisme hidup

    yang sama, yang terdapat dalam ekosistem, manusia adalah populasi yang paling

    sempurna konstruksinya, yang mempunyai akal dan budi. Dengan kelebihannya

    atas populasi-populasi yang lain, manusia mengemban tugas dan kewajiban untuk

    mengatur adanya keselarasan dan keseimbangan antara seluruh komponen

    ekosistem, baik ekosistem alamiah maupun ekosistem buatan. Kesadaran akan

    tugas dan kewajiban ini melepaskan manusia dari anggapan lama bahwa

    "Manusia karena dikaruniai akal dan budi oleh Sang Pencipta maka dipenntahkan

    untuk menguasai, sehingga dibolehkan berbuat semaunya terhadap lain-lain

    subs/stem dan ekosistem seluruhnya".

    Menurut Fuad Amsyari, manusia harus berfungsi sebagai subyek dari

    ekosistemnya akan tetapi tidak boleh mengabaikan arti pentingnya menjaga

    kestabilan ekosistemnya. Karena perubahan-perubahan yang terjadi di dalam

    daerah lingkungan hidupnya mau tidak mau akan mempengaruhi ekosistem

    manusianya, karena manusia akan banyak sekali bergantung pada ekosistemnya.

    Salah satu alat yang kuat dan ampuh dalam melindungi lingkungan hidup adalah

    hukum yang mengatur perlindungan lingkungan hidup (Danusaputro, 1980:69-70

    dalam Hardjasoemantri, 1999: 1-6).

    Lingkungan hidup adalah suatu konsep holistik yang berwujud di bumi ini

    dalam bentuk susunan, dan fungsi interaktif antar semua komponen yang ada,

    baik yang insani (biotik), maupun yang ragawi (abiotik), dan sosial. Ketiganya

    saling mempengaruhi, menentukan, dan sating interaksi, sehingga senantiasa

    lingkungan berada dalam dinamika, perubahan, dan ketidakpastian. Lingkungan

    hidup tidak bisa lepas dari kehidupan manusia, untuk kesejahteraan manusia,

    tetapi tanpa melupakan makhluk hidup lainnya. Pada kehidupan manusia,

    manusia mempunyai kemampuan adaptasi lebih besar daripada makhluk hidup

    lainnya melalui adaptasi kultural, oleh karenanya lingkungan sosial budaya

    menjadi penting bagi manusia.

  • B. SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM LINGKUNGAN 1. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Lingkungan

    Drupsteen mengemukakan, bahwa Hukum Lingkungan (Milieurecht)

    adalah hukum yang berhubungan dengan lingkungan alam (natuurlijk milieu)

    dalam arti seluas-luasnya. Ruang lingkupnya berkaitan dengan dan ditentukan

    oleh ruang lingkup pengelolaan lingkungan. Dengan demikian hukum lingkungan

    merupakan instrumentarium yuridis bagi pengelolaan lingkungan. Demikian pula terdapat hukum lingkungan keperdataan (privaatrechielijk milieurecht),

    hukum lingkungan ketatanegaraan (strafrechtelijk milieurecht), hukum lingkungan

    kepidanaan (strafrechtelijk milieurecht), sepanjang bidang-bidang hukum ini

    memuat ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan

    hidup.

    Menurut Prof. Koesnadi, Hukum Lingkungan di Indonesia dapat meliputi

    aspek-aspek sebagai berikut:

    a. Hukum Tata Lingkungan, selanjutnya disingkat HTL, mengatur penataan

    lingkungan guna mencapai keselarasan hubungan antara manusia dan

    lingkungan hidup, baik ling-kungan hidup fisik maupun lingkungan hidup

    sosial budaya.

    Bidang garapannya meliputi tata ruang, tata guna tanah, tata cara peran

    serta masyarakat, tata cara peningkatan upaya pelestarian kemampuan

    lingkungan, tata cara penumbuhan dan pengembangan kesadaran

    masyarakat, tata cara perlindungan lingkungan, tata cara ganti kerugian

    dan pemulihan lingkungan serta penataan keterpaduan pengelolaan

    lingkungan hidup.

    Hukum Tata Lingkungan merupakan instrumentarium yuridis bagi

    penataan lingkungan hidup, yang dapat mencakup segi lingkungan fisik

    maupun lingkungan social budaya. la mengatur tatanan kegunaan dan

    penggunaan lingkungan untuk berbagai keperluan melalui tata cara konkrit

    dalam rangka melestarikan kemampuan lingkungan yang serasi dan

    seimbang.

    Adapun hal-hal yang khusus atau lebih rinci ditangani oleh aspek-aspek

    lainnya dari Hukum Lingkungan, seperti beikut ini.

  • b. Hukum Perlindungan Lingkungan, merupakan peraturan perundang-

    undangan di bidang pengelolaan lingkungan yang berkaitan dengan

    lingkungan biotis.

    c. Hukum Kesehatan Lingkungan, adalah hokum yang berhubungan

    dengan kebijaksanaan di bidang kesehatan lingkungan, dengan

    pemeliharaan kondisi air, tanah dan udara, dan pencegahan kebisingan.

    d. Hukum Pencemaran Lingkungan, dalam kaitan misalnya dengan

    pencemaran oleh industry.

    e. Hukum Lingkungan Transnasional/Internasional, dalam kaitannya dengan hubungan antar negara.

    f. Hukum Sengketa Lingkungan, dalam kaitan misalnya dengan

    penyelesaian masalah ganti kerugian.

    Aspek-aspek tersebut di atas dapat ditambah dengan aspek-aspek lainnya

    sesuai dengan kebutuhan perkembangan pengelolaan lingkungan hidup di

    masa-masa yang akan datang (Hardjasoemantri, 1999: 36-42).

    2. Kebijaksanaan Pengelolaan Lingkungan Global Perkembangan Hukum Lingkungan di Indonesia tidak dapat dipisahkan

    dari gerakan sedunia untuk memberikan perhatian yang lebih besar kepada

    lingkungan hidup, mengingat kenyataan bahwa lingkungan hidup telah menjadi

    masalah yang perlu ditanggulangi bersama demi kelangsungan hidup di dunia ini.

    Sejalan dengan perkembangan teknologi yang menimbulkan adanya sifat

    ambifalen dari perkembangan itu sendiri yang di satu sisi dapat menimbulkan

    kemajuan dan kesejahteraan manusia, tapi di sisi lain dapat menjadikan

    lingkungan rusak, misalnya: pemakaian tenaga nuklir yang dapat menghasilkan

    limbah radioaktif yang membahayakan, isu mengenai pemanasan bumi, lapisan

    ozon dsb. Maka terjadilah kesadaran serta komitmen bersama mengenai pertunya

    pengelolaan lingkungan secara global.

    Perhatian terhadap masalah lingkungan hidup dimulai dari kalangan

    Dewan Ekonomi dan Sosial PBB pada waktu diadakan peninjauan terhadap

    hasil-hasil gerakan "Dasawarsa Pembangunan Dunia ke-1 (1960-1970)" guna

    merumuskan strategi "Dasawarsa Pembangunan Dunia ke-2 (1970-1980)".

    Pembicaraan tentang masalah lingkungan hidup ini diajukan oleh wakil dari

    Swedia, disertai saran untuk dijajagi kemungkinan guna menyelenggarakan suatu

  • konferensi intemasional mengenai lingkungan hidup manusia.

    a. Konferensi Stockholm Kebijakan global pengelolaan lingkungan hidup ditetapkan pertama kali

    dalam Konperensi PBB tentang Lingkungan Hidup Manusia (United Nations

    Conference on the Human Environment) yang diselenggarakan di Stockholm pada

    tanggal 5-16 Juni 1972, diikuti oleh 113 negara dan beberapa puluh peninjau.

    Soviet Uni dan negara-negara Eropa Timur telah memboikot konperensi ini

    sebagai terhadap ketentuan yang menyebabkan beberapa negara tidak diundang

    dengan kedudukan yang sama dengan kedudukan yang sama dengan

    peserta-peserta lain, seperti antara lain Republik Demokrasi Jerman.

    Pada akhir sidang, yaitu pada tanggal 16 Juni 1972, Konperensi mengesahkan

    nasil-hasilnya berupa:

    1. Deklarasi tentang Lingkungan Hidup Manusia, terdiri atas: Preamble dan

    26 asas yang lazim disebut Stockholm Declaration;

    2. Rencana Aksi Lingkungan Hidup Manusia (Action Plan), terdiri dari 109

    rekomendasi termasuk di dalamnya 18 rekomendasi tentang Perencanaan

    dan Pengelolaan Permukiman Manusia;

    3. Rekomendasi tentang kelembagaan dan keuangan yang menunjang

    pelaksanaan Rencana Aksi tersebut di atas, terdiri dari:

    a. Dewan Pengurus (Governing Council) Program Lingkungan Hidup

    (UN Environment Progamme = UNEP)

    b. Sekretariat, yang dikepalai oleh seorang Direktur Eksekutif;

    c. Dana Lingkungan Hidup;

    d. Badan Koordinasi Lingkungan Hidup.

    Dalam suatu resolusi khusus, Konperensi menetapkan tanggal 5 Juni

    sebagai "Hari Lingkungan Hidup Sedunia". Atas tawaran Kenya, sekretariat UNEP

    ditempatkan di Nairobi.

    Pada Sidang Umum PBB tahun 1972, semua keputusan Konperensi

    disahkan dengan resolusi Sidang Umum PBB No. 2997 (XXVII) pada tanggal 15

    Desember 1972.

    Dengan adanya Stockholm Declaration ini, perkembangan Hukum

    Lingkungan telah memperoleh dorongan yang kuat, baik pada taraf nasional,

    regional maupun internasional. Keuntungan yang tidak sedikit adalah mulai

  • tumbuhnya kesatuan pengertian dan bahasa di antara para ahli hukum dengan

    menggunakan Stockholm Declaration sebagai referensi bersama.

    Sekalipun hasil dari Deklarasi Stockholm tidak mengikat langsung, karena

    merupakan soft law (berbeda dari Konvensi yang hasilnya mengikat langsung,

    karena merupakan hard law), tapi pengaruh dari Deklarasi Stockholm besar sekali

    terutama bagi Indonesia. Asas-asas lingkungan yang semula diperkenalkan dalam

    Deklarasi Stockholm sebanyak 26 asas, kemudian diperbaharui dalam Deklarasi

    Rio de Janeiro menjadi 27 asas, yang kemudian diambil 3. Ketiga asas ini dapat

    dilihat dalam GBHN: Bab III huruf B ayat 10 TAP MPR No. IV Tahun 1973 yang

    berbunyi:

    "Dalam pelaksanaan pembangunan, sumber-sumber alam Indonesia

    hams digunakan secara rasional. Penggalian ... tersebut harus diupayakan agar

    tidak merusak ...., dilaksanakan dengan kebijaksanaan yang menyeluruh dan

    dengan memperhitungkan kebutuhan generasi yang akan datang"(D. Silalahi,

    2001: 33).

