hipopituitarisme kk6A o.doc
-
Upload
melz-melz-mutz -
Category
Documents
-
view
33 -
download
10
Transcript of hipopituitarisme kk6A o.doc
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kelenjar hipofisis atau kelenjar pituitary merupakan kelenjar sebesar
kelereng yang mempunyai makna fisiologis yang sangat penting bagi
kelangsungan dan homeostasis tubuh manusia. Kelenjar hipofisis merupakan
struktur kompleks pada dasar otak, yang terletak dalam sela tursika, di rongga
dinding tulang sphenoid. Kelenjar hipofisis manusia dewasa terdiri dari lobus
posterior (neurohipofisis) sebagai lanjutan dari hipotalamus, dan lobus anterior
(adenohipofisis) yang berhubungan dengan hipotalamus melalui tangkai hipofisis.
Hipofisis anterior menghasilkan hormon adrenokortikotropik (ACTH), hormon
tiroid, hormon somatotrof atau hormon pertumbuhan (GH), dan hormon
gonadotropin (FSH dan LH). Sedangkan hipofisis posterior menghasilkan hormon
antidiuretik (ADH) dan oksitosin.
Kelenjar hipofisis, terutama bagian anterior (adenohipofisis), memiliki
kemampuan dalam mengatur kelenjar-kelenjar endokrin lainnya. Hal inilah yang
menyebabkan kelenjar ini diberi nama Master of Gland. Sehingga apabila terjadi
1
gangguan atau kerusakan, akan mengganggu kerja hormon-hormon yang
dikeluarkan oleh kelenjar endokrin lainnya. Salah satu kelainan fungsi pada
hipofisis anterior adalah hiposekresi hormon-hormon hipofisis yang disebut
dengan hipopituitarisme. Hipopituitarisme dapat disebabkan oleh berbagai macam
kelainan kelamin, seperti nekrosis, hipofisis postpartum (Sheecan disease),
nekrosis karena meningitis basalis, trauma tengkorak, hipertensi maligna,
arteriasklerosis serebri, dan tumor granulema.
Hipopituitarisme adalah hiposekresi satu atau lebih hormon hipofise anterior
(Barbara, 1996). Hipofungsi kelenjar hipofisis (Hipopituitarisme) dapat terjadi
akibat penyakit pada kelenjar hipofisis sendiri atau pada hipotalamus, atau pada
kedua-duanya. Hipopituitarisme dapat terjadi akibat kerusakan lobus anterior
kelenjar hipofisis. Panhipopituitarisme (Simmond disease) merupakan keadaan
hampir tidak adanya sekresi atau ada sekresi tetapi sangat rendah dari seluruh
hormon hipofisis, penyakit ini jarang dijumpai. Microsisi atau nekrosis hipofisis
postpartum (Syndrome Sheehan) dapat menjadi penyebab lain kegagalan hipofisis
anterior, meski jarang terjadi. Keadaan ini lebih cenderung terjadi pada wanita
yang mengalami kehilangan darah, hipovolemia, dan hipotensi pada saat
melahirkan (Smeltzer, 2001).
Hipopituitarisme juga dapat terjadi akibat komplikasi dari terapi radiasi pada
kepala dan leher. Kerusakan kelenjar hipofisis total oleh trauma, tumor, atau lesi
vascular dapat menghilangkan semua stimulus yang normalnya di terima oleh
tiroid, kelenjar gonad, dan kelenjar adrenal. Selain itu, hipopituitarisme dapat
disebabkan oleh defisiensi hormon trofik yang terjadi akibat berbagai proses
destruktif pada kelenjar hipofisis, seperti cedera, iskemik/nekrosis (akibat
meningitis basalis trauma tengkorak, hipertensi maligna, arteriasklerosis serebri,
tumor granulema), pembedahan, radiasi, dan reaksi peradangan. Selain itu adanya
tumor seperti adenoma hipofisis nonfungsional, dapat mendesak dan merusak
parenkim hipofisis anterior sehingga menyebabkan hipopitutarisme.
Hipopituitarisme dapat terjadi pada anak dan pada dewasa. Pada anak,
hipopituitarisme dapat menyebabkan tubuh menjadi kerdil (dwarfisme).
Sedangkan pada dewasa, tubuh klien dengan penyakit hipopituitarisme seperti
2
orang normal lainnya karena perkembangan tubuh (somatotropin) telah selesai
dilalui. Penyebab hipopituitarisme yang paling sering terjadi pada dewasa adalah
akibat adanya trauma, tumor atau kanker, pembedahan, infeksi (terutama
Micobacterium tuberculosis) dan radiasi yang menyebabkan destruksi atau
kerusakan pada kelenjar hipofisis.
Dalam makalah ini, penulis mencoba menguraikan konsep dasar penyakit
hipopituitarisme pada klien dewasa dan asuhan keperawatan yang dapat diberikan
pada klien dengan penyakit hipopituitarisme.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan makalah dalam makalah ini
adalah sebagai berikut.
1. Apa definisi hipopituitarisme?
2. Apa penyebab dari hipopituitarisme?
3. Bagaimana tanda dan gejala hipopituitarisme?
4. Bagaimana patofisiologi dari hipopituitarisme?
5. Apa komplikasi dari hipopituitarisme?
6. Apa pemeriksaan penunjang dalam menetapkan diagnosis
hipopituitarisme?
7. Bagaimana pencegahan penyakit hipopituitarisme?
8. Bagaimana penatalaksanaan pada klien dengan hipopituitarisme?
9. Bagaimana asuhan keperawatan yang diberikan pada klien dengan
hipopituitarisme?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Memahami konsep dasar penyakit hipopituitarisme dan asuhan
keperawatan yang diberikan pada klien dengan hipopituitarisme.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Memahami definisi hipopituitarisme;
2. Mengetahui penyebab dari hipopituitarisme;
3
3. Mengetahui tanda dan gejala hipopituitarisme;
4. Mengetahui patofisiologi dari hipopituitarisme;
5. Mengetahui komplikasi dari hipopituitarisme;
6. Mengetahui pemeriksaan penunjang dalam menetapkan diagnosis
hipopituitarisme;
7. Mengetahui pencegahan penyakit hipopituitarisme;
8. Mengetahui penatalaksanaan pada klien dengan hipopituitarisme;
9. Mengetahui asuhan keperawatan yang diberikan pada klien dengan
hipopituitarisme.
