HUBUNGAN ANTARA PENGUASAAN KOSAKATA …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 0,000 positif...
-
Upload
hoangquynh -
Category
Documents
-
view
226 -
download
0
Transcript of HUBUNGAN ANTARA PENGUASAAN KOSAKATA …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 0,000 positif...
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
i
HUBUNGAN ANTARA PENGUASAAN KOSAKATA DAN MINAT BELAJAR DENGAN KEMAMPUAN BERBICARA
BAHASA JAWA SISWA KELAS X SMA NEGERI SE-KABUPATEN CILACAP
TESIS
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Pendidikan Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Minat Utama Pendidikan
Bahasa Dan Sastra Jawa
Oleh
Ageng Nugraheni
S441008001
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmatNya
tesis dengan judul Hubungan antara Penguasaan Kosakata dan Minat Belajar
dengan Kemampuan Berbicara Bahasa Jawa Siswa Kelas X SMA Negeri se-
Kabupaten Cilacap dapat terselesaikan dengan baik.
Pada kesempatan ini, penyusun ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. Ravik Karsidi, M. S., selaku rektor Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
2. Prof. Dr. Ahmad Yunus, M. S. selaku direktur Program Pascasarjana.
3. Prof. Dr. H. J. Waluyo, M. Pd selaku Ketua Program studi Pendidikan Bahasa
Indonesia Pascasarjana Univerisitas Sebelas Maret Surakarta.
4. Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M. Pd selaku Sekretaris Program Studi Pendidikan
Bahasa Indonesia Pascasarjana Univerisitas Sebelas Maret Surakarta.
5. Prof. Dr. H. Sumarlam, M. S selaku Koordinator Minat Utama Pendidikan
Bahasa dan Sastra Jawa Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
6. Prof. Dr. ST. Y. Slamet, M. Pd selaku Pembimbing I yang telah memberikan
banyak bimbingan.
7. Drs. Supardjo, M. Hum selaku Pembimbing II yang telah memberikan
petunjuk dan pengarahan.
8. Ibu, Bapak, mas, mbak, dan adik-adik yang telah memberikan perhatian,
kepercayaan, semangat, dan doa.
9. Teman-teman S2 Minat Utama Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa
Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan semangat.
Tesis ini masih jauh dari sempurna, namun demikian diharapkan tetap
bermanfaat dan memberikan sumbangan bagi ilmu pengetahuan.
Surakarta, Januari 2012
Penyusun
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
Motto
Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, agar
kamu BERSYUKUR (Q. S An-Nahl: 78)
Jujurlah dari sekarang jika ingin bisa jujur selamanya. Karena satu kebohongan akan disusul kebohongan lain untuk menutupinya.
(penulis)
Jalani saja apa yang harus dijalani sekarang, karena pada saatnya nanti kamu akan tahu semua yang harus kamu jalani itu hanya untuk kemajuanmu di masa depan.
(penulis)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
Persembahan
Ibu dan Bapakku tercinta, terimakasih tiada henti atas doa, kepercayaan, dan perhatian yang tak terhitung.
Mas Nandang, mbak Ani, tante Wiwik, hom Bagus, mas Usup, dan dedek Andra terkasih, terimakasih atas doa, dukungan, dan cinta kalian untukku.
Simbokku tersayang, terimakasih atas cita-citamu.
Keluarga dan teman-temanku, terimakasih untuk kasih sayang yang telah diberikan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
ABSTRAK
AGENG NUGRAHENI, NIM: S. 441008001, 2012. HUBUNGAN ANTARA PENGUASAAN KOSAKATA DAN MINAT BELAJAR DENGAN KEMAMPUAN BERBICARA BAHASA JAWA SISWA KELAS X SMA NEGERI SE – KABUPATEN CILACAP. Komisi Pembimbing I: Prof. Dr. ST. Y. Slamet, M. Pd. Pembimbing II: Drs. Supardjo, M. Hum. Tesis. Program Studi: Pendidikan Bahasa Indonesia, Minat Utama: Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa, Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) Hubungan antara penguasaan kosakata dengan kemampuan berbicara bahasa Jawa siswa kelas X SMA Negeri se-Kabupaten Cilacap; (2) Hubungan antara minat belajar dengan dengan kemampuan berbicara bahasa Jawa siswa kelas X SMA Negeri se-Kabupaten Cilacap; (3) Hubungan antara penguasaan kosakata dan minat belajar secara bersama-sama dengan kemampuan berbicara bahasa Jawa siswa kelas X SMA Negeri se-Kabupaten Cilacap.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode survei korelasional. Populasi penelitian ialah seluruh siswa kelas X SMA Negeri se-Kabupaten Cilacap. Sampel diambil dengan teknik multi-stage random sampling sejumlah 169 siswa. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan teknik tes dan angket. Uji validitas instrumen menggunakan rumus product moment Pearson. Uji reliabilitas instrumen menggunakan rumus alpha Cronbach. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis statistik dengan teknik korelasi sederhana dan regresi ganda.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan: 1) Terdapat hubungan positif yang signifikan antara penguasaan kosakata dengan kemampuan berbicara bahasa Jawa siswa kelas X SMA Negeri se-Kabupaten Cilacap (r = 0,327 dan p = 0,000; p < 0,05). 2) Terdapat hubungan positif yang signifikan antara minat belajar dengan kemampuan berbicara bahasa Jawa siswa kelas X SMA Negeri se-Kabupaten Cilacap (r = 0,304 dan p = 0,000; p < 0,05). 2) Terdapat hubungan positif yang signifikan antara penguasaan kosakata dan minat belajar secara bersama-sama dengan kemampuan berbicara bahasa Jawa siswa kelas X SMA Negeri se-Kabupaten Cilacap (r = 0,447 dan p = 0,000; p < 0,05).
Berdasarkan hasil penelitian dan simpulan, saran yang dapat diberikan adalah: (1) Sekolah hendaknya memberikan dukungan penuh bagi terbentuknya lingkungan belajar yang efektif di sekolah dengan meyediakan sarana bagi guru dan siswa untuk dapat meningkatkan penguasaan kosakata siswa; (2) Guru hendaknya memahami bahwa siswa memiliki latar belakang minat belajar yang berbeda, sehingga guru hendaknya memiliki trik untuk dapat meningkatkan minat siswa dalam belajar. Kata kunci: Bahasa Jawa, Kemampuan Berbicara, Penguasaan Kosakata, Minat
Belajar
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
ABSTRACT
AGENG NUGRAHENI, S441008001. A CORRELATIONAL STUDY BETWEEN VOCABULARY MASTERY, LEARNING INTEREST, AND SPEAKING JAVANESE ABILITY OF THE TENTH GRADE STUDENTS OF SMA NEGERI IN CILACAP REGENCY. The first commission of supervision: Prof. Dr. ST. Y. Slamet, M. Pd. The second supervision is Drs. Supardjo, M. Hum. A thesis, Department: Indonesian Education, Prime Interest: Javanese Education and Literature, Graduate School of Sebelas Maret University, 2012.
The aims of this thesis are : (1) to know the correlation between vocabulary mastery and speaking Javanese ability of the tenth grade students of SMA Negeri in Cilacap Regency. (2) to know the correlation between learning interest and speaking Javanese ability of the tenth grade students of SMA Negeri in Cilacap Regency. (3) to know the correlation between vocabulary mastery, learning interest, and speaking Javanese ability of the tenth grade students of SMA Negeri in Cilacap Regency.
The method used in this research was the correlational survey. The population of this research was the tenth grade students of SMA Negeri in Cilacap Regency. The sample of this research was taken by using multi-stage random sampling at 169 students. The techniques of collecting data were test and questionnaire. The test of validity of the instrument used product moment Pearson and the test of reliability used alpha cronbach. The technique of analyzing data were statistic analysis of simple correlation and double regression.
Based on the result of this research, it can be concluded that: 1) There was a significant positive correlation between vocabulary mastery and speaking Javanese ability of the tenth grade students of SMA Negeri in Cilacap Regency (r= 0.327 and p = 0.000; p <0.05). 2) There was a significant positive correlation between learning interest and speaking Javanese ability of the tenth grade students of SMA Negeri in Cilacap Regency (r = 0.304 and p = 0.000; p <0.05). 3) There was a significant positive correlation between vocabulary mastery, learning interest, and speaking Javanese ability of the tenth grade students of SMA Negeri in Cilacap Regency (r = 0.447 and p = 0.000; p < 0.05).
Based on the result and the conclusion, the writer suggests that: (1) The school should fully support the effective learning/ studying atmosphere by providing the teachers and the students with devices improving the students vocabulary mastery; (2) Teachers should understand the students’ different background of learning interest, so that they should provide the students with various teaching strategies to improve the students’ learning interest.
Key Words: Javanese, Speaking Ability, Vocabulary Mastery, Learning Interest
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
SARIPATHI
AGENG NUGRAHENI, NIM: S. 441008001, 2012. HUBUNGAN ANTARA PENGUASAAN KOSAKATA DAN MINAT BELAJAR DENGAN KEMAMPUAN BERBICARA BAHASA JAWA SISWA KELAS X SMA NEGERI SE – KABUPATEN CILACAP. Komisi Pembimbing I: Prof. Dr. ST. Y. Slamet, M. Pd. Pembimbing II: Drs. Supardjo, M. Hum. Tesis. Program Studi: Pendidikan Bahasa Indonesia, Minat Utama: Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa, Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Ingkang dados tujuwan panalitèn inggih mênika kangge mangêrtosi (1) sêsambêtan antawisipun penguasaan kosakata kaliyan kawasisan micara basa Jawi tumrapipun siswa kêlas X SMA Negri sa-Kabupatèn Cilacap; (2) sêsambêtan antawisipun minat belajar kaliyan kawasisan micara basa Jawi tumrapipun siswa kêlas X SMA Negri sa-Kabupatèn Cilacap; (3) sêsambêtan antawisipun penguasaan kosakata, minat belajar, kaliyan kawasisan micara basa Jawi tumrapipun siswa kêlas X SMA Negri sa-Kabupatèn Cilacap.
Panalitèn mênika ngginakakên metode survei korelasional. Ingkang dados populasi panalitèn inggih mênika siswa kêlas X SMA Negri sa-Kabupatèn Cilacap. Sampel dipunpundhut sarana teknik multi-stage random sampling cacahipun 169 siswa. Cara anggènipun ngempalakên data ngginakakên tès lan angket. Tes validitas instrumen ngginakakên rumus product moment Pearson. Tès reliabilitas instrumen ngginakakên rumus alpha cronbach. Analisis data ing panalitèn mênika kanthi cara analisis statistik sarana teknik korelasi sederhana lan regresi ganda.
Adhêdhasar asiling panalitèn sagêd dipundudut: 1) wontên sêsambêtan positif ingkang signifikan antawisipun penguasaan kosakata kaliyan kawasisan micara basa Jawi siswa kêlas X SMA Negri sa-Kabupatèn Cilacap (r= 0,327 lan p= 0,000; p < 0,05). 2) wontên sêsambêtan positif ingkang signifikan antawisipun minat belajar kaliyan kawasisan micara basa Jawi siswa kêlas X SMA Negri sa-Kabupatèn Cilacap (r= 0,304 lan p= 0,000; p < 0,05). 3) wontên sêsambêtan positif ingkang signifikan antawisipun penguasaan kosakata, minat belajar, kaliyan kawasisan micara basa Jawi siswa kêlas X SMA Negri sa-Kabupatèn Cilacap (r= 0,447 lan p= 0,000; p < 0,05).
Pamrayogi ingkang sagêd dipunaturakên adhêdasar asiling panalitèn inggih mênika: (1) prayoginipun pawiyatan nyawisakên saha njangkêpi pirantos-pirantos ingkang sagêd dipun-ginakakên dwija lan siswa kangge ngindhakakên penguasaan kosakata tumrap siswa satêmah sagêd ngindhakakên kawasisan micara basa Jawi siswa; (2) prayoginipun dwija mangêrtosi bilih siswa gadhah minat belajar ingkang mbotên sami, satêmah dwija kêdah kagungan cara kangge ngindhakakên minat belajar tumrap siswa.
Têmbung wos : basa Jawi, penguasaan kosakata, minat belajar, kawasisan micara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
DAFTAR ISI
JUDUL .......................................................................................... i
PERSETUJUAN .................................................................................. ii
PENGESAHAN ................................................................................... iii
PERNYATAAN .................................................................................. iv
KATA PENGANTAR ......................................................................... v
MOTTO .......................................................................................... vi
PERSEMBAHAN ................................................................................ vii
ABSTRAK .......................................................................................... viii
ABSTRACT ........................................................................................ ix
SARIPATHI ........................................................................................ x
DAFTAR ISI ....................................................................................... xi
DAFTAR TABEL ............................................................................... xiii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................ xv
BAB I PENDAHULUAN .................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah .......................................... 1
B. Identifikasi Masalah ................................................ 9
C. Pembatasan Masalah ............................................... 10
D. Rumusan Masalah ................................................... 11
E. Tujuan Penelitian .................................................... 11
F. Manfaat Penelitian .................................................. 12
BAB II LANDASAN TEORETIS........................................................ 13
A. Kajian Teori
1. Hakikat Kemampuan Berbicara ......................... 13
2. Hakikat Kemampuan Berbicara Bahasa Jawa .... 33
3. Hakikat Penguasaan Kosakata .......................... 36
4. Hakikat Minat Belajar ....................................... 41
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
B. Penelitian yang Relevan .......................................... 47
C. Kerangka Berpikir ................................................... 49
D. Pengajuan Hipotesis ................................................ 52
BAB III METODOLOGI PENELITIAN.............................................. 53
A. Tempat dan Waktu Penelitian.................................. 53
B. Populasi, Sampel, dan Teknik Penarikan Sampel..... 54
C. Metode Penelitian ................................................... 55
D. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ......... 58
E. Teknik Pengumpulan Data ...................................... 59
F. Validitas dan Reliabilitas Instrumen ........................ 69
G. Uji Prasyarat Analisis .............................................. 77
H. Teknik Analisis Data ............................................... 80
I. Hipotesis Statistik ................................................... 80
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ....................... 82
A. Deskripsi Data ........................................................ 82
B. Pengujian Prasyarat Analisis .................................. 87
C. Pengujian Hipotesis ................................................ 90
D. Sumbangan Relatif ................................................. 94
E. Pembahasan Dan Analisis Data .............................. 96
BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN .............................. 100
A. Simpulan ................................................................ 100
B. Implikasi ................................................................ 100
C. Saran ...................................................................... 101
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................... 103
LAMPIRAN
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
DAFTAR TABEL
1. Tabel 1. Jadwal Penelitian ........................................................ 51
2. Tabel 2. Output Reliabilitas Instrumen Penguasaan Kosakata ... 74
3. Tabel 3. Output Reliabilitas Instrumen Minat Belajar ............... 74
4. Tabel 4. Rekap Hasil Uji Normalitas ........................................ 76
5. Tabel 5. Rekap Hasil Uji Linieritas ........................................... 77
6. Tabel 6. Deskripsi Data Kemampuan Berbicara Bahasa Jawa ... 81
7. Tabel 7. Distribusi Frekuensi Data Kemampuan Berbicara BJ .. 82
8. Tabel 8. Deskripsi Data Penguasaan Kosakata .......................... 83
9. Tabel 9. Distribusi Frekuensi Data Penguasaan Kosakata ......... 83
10. Tabel 10. Deskripsi Data Minat Belajar .................................... 84
11. Tabel 11. Distribusi Frekuensi Data Minat Belajar ................... 85
12. Table 12. Hasil Uji Normalitas ................................................. 87
13. Table 13. Rangkuman Hasil Uji Normalitas .............................. 87
14. Table 14. Hasil Uji Linieritas X1 dan Y .................................... 88
15. Table 15. Hasil Uji Linieritas X2 dan Y .................................... 88
16. Table 16. Rangkuman Hasil Uji Linieritas ................................ 89
17. Table 17. Hasil Uji Korelasi antara X1 dan Y ............................ 90
18. Table 18. Hasil Uji Korelasi antara X2 dan Y ............................ 91
19. Table 19. Hasil Uji Korelasi antara X1 dan X2 dengan Y ........... 92
20. Table 20. Hasil Uji Korelasi Signifikansi Korelasi antara X1 dan X2
dengan Y .................................................................................. 92
21. Table 21. Hasil Perhitungan Regresi Ganda antara X1 dan X2
dengan Y .................................................................................. 93
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
DAFTAR GAMBAR
1. Gambar 1. Alur Peristiwa Bahasa ............................................. 14
2. Gambar 2. Model alur Pemikiran .............................................. 48
3. Gambar 3. Model Hubungan Antarvariabel .............................. 54
4. Gambar 4. Histogram Data Kemampuan Berbicara BJ.............. 82
5. Gambar 5. Histogram Data Penguasaan Kosakata ..................... 84
6. Gambar 6. Histogram Data Minat Belajar ................................. 85
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
1. Lampiran 1. Kisi-kisi Instrumen ............................................... 107
2. Lampiran 2. Soal-soal Instrumen .............................................. 111
3. Lampiran 3. Data Hasil Uji Coba Instrumen ............................. 133
4. Lampiran 4. Data Penelitian ..................................................... 152
5. Lampiran 5. Surat-surat Penelitian ............................................ 194
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pengajaran bahasa daerah di Indonesia mengalami pasang surut seiring
dengan kebijakan Pemerintah. Pengajaran bahasa Jawa, dari berbagai
dokumen yang ada, telah berlangsung sejak sebelum kemerdekaan sampai
sekarang. Pada era sebelum kemerdekaan, bahasa Jawa dijadikan bahasa
pengantar pendidikan dan sebagai mata pelajaran. Setelah kemerdekaan RI 17
Agustus 1945 bahasa pengantar pendidikan adalah bahasa Indonesia, dan
bahasa Jawa dapat dijadikan bahasa pengantar di sekolah dasar pada kelas
permulaan. Sebagai mata pelajaran, bahasa Jawa diajarkan di SD dan SLTP.
Sejak awal, bahasa Jawa memang baru menjadi mata pelajaran di SD dan
SLTP. Di tingkat menengah, bahasa Jawa menjadi mata pelajaran di Sekolah
Pendidikan Guru dan SMA jurusan bahasa. Di Perguruan Tinggi, bahasa Jawa
berdiri sendiri sebagai program studi dan mata kuliah mandiri pada jurusan
terkait (Sutrisna Wibawa, 2011: 3).
Kebijakan yang berkaitan dengan dimasukkannya program muatan
lokal dalam Standar Isi dilandasi kenyataan bahwa di Indonesia terdapat
beranekaragam kebudayaan. Sekolah tempat program pendidikan
dilaksanakan merupakan bagian dari masyarakat. Oleh karena itu, program
pendidikan di sekolah perlu memberikan wawasan yang luas pada peserta
didik tentang kekhususan yang ada di lingkungannya (Depdiknas, 2006: 1).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
Harapan masyarakat terhadap pembelajaran bahasa Jawa adalah agar
pelajaran bahasa Jawa dapat lebih mengangkat nilai adiluhung yang ada dalam
tata kehidupan Jawa seperti toleransi, kasih sayang, gotong royong, andhap
asor, kemanusiaan, nilai hormat, tahu berterima kasih, dan lainnya (Sutrisna
Wibawa, 2011: 4-5).
Pada era globalisasi yang ditengarai dengan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, dunia terasa tanpa sekat dan semakin dekat.
Dalam kondisi seperti ini, keadaan bahasa dan sastra Jawa seperti terjepit,
terhimpit oleh kegemerlapan kebudayaan manca. Kontak multibahasa dalam
suatu masyarakat tutur di era ini bukan merupakan hal yang ajaib, melainkan
suatu peristiwa yang sangat lumrah terjadi. Pada perkembangan terakhir dapat
dikatakan bahwa setiap orang telah berdwilingual bahkan bermultilingual.
Seseorang dalam berkomunikasi tidak segan lagi mencampurkan struktur
bahasa tertentu ke dalam struktur bahasa utama yang sedang digunakan
sebagai alat kontak sosial, dan sering juga mereka beralih kode ke kode lain
yang diperlukan (Sumarlam, 2011: 2).
Adanya kecenderungan di kalangan generasi muda Jawa tidak berani
atau tidak suka berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Jawa karena takut
berbuat salah. Menyadari betapa sulitnya kaidah dan unggah-ungguh bahasa
Jawa, mereka tidak berani menggunakannya karena takut dianggap tidak
punya tata krama, tata susila, sopan santun, subasita dan unggah-ungguh
(Sumarlam, 2011: 2).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
Unggah-ungguh basa atau undha usuk basa yang lazim pula disebut
sebagai tingkat tutur bahasa merupakan suatu kekayaan budaya yang dimiliki
oleh beberapa suku di Indonesia, terutama dimiliki oleh suku Jawa, Sunda,
dan Bali. Sampai saat ini unggah-ungguh bahasa Jawa masih digunakan oleh
sebagaian besar penutur berbahasa Jawa (Sry Satriya Tjatur Wisnu Sasangka,
2007:1).
Dalam bahasa Jawa, terdapat ragam-ragam bahasa seperti ragam
formal, ragam informal, dan ragam indah. Antara ragam yang satu dengan
ragam yang lain terdapat perbedaan bentuk yang cukup jelas, lebih jelas
daripada perbedaan bentuk yang umumnya ada pada bahasa Indo-Eropa
(Soepomo Poedjasoedarma, 1979: 3).
