Web viewPerbandingan dalam hal ini mengarah pada perbandingan tingkat efisiensi dan efektifitas...
Transcript of Web viewPerbandingan dalam hal ini mengarah pada perbandingan tingkat efisiensi dan efektifitas...
2. LANDASAN TEORI
2.1. Landasan Teori
2.1.1. Rekayasa Ulang
2.1.1.1. Definisi Rekayasa Ulang
Rekayasa ulang proses bisnis sebenarnya bukanlah suatu hal yang benar- benar baru. Pertama kali gagasan mengenai hal tersebut diperkenalkan oleh Michael dengan menyatakan bahwa definisi rekayasa ulang (reengineering) adalah: “Pemikiran ulang secara fundamental dan perancangan ulang secara radikal atas proses bisnis untuk mendapatkan perbaikan dramatis dalam hal ukuran-ukuran kinerja yang penting dan kontemporer seperti biaya, kualitas, pelayanan, dan kecepatan (Hammer,1996:22).”
Pendapat yang relatif sama dikemukakan oleh Henry Johansson dalam buku “Business Process Reengineering” mendefinisikan:
“Rekayasa-ulang Proses Bisnis sebagai sarana bagi organisasi untuk mewujudkan perubahan kinerja secara radikal diukur dari biaya, waktu siklus, layanan dan mutu, melalui penerapan beragam alat dan teknik yang difokuskan pada bisnis sebagai salah satu perangkat proses bisnis inti yang berorientasi kepada pelanggan dan bukan sekedar seperangkat fungsi-fungsi organisasi (Johansson, 1995:32).”
Beberapa ahli menyebut rekayasa ulang dengan sebutan yang bermacam- macam seperti inovasi proses, atau desain ulang proses. Seperti halnya Thomas H. Davenport mendefinisikan inovasi proses adalah: “Pemikiran strategi-strategikerja baru, kegiatan desain proses aktual serta implementasi perubahan di semua dimensi teknologi, manusia, dan organisasi yang kompleks (Davenport,1995:2).”
2.1.1.2. Kunci Rekayasa Ulang
Menurut Davenport (1995:7), bahwa terdapat kesamaan yang menjadi kunci dari suatu rekayasa ulang, yaitu :
1. Fundamental; bahwa dalam melaksanakan rekayasa ulang perusahaan harus menanyakan pertanyaan paling dasar tentang perusahaan mereka dan bagaimana operasinya.
2. Radikal; bahwa merekayasa ulang berarti merancang ulang secara radikal mulai dari akar permasalahan, yang berarti mengesampingkan struktur dan prosedur yang ada dan menciptakan cara yang sama sekali baru dalam menyelesaikan pekerjaan.
3. Dramatis; bahwa rekayasa ulang bukan merupakan upaya peningkatan secara marjinal ataupun inkremental, tetapi tentang suatu lompatan besar dalam hal kinerja perusahaan.
4. Proses; merupakan hal yang paling penting dalam rekayasa ulang, karena konsep inti dari rekayasa ulang adalah konsep yang berorientasi proses.
2.1.1.3. Proses dan proses inti
Dalam mempertimbangkan untuk melaksanakan rekayasa ulang penting sekali untuk memahami sepenuhnya apa yang dinamakan proses. “Proses adalah seperangkat mentransformasikannya 1995:44).”
Sedangkan Corporation” mendefinisikan: “Proses adalah sekumpulan aktifitas produksi yang meliputi satu jenis input atau lebih dan menciptakan output yang bernilai bagi pelanggan (Hammer, 1996:42).”
Sebelum rancangan rekayasa ulang dibuat harus mengetahui beberapa hal tentang proses yang ada, apa yang dikerjakan, bagaimana kinerjanya, dan hal-hal apa yang menjadi penentu kinerja tersebut yang semua itu nantinya akan digunakan sebagai dasar untuk menciptakan rancangan yang baru. Denganrancangan proses yang baru tersebut penekanan biaya akan dengan sendirinya terjadi bila kegiatan-kegiatan yang tidak menambah nilai disingkirkan dari proses dan sekaligus meningkatkan efektifitas dari proses tersebut.
2.1.1.4. Penggerak Rekayasa Ulang
Dalam buku Process Innovation oleh Thomas H. Davenport, dibahas beberapa hal yang menjadi penggerak rekayasa ulang yaitu :
1. Tekanan persaingan.
2. Tekanan pelanggan.
3. Keuangan; Perusahaan yang menanggung beban utang yang cukup besar seringkali perlu melakukan pemangkasan biaya secara besar-besaran untuk meningkatkan kemampuan menghasilkan laba. Dengan suatu rekayasa ulang dapat lebih selektif dalam mengeliminasi biaya-biaya yang tidak perlu.
4. Kebutuhan akan koordinasi dan manajemen saling ketergantungan fungsional (Davenport, 1995:56).”
Dari hal-hal tersebut di atas dapat dilihat bahwa yang menjadi penggerak utama rekayasa ulang adalah menyangkut masalah kebutuhan untuk memperbaiki kinerja keuangan perusahaan. Sasaran
lain seperti penekanan waktu, peningkatan mutu, pelayanan pada pelanggan, diwujudkan dalam penjualan yang lebih tinggi atau produksi yang lebih murah, yang semuanya itu juga mengarah ke peningkatan kinerja keuangan. Demikian juga halnya dengan pemberdayaan sumber daya yang ada, pada akhirnya juga mengarah ke peningkatan kinerja keuangan perusahaan.
