Hukum Ketenagakerjaan (outsourcing)
-
Upload
fitria-n-anggraeni -
Category
Documents
-
view
135 -
download
0
description
Transcript of Hukum Ketenagakerjaan (outsourcing)
NASKAH AKADEMIK HARMONISASI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KETENAGAKERJAAN TERKAIT KEMUDAHAN DALAM
PEROLEHAN PEKERJAAN “OUTSOURCING”
Makalah
Disusun oleh :
Henggar Budi Prasetyo 8111411122
Dovania Rivana A 8111111196
Melia Edith Yosephine S 8111111140
Bima Setoaji 8111111201
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
KOTA SEMARANG
2014
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pekerjaan dan penghidupan layak merupakan hak dasar warga negara
yang dijamin negara. Hal tersebut termuat dalam UUD 1945 Pasal 27 ayat (2).
Oleh karena dalam kebijakan pembentukan regulasi terakait dengan ketenaga
kerjaan harus didasarkan pada ketentuan dalam UUD 1945. Negara dapat
mewujudkan amanat konstitusi tersebut melalui sistem ketenagakerjaan yang
berkelanjutan dan berkeadilan. Diibaratkan sistem ketenagakerjaan adalah
membangun gedung bertingkat, untuk itu bangunan antar jenjang harus terkait.
Namun, Indonesia menerapkan sistem demokrasi dalam sistem
pemerintahan. Konsekuensi demokrasi ialah terbukanya ruang partisipasi bagi
masyarakat. Setiap individu memperoleh ruang yang sama untuk
memperjuangkan kepentingannya. Kepentingan lahir atas ruang, waktu, lokasi,
dan situasi tertentu. Oleh karena itu, antar individu dalam suatu masyarakat
tentu memiliki dinamika dan perbedaan kepentingan. Interaksi antara
kepentingan dengan kekuasaan atau yang dinamakan politik menghasilkan
suatu produk hukum, baik tertulis ataupun suatu kebiasaan yang telah
disepakati.
Pemilihan Umum (Pemilu) menjadi sebuah sarana untuk memperoleh
kekuasaan dan kewenangan dalam tata kelola pemerintahan (negara).
Kekuasaan dan kewenangan dapat digunakan untuk menciptakan
kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyat, ataupun sebaliknya.
Keaneragaman suku, bangsa, dan budaya di Indonesia menjadikan proses
demokrasi di Indonesia sedemikian komplek sulit untuk menentukan
kepentingan mana yang akan diwujudkan. Konstitusi UUD 1945 merupakan
acuan terbaik bagi sistem pemerintahan. Namun, dikarenakan desakan
kebutuhan materiil pelaksanaan konstitusi sering dikesampingkan untuk
2
mewujudkan kepentingan pribadi. Akibatnya regulasi turunan sering tidak
searah dengan tujuan yang tertuang dalam Konstitusi (UUD 1945).
Untuk itu harmonisasi merupakan desakan yang harus segera
dilakukan. Tidak harmonisnya suatu regulasi memberikan konsekuensi
sulitnya tercapainya suatu tujuan dasar (recht-idee) yang tertuang dalam
konstitusi negara. Dalam makalah ini akan membahas tentang pembentukan
naskah akademik berkaitan dengan kemudaham perolehan pekerjaan melalui
sistem ketenagakerjaan outsourcing. Hal ini merupakan bentuk dari realisasi
kewajiban negara yang pasal 27 (2) UUD 1945 berupa jaminan pekerjaan dan
kehidupan yang layak.
B. Rumusan Masalah
1. Mengapa perlu disusun naskah akademik tentang harmonisasi kebijakan
regulasi ketenagakerjaan outsourcing terkait kemudahan perolehan
pekerjaan ?
2. Bagaiama isi dari naskah akademik tentang harmionisasi kebijakan
regulasi ketenagakerjaan outsourcing terkait kemudahan perolehan
pekerjaan?
C. Tujuan
1. Menjelaskan urgensi penyusunan naskah akademik tentang harmonisasi
kebijakan regulasi ketenagakerjaan outsourcing terkait kemudahan
perolehan pekerjaan.
2. Menjelaskan isi dari naskah akademik tentang harmionisasi kebijakan
regulasi ketenagakerjaan outsourcing terkait kemudahan perolehan
pekerjaan.
D. Metodologi Penulisan
1. Metodologi Penulisan
Dalam penyusunan makalah ini, penulis menggunakan metode
penulisan Studi kepustakaan. Studi ini merupakan pedoman teori yang
dibutuhkan untuk penulisan makalah ini mengambil dari berbagai literatur
berkaitan dengan implikasi harmonisasi terhdap peningkatan kinerja suatu
sistem.
3
2. Teknik Pengumpulan Data
a. Dokumentasi
Metode ini dilakukan untuk mengumpulkan data yang bersumber dari
arsip dokumen, catatan, majalah, foto dan sebagainya yang dapat
dipertanggung jawabkan serta menjadi bukti resmi.
b. Wawancara
Proses percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan dilakukan
dua pihak yaitu pewawancara yang mengajukan pertanyaan dan
terwawancara yang memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut
(Moleong, 2002 : 186).
c. Observasi
Metode ini dilakukan untuk mengumpulkan data yang bersumber dari
arsip dokumen, catatan, majalah, foto dan sebagainya yang dapat
dipertanggung jawabkan serta menjadi bukti resmi.