4
BAB 2. TINJAUAN TEORI
2.1. Definisi
Kelenjar hipofisis atau kelenjar pituitary merupakan struktur kompleks pada
dasar otak, yang terletak dalam sela tursika, di rongga dinding tulang sphenoid,
yang berperan penting bagi kelangsungan dan homeostasis tubuh manusia.
Kelenjar hipofisis manusia terdiri dari lobus posterior (neurohipofisis) sebagai
lanjutan dari hipotalamus, dan lobus anterior (adenohipofisis) yang berhubungan
dengan hipotalamus melalui tangkai hipofisis. Hipofisis anterior menghasilkan
hormon adrenokortikotropik (ACTH), hormon tiroid, hormon somatotrof atau
hormon pertumbuhan (GH), dan hormon gonadotropin (FSH dan LH). Sedangkan
hipofisis posterior menghasilkan hormon antidiuretik (ADH) dan oksitosin.
Hipopituitarisme adalah hiposekresi satu atau lebih hormon hipofisis
anterior (Barbara, 1996). Hipofungsi kelenjar hipofisis (hipopituitarisme) dapat
terjadi akibat penyakit pada kelenjar sendiri atau pada hipotalamus.
Hipopituitarisme mengacu kepada keadaan sekresi beberapa hormon hipofisis
anterior yang sangat rendah.
Hipopituitarisme adalah insufisiensi kelenjar hipofisis, terutama lobuss
5
anterior. Jika keenam hormon lobus anterior terkena, disebut panhipopituitarisme.
(Brooker, Chris. 2008). Hipopituitarisme disebabkan oleh maca-macam kelainan
antara lain nekrosis, hipofisis post partum, nekrosis karena meningitis basalis
trauma tengkorak, hipertensi maligna, arterisklerosis serebri, tumor granulema
(Ovedoff, & David, 2002).
2.2. Epidemiologi
Hipopituitarusme memiliki prevalensi 30/100.000. Pada laki-laki dapat
mengakibatkan terlambat pubertas dan kemandulan pada laki-laki dewasa. Pada
perempuan penurunan atau tidak adanya gonadotropin dapat mengakibatkan
ovulasi. Bentuk dan keberadaan corpus luteum dapat mengakibatkan kemandulan,
tidak adanya PRL pada laki-laki tidak timbul gejala sedangkan pada wanita
penurunan PRL merupakan salah satu penyebab dari gangguan laktasi pada
periode postpartum penurunan sintesis dan sekresi growth hormone merupakan
salah satu tanda yang sering dilihat dari patofisiologi hipopituitari pada penurunan
growth hormone. Hal ini dapat mengakibatkan penurunan sintesis. Pengeluaran
atau penggunaan growth hormon pada jaringan untuk merespon sematomedin.
Sematomedin adalah hormon yang diproduksi pada hati dengan stimulasi secara
tidak langsung dari growth hormone. Penurunan growth hormone atau
somatomedin pada anak dapat menyebabkan retardasi mental pada pertumbuhan.
Insufisiensi hipofise menyebabkan hipofungsi organ sekunder. Hipofungsi
hipofise jarang terjadi, namun dapat saja terjadi dalam setiap kelompok usia.
Kondisi ini dapat mengenai semua sel hipofise (panhipopituitarisme) atau hanya
sel-sel tertentu, terbatas pada satu subset sel-sel hipofise anterior (hipogonadisme
sekunder terhadap defisiensi sel-sel gonadotropik) atau sel-sel hipofise posterior
(diabetes insipidus).
2.3. Etiologi
Beberapa proses patologik menurut Jennifer Kowalak (2011) yang
mengakibatkan insufisiensi hipofisis dengan merusak sel-sel hipofisis normal,
yaitu:
6
1. Tumor pada kelenjar hipofisis
2. Defek kongenital (hipoplasia atau aplasia kelenjar hipofisis)
3. Infark hipofisis (paling sering akibat perdarahan pasca partum)
4. Hipofisektomi parsial atau total melalui pembedahan, iradiasi, atau zat
kimia
5. Penyakit granulomatosa, seperti tuberkulosis (jarang)
6. Sebab idiopatik atau autoimun (kadang-kadang)
Hipopituitarisme juga disebabkan oleh kelainan lain, yaitu:
a. Kraniofaringioma (tumor pada hipofisis serebri) dan tumor hipofisis non-
secreting;
b. Infeksi, misal ensefalitis viral dan bakteremia;
c. Trauma, termasuk pembedahan (Baradero, 2009: 14).
2.4. Tanda dan gejala
Pada orang dewasa, kehilangan fungsi hipofisis sering mengikuti kronologis
seperti defisiensi GH, hipogonadisme, hipotiroidisme, dan insufisiensi adrena.
Karena orang dewasa telah menyelesaikan pertumbuhan somatisnya, maka tinggi
tubuh pasien dewasa dengan hipotuitarisme adalah normal.
Adapun tanda dan gejalanya yang mungkin ditemukan yaitu:
1. Tanda dan gejala yang muncul sesuai dengan penyebabnya misalnya
bakterimia, viral, hepatitis, dan trauma, seperti pusing, peningkatan leukosit,
demam, dll.
2. Adanya gangguan pengelihatan dan papiledema (biasanya bila kerusakan
hipofisis terjadi akibat adanya tumor atau kanker). Sakit kepala dan
gangguan penglihatan terjadi akibat peningkatan tekanan intra kranial. Hal
ini dapat terjadi bila hipopituitarisme yang terjadi akibat tumor membesar
dan menyita ruangan yang cukup besar sehingga menekan hipofisis (Price,
2005: 1216-1217).
3. Tanda dan gejala akibat defisit hormon pertumbuhan (GH)
Pada anak:
a. Pertumbuhan lambat
7
b. Tubuh biasanya kerdil (dwarfisme)
c. Pertumbuhan otot buruk
d. Terlambat pubertas
e. Kadar hormon pertumbuhan serum menurun
f. Dapat juga muncul gangguan pola pikir (kognitif)
Pada dewasa:
a. Tubuh biasanya normal karena pertumbuhan somatis pada dewasa telah
selesai dilalui.
b. Penurunan kekuatan otot sehingga mundah merasa lelah.
c. Pada ibu postpartum yang terkena hipopituitaria, biasanya terjadi kesulitan
pengeluaran air susu ibu karena menyebabkan defisiensi prolaktin.