2.1.1.5. Kerangka Kerja Rekayasa Ulang
Dalam buku “Process Business Reengineering”, Johansson (1995:42) menyatakan tahap-tahap yang dapat dilakukan oleh perusahaan dalam merekayasa ulang proses bisnisnya, yaitu:
Tahap 1 : Temukan, dalam tahap ini perusahaan menciptakan misi strategik untuk mendominasi atau memperbaharui daya saing di pasar, dan menentukan apa yang akan dilakukan terhadap proses yang ada guna mencapai strategi tersebut. Dalam tahap ini pada dasarnya perusahaan harus mengidentifikasi peluang dan skala rekayasa ulang proses bisnis yang akan diimplementasikan tersebut.
Tahap 2 : Desain ulang, dalam tahap ini proses yang akan direkayasa ulang dirinci, direncanakan, dan direkayasa.
Tahap 3 : Realisasi, dalam tahap ini rekayasa ulang tersebut diimplementasikan untuk melaksanakan strategi.
Johansson (1995:46) menyimpulkan bahwa pada dasarnya rekayasa ulang memang harus mengakumulasikan dari tiga tahap proses tersebut. Proses pertama adalah menemukan proses itu sendiri, meliputi identifikasi bagian-bagian yang terlibat dalam proses, identifikasi alur proses diantara bagian-bagian yang terlibat dalam proses. Sedangkan tahap desain ulang meliputi identifiaksi output sub proses, identifikasi aktivitas yang menghasilkan output, identifikasi input dari sub proses, dan rekayasa itu sendiri. Sedangkan realisasi rekayasa ulang proses meliputi berbagai aktivitas, yaitu: identifikasi masalah, dan realisasi rekayasa ulang.
Sedangkan Thomas H. Davenport memberikan kerangka kerja untuk rekayasa ulang dalam lima langkah :
Mengidentifikasi proses untuk inovasi. Mengidentifikasi pengungkit Perubahan. Mengembangkan visi proses. Memahami proses yang ada. Merancang dan membuat prototipe proses yang baru
Davenport (1995:61).”
Perubahan manajemen dapat memfokuskan pada banyak usaha dalam proses improvement. Perubahan tersebut membuat manajemen mempunyai pandangan yang lebih luas terhadap proses hubungan di dalam organisasi. Manajemen harus mempertimbangkan lingkungan eksternal, para pemegang saham, dan teknik infrastruktur bilamana berusaha untuk membentuk struktur organisasi dan kultur dalam mengimplementasikan rekayasa ulang. Perubahan struktur manajemen juga harus memfokuskan pada unit-unit fungsi untuk mempunyai tanggung-jawab kerja. Hal ini termasuk kebijakan, prosedur, peraturan, memfokuskan pada interaksi antar karyawan dan hubungan karyawan dengan atasannya.
Dengan adanya perubahan-perubahan tersebut secara otomatis proses yang ada di dalamnya pun akan berubah. Walaupun demikian masih sangatlah sulit fasilitas, dan perlengkapan.
Perubahan kultur manajemen bagi perusahaan untuk melakukan hal yang satu ini karena merupakan suatu pilihan yang beresiko tinggi. Oleh sebab itu sebelum melakukannya diperlukan pemikiran yang cermat. Seringkali perusahaan memilih cukup melakukan perbaikan mutu berkelanjutan (continuous improvement) saja dengan resiko yang relatif lebih kecil dibanding melakukan rekayasa ulang.
Menurut pakar reengineering, M. Hammer menyatakan: “Untuk memperbaiki seluruh kinerja organisasi, dan mendapatkan peluang berhasil yang lebih besar sebaiknya kedua metode tersebut digunakan, sehingga merupakan suatu metode yang saling melengkapi (Hammer, 1996:67).”
2.1.1.6.Ukuran Kerja Rekayasa Ulang
Johansson (1995:46) menyatakan: "Ukuran keberhasilan reenginering process mendasarkan dua tolak ukur yaitu target operasional dan perbandingan efektifitas dan efisiensi antar periode." Berdasarkan pendapat tersebut dapat dipahami bahwa ukuran dari rekayasa ulang proses dapat disandarkan pada dua sisi pandang, yaitu:
a. Target operasional
Jika melalui reenginering process target operasional perusahaan tercapai, maka dapat disimpulkan bahwa reenginering process adalah berhasil, dan demikian pula sebaliknya.
b. Perbandingan
Perbandingan dalam hal ini mengarah pada perbandingan tingkat efisiensi dan efektifitas operasional. Adapun perbandingan tersebut dilakukan antara fase sebelum reenginering process dan fase setelah reenginering process. Jika melalui reenginering process efisiensi dan efektifitas operasional meningkat, maka dapat disimpulkan bahwa reenginering process adalah berhasil, dan demikian pula sebaliknya.
Perusahaan dimungkinkan memilih salah satu maupun kedua-duanya dari tolak ukur reenginering process untuk menilai reenginering process yang dirancang dan diimplementasikan dalam operasional perusahaan.
2.1.2. Business Process Analysis
Johansson (1995:51) menyatakan: "Reenginering process harus dilakukan dengan mengidentifikasikan suatu proses untuk menemukan keunggulan dan kelemahan, sehingga dapat dilakukan inovasi proses baru yang lebih efektif dan efisien." Berdasarkan pendapat tersebut dapat dipahami bahwa rekayasa ulang proses hanya dapat dilakukan dengan mengidentifikan proses yang ada terlebih dahulu sehingga dapat dilakukan inovasi proses berdasarkan kelemahman proses yang telah terjadi.