3. Teknik Analisis Data
Metode analisis data adalah suatu metode yang digunakan untuk
mengolah hasil penelitian guna memperoleh suatu kesimpulan. Adapun
metode yang digunakan untuk menganalisis data penelitian ini adalah
dengan menggunakan teknik analisis data diskriptif, dengan tujuan untuk
mendiskripsikan atau menggambarkan keadaan atau suatu fenomena.
4
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Konsep dan Teori
1. Sistem Outsourcing
Outsourcing adalah pendelegasian operasi dan manajemen harian dari
suatu proses bisnis kepada pihak luar penyedia jasa. Melalui pendelegasian
operasi ini, maka pengelolaan urusan perusahaan tidak lagi dilaksanakan
oleh perusahaan yang bersangkutan, melainkah dilimpahkan kepada
perusahaan jasa (Sehat Damanik, 2006 : 2). Perkembangan operasi
perusahaan dengan sistem outsourcing merupakan respons atas
perkembangan ekonomi secara global dan perkembangan teknologi yang
begitu cepat sehingga berkembang persaingan yang bersifat global dan
berlangsung sangat ketat (Sonhaji, Majalah Masalah-masalah Hukum,
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Volume 36 No. 2 April-Juni
2007: 1 12).
UU No. 13 Tahun 2003 tidak menyebutkan istilah outsourcing, tetapi
berdasarkan Pasal 64 undang-undang ini dinyatakan bahwa perusahaan
dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan
lainnya melului perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyedian jasa
pekerja yang dibuat secara tertulis. Menurut pasal 1601b KUH Perdata,
outsourcing disamakan dengan perjanjian pemborongan, dengan demikian
pengertian outsourcing adalah suatu perjanjian dimana pemborong
mengikat diri untuk membuat suatu kerja tertentu bagi pihak lain dan yang
memborongkan mengikat diri untuk memborongkan pekerjaan
kepada pihak pemborongan dengan dengan bayaran tertentu
(I Wayan Nedeng : 2).
Prinsip dasar pelaksanaan outsourcing adalah terjadinya suatu
kesepakatan kerjasama antara perusahaan pengguna jasa tenaga kerja dan
perusahaan penyedia tenaga kerja dalam bentuk perjanjian pemborongan
5
pekerjaan pekerjaan atau penyedia jasa pekerja. Perjanjian pemborongan
pekerjaan dilakukan perusahaan pengguna tenaga kerja dan perusahaan
penyedia tenaga kerja harus dalam bentuk tertulis, karena berdasarkan
Pasal 65 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003, ditentukan bahwa penyerahan
sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan
melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis.
UU No. 13 Tahun 2003 membedakan outsourcing menjadi 2 (dua)
bagian, yaitu : pertama, pemborong pekerjaan, dan kedua penyedia jasa
pekerja. Pengaturan outsourcing dalam UU No. 13 Tahun 2003, terdapat
dalam Pasal 64, Pasal 65 (terdiri dari 9 ayat) dan Pasal 66 (terdiri dari 4
ayat). Pasal 64 adalah dasar diperbolehkannya outsourcing, namun
demikian berdasarkan pasal 65 UU No. 13 Tahun 2003, tidak semua jenis
pekerjaan dapat dilaksanakan dengan outsourcing. Dengan demikian jenis
pekerjaan yang dapat dilaksanakan dengan outsourcing adalah pekerjaan
penunjang dalam perusahaan pengguna, tidak terhadap jenis pekerjaan
pokoknya. Dalam penjelasan pasal 66, disebutkan bahwa yang dimaksud
dengan kegiatan penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan
langsung dengan proses produksi adalah kegiatan yang berhubungan di
luar usaha pokok (core bussines) suatu perusahaan.
Sesuai ketentuan yang terdapat pada Pasal 65 UU No. 13 Tahun 2003,
maka beberapa persyaratan yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan
perjanjian kerja dengan sistem outsourcing, yaitu :
a. Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
b. Dilakukan dengan perintah langsung ataupun tidak langsung dari
pemberi pekerjaan;
c. Merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keselurahan;
d. Tidak menghambat proses produksi secara langsung;
e. Perusahaan lain (yang diserahkan pekerjaan) harus berbentuk badan
hukum;
6
f. Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan lain sama
dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan
pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Sesuai ketentuan pasal 66 UU No. 13 Tahun 2003 ditentukan
persyaratan antara pekerja dengan perusahaan penyedia jasa pekerja :
a. Adanya hubungan kerja antara pekerja dengan perusahaan penyedia
jasa tenaga kerja;
b. Perjanjian pekerja yang berlaku antara pekerja dan perusahaan
penyedia jasa tenaga kerja adalah perjanjian kerja untuk waktu
tertentu atau tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan
ditandatangani kedua belah pihak;
c. Perlindungan upah, kesejahteraan, syarat-syarat kerja dan perselisihan
yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa
pekerja;
d. Perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja dan perusahaan
penyedia jasa pekerja harus dibuat secara tertulis;
e. Penyedia jasa pekerja merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum
dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan.
