Hubungan antara Parenting Self-Efficacy dan Dukungan ...
Transcript of Hubungan antara Parenting Self-Efficacy dan Dukungan ...
Hubungan antara Parenting Self-Efficacy dan Dukungan Sosial pada Ibu
dengan HIV/AIDS yang Memiliki Anak Usia Kanak-Kanak Madya
Shabrina Adzhani Awanis Latief*, Erniza Miranda Madjid, dan Efriyani Djuwita
Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia
Depok 16424, Indonesia
*E-mail: [email protected]
Abstrak
Meningkatnya jumlah ibu penderita HIV/AIDS di Indonesia membuat perlunya untuk mengetahui dinamika
kehidupan mereka, terutama keyakinannya dalam melakukan parenting terhadap anak. Keyakinan dalam
melakukan parenting ini disebut sebagai parenting self-efficacy (Coleman & Karraker, 1997). Penelitian ini
bertujuan untuk melihat hubungan parenting self-efficacy dan dukungan sosial pada ibu dengan HIV/AIDS yang
memiliki anak usia kanak-kanak madya. Pengukuran parenting self-efficacy dilakukan melalui alat ukur Self-
Efficacy Parenting for Tasks Index (SEPTI) (Coleman & Karraker, 2000), sedangkan dukungan sosial diukur
melalui dua komponen—yaitu persepsi terhadap jumlah orang yang dapat diandalkan dan kepuasan akan
dukungan yang ada—dalam alat ukur Social Support Questionnaire-Short Form (SSQSR) (Sarason, Sarason,
Shearin & Pierce, 1987). Partisipan penelitian ini berjumlah 30 ibu yang terinfeksi HIV dan memiliki anak usia
lima hingga dua belas tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan
antara parenting self-efficacy dengan persepsi jumlah dukungan sosial (r = 0,386 ; n = 30; p < 0,05, two-tail) dan
juga kepuasan akan dukungan sosial (r = 0,409 ; n = 30; p < 0,05, two-tail). Artinya, semakin tinggi parenting
self-efficacy ibu, semakin tinggi pula dukungan sosial yang ibu persepsikan; begitu pula sebaliknya. Ditemukan
pula bahwa domain parenting self-efficacy tertinggi adalah nurturance sedangkan yang terendah adalah disiplin.
Analisis tambahan juga menemukan adanya perbedaan yang signifikan pada parenting self-efficacy ibu dengan
HIV/AIDS berdasarkan urutan kelahiran anak mereka yang berusia kanak-kanak madya.
The Relationship between Parenting Self-Efficacy and Social Support among HIV/AIDS
Mothers with Middle Childhood Children
Abstract
Mothers living with HIV/AIDS are significantly increasing in Indonesia. By then, it’s important to know further
about their life, including their belief in parenting their children. The mother’s belief in parenting is called
parenting self-efficacy (Coleman & Karraker, 1997). This study examined the relationship between parenting
self-efficacy and social support among HIV/AIDS mothers with middle childhood children. Parenting self-
efficacy was measured by Self-Efficacy Parenting for Tasks Index (SEPTI) (Coleman & Karraker, 2000), while
social support measured through it’s two elements (the perception of available others to whom one can turn in
times of need and the degree of satisfaction with the available support) in Social Support Questionnaire-Short
Form (SSQSR) (Sarason, Sarason, Shearin & Pierce, 1987). The participants in this study were 30 mothers
infected HIV with middle childhood children. The result shows that there is a significant, positive relationship
between parenting self-efficacy and both of the elements of social support, which are the perception of social
support numbers (r = 0,386 ; n = 30; p < 0,05, two-tail) and the satisfaction of the support (r = 0,409 ; n = 30; p <
0,05, two-tail). Those indicates that the higher mothers’ parenting self efficacy, the higher they perceive social
support, and vice versa. This study also found that the highest domain in parenting self-efficacy is nurturance,
while the lowest is discipline. Furthermore, this study found that there is a difference between mothers’
parenting self-efficacy based on their middle childhood child’s ordinal position.
Keywords: Parenting self-efficacy; social support; mother with HIV/AIDS; middle childhood
Hubungan antara..., Shabrina Adzhani Awanis Latief, FPsi UI, 2013
Pendahuluan
HIV/AIDS merupakan salah satu masalah kesehatan yang tak asing lagi bagi seluruh
penduduk di dunia. Tercatat pada tahun 2011, di Asia terdapat hampir lima juta orang yang
terinfeksi HIV (UNAIDS, 2012). Perkembangannya pun cukup pesat karena khususnya di
Asia Selatan dan Asia Tenggara, dalam kurun waktu 10 tahun, terdapat peningkatan estimasi
jumlah kasus sebanyak 300.000 jiwa (UNAIDS, 2012). Indonesia sendiri merupakan salah
satu negara dengan epidemi HIV/AIDS yang paling cepat berkembang di Asia (UNAIDS,
2012). Dalam Laporan Ditjen PP & PL Kemenkes RI (2013) dikatakan bahwa kasus jumlah
infeksi HIV tertinggi berada di Jakarta, sementara kasus AIDS paling banyak dilaporkan dari
Papua (Ditjen PP & PL Kemenkes RI, 2013). Akhir-akhir ini, dalam media marak diberitakan
mengenai adanya peningkatan jumlah penderita HIV/AIDS dari kalangan ibu rumah tangga.
Data statistik terkini pun menunjukkan bahwa ternyata dalam periode Juni tahun 2012 hingga
Maret 2013 peningkatan terbesar jumlah kasus AIDS adalah pada ibu rumah tangga, yaitu
sebesar 1.575 jiwa, dari 3.368 jiwa menjadi 4.943 jiwa (Ditjen PP & PL Kemenkes RI, 2012;
2013). HIV/AIDS yang diderita oleh para ibu rumah tangga ini dapat berpengaruh terhadap
kondisi kesehatan fisik dan psikologis mereka yang akhirnya berdampak pada peran dan
produktivitasnya sebagai seorang ibu.
Seorang ibu yang terkena HIV/AIDS, selain kondisi kesehatan fisiknya yang
melemah, ia juga menghadapi berbagai tantangan praktis dan psikologis. Di antaranya adalah
ketidakberfungsian peran dalam keluarga, stres dalam hal ekonomi, kehidupan sosial, dan
emosi (Riedinger, 2001 dalam Rai, Dutta & Gulati, 2010), konfrontasi dengan adanya stigma
dan diskriminasi (Armistead & Forehand, 1995), serta perencanaan akan masa depan anak
apabila ibu meninggal (Dorsey, Klein, Forehand & Family Health Project Research Group,
1999). Keluarga ini pun biasanya berada pada strata sosioekonomi yang paling rendah,
sehingga mereka lebih mudah terekspos dengan lebih dari satu stressor (Armistead &
Forehand, 1995). Hal-hal ini lah yang dapat menyebabkan ibu dengan HIV/AIDS ini relatif
lebih banyak memunculkan gejala depresi dibandingkan dengan ibu yang tidak terinfeksi HIV
(Brackis-Cott, Mellins, Dolezal & Spiegel, 2007). Dorsey, et al. (1999) pun mengatakan
bahwa ibu dengan HIV ini biasanya memiliki peran ganda karena mayoritas dari mereka
merupakan orangtua tunggal. Banyak dari mereka yang terinfeksi HIV akibat tertular
pasangannya, lalu pasangannya lebih dahulu meninggal (Nelms, 2005). Akibatnya, selain
harus menghadapi penyakitnya, ibu lah yang memegang kendali dalam membesarkan anak
(Oswalt & Biasimi, 2012).