    Menyeluruh (integral) dalam arti memperhatikan segala aspek, memperhatikan

    sektor-sektor yang terkait dengan sumber daya alam: air, hutan, migas, ikan di

    laut. Undang-undang kita sudah mengatur pengelolaannya berdasarkan peraturan

    dalam sektor. Dengan memperhitungkan kebutuhan generasi yad., pilihannya

    adalah: apakah sumber alam Indonesia akan dihabis-habiskan sekarang atau

    tidak.

    b. World Conservation Strategy Pada tahun 1980, International Union for the Conservation of Nature and

    Natural Resources (IUCN), bersama-sama dengan United Nations Environment

    Programme (UNEP) dan World Wildlife Fund (WWF), menerbitkan World

    Consevation Strategy (WCS) dalam upayanya untuk memenuhi kebutuhan

    konservasi, yang meliputi pengelolaan sistem produksi yang ekologis tepat dan

    pemeliharaan kelangsungan hidup dan keanekaragamannya.

    Maksud WCS adalah untuk mencapai tiga tujuan utama dari konservasi sumber

    daya hayati, yaitu:

    a) Memelihara proses ekologi yang esensial serta sistem penyangga

    kehidupan;

    b) Menjamin pemanfaatan secara lestari spesies serta ekosistemnya.

  • Ketentuan khusus tercantum dalam Section 11 dari WCS tentang tindakan

    hukum yang diperlukan untuk melaksanakan kebijaksanaan pembangunan

    berkelanjutan pada tingkat nasional, yaitu bahwa suatu komitmen untuk

    mengkonservasikan sumber daya hayati negara perlu ditetapkan dalam

    undang-undang dasar atau instrumen hukum lainnya yang sesuai. Komitmen

    tersebut perlu menyatakan kewajiban negara untuk mengkonservasi sumber daya

    hayati dan sistem yang meliputinya, hak warga negara akan lingkungan yang

    stabil dan beranekaragam, dan tanggung jawab warga negara terhadap

    lingkungan tersebut.

    Perlu ada perundang-undangan khusus yang ditujukan kepada

    pencapaian tujuan konservasi, baik oleh pemanfaatan secara lestari dan

    pertindungan sumber daya hayati maupun oleh sistem penunjang kehidupan.

    Perundang-undangan konservasi secara komprehensif pertu menetapkan

    ketentuan tentang perencanaan penggunaan tanah dan air dan perlu mengatur

    baik dampak langsung terhadap sumber daya seperti eksploitasi dan penggusuran

    habitat, maupun dampak tidak langsung seperti pencemaran atau introduksi dari

    spesies yang ekskotik. Selain daripada itu, peraturan tersebut perlu meliputi pula

    ketentuan tentang pelaksanaan evaluasi ekosistem, analisis mengenai dampak

    lingkungan dan tindakan-tindakan lainnya untuk menjamin dimasukkannya

    pertimbangan ekologi ke dalam pembuatan kebijaksanaan.

    WCS merupakan pernyataan transisi, tidak dimaksudkan sebagai

    kerangka definitif untuk pembangunan berkelanjutan. Berbagai masalah yang

    mendesak tentang berbagai isyu pembangunan belum dicantumkan, di antaranya

    mengenai sebab-sebab pembangunan yang tidak maju serta eksploitasi dan

    degradasi lingkungan.

    c. Pertemuan Montevideo Kemajuan lebih lanjut diperoleh dengan diadakannya Ad Hoc Meeting of

    Senior Goverment Official Expert in Environmental Law di Montevideo, Uruguay,

    pada tanggal 28 Oktober - 6 November 1981. Pertemuan internasional dalam

    bidang hukum lingkungan ini adalah untuk pertama kalinya diadakan.

    Pertemuan ad hoc tersebut diadakan untuk membuat kerangka, metoda

    dan program, meliputi upaya-upaya tingkat internasional, regional dan nasional,

  • guna pengembangan serta peninjauan berkala hukum lingkungan dan guna

    memberi sumbangan kepada persiapan dan pelaksanaan komponen Hukum

    Lingkungan dalam Systemwide Medium Term Environment Programme UNEP.

    Pertemuan tersebut telah menghasilkan kesimpulan dan rekomendasinya yang

    sangat berarti bagi perkembangan Hukum Lingkungan.

    a. World Commission on Environment and Development Perkembangan lebih lanjut dalam pengembangan kebijaksanaan

    lingkungan hidup didorong oleh hasil kerja World Commission on Environment and

    Development, disingkat WCED.

    WCED dibentuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memenuhi

    keputusan Sidang Umum PBB Desember 1983 No. 38/161 dan dipimpin oleh

    Nyonya Gro Harlem Brundtland (Norwegia) dan Dr. Mansour Khalid (Sudan).

    Keanggotaan WCED mencakup pemuka-pemuka dan Zimbabwe, Jerman Barat,

    Hongaria, Jepang, Guyana, Saudi Arabia, Italia, Mexico, Brazilia, Aljazair, Nigeria,

    Yugoslavia, dan Indomesia (Prof. Dr. Emil Salim). Sekretariat Jenderal WCED

    berkedudukan di Geneva. Tugas WCED adalah :

    a. Mengajukan strategi jangka panjang pengembangan lingkungan menuju

    pembangunan yang berkelanjutan di tahun 2000 dan sesudahnya;

    b. Mengajukan cara-cara supaya keprihatinan lingkungan dapat dituangkan

    dalam kerja sama antar negara untuk mencapai keserasian antara

    kependudukan, sumber daya alam, lingkungan, dan pembangunan;

    c. Mengajukan cara-cara supaya masyarakat internasional dapat

    menanggapi secara lebih efektif pola pembangunan berwawasan

    lingkungan;

    d. Mengajukan cara-cara masalah lingkungan jangka panjang dapat

    ditangkapi dalam agenda aksi untuk dasawarsa pembangunan.

    Dalam melaksanakan tugas ini WCED diminta bertukar fikiran dengan

    masyarakat ilmuwan, kalangan pecinta lingkungan, kalangan pembentuk opini,

    kalangan generasi muda yang bergerak di bidang lingkungan, dan mereka yang

    berminat dengan pembangunan berwawasan lingkungan. Begitu pula

    diharapkan pandangan Pemerintah khususnya melalui Governing Council UNEP,

    pandangan pemimpin nasional, formal dan informal serta tokoh-tokoh

    internasional. WCED diharapkan meningkat-kan hubungan dengan badan-badan

  • antar Pemerintah di luar sistem PBB.

    WCED mendekati masalah lingkungan dan pembangunan dari enam sudut

    peneropongan:

    a. Keterkaitan (interdependency)

    b. Berkelanjutan (sustainability)

    c. Pemerataan (equity)

    d. Sekuriti dan Risiko Lingkungan

    e. Pendidikan dan Komunikasi

    f. Kerjasama Intemasional

    WCED telah memberikan laporannya pada tahun 1987 yang diberi judul

    Our Common Future, yang memuat banyak rekomendasi khusus untuk perubahan

    institusional dan perubahan hukum.

    WCED mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai: development

    that meets the needs of the present without compromising the ability of future

    generations to meet their own needs. Dengan demikian, pembangunan yang

    dijalankan untuk memenuhi kebutuhan sekarang tidak boleh mengurangi

    kemampuan generasi-generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya

    sendiri.

    b. Caring for the Earth Laporan WCED telah memberikan dampaknya pada penyusunan dampak

    strategi konservasi baru yang menggantikan World Conservation Strategy (WCS),

    yaitu "Caring for the Earth: A Strategy for Sustainable Living", disusun bersama

    oleh World Conservation Union (IUCN, singkatan yang dipertahankan karena

    sudah dikenal luas, yang merupakan singkatan dari nama terdahulu, yaitu

    International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources), the

    United Nations Environment Programme (UNEP), dan World Fund for Nature

    (WWF, sebagai singkatan yang dipertahankan) dan diumumkan pada bulan

    Oktober 1991, dengan ditandatangani oleh Martin W. Holdgate, Direktur Jenderal

    IUCN, Mostafa K. Tolba, Direktur Eksekutif UNEP, dan Charles de Haes, Direktur

    Jenderal WWF.

    Caring for the Earth (CE) diterbitkan dengan tujuan utama untuk membantu

    memperbaiki keadaan masyarakat dunia, dengan menetapkan dua syarat.

    Pertama adalah untuk menjamin komitmen yang meluas dan mendalam pada

  • sebuah etika baru, yaitu etika kehidupan berkelanjutan dan mewujudkan

    prinsip-prinsipnya dalam praktek. Yang lain adalah untuk mengintegrasikan

    konservasi dan pembangunan: Konservasi untuk menjaga agar kegiatan-kegiatan

    kita berlangsung dalam batas daya dukung bumi, dan pembangunan untuk

    memberi kesempatan kepada manusia di manapun guna menikmati kehidupan

    yang lama, sehat serta memuaskan.

    CE menyatakan, bahwa masyarakat yang berkelanjutan dapat dicapai

    apabila dikaitkan dengan sembilan prinsip yang digariskan, yaitu: menghargai dan

    memelihara komunitas kehidupan; meningkatkan kualitas kehidupan manusia;

    mengkonservasi vitalitas dan keanekaragaman bumi dengan mengkonservasikan

    sistem penunjang kehidupan ekologis dan menjamin keanekaragaman hayati

    serta pemanfaatan secara lestari sumber daya yang dapat diperbaharui;

    meminimumkan penipisan sumber daya yang tidak dapat diperbaharui; merubah

    perilaku dan perbuatan pribadi; memberi kesempatan kepada masyarakat untuk

    memelihara lingkungannya sendiri; menyediakan kerangkakerja nasional untuk

    mengintegrasikan pembangunan dan konservasi; dan menciptakan kerja sama

    global untuk mencapai keberlanjutan global.

    c. Konperensi Rio de Janeiro Laporan Laporan WCED telah digunakan sebagai materi untuk Konperensi

    Tingkat Tinggi Bumi yang diadakan oleh PBB di Rio de Janeiro pada tanggal 3

    sampai dengan 14 Juni 1992 dan merupakan peringatan 20 tahun Konferensi

    Stockholm 1972. Konperensi yang dinamakan United Nations Conference on

    Envinronment and Development disingkat UNCED, dihadiri oleh 177

    kepala-kepala negara dan wakil-wakil pemerintah yang berkumpul di Rio de

    Janeiro untuk bersama-sama bekerja ke arah menjadikan pembangunan

    berkelanjutan sebuah realitas. Konprensi telah dihadiri juga oleh badan-badan di

    lingkungan PBB dan lembaga-lembaga lainnya.

