HUBUNGAN ANTARA KARAKTERISTIK PENGAWAS MINUM OBAT …digilib.unila.ac.id/55346/3/SKRIPSI TANPA BAB...
Transcript of HUBUNGAN ANTARA KARAKTERISTIK PENGAWAS MINUM OBAT …digilib.unila.ac.id/55346/3/SKRIPSI TANPA BAB...
HUBUNGAN ANTARA KARAKTERISTIK PENGAWAS MINUM OBAT
(PMO) DENGAN KONVERSI TB PARU KASUS BARU DI PUSKESMAS
PANJANG BANDAR LAMPUNG TAHUN 2017
(Skripsi)
Oleh
Eka Susiyanti
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2019
ABSTRAK
HUBUNGAN ANTARA PENGAWAS MINUM OBAT (PMO) DENGAN
KONVERSI TB PARU KASUS BARU DI PUSKESMAS PANJANG
BANDAR LAMPUNG TAHUN 2017
Oleh:
EKA SUSIYANTI
Latar belakang: PMO merupakan orang yang berperan mengawasi secara langsung pasien
TB dalam menelan obat. Peran PMO sangat membantu pasien TB untuk meningkatkan
kepatuhan pengobatan agar tercapai keberhasilan pengobatan dengan adanya konversi hasil
pemeriksaan BTA positif menjadi negatif. Puskesmas Panjang merupakan puskesmas di
Kecamatan Panjang Bandar Lampung yang memiliki jumlah kasus TB sebanyak 200 kasus
dengan 108 kasus adalah kasus TB BTA positif yang terbagi menjadi 44 orang mengalami
konversi dan 62 orang tidak mengalami konversi. Peran PMO berupa pengawasan yang
baik kepada pasien TB akan meningkatkan keberhasilan pengobatan berupa kejadian
konversi pada pasien TB.
Metode: Rancangan penelitian ini adalah Case Control. Populasi kasus adalah PMO
dengan penderita TB BTA (+) yang tidak konversi dengan pengobatan fase intensif (44
responden) dan populasi kontrol adalah PMO dengan penderita TB BTA (+) yang konversi
dengan pengobatan fase intensif (44 responden) dengan menggunakan quota sampling.
Analisis data menggunakan uji Chi Square (α=0,05).
Hasil: Hasil analisis uji chi-square berbeda setiap karakteristik PMO. Karakteristik usia
dengan p-value=0,58, jenis kelamin dengan p-value=1,00, pengetahuan dengan p-value=
0,000, p-value untuk pendidikan sebesar 0,647, hubungan kedekatan interaksi sosial
dengan p-value= 0,00, dan status tempat tinggal dengan p-value=0,002.
Kesimpulan: Hasil uji tersebut menunjukkan adanya hubungan pada 3 karakteristik yaitu
pengetahuan, hubungan interaksi sosial, dan status tempat tinggal PMO dengan kejadian
konversi pada pasien TB paru, sedangkan pada 3 karakteristik berupa usia, jenis kelamin,
dan pendidikan PMO tidak terdapat hubungan dengan konversi pada pasien TB paru.
Kata Kunci : fase intensif, konversi sputum BTA, PMO, tuberkulosis.
ABSTRACT
RELATIONSHIP BETWEEN DRUG DRUG CONTROL (PMO) WITH
NEW CASE OF PULMONARY CONVERSION IN PANJANG
PUSKESMAS BANDAR LAMPUNG 2017
By:
EKA SUSIYANTI
Background: PMO is a person who plays a direct role in supervising TB patients in
swallowing drugs. The role of PMO is very helpful for TB patients to improve medication
adherence in order to achieve treatment success with the conversion of positive smear
results to negative. Panjang Puskesmas is a puskesmas in Panjang Bandar Lampung
Subdistrict which has 200 TB cases with 108 cases of positive smear TB cases which are
divided into 44 people experiencing conversion and 62 people not experiencing conversion.
The role of PMO in the form of good supervision of TB patients will increase treatment
success in the form of conversion in TB patients.
Method: The design of this study is Case Control. The case population was PMO with
smear (+) TB patients who were not converted to intensive phase treatment (44
respondents) and the control population was PMO with smear (+) TB patients who were
converted to intensive phase treatment (44 respondents) using quota sampling. Data
analysis using Chi Square test (α = 0.05).
Results: The results of the chi-square test analysis differ in each characteristic of the PMO.
Age characteristics with p-value = 0.58, gender with p-value = 1.00, knowledge with p-
value = 0,000, p-value for education at 0.647, relationship to social interaction closeness
with p-value = 0.00 , and residence status with p-value = 0.002.
Conclusion: The results of the test showed an association with 3 characteristics, namely
knowledge, relationship of social interaction, and residence status of PMO with the
incidence of conversion in pulmonary TB patients, whereas in 3 characteristics in the form
of age, sex, and education PMO there was no association with pulmonary TB patients.
Keywords: intensive phase, PMO, sputum conversion of BTA, tuberculosis
HUBUNGAN ANTARA KARAKTERISTIK PENGAWAS MINUM OBAT
(PMO) DENGAN KONVERSI TB PARU KASUS BARU DI PUSKESMAS
PANJANG BANDAR LAMPUNG TAHUN 2017
Oleh
Eka Susiyanti
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Lulus Sarjana Kedokteran
FAKULTASKEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2019
Judul Skripsi : HUBUNGAN ANTARA KARAKTERISTIK
PENGAWAS MINUM OBAT (PMO) DENGAN
KONVERSI TB PARU KASUS BARU DI
PUSKESMAS PANJANG BANDAR
LAMPUNG TAHUN 2017
Nama Mahasiswa : Eka Susiyanti
Nomor Pokok Mahasiswa : 1518011017
Program Studi : Pendidikan Dokter
Fakultas : Kedokteran
MENYETUJUI
Komisi Pembimbing
Sutarto, S.K.M., M.Epid dr. Tri Umiana Soleha, S.Ked, M.Kes NIP 197207061995031002 197609032005012001
Judul Skripsi : HUBUNGAN ANTARA KARAKTERISTIK
PENGAWAS MINUM OBAT (PMO) DENGAN
KONVERSI TB PARU KASUS BARU DI
PUSKESMAS PANJANG BANDAR
LAMPUNG TAHUN 2017
Nama Mahasiswa : Eka Susiyanti
Nomor Pokok Mahasiswa : 1518011017
Program Studi : Pendidikan Dokter
Fakultas : Kedokteran
MENYETUJUI
1. Komisi Pembimbing
Sutarto, S.K.M., M.Epid dr. Tri Umiana Soleha, S.Ked, M.Kes NIP 197207061995031002 197609032005012001
2. Dekan Fakultas Kedokteran
Dr. dr. Muhartono, S.Ked, M. Kes, Sp. PA
NIP. 197012082001121001
MENGESAHKAN
1. Tim Penguji
Ketua : Sutarto, S.K.M, M.Epid
Sekretaris : dr. Tri Umiana Soleha, S.Ked, M.Kes
Penguji
Bukan Pembimbing : Dr. dr. Endang Budiarti, M.Kes
2. Dekan Fakultas Kedokteran
Dr.dr.Muhartono, S.Ked., M.Kes., Sp. PA
NIP. 197012082001121001
Tanggal Ujian : 18 Januari 2019
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Rawajitu pada tanggal 26 April 1997, merupakan anak
pertama dari Samuji dan Sumiati. Pendidikan Taman Kanak- Kanak (TK)
diselesaikan di TK Cipta Karya pada tahun 2003, Sekolah Dasar (SD) diselesaikan
di SDN Karyatani pada tahun 2009, Sekolah Menengah Pertama (SMP)
diselesaikan di SMPN 1 Pasir Sakti pada tahun 2012, dan Sekolah Menengah Atas
(SMA) diselesaikan di SMAN 1 Pasir Sakti pada tahun 2015. Pada tahun 2015,
penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.
Selama menjadi mahasiswa penulis pernah aktif pada organisasi Forum Studi Islam
Ibnu Sina sebagai anggota Biro Baca Quran.
SANWACANA
Puji syukur Penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayah-
Nya skripsi ini dapat diselesaikan. Sholawat serta salam semoga selalu
tercurahkankepada Nabi Muhammad S.A.W.
Skripsi dengan judul “Hubungan Antara Karakteristik Pengawas Minum Obat
(PMO) dengan Konversi TB Paru Kasus Baru di Puskesmas Panjang Bandar
Lampung Tahun 2017 ” adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana
Kedokteran diUniversitas Lampung.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Hasriadi Mat Akin, M.P., selaku Rektor Universitas
Lampung.
2. Dr. dr. Muhartono, S.Ked., M.Kes., Sp.PA., selaku Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Lampung.
3. Bapak Sutarto, S.K.M, M.Epid, selaku Pembimbing Utama yang selalu
bersedia dengan penuh kesabaran meluangkan waktu dan kesediaannya untuk
memberikan bimbingan, kritik, saran serta nasihat yang bermanfaat dalam
proses penyelesaian skripsi ini
4. dr. Tri Umiana Soleha, S.Ked, M.Kes selaku Pembimbing Kedua atas
kesediannya untuk menyempatkan waktu memberikan bimbingan, saran dan
kritik selama proses skripsi ini.
5. Dr. dr. Endang Budiati, M.Kes selaku Penguji Utama pada ujian skripsi untuk
masukan dan saran-saran yang diberikan.
6. Dr. dr. Muhartono, S.Ked., M.Kes., Sp.PA., selaku Pembimbing Akademik
7. Ayahanda tercinta, Samuji yang selalu memberikan doa, motivasi, dan sosok
yang selalu hangat dalam mendengarkan keluh kesah selama menjalankan
pendidikan Kedokteran serta selalu mengingatkanku untuk selalu dekat dengan
Allah SWT.
8. Ibunda tersayang Sumiati, terimakasih telah menjadi sosok yang sangat
teristimewa. Ibu sekaligus teman terbaik di dunia untukku. Terimakasih atas
segenap doa, dukungan, nasehat, yang tiada hentinya selalu ku terima.
Terimakasih dukungan cinta dan kasih terbaik selama aku menjadi bagian dari
keluarga Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.
9. Adikku Dwi Rafi Syafarianka Ramadhan, terimakasih telah menjadi adik yang
baik pekertinya dan indah akhlaknya, serta menjadi alarm makanku setiap
suasana.