Hubungan antara..., Shabrina Adzhani Awanis Latief, FPsi UI, 2013
Coleman dan Karraker (1997) mengatakan bahwa menjadi ibu adalah suatu peran
yang berkelanjutan, terdapat komitmen yang harus dijalankan yaitu untuk secara teratur
menyediakan perlindungan, pemeliharaan, dan perawatan pada anak. Peran ini pun berubah
seiring dengan perkembangan anak, salah satunya dalam melakukan parenting. Akibat dari
infeksi HIV dapat memengaruhi bagaimana ibu melakukan parenting dan juga berdampak
pada seluruh anggota keluarganya, terutama anak, karena adanya stres dari penyakit yang ibu
derita (Kotchik, Forehand, Brody, Armistead, Simon, Morse & Clark, 1997). Ibu dengan
HIV/AIDS ini pun ditemukan memiliki kualitas hubungan yang rendah antara dirinya dengan
anak (Oswalt & Biasini, 2012). Kotchik, et al. (1997) dan Murphy, Roberts, dan Herbeck
(2011) menemukan bahwa ibu yang terinfeksi HIV memiliki kemampuan yang kurang baik
dalam beberapa area parenting. Misalnya dalam melakukan tugas parenting pada anak usia
sekolah atau kanak-kanak madya, ibu dengan HIV/AIDS ini kurang baik dalam melakukan
pengawasan terhadap anak (Kotchik, et al., 1997). Infeksi HIV ini juga dapat berimbas pada
hambatan bagi ibu untuk terlibat langsung dengan anak baik dalam beraktivitas maupun
rekreasi. Kondisi fisik yang lemah pada ibu menyebabkan aktivitas yang bisa ia lakukan
sangat terbatas. Akibatnya, ibu dengan HIV/AIDS ini tidak bisa memenuhi kebutuhan anak
(Bauman, Camacho, Silver, Hudis & Draimin, 2002). Damar dan du Plessis (2010) pun
mengatakan bahwa stigma mengenai HIV/AIDS ini di Indonesia masih sangat tinggi. Akibat
tingginya stigma ini dapat menyebabkan keengganan bagi ibu untuk berinteraksi dengan
lingkungan sekitarnya, sehingga anak dari ibu dengan HIV/AIDS ini pun dapat terkena
imbasnya akibat pergaulan yang terbatas.
Anak berusia kanak-kanak madya dari ibu dengan HIV/AIDS ini memiliki
kemungkinan untuk menghadapi masalah dalam penyesuaian diri serta adanya potensi
kesehatan mental yang buruk disamping masalah dalam perilaku dan sosialnya (Bauman, et
al., 2002). Selain karena dihadapkan oleh banyaknya stressor, menerima kenyataan bahwa ibu
yang mendapatkan diagnosis HIV/AIDS merupakan suatu hal yang sulit diterima bagi anak,
terutama pada anak usia kanak-kanak madya (Bauman, et al., 2002). Jika dibandingkan
dengan tahapan usia anak setelah kanak-kanak madya, anak yang berada pada usia kanak-
kanak madya ini belum sepenuhnya memiliki pemahaman mengenai HIV/AIDS serta belum
mampu untuk berempati terkait penyakit yang diderita oleh ibu (Bauman, et al., 2002).
Salah satu potensi yang penting dalam melakukan parenting dan dapat meningkatkan
kesejahteraan ibu dan anak adalah parenting self-efficacy (Dorsey, et al, 1999). Parenting
self-efficacy berangkat dari teori self-efficacy Bandura yang dikembangkan dalam ranah
parenting. Bandura (1977, dalam Coleman & Karraker, 1997) mendefinisikan self-efficacy
Hubungan antara..., Shabrina Adzhani Awanis Latief, FPsi UI, 2013
sebagai keyakinan seseorang terhadap kemampuannya untuk menghasilkan performa yang
diharapkan. Kemudian Coleman dan Karraker (2000) mendefinisikan parenting self-efficacy
sebagai estimasi kompetensi orangtua dalam menjalankan perannya atau persepsi mereka
terhadap kemampuannya dalam memberikan pengaruh yang positif dalam perilaku serta
perkembangan anak. Saat ibu memiliki parenting self-efficacy yang tinggi, ia akan melakukan
parenting yang positif walaupun dihadapkan dengan berbagai macam stressor (Coleman &
Karraker, 1997). Selain itu, ia juga memiliki minat, komitmen, dan persistensi yang tinggi
dalam melakukan parenting, toleran terhadap tantangan yang dihadapi serta mampu
mengatasi stressor dengan efektif (Coleman & Karraker, 2005). Ibu juga dapat menunjukkan
kompetensi yang lebih baik dalam perilaku parenting, termasuk meningkatnya pengawasan
dan responsif terhadap anak (Bogenschneider, Small & Tsay, 1997 dalam Dorsey, et al.,
1999) serta membuat strategi parenting yang lebih baik (Elder, Eccles, Ardelt & Lord, 1995
dalam Dorsey, et al., 1999). Rodrique, Geffken, Clark, Hunt, dan Fishel (1994) dalam Dorsey,
et al. (1999) juga menemukan bahwa semakin tinggi tingkat parenting self-efficacy yang
dimiliki ibu, berhubungan dengan psychosocial adjustment anak yang lebih baik. Dari
penelitian yang dilakukan oleh Armistead dan Forehand (1995), ditemukan bahwa bagi ibu
yang terinfeksi HIV, anak dan parenting merupakan prioritas utama dalam hidup mereka.
Oleh karena itu, keyakinan akan kemampuan diri untuk mengasuh anak atau parenting
efficacy menjadi penting. Tidak hanya berpengaruh pada anak, tapi keyakinan ibu akan
perannya dalam mengasuh anak dapat membuat dirinya sadar mengenai pentingnya peran
dirinya dalam keluarga maupun lingkungan sosial (Dorsey, et al., 1999).
Elder, et al. (1995) dalam Dorsey, et al. (1999) mengemukakan bahwa salah satu
faktor yang berhubungan positif dengan parenting self-efficacy adalah dukungan sosial yang
diterima oleh orangtua. Dukungan sosial didefinisikan sebagai eksistensi atau keberadaan
orang-orang yang bisa diandalkan, yaitu orang-orang yang peduli, menghargai, dan
menyayangi kita (Sarason, Levine, Basham & Sarason, 1983). Dukungan sosial terkadang
lebih menguntungkan saat seseorang mempersepsikannya daripada menggunakannya, karena
ketika seseorang percaya bahwa ada orang lain yang peduli terhadap keadaannya, stres yang
dirasakan akan berkurang (Taylor, Sherman, Kim, Jarcho, Takagi & Dunagan, 2004). Persepsi
akan dukungan sosial ini merupakan salah satu faktor protektif bagi ibu dengan HIV/AIDS,
karena dapat bermanfaat baik bagi dirinya maupun dalam melakukan parenting (Levy-Shiff,
Dimitrovsky, Shulman & Har-Even, 1998 dalam Respler-Herman, 2009). Mereka akan lebih
memandang hidup secara positif saat ibu dengan HIV/AIDS ini percaya bahwa dirinya tidak
sendirian dan akan ada orang yang dapat diandalkan saat dibutuhkan (Edwards, 2006).
