HUBUNGAN ANTARA HARGA DIRI DAN KECENDERUNGAN...
Transcript of HUBUNGAN ANTARA HARGA DIRI DAN KECENDERUNGAN...
HUBUNGAN ANTARA HARGA DIRI DAN KECENDERUNGAN
PERILAKU BULLYING PADA SISWA SMP KRISTEN I MAGELANG
OLEH
SERAFIKA RIZKA AMI VINTYANA
802008069
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan
Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2015
HUBUNGAN ANTARA HARGA DIRI DAN KECENDERUNGAN PERILAKU
BULLYING PADA SISWA SMP KRISTEN I MAGELANG
Serafika Rizka Ami Vintyana
Prof. Dr. Sutriyono, M.Sc.
Dr. Ch. Hari S., MS.
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2015
i
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui signifikansi hubungan antara harga diri
dengan kecenderungan perilaku bullying pada siswa. Dugaan awal yang diajukan
dalam penelitian ini adalah ada hubungan negatif antara harga diri dengan
kecenderungan perilaku bullying pada siswa. Subyek penelitian ini adalah siswa
dengan rentang usia 11-14 tahun yang berjumlah 101 orang. Skala dalam penelitian
ini adalah skala kecenderungan perilaku bullying yang mengacu pada aspek-aspek
yang dikemukakan oleh Olweus (Solberg & Olweus, 2003) sedangkan skala harga
diri mengacu pada aspek-aspek yang dikemukakan oleh Coopersmith (1967).
Corrected item total correlation skala kecenderungan perilaku bullying bergerak
dari 0.308 – 0.477 dengan koefisien reliabilitas Alpha Cronbach sebesar 0.833
sedangkan corrected item total correlation skala harga diri bergerak dari 0.300 -
0.571 dengan Alpha Cronbach sebesar 0.859. Analisis data menggunakan teknik
korelasi Pearson Product Moment. Koefisien korelasi dari Pearson sebesar - 0.349
dengan signifikansi p = 0.000 (p < 0.05) yang artinya ada hubungan negatif antara
harga diri dengan kecenderungan perilaku bullying pada siswa. Semakin tinggi
harga diri maka semakin rendah kecenderungan perilaku bullying pada siswa, dan
jika semakin rendah harga diri maka semakin tinggi kecenderungan perilaku
bullying pada siswa.
Kata kunci: Harga diri, Kecenderungan perilaku bullying
ii
ABSTRACT
This study aims to determine the significance of the relationship between self-
esteem with a tendency to bullying behavior in students. Initial hypothesis put
forward in this study is that there is a negative correlation between self-esteem with
a tendency to bullying behavior in students. The subjects of this study were 101
students aged 11-14 years. The scale of this research is the tendency of bullying
behavior which refers to aspects proposed by Olweus (Solberg & Olweus, 2003)
while the self-esteem scale refers to the aspects raised by Coopersmith (1967).
Corrected item total correlation scale bullying behavior tendency range between
0.308 to 0.477 with alpha reliability coefficient 0.833 while Corrected item total
correlation self-esteem scale range between 0.300 to 0.571 with alpha reliability
coefficient 0.859. Data were analyzed using Pearson correlation coefficient of
0.349 with a significance p = 0.000 (p <0.05), which means there is a negative
relationship between self-esteem with a tendency to bullying behavior in students.
The higher self-esteem score, the lower the tendency of bullying on students, or
lower the self-esteem score, the higher the tendency of bullying behavior in
students.
Keywords: Self-esteem, Bullying behavior tendencies
1
PENDAHULUAN
Sekolah merupakan suatu lembaga tempat menuntut ilmu sehingga erat kaitannya
dengan pendidikan. Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar siswa secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Namun
tanpa kita sadari dunia pendidikan sering kali diwarnai dengan kekerasan atau perilaku
bullying. Di dalam instansi pendidikan seperti sekolah, sering kali kita mendengar kasus
bahwa siswa melakukan ancaman atau pemalakan seperti minta uang dan dibuatkan tugas,
saling mengejek dengan memberi nama julukan yang tidak disenangi, menyebarkan rumor,
menghasut, mengucilkan, menakut-nakuti (intimidasi), menindas, mengata-ngatai, mencubit,
memukul, meneror dengan sms serta membentak-bentak antar siswa.
Masih banyak siswa yang sampai saat ini belum mengerti mengenai apakah itu perilaku
bullying. Selain itu masih banyak siswa yang cenderung melakukan perilaku bullying, akan
tetapi mereka tidak tahu atau tidak mengerti bahwa perilaku yang dilakukan termasuk
perilaku bullying. Hal ini karena para siswa masih jarang diberikan pemahaman tentang
perilaku bullying dan dampaknya. Kasus bullying dalam kenyataannya tidak lepas dari
pengaruh pewarisan ideologi dari para lulusan. Selain itu media massa juga memberikan
edukasi antisosial, khususnya dalam sejumlah sinetron dan film. Walaupun sinetron atau film
hanyalah fiksi, namun secara tidak langsung memberikan model bagi siswa untuk
berperilaku.