10. dr. Endang selaku Kepala Puskesmas, serta Ibu Lorent dan seluruh staff
Puskesmas Panjang , Kota Bandar Lampung yang membantu dalam penelitian
ini.
11. Seluruh Staf Dosen FK Unila atas ilmu dan pengalaman berharga yang
telahdiberikan kepada penulis untuk menambah wawasan yang menjadi
landasanuntuk mencapai cita-cita.
12. Seluruh Staf Akademik, TU dan Administrasi FK Unila, serta pegawai
yangturut membantu dalam proses penelitian skripsi ini.
13. Anggoro Trianto, terimakasih atas dukungan yang selama ini tiada hentinya
untukku. Terimakasih telah menjadi sosok yang siap dalam segala kondisi.
14. Saudariku Ratna Sari dan Ravika Anggraeni, terimakasih telah bersedia
bertahan menjadi sahabat dan keluarga untukku. Terimakasih untuk selalu
tidak bosan mengingatkanku kepada Rabb ku.
15. Saudaraku Septian Boby Pratama, terimakasih telah menjadi sahabat, saudara,
keluarga terbaik dari kita masih sama-sama minum ASI.
16. Sahabat-sahabatku Fitri Nadia Silvani, Enjelina, Rika Rahmawati, Wulan
Alawiyah Zahra, Charisatus Sidqotie, Anis Syafa’atul Khusna, Eniwati, Nabila
Ulfiani, Winda Puspita Sari, Mega Rukmana Dewi, Rindu Bunga Putri, Nadia
Eva Zahra, Irma Yolanda Japasindo terimakasih untuk perjuangan dan
semangat kebersamaan selama ini.
17. Terimakasih kepada mbak-mbak ku Yuni Astika Rahayu, Dwi Ambarwati
Santoso yang selalu menjadi tempat mengadu dan pemberi nasehat terbaik.
18. Sahabat dan adikku Tuty Handayani, terimakasih atas dukungan selama ini.
19. Terimakasih untuk keluarga KKN Indraloka Mukti yang telah mengajarkan arti
keluarga dan kebersamaan. Terkhusus kepada kakakku Linda Margreta yang
selalu mengingatkanku kepada Allah.
Akhir kata, Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan.
Akan tetapi, sedikit harapan semoga skripsi yang sederhana ini dapat berguna dan
bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.
Bandar Lampung, Januari 2019
Penulis
Eka Susiyanti
iv
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iv
DAFTAR TABEL ................................................................................................. vii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... viii
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .............................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................... 4
1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................................... 5
1.4 Manfaat Penelitian ......................................................................................... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 7
2.1 Tuberkulosis Paru .......................................................................................... 7
2.1.1 Definisi dan Prevalensi ......................................................................... 7
2.1.2 Patogenesis Tuberkulosis...................................................................... 8
2.1.3 Penularan Tuberkulosis ........................................................................ 9
2.1.4 Faktor Resiko Lingkungan terhadap Penularan TB.............................. 9
2.1.5 Penegakan Diagnosis .......................................................................... 11
2.1.6 Tatalaksana Tuberkulosis ................................................................... 15
2.2 Pengawas Minum Obat (PMO) ................................................................... 17
2.2.1 Definisi ............................................................................................... 17
2.2.2 Peranan PMO pada Kasus TB ............................................................ 18
2.2.3. Karakteristik PMO ............................................................................. 19
2.3 Teori Epidemiologi Penyakit ....................................................................... 22
2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konversi Tuberkulosis ........................ 24
v
2.5 Kerangka Teori ............................................................................................ 26
2.6 Kerangka Konsep ........................................................................................ 27
2.7 Hipotesis Penelitian ..................................................................................... 27
BAB III METODE PENELITIAN........................................................................ 29
3.1 Jenis Penelitian ............................................................................................ 29
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian ..................................................................... 29
3.3 Subjek Penelitian ......................................................................................... 29
3.3.1 Populasi .............................................................................................. 29
3.3.2 Sampel ................................................................................................ 30
3.4 Identifikasi Variabel Penelitian ................................................................... 34
3.5 Definisi Operasional .................................................................................... 35
3.6 Alur Penelitian ............................................................................................. 37
3.7 Pengumpulan Data ...................................................................................... 38
3.7.1 Prosedur Pengumpulan Data............................................................... 38
3.7.2 Instrumen Penelitian ........................................................................... 38
3.8 Pengolahan Data .......................................................................................... 39
3.9 Analisis Data ............................................................................................... 39
3.9.1 Analisis Data Univariat ...................................................................... 39
3.9.2 Analisis Data Bivariat ......................................................................... 40
3.10 Etika Penelitian .......................................................................................... 40
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...................................... 41
4.1 Gambaran Umum Penelitian ....................................................................... 41
4.2 Hasil Penelitian ............................................................................................ 42
4.2.1 Karakteristik Responden ..................................................................... 42
4.2.2 Analisis Univariat ............................................................................... 43
4.2.3 Analisis Bivariat ................................................................................. 46
4.3 Pembahasan ................................................................................................. 47
4.4 Keterbatasan Penelitian ............................................................................... 56
vi
BAB V SIMPULAN DAN SARAN ..................................................................... 57
5.1 Simpulan ...................................................................................................... 57
5.2 Saran ............................................................................................................ 58
5.2.1 Bagi Puskesmas Panjang .................................................................... 58
5.2.2 Bagi Peneliti Lain ............................................................................... 59
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 60
vii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1 Interprestasi Pemeriksaan BTA.......................................................................... 13
2 Dosis untuk paduan OAT KDT untuk Kategori 1 ............................................. 16
3 Definisi operasional ........................................................................................... 35
4 Karakteristik responden ..................................................................................... 42
5 Jenis PMO .......................................................................................................... 43
6 Karakteristik PMO ............................................................................................. 44
7 Hubungan Karakteristik Pengawas Minum Obat (PMO) dengan Konversi BTA
............................................................................................................................... 46
viii
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Alur Diagnostik Tuberkulosis Paru ................................................................... 15
2 Segitiga Epidemiologi ........................................................................................ 23
3 Kerangka Teori................................................................................................... 26
4 Kerangka Konsep ............................................................................................... 27
5 Alur Penelitian ................................................................................................... 37
ix
DAFTAR LAMPIRAN
1. Lampiran 1 : Ethical Clearense
2. Lampiran 2 : Surat Pre Survey
3. Lampiran 3 : Surat Persetujuan Penelitian
4. Lampiran 4 : Uji Validitas dan Reabilitas
5. Lampiran 5 : Informed Consent
6. Lampiran 6 : Kuesioner
7. Lampiran 7 : Data Responden
8. Lampiran 8 : Hasil Uji Chi Square (Analisis Univariat)
9. Lampiran 9 : Hasil Uji Chi Square (Analisis Bivariat)
10. Lampiran 10 : Foto Kegiatan Pengambilan Data
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pengawas Minum Obat (PMO) tuberkulosis adalah orang yang membantu
pasien TB dalam memberi pengawasan secara langsung saat pasien menelan
obat. Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman
kelompok Mycobacterium yaitu Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini
paling banyak menyerang paru-paru, walaupun sepertiga kasus menyerang
organ lain seperti kelenjar getah bening, tulang belakang, selaput otak, perut,
kulit, dan tenggorokan. Penyakit ini menyebar melalui droplet yang di dukung
oleh udara, sehingga menyebabkan penyakit ini lebih banyak terdapat di
pemukiman padat yang jarak antar rumah berdekatan dengan sanitasi rumah
yang kurang memadai (Kemenkes RI, 2014). Tugas seorang PMO adalah
mengawasi pasien selama pengobatan agar pasien berobat dengan teratur,
memberikan motivasi kepada pasien agar mau berobat dengan teratur,
mengingatkan pasien untuk berkunjung ulang ke fasilitas kesehatan
(memeriksakan dahak dan mengambil obat), serta memberikan penyuluhan
terhadap orang-orang terdekat pasien mengenai gejala, cara pencegahan, cara
penularan TB, dan menyarankan untuk memeriksakan diri kepada keluarga
yang memiliki gejala seperti pasien TB (Kemenkes RI, 2016).
2
Berdasarkan data World Health Organization (WHO) pada tahun 2016 terdapat
6,3 juta kasus Tuberkulosis (TB) yang di laporkan dan hal tersebut meningkat
dibandingkan tahun 2015 sebesar 6,1 juta kasus dengan prevalensi pada dewasa
sebesar 90%. Angka kematian TB di dunia pada tahun 2016 mencapai 1,3 juta
kasus (WHO, 2016). Prevalensi kasus TB di Indonesia berdasarkan data
Kementerian Kesehatan RI tahun 2017 sebanyak 360.770 kasus dengan kasus
TB BTA positif sebanyak 168.412 kasus (Kemenkes, 2018). Provinsi Lampung
merupakan salah satu provinsi bagian dari pulau Sumatera dimana pulau
Sumatera itu sendiri mempunyai angka insidensi TB nasional sebanyak 33%.
Penemuan kasus TB paru di Lampung pada tahun 2017 sebanyak 7.627 kasus
dengan penemuan kasus TB BTA positif sebanyak 4.195 kasus (Kemenkes,
2018). Kecamatan Panjang merupakan salah satu kecamatan yang terletak di
kota Bandar Lampung, provinsi Lampung. Berdasarkan data rekapitulasi
penderita TB paru tahun 2017 di Puskesmas Panjang, jumlah penderita TB
sebanyak 200 orang. Angka yang menunjukkan hasil BTA positif dari jumlah
total penderita TB sebanyak 108 orang, dimana 44 telah mengalami konversi
dalam pengobatan intensif selama 2 bulan dan 62 orang tidak mengalami
konversi BTA (Puskesmas Panjang, 2018).
Pada saat seseorang didiagnosis menderita TB dibutuhkan waktu yang cukup
lama untuk menjalani pengobatan. WHO sejak tahun 1995 merekomendasikan
penerapan strategi DOTS. Strategi DOTS ini bertujuan untuk mencegah
penularan kuman TB dan mencegah terjadinya Multi Drug Resistent-TB (MDR-
3
TB). Apabila penularan kuman TB dapat dicegah maka insidensi TB dapat
diturunkan. Salah satu strategi dari DOTS adalah penerapan panduan OAT
jangka pendek dengan pengawasan dari Pengawas Minum Obat (PMO)
(Silvani, Hesti, Sureskiarti, dkk, 2016). Orang yang dapat menjadi PMO antara
lain petugas kesehatan, kader, guru, tokoh masyarakat, dan anggota keluarga.