4. Manifestasi klinis defisiensi hormon gonadotropin (LH dan FSH)
a. Penurunan kadar FSH dan LH serum
b. Keterlambattan pubertas pada anak.
c. Pada dewasa: wanita mengalami oligomenorea atau amenorea, atrofi
uterus dan vagina, potensial atrofi payudara dan hilangnya libido. Pada
pria biasanya mengalami penurunan jumlah sperma, kehilangan libido,
penurunan ereksi, testis mengecil dan rambut tubuh mudah rontok.
5. Manifestasi defisiensi TSH: muncul tanda dan gejala hipotiroidisme seperti
nafsu makan turun (malaise, anoreksia), mudah lelah, konstipasi, serta kadar
TSH serum dan hormon tiroid menurun
6. Manifestasi klinis defisiensi ACTH: muncul tanda gejala seperti oligulia,
kulit pucat dan kering, serta penurunan kadar ACTH serum, glukokortikoid
dan adrenal androgen.
2.5. Patofisiologi
Insufisiensi hipofisis anterior (Panhipopituitarisme) pada umumnya akan
mempengaruhi semua hormon yang secara normal disekresi oleh kelenjar
hipofisis anterior. Oleh karena itu, manifestasi klinis dari panhipopituitarisme
merupakan gabungan pengaruh metabolik akibat berkurangnya sekresi masing-
masing hormone hipofosis. Sindrome klinis yang diakibatkan oleh
8
panhipopituitarisme pada anak dan orang dewasa berbeda. Pada anak, terjadi
gangguan pertumbuhan somatik akibat defisiensi pelepas growth hormone
akibatnya tubuh anak menjadi cebol (dwarfisme) sebagai konsekuensi dari
defisiensi hormon tersebut. Ketika anak tersebut mencapai pubertas, maka tanda
seksual sekunder dan alat genetalia eksternal gagal berkembang. Selain itu sering
pula ditemukan perkembangan intelektual yang lambat. Kulit biasanya pucat
karena tidak adanya MSH.
Pada orang dewasa, hipopituitarisme dikenal dengan Simmonds disease yang
ditandai dengan kelemahan umum, intoleransi terhadap dingin, nafsu makan
buruk, penurunan berat badan dan hipotensi, Wanita yang mengalami penyakit
akan berhentinya siklus haid atau amenore, kemudian diikuti oleh atropi payudara
dan genetalia eksterna. Sedangkan pada pria akan menunjukan pengurangan yang
progresif pada rambut dan buluh di tubuh, jenggot, serta berkurangnya
perkembangan otot, impotensi, dan kehilangan libido. Selain itu, kulit akan
terlihat pucat akibat defisiensi MSH atau hormon yang kerjanya mirip dengan
MSH (misalnya α-MSH & β-MSH yang dikeluarkan oleh ACTH).
Selain gejala yang telah disebutkan di atas, gejala hipopituitari bervariasi
tergantung kepada jenis hormon yang mengalami defisiensi atau kekurangan.
Berikut adalah penjelasannya.
a. Kekurangan/defisiensi hormon pertumbuhan (Growth Hormone)
Growth hormone atau somatotropin mempunyai pengaruh metabolik
utama, baik pada anak-anak maupun pada orang dewasa. Pada anak-anak,
hormon ini diperlukan untuk pertumbuhan somatik. Pada orang dewasa,
berfungsi untuk mempertahankan ukuran orang dewasa normal dan juga
berperan dalam pengaturan sintesis protein dan pembuangan zat makanan.
GH disintesis di sel somatrotop pada kelenjar hipofisis anterior. Kerja GH
yang paling dramatis adalah pada pertumbuhan otot dan tulang skelet.
Kerjanya dapat dibagi menjadi kerja direct dan indirect.
Dalam kerja direct, GH bekerja menstimulasi sintesis dan sekresi IGF-1
peptida yang menstimulasi pertumbuhan. Pada sel lemak, IGF-1
menstimulasi lipolisis dan pada otot hormon ini menstimulasi sintesis
9
protein. Reseptor GH fungsional juga terdapat di tulang, menstimulasi
produksi lokal IGF-1 pada kondrosit proliferatif. Sedangkan dalam kerja
indirectnya, GH bersifat diabetogenik karena kerja hormon ini berlawanan
dengan insulin serta bersifat lipolitik di sel lemak dan glukoneogenik di sel
otot. Kadar GH normal setelah diberi glukosa adalah < 2 mU/L, sedangkan
kadar GH pada saat stress adalah > 20 mU/L.
Kekurangan atau defisiensi hormon pertumbuhan (GH) pada dewasa
biasanya menyebabkan sedikit gejala atau tidak menyebabkan gejala karena
pada dewasa, pertumbuhan dan perkembangan somatis telah selesai. Tetapi
pada anak-anak, kekurangan hormon GH bisa menyebabkan lambatnya
pertumbuhan, kadang-kadang menjadi cebol (dwarfisme). Tanda-tandanya
meliputi pertumbuhan lambat, ukuran otot dan tulang kecil, tanda-tanda seks
sekunder tidak berkembang, infertilitas, impotensi, libido menurun, nyeri
senggama pada wanita.
b. Kekurangan/defisiensi hormon TSH (Thyroid Stimulating Hormone)
TSH atau Thyroid Stimulating Hormone berfungsi merangsang
pertumbuhan dan fungsi kelenjar thyroid. TSH menyebabkan pelepasan
tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3), serta kalsitonin. T3 dan T4 (atau disebut
juga hormon tiroid) berfungsi dalam metabolisme tubuh, sedangkan
kalsitonin berfungsi dalam menyeimbangkan kadar kalsium dan fosfat dalam
tubuh. Kadar TSH normal adalah 0,3–4,0 mU/L, dengan T4 bebas : 9–26
pmol/L, dan T3 bebas: 3,0–8,8 pmol/L. Jadi dapat dikatakan bahwa TSH
berfungsi merangsang uptake iodida serta sintesis dan pelepasan hormon
tiroid oleh kelenjar tiroid, termasuk mengatur kecepatan sekresi tiroksin oleh
kelenjar tiroid, dan tiroksin selanjutnya mengatur kecepatan sebagian besar
reaksi-reaksi kimia seluruh tubuh.
