Hiper-Realitas Masyarakat Konsumer

14
Hiper-realitas Masyarakat Konsumer: Lumpuhnya Kesadaran di Tengah Derasnya Gelombang Modernisasi melalui Sistem Komoditas Kapitalisme Oleh: Ahmad Afif Hidayatullah (110710021) Dewasa ini, masyarakat modern sedang dilanda krisis berupa “ketidaksadaran kolektif” akan terjadinya proses “pencetakan kembali diri” dan dekonstruksi “makna kehidupan” sebagai akibat menjelmanya dunia “realitas semu.” Sehari-hari kita melihat serangkaian tayangan televisi mulai dari sinetron, infotainment, komedi, iklan-iklan, hingga berita-berita yang menyajikan informasi paling aktual. Di sisi lain, kita melihat banyak muda-mudi yang dengan penuh gairah berlomba menampilkan model-model gaya pakaian produk-produk baru sebagaimana disajikan di banyak pusat perbelanjaan modern (mall). Dengan mengaca kembali pada kenyataan di atas, sadarkah bahwa mereka dan bahkan kita ini tengah memasuki gerbang dunia “realitas semu” ini? Pada dasarnya, penjelmaan dunia “realitas semu” ini merupakan ekses dari perkembangan ekonomi kapitalisme yang mewabah hampir di seluruh belahan dunia. Diskursus kapitalisme yang ditopang oleh kemajuan teknologi informasi, komoditas, dan tayangan-tayangan di berbagai media massa telah memasifkan proses dekonstruksi atas diri manusia sehingga memungkinkannya untuk

Transcript of Hiper-Realitas Masyarakat Konsumer

Page 1: Hiper-Realitas Masyarakat Konsumer

Hiper-realitas Masyarakat Konsumer:

Lumpuhnya Kesadaran di Tengah Derasnya Gelombang Modernisasi

melalui Sistem Komoditas Kapitalisme

Oleh: Ahmad Afif Hidayatullah (110710021)

Dewasa ini, masyarakat modern sedang dilanda krisis berupa

“ketidaksadaran kolektif” akan terjadinya proses “pencetakan kembali diri” dan

dekonstruksi “makna kehidupan” sebagai akibat menjelmanya dunia “realitas

semu.” Sehari-hari kita melihat serangkaian tayangan televisi mulai dari sinetron,

infotainment, komedi, iklan-iklan, hingga berita-berita yang menyajikan informasi

paling aktual. Di sisi lain, kita melihat banyak muda-mudi yang dengan penuh

gairah berlomba menampilkan model-model gaya pakaian produk-produk baru

sebagaimana disajikan di banyak pusat perbelanjaan modern (mall). Dengan

mengaca kembali pada kenyataan di atas, sadarkah bahwa mereka dan bahkan kita

ini tengah memasuki gerbang dunia “realitas semu” ini?

Pada dasarnya, penjelmaan dunia “realitas semu” ini merupakan ekses dari

perkembangan ekonomi kapitalisme yang mewabah hampir di seluruh belahan

dunia. Diskursus kapitalisme yang ditopang oleh kemajuan teknologi informasi,

komoditas, dan tayangan-tayangan di berbagai media massa telah memasifkan

proses dekonstruksi atas diri manusia sehingga memungkinkannya untuk

merefleksikan pesona citra-citra (image) komoditas dan tayangan-tayangan itu ke

dalam dirinya sendiri. Dalam konteks demikian, kapitalisme telah menjadi

ideologi yang mengaktivasi “irasionalitas” perilaku manusia menjadi semakin

konsumtif.

Ideologi kapitalisme yang dipahami di sini, meminjam kata-kata Yasraf

Amir Piliang “tidak saja mengharuskan arus produksi dan konsumsi yang konstan,

akan tetapi konstan dalam kecepatan yang bersaing.” Dalam hal ini, kata kunci

yang digunakan untuk memahami diskursus kapitalisme mutakhir ialah

“diferensiasi”. Istilah diferesiasi secara sederhana dapat dipahami sebagai proses

