Hipertensi KRISIS.doc
-
Upload
yepy-hesti -
Category
Documents
-
view
13 -
download
2
Transcript of Hipertensi KRISIS.doc
HIPERTENSI KRISIS1. Definisi Hipertensi
Hipertensi emergensi didefinisikan sebagai "tingginya peningkatan tekanan darah
(biasanya > 180/120 mmHg) dengan komplikasi akan atau terjadi disfungsi organ target
progresif melibatkan sistem neurologis, jantung atau sistem ginjal (Chobanian AV, Bakris
GL, Black HR, Cushman WC, Green LA, et al. 2003). Manifestasi klinis umum dari
kerusakan organ pada hipertensi emergensi termasuk Sindrom Koroner Akut (ACS),
dekompensasi akut gagal jantung, ensefalopati, perdarahan intraserebral dan gagal ginjal
akut. Hipertensi urgensi adalah tingginya peningkatan tekanan darah yang akut (> 180/120
mmHg) tanpa bukti kerusakan organ. Istilah "krisis hipertensi" sering digunakan untuk
mencakup keadaan hipertensi emergensi dan hipertensi urgensi.
Sedangkan hipertensi urgensi adalah peningkatan tekanan darah mencapai >180/120
namun tanpa disertai adanya keterlibatan kerusakan organ.
JNC 7 mengklasifikasikan tekanan darah dalam kategori yang berbeda.
Kategori Tekanan darah sistolik
(mmHg)
Tekanan darah diastolik
(mmHg)
Normal < 120 < 80
Pre hipertensi 120 – 139 80 – 89
Hipertensi stadium I 140 – 159 90 – 99
Hipertensi stdium II ≥ 160 ≥ 100
Hipertensi Emergensi >180 > 120 dan kerusakan
organ akhir
2. Epidemiologi Hipertensi merupakan masalah umum yang mempengaruhi 60-70 juta orang di
Amerika Serikat (Centers for Disease Control and Prevention (CDC), 2011). Diketahui
bahwa hipertensi yang tidak terkontrol merupakan faktor risiko utama penyebab kematian
akibat kardiovaskular dan serebrovaskular, peningkatan akut pada tekanan darah juga
dapat menyebabkan kerusakan organ akut. Sekitar 1-2% dari semua pasien hipertensi
datang ke ruang gawat darurat dengan hipertensi emergensi setidaknya sekali dalam
seumur hidup mereka (Zampaglione B, Pascale C, Marchisio M, Cavallo-Perin P,1996).
3. Etiologi Peningkatan drastis tekanan darah dapat terjadi secara de novo atau komplikasi
dari hipertensi esensial atau hipertensi sekunder. Noncompliance terapi hipertensi pada
pasien dengan hipertensi kronis sangat berperan dalam kejadian hipertensi
emergensi/urgensi. Faktor yang menginisiasi hipertensi emergensi dan urgensi masih
belum cukup dimengerti.
Terjadinya peningkatan tekanan darah secara cepat akibat peningkatan resistensi
vaskuler sistemik salah satu kemungkinan faktor yang mencetuskan hipertensi
emergensi. Dalam homeostasis tekanan darah, endotelium merupakan aktor utama
dalam mengatur tekanan darah. Dengan mengeluarkan nitric oxide dan prostacyclin
yang dapat memodulasi tekanan vaskuler. Disamping itu peran renin – angitensin
sistem juga sangat berpengaruh dalam terjadinya hipertensi emergensi. Saat tekanan
darah meningkat dan menetap dalam waktu yang lama, respon vasodilatasi endotelial
akan berkurang, yang akan memperparah peningkatan tekanan darah. Keadaan ini
akan berujung pada disfungsi endotel dan peningkatan resistensi vaskuler yang
menetap.
Krisis hipertensi dapat terjadi pada penderita dengan hipertensi esensial maupun
hipertensi yang terakselerasi. Juga dapat terjadi pada penderita dengan tekanan darah
normal (normotensif). Krisis hipertensi pada penderita yang dulunya normotensif
kemungkinan karena glomerulonefritis akut, reaksi terhadap obatmonoamin oksidase
inhibitor (MAO), feokromositoma atau toksemia gravidarum. Sedangkan pada penderita
yang telah mengidap hipertensi kronis, krisis hipertensi terjadi karena glomerulonefritis,
pielonefritis, atau penyakit vaskular kolagen, lebih sering pada hipertensi renovaskuler
dengan kadar renin tinggi.