Kekurangan TSH menyebabkan hipotiroidisme, yang menimbulkan
gejala berupa kebingungan, tidak tahan terhadap cuaca dingin, penambahan
berat badan, sembelit, kulit kering.
c. Kekurangan/defisiensi hormon gonadotropin (FSH = Follicte
Stimulating Hormone dan LH = Luteinizing Hormone)
10
Hormon perangsang folikel/FSH (Follicte-Stimulating Hormon)
merangsang perkembangan folikel de graaf dan sekresi hormon esterogen
pada ovarium serta spermatogenesis pada testis. Sementara hormon
Luteinisasi (LH = Luteinizing Hormone) mendorong ovulasi dan luteinasi
folikel yang sudah masak di dalam ovarium. Pada laki-laki hormon ini, yang
dahulunya disebut hormon perangsang sel interstisialis (ICSH = Interfisial
Cell Stimulating Hormon), berfungsi merangsang produksi dan pelepasan
testosteron oleh sel-sel leydig di testis.
Kekurangan atau defisiensi hormon gonadotropin (LH dan FSH) pada
wanita pre-menopause bisa menyebabkan terhentinya siklus menstruasi
(amenorea), kemandulan, vagina yang kering, hilangnya beberapa ciri
seksual wanita. Pada pria, kekurangan gonadotropin dapat menyebabkan
impotensi, pengkisutan buah zakar, berkurangnya produksi sperma sehingga
terjadi kemandulan, serta hilangnya beberapa ciri seksual pria (misalnya
kerontokan buluh badan dan rambut wajah).
d. Kekurangan/defisiensi hormon Adrenokortikotropin (ACTH =
Adrenocorticotropin Hormone)
Adrenocorticotropin hormone (ACTH) merangsang pertumbuhan dan
fungsi korteks adrenal, dan merupakan suatu faktor yang sangat penting pada
pengaturan produksi kortisol. Hormon ini mengatur sekresi beberapa hormon
korteks adrenal yang selanjutnya mempengaruhi metabolisme glukosa,
protein, dan lemak. ACTH disintesi dari pra-po-opiomelanocortin (pra-
POMC). ACTH bertindak melalui stimulasi ACTH permukaan sel reseptor,
yang terletak di adreno cortisol, terutama sel-sel dari korteks adrenal. Hal ini
mengakibatkan sintesis dan sekresi glukominerallo kortikosteroid dan steroid
adronegik. CRH (corticotrophin releasing hormone) dan arginine-vasopresin
(AVP) bekerja secara sinergis untuk merangsang sekresi ACTH. Kadar
ACTH normal pada jam 09:00 adalah 10–80 ng/L. Kelebihan kadar ACTH
dapat menyebabkan Cushing's Syndrome, sedangkan kekurangan kadar
ACTH dapat menyebabkan timbulnya Addison's Disease.
Defisiensi kadar ACTH dapat menyebabkan timbulnya Addison's
11
Disease yang ditandai dengan gangguan pada semua sekresi korteks adrenal,
yaitu kortisol, aldosteron, dan androgen. Kadang-kadang pasien datang
dengan defisiensi parsial sekresi hormon korteks adrenal. Defisiensi ini
dijumpai pada kasus-kasus hipoaldosteronisme-hiporeninemik, yang hanya
mengenai sekresi aldosteron, atau hiperplasia adrenal kongenital, dengan
suatu defek enzim parsial yang hanya menghambat sekresi kortisol.
Defisiensi kortisol dapat menyebabkan peningkatan umpan-balik negatif
dalam sekresi peptida yang berasal dari proopiomelanokortin (POMC),
termasuk ACTH dan melanocyte-stimulatin growth hormone-alfa dan -beta
(α-MSH & β-MSH). Preprohormon ACTH dan MSH (Melanocyte
Stimulating Hormone) sama, yaitu POMC (proopiomelanokortin), sehingga
apabila sekresi ACTH menurun, maka sekresi MSH juga ikut menurun.
ACTH yang mengandung rangkaian MSH mempunyai efek perangsang
melanosit kira-kira 1/30 dari MSH, sehingga juga dapat menentukan jumlah
melanin kulit. Konsekuensi klinisnya adalah hipopigmentasi, yang
menyebabkan kulit terlihat pucat, kering dan turgor kulit yang jelak. Efek
lainnya dari defisiensi kortisol adalah penurunan metabolisme karbohidrat
(glukoneogenesis) menyebabkan penurunan kadar glukosa darah yang
menyebabkan penderita mengalami cepat lelah, lemah, dan tidak tahan
terhadap lapar dalam waktu yang lama. Apabila keadaan ini dibiarkan dalam
waktu yang lama dan tidak segera ditangani, penderita dapat mengalami
hipoglikemia.
2.6. Komplikasi dan Prognosis
Komplikasi dari hipopituitari adalah sebagai berikut.
1) Gangguan hipotalamus
2) Penyakit organ target seperti gagal tiroid primer, Addison's disease (akibat
kelainan adrenal, sindrom ACTH ektopik), atau gagal gonadal primer
3) Sindrom parkinson
4) Metabolik: Diabetes insipidus psikogenik atau nefrogenik (akibat defisiensi
kortisol yang menyebabkan gangguan dalam proses glukoneogenesis oleh
12
insulin)
5) Imunologi: peningkatan resiko infeksi dan penyamaran tanda-tanda infeksi
6) Gangguan pada mata: seperti glaukoma, lesi kornea.
7) Muskuloskeletal: pengkisutan otot.
2.7 Pemeriksaan diagnostik
1. Foto tengkorak (cranium)
Dilakukan untuk melihat kondisi sella tursika. Dapat terjadi tumor atau
juga atropi. Tidak dibutuhkan persiapan fisik secara khusus, namaun
pendidikan kesehatan tentang tujuan dan prosedur sangatlah penting.
2. Foto tulang (osteo)
Dilakukan untuk melihat kondisi tulang.
3. CT Scan otak
Dilakukan untuk melihat kemungkinan adanya tumor pada hipofisis atau
hipotalamus melalui kompeterisasi.
4. Pemeriksaan darah dan urine
5. Pemeriksaan kadar hormon (GH, TSH, ACTH, FSH dan LH)
a. Kadar GH menurun (normal setelah diberi glukosa adalah < 2 mU/L,
sedangkan pada saat stress adalah > 20 mU/L)
b. Kadar ACTH serum menurun (normal 10–80 ng/L)
c. Kadar TSH serum menurun (normal 0,3–4,0 mU/L)
d. Kadar hormon tiroid menurun (normal T4 bebas : 9–26 pmol/L, dan T3
bebas: 3,0–8,8 pmol/L)
e. Kadar hormon gonadotropin (LH dan FSH) serum
menurun(Corenblum, 2013).