2. Naskah Akademik
Pemakaian istilah naskah Akademik Peraturan Perundang- undangan
secara baku dipopulerkan pada tahun 1994 denganKeputusan Kepala
Badan Pembinaan Hukum Nasional Nomor G159.PR.09.10 Tahun 1994
tentang Petunjuk Teknis Penyusunan Naskah Akademik Peraturan
Perundang-undangan, dikemukakan bahwa: “naskah akademik peraturan
perundang-undangan adalah naskah awal yang memuat pengaturan
materi-materi perundangundangan bidang tertentu yang telah ditinjau
secara sistemik,holistik dan futuristik”..Ketentuan Pasal 5 Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005
menyatakan bahwa pemrakarsa dalam menyusun Rancangan
7
Undangundang, dapat terlebih dahulu menyusun Naskah Akademik
mengenai materi yang akan diatur dalam Rancangan Undang-undang.
Kata “dapat“ berarti tidak merupakan keharusan.
Namun apabila kita lihat Pasal 4 yang menyatakan bahwa konsepsi
dan materi pengaturan yang disusun harus selaras dengan falsafah
Negara Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Undangundang lain dan
kebijakan yang terkait dengan materi yang akan diatur, maka konsepsi
yang dituangkan dalam naskah akademik sangat berperan membantu
pembentukan peraturan perundangundangan dalam menyusun peraturan
perundang-undangan.
Tahapan penyusunan naskah akademik meliputi : pengkajian dan
penelitian hukum, Pembentukan /Penyusunan Naskah akademik (isi-isi
pokok). Naskah akademik yang baik disusun berdasarkan data dan
informasi yang lengkap mengenai suatu aturan dalam masyarakat yang
diperoleh melalui serangkai proses penelitian. Kemudian data hasil
penelitian disusun menjadi naskah akademik, meliputi : latar belakang,
tujuan kegunaan, pendekatan, dan materi muatan.
3. Pekerjaan dan Profesi
Profesi adalah kata serapan dari sebuah kata dalam bahasa ingris
"Profess", yang dalam bahasa Yunani adalah "Επαγγελια", yang
bermakna: "Janji untuk memenuhi kewajiban melakukan suatu tugas
khusus secara tetap/permanen".
Profesi adalah pekerjaan yang membutuhkan pelatihan dan penguasaan
terhadap suatu pengetahuan khusus. Suatu profesi biasanya memiliki
asosiasi profesi, kode etik, serta proses sertifikasi dan lisensi yang khusus
untuk bidang profesi tersebut. Contoh profesi adalah pada bidang hukum,
kedokteran, keuangan, militer, teknik desainer, tenaga pendidik.
Seseorang yang memiliki suatu profesi tertentu, disebut profesional.
Walaupun begitu, istilah profesional juga digunakan untuk suatu aktivitas
yang menerima bayaran, sebagai lawan kata dari amatir. Contohnya adalah
8
petinju profesional menerima bayaran untuk pertandingan tinju yang
dilakukannya, sementara olahraga tinju sendiri umumnya tidak dianggap
sebagai suatu profesi.
Profesi adalah pekerjaan, namun tidak semua pekerjaan adalah
profesi. Profesi mempunyai karakteristik sendiri yang membedakannya
dari pekerjaan lainnya. Daftar karakterstik ini tidak memuat semua
karakteristik yang pernah diterapkan pada profesi, juga tidak semua ciri
ini berlaku dalam setiap profesi:
a. Keterampilan yang berdasar pada pengetahuan teoretis:
Profesional diasumsikan mempunyai pengetahuan teoretis yang
ekstensif dan memiliki keterampilan yang berdasar pada pengetahuan
tersebut dan bisa diterapkan dalam praktik.
b. Asosiasi profesional: Profesi biasanya memiliki badan yang
diorganisasi oleh para anggotanya, yang dimaksudkan untuk
meningkatkan status para anggotanya. Organisasi profesi tersebut
biasanya memiliki persyaratan khusus untuk menjadi anggotanya.
c. Pendidikan yang ekstensif: Profesi yang prestisius biasanya
memerlukan pendidikan yang lama dalam jenjang pendidikan tinggi.
d. Ujian kompetensi: Sebelum memasuki organisasi profesional,
biasanya ada persyaratan untuk lulus dari suatu tes yang menguji
terutama pengetahuan teoretis.
e. Pelatihan institutional: Selain ujian, juga biasanya dipersyaratkan
untuk mengikuti pelatihan istitusional dimana calon profesional
mendapatkan pengalaman praktis sebelum menjadi anggota penuh
organisasi. Peningkatan keterampilan melalui pengembangan
profesional juga dipersyaratkan.
f. Lisensi: Profesi menetapkan syarat pendaftaran dan proses sertifikasi
sehingga hanya mereka yang memiliki lisensi bisa dianggap bisa
dipercaya.
g. Otonomi kerja: Profesional cenderung mengendalikan kerja dan
pengetahuan teoretis mereka agar terhindar adanya intervensi dari luar.