Kecenderungan perilaku bullying sering dijumpai diberbagai sekolah mulai dari TK
hingga Perguruan Tinggi. Lingkungan pendidikan seharusnya merupakan tempat yang sehat
dan aman di mana para siswa dapat mengembangkan diri. Akan tetapi pada saat ini
lingkungan pendidikan telah banyak terjadi berbagai perilaku dan aksi kekerasan yang
1
2
mengkhawatirkan. Sampai saat ini perilaku bullying kurang mendapat perhatian dari
masyarakat kita, terutama para pendidik dan orang tua. Umumnya para pendidik, orang tua
dan masyarakat menganggap fenomena perilaku bullying di sekolah merupakan hal yang
biasa dan baru merespon jika hal itu sudah membuat korban terluka hingga membutuhkan
bantuan medis dalam hal perilaku bullying fisik. Sementara itu perilaku bullying sosial,
verbal dan elektronik masih belum mendapat tanggapan baik. Mereka tidak mengetahui
bahwa perilaku bullying bisa membawa dampak psikologis dan fisik bagi pelaku maupun
korban bullying.
Salah satu contoh yaitu di SMP Kristen I Magelang sering terdengar bahwa ada kasus
siswa yang berkelahi, memalak bahkan tawuran. Pernah ada kasus beberapa siswa
dikeluarkan dari sekolah lantaran melakukan pelanggaran yaitu melakukan bullying terhadap
juniornya ataupun berkelahi. Sedangkan untuk aksi memalak biasanya dilakukan di
lingkungan sekolah, dan yang menjadi korban biasanya adik kelas atau teman yang lebih
lemah. Sedangkan untuk tindakan saling mengejek di sekolah ini juga cukup tinggi dan
biasanya berakhir dengan perkelahian. Berdasarkan hasil observasi peneliti di bulan Agustus
2014 di SMP Kristen I Magelang, perilaku bullying terjadi ketika istirahat dan jam pulang
sekolah. Perilaku bullying terlihat ketika ada seorang siswa yang meminta uang kepada adik
kelasnya pada saat jam istirahat, kemudian pada saat pulang sekolah ada beberapa siswa yang
menyerang siswa lainnya karena tidak terima dipanggil dengan nama orang tuanya.
Harga diri merupakan istilah yang sering kita dengar dalam kehidupan sehari-hari,
sehingga kita sudah tidak asing apabila mendengar istilah ini. Seseorang yang melakukan hal-
hal memalukan bagi masyarakat sekitarnya akan dinilai tidak mempunyai harga diri dan yang
melanggar aturan hukum dalam suatu masyarakat akan dianggap harga dirinya turun. Harga
diri seseorang terbentuk sejak masih anak-anak. Harga diri adalah sebuah nilai perbandingan
antara diri ideal seseorang dengan kenyataan yang ia dapati secara fisik. Saat seseorang
3
tumbuh biasanya ia akan memiliki figur otoritas dalam pandangannya seperti ayah, ibu,
paman, bibi, kakek atau nenek atau siapapun juga. Selain itu lingkungan juga ikut
membentuk cara kita memandang diri kita. Labeling yang kita berikan akan memperkuat cara
pandang seorang terhadap dirinya sendiri. Akan tetapi ada pendapat yang menyebutkan
bahwa harga diri adalah penilaian individu terhadap kehormatan diri, melalui sikap terhadap
dirinya sendiri yang sifatnya implisit dan tidak diverbalisasikan dan menggambarkan sejauh
mana individu tersebut menilai dirinya sebagai orang yang memiliki kemampuan,
keberartian, berharga, dan kompeten, dan merupakan pemimpin bagi semua dorongan.
Hasil penelitian dari Yayasan Sejiwa menunjukkan bahwa tidak ada satupun sekolah di
Indonesia yang bebas dari tindakan kekerasan. Kejadian yang menunjukan bahwa di dunia
pendidikan Indonesia telah terjadi perilaku bullying terhadap siswanya yaitu seorang taruna
di sebuah akademi militer di Semarang yang dihajar oleh seniornya. Kisah yang sama terjadi
beberapa tahun sebelumnya di sebuah sekolah tinggi di Bandung, di mana calon pejabat
pemerintahan dipersiapkan hingga berakibat kematian salah satu siswanya yang dilakukan
oleh beberapa senior.
Hasil penelitian Dr. Amy Huneck (dalam Yayasan Semai Jiwa Amini, 2008)
mengungkapkan bahwa 10-60% siswa Indonesia melaporkan mendapat ejekan, cemoohan,
pengucilan, pemukulan, tendangan sedikitnya sekali dalam seminggu. Penelitian Yayasan
Sejiwa 2008 tentang kekerasan bullying di tiga kota besar di Indonesia yaitu Yogyakarta,
Surabaya dan Jakarta mencatat terjadinya tingkat kekerasan sebesar 67,9% di tingkat sekolah
menengah atas (SMU) dan 66,1% di tingkat sekolah lanjutan pertama (SMP). Kekerasan
yang dilakukan sesama siswa, tercatat sebesar 41,2% untuk tingkat SMP dan 43,7% untuk
tingkat SMA dengan kategori tertinggi kekerasan psikologis berupa mengucilkan.
Hasil penelitian dari Christhoporus, Stefanus, Praharesti (2008) menunjukkan ada
hubungan negatif yang sangat signifikan antara harga diri dan perilaku bullying. Ada
4
hubungan negatif antara harga diri dengan perilaku bullying, yaitu semakin tinggi harga diri
maka semakin rendah perilaku bullying pada siswa, demikian juga sebaliknya semakin
rendah harga diri maka semakin tinggi pula kecenderungan perilaku bullying pada siswa.
Sementara hasil penelitian dari Joceyln (2011) menunjukkan tidak ada hubungan antara
bullying dengan harga diri pada remaja siswa sekolah yang menjadi korban. Dengan
demikian semakin tinggi harga diri maka tidak akan berpengaruh terhadap kecenderungan
perilaku bullying. Hal ini disebabkan oleh karena subyek penelitian yang dilakukan Joceyln
memiliki harga diri dalam kategori tinggi dan kecenderungan perilaku bullying yang rendah.