2.8 Penatalaksanaan
A. Penatalaksanaan Medis
1. Kausal: mengatasi penyebab
Bila disebabkan oleh tumor, umumnya dilakukan radiasi. Bila timbul
gejala-gejala penekanan oleh tumor progresif, dilakukan operasi. Apabila
13
disebabkan oleh tumor hipofisis, diobati dengan pembedahan radioterapi
atau obat (misal dengan hymocriptine).
2. Terapi Substitusi Hormon
Yaitu terapi penggantian GH untuk defisiensi GH pada anak-anak, tiroksin
dan kortison untuk defisiensi TSH dan ACTH, penggantian androgen atau
esterogen untuk defisiensi gonadotropin sendiri (isolated) dapat diobati
dengan penyuntikan FSH atau HCG.
a. Hidrokortison antara 20–30 mg sehari diberikan per–os, umumnya
disesuaikan dengan siklus harian sekresi steroid yaitu 10–15 mg waktu
pagi, 10 mg waktu malam. Prednison dan deksametason tidak diberikan
karena kurang menyebabkan retensi garam dan air, bila terdapat stres
(infeksi, operasi dan lain-lain), dosis oral dinaikkan atau diberikan
parenteral. Bila terjadi krisis adrenal atasi syok segera dengan
pemberian cairan per-infus NaCl glukosa, steroid dan vasopreses.
b. Puluis tiroid/tiroksin diberikan setelah terapi dengan hidrokortison.
c. Pada penderita laki-laki dengan defisiensi testosteron, berikan suntikan
testosteron enantot atau testosteron siprionat 200 mg intramuskuler tiap
2 minggu. Dapat juga diberikan fluoxymestron 10 mg per-os tiap hari.
d. Pada wanita, diberikan esterogen secara siklik untuk mempertahankan
siklus haid. Berikan juga androgen dengan dosis 1/2 dosis pada laki-laki
3. Terapi Medikasi
1) Kortikosteroid Oral
Misalnya: Dexametason. Dosis: 0,75-9 mg/ hari sebagai permulaan,
diikuti dengan pengurangan dosis secara bertahap sesuai dengan
kemajuan klinis.
2) Pengganti GH
Misalnya Somatropin. Dosis: 0,5-0,7 UI/kgBB/minggu; dibagi menjadi
7 suntikan subkutan. Dikontraindikasikan bila adanya aktivitas tumor
atau pertumbuhan tumor, wanita hamil. Perlu diberikan perhatian
khusus bila ada penyakit diabetes mellitus, hipotiroidisme selama
pengobatan hormon pertumbuhan, dan kelainan endokrin lainnya.
14
Pengobatan harus dilakukan oleh dokter yang ahli dan berpengalaman.
Efek samping yang dapat timbul dari pengobatan ini adalah reaksi kulit
lokal sementara. Obat ini bisa menimbulkan interaksi obat dengan obat
kortikosteroid.
3) Androgen sintetik
a) Testosteron Undekanoat. Dosis: pada umumnya, dosis harus
disesuaikan berdasarkan respon individual pasien. Dosis awal: 120-
160mg selama 2-3 minggu. Dosis pemeliharaan: 40-120mg/hari.
Dikontraindikasikan bila diketahui atau diduga ada karsinoma
prostat atau mammae. Perlu ada perhatian lebih pada anak laki-laki
prepubertal, pasien gagal jantung yang jelas dan laten, disfungsi
ginjal, hipertensi, epilepsi, migren, penyakit tiroid, dan diabetes
mellitus. Efek samping pengobatan ini adalah retensi cairan dan
elektrolit, priapismus, gejala lain dan stimulasi seksual yang
berlebihan, oligospermi, penurunan volume ejakulat. Pada anak
laki-laki prepubertal, dapat menyebabkan perkembangan seksual
prekoks, peningkatan frekuensi ereksi, pembesaran phallus dan
penutupan ephipiseal premature. Bila terjadi efek samping yang
berkaitan dengan androgen, pengobatan harus segera dihentikan
dan setelah gejala hilang, mulai lagi dengan dosis yang lebih
rendah.
b) Mesterolon. Dosis defisiensi androgen: Dosis awal: 75-100mg/
hari, Dosis pemeliharaan: 50-75mg/hari. Dikontraindikasikan bila
ada karsinoma prostat, tumor hati. Perlu perhatian pada penderita
yang terlambat pubertas, periksa prostat secara teratur, hanya
digunakan bagi pria,tumor hati dapat menyebabkan perdarahan
intra-abdominal. Apabila ada keluhan abdomen bagian atas harus
menjadi bahan pertimbangan. Efek samping dari pengobatan ini
adalah dapat menyebabkan ereksi berlebihan. Bila ereksi terlalu
sering/persisten, hentikan pengobatan atau kurangi dosis.
4) Obat pengganti Estrogen
15
Oestradiol. Dosis: 2mg/hari. Dikontraindikasikan bila adanya/diduga
adanya riwayat karsinoma payudara, adanya/diduga adanya neoplasia
yang tergantung estrogen, penyakit hati akut/kronik, thrombosis vena
dalam; kelainan tromboemboli, gangguan serebrovaskular perdarahan,
atau riwayat penggunaan ini berkaitan dengan penggunaan estrogen,
perdarahan genital abnormal tanpa diketahui sebabnya, serta
kehamilan atau diduga adanya kehamilan.
4. Tindakan operatif meliputi pembedahan transphenoidalis dan pembedahan
transfrontal.
16
PATHWAYS
17
Defisiensi sekresi hormon-hormon hipofisis
Dekstruksi/malfungsi hipofisis anterior
Infeksi bakteri TBC pada hipofisis
Kelainan autoimun (hipofisis limfoid autoimun)
Tumor (adenomakromofob & craniopharingioma)
Sheehan’s postpartum pituitary
necrosis
Fibrosis kelenjar hipofisis
imun menyerang hipofisis membesar & menekan sel hipofisisnekrosis hipoksik (infark) hipofisis
def. hormon tiroiddef. hormon
adrenokortikotropik def. hormon gonadal (FSH-LH)def. hormon GH
kekuatan otot menurun hipotiroidisme Insufisiensi adrenal hipogonadismeLk : penurunan libido, impotensi
Pr : aminorea, atrofi payudara & genitalia eksterna
TIK naik
sakit kepala, gg. penglihatan
metabolisme menurun
nyeri senggama
infertile Nyeri akut
Disfungsi seksual
Gg. persepsi sensorik
ACTH menurun
gg. sekresi androgen
sintesis aldosteron tergangguhipopigmentasi
kulit pucat, kering
Gg. integritas kulit
Gg. harga dirikelemahanIntoleransi aktivitas
suplai O2 turun
TD turun
hipotensi
Penurunan curah jantung
hiperventilasi
Perubahan pola napas
mudah lelah
anoreksia, nafsu makan buruk
BB turun
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
gg. sekresi α-MSH & β-MSH
retensi Na & H2O
oliguria Perubahan pola eliminasi urine
BAB 4. ASUHAN KEPERAWATAN
4.1 Pengkajian Keperawatan
1. Identitas klien
Identitas klien diperlukan guna melengkapi data terkait mempermudah
penanganan dan siapa nanti yang bertanggung jawab atas perawatan klien
atau pasien. Identitas pasien meliputi:
- Nama
Nama klien sangat dibutuhkan sebagai identitas pasien.