    Konperensi Rio diadakan dalam rangka pelaksahaan resolusi Sidang

    Umum PBB No.45/211 tertanggal 21 Desember 1990 dan keputusan No. 46/468

    tertanggal 13 April 1992.

    Sebuah Panitia Persiapan UNCED telah dibentuk untuk

    mengkoordinasikan berbagai masukan dari badan-badan PBB,

    pemerintah-pemerintah serta lembaga-lembaga dan pemerintah, dan untuk

  • mengidentifikasikan tujuan bersama serta kegiatan-kegiatan konkrit yang akan

    diajukan kepada kepala-kepala pemerintah untuk diterima. Empat pertemuan

    Panitia Persiapan telah diadakan, sebuah proses yang dimulai dengan

    pertemuannya yang pertama di Nairobi pada bulan Agustus dan September 1990.

    Rio bukanlah semata-mata konperensi negara-negara, akan tetapi juga

    konperensi rakyat. Bersamaan dengan konperensi resmi, di Flamengo Park yang

    letaknya berdekatan dengan tempat konperensi resmi, diadakan pertemuan yang

    disebut the'92 Global Forum, yang diikuti kurang lebih 10.000 orang yang mewakili

    9.000 organisasi dan telah menarik sebanyak 20.000 pengunjung.

    Global Forum menyediakan berbagai kegiatan yang diselenggarakan oleh

    lembaga-lembaga swadaya masyarakat dan asosiasi-asosiasi, yang meliputi

    International Forum of NGO's and Social Movement, Open Speakers Forum dan

    pertemuan kelompok-kelompok agama. UNCED telah berhasil mencapai

    konsensus mengenai beberapa bidang yang sangat penting, yang dituangkan

    dalam berbagai dokumen dan perjanjian sebagai berikut:

    1) "The Rio de Janeiro Declaration on Environmental and Development'

    yang menggariskan 27 prinsip fundamental tentang lingkungan dan

    pembangunan.

    2) "Non-Legally Binding Authorative Statement of Principles for a

    Global Consensus on the Management, Conservation and

    Sus-tainable Development of all Types of Forest (Forestry Principles)". Prinsip-prinsip kehutanan ini merupakan konsensus

    intemasional yang terdiri dari 16 pasal yang mencakup aspek pengelolaan,

    aspek konservasi, serta aspek pemanfaatan dan pengembangan, bersifat

    tidak mengikat secara hukum dan berlaku untuk semua jenis atau tipe

    hutan.

    3) "Agenda 21" merupakan rencana kerja global yang pertama kali disusun secara menyeluruh mengenai pembangunan berkelanjutan, meliputi

    berbagai isu ekonomi, sosial dan lingkungan yang berbeda-beda, dan

    menampung masukan dari semua negara di dunia. Agenda 21 Global

    merupakan suatu dokumen komprehensif setebal 700 halaman yang

    berisikan program aksi pembangunan berkelanjutan menjelang abad 21.

  • Melalui serangkaian penelitian selama 2 tahun, penyusunan konsep dan

    negosiasi intensif yang dilakukan sebelum dan menjelang konferensi,

    akhirnya Agenda 21 ditandatangani oleh semua negara (termasuk

    Indonesia) yang nadir pada konferensi tersebut.

    Agenda 21 dapat digunakan baik oleh pemerintah, organisasi

    intemasional, kalangan industri maupun masyarakat lainnya untuk

    mendukung upaya pengintegrasian lingkungan ke dalam seluruh kegiatan

    sosial-ekonomi. Agenda 21 juga membahas dampak kegiatan manusia

    terhadap lingkungan dan kesinambungan sistem produksi. Tujuan dari

    setiap kegiatan yang tercantum dalam Agenda 21 pada dasamya adalah

    untuk mengentaskan kemiskinan, kelaparan, pemberantasan penyakit,

    dan buta huruf di seluruh dunia, di samping untuk menghentikan kerusakan

    ekosistem yang penting bagi kehidupan manusia.

    Dalam rangka mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang

    berwawasan lingkungan, maka integrasi pembangunan ekonomi, sosial

    dan lingkungan merupakan syarat yang harus dianut oleh semua sektor

    pembangunan terkait. Kunci keberhasilan untuk mencapai tujuan ini

    adalah dilaksanakannya kemitraan nasional oleh seluruh sektor yang

    berkaitan daengan pembangunan dan lingkungan, yang merupakan inti

    dan tujuan baik Agenda 21 Global maupun Agenda 21-Indonesia.

    Agenda 21-lndonesia memberikan serangkaian pandangan dan inspirasi

    yang dapat dimasukkan ke dalam proses perencanaan pada setiap

    tingkatan pembangunan di Indonesia, sedemikian rupa sehingga

    lembaga-lembaga pemerintah, swasta dan masyarakat luas lainnya dapat

    memanfaatkan dokumen ini sebagai referensi bagi penyusunan

    perencanaan dan program-program jangka pendek dan panjang dalam

    menghadapi pasar bebas di masa mendatang dan dalam mewujudkan

    pembangunan berkelanjutan yang dicita-citakan. Dokumen ini secara

    komprehensif dan rinci mengungkapkan kaitan antara pembangunan

    ekonomi dan sosial, serta memberikan "paradigma baru" bagi pencapaian

    pembangunan berkelanjutan di Indonesia.

    Sebagai kesimpulan, Agenda 21-lndonesia dapat dijadikan sebagai suatu

    advisory document yang mencakup aspek kebijakan, pengembangan

    program dan strategi yang meliputi hampir seluruh perencanaan

  • pembangunan bidang sosial, ekonomi dan lingkungan.

    4) "The Framework Convention on Climate Change", yang memuat

    kesediaan negara-negara maju untuk membatasi emisi gas rumah kaca

    dan melaporkan secara terbuka mengenai kemajuan yang diperolehnya

    dalam hubungan tersebut. Negara-negara maju juga sepakat untuk

    membantu negara-negara berkembang dengan sumber daya dan

    teknologi dalam upaya negara berkembang untuk memenuhi kewajiban

    sebagaimana tercantum dalam Konvensi. Indonesia telah meratifikasi

    Konvensi ini dengan Undang-undang No. 6 Tahun 1994 pada tanggal 1

    Agustus 1994.

    5) "The Convention on Biological Diversity" (Konvensi

    Keaneka-garagaman Hayati), yang memberikan landasan untuk

    kerjasama intemasional dalam rangka konservasi spesies dan habitat.

    Dalam Pasal 1 Konvensi ini dinyatakan tentang tujuannya, yaitu

    melestarikan dan mendayagunakan secara berkelanjutan

    keanekaragaman hayati dan berbagai keuntungan secara adil dan merata

    dari hasil pemanfaatan sumber genetika melalui akses terhadap sumber

    genetika tersebut, alih teknologi yang relevant, serta pembiayaan yang

    cukup dan memadai.

    Asas dalam Pasal 3 menyatakan, bahwa negara memiliki kedaulatan untuk

    mengeksploitasi sumber alamnya sesuai dengan kebijaksanaan

    pembangunan dan lingkungannya, serta mempunyai tanggung jawab

    untuk menjamin bahwa kegiatannya itu tidak akan merusak lingkungan

    baikdi dalam maupun di luar wilayah negaranya. Indonesia telah

    meratifikasi Konvensi ini dengan Undang-undang No. 5 Tahun 1994 pada

    tanggal 1 Agustus 1994.

    Beberapa prinsip yang mengikat secara hukum (soft law) pada Deklarasi

    Stockholm dan Deklarasi Rio de Janeiro, mempunyai implikasi penting bagi

    perundang-undangan di Indonesia.

    Terbentuknya UU No. 4 Tahun 1982 atau UULH di Indonesia, yang diperbaharui

    dengan UU No. 23 Tahun 1997 atau UUPLH merupakan salah satu peristiwa

    penting, baik di lihat dari sudut pembangunan nasional Indonesia maupun dari

    sudut pembinaan hukum nasional.

  • 3. Hukum Lingkungan Klasik dan Modem Moenadjat membedakan antara Hukum Lingkungan modern yang

    berorientasi kepada lingkungan atau environment-oriented law dan Hukum

    Lingkungan klasik yang berorientasi kepada penggunaan lingkungan atau

    use-oriented law.

    Hukum Lingkungan modern menetapkan ketentuan dan norma-norma

    guna mengatur tindak perbuatan manusia dengan tujuan untuk_melindungi

    lingkungan dari kerusakan dan kemerosotan mutunya untuk menjamin

    kelestariannya agar dapat digunakan oleh generasi sekarang maupun

    generasi-generasi mendatang. Sebaliknya Hukum Lingkungan klasik menetapkan

    ketentuan dan norma-norma dengan tujuan untuk_menjamin penggunaan dan

    eksploitasi sumber-sumber daya lingkungan dengan berbagai akal dan

    kepandaian manusia guna mencapai hasil yang maksimal dalam jangka waktu

    yang singkat.

    Hukum Lingkungan modern berorientasi kepada lingkungan, sehingga sifat

    dan wataknya mengikuti lingkungan itu sendiri dan lebih banyak berguru kepada

    ekologi. Dengan berorientasi kepada lingkungan, maka Hukum Lingkungan

    modern memiliki sifat utuh-menyeluruh atau komprehensif-integral, selalu berada dalam dinamika dengan sifat dan wataknya yang luwes, sedang

    sebaliknya Hukum Lingkungan klasik bersifat sektoral, serba kaku dan sukar

    berubah.