9
h. Kode etik: Organisasi profesi biasanya memiliki kode etik bagi para
anggotanya dan prosedur pendisiplinan bagi mereka yang melanggar
aturan.
i. Mengatur diri: Organisasi profesi harus bisa mengatur organisasinya
sendiri tanpa campur tangan pemerintah. Profesional diatur oleh
mereka yang lebih senior, praktisi yang dihormati, atau mereka yang
berkualifikasi paling tinggi.
j. Layanan publik dan altruisme: Diperolehnya penghasilan dari kerja
profesinya dapat dipertahankan selama berkaitan dengan kebutuhan
publik, seperti layanan dokter berkontribusi terhadap kesehatan
masyarakat.
k. Status dan imbalan yang tinggi: Profesi yang paling sukses akan
meraih status yang tinggi, prestise, dan imbalan yang layak bagi para
anggotanya. Hal tersebut bisa dianggap sebagai pengakuan terhadap
layanan yang mereka berikan bagi masyarakat.
10
BAB III
PEMBAHASAN
A. Urgensi Penyusunan Naskah Akademik
Ketenagakerjaan dan penghidupan yang layak merupakan hak warga
negara yang harus diupayakan oleh pemerintah sebagai pemegang amanat
rakyat yang tertuang dalam konstitusi. Amanat yang tertulis dalam konstitusi
memberikan kekuasaan dan kewenangan bagi pemerintah dalam perumusan
dan pelaksanakan kebijakan, meliputi : regelling (pembentukan undang-
undang), beschikking (penetapan kebijakan), vonis (penetapan pengadilan).
Instrumen tersebut diarahkan untuk mewujudkan tujuan-tujuan negara yang
tertuang dalam konstitusi.
Dinamika demografi, ekonomi, politik, hukum, dan faktor terkait lainya
menyebabkan kompleksitas permasalahan dalam realisasi tujuan negara,
misal : pemilu yang merupakan proses pergantian kekuasaan berimplikasi
kepada arah kebijakan yang sering tidak konsisten dan jujur. Akibatnya luaran
yang dihasilkan tidak optimal dalam mendorong realisasi tujuan negara dalam
konstitusi.
Dalam bidang ketenagakerjaan permasalahan tidak hanya bersumber
dari dalam, tetapi faktor eksternal, meliputi : globalisasi ekonomi, ketatnya
persaingan, penggunaan teknologi canggih terutama dalam bidang komunikasi,
transportasi, dan produktuvitas kerja, serta kondisi hukum dan politik nasional.
Tahun 2014, kementerian merumuskan cetak biru tentang arah
kebijakan ketenagakerjaan 2014 – 2029. Dokumen ini merupakan upaya
pemerintah untuk menyeleraskan arah dan tujuan kebijakan dalam rentan
waktu 15 tahun. Dalam jangka waktu 15 tahun dimungkinkan terjadi 3 kali
proses pemilu presiden (kepala negara). Kehadiran UU Ketenagakerjaan dapat
menjaga konsistensi dan pendorong goodwill dari stakeholders dalam realisasi
tujuan.
11
Muatan subtansial dalam cetak biru arah kebijakan 2014 – 2029,
meliputi : Penyusunan kebijakan dengan menyertakan issu-issu di luar
ketenagakerjaan secara ajeg, metodik, dan sistematis. Ditentukan menurut
evidence base dan koordinatif dengan Kementerian/ lembaga terkait. Memuat
progam-progam yang inovatif, kreatif, relevan, prioritas, dan terukur, serta
tidak duplikatif, tidak repetitif tanpa perubahan signifikan. Faktor-faktor
berpengaruh diluar bidang ketenagakerjaan, meliputi : Kependudukan,
Ekonomi, Politik dan Hukum, Globalisasi perekonomian, Sifat Pasar Kerja,
Budaya Perusahaan, Budaya Pekerja, Budaya Pemerintah, Otonomi Daerah.
Isu strategis yang belum mampu ditanggulangi hingga saat ini adalah
permasalahan sistem outsourcing dalam sistem ketenagakerajaan. Serikat
buruh secara masif menyuarakan aspirasi untuk menghapus sistem
outsourcing. Pemerintah dalam hal ini dihadapkan pada posisi yang lemah,
ancaman hengkangnya pengusaha jika terjadi penghapusan sistem outsoucing
atau ancaman stabilitas politik, ekonomi, dan sosial akibat aksi (demonstrasi)
buruh.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-XI/2011 mengenai
perubahan muatan subtansial berkaitan dengan jaminan ketenagakerjaan dalam
sistem outsourcing UU No. 13 Tahun 2003, sebelumnya dalam kontrak
outsourcing tidak terjadi perpindahan perlindungan jaminan sosial antara
perusahaan penyedia jasa kerja kepada perusahaan pengguna jasa tenaga kerja,
tetapi dalam putusan MK muatan tersebut berubah, menjadi wajib terjadi
perpindahan jaminan perlindungan tenaga kerja, apabila objek yang dikerjakan
sama.
Pasca putusan MK tersebut, timbul berbagai opini dari pemang
kepentingan. Timbul opini bahwa putusan MK merupakan bentuk legalisasi
sistem outsourcing, hal ini disuarakan oleh beberapa kalangan buruh. Dilain
pihak terdapat pihak yang menyambut baik dikeluarkan putusan MK tersebut.
Berdasarkan serangkaian fakta-fakta yang ditekumpulkan dan diolah
dapat dijelaskan bahwa dengan putusan MK tersebut, belum merubah akar
permasalahan subtansial dari sistem ketenagakerjaan. Sistem harus diubah
12
secara konsisten dan keberlanjutan untuk dapat menghasilkan luaran tertentu.