- Tempat tanggal lahir
Diisi dengan tempat tanggal lahir pasien.
- Umur
Umur dapat mengidentifikasi penyebab dari hipopituitarisme yang
terjadi pada orang dewasa.
- Jenis Kelamin
- Agama
- Pendidikan
- Pekerjaan
2. Riwayat Kesehatan
a. Riwayat Kesehatan Dahulu
Adakah penyakit atau trauma pada kepala yang pernah diderita klien,
serta riwayat radiasi pada kepala.
b. Riwayat Kesehatan Sekarang
Riwayat kesehatan sekarang ialah status kesehatan klien saat ini.
Dampak defisiensi GH mulai tampak pada masa balita sedang
defisiensi gonadotropin nyata pada masa praremaja. Tubuh kecil dan
kerdil sejak lahir terdapat pada klien kretinisme.
18
c. Riwayat Kesehatan Keluarga
Kaji apakah dari keluarga klien ada yang menderita penyakit
Hipopituitarisme atau tidak.
d. Keluhan Utama
Keluhan utama yang dirasakan pasien hipopituarisme yaitu:
perubahan sensori terutama penglihatan, sakit kepala bagian frontal
dan temporal, nyeri sendi dan nyeri punggung, banyak keringat,
kelelahan, letargik, malas bergerak, perubahan pada tingkah laku,
perubahan menstruasi pada wanita.
e. Riwayat kesehatan lingkungan
f. Riwayat alergi (obat/makanan)
3. Pemeriksaan Fisik mencakup:
a. Penampilan secara umum: Amati bentuk, ukuran tubuh, ukur berat dan
tinggi badan, amati bentuk dan ukuran buah dada, pertumbuhan
rambut aksil dan pubis dan pada klien pria amati pertumbuhan rambut
di wajah (jenggot dan kumis). Kulit pada wanita biasanya kering dan
kasar.
b. Aktivitas atau istirahat: pasien merasa cepat lelah, letargik, dan malas
bergerak.
c. Sirkulasi: terjadi hipotensi pada pasien, penurunan curah jantung.
d. Eliminasi: terjadi oliguria disebabkan retensi Na & H2O.
e. Integritas Ego: terjadi perubaha pada tingkah laku pasien, misalnya
cepat marah, cemas, dan khawatir tentang citra diri.
f. Makanan/Cairan: anoreksia, nafsu makan menurun, berat badan
menurun.
g. Neurosensori: terjadi perubahan sensori terutama penglihatan, sakit
kepala pada bagian frontal dan temporal, nyeri pada sendi.
h. Nyeri/Kenyamanan: pasien mengeluhkan nyeri pada sendi dan nyeri
pada punggung, nyeri senggama pada wanita.
i. Pernapasan: pasien merasa sesak, hiperventilasi.
19
j. Seksualitas: pada pria terjadi penurunan libido, impotensi. Pada
wanita terjadi amenorhea, atrofi payudara dan genitalia eksterna.
4. Pemeriksaan Diagnostik
a. Foto tengkorak (cranium)
b. Foto tulang (osteo)
c. CT Scan otak
d. Pemeriksaan darah dan urine
e. Pemeriksaan kadar hormon GH
4.2 Diagnosa Keperawatan
1. Perubahan pola napas b/d mekanisme koping tubuh akibat penurunan suplai
oksigen yang ditandai dengan napas cepat, hiperventilasi.
2. Penurunan curah jantung b/d penurunan metabolisme akibat hipotiroidisme
yang ditandai dengan tekanan darah menurun (80/60 mmHg) atau hipotensi,
akral dingin.
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d intake nutrisi
tak adekuat yang ditandai dengan anoreksia, nafsu makan buruk, penurunan
berat badan.
4. Nyeri akut b/d atrofi organ seksual yang ditandai dengan nyeri saat
senggama, atrofi genitalia eksterna
5. Intoleransi aktivitas b/d kelemahan umum akibat defisiensi hormon
somatotropin (Growth Hormone) yang ditandai dengan penurunan kekuatan
otot, badan lemas.
6. Gangguan integritas kulit b/d hipopigmentasi akibat gangguan sekresi MSH,
atau hormon yang kerjanya mirip MSH (α-MSH & β-MSH yang
dikeluarkan oleh ACTH) yang ditandai dengan kulit pucat, turgor kulit
buruk, kulit kering.
7. Perubahan pola eliminasi urine b/d gangguan sintesis aldosteron akibat
defisiensi adrenokortikotropik yang ditandai dengan oliguria.
20
8. Disfungsi seksual b/d defisiensi hormon gonadotropin yang ditandai dengan
kemandulan, penurunan libido, impotensi, atrofi payudara dan genitalia
eksterna, aminorea.
9. Harga diri rendah b/d perubahan citra tubuh akibat defisiensi hormon
gonadotropin yang ditandai dengan atrofi payudara dan genitalia eksterna,
testis yang mengecil.
10. Gangguan persepsi sensorik b/d kompresi sel tumor pada area orbita yang
ditandai dengan gangguan penglihatan, pusing, nyeri kepala
21
22
4.3 Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
1. Perubahan pola napas b/d mekanisme
koping tubuh akibat penurunan
suplai oksigen yang ditandai dengan
napas cepat, hiperventilasi.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3x24 jam, pola
nafas pasien kembali normal (RR 16 –
20x/menit)
Kriteria Hasil:
- pola pernafasan normal/efektif
- tidak terjadi sianosis
- tanda-tanda vital dalam rentang
normal (tekanan darah, nadi,
pernafasan)
1. Kaji frekuensi pernapasan, kedalaman,
dan irama.
2. Tempatkan pasien dalam posisi yang
nyaman.
3. Tinggikan kepala tempat tidur sesuai
kebutuhan atau toleransi pasien
(semifowler).