Krisis hipertensi dapat mengenai usia manapun, dapat mengenai neonatus dengan
hipoplasi arteri ginjal kongenital, anak-anak dengan glomerulonefritis akut, wanita hamil
dengan eklampsia, atau orang yang lebih tua dengan arterisklerotis stenosis pembuluh
darah ginjal.
Etiologi terjadinya krisis hipertensi dapat dilihat pada tabel dibawah ini
4. Patofisiologi(Terlampir)
5. Manifestasi klinisDerajat kenaikan tekanan darah pada kegawatan dan ada tidaknya penyakit pada
end organ sebelumnya sangat menentukan tanda dan keluhan yang ada pada krisis
hipertensi. Bila terdapat keluhan, manifestasinya biasa berupa ensefalopati hipertensi
dengan keluhan sakit kepala, perubahan mental dan gangguan neurologist, mual,
muntah, gangguan kesadaran, atau disertai dengan gejala kerusakan end organ seperti
(nyeri dada, pemendekan nafas, kecemasan, gangguan penglihatan, dll).
Pada tingkat permulaan, manifestasi klinis krisis hipertensi dapat hilang seluruhnya
tanpa meninggalkan komplikasi yang menetap. Oleh karena itu diagnosa harus
secepatnya ditegakkan, agar tindakan pengobatan dilakukan dengan cepat dan tepat.
Faktor presipitasi pada krisis hipertensi
Dari anamnesa dan pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang dapat dibedakan hipertensi emergenci urgensi dari faktor-faktor yang mempresipitasi krisis hipertensi. Keadaan klinis yang sering mempresipitasi timbulnya krisis hipertensi antara lain :
Kenaikan TD tiba-tiba pada penderita hipertensi kronis esensial (tersering)
Hipertensi renovaskuler
Glomerulonefritis akut
Sindroma withdrawal anti hipertensi
Cedera kepala dan rudapaksa susunan syaraf pusat
Renin – secretin tumors
Pemakaian prekurosors katekholamin pada pasien yang mendapat MAO Inhibitor
Penyakit parenkim ginjal
Pengaruh obat : Kontrasepsi oral, antidepresant trisiklik, MAO inhibitor, simpatomimetik (Pil diet, sejenis amphetamin), kortikosteroid, NSAID.
Luka bakar
Progresif sistemik sklerosis, SLE
6. Pemeriksaan diagnostikTekanan darah harus dievaluasi pada kedua lengan dengan ukuran manset yang
tepat. Pemeriksaan fisik juga harus bertujuan untuk menentukan atau menjelaskan
disfungsi target organ. Fokus pemeriksaan nerologis untuk menilai perubahan status
mental dan defisit neurologis fokal juga harus dilakukan. Perubahan status mental
dengan pemeriksaan funduskopi yang menunjukkan adanya eksudat, perdarahan atau
papiledema yang mengarah pada ensefalopati hipertensi (Marik PE, Varon J 2007).
Pemeriksaan kardiovaskuler harus terfokus pada adanya gallop (S3 dan S4) dan
murmur patologis (seperti regurgitasi aorta). Pulsasi vena jugularis yang meningkat dan
ronki pada lapang paru menunjukkan adanya edema pulmonal dan dekompensasi gagal
jantung kongestif. Nadi distal harus dipalpasi pada semua ekstremitas, dan nadi yang
tidak sama seharusnya menimbulkan kecurigaan untuk terjadinya diseksi aorta.
Pemeriksaan laboratoriumElektrokardiogram harus dilakukan untuk menilai hipertropi ventrikel kiri, aritmia,
iskemia akut atau infark. Urinalisis harus dilakukan untuk menilai hematuria dan
proteinuria. Profil basal metabolik termasuk nitrogen urea dan serum kreatinin darah
penting untuk menilai disfungsi ginjal. Biomarker jantung juga harus diperiksa jika
dicurigai ACS.