Karakteristik yang harus diperhatikan pada PMO berupa usia PMO, jenis
kelamin, pendidikan, dan pengetahuan yang dimiliki oleh PMO. Keberadaan
PMO (Pengawas Minum Obat) dalam masa pengobatan pasien TB paru sangat
membantu, karena pengobatan TB paru membutuhkan waktu yang cukup lama
yaitu selama 6 bulan. Terdapat 2 bulan fase pengobatan intensif dan 4 bulan
pengobatan lanjutan. Pada fase 2 bulan pertama pengobatan intensif dapat
dilihat keberhasilan pengobatan melalui hasil pemeriksaan BTA yang
menunjukkan konversi atau tidak konversi pemeriksaan BTA tersebut.
Konversi BTA merupakan hasil perubahan pemeriksaan BTA dari hasil BTA
positif setelah dilakukan pengobatan intensif selama 2 bulan menjadi BTA
negatif (Kurniati, 2010). PMO sangat berperan penting dalam fase pengobatan
ini. PMO mempunyai peran berupa mengawasi, memberikan motivasi kepada
pasien TB, mengingatkan pasien TB untuk patuh minum obat dan kembali
untuk memeriksakan kesehatan pasien ke fasilitas kesehatan. Apabila PMO
melakukan perannya dengan baik maka tingkat keberhasilan pengobatan yang
dapat dilihat dari hasil konversi BTA pada pasien juga akan meningkat.
Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Prabowo tahun 2014, menjelaskan
bahwa terdapat hubungan peran PMO dengan kepatuhan kunjungan berobat
pasien di Puskesmas Nogosari Boyolali. Peran PMO adalah mendampingi atau
4
mengawasi pasien yang sedang dalam masa pengobatan dengan tujuan pasien
berobat dengan teratur, memberikan motivasi dan dorongan pada pasien agar
tidak berhenti mengkonsumsi OAT, mengingatkan pasien serta menemani
pasien untuk periksa dahak ke pelayanan kesehatan pada waktu yang telah
ditentukan, memberikan penyuluhan kepada salah satu anggota keluarga pasien
apabila terdapat anggota keluarga yang mengalami gejala seperti pasien
(Kemenkes RI, 2016). Penelitian lain juga dilakukan oleh Fadlilah tahun 2016
yang menjelaskan bahwa terdapat hubungan karakteristik Pengawas Minum
Obat (PMO) terhadap kepatuhan berobat pasien tuberkulosis di Puskesmas
Pragaan. Karakter yang signifikan dalam penelitian tersebut adalah sikap dan
pengetahuan PMO terhadap kepatuhan berobat pasien. Penelitian-penelitian
tersebut yang mendorong penulis untuk melakukan penelitian tentang
karakteristik PMO berupa usia, jenis kelamin, pendidikan, pengetahuan,
hubungan kedekatan interaksi sosial, dan status tempat tinggal terhadap
konversi BTA pasien TB paru. Data rekapitulasi pasien TB di Puskesmas
Panjang pada tahun 2017 sebanyak 200 oranng dengan pasien BTA positif
sebanyak 108 orang serta terbagi menjadi 44 orang merupakan pasien konversi
BTA dan 62 orang tidak mengalami konversi BTA. Hal tersebut yang menjadi
alasan penulis untuk menjadikan Puskesmas Panjang sebagai tempat penelitian
pada penelitian ini.
1.2 Rumusan Masalah
Pengobatan pasien TB paru sangat dipengaruhi oleh karakteristik dari PMO
yang mengawasi pasien dalam meminum obat. Perbedaan dari karakter PMO
tersebut dapat dijadikan perumusan masalah pada penelitian ini. Bagaimana
5
hubungan karakteristik PMO dengan konversi TB paru kasus baru di Puskesmas
Panjang Bandar Lampung.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk :
1.1.1 Tujuan Umum
Mengetahui hubungan karakteristik PMO dengan hasil konversi TB
paru pada masa pengobatan 2 bulan pertama di Puskesmas Panjang
Bandar Lampung.
1.1.2 Tujuan Khusus
a. Mengetahui distribusi frekuensi usia, jenis kelamin, pengetahuan,
tingkat pendidikan, hubungan kedekatan interaksi sosial, dan status
tempat tinggal PMO dengan hasil konversi TB paru pada masa
pengobatan 2 bulan pertama di Puskesmas Panjang Bandar Lampung.
b. Mengetahui hubungan antara usia PMO dengan konversi pada
penderita TB paru.
c. Mengetahui hubungan antara jenis kelamin PMO dengan konversi
pada penderita TB paru.
d. Mengetahui hubungan antara pendidikan PMO dengan konversi pada
penderita TB paru.
e. Mengetahui hubungan antara pengetahuan PMO dengan konversi
pada penderita TB paru.
f. Mengetahui hubungan antara hubungan kedekatan interaksi sosial
dengan konversi pada penderita TB paru.
6
g. Mengetahui hubungan antara status tempat tinggal PMO dengan
konversi pada penderita TB paru.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah :
1. Bagi peneliti/penulis, menambah ilmu pengetahuan di bidang ilmu
kedokteran komunitas.
2. Bagi institusi atau masyarakat
a. Dapat meningkatkan pengetahuan mengenai karakteristik PMO
terhadap pengobatan pasien TB paru di Puskesmas Panjang Bandar
Lampung.
b. Dapat menambah bahan kepustakaan dalam lingkungan Fakultas
Kedokteran Universitas Lampung.
3. Penelitian ini juga di harapkan dapat berguna sebagai acuan bagi penelitian
selanjutnya.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tuberkulosis Paru
2.1.1 Definisi dan Prevalensi
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh kuman/bakteri
Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini 1,4 kali lebih banyak
menyerang laki-laki dibandingkan perempuan. Penyakit TB merupakan
masalah besar untuk negara berkembang karena di perkirakan bahwa
95% TB berada di negara berkembang dengan target 75% usia produktif
yaitu 15-50 tahun (Park, Hong, Boo, dkk, 2012).
Kasus TB paru dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, tahun 2014
yang jumlah kasus sebanyak 324.539 kasus sedangkan pada tahun 2015
terjadi peningkatan jumlah kasus tuberkulosis sebanyak 330.910 kasus.
Prevalensi banyak jumlah kasus TB juga di golongkan berdasarkan
beberapa karakteristik. Berdasarkan jenis kelamin, jumlah penderita
laki-laki lebih banyak 1,5 kali lipat dibandingkan perempuan. Prevalensi
berdasarkan umur diketahui bahwa pada usia 25-35 tahun banyak yang
menderita tuberkulosis paru dengan angka kejadian sebesar 18,65%
,diikuti dengan kelompok umur 45-54 tahun sebesar 17,33%, kemudian
pada usia 35-44 tahun sebesar 17,18% (Kemenkes RI, 2016).
8
2.1.2 Patogenesis Tuberkulosis
Proses terjadinya tuberkulosis terdapat 4 tahapan meliputi tahap paparan,
infeksi, menderita sakit dan meninggal dunia. Tahap paparan dipengaruhi
oleh peluang adanya sumber yang menularkan. Sumber penularan
tergantung terhadap intensitas dan banyak dahak batuk yang dikeluarkan
oleh sumber penular. Sementara itu, waktu terpaparnya seseorang dengan
sumber penular merupakan faktor yang penting dalam tahap paparan
(PDPI, 2011).
Tahap infeksi, tahap ini terjadi setelah tahap paparan. Tahap infeksi ini
berkaitan dengan sistem imun seseorang yang telah terpapar kuman TB.
Reaksi daya tahan tubuh akan terjadi setelah 6–14 minggu setelah
infeksi. Reaksi imun dimulai ketika kuman masuk ke alveolus kemudian
dimakan oleh makrofag dan terjadi reaksi antigen-antibodi. Setelah itu
dilanjutkan dengan reaksi imun seluler yang ditandai dengan tes uji
tuberkulin positif. Lesi yang terbentuk umumnya dapat sembuh atau
kuman tetap hidup di dalam lesi dan suatu saat dapat aktif kembali.
Penyebaran melalui limfe dan melalui aliran darah terjadi sebelum lesi
sembuh (PDPI, 2011).
Tahapan seseorang mengalami sakit TB, tahap ini bergantung pada
konsentrasi atau jumlah kuman yang terhirup, lamanya waktu sejak
terinfeksi, usia yang terinfeksi, dan tingkat daya tahan tubuh seseorang.
Tahap selanjutnya meninggal dunia, faktor resiko meninggal dunia
9
akibat TB paru adalah akibat keterlambatan diagnosis, pengobatan yang
tidak adekuat, dan adanya penyakit penyerta (PDPI, 2011).
2.1.3 Penularan Tuberkulosis
Penularan penyakit tuberkulosis dapat melalui droplet penderita TB.
Sumber penularan melalui droplet pasien TB BTA positif, namun bukan
berarti pasien TB dengan hasil BTA negatif tidak mengandung kuman
dalam dahaknya. Hal tersebut bisa terjadi karena kuman yang terkandung
dalam sampel uji ≤5.000 kuman/cc dahak, sehingga sulit dideteksi
melalui pemeriksaan langsung. Pasien TB dengan BTA negatif masih
memiliki kemungkinan menularkan penyakit TB . tingkat penularan
pasien TB BTA positif adalah 65%, pasien TB BTA negatif dengan hasil
kultur positif adalah 26%, sedangkan pasien TB dengan hasil kultur
positif adalah 17%. Infeksi dimulai ketika seseorang menghirup udara
yang mengandung droplet dari penderita TB. Pada saat batuk atau bersin,
pasien menyebarkan sekitar 3000 percikan dahak (droplet) yang
mengandung kuman (Kemenkes RI, 2014).