Hubungan antara..., Shabrina Adzhani Awanis Latief, FPsi UI, 2013
Permasalahan dan stres yang dihadapi ibu akibat penyakitnya ini dapat terbantu sehingga ibu
akan lebih dapat berfokus untuk melakukan parenting yang baik terhadap anak (Brackis-Cott,
et al., 2007). Teti dan Gelfland (1991) dalam Holloway, Suzuki, Yamamoto, dan Behrens
(2005) mengatakan bahwa ketika puas terhadap dukungan sosial yang diterima, ibu akan
merasa lebih sejahtera secara emosional dan juga percaya diri karena merasa akan selalu ada
orang yang berada di sisinya. Oleh karena itu, ketika ia dihadapkan dengan berbagai macam
stressor, ia tetap dapat berfungsi dengan baik, termasuk keyakinannya dalam melakukan
parenting. Dengan demikian, seperti apa yang dikatakan Young (2011) bahwa dukungan
sosial dapat melindungi parental self-efficacy dari dampak negatif yang diakibatkan oleh
sumber stres dalam hidup.
Berdasarkan pemaparan sebelumnya, terlihat bahwa dukungan sosial berhubungan
positif dengan parenting self-efficacy pada ibu dengan HIV/AIDS. Akan tetapi Dorsey, et al.
(1999) justru menemukan hubungan yang negatif antara dukungan sosial dan parenting self-
efficacy pada ibu yang terinfeksi HIV. Dalam penelitiannya, Dorsey et al. melihat hubungan
antara parenting self-efficacy ibu yang terinfeksi HIV dan received social support yang
spesifik terkait parenting. Ditemukan bahwa saat ibu yang terinfeksi HIV diberikan banyak
dukungan secara aktual dan terkait dengan pengasuhan, mereka justru merasa dipertanyakan
kemampuannya dan merasa tidak berdaya dalam mengasuh anak, sehingga mereka merasa
tidak memiliki self-efficacy dalam parenting yang tinggi (Dorsey, et al., 1999). Hal ini sesuai
dengan apa yang dikatakan oleh Sarason, Sarason, Shearin, dan Pierce (1987) bahwa saat
dukungan sosial dispesifikkan terhadap suatu fungsi tertentu, akan ada kemungkinan
dukungan sosial diberikan di waktu yang tidak tepat atau dipaksakan sehingga menimbulkan
dampak negatif. Dorsey, et al. (1999) mengatakan bahwa terdapat banyak sudut pandang
dukungan sosial yang mungkin akan membuat hasil penelitian lanjutan berbeda. Oleh karena
itu, peneliti tertarik untuk meneliti hubungan antara parenting self-efficacy dan dukungan
sosial namun dari sudut pandang lain, yaitu dukungan sosial secara perceived pada ibu dengan
HIV/AIDS yang memiliki anak usia kanak-kanak madya.
Tinjauan Teoretis
Parenting Self-Efficacy
Parenting self-efficacy berawal dari teori perceived self-efficacy milik Bandura
(Coleman & Karraker, 1997). Bandura (1986) menjelaskan perceived self-efficacy sebagai
penilaian seseorang terhadap kemampuannya untuk menghasilkan performa atau tingkah laku
yang diharapkan. Menurut Bandura (1989) dalam Coleman dan Karraker (1997), self-efficacy
Hubungan antara..., Shabrina Adzhani Awanis Latief, FPsi UI, 2013
dalam aspek parenting—atau parenting self-efficacy—melibatkan pengetahuan yang
berkaitan dengan tingkah laku yang terlibat dalam proses pengasuhan anak serta tingkat
kepercayaan terhadap kemampuan diri untuk menampilkan tingkah laku yang diharapkan.
Kemudian Coleman dan Karraker (2000) mendefinisikan parenting self-efficacy sebagai
estimasi orangtua akan kompetensinya dalam menjalankan perannya atau persepsi mereka
terhadap kemampuannya dalam memberikan pengaruh yang positif dalam perilaku dan
perkembangan anak. Terdapat lima domain dalam parenting self-efficacy, yaitu achievement,
rekreasi, disiplin, nurturance, dan kesehatan. Kelima domain ini mencakup hal-hal yang
berkaitan dengan parenting pada anak usia kanak-kanak madya (Coleman & Karraker, 2000).
Dukungan Sosial
Salah satu cara yang dapat membantu seseorang mampu menghadapi kejadian yang
menimbulkan stres dan mempertahankan kesehatan yang baik adalah dukungan sosial
(Sarafino & Smith, 2012). Dukungan sosial dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu yang
diberikan secara aktual (received social support) dan yang dipersepsikan (perceived social
support). Saat seseorang diberikan dukungan secara aktual, terdapat kemungkinan dampak
negatif yang dapat dialami, yaitu adanya perasaan bersalah, keharusan untuk balas budi, dan
terancamnya self-esteem (Taylor, 2012). Lain halnya dengan perceived social support. Ketika
seseorang tahu bahwa ada orang lain yang peduli terhadap keadaannya tanpa secara langsung
meminta bantuan yang spesifik atau meminta seseorang untuk menghibur, stres yang
dirasakan akan berkurang dan ia juga akan merasa lebih terbantu atau terhibur (Taylor, et al.,
2004). Menurut Sarason, Levine, Basham, dan Sarason (1983), dukungan sosial adalah
eksistensi atau keberadaan orang-orang yang bisa diandalkan, yaitu orang-orang yang peduli,
menghargai, dan mencintai kita. Sarason, et al. (1983) mengatakan bahwa terdapat dua
komponen dalam dukungan sosial, yaitu persepsi individu akan adanya sejumlah orang yang
dapat diandalkan ketika ia membutuhkan dukungan dan tingkat penilaian akan kepuasan
terhadap dukungan yang ada.
Parenting pada Ibu dengan HIV/AIDS yang Memiliki Anak Usia Kanak-Kanak Madya
Anak usia kanak-kanak madya, atau lebih umum dikenal dengan anak usia sekolah
adalah mereka yang berusia lima hingga dua belas tahun (Coleman & Karraker, 2000). Pada
masa ini, orangtua memiliki beberapa tugas parenting di antaranya adalah perhatian,
responsif, selalu ada untuk anak, menjadi model untuk tingkah laku yang diharapkan
dilakukan anak, melakukan pengawasan dan pengarahan terhadap tingkah laku anak dari jarak
Hubungan antara..., Shabrina Adzhani Awanis Latief, FPsi UI, 2013
tertentu, mendorong anak untuk melakukan aktivitas baru dan memeroleh keahlian baru,
mengembangkan kemampuan bersosialisasi kepada teman-teman seusianya, serta melakukan
aktivitas yang menyenangkan di waktu senggang (Brooks, 2011). Pada ibu dengan
HIV/AIDS, ada beberapa tugas parenting yang terhambat akibat penyakit yang ia derita.
Misalnya dalam memberikan pengawasan dan pengarahan kepada anak ketika beraktivitas di
luar rumah (Kotchik, et al., 1997). Ketika kesehatan ibu menurun, ibu akan menghabiskan
banyak waktunya untuk beristirahat atau melakukan perawatan, sehingga akhirnya ibu tidak
dapat melakukan tugasnya (Armistead & Forehand, 1995 dalam Dorsey, et al., 1999).
Aktivitas yang bisa ibu lakukan pun sangat terbatas, baik waktu maupun jenisnya, sehingga ia
tidak bisa sepenuhnya memenuhi kebutuhan anak (Bauman, et al., 2002).