Pemeriksaan radiografikPasien yang datang dengan perubahan status mental atau defisit neurologis fokal
harus melewati pemeriksaan Computed Tomography (CT) otak untuk menilai adanya
perdarahan atau infark. X ray dada sering dilakukan untuk menilai adanya edema
pulmonal. Jika dicurigai adanya diseksi aorta (berdasarkan riwayat nyeri dada, nadi
yang tidak sama dan/atau pelebaran mediastinum pada X ray dada), pencitraan aorta
(CT angiogram/ magnetic resonance imaging/ transesophageal echocardiogram) harus
dilakukan sesegera mungkin.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan dua cara, yaitu :
a. Pemeriksaan segera seperti :
Darah : Rutin, BUN, creatinine, elektrolit, KGD
Urine : Urinalisa & Kultur Urin
EKG : 12 lead, melihat tanda iskemi
Foto dada : apakah ada edema paru
b. Pemeriksaan lanjutan (tergantung keadaan klinis dan hasil pemeriksaan pertama)
Dugaan kelainan ginjal : IVP, renal angiografi, biopsi renal
Menyingkirkan kemungkinan tindakan bedah neurologi : CT scan
Bila disangsikan feokromositoma : urine 24 jam untuk khatekolamin, metamefrin, Venumandelic Acid (VMA)
Echocardiografi dua dimensi : membedakan gangguan fungsi diastolik dari gangguan fungsi sistolik ketika tanda gagal jantung didapatkan.
7. PenatalaksanaanTerapi awal
Literatur sebelumnya pada hipertensi emergensi atau urgensi tidak memberikan
bukti yang cukup berdasarkan tingkat kepentingan spesifik pada tekanan darah yang
seharusnya dicapai agar mengurangi mortalitas dan morbiditas (Cherney 2002). Saat ini
terdapat uji coba acak terkontrol untuk menilai hasil klinis, membandingkan tingkatan
berbeda dari kekuatan tekanan darah di antara pasien yang datang dengan hipertensi
emergensi.
Otoregulasi cerebral dari tekanan darah berubah pada keadaan hipertensi
emergensi. Karena itu, hal ini telah diterima bahwa reduksi cepat tekanan darah dapat
mengakibatkan penurunan perfusi cerebral – melipatgandakan kerusakan organ akhir.
Oleh karena itu, pengawasan hemodinamik arterial invasif pada perawatan intensif
dilatarbelakangi dengan rekomendasi penggunaan obat antihipertensi intravena kerja
singkat yang dapat dititrasi pada situasi seperti ini (Cherney 2002).
Panduan paraktik klinis berdasarkan JNC 7 menyarankan bahwa mean arterial
blood pressure (tekanan darah arterial rata-rata) harus dikurangi < 25% dalam 2 jam
pertama dan menjadi sekitar 160/100-110 mmHg setelah 6 jam berikutnya. Diseksi
aorta, merupakan situasi klinis spesial dimana direkomendasikan untuk menurunkan
tekanan darah menjadi kurang dari 120 mmHg dalam 20 menit (Chobanian, 2003).
Pilihan untuk obat antihipertensi sering berdasarkan disfungsi target organ, availabilitas,
dan kemudahan pemakaian, kebiasaan suatu institusi dan selera dari dokter itu sendiri
(Pollack,2008).
Dalam penanganan pasien datang dengan hipertensi emergensi atau urgensi adalah
seberapa cepat dan target tekanan darah berapa yang akan dilakukan.
Hipertensi UrgensiPrinsipnya, hipertensi urgensi dapat ditangani dengan anti-hipertensi oral dengan
perawatan rawat jalan. Namun keadaan ini sulit untuk memonitor tekanan darah setelah
pemberian obat. Obat yang diberikan dimulai dari dosis yang rendah untuk menghindari
terjadinya hipotensi mendadak terutama pada pasien dengan resiko komplikasi
hipotensi tinggi seperti geriatri, penyakit vaskuler perifer dan atherosclerosis
cardiovaskuler dan penyakit intrakranial. Target inisial penurunan tekanan darah
160/110 dalam jam atau hari dengan konvensional terapi oral.
Beberapa pilihan obat:
1. ACE inhibitor (Captopril), dengan pemberian dosis oral inisial 25 mg, onset aksi
mulai dalam 15 – 30 menit dan maksimum aksi antara 30 – 90 menit. Kemudian jika
tekanan darah belum turun dosis dilanjutkan 50 mg – 100 mg pada 90 – 120 menit
kemudian.
2. Calcium-channel blocker (Nicardipine), dosis oral awal pemeberian 30 mg, dan dapat
diulangi setiap 8 jam sampai target tekanan darah tercapai. Onset aksi dimulai ½ – 2
jam.
3. Beta blocker (Labetalol), non selektif beta blocker, dosis oral awal 200 mg, dan
diulang 3-4 jam. Onset kerja dimulai pada 1 – 2 jam.
4. Simpatolitik (Clonidine), dengan dosis oral awal 0.1 – 0.2 mg dosis loading
dilanjutkan 0.05 – 0.1 mg setiap jam sampai target tekanan darah tercapai. Dosis
maksimum 0.7 mg.
Manajemen farmokologisBeberapa obat yang umum digunakan sebagi berikut :
ObatMekanism
e kerjaDosis
Ons
etDurasi Keadaan klinis
Tindakan
pencegahan
Sodium
nitopussi
de
Langsung
pada arteri
dan
vasodilator
vena
0,25-10
mcg/kg/
mnt
1-2
mnt
3-4
mnt
setelah
infus
dihenti
kan
Digunakan dalam
semua situasi klinis
hipertensi emergensi.
Hati2 pada keadaan
emergensi neurologis,
karena dapat
menyebabkan
penurunan tekanan
darah cerebral dan
pada ACS dapat
menyebabkan koroner
menjadi kaku
Meningkatkan
tekanan
intrakranial
serebrovaskul
er dan
insufisiensi
cardiovaskule
r, kerusakan
ginjal,
kerusakan
hepar
Nitroglyc
erin
Vasodilato
r vena
5-200
mcg/kg/
mnt
2-5
mnt
5-10
mnt
Umumnya digunakan
untuk ACS dan ADHF
Baik
digunakan
untuk inhibitor
phosphodiest
erase-5,
meningkatkan
tekanan
intrakranial,
infark miokard
dengan ST
elevasi
daerah
inferior.
Labetalol
Kombinasi
alpha dan
beta bloker
adrenergik
Iv bolus:
20 mg
selama
2 mnt
Infus: 1-
2mg/
mnt
2-5
mnt
sete
-lah
bol-
us
2-4
jam
setelah
infus
dihenti-
kan
Diseksi aorta, dan
neurologis emergensi
Bradikardi
berat, asma
bronkial, baru
menggunakan
kokain,
pheochromo-
cytoma.
Dekompensas
i gagal
jantung akut
Fenoldo
pam
Reseptor
agonis
dopamin-1
perifer
0,1-1,6
mcg/kg/
mnt
10
mnt
1 jam
setelah
dihenti
kan
Sangat berguna pada
hipertensi emergensi
dengan komplikasi
gagal ginjal
Alergi sulfite,
hipokalemia
Nicardipi
ne
dihydorpyri
dine
calcium
channel
blcker,
vasodilator
5-15
mg/ hr
10
mnt
2-6
jam
Post
operasihipertensidann
eurologis
emergensi
Stenosis aorta
yang parah
Kerusakan
renal
Dekompensas
i gagal
jantung akut
Clevidipi
ne
Ultra short
acting
dihydorpyri
dine
calcium
channel
blcker
2-16
mcg/kg/
mnt
1-5
mnt
5 menit
setelah
dihenti
kan
Berpotensi digunakan
pada kebanyakan
hipertensi emergensi;
studi ekstensif pada
post operasi pasien
bedah jantung
Alergi produk
kedele dan
telur
Stenosis aorta
yang parah
Dekompensas
i gagal
jantung akut
Hydralaz
ine
Vasodilato
r langsung
pada arteri
Iv bolus:
10-20
mcg IV
10-
20
mnt
1-4
jam
Pre eklampsia dan
eklamsia
Hipertensi emergensiEmergensi neurologis
Ensefalopati hipertensi: Pada pasien dengan ensefalopati hipertensi, otoregulasi
vaskuler cerebral terganggu, mengakibatkan kerusakan organik otak . Aliran darah cerebral
merupakan otoregulasi dalam batas spesifik – seperti peningkatan tekanan darah,
vesokonstriksi cerebral terjadi untuk mencegah hiperperfusi . Bagaimanapun, ketika mean
arterial pressure jauh lebih tinggi dibandingkan batas atas otoregulasi (biasanya sekitar 180
mmHg untuk pasien hipertensi), vasodilatasi cerebral yang terjadi mengakibatkan perfusi
yang berlebihan . Sawar darah otak yang terganggu mengakibatkan perdarahan mikro dan
edema cerebral. Gejala termasuk onset yang tersembunyi seperti letargi, bingung, sakit
kepala berat, gangguan penglihatan dan kejang, yang biasanya membaik dalam 24-48 jam
dengan menurunkan tekanan darah. Perdarahan retina, eksudat atau papiledema
ditemukan pada pemeriksaan funduskopi. Jika tidak ditangani segera, keadaan ini dapat
berlanjut menjadi perdarahan cerebral dan kematian.
Perawatan harus bertujuan menurunkan tekanan darah sebesar 20-25% atau tekanan
darah diastolik 100-110 mmHg dalam 1-2 jam pertama . Obat yang umum digunakan
termasuk nicardipine, labetalol, clevidipine dan fenoldopam. Sodium nitroprusside sering
digunakan meskipun berpotensi terjadinya peningkatan tekanan intrakranial. Pengurangan
cepat tekanan darah tidak dibenarkan karena hal ini dapat menyebabkan hipoperfusi otak
sehingga memperburuk status neurologis dan stroke (Vaughan CJ, Delanty N 2000).
Kecelakaan Cerebrovascular (CVA): Berbeda pada pasien dengan hipertensi
ensefalopati, pada pasien dengan CVA didapatkan defisit neurologis fokal
akut. Managemen optimal tekanan darah pada pasien ini belum diketahui dengan baik.
Pada pasien dengan stroke iskemik, penurunan cepat pada tekanan darah dapat
menyebabkan hipoperfusi daerah peri-infark, mengakibatkanperluasan infark. Oleh karena
itu, pengobatan anti hipertensi diberikan jika tekanan darah diastolik > 120 mmHg atau
tekanan darah sistolik > 220 mmHg . "Permissive" hipertensi diperbolehkan selama 24-48
jam [46]. Pada pasien yang menerima trombolitik, monitoring tekanan darah yang lebih
agresif (tekanan darah sistolik <180 mmHg dan tekanan darah diastolik <110 mmHg)
dianjurkan untuk mencegah konversi hemoragik (Adams HP Jr, Adams RJ, Brott T, del
Zoppo GJ, Furlan A, et al. 2003) . Pada pasien dengan stroke hemoragik, American Heart
Association merekomendasikan untuk mempertahankan tekanan arteri rata-rata <130
mmHg (Broderick JP, Adams HP Jr, Barsan W, Feinberg W, Feldmann E, et al. 1999).
Pada pasien dengan perdarahan subarachnoid, target tekanan darah yang optimal
masih kontroversi. Sementara tekanan darah tinggi dapat mengakibatkan perdarahan
berulang, penurunan cepat pada tekanan darah dapat berakibat pada menurunnya perfusi
serebral karena vasospasme arteriol mengakibatkan iskemia otak. Sementara beberapa
studi menyarankan untuk mempertahankan tekanan rata-rata arteri sistolik 15% di atas
baseline, yang lain menyarankan pendekatan yang lebih agresif untuk menjaga tekanan
darah sistolik puncak 20% di bawah baseline (Albon, 2003).
Pada pasien dengan kecelakaan serebrovaskular, labetalol atau nicardipine
baik digunakan sebagai obat pilihan pertama karena obat inimemiliki efek minimal terhadap
aliran darah otak dan tidak menyebabkan hipoperfusi. Nicardipine sering digunakan dalam
perdarahan subarachnoid untuk mencegah vasospasme arteriol serebral
dan dapat mempertahankan perfusi serebral (Sen J, Belli A, Albon H, Morgan L, Petzold A,
et al. 2003).
Emergensi JantungKeadaan hipertensi emergensi dengan keterlibatan sistem kardiovaskular dapat
hadir dengan tiga entitas klinis: Sindrom Koroner Akut (ACS), dekompensasi gagal jantung
akut (ADHF) dan diseksi aorta.
Sindrom koroner akutPasien dengan ACS biasanya datang dengan keluhan nyeri dada prekordial.
Spektrum yang terlihat bisa berkisar dari angina tidak stabil, infark miokard non ST-segmen
elevasi atau infark miokard ST-segmen elevasi. Elektrokardiogram mungkin menunjukkan
tanda-tanda hipertrofi ventrikel kiri dan /atau perubahan ST-segmen dinamis yang sesuai
dengan iskemia. Pada pasien ini, serangan adrenergik akut berakibat pada peningkatan
tekanan darah dan takikardia dan peningkatan kebutuhan oksigen miokard. Pada beberapa
pasien, elevasi akut tekanan darah dengan sendirinya dapat mengakibatkan
ketidakcocokan penyediaan kebutuhan dari peningkatan beban kerja jantung, menyebabkan
elevasi enzim jantung. Tujuan dari pengobatan adalah secara bertahap menurunkan
tekanan darah pasien untuk mengoptimalkan fungsi jantung dan mengurangi gejala.
Intravena (IV) nitrogliserin dan sublingual morfin bisa diberikan segera selagi menentukan
penanganan selanjutnya. Obatseperti nitrogliserin IV dan labetalol IV adalah pilihan yang
baik dalam situasi ini. Semua obat ini merupakan obat-obat anti-angina yang mengurangi
beban kerja jantung secara signifikan dan memperbaiki gejala. Karena pasien dengan
iskemia jantung akut rentan untuk mengalami aritmia, labetalol memiliki keunggulan teoritis
lebih dari obatlain karena memiliki beta-blocking. Nitroprusside intravena sebaiknya dihindari
dalam skenario ini karena berpotensi memperburuk iskemia akibat steal phenomenon
koroner (Mann T, Cohn PF, Holman LB, Green LH, Markis JE, et al. 1978).
Dekompensasi akut gagal jantung kongestifPasien dengan ADHF biasanya datang dengan onset akut dyspnea dengan atau
tanpa nyeri dada. Sejumlah skenario klinis dapat menyebabkan ADHF dan hipertensi
emergensi. Diseksi aorta akut (dibahas kemudian) dapat melibatkan katup aorta dan
menyebabkan insufisiensi aorta akut, yang dapat memicu gagal jantung akut dan edema
paru. Pasien dengan stenosis arteri ginjal yang mendasar dapat
mengalamikejadian hipertensi akut yang dapat menyebabkan ADHF terlihat sebagai "flash
pulmonary edema". Pasien-pasien ini bisa relatif euvolemik. Pasien yang memiliki disfungsi
sistolik dan /atau diastolik yang mendasari dan riwayat hipertensi yang tidak terkontrol
dapat datang dengan kejadianhipertensi akut yang menyebabkan edema paru akut. Pasien-
pasien ini biasanya kelebihan beban volume. Pasien yang hadir de novo dengan hipertensi
akut dan "Flash pulmonary edema" harus diselidiki adanya stenosis arteri ginjal. Loop
diuretik intravena (furosemid, bumetanide dan torsemide) harus diberikan pada pasien yang
hipervolemik dan dapat menyebaban pengurangan BP. Pemberian diuretik yang bijaksana
harus dilakukan, khususnya pada pasien yang tidak memiliki kelebihan volum yang
signifikan karena hal ini dapat menyebabkan dehidrasi dan cedera ginjal. Nitroprusside dan
nitrogliserin merupakan obat yang sangat baik untuk manajemen tekanan darah pada
ADHF. Karena penggunaan nitroprusside membutuhkan pemantauan tekanan darah invasif
dan memerlukan perawatan ICU, nitrogliserin adalah obat yang dipilih jika fasilitas ini tidak
tersedia. Disfungsi ginjal berat dan penggunaan phosphodiesterase inhibitor yang baru
belakangan dilakukan bisa menghalangi penggunaan nitroprusside dan nitrogliserin.