2.1.4 Faktor Resiko Lingkungan terhadap Penularan TB
Lingkungan merupakan salah satu faktor dalam perjalanan epidemiologi
penyakit. Faktor lingkungan yang berperan penting dalam penularan
penyakit TB adalah faktor lingkungan fisik berupa rumah yang menjadi
tempat tinggal penderita TB. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan
Nomor 829/Menkes/SK/VII/1999 kondisi rumah yang sehat meliputi, 1)
memenuhi kebutuhan fisiologis meliputi pencahayaan, penghawaan,
10
ruang gerak yang cukup, dan terhindar dari kebisingan yang
mengganggu; 2) memenuhi kebutuhan psikologis meliputi privacy yang
cukup, komunikasi yang sehat antar anggota keluarga dan penghuni
rumah; 3) memenuhi persyaratan pencegahan penularan penyakit antar
penghuni rumah meliputi penyediaan air bersih, pengelolaan tinja,
limbah rumah tangga, bebas vektor penyakit dan tikus, kepadatan hunian
yang tidak berlebihan, dan cukup sinar matahari pagi; 4) memenuhi
persyaratan pencegahan terjadinya kecelakaan baik yang timbul karena
keadaan luar maupun dalam rumah, antara lain fisik rumah yang tidak
mudah roboh, tidak mudah terbakar dan tidak cenderung membuat
penghuninya jatuh tergelincir (Kepmenkes, 1999).
Berdasarkan penelitian Wulandari, Nurzajuli, dan Adi tahun 2015 bahwa
faktor lingkungan fisik yang memiliki hubungan dengan penularan TB
berupa kepadatan hunian, suhu ruangan, kelembaban ruangan, jenis
lantai rumah. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
829/Menkes/SK/VII/1999 kepadatan hunian dikatakan baik apabila
memenuhi syarat ≥8m2/orang. Lantai yang baik harus kuat untuk
menahan beban diatasnya, tidak licin, stabil waktu dipijak, permukaan
lantai mudah dibersihkan. Suhu dan kelembaban udara dipengaruhi oleh
pencahayaan dan ventilasi dalam rumah. Ventilasi ialah proses
penyediaan udara segar ke dalam suatu ruangan dan pengeluaran udara
kotor suatu ruangan baik alamiah maupun secara buatan. Ventilasi harus
lancar diperlukan untuk menghindari pengaruh buruk yang dapat
merugikan kesehatan. Ventilasi yang baik dalam ruangan harus
11
mempunyai syarat-syarat, diantaranya : a) Luas lubang ventilasi tetap,
minimum 5% dari luas lantai ruangan. Sedangkan luas lubang ventilasi
insidentil (dapat dibuka dan ditutup) minimum 5%. Jumlah keduanya
menjadi 10% kali luas lantai ruangan. b) Udara yang masuk harus udara
bersih, tidak dicemari oleh asap kendaraan, dari pabrik, sampah, debu
dan lainnya. c) Aliran udara diusahakan Cross Ventilasi dengan
menempatkan dua lubang jendela berhadapan antara dua dinding ruangan
sehingga proses aliran udara lebih lancar (Kepmenkes, 1999).
2.1.5 Penegakan Diagnosis
Berdasarkan PDPI 2011, diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan
melalui gejala klinik, pemeriksaan fisik, pemeriksaan bakteriologik,
pemeriksaan radiologik, dan pemeriksaan penunjang lainnya.
1. Gejala klinik
Gejala tuberkulosis dibagi menjadi 2 yaitu gejala respiratorik dan
gejala sistemik. Gejala respiratorik berupa batuk ≥3 minggu, batuk
dahak, sesak napas, dan nyeri dada. Gejala respiratorik ini sangat
bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala yang cukup
berat tergantung dari luas lesi. Kadang penderita terdiagnosis pada
saat medical check up. Sedangkan gejala sistemik pada pasien
tuberkulosis berupa demam, malaise, anoreksia, keringat malam,
dan berat badan turun.
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan jasmani kelainan yang akan dijumpai tergantung
dari organ yang terlibat. Pada tuberkulosis paru, kelainan yang
12
didapat tergantung luas kelainan struktur paru. Pada permulaan
(awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali)
menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di
daerah lobus superior terutama daerah apex dan segmen posterior,
serta daerah apex lobus inferior. Pada pemeriksaan jasmani dapat
ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas
melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma &
mediastinum.
Pada pleuritus tuberkulosis, kelainan pemeriksaan ditemukan
berdasarkan banyaknya cairan di dalam rongga pleura. Saat perkusi
ditemukan suara pekak, auskultasi ditemukan suara pernapasan
melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan.
Pada limfadenitis tuberkulosis, terlihat pembesaran kelenjar getah
bening. Pembesaran terbanyak berada di leher, tetapi ada juga yang
di ketiak.
3. Pemeriksaan bakteriologik
Tuberkulosis paru dapat ditegakkan dengan menemukan hasil BTA
positif pada uji dahak secara mikroskpik. Hasil dikatakan positif
apabila dua dari tiga dahak yang dikumpulkan dari 3 spesimen
dahak secara SPS (Sewaktu Pagi Sewaktu) positif. Pemeriksaan
bakteriologik meliputik pemeriksaan mikroskopik dan
pemeriksaan biakan. Pemeriksaan mikroskopik dibagi 2 yaitu,
pemeriksaan mikroskopik biasa dengan menggunakan pewarnaan
13
Ziehl-Nielsen, dan mikroskopik fluoresens dengan menggunakan
pewarnaan auramin-rhodamin (khususnya untuk screening).
Tabel 1 Interprestasi Pemeriksaan BTA
No Kriteria Hasil
1.
3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali
negatif
BTA positif
2. 1 kali positif, 2 kali negatif Ulang BTA 3 kali
3. Kemudian tetap 1 kali positif, 2 kali
negatif
BTA positif
4. 3 kali negatif BTA negatif
Sumber: (PDPI,2011)
Skala yang digunakan untuk penentuan interprestasi hasil adalah
skala IUATLD (International Union Against Tuberculosis and
Lung Disease) :
a. Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut
negatif
b. Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis
jumlah kuman yang ditemukan
c. Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut +
(1+)
d. Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++
(2+)
e. Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++
(3+)
Pemeriksaan biakan digunakan untuk menegakkan diagnosis pasti
dan untuk melihat hasil biakan kuman Mycobacterium
14
tuberculosis dan juga Mycobacterium other than tuberculosis
(MOTT). Media yang digunakan dalam pemeriksaan ini adalah
Egg base media dan Agar base media.
4. Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan radiologik dilakukan apabila hasil BTA pada
pemeriksaan mikroskopik hasilnya <3+. Pemeriksaan standar
yang digunakan adalah foto toraks PA. Hasil pemeriksaan
radiologik yang menunjukkan kecurigaan tuberkulosis paru adalah
berupa bayangan berawan/nodular di segmen apikal dan posterior
lobus atas paru dan segmen superior lobus bawah, kaviti, terutama
lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau
nodular, bayangan bercak milier, dan efusi pleura unilateral
(umumnya) atau bilateral (jarang).
15
Gambar 1. Alur diagnostik tuberkulosis paru
Sumber: (PDPI,2011)
2.1.6 Tatalaksana Tuberkulosis
Prinsip pengobatan TB adalah untuk mencegah penyebaran kuman TB
lebih lanjut. Prinsip pengobatan yang adekuat meliputi diberikan paduan
OAT yang tepat minimal mengandung 4 macam obat, diberikan dengan
dosis yang tepat, ditelan dan diminum langsung di bawah pengawasan
PMO, pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang terbagi yaitu tahap
awal dan tahap lanjutan guna mencegah kekambuhan.
16
1. Tahap awal, pengobatan diberikan setiap hari dengan tujuan untuk
menyingkirkan kuman yang ada dalam tubuh pasien dan untuk
meminimalisir penularan kuman tuberkulosis.
2. Tahap lanjutan, berguna membunuh sisa-sisa kuman yang ada dalam
tubuh penderita terutama untuk kuman yang persisten sehingga
dapat mencegah kekambuhan.
Panduan obat lini pertama yang digunakan di Indonesia berdasarkan
Kemenkes RI 2011 adalah :
a. Kategori 1 (2HRZE/ 4H3R3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
a) Pasien baru TB paru BTA positif.
b) Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
c) Pasien TB ekstra paru.
Tabel 2 Dosis untuk paduan OAT KDT untuk Kategori 1
Berat Badan
Tahap Intensif tiap hari selama 56 hari RHZE
(150/75/400/275)
Tahap Lanjutan 3 kali seminggu selama 16 minggu
30-37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38-54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
55-70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2 KDT
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT Sumber: (Kemenkes RI, 2011)
b. Kategori 2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah
diobati sebelumnya:
a) Pasien kambuh
b) Pasien gagal
c) Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat
17
c. OAT sisipan (HRZE)
Paket obat sisipan adalah paket obat yang sama seperti kategori 1
tetapi diberikan selama 28 hari (Kemenkes, 2014).
Menurut Peter tahun 2013, keberhasilan pengobatan TB sangat
dipengaruhi oleh 8 minggu pertama proses pengobatan. Pengobatan 8
minggu pertam lebih signifikan digunakan untuk diagnosis dan follow-
up pasien terkait dengan konversi hasil pemeriksaan kultur bakteri TB.
Selain itu, keberhasilan pengobatan 8 minggu pertama pada pasien TB
berpengaruh terhadap jumlah produksi sputum pasien tersebut (Peter,
2013).
2.2 Pengawas Minum Obat (PMO)
2.2.1 Definisi
Pengawas Minum Obat (PMO) adalah seseorang yang mengawasi
keteraturan pengobatan atau keteraturan minum obat seorang penderita
tuberkulosis. Seorang PMO dapat berupa petugas kesehatan seperti
bidan, kader pengendali TB puskesmas, perawat, ataupun dapat pula dari
anggota keluarga terdekat (Hadifah, 2015). Syarat untuk menjadi PMO
yaitu, mempunyai hubungan dekat dengan pasien, mampu mengawasi
pasien setiap kali akan minum obat, memberikan pengawasan secara
sukarela, dan bersedia untuk di latih atau mendapat penyuluhan bersama-
sama dengan pasien (Kemenkes RI, 2013).
18
2.2.2 Peranan PMO pada Kasus TB
Pengobatan pasien TB bergantung oleh banyak faktor, salah satunya
adalah peranan dari seorang pengawas minu obat (PMO). Menurut
Jufrizal, Hermansyah, Mulyadi 2016, menyebutkan bahwa peran PMO
sangat efektif terhadap konversi hasil pemeriksaan BTA negatif.
Berdasarkan penelitiannya diketahui bahwa hasil responden PMO
dengan pasien BTA negatif sebanyak 97% dibandingan dengan PMO
dengan pasien TB BTA positif (Jufrizal, Hermansyah, Mulyadi, 2016).
Peranan PMO yang lain adalah menjaga pola hidup bersih dan sehat. Hal
tersebut terlihat dari kebersihan dan sanitasi rumah yang sangat
berhubungan dengan keberlangsungan hidup kuman yang ada dalam
tubuh penderita tuberkulosis. Maka dari itu, peran PMO dalam menjaga
kebersihan rumah untuk di tinjau agar mencegah penularan antar anggota
dan mendukung untuk terjadinya konversi TB dari BTA positif menjadi
BTA negatif (Rahmawati, Syafar, Arsin, 2011).
Dukungan yang diberikan keluarga juga terkait akan peminuman obat
oleh pasien, pemberian makan dan nutrisi untuk penderita TB. Pada saat
PMO melihat langsung bagaimana seorang penderita meminum dan
menelan obatnya, hal tersebut efektif untuk seorang penderita menjadi
sembuh sesuai waktu yang diharapkan. Makanan dan nutrisi yang
diberikan PMO juga berperan penting terhadap kekebalan daya tahan
tubuh penderita. Apabila daya tahan tubuh penderita menjadi cukup baik
19
maka jumlah kuman yang berada dalam tubuh juga akan mengalami
penurunan (Kaulagekear, Dhake, Preeti, 2012).
Berdasarkan penelitian Hadifah 2015, cara PMO untuk mendukung
pengobatan pasien TB paru adalah dengan sistem menandai tanggal yang
terdapat dalam kalender untuk jadwal minum obat pasien dan untuk
dukunagan setiap hari PMO memberikan nasihat-nasihat moral untuk
pasien TB (Hadifah, 2015).
2.2.3. Karakteristik PMO
Berdasarkan penelitian Fadlilah 2017, tidak ditemukan hubungan antara
usia PMO dengan keberhasilan pengobatan pasien TB. Mayoritas usia
PMO yang ditemukan pada penelitian tersebut adalah usia 36-45 tahun.
Akan tetapi menurut Saftarina, Islamy, Rasely 2012, karakteristik usia
PMO yang baik adalah usia 20-30 tahun. Usia tersebut memiliki
karakteristik yang cukup baik karena pada dasarnya PMO harus disegani
oleh penderita dan pada usia tersebut emosi seseorang sudah mulai
matang, sehingga PMO dapat kontrol emosinya dan dapat menjadi
seorang pengawas minum obat yang baik (Saftarina, Islamy, Rasely,
2012).
Jenis kelamin PMO terbagi menjadi 2 yaitu laki-laki dan perempuan,
keduanya mempunyai pengaruh yang sama dalam keberhasilan
pengobatan pasien TB. Akan tetapi, perempuan merupakan PMO yang
lebih diinginkan oleh penderita TB. Hal tersebut dikarenakan perempuan
lebih mempunyai sifat sabar dan telaten yang bisa lebih mudah
20
memahami dan memperhatikan proses pengobatan pasien TB. Selain itu,
PMO yang ditemukan mayoritas berjenis kelamin perempuan dengan
persentase perempuan sebesar 51,7% (Fadlilah, 2017). Berdasarkan
hasil penelitian lain, disebutkan bahwa presentase PMO dengan jenis
kelamin perempuan sebesar 76,7 % dengan alasan bahwa PMO
perempuan lebih bersedia untuk menjadi responden dan mengisi
kuisioner. PMO dengan jenis kelamin perempuan juga lebih mampu
untuk mengawasi dan mengontrol pasien TB untuk meminum obat
(Pratama, Aliong, Sufianti, dkk., 2018).
Tingkat pengetahuan dan pendidikan seorang PMO juga sangat
berpengaruh. Seorang PMO minimal mempunyai pengetahuan tentang
penyakit TB dan peranannya sebagai Pengawas Minum Obat (Fadlilah,
2017). Menurut penelitian yang dilakukan Joko Tri Atmojo 2017
didapatkan bahwa PMO dengan pengetahuan yang rendah mempunyai
resiko 13,33 kali berpeluang untuk tidak sembuh dibandingkan dengan
pasien TB yang mempunyai PMO berpengetahuan tinggi. Pengetahuan
yang dimaksud disini adalah seorang PMO mengetahui informasi tentang
TB dan gejalanya, memahami penularan TB, aplikasi tentang pengobatan
dan ketaatan minum obat untuk pasien TB, mampu menganalisis
penyebab, penularan, pengobatan, dan pencegahan TB. Selain itu, PMO
mampu melakukan sintesis atau mampu menyelesaikan masalah apabila
PMO jauh terhadap pasien tetapi pasien tetap taat minum obat, yang
terakhir adalah PMO mampu mengevaluasi hasil kinerjanya terhadap
pasien TB yang diawasinya (Atmojo, 2017). Dalam penelitian Rahmi,
21
Medison, dan Suryadi tahun 2017 disebutkan bahwa tingkat pengawasan
PMO terhadap kepatuhan minum obat pasien TB paru masih rendah. Hal
tersebut disebabkan oleh masih kurangnya tingkat pengetahuan PMO
terhadap kasus TB dan cara pengobatannya (Medison, Suryadi, 2017).
Pengetahuan dapat berkesinambungan terhadap tingkat pendidikan yang
dimiliki oleh seorang PMO. Pendidikan seorang PMO mempengaruhi
cara PMO memberikan motivasi dan memberikan pengertian kepada
pasien TB tentang kepatuhan dalam minum obat. Semakin baik
penyampaian motivasi dan pemberian materi kepada pasien TB, semakin
baik pula hasil kepatuhan pasien TB yang di dapat (Putri, 2015).
Hubungan kedekatan kekerabatan antara PMO dengan pasien TB juga
sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pengobatan pasien TB.
Hubungan kedekatan kekerabatan yang paling efektif adalah PMO yang
berinteraksi secara langsung, tinggal dalam satu rumah, dan masih
merupakan anggota keluarga dekat. Hal tersebut bertujuan agar
pengawasan minum obat terhadap pasien TB lebih mudah dan teratur
(Hadifah, 2015). Hubungan kedekatan antara PMO dengan pasien TB
dalam penelitian Hayati dan Musa tahun 2016 sebanyak 15 orang (40%)
adalah orang tua dengan 14 orang diantaranya adalah seorang ibu. Sosok
ibu akan lebih dihormati dan disegani oleh anaknya. Selain itu, sosok
seorang ibu juga mempunyai hubungan lebih dekat dengan anaknya
sehingga akan dirasakan lebih nyaman dan lebih dapat mengawasi
keteraturan minum obat pasien TB paru (Hayati, Musa, 2016)..
22
2.3 Teori Epidemiologi Penyakit
Epidemiologi adalah metode identifikasi untuk mengetahui penyebab atau
sumber penyakit, faktor resiko yang menyebabkan terjadinya suatu penyakit,
cedera, cacat, atau kematian dalam suatu populasi atau dalam suatu kelompok
masyarakat. Epidemiologi dikembangkan dengan menggunakan model
penyakit menular sebagia perkembangan model studi dan landasannya.
Epidemiologi dipakai untuk program pengendalian dan pencegahan penyakit,
serta untuk menentukan kategori penyakit endemik, epidemik, ataupun
pandemik (Timmreck, 2004).
Epidemiologi menggunakan cara pandang ekologi untuk mencari interaksi
berbagai elemen dan faktor dalam lingkungan yang berkaitan dengan
terjadinya suatu penyakit. Ekologi merupakan hubungan organisme yang satu
dengan lainnya. Epidemiologi menggunakan konsep model Triad
Epidemiology yang berisikan tentang hubungan antara agens, pejamu, dan
lingkungan (Timmreck, 2004).
23
Gambar 2 Segitiga Epidemiologi
Sumber: (Timmreck,2004)
Model ini berguna untuk mengetahui hubungan interaksi yang saling
ketergantungan antara lingkungan, agen penyebab, pejamu, dan waktu.
a. Agen (faktor penyebab)
Agen merupakan penyebab penyakit berupa virus, jamur, bakteri dan
penyebab lainnya yang dikategorikan sebagai penyebab penyakit
infeksius. Pada keadaan infeksi, situasi ketidakmampuan, cedera, atau
situasi kematian, agen dapat berupa zat kimia, faktor fisik seperti radiasi,
defisiensi gizi, dan beberapa substansi lain.
b. Host (Pejamu)
Pejamu adalah organisme, berupa hewan atau manusia yang menjadi
tempat terpaparnya suatu penyakit. Efek yang dapat diperoleh didasarkan
pada tingkat imunitas, susunan genetik, tingkat paparan, status kesehatan,
dan kebugaran tubuh pejamu. Paparan yang didapatkan oleh pejamu dapat
menyebabkan pejamu terkena penyakut ataupun tidak terkena penyakit.
Lingkungan
Agen Pejamu
24
c. Lingkungan
Lingkungan adalah segala sesuatu yang mengelilingi dan juga kondisi luar
pejamu yang menyebabkan atau memungkinkan penularan penyakit.
Aspek lingkungan dapat berupa aspek biologi, sosial, budaya, ataupun
faktor fisik lingkungan. Lingkungan dapat berada dari dalam ataupun luar
pejamu, berada disekitar tempat hidup pejamu ataupun efek dari
lingkungan terhadap pejamu (Timmreck, 2004).
2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konversi Tuberkulosis
Keberhasilan konversi BTA pada kasus TB paru dipengaruhi oleh beberapa
faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi berupa usia penderita yang sudah
tidak produktif, keadaan sosial ekonomi, jenis kelamin, keterbatasan informasi
dan transportasi pengobatan, tingkat kepatuhan minum obat, dan keadaan status
gizi penderita. Berdasarkan hasil penelitian Puspasari tahun 2014 disebutkan
bahwa usia pasien yang tergolong tidak produktif (>50 tahun) merupakan usia
yang cukup rumit untuk dilakukan pengobatan, sehingga mempengaruhi
kesembuhan. Rumitnya pengobatan tersebut dipengaruhi oleh adanya penyakit
penyerta yang dialami oleh pasien dengan usia tidak produktif (Puspasari, 2014).