Melihat fenomena di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang hubungan antara
harga diri dan kecenderungan perilaku bullying pada siswa SMP Kristen I Magelang.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan suatu
masalah yaitu: “Apakah ada hubungan negatif yang signifikan antara harga diri dan
kecenderungan perilaku bullying pada siswa SMP Kristen I Magelang?”
TINJAUAN PUSTAKA
Kecenderungan Perilaku Bullying
Bullying adalah sebuah situasi di mana terjadinya penyalahgunaan kekuatan atau
kekuasaan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok. Perilaku bullying adalah perilaku
yang disengaja yang menyebabkan orang lain terganggu baik melalui kekerasan verbal,
serangan secara fisik, maupun pemaksaan dengan cara-cara halus seperti manipulasi.
Menurut Sejiwa (2008) perilaku bullying diartikan sebagai situasi di mana seseorang
yang kuat (bisa secara fisik maupun mental) menekan, memojokkan, melecehkan, menyakiti
seseorang yang lemah dengan sengaja dan berulang-ulang untuk menunjukkan kekuasaannya
sehingga korban merasa tertekan dan trauma serta tak berdaya.
5
Olweus (1993) menyatakan bahwa siswa yang melakukan bullying adalah ketika siswa
secara berulang-ulang dan setiap saat berperilaku negatif yang mengakibatkan seseorang
dalam keadaan tidak nyaman atau terluka dan biasanya terjadi berulang-ulang.
Jadi kecenderungan perilaku bullying merujuk pada kecenderungan melakukan tindakan
yang bertujuan menyakiti dan dilakukan secara berulang, korban biasanya anak yang lebih
lemah dibandingkan dengan pelaku.
Bentuk Perilaku Bullying
Menurut Olweus (1993) perilaku bullying dikelompokkan ke dalam 3 kategori yaitu:
a. Bullying Fisik
Seperti menampar, menimpuk, menginjak kaki, menjegal, meludahi, memalak, melempar
dengan barang, menghukum, dan menolak.
b. Bullying Verbal
Misalnya memaki, menghina, menjuluki, meneriaki, mempermalukan di depan umum,
menuduh, menyoraki, menebar gosip, dan memfitnah.
c. Bullying Mental atau Psikologis
Misalnya memandang sinis, memandang penuh ancaman, mendiamkan, menampilkan
ekspresi muka yang merendahkan, mengucilkan, mempermalukan, meneror lewat sms
atau email, memandang yang merendahkan, memeloti, dan mencibir.
Karakteristik Pengalaman Bullying
a. Pernah Mengalami Perilaku Bullying
Menurut Sejiwa (2008) yaitu memiliki gangguan psikologis seperti merasakan
cemas yang berlebihan dan merasakan kesepian, memiliki konsep diri yang negatif karena
dirinya berpikir bahwa dia ditolak oleh teman-temannya, cenderung menjadi penganiaya
ketika dewasa, berperilaku agresif dan kadang melakukan tindakan kriminal, merasakan
stress, depresi, dan sulit mempercayai orang lain.
6
b. Tidak Pernah Mengalami Perilaku Bullying
Menurut Sejiwa (2008) yaitu seseorang yang tidak mengalami perilaku bullying, itu
berarti bahwa seseorang yang tidak pernah mengalami tekanan, maupun penindasan
secara berulang-ulang, dari seseorang atau kelompok orang yang lebih kuat. Sehingga
dirinya terbebas dari rasa terancam, terbebas dari rasa tidak berdaya, terbebas dari trauma,
dan terbebas dari perasaan tidak percaya pada orang lain.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Bullying
a. Faktor Keluarga
Seorang anak akan meniru berbagai perilaku anggota keluarga yang ia lihat sehari-
hari sehingga menjadi perilaku yang ia anut. Sehubungan dengan perilaku imitasi anak,
jika anak dibesarkan dalam keluarga yang mentoleransi kekerasan atau bullying, maka ia
mempelajari bahwa perilaku bullying adalah suatu perilaku yang bisa diterima dalam
membina suatu hubungan atau dalam mencapai apa yang diinginkannya, sehingga
kemudian ia meniru perilaku bullying tersebut.
b. Faktor Sekolah
Pihak sekolah terkadang mengabaikan keberadaan perilaku bullying sehingga anak
pelaku bullying akan mendapatkan penguatan terhadap perilaku mereka untuk melakukan
intimidasi anak-anak yang lainnya. Perilaku Bullying berkembang dengan pesat dalam
lingkungan sekolah yang di dalamnya terdapat perilaku diskriminatif, kurangnya
pengawasan dan bimbingan etika, adanya kesenjangan besar antara siswa, dan pola
kedislipinan yang sangat kaku ataupun terlalu lemah, bimbingan yang tidak layak dan
peraturan yang tidak konsisten. Perilaku Bullying berkembang dalam lingkungan sekolah
yang sering memberikan masukan negatif kepada siswanya seperti hukuman tidak
membangun sehingga tidak mengembangkan rasa menghargai dan menghormati antar
sesama.
7
c. Faktor Kelompok Sebaya
Seorang anak memiliki keinginan untuk tidak lagi terlalu bergantung pada
keluarganya dan mulai mencari dukungan dan rasa aman dari kelompok sebayanya.
Perilaku bullying disebabkan oleh adanya teman sebaya yang memberikan pengaruh
negatif dengan cara menyebarkan ide bahwa perilaku bullying bukanlah suatu masalah
besar dan merupakan suatu hal yang wajar dilakukan. Selain itu seorang anak terkadang
melakukan bullying pada anak lainnya untuk membuktikan bahwa mereka bisa masuk
dalam kelompok tertentu (Sejiwa, 2008).
Harga Diri
Menurut Coopersmith (1967) mengartikan harga diri sebagai hasil evaluasi individu
terhadap diri sendiri yang diekspresikan dalam sikap terhadap diri sendiri. Evaluasi ini
menyatakan suatu sikap penerimaan atau penolakan dan menunjukkan seberapa besar
individu percaya bahwa dirinya mampu, berarti, berhasil, berharga menurut standar dan nilai
pribadinya.
Menurut Santrock (1999), harga diri merupakan evaluasi individu terhadap dirinya
sendiri secara positif atau negatif. Evaluasi ini memperlihatkan bagaimana individu menilai
dirinya sendiri dan diakui atau tidaknya kemampuan dan keberhasilan yang diperolehnya.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa harga diri adalah penilaian
individu terhadap dirinya sendiri baik secara positif maupun negatif.
Karakteristik Harga Diri
Coopersmith membagi tingkat harga diri menjadi 2 yaitu :
a. Individu dengan harga diri yang tinggi
Individu dengan harga diri yang tinggi memiliki perasaan yang berasal dari
penerimaan diri sendiri tanpa syarat, walaupun melakukan kesalahan, kekalahan dan
kegagalan, tetap merasa sebagai orang yang penting dan berharga. Harga diri yang positif
8
akan membangkitkan rasa percaya diri, penghargaan diri, rasa yakin akan kemampuan
diri, rasa berguna serta rasa bahwa kehadirannya diperlukan di dunia ini.
b. Individu dengan harga diri yang rendah
Individu dengan harga diri yang negatif akan cenderung merasa bahwa dirinya tidak
mampu dan tidak berharga. Pada remaja yang memiliki harga diri negatif inilah sering
muncul perilaku negatif. Berawal dari perasaan tidak mampu dan berharga, mereka
mengkompensasikannya dengan tindakan lain yang, seolah-olah, membuat dia lebih
berharga. Misalnya dengan mencari pengakuan dan perhatian dari teman-temannya. Dari
sinilah kemudian muncul penyalahgunaan obat atau berkelahi, misalnya, yang dilakukan
demi mendapatkan pengakuan dari lingkungannya.
Aspek-aspek Harga Diri
Coopersmith (1967) membagi harga diri ke dalam 4 aspek yaitu:
a. Kekuasaan (power)
Kemampuan untuk mengatur dan mengontrol tingkah laku orang lain. Kemampuan ini
ditandai adanya pengakuan dan rasa hormat yang diterima individu dari orang lain.
b. Keberatian (significance)
Adanya kepedulian, penilaian, dan afeksi yang diterima individu dari orang lain.
c. Kebajikan (virtue)
Ketaatan mengikuti standar moral dan etika, ditandai oleh ketaatan untuk menjauhi
tingkah laku yang tidak diperbolehkan.
d. Kemampuan (competence)
Mampu menyelesaikan tugas yang diberikan dan mengambil keputusan sendiri.
9
Hubungan antara Harga Diri dan Perilaku Bullying
Seseorang yang memiliki harga diri yang positif memiliki penerimaan diri dan
penghormatan diri yang cukup. Adanya penerimaan dan penghormatan diri menjadikan anak
merasa mampu pada beberapa tugas di sekolahnya, dapat merasa nyaman dengan teman-
temannya serta memiliki rasa bangga diri, merasa dapat diterima keluarganya dan dapat
menerima keadaan fisik apa adanya. Penerimaan dan penghormatan diri mengakibatkan anak
merasa senang dan bangga dengan keadaan diri sehingga secara emosinal dirinya tidak
mudah marah dan pada akhirnya anak mampu membina hubungan baik dengan teman dan
menjaga hubungan pertemanan tersebut agar tidak melukai perasaan maupun fisik temannya,
sehingga anak tersebut terhindar dari hal-hal yang mencerminkan perilaku bullying.
Berbeda dengan anak yang memiliki harga diri negatif, anak tersebut akan memandang
dirinya sebagai orang yang tidak berharga. Rasa tidak berharga tersebut dapat tercermin pada
rasa tidak berguna dan tidak memiliki kemampuan baik dari segi akademik, interaksi sosial,
keluarga dan keaan fisiknya. Harga diri yang negatif ini dapat membuat anak merasa tidak
mampu menjalin hubungan dengan temannya sehingga dirinya menjadi mudah tersinggung
dan marah. Akibatnya anak tersebut akan melakukan perbuatan yang dapat menyakiti
temannya atau dengan kata lain anak tersebut melakukan perilaku bullying.
Hipotesa Penelitian
Berdasarkan beberapa penjelasan di atas maka peneliti merumuskan hipotesis sebagai
berikut: Ada hubungan negatif yang signifikan antara harga diri dan kecenderungan perilaku
bullying pada siswa SMP Kristen I Magelang.
10
METODE PENELITIAN
Definisi Operasional
Kecenderungan Perilaku Bullying
Kecenderungan perilaku bullying adalah kecenderungan melakukan perilaku bullying
yang disengaja yang menyebabkan orang lain terganggu baik melalui kekerasan verbal,
serangan secara fisik, maupun pemaksaan dengan cara-cara halus seperti manipulasi.
Kecenderungan perilaku bullying diartikan sebagai situasi di mana seseorang yang kuat (bisa
secara fisik maupun mental) menekan, memojokkan, melecehkan, menyakiti seseorang yang
lemah dengan sengaja dan berulang-ulang untuk menunjukkan kekuasaannya sehingga
korban merasa tertekan dan trauma serta tak berdaya.
Kecenderungan perilaku bullying diukur berdasarkan skor yang diperoleh dari hasil
pengisian skala kecenderungan perilaku bullying yang dilakukan oleh subyek. Skala
kecenderungan perilaku bullying disusun oleh peneliti berdasarkan 3 aspek perilaku bullying
yang dikemukakan oleh Olweus (1993) yaitu bullying fisik, bullying verbal, bullying mental
atau psikologis. Dengan ketentuan, semakin tinggi skor yang diperoleh berarti semakin tinggi
pula tingkat kecenderungan perilaku bullying, dan sebaliknya semakin rendah skor yang
diperoleh berarti semakin rendah pula kecenderungan perilaku bullying.
Harga Diri
Harga diri merupakan evaluasi individu terhadap dirinya sendiri secara positif atau
negatif. Evaluasi ini memperlihatkan bagaimana individu menilai dirinya sendiri dan diakui
atau tidaknya kemampuan dan keberhasilan yang diperolehnya. Harga diri mengandung arti
suatu penilaian individu terhadap diri diungkapkan dalam sikap-sikap yang dapat bersikap
negatif dan positif.
Harga diri diukur berdasarkan skor yang diperoleh dari hasil pengisian skala harga diri
yang dilakukan oleh subyek. Skala harga diri disusun oleh penulis berdasarkan 4 aspek harga
11
diri yang dikemukakan oleh Coopersmith (1967) yaitu kekuasaan, keberartian, kebajikan, dan
kemampuan. Dengan ketentuan, semakin tinggi skor yang diperoleh berarti semakin tinggi
pula tingkat harga diri, dan sebaliknya semakin rendah skor yang diperoleh berarti semakin
rendah pula harga diri.
Partisipan Penelitian
Menurut Azwar (1998), partisipan didefinisikan sebagai kelompok subyek yang hendak
dikenai generalisasi. Menurut Hadi (1992) partisipan adalah sejumlah individu yang
mempunyai ciri atau sifat yang sama. Partisipan dalam penelitian ini adalah siswa SMP
Kristen I Magelang yang berusia 11-14 tahun. Jumlah partisipan siswa SMP Kristen I
Magelang adalah 101 siswa yang terdiri dari kelas X yang berjumlah 52 siswa dan kelas XI
yang berjumlah 49 siswa. Penelitian ini menggunakan teknik nonprobability sampling yaitu
teknik sampling jenuh (sensus). Teknik sampling jenuh adalah teknik penentuan sampel bila
semua anggota populasi digunakan sebagai sampel.
Analisis Aitem dan Reliabilitas Alat Pengumpulan Data
Azwar (2009), analisis aitem memiliki arti sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu
alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya. Dalam penelitian ini analisis aitem alat ukur
menggunakan Alpha Croncbach. Azwar menambahkan suatu item dikatakan mempunyai
daya diskriminasi yang baik jika memiliki koefisien korelasi item total sebesar ≥ 0,30.
Berdasarkan uji analisis aitem untuk skala bullying, dari 30 butir item yang diujikan kepada
101 responden, diperoleh 29 butir item kuesioner dinyatakan baik, sedangkan 1 butir item
nomor 28 dinyatakan gugur, karena memiliki nilai koefisien korelasi di bawah 0.30 yaitu
0,147. Sedangkan untuk uji analisis aitem skala harga diri dari 30 butir item, diperoleh 29
butir item kuesioner dinyatakan baik, sedangkan 1 butir item nomer 22 gugur, karena
memiliki nilai koefisien korelasi di bawah 0.30 yaitu 0,077.
12
Suryabrata (2002) mengatakan bahwa reliabilitas alat ukur menunjukkan sejauh mana
hasil pengukuran dengan alat ukur menunjuk kepada sejauh mana perbedaan-perbedaan skor
perolehan itu mencerminkan perbedaan-perbedaan atribut sebenarnya. Menurut Guilford-
Futcher (dalam Azwar, 2008), suatu alat ukur dikatakan cukup reliabel jika berada pada
koefisien 0,7 – 0,8; reliabel jika berada pada koefisien 0,8 – 0,9; dan sangat reliabel jika
berada di atas 0,9. Untuk skala perilaku bullying memiliki nilai koefisien 0,834 dan untuk
skala harga diri memiliki nilai koefisien 0,860. Berdasarkan pengujian reliabilitas, kedua
skala dikatakan reliabel dikarenakan memiliki nilai koefisien di atas 0,8.
HASIL PENELITIAN
Berdasarkan hasil analisis, diperoleh mean empirik dan mean hipotetik sebagai berikut:
Tabel 1. Gambaran Umum Skor Variabel-variabel Penelitian
Variabel Statistik Hipotetik Empirik
Kecenderungan
Perilaku Bullying
Skor Minimal 0 10
Skor Maksimal 116 62
Mean 58 39.11
Standard Deviasion 19.3 13.109
Harga Diri Skor Minimal 0 37
Skor Maksimal 116 104
Mean 58 71.86
Standard Deviasion 19.3 13.730
Sumber: Data primer yang diolah, 2015
Pada tabel mean empirik variabel kecenderungan perilaku bullying lebih kecil daripada
mean hipotetik, hal ini berarti level kecenderungan perilaku bullying pada siswa tergolong
rendah. Secara statistik siswa SMP Kristen I Magelang cenderung tidak melakukan perilaku
bullying. Angka rata-rata kecenderungan perilaku bullying yang diperoleh oleh siswa, berada
13
dibawah nilai rata-rata dari skala yang digunakan. Sedangkan mean empirik pada variabel
harga diri lebih besar daripada mean hipotetik, hal ini berarti level harga diri pada siswa
tergolong tinggi.
Standar deviasi empirik pada variabel kecenderungan perilaku bullying lebih rendah
daripada standar deviasi hipotetik. Hal ini berarti skor kecenderungan perilaku bullying
memiliki variasi yang rendah, artinya skor cenderung mirip dan tidak jauh beda. Sedangkan
standar deviasi empirik pada variabel harga diri lebih rendah daripada standar deviasi
hipotetik, artinya skor harga diri memiliki variasi yang rendah.
Analisis Deskriptif
Hasil analisa deskriptif pada variabel kecenderungan perilaku bullying guna mengetahui
seberapa jauh tingkat perilaku bullying pada siswa kelas X dan XI di SMP Kristen I
Magelang.
Tabel 2. Kategorisasi Variabel Kecenderungan Perilaku Bullying
Kategori Jenjang Jumlah
Subjek Bobot
Sangat Rendah x < 43,5 60 59.4
Rendah 43,5 ≤ x < 58 36 35.6
Tinggi 58 ≤ x < 72,48 5 5
Sangat Tinggi 72,48 ≤ x 0 0
Total 101 100.0
Pada tabel ada 36 siswa (35,6%) yang berkategori rendah pada variabel perilaku
bullying. Selanjutnya ada 60 siswa (59,4%) berkategori sangat rendah. Berarti sebagian besar
siswa SMP Kristen I Magelang (96 siswa/95%) berada pada kategori rendah sampai dengan
sangat rendah pada variabel perilaku bullying, artinya siswa memiliki kecenderungan untuk
menghindari tindakan melukai atau menyakiti siswa lain di dalam sekolah.
14
Tabel 3. Kategorisasi Variabel Harga Diri
Kategori Jenjang Jumlah
Subjek Bobot
Sangat Rendah x < 43,5 2 2
Rendah 43,5 ≤ x < 58 16 15.8
Tinggi 58 ≤ x < 72,48 35 34.7
Sangat Tinggi 72,48 ≤ x 48 47.5
Total 101 100.0
Pada tabel ada 35 siswa (34,7%) yang berkategori tinggi pada variabel harga diri.
Selanjutnya ada 48 siswa (47,5%) berkategori sangat tinggi. Berarti ada sebagian siswa SMP
Kristen I Magelang (83 siswa/82,2%) berada pada kategori tinggi sampai dengan sangat
tinggi. Temuan ini menyimpulkan bahwa ada sebagian siswa SMP Kristen I Magelang yang
mampu menerima keberadaan dirinya dan mengakui akan kemampuan yang dimilikinya,
dikarenakan memiliki harga diri yang tinggi. Siswa menjadi mampu membedakan mana
perbuatan yang baik maupun buruk dan menjaga perilaku agar tidak melukai dan bertindak
menyakiti orang lain.
Tabel 4. Uji Korelasi Pearson
Bullying Harga Diri
Bullying Pearson
Correlation
1 -.349**
Sig. (1-tailed) .000
N 101 101
Harga Diri Pearson
Correlation
-.349**
1
Sig. (1-tailed) .000
N 101 101
**. Correlation is significant at the 0.01 level (1-tailed).
15
Dalam Pengujian hipotesis statistik digunakan analisis korelasi pearson diperoleh
koefisien nilai sebesar -0,349 dengan signifikansi 0,000 (P < 0,05) yang berarti ada hubungan
negatif yang signifikan antara harga diri dengan kecenderungan perilaku bullying. Dengan
demikian dapat dikatakan, jika harga diri tinggi maka siswa cenderung berperilaku bullying
kepada siswa lain begitu juga sebaliknya, jika harga diri rendah maka siswa cenderung tidak
berperilaku bullying pada siswa lain.
PEMBAHASAN
Dalam hasil penelitian pada pengujian korelasi Pearson dengan jumlah sampel 101
siswa SMP diperoleh koefisien nilai sebesar -0,349 dengan signifikansi 0,000. Koefisien nilai
sebesar -0,349 menunjukkan adanya korelasi yang negatif dikarenakan ada tanda - di depan
0,349. Sedangkan nilai signifikasi 0,000 jauh di bawah 0,05 mempunyai arti memiliki nilai
yang sangat signifikan. Dengan demikian menunjukkan bahwa ada hubungan negatif yang
signifikan antara harga diri dan kecenderungan perilaku bullying pada siswa SMP Kristen I
Magelang. Semakin tinggi harga diri maka semakin rendah kecenderungan perilaku bullying
pada siswa, semakin rendah harga diri maka semakin tinggi pula kecenderungan perilaku
bullying pada siswa.