berkelanjutan untuk mengkostruksi citra-citra pada produk yang akan

membedakan satu produk dengan produk lainnya. Dengan mengacu pada

Page 2: Hiper-Realitas Masyarakat Konsumer

pengertian ini, diskursus kapitalisme selanjutnya dikembangkan melalui proses-

proses peremajaan pada segala aspek kehidupan dalam wujud komoditas. Adapun

perwujudan dari “peremajaan” di atas dapat kita jumpai pada fenomena pencarian

gaya hidup zaman sekarang di pusat-pusat kebugaran (fitness), salon kecantikan,

pelatihan kepribadian, pusat perbelanjaan (mall), dan tempat-tempat lain yang

membangkitkan hasrat manusia konsumer akan keremajaan. Oleh karena itu,

semakin teranglah bahwa keremajaan yang dewasa ini didambakan banyak

kalangan (bahkan oleh orang yang sudah tua) sudah menjadi sebuah komoditas ala

kapitalisme. Sedangkan komoditas ini yang disenantiasa dibubuhi citra-citra pada

gilirannya akan menjadi pondasi-pondasi penyangga dunia “realitas semu.”

Ringkasnya, apa yang sehari-hari dipertontonkan secara berulang-ulang

pada masyarakat dewasa ini (seperti model pakaian, bentuk ideal tubuh, gaya

hidup modern, dan sebagainya) merupakan sebuah realitas semu atau hiper-

realitas; sebuah simulacrum raksasa yang benar-benar terlepas dari realitas, yang

lahir dari proses simulasi atas realitas yang justru menggantikan yang riil (Oberly,

2003, dalam Mantra, Kompas, 13/04/2012). Dalam keadaan demikian, maka garis

demarkasi antara kepalsuan (sebagaimana citra-citra yang ditampilkan komoditas

kapitalisme) dan realitas (apa yang benar-benar menjadi kebutuhan manusia)

menjadi semakin kabur – untuk tidak mengatakannya hilang sama sekali. Dalam

medan pemikiran Baudrillard, penciptaan dunia kebudayaan dewasa ini mengikuti

satu model produksi yang disebutnya “simulasi” (penciptaan model-model nyata

yang tanpa asal-usul atau realitas) hiper-realitas (Baudrillard, 1993, dalam

Yasraf).

Model simulasi berbeda dengan model representasi Ferdinand Saussure.

Representasi model Saussurean adalah semiologi signifikasi, yaitu sistem tanda

sebagai entitas yang memiliki dua sisi penanda (wahana-tanda) dan petanda

(makna) yang selalu merujuk pada realitas sehingga wahana-tanda dapat ditukar

dengan makna (Eco, 2009). Jika representasi berpijak pada prinsip kesepadanan

antara tanda dan realitas, maka sebaliknya simulasi berangkat dari utopia prinsip

kesepadanan ini sehingga menghilangkan setiap rujukan realitas dari tanda

(Baudrillard, 1983, dalam Dodi Mantra). Melalui penerapan model simulasi ini,

Page 3: Hiper-Realitas Masyarakat Konsumer

maka manusia seperti menyaksikan fatamorgana yang dikiranya nyata, padahal

sesungguhnya apa yang dilihatnya itu hanyalah khayalan karena bias hasil

pengamatannya saja. Dengan kata lain, hiper-realitas sebagai hasil dari reproduksi

simulasi yang terus-menerus atas realitas pada akhirnya akan menjadi bentuk

dekonstruksi dari representasi itu sendiri; yaitu simulasi menggusur sesuatu yang

benar-benar riil sehingga menciptakan simulacrum raksasa atau hiper-realitas

yang sama sekali tercerabut dari akar realitasnya. Dengan memakai analogi peta –

yang pada awalnya merupakan representasi simbolik dari keadaan territorial

sesungguhnya di lapangan nyata, maka dalam penerapan model simulasi ini

fungsi peta terbalik menjadi keadaan teritorial yang nyata itu dan sebaliknya

territorial menjadi peta yang berupa simbol-simbol maya.

Oleh karena itulah, sebagaimana dijelaskan sebelumnya Baudlirrad

menekankan bahwa simulasi bukanlah dianggap sekadar bentuk kepura-puraan

(dissimalation). Hal ini dikarenakan realitas dalam kepura-puraan tetaplah utuh,

tetap terdapat perbedaan jelas kepalsuan dan realitas. Lebih jauh simulasi

menimbulkan problem hilangnya antara “benar” dan “salah”, antara “yang

kenyataan” dan “yang fatamorgana”, antara “yang peta” dan “yang territorial”.

Sebagai sebuah hiper-realitas, ideologi kapitalisme mutakhir yang bertopang pada

teknologi media dan informasi merupakan sebuah simulacrum raksasa yang tiada

habis direproduksi melalui simulasi tayangan iklan-iklan, infotainment, sinetron,

film, dan sebagainya melalui media televisi, majalah, tabloid, koran, dan internet.