Pada bahasa Jawa, antara ragam formal dan informal terdapat
perbedaan yang sangat menyolok, yang bagi orang luar perbedaan itu mungkin
dapat menyebabkan mereka berpikir bahwa kedua-duanya adalah bahasa yang
berlainan. Di samping itu, bahasa Jawa juga memiliki tingkat tutur (undha
usuk) yang kompleks. Soepomo Poedjasoedarma (1979: 3) menyatakan bahwa
tingkat tutur ialah variasi-variasi bahasa yang perbedaan antara satu dan
lainnya ditentukan oleh perbedaan sikap santun yang ada pada diri pembicara
(O1) terhadap lawan bicara (O2).
Umumnya bahasa memiliki cara-cara tertentu untuk menunjukkan
sikap hubungan O1 yang berbeda berhubung adanya tingkat sosial O2 yang
berbeda. Ada golongan masyarakat tertentu yang perlu dihormati dan ada
golongan masyarakat lain yang dapat dihadapi secara biasa. Faktor yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
menyebabkan perbedaan tingkat sosial itu berbeda-beda dari masyarakat yang
satu ke masyarakat yang lain, ada yang karena perbedaan kondisi tubuh,
kekuatan ekonomi, kekuasaan politis, aluran kekerabatan, perbedaan usia,
jenis kelamin, kekuatan magis, kekhususan kondisi psikis, dan sebagainya.
Adanya perbedaan rasa hormat dan takut yang tertuju kepada tipe orang yang
berbeda-beda ini sering tercermin pada bahasa yang dipakai masyarakat itu
(Soepomo Poedjasoedarma, 1979: 6).
Masyarakat Jawa beberapa tahun terakhir mulai khawatir terhadap
keberadaan undha usuk tersebut. Kekhawatiran tersebut disebabkan oleh
adanya kenyataan yang menunjukkan bahwa generasi muda saat ini mulai
tidak menguasai unggah-ungguh bahasa Jawa secara baik.
Sebenarnya, unggah-ungguh bahasa Jawa dalam setiap kesempatan
selalu menjadi topik pembicaraan yang sangat hangat dan menarik, baik dalam
kalangan akademik maupun dalam seminar-seminar di luar akademik (Sry
Satriya Tjatur Wisnu Sasangka, 2007:2). Akan tetapi, karena hasil seminar itu
tidak disosialisasikan atau dimasyarakatkan, kesalahan-kesalahan yang kerap
dilakukan generasi muda seperti penggunaan ragam krama untuk dirinya
dibiarkan berlarut-larut dan tidak ada penanganan yang sungguh-sungguh
untuk mengatasi masalah tersebut.
Kunci utama menguasai unggah-ungguh bahasa Jawa secara benar,
sebenarnya terletak pada kemampuan memilih dan memilah kata-kata bahasa
Jawa secara cermat. Jika hal itu tidak dikuasai, kalimat yang disusun pun pasti
menjadi tidak benar (Sry Satriya Tjatur Wisnu Sasangka, 2007:4).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
Di sisi lain Muhadjir dan A. Latief (1995: 47) mengemukakan bahwa
secara umum unsur-unsur keefektifan berbicara dapat dibedakan menjadi dua
macam, yaitu (1) unsur keefektifan berbicara yang dikaitkan dengan
penggunaan bahasa oleh pembicara, dan (2) unsur keefektifan berbicara yang
dikaitkan dengan penampilan berbicara di luar unsur kebahasaan. Unsur
pertama disebut unsur kebahasaan, dan unsur kedua disebut unsur
nonkebahsaan.
Unsur kebahasaan adalah hal-hal yang berhubungan dengan bahasa
yang digunakan oleh pembicara ketika melangsungkan komunikasi lisan atau
pembicaraan. Unsur-unsur tersebut meliputi (1) ketepatan pengucapan bunyi
bahasa, (2) penempatan tekanan, nada, dan lagu kalimat yang sesuai, (3)
pemilihan kata dan ungkapan yang baik, konkret, dan bervariasi, dan (4)
ketepatan susunan penuturan.
Unsur nonkebahasaan adalah hal-hal yang ada kaitannya dengan
penampilan pembicara, entah itu sikap, pandangan mata, gerak-gerik anggota
badan, raut muka maupun perilaku lain yang terlihat pada saat pembicara itu
berbicara. Unsur-unsur tersebut meliputi (1) sikap yang wajar, tenang dan
tidak kaku, (2) pandangan (arah tatapan mata) yang ditujukan kepada lawan
bicara secara merata (menyeluruh), (3) bersikap terbuka, ada rasa kesediaan
menghargai pendapat orang lain, (4) dukungan gerak-gerik dan mimik yang
tepat, (5) penyampaian dengan suara yang jelas dan nyaring.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan dengan guru Bahasa
Jawa, siswa mengalami kesulitan dalam menerapkan unggah-ungguh bahasa
Jawa terutama dalam berbicara. Penguasaan kosakata dan minat belajar yang
rendah terhadap bahasa Jawa diduga menjadi rintangannya.
Kesulitan yang dialami siswa tersebut juga dialami oleh mahasiswa
dari Asia yang belajar di luar negeri. Chou Yen-Lin dalam The Internet TESL
Journal, Vol. X, No. 9, September 2004 mengemukakan bahwa mahasiswa
dari Asia yang belajar di luar negeri mengalami kesulitan dalam berbicara
secara fasih dan tepat. Mereka kesulitan dalam berinteraksi dengan mahasiswa
lain yang berasal dari Amerika Serikat dan dengan pengajar-pengajarnya. Hal
itu menyebabkan mereka lebih pasif jika berada di kelas, atau malah mereka
menanyakan hal yang tidak mereka ketahui isi dari pertanyaan yang mereka
lontarkan. Permasalahan rendahnya kemampuan berbicara tersebut menurut
Chou Yen-Lin dapat diminimalisir dengan digunakannnya strategi sosioafektif
di kelas oleh pengajar secara kontinyu.
Dalam kurikulum muatan lokal mata pelajaran bahasa, sastra, dan
budaya Jawa, dijelaskan bahwa standar kompetensi mata pelajaran bahasa,
sastra, dan budaya Jawa terdiri atas kompetensi berbahasa dan bersastra dalam
kerangka budaya Jawa. Kompetensi berbahasa dan bersastra diarahkan agar
siswa terampil berkomunikasi, baik secara lisan maupun tulis. Keterampilan
berkomunikasi di sini diperkaya oleh fungsi utama sastra dan budaya Jawa
berupa penanaman budi pekerti, peningkatan rasa kemanusiaan dan
kepedulian sosial, penumbuhan apresiasi sastra dan budaya Jawa, serta sebagai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
sarana pengungkapan gagasan, imajinasi, dan ekspresi kreatif, baik lisan
maupun tulis. Keterampilan berkomunikasi dalam bahasa Jawa didukung oleh
kemampuan memahami dan menggunakan bahasa Jawa sesuai dengan
unggah-ungguh basa (Sutrisna Wibawa, 2011: 9).
Kompetensi berbahasa dan bersastra terbagi dalam empat aspek
keterampilan berbahasa, yaitu (a) menyimak, (b) berbicara, (c) membaca, dan
(d) menulis. Dalam pelaksanaan pembelajaran, empat aspek kompetensi
berbahasa dan bersastra ini tidak terpisah satu dengan lainnya, melainkan
dilaksanakan secara terpadu. Pemilahan empat aspek hanya untuk
menunjukkan dalam setiap aspek apa yang harus dikembangkan (Sutrisna
Wibawa, 2011: 4-5).
Dalam kegiatan berbicara diperlukan penguasaan terhadap lambang
bunyi baik untuk keperluan menyampaikan maupun menerima gagasan.
Lambang yang berupa tanda-tanda visual seperti yang dibutuhkan dalam
kegiatan membaca dan menulis tidak diperlukan. Itulah sebabnya orang yang
buta huruf pun dapat melakukan aktivitas berbicara secara baik, misalnya para
penutur asli. Penutur yang demikian mungkin bahkan tidak menyadari
kompetensi kebahasaannya, tidak “mengerti” sistem bahasanya sendiri.
Kenyataan tersebut sekali lagi membuktikan bahwa penguasaan bahasa lisan
lebih fungsional dalam kehidupan sehari-hari (Burhan Nurgiyantoro, 2010:
399). Hal ini sekaligus menjadi alasan pemilihan kompetensi berbicara
sebagai salah satu variabel dalam tulisan ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
Menurut Asep Jolly (2004: 1) berbicara adalah salah satu aspek
keterampilan berbahasa. Berbicara sebagai suatu proses komunikasi, proses
perubahan wujud pikiran atau perasaan menjadi wujud ujaran atau bunyi
bahasa yang bermakna, yang disampaikan kepada orang lain. Berbicara
merupakan suatu peristiwa penyampaian maksud (ide, pikiran, perasaan)
seseorang kepada orang lain. Keterampilan berbicara, sifatnya produktif,
menghasilkan, memberi dan menyampaikan. Berbicara bukan hanya cepat
mengeluarkan kata-kata dari alat ucap, tetapi utamanya adalah menyampaikan
pokok-pokok pikiran secara teratur, dalam berbagai ragam bahasa sesuai
dengan fungsi komunikasi.
Penguasaan kosakata sangat bertalian erat dengan kegiatan
keterampilan berbahasa. Dalam hal ini, Henry Guntur Tarigan (1993: 2)
mengemukakan bahwa kualitas keterampilan berbahasa seseorang jelas
bergantung pada kuantitas dan kualitas kosakata yang dimilikinya. Semakin
kaya kosakata yang dimiliki maka semakin besar pula kemungkinan terampil
berbahasa. Dari pemikiran ini pada hakikatnya dapat dikatakan bahwa
kemampuan berbicara seseorang sangat ditopang oleh kekayaan kosakata yang
diketahui dan dikuasainya. Seseorang yang memiliki pemahaman dan
penguasaan yang memadai tentang kosakata yang digunakan dalam suatu teks
tertulis atau lisan, maka berkecenderungan orang tersebut akan dengan mudah
memahami atau menggunakan kosakata tersebut dalam berkomunikasi, baik
secara reseptif (menyimak, membaca) maupun secara produktif (berbicara,
menulis).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
Kurt singer (1987: 78) mengemukakan bahwa minat adalah suatu
landasan yang paling meyakinkan demi keberhasilan suatu proses belajar. Jika
seorang murid memiliki rasa ingin belajar, ia akan cepat dapat mengerti dan
mengingatnya. Belajar akan merupakan suatu siksaan dan tidak akan memberi
manfaat jika tidak disertai sifat terbuka bagi bahan-bahan pelajaran.
Minat siswa SMA khususnya kelas X terhadap bahasa Jawa sangat
rendah berdasarkan wawancara yang telah dilakukan, baik dengan guru bahasa
Jawa maupun dengan siswa itu sendiri. Bahasa Jawa dirasa sangat sulit bagi
siswa terutama menyangkut unggah-ungguh yang harus mereka kuasai jika
ingin dianggap memiliki sopan santun. Hal tersebut membuat minat mereka
untuk mempelajari bahasa Jawa semakin rendah. Sebenarnya diharapkan
dengan meningkatnya minat siswa terhadap bahasa Jawa, kemampuan
berbicara mereka juga akan semakin baik.
Dari uraian tersebut di atas didapatkan perincian bahwa ada hubungan
positif antara penguasaan kosakata dan minat belajar dengan kemampuan
berbicara. Dengan kata lain, penguasaan kosakata ditambah minat belajar yang
tinggi, akan meningkatkan kemampuan berbicara siswa. Untuk itu perlu
penelitian untuk membuktikan bahwa penguasaan kosakata dan minat belajar
yang tinggi, kemampuan berbicara siswa juga akan meningkat.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, dapat
diidentifikasi beberapa permasalahan berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
1. Generasi muda sering melakukan kesalahan dalam menerapkan
tingkat tutur bahasa Jawa, misalnya dengan menggunakan ragam
krama untuk dirinya.
2. Era globalisasi membuat generasi muda lebih memilih bahasa yang
dianggap “gaul” dan lebih mudah digunakan untuk berkomunikasi
dengan siapapun tanpa harus memperhatikan adanya tingkatan-
tingkatan seperti dalam bahasa Jawa.
3. Generasi muda kurang bisa memilih dan memilah kata-kata bahasa
Jawa secara cermat.
4. Minat generasi muda menggunakan bahasa Jawa sesuai dengan
unggah-ungguh sangat kurang karena bahasa Jawa dianggap sangat
sulit.
5. Kosakata bahasa Jawa yang sangat beragam membuat generasi
muda sangat kesulitan menerapkannya dalam berkomunikasi
dengan bahasa Jawa.
6. Berbicara bahasa Jawa sesuai unggah-ungguh dirasa sangat sulit
bagi generasi muda dan menimbulkan rasa takut melakukan
kesalahan jika tetap menggunakannya dalam berkomunikasi
dengan orang yang lebih dihormatinya.
C. Pembatasan Masalah
Agar pembahasan dalam penelitian ini dapat lebih mendalam dank
arena keterbatasan peneliti, maka masalah yang akan dibahas terbatas pada:
1. Penguasaan kosakata dan kemampuan berbicara bahasa Jawa;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
2. Minat belajar dan kemampuan berbicara bahasa Jawa;
3. Penguasaan kosakata dan minat belajar secara bersama dalam
kaitannya dengan kemampuan berbicara bahasa Jawa.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah yang ada dapat dirumuskan masalah
sebagai berikut.
1. Adakah hubungan antara penguasaan kosakata dengan
kemampuan berbicara bahasa Jawa pada siswa kelas X SMA
Negeri se-Kabupaten Cilacap?
2. Adakah hubungan antara minat belajar dengan kemampuan
berbicara bahasa Jawa pada siswa kelas X SMA Negeri se-
Kabupaten Cilacap?
3. Adakah hubungan antara penguasaan kosakata dan minat
belajar secara bersama-sama dengan kemampuan berbicara
bahasa Jawa pada siswa kelas X SMA Negeri se-Kabupaten
Cilacap?
E. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui:
1. Hubungan antara penguasaan kosakata dengan kemampuan
berbicara bahasa Jawa pada siswa kelas X SMA Negeri se-
Kabupaten Cilacap.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
2. Hubungan antara minat belajar dengan kemampuan berbicara
bahasa Jawa pada siswa kelas X SMA Negeri se-Kabupaten
Cilacap.
3. Hubungan antara penguasaan kosakata dan minat belajar secara
bersama-sama dengan kemampuan berbicara bahasa Jawa pada
siswa kelas X SMA Negeri se-Kabupaten Cilacap.
F. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis dan
praktis.
1. Manfaat teoretis
Hasil penelitian ini dimanfaatkan untuk memperkaya
khasanah teori pembelajaran yang berkaitan dengan kemampuan
berbicara bahasa Jawa. Hasil penelitian ini juga memperkaya
khasanah ilmu khususnya dalam bidang pengajaran.
2. Manfaat praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
manfaatnya khususnya bagi siswa, guru, dan peneliti lain. Bagi
guru dan siswa hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai
acuan untuk meningkatkan kemampuan berbicara bahasa Jawa.
Bagi peneliti yang lain, penelitian ini dapat memberikan
manfaat sebagai masukan atau referensi untuk melakukan
penelitian yang lebih luas dan mendalam di masa mendatang.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
BAB II
LANDASAN TEORETIS
A. Kajian Teori
1. Hakikat Kemampuan Berbicara
Kompetensi berbahasa yang bersifat aktif produktif merupakan
kemampuan yang menuntut kegiatan encoding, kegiatan untuk menyampaikan
bahasa kepada pihak lain, baik secara lisan maupun tertulis. Kegiatan
berbahasa yang produktif adalah kegiatan menyampaikan gagasan, pikiran,
perasaan, pesan atau informasi oleh pihak penutur. Penutur dapat bernama
pembicara jika aktivitas menghasilkan bahasa itu melalui kegiatan berbicara,
dan dapat bernama penulis jika aktivitas menghasilkan bahasanya itu
disampaikan melalui sarana tulisan (Burhan Nurgiyantoro, 2010: 397). Burhan
Nurgiyantoro menggolongkan kegiatan mempergunakan bahasa menjadi dua,
yaitu berbicara dan menulis. Kegiatan berbicara dan menulis, walaupun sama-
sama bersifat produktif, mempunyai perbedaan.
Perbedaan antara berbicara dan menulis, selain terletak pada sarana
yang digunakan, lisan dan tertulis, kegiatan berbicara pada umumnya
merupakan aktivitas memberi dan menerima bahasa, menyampaikan gagasan
dan pesan kepada lawan bicara dan pada waktu yang hampir bersamaan
pembicara akan menerima gagasan dan pesan yang disampaikan oleh lawan
bicaranya tersebut. Dalam kegiatan berbicara biasanya terjadi komunikasi
timbal balik dalam atu kesatuan waktu, hal yang tidak terjadi pada kegiatan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
menulis. Dalam kegiatan menulis, penulis secara sepihak menyampaikan
gagasan dan pesannya yang tidak dapat secara langsung diterima dan direaksi
oleh pihak pembaca yang dituju (Burhan Nurgiyantoro, 2010: 397).
Berbicara adalah aktivitas berbahasa kedua yang dilakukan dalam
kehidupan bahasa setelah mendengarkan. Berdasarkan bunyi-bunyi (bahasa)
yang didengarnya itulah kemudian manusia belajar mengucapkan dan
akhirnya mampu untuk berbicara. Untuk dapat berbicara dalam suatu bahas
secara baik, pembicara harus mengetahui lafal, struktur dan kosakata yang
bersangkutan. Di samping itu, diperlukan juga penguasaan masalah dan atau
gagasan yang akan disampaikan, serta kemampuan memahami bahasa lawan
bicara (Burhan Nurgiyantoro, 2010: 399).
Brown (2001: 27) memberikan lima konsep penting dalam berbicara,
yaitu (1) kemampuan berbicara adalah kemampuan yang sangat penting untuk
berkomunikasi, (2) kemampuan berbicara adalah suatu proses yang kreatif, (3)
kemampuan berbicara adalah hasil proses belajar, (4) kemampuan berbicara
sebagai media untuk memperluas wawasan, dan (5) kemampuan berbicara
dapat dikembangkan dengan berbagai topik.
Berbicara sebagai salah satu bentuk komunikasi akan mudah dipahami
dengan cara memperbandingkan diagram komunikasi dengan diagram
peristiwa berbahasa. Brooks (dalam Henry Guntur Tarigan, 1984: 12)
menggambarkan peristiwa bahasa sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
PEMBICARA PENDENGAR
Maksud
(praucap)
Pemahaman
(postucap)
Penyandian
(encoding)
Pembacaan sandi
(decoding)
Fonasi
(pengucapan)
Audisi
(pendengaran)
Transisi
(peralihan)
Gambar 1. Alur Peristiwa Bahasa
Imam Syafi’ie (1993: 33) menyatakan bahwa keterampilan berbicara
merupakan kemampuan pembicara dalam memilih dan menata gagasan yang
ingin disampaikan, menuangkannya ke dalam kode-kode kebahasaan sesuai
dengan system bahasa yang digunakan, memilih ragam bahasa sesuai dengan
konteks komunikasi, dan mengucapkannya dengan intonasi, tekanan, nada,
dan tempat yang tepat. Keterampilan berbicara merupakan salah satu aspek
keterampilan berbahasa yang sangat penting untuk dikuasai oleh siswa agar
mereka mampu berkomunikasi dengan sesame secara baik, efektif, dan
efisien. Keefektifan dan keefisienan komunikasi hanya bias diwujudkan
apabila komunikasi tersebut dilakukan dengan bahasa. Karena bahasa pada
hakikatnya adalah ucapan. Proses pengucapan bunyi-bunyi bahasa itu tidak
lain adalah berbicara.
Dalam kegiatan berbicara diperlukan penguasaan terhadap lambang
bunyi baik untuk keperluan menyampaikan maupun menerima gagasan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
Lambang yang berupa tanda-tanda visual seperti yang dibutuhkan dalam
kegiatan membaca dan menulis tidak diperlukan. Itulah sebabnya orang yang
buta huruf pun dapat melakukan aktivitas berbicara secara baik, misalnya para
penutur asli.penutur yang demikian mungkinbahkan tidak menyadari
kompetensi kebahasaannya, tidak mengerti system bahasanya sendiri.
Kenyataan itu sekali lagi membuktikan bahwa penguasaan bahasa lisan lebih
fungsional dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu kemampuan
berbicara seharusnya mendapat perhatian yang cukup dalam pembelajaran
bahasa dan tes kemampuan berbahasa (Burhan Nurgiyantoro, 2010: 399-400).
Menurut Asep Jolly (2004: 1) berbicara adalah salah satu aspek
keterampilan berbahasa. Berbicara sebagai suatu proses komunikasi, proses
perubahan wujud pikiran atau perasaan menjadi wujud ujaran atau bunyi
bahasa yang bermakna, yang disampaikan kepada orang lain. Berbicara
merupakan suatu peristiwa penyampaian maksud (ide, pikiran, perasaan)
seseorang kepada orang lain. Keterampilan berbicara, sifatnya produktif,
menghasilkan, memberi dan menyampaikan. Berbicara bukan hanya cepat
mengeluarkan kata-kata dari alat ucap, tetapi utamanya adalah menyampaikan
pokok-pokok pikiran secara teratur, dalam berbagai ragam bahasa sesuai
dengan fungsi komunikasi.