Sudjatmiko (1996:23) menyatakan: "Rekayasa proses bisnis adalah bagian dari rekayasa ulang proses karena menyangkut inovasi atas suatu proses yang telah ada." Pendapat tersebut mengilustrasikan bahwa rekayasa ulang proses bisnis adalah bagian dari rekayasa ulang proses, berarti rekayasa ulang proses bisnis berarti juga harus memperhatikan konsep rekayasa ulang proses secara keseluruhan.
“Business process Analysis adalah kunci pendekatan analitis yang mendukung dan membantu manajemen dalam melakukan analisis terhadap aktivitas, siklus waktu, biaya, kualitas dan akar penyebab permasalahan untuk perbaikan proses bisnis dalam meningkatkan efisiensi biaya (Sudjatmiko, 1996:23).” Tetapi perlu diingat, bahwa penerapannya harus selalu berorientasi pada usaha untuk meningkatkan kepuasan konsumen.
Ada dua cara dasar untuk memandang suatu organisasi, yaitu:
a. Functional view.
Cara ini memandang bagan organisasi sebagai model utama dari bisnis perusahaan. Peningkatan program terfokus pada peningkatan efisiensi dan efektifitas fungsi tertentu atau unit organisasi tertentu. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa cara ini tidak menitikberatkan pada usaha untuk meningkatkan kinerja perusahaan secara menyeluruh.
b. Process view.
Cara ini lebih memfokuskan pada pekerjaan itu sendiri daripada struktur organisasi yang dipakai untuk mengelola pekerjaan tersebut. Titik beratnya terletak pada usaha untuk mengidentifikasi proses. Selanjutnya proses akan dibagi menjadi sub proses-sub proses yang akan dibagi lagi menjadi aktivitas- aktivitas. Process view menyediakan cara terbaik untuk menganalisis bisnis, sebab process view disusun berdasarkan pada bagaimana cara konsumen memandang suatu bisnis. Konsumen akan berinteraksi dengan organisasi melalui proses bisnisnya. Hanya dengan mengambil perspektif yang sama dengan konsumen, maka organisasi dapat menilai value dari hasil yang telah dicapai. Jadi process view menyediakan dasar bagi Total Cost Management.
Terdapat dua alasan mengapa perusahaan melakukan Business Process Analysis, yaitu sebagai:
a. Program pengurangan biaya dan siklus waktu, proses perbaikan kualitas, atau usaha-usaha lain untuk memperbaiki kinerja perusahaan.
b. Langkah awal dalam menerapkan Activity Based Costing, Performance Measurement and Decision Support Improvements.
Business Process Analysis merupakan dasar dari Total Cost Management dalam menganalisis proses bisnis yang menfokuskan pada proses dan meningkatkan kinerja perusahaan. Jadi Business Process Analysis berfokus pada proses perusahaan di dalam melakukan analisis, bukan pada fungsi organisasi.
Menurut Ostrenga et al. (1992:61), ada dua prinsip dalam memandang suatu organisasi:
a. Sudut pandang fungsional.
Cara ini memandang bagan organisasi sebagai model utama dari bisnis. Peningkatan program terfokus pada peningkatan efisiensi dan efektifitas fungsi tertentu atau unit organisasi tertentu. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa cara ini tidak menitikberatkan pada usaha meningkatkan kinerja perusahaan secara menyeluruh.
b. Sudut pandang proses.
Cara ini lebih menfokuskan pada pekerjaan itu sendiri daripada struktur organisasi yang dipakai untuk mengelola pekerjaan tersebut. Titik beratnya terletak pada usaha untuk mengidentifikasi proses. Selanjutnya proses akan dibagi menjadi sub proses yang akan dibagi lagi menjadi aktivitas. Pandangan proses menyediakan cara terbaik untuk menganalisis bisnis, sebab disusun berdasarkan pada bagaimana cara konsumen memandang suatu bisnis.
Konsumen akan berinteraksi dengan organisasi melalui proses bisnis, hanya dengan mengambil perspektif yang sama dengan konsumen, maka organisasi dapat menilai hasil yang telah dicapai.
Perusahaan yang menerapkan Business Process Analysis tidak lagi menggunakan pendekatan fungsioanal yang berdasarkan pada struktur organisasi dan hanya memfokuskan diri pada peningkatan efisiensi dan efektifitas masing- masing fungsi ataupun unit organisasi yang spesifik. Jika memandang pekerjaan dengan dasar department by department, hanya akan menimbulkan kompleksitas, masalah baru dan juga rework pada departemen lainnya. Business Process Analysis menekankan pada pola hubungan yang bersifat cross functional dengan menembus dinding pemisah antar fungsi yang diciptakan oleh struktur organisasi fungsional.
Penerapan Business Process Analysis diawali dengan mengidentifikasi proses yang akan dianalisis, kemudian dari proses tersebut akan dipisahkan menjadi sub proses, yang pada akhirnya akan dipisahkan lagi menjadi aktivitas- aktivitas.
2.1.2.1. Proses
Proses adalah:”A set of linked activities that take an input, transform it, and create an output. Ideally the transformation that occurs in process should add value to the inputs and create an output that is useful to and effective for recipient (Johansson (1993:9).
” Proses merupakan serangkaian aktivitas yang dilakukan untuk menghasilkan suatu output, sedangkan input modal, sumber daya manusia, teknologi dan berbagai informasi yang diubah oleh serangkaian aktivitas menjadi suatu output.
Ada tiga elemen penting yang terdapat dalam setiap proses, yaitu:
a. Transformation.
Hasil dari satu atau lebih transformasi adalah output, sedangkan input merupakan sumber dari proses transformasi.
b. Feedback control.
Merupakan aturan yang mengubah aktivitas-aktivitas dengan tujuan untuk memperbaiki atribut-atribut tertentu dari suatu output.
c. Repeatability
Merupakan proses yang dilakukan secara berulang-ulang dengan cara yang sama pula.
2.1.2.2. Sub Proses
Sub proses adalah bagian dari suatu proses yang merupakan rangkaian dari beberapa aktivitas dan memiliki ruang lingkup yang lebih sempit dari proses itu sendiri. Setiap sub proses juga memiliki input, proses, transformasi, dan output.
Dalam business process analysis, harus ditentukan input, output, dan konsumen dari masing-masing sub proses. Penentuan konsumen ini sangat penting, sebab merupakan dasar untuk menentukan aktivitas mana yang perlu dilakukan dan aktivitas mana yang tidak perlu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan konsumen.
2.1.2.3. Aktivitas
Aktivitas adalah: “An activity is a combination of people, technology, raw material, methods, and environment that produces a given product or service (Brimson, 1991:46).” Aktivitas adalah kombinasi dari manusia, teknologi, bahan baku, metode, dan lingkungan yang menghasilkan produk atau jasa.
Dalam business process analysis, aktivitas dibagi menjadi dua kelompok, yaitu:
a. Value added activity, yaitu aktivitas yang dilakukan dapat memberikan nilai tambah dan kepuasan kepada konsumen dan perusahaan. Aktivitas ini terbagi lagi menjadi dua kategori, yaitu:
1) Real value added activity
Merupakan aktivitas yang benar-benar bernilai bagi konsumen dan harus dilakukan oleh perusahaan.
2) Business value added activity
Merupakan aktivitas yang tidak bernilai bagi konsumen tetapi dibutuhkan oleh perusahaan.
b. Non value added activity, yaitu aktivitas yang dilakukan tidak memberikan nilai tambah bagi konsumen dan perusahaan.
2.1.2.4. Langkah-Langkah Business Process Analysis
Dalam penerapannya, sebelumnya perlu untuk dipertimbangkan hal-hal seperti tujuan yang ingin dicapai, identifikasi proses dengan mempertimbangkan kemungkinan analisis proses sampai dengan mempertimbangkan kemungkinan analisis proses sampai pada tingkat aktivitas, dan pengembangan rencana perbaikan.
Manurut Mustopo (1998:221) menyebutkan langkah-langkah yang harus dilakukan oleh perusahaan dalam penerapan business process analysis, yaitu:
1. Langkah
1. Mengembangkan model proses bisnis
Bisnis adalah serangkaian proses yang saling berhubungan yang disebut value chain. Tujuan dari business process model adalah untuk mengidentifikasi aliran proses utama dalam organisasi perusahaan. Dimana model proses bisnis ini akan memberi gambaran mengenai keseluruhan perusahaan dan juga menunjukkan proses utama perusahaan dan hubungan diantaranya. Proses utama tersebut selanjutnya akan dibagi menjadi sub proses dan aktivitas pendukungnya. Pada saat mengidentifikasikan sub proses, penting untuk mengidentifikasikan batasan proses, yaitu titik awal dan akhir dari suatu proses. Proses dari tiap-tiap perusahaan tidak selalu sama, tergantung pada bentuk, situasi, dan kondisi perusahaan tersebut.
2. Langkah
2. Mengembangkan definisi proses/aktivitas
Setelah mengidentifikasikan sub proses, langkah selanjutnya adalah membagi sub proses yang terpilih ke dalam aktivitas. Beberapa langkah yang harus dilakukan, diantaranya:
Melakukan pengembangan model proses bisnis dan a) Identifikasi output sub proses.
Output yang dimaksud adalah setiap produk atau jasa yang dihasilkan oleh
suatu sub proses. Output dari suatu proses terdiri atas transaksi, informasi,
atau dokumen-dokumen.
b) Identifikasi konsumen.
Hal ini dilakukan karena tiap-tiap konsumen mempunyai kriteria sendiri
dalam memilih suatu produk, tidak bisa selalu cocok dengan produk yang
dihasilkan oleh perusahaan. Identifikasi konsumen merupakan elemen
penting dalam Business Process Analysis. Konsumen yang dimaksud
disini meliputi konsumen internal maupun konsumen eksternal. Konsumen
eksternal adalah pihak diluar perusahaan yang membeli produk yang
dihasilkan oleh perusahaan. Bila suatu output yang dihasilkan oleh suatu
proses diterima oleh pihak lain dalam perusahaan yang sama, maka pihak
lain tersebut yang akan disebut sebagai konsumen internal. Identifikasi
konsumen juga menjadi dasar untuk menentukan aktivitas mana yang
menghasilkan nilai tambah dan aktivitas mana yang tidak menghasilkan
nilai tambah dilihat dari sudut pandang konsumen.
c) Identifikasi aktivitas yang menghasilkan output.
Pada bagian ini dibuat suatu kerangka aktivitas secara keseluruhan, bisa
dengan melakukan interview. Dalam mengidentifikasikan aktivitas
hendaknya dihindarkan pada pendefinisian yang terlalu mendetail atau
pendefinisian yang terlalu sempit, karena itu akan menambah kerumitan
dalam analisis tanpa memberikan informasi yang bermanfaat bagi
manajemen.
d) Identifikasi input dari sub proses.