Sebagai akibatnya, realitas-realitas (teritorial) sosio-ekonomi, budaya, dan politik

kini mengalami kontaminasi yang akut dengan model-model (peta) khayali yang

ditawarkan melalui media informasi tersebut. Dalam hal ini, dapat dinyatakan

bahwa tempat seperti Hollywood, pusat-pusat perbelanjaan (mall), hingga

bintang-bintang layar kaca boyband asal Korea yang belakangan mengalami

booming merupakan model-model yang membangun citra-citra, nilai-nilai, dan

makna-makna yang menentukan dalam kehidupan sosial, budaya, atau politik.

Dalam diskursus simulasi di atas, dapat dibayangkan hampir sudah tidak

tersisa lagi ruang realitas yang “steril” dari penetrasi berbagai variasi simulasi ala

kapitalisme mutakhir. Apalagi perkembangan pesat teknologi informasi (terutama

Page 4: Hiper-Realitas Masyarakat Konsumer

berupa media cyber-electronic) sekarang terbukti telah mampu mengatasi

keterbatasan spasio-temporal manusia. Melalui media cyber-electronic misalnya,

manusia memungkinkan menjalin hubungan dengan rekannya di tempat dan

waktu yang berlainan, mampu mengakses kejadian/peristiwa yang terjadi di luar

tempat ia berada, dan berbagai macam kemungkinan lain yang tidak

dimungkinkan jika ia hanya terpaku pada keadaan spasio-temporalnya yang

terbatas. Seakan-akan, keadaan riil dari kawasan teritorial yang terbatas sekat-

sekat geografis ini telah mengalami penyusutan, “terlipat-lipat” hingga tak lebih

berupa layar kaca atau memory bank. Dengan demikian, daya jangkau dari

teknologi informasi yang hampir tak terbatas itu telah merusak kesenyapan “dunia

sesungguhnya” dengan aneka kegaduhan informasi yang tidak dapat dibedakan

secara jelas antara “keaslian” dan “kepalsuannya.”

Dalam konteks perkembangan kapitalisme sekarang inilah, Baudrillard

melihat bahwa penggunaan ruang begitu didominasi oleh proses konsumerisme,

sirkuit informasi (media massa, iklan), dan ekstase komunikasi (Yasraf Amir

Piliang). Saat ini, orang merasa perlu membeli blackberry, meskipun sebenarnya

ia cukup berkomunikasi jarak jauh dengan handphone biasa. Hal ini semakin

memperjelas kenyataan bahwa manusia semakin takhluk pada gemilau

materialitas yang dipoles dalam “bungkus” citra “modern, stylish, elegan, keren”

oleh mesin-mesin kapitalisme.

Ringkasnya dapat dinyatakan, manusia yang awal mulanya hanya

melakukan konsumsi berdasarkan kebutuhan riilnya sekarang sudah berubah

menjadi manusia yang terperdaya oleh simulacrum raksasa jelmaan “kerakusan”

kapitalisme yang bermaksud “mengembangbiakkan” hasrat-hasrat manusia untuk

memuaskan segala keinginannya yang tanpa batas. Meskipun godaan materi yang

ditawarkan kapitalisme tersebut penuh tipuan dan kesemuan, anehnya manusia –

bahkan dalam tataran kolektif – menyadarinya sebagai kenyataan dan sebaliknya

terhadap dunia riilnya, ia seakan-akan seperti penderita amnesia yang melupakan

karakter aslinya.

Budaya konsumer: dunia fantasi yang “nyata”

Page 5: Hiper-Realitas Masyarakat Konsumer

Menjamurnya budaya konsumer yang lahir dari hasil simulasi komodifikasi

produk kapitalisme berkembang hingga mencapai titik ekstrim menjadi sebuah

simulacrum murni yang tidak lagi merujuk pada realitas. Ketika komoditas

kapitalisme yang dibumbui citra-citra “menawan” itu menjadi simulacrum, model

simulasi yang menampilkan citra-citra produk kapitalisme ini menjadi lebih nyata

dari pada kenyataan “apa adanya” produk tersebut sebelum “ditempeli” citra-citra.

Televisi, majalah, koran, radio, internet, dan beberapa media informasi lainnya

adalah wahana di mana proses simulasi tersebut dijalankan sehingga

memproduksi simulacra yang menopang hiper-realitas budaya konsumerisme

masyarakat.