    Dari sudut hukum nasional masuknya aspek lingkungan pada proses

    pembentukan hukum baru dari suatu negara yang sedang berkembang seperti

    Indonesia tidak saja dianggap suatu keharusan bagi konsepsi pembangunan yang

    berwawasan lingkungan (ecodevelopmenf) dan sesuai dengan prinsip-prinsip

    yang diletakkan dalam Deklarasi Stockholm 1972, tetapi juga telah membawa

    pengaruh yang mendasar pada konsepsi dan sistem hukum lingkungan nasional

    Indonesia. Deklarasi Rio de Janeiro 1992 kemudian telah memperluas dan

    memperdalam pengertian hukum Lingkungan (D. Silalahi, 2001: 31-32). Konsep

    Pembangunan Berwawasan Lingkungan (Eco-development) dari Deklarasi

    Stockholm dan konsep Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable development)

    dari Deklarasi Rio de Janeiro telah melahirkan konsep baru, yaitu:

    Eco-sustainable development

  • Caring for the Earth: a Strategy for Sustainable Living (IUCN, UNEP,

    dan WWF, 1991) menjelaskan tentang peranan hukum lingkungan sebagai

    berikut:

    a. Memberi efek kepada kebijakan-kebijakan yang dirumuskan dalam

    mendukung konsep pembangunan yang berkelanjutan.

    b. Sebagai sarana penataan melalui penerapan aneka sanksi (variety of

    sanction),

    c. Memberi panduan kepada masyarakat tentang tindakan-tindakan yang

    dapat ditempuh untuk melindungi hak dan kewajibannya.

    d. Memberi definisi tentang hak dan kewajiban dan perilaku-perilaku yang

    merugikan masyarakat.

    e. Memberi dan memperkuat mandat serta otoritas kepada aparat

    pemerintah terkait untuk melaksanakan tugas dan fungsinya.

    Selanjutnya Caring for the Earth juga mencoba memberikan usulan

    tentang bagaimana seharusnya sistem hukum lingkungan yang komprehen-sif

    serta mekanisme penegakannya. Secara ringkas, system hukum lingkungan

    nasional serta mekanisme penegakan hukum paling tidak harus memberikan

    wadah sebagai berikut:

    a. Penerapan prinsip pencegahan dini (precautionary principle).

    Prinsip yang merupakan Prinsip 15 dari Deklarasi Rio ini menekankan

    pentingnya tindakan-tindakan antisipatif sebagai upaya pencegahan

    walaupun belum terdapat bukti-bukti ilmiah yang pasti dan meyakinkan

    terhadap suatu hal

    b. Pendayagunaan instrumen ekonomi melalui penerapan pajak

    dan pungutan-pungutan lainnya.

    c. Pembertakuan AMDAL untuk proyek-proyek pembar.gunan dan rencana

    kebijakan.

    d. Pembertakuan sistem audit lingkungan bagi kegiatan industri swasta dan

    pemerintah yang telah bertangsung.

    e. Sistem pemantauan dan inspeksi yang efektif.

    Memberikan jaminan kepada masyarakat mendapatkan informasi Amdal,

    audit lingkungan, hasil pemantauan dan informasi tentang produksi,

    penggunaan dan pengolahan limbah maupun bahan beracun

    dan berbahaya (B3).

  • f. Sanksi yang memadai bagi pelanggar dalam pengertian harus mampu

    memberikan efek penjera bagi noncompliance.

    g. Sistem pertanggungjawaban yang member dasar pembayaran

    kompensasi karena kerugian ekonomis, ekologis, maupun kerugian

    (material (intangible losses).

    h. Pembertakuan system pertanggungjawaban mutlak atau seketika

    (strictliability) untuk kegiatan-kegiatan yang melibatkan bahan-bahan

    berbahaya dan beracun.

    i. Penyelenggaraan asuransi dan penataan mekanisme pendanaan lainnya

    yang mempercepat dan memungkinkan pelaksanaan kompensasi.

    j. Memberikan jaminan hak standing bagi kelompok-kelompok lingkungan

    dalam proses beracara di forum-forum administratif maupun pengadilan,

    sehingga kelompok tersebut dapat berfungsi sebagai komponen penting

    dalam penegakan hukum lingkungan.

    k. Memberikan jaminan bahwa tindakan-tindakan dari instansi pemerintah

    yang berwenang di bidang penegakan hukum lingkungan dapat

    dipertanggungjawabkan (accountable).

    4. Kebijakan LH dalam UUD 1945 dan GBHN/Propenas Kaedah dasar yang melandasi pembangunan dan perlindungan

    lingkungan hidup Indonesia terdapat dalam Pembukaan Undang-undang Dasar

    1945 pada alinea ke-4 yang menyatakan: "... membentuk suatu Pemerintah

    Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh

    tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum...".

    Ketentuan ini menegaskan "Kewajiban Negara" dan "Tugas Pemerintah"

    untuk melindungi segenap sumber-sumber insani Indonesia dalam lingkungan

    hidup Indonesia guna kebahagiaan seluruh rakyat Indonesia dan segenap umat

    manusia.

    Pemikiran dasar tersebut dirumuskan lebih konkrit dalam Pasal 33 ayat (3)

    UUD 1945 sebagai berikut: "Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di

    dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besamya untuk

    kemakmuran rakyat.

    Ketentuan tersebut memberikan "hak penguasaan" kepada negara atas

    seluruh sumber daya alam Indonesia dan memberikan "kewajiban kepada negara"

  • untuk menggunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.

    Ketentuan-ketentuan dasar tersebut dijabarkan oleh MPR dalam TAP MPR

    No. IV/MPR/1973 tentang GBHN, pada Bab III, butir 10 dari Pendahuluan yang

    berbunyi:

    "Dalam pelaksanaan pembangunan, sumber-sumber alam Indonesia (1) harus

    digunakan secara rasional. Penggalian sumber kekayaan alam tersebut (2) harus

    diusahakan agar tidak merusak tata lingkungan hidup manusia, (3) dilaksanakan

    dengan kebijaksanaan yang menyeluruh dan (4) dengan memperhatikan

    kebutuhan generasi yang akan datang" (Hardjasoemantri, 1999: 62-67).

    Demikian pula dalam GBHN 1999-2004 telah mencantumkan ketentuan

    tentang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup. Ketentuan dalam GBHN

    1999-2004 tersebut selanjutnya dijabarkan lebih lanjut dalam Undang-undang No.

    25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun

    2000-2004.

    Dari sudut pembangunan nasional masuknya aspek lingkungan dalam

    konsepsi pembangunan (dikenal dengan prinsip pembangunan yang berwawasan

    lingkungan} erat hubungannya dengan perkembangan yang terjadi di masyarakat

    internasional yang sedang 'membangun (dikenal dengan dekade Pembangunan

    PBB 1: 1960-1970). Pads, dekade ini hubungan antara pembangunan dan

    masalah lingkungan dipersoalkan untuk pertama kalinya.

    C. PERUNDANG-UNDANGAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN

    1. UU No. 4 Tahun 1982 Undang-undang pertama yang mengatur tentang pengelolaan lingkungan

    hidup secara menyeluruh (=komprehensif integral) dan bersifat environment

    oriented law adalah Undang-undang No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, selanjutnya disingkat UULH, yang diundangkan pada tanggal 11 Maret 1982. Penyusunan Rancangan Undang-undang tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup didasarkan

    atas alasan-alasan sebagai berikut :

    a. Didalam Repelita III, Bab 7 tentang "Sumber Alam dan Lingkungan Hidup" tertera petunjuk mengenai periunya Undang-undang yang memuat ketentuan-ketentuan pokok tentang masalah lingkungan.

  • Hal ini berarti bahwa Pemerintah berkewajiban untuk mengusahakan

    terbentuknya Undang-undang tersebut dalam kurun waktu Repelita III.

    Undang-undang yang memuat asas serta prinsip-prinsip pokok tentang

    perlindungan dan pengembangan lingkungan hidup ini beserta

    sanksi-sanksinya akan merupakan dasar bagi semua peraturan

    perundang-undangan lainnya yang diciptakan secara sektoral sesuai

    dengan kepentingan perlindungan dan pembangunan lingkungan hidup di

    masing-masing bidang. Dalam merumuskan berbagai peraturan

    perundang-undangan tersebut, perlu diperhatikan asas serta

    prinsip-prinsip yang digunakan oleh konvensi-konvensi internasional di

    bidang lingkungan hidup. Peraturan perundang-undangan yang mengatur

    pokok-pokok kebijaksanaan di bidang lingkungan secara menyeluruh dan

    peraturan perundang-undangan secara sektoral yang dilengkapi peraturan

    pelaksanaan serta tatacara kelembagaannya perlu dikembangkan lebih

    cepat, agar kesimpangsiuran wewenang dan tanggungjawab dalam

    pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup dapat dikurangi.

    Analisis pengaruh lingkungan yang telah dibuat oleh proyek-proyek perlu

    diikuti oleh tatacara kelembagaannya, agar koordinasi dalam penilaian

    suatu proyek atau kegiatan dapat dilakukan dengan baik, sehingga

    hambatan-hambatan prosedural dapat dihilangkan. Keseluruhan

    peraturan-peraturan tersebut selanjutnya akan membina suatu sistem

    hukum lingkungan nasional.

    b. Peraturan perundang-undangan yang ada kurang memuat segi

    lingkungan hidup. Sebaliknya perkembangan kesadaran lingkungan sudah meningkat di

    kalangan produsen selaku "perusak lingkungan potensial" dan di kalangan

    konsumen masyarakat umum selaku "penderita kerusakan lingkungan

    potensial".

    Maka perlu dikembangkan peraturan perundang-undangan sesuai dengan

    kebutuhan dan peningkatan kesadaran lingkungan dalam masyarakat.

    c. Indonesia mulai memasuki tahap industrialisasi bersamaan dengan peningkatan pengembangan pertanian, sebagai bagian dari pelaksanaan

  • pembangunan secara bertahap yang bertujuan: (1) meningkatkan taraf

    hidup dan kesejahteraan seluruh rakyat serta (2) meletakkan landasan

    yang kuat untuk pembangunan tahap berikutnya.

    Dalam rangka peletakan landasan pembangunan yang kuat ini, tersimpul

    pertunya mengusahakan pembangunan tanpa merusak lingkungan

    mengelola sumber serta daya alam secara bijaksana untuk dapat

    menopang tahapan pembangunan jangka panjang.

    d. Arab pembangunan jangka panjang tertuju pada pembangunan

    manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia, yang sepertitercantum dalam GBHN.

    2. Pembaharuan UULH 1982: UU No. 23 Tahun 1997.

    UULH dicabut dan diganti dengan Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang. Pengelolaan Lingkungan Hidup, selanjutnya disingkat UUPLH, yang diundangkan pada tanggal 19 September 1997.

    Pertimbangan digantikannya UULH oleh UUPLH adalah pada butir d

    konsiderans UUPLH, yaitu bahwa penyelenggaraan pengelolaan lingkungan

    hidup dalam rangka pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan

    hidup harus didasarkan pada norma hukum dengan memperhatikan tingkat

    kesadaran masyarakat dan perkembangan lingkungan global serta perangkat

    hukum internasional yang berkaitan dengan lingkungan hidup.