Faktor yang mempengaruhi keberhasilan pengobatan pasien Tb yang lain adalah
keadaan sosial ekonomi. Berdasarkan penelitian Amaliah tahun 2012
menyatakan bahwa status ekonomi mempengaruhi terjadinya peningkatan faktor
resiko terjadinya penyakit dan mempengaruhi cara atau tempat dimana pasien
akan memasuki fasilitas layanan kesehatan. Selanjutnya, untuk jenis kelamin
diketahui mayoritas berjenis kelamin laki-laki sebanyak 69,8%. Hasil
25
pemeriksaan BTA positif pada laki-laki ditemukan sebesar 59,4% dan
perempuan sebesar 40,6% (Kemenkes RI, 2013). Hal tersebut dipengaruhi oleh
adanya peningkatan faktor resiko yang dialami oleh laki-laki melalui gaya hidup
yang dilakukannya dengan merokok. Merokok dapat meningkatkan resiko 2-3
kali lebih besar mengalami kekambuhan TB (Sianturi,2013).
Berdasarkan penelitian Puspasari tahun 2014 bahwa kesembuhan TB
dipengaruhi oleh adanya keterbatasan informasi dan transportasi pengobatan,
sehingga para penderita TB sulit untuk menjangkau dan mendapatkan
pengobatan yang sesuai untuk sakit TB yang dialami. Selain itu, tingkat
kepatuhan minum obat juga sangat berpengaruh terhadap terjadinya kesembuhan
pasien TB paru. Pengobatan TB paru yang tergolong lama menyebabkan
sebagian pasien TB susah untuk meminum obat dengan patuh, sehingga
pengawasan terhadap pengobatan pasien TB sangat diperlukan untuk
memastikan pasien menyelasaikan pengobatan dnegan sesuai (Puspasari, 2014).
Status gizi juga mempengaruhi tingkat kesembuhan pada pasien TB paru.
Keadaan status gizi buruk menyebabkan penurunan sitem kekebalan tubuh,
sehingga memudahkan untuk terinfeksinya bakteri Tb paru. Peningkatan dan
perbaikan status gizi dalam memberikan asupan makanan yang seimbang pada
pasien TB paru yang sedang menjalani fase pengobatan merupakan faktor
penentu terjadinya konversi pada pemeriksaan BTA pasien TB paru (Amaliah,
2012).
26
2.5 Kerangka Teori
Gambar 3 Kerangka Teori
Sumber: Modifikasi Jhon Gordon, Amaliah (2012), Sianturi (2013), Puspasari (2014)
Keterangan :
: teori epidemiologi penyakit yang mempengaruhi konversi
Bercetak tebal adalah variabel yang diteliti
Konversi TB
Host
Penderita TB paru :
- Usia
- Keadaan ekonomi
sosial
- Jenis kelamin
- Kepatuhan
minum obat
Environment
1. Karakteristik Pengawas
Minum Obat :
- Usia
- Jenis kelamin
- Tingkat pendidikan
- Pengetahuan
- Hubungan kedekatan
interaksi sosial
- Status tempat tinggal
2. Keterbatasan informasi dan
transportasi
Agent
Mycrobacterium
tuberculosis
27
2.6 Kerangka Konsep
Variabel independen Variabel dependen
Gambar 4 Kerangka Konsep
2.7 Hipotesis Penelitian
a. Ha :Terdapat hubungan antara usia PMO dengan konversi BTA pasien
TB paru kasus baru di Puskesmas Panjang Bandar Lampung.
Ho :Tidak terdapat hubungan antara usia PMO dengan konversi BTA
pasien TB paru kasus baru di Puskesmas Panjang Bandar Lampung.
b. Ha :Terdapat hubungan antara jenis kelamin PMO dengan konversi TB
paru kasus baru di Puskesmas Panjang Bandar Lampung.
Ho: Tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin PMO dengan konversi
TB paru kasus baru di Puskesmas Panjang Bandar Lampung.
c. Ha :Terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan PMO dengan
konversi TB paru kasus baru di Puskesmas Panjang Bandar Lampung.
Ho : Tidak terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan PMO dengan
Konversi TB paru
pada 2 bulan pertama
pengobatan
Karakteristik PMO :
- Usia
- Jenis Kelamin
- Pengetahuan TB
- Tingkat
pendidikan
- Hubungan
kedekatan
interaksi sosial
- Status tempat
tinggal
28
konversi TB paru kasus baru di Puskesmas Panjang Bandar Lampung.
d. Ha :Terdapat hubungan antara tingkat pendidikan PMO terhadap
konversi BTA pasien TB paru kasus baru di Puskesmas Panjang Bandar
Lampung.
Ho : Tidak terdapat hubungan antara tingkat pendidikan PMO terhadap
konversi BTA pasien TB paru kasus baru di Puskesmas Panjang Bandar
Lampung.
e. Ha :Terdapat hubungan antara kedekatan interaksi sosial dengan
konversi pasien TB paru kasus baru di Puskesmas Panjang Bandar
Lampung.
Ho :Tidak terdapat hubungan antara interaksi sosial dengan konversi
pasien TB paru kasus baru di Puskesmas Panjang Bandar Lampung.
f. Ha : Terdapat hubungan antara status tempat tingal PMO terhadap
konversi BTA pasien TB paru kasus baru di Puskesmas Panjang Bandar
Lampung.
Ho : Tidak terdapat hubungan antara status tempat tinggal PMO terhadap
konversi BTA pasien TB paru kasus baru di Puskesmas Panjang
Bandar Lampung.
29
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah analitik dengan pendekatan case control. Pendekatan
case control adalah suatu penelitian non-eksperimental mengenai tentang
bagaimana faktor resiko dipelajari dengan menggunakan pendekatan
retrospektive (Notoadmojo, 2010).
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian
3.2.1 Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus sampai Desember 2018.
3.2.2 Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di Puskesmas Panjang, Bandar Lampung.
3.3 Subjek Penelitian
3.3.1 Populasi
Populasi adalah keseluruhan objek penelitian yang akan diteliti
(Notoadmojo, 2010). Populasi dalam penelitian ini adalah PMO dari
penderita TB paru BTA positif yang telah menjalani pengobatan intensif
2 bulan di Puskesmas Panjang, Bandar Lampung sebesar 200 orang. Pada
penelitian ini terdapat 2 kelompok populasi yaitu kelompok kasus berupa
30
pasien TB paru dengan BTA positif namun tidak mengalami konversi
selama masa pengobatan intensif 2 bulan dan kelompok kontrol berupa
kelompok pasien TB paru yang mengalami konversi BTA pada masa
pengobatan intensif 2 bulan pertama. Populasi yang diambil peneliti
berdasarkan data Puskemas Panjang pada tahun 2017 sebesar 108 orang
yang terbagi menjadi 62 orang merupakan pasien yang tidak konversi
dan 44 orang merupakan pasien yang konversi. (Puskesmas Panjang,
2017).
3.3.2 Sampel
Sampel adalah bagian dari populasi yang dipilih melalui cara tertentu
sehingga dapat mewakili populasinya (Notoadmojo, 2010). Pengambilan
sampel pada penelitian ini adalah sampel yang memenuhi kriteria inklusi
dan eksklusi.
A. Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi adalah karakteristik umum dalam suatu populasi
target yang akan dijadikan subjek penelitian adapun kriteria inklusi
yang ada dalam penelitian ini adalah:
1. Kriteria inklusi kasus
Kriteria inklusi kasus pada penelitian ini yaitu :
a. PMO dengan penderita TB paru BTA positif yang tidak
mengalami konversi pada follow up 2 bulan pertama
pengobatan
b. PMO masih hidup dan bersedia untuk menjadi responden
serta dapat berkomunikasi dengan baik
31
c. Usia di atas 17 tahun
d. Alamat jelas dan dapat ditemukan
2. Kriteria inklusi kontrol
Kriteria inklusi kontrol dalam penelitian ini adalah
a. PMO dengan penderita TB yang mengalami BTA positif dan
terdaftar di Puskesmas Panjang
b. PMO masih hidup dan bersedia menjadi responden serta
dapat berkomunikasi dengan baik
c. Usia di atas 17 tahun
d. Alamat jelas dan dapat ditemukan
B. Kriteria Ekslusi
Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah :
a. PMO yang tidak berada di tempat saat peneliti melakukan observasi.
b. PMO dengan penderita TB lebih dari satu
3.3.2.1 Sampel Kasus
Sampel kasus adalah pasien TB paru kasus baru di Puskesmas Panjang
yang tidak mengalami konversi BTA dalam pengobatan intensif selama
2 bulan.
Besar sampel yang akan diperlukan di dalam penelitian di tentukan
berdasarkan rumus analitik tidak berpasangan data kategorik sebagai
berikut:
𝑛1 = 𝑛2 = (𝑍𝛼√2𝑃𝑄 + 𝑍𝛽√𝑃1𝑄1 + 𝑃2𝑄2)2
(𝑃1 − 𝑃2)2
32
Keterangan:
n1=n2 = Besar sampel kasus dan kontrol
Zα = Derivat baku alpha = 1,96; dengan α = 5% atau
0,05
Zβ = Derivat baku beta = 0,84; dengan β = 20% atau 0,2
dan 1-β = 80 %
P2 = Proporsi terpapar pada kelompok kontrol yang
diteliti, yaitu 0,02 (Fadlilah., 2016).
Q2 = 1– P2
= 1 – 0,02
= 0,98
(P1-P2) = Selisih proporsi pajanan minimal yang dianggap
bermakna, ditetapkan sebesar 0,2
P1 = P2 + ( P1-P2)
= 0,02 + 0,2
= 0,22
Q1 = 1 – P1
= 1 – 0,22
= 0,78
P = (P1 + P2)/2
= (0,22 + 0,02)/2
= 0,12
Q = 1 – P
33
= 1 – 0,12
= 0,88
Dengan memasukkan nilai-nilai di atas pada rumus, diperoleh:
𝑛 = (𝑍𝛼√2𝑃𝑄 + 𝑍𝛽√𝑃1𝑄1 + 𝑃2𝑄2)2
(𝑃1 − 𝑃2)2.
𝑛 =(1,96 √2 × 0,12 × 0,88 + 0,84√0,22 × 0,78 + 0,02 × 0,98)2
(0,22 − 0,05)2.