Hal subtansial yang perlu diupayakan adalah lapangan pekerjaan dan
kehidupan layak. Dua tujuan konstitusional tersebut sebenarnya tidak berkaitan
langsung dengan penghapusan sistem outsourcing. Hal ini diibaratakan
membangingkan antara tepung dengan roti. Tepung merupakan bahan, dan roti
merupakan hasil. Sistem outsourcing diibaratkan tepung, dan kehidupan layak
diibaratkan roti. Jika permasalahannya ialah kualitas roti, maka hal ini bukan
permasalahan penghapusan outsourcing. Tetapi, bagaimana sistem
outsourcing dapat diolah untuk menghasilkan kesejahteraan dan kehidupan
layak.
Sistem outsourcing bukanlah sebuah permasalahan dikarenakan hal
tersebut merupakan sebuah kerangka, bagaimana muatan subtansial yang
dibawakan adalah tergantung kebijakan yang dikeluarkan otoritas terkait, misal
: penerapan muatan profesi dalam sistem outsourcing akan memberikan nilai
lebih daripada sistem outsourcing berbasis upah murah. Perusahaan pada
umumnya membutuhkan pekerja berkeahlian dan pekerja murah. Untuk itu jika
dalam outsourcing ditawarkan pekerja berkahlian dan ketrampilan (profesi)
maka perusahaan akan menerima dengan pendapatan yang lebih tinggi.
Dikarenakan tenaga berkeahlian akan memberikan keluaran yang lebih banyak
dalam hal skala ekonomi, dibanding dengan sistem tenaga outsourcing tenga
murah.
B. Isi Naskah Akademik
1. Pendahuluan
Alih daya atau yang lebih dikenal dengan istilah outsourcing merupakan
suatu mekanisme kontrak kerja antara penyedia tenaga kerja dengan
pemberi kerja, sehingga tidak terdapat hubungan antara pekerja dengan
objek pekerjaan. Outsourcing muncul atas dorongan untuk melakukan
efisiensi, misal : perusahaan sepatu memiliki keunggulan absolut berupa
produk sepatu yang kuat dan arstriktik, tetapi perusahaan sepatu juga
dikaitan dengan permasalahan kebersihan dan limbah, perusahaan sepatu
tentu membutuhkan investasi jika ingin melakukan pengelolaan lomba,
13
namun karena kehadiran perusahaan outsourcing, perusahaan sepatu dapat
melimpahkan pekerjaan kebersihan dan tata kelola kepada pihak yang
memiliki keahlian dan ketrampilan terkait. Hal tersebut tentu
menghasilkan biaya yang lebih kecil, dari pada jika dikerjakan sendiri.
Namun, pada kenyataannya pelaksanaan outsourcing di Indonesia
berorientasi kepada efisiensi yang berbasis upah murah, bukan berbasis
kualitas. Akibatnya pendapatan dari pekerja outsourcing terbilang rendah,
sebatas pada UMR (Upah Minimum Regional). Outsourcing berorientasi
upah murah dapat terjadi dikarenakan jumlah tenaga kerja dan angkatan
kerja yang tidak sebanding, rendahnya lapangan pekerja dan tingginya
jumlah tenaga kerja menimbulkan konsekuensi daya tawar yang kuat dari
pengusaha. Apabila pekerja menuntut hak yang sepadan pemilik usaha,
dapat dengan mudah mengganti tenaga kerja.
Konstitusi Indonesia, pasal 27 ayat 2 berkaitan dengan hak perolehan
pekerjaan dan penghidupan layak. Outsourcing berkaitan dengan
perolehan pekerjaan memberikan peningkatan serapan terhadap tenaga
kerja. Dikarenakan sistem outsourcing menimbulkan fleksibilitas pada
pelaku usaha. Untuk menyesuikan dengan kondisi pasar dalam perolehan
keuntungan. Tetapi dalam realisasi hak dasar berkaitan kehidupan layak
masih jauh dari kenyataan. Belum terbentuknya konveregensi nasional
berkaitan dengan tujuan pembangunan nasional Indonesia, menimbulkan
sikap individualistis pemangku kepentingan dalam memperjuangkan
kepentingannya.
Outsourcing terlepas dari pro dan kontra dikalangan pemangku
kepentingan merupakan sebuah sistem untuk melakukan peningkatan
efisiensi dan efektifitas suatu manajemen usaha. Dikarenakan perusahaan
memiliki kesempatan untuk fokus pada keunggulan kompetitif
perusahaan. Sedangkan untuk urusan penunjang dapat diserahkan pada
perusahaan lain yang memiliki keunggulan kompetitif bidang tersebut.
Dan outsourcing terbukti mampu merealisasikan tujuan konstitusi berupa
kemudahan perolehan pekerjaan. Tetapi kenyataan outsourcing berbasis
14
pada upah murah, perlu untuk dirubah menjadi berbasis profesi.
Outsourcing harus hadir dalam skala kualitas bukan hanya secara
kuantitas. Konveregensi nasional berupa pembangunan yang menyeluruh
dan berkelanjutan, perlu untuk dihidupakan sebagai dasar legitimasi
optimalisasi sistem profesi dalam outsourcing. Kekecewaan buruh atas
putusan MK yang belum memberikan solusi kongkrit, harus dijadikan
pijakan lebih lanjut dalam optimalisasi outsourcing berbasis kualitas
(profesi).