Pengetahuan tentang ilmu atau teori berbicara sangat menunjang
kemahiran serta keberhasilan seni dan praktik berbicara. Untuk itulah
diperlukan pendidikan berbicara (speech education). Konsep-konsep dasar
pendidikan berbicara mencakup tiga kategori, yaitu: (1) hal-hal yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
berkenaan dengan hakikat atau sifat-sifat dasar ujaran, (2) hal-hal yang
berhubungan dengan proses intelektual yang diperlukan untuk
mengembangkan kemampuan berbicara, dan (3) hal-hal yang memudahkan
seseorang untuk mencapai keterampilan berbicara (Haryadi dan Zamzami,
1997: 58).
Yang dimaksud pengetahuan tersebut menurut Bygate (1987: 3) adalah
pengetahuan tentang tata bahasa dan kosakata, sedangkan keterampilan
mencakup keterampilan perspektif motorik dan keterampilan interaksi.
Keterampilan interaksi mencakup keterampilan dalam menuangkan
pengetahuannya, sedangkan keterampilan perspektif motorik mencakup
keterampilan berkomunikasi.
Sesuai dengan hakikat berbicara sebagai peristiwa penyampaian
maksud kepada orang lain, maka dalam berbicara akan selalu terlihat adanya
tujuan. Menurut Suharyantin dan Edy Suryanto (1996: 132) tujuan berbicara
dapat dibedakan menjadi dua macam, yakni tujuan khusus dan tujuan umum.
Tujuan umum menyangkut tujuan atau maksud yang secara umum ingin
dicapai oleh pembicara. Tujuan ini bersifat lebih luas daripada tujuan khusus.
Tujuan khusus merupakan tujuan yang lebih terbatas sebagai tujuan yang
ingin dicapai selam pembicara tampil dalam suatu peristiwa berbicara. Tujuan
khusus akan bersifat lebih spesifik, khusus, bersumber pada tujuan umum.
Menurut Gorys Keraf (1980: 320) tujuan umum berbicara dapat
dibedakan atas lima macam, yakni (1) mendorong, (2) meyakninkan, (3)
bertindak/berbuat, (4) memberitahukan, dan (5) menyenangkan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
Dalam pembicaraan yang bertujuan mendorong, pembicara berusaha
menyentuh emosi pendengar misalnya untuk member semangat,
membangkitkan kegairahan, menekan perasaan yang kurang baik, serta
menunjukkan rasa hormat dan pengabdian. Dengan pembicaraan ini
pendengar diharapkan menunjukkan reaksi yang berupa tergugahnya perasaan
mereka terhadap hal yang disampaikan oelh pembicara. Karena tujuannya
adalah membujuk pendengar, pembicaraan semacam itu bersifat persuasif.
Dalam pembicaraan yang bertujuan untuk meyakinkan, pembicara
berusaha mempengaruhi keyakinan pendengar. Setelah pembicaraan tersebut,
diharapakan terjadi persesuaian pendapat, keyakinan dan kepercayaan antara
pendengar dan pembicara. Untuk itu pembicara harus menyiapkan bukti,
fakta, contoh, dan ilustrasi yang dapat memperjelas topik yang
dibicarakannya. Pembicaraan ini juga bersifat persuasif.
Tujuan berbicara untuk bertindak dan berbuat sejajar dengan tujuan
pertama dan kedua di atas. Jika pembicara telah dapat mempengaruhi
pendengar sedemikian rupa, ia akan lebih mudah mencapai tujuannya yakni
meminta pendengarnya untuk memberikan reaksi fisik atau tindakan yang
memang telah direncanakan sebelumnya oleh pembicara. Reaksi fisik tersebut
timbul karena pembicara telah berhasil meyakinkan pendengar membakar
emosi mereka atau keduanya. Pembicaraan dengan tujuan ini juga bersifat
persuasif.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
Dalam pembicaraan yang bertujuan untuk memberitahukan atau
menyampaikan sesuatu kepada pendengar, setelah mendengarkan pembicaraan
yang disampaikan oleh pembicara diharapkan pendengar betul-betul
mengetahui, memahami lebih baik, atau bertambah luas perbendaharaan
pengetahuannya tentang sesuatu. Pembicaraan ini bersifat instruktif artinya
mengandung ajaran.
Tujuan yang ingin dicapai oleh pembicara dalam pembicaraan dengan
tujuan menyenangkan adalah terciptanya suasana gembira bagi pendengar.
Akibat dari pembicaraan ini adalah pendengar akan menunjukkan minat serta
kegembiraan. Karena itu, pembicaraan semacam ini bersifat rekreatif artinya
menimbulkan kegembiraan dan kesenangan bagi pendengar. Dari tujuan-
tujuan umum ini pembicara dapat merumuskan tujuan khusus yang ingin
dicapainya selama peristiwa berbicara berlangsung.
Hal senada juga disebutkan oleh Imam Syafi’ie (1993: 38) yakni
bahwa tujuan berbicara dibedakan menjadi empat macam, yaitu (1) untuk
menyenangkan atau menghibur pendengar, (2) untuk menyampaikan
informasi dan menjelaskan sesuatu, (3) untuk merangsang dan mendorong
pendengar melakukan sesuatu, dan (4) untuk meyakinkan pendengar.
Burhan Nurgiyantoro (2010: 400) menyebutkan dalam situasi yang
normal, orang melakukan kegiatan berbicara dengan motivasi ingin
mengemukakan sesuatu kepada orang lain, atau karena ingin memberikan
reaksi terhadap sesuatu yang didengarnya. Pembicaraan dalam situasi yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
demikian, kejelasan penuturan tidak semata-mata ditentukan oleh ketepatan
bahasa (verbal) yang dipergunakan saja, melainkan amat dibantu oleh unsure-
unsur paralinguistik seperti gerakan-gerakan tertentu, ekspresi wajah, nada
suara, dan sebagainya, suatu hal yang tidak ditemui dalam komunikasi tertulis.
Situasi pembicaraan (serius, santai, wajar, tertekan) dalam banyak hal juga
akan mempengaruhi keadaan dan kelancaran pembicaraan.
Hal lain yang mempengaruhi keadaan pembicaraan menurut Burhan
Nurgiyantoro adalah masalah apa yang menjadi topik pembicaraan dan lawan
bicara. Kedua hal tersebut merupakan hal yang esensial, dan karenanya harus
diperhitungkan dalam tes kemampuan berbicara peserta didik dalam suatu
bahasa (Oller dalam burhan Nurgiyantoro, 2010: 400). Atau paling tidak, tes
berbicara hendaknya mampu mencerminkan situasi yang menghadirkan kedua
faktor tersebut. Tes kemampuan berbicara yang mempertimbangkan faktor-
faktor tersebut, dan karenanya pembicaraan mendekati situasi yang normal,
boleh dkatakan telah memenuhi harapan tes pragmatik dan bermakna
sebagaimana tuntutan tes otentik. Tugas-tugas tes pragmatik dan atau otentik
menghendaki peserta didik telah menguasai tahap elementer dalam suatu
bahasa, atau paling tidak sudah dapat mempergunakan bahasa itu untuk
aktivitas berbicara.
Burhan Nurgiyantoro (2010: 400) memberikan beberapa bentuk tugas
berbicara terkait tugas yang bersifat pragmatik dan otentik sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
a. Tugas Berbicara Otentik
Tugas berbicara otentik dimaksudkan sebagai tes berbicara yang
memenuhi kriteria asesmen otentik. Hal ini perlu dikemukakan kembali
karena pada kenyataan praktik pemberian tugas berbicara di sekolah belum
tentu berkadar otentik. Misalnya pembelajaran pelafalan (pronunciation)
dalam bahasa target yang melatih ketepatan pelafalan peserta didik,
pengucapan kata, tekanan kata, pola dan tekanan kalimat, dan lain-lain.
Kegiatan tersebut dalam penguasaan bahasa target, dan bahkan menjadi
prasyarat kompetensi berbahasa lisan, namun belum berkadar otentik.
Tugas-tugas semacam itu dalam sudut pandang pendekatan komunikatif
dikenal sebagai tugas prakomunikatif.
Dalam tugas berbicara otentik terdapat dua hal pokok yang tidak boleh
dihilangkan, yaitu benar-benar tampil berbicara (kinerja bahasa) dan isi
pembicaraan mencerminkan kebutuhan realitas kehidupan (bermakna). Jadi,
dalam asesmen otentik peserta didik tidak sekadar ditugasi untuk berbicara,
berbicara dalam arti sekadar praktik mempergunakan bahasa secara lisan,
melainkan juga menyangkut isi pesan yang dijadikan bahan pembicaraan.
Dalam kehidupan sehari-hari, misalnya di kantor atau di dunia pekerjaan,
orang terlibat pembicaraan pasti karena ada sesuatu yang perlu dibicarakan
dan bukan berbicara sekadar praktik berbahasa. Hal inilah yang kemudian
diangkat dalam asesmen otentik kompetensi berbahasa lisan: berbahasa
dalam konteks yang jelas. Konteks menunjuk pada berbagai faktor penentu:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
siapa yang berbicara, situasi pembicaraan, isi dan tujuan pembicaran, dan
lain-lain.
Tugas berbicara sebagai bentuk asesmen otentik harus berupa tugas-
tugas yang ditemukan dan dibutuhkan dalam kehidupan nyata. Jadi, tugas
berbicara otentik mengambil model aktivitas bentuk-bentuk berbicara
sehari-hari sehingga kompetensi yangdikuasai peserta didik bersifat
aplikatif. Orang berbicara karena ingin menyampaikan sesuatu lewat bahasa,
maka penggunaan bahasa yang benar adalah yang sesuai dengan konteks
penggunaan. Jadi, pada intinya ketepatan bahasa dalam berbahasa lisan
dilihat dari ketepatan bahasa yang dipakai dan kejelasan komunikasi yang
dituturkan dalam konteks pembicaraan yang jelas. Untuk itu, tugas-tugas
berbicara yang dipilih untuk mengukur kompetensi berbahasa lisan peserta
didik haruslah yang memungkinkan peserta didik mengungkapkan
keduanya: berunjuk kerja bahasa untuk menyampaikan informasi.
Hal tersebut didukung oleh pernyataan Phopam (dalam Isriwiji, 2008:
24) yang memberikan penilaian kinerja keterampilan komunikasi lisan
(berbicara) ke dalam empat aspek, yaitu: cara penyampaian (delivery),
pengorganisasian (organization), isi (content), dan bahasa (language). Cara
penyampaian berhubungan dengan penyamapaian pesan (seperti volume
suara, kecepatan, dan artikulasi). Pengorganisasian berhubungan dengan
bagaimana isi dari pesan tersebut diatur dan bagaimana ide yang satu
dihubungkan dengan ide yang lain. Isi berhubungan dengan banyaknya
relevansi atau pertautan informasi dalam suatu pesan dan bagaimana isi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
tersebut disesuaikan dengan pendengar dan situasi. Bahasa berhubungan
dengan tata bahasa dan kata yang digunakan untuk menyampaikan pesan.
b. Bentuk Tugas Kompetensi Berbicara
Ada banyak bentuk tugas yang dapat diberikan kepada peserta didik
untuk mengukur kompetensi berbicaranya dalam bahasa terget. Apapun
bentuk tugas yang dipilih haruslah yang memungkinkan peserta didik untuk
tidak saja mengekspresikan kemampuan berbahasanya, melainkan juga
mengungkapkan gagasan, pikiran, perasaan, atau menyampaikan informasi.
Dengan demikian, tes tersebut bersifat fungsional, di samping dapat juga
mengungkap kemampuan peserta didik peserta didik berbicara dalam bahasa
yang bersangkutan mendekati pemakaiannya secara normal. Selain itu,
pemberian tugas hendaklah juga dilakukan dengan cara menarik
menyenangkan agar peserta uji tidak merasa tertekan dan dapat
mengungkapkan kompetensi berbahasanya secara normal dan maksimal.
1) Bicara Berdasarkan Gambar
Untuk mengungkap kemampuan berbicara pembelajar dalam suatu
bahasa, gambar dapat dijadikan rangsang pembicaraan yang baik.
Rangsang yang berupa gambar sangat baik untuk dipergunakan anak-anak
usia sekolah dasar ataupun pembelajar bahasa asing tahap awal. Akan
tetapi, rangsang gambar pun dapat pula dipergunakan pada pembelajar
yang kemampuan berbahasanya telah (lebih) tinggi tergantung pada
keadaan gambar yang dipergunakan itu sendiri. Burt (dalam Burhan
Nurgiyantoro, 2010: 402) menyusun gambar-gambar menarik yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
dimaksudkan untuk mengungkap berbicara peserta didik yang potensial
untuk tes yang berkadar pragmatik. Gambar yang dimaksud kemudian
disebutnya sebagai the Bilingual Syntax Measure.
Rangsang gambar yang dipakai sebagai rangsang berbicara dapat
dikelompokkan ke dalam gambar objek dan gambar cerita. Gambar objek
merupakan gambar tentang objek tertentu yang berdiri sendiri seperti
binatang, kendaraan, pakaian, alam, dan berbagai objek yang lain yang
kehadirannya tidak memerlukan bantuan objek gambar yang lain. Gambar
cerita adalah gambar susun yang terdiri dari sejumlah panel gambar yang
saling berkaitan yang secara keseluruhan membentuk sebuah cerita.
(1) Gambar Objek
Gambar objek adalah gambar yang masing-masing memiliki nama
satu kata dan merupakan gambar-gambar lepas yang antara satu dengan
yang lain kurang ada kaitannya. Gambar objek dapat dijadikan rangsang
berbicara untuk peserta didik tingkat awal, misalnya taman kanak-
kanak atau pembelajar bahasa asing tingkat pemula yang masih dalam
tahap melancarkan lafal bahasa dan memahami makna kata.
Namun sebenarnya tuga peserta didik yang sekadar menyebutkan
nama-nama gambar tidak alamiah, tidak wajar, peserta didik sudah tahu
jawabannya, dan karenanya tidak pragmatik, tidak otentik. Tugas yang
dilakukan dengan gambar tersebut tidak bermakna karena tidak berada
dalam kaitannya dengan situasi konteks. Tugas tersebut tidak memaksa
peserta didik untuk menunjukkan kemampuan berbicaranya, baik yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
menyangkut ketepatan aspek linguistik maupun unsur ekstra linguistik.
Oleh karena itu, penggunaan media tersebut untuk merangsang
berbicara peserta didik sebaiknya dibatasi.
(2) Gambar Cerita
Gambar cerita adalah rangkaian gambar yang membentuk sebuah
cerita. Mirip komik atau mirip buku gambar tanpa kata (wordless
picture books), yaitu buku-buku gambar cerita yang alur ceritanya
disajikan lewat gambar-gambar, atau gambar-gambar itu sendiri
menghadirkan cerita. Kalaupun dalam gambar-gambar tersebut disertai
kata-kata, bahasa verbal tersut sangat terbatas. Gambar cerita atau buku
gambar tanpa kata bervariasi tingkat kompleksitasnya dari sederhana
dan mudah dikenali squensialnya sampai yang abstrak. Dilihat dari sifat
alamiahnya, gambar cerita tersebut potensial untuk dijadikan baha
rangsang berbicara.
Gambar cerita berisi suatu aktivitas, mencerminkan maksud atau
gagasan tertentu, bermakna dan menunjukkan situasi konteks tertentu.
Untuk menunjukkan urutan gambar, panel-panel gambar tersebut dapat
diberi nomor urut, namun dapat pula tanpa nomor agar peserta didik
menemukan logika urutannya sendiri. Jadi, pada intinya gambar cerita
itu sudah menunjukkan makna tertentu. Maka, tugas berbicara
berdasarkan rangsang gambar cerita tidak lain adalah tugas
menceritakan makna gambar itu atau menjawab pertanyaan terkait.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
(a) Pemberian Pertanyaan
Pemberian pertanyaan secara terbuka untuk dijawab semua
peserta didik termasuk asesmen otentik. Namun pertanyaan yang
diajukan harus yang menuntut mereka berpikir tingkat tinggi dan
bukan sekadar pertanyaan hafalan atau menagih fakta dan konsep.
Pertanyaan yang diajukan tidak pasti berupa tugas pragmatik,
pertanyaan yang dimaksud adalah yang dengan mudah dijawab
karena memang hanya itu jawabannya. Pertanyaan-pertanyaan
pragmatis memungkinkan peserta didik menjawab dengan jawaban
berbeda-beda, untuk itu perlu ditentukan kriteria jawaban yang
tepat dan yang sebaliknya. Oller (dalam Burhan Nurgiyantoro,
2010: 405) mengemukakan bahwa penilaian dapat dilakukan secara
terpisah, yaitu dari segi ketepatan (struktur) bahasa dan kelayakan
konteks. Namun, Oller menambahkan bahwa kelayakan konteks
haruslah mendapat penekanan.
(b) Bercerita
Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan secara terbuka untuk
dijawab seperti pada poin pemberian pertanyaan sebelumnya hanya
menuntut peserta didik untuk memberikan jawaban yang sesuai
yang biasanya hanya terdiri dari satu kalimat. Pertanyaan-
pertanyaan seperti itu walaupun terarah, agak membatasi kreativitas
imajinasi peserta didik. Tugas pragmatik atau otentik yang lebih
memberi kebebasan peserta didik, di samping juga lebih
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
mengungkap kemampuan berbahasa dan pemahaman kandungan
makna secara logis, adalah meminta mereka untuk bercerita sesuai
dengan gambar yang disediakan.
Penggunaan gambar sebagai rangsang untuk meningkatkan kemampuan
berbicara senada dengan apa yang dikemukakan oleh Sartin Miolo dalam
jurnal kemitraan bahasa dan sastra, volume 3 nomor 4 tahun 2004. Miolo
menyatakan bahwa menurut penelitian yang telah dilakukan, penggunaan
gambar sangat efektif untuk meningkatkan kemampuan berbicara siswa.
Penggunaan gambar tersebut juga dapat menarik perhatian dan menjadikan
pembelajaran lebih menyenangkan bagi siswa.
2) Berbicara Berdasarkan Rangsang Suara
Tugas berbicara berdasarkan rangsang suara yang lazim
dipergunakan adalah suara yang berasal dari siaran radio atau rekaman
yang sengaja dibust untuk maksud itu. Program radio yang dimaksdu
dapat bermacam, misalnya siaran berita, sandiwara, atau program-
program lain yang layak. Jika program radio yang dipilih waktunya tidak
berkesesuaian dengan waktu pembelajaran di sekolah, program tersebut
dapat direkam dan menghadirkannya dalam bentuk rekaman. Atau
peserta didik sengaja ditugasi untuk mendengarkan siaran tertentu pada
radio tertentu pada jam tertentu untuk kemudian menceritakannya di
sekolah.
Tugas ini memang sangat terkait dengan tes kompetensi menyimak.
Pengaitan antara kedua kompetensi itu justru harus ditekankan dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
peembelajaran bahasa sehingga pembelajaran yang dimaksud memenuhi
tuntutan whole language.
3) Berbicara Berdasarkan Rangsang Visual dan Suara
Berbicara berdasarkan rangsang visual dan suara merupakan
gabungan antara berbicara dan suara. Namun wujud visual yang
dimaksud sebenarnya lebih dari sekadar gambar. Selain wujud gambar
diam, juga berupa gambar gerak dan gambar aktivitas. Contoh rangsang
yang dimaksud yang paling banyak dikenal adalah siaran televisi, video,
atau berbagai bentuk rekaman sejenis. Siaran televisi juga dapat direkam
untuk kemudian dibawa ke kelas, misalnya karena jika waktu siaran tidak
berkesesuaian dengan waktu pembelajaran di sekolah. Siaran televisi
yang dipilih dapat berupa siaran berita, sinetron, acara flora dan fauna,
dan lain-lain yang di dalamnya terkandung unsur pendidikan atau unsur
penting lainnya.
Tugas bentuk ini terlihat didominasi dan terkait dengan kompetensi
menyimak, namun juga terdapat bentuk-bentuk lain yang memerlukan
pengamatan dan pencermatan seperti gambar, gerak, tulisan, dan lain-lain
yang terkait langsung dengan unsur suara dan secara keseluruhan
menyampaikan satu kesatuan informasi.
4) Bercerita
Tugas bercerita yang dimaksud ada kemiripan dengan tugas bercerita
berdasarkan beberapa rangsang sebelumnya, namun lebih luas
cakupannya. Tugas ini dapat berdasarkan rangsang apa saja tergantung
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
perintah guru. Tugas ini dalam jenis asesmen otentik berupa tugas
menceritakan kembali teks atau cerita (retelling texts or story). Jadi,
rangsang yang dijadikan bahan untuk bercerita dapat berupa buku yang
sudah dibaca, berbagai cerita (fiksi dan cerita lama), berbagai
pengalaman (pengalaman bepergian, pengalaman berlomba, pengalaman
berseminar), dan lain-lain. Bercerita berdasarkan isi buku banyak
dilakukan para guru, bahkan juga sampai di tingkat pendidikan tinggi.
Untuk tingkat pendidikan tinggi, bercerita juga dapat mencakup laporan
secara lisan terhadap buku yang dibaca.
5) Wawancara
Wawancara (oral interview) merupakan teknik yang paling banyak
dipergunakan untuk menilai kompetensi berbicara seseorang dalam suatu
bahasa, khususnya bahasa asing yang dipelajarinya. Wawancara biasanya
dilakukan kepada seorang pembelajar yang kompetensi berbahasa
lisannya, baasa targrt yang sedang dipelajarinya, sudah cukup memadai
sehingga memungkinkan untuk mengungkapkan pikiran dan perasaannya
dalam bahasa itu. Kegiatan wawancara dalam rangkaian tes kompetensi
berbahasa lisan termasuk ke dalam jenis asesmen otentik dan bukan
sekadar kegiatan untuk mengetahui informasi tertentu tentang jati diri
peserta uji.
Kegiatan wawancara dilakukan oleh du (beberapa) orang penguji
terhadap peserta didik atau calon tertentu selama jangka waktu tertentu.
Wawancara dimaksudkan untuk menilai kompetensi berbahasa peserta
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
uji lewat pertanyaan tentang berbagai masalah keseharian. Pewawancara
hendaknya menguasahakan agar calon tetap tenang, tidak merasa
tertekan, tidak merasa seperti sedang diuji, sehingga bahasa yang
diungkapkan dapat mencerminkan kemampuan yang sebenarnya.
Biasanya kesadasaran calon bahwa ia sedag diuji akan mempengaruhi
mentalnya sehingga bahasanya pun akan terpengaruh pula, misalnya
tidak lancar, sering terjadi kesalahan atau bahkan mungkin tidak dapat
berbicara. Oleh karena itu, pada awal dimulainya wawancara, penguji
sebaiknya menanyakan hal-hal yang mudah dijawab calon agar tumbuh
keberanian dan rasa percaya dirinya.
Masalah yang ditanyakan dalam wawancara dapat menyangkut
berbagai hal, tetapi hendaknya disesuaikan dengan tingkat pengalaman
peserta uji (Valette dalam Burhan Nurgiyantoro, 2010: 411), misalnya
usia, sekolah, dan kemampuan berbahasa. Tanggapan yang diharapkan
dari calon tidak hanya berasal dari pertanyaan-pertanyaan pewawancara,
melainkan dapat jga berasal dari rangsang lain yang sengaja disiapkan
untuk itu. Rangsang yang dimaksud adalah wacana bacaan dan rekaman.
Rangsang yang berupa bacaan atau rekaman disuruh baca atau dengar
terlebih dahulu kepada calon sebelum wawancara dimulai. Masalah yang
terdapat di dalam bacaan atau rekaman itulah yang kemudian dijadikan
topik wawancara, misalnya dengan mengajukan pertanyaan, permintaan
pandangan, pendapat, sikap, atau sesuatu yang lain kepada calon. Akan
tetapi, bagaimana pandangan calon tidaklah penting benar karena yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
terutama ingin dinilai adalah kemampuan berbicara calon dalam
mengekspresikan gagasan dan pengembangan argumentasi.
Penggunaan media bacaan dan rekaman sebagai rangsang berbicara
mempunyai kelemahan karena wawancara akan berubah atau sulit
dibedakan dengan tes kemampuan membaca dan mendengarkan.
Kompetensi membaca dan mendengarkan calon akan mempengaruhi
kelancaran berbicaranya. Sebaliknya, jika calon kurang dapat memahami
isi bacaan atau rekaman, pewawancara memberikan pertanyaan-
pertanyaan yang bersifat mengarahkan. Penggunaan media bacaan
menurut Valette hanya tepat dilakukan pada calon tingkat lanjut
(advanced students) (Burhan Nurgiyantoro, 2010: 412).
Walaupun praktis,murah, dan populer, teknik wawancara
mempunyai kelemahan dalam hal penilaian karena adanya sifat subjektif
pada pihak penilai, di samping membutuhkan penilai yang terlatih dan
berpengalaman. Penilaian wawancara sulit dibuat benar-benar objektif
dan konsisten, walau oleh penilai yang sama sekalipun. Adanya faktor
kelelahan, kejemuan, dan lain-lain termasuk yang bersifat pribadi akan
berpengaruh dalam penilaian. Hal-hal tersebut akan menyebabkan
rendahnya kadar reliabilitas penilaian. Kelemahan tersebut kadang-
kadang memang dapat diatasi dengan merekam kegiatan wawancara
untuk dinilai ulang. Akan tetapi penggunaan rekaman kadang-kadang
tidak praktis dan tidak efisien.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
6) Berdiskusi dan Berdebat
Tugas berbicara yang selanjutnya menurut Burhan Nurgiyantoro
(2010: 419) adalah berdikusi, berdebat, berdialog, dan berseminar.
Berdikusi, berdebat, berdialog merupakan tugas-tugas berbicara yang
paling tidak melibatkan dua orang pembicara. Bahkan dalam berseminar
lazimnya diikuti banyak peserta walau belum tentu semuanya mau dan
dapat berbicara.situasi pembicaraa dalam kegiatan berdiskusi, berdebat,
dan berdialog dapat formal, setengah formal, atau nonformal, sedang
dalam berseminar mesti formal.
Berbagai tugas berbicara baik dilakukan para peserta didik di
sekolah dan terlebih lagi para mahasiswa untuk melatih kemampua dan
keberanian berbicara. Selain itu, tugas-tugas tersebut juga baik dan
strategis sebagai latihan beradu argumentasi. Dalam aktivitas itu, peserta
didik berlatih untuk mengungkapkan gagasan, menanggapi gagasan-
gagasan kawannya secara kritis, dan mempertahankan gagasan sendiri
dengan argumentasi secara logis dan dapat dipertanggungjawabkan.
Untuk maksud itu semua, sudah tentu kemampuan dan kefasihan
berbicara dalam bahasa yang bersangkutan sangat menentukan.
7) Berpidato
Dilihat dari segi kebebasan peserta didik memilih bahasa untuk
mengungkapkan gagasan, berpidato mempunyai persamaan dengan tugas
bercerita. Dalam kehidupan bermasyarakat, aktivitas berpidato banyak
dikenal dan dilakukan orang. Untuk melatih kemampuan peserta didik
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
mengungkapkan gagasan dalam bahasa yang tepat dan cermat, tugas
berpidato baik untuk diajarkan dan diujikan di sekolah. Ujian berbahasa
lisan dengan tugas berpidato pun tinggi kadar keotentikannya.
Senada dengan pendapat Asep Jolly yang telah dikemukakan sebelumnya,
dapat disimpulkan bahwa kemampuan berbicara adalah kemampuan dalam
menyampaikan maksud kepada orang lain. Pada penelitian ini digunakan bentuk
tugas bercerita untuk mengetahui kemampuan berbicara siswa, tepatnya
menceritakan kembali sebuah cerita atau teks yang telah disiapkan.
2. Hakikat Kemampuan Berbicara Bahasa Jawa
Bahasa ialah suatu aspek kebudayaan. Ia sekaligus juga jaringan sentral
sarana pengekspresi kebudayaan itu. Selanjutnya, ia juga menjadi cerminan
kebudayaan masyarakat pemakainya. Maka dari itu, adanya system tingkat tutur
yang sangat komplek dan ekstensif di dalam bahasa Jawa dapat dianggap suatu
pertanda pentingnya adat sopan santun yang menjalin system hubungan
perorangan di dalam masyarakat Jawa dianggap penting. Perbedaan antara
suasan tutur resmi dan tidak resmi dianggap penting (Soepomo Poedjasoedarma,
1979: 59).
Lebih lanjut Soepomo Poedjasoedarma menjelaskan penghargaan terhadap
tingkat sosial seseorang, entah itu karena usianya, aluran kekerabatannya,
pangkatnya, kekayaannya, atau yang lain-lain, sebetulnya tidak cukup hanya
dinyatakan dengan tingkat tutur tertentu, tetapi juga dengan bentuk-bentuk
aturan etiket yang lain. Demikian juga penghargaan orang terhadap situasi-
situasi bicara tertentu, seperti situasi berkabung dalam pelayatan, pesta
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
perkawinan, rapat-rapat, dan lain-lain, harus dinyatakan dengan ekspresi bahasa
yang tepat dan bentuk ekspresi nonbahasa yang tepat pula. Pada waktu
berbicara, sikap badan (duduk, berdiri, pandangan mata) harus tepat. Demikian
pula cara menunjuk, cara berucap, cara berpakaian, dan lain-lain.
Penggunaan basa (krama dan madya) tidak hanya berkurang di kalangan
para teman dan kolega, tetapi juga di kalangan lembaga-lembaga pendidikan dan
keluarga. Baik di Yogyakarta maupun di Surakarta sekarang ini orang tua
banyak yang lebih menyukai kalau anak-anaknya bercakap dengan ngoko
terhadap mereka. Hal ini lain dengan jaman sebelum perang. Pada waktu itu
orang tua yang ingin dianggap mengerti adat sopan santun mengajarkan kepada
anak-anaknya agar mereka itu ber”basa” terhadap orang tua serta sanak keluarga
yang beraluran lebih tua. Sekarang ini banyak orang tua yang lebih menyukai
anak-anaknya menjalin hubungan akrab dan tak merasa enggan terhadap orang
tua mereka (Soepomo Poedjasoedarma, 1979: 59).
Di sekolah-sekolah, masih menurut Soepomo Poedjasoedarma, banyak guru
yang berbahasa Indonesia terhadap murid-muridnya, dan karenanya murid-
murid pun berbahasa Indonesia terhadap guru. Kalau dulu bahasa Jawa banyak
digunakan sebagai bahasa pengantar, sekarang ini bahasa Indonesia adalah
bahasa pengantarnya. Kepandaian menggunakan tingkat tutur secara tepat tidak
lagi menjadi penanda latar belakang kelas sosial seseorang. Dulu, keluarga orang
tingkat atas harus dan mesti pandai bercakap sengan krama dengan baik dan
tepat. Sekarang ini, banyak tokoh masyarakat kalangan atas yang kurang begitu
mampu bercakap sengan krama dengan baik dan tepat. Sebagai pengganti
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
kepandaian menggunakan tingkat tutur krama, sekarang ini orang menganggap
bahwa kepandaian menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan kepandaian
bercakap bahasa asing tertentu menjadi penanda latar belakang sosial berkelas
tinggi (1979: 59).
Tentang kekurangmampuan menggunakan tingkat tutur secara baik ini
secara garis besar menurut Soepomo Poedjasoedarma (1979: 59) dapat dibagi
menjadi 2 jenis: 1) O1 tidak pandai memilih kata-kata secara tepat pada tingkat
tutur yang diapakainya; 2) O1 tidak pandai memilih tingkat tutur yang sesuai
dengan latar belakang O2 serta dengan situasi bicara yang ada.
Bahasa merupakan kecakapan yang hanya bisa dikuasai melalui praktik
serta latihan yang bertubi-tubi. Untuk mempraktikan langsung pada situasi yang
cocok tidak selalu tersedia cukup kesempatan (Soepomo Poedjasoedarma, 1979:
55)
Berdasarkan penjelasan Soepomo Poedjasoedarma di atas, dapat
disintesiskan bahwa kemampuan berbicara bahasa Jawa adalah kemampuan
seseorang dalam memilih kata-kata secara tepat pada tingkat tutur yang
dipakainya dan kemampuan memilih tingkat tutur yang sesuai dengan latar
belakang O2 serta dengan situasi bicara yang ada.
Pada penelitian ini digunakan bentuk tugas bercerita untuk mengetahui
kemampuan berbicara bahasa Jawa siswa, tepatnya menceritakan kembali
sebuah cerita atau teks yang telah disiapkan. Dengan kata lain kemampuan
berbicara bahasa Jawa siswa tercermin dalam kemampuannya menceritakan
kembali teks sebuah cerita yang disampaikan dalam bahasa Jawa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
3. Hakikat Penguasaan Kosakata
Dalam komunikasi melalui bahasa, baik lisan maupun tulisan, kosakata
merupakan unsur yang amat penting. Kemampuan berbahasa ditentukan oleh
banyak faktor. Salah satu diantaranya adalah penguasaan kosakata. Berikut ini
dipaparkan beberapa konsep mengenai kosakata atau perbendaharaan kata.
a. Pengertian Kosakata
Terdapat beberapa pandangan yang dikemukakan oleh para pakar bahasa
sehubungan dengan pengertian kosakata. Kosakata sebagai salah satu
komponen kebahasaan memiliki arti yang beragam. Sri Sukesi Adiwiramarta
et al. (1978: 7) mengemukakan bahwa kosakata atau perbendaharaan kata
yang dalam bahasa Inggris disebut lexicon, berasal dari bahasa Yunani lexicon
yang berarti kata.
Kosakata merupakan seperangkat leksem yang termasuk di dalamnya kata
tunggal, kata majemuk, dan idiom (Richards, Platt dan Webber, 1985: 307).
Sementara itu, Vallete (1977: 223) mendefinisikan kosakata sebagai kata atau
kelompok kata yang memiliki makna tertentu.
Alisjahbana (dalam Syamsudin AR. dan Vismaia S. Damaianti, 2006: 33)
menyatakan bahwa penguasaan kosakata berkaitan langsung dengan
pemahaman makna kalimat sebagai satuan bentuk bahasa yang terkecil dan
mengandung suatu pikiran, sehingga komunikasi antara orang yang
mengungkapkanbatau menulis kalimat dengan orang yang mendengar atau
membaca dapat terlaksana. Oleh karena itu, pemahaman terhadap kosakata
sebagai unsur bahasa sangat penting untuk menunjang keterampiln berbahasa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
Dari sumber lain dijelaskan bahwa kosakata dipandang sebagai
keseluruhan kata yang dimiliki oleh bahasa (Gorys Keraf, 1986: 191).
Pandangan tersebut diperluas oleh Harimurti Kridalaksana (1984: 19) dengan
mengemukakan bahwa kosakata merupakan komponen bahasa yang memuat
semua informasi tentang makna dan pemakaian kata dalam bahasa; atau
dengan perkataan lain, kekayaan kata yang dimiliki seorang pembicara,
penulis, atau suatu bahasa.
Henry Guntur Tarigan (2008: 123) berpendapat bahwa setiap orang
mempunyai dua jenis daya kata, satu untuk berbicara dan menulis, yaitu daya
untuk memilih dan mempergunakan kata-kata yang diekspresikan, serta daya
kata yang digunakan untuk membaca dan menyimak. Ada beberapa cara untuk
memperbesar daya kata, antara lain: (1) mengetahui dan dapat membedakan
ragam bahasa; (2) mempelajari makna kata dari konteks; (3) mengetahui
bagian-bagian kata; (4) menggunakan kamus; (5) mengetahui makna-makna
varian; (6) mengetahui idiom, (7) mengetahui kata yang bersinonim atau
berantonim; (8) mengetahui bedanya denotasi dan konotasi; (8) memahami
asal-usul kata.
Henry Guntur Tarigan (2008: 124) mengemukakan ada beberapa hal yang
harus diketahui untuk memperbesar daya kata, antara lain: (1) ragam bahasa(
ragam remi dan tidak resmi, ragam teknis dan nonteknis), (2) mempelajari
makna kata, (3) bagian-bagian kata (awalan, kata dasar, akhiran, atau sisipan),
(4) penggunaan kamus, (5) makna-makna varian, (6) idiom/ungkapan, (7)
sinonim dan antonim, (8) konotasi dan denotasi, (9) derivasi (asal-usul kata).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
Dalam kehidupan sehari-hari penguasaan kosakata mempunyai peranan
yang sangat penting karena pikiran seseorang hanya akan dipahami denga baik
oleh pihak lain apabila ide tersebut dapat diungkapkan dengan kosakata yang
dipilih secara tepat. Harris (dalam Syamsudin AR. dan Vismaia S. Damaianti,
2006: 34) mengemukakan pendapatnya bahwa kata merupakan wahana
penting dalam komunikasi. Apabila persediaan kosakata tidak mencukupi
maka komunikasi akan terhambat.
Oleh sebab itu, tidaklah berlebihan bila dinyatakan penguasaan kosakata
merupakan hal yang sangat penting dalam tindak berbahasa. Dalam hal ini
dapat dikatakan semakin banyak kata yang diketahui dan dikuasai oleh
seseorang, semakin baik pula kemampuan berbicaranya. Untuk itu, setiap
orang perlu memperluas kosakatanya, perlu mengetahui sebanyak-banyaknya
perbendaharaan kata dari bahasa yang dipelajarinya.
b. Kaitan Penguasaan Kosakata dengan Keterampilan Berbahasa
Penguasaan kosakata sangat bertalian erat dengan kegiatan keterampilan
berbahasa. Dalam hal ini, Henry Guntur Tarigan (1993: 2) mengemukakan
bahwa kualitas keterampilan berbahasa seseorang jelas bergantung pada
kuantitas dan kualitas kosakata yang dimilikinya. Semakin kaya kosakata yang
dimiliki maka semakin besar pula kemungkinan terampil berbahasa.
Pernyataan ini senada dengan yang diuraikan Burhan Nurgiyantoro (2010:
338) bahwa kemampuan memahami kosakata terlihat dalam kegiatan
membaca dan menyimak, sedangkan kemampuan mempergunakan kosakata
nampak dalam kegiatan menulis dan berbicara. Oleh karena itu, tes
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
penguasaan kosakata biasanya langsung dikaitkan dengan kemampuan reseptif
atau produktif secara keseluruhan. Dari pemikiran ini pada hakikatnya dapat
dikatakan bahwa kemampuan berbicara seseorang sangat ditopang oleh
kekayaan kosakata yang diketahui dan dikuasainya. Seseorang yang memiliki
pemahaman dan penguasaan yang memadai tentang kosakata yang digunakan
dalam suatu teks tertulis atau lisan, maka berkecenderungan orang tersebut
akan dengan mudah memahami atau menggunakan kosakata tersebut dalam
berkomunikasi, baik secara reseptif (menyimak,membaca) maupun secara
produktif (berbicara, menulis).
c. Manfaat Penguasaan Kosakata
Dalam masyarakat, manusia tidak akan lepas dari tindak komunikasi.
Bahasa adalah sarana yang sangat penting dalam berkomunikasi. Kosakata
merupakan salah satu unsur bahasa yang memegang peranan paling mendasar
dalam kemampuan berbahasa seseorang. Kemampuan menguasai kosakata
memiliki kontribusi yang cukup baik dalam upaya seseorang berbicara secara
tepat. Dengan bermodalkan kosakata yang cukup banyak, dan dikuasainya,
pada umumnya seseorang tidak akan mengalami banyak kesulitan dalam
menyampaikan maksudnya. Kemampuan berbahasa seseorang yang didukung
oleh penguasaan kosakata yang cukup memadai akan sangat menunjang
kemampuan intelektualnya.
Bahasa sebagai sarana berkomunikasi sangat penting peranannya dalam
kehidupan. Agar dapat berkomunikasi dengan baik salah satunya harus
menguasai kosakata. Semakin banyak kosakata seseorang maka semakin
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
mudah untuk menyampaikan gagasan-gagasannya. Kosakata sangat berperan
dalam menentukan keberhasilan komunikasi, menarik tidaknya suatu
komunikasi tergantung pada pemilihan kosakata yang digunakan. Orang yang
pandai memilih kosakata secara tepat akan menimbulkan ketertarikan terhadap
pendengar. Ia akan berbicara dengan lancer, komunikatif, dan variatif,
sehingga tidak membosankan. Hal ini berbeda sekali jika seseorang hanya
mempunyai sedikit kosakata dan tidak mempunyai kemampuan memilih
secara tepat, akibatnya kalimatnya mungkin tidak komunikatif sehingga sulit
dimengerti, atau bahkan menimbulkan makna lain.
Gorys Keraf (1988: 88) berpendapat bahwa dengan kata-kata seorang
dapat berpikir, menyatakan perasaan, gagasan. Penguasaan kosakata sangat
penting dalam berbicara. Sedangkan menurut Burhan Nurgiyantoro (2010:
213) membagi penguasaan kosakata menjadi dua yaitu bersifar reseptif
(kemampuan untuk memahami) dan produktif (kemampuan untuk
mempergunakan).
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa seseorang yang memiliki
kosakata atau perbendaharaan kata yang cukup banyak, dan mengetahui secara
tepat batas-batas pengertiannya, akan lebih mudah dan mampu berbicara
secara tepat sesuai dengan ragam bahasa yang ada dalam bahasa tersebut.
Dalam penelitian ini bahasa yang dimaksud adalah bahasa Jawa.
Berdasarkan teori dan konsep yang dipaparkan di muka, dapat
disintesiskan bahwa pada hakikatnya penguasaan kosakata merupakan
kemampuan seseorang (siswa) tentang pemahaman kosakata dalam bahasa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
tertentu, baik yang bersifat produktif maupun yang bersifat reseptif. Artinya,
penguasaan kosakata pada penelitian ini mengarah pada kemampuan siswa
tentang pemahaman kosakata dalam berbicara secara tepat sesuai dengan
ragam yang terdapat dalam bahasa Jawa.
4. Hakikat Minat Belajar
a. Pengertian Minat
Menurut pendapat Reilly dan Lewis (1983: 454) pengertian minat adalah
kecenderungan dan kegairahan yang tinggi atau keinginan yang besar terhadap
sesuatu. Minat dapat pula didikatakan rasa suka seseorang terhadap sesuatu
kegiatan, dimana minat menjadi sebab kegiatan itu dilakukan oleh seseorang
dan juga merupakan penyebab munculnya partisipasi dalam suatu kegiatan.
Dengan demikian, minat berarti suatu kondisi yang mendorong atau menjadi
sebab seseorang melakukan suatu perbuatan atau kegiatan yang berlangsung
secara sadar.
Minat termasuk ke dalam salah satu aspek jiwa manusia yang biasanya
menimbulkan kecenderungan gambaran yang lebih luas. Menurut pendapat
Winkel (1993: 30) definisi minat adalah kecenderungan yang agak menetap
dalam subjek, merasa tertarik pada bidang atau hal tertentu dan merasa
berkecimpung dalam bidang tersebut.
Kesiapan belajar juga dapat mempengaruhi perkembangan minat
seseorang. Artinya seseorang belum akan berminat bila dia belum siap untuk
melakukan kegiatan tersebut. Kesempatan belajar juga berpengaruh terhadap
perkembangan minat seseorang.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
Lingkungan sosial budaya juga sangat mempengaruhi perkembangan
minat seseorang. Misalnya pengaruh orang tua, guru, teman, maupun
lingkungannya turut mendorong timbulnya minat anak terhadap suatu
kegiatan.
Senada dengan Winkel, Slameto (2003: 57) mengemukakan bahwa minat
adalah kecenderungan yang tetap untuk memperhatikan dan untuk mengenang
beberapa kegiatan.
Menurut Bimo Walgito (1996: 38) minat adalah suatu keadaan yang mana
seseorang mempunyai perhatian terhadap sesuatu keinginan untuk
mengetahui, mempelajari dan membuktikan lebih lanjut. Selanjutnya menurut
Whitherington (dalam Suharsimi Arikunto, 1999: 135) minat adalah kesadaran
seseorang terhadap obyek seseorang, atau situasi tertentu yang ada
hubungannya dengan dirinya serta dipandang sebagai sesuatu yang sadar.
Minat menurut Gie (1994: 28) berarti sibuk, tertarik, atau terlibat
sepenuhnya dengan sesuatu kegiatan karena menyadari pentingnya kegiatan
itu. Crow dan Crow (1989: 3030) menyatakan bahwa minat bisa berhubungan
dengan daya gerak yang mendorong seseorang untuk menghadapi atau
berurusan dengan orang lain, benda, atau kegiatan itu sendiri. Dengan kata
lain, minat dapat menjadi partisipasi dalam kegiatan.
Menurut Tidjan (1977: 71), minat adalah gejala psikis yang menunjukkan
pemusatan perhatian terhadap suatu objek. Dengan minat yang tinggi, suatu
kegiatan akan memperoleh prestasi yang baik, karena dalam melakukan
kegiatan tersebut disertai dengan perhatian yang tinggi dan dilakukan dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
suasana yang menyenangkan. Minat yang besar akan mendorong seseorang
untuk berusaha semaksimal mungkin dengan menggunakan berbagai fasilitas
yang menunjang untuk mencapai tujuan yang diingikan.
Aiken (1994: 209) memberi batasan minat sebagai kesukaan terhadap
kegiatan melebihi kegiatan lainnya. Ini berarti minat berhubungan dengan
nilai-nilai yang membuat seseorang mempunyai pilihan dalam hidupnya
Menurut Winkel (1993: 30) dalam bukunya mengemukakan definisi minat
adalah kecenderungan menetap dalam subjek untuk merasa tertarik pada
bidang atau hal tertentu dan merasa senang berkecimpung dalam bidang itu.
Rumusan pengertian minat yang lebih operasional dikemukakan oleh Rats,
Harmin, dan Simon (1996: 69). Menurut mereka minat adalah sesuatu yang
dapat membangkitkan gairah seseorang dan menyebabkan orang itu
menggunakan waktu, uang, serta energi untuk kesukaannya terhadap objek
tersebut.
Dari pengertian-pengertian yang telah dipaparkan di atas dapat
disimpulkan bahwa minat adalah sesuatu dorongan yang timbul dari dalam
jiwa seseorang untuk membangkitkan ketertarikan seseorang dan
menyebabkan orang itu untuk berusaha, berbuat dengan intensitas yang lebih
tinggi terhadap objek tersebut.
b. Pengertian belajar
Pengertian belajar menurut Slameto (2003: 78) adalah suatu proses usaha
yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
secara keseluruhan, sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam
interaksi dengan lingkungannya.
Sumadi Suryabrata menyatakan bahwa: a) “Belajar itu membawa suatu
perubahan (behavioral changes) baik aktual maupun potensial; b) perubahan
itu menghasilkan suatu kecakapan baru; dan c) perubahan itu terjadi karena
usaha yang disengaja” (1993:249). Menurut Nasution, “Belajar adalah proses
yang melahirkan atau mengubah suatu kegiatan melalui jalan latihan (apakah
dalam laboratorium atau dalam lingkungan alamiah) yang dibedakan dari
perubahan-perubahan oleh faktor yang tidak termasuk latihan, misalnya
perubahan karena mabuk atau minum ganja bukan termasuk belajar”
(1986:39).
Lebih lanjut dijelaskan bahwa praktik yang diperkuat tersebut merupakan
sebab belajar. Seseorang dikatakan telah belajar jika dapat melakukan sesuatu
yang sebelumnya ia tidak dapat melakukannya. Menurut Meier (2003;156),
“Belajar adalah proses mengubah pengalaman menjadi pengetahuan,
pengetahuan menjadi pemahaman, pemahaman menjadi kearifan, dan kearifan
menjadi tindakan”. Pengetahuan di sini bukanlah sesuatu yang diserap siswa,
melainkan sesuatu yang diciptakan siswa dalam proses belajarnya.
Hakim (2002:1) “Belajar adalah suatu proses perubahan di dalam
kepribadian manusia, dan perubahan tersebut ditampakkan dalam bentuk
peningkatan kualitas dan kuantitas tingkah laku seperti peningkatan
kecakapan, pengetahuan, sikap, kebiasaan, pemahaman, keterampilan, dan
daya pikir”.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
Menurut Winkel (1996: 50), belajar merupakan suatu aktivitas
mental/psikis, yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan,
yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan pemahaman,
keterampilan dan nilai sikap. Perubahan itu bersifat relatif konstan dan
berbekas.
Shalahuddin (1990: 29) mengemukakan bahwa belajar adalah suatu proses
perubahan tingkah laku melalui pendidikan atau lebih khusus melalui prosedur
latihan. Perubahan itu sendiri berangsur-angsur dimulai dari sesuatu yang
tidak dikenalnya, untuk kemudian dikuasai atau dimilikinya dan
dipergunakannya sampai pada suatu saat dievaluasi oleh yang menjalani
proses belajar itu.
Cronbach mengemukakan “Learning is shown by a change in behavior as
results of experience” ( dalam Sumadi Suryobroto, 1983:181). Belajar itu
ditunjukkan oleh adanya perubahan perilaku sebagai hasil dari pengalaman.
Definisi di atas mengandung makna:
1) Belajar adalah suatu aktivitas yang menghasilkan perubahan pada diri
individu yang belajar, baik secara potensial maupun secara actual.
2) Perubahaan itu berupa kemampuan baru dalam memberikan respon
terhadap suatu stimulus. Dengan kata lain, individu yang telah
melakukan kegiatan belajar akan memiliki kemampuan baru dalam
memberi sambutan terhadap situasi tertentu.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
3) Perubahaan itu berfungsi secara relatif permanen. Artinya perubahan itu
bukan sekedar merupakan keadaan sesaat saja,tetapi dapat berfungsi
dalam kurun waktu yang relatif lama.
4) Terjadinya perubahan itu bukan karena proses pertumbuhan atau
kematangan,melainkan karena suatu usaha sadar. Artinya, terjadinya
perubahan itu karena ada usaha yang disengaja oleh individu yang
bersangkutan untuk memperoleh perubahan itu.
Dapat ditarik kesimpulan, belajar merupakan proses menuju perubahan,
baik perubahan dalam hal pengetahuan maupun dalam hal keterampilan dan
sikap.
c. Ciri-ciri Siswa Berminat dalam Belajar
Secara sederhana, minat (interest) berarti kecenderungan dan
kegairahan yang tinggi atau keinginan yang besar terhadap sesuatu.
Menurut Slameto (2003: 58) siswa yang berminat dalam belajar
mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1) Mempunyai kecenderungan yang tetap untuk memperhatikan dan
mengenang sesuatu yang dipelajari secara terus-menerus.
2) Ada rasa suka dan senang pada sesuatu yang diminati.
3) Memperoleh suatu kebanggaan dan kepuasan pada sesuatu yang
diminati.
4) Ada rasa keterikatan pada sesuatu aktivitas-aktivitas yang diminati.
5) Lebih menyukai suatu hal yang menjadi minatnya dari pada yang
lainnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
6) Dimanifestasikan melalui partisipasi pada aktivitas dan kegiatan.
Dari pendapat-pendapat yang telah dikemukakan, dapat disintesiskan
bahwa yang dimaksud minat belajar adalah kemauan yang kuat untuk
melakukan suatu proses menuju perubahan, baik perubahan dalam hal
pengetahuan maupun dalam hal keterampilan dan sikap. Dalam penelitian ini
minat belajar tersebut adalah minat belajar bahasa Jawa.
B. Penelitian yang Relevan
Penelitian yang relevan dengan penelitian ini antara lain adalah penetian
yang dilakukan oleh Kathleen B. Egan (1999:277) yang berjudul Speaking: A
Critical Skill and a Challenge. Dalam penelitiannya tersebut, Egan
menyatakan bahwa berbicara merupakan inti dari pembelajaran bahasa kedua,
namun justru paling banyak diabaikan dalam pengajaran dan dalam
pengujiannya dengan alasan logistik dan sebagainya. Penelitian ini
mendeskripsikan rencana dan usaha dalam meningkatkan kemampuan
berbicara dengan speech-interactive melalui komputer. Dari penelitian ini,
didapatkan gambaran tentang kemampuan berbicara yang dapat ditingkatkan
melalui percakapan.
Penelitian lain yang menginspirasi penelitian ini adalah penelitian yang
dilakukan oleh Xu Liu (2010: 136) yang berjudul Arousing the College
Students’ Motivation in Speaking English through Role-Play. Penelitian ini
membahas mengenai peningkatan motivasi berbicara bahasa Inggris melalui
role-play. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa peningkatan motivasi
berbicara bisa terlaksana melalui metode role-play. Dalam metode role-play
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
terdapat dialog-dialog yang harus dilakukan pemeran untuk memerankan
tokoh dalam drama yang disusun. Dalam pembacaan dialog-dialog tersebut
perlu penguasaan kosakata yang baik agar percakapan yang dilakukan bisa
lebih natural. Sehingga penelitian ini dapat memberikan gambaran tentang
perlunya penguasaan kosakata yang baik dalam percakapan, dan percakapan
tersebut merupakan salah satu kemampuan berbicara.
Penelitian mengenai penguasaan kosakata yang relevan dengan penelitian
ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Phityan Dewi Yovita Agnes (2008)
yang berjudul Improving Students’ Vocabulary Mastery Through Experiential
Learning: an Action Research at the Sixth Year of SD Negeri Triyagan 2
Sukoharjo in 2007/2008 Academic Year. Phityan Dewi Yovita Agnes dalam
penelitian ini mengemukakan bahwa penguasaan kosakata merupakan
pengetahuan yang paling dasar untuk mempelajari bahasa Inggris, khususnya
bagi pemula.
Penelitian yang dilakukan oleh Sayekti Hidayah Rahayu dari Pascasarjana
UNS (2011) juga sangat memberikan sumbangan yang berarti dalam penulisan
ini. Penelitian tersebut berjudul Hubugan antara Penguasaan Kosakata dan
Konsep Diri dengan Kemampuan Berbicara Survai pada Siswa Kelas VIII
MTs N se-Kabupaten Sragen. Dari penelitian tersebut didapat sutu kesimpulan
bahwa terdapat hubungan positif antara penguasaan kosakata dan kemampuan
berbicara, ada hubungan positif antara konsep diri dengan kemampuan
berbicara, dan ada hubungan positif antara penguasaan kosakata, konsep iri
secara bersama-sama denga kemampuan berbicara.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
C. Kerangka Berpikir
Setelah teori-teori atau konsep-konsep yang berhubungan dengan variabel
penelitian yaitu penguasaan kosakata bahasa Jawa dan minat belajar bahasa
Jawa serta kemampuan berbicara bahasa Jawa, berikut dikemukakan
penyusunan kerangka berpikir.
1. Hubungan antara penguasaan kosakata dan kemampuan berbicara bahasa
Jawa
Berbicara bukan hanya cepat mengeluarkan kata-kata dari alat ucap,
tetapi utamanya adalah menyampaikan pokok-pokok pikiran secara
teratur, dalam berbagai ragam bahasa sesuai dengan fungsi komunikasi.
Sehingga, untuk dapat berbicara dalam suatu bahasa secara baik,
pembicara harus mengetahui lafal, struktur dan kosakata yang
bersangkutan. Sehubungan dengan hal di atas, maka ada hubungan yang
positif antara penguasaan kosakata, dalam penelitian ini kosakata bahasa
Jawa, dengan kemampuan berbicara bahasa Jawa.
2. Hubungan antara minat belajar dan kemampuan berbicara bahasa Jawa
Minat merupakan salah satu dimensi dari aspek afektif yang banyak
berperan dalam kehidupan seseorang, khususnya dalam kehidupan belajar
siswa termasuk dalam kegiatan berbicara. Minat merupakan suatu
kegemaran yang sengaja dilakukan dengan senang hati tanpa adanya suatu
paksaan.
Jika minat belajar bahasa Jawa siswa sudah tumbuh, maka
kegemarannya menggunakan bahasa Jawa untuk berbicara juga tumbuh.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
Dengan demikian, semakin tinggi minat belajar bahasa Jawa akan semakin
baik dalam berbicara bahasa Jawa.
3. Hubungan antara penguasaan kosakata dan minat belajar secara bersama-
sama dengan kemampuan berbicara bahasa Jawa
Kemampuan berbicara bahasa Jawa dipengaruhi oleh beberapa faktor
diantaranya minat belajar dan penguasaan kosakata. Dengan menguasai
kosakata bahasa Jawa siswa akan lebih tepat dalam berbicara bahasa Jawa.
Sedangkan minat belajar adalah faktor non kebahasaan yang
mempengaruhi diri seseorang untuk mau, malas, atau senang terhadap
suatu kegiatan. Jadi, jika minat belajar siswa terhadap bahasa Jawa sudah
muncul maka siswa juga akan gemar berbicara dengan bahasa Jawa.
Dengan demikian, jika penguasaan kosakata bahasa Jawa baik dan
minat belajar bahasa Jawa tinggi, maka diharapkan siswa akan mampu
berbicara bahasa Jawa dengan tepat sesuai dengan ragamnya.
Berdasarkan kerangka berpikir di atas, maka ada hubungan positif
antara penguasaan kosakata bahasa Jawa dan minat belajar bahasa Jawa
secara bersama-sama dengan kemampuan berbicara bahasa Jawa. Dari
uraian tersebut dapat digambarakan suatu model pemikiran sebagai
berikut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
3a
1a 2a
1b 3b 2b
Gambar 2. Model Alur Pemikiran
Keterangan:
1a = penguasaan kosakata semakin tinggi berkecenderungan
kemampuan berbicara bahasa Jawa juga semakin tinggi
1b = penguasaan kosakata semakin rendah berkecenderungan
kemampuan berbicara bahasa Jawa juga semakin rendah
2a = minat belajar semakin tinggi berkecenderungan
kemampuan berbicara bahasa Jawa juga semakin tinggi
2b = minat belajar semakin rendah berkecenderungan
kemampuan berbicara bahasa Jawa juga semakin rendah
Tinggi
Tinggi Tinggi
Kemampuan berbicara
bahasa Jawa (Y)
Minat belajar Penguasaan
kosakata
X2 X1 Rendah Rendah
Rendah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
3a = penguasaan kosakata dan minat belajar secara bersama-
sama semakin tinggi berkecenderungan kemampuan
berbicara bahasa Jawa juga semakin tinggi
3b = penguasaan kosakata dan minat belajar secara bersama-
sama semakin rendah kemampuan berbicara bahasa Jawa
juga semakin rendah
D. Pengajuan Hipotesis
Berdasarkan kerangka berpikir di atas dapat dikemukakan hipotesis
penelitian sebagai berikut.
1. Ada hubungan positif antara penguasaan kosakata dan kemampuan
berbicara bahasa Jawa
2. Ada hubungan positif antara minat belajar dan kemampuan berbicara
bahasa Jawa
3. Ada hubungan positif antara penguasaan kosakata dan minat belajar
secara bersama-sama dengan kemampuan berbicara bahasa Jawa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Pada bab ini akan dijelaskan tempat dan waktu penelitian, populasi,
sampel, dan penarikan sampel, metode penelitian, variabel penelitian dan
definisi operasional, teknik pengumpulan data, validitas dan reliabilitas
insrumen, uji prasyarat analisis, teknik analisi data, dan hipotesis statistik.
Selengkapnya adalah sebagai berikut.
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di SMA Negeri 1 Cilacap, SMA Negeri 1
Cipari, SMA Negeri 1 Bantarsari, SMA Negeri 1 Sidareja dan SMA
Negeri 1 Kedungreja. Penelitian dilaksanakan selama 9 bulan, dimulai
pada bulan Mei 2011 sampai dengan bulan Januari 2012. Penyusunan
proposal hingga seminar proposal dilakukan dari bulan Mei sampai
dengan bulan Juni. Kemudian penyusunan instrumen hingga uji validitas
dan reliabilitas instrumen dilakukan pada bulan Juli hingga Oktober.
Jadwal penelitian selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
Tabel 1. Jadwal Penelitian
B. Populasi, Sampel, dan Teknik Penarikan Sampel
1. Populasi
Dalam penelitian ini populasi penelitian adalah seluruh siswa kelas
X SMA Negeri se-Kabupaten Cilacap. Jumlah SMA Negeri se-
Kabupaten Cilacap adalah 17 sekolah.
2. Sampel
Sampel merupakan bagian dari populasi yang akan diteliti
(Sudjana, 1996). Sampel dalam penelitian ini adalah untuk wilayah
bagian timur, kelas X.J SMA Negeri 1 Cilacap, wilayah bagian barat,
kelas X.4 SMA Negeri 1 Cipari, bagian selatan, kelas X.1 SMA Negeri
1 Kedungreja, bagian utara adalah kelas X. 7 SMA Negeri 1 Sidareja.
Bagian terakhir adalah wilayah tengah, yaitu kelas X. 2 SMA Negeri 1
Bantarsari.
No Kegiatan Tahun 2011/2012 Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des Jan
1. Penyusunan proposal X 2. Revisi proposal X X 3. Seminar proposal X 4. Penyusunan instrumen
penelitian
X
X
X
5. Validitas & reliabilitas instrumen
X
X
X
6. Pengurusan surat ijin penelitian
X
6. Penelitian X X 7. Penyusunan laporan
penelitian
X
X
8. Ujian tesis X 9. Revisi X
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
3. Teknik Penarikan Sampel
Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa kelas X SMA Negeri
se-Kabupaten Cilacap. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian
ini adalah dengan multi-stage random sampling atau cluster random
sampling. Menurut Bhisma Murti (2010: 56), multi-stage sampling
merupakan skema pencuplikan di mana peneliti mencuplik sampel
melalui proses bertingkat. Tingkat pertama, dicuplik lima SMA Negeri
se-Kabupaten Cilacap yang mewakili wilayah bagian timur, barat,
selatan, utara dan tengah. Tingkat kedua dicuplik 1 kelas dari masing-
masing SMA yang telah dicuplik pada tingkat pertama.
C. Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan cara pemecahan masalah penelitian
yang dilaksanakan secara terencana dan cermat dengan maksud
mendapatkan fakta dan simpulan agara dapat memahami, menjelaskan,
meramalkan, dan mengendalikan keadaan (Syamsudin AR. dan Vismaia S.
Damaianti, 2006: 14). Metode juga merupakan cara kerja untuk
memahami dan mendalami objek yang menjadi sasaran. Melalui metode
yang tepat, seorang peneliti tidak hanya mampu melihat fakta sebagai
kenyataan, tetapi juga mampu memperkirakan kemungkinan-kemungkinan
yang dpat terjadi melalui fakta itu. Meskipun bekal pengetahuan bahasa
mencukupi, tetapi pemahaman metodologi penelitian bahasanya sempit,
seorang peneliti bahasa akan melakukan penelitian dengan persiapan yang
dangkal.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
Lebih lanjut Syamsudin AR. dan Vismaia S. Damaianti (2006: 15)
menjelaskan metode penelitian dikendalikan oleh garis-garis yang
konseptual dan prosedural. Pemikiran konseptual yang berupa gagasan-
gagasan orisinal dan pemikiran prosedural dimulai dari observasi dan
percobaan, dan berakhir pada pernyataan-pernyataan umum. Dengan kata
lain, proses yang ditetapkan dalam metode penelitian sangat sistematis dan
penuh tujuan. Lebih luas lagi metodologi mengacu pada rancangan ketika
peneliti memilih prosedur tertentu untuk menyelidiki dan memecahkan
suatu masalah.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode survei melalui studi korelasional. Metode survei merupakan
metode yang digunakan untuk memperoleh informasi yang berkaitan
dengan status gejala pada waktu penelitian berlangsung dan dapat
mengumpulkan data dari subjek penelitian. Studi korelasional merupakan
studi yang digunakan untuk mencari hubungan antara 2 variabel atau lebih
(Tulus Winarsunu, 2002: 71).
Mc Millan dan Scumacher (dalam Syamsudin AR. dan Vismaia S.
Damaianti, 2006: 25) menjelaskan penelitian korelasional berhubungan
dengan penilaian hubungan antara dua atau lebih fenomena. Jenis
penelitian ini biasanya melibatkan ukuran statistik tingkat / derajat
hubungan, disebut korelasi.
Ada dua jenis hubungan korelasi, yaitu korelasi positif dan korelasi
negatif menurut Syamsudin AR. dan Vismaia S. Damaianti (2006: 25).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
Korelasi positif artinya bahwa nilai tinggi variabel pada variabel pertama
berhubungan dengan nilai yang tinggi pada variabel kedua. Korelasi
negatif artinya bahwa nilai tinggi variabel pertama berhubungan dengan
nilai rendah variabel kedua.