4. Ajarkan teknik napas dalam
5. Kolaborasi dengan tim kesehatan lain
terkait pemberian bronkhodilator dan
oksigenasi
6. Monitor pola nafas
2. Penurunan curah jantung b/d
penurunan metabolisme akibat
hipotiroidisme yang ditandai dengan
tekanan darah menurun (80/60
mmHg) atau hipotensi, akral dingin.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3x24 jam,
penurunan curah jantung pasien
teratasi
Kriteria Hasil:
1. Pantau tekanan darah, denyut dan irama
jantung setiap 2 jam untuk mengindikasi
kemungkinan terjadinya gangguan
hemodinamik jantung seperti hipotensi,
penurunan pengeluaran urine dan
23
- Tanda Vital dalam rentang
normal (TD: 120/90 mmHg,
Nadi: 60 – 100x/menit,
respirasi: 16 – 20x/menit))
- Dapat mentoleransi aktivitas,
tidak ada kelelahan
- Akral hangat
perubahan status mental.
2. Catat adanya tanda dan gejala penurunan
curah jantung.
3. Anjurkan pasien untuk memberitahu
perawat segera bila pasien mengalami
nyeri dada.
4. Atur periode latihan dan istirahat untuk
menghindari kelelahan.
5. Monitor toleransi aktivitas pasien.
6. Monitor suhu, warna, dan kelembaban
kulit.
7. Jelaskan pada pasien tujuan dari
pemberian oksigen.
8. Kolaborasi pemberian obat-obatan untuk
mengurangi gejala.
3 Ketidakseimbangan nutrisi kurang
dari kebutuhan tubuh b/d intake
nutrisi tak adekuat yang ditandai
dengan anoreksia, nafsu makan
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3x24 jam,
kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi
Kriteria Hasil:
1. Kaji pola makan pasien sebelum sakit
2. Kaji perubahan nafsu makan pasien
3. Beri motivasi pasien untuk makan
4. Beri pasien makanan yang tinggi kalori
24
buruk, penurunan berat badan. - BB pasien ideal
- Albumin normal: 3,5 – 5g/dl
- Pasien tidak lemah
- Bising usus normal (5 –
35x/menit)
5. Beri makanan dalam porsi sedikit tapi
sering
6. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
perencanaan diet pasien.
7. Pantau nutrisi dan timbang BB pasien
setiap hari
8. Kolaborasi dengan ahli gizi dan dokter
untuk pemberian suplemen penambah
nafsu makan.
4 Nyeri akut b/d atrofi organ seksual
yang ditandai dengan nyeri saat
senggama, atrofi genitalia eksterna
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3x24 jam nyeri
yang dialami pasien berkurang atau
hilang
Kriteria Hasil:
- TTV dalam batas normal
- Pasien mengatakan bahwa
nyeri dapat dikontrol bahkan
hilang
- Pasien mampu beristirahat
1. Kaji keluhan nyeri yang dirasakan
pasien, meliputi lokasi, durasi, dan
intensitasnya (menggunakan skala 0-10
atau dengan lambang-lambang ekspresi
wajah)
2. Observasi adanya ekspresi non verbal
yang menunjukkan keluhan nyeri pada
pasien
3. Ajarkan tentang teknik non farmakologi:
napas dalam, relaksasi.
25
dengan nyaman. 4. Kolaborasi dengan tim kesehatan lain
untuk pemberian obat untuk mengurangi
nyeri.
5 Intoleransi aktivitas b/d kelemahan
umum akibat defisiensi hormon
somatotropin (Growth Hormone)
yang ditandai dengan penurunan
kekuatan otot, badan lemas.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3x24 jam, pasien
bertoleransi terhadap aktivitas
Kriteria Hasil:
- berpartisipasi dalam aktivitas fisik
tanpa disertai peningkatan tekanan
darah, nadi dan RR
- Mampu melakukan aktivitas sehari
hari secara mandiri
- Keseimbangan aktivitas dan
istirahat
1. Observasi adanya pembatasan klien
dalam melakukan aktivitas
2. Kaji adanya faktor yang menyebabkan
kelelahan
3. Monitor nutrisi dan sumber energi yang
adekuat
4. Monitor pasien akan adanya kelelahan
fisik dan emosi secara berlebihan
5. Monitor pola tidur dan lamanya
tidur/istirahat pasien
6. Bantu klien untuk mengidentifikasi
aktivitas yang mampu dilakukan
7. Bantu untuk mengidentifikasi aktivitas
yang disukai
8. Bantu pasien untuk mengembangkan
motivasi diri dan penguatan
26
6 Gangguan integritas kulit b/d
hipopigmentasi akibat gangguan
sekresi MSH, atau hormon yang
kerjanya mirip MSH (α-MSH & β-
MSH yang dikeluarkan oleh ACTH)
yang ditandai dengan kulit pucat,
turgor kulit buruk, kulit kering.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3x24 jam
kerusakan integritas kulit pasien
teratasi
Kriteria Hasil:
- Integritas kulit yang baik bisa
dipertahankan (sensasi, elastisitas,
temperatur, hidrasi, pigmentasi)
- Mampu melindungi kulit dan
mempertahankan kelembaban
kulit dan perawatan alami
1. Ajarkan pasien untuk menjaga
kebersihan kulit agar tetap bersih dan
kering.
2. Anjurkan pada pasien untuk
menggunakan sabun yang mengandung
pelembab atau sabun untuk kulit sensitif.
3. Oleskan lotion atau minyak/baby oil
pada daerah kulit yang kering
4. Jaga kondisi kelembaban kulit pasien dan
jaga agar tetap bersih
7 Perubahan pola eliminasi urine b/d
gangguan sintesis aldosteron akibat
defisiensi adrenokortikotropik yang
ditandai dengan oliguria.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3x24 jam pola
eliminasi urine pasien kembali normal
Kriteria Hasil:
- Pasien menunjukkan tidak
mengalami tanda obstruksi
1. Kaji pemasukan cairan dan pengeluaran
karakteristik urine
2. Tentukan pola berkemih normal dan
perhatikan variasi
3. Dorong pasien untuk meingkatkan
pemasukan cairan
4. Observasi perubahan status mental,
perilaku atau tingkat kesadaran
27
5. Catat pemeriksaan laboratorium, ureum
dan kreatinin
8 Disfungsi seksual b/d defisiensi
hormon gonadotropin yang ditandai
dengan kemandulan, penurunan
libido, impotensi, atrofi payudara
dan genitalia eksterna, aminorea.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3x24 jam fungsi
seksual pasien kembali normal
Kriteria Hasil: mulai membicarakan
perasaan tentang seksualitas dengan
pasangan, mengungkapkan pengertian
tentang efek terhadap pola seksual.