2. Kajian Teoretis dan Praktik Empiris
Tenaga kerja merupakan unsur dalam faktor produksi yang berkontribusi
dalam peningkatan nilai guna suat barang/ jasa. Oleh karena itu tenaga
kerja merupakan faktor mutlak dan penting dalam proses produksi.
Terdapat dua model manajemen pengelolaan tenaga kerja, yaitu : tenga
kerja dianggap sebagai faktor produksi yang mempengaruhi neraca
perusahaan atau tenaga kerja dijadikan mitra yang saling bekerjasama
untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Manajemen pengelolaan tenaga
kerja berbasis faktor produksi akan memandang tenaga kerja sebagai
komoditas yang ditargetkan menyerap beban terkecil dari proses produksi,
akibatnya pendapatan yang diperoleh pekerja tidak tentu sesuai dengan
kebutuhan. Sistem kedua yang menekankan pekerja sebagai mitra
memiliki keunggulan berupa pendapatan yang disesuikan dengan
pencapaian target.
Model kedua yang menekankan pekerja sebagai mitra sesuai dengan
karateristik bangsa Indonesia yang telah tertuang dalam Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945. Namun, model hubungan pekerja berbasis
kemitraan tidak mudah untuk diterapkan dikarenakan desakan kebutuhan
global yang bersifat kontinuitas membutuhkan suatu pendapatan tetap.
Ketidakberdayaan masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan ini menjadi
sebuah ruang yang berpotensi untuk dimanfaatkan dalam memperoleh
tenaga kerja berupah murah.
15
Outsourcing merupakan salah satu bentuk cara pemanfaatan pekerja
berupah murah. Outsourcing terjadi dikarenakan perbandingan antara
jumlah angkatan kerja yang melebihi lapangan kerja dan rendahnya
keahlian dan ketrampilan tenaga kerja. Hadirnya dua faktor tersebut dalam
suatu kondisi kemasyarakatan membuat praktik outsourcing seakan
dibenarkan oleh kenyataan sosial. Dikarenakan atas pilihan tenga kerja
yang masih banyak, pengguna tenaga kerja dapat dengan mudah
memutuskan kontrak ketika terjadi desakan perbaikan kesejahteraan.
Outsourcing sebenarnya memiliki tujuan untuk menyesuaikan aktifitas
perusahaan dengan siklus ekonomi agar suatu perusahaan tidak perlu
mengalami defisit ketikat terjadi kelesuan ekonomi, disisi lain ketika
terjadi kenaikan siklus ekonomi, pelaku usaha dapat dengan mudah
membuka lapangan pekerjaan.
Sistem outsourcing di Indonesia juga belum memberikan jaminan dan
penghargaan terhadap tenaga kerja. Pekerja yang digunakan sebagai
subjek outsourcing dapat dengan mudah digantikan oleh karyawan baru
atas dasar upah murah. Pekerja outsourcing sebelumnya seharusnya
mendapat pengalaman bekerja, namun belum terdapat lembaga yang
menghitung masa pekerjaan, semisal dalam sistem profesi. Hal ini
menimbulkan keresahan pekerja outsourcing untuk meminta penghapusan
sistem.
3. Evaluasi dan Analisis Peraturan Perundang-Undangan Terkait
Bunyi pasal 27 ayat (2) UUD 1945 merupakan bentuk hak warga negara
yang diselenggarakan oleh negara dalam pencapaian kesejahteraan atau
hidup layak melalui bekerja. Dari konstitusi tersebut dapat dimaknai
bahwa negara menjamin warga negara dalam perolehan pekerjaan dan
pencapaian kehidupan layak. Penyelenggaraan jaminan hak dasar tersebut
diamantkan konstitusi kepada pemerintah yang dipilih melalui pemilu
dalam pelaksanaannya pemerintah membentuk peraturan pelaksanaan baik
berupa Undang-Undang ataupun peraturan lainyaa yang berfungsi sebagai
framework (kerangka kerja).
16
UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan merupakan bentuk
peraturan pelaksanaan penyelenggaraan hak dasar dalam bidang
ketenagakerjaan. Regulasi tersebut telah memberikan kategori pekerja
dilihat dari hubungan kontraktual, terdapat pegawai tetap, pegawai lepas,
dan pengawai kontrak outsourcing. Dari kategorisasi tersebut, outsourcing
menjadi permasalahan pro-kontra antara pemerintah, pelaku usaha, dan
pekerja melakukan tarik ulur antara menghapus atau memperkuat
pelaksanaan sistem outsourcing dalam memberikan jaminan pemenuhan
kepentingan pelaku usaha.
Outsourcing secara umum dapat dikatakan memberikan kepemudahan
bagi pelaku usaha dalam menyesuaikan dengan siklus ekonomi yang
berpengaruh terhadap daya tahan unit usaha terhadap ancaman stagnasi
ekonomi. Disisi lain manfaat bagi pekerja adalah memberikan kontinuitas
ketersedian lapangan pekerjaan, meskipun sering kali pekerja harus
berpindah-pindah antar perusahaan yang memberikan dampak negatif
berupa tidak adanya penghargaan terhadap masa kerja (pengabdian) yang
telah dilakukan. Hal tersebut terjadi dikarenakan dalam regulasi ketenaga
kerjaan belum terdapat instrumen yang mengukur kuantitas dan kualitas
masa kerja.
Untuk itu regulasi yang akan dibentuk seharusnya memberikan instrumen
pengukur terhadap kuantitas dan kualitas masa kerja, sehingga pekerja
dapat memperoleh jaminan peningkatan kesejahteraan (kehidupan layak)
tidak hanya berupa jaminan keberlanjutan pekerjaan. Kehadiran jaring
pengaman sosial BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan juga perlu
didayagunakan secara maksimal, untuk menurunkan kerentanan pekerja
terhadap kondisi kesehatan, pendidikan, dan kesehatan yang tidak pasti di
masa global.
4. Landasan Filosofis, Sosiologis, dan Yuridis
Globalisasi telah menghilangkan jarak antar bangsa, benteng pengaman
dalam bidang politik, sosial, ekonomi, dan budaya tidak dapat lagi
diandalakan dalam membendung dampak globalisasi. Dampak globalisasi
17
merambah melalui teknologi informasi yang memiliki jalur yang terus
meningkat. Untuk itu dalam pencapaian tujauan suatu negara yang harus
ditekankan adalah pengembangan sumber daya manusia secara insani.
Ciri khas masyarakat dalam era globalisasi adalah persaingan, tidak
adanya benteng pengaman memberikan permasamaan bagi setiap individu
untuk mengembangkan potensi diri. Hal ini memberikan ruang bagi
manusia yang pada hakikatnya tidak pernah puas, untuk mencapai
kebutuhan. Kebebasan aktualisasi potensi diri dalam batas tertentu dapat
memberikan manfaat dalam pengembangan manusia secara umum. Tetapi,
kebebasan disisi lain memberikan ruang manusia untuk menunjukan sisi
destruktif (perusak), manusia dengan rasionalisasi sering melakukan
pengorbanan terhadap yang dimiliki untuk memperoleh apa yang
diharapkan, sering kali rasionalisasi diambil tanpa pertimbangan jangka
panjang, untuk itu perlu pembatasan.
Dalam sistem ketenagakerjaan manusia seharusnya menjadi subjek bukan
objek yang diekploitasi potensinya tanpa mempedulikan kedudukan
manusia sebagai insani. Hal ini merupakan suatu bentuk aktualisasi diri
manusia yang telah mencapai tahap destruktif. Untuk itu negara sebagai
penyelenggaraa jaminan hak dasar kemanusia harus hadir dalam
memberikan perlindungan.
Namun, globalisasi telah melemahkan posisi negara, berupa privatisasi
dan liberalisasi sektor-sektor strategis yang seharusnya dikuasai negara
sebagai bentuk kedaulatan. Tanpa, kedaulatan negara hanya berfungsi
sebagai pihak yang memberikan legalitas atas keberlakukan suatu
kebijakan regulasi tanpa mempunyai hak aktif dalam intervensi kebijakan
regulasi yang tida mewakili kepentingan pemangku kepentingan.
Pertumbuhan penduduk yang semakin tinggi, penurunan ketersedian
faktor produksi, dan berbagai permasalahan politik dan sosial telah
mempengaruhi perekonomian lokal, regional, dan global. Industri
bergerak menuju efisiensi yang bukan semakin meningkatkan taraf hidup,
tetapi mengorbankan keadaaan masa depan, untuk keadaan sekarang yang
18
mengakibatkan kerusakan lingkungan. Pengelolaan faktor produksi
seharusnya ditujukan untuk mengoptimalkan taraf hidup penduduk,
dikarenakan antara manusia memiliki hubungan keterkaitan.
Pembangunan akan berhasil jika didukung oleh seluruh pemangku
kepentingan.
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 27 ayat (2) menjadi sebuah pondasi
untuk membangun sistem yang berkeadilan, kepastian, dan kemanfaatan
di Indonesia. Pendekatan Pancasila yang diilhami oleh semangat Ke-
Tuhanan dan kegotong-royongan telah memberikan legalitas dibangunnya
sebuah sistem ketenagakerjaan yang berkontribusi dalam peningkatan
taraf hidup.
Dalam konstitusi Indonesia manusia merupakan subjek dan objek
pembangunan. Oleh karena itu segala bentuk ekploitasi terhadap sumber
daya manusia merupakan bentuk pelanggaran konstitusi yang harus
ditindak-lanjuti oleh pemangku kepentingan yang diwadahi oleh berbagai
organisasi kemasyarakatan.
5. Jangkauan, Arah Pengaturan, dan Ruang Lingkup Materi Muatan Undang-
Undang
Tenaga kerja Indonesia (TKI) merupakan warga Indonesia yang telah
memasuki usia kerja. Kedudukan TKI merupakan pilar penyokong
berdirinya negara Indonesia, dikarenakan seluruh aktivitas politik, sosial,
ekonomi, dan budaya lahir atas usaha pembentukan atau peningkatan nilai
guna suatu barang atau jasa, sebagai suatu pilar TKI harus mendapatkan
sebuah jaminan dan perlindungan atas perolehan hak-hak dasar seperti :
kesejahteraan, kesehatan, dan pendidikan.
Negara sebagai pemegang kekuasaan atas amanat rakyat harus mampu
memberikan jaminan dan perlindungan atas terpenuhinya hak-hak dasar
warga negara. Pembentukan kebijakan regulasi tentang ketenagakerjaan
harus mampu meracik kepentingan antara pelaku usaha, pemerintah, dan
19
pekerja. Syarat mutlak dalam sistem ketenagakerjaan harus mampu
dipenuhi bagi seluruh TKI yang telah menjadi pilar berdirinya negara ini.
Kebijakan regulasi haruslah dibentuk dibawah satu atap yang melibatkan
seluruh pemangku kepentingan, dengan tujuan konsensus yang tercapai
dapat mengikat pihak dikarenakan merupakan komitmen bersama.
Komitmen bersama kemudian dituangkan dalam Undang-Undang yang
akan menjadi payung hukum pelaksanaan kebijakan ketenagakerjaan yang
harus dilaksanakan secara adil menyeluruh dan berkelanjutan.
Kebijakan regulasi tentang outsourcing haruslah meletakan kedudukan
manusia sebagai insani bukan sebagai objek atau faktor produksi. Manusia
sebagai insan adalah sebagai mitra yang mendapat ruang berekpresi dalam
aktualisasi potensi diri. Pelaksanaan sistem outsourcing di Indonesia harus
dirubah dari yang berbasis upah murah dan penghisapan tenaga kerja,
menjadi berbasis profesi (keahlian dan ketrampilan) dan kemitraan kerja.
Berkaitan dengan jaring pengaman sosial, BPJS sebagai penyelenggara
Sistem Jaminan Sosial Nasional harus hadir dalam memberikan jaminan
kemanan. Dan dalam kebijakan regulasi, masa kerja harus diukur sebagai
bentuk penghargaan terhadap masa kerja.
6. Penutup
a. Kesimpulan
Tenaga kerja harus menjadi mitra dalam suatu proses produksi,
dikarenakan kondisi globalisasi telah menimbulkan ketidakpastian
kondisi perekomian yang mengancam keberlangsungan suatu usaha.
Selain itu untuk mencapai efisiensi dan efektifitas sistem
ketenagakerjaan perlu didasarkan pada sistem profesi (keahlian dan
ketrampilan), hal ini bertujuan agar dapat dilakukan pengukuran
terhadap masa kerja untuk memberikan penghargaan terhadap pekerja.
b. Saran
Pemerintah, Pelaku Usaha, dan Pekerja (3P) perlu untuk duduk satu
atap dalam merumuskan tentang kepentingan bersama yang menjadi
20
tujuan. Agar terdapat komitmen dalam pelaksanaan sistem
ketenagakerjaan dalam jangka panjang.
7. Daftar Pustaka
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan
21
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Ketidakpastian perekonomian global menuntut stabilitas politik,
ekonomi, sosial, dan budaya suatu negara untuk dapat memperoleh
keunggulan absolut. Pro-kontra pelaksanaan sistem outsourcing di
Indonesia harus segera ditindak lanjuti untuk diambil langkah strategis
yang merupakan rumusan kepentingan antara pemerintah, pelaku usaha,
dan pekerja (3P) yang dituangkan dalam kebijakan regulasi. Atas
rumusan kepentingan yang disusun bersama diharapkan timbul
komitmen dalam pelaksanaan kebijakan secara jangka panjang. Dalam
mewujudkan tujuan konstitusi.
2. Sistem outsoucing harus dibenahi mulai dari presepsi tentang tenga kerja
sebagai faktor produksi, harus dirubah menjadi fungsi kemitraan
dikarenakan tenaga kerja merupakan insan yang memiliki hak-hak dasar
untuk berekpresi dalam aktualisasi potensi diri. Dan setelah terjadi
perubahan presepsi tersebut pelaksanaan outsourcing perlu untuk
dikaitkan dengan sistem profesi, dimana pelaksanaan outsorucing
berbasis upah murah dirubah menjadi keahlian. Sistem profesi juga
memberikan ukuran terhadap kuantitas dan kualitas masa kerja yang
mentukan tingkat penghargaan (upah) buruh.
B. Saran
Keberhasilan suatu kebijakan terletak pada komitmen pemangku
kepentingan, untuk itu perlu terbentuk suatu komitmen tunggal, yaitu
penyelenggaraan hak perolehan pekerja dan kehidupan layak dalam sistem
ketenagakerjaan nasional dengan keyakinan akan memberikan manfaat
secara nyata bagi seluruh masyarakat Indonesia.
22
Daftar Pustaka
Koestoer, Raldi H 2013 Arah Kebijakan Ketenagakerjaan Indonesia 2014-2019
Menuju Konsep Pembangunan Green Economy. Disampaikan pada Diskusi
Penyusunan Arah Kebijakan Bidang Ketenagakerjaan 2014-2019. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Ketenagakerjaan. Jakarta
Libertus Jehani SH,. MH. Hak-hak Karyawan. Forum sahabat. Niaga swadaya.
April 2008. Cetakan kedua
Naskah akademik kajian akademis draft peraturan daerah ketenagakerjaan versi
serikat pekerja /serikat buruh dan uu nomor 13 tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan