Hellp Syndrome.doc
-
Upload
tian-prianto -
Category
Documents
-
view
36 -
download
0
description
Transcript of Hellp Syndrome.doc
PENDAHULUAN
Hemolisis, kelainan tes fungsi hati dan jumlah trombosit yang rendah
sudah sejak lama dikenal sebagai komplikasi dari preeklampsi-eklampsi. Godlin
menamakan sindrom ini EPH Gestosis tipe II.
Singkatan HELLP pertama kali diperkenalkan oleh Weinsteint (1982)
yang menjelaskan, bahwa Sindroma HELLP, berarti preeclampsia - eclampsia
yang mengalami :
H : hemolisis,
EL : elevated liver enzyme : tanda adanya disfungsi hepar
LP : low patelet count : throbositopenia
Permasalahan yang sering timbul pada sindroma ini baik pada diagnosis
maupun dalam hal penatalaksanaan. Karena gejala dan tanda sindroma HELLP
sangat bervariasi sehingga seringkali diagnosis ditegakkan saat penyakit sudah
berada dalam stadium lanjut. Akibatnya morbiditas ibu lebih tinggi lagi.
Morbiditas yang paling sering terjadi adalah penggunaan transfusi darah atau
produk-produk darah. Disamping itu resiko terjadinya edema paru, “ consumptive
coagulopathy “, gagal ginjal, infark dan ruptur hepar serta gagal jantung paru
sangat tinggi.
EPIDEMIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO
Sindrom HELLP terjadi pada ± 2-12% kehamilan. Sebagai perbandingan,
preeklampsi terjadi pada 5-7% kehamilan. Superimposed sindrom HELLP
berkembang dari 4-12% wanita preeklampsi atau eklampsi. Tanpa preeklampsi,
diagnosis sindrom ini sering terlambat. Faktor risiko sindrom HELLP berbeda
dengan preeklampsi (Tabel 1).
Dalam laporan Sibai dkk (1986), pasien sindrom HELLP secara bermakna
lebih tua (rata-rata umur 25 tahun) dibandingkan pasien preeklampsi-eklampsi
tanpa sindrom HELLP (rata-rata umur 19 tahun). lnsiden sindrom ini juga lebih
1
tinggi pada populasi kulit putih dan multipara. Penulis lain juga mempunyai
observasi serupa (Mc Kenna, Dover dan Brame 1983, Thiagarajah dkk 1984,
Weinstein 1985). Sindrom ini biasanya muncul pada trimester ketiga, walaupun
pada 11% pasien muncul pada umur kehamilan <27 minggu; di masa antepartum
pada sekitar 69% pasien dan di masa postpartum pada sekitar 31%. Pada masa
post partum, saat terjadinya khas, dalam waktu 48 jam pertama post partum.
Tabel 1. Faktor risiko
Sindroma HELLP Preeklampsi
MultiparaUsia ibu > 25 tahunRas kulit putihRiwayat keluaran kehamilan yang jelek
NulliparaUsia ibu < 20 tahun atau > 40 tahunRiwayat keluarga preeklampsiAntenatal (ANC) yang minimal Diabetes Melitus Hipertensi Kronik Kehamilan multiple
ETIOLOGI DAN PATOGENESIS
Patogenesis Hellp syndrome masih belum jelas. Normalnya pada
kehamilan terutama pada trimester III akan terjadi penurunan tekanan darah,
sedang renin, angiotensin II, prostasiklin dan volume darah meningkat. Pada PEB
terjadi tekanan darah yang meningkat, sedang renin, angiotensin II, prostasiklin
menurun. Prostasiklin menyebabkan penurunan vasokonstriksi, platelet
agregation, uterine activity dan peningkatan utero-plasental blood flow. Sedang
Tromboksan bekerja sebaliknya. Perubahan material-material diatas dianggap
berperan untuk terjadinya Hellp sindrome.
Hemolisis mikroangiopati pertama kali dikemukakan tahun 1962 dan
didefinisikan sebagai kelompok gangguan klinik dengan fragmentasi sel-sel darah
merah dalam sirkulasi. Oleh Weinstein (1982) mengemukakan bahwa pada
preeklampsia hemolisis terjadi akibat vasospasme pembuluh darah dan interaksi
sel darah merah dengan sel endotel pembuluh darah yang abnormal atau mungkin
juga oleh karena proses imun. Terjadinya reaksi peroksidase pada membran sel
2
darah merah menyebabkan ketidakstabilan membran eritrosit dan perubahan ini
menyebabkan eritrosit rentan untuk mengalami hemolisis. Kelainan membran ini
terutama didapatkan pada penderita yang disertai kelainan hepar. Ada beberapa
parameter laboratorium yang dapat digunakan untuk mengetahui adanya hemolisis
mikroangiopati antara lain haptoglobin, LDH, bilirubin (semen dan urine),
hemoglobin bebas, apusan darah tepi. Meskipun demikian pemeriksaan yang di
anggap “ Gold standar “ belum ada. Diantara beberapa parameter ini, haptoglobin
merupakan pemeriksaan yang paling sensitif untuk mengetahui secara dini
adanya hemolisis mikroangiopati.
Peningkatan enzim hati (alanin aminotrasferase, aspartat
aminotransferase dan laktat dehidrogenase) terjadi karena adanya nekrosis
parenkim dan perdarahan dalam sinusoid hepar. Terjadinya nekrosis dan
perdarahan ini akibat tumpukan bahan yang menyerupai fibrin dalam sinusoid
hepar sehingga terjadi obstruksi aliran darah. Jika perdarahan dan nekrosis dan
nekrosis cukup berat akan terjadi infark atau pembentukan hematoma
subkapsuler. Berapa nilai yang dianggap abnormal juga berbeda-beda. Weinstein
yang pertama kali mempopulerkan istilah ini tidak menyebutkan kadar berapa
yang dianggap abnormal. Menurut Goodlin dan Thiagarah, kadar SGOT yang
dianggap abnormal bila nilai > 50 IU/L. Vandam dkk menggunakan nilai > 16
IU/L, Brazy dkk menggunakan nilai 50 IU/L dan sibai dan Aarnnoudse
menggunakan nilai ≥ 72 IU/L sedangkan Martin dkk menggunakan kadar SGOT
≥ 40 IU/L dan SGPT ≥ 40 IU/L. Kadar LDH yang dianggap abnormal bervariasi
antara 195 – 600 IU/L .
Trombositopenia. Meskipun jarang berat, merupakan kelainan
hematologis yang paling sering ditemukan pada penderita preeklampsia.. Disebut
trombositopenia bila jumlah trombosit ≤ 150.000. Dan jika didapatkan
trombositopenia ≤ 100.000 maka lambat atau cepat dapat masuk kedalam
“fulminant HELLP“. Angka kejadian trombositopenia pada PEB sebesar 20%.
Pathofisiologi terjadinya penurunan jumlah trombosit pada penderita
preeklampsia:
3
1. Meningkatnya pemakaian dan agregasi/aglutinasi diperifer
2. Aktivasi trombosit meningkat
3. Waktu hidup trombosit lebih pendek
4. Dan penurunan kadar prostasiklin (prostasiklin merupakan
penghambat agregasi trombosit yang kuat).
Oleh sebab itu beratnya trombositopenia menggambarkan derajat
kerusakan sel endotel, agregasi trombosit, pemecahan/destruksi trombosit dan
penumpukan mikrotrombus. Jumlah trombosit pada penderita preeklampsia
merupakan indikator yang paling baik untuk melihat adanya komplikasi pada ibu,
janin maupun neonatus. Jumlah trombosit yang < 150.000/ul merupakan periode
transisi dan jumlah trombosit < 100.000/uL merupakan tanda bahwa penyakit
cukup berat sehingga bila persalinan ditunda trombosit akan menurun menilai
lebih rendah lagi. Penderita dengan jumlah trombosit ≤ 50.000/ul mempunyai
risiko tinggi untuk mengalami perdarahan post partum, komplikasi perdarahan
dari luka operasi atau luka episiotomi juga ada hubungannya dengan jumlah
trombosit. Pemberian trannsfusi trombosit untuk tindakan profilaksis tidak
menjamin bahwa komplikasi perdarahan post partum atau dari luka operasi akan
menurun. Oleh karena itu adalah penting untuk untuk melakukan pengamatan
jumlah trombosit pada penderita preeklampsia khususnya preeklampsia berat
khususnya yang mendapatkan perawatan konservatif.
MANIFESTASI KLINIS
Pasien sindrom HELLP dapat mempunyai gejala dan tanda yang sangat
bervariasi, dari yang bernilai diagnostik sampai semua gejala dan tanda pada
pasien preeklampsi-eklampsi yang tidak menderita sindrom HELLP.
Sibai (1990) menyatakan bahwa pasien biasanya muncul dengan keluhan
nyeri epigastrium atau nyeri perut kanan atas (90%), beberapa mengeluh mual dan
muntah (50%), yang lain bergejala seperti infeksi virus. Sebagian besar pasien
4
(90%) mempunyai riwayat malaise selama beberapa hari sebelum timbul tanda
lain.
Dalam laporan Weinstein, mual dan/atau muntah dan nyeri epigastrium
diperkirakan akibat obstruksi aliran darah di sinusoid hati, yang dihambat oleh
deposit fibrin intravaskuler. Pasien sindrom HELLP biasanya menunjukkan
peningkatan berat badan yang bermakna dengan udem menyeluruh. Hal yang
penting adalah bahwa hipertensi berat (sistolik 160 mmHg, diastolik 110 mmHg)
tidak selalu ditemukan. Walaupun 66% dari 112 pasien pada penelitian Sibai dkk
(1986) mempunyai tekanan darah diastolik 110 mmHg, 14,5% bertekanan darah
diastolik 90 mmHg.
Dalam laporan awal Weinstein (1952) atas 29 pasien, kurang dari
setengah (13 pasien) mempunyai tekanan darah saat masuk rumah sakit 160/110
mmHg. Jadi sindrom HELLP dapat timbul dengan tanda dan gejala yang sangat
bervariasi, yang tidak bernilai diagnosis, dan dapat diikuti dengan kesalahan
pemberian obat dan pembedahan seperti apendisitis, gastroenteritis,
glomerulonefritis, pielonefritis dan hepatitis virus. Perlemakan hati akut (AFLP)
jarang terjadi tapi potensial menjadi komplikasi yang fatal pada kehamilan
trimester ketiga. Pada awalnya, perlemakan hati akut dalam kehamilan sukar
dibedakan dari sindrom HELLP. Pasien AFLP mempunyai gejala khas berupa:
mual, muntah, nyeri abdomen, dan ikterus. Sindrom HELLP dan AFLP keduanya
ditandai dengan peningkatan tes fungsi hati, tapi pada sindrom HELLP
peningkatannya cenderung lebih besar. PT dan PTT biasanya memanjang pada
AFLP tapi normal pada sindrom HELLP (Tabel 2). Pemeriksaan mikroskopik
5
hati merupakan tes diagnosis untuk menentukan AFLP. Panlobular
microvesicular fatty change (steatosis) difus derajat rendah merupakan gambaran
patognomonik AFLP. Penanganan AFLP meliputi pengakhiran kehamilan segera,
atasi hiperglikemi atau koagulopati bila timbul.
Tabel 2. Perbedaan hasil laboratorium AFLP dan sindrom HELLP
AFLP HELLP
Glukosa
Asam urat
Kreatinin
Trombcsit
Fibrinogen
Waktu Prothrombin (PT)
Waktu Parsial
Thromboplastin (PTT)
Rendah
Tinggi
Tinggi
Rendah atau normal
Rendah
Memanjang
Memanjang
Normal
Tinggi
Tinggi
Rendah atau normal
Normal sampai meningkat
Normal