1. Identifikasi masalah spesifik yang
berhubungan dengan pengalaman klien
terhadap fungsi seksualnya.
2. Dorong klien untuk mendiskusikan
masalah tersebut dengan pasangannnya
3. Bangkitkan motivasi klien untuk
mengikuti program pengobatan secara
teratur
9 Harga diri rendah b/d perubahan citra
tubuh akibat defisiensi hormon
gonadotropin yang ditandai dengan
atrofi payudara dan genitalia
eksterna, testis yang mengecil.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3x24 jam pasien
tidak merasakan harga diri rendah
Kriteria Hasil:
1. Kaji faktor-faktor yang bisa mengancam
harga diri dan ungkapan pasien yang
negatif mengenai dirinya
2. Buat pasien merasa bahwa reaksinya
terhadap stresor adalah normal dan reaksi
itu tidak sama pada setiap individu.
3. Bantu pasien mempertahankan
kemandirian dalam melakukan aktivitas
sehari-hari dan kontrol pribadi
28
4. Bantu pasien mancari makna pengalaman
penyakitnya dalam mengatasi situasi
29
4.4 Evaluasi
No
Dx
Tanggal, waktu Evaluasi Paraf
1 01 Oktober 2013
06.40 WIB
S : pasien mengatakan mampu
bernafas seperti biasanya
tanpa ada gangguan
O : pola nafas normal/ efektif
(RR: 16 – 20x/menit), tidak
terjadi sianosis, tidak terjadi
distress pernafasan
A : masalah teratasi
P : intervensi dihentikan
Ns. A
2 01 Oktober 2013
07.00 WIB
S : pasien tidak mengatakan
tidak merasakan nyeri dada
lagi
O : TTV stabil, status mental
baik, tidak ada disritmia,
akral hangat, tidak ada syok
A : masalah teratasi
P : intervensi dihentikan
Ns. A
3 01 Oktober 2013
07.40 WIB
S : pasien mengatakan bahwa
nafsu makannya sudah
meningkat
O : pasien menghabiskan 1 porsi
makannya, massa feses
pasien normal, BB pasien
meningkat
A : masalah teratasi
P : intervensi dihentikan
Ns. A
4 03 Oktober 2013 S : pasien mengatakan bahwa Ns. A
30
07.40 WIB
nyeri yang dirasakan sudah
jarang muncul
O : TTV dalam batas normal,
pasien terlihat mampu
beristirahat dan beraktivitas
lebih rileks dan nyaman
A : masalah teratasi
P : intervensi dihentikan
5 03 Oktober 2013
O8.40 WIB
S : pasien mengatakan badannya
tidak lemah lagi dan pasien
mengatakan sudah mulai
sedikit beraktivitas kembali
O : TTV dalam batas normal
A : masalah teratasi
P : intervensi dihentikan
Ns. A
6 03 Oktober 2013
09.40 WIB
S : pasien mengatakan kondisi
kulitnya sudah mulai
membaik dan pasien merasa
nyaman
O : turgor kulit baik, pigmentasi
normal, kulit lembab
A : masalah teratasi
P : intervensi dihentikan
Ns. A
7 03 Oktober 2013
10.40 WIB
S : pasien mengatakan bahwa
sudah mampu BAK dengan
normal
O : Output urine normal (30 –
60ml/jam), tidak ada infeksi
saluran kemih, eliminasi urine
tidak terganggu
Ns. A
31
A : masalah teratasi
P : intervensi dihentikan
32
BAB 5. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Hipopituitarisme adalah insufisiensi kelenjar hipofisis, terutama lobus
anterior. Jika keenam hormon lobus anterior terkena, disebut panhipopituitarisme.
Hipopituitarisme disebabkan oleh macam-macam kelainan antara lain nekrosis,
hipofisis post partum, nekrosis karena meningitis basalis trauma tengkorak,
hipertensi maligna, arterisklerosis serebri, tumor granulema.
Secara umum tujuan yang diharapakan dari perawatan klien dengan
hipofungsi hipofisis/hipopituitari ini adalah:
1. Klien memiliki kembali citra tubuh yang positif dan harga diri yang tinggi.
2. Klien dapat berpartisipasi aktif dalam program pengobatan.
3. Klien dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari – hari.
5. Klien bebas dari rasa cemas.
6. Klien terhindar dari komplikasi.
33
DAFTAR PUSTAKA
Baughman, C. Diane, dan Hacklei C. Joanne. 2000. Keperawatan Medikal Bedah Buku Saku Brunner dan Suddarth. Jakarta: EGC.
Baradero, dkk. 2009. Seri Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Endokrin. Jakarta: EGC.
Baradero, Mara. 2009. Klien Gangguan Endokrin. Jakarta: EGC.
Barbara.1996. Perawatan Medikal Bedah Edisi 3. Bandung: Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan.
Brooker, Chris. 2008. Ensiklopedia Keperawatan. Jakarta: EGC.
Brunner & Suddart. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah. Ed 8, Vol 2. Jakarta: EGC.
Corwin, Elizabeth J. 1997. Buku Saku Patologi 2. Jakarta: EGC.
Corwin, Elizabeth J. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Corenblum, Bernard. 2013, 20 Februari. Hypopituitarism (Panhypopituitarism). Sumber: http://emedicine.medscape.com/article/122287overview#a0156 diakses pada 26 September 2013: 13.37 WIB.
Doengoes, Marilynn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta: ECG.
Dorland, W. A Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland. Jakarta: EGC.
Greenstein, Ben & Diana Wood. 2010. At a Glance Sistem Endokrin. Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga.
Guyton dan Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta: EGC.
Hayes & Joyce. 1996. Farmakologi Pendekatan Proses Keperawatan. Jakarta: EGC.
Hotma, Rumahorbo. 1999. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Endokrin. Jakarta: EGC.
Kowalak, Jennifer Dkk. 2011. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC.
34
Kumar, Robbins. 1995. Buku Ajar Patologi II Edisi 4. Jakarta: EGC.
Price dan Wilson. 2002. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta: EGC.
Ovedoff, David. 2002. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Binarupa Aksara.
Tucker, Susan M. 1998. Standar Perawatan Pasien. Ed 5, Vol 2. Jakarta: EGC.
35