Intravena labetalol dan nicardipine relatif kontraindikasi pada pasien dengan disfungsi
sistolik, mengingat efek inotropik negatif. Namun, obat-obat inidapat digunakan jika obat lini
pertama tidak efektif atau kontraindikasi. Pengurangan cepat dari tekanan darah sekitar 20%
dalam satu jam pertama cukup untuk meningkatkan kinerja jantung dan pengurangan lebih
lanjut sampai tekanan darah normal dapat dicapai selama 6 jam berikutnya.
Diseksi aorta akutPasien dengan diseksi aorta akut datang dengan keluhan nyeri dada akut.
Pengukuran tekanan darah lengan tidak merata dan / atau mediastinum melebar pada sinar-
X dada merupakan petunjuk untuk diagnosis. Ketika kecurigaan klinis kuat,
manajemen tekanan darah tidak boleh ditunda sambil menunggu pemeriksaan diagnostik
definitif. Tidak seperti kebanyakan situasi yang terlihat lainnya, tujuan dalam situasi ini
adalah mengurangi dengan cepat tekanan darah ke tingkat normal. Nitroprusside intravena
adalah obat yang sangat baik sebagai lini pertama. Jika ini yang dipilih, pemberian beta
blocker diperlukan (Chen K, Varon J, Wenker OC, Judge DK, Fromm RE Jr, et al.
1997). Obat lain yang juga efektif meliputi labetalol dan nicardipine. Jika diagnosis tipe A
diseksi aorta yang dibuat, maka manajemen definitif adalah operasi, yang harus
segera dilakukan.
Cedera Ginjal AkutMemburuknya fungsi ginjal selama manajemen hipertensi emergensi
merupakan kejadian umum, terutama pada pasien dengan penyakit ginjal kronis. Hal ini
sering kali terjadi akibat dari penurunan tajam tekanan darah yang diakibatkan oleh obat
daripada komplikasi tekanan darah tinggi akut [52]. Tingkat ideal dalam menurunan tekanan
darah untuk perlindungan ginjal masih belum diketahui. Strategi yang direkomendasikan
adalah pengurangan 10-20% tekanan arteri rata-rata selama satu atau dua jam pertama dan
kemudian lebih lanjut 10-15% selama 6-12 jam berikutnya.
Obat ideal yang digunakan untuk keadaan hipertensi emergensi pada pasien dengan
penyakit ginjal kronis masih kontroversi. Nitroprusside sering digunakan, namun obat ini
meningkatkan risiko toksisitas sianida pada pasien dengan gagal ginjal. Fenoldopam, agonis
dopamin1,memperlihatkan perbaikannatriuresis,diuresis,dan creatinin clearancedibandingka
n dengan nitroprusside dalam beberapa studi dan saat ini lebih disukai daripada
nitroprusside pada pasien dengan gagal ginjal.
Hipertensi Emergensi Selama KehamilanPasien dengan hipertensi akibat kehamilan (PIH) dapat datang dengan pre-eklampsia
atau eklampsia. Terapi awal dengan magnesium sulfat direkomendasikan sebagai
obat profilaksis kejang [53]. Melahirkan adalah pengobatan definitif untuk eklampsia [53].
Penurunan awal tekanan darah sampai kisaran yang aman, berhati-hati untuk menghindari
tekanan darah turun terlalu jauh merupakan hal penting untuk mencegah pendarahan otak
tanpa mengorbankan aliran darah otak. American College of Obstetricians and
Gynecologists menyarankan untuk mempertahanakan tekanan darah sistolik antara 140-160
mmHg dan tekanan darah diastolik antara 90-105 mmHg [53]. Hydralazine dan nifedipin oral
telah digunakan pada hipertensi akibat kehamilan. Namun, data terakhir menunjukkan
penggunaan IV labetalol atau nicardipine, yang keduanya mudah titrasi, aman
dan efektif dalam menangani PIH.
Hipertensi Emergensi akibat Kelebihan katekolamin
Hipertensi emergensi akibat kelebihan katekolamin paling sering disebabkan oleh tiga
skenario klinis berikut: pheochromocytoma, krisis monoamine oxidase inhibitor dan
penyalahgunaan obat-obatan seperti kokain [52]. Pengobatan dimulai dengan alpha blocker
(phentolamine intravena) dan beta blockers ditambahkan hanya jika diperlukan. Beta
blockers tidak boleh dimulai pertama karena blokade reseptor adrenergik vasodilatasi perifer
secara teoritis dapat menyebabkan stimulasi dilindungireseptor alfa adrenergik,
mengakibatkan elevasi tinggi tekanan darah. Pada hipertensi yang diinduksi kokain, beta
bloker yang terisolasi meningkatkan vasokonstriksi koroner, denyut jantung dan tekanan
darah. Mengontrol tekanan darah yang memadai dengan obat lain seperti nicardipine,
fenoldopam, verapamil atau phentolamine yang dikombinasi dengan verapamil dapat
digunakan.
8. Komplikasi
Komplikasi dari krisis hipertensi adalah :
1. CAD (Coronary Arteri Disease)
2. CRF (Chronic Renal Failure)
3. CHF (Congestif Heart Failure)
4. CVA (Cerebral Vascular Accident)
Daftar pustaka
1. David LS, Sharon EF, Colgan R.Hypertensive Urgencies and Emergencies. Prim Care
Clin Office Pract 2006;33:613-23.
2. Vaidya CK, Ouellette CK. Hypertensive Urgency and Emergency. Hospital Physician
2007:43-50.
3. Centers for Disease Control and Prevention (CDC) (2011) Vital signs: prevalence,
treatment, and control of hypertension--United States, 1999-2002 and 2005-2008.
MMWR Morb Mortal Wkly Rep 60: 103-108.
4. Aggarwal M, Khan IA (2006) Hypertensive crisis: hypertensive emergencies and
urgencies. CardiolClin 24: 135-146.
5. Zampaglione B, Pascale C, Marchisio M, Cavallo-Perin P (1996) Hypertensive
urgencies and emergencies. Prevalence and clinical presentation. Hypertension 27:
144-147.
6. Chobanian AV, Bakris GL, Black HR, Cushman WC, Green LA, et al. (2003) Seventh
Report of the Joint National Committee on prevention, detection, evaluation and
treatment of high blood pressure. Hypertension 42: 1206-1252.
7. Marik PE, Varon J (2007) Hypertensive crises: challenges and management. Chest
131: 1949-1962.
8. Cherney D, Straus S (2002) Management of patients with hypertensive urgencies and
emergencies: a systematic review of the literature. J Gen Intern Med 17: 937-945.
9. Pollack CV, Rees CJ (2008) Hypertensive Emergencies: Acute Care Evaluation and
Management. Emergency Medicine Cardiac Research and Education Group 3.
10. Friederich JA, Butterworth JF 4th (1995) Sodium nitroprusside: twenty years and
counting. AnesthAnalg 81: 152-162.
11. Robin ED, McCauley R (1992) Nitroprusside-related cyanide poisoning. Time (long past
due) for urgent, effective interventions. Chest 102: 1842-1845.
12. Griswold WR, Reznik V, Mendoza SA (1981) Nitroprusside-induced intracranial
hypertension. JAMA 246: 2679-2680.
13. Anile C, Zanghi F, Bracali A, Maira G, Rossi GF (1981) Sodium nitroprusside and
intracranial pressure. ActaNeurochir (Wien) 58: 203-211.
14. Mann T, Cohn PF, Holman LB, Green LH, Markis JE, et al. (1978) Effect
of nitroprusside on regional myocardial blood fow in coronary artery disease. Results in
25 patients and comparison with nitroglycerin. Circulation 57: 732-738.
15. Cohn JN, Franciosa JA, Francis GS, Archibald D, Tristani F, et al. (1982) Effect of
short-term infusion of sodium nitroprusside on mortality rate in acute myocardial
infarction complicated by left ventricular failure: results of a Veterans Administration
cooperative study. N Engl J Med 306: 1129-1135.
16. Pasch T, Schulz V, Hoppelshäuser G (1983) Nitroprusside-induced formation of
cyanide and its detoxication with thiosulfate during deliberate hypotension. J
Cardiovasc Pharmacol 5: 77-85.
17. Bussmann WD, Kenedi P, von Mengden HJ, Nast HP, Rachor N (1992) Comparison of
nitroglycerin with nifedipine in patients with hypertensive crisis or severe hypertension.
Clin Investig70: 1085-1088.