Dalam penelitian ini terdapat 3 variabel, yaitu 2 variabel bebas (X1
dan X2) dan 1 variabel terikat(Y). Variabel terikat dalam penelitian ini
adalah kemampuan berbicara bahasa Jawa sedangkan variabel bebasnya
adalah penguasaan kosakata dan minat belajar.
Secara skematis, model hubungan antara variabel terikat dan
variabel bebas dalam penelitian ini dapat dilihat pada gambar berikut.
1
3
2
Gambar 3. Model Hubungan Antarvariabel
Keterangan:
1. Hubungan penguasaan kosakata dan kemampuan berbicara
bahasa Jawa
2. Hubungan minat belajar dan kemampuan berbicara bahasa
Jawa
Penguasaan kosakata (X1)
Minat Belajar (X2)
Kemampuan Berbicara Bahasa Jawa (Y)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
3. Hubungan penguasaan kosakata dan minat belajar secara
bersama-sama dengan kemampuan berbicara bahasa Jawa
D. Variabel Penelitian & Definisi Operasional
1. Variabel Penelitian
Variabel bebas atau variabel independen dalam penelitian ini
terdiri atas 2, yaitu: (1) penguasaan kosakata, dan (2) minat belajar.
Sementara itu, variabel terikat atau variabel dependen penelitian ini
adalah kemampuan berbicara Bahasa Jawa.
2. Definisi Operasional
a. Kemampuan Berbicara Bahasa Jawa
Kemampuan berbicara bahasa Jawa adalah skor yang diperoleh
siswa setelah merespon instrumen tes kemampuan berbicara. Skor
yang diperoleh siswa ini menunjukkan kecakapan mereka dalam
mengungkapkan apa yang menjadi maksudnya kepada orang lain
dengan bahasa lisan sesuai dengan tingkat tutur bahasa Jawa. Tes
kemampuan berbicara ini berbentuk tes unjuk kerja. Adapun aspek
yang dinilai dalam tes kemampuan berbicara bahasa Jawa siswa adalah
(1) ekspresi; (2) kelancaran penyampaian maksud; (3) ketepatan
penggunaan tingkat tutur; (4) kejelasan ucapan/pelafalan; (5)
keruntutan cerita; (6) kesesuaian isi cerita.
b. Penguasaan Kosakata
Penguasaan Kosakata adalah skor yang diperoleh siswa setelah
merespon tes penguasaan kosakata. Skor ini menunjukkan penguasaan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
kosakata siswa dalam berbicara dalam bahasa Jawa sesuai dengan
tingkat tuturnya.
c. Minat belajar
Minat adalah suatu perasaan pernyataan psikis yang menunjukkan
adanya pemusatan perhatian terhadap suatu objek, karena objek
tersebut menarik dirinya. Indikator untuk mengukur minat adalah: (1)
penyediaan waktu; (2) keuletan; (3) pengorbanan; (4) tingkat
kesenangan; (5) kesadaran kemanfaatan; (6) tingkat perhatian; (7)
target capaian dan rasa bangga.
E. Teknik Pengumpulan Data
Data adalah segala fakta atau keterangan tentang sesuatu yang
dapat dijadikan bahan untuk menyusun suatu informasi. Setiap informasi
diharapkan dapat memberikan gambaran, keterangan, dan fakta yang
akurat mengenai suatu kejadian / kondisi tertentu. Oleh karena itu perlu
dipilih suatu tehnik pengumpulan data yang tepat, yang sesuai dengan
karakteristik dari satuan pengamatan yang akan diungkap / diketahui
(Sambas Ali dan Maman Abdurrahman, 2007: 19).
Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini
digunakan teknik pengumpulan data berbentuk tes dan angket. Tes
merupakan sebuah instrumen atau prosedur yang sistematis untuk
mengukur suatu sampel tingkah laku yang jawabnya berupa angka
(Gronlund dalam Burhan Nurgiyantoro, 2010: 105). Pengumpulan
informasi lewat teknik tes lazimnya dilakukan lewat pemberian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
seperangkat tugas, latihan, atau pertanyaan yang harus dikerjakan oleh
peserta didik (testi, tercoba) yang sedang dites. Untuk melakukan kegiatan
tes diperlukan suatu perangkat tugas, pertanyaan, atau latihan. Perangkat
tugas inilah yang kemudian dikenal sebagai alat tes atau instrumen tes.
Jawaban yang diberikan peserta didik terhadap pertanyaan-pertanyaan
tersebut dianggap sebagai informasi terpercaya yang mencerminkan
kompetensi, pengetahuan, atau keterampilan yang sedang diukur
capaiannya. Informasi tersebut kemudian dinyatakan sebagai salah satu
masukan penting untuk mempertimbangkan posisi peserta didik dalam
capaian prestasi belajar (Burhan Nurgiyantoro, 2010: 105).
Burhan Nurgiyantoro lebih lanjut mengemukakan bahwa tes dapat
dibedakan menjadi berbagai macam tergantung dari segi membedakannya.
Berdasarkan jumlah individu yang dites, tes dapat dibedakan menjadi tes
individual dan tes kelompok. Tes individual terjadi jika sewaktu
melaksanakan kegiatan tes guru hanya menghadapi seorang peserta didik.
Misalnya, jika guru menghendaki tes satu per satu seperti dalam ujian
lisan, praktik berbicara, wawancara, dan lain-lain. Sebaliknya, dalam tes
kelompok yang dihadapi guru adalah sejumlah peserta didik.
Berdasarkan jawaban yang dikehendaki yang diberikan peserta
didik, tes dapat dibedakan ke dalam tes perbuatan dan tes verbal. Tes
perbuatan adalah tes yang menuntut respon peserta didik berupa tingkah
laku yang melibatkan gerakan otot, tes kinerja, unjuk kerja performansi.
Tes perbuatan dimaksudkan untuk mengukur tujuan-tujuan yang berkaitan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
dengan aspek psikomotorik. Tes verbal di pihak lain menghendaki
jawaban peserta didik yangberupa tingkah laku verbal, yaitu jawaban yang
berbentuk bahasa yang berisi kata-kata dan kalimat. Dilihat dari segi cara
menjawabnya, tes verbal dibedakan menjadi tes lisan dan tes tertulis. Tes
lisan menhendaki jawaban peserta didik diberikan secara lisan, sedang tes
tertulis menuntut jawaban peserta didik diberikan secara tertulis.
Tes lisan adalah tes yang perintah, pertanyaan, dan jawabannya
dilakukan secara lisan. Baik guru yang memberi perintah atau pertanyaan
maupun peserta didik yang menjawabnya dilakukan secara lisan (Burhan
Nurgiyantoro, 2010: 140). Ujian lisan dapat berupa tes formtif, ulangan
harian, atau bahkan mungkin tes sumatif. Ujian ini biasanya dilakukan
secara individual, seorang demi seorang per peserta didik hingga seluruh
peserta didik mendapat bagian. Ujian lisan yang demikian akan
membutuhkan waktu yang lama dan tenaga yang lebih banyak, maka
penyelenggaraannya harus juga mempertimbangkan hal-hal tersebut.
Bentuk nontes yang berupa wawancara dalam kondisi tertentu juga dapat
dipandang sebagai tes lisan. Hal itu jika wawancara dimaksudkan untuk
mengukur kompetensi berbahasa lisan pembelajar yang diwawancarai.
Burhan Nurgiyantoro (2010: 142) menjelaskan tes kinerja, unjuk
kerja, perbuatan atau performansi tidak berbeda pengertiannya dengan tes
psikomotorik. Pada intinya tes kinerja adalah tes atau tugas yang menuntut
pelibatan aktivitas motorik dalam meresponnya. Dalam pembelajaran
bahasa tes kinerja dikaitkan dengan kompetensi berbahasa yang mencakup
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
keempat kompetensi berbahasa, yaitu menyimak dan membaca (aktif
reseptif) serta berbicara dan menulis (aktif produktif).
Tes kinerja dan tes lisan sebagai salah satu cara mengukur hasil
belajar berbahasa bisa tumpang tindih. Sebuah tes kompetensi berbahasa
dan bersastra yang diklaim sebagai tes lisan sebenarnya juga berupa tes
kinerja. Tes kinerja atau tugas-tugas berunjuk kerja bahasa yang memakai
saluran lisan misalnya wawancara, menceritakan kembali wacana yang
didengar atau dibaca, berbagai jenis membaca bersuara seperti membaca
nyaring, membaca indah, membaca puisi, cerpen, drama, berdeklamasi,
dan lain-lain (Burhan Nurgiyantoro, 2007: 142-143).
Secara garis besar, Burhan Nurgiyantoro mengemukakan bentuk
tes dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu tes uraian, tes objektif, dan
tes uraian objektif. Bentuk tes uraian atau esai adalah suatu bentuk
pertanyaan yang menuntut jawaban peserta didik dalam bentuk uraian
dengan memergunakan bahasa sendiri. Dalam bentuk tes uraian itu peserta
didik dituntut berpikir tentang dan memergunakan apa yang diketahui
yang berkenaan dengan petanyaan yang harus dijawab. Bentuk tes uraian
memberi kebebasan kepada peserta didik untuk menyusun dan
mengemukakan jawabannya sendiri dalam lingkup yang secara relative
dibatasi (Tuckman dalam Burhan Nurgiyantoro, 2010: 117).
Bentuk tes objektif disebut juga sebagai tes jawaban singkat (short
answer test). Sesuai dengan namanya, tes jawab singkat menuntut peserta
didik hanya dengan memberikan jawaban singkat, bahkan hanya dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
memilih kode-kode tertentu yang mewakili alternative jawaban yang telah
disediakan, misalnya dengan memberikan tanda silang, melingkari atau
menghitamkan opsi jawaban yang dipilih. Jawaban terhadap tes objektif
bersifat pasti dan dikhotomis, hanya ada satu kemungkinan jawaban yang
benar. Jika peserta didik tidak menjawab “seperti itu” (opsi atau jawaban
yang dinyatakan benar) dinyatakan salah, dan tidak ada bobot atau skala
terhadap jawaban suatu butir soal seperti halnya pada tes uraian. Oleh
karena jawabannya bersifat pasti, jawaban peserta didik yang benar
terhadap suatu butir soal, akan dinyatakan benar oleh korektor, entah
siapapun korektornya. Dengan demikian, dengan mudah dan pasti terjadi
kesepakatan di antara para korektor tentang jawaban yang benar. Hasil
pekerjaan peserta didik diperiksa oleh siapapun dan kapanpun akan
menghasilkan skor yang kurang lebih sama. Oleh karena itu tes ini disebut
sebagai tes objektif (Burhan Nurgiyantoro, 2010: 122).
Sebagai alat pengukur hasil belajar peserta didik, Burhan
Nurgiyantoro (2007: 122-123) mengemukakan bahwa tes objektif
memiliki kelebihan dan kelemahan. Kelebihannya adalah:
a. Indikator dan bahan yang akan diteskan dimungkinkan lebih
menyeluruh daripada tes uraian. Pembuatan tes objektif bisa
relative banyak karena dapat dikerjakan secara cepat, dan itu berarti
dapat mencakup bahan yang lebih banyak pula. Hal itu akan
meningkatkan validitas isi alat tes yang bersangkutan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
b. Bentuk tes objektif hanya memungkinkan adanya satu jawaban
yang benar. Hal itu akan menimbulkan adanya sifat objektivitas
bagi peserta didik yang menjawab pertanyaan dan guru atau
korektor yang memeriksa pekerjaan pserta didik. Keadaan ini
memungkinkan terjadinya sifat reliabilitas penilaian yang tinggi.
c. Bentuk tes objektif sangat mudah dikoreksi karena hanya
mencocokkan jawaban peserta didik dengan kinci jawaban yang
telah disediakan.
d. Hasil pekerjaan bentuk tes objektif dapat dikoreksi secara cepat
dengan hasil yang dapat dipercaya.
Kelemahan yang dimiliki tes objektif menurut Nurgiyantoro (2007:
123-124) adalah sebagai berikut:
a. Penyusunan bentuk tes objektif membutuhkan waktu yang relative
lebih lama, di samping membutuhan ketelitian, kecermatan, dan
kemampuan khusus dari pihak guru.
b. Ada kecenderungan guru yang hanya menekankan perhatiannya
pada indikator-indikator dan atau bahan ajar tertentu saja sehingga
tes tidak bersifat komprehensif. Di samping itu, jika dilihat dari sisi
jenjang kompetensi berpikir, yang dibuat pada umumnya hanya
berupa jenjang-jenjang dasar: ingatan dan pemahaman, atau sedikit
penerapan.
c. Pihak peserta didik yang mengerjakan tes mungkin sekali
melakukan hal-hal yang bersifat untung-untungan. Seorang peserta
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
didik mungkin tidak mengerti sama sekali jawaban yang benar
terhadap suatu butir soal. Walau hanya asal menjawab pertanyaan,
jawabannya mungkin betul. Di samping itu, kerjasama antarpeserta
didik sangat mudah terjadi. Jika hal ini terjadi, skor yang doicapai
peserta didik belum tentu mencerminkan kompetensi atau capaian
belajar yang sebenarnya.
d. Bentuk tes objektif biasanya panjang sehingga membutuhkan biaya
yang besar untuk pengadaannya. Pengadaan tes objektif juga
memerlukan waktu yang lama, misalnya dalam penyusunan,
perbanyakan, dan pengurutan nomor.
Burhan Nurgiyantoro di samping mengemukakan kelemahan dan
kelebihannya, juga memberikan usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk
mengurangi kelemahan bentuk tes objektif, yaitu sebagai berikut:
a. Penyusunan butir-butir soal bentuk tes objektif hendaknya
mendasarkan diri pada kisi-kisi yang telah dipersiapkan
sebelumnya. Dengan cara itu akan dapat diatasi kecenderungan
guru yang terpusat pada kompetensi dasar, indikator, atau bahan
ajar tertentu dan kurang memperhatikan kompetensi dasar,
indikator, atau bahan ajar yang lain.
b. Kesulitan penyusunan tes objektif antara lain dapat diatasi dengan
berlatih secara berkesinambungan, mempelajari bentuk tes objektif
sususnan orang lain yang baik, dan lain-lain bahkan harus
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
memahami kompetensi dasar dan indikator, serta bahan ajar terkait
yang akan disusun alat tesnya.
c. Kemungkinan adanya peseta didik yang untung-untungan atau
bekerjasama dapat diatasi dengan mengenakan rumus tebakan
dalam penyekoran hasil pekerjaan peserta didik, pengawasan yang
ketat ketika pelaksanaan ujian.
d. Besarnya dana yang dibutuhkan dalam pengadaan tes objektif
kiranya antara lain dapat diatasi dengan mempergunakan alat tes itu
lebih dari hanya satu kali. Tentu saja hal ini hanya dapat dilakukan
jika alat tes itu dapat dipertanggungjawabkan dari segi validitas,
reliabilitas, dan efektivitas butir-butir soalnya. Dengan kata lain,
ujian yang terdahulu harus dianalisis untuk memastikan hal-hal
tersebut.
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, untuk memperoleh data
yang diperlukan dalam penelitian ini digunakan teknik pengumpulan data
berbentuk tes dan angket. Tes yang digunakan adalah tes kinerja dan tes
objektif pilihan ganda. Tes kinerja digunakan untuk mengukur
kemampuan berbicara bahasa Jawa siswa kelas X SMA Negeri se-
Kabupaten Cilacap. Tes ini meliputi: (1) ekspresi; (2) kelancaran
penyampaian maksud cerita; (3) ketepatan penggunaan tingkat tutur; (4)
kejelasan ucapan / pelafalan; (5) keruntutan cerita; (6) kesesuaian isi
cerita. Tes objektif pilihan ganda digunakan untuk mengukur penguasaan
kosakata bahasa Jawa siswa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
Kuesioner atau yang juga dikenal sebagai angket merupakan satu
teknik pengumpulan data dalam bentuk pengajuan pertanyaan tertulis
melalui sebuah daftar pertanyaan yang sudah dipersiapkan sebelumnya,
dan harus diisi oleh responden (Sambas Ali dan Maman Abdurrahman,
2007: 25).
Muhammad Ali (dalam Sambas Ali dan Maman Abdurrahman,
2007: 25) menyatakan bahwa kuesioner mempunyai kelebihan dan
kekurangan. Kelebihan kuesioner sebagai alat pengumpul data adalah: (1)
angket dapat digunakan untuk mengumpulkan data dari sejumlah besar
responden yang menjadi sampel, (b) dalam menjawab pertanyaan melalui
angket responden dapat lebih leluasa, karena tidak dipengaruhi oleh sikap
mental hubungan antara peneliti dengan responden, (c) setiap jawaban
dapat dipikirkan masak-masak terlebih dahulu, karena tidak terikat oleh
cepatnya waktu yang diberikan kepada responden untuk menjawab
pertanyaan sebagaimana wawancara, (d) data yang terkumpul lebih mudah
dianalisa, karena pertanyaan yang diajukan kepada setiap responden
adalah sama.
Sementara kekurangan kuesioner sebagai alat pengumpul data
yaitu (a) pemakaian angket terbatas pada pengumpulan pendapat atau fakta
yang diketahui responden, dan tidak dapat diperoleh dengan jalan lain, (b)
sering terjadi angket diisi oleh orang lain (bukan responden yang
sebenarnya), karena tidak dilakukan secara langsung berhadapn muka
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
antara peneliti dengan responden, (c) angket diberikan terbatas kepada
orang yang melek huruf.
Bentuk kuesioner secara garis besar terdiri dari dua macam, yaitu
kuesioner berstruktur dan kuesioner tidak berstruktur. Kuesioner
berstruktur adalah kuesioner yang disusun dengan menyediakan pilihan
jawaban, sehingga responden hanya tinggal memberi tanda pada jawaban
yang dipilih. Bentuk jawaban kuesioner berstruktur adalah tertutup, artinya
pada setiap item sudah tersedia berbagai alternatif jawaban. Kuesioner
tidak berstruktur adalah kuesioner yang disusun sedemikian rupa sehingga
responden bebas mengemukakan pendapatnya. Bentuk jawaban kuesioner
tak berstruktur adalah terbuka, artinya setiap item belum terperinci dengan
jelas jawabannya. Kondisi ini memungkinkan jawaban responden sangat
beraneka ragam.
Angket yang digunakan untuk mendapatkan data tentang minat
belajar siswa dalam penelitian ini adalah angket atau kuesioner
berstruktur. Angket ini berupa pertanyaan yang diikuti oleh respons atau
jawaban yang telah tersedia yang menunjukkan tingkatan. Adapun empat
respon atau tingkatan itu adalah SS = sangat setuju, S = setuju, TS = tidak
setuju, STS = sangat tidak setuju. Pada item atau pertanyaan yang bersifat
positif, respon atau jawaban SS bernilai 4, S bernilai 3, TS bernilai 2, dan
STS bernilai 1. Sedangkan pada item yang bersifat negatif, SS bernilai 1, S
bernilai 2, TS bernilai 3, dan STS bernilai 4. Indikator untuk mengukur
minat adalah: (1) penyediaan waktu; (2) keuletan; (3) pengorbanan; (4)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
tingkat kesenangan; (5) kesadaran kemanfaatan; (6) tingkat perhatian; (7)
target capaian dan rasa bangga.
F. Validitas dan Reliabilitas Instrumen
Langkah yang tak kalah penting dalam rangka kegiatan
pengumpulan data adalah melakukan pengujian terhadap instrumen (alat
ukur) yang akan digunakan. Kegiatan pengujian instrumen penelitian
meliputi dua hal, yaitu pengujian validitas dan reliabilitas. Pentingnya
pengujian validitas dan reliabilitas berkaitan dengan proses pengukuran
yang cenderung keliru. Uji validitas dan reliabilitas diperlukan sebagai
upaya memaksimalkan kualitas alat ukur, agar kecenderungan keliru dapat
diminimalkan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa validitas dan
reliabilitas adalah tempat kedudukan untuk menilai kualitas semua alat dan
prosedur pengukuran (Sambas Ali dan Maman Abdurrahman, 2007: 30).
1. Validitas
Suatu instrumen pengukuran dikatakan valid jika instrumen dapat
mengukur sesuatu dengan tepat apa yang hendak diukur. Ada dua jenis
validitas untuk instrumen penelitian, yaitu validitas logis (logical validity)
dan validitas empiric (empirical validity) (Suharsimi Arikunto dalam
Sambas Ali dan Maman Abdurrahman, 2007: 30).
Validitas logis adalah validitas yang dinyatakan berdasarkan hasil
penalaran. Instrumen dinyatakan memiliki validitas apabila instrumen
tersebut telah dirancang dengan baik dan mengikuti teori dan ketentuan
yang ada. Artinya, apabila instrumen yang sudah disusun berdasarkan teori
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
penyusunan instrumen, maka secara logis instrumen tersebut sudah valid
(Sambas Ali dan Maman Abdurrahman, 2007: 30).
Validitas empirik adalah validitas yang dinyatakan berdasarkan hasil
pengalaman. Sebuah instrumen penelitian dikatakan memiliki validitas
apabila sudah teruji dari pengalaman. Dengan demikian, syarat instrumen
memiliki validitas apabila sudah dibuktikan melalui pengalaman, yaitu
melalui sebuah uji coba (Sambas Ali dan Maman Abdurrahman, 2007: 30-
31).
Untuk validasi instrumen kemampuan berbicara bahasa Jawa tidak
dilakukan secara empirik atau melalui penghitungan statistik, tetapi hanya
digunakan validitas logis yang mendasarkan pada teori-teori/konsep yang
digunakan (dalam hal ini tercermin pada indikator-indikator kemampuan
berbicara itu sendiri).