Informasi tentang input dapat diperoleh dengan cara mengumpulkan data
historis, melakukan observasi fisik, dan wawancara. Data tentang input ini,
nantinya akan sangat bermanfaat untuk menentukan upaya-upaya
perbaikan apa yang akan dilakukan oleh perusahaan.
3. Langkah 3. Melakukan process value analysis
Tujuan dari process value analysis adalah untuk mengidentifikasikan
kesempatan untuk meningkatkan kinerja bisnis dengan beberapa cara sehingga
peningkatan akan tercapai pada akhirnya. Karakteristik yang istimewa dari
process value analysis adalah yang dikendalikan oleh input dari konsumen.
Peluang utama untuk perbaikan berasal dari aktivitas-aktivitas yang
menambah waktu atau biaya pada proses tanpa menambah nilai dimata
konsumen. Ada tiga aktivitas yang digunakan
aktivitas yang terlibat dalam proses operasi, yaitu:
a) Real value added activities, yaitu aktivitas yang benar-benar menambah
nilai dimata konsumen, karena itu aktivitas ini sangat dibutuhkan oleh
perusahaan untuk menghasilkan output.
b) Business value added activities, yaitu aktivitas yang tidak bernilai tambah
di mata konsumen tetapi dibutuhkan oleh perusahaan karena memiliki nilai
tambah bagi perusahaan.
c) Non value added activities, yaitu aktivitas yang tidak bernilai tambah, baik
bagi konsumen maupun bagi perusahaan sehingga sebisa mungkin untuk
dihilangkan atau diminimalkan.
Dalam melaksanakan analisis nilai proses perlu dilakukan seleksi terhadap
aktivitas untuk mengetahui aktivitas mana yang bernilai tambah dan aktivitas
mana yang tidak bernilai tambah. Pedoman untuk melakukan seleksi tersebut
yaitu:
a. Aktivitas yang melibatkan banyak orang dan banyak fungsi, semakin
memiliki peluang bahwa proses tersebut mengandung banyak aktivitas
yang tidak bernilai tambah.
b. Aktivitas
memungkinkan proses tersebut mengandung banyak aktivitas yang tidak
bernilai tambah.
c. Aktivitas administrasi dan pendukungnya mempunyai persentase yang
cukup besar atas aktivitas yang tidak bernilai tambah dibanding aktivitas
untuk mengelola seluruh
yang
memerlukan
banyak
persetujuan
akan
yang langsung berhubungan dengan pembuatan produk atau pelayanan
jasa kepada konsumen.
d. Memperhatikan proses yang membutuhkan cycle time yang panjang untuk
menghasilkan output. Semakin panjang cycle time, semakin besar
probabilitasnya mengandung aktivitas yang tidak bernilai tambah.
e. Menyelidiki proses yang dianggap kompleks. Jika proses tersebut
mempunyai tingkat kompleksitas yang tinggi, maka proses tersebut akan
mengandung semakin banyak kemungkinan terjadinya aktivitas yang tidak
bernilai tambah.
Analisis nilai proses merupakan teknik yang tepat untuk mengidentifikasi
kesempatan dalam melakukan peningkatan, bila dicurigai terjadi hal-hal sebagai
berikut:
a. Keberadaan aktivitas yang berlebihan dan tidak diperlukan.
b. Waktu dan biaya yang dikeluarkan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan tidak
sebanding dengan nilai yang dihasilkan.
c. Suatu proses tampak lebih kompleks dari yang seharusnya.
d. Mayoritas sumberdaya yang tersedia lebih tertuju pada aktivitas yang tidak
menguntungkan.
Kesempatan terbesar untuk melakukan peningkatan berasal dari aktivitas yang
mengkonsumsi waktu dan biaya tetapi tidak menghasilkan nilai dari sudut
pandang konsumen. Analisis nilai proses membantu untuk mengidentifikasi
aktivitas yang tidak menghasilkan nilai tambah, serta mengeliminasinya dari
organisasi dengan menganalisis faktor penyebab utamanya. Data pokok yang
dibutuhkan untuk melakukan analisis adalah cycle time, cost, dan customer
assessment value.
4. Langkah 4. Mengembangkan rencana perbaikan
Langkah-langkah terakhir dalam proses bisnis adalah mengembangkan proses
perbaikan yang terdiri dari dua tahap pokok, yaitu:
1) Identifikasi masalah.
Dalam melaksanakan proses ini yang harus dilakukan terlebih dahulu
adalah mengidentifikasikan masalah yang terjadi dari proses yang disoroti,
kemudian mencari akar permasalahannya. Input yang digunakan adalah
informasi yang telah diolah dalam definisi aktivitas dan process value
analysis. Masalah-masalah yang umumnya terjadi dalam suatu proses
meliputi:
(1) Gap
Dengan mengidentifikasi gap, dapat mengarahkan suatu perusahaan
untuk menfokuskan perhatiannya pada tuntutan yang benar-benar
penting bagi konsumen.
(2) Pemborosan
Pemborosan yaitu adanya aktivitas yang tidak menghasilkan nilai
tambah, dapat diidentifikasi dengan menempatkan semua aktivitas
yang tidak menghasilkan nilai tambah pada activity model.
(3) Ketidakefisienan
Ketidakefisienan adalah hasil dari metode-metode komplek yang
menyebabkan panjangnya siklus waktu, dapat diidentifikasikan dengan
memeriksa urut-urutan aliran aktivitas dan mengidentifikasikan
aktivitas-aktivitas yang mengkonsumsi biaya yang tidak proporsional
dengan nilai yang dihasilkan.
(4) Ketidakstabilan
Tingginya variabilitas dalam input, output, waktu dan kualitas dapat
mengidentifikasikan timbulnya ketidakstabilan. Ketidakstabilan dapat
diidentifikasi dengan memeriksa bagan alur dan mempertanyakan
ketepatan input, output, dan waktu.
(5) Pemecahan masalah.
Langkah
permasalahan itu diidentifikasi adalah mengembangkan suatu rencana
yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah yang terjadi dalam
perusahaan tersebut.
selanjutnya
yang
harus
dilakukan
setelah
Dalam mengembangkan rencana perbaikan ini dapat dilakukan melalui dua
tahap, yaitu:
a. Mencari pendekatan-pendekatan terhadap akar permasalahan yang telah
diidentifikasi.
b. Merangkai pendekatan-pendekatan tersebut ke dalam suatu rencana
tindakan melalui lima unsur yaitu: output, input, sekelompok aktivitas,
orang, dan teknologi.
2.1.2.5.Hubungan Antara Rekayasa Ulang Dengan Proses Penjualan
Seperti yang telah dipaparkan bahwa rekayasa ulang menyangkut semua
proses dalam operasional perusahaan. Operasional dalam hal ini meliputi
operasional bagian produksi, operasional bagian penjualan, operasional bagian
adminsitrasi dan berbagai proses operasional yang lain dan bahkan juga
dimungkinkan untuk diterapkan pada sub operasional seperti proses pembelian,
proses seleksi bahan baku, dan lainnya.
Sudjatmiko (1996:67) menyatakan: "Semua proses dimungkinkan untuk
dilakukan rekayasa ulang selama proses itu masih ditemukan berbagai kelemahan,
baik proses penjualan, proses produksi, maupun proses operasional yang lain."
Berdasarkan pendapat tersebut dapat dipahami bahwa proses penjualan juga
merupakan bagian dari konsep rekayasa ulang, untuk itu rekayasa ulang atas
proses penjualan berarti juga harus memperhatikan aturan main dalam rekayasa
ulang itu sendiri.
2.1.3. Penjualan
2.1.3.1. Pengertian Penjualan
“Penjualan adalah suatu transaksi berpindahnya hak kepemilikan atas
suatu barang dari penjual kepada pembeli, dimana pembeli diwajibkan untuk
menyerahkan sejumlah uang atau alat penukar lainnya sebagai bentuk
pengorbanan atas kepemilikan barang dari pemilik atau pihak yang berkuasa atas
barang tersebut sebelumnya (Baridwan, 1996:136).”
Berdasarkan pendapat tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa
penjualan merupakan suatu bentuk proses yang terjadi antara pemilik dan pembeli
atas suatu barang. Proses tersebut bisa terjadi jika syarat-syaratnya terpenuhi
yaitu:
a. Adanya pemilik atau pihak yang berkuasa atas barang yang akan
diperjualbelikan. Dalam kenyataannya bisa saja suatu pihak yang predikatnya
bukan pemilik tetapi mempunyai kewenangan untuk menjual suatu produk,
seperti agen penjualan maupun untuk barang yang dalam status barang
konsinyasi (titipan).
b. Adanya pembeli, yaitu suatu pihak yang mempunyai kemauan dan
kemampuan untuk memenuhi pengorbanan sehubungan dengan kepemilikan
barang yang ditawarkan oleh penjual.
Adanya produk atau barang yang diperjualbelikan. Barang yang diperjualbelikan
tersebut dapat dikatakan sebagai obyek dari transaksi penjualan yang terjadi
antara penjual dan pembelian.
“Volume penjualan adalah jumlah produk yang berhasil dijual oleh
perusahaan selama periode tertentu yang dapat dinyatakan dalam satuan unit
maupun dalam rupiah (nominal) (Baridwan, 1996:138)”. Volume penjualan dari
suatu perusahaan dapat dijabarkan sebagai umpan balik dari kegiatan pemasaran
yang dilaksanakan oleh perusahaan.
Kotler dan Amstrong (1998:13) mengatakan bahwa: "Penjualan dalam
lingkup kegiatan, sering disalahartikan dengan pengertian pemasaran. Penjualan
dalam lingkup ini lebih berarti tindakan menjual barang atau jasa". Kegiatan
pemasaran adalah penjualan dalam lingkup hasil atau pendapatan berarti penilaian
atas penjualan nyata perusahaan dalam suatu periode.
Menurut Swastha dan Irawan (2000:136), “Permintaan pasar dapat diukur
dengan menggunakan volume fisik maupun volume rupiah”. Berdasarkan
pendapat Swastha dan Irawan tersebut, pengukuran volume penjualan dapat
dilakukan dengan dua cara, yaitu didasarkan jumlah unit produk yang terjual dan
didasarkan pada nilai produk yang terjual (omzet penjualan). Volume penjualan
yang diukur berdasarkan unit produk yang terjual yaitu jumlah unit penjualan
nyata perusahaan dalam suatu periode tertentu, sedangkan nilai produk yang
terjual (omzet penjualan) yaitu jumlah nilai penjualan nyata perusahaan dalam
suatu periode tertentu.
2.1.3.2. Jenis Penjualan
Harnanto (1999:12) menyatakan bahwa: “Terdapat beberapa sistem
penjualan dalam suatu perusahaan antara lain penjualan tunai, penjualan kredit
dan penjualan konsinyasi.”
a. Penjualan tunai
“Penjualan tunai adalah suatu transaksi penjualan antara penjual dan pembeli,
dimana uang atau alat penukar penjualan lainnya telah diterima oleh penjual
ketika penjual menyerahkan barang yang ditawarkan kepada pembeli (hak
kepemilikan atas barang telah beralih dari penjual kepada pembeli)
(Baridwan, 1996:155)”. Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan
bahwa suatu penjualan dapat dikatakan tunai jika pembayaran atas penjualan
suatu barang atau produk maksimal telah diterima oleh penjual ketika penjual
telah menyerahkan
demikian jika pembeli sebelumnya telah menyerahkan sebagian atau
seluruhnya uang sebagai alat pembelian kepada penjual meskipun pembeli
belum menerima barang yang dibelinya, maka menurut pendapat tersebut
masih dapat dikategorikan sebagai penjualan tunai dari sudut penjual.
b. Penjualan kredit
“Penjualan kredit adalah suatu transaksi penjualan yang melibatkan antara
penjual dan pembeli, dimana penjual belum menerima uang sebagi hasil
penjual ketika hak kepemilikan atas barang yang dijualnya telah beralih
kepada pembeli (Baridwan, 1996:157)”. Adapun jangka waktu pembayaran
yang harus diakukan oleh pembeli terkait dengan transaksi yang terjadi antara
pembeli dan penjual tersebut sepenuhnya berdasakan kesepakatan antara
pihak penjual dan pembeli. Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan
pula bahwa suatu penjualan dapat dikategorikan sebagai penjualan tunai atau
barang yang ditawarkan kepada pembeli. Dengan
kredit sepenuhnya tergantung pada waktu penerimaan atas uang sebagai
bentuk pengorbanan dari pembeli atas transaksi tersebut oleh penjual.
c. Penjualan konsinyasi
Harnanto (1999:17) menyatakan bahwa konsinyasi merupakan suatu
perjanjian dimana salah satu pihak yang memiliki barang menyerahkan
sejumlah barang kepada pihak tertentu untuk dijualkan dengan memberikan
komisi tertentu. Pihak yang menyerahkan barang disebut consignor
(pengamanat) dan pihak yang menerima barang disebut consignee, factor,
commission merchant atau komisioner. Dari segi pengamanat (consignor)
transaksi pengiriman barang-barang kepada komisioner, biasanya disebut
barang-barang konsinyasi (consignment out). Sedang bagi komisioner untuk
barang-barang yang diterimanya disebut barang-barang komisi (consignment
in). Terdapat perbedaan yang prinsip antara transaksi penjualan dengan
transaksi konsinyasi. Dalam transaksi penjualan hak milik atas barang
berpindah kepada pembeli pada saat penyerahan barang, dan keadaan itu di
dalam akuntansi dipakai sebagai dasar pengakuan terhadap timbulnya
pendapatan. Sedangkan dalam transaksi konsinyasi penjualan barang dari
pengamanat kepada komisioner tidak diikuti adanya penyerahan hak milik
atas barang yang bersangkutan. Meskipun diakui bahwa dalam transaksi
konsinyasi
penyimpanan barang kepada komisioner, namun demikian hak milik atas
barang yang bersangkutan tetap berada pada pengamanat (consignor). Hak
milik atas barang tersebut akan berpindah dari pengamanat apabila
komisioner telah berhasil menjual barang tersebut kepada pihak ketiga.
itu
telah
terjadi
perpindahan
terhadap
pengolahan
2.1.3.3. Sistem Penjualan
Harnanto (1999:23) menyatakan bahwa: “Sistem penjualan merupakan
suatu prosedur atau skema kerja untuk memastikan bahwa semua kinerja bagian-
bagian dalam penjualan telah berjalan sesuai dengan standar yang telah
ditetapkan.”
Berdasarkan pada pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa sistem
penjualan mempunyai beberapa fungsi, yaitu:
a. Fungsi koordinasi
Fungsi koordinasi dalam hal ini untuk menyatukan kinerja masing-masing
bagian sehingga keberadaan maing-masing bagian tersebut saling menunjang
antara bagian satu dengan bagian lainnya untuk mencapai tujuan perusahaan.
b. Fungsi pengawasan
Fungsi pengawasan dalam hal ini adalah untuk memastikan bahwa kinerja
masing-masing bagian dalam penjualan telah sesuai dengan ketentuan.
c. Fungsi evaluasi
Hasil evaluasi kinerja tersebut dapat dijadikan sandaran bagi perusahaan
untuk menentukan kebijakan lebih lanjut terkait pembenahan atas sistem
pengendalian intern yang ditetapkan.
Dengan demikian sistem penjualan berarti rangkaian prosedur yang
menghubungkan antar bagian yang saling berkaitan dengan penjualan berbagai
produk perusahaan. Bagian-bagian tersebut harus saling dirangkaikan agar kinerja
masing-masing bagian dapat terkoordinasi dengan baik sehingga mampu
menjalankan fungsi penjualan dengan memadai.
2.1.3.4. Proses Penjualan
“Proses penjualan merupakan serangkaian aktivitas perusahaan mulai dari
penerimaan order pembelian dari konsumen sampai barang yang dipesan jatuh ke
tangan pembeli (Mustopo, 1998:235).” Berdasarkan pendapat tersebut, dapat
duipahami abhwa aktivitas-aktivitas yang dapat dikelompokkan
aktivitas penjualan mulai dari alur dokumen yaitu dokumen order pembelian dari
konsumen sampai pada realisasi penyeragan barang dari penjual kepada
konsumen.