Metode Penelitian
Variabel Penelitian, Partisipan Penelitian, dan Prosedur
Variabel dalam penelitian ini adalah parenting self-efficacy (terdiri dari lima domain,
yaitu achievement, rekreasi, disiplin, nurturance, dan kesehatan) dan dukungan sosial (terdiri
dari dua komponen yaitu persepsi jumlah orang yang dapat diandalkan dan kepuasan terhadap
dukungan yang ada). Partisipan penelitian ini adalah tiga puluh ibu yang terinfeksi HIV dan
memiliki anak usia lima hingga dua belas tahun. Peneliti memilih partisipan dengan bantuan
dari salah satu yayasan yang bergelut di bidang HIV/AIDS di Jakarta Selatan untuk menjaring
partisipan yang sesuai dengan karakteristik sampel. Teknik pengambilan sampel dalam
penelitian ini dengan metode convenience sampling karena partisipan dipilih berdasarkan
ketersediaan dan keinginannya untuk terlibat dalam penelitian (Gravetter & Forzano, 2009).
Data dalam penelitian ini dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner. Cara administrasi
kuesioner dalam penelitian ini menurut Kumar (2005) adalah dengan collective
administration, yaitu memberikan kuesionernya langsung pada sekelompok ibu yang berada
di yayasan HIV/AIDS yang peneliti tuju.
Pengukuran
Alat ukur yang digunakan untuk mengukur parenting self-efficacy adalah Self-Efficacy
Parenting Tasks Index (SEPTI) yang dikembangkan oleh Coleman & Karraker (2000) dan
telah diadaptasi ke dalam Bahasa Indonesia. Alat ukur SEPTI terdiri dari 36 item yang
mencakup lima domain, yaitu achievement, rekreasi, disiplin, nurturance, dan kesehatan.
Setiap item dinilai menggunakan 6 poin skala Likert, yaitu ―sangat tidak sesuai‖ dengan nilai
Hubungan antara..., Shabrina Adzhani Awanis Latief, FPsi UI, 2013
1 hingga ―sangat sesuai‖ dengan nilai 6. Untuk item unfavorable, nilai aturan skoring dibalik
yaitu nilai 1 untuk ―sangat sesuai‖ hingga nilai 6 ―sangat tidak sesuai‖.
Untuk pengukuran dukungan sosial, alat ukur yang digunakan adalah Social Support
Questionnaire-Short Form (SSQSR) oleh Sarason, et al. (1987) dan telah diadaptasi ke dalam
Bahasa Indonesia. Alat ukur ini terdiri dari dua komponen, yaitu: 1) Komponen number
(SSQN), yang mengukur jumlah orang yang dipersepsikan dapat diandalkan. Partisipan
diminta untuk menuliskan secara spesifik inisial nama dan hubungan dari orang-orang yang
dianggap dapat diandalkan dalam beberapa situasi yang disebutkan pada item-item dalam alat
ukur. Setiap inisial nama yang dituliskan diberi skor 1, dan jika tidak ada diberi skor 0. Di
setiap itemnya, partisipan dapat menuliskan maksimal 9 inisial nama; 2) Komponen
satisfaction / kepuasan (SSQS), yang mengukur tingkat kepuasan partisipan terhadap
dukungan yang ada. Partisipan diminta untuk melingkari salah satu dari angka 1-6 untuk
menilai seberapa puaskah dirinya atas dukungan yang ada di beberapa situasi yang disebutkan
pada tiap item. Pilihan angka 1 untuk ―sangat tidak puas‖ hingga 6 ―sangat puas‖.
Metode Analisis Data
Data dari kuesioner yang didapatkan, kemudian diskor sesuai ketentuan masing-
masing alat ukur. Skor tersebut kemudian diolah dengan menggunakan aplikasi IBM
Statistical Package for Social Science (SPSS) versi 20 untuk melakukan beberapa teknik
statistik, yaitu: 1) Statistik deskriptif, untuk mengetahui gambaran umum karakteristik
partisipan dan gambaran skor parenting self-efficacy yang diperoleh partisipan; 2) Partial
correlation, untuk melihat hubungan dan signifikansi dari dua variabel yang diteliti dengan
mengontrol variabel lainnya (Field, 2009). Dalam penelitian ini, pengukuran dukungan sosial
terdiri dari dua komponen yang tidak dapat digabung, maka perlu adanya kontrol atas salah
satu komponen agar tidak mengontaminasi atau memengaruhi hubungan dan signifikansi
antarvariabel yang diukur; 3) Independent sample t-test, untuk mengetahui perbandingan rata-
rata skor variabel berdasarkan aspek demografis terhadap dua kelompok sampel; dan 4) One-
Way Analysis of Variance (ANOVA), untuk mengetahui perbandingan rata-rata skor variabel
berdasarkan aspek demografis terhadap lebih dari dua kelompok sampel.
Hasil Penelitian
Hasil penelitian yang akan dipaparkan adalah gambaran umum karakteristik partisipan
penelitian, hasil penghitungan antarvariabel yang diteliti, gambaran persebaran skor domain
Hubungan antara..., Shabrina Adzhani Awanis Latief, FPsi UI, 2013
dalam parenting self-efficacy, dan perbedaan rata-rata skor parenting self-efficacy yang
signifikan berdasarkan aspek demografis.
Tabel 1. Gambaran Umum Karakteristik Partisipan
Karakteristik Frekuensi Persentase
Usia Partisipan
21-25 tahun 1 3,33%
26-30 tahun 14 46,67%
31-35 tahun 7 23,33%
36-40 tahun 8 26,67%
Agama Partisipan
Islam 28 93,33%
Kristen 2 6,67%
Status Pernikahan Partisipan
Janda 11 36,67%
Menikah 19 63,33%
Status HIV Suami (atau Alm. Suami) Partisipan
Negatif 6 20%
Positif 24 80%
Suku Partisipan
Batak 1 3,33%
Betawi 5 16,67%
Betawi – Pakistan 1 3,33%
Jawa 9 30%
Manado 2 6,67%
Padang 1 3,33%
Sunda 9 30%
Sunda – Betawi 2 6,67%
Pekerjaan Partisipan
Guru TK 1 3,33%
Ibu Rumah Tangga 20 66,67%
Pegawai swasta 5 16,67%
Wiraswasta 2 6,67%
Lain-lain 2 6,67%
Jumlah Anak Partisipan
1 11 36,67%
2 11 36,67%
3 7 23,33%
>3 1 3,33%
Usia Anak Partisipan yang Berusia Kanak-Kanak Madya
5 tahun 5 16,67%
6 tahun 4 13,33%
7 tahun 2 6,67%
8 tahun 5 16,67%
9 tahun 4 13,33%
10 tahun 3 10%
11 tahun 3 10%
12 tahun 4 13,33%
Urutan Kelahiran Anak Partisipan yang Berusia Kanak-Kanak Madya
Sulung 10 33,33%
Tengah 4 13,33%
Bungsu 5 16,67%
Tunggal 11 36,67%
Status HIV Anak Partisipan yang Berusia Kanak-Kanak Madya
Negatif 21 70%
Positif 9 30%
Hubungan antara..., Shabrina Adzhani Awanis Latief, FPsi UI, 2013
Berdasarkan tabel 1, dapat dilihat bahwa mayoritas partisipan berusia 26-30 tahun,
beragama Islam, menikah, memiliki suami atau almarhum suami yang berstatus HIV positif,
bersuku Jawa dan Sunda, berprofesi sebagai ibu rumah tangga, memiliki satu atau dua anak,
memiliki anak yang berusia kanak-kanak madya dengan urutan lahir sulung dan tunggal, serta
memiliki anak berusia kanak-kanak madya yang berstatus HIV negatif.