Bullying merupakan suatu bentuk ekspresi, aksi bahkan perilaku kekerasan. Bullying
sebagai kekerasan fisik dan psikologis yang berjangka panjang dimana korban akan
mengalami perilaku bullying oleh pelaku selama kurun waktu tertentu. Pelaku dapat
dilakukan oleh seseorang ataupun kelompok terhadap korban yang tidak mampu untuk
mempertahankan diri dalam situasi di mana ada hasrat untuk melukai atau menakuti orang
atau membuat orang tertekan, trauma atau depresi dan tidak berdaya. Bullying dilakukan
secara berulang kali sebagai suatu ancaman, atau paksaan dari seseorang atau kelompok
terhadap seseorang atau kelompok lain. Bila dilakukan terus menerus akan menimbulkan
trauma, ketakutan, kecemasan, dan depresi. Kejadian tersebut sangat mungkin berlangsung
16
pada pihak yang setara, namun sering terjadi pada pihak yang tidak berimbang secara
kekuatan maupun kekuasaan. Kecenderungan perilaku Bullying terjadi dengan tujuan untuk
menyakiti orang lain atau dengan tujuan tertentu, misalnya mencari perhatian, menginginkan
kekuasaan di sekolah, ingin dibilang jagoan, pamer atau menunjukan kekayaan seperti motor
baru.
Penelitian Dr. Amy Huneck (dalam Yayasan Semai Jiwa Amini, 2008) mengungkapkan
bahwa 10-60% siswa Indonesia melaporkan mendapat ejekan, cemohan, pengucilan,
pemukulan dan tendangan sedikitnya sekali dalam seminggu. Penelitian di 3 kota besar yaitu
Yogyakarta, Surabaya dan Jakarta mencatat tingkat kekerasan terjadi 67,9% di tingkat SMA
dan 55,1% di tingkat SMP.
Penulis juga mendapatkan temuan yang sama di tingkat SMP di kota Magelang.
Tercatat ada sekitar 57,4% sampel siswa di SMP Kristen I Magelang yang memiliki
kecenderungan untuk melakukan tindakan melukai atau menyakiti siswa lain di dalam
sekolah. Perilaku bullying tersebut dapat berupa memalak siswa lain, berkelahi antar siswa di
dalam sekolah ataupun tawuran antar sekolah. Kecenderungan perilaku bullying seperti
memalak biasanya terjadi antara senior terhadap junior atau teman sekelas yang terlihat
lemah. Tindakan saling mengejek di dalam sekolah juga seringkali terjadi biasanya akan
berakhir dengan perkelahian.
Santrock (1999) menjelaskan bahwa harga diri merupakan evaluasi individu terhadap
dirinya sendiri secara positif maupun negatif. Evaluasi ini memperlihatkan bagaimana
individu menilai dirinya sendiri dan diakui atau tidaknya kemampuan dan keberhasilan yang
diperolehnya. Penilaian tersebut terlihat dari penghargaan terhadap keberadaan dan
keberartian dirinya, individu yang memiliki harga diri yang positif akan menerima dan
menghargai dirinya sendiri apa adanya.
17
Menurut Christhoporus, Stefanus & Praharesti (2008) anak yang memiliki harga diri
yang positif, dirinya akan menerima keberadaan dirinya dan mengakui akan kemampuan
yang dimilikinya. Dengan adanya harga diri yang positif maka anak akan memiliki
pemahaman moral yang tinggi, dimana dirinya akan mampu menilai suatu perbuatan apakah
bernilai baik atau buruk. Anak akan menjaga perilakunya agar tidak melukai temannya dan
tidak bertindak menyakiti orang lain dikarenakan anak mengerti itu adalah perbuatan yang
buruk.
Berbeda dengan anak yang memiliki harga diri yang negatif, dirinya kurang menerima
keberadaan dirinya dan tidak menghargai dirinya. Dengan memiliki harga diri yang negatif
maka anak akan memiliki pemahaman moral yang rendah, dimana setiap tindakannya tidak
dipikirkan apakah memiliki nilai baik atau buruk sehingga memiliki kecenderungan untuk
melakukan bullying.
Temuan Joceyln (2011) berbeda dengan temuan penulis yang mengutarakan tidak ada
hubungan antara bullying dengan harga diri pada remaja siswa sekolah yang menjadi korban.
Dengan demikian semakin tinggi harga diri maka tidak akan berpengaruh terhadap
kecenderungan perilaku bullying. Hal ini disebabkan oleh karena subjek penelitian yang
dilakukan Joceyln memiliki harga diri dalam kategori tinggi dan kecenderungan perilaku
bullying yang rendah.
Sedangkan hasil penelitian Christhoporus, Stefanus & Praharesti selaras dengan temuan
peneliti yang menunjukkan adanya hubungan negatif yang signifikan antara harga diri dan
perilaku bullying. Dengan demikian semakin tinggi harga diri maka akan semakin rendah
kecenderungan perilaku bullying pada siswa lain, demikian sebaliknya semakin rendah harga
diri maka akan semakin tinggi kecenderungan perilaku bullying pada siswa lain. Hasil
penelitian ini sejalan dengan temuan penulis yang menunjukkan hasil yang sama, ada
hubungan negatif yang signifikan antara harga diri dengan kecenderungan perilaku bullying.
18
Temuan penulis menjelaskan bahwa anak yang memiliki harga diri yang rendah,
menjadikan siswa menjadi kurang menerima keberadaan dirinya dan tidak menghargai
dirinya. Hal ini berakibat dengan munculnya kecenderungan perilaku bullying terhadap siswa
lain. Dengan harga diri yang rendah maka perilaku anak akan cenderung melukai dan
menyakiti temannya. Perilaku anak ini cenderung muncul dimaksudkan untuk mencari
perhatian seperti ingin dibilang jagoan, menginginkan kekuasaan di sekolah atau memang
memiliki hasrat untuk menyakiti orang lain.