“Proses penjualan merupakan satu set aktivitas mulai dari pengenlan
produk kepada konsumen sampai pada realisasi pembelian yang dilakukan oleh
konsumen (Sudjatmiko, 1996:67).” Berdasarkan pendapat tersebut, dapat
dipahami bahwa aktivitas penjualan merupakan aktivitas yang dimulai dari
ke dalam
pengenalan produk, sedang pengenalan produk dalam hal ini meliputi aktivitas
periklanan. Untuk itu termasuk dalam kelompok proses penjualan antara lain
aktivitas periklanan, aktivitas penjualan riil mulai dari penerimaan order
pembelian dari konsumen sampai pada penyerahan barang kepada konsumen.
2.1.4. Efisiensi Biaya Terkait dengan Rekayasa Ulang
“Efficiency is a measure of an organization’s ability to control costs at a
given activity level (Atkinson et al.,1995:513),”. Untuk meningkatkan efisiensi
biaya perusahaan harus melakukan manajemen terhadap aktivitas atau melakukan
analisis terhadap aktivitas dan perbaikan aktivitas secara terus-menerus. Rekayasa
ulang merupakan suatu proses pengidentifikasian aktivitas-aktivitas dalam
organisasi
mempertahankan aktivitas-aktivitas yang memberi nilai tambah bagi konsumen
dan perusahaan (value added activities), serta mengeliminasi non value added
activities.
Menurut Hansen dan Mowen (1997:396), pengurangan biaya dapat
dilakukan dengan empat cara, yaitu:
a) Activity elimination.
Tindakan ini difokuskan pada non value added activities, yaitu berupaya untuk
mengeliminasi aktivitas-aktivitas yang tidak bernilai tambah.
b) Activity reduction.
Tindakan ini ditujukan untuk mengurangi waktu dan sumber daya yang
diperlukan oleh aktivitas tersebut. Pendekatan terhadap pengurangan biaya ini
terutama ditujukan untuk perbaikan efisiensi terhadap aktivitas yang penting
atau strategi jangka pendek untuk memperbaiki non value added activities
sampai aktivitas tersebut dieliminasi.
c) Activity selection.
Tindakan ini meliputi pemilihan diantara sekumpulan aktivitas yang berbeda
yang disebabkan oleh strategi yang berbeda pula.
dan
menyeleksi
setiap
aktivitas
yang
dilakukan
d) Activity sharing.
Tindakan ini difokuskan untuk meningkatkan efisiensi pada aktivitas yang
diperlukan dengan menggunakan komponen yang telah diperlukan dengan
menggunakan skala ekonomis.
Aktivitas dari value atau non value activities akan dibahas dengan
menggunakan rekayasa ulang. Dimana manajer tidak langsung mengatur biaya,
melainkan dengan mengelolah aktivitas yang mengkonsumsi biaya.
Rekayasa ulang memandang organisasi berdasarkan pada process view
untuk membantu mengidentifikasikan proses mana dalam perusahaan yang akan
dianalisis. Kemudian dari proses tersebut akan dipisahkan lebih lanjut dalam sub
prose-sub proses yang akan dipecah lagi menjadi aktivitas-aktivitas. Dengan
melakukan process value analysis, maka perusahaan akan membagi aktivitas-
aktivitasnya menjadi tiga bagian, yaitu real value added activities, business value
added activities, dan non value added activities.
Fokus dari Business Process Analysis adalah ditujukan pada usaha untuk
mengeliminasi dan meminimisasi aktivitas yang tidak bernilai tambah. Kemudian
ditentukan biaya masing-masing aktivitas dan diupayakan untuk menemukan
faktor utama penyebab timbulnya permasalahan tersebut, serta dicari faktor
pemicunya (root causes). Setelah itu harus dicari pemecahannya dan
mengimplementasikan pemecahan tersebut. Dengan demikian aktivitas yang tidak
bernilai tambah dapat diminimisasi bahkan dieliminasi, sehingga perusahaan
dapat meningkatkan efisiensinya.
Tolok ukur dari efisiensi dan efektifitas operasi dengan menggunakan
rekayasa ulang yaitu dengan menerapkan prinsip perbandingan. Jika desain proses
baru mampu menghasilkan pengurangan biaya operasi dengan tanpa mengurangi
kualitas maupun kuantitas output penjualan dibandingkan periode sebelumnya,
berarti proses rekayasa ulang tersebut mampu mencapai efisiensi dan efektifitas.
2.2. Kajian Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu dilakukan oleh Listiani Wijaya (1998) dengan
mengambil judul penelitian: “Production Reengineering Process Untuk
Mencapai Cost Leadership Pada PT X di Sidoarjo.”
Persamaan antara penelitian terdahulu dan penelitian sekarang terletak
pada tema yang diangkat yaitu rekayasa ulang proses. Dan perbedaan antara
penelitian terdahulu dan penelitian sekarang terletak pada:
1. Lokasi obyek penelitian, penelitian terdahulu berlokasi di Sidoarjo dan
penelitian sekarang berlokasi di Pasuruan.
2. Obyek penelitian, penelitian terdahulu terfokus pada divisi produksi dan
penelitian sekarang terfokus pada divisi penjualan.
3. Arah pembahasan, penelitian terdahulu mengarah pada pencapaian cost
leadership dan penelitian sekarang mengarah pada efisiensi biaya