𝑛 = 40,2.
𝑛 = 40.
Berdasarkan perhitungan tersebut, didapatkan jumlah sampel sebesar
40 responden dan dilakukan penambahan 10% dari jumlah sampel
untuk mewakili populasi dalam penelitian ini, sehingga total jumlah
sampel kasus adalah 44 responden. Pada penelitian ini, peneliti
menggunakan Purposive Sampling dimana peneliti menentukan sampel
berdasarkan pertimbangan tertentu seperti sifat-sifat populasi atau
kriteria yang telah diketahui sebelumnya.
3.3.2.2 Sampel Kontrol
Sampel kontrol merupakan pasien TB paru kasus baru di Puskesmas
Panjang yang mengalami konversi BTA dalam pengobatan intensif
selama 2 bulan. Pada penelitian ini, perbandingan yang digunakan
antara sampel kasus : sampel kasus adalah 1:1. Jadi, maksud dari
perbandingan tersebut adalah jumlah sampel kasus dan sampel kontrol
dalam penelitian adalah sama besar yaitu sebesar 44 responden.
34
3.4 Identifikasi Variabel Penelitian
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
a. Varibel independen
Usia, jenis kelamin, pendidikan, pengetahuan, dan hubungan kekerabatan.
b. Variabel dependen
Konversi BTA pada 2 bulan pertama pengobatan.
35
3.5 Definisi Operasional
Tabel 3 Definisi operasional
Variabel Definisi Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala Ukur
Dependen
Konversi
BTA pada 2
bulan
pertama
pengobatan
Penderita TB
paru yang
mengalami
perubahan
pemeriksaan
BTA dari BTA
positif menjadi
BTA negatif
pada 2 bulan
pertama
pengobatan
Rekam
medik
Hasil uji
Laboratorium
pemeriksaan
sputum
Konversi
Tidak
konversi
Ordinal
Independen
Usia PMO Usia ideal yang
dimiliki seorang
PMO agar
disegani oleh
penderita TB
Kuesioner Observasi
lapangan ≤45 tahun
(usia 20-45
tahun)
>45 tahun
Nominal
Jenis
kelamin
PMO
Kelompok jenis
kelamin berupa
perempuan atau
laki-laki yang
ideal untuk
menjadi seorang
PMO
Kuesioner Observasi
lapangan Perempuan
Laki-laki
Nominal
Pendidikan
PMO
Jenjang sekolah
formal yang
ditempuh oleh
responden
terhitung sampai
pengambilan data
dilakukan
Kuesioner Wawancara Pendidikan
Rendah
(mulai
tidak
sekolah
hingga
tamat
SMP)
Pedidikan
Tinggi
(mulai
tamat SMA
ke atas)
Ordinal
Pengetahuan
PMO
Pengetahuan
yang dimiliki
PMO tentang
penyebab, tanda
penyakit,
penularan,
pencegahan,
tujuan minum
OAT, cara
minum OAT,
Kuesioner Wawancara Baik > 60
Tidak baik
≤ 60
Ordinal
36
tanda efek
samping OAT
Hubungan
kedekatan
interaksi
sosial PMO
Persepsi individu
tentang
kedekatan
emosional
dengan pasien
TB
Kuesioner Wawancara Dekat
Tidak
dekat
Nominal
Status tempat
tinggal PMO
Jawaban PMO
yang berstatus
tinggal serumah
atau tidak dengan
pasien TB
Kuesioner Wawancara Serumah
Tidak
serumah
Nominal
37
3.6 Alur Penelitian
Gambar 5 Alur Penelitian
Pembuatan dan
pengajuan proposal
Permohonan izin kepada
Puskesmas Panjang, Bandar
Lampung
Menghubungi responden dengan
media telepon untuk datang ke
Puskesmas Panjang dengan
bantuan kader TB
Pengisian kuisioner Wawancara Pengumpulan data
Hasil penilitian
Karakteristik PMO Konversi BTA TB
Analisis data
Pengolahan data
Responden datang ke
Puskesmas Panjang Bandar
Lampung
38
3.7 Pengumpulan Data
3.7.1 Prosedur Pengumpulan Data
Prosedur pengumpulan data pada penelitian ini melalui beberapa tahapan
yaitu :
1. Meminta surat pengantar ke bagian akademika Fakultas Kedokteran
Universitas Lampung untuk dilakukan penelitian setelah proposal
disetujui oleh pembimbing.
2. Mengajukan surat permohonan izin kepada kepala Puskesmas
Panjang, Bandar Lampung.
3. Meminta data terkait pasien TB paru tahun 2017 yang terdaftar di
Puskesmas Panjang, Bandar Lampung.
4. Mengajukan surat permohonan izin kepada calon responden dengan
menelepon responden dengan bantuan kader TB dan memohon untuk
responden datang ke Puskesmas Panjang, Bandar Lampung..
5. Menjelaskan tentang tujuan penelitian, manfaat penelitian dan
kerahasiaan informasi kepada calon responden di Puskesmas Panjang.
6. Melakukan wawancara kepada responden dan peneliti mengisi
kuesioner.
7. Memberikan bingkisan ucapan terimakasih kepada kader TB dan
responden yang telah membantu penelitian.
8. Data yang didapat kemudian diproses dan dianalisis.
3.7.2 Instrumen Penelitian
Pada penelitian ini alat yang digunakan untuk pengambilan data yang
digunakan berupa checklist wawancara (kuesioner) yang sudah
39
tervalidasi berdasarkan penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh
Sidy 2012. Cara pengambilan data berupa wawancara dalam bentuk
checklist (kuesioner) yang berjumlah 16 petanyaan (terlampir), yaitu
terkait karakteristik PMO berupa usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan,
tingkat pengetahuan, dan hubungan kedekatan interaksi sosial antara
PMO dengan pasien TB paru BTA positif.
3.8 Pengolahan Data
1. Editing (penyunting)
Editing data bertujuan untuk mengoreksi kembali apakah isian pada tiap
pertanyaan dalam kuesioner sudah lengkap.
2. Coding (mengkode)
Melaksanakan pengkodean atas jawaban responden untuk memudahkan
pengolahan data.
3. Entry data (memasukkan data)
Memasukkan data kedalam komputer.
4. Tabulating (tabulasi)
Mengelompokkan data ke dalam tabel yang dibuat sesuai dengan maksud
dan tujuan penelitian.
3.9 Analisis Data
3.9.1 Analisis Data Univariat
Analisa ini digunakan untuk mengetahui distribusi frekuensi usia, jenis
kelamin, pendidikan, pengetahuan, hubungan kedekatan interaksi sosial,
40
status tempat tinggal PMO dan konversi TB paru di Puskesmas Panjang,
Bandar Lampung.
3.9.2 Analisis Data Bivariat
Analisa bivariat dilakukan dengan menggunakan uji chi-square untuk
mengetahui hubungan antara frekuensi usia, jenis kelamin, pendidikan,
pengetahuan, hubungan kedekatan interaksi sosial, status tempat tinggal
PMO dan konversi TB paru di Puskesmas Panjang, Bandar Lampung.
namun apabila syarat uji chi-square tidak terpenuhi maka akan
dilanjutkan dengan uji Fisher (Dahlan, 2010). Hasil analisis dikatakan
bermakna bila p-value <0,05 dengan tingkat kepercayaan 95%.
3.10 Etika Penelitian
Penelitian ini telah diajukan kepada Komisi Etik Penelitian Kesehatan
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung dan telah mendapatkan surat
keterangan lulus kaji etik dengan nomor surat
5042/UN26.18/PP.05.02.00/2018.
57
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan terkait tentang hubungan
karakteristik Pengawas Minum Obat (PMO) dengan konversi TB paru kasus
baru di Puskesmas Panjang dalam kurun waktu penelitian bulan Agustus-
Desember 2018 dapat disimpulkan sebagau berikut :
1. Karakteristik PMO di Puskesmas Panjang pada kelompok usia mayoritas
usia >45 tahun, jenis kelamin sama besar antara laki-laki dan perempuan
yaitu 44 orang, tingkat pendidikan mayoritas pendidikan tinggi yaitu lulus
SMA sederajat atau lebih tinggi sebanyak 60 orang, untuk hubungan
kedektan interaksi mayoritas memiliki hubungan dekat sebanyak 69 orang,
dan untuk PMO yang tinggal serumah dengan pasien TB sebnayak 73
orang.
2. Tidak terdapat hubungan antara usia PMO dengan konversi pada penderita
TB paru.
3. Tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin PMO dengan konversi pada
penderita TB paru.
4. Tidak terdapat hubungan antara pendidikan PMO dengan konversi pada
penderita TB paru.
58
5. Terdapat hubungan antara pengetahuan PMO dengan konversi pada
penderita TB paru.
6. Terdapat hubungan antara hubungan kedekatan interaksi sosial dengan
konversi pada penderita TB paru.
7. Terdapat hubungan antara status tempat tinggal PMO dengan konversi pada
penderita TB paru.
5.2 Saran
5.2.1 Bagi Puskesmas Panjang
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa terdapat hubungan
antara karakteristik PMO berupa pengetahuan, hubungan kedekatan
interaksi sosial, dan status tempat tinggal dengan hasil konversi pada
penderita TB paru di Puskesmas Panjang. Maka peneliti berharap agar
Puskesmas Panjang dapat memilih PMO dengan pengetahuan yang baik,
memiliki hubungan interaksi sosial yang dekat dengan pasien TB paru,
dan tinggal serumah dengan pasien TB. Hal tersebut dapat tercapai
dengan cara :
1. Memilih PMO berdasarkan data Kartu Keluarga dari pasien TB.
2. Konfirmasi kepada PMO dan pasien TB apakah tinggal dalam satu
rumah
3. Memberikan edukasi tentang penyakit TB kepada PMO.
4. Memberikan edukasi tentang peran dan tugas PMO yang baik.
5. Memonitoring pengetahuan dan hubungan kedekatan interaksi sosial
antara PMO dengan pasien TB paru pada hari TB yaitu setiap hari
senin dan kamis.
59
5.2.2 Bagi Peneliti Lain
Diharapkan dapat melakukan penelitian lebih lanjut tentang
pengetahuan, hubungan kedekatan interaksi sosial, dan status tempat
tinggal PMO. Peneliti selanjutnya dapat memperoleh informasi yang
lebih dalam dari PMO melalui penelitian kualitatif.