Sedangkan anak yang memiliki harga diri yang tinggi, menjadikan siswa mampu
menerima keberadaan dirinya dan mengakui akan kemampuan yang dimilikinya. Hal ini
membuat siswa mampu memilah mana perbuatan yang baik maupun buruk. Anak dapat
menjaga perilaku agar tidak melukai dan bertindak menyakiti orang lain, dikarenakan anak
memahami itu adalah perbuatan yang buruk.
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian, maka diambil kesimpulan bahwa ada hubungan negatif
yang signifikan antara harga diri dan kecenderungan perilaku bullying pada siswa SMP
Kristen I Magelang. Semakin tinggi harga diri maka semakin rendah kecenderungan perilaku
bullying pada siswa, semakin rendah harga diri maka semakin tinggi pula kecenderungan
perilaku bullying pada siswa.
Lebih lanjut varians bullying memberikan sumbangan yang signifikan sebesar 12,18%
terhadap varians harga diri pada siswa SMP Kristen I Magelang, sedangkan 87,82% varians
harga diri diprediksi oleh variabel-variabel yang lain seperti faktor keluarga, faktor sekolah,
dan faktor kelompok sebaya.
19
Saran Dari Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian yang menunjukkan ada hubungan negatif pada antara
Harga Diri dan Kecenderungan Perilaku Bullying pada siswa SMP Kristen I Magelang, maka
saran yang perlu diperhatikan yaitu:
1. Pada Siswa SMP Kristen I Magelang
Siswa perlu meningkatkan taraf harga diri yang tergolong rendah dengan menerima
keberadaan dirinya dan menghargai kemampuan diri yang dimiliki. Dengan penerimaan
keberadaan diri dan kemampuan diri, maka akan memunculkan perilaku positif dan
menjauhkan diri dari tindakan melukai atau menyakiti siswa lain.
2. Pada Guru dan Kepala Sekolah
Guru dan Kepala Sekolah diharapkan perlu memberikan bimbingan diri kepada para
siswa untuk menghargai dirinya sebagaimana mestinya dan memberikan pengertian yang
menyeluruh terhadap perilaku bullying dan akibat dari berperilaku tersebut.
Para Guru maupun Kepala Sekolah perlu memantau secara periodik segala aktivitas
kegiatan siswa selama di sekolah. Hal ini untuk mengurangi perilaku-perilaku siswa yang
cenderung mengarah pada perilaku bulying.
3. Bagi Orangtua
Orangtua diharapkan memberikan pemahaman kepada anak dalam menghargai
dirinya sendiri. Anak diajarkan untuk menerima diri dengan seutuhnya serta kemampuan
diri yang dimiliki. Selain itu Orangtua perlu memberikan contoh perilaku mana yang
boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan oleh anak, sehingga saat di sekolah anak
tidak melakukan perbuatan yang cenderung mengarah pada perilaku bullying.
20
DAFTAR PUSTAKA
Ancok, D. (1987). Teknik penyusunan skala pengukuran. Yogyakarta: Pusat Penelitian
Pendidikan Universitas Gajah Mada. Azwar, S. (1998). Metode penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset. -----------. (2009). Reliabilitas dan validitas (edisi ketiga). Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Coloroso, B. (2007). Stop bullying. Jakarta: Penerbit Serambi Ilmu Semesta. Coopersmith, S. (1967). The antecedents of self-esteem. San Francisco: W.H Freeman and
Company. Gerda, A. (2013). Mental imagery mengenai lingkungan sosial yang baru pada korban
bullying. eJournal Psikologi. 1, 23-37. Hadi, S. (1992). Metodologi research jilid 2. Yogyakarta: Andi Offset. ----------. (1994). Statistik. Yogyakarta : Andi Offset. Jocelyn, C. (2011). Hubungan bullying dengan harga diri pada remaja siswa sekolah yang
menjadi korban bullying. Jurnal Psikologi. I, 1-11. Diunduh dari
http://www.academia.edu. Olweus, D. (1993). Bullying at school: What we know and what we can do.
Cambridge.Blackwell. Riauskina, Intan Indira., Djuwita, Ratna., Soesetio, Sri Rochani. 2005. ”Gencet-gencetan” di
mata siswa/siswi kelas I SMA : Naskah kognitif tentang arti skenario, dan dampak
”gencet-gencetan”. Jurnal Psikologi Sosial. 12, No. 1, September 2005. Rini, A. P., Robiansyah, N. (2012) Hubungan harga diri dengan kecenderungan melakukan
bullying ditinjau dari jenis kelamin pada remaja. Jurnal Psikologi Universitas 17
Agustus 1945 Surabaya. VII, No. 2, November 2012. Santrock, J. W. (1999). Life span development. 7th edition. Boston. Mc Graw. Sejiwa. (2006). Bullying: Masalah tersembunyi dalam dunia pendidikan di Indonesia.
Diunduh dari http://www.sejiwa.org/en/index.phpI. Sejiwa. (2008). Bullying : Mengatasi kekerasan di sekolah dan lingkungan sekitar anak.
Jakarta : Grasindo. Suryabrata, S. (2002). Metodologi penelitian. Jakarta: PT. Raja Grafindo Perada. Tambunan, R. (2001). Harga Diri Remaja. Jurnal Psikologi. II, 1-14. Diunduh dari
http://www.epsikologi.com/remaja.com/remaja/240901. Widiharto, C. A., Sandjaja, S. S., Eriany, P. (2008). Perilaku bullying ditinjau dari harga diri
dan pemahaman moral anak. Jurnal Psikologi. IV. 1-16. Diunduh dari
http://www.scribd.com/ Zona Sekolah. (2009). Stop Bullying di Sekolah. Diunduh dari
http://www.bloggertouch.appsport.com/