Tabel 2. Hasil Penghitungan Antarvariabel yang Diteliti
Variabel R Sig. (p) r2
Parenting Self-Efficacy dan Persepsi Jumlah Dukungan
Sosial 0,386 0,039* 0,149
Parenting Self-Efficacy dan Kepuasan Dukungan Sosial 0,409 0,028* 0,167
* Signifikan pada L.o.S 0,05
Berdasarkan tabel 2, dapat dilihat bahwa parenting self-efficacy berkorelasi positif
secara signifikan baik dengan persepsi jumlah dukungan sosial (r = 0,386 ; n = 30; p < 0,05,
two-tail) maupun kepuasan akan dukungan sosial (r = 0,409 ; n = 30; p < 0,05, two-tail) itu
sendiri. Oleh karena itu, dapat diinterpretasikan bahwa semakin tinggi parenting self-efficacy
ibu, maka semakin tinggi dukungan sosial yang ibu persepsikan, begitu pula sebaliknya.
Selain itu, pada hubungan antara parenting self-efficacy dengan persepsi jumlah
dukungan sosial ditemukan nilai coefficient of determination (r2) sebesar 0,149, yang berarti
sebanyak 14,9% variansi skor parenting self-efficacy dapat dijelaskan oleh skor persepsi
jumlah dukungan sosial. Adapun 86,1% variansi lainnya dapat dijelaskan melalui faktor
kebetulan, eror, atau faktor-faktor lain yang tidak diukur dalam penelitian ini. Kemudian,
pada hubungan antara parenting self-efficacy dengan kepuasan dukungan sosial, nilai
coefficient of determination (r2) yang ditemukan adalah sebesar 0,167, yang berarti sebanyak
16,7% variansi skor parenting self-efficacy dapat dijelaskan oleh skor kepuasan dukungan
sosial. Adapun 83,3% variansi lainnya, dapat dijelaskan melalui faktor kebetulan, eror, atau
faktor-faktor lain yang tidak diukur dalam penelitian ini.
Tabel 3. Gambaran Persebaran Skor Domain Parenting Self-Efficacy Partisipan
Domain Parenting Self-Efficacy Jumlah
Item
Skor
Terendah
Skor
Tertinggi
Skor
Rata-rata
Standar
Deviasi
Disiplin 8 2,5 5,38 3,97 0,87
Achievement 7 2,57 5,71 4,63 0,72
Rekreasi 7 3 5,71 4,63 0,72
Nurturance 7 2,43 6 4,69 0,69
Kesehatan 7 2,71 5,86 4,53 0,76
Hubungan antara..., Shabrina Adzhani Awanis Latief, FPsi UI, 2013
Berdasarkan tabel 3, dapat dilihat bahwa skor rata-rata parenting self-efficacy tertinggi
yang diperoleh partisipan adalah pada domain nurturance dan yang terendah adalah domain
disiplin.
Tabel 4. Perbandingan Skor Parenting Self-Efficacy berdasarkan Urutan Kelahiran
Urutan Kelahiran dari Anak Partisipan
(Usia Kanak-Kanak Madya) M F / t dan p Keterangan
Sulung 4,43
F = 3,36
(p = 0,03) Signifikan
Tengah 3,84
Bungsu 4,73
Tunggal 4,63
Setelah dilakukan penghitungan untuk melihat signifikansi perbedaan rata-rata skor
variabel berdasarkan aspek demografis, ditemukan adanya perbedaan rata-rata skor parenting
self-efficacy berdasarkan urutan kelahiran anak yang berusia kanak-kanak madya. Dari tabel
4, dapat dilihat bahwa partisipan yang memeroleh rata-rata skor tertinggi adalah partisipan
yang memiliki anak usia kanak-kanak madya dengan urutan lahir bungsu, sedangkan yang
terendah adalah dengan urutan lahir tengah.
Pembahasan
Dari hasil dan analisis penelitian, diketahui bahwa parenting self-efficacy memiliki
korelasi positif yang signifikan dengan dukungan sosial, baik itu dari persepsi jumlah orang
yang ada untuk diandalkan maupun kepuasan akan dukungan yang ada. Hasil ini
menunjukkan bahwa partisipan yang memiliki tingkat parenting self-efficacy yang tinggi akan
memiliki dukungan sosial yang tinggi pula, begitu juga sebaliknya. Hasil penelitian ini sejalan
dengan beberapa penelitian lain yang juga melihat dukungan sosial secara perceived, di
antaranya yaitu Holloway, et al. (2005), Cutrona dan Troutman (1986), Junttila, Vauras, dan
Laakkonen (2007), Leahy-Warren, McCarthy, dan Corcoran (2009), dan Young (2011). Akan
tetapi hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Dorsey, et al. (1999) yang juga
meneliti parenting self-efficacy dan dukungan sosial pada ibu yang terinfeksi HIV.
Dorsey, et al. (1999) menemukan bahwa dukungan sosial berkorelasi negatif dengan
parenting self-efficacy. Salah satu alasan mengapa ada perbedaan dengan penelitian ini adalah
karena adanya perbedaan sudut pandang dari dukungan sosial yang digunakan. Dorsey, et al.
(1999) melihat dukungan sosial secara received dan terkait dengan parenting saja, sedangkan
penelitian ini melihat dukungan sosial secara perceived. Dikatakan dalam Sarason, et al.
(1987) bahwa ketika dukungan sosial secara aktual diberikan (seperti dalam penelitian
Hubungan antara..., Shabrina Adzhani Awanis Latief, FPsi UI, 2013
Dorsey, et al. yakni received social support) dan dispesifikkan terhadap suatu fungsi tertentu
(dalam penelitian Dorsey, et al. yaitu dukungan yang terkait dengan parenting), maka ada
kemungkinan dukungan sosial tersebut diberikan di waktu yang tidak tepat atau dipaksakan,
sehingga justru menimbulkan dampak negatif. Dorsey, et al. mengatakan bahwa bantuan yang
diberikan kepada ibu secara langsung terkait pengasuhan anak dapat membuat ibu dengan
HIV/AIDS ini justru merasa sangsi akan kemampuan dirinya dalam parenting dan juga
mengingatkan akan ketidakberdayaannya akibat penyakit yang dideritanya itu. Adapun ketika
individu menangkap dukungan sosial secara perceived atau perceived social support, ia
percaya bahwa ada orang lain yang peduli terhadap keadaannya tanpa ia minta secara
langsung sehingga stres yang dirasakan akan berkurang dan ia juga akan merasa lebih
terbantu atau terhibur (Taylor, et al., 2004). Perceived social support ini juga membuat ibu
merasa lebih dihargai, disayangi, dan dipedulikan sehingga ibu merasa bahwa dirinya
berharga. Hal ini mendorong ibu untuk memberikan kasih sayang dan kepedulian kepada
orang lain pula, salah satunya terhadap anak mereka (Crockenberg, 1988 dalam Cochran &
Niego, 2002). Dengan kata lain, perceived social support secara umum dapat membantu ibu
dengan HIV/AIDS ini dalam mengurangi stres yang ia rasakan sehingga ia memiliki penilaian
bahwa dirinya berharga dan mampu dalam menjalankan perannya sebagai ibu. Dengan
demikian, adanya dukungan sosial secara perceived dan umum ini dapat berhubungan pada
penilaian diri ibu dengan HIV/AIDS sebagai orangtua.
Adanya hubungan positif yang signifikan antara parenting self-efficacy dan dukungan
sosial dalam penelitian ini dapat terjadi karena beberapa alasan. Salah satunya adalah karena
seperti apa yang dikatakan Bandura (1977, 1982 dalam Cutrona & Troutman, 1986), bahwa
hubungan dengan orang lain akan memberikan pengaruh terhadap self-efficacy seseorang.
Saat pengambilan data, peneliti mengobservasi bahwa partisipan berada di dalam suatu
support group yang secara tidak langsung membuat mereka terpapar terhadap bagaimana ibu
dengan HIV/AIDS ini berinteraksi dan melakukan parenting terhadap anak mereka. Adanya
paparan dalam support group ini dapat membuat ibu belajar melalui observasi dan
mendapatkan persuasi verbal seperti pujian atau feedback terhadap parenting yang dilakukan.
Dengan melihat ibu lain dengan kondisi yang sama dan tetap bisa melakukan parenting
dengan baik, membuat ibu dengan HIV/AIDS ini memersepsikan bahwa ia tidak sendirian
dan memiliki panutan. Sesuai dengan apa yang dikatakan Bandura (1986) serta Coleman dan
Karraker (2005), bahwa vicarious learning, persuasi verbal, dan umpan balik positif dapat
memberikan pengaruh dan juga memelihara parenting self-efficacy.
Hubungan antara..., Shabrina Adzhani Awanis Latief, FPsi UI, 2013
Alasan berikutnya adalah bahwa persepsi akan dukungan sosial bagi ibu dapat
mencegah stres yang berlebihan dan depresi, sehingga self-efficacy ibu dalam melakukan
parenting tidak terganggu. Menurut Coleman dan Karraker (2003) serta Suzuki (2010),
kecemasan dan depresi dapat mengganggu self-efficacy. Oleh karena itu, dukungan sosial
dapat berperan untuk mencegah ibu mengalami kedua hal tersebut. Ditemukan oleh Serovich,
Kimberly, Mosack, dan Lewis (2001) bahwa individu dengan HIV/AIDS mengalami stres
yang rendah ketika ia memersepsikan banyak jumlah orang yang ada untuk diandalkan. Jones
(2006) dan Respler-Herman (2009) mengatakan bahwa ibu yang memersepsikan adanya
dukungan sosial akan memiliki psychological distress dan parental stress yang rendah
sehingga ia akan melakukan perilaku parenting yang lebih positif. Persepsi adanya dukungan
sosial bagi ibu dengan HIV/AIDS ini membuat ia merasa dirinya tidak sendirian, karena akan
ada orang yang dapat ia andalkan dan juga dapat mendukungnya serta menerimanya dalam
keadaan apapun. Oleh karena itu, persepsi dukungan sosial dapat mencegah ibu dengan
HIV/AIDS ini dari stres yang berlebihan dan akhirnya ibu dapat lebih fokus melakukan
parenting terhadap anak ketimbang terokupasi pada dirinya sendiri. Sesuai dengan apa yang
dikatakan Cutrona dan Troutman (1986) bahwa wanita yang memersepsikan ada orang yang
dapat ia andalkan untuk membantunya ketika dibutuhkan, lebih memiliki kepercayaan akan
kemampuannya dalam berperan sebagai ibu.
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa kepuasan terhadap dukungan yang ada
juga berhubungan positif dengan parenting self-efficacy, sejalan dengan hasil penelitian Teti
dan Gelfland (1991) dalam Holloway, et al. (2005) dan Suzuki, Holloway, Yamamoto, dan
Mindnich, (2009). Saat ibu menilai bahwa ia puas terhadap dukungan yang ada, ia merasa
bahwa kebutuhannya sudah terpenuhi dan sudah cukup menerima hiburan, perhatian, dan
adanya penerimaan dari orang lain. Kepuasan terhadap dukungan yang ada, berhubungan
dengan kemampuan seseorang dalam mengatasi stres (Vyaharkar, et al, 2010). Hal-hal ini
dapat membantu ibu lebih percaya bahwa ia mampu untuk menghadapi stressor yang ada
serta lebih yakin dalam menjalankan perannya sebagai ibu.
Hasil penelitian ini pun menunjukkan bahwa di antara kelima domain yang terdapat
pada parenting self-efficacy, domain nurturance adalah domain yang paling tinggi rata-rata
skornya, sedangkan domain yang paling rendah rata-rata skornya adalah domain disiplin.
Domain nurturance mencakup hal-hal terkait pengasuhan secara emosional seperti sensitif
terhadap kebutuhan anak, memberikan kehangatan secara emosional, serta sadar dan tertarik
pada perasaan anak. Hal ini bisa diyakini tinggi oleh ibu dengan HIV/AIDS karena mereka
merasa bahwa mengasuh anak merupakan prioritas utama dalam dirinya. Barnes dan Murphy
Hubungan antara..., Shabrina Adzhani Awanis Latief, FPsi UI, 2013
(2009) mengatakan bahwa mengasuh anak merupakan kesempatan bagi mereka untuk tetap
hidup dan mengenyampingkan sikap bahwa dirinya akan menghadapi kematian. Ibu dengan
HIV/AIDS melihat kesempatan ini sebagai kesempatan terakhir mereka untuk melakukan
pengasuhan yang terbaik bagi anak mereka (Barnes & Murphy, 2009). Dalam Tompkins, et
al. (1999) juga dikatakan bahwa setelah ibu didiagnosis terkena HIV, ibu yang tadinya merasa
mengabaikan anak mereka kemudian berusaha memperbaiki hubungannya dengan anak. Oleh
karena itu, ibu dapat memiliki keyakinan yang tinggi dalam menyediakan pengasuhan secara
emosional karena penyakitnya membuat dirinya lebih fokus untuk mengasuh anak mereka.
Adapun keyakinan ibu dalam domain disiplin didapatkan rendah rata-rata skornya,
dapat dikarenakan oleh ketidakmampuan ibu untuk mengawasi anaknya karena terlalu lemah
secara fisik atau menghabiskan banyak waktu untuk merawat dirinya. Penyakit ini dan
bayangan akan kematian membuat dirinya terlalu sayang kepada anak, sehingga membuat ibu
terlalu toleran dan sulit untuk membuat batasan terhadap anak. Dalam Faithfull (1997)
dikatakan bahwa ibu dengan HIV/AIDS ini seringkali sulit untuk melakukan tugas parenting
yang terasa tidak menyenangkan seperti mendisiplinkan anak. Mereka tidak ingin melakukan
hal-hal yang sekiranya dapat membuat mereka terlihat buruk karena mereka tidak ingin ketika
meninggal nanti diingat sebagai ibu yang pemarah, kasar, atau penghukum. Hal ini dapat
menjadi kemungkinan mengapa ia tidak sering melarang anaknya dalam melakukan berbagai
macam hal sehingga hal ini kemudian kembali berdampak pada anak yang bermasalah dalam
kedisiplinan (Faithfull, 1997).
Hasil tambahan berdasarkan aspek demografis ditemukan bahwa terdapat perbedaan
rata-rata skor yang signifikan pada parenting self-efficacy berdasarkan urutan kelahiran anak.
Ditemukan bahwa ibu dengan anak bungsu di usia kanak-kanak madya memiliki rata-rata
skor parenting self-efficacy ibu yang tertinggi, sedangkan rata-rata skor parenting self-efficacy
yang terendah adalah pada ibu dengan anak tengah di usia kanak-kanak madya. Hal ini dapat
terjadi karena beberapa alasan, salah satunya adalah karena pengalaman. Semakin banyak
pengalaman yang ibu miliki terhadap anak, ia akan memiliki parenting self-efficacy yang
lebih tinggi (Coleman & Karraker, 1997). Oleh karena itu, ibu dengan HIV/AIDS yang
memiliki anak bungsu usia kanak-kanak madya memiliki skor rata-rata parenting self-efficacy
yang tinggi karena mereka sudah memiliki pengalaman sebelumnya dalam melakukan
parenting. Coleman dan Karraker (2005) pun mengatakan bahwa urutan kelahiran anak dapat
berpengaruh terhadap parenting self-efficacy ibu. Adapun skor parenting self-efficacy yang
rendah pada ibu dengan anak tengah usia kanak-kanak madya, mungkin diakibatkan oleh
kurangnya frekuensi pengasuhan langsung yang diberikan ibu kepada anak. Dalam Furman
Hubungan antara..., Shabrina Adzhani Awanis Latief, FPsi UI, 2013
dan Lanthier (2002) dikatakan bahwa anak yang paling muda lebih membutuhkan atensi dan
menghabiskan banyak waktu dalam pengasuhannya. Kemudian Shaffer dan Kipp (2007)
mengatakan bahwa anak yang lebih tua seringkali mengasuh adiknya yang lebih muda. Oleh
karena itu, ketika ibu fokus mengurus anaknya yang paling muda, anak yang tertua akan
mengurus adiknya yang pertama atau anak tengah. Dengan demikian, ibu bisa jadi tidak
menghabiskan banyak waktu untuk mengasuh anak tengahnya karena ia lebih banyak
menaruh atensinya pada anak bungsu, sedangkan anak tengah lebih sering diurus oleh anak
sulungnya. Dalam Coleman dan Karraker (1997; 2005) dikatakan bahwa pengalaman
langsung dengan anak merupakan salah satu faktor yang memengaruhi parenting self-efficacy.
Keterlibatan langsung dengan tugas-tugas yang dikerjakan adalah sumber utama untuk
pembentukan efficacy (Bandura, 1986). Akibat pengalaman ibu untuk melakukan parenting
secara langsung terhadap anak tengah berkurang karena seringkali dilakukan oleh anak
sulungnya, maka ibu dapat memiliki keyakinan yang rendah terhadap kemampuannya dalam
parenting pada anak tengah usia kanak-kanak madya.
Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data terhadap tiga puluh ibu dengan
HIV/AIDS yang memiliki anak usia kanak-kanak madya, diperoleh kesimpulan berikut:
adanya hubungan positif yang signifikan antara parenting self-efficacy dan dukungan sosial
pada ibu dengan HIV/AIDS yang memiliki anak usia kanak-kanak madya. Dalam parenting
self-efficacy, domain yang memiliki skor rata-rata tertinggi adalah nurturance, sedangkan
skor rata-rata terendah adalah domain disiplin. Dari hasil tambahan juga ditemukan adanya
perbedaan parenting self-efficacy berdasarkan urutan kelahiran anak usia kanak-kanak madya.
Saran untuk penelitian selanjutnya antara lain adanya penelitian dengan metode
kualitatif untuk mendapatkan informasi yang lebih komprehensif mengenai gambaran
parenting pada ibu dengan HIV/AIDS, penyesuaian usia anak kanak-kanak madya yang
dibatasi hanya pada anak yang sudah memasuki sekolah dasar, melihat parenting self-efficacy
dan dukungan sosial dari sudut pandang lainnya (misalnya mengetahui jenis dukungan apa
yang sesuai untuk ibu dengan HIV/AIDS) atau konstruk lainnya (misalnya self-disclosure,
religiusitas, dan sebagainya).
Hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu pertimbangan untuk yayasan atau
lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang menangani ibu dengan HIV/AIDS untuk
memberikan penyuluhan mengenai cara mendisiplinkan anak, agar ibu dapat memberikan
aturan dan batasan terhadap anak dengan efektif, tanpa takut dipandang buruk oleh anak atau
Hubungan antara..., Shabrina Adzhani Awanis Latief, FPsi UI, 2013
menyakiti perasaan anak. Yayasan atau LSM juga dapat lebih gencar untuk menampung
penderita, terutama para ibu rumah tangga dan mengadakan program bagi ibu dengan
HIV/AIDS ini untuk saling berbagi informasi terkait parenting serta sharing mengenai
kehidupan sehari-hari terhadap anak. Selain itu, significant others ibu, yayasan atau LSM, dan
pihak ahli yang berkaitan, dapat lebih spesifik menanyakan kebutuhan apa yang memang
benar-benar dibutuhkan ibu sehingga bermanfaat bagi mereka.
Daftar Referensi
Armistead, L. & Forehand, R. (1995). For whom the bell tolls: Parenting decisions and
challenges faced by mothers who are HIV seropositive. Clinical Psychology: Science
and Practice, 2, 239-250.
Bandura, A. (1986). Social foundations of thought and action: A social cognitive theory. New
Jersey: Prentice-Hall.
Barnes, D. B. & Murphy, S. (2009). Reproductive decisions for women with HIV:
Motherhood’s role in envisioning a future. Qual Health Res, 19:481. doi
10.1177/1049732309332835
Bauman, L. J., Camacho, S., Silver, E. J., Hudis, J., Draimin, B. (2002). Behavioral problems
in school-aged children of mothers with HIV/AIDS. Clin Child Psychol Psychiatry,
7:39.
Brackis-Cott, E., Mellins, C. A., Dolezal, C., Spiegel, D. (2007). The mental health risk of
mothers and children: The role of maternal HIV infection. The Journal of Early
Adolescence, 27:67. doi: 10.1177/0272431606294824
Brooks, J. B. (2011). The process of parenting. New York: The McGraw-Hill Companies,
Inc.
Cochran, M. & Niego, S. (2002). Parenting and social networks. (M.H. Bornstein, Penyunt.).
Handbook of Parenting Second Edition, Volume 4, Social Conditions and Applied
Parenting. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates.
Coleman, P. K. & Karraker, K. H. (1997). Self-efficacy and parenting quality: findings and
future applications. Developmental Review, 18, 47-85.
Coleman, P. K. & Karraker, K. H. (2000). Parenting self-efficacy among mothers of school
age children: conceptualization, measurement, and correlates. Family Relations, 49
(01), 13-24. doi: 10.1111/j.1741-3729.2000.00013.x
Hubungan antara..., Shabrina Adzhani Awanis Latief, FPsi UI, 2013
Coleman, P. K. & Karraker, K. H. (2003). Maternal self-efficacy beliefs, competence in
parenting, and toddlers' behavior and developmental status. Infant Mental Health
Journal, 24 (2), 126-148. doi: 10.1002/imhj.10048
Coleman, P. K. & Karraker, K. H. (2005). Parenting self-efficacy, competence in parenting,
and possible links to children's social and academic outcomes. (O.N. Saracho & B.
Spodek, Penyunt.). Contemporary Perspectives on Families and Communities in Early
Childhood Education. Diakses pada 27 Oktober 2012 dari
http://books.google.co.id/books?id=
lkv5J3BpbrMC&pg=PA88&dq=parenting+self+efficacy&hl=id&sa=X&ei=kOLOT72
cIoHQrQfl24SVDA&ved=0CC8Q6AEwAA#v=onepage&q=parenting%20self%20eff
icacy&f=false
Cutrona, C. E. & Troutman, B. R. (1986). Social support, infant temperament, and parenting
self-efficacy: A meditational model of postpartum depression. Child Development,
Vol. 57, No. 6, 1507-1518.