60
DAFTAR PUSTAKA
Amaliah, R. (2012). Faktof-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kegagalan
Konversi Penderita TB Paru BTA Positif Pengobatan Fase Intensif Di
Kabupaten Bekasi Tahun 2010. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Indonesia.
Atmojo TJ. 2017. Hubungan Tingkat Pengetahuan Pengawas Menelan Obat
Dengan Keberhasilan Pengobatan Pasien Tuberkulosis Paru Di Kabupaten
Klaten. Jurnal Poltekes Solo. 6(1): 01-117.
Arifin S, Muhyi R, Setyaingrum R, Rahman F, Marlinae L. 2017. Development
Indicators Tb Pulmonary Disease Healing Wetland In the City of
Banjarmasin. Journal Research IJF. 8(1): 15-23
Dahlan MS. 2010. Stastistik Untuk Kedokteran dan Kesehatan. Epidemiologi
Indonesia. Jakarta.
Fadlilah N. 2017. Hubungan Karakteristik Pengawas Menelan Obat Terhadap
Kepatuhan Berobat Pasien Tuberkulosis di Puskesmas Pragaan Tahun 2016.
Jurnal Unair. Volume 5 No 3.
Hadifah Z. 2015. Pemenuhan Tugas Pengawas Menelan Obat (Pmo) Bagi Penderita
Tuberkulosis (Tb) Sebagai Indikator Penyakit Menular Di Puskesmas Kota
Sigli Kabupaten Pidie. Jurnal Litbang Kemkes. 1(1): 1-7.
Hasmi. 2012. Metode Penelitian Epidemiologi. Trans Info Media. Jakarta.
Hayati D, Musa E. 2016. Hubungan Kinerja Pengawas Menelan Obat Dengan
Kesembuhan Tuberkulosis Di Upt Puskesmas Arcamanik Kota Bandung.
4(1): 10-18.
61
Irnawati NM, Siagian IET, Ottay RI. 2016. Pengaruh Dukungan Keluarga Terhadap
Kepatuhan Minum Obat Pada Penderita Tuberkulosis Di Puskesmas Motoboi
Kecil Kota Kotamobagu. Jurnal Kedokteran Komunitas dan Tropik. 4(1): 59-
64.
Jufrizal, Hermansyah, Mulyadi, 2016. Peran Keluarga Sebagai Pengawas Minum
Obat (Pmo) Dengan Tingkat Keberhasilan Pengobatan Penderita
Tuberkulosis Paru. Jurnal Ilmu Keperawatan. 4(1): 1-12.
Kaulagekear N, Dhake, Preeti. 2012. Perspective Of Tuberculosis Patients On
Family Support And Care In Rural Maharashtra. Indian Journal of
Tuberculosis. 59: 224-30.
Kurniati. 2010. Angka Konversi Penderita Tuberkulosis Paru yang Diobati dengan
Obat Antituberkulosis (OAT) Paket Kategori Satu di BP4 Garut. 42(1): 1-5.
Kemenkes RI. 2011. Buku Petunjuk Praktis Bagi Petugas dan Pelaksana
Penanggulangan TBC di Unit Pelayanan Kesehatan. Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia. Jakarta.
Kemenkes RI. 2013. Profil kesehatan Indonesia 2012. Jakarta: Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia.
Kemenkes RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI.
Kemenkes RI. 2014. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta. 614.542 : 2-14.
Kemenkes RI. 2016. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 67
Tahun 2016 tentang Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta: Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia.
Kemenkes RI. 2018. Profil Kesehatan Indonesia 2017. Jakarta: Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia .
62
Kepmenkes. No. 829/Menkes/SK/VII/1999. Persyaratan Kesehatan Rumah
Tinggal. Jakarta : Departemen Kesehatan RI.
Mochammad, H.M., Aisah, S., Ernawati. 2012. Gambaran Pengawas Menelan Obat
(PMO) di Puskesmas Genuk dan Bangetayu Semarang. Jurnal Keperawatan
Universitas Muhammadiyah Semarang.
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=418836&val=434&title
=GAMBARAN%20PENGAWAS%20MENELAN%20OBAT%20(PMO)%
20DI%20PUSKESMAS%20GENUK%20DAN%20BANGETAYU%20SE
MARANG. Diakses pada 03 Desember 2018.
Notoatmodjo S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta.
Notoadmodjo S. 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta.
Octovianus L, Suhartono, Kuntjoro T. 2015. Analisis Faktor-faktor yang
Berhubungan dengan Kejadian Drop Out Penderita TB Paru di Puskesmas
Kota Sorong. Jurnal Manajemen Kesehatan Indonesia Universitas
Dipenogoro. 3(3): 228–34.
PDPI. 2016. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Jakarta : 4-25.
Panjang. 2014. Laporan Hasil Rekapitulasi Pendataan Keluarga Tingkat Kecamatan
Panjang. Kecamatan Panjang. Bandar Lampung.
Park YS, Hong SJ, Boo YK, Hwang ES, Kim HJ, Cho SH. 2012. The National
Status of Tuberculosis Using Nationwide Medical Records Survey of Patients
with Tuberculosis in Korea. Tuberc Respir Dis (Seoul). 73(1): 48-5.
Permatasari NP. 2015. Hubungan Tingkat Pengetahuan PMO Dengan Keberhasilan
Pengobatan TB Di Wilayah Kerja Puskesmas Kertasura. Skripsi. Stikes
Kusuma Husada Surakarta. http://digilib.stikeskusumahusada.ac.id. Diakses
pada tanggal 04 Desember 2018.
Peter JG, Theron G, Pooran A, Thomas J, Pascoe M, Dheda K. 2013. Comparison
Of Two Methods For Acquisition Of Sputum Samples For Diagnosis Of
Suspected Tuberculosis In Smear-Negative Or Sputum-Scarce People: A
Randomised Controlled Trial. Lancet Respir Med. 1(6): 471–478.
63
Prabowo RDR. 2014. Hubungan Antara Peran Pengawas Minum Obat (PMO)
dengan Kepatuhan Kunjungan Berobat Pada Pasien Tuberculosis Paru (TB
Paru) di Puskesmas Nogosari Boyolali. Fakultas Ilmu Kesehatan. Universitas
Muhamadiyah Surakarta. Surakarta. Skripsi.
Pratama ANW, Aliong APR, Sufianti N, Rahmawati E. 2018. Hubungan antara
Tingkat Pengetahuan Pasien dan Pengawas Menelan Obat (PMO) dengan
Kepatuhan Pasien Tuberkulosis di Puskesmas Kabupaten Jember. 6(2): 1-7.
Puskesmas Panjang. 2018. Data Rekapitulasi Penderita TB Paru Tahun 2017.
Puskesmas Panjang. Bandar Lampung.
Puspasari N. 2014. Karakteristik Pasien Tuberkulosis Yang Memperoleh
Pengobatan Kategori 2 Di UP4 Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2009-2012.
Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura.
Putri JA. 2015. Hubungan Pengetahuan dan Tingkat Pendidikan PMO (Pengawas
Minum Obat) Terhadap Kepatuhan Minum Obat Antituberkulosis Pasien TB
Paru. Juke Unila. 4(8): 1-4.
Rahmawati, Syafar M, Arsin A, 2011. Peran PMO Dalam Pencegahan Penularan
Tb Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas Remaja Samarinda. Jurnal Unhas.
Rahmi N, Medison I, Suryadi I. 2017. Hubungan Tingkat Kepatuhan Penderita
Tuberkulosis Paru dengan Perilaku Kesehatan, Efek Samping OAT dan Peran
PMO pada Pengobatan Fase Intensif di Puskesmas Seberang Padang
September 2012 - Januari 2013. 6(2): 1-6.
Rohmana O, Suhartini, Suhenda A. 2014. Faktor-Faktor Pada PMO Yang
Berhubungan Dengan Kepatuhan Berobat Penderita TB Paru Di Kota
Cirebon. Jurnal Kesehatan Masyarakat Indonesia. 10(1): 933-40.
Saftarina F, Islamy N, Rasely MC. 2012. Hubungan Pendidikan Dan Pengetahuan
Pengawas Minum Obat (Pmo) Terhadap Keteraturan Minum Obat Anti
Tuberkulosis (Oat) Pada Penderita Tuberkulosis Paru Di Kabupaten Tulang
Bawang Barat. Jurnal FMIPA Unila.
Sianturi R. 2013. Analisis Faktor Yang Berhubungan Dengan Kekambuhan TB
Paru. Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Semarang.
64
Sidy YN. 2012. Analisis Pengaruh Peran Pengawas Menelan Obat Dari Anggota
Keluarga Terhadap Kepatuhan Pengobatan Penderita Tuberkulosis Di Kota
Pariaman Tahun 2010-2011. Universitas Indonesia. Tesis.
Silvani, Hesti, Sureskiarti, Enok. 2016. Hubungan Peran Aktif Keluarga sebagai
Pengawas Minum Obat (PMO) dengan Angka Kekambuhan TB Paru di
Ruang Seruni RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda. Jurnal Ilmu
Kesehatan. Vol 4 No 2.
Timmreck TC. 2004. Epidemiologi Suatu Pengantar Edisi Kedua (Mulyana Fauziah
dkk, Penerjemah). Jakarta: EGC.
World Health Organization (WHO). 2015 .Global Tuberculosis Report 2015.
Switzerland.
Wulandari A, Nurzajuli, Adi MS. 2015. Faktor Risiko dan Potensi Penularan
Tuberkulosis Paru di Kabupaten Kendal Jawa Tengah. Jurnal Kesehatan
Lingkungan Indonesia. 14(1): 7-13.
Wulandari DH. 2015. Analisis Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan
KepatuhanPasien Tuberkulosis Paru Tahap Lanjutan Untuk Minum Obat di
RS Rumah Sehat Terpadu Tahun 2015. Jurnal Kesehatan Masyarakat
Universitas Indonesia. 2(1): 17-28.
Zubaidah T, Setyaningrum R, Ani FN. 2013. Faktor yang Mempengaruhi Angka
Kesembuhan TB di Kabupaten Banjar tahun 2013. Jurnal Buski. 4(4) : 192-
99.