Dapat kita cermati bagaimana di dalam hiper-realitas budaya konsumerisme

menjadi sesuatu yang nyata, bahkan lebih nyata dari kenyataan yang mengacu

pada karakter asli masyarakat itu sendiri. Kenyataan yang sesungguhnya tentang

karakter asli manusia (subjek) ialah tindakan konsumsi yang dilakukan secara

wajar sesuai tuntutan kebutuhannya (objek). Namun, seiring hadirnya sistem

komoditas kapitalisme, manusia tidak bertindak sebagai “subjek” yang

mengontrol “objek”, tapi justru terbalik menjadi dikontrol oleh “objek”. Manusia

kini hidup di dalam sebuah “ketamakan” konsumsi, sesuai irama nafsu dan

keinginan yang sengaja dikembangbiakkan oleh sistem kapitalisme untuk

mengeruk keuntungan dari komodifikasi produknya. Sekarang ini, dalam diri

manusia berlaku sebuah keinginan-keinginan akan objek-objek yang bukan

disebabkan kebutuhan (ketidakcukupan alamiah), melainkan disebabkan oleh

keinginan semu yang sengaja diciptakan oleh sistem kapitalisme sehingga subjek

secara tidak sadar meyakininya dan memanifestasikannya dalam tindakan

konsumtif yang di ambang batas kewajaran (irasional).

Di sinilah, terlihat bagaimana budaya masyarakat konsumer sebagai sebuah

hiper-realitas menjadi sistem pertukaran penanda dengan penanda yang kosong

yang tidak memiliki rujukan pada realitas, sehingga pada akhirnya penanda

tersebut tidak dapat ditukar dengan petanda (makna) yang relevan. Relasi antara

penanda dengan penanda dalam ruang hiper-realitas itu hanya menghasilkan

makna kosong, semu, dan menipu kesadaran manusia sesuai karakter aslinya.

Page 6: Hiper-Realitas Masyarakat Konsumer

Keadaan yang dirasakan dalam diri manusia berupa ketegangan keinginan akan

objek-objek merupakan sebuah penanda yang merujuk pada penanda lain, yaitu

citra-citra yang menampilkan simbol-simbol gaya hidup seperti, modern (tidak

kuno), trendy, casual, maskulin, feminim, dan sebagainya.

Untuk lebih jelasnya, kita ambil contoh mengenai standar kecantikan

perempuan Indonesia dewasa ini yang dibangun dan ditopang oleh industri

adalah perempuan berkulit putih dan bertubuh langsing. Oleh karena itu demi

mendapatkan kulit putih, remaja putri sekarang pada memakai produk pemutih

dan menghindari kulit dari terpaan sinar matahari. Padahal, sinar matahari

mengaktifkan vitamin D di kulit yang akan membantu penyerapan kalsium di

tulang. Sementara, demi bentuk tubuhnya yang diidamkan, para remaja putri rela

diet superketat sehingga berat tubuhnya di bawah berat normal (langsing).

Padahal, sejatinya berat badan yang cukup justru akan melindungi tulang dari

kerapuhan. Tidak cukup melakukan diet, mereka menggunakan obat-obatan

tertentu, khususnya obat pelangsing yang dikonsumsi serampangan. Padahal

konsumsi serampangan dari obat pelangsing tersebut dapat memicu menopause

dini (Kompas, 11/10/2011).

Dari contoh di atas, dapat kita cermati bagaimana standar kecantikan “putih-

langsing” merupakan sebuah simulacrum yang lahir dari simulasi sinetron-

sinetron dan tayangan iklan produk-produk kecantikan perempuan. Pergeseran

mengenai “standar kecantikan” ini bisa kita lihat pada tahun-tahun sebelumnya, di

mana pada tahun 2012 sosok perempuan ideal disimulasikan seperti aktris Agnes

Monica, Luna Maya, dan Dewi Persik berbeda dengan sosok Chitra Dewi atau

Titin Sumarni di sekitar tahun 1950-1960. Pergeseran itu juga terjadi misalnya

dengan membandingkan “standar kecantikan” perempuan tradisional yang lebih

menekankan pada kelembutan dan kehalusan tata perilakunya dengan perempuan

modern yang lebih menonjolkan sisi seksualitas tubuh. Dalam konteks perempuan

modern di atas, terlihat bagaimana sebuah penanda “kulit putih” dan “tubuh

langsing” ditukar dengan penanda “produk-produk kecantikan.” Kemudian,

penanda “produk kecantikan” tersebut ditukar kembali dengan penanda

“kecantikan” yang ideal bagi perempuan. Bahkan, akhir-akhir ini kecantikan

Page 7: Hiper-Realitas Masyarakat Konsumer

perempuan itu pun disimulasikan kembali menjadi “berkulit coklat.” Beginilah,

penanda tersebut saling berkelindan membentuk suatu jaring-jaring yang rapuh

tanpa makna yang otentik, namun terbukti berhasil menjerat “subjek” perempuan

untuk terus-menerus mengkonsumsi produk-produk buatan sistem komoditas

kapitalisme.

Bagi Baudrillard (dalam Mantra, 2012), hiper-realitas sendiri merupakan

sebuah bentuk baru dari dominasi. Dewasa ini, gelombang modernisasi di bawah

cengkeraman kapitalisme atas dasar pertukaran penanda dengan penanda telah

memicu krisis kesadaran dalam kehidupan sosial-budaya. Tidak sedikit, para

manusia yang menjadi korban. Sebagaimana ditunjukkan di atas, para remaja putri

menjadi korban kapitalisme dengan mengonsumsi produk-produk kecantikan

yang pada dasarnya membahayakan kesehatan tubuhnya. Hal ini tentunya tidak

dapat dibiarkan karena akan mengancam kelanjutan generasi penerus bangsa.

Namun, perlawanan terhadap hiper-realitas kapitalisme tersebut tidaklah semudah

membalik telapak tangan. Bahkan, tidak menutup kemungkinan perlawanan

tersebut justru menjadikan sistem komoditas kapitalisme semakin resisten.

Namun, juga tidak berarti hiper-realitas itu telah menihilkan segala bentuk

gerakan perlawanan. Melalui artikelnya tentang hiper-realitas, Dodi Mantra

(Kompas, 13/04/2012) yang mengutip Baudrillard menawarkan satu bentuk

perlawanan pada hiper-realitas, yaitu penolakan untuk berpartisipasi. Dalam

pandangan penulis, bentuk perlawanan tersebut di arahkan pada media yang

fungsi aslinya telah dibelokkan oleh sistem komoditas total kapitalisme. Adapun

bentuk gerakan perlawanan tersebut ialah dengan melakukan pembongkaran

terhadap simulasi dan simulacra yang menopang hiper-realitas sekaligus berupaya

untuk tidak terserap secara tidak sadar ke dalamnya.

Dengan mengacu pada karakteristik hiper-realitas yang mengakibatkan

semakin hilangnya garis pemisah antara yang realitas dan yang semu, maka

gerakan perlawanan di sini dapat ditafsirkan secara positif maupun negatif. Dalam

arti negatif, sebagaimana yang terlihat dari sikap Baudrillard yang fatalis dan

pesimistik dalam memandang “nasib” masa depan, penyikapan secara negatif ini

perlu dilenyapkan. Kita tidak perlu meniru sikap Baudrillard tersebut. Lebih bijak,

Page 8: Hiper-Realitas Masyarakat Konsumer

kita menyikapi masalah ini secara positif. Bukankah kita sudah belajar dari

Socrates melalui Plato, bahwa kebenaran (realitas, pengetahuan sejati) berbeda

dengan selubung kepalsuan (simulasi, hiper-realitas)? Karena yakin akan

perbedaan itu, kita berani memperjuangkan yang benar dan yang sejati (realitas).

Meminjam kata-kata Dodi Mantra, yang riil tetap tak akan pernah terserap

sepenuhnya oleh simulasi, dan bahwasanya perlawanan secara gigih dengan

membongkar dan menampilkan retakan di dalam hiper-realitas dapat menjadi

agenda penting bagi gerakan hari ini.

Page 9: Hiper-Realitas Masyarakat Konsumer

Daftar Pustaka

________.(tanpa tahun). Lifestyle ecstasy: Kebudayaan pop dalam masyarakat

Indonesia (Editor: Idi Subandi Ibrahim). Yogyakarta: Penerbit Jalasutra.

Eco, U. (2009). Teori semiotika: Signifikasi komunikasi, teori kode, serta

produksi-tanda. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Risiko di Balik “Keindahan”. (2011, 11 Oktober). Kompas, hlm. 14.

Hiper-realitas Perekonomian Nasional. (2012, 13 April), hlm. 6.