Damar, A. P. & du Plessis, G. (2010). Coping versus grieving in a 'death-accepting' society:
AIDS-bereaved women living with HIV in Indonesia. Journal of Asian and African
Studies, 45, 424-431. doi: 10.1177/0021909610373904
Ditjen PP & PL Kemenkes RI. (2012). Laporan perkembangan HIV-AIDS, triwulan ii, tahun
2012. Diunduh dari
http://www.aidsindonesia.or.id/download/perpustakaan/LAPORAN_HIV-
AIDSTRIWULAN_II_2012.pdf, 5 September 2012.
Ditjen PP & PL Kemenkes RI. (2013). Laporan Kasus HIV-AIDS di Indonesia sampai dengan
Desember 2012. Diakses dari http://spiritia.or.id/Stats/StatCurr.php?lang=id, 29 April
2013.
Dorsey, S., Klein, K., Rex, F. & Family Health Project Research Group. (1999). Parenting
self-efficacy of HIV-infected mothers: The role of social support. Journal of Marriage
and Family, Vol. 61, No. 2, 295-305.
Edwards, L. V. (2006). Perceived social support and HIV/AIDS medication adherence among
African American women. Qualitative Health Research, Vol. 16, No. 5, 679-691. doi:
10.1177/1049732305281597
Faithfull, J. (1997). HIV-positive and AIDS-infected women: Challenge and difficulties of
mothering. American Journal of Orthopsychiatry, Vol. 6, No. 1, 144-151.
Field, A. (2009). Discovering statistics using SPSS (3rd
edition). London: SAGE Publications,
Ltd.
Hubungan antara..., Shabrina Adzhani Awanis Latief, FPsi UI, 2013
Furman, W. & Lanthier, R. (2002). Parenting siblings. (M.H. Bornstein, Penyunt.). Handbook
of Parenting Second Edition, Volume 1, Children and Parenting. New Jersey:
Lawrence Erlbaum Associates.
Gravetter, F. J. & Forzano, L. B. (2009). Research methods for the behavioral sciences, (3rd
edition). CA: Wadsworth.
Holloway, S. D., Suzuki, S., Yamamoto, Y., Behrens, K. Y. (2005). Parenting self-efficacy
among Japanese mothers. Journal of Comparative Family, 36, 61-76. doi:
10.1002/cd.42
Jones, T. (2006). Examining potential determinants of parental self-efficacy. University of
South Carolina. ProQuest Dissertations and Theses. Diunduh dari
http://search.proquest.com/docview/305281405? accountid=17242
Junttila, N., Vauras, M., Laakkonen, E. (2007). The role of parenting self-efficacy in
children’s social and academic behavior. European Journal of Psychology of
Education, Vol. XXII, No. 1, 41-61.
Kotchik, B. A., Forehand, R., Brody, G., Armistead, L., Simon, P., Morse, E., Clark, L.
(1997). The impact of maternal HIV infection on parenting in inner-city African
American families. Journal of Family Psychology, Vol. 11, No.4, 447-461.
Kumar, R. (2005). Research methodology: A step-by-step guide for beginners. London:
SAGE Publications, Ltd.
Leahy-Warren, P., McCarthy, G., Corcoran, P. (2011). First-time mothers: Social support,
maternal parental self-efficacy and postnatal depression. Journal of Clinical Nursing,
Blackwell Publishing Ltd. doi: 10.1111/j.1365-2702.2011.03701.x
Murphy, D. A., Roberts, K. J., Herbeck, D. M. (2011). HIV disease impact on mothers: What
they miss during their children’s developmental years. Journal of Child and Family
Studies, 20, 361-369. doi: 10.1007/s10826-010-9400-9
Nelms, T.P. (2005). Burden: The phenomenon of mothering with HIV. Journal of The
Association of Nurses in AIDS Care, Vol. 16, No. 4, 3-13. doi:
10.10.16/j.jana.2005.05.001
Oswalt, K.L. & Biasini, F.J. (2012). Characteristics of HIV-infected mothers associated with
increased risk of poor mother-infant interactions and infant outcomes. Journal of
Pediatric Health Care, Vol. 26, No. 2, 83-91. doi:10.1016/j.pedhc.2010.06.014
Rai, Y., Dutta, T. Gulati, A.K. (2010). Quality of life of HIV-infected people across different
stages of infection. J Happiness Stud. 11, 61–69.
Hubungan antara..., Shabrina Adzhani Awanis Latief, FPsi UI, 2013
Respler-Herman, M. (2009). Parenting beliefs, parental stress, and social support
relationships. New York: Pace University.
Sarafino, E. & Smith, T. (2012). Health psychology (7th
edition). Danver: John Wiley and
Sons, Inc.
Sarason, I. G., Levine, H. M., Basham, R. B., Sarason, B. R. (1983). Assessing social support:
the social support questionnaire. Journal of Personality and Social Psychology, Vol.
44, No.1, 127-139.
Sarason, I. G., Sarason, B. R., Shearin, E. N., Pierce, G. R. (1987). A brief measure of social
support: practical and theoretical implications. Journal of Social and Personal
Relationships, 4: 497.
Schaffer, D. R. & Kipp, K. (2007). Developmental psychology: Childhood and adolescence
(7th
edition). Canada: Wadsworth.
Serovich, J. M., Kimberly, J. A., Mosack, K. E., Lewis, T. L. (2001). The role of family and
friend social support in reducing emotional distress among HIV-positive women.
AIDS Care, Vol. 13, No. 3, 335-341.
Suzuki, S., Holloway, S., Yamamoto, Y., Mindnich, J. D. (2009). Parenting self-efficacy and
social support in Japan and the United States. Journal of Family Issues, Vol. 30, No.
11, 1505-1526. doi: 10.1177/0192513X09336830
Suzuki, S. (2010). The effects of marital support, social network support, and parenting stress
on parenting: self-efficacy among mothers of young children in Japan. Journal of
Early Childhood Research, Vol. 8, No. 1, 40-66.
Taylor, S.E., Sherman, D.K., Kim, H.S., Jarcho, J., Takagi, K., Dunagan, M.S. (2004).
Culture and social support: who seeks it and why?. Journal of Personality and Social
Psychology, Vol. 87, No. 3, 354-362.
Tompkins, T. L., Henker, B., Whalen, C. K., Axelrod, J. E., Comer, L. K. (1999).
Motherhood in the context of HIV infection: Reading between the numbers. Cultural
Diversity and Ethnic Minority Psychology. Vol. 5, No. 3, 197-208.
Tompkins, T. L. & Wyatt, G. E. (2008). Child psychosocial adjustment and parenting in
families affected by maternal HIV/AIDS. J Child Fam Stud, 17, 823-838. doi:
10.1007/s10826-008-9192-3
UNAIDS. (2012). Global reports: UNAIDS report on the global AIDS epidemic. Diunduh
pada 13 Februari 2013 dari
http://www.unaids.org/en/media/unaids/contentassets/documents/epidemiology/2012/
gr2012/20121120_UNAIDS_Global_Report_2012_en.pdf
Hubungan antara..., Shabrina Adzhani Awanis Latief, FPsi UI, 2013
Vyaharkar, M., Moneyham, L., Corwin, S., Saunders, R., Annang, L., Tavakoli, A. (2010).
Relationships between stigma, social support, and depression in HIV-infected african
american women living in the rural southeastern united states. Journal of the
Association of Nurses in AIDS Care, 21, 144-152.
Young, S. L. (2011). Exploring the relationship between parental self-efficacy and social
support systems. Iowa: Iowa State University.
Hubungan antara..., Shabrina Adzhani Awanis Latief, FPsi UI, 2013