Langkah kerja yang dilakukan dalam rangka mengukur validitas
instrumen penelitian adalah sebagai berikut:
a. Menyebarkan instrumen yang akan diuji validitasnya kepada
responden yang bukan merupakan responden sesungguhnya.
Responden dalam uji validitas instrumen penguasaan kosakata
sejumlah 30, sedangkan responden dalam uji validitas instrumen
minat belajar sejumlah 40.
b. Mengumpulkan data hasil uji coba instrumen.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
c. Memeriksa kelengkapan data, untuk memastikan lengkap tidaknya
lembaran data yang terkumpul. Termasuk di dalamnya memeriksa
kelengkapan pengisian item angket.
d. Membuat tabel pembantu untuk menempatkan skor-skor pada item
yang diperoleh. Hal ini dilakukan untuk mempermudah perhitungan
atau pengolahan data selanjutnya.
e. Memberikan / menempatkan skor (scoring) terhadap item-item yang
sudah diisi pada tabel pembantu.
f. Menghitung koefisien korelasi produk momen untuk setiap butir /
angket dari skor-skor yang diperoleh.
g. Menentukan nilai tabel koefisien korelasi pada df (degree of freedom)
= n – 2; uji validitas instrumen penguasaan kosakata memiliki N = 30
sehingga df = 30 – 2 = 28 dan uji validitas instrumen minat belajar
memiliki N = 40 sehingga df = 40 – 2 = 38, dengan α = 5%
h. Membuat kesimpulan dengan cara membandingkan nilai hitung r
dengan nilai tabel r. criteria yang diberlakukan adalah jika nilai r
hitung lebih besar (>) dari nilai r tabel, maka item dinyatankan valid.
(Sambas Ali dan Maman Abdurrahman, 2007: 31-36).
Untuk mempermudah pengujian validitas instrumen tes penguasaan
kosakata dan minat belajar bahasa Jawa siswa, digunakan program
Statistical Product and Service Solution (SPSS) versi 15.0.
Berdasarkan langkah kerja di atas, suatu tes atau item penelitian
dikatakan valid jika nilai r hitung lebih besar daripada nilai r tabel, taraf
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
signifikan ditentukan 5%, jika diperoleh hasil korelasi yang lebih besar
dari r tabel pada taraf signifikan 0.05 berarti pertanyaan tersebut valid.
Berdasarkan uji coba instrumen penguasaan kosakata dengan
menggunakan responden 30 orang dan uji coba instrumen minat belajar
dengan responden 40 orang, maka dengan nilai kritik pada taraf
signifikansi 5%, hasil uji validitas butir instrumen (rhitung) selanjutnya
dikonsultasikan dengan rtabel harga kritik dari rtabel product moment df = 28
adalah r = 0,374 dan harga rtabel product moment pada df = 38 adalah r =
0,320. Bila rhitung lebih besar dari rtabel maka butir instrumen valid atau
sebaliknya tidak valid.
Berdasarkan hasil uji validitas yang telah dilakukan, dapat diketahui
sebagai berikut:
1) Instrumen Penguasaan Kosakata
Jumlah item pertanyaan = 30 item. Dari 30 butir item pertanyaan
25 item dinyatakan valid dengan range skor validitas = 0,403 - 0,726 >
0,374 dalam penelitian selanjutnya semua item yang valid diikutkan
dalam instrumen penelitian. Sedangkan 5 item yang tidak valid didrop
atau tidak digunakan dalam penelitian.
2) Instrumen Minat Belajar
Jumlah item pernyataan = 40 item. Dari 40 butir item pernyataan
32 item dinyatakan valid dengan range skor validitas = 0,345 – 0,679 >
0,320. Dalam penelitian selanjutnya 30 item yang valid digunakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
sebagai instrumen penelitian dan 8 item yang tidak valid didrop dan 2
item tidak digunakan dalam penelitian.
2. Reliabilitas Instrumen
Pengujian alat pengumpulan data yang kedua adalah pengujian
reliabilitas instrumen. Suatu instrumen pengukuran dikatakan reliabel
jika pengukurannya konsisten dan cermat akurat. Jadi uji reliabilitas
instrumen dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui konsistensi dari
instrumen sebagai alat ukur, sehingga hasil suatu pengukuran dapat
dipercaya (Sambas Ali dan Maman Abdurrahman, 2007: 37).
Tuckman (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2010: 165)
mengungkapkan istilah reliabilitas tes menunjuk pada pengertian
apakah suatu tes dapat mengukur secara konsisten sesuatu yang akan
diukur dari waktu ke waktu. Reliabilitas dinyatakan dengan koefisien
reliabilitas (r) yang angkanya berada dalam rentang 0 sampai dengan
1,00. Semakin tinggi koefisien reliabilitas mendekati angka 1,00
berarti semakin tinggi reliabilitasnya. Sebaliknya, koefisien reliabilitas
yang semakin rendah mendekati 0 berarti semakin rendah nilai
reliabilitasnya.
Langkah kerja yang dilakukan dalam rangka mengukur reliabilitas
instrumen penelitian adalah sebagai berikut:
a. Menyebarkan instrumen yang akan diuji reliabilitasnya kepada
responden yang bukan merupakan responden sesungguhnya.
Responden dalam uji reliabilitas instrumen penguasaan kosakata
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
sejumlah 30, sedangkan responden dalam uji reliabilitas instrumen
minat belajar sejumlah 40.
b. Mengumpulkan data hasil uji coba instrumen.
c. Memeriksa kelengkapan data, untuk memastikan lengkap tidaknya
lembaran data yang terkumpul. Termasuk di dalamnya memeriksa
kelengkapan pengisian item angket.
d. Membuat tabel pembantu untuk menempatkan skor-skor pada item
yang diperoleh. Hal ini dilakukan untuk mempermudah
perhitungan atau pengolahan data selanjutnya.
e. Memberikan / menempatkan skor (scoring) terhadap item-item
yang sudah diisi pada tabel pembantu.
f. Menghitung koefisien korelasi produk momen untuk setiap butir /
angket dari skor-skor yang diperoleh.
g. Menentukan nilai tabel koefisien korelasi pada df (degree of
freedom) = n – 2; uji reliabilitas instrumen penguasaan kosakata
memiliki N = 30 sehingga df = 30 – 2 = 28 dan uji reliabilitas
instrumen minat belajar memiliki N = 40 sehingga df = 40 – 2 =
38. Untuk uji reliabilitas kemampuan berbicara df = (rater)(aspek)
- 1. Sehingga diperoleh df untuk kemampuan berbicara = 17,
dengan α = 5%
h. Membuat kesimpulan dengan cara membandingkan nilai hitung r
dengan nilai tabel r. Kriteria yang diberlakukan adalah jika nilai r
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
hitung lebih besar (>) dari nilai r tabel, maka item dinyatankan
reliabel.
(Sambas Ali dan Maman Abdurrahman, 2007: 38-41).
Berdasarkan langkah kerja di atas, suatu tes atau item penelitian
dikatakan reliabel jika nilai r hitung lebih besar daripada nilai r tabel,
taraf signifikan ditentukan 5%.
Berdasarkan uji coba instrumen penguasaan kosakata dengan
menggunakan responden 30 orang dan uji coba instrumen minat
belajar dengan responden 40 orang, maka dengan nilai kritik pada taraf
signifikansi 5%, hasil uji reliabilitas butir instrumen (rhitung) selanjutnya
dikonsultasikan dengan rtabel harga kritik dari rtabel product moment df =
28 adalah r = 0,361 dan harga rtabel product moment pada df = 38
adalah r = 0,312 sedangkan rtabel product moment df = 17 adalah r =
0,456. Bila rhitung lebih besar dari rtabel maka butir instrumen reliabel
atau sebaliknya tidak reliabel.
Untuk mempermudah penghitungan reliabilitas instrumen tes
penguasaan kosakata dan angket minat belajar bahasa Jawa siswa
dalam penelitian ini digunakan program Statistical Product and
Service Solution (SPSS) versi 15.0. Sedangkan untuk menghitung
reliabilitas kemampuan berbicara digunakan rumus reliabilitas rating
sebagai berikut:
1. Menghitung jumlah kuadrat total (JKT)
JKT = Σt2 -
∑(푟푎푡푒푟푠)(푎푠푝푒푘)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
Kemudian dicari derajat bebas total (dbt) dengan rumus:
dbt = (aspek)(raters) – 1
2. Menghitung jumlah kuadrat antar-raters (Jkt) dengan rumus:
Jkt = (∑푋푡1)2+(∑푋푡2)2+ ……….(∑푋푡푛)2
푎푠푝푒푘− (∑푋푠)2
(푟푎푡푒푟푠) 푎푠 慡푒푘
Kemudian dicari derajat bebas total (dbt) dengan rumus:
dbt = raters – 1
3. Menghitung jumlah nilai antaraspek (Jks)
Jks = (∑푋푠1)2+(∑푋푠2)2+ ……….(∑푋푠푛)2
푎푠푝푒푘− (∑푋푠)2
(푟푎푡푒푟푠)( 푎푠푝푒푘)
Selanjutnya dicari derajat bebas aspek (dbs) dengan rumus:
dbs = aspek – 1
4. Menghitung jumlah kuadrat total residu (JKTs) dengan rumus:
JKTs = JKT - Jkt – Jks
Selanjutnya dicari derajat total dengan rumus:
dbts = (aspek-1)(raters-1)
Uji coba reliabilitas instrumen mendapatkan hasil sebagai berikut:
1. Instrumen Kemampuan Berbicara
Hasil uji reliabilitas tes kemampuan berbicara diperoleh r = 0,868
berarti instrumen kemampuan berbicara reliabel karena r hitung lebih
besar dari r tabel yaitu 0,868 > 0,456. Perhitungan reliabilitas rating
selengkapnya terdapat pada lampiran.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
2. Instrumen Penguasaan Kosakata
Hasil uji reliabilitas tes penguasaan kosakata diperoleh r = 0,895
berarti instrumen penguasaan kosakata reliabel karena hasil r hitung
lebih besar dari r tabel yaitu 0,895 > 0,361. Reliabilitas tes penguasaan
kosakata terlihat dalam keluaran spss berikut.
Tabel 2. Reliabilitas Instrumen Penguasaan Kosakata
3. Instrumen Minat Belajar
Hasil uji reliabilitas angket minat belajar diperoleh r = 0,928 berarti
instrumen minat belajar reliabel karena hasil r hitung lebih besar dari r
tabel yaitu 0,928 > 0,312. Hal ini terlihat dalam keluaran spss di bawah
ini.
Tabel 3. Reliabilitas Instrumen Minat Belajar
G. Uji Prasyarat Analisis
Sebelum data penelitian dianalisis, data tersebut perlu diuji
prasyarat analisis yaitu uji normalitas. Uji normalitas data dimaksudkan
untuk memperlihatkan bahwa data sampel berasal dari populasi yang
berdistribusi normal. Data yang berdistribusi normal berarti memiliki sebaran
yang normal pula. Dengan profil data yang memiliki sebaran yang normal
Cronbach's Alpha N of Items
.895 30
Cronbach's Alpha N of Items
.928 40
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
maka data tersebut dianggap dapat mewakili populasi. Ada beberapa teknik
yang dapat digunakan untuk menguji normalitas data, antara lain uji chi-
kuadrat, uji lilliefors, dan uji kolmogorov-smirnov. Uji normalitas dalam
penelitian ini menggunakan tes Kolmogorov-Smirnov dengan bantuan
program Statistical Product and Service Solution (SPSS) versi 15.0.
Linieritas adalah keadaan di mana hubungan antara variabel
dependen dengan variabel independen bersifat linier (garis lurus) dalam
range variabel independen tertentu. Uji linieritas dilakukan untuk
mengetahui persamaan garis regresi variabel bebas X terhadap variabel
terikat Y bersifat linier (garis lurus) atau tidak. Berdasarkan garis regresi
yang telah dibuat, selanjutnya diuji keberartian koefisien garis regresi serta
linieritasnya. Uji linieritas antara variabel bebas X dengan variabel terikat
Y menggunakan Test of Linierity dengan bantuan program Statistical
Product and Service Solution (SPSS) versi 15.0.
1. Uji Normalitas
Hasil uji normalitas data dengan tes Kolmogorov-Smirnov dengan
bantuan program Statistical Product and Service Solution (SPSS) versi
15.0 dapat dilihat dalam tabel rangkuman pengujian sebagai berikut.
Tabel 4. Rekap Hasil Uji Normalitas
Variabel Koefisien p α Status
Kemampuan berbicara 0,115 0,05 Normal
Penguasaan Kosakata 0,133 0,05 Normal
Minat Belajar 0,416 0,05 normal
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
H0 = sampel ditarik dari populasi berdistribusi normal
H1 = sampel ditarik dari populasi berdistribusi tidak normal
α = 0,05
- sig > 0,05 maka H0 diterima (normal)
- sig < 0,05 maka H0 ditolak (tidak normal)
Dari tabel rangkuman hasil pengujian di atas, kemampuan
berbicara memiliki nilai sig. (signifikansi) sebesar 0,115 > 0,05, kemudian
penguasaan kosakata memiliki nilai sig. 0,133 > 0,05, dan nilai sig. minat
sebesar 0,416 > 0,05. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa data-data
tersebut, yaitu kemampuan berbicara, penguasaan kosakata, dan minat
belajar ditarik dari populasi yang berdistribusi normal. Dengan kata lain,
H0 diterima.
2. Uji Linieritas
Perhitungan linieritas dengan Anava berdasarkan sumber variasi
deviation from linearity dilakukan dengan menggunakan program
Statistical Product and Service Solution (SPSS) versi 15.0. rangkuman
pengujian dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 5. Rekap Hasil Uji Linieritas
Variabel Koefisien p α Status Kemampuan berbicara - Penguasaan Kosakata 0,480 0,05 Linier Kemampuan berbicara - Minat Belajar 0,087 0,05 Linier
Berdasarkan tabel tersebut diketahui bahwa uji linieritas hubungan
antara masing-masing variabel independen dengan variabel dependen
menghasilkam nilai p > 0,05. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
80
hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen berbentuk
linier.
H. Teknik Analisis Data
Penelitian ini menggunakan teknik kuantitatif korelasi sehingga uji
hipotesis yang digunakan ialah teknik analisis korelasi (sederhana dan
ganda). Dalam program Statistical Product and Service Solution (SPSS)
tidak terdapat menu korelasi ganda secara khusus, sehingga digunakan
menu regression. Adapun bentuk persamaan regresi linier yang akan dicari
adalah regresi Y atas X1 dan X2 dengan model:
Ŷ = bo + b1 X1 + b2 X2
I. Hipotesis Statistik
1. Ho = ry1≤ 0 (tidak terdapat hubungan antara penguasaan kosakata dan
kemampuan berbicara bahasa Jawa)
Ho = ry1> 0 (terdapat hubungan antara penguasaan kosakata dan
kemampuan berbicara bahasa Jawa)
2. Ho = ry2≤ 0 (tidak terdapat hubungan antara minat belajar dan
kemampuan berbicara bahasa Jawa)
Ho = ry2>0 (terdapat hubungan antara minat belajar dan kemampuan
berbicara bahasa Jawa)
3. Ho = Ry12≤ 0 (tidak terdapat hubungan antara penguasaan kosakata
dan minat belajar secara bersama-sama dengan kemampuan berbicara
bahasa Jawa)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
81
Ho = Ry12>0 (terdapat hubungan antara penguasaan kosakata dan
minat belajar secara bersama-sama dengan kemampuan berbicara
bahasa Jawa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
82
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam hasil penelitian dibicarakan tiga pokok bahasan, yaitu deskripsi
data masing-masing variabel, pengujian prasyarat analisis, pengujian hipotesis
serta pembahasan dan analisis data.
A. Deskripsi Data
Dalam deskripsi data akan dikemukakan mengenai data kemampuan
berbicara bahasa Jawa, penguasaaan kosakata, dan data minat belajar siswa kelas
X SMA Negeri se- Kabupaten Cilacap.
1. Data Kemampuan Berbicara
Data kemampuan berbicara merupakan skor yang diperoleh
melalui tes kinerja. Data ini memiliki nilai tertinggi sebesar 25, nilai
terendah sebesar 11, rata-rata sebesar 18,196, median sebesar 18, modus
sebesar 18, dan standar deviasi sebesar 3,17. Adapun sebaran frekuensinya
disajikan dalam diagram 1 berikut:
Tabel 6. Deskriptif Data Kemampuan Berbicara
Variabel Max Min Mean Median Modus SD
Kemampuan Berbicara Bahasa Jawa
25 11 18,196 18 18 3,17
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
83
Adapun distribusi frekuensi data kemampuan berbicara bahasa
Jawa dapat disajikan dalam tabel dan histogram sebagai berikut:
Tabel 7. Distribusi Frekuensi Data Kemampuan Berbicara Bahasa Jawa
Skor f absolut f relatif (%)
10,5 – 12,5 7 4,1
12,5 – 14,5 12 7,1
14,5 – 16,5 31 18,3
16,5 – 18,5 45 26,6
18,5 – 20,5 37 21,8
20,5 – 22,5 19 11,2
22,5 – 24,5 14 8,2
24,5 – 26,5 4 2,3
Jumlah 169 100
Gambar 4. Histogram Data Kemampuan Berbicara Bahasa Jawa
712
31
45
37
1914
4
0
10
20
30
40
50
10,5 12,5 14,5 16,5 18,5 20,5 22,5 24,5
Frek
uens
i
Nilai
Frekuensi Absolut Data Kemampuan Berbicara Bahasa Jawa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
84
2. Data Penguasaan Kosakata
Skor data yang telah diperoleh dapat dilihat pada lampiran.
Sedangkan rangkuman data statistik dapat disajikan dalam uraian sebagai
berikut: mean diperoleh angka sebesar 13,77; median diperolah angka
sebesar 14; modus diperoleh angka sebesar 14; standar deviasi diperoleh
angka sebesar 3,14; nilai tertinggi diperoleh angka sebesar 24 dan nilai
terendah diperoleh angka sebesar 3.
Tabel 8. Deskripsi Data Penguasaan Kosakata
Adapun distribusi frekuensi data penguasaan kosakata dapat
disajikan dalam tabel dan histogram sebagai berikut:
Tabel 9. Distribusi Frekuensi Data Penguasaan Kosakata
Skor f absolut f (%)
2,5 – 5,5 1 0,6
5,5 – 8,5 8 4,7
8,5 – 11,5 26 15,4
11,5 – 14,5 65 38,5
14,5 – 17,5 54 32
17,5 – 20,5 11 6,5
20,5 – 23,5 3 1,8
23,5 – 26,5 1 0,6
Jumlah 169 100
Variabel Max Min Mean Median Modus SD
Penguasaan Kosakata 24 3 13,77 14 14 3,14
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
85
Gambar 5. Histogram Data Penguasaan Kosakata
3. Data Minat Belajar
Skor data yang telah diperoleh dapat dilihat pada lampiran.
Sedangkan rangkuman data statistik dapat disajikan dalam uraian sebagai
berikut: mean diperoleh angka sebesar 92,72; median diperolah angka
sebesar 92; modus diperoleh angka sebesar 89; standar deviasi diperoleh
angka sebesar 8,08; nilai tertinggi diperoleh angka sebesar 111 dan nilai
terendah diperoleh angka sebesar 72.
Tabel 10. Deskriptif Data Minat Belajar
Variabel Max Min Mean Median Modus SD
Penguasaan Minat Belajar
111 72 92,72 92 89 8,08
18
26
6554
113 1
010203040506070
2,5 5,5 8,5 11,5 14,5 17,5 20,5 23,5
Frek
uens
i
Nilai
Frekuensi Absolut Data Penguasaan Kosakata
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
86
Adapun distribusi frekuensi data penguasaan kosakata dapat
disajikan dalam tabel dan histogram sebagai berikut:
Tabel 11. Distribusi Frekuensi Data Minat Belajar
Skor f absolut f relatif (%)
71,5 – 76,5 4 2,4
76,5 – 81,5 7 4,1
81,5 – 86,5 25 14,8
86,5 – 91,5 43 25,4
91,5 – 96,5 33 19,5
96,5 – 101,5 33 19,5
101,5 – 106,5 17 10,1
106,5 – 111,5 7 4,1
Jumlah 169 100
Gambar 6. Histogram Data Minat Belajar
47
25
43
33 33
17
7
0
10
20
30
40
50
71,5 76,5 81,5 86,5 91,5 96,5 101,5 106,5
Frek
uens
i
Nilai
Frekuensi Absolut Data Minat Belajar
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
87
B. Pengujian Prasyarat Analisis Data
Data yang telah tersusun secara sistematis, selanjutnya dianalisis untuk
membuktikan hipotesis yang dirumuskan. Syarat analisis data yang digunakan
analisis regresi linier adalah sebaran populasi data harus berdistribusi normal
dan kedua variabel bebas harus linier dengan variabel terikat.