    Sejak diundangkannya UULH pada tahun 1982 kesadaran dan kehidupan

    masyarakat dalam kaitannya dengan pengelolaan lingkungan hidup terus

    meningkat sehingga pokok materi sebagaimana diatur dalam Undang-undang

    No.4 Tahun 1982 pertu disempurnakan. Demikian pula hasil Konperensi Rio de

    Janeiro 1992 menjadi perhatian dalam penyusunan UUPLH.

    3. Sifat dan Fungsi UUPLH Materi bidang lingkungan sangat luas mencakup segi-segi ruang angkasa,

    puncak gunung, sampai ke perut bumi dan dasar laut, dan meliputi sumber daya

    manusia, sumber daya alam hayati, sumber daya alam nonhayati dan sumber

    daya buatan. Materi seperti ini tidak mungkin diatur secara lengkap dalam satu

    Undang-undang, tetapi memerlukan seperangkat peraturan perundang-undangan

  • dengan arah dan ciri yang serupa. Karena itu sifat UULH mengatur

    "ketentuan-ketentuan pokok pengelolaan lingkungan hidup".

    UULH memuat asas dan prinsip pokok bagi pengelolaan lingkungan hidup,

    sehingga berfungsi sebagai "payung" (umbrella act) bagi penyusunan peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan lingkungan hidup

    dan bagi penyesuaian peraturan perundang-undangan yang telah ada.

    UULH yang kemudian dicabut dengan Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan selanjutnya disingkat UUPLH ini pun berfungsi sebagai "payung".

    D.IMPLIKASI UNDANG-UNDANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN 1. Asas dan Tujuan Pengelolaan Lingkungan

    Asas, tujuan dan sasaran pengelolaan lingkungan hidup, sebagaimana

    tercantum dalam Pasal 3 UUPLH berbunyi:

    "Pengelolaan lingkungan hidup diselenggarakan dengan asas tanggung jawab

    Negara, asas keberlanjutan dan asas manfaat, bertujuan untuk mewujudkan

    pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam rangka

    pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat

    Indonesia seluruhnya yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha

    Esa".

    Penjelasan pasal tersebut berbunyi:

    "Berdasarkan asas tanggung jawab negara, di satu sisi, negara menjamin

    bahwa pemanfaatan sumber daya alam akan memberikan manfaat yang

    sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan mutu hidup rakyat, baik generasi masa

    kini maupun generasi masa depah. Di sisi lain, negara mencegah dilakukannya

    kegiatan pemanfaatan sumber daya alam dalam wilayah yurisdiksinya yang

    menimbulkan kerugian terhadap wilayah yurisdiksi negara lain, serta melindungi

    negara terhadap dampak kegiatan di luar wilayah negara. Asas ketertanjutan

    mengandung arti setiap orang memikul kewajiban dan tanggung jawab terhadap

    generasi mendatang, dan terhadap sesamanya dalam satu generasi. Untuk

    melaksanakan kewajiban dan tanggung jawab tersebut, maka kemampuan

    lingkungan hidup harus dilestarikan, karena lestarinya kemampuan lingkungan

    hidup menjadi tumpuan kelanjutan pembangunan".

  • Tujuan sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 UULH berubah menjadi

    sasaran dalam Pasal 4 UUPLH.

    Terkendalinya pemanfaatan sumber daya secara bijaksana sebagaimana

    tercantum dalam Pasal 4 huruf e mempunyai arti penting dalam kaitannya dengan

    pemakaian sumber daya tak terbaharui (non-renewable resource), sehingga

    aspek-aspek seperti kehematan, daya guna serta hasil guna menjadi mutlak

    diperhatikan, di samping aspek daur ulang (recycling) yang senantiasa/selalu

    harus diusahakan dengan menggunakan bermacam-macam teknologi, baik

    teknologi maju maupun teknologi madya dan teknologi sederhana atau teknologi

    pedesaan (rural technology).

    Pengendalian pemanfaatan sumber daya secara bijaksana tidak hanya

    ditujukan kepada penghematan sumber daya tak terbaharui, tetapi juga pada

    pencarian sumber daya alternatif lainnya guna memperoleh energi. Sumber daya

    lainnya itu dapat berupa biogas, biomassa, energi angina (windenergy), energy

    surya (solar energy), OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion), energi nuklirdan

    lain-lain (Hardjasoemantri, 1999: 89-92).

    2. Hak Atas Lingkungan Hidup Pasal 5 ayat (1) UULH berbunyi: "Setiap orang mempunyai hak atas

    lingkungan hidup yang baik dan sehat", sedangkan dalam Pasal 5 ayat (1) UUPLH

    dipertegas menjadi "hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat".

    Heinhard Steiger c.s. menyatakan, bahwa apa yang dinamakan hak-hak

    subyektif (subjective rights) adalah bentuk yang paling luas dari periindungan

    seseorang. Hak tersebut memberikan kepada yang memilikinya suatu tuntutan

    yang sah guna meminta kepentingannya akan suatu lingkungan hidup yang baik

    dan sehat itu dihormati, suatu tuntutan yang dapat didukung oleh prosedur hukum,

    dengan periindungan hukum oleh pengadilan dan perangkat-perangkat lainnya.

    Tuntutan tersebut mempunyai 2 fungsi yang berbeda, yaitu:

    (a). the function of defense (Abwehrfunktion), yang dikaitkan pada hak

    membela diri terhadap gangguan dari luar yang menimbulkan kerugian

    pada lingkungannya.

    (b). the function of performance (Leistungsfunktion), dikaitkan pada hak

    menuntut dilakukannya suatu tindakan agar lingkungannya dapat

    dilestarikan, dipulihkan atau diperbaiki, terdapat dalam (Pasal 20 ayat (2)

  • dan (4) UULH)/Pasal 34 UUPLH yang mengatur tentang ganti kerugian

    kepada orang dan atau melakukan tindakan tertentu.

    Dalam penjelasan Pasal 34 ayat (1) UUPLH dinyatakan bahwa tindakan tertentu

    meliputi misalnya:

    a. memasang atau memperbaiki unit pengolahan limbah sehingga limbah

    sesuai dengan baku mutu lingkungan hidup yang ditentukan;

    b. memulihkan fungsi lingkungan hidup;

    c. menghilangkan atau memusnahkan penyebab timbulnya pencemaran

    dan/atau perusakan lingkungan hidup.

    Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana tertera

    dalam berbagai konstitusi di negara lain selafu dikaitkan dengan kewajiban untuk

    melindungi lingkungan hidup. Ini berarti bahwa lingkungan hidup dengan

    sumber-sumber dayanya adalah kekayaan bersama yang dapat digunakan oleh

    setiap orang, yang harus dijaga untuk kepentingan masyarakat pada saat ini dan

    untuk generasi-generasi mendatang. Dengan demikian pertindungan lingkungan

    hidup dan sumber daya alamnya mempunyai tujuan ganda, yaitu melayani

    kepentingan masyarakat secara keseluruhan dan melayani kepentingan

    individu-individu.

    Secara konstitusional, hak subyektif sebagaimana tertera dalam Pasal 5

    UUPLH tersebut dapat dikaitkan dengan hak umum yang tercantum dalam alinea

    keempat Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan "... membentuk suatu

    Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia...",

    serta dikaitkan pula dengan hak penguasaan kepada Negara atas bumi dan air

    dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besamya

    kemakmuran rakyat.

    Berbagai hak subyektif yang berkaitan dengan hak atas lingkungan hidup

    yang baik dan sehat serta hak-hak lainnya juga tercantum dalam Piagam Hak

    Asasi Manusia (Harjasoemantri, 1999: 93-96).

    3. Hak Informasi dan Reran Serta

    Hak atas informasi yang diatur dalam Pasal 5 ayat (2) UUPLH merupakan

    hal baru, yang dalam UULH 1982 belum diatur secara eksplisit. Dalam penjelasan

    Pasal 5 ayat (2) di antaranya dinyatakan bahwa hak atas informasi lingkungan

    merupakan konsekuensi logis dari hak berperan dalam pengelolaan lingkungan

  • yang bertandaskan pada asas keterbukaan. Contoh pengaturan hak atas

    informasi secara sektoral adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) huruf

    a UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, yang menyatakan bahwa

    setiap norang berhak mengetahui rencana tata ruang.

    Hak untuk berperan serta bagi setiap orang dalam pengelolaan lingkungan

    terdapat dalam Pasal 5 ayat (3) UUPLH. Berbagai perundang-undangan organik

    yang mengatur peran serta tersebut, seperti dalam UU No. 5 Tahun 1990 tentang

    Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, UU No. 5 Tahun 1992

    tentang Benda Cagar Budaya, UU No. 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan

    Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera, UU No. 24 Tahun 1992

    tentang Penataan Ruang maupun UU No. 8 Tahun 2000 tentang Pertindungan

    Konsumen.. Sebagai contoh dapat dikemukakan Pasal 4 ayat (2) huruf b UUPR

    yang menyatakan bahwa setiap orang berhak berperan serta dalam penyusunan

    rencana tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.

    Reran serta dapat diwujudkan dalam bentuk mengajukan usul, member! saran,

    atau mengajukan keberatan kepada Pemerintah dalam rangka penataan ruang.

    Penjabaran ketentuan ini diatur dalam PP No. 69 Tahun 1996 tentang

    Pelaksanaan Hak dan Kewajiban serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta

    Masyarakat dalam Penataan Ruang.

    Apabila informasi yang diberikan itu ternyata palsu, menghilangkan,

    me-nyembunyikan, atau merusak, maka bagi pelakunya dikenakan sanksi pidana

    sebagai-mana tercantum dalam Pasa! 43 ayat (2) UUPLH.

    Hak peran serta ini berkaitan pula dengan peran lembaga swadaya

    masyarakat (LSM) lingkungan sebagai penunjang dalam pengelolaan lingkungan,

    sebagaimana tercantum dalam Pasal 19 UULH, yang dapat pula dikaitkan dengan

    freedom of associations. Peran LSM ini dalam UUPLH tidak dicantumkan setegas

    UULH, akan tetapi tercantum dalam Penjelasan Umum dan Pasal 38 ayat (1)

    UUPLH yang berkaitan dengan hak organisasi lingkungan untuk menggugat atas

    nama lingkungan.

    4. Wewenang dan Kelembagaan Pengeloiaan Lingkungan PasaL 3 UUPLH menyatakan sebagai berikut: "Pengelolaan lingkungan

    hidup yang diselenggarakan dengan asas tanggung jawab negara, asas berkelanjutan, dan asas manfaat bertujuan untuk mewujudkan pembangunan

  • berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan

    manusia Indonesia seutuhnya ............"

    Dengan demikian, berdasarkan asas tanggung jawab negara (state responsibility), di satu sisi negara menjamin bahwa pemanfaatan sumber daya

    alam akan memberikan manfaat yang sebesar-besamya bagi kesejahteraan dan

    mutu hidup rakyat, baik generasi masa kini maupun generasi masa depan. Di lain

    sisi, negara mencegah dilakukannya kegiatan pemanfaatan sumber daya alam

    dalam wilayah yurisdiksinya yang menimbulkan kerugian terhadap wilayah

    yurisdiksi negara lain, serta melindungi negara terhadap dampak kegiatan di luar

    wilayah negara.

    Asas ini terkait dengan hak penguasaan negara atas sumber daya alam

    yang berimplikasi adanya kewenangan Pemerintah untuk:

    (1). mengatur dan mengembangkan kebijaksanaan dalam rangka pengelolaan

    lingkungan hidup;

    (2). mengatur penyediaan, peruntukan, penggunaan, dan pemanfaatan

    kembali sumber daya alam, termasuk sumber daya genetika;

    (3). mengatur perbuatan hukum dan hubungan hukum antara orang dan atau

    subyek hukum lainnya serta perbuatan hukum terhadap sumber daya alam

    dan sumber daya buatan;

    (4). mengendalikan kegiatan yang mempunyai dampak sosial;

    (5). mengembangkan pendanaan bagi upaya pelestarian fungsi lingkungan

    sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

    Di samping memiliki kewenangan mengatur, maka dalam rangka

    pengelolaah lingkungan pemerintah juga mempunyai kewajiban, di antaranya

    adalah mengembangkan dan menerapkan perangkat yang bersifat preemtif, preventif, dan proaktif dalam upaya pencegahan penurunan daya dukung dan daya tampung lingkungan.

    Asas kebertanjutan mengandung makna setiap orang memikul kewajiban

    dan tanggung jawab terhadap generasi mendatang, dan terhadap sesamanya

    dalam satu generasi. Untuk terlaksananya kewajiban dan tanggung jawab

    tersebut, maka kemampuan lingkungan hidup harus dilestarikan. Terlestarikannya

    kemampuan lingkungan menjadi tumpuan tertanjutkannya pembangunan. Oleh

    karena itu, kepentingan lingkungan hidup tidak tepat apabila dipertentangkan

    dengan pembangunan. Di samping itu, yang dilestarikan bukanlah lingkungan an

  • sich, akan tetapi kemampuan lingkungan sesuai dengan fungsinya.

    Sesuai amanat yang tertuang dalam UUD45, pemerintah selaku

    penyelenggara negara, dengan kewenangannya dalam mendayagunakan sumber

    daya alam yang dimiliki, mempunyai tanggung jawab untuk memajukan

    kesejahteraan umum, yaitu dengan melaksanakan pembangunan berkelanjutan

    yang berwawasan lingkungan hidup.

    Dalam Pasal 10 UUPLH disebutkan secara rinci kewajiban pemerintah

    dalam rangka pengelolaan Lingkungan Hidup, diantaranya (dalam huruf e) adalah

    mengembangkan dan menerapkan perangkat yang bersifat preemtif (diutamakan), preventif dan proaktif dalam upaya pencegahan kerusakan lingkungan hidup.

    Perangkat yang bersifat preemtif adalah tindakan yang dilakukan pada

    tingkat pengambilan keputusan dan perencanaan seperti Tata Ruang dan

    AMDAL. Adapun preventif adalah tindakan pada tingkatan pelaksanaan melalui

    penataan baku mutu limbah dan/atau instrumen ekonomi. Proaktif adalah

    tindakan pada tingkat produksi dengan menerapkan standarisasi Lingkungan

    Hidup, spt. ISO 14000.

    Perangkat pengelolaan Lingkungan Hidup yang mencakup ketiganya, yaitu

    yang bersifat preemtif, preventif & proaktif misalnya adalah pengembangan dan

    penerapan teknologi akrab LH, penerapan asuransi LH dan audit LH yang

    dilakukan secara sukarela oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan guna

    meningkatkan kinerja.

    Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, pemerintah pusat dapat

    menyerahkan urusan di bidang Lingkungan Hidup kepada daerah sesuai

    kemampuan, situasi dan kondisi daerah masing-masing.

    Konsep otonomi daerah itu sebenamya baik, yaitu dengan menyerahkan

    sebagian urusan kepada daerah menjadi urusan rumah tangganya sendiri, tapi

    praktek pelaksanaannya yang seringkali buruk.

    Ini terjadi akibat persepsi otonomi daerah terhadap Lingkungan Hidup yang

    buruk, yaitu berusaha memanfaatkan Sumber Daya Alam sebanyak-banyaknya

    guna mencapai PAD yang ditargetkan tanpa menghiraukan kondisi Lingkungan

    Hidupnya yang semakin merosot, sehingga periu ada biaya recovery/pemulihan.

    Seringkali yang terjadi Sumber Daya Alam kita hilang tanpa meninggalkan

    kontribusi yang berarti pada negara, seperti yang terjadi pada penambangan

  • batubara atau penebangan kayu di Kalimantan. Contoh lainnya adalah Freeport,

    yang termasuk perusahaan penambangan besar dunia yang menggali Sumber

    Daya Alam kita tanpa memberikan royalty yang sepadan pada pemerintah.

    Ironinya, Sumber Daya Alam yang sangat melimpah, tapi pembagiannya

    yang tidak merata, sehingga rakyat rmasih banyak yang miskin dan upah buruh

    yang masih di bawah standar.

    5. Prinsip Keterpaduan Pengelolaan Sesuai dengan batasan pengelolaan lingkungan menurut Pasal 1 butir 2

    UUPLH, maka esensi dan pengelolaan lingkungan adalah pertunya penggunaan

    hak dan kewenangan secara terpadu. Untuk itu Pasal 9 ayat (2) UUPLH lebih

    lanjut menegaskan bahwa "Pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan secara

    terpadu oleh instansi pemerintah sesuai dengan bidang tugas dan tanggung jawab

    masing-masing, masyarakat, serta pelaku pembangunan lain dengan

    memperhatikan keterpaduan perencanaan dan pelaksanaan kebijaksanaan nasional pengelolaan lingkungan hidup.

    Yang dimaksud dengan keterpaduan (integration) menurut A.V. van den

    Berg (dalam Rangkuti, 1987) adalah penyatuan dari wewenang ("fusion of

    competences"), sedang koordinasi (coordination) adalah kerjasama dalam

    pelaksanaan wewenang yang bersifat mandiri ("working together in the exertion of

    autonomous competences'). Pemahaman keterpaduan tersebut nampaknya tidak

    dapat sepenuhnya diterapkan di Indonesia. Apabila memperhatikan pengaturan

    kelembagaan pengelolaan lingkungan menurut Pasal 11, 12, dan 13 UUPLH serta

    dihubungkan dengan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan

    PP No. 25 Tahun 2000, maka dari segi hukum administrasi negara yang

    menyangkut wewenang kelembagaan, pengelolaan lingkungan di Indonesia

    dewasa ini lebih bersifat koordinatif. Upaya keterpaduan tercermin dalam

    perumusan dan penyelenggaraan kebijaksanaan lingkungan, penentuan

    langkah-langkah dan program, termasuk di bidang peraturan

    perundang-undangan.

    Unsur keterpaduan merupakan ciri utama dan hal yang esensial dalam

    pengelolaan lingkungan, mengingat lingkungan yang dikelola sebagai konsep

    ekologis tidak mengenal batas wilayah/administrasi (prinsip bioregionalism).

    Padahal pengelolaan lingkungan selalu didasarkan adanya kewenangan yang

  • mengenal batas wilayah (Pasal 2 UUPLH=Wawasan Nusantara). Oleh sebab itu

    pengelolaan lingkungan mutlak menuntut beyond the administrative boundary

    karena ciri-ciri ekologisnya, sehingga idealnya dikelola dengan prinsip

    bioregionalism.

    Keterpaduan horizontal menjamin adanya keserasian hubungan antar

    sektor/ bidangdan atau antar daerah, agar hasil yang diperoleh merupakan upaya

    bersama yang memperhitungkan banyak kepentingan yang kadang-kadang saling

    berbenturan satu sama lain. Di era otonomi daerah sekarang ini, keterpaduan

    horizontal harus diarahkan pada kesatuan bio-region agar tidak terjadi saling

    lempar tanggung jawab jika terjadi kerusakan dan atau pencemaran lingkungan.

    Koordinasi ini dituangkan dalam kelembagaan dengan disertai pengaturan yang

    dirumuskan bersama seluruh stakeholders dalam menjaga pelestarian fungsi

    lingkungan.

    Keterpaduan vertikal merupakan keserasian antara pelaksanaan

    kebijaksanaan dan program Pusat dengan Daerah. Di samping itu juga harus

    dibangun keterpaduan dalam bentuk keserasian pengaturan (harmonisasi

    hukum). Pelaksanaan keterpaduan di bidang peraturan perundang-undangan

    lingkungan telah dirintis oleh Kantor Menteri Negara KLH dengan menyusun

    matriks peraturan perundang-undanggan lingkungan yang berkaitan dengan

    ketentuan dalam UULH yang memeriukan pengaturan tersendiri atau penjabaran

    secara lebih terinci. Matriks tersebut memuat substansi yang harus diatur,

    kaitannya pada pasal tertentu dalam UULH, instansi yang harus mengambil

    prakarsa dan dengan instansi apa saja kerjasama harus dijalin untuk menyusun

    rancangan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.

    6. Ketentuan Insentif dan Disinsentif Ketentuan tentang insentif dan disinsentif dengan tegas tercantum dalam

    Pasal 8 UULH 1982 yang dalam ayat (1)-nya menyatskan bahwa Pemerintah

    menggariskan kebijaksanaan dan melakukan tindakan yang mendorong

    ditingkatkannya upaya pelestarian kemampuan lingkungan. Penjelasannya

    menyatakan bahwa ketentuan pasal ini memberi wewenang kepada pemerintah

    untuk mengambil langkah-langkah tertentu misalnya dalam bidang perpajakan, sebagai insentif guna lebih meningkatkan pemeliharaan lingkungan, dan

    disinsentif untuk mencegah dan menanggulangi kemsaka.n dan pencemaran

  • lingkungan. Kebijak-sanaan dan tindakan tersebut dapat pula diarahkan kepada

    pemberian penghargaan kepada setiap orang yang amat berjasa dalam pelestarian kemampuan lingkungan.

    Dalam UUPLH 1997, tentang ketentuan insentif dan disinsentif tidak lagi

    tercantum secara tegas. Namun demikian di dalam penjelasan Pasal 10 huruf (e)

    terdapat pemyataan yang di antaranya berbunyi: Adapun preventif adalah

    tindakan tingkat pelaksanaan melalui penaatan baku mutu limbah dan atau melalui

    instrumen ekonomi.

    7. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Pada dasarnya, instrumen hukum lingkungan yang berfungsi mencegah

    pen-cemaran atau perusakan lingkungan adalah baku mutu lingkungan (BML) dan

    baku kerusakan lingkungan, analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL), dan

    izin lingkungan, di samping instrumen ekonomik berupa pungutan pencemaran

    (pollution charges).

    Sebagai salah satu instrumen hukum preventif melalui prosedur

    administratif bertahap, AMDAL diatur dalam Pasal 15 UUPLH yang tata cara

    penyusunan dan penilaian-nya ditetapkan dengan PP. Prosedur AMDAL

    terintegrasi ke dalam sistem perizinan lingkungan menurut Pasal 18-21 UUPLH.

    Dewasa ini, yang termasuk jenis perizinan lingkungan menurut hukum positif

    adalah: (1) perizinan usaha; (2) izin tempat usaha (Hinder Ordonnantie); (3) izin

    pembuangan limbah cair; (4) izin pembuangan limbah ke media lingkungan; (5)

    perizinan bahan beracun berbahaya (B-3); (6) perizinan benda cagar budaya; dan

    (7) perizinan pemanfaatan ruang dan bangunan.

    a. Pengaturan AMDAL Dengan diterbitkannya Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997, maka PP.

    No. 51 Tahun 1993 pertu disesuaikan. Oleh karena itu, pada tanggal 7 Mei 1999

    Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 (PP 27

    tahun 1999) sebagai penyempurnaan PP 51/1993 yang berlaku efektif mulai

    tanggal 7 November 2000. Melalui PP. 27 Tahun 1999 ini diharapkan pengelolaan

    lingkungan hidup dapat lebih optimal. Satu hal penting yang diatur dalam PP 27

    Tahun 1999 ini adalah dihapuskannya keberadaan Komisi Penilai AMDAL

    departemental / sektoral, dalam rangka pemberdayaan penilaian AMDAL kepada

  • Daerah. Dengan berlaku efektifnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan

    Daerah dan PP No. 25 Tahun 2000 tentang Pembagian Kewenangan, maka

    kekurangsempurnaan pengaturan dalam PP 27 Tahun 1999 (disharmonisasi

    dengan pengaturan Otonomi Daerah), selanjutnya "cukup" diselesaikan dengan

    Kepmeneg LH No. 40, 41, dan 42 Tahun 2000.

    Berbagai peraturan pelaksanaan PP AMDAL yang merupakan paket pedoman

    bagi penyusun dan penilai, adalah:

    1) Keputusan Kepala BAPEDAL No. 299/11/1996 tentang Pedoman Kajian

    Aspek Sosial Dalam AMDAL;

    2) Keputusan Kepala BAPEDAL No. 105 Tahun 1997 tentang Panduan

    Pemantauan Pelaksanaan RKL dan RPL;

    3) Keputusan Kepala BAPEDAL No. 124/12/1997 tentang Panduan Kajian

    Aspek Kesehatan Masyarakat Dalam AMDAL;

    4) Keputusan Meneg LH No. 30 Tahun 1999 tentang Panduan Penyusunan

    Dokumen Pengelolaan Lingkungan;

    5) Keputusan Meneg LH No. 2 Tahun 2000 tentang Panduan Penilaian

    Dokumen AMDAL;

    6) Keputusan Meneg LH No. 17 Tahun 2000 tentang Jenis Usaha dan atau

    Kegiatan yang Wajib Dilengkapi Dengan AMDAL (sebagai pengganti

    Kepmeneg LH No. 3 Tahun 2000 yang menimbulkan kontroversial);

    7) Keputusan Meneg LH No. 4 Tahun 2000 tentang Panduan Penyusunan

    AMDAL Kegiatan Pembangunan Permukiman Terpadu;

    8) Keputusan Meneg LH No. 5 Tahun 2000 tentang Panduan Penyusunan

    AMDAL Kegiatan Pembangunan di Daerah Lahan Basah;

    9) Keputusan Kepala BAPEDAL No. 08 Tahun 2000 tentang Keterlibatan

    Masyarakat dan Keterbukaan Informasi Dalam Proses AMDAL;

    10) Keputusan Kepala BAPEDAL No. 09 Tahun 2000 tentang Pedoman

    Penyusunan AMDAL;

    11) Keputusan Meneg LH No. 40 Tahun 2000 tentang Pedoman Tata Kerja

    Komisi Penilai AMDAL;

    12) Keputusan Meneg LH No. 41 Tahun 2000 tentang Pedoman Pembentukan

    Komisi Penilai AMDAL Kabupaten/Kota;

    13) Keputusan Meneg LH No. 42 Tahun 2000 tentang Susunan Keanggotaan

    Komisi Penilai dan Tim Teknis AMDAL Pusat.

  • 14) Keputusan Meneg LH No. 86 Tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan

    UKL dan UPL

    Di samping pedoman pelaksanaan di atas, bagi penyusun dan penilai AMDAL

    hendaknya harus berpegangan pada berbagai kebijakan lain, meliputi:

    1) Kebijakan yang menyangkut penataan ruang dan pertanahan;

    2) Kebijakan tentang penyelenggaraan usaha dan atau kegiatan yang

    bersangkutan (sektoral atau bidang);

    3) Kebijakan pertindungan dan pengendalian lingkungan hidup, termasuk

    peraturan baku mutu lingkungan dan kriteria baku kerusakan lingkungan.

    4) Kebijakan Internasional di bidang lingkungan, khususnya yang sudah

    diratifikasi oleh Pemerintah, bahkan juga kebiasaan-kebiasaan.

    b. Kaitan dengan Peraturan Pertanahan dan Tata Ruang Aspek ini harus diperhattkan dengan benar oleh penyusun dan penilai.

    Mengapa? Karena dalam setiap kegiatan pembangunan, ruang adalah wadah dan

    juga sumber daya untuk pembangunan itu. Untuk maksud tersebut periu dihindari

    masalah-masalah hukum sebagai berikut:

    1) Terjadinya benturan kepentingan berbagai sektor pembangunan

    (pertambangan dengan kehutanan, perkebunan dengan pertambangan,

    kehutanan dengan transmigrasi, pertanian dengan permukiman, dan

    sebagainya);

    2) Konflik-konflik horizontal akibat pengadaan dan konversi hak atas tanah,

    mengingat sebagian besar tanah wilayah Negara telah dikuasai dan atau

    dimiliki orang atau badan hukum dengan berbagai bentuk hukum;

    3) Berkurangnya luas tanah pertanian subur menjadi tanah permukiman,

    industri, dan keperluan non pertanian lainnya;

    4) Menurunnya kualitas lingkungan yang ditandai dengan meluasnya tanah

    kritis dan pencemaran oleh buangan limbah.

    Kebijakan peraturan perundang-undangan yang harus diperhatikan guna

    menghindari atau memperkecil permasalahan di atas, di antaranya :

    a. UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria

    (UUPA);

    b. UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang;

    c. UU No.6 . Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia;

  • d. PP No. 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan tanah

    Teriantar;

    e. Keppres No.32 tahun 1990 Tentang Pengeloiaan Kawasan Lindung;

    f. Keppres No. 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan

    Pembangunan untuk Kepentingan Umum;

    g. Peraturan Meneg Agraria/kepala BPN No. 1 tahun 1994 tentang Ketentuan

    Pelaksanaan Keppres No.55 Tahun 1993;

    h. Keppres No. 33 tahun 1990 tentang Penggunaan Tanah bagi

    Pembangunan Industri;

    i. Keppres No. 75 tahun 1993 tentang Koordinasi Pengeloiaan Tata Ruang

    Nasional;

    j. Peraturan Meneg Agraria/Kepala BPN No.2 Tahun 1999 tentang Tata Cara

    memperoleh Izin Lokasi dan hak Atas Tanah bagi Perusahaan dalam

    rangka Penanaman Modal;

    k. PERDA Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah.

    c. Kaitan dengan Peraturan Bidang Kegiatan/Usaha Pengeloiaan lingkungan memerlukan koordinasi dan keterpaduan sebagai

    ciri utama, yang sejalan dengan Pasal 11 UUPLH, secara sektoral dilakukan oleh

    departemen dan lembaga pemerintah non-depertemen sesuai dengan bidang

    tugas dan tanggung jawab masing-masing. Dengan demikian, penerapan AMDAL

    harus ditunjang dengan peraturan perundang-undangan sektoral/bidang, seperti:

    1) UU No. 44 Prp. Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan gas Bumi

    (telah dicabut dan diganti dengan UU No. 22 Tahun 2001);

    2) UU No. 5 Tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan

    (telah dicabut dan diganti dengan UU No.41 Tahun 1999);

    3) UU No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok

    Pertambangan;

    4) UU No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan;

    5) UU No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian;

    6) UU No. 9 tahun 1985 tentang Perikanan;

    7) UU No. 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan;

    8) UU No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman;

    9) UU No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budi Daya Tanaman;

  • 10) UU No. 14 Tahun 1992 tentang Lalulintas dan Angkutan jalan;

    11) UU No. 16 tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan;

    12) UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan;

    13) UU No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran;

    14) UU No. 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian;

    Untuk setiap bidang kegiatan atau usaha tentunya masih harus

    diperhatikan peraturan-peraturan pelaksanaan yang relevan dengan sub pokok

    kajiannya. Peraturan pelaksanaan dapat berupa peraturan pemerintah, keputusan

    presiden, peraturan menteri atau keputusan pimpinan LPND.

    Pengaturan desentralisasi pengelolaan lingkungan sebagaimana

    dinyatakan dalam Pasal 12 dan 13 UUPLH, hendaknya perlu memperhatikan

    semangat pelaksanaan otonomi daerah seperti diatur dalam UU No. 22 tahun

    1999 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan

    Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, dan PP No. 25 Tahun 2000

    tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah

    Otonom guna mencapai pemberdayaan pembangunan daerah. Dengan demikian,

    sudah saatnya pihak-pihak yang teriibat dalam penyusunan AMDAL cepat

    tanggap dan mampu mengakomodasikan semangat tersebut.

    d. Kaitan dengan Peraturan Baku Mutu Lingkungan

    AMDAL mempunyai hubungan yang erat dengan baku mutu lingkungan

    dan kriteria baku kerusakan lingkungan yang diwujudkan dalam dokumen RKL

    dan RPL sebagai persyaratan dan kewajiban izin.

    Baku mutu merupakan instrumen yuridis yang diperiukan untuk menjamin

    agar upaya pemeliharaan kelangsungan daya dukung dan daya tampung

    lingkungan hidup dapat tercapai secara maksimal. Di samping fungsinya sebagai

    alat bukti yang menunjukkan dilanggar tidaknya kewajiban pengendalian dampak

    lingkungan oleh penanggung jawab suatu kegiatsn atau usaha, serta ada tidaknya

    pencemaran atau kerusakan lingkungan.

    Kriteria dan pembakuan ini dapat berbeda untuk setiap lingkungan,

    wilayah, atau waktu mengingat akan perbedaan peruntukkannya. Perubahan

    keadaan lingkungan setempat serta perkembangan teknologi akan ikut

    mempengaruhi kriteria dan pembakuan yang telah ditetapkan.

    Dengan demikian, kompleksitas ketentuan baku mutu akan ditentukan

  • menurut perbedaan lingkungannya (udara, air, air laut, tanah, dan sebagainya),

    perbedaan jenis dan parameter buangannya, perbedaan wiiayah dan

    peruntukkannya, ataupun dapat berubah berdasarkan waktu dan perkembangan

    teknologi. Oleh sebab itu pihak-pihak yang terkait dalam penyusunan dan

    penilaian AMDAL hendaknya mencermati ketentuan-ketentuan baku mutu yang

    akan digunakan.

    Beberapa ketentuan yang menyangkut baku mutu, di antaranya adalah :

    1) PP No. 82 Tahun 2001 tentang tentang Pengelolaan Kualitas Air dan

    Pengendalian Pencemaran Air (pengganti PP No. 20 Tahun 1990);

    2) PP No. 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah bahan Berbahaya dan

    Beracun (Juncto PP No. 85 tahun 1999);

    3) PP No. 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan atau

    Perusakan Laut;

    4) PP No. 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara;

    5) PP No. 150 Tahun 2000 tentang Pengendalian Kerusakan Tanah Untuk

    Produksi Biomassa;

    6) PP No. 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau

    Pen-cemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan

    dan atau Lahan;

    7) Keputusan Meneg LH No. KEP-13/MENLH/3/1995 tentang Baku Mutu

    Emisi Sumber Tidak Bergerak;

    8) Keputusan Meneg LH No. KRP-51/MENLH/10/1995 tentang Baku Mutu

    Limbah Cair Bagi Kegiatan Industri;

    9) Keputusan Meneg LH No. KEP-52/MENLH/10/1995 tentang Baku Mutu

    Limbah Cair bagi Kegiatan Hotel;

    10) Keputusan Meneg LH No. KEP-58/MENLH/12/1995 tentang Baku Limbah

    Cair Bagi Kegiatan Rumah Sakit;

    11) Keputusan Meneg LH No. KEP-42/MENLH/10/1996 tentang Baku Mutu

    Limbah Cair bagi Kegiatan Minyak dan Gas serta Panas Bumi;

    12) Keputusan Meneg LH No. KEP-43/MENLH/10/1996 tentang Kriteria

    Kerusakan Lingkungan bagi Usaha dan atau Kegiatan Penambangan

    Bahan Galian Golongan C Jenis Lepas di Daratan;

    13) Keputusan Meneg LH No. KEP-48/MENLH/11/1996 tentang Baku Tingkat

    Kebisingan;

  • 14) Keputusan Meneg LH No. KEP-49/MENLH/11/1996 tentang Buku Tingkat

    Getaran;

    15) Keputusan Meneg LH No. KEP-50/MENLH/11/1996 tentang Baku Tingkat

    Kebauan;

    16) Peraturan Menteri kesehatan No. 416/Menkes/Per/ 1X/1990 tentang

    Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air;

    17) Keputusan Gubemur mengenai Baku Mutu Lingkungan di setiap Wilayah

    Propinsi;

    18) Keputusan Gubernur mengenai Penggolongan Air dan Penetapan

    Peruntukan Air Sungai;

    19) Keputusan KA. BAPEDAL NO. 113 Tahun 2000 tentang Pedoman Umum

    dan Pedoman Teknis Laboratorium Lingkungan.

    e. Tujuan dan Kegunaan Tujuan AMDAL adalah untuk menjamin agar suatu usaha dan/atau

    kegiatan pembangunan dapat beroperasi secara berkelanjutan tanpa merusak

    dan mengorbankan lingkungan atau dengan kata lain usaha atau kegiatan

    tersebut layak dan aspek lingkungan hidup. Melalui pengkajian AMDAL, kelayakan

    lingkungan sebuah rencana usaha dan./atau kegiatan pembangunan diharapkan

    mampu secara optimal meminimalkan ke-mungkinan dampak lingkungan hidup

    yang negatif, serta dapat memanfaatkan dan mengelola sumber daya alam secara

    efisien.

    Sebagai kajian kelayakan lingkungan suatu rencana usaha/atau kegiatan

    yang prosesnya melibatkan pihak-pihak yang berkepentingan, AMDAL sangat

    berguna bagi:

    1) Pemerintah (a). Sebagai alat pengambil keputusan tentang kelayakan lingkungan dan"

    suatu rencana usaha dan/atau kegiatan.

    (b). Merupakan bahan masukan dalam perencanaan pembangunan

    wilayah.

    (c). Untuk mencegah agar potensi sumber daya alam di sekitar lokasi

    proyek tidak rusak dan menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup.

    2) Masyarakat (a). Dapat mengetahui rencana pembangunan di daerahnya sehingga

  • dapat mempersiapkan din untuk berpartisipasi.

    (b). Mengetahui perubahan lingkungan yang akan terjadi dan

    manfaat serta kerugian akibat adanya suatu kegiatan.

    (c). Mengetahui hak dan kewajibannya di dalam hubungan dengan usaha

    dan/atau kegiatan di dalam menjaga dan mengelola kualitas

    lingkungan.

    3) Pemrakarsa (a). Untuk mengetahui masalah-masalah lingkungan yang akan di hadapi

    pada masa yang akan datang.

    (b). Sebagai bahan untuk analisis pengelolaan dan sasaran proyek.

    (c). Sebagai pedoman untuk melaksanakan pengelolaan dan pemantauan

    lingkungan.

    f. Pendekatan Studi AMDAL Pendekatan studi AMDAL yang tepat dibutuhkan untuk mengoptimalkan

    hasil kajian, serta untuk mengefisiensikan proses pelaksanaannya. Artinya, suatu

    jenis rencana usaha dan/atau kegiatan akan dapat diproses dalam waktu jauh

    lebih singkat dan menyeluruh bila menggunakan pendekatan yang tepat,

    dibandingkan dengan apabila menggunakan pendekatan yang lain. Pendekatan

    pelaksanaan studi AMDAL yang dikenal di Indonesia adalah:

    1) AMDAL Kegiatan Tunggal, penyusunan studi AMDAL bagi satu jenis

    usaha dan/atau kegiatan yang kewenangan pembinaannya di bawah satu

    instansi yang membidangi jenis usaha/atau kegiatan tersebut.

    2) AMDAL Kegiatan Terpadu/Multisektor, penyusunan studi AMDAL bagi

    usaha dan/atau kegiatan terpadu baik dalam hal perencanaan, proses

    produksinya maupun pengelolaannnya melibatkan lebih dari satu instansi

    yang membidangi kegiatan tersebut serta berada dalam kesatuan

    hamparari ekosistem.

    3) AMDAL Kegiatan dalam Kawasan, penyusunan studi AMDAL bagi usaha

    dan/atau kegiatan yang beriokasi di dalam suatu kawasan yang telah

    ditetapkan atau berada dalam kawasan/zona pengembangan wilayah

    sesuai dengan tata ruang wilayah dan/atau kawasan yang telah ditetapkan

    pada kesatuan hamparan ekosistem.

  • g. Pihak-pihak Yang Berkepentingan Dengan AMDAL Pada dasamya ada tiga pihak yang berkepentingan dalam AMDAL, yaitu

    Pemerintah, Kelompok Usaha, dan Masyarakat.

    Ketiga komponen ini dilibatkan dalam proses penilaian dan pemrosesan

    dokumen AMDAL, di mana uraian tugas, hak, dan kewajiban masing-masing

    masuk dalam lingkup peran berikut ini:

    1) Komisi Penilai AMDAL; yaitu komisi yang bertugas menilai dokumen AMDAL dengan pengertian di tingkat pusat oleh Komisi Penilai Pusat, dan

    di tingkat daerah oleh Komisi Penilai Daerah. Unsur pemerintah yang

    berkepentingan dan warga masyarakat yang terkena dampak duduk

    sebagai anggota di dalam Komisi Penilai ini.

    2) Pemrakarsa; yaitu orang atau badan yang bertanggungjawab atas suatu rencana usaha dan/atau kegiatan yang akan dilaksanakan.

    3) Warga masyarakat yang terkena dampak; yaitu seorang atau kelompok warga masyarakat yang akibat akan dibangunnya suatu rencana usaha

    dan/atau kegiatan tersebut akan menjadi kelompok yang diuntungkan

    (beneficiary groups), dan kelompok yang dirugikan (at-risk groups).

    Lingkup warga masyarakat yang terkena dampak ini dibatasi pada

    masyarakat yang berada dalam ruangan dampak rencana usaha dan/atau

    kegiatan tersebut.

    Namun demikian dalam pelaksanaannya, ada beberapa komponen lainnya

    yang ikut teriibat, seperti:

    a) Pemberi Izin; yaitu instansi yang berwenang menerbitkan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan bagi suatu usaha atau kegiatan

    atas dasar hasil studi AMDAL yang dilakukan.

    b) Pakar Lingkungan dan Pakar Teknis; yaitu seseorang yang ahli di bidang lingkungan dan bidang ilmu tertentu.

    c) Lembaga Pelatihan; yaitu lembaga yang menyelenggarakan kursus-kursus dan/atau pelatihan-pelatihan yang berhubungan

    dengan pengelolaan lingkungan hidup/AMDAL.

    d) Konsultan; orang atau badan hukum yang diberi wewenang oleh pemrakarsa untuk menyusun studi AMDAL.

  • h. Proses Penilaian Dokumen AMDAL Proses penilaian dokumen KA-ANDAL dan ANDAL, RKL, RPL secara

    formal dilakukan dalam siding Komisi Penilai. Ketidaksiapan, ketidaklengkapan,

    maupun rendahnya kualitas dokumen yang diserahkan untuk din