Dalam bagian ini akan dijelaskan mengenai hasil uji normalitas dan hasil
uji linieritas. Hasil uji prasyarat analisis data yang telah dilakukan dapat
dijelaskan dalam uraian sebagai berikut:
1. Uji Normalitas
Hasil uji normalitas digunakan untuk menunjukkan apakah data yang
dianalisis mempunyai sebaran (distribusi) normal atau tidak. Untuk
menetapkan normal atau tidaknya distribusi data digunakan kriteria
sebagai berikut:
Jika p > 0,05 maka data yang diperoleh berdistribusi normal
Jika p < 0,05 maka data yang diperoleh berdistribusi tidak normal
Perhitungan normalitas dengan metode Kolmogorov-Smirnov Test with
Lilliefors Significance Correction dilakukan dengan menggunakan
program SPSS for Windows 15.0. Hasil perhitungan dapat dilihat pada
output atau keluaran spss dan dirangkum dalam tabel berikut:
Tabel 12. Hasil Uji Normalitas
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
88
Tabel 13. Rangkuman Hasil Uji Normalitas
Variabel Koefisien p α Status
Kemampuan berbicara 0,115 0,05 Normal
Penguasaan kosakata 0,133 0,05 Normal
Minat belajar 0,416 0,05 Normal
Berdasarkan output atau keluaran dan tabel di atas, kemampuan
berbicara memiliki nilai sig. (signifikansi) sebesar 0,115 > 0,05, kemudian
penguasaan kosakata memiliki nilai sig. 0,133 > 0,05, dan nilai sig. minat
sebesar 0,416 > 0,05. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa data-data
tersebut, yaitu kemampuan berbicara, penguasaan kosakata, dan minat
belajar ditarik dari populasi yang berdistribusi normal. Dengan kata lain,
H0 diterima.
2. Uji Linieritas
Dengan adanya hasil uji linieritas maka diketahui apakah hubungan
antara variabel bebas dengan variabel terikat berbentuk linier. Untuk
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
169 169 169
13,77 92,72 18,20
3,138 8,083 3,165
,090 ,068 ,092
,073 ,068 ,092
-,090 -,054 -,079
1,164 ,883 1,195
,133 ,416 ,115
N
Mean
Std. Deviation
Normal Parameters a,b
Absolute
Positive
Negative
Most ExtremeDifferences
Kolmogorov-Smirnov Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
PenguasaanKosa Kata Minat Belajar
Kemamp.Bicara B Jawa
Test distribution is Normal.a.
Calculated from data.b.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
89
menetapkan linier atau tidaknya bentuk hubungan antar variabel digunakan
kriteria sebagai berikut:
Jika p > 0,05 maka data dalam penelitian memiliki korelasi yang linier
Jika p < 0,05 maka data dalam penelitian korelasinya tidak linier
Perhitungan linieritas dengan Anova berdasarkan sumber variasi
deviation from linearity dilakukan dengan menggunakan program SPSS for
Windows 15.0. Hasil perhitungan dapat dilihat pada output atau keluaran
spss dan dirangkum dalam tabel berikut:
Tabel 14. Hasil Uji Linieritas X1 dan Y
Tabel 15. Hasil Uji Linieritas X2 dan Y
ANOVA Table
330,644 18 18,369 2,038 ,011
179,986 1 179,986 19,970 ,000
150,659 17 8,862 ,983 ,480
1351,912 150 9,013
1682,556 168
(Combined)
Linearity
Deviation fromLinearity
BetweenGroups
Within Groups
Total
Kemamp.Bicara B Jawa *PenguasaanKosa Kata
Sum ofSquares df Mean Square F Sig.
ANOVA Table
550,350 34 16,187 1,916 ,005
155,678 1 155,678 18,425 ,000
394,672 33 11,960 1,415 ,087
1132,206 134 8,449
1682,556 168
(Combined)
Linearity
Deviation fromLinearity
BetweenGroups
Within Groups
Total
Kemamp.Bicara BJawa * MinatBelajar
Sum ofSquares df Mean Square F Sig.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
90
Tabel 16. Rangkuman Hasil Uji Linieritas
Variabel independen Koefisien p α Status
Kemampuan berbicara - Penguasaan kosakata 0,480 0,05 Linier
Kemampuan berbicara - Minat belajar 0,087 0,05 Linier
Berdasarkan tabel tersebut diketahui bahwa uji linieritas hubungan
antara masing-masing variabel independen dengan variabel dependen
menghasilkan nilai p > 0,05. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen berbentuk
linier.
C. Pengujian Hipotesis
Setelah syarat-syarat tersebut terpenuhi, selanjutnya dapat dilakukan
analisis data untuk mengetahui apakah hipotesis yang telah dirumuskan
sebelumnya diterima atau ditolak. Adapun analisis korelasi sederhana dan regresi
ganda dilakukan dengan menggunakan program SPSS for Windows 15.0.
1. Mencari Korelasi antara Kriterium dengan Prediktor
a. Menghitung Koefisien Korelasi sederhana dengan Product Moment
antara X1 dan Y; X2 dan Y
1) Koefisien korelasi sederhana antara X1 dan Y (Penguasaan kosakata
dengan Kemampuan berbicara bahasa Jawa)
Ha: Ada hubungan positif yang signifikan antara Penguasaan kosakata
dengan Kemampuan berbicara bahasa Jawa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
91
H0: Tidak ada hubungan positif yang signifikan antara Penguasaan
kosakata dengan Kemampuan berbicara bahasa Jawa
Perhitungan korelasi menghasilkan angka koefisien korelasi
sebesar r = 0,327 dengan signifikansi p = 0,000 tingkat signifikannya
1%. Nilai p < 0,05 menunjukkan bahwa korelasi signifikan atau
diputuskan bahwa Ha diterima dan H0 ditolak. Hasil perhitungan
dapat dilihat pada output spss berikut ini.
Tabel 17. Hasil Uji Korelasi antara X1 dan Y
Correlations
pengkosa bicara pengkosa Pearson Correlation 1 .327(**)
Sig. (2-tailed) .000 N 169 169
bicara Pearson Correlation .327(**) 1 Sig. (2-tailed) .000 N 169 169
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Dengan demikian pengujian hipotesis pertama dalam penelitian ini
yang berbunyi “Ada hubungan positif yang signifikan antara
penguasaan kosakata dengan kemampuan berbicara bahasa Jawa siswa
kelas X SMA Negeri se-Kabupaten Cilacap” dinyatakan diterima.
2) Koefisien korelasi sederhana dengan Product Moment antara X2 dan
Y (Minat Belajar dengan Kemampuan berbicara bahasa Jawa)
Ha : Ada hubungan positif yang signifikan antara Minat Belajar
dengan Kemampuan berbicara bahasa Jawa
H0 : Tidak ada hubungan positif yang signifikan antara Minat Belajar
dengan Kemampuan berbicara bahasa Jawa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
92
Perhitungan korelasi menghasilkan angka koefisien korelasi
sebesar r = 0,304 dengan signifikansi p = 0,000 tingkat signifikannya
1%. Nilai p < 0,05 menunjukkan bahwa korelasi signifikan atau
diputuskan bahwa Ha diterima dan H0 ditolak. Hasil perhitungan
dapat dilihat pada output spss berikut ini.
Tabel 18. Hasil Uji Korelasi antara X2 dan Y
Correlations
bicara minat bicara Pearson Correlation 1 .304(**)
Sig. (2-tailed) .000 N 169 169
minat Pearson Correlation .304(**) 1 Sig. (2-tailed) .000 N 169 169
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Dengan demikian pengujian hipotesis kedua dalam penelitian ini
yang berbunyi “Ada hubungan positif yang signifikan antara minat
belajar dengan kemampuan berbicara bahasa Jawa siswa kelas X
SMA Negeri se-Kabupaten Cilacap” dinyatakan diterima.
b. Menghitung Koefisien Korelasi Ganda antara X1, X2 dengan Y
Ha: Ada hubungan positif yang signifikan antara Penguasaan kosakata dan
Minat Belajar dengan Kemampuan berbicara bahasa Jawa
H0: Tidak ada hubungan positif yang signifikan antara Penguasaan
kosakata dan Minat Belajar dengan Kemampuan berbicara bahasa
Jawa
Perhitungan korelasi ganda dengan analisis regresi menghasilkan angka
koefisien korelasi sebesar R = 0,447. Anova untuk menguji signifikansi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
93
korelasi ganda menghasilkan nilai statistik sebesar F = 20,696 dengan
signifikansi sebesar 0,000. Nilai p < 0,05 menunjukkan bahwa korelasi
signifikan atau diputuskan bahwa Ha diterima dan H0 ditolak. Hasil
perhitungan dapat dilihat pada output spss berikut ini.
Tabel 19. Hasil Uji Korelasi antara X1 dan X2 dengan Y
Tabel 20. Hasil Uji Signifikansi Korelasi antara X1 dan X2 dengan Y
Dengan demikian pengujian hipotesis ketiga dalam penelitian ini yang
berbunyi “Ada hubungan positif yang signifikan antara penguasaan kosakata dan
minat belajar dengan kemampuan berbicara bahasa Jawa siswa kelas X SMA
Negeri se-Kabupaten Cilacap” diterima.
2. Mencari Persamaan Garis Regresi
Berdasarkan hasil perhitungan regresi ganda pada output berikut:
Model Summaryb
,447a ,200 ,190 2,848 2,114Model1
R R SquareAdjustedR Square
Std. Error ofthe Estimate
Durbin-Watson
Predictors: (Constant), Minat Belajar, Penguasaan Kosa Kataa.
Dependent Variable: Kemamp. Bicara B Jawab.
ANOVAb
335,809 2 167,904 20,696 ,000a
1346,747 166 8,113
1682,556 168
Regression
Residual
Total
Model1
Sum ofSquares df Mean Square F Sig.
Predictors: (Constant), Minat Belajar, Penguasaan Kosa Kataa.
Dependent Variable: Kemamp. Bicara B Jawab.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
94
Tabel 21. Hasil Perhitungan Regresi Ganda antara X1 dan X2 dengan Y
maka diperoleh persamaan regresi ganda sebagai berikut:
Ŷ = bo + b1 X1 + b2 X2
Ŷ = 2,603 + 0,330 X1 + 0,119 X2
Persamaan tersebut menyatakan hubungan matematis antarvariabel. Fungsinya
adalah untuk memperkirakan (menentukan) nilai kemampuan berbicara bahasa
Jawa (Y) berdasarkan nilai penguasaan kosakata (X1) dan nilai minat belajar
(X2). Jika X1 dan X2 tidak ada, maka besarnya Y adalah 2,603 satuan. Jika X1
berubah sebesar 1 satuan, maka Y akan berubah sebesar 0,330 satuan. Jika X2
berubah sebesar 1 satuan, maka Y akan berubah sebesar 0,119 satuan.
D. Menentukan Sumbangan Relatif
1. Hasil Kontribusi X1 terhadap Y
Kontribusi (sumbangan) variabel X1 terhadap variabel Y, yaitu penguasaan
kosakata terhadap kemampuan berbicara bahasa Jawa, dapat diketahui dengan
cara menguadratkan koefisien korelasi sederhana antara X1 dan Y (ry1) yang
diperoleh, yaitu 0,327, dikalikan seratus persen (100%) sehingga diperoleh hasil
sebagai berikut.
Coefficientsa
2,603 2,708 ,961 ,338
,330 ,070 ,327 4,712 ,000
,119 ,027 ,304 4,383 ,000
(Constant)
PenguasaanKosa Kata
Minat Belajar
Model1
B Std. Error
UnstandardizedCoefficients
Beta
StandardizedCoefficients
t Sig.
Dependent Variable: Kemamp. Bicara B Jawaa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
95
(ry1)2 x 100% = (0,327)2 x 100% = 0,106929 x 100% = 10,69%
Dengan demikian, variabel X1 (penguasaan kosakata) memberi kontribusi
terhadap Y (kemampuan berbicara) sebesar 10,69%.
2. Hasil Kontribusi X2 terhadap Y
Kontribusi (sumbangan) variabel X2 terhadap variabel Y, yaitu minat
belajar terhadap kemampuan berbicara bahasa Jawa, dapat diketahui dengan cara
menguadratkan koefisien korelasi sederhana antara X2 dan Y (ry2) yang diperoleh,
yaitu 0,304, dikalikan seratus persen (100%) sehingga diperoleh hasil sebagai
berikut.
(ry2)2 x 100% = (0,304)2 x 100% = 0,092416 x 100% = 9,24%
Dengan demikian, variabel X2 (minat belajar) memberi kontribusi terhadap
Y (kemampuan berbicara) sebesar 9,24%.
3. Hasil Kontribusi X1 X2 terhadap Y
Kontribusi (sumbangan) variabel X1 dan X2 terhadap variabel Y, yaitu
penguasaan kosakata dan minat belajar terhadap kemampuan berbicara bahasa
Jawa, dapat diketahui dengan cara menguadratkan koefisien korelasi ganda antara
X1X2 dan Y (ry12) yang diperoleh, yaitu 0,447, dikalikan seratus persen (100%)
sehingga diperoleh hasil sebagai berikut.
(ry12)2 x 100% = (0,447)2 x 100% = 0,199809 x 100% = 19,98%
Dengan demikian, variabel X1 dan X2 (penguasaan kosakata dan minat
belajar) memberi kontribusi terhadap Y (kemampuan berbicara) sebesar 19,98%.
E. Pembahasan dan Analisis Data
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
96
Setelah dilakukan analisis data untuk pengujian hipotesis kemudian
dilakukan pembahasan dan analisis data terhadap rumusan hipotesis sebagai
berikut:
1. Hubungan antara Penguasaan kosakata (X1) dengan Kemampuan
berbicara bahasa Jawa (Y)
Hipotesis yang berbunyi “Ada hubungan positif yang signifikan antara
Penguasaan kosakata dengan Kemampuan berbicara bahasa Jawa siswa kelas
X SMA Negeri se-Kabupaten Cilacap” dinyatakan diterima karena r = 0,327
dan p = 0,000 (p < 0,05), yang berarti bahwa variabel Penguasaan kosakata
dengan Kemampuan berbicara bahasa Jawa memiliki hubungan positif yang
signifikan.
Berbicara bukan hanya cepat mengeluarkan kata-kata dari alat ucap,
tetapi utamanya adalah menyampaikan pokok-pokok pikiran secara teratur,
dalam berbagai ragam bahasa sesuai dengan fungsi komunikasi. Sehingga,
untuk dapat berbicara dalam suatu bahasa secara baik, pembicara harus
mengetahui lafal, struktur dan kosakata yang bersangkutan. Sehubungan
dengan hal tersebut, maka terdapat hubungan yang positif antara penguasaan
kosakata bahasa Jawa, dengan kemampuan berbicara bahasa Jawa.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut diketahui bahwa semakin tinggi
penguasaan kosakata bahasa Jawa, kemampuan berbicara bahasa Jawa siswa
akan semakin tinggi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
97
2. Hubungan antara Minat Belajar (X2) dengan Kemampuan berbicara
bahasa Jawa (Y)
Hipotesis yang berbunyi “Ada hubungan positif yang signifikan antara
Minat Belajar dengan Kemampuan berbicara bahasa Jawa siswa kelas X SMA
Negeri se-Kabupaten Cilacap” dinyatakan diterima karena r = 0,304 dan p =
0,000 (p < 0,05), yang berarti bahwa variabel Minat Belajar dengan
Kemampuan berbicara bahasa Jawa memiliki hubungan positif yang
signifikan.
Minat merupakan salah satu dimensi dari aspek afektif yang banyak
berperan dalam kehidupan seseorang, khususnya dalam kehidupan belajar
siswa termasuk dalam kegiatan berbicara. Jika minat belajar bahasa Jawa
siswa sudah tumbuh, maka kegemarannya menggunakan bahasa Jawa untuk
berbicara juga tumbuh.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut diketahui bahwa semakin tinggi
minat belajar bahasa Jawa siswa akan semakin baik dalam berbicara bahasa
Jawa.
3. Hubungan antara Penguasaan kosakata (X1) dan Minat Belajar (X2)
dengan Kemampuan berbicara bahasa Jawa (Y)
Hipotesis yang berbunyi “Ada hubungan positif yang signifikan antara
penguasaan kosakata dan minat belajar dengan kemampuan berbicara bahasa
Jawa siswa kelas X SMA Negeri se-Kabupaten Cilacap” diterima karena R =
0,447 dan p = 0,000 (p < 0,05), yang berarti bahwa variabel penguasaan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
98
kosakata dan minat belajar memiliki hubungan positif yang signifikan dengan
kemampuan berbicara bahasa Jawa.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut kemampuan berbicara bahasa
Jawa dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya minat belajar dan
penguasaan kosakata. Dengan menguasai kosakata bahasa Jawa siswa akan
lebih tepat dalam berbicara bahasa Jawa. Sedangkan minat belajar adalah
faktor non kebahasaan yang mempengaruhi diri seseorang untuk mau, malas,
atau senang terhadap suatu kegiatan. Jadi, jika minat belajar siswa terhadap
bahasa Jawa sudah muncul maka siswa juga akan gemar berbicara dengan
bahasa Jawa.
F. Keterbatasan Penelitian
Dalam penelitian ini peneliti telah berusaha secara maksimal tetapi
disadari sepenuhnya masih terdapat beberapa keterbatasan antara lain :
1. Penelitian ini khusus menyangkut mata pelajaran Bahasa Jawa dan hanya
mengungkap kompetensi dasar berbicara, sehingga tidak bisa
digeneralisasikan untuk mata pelajaran dan kompetensi dasar yang lain.
2. Hasil kesimpulan dalam penelitian ini hanya berlaku pada siswa kelas X
SMA Negeri se - Kabupaten Cilacap yang menjadi populasi penelitian,
sehingga generalisasi hasil penelitian hanya dapat diterapkan kepada
populasi yang memiliki karakteristik dan kriteria yang sama dengan
penelitian ini.
3. Penggunaan instrumen berupa angket atau kuesioner memiliki
kelemahan antara lain responden memiliki kecenderungan untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
99
memperlihatkan hal yang baik pada dirinya. Sehingga menyebabkan
responden memilih jawaban yang tidak sesuai dengan keadaan dirinya.
Mengatasi hal itu peneliti telah memberikan himbauan kepada responden
untuk memberikan jawaban sesuai keadaan dirinya dan tidak terpengaruh
orang lain.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
100
BAB V
SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan deskripsi data dan pengujian hipotesis yang telah dilakukan,
dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Terdapat hubungan positif yang signifikan antara penguasaan kosakata
(X1) dengan kemampuan berbicara bahasa Jawa (Y). Semakin tinggi
penguasaan kosakata siswa maka, semakin meningkat pula kemampuan
berbicara bahasa Jawa siswa.
2. Terdapat hubungan positif yang signifikan antara minat belajar (X2)
dengan kemampuan berbicara bahasa Jawa (Y). Semakin tinggi minat
belajar yang dimiliki siswa maka, semakin meningkat pula kemampuan
berbicara bahasa Jawa siswa.
3. Terdapat hubungan positif yang signifikan antara penguasaan kosakata
(X1) dan minat belajar (X2) dengan kemampuan berbicara bahasa Jawa
(Y). Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi penguasaan kosakata dan
minat belajar siswa maka, kemampuan berbicara bahasa Jawa siswa juga
akan meningkat.
B. Implikasi
Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan di atas, maka dapat
dikemukakan beberapa implikasi sebagai berikut :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
101
1. Dengan adanya hubungan positif antara penguasaan kosakata dengan
kemampuan berbicara bahasa Jawa, maka memberikan gambaran bagi
guru, agar bisa lebih banyak memberikan bentuk-bentuk tes yang dapat
meningkatkan penguasaan kosakata siswa sehingga dapat meningkatkan
kemampuan berbicara bahasa Jawa siswa.
2. Dengan adanya hubungan positif antara minat belajar dengan kemampuan
berbicara bahasa Jawa, maka dapat memberikan gambaran bagi siswa dan
guru untuk dapat meningkatkan minat belajar siswa. Dengan
meningkatkan minat belajar yang ada pada dirinya, siswa secara sukarela
atau tanpa paksaan akan meningkatkan kegiatan belajar mereka, sehingga
akan dapat meningkatkan kemampuan berbicara bahasa Jawa siswa.
3. Dengan memperhatikan seluruh faktor-faktor yang berhubungan dengan
kemampuan berbicara bahasa Jawa siswa baik penguasaan kosakata
maupun minat belajar, maka secara nyata guru harus dapat menciptakan
situasi dan kondisi pembelajaran yang efektif, nyaman dan memadai bagi
siswa, sehingga penguasaan kosakata dan minat belajar siswa meningkat
untuk meningkatkan pula kemampuan berbicara bahasa Jawa siswa.
C. Saran
Berdasarkan simpulan dan implikasi hasil penelitian di atas, maka perlu
disampaikan saran-saran sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
102
1. Bagi Sekolah
a. Sekolah hendaknya memberikan dukungan penuh bagi terbentuknya
lingkungan belajar yang efektif di sekolah dengan meyediakan sarana
bagi guru dan siswa untuk dapat meningkatkan penguasaan kosakata
siswa.
b. Guru hendaknya memahami bahwa siswa memiliki latar belakang
minat belajar yang berbeda, sehingga guru hendaknya memiliki trik
untuk dapat meningkatkan minat siswa dalam belajar.
2. Bagi Siswa
a. Siswa hendaknya menyadari arti pentingnya penguasaan kosakata bagi
kemampuan berbicaranya, sehingga siswa diharapkan senantiasa dapat
meningkatkan penguasaan kosakatanya melalui berbagai cara dalam
belajar.
b. Siswa hendaknya senantiasa dapat meningkatkan minat belajarnya
sehingga kemampuan yang dimilikinya juga dapat senantiasa
meningkat.
3. Bagi Peneliti Lain
Penelitian ini dapat dijadikan acuan dan referensi untuk
mengadakan penelitian mengenai penguasaan kosakata, minat belajar,
dan kemampuan berbicara bahasa Jawa siswa. Hasil dari penelitian ini
juga dapat dijadikan perbandingan dengan penelitian sejenis yang telah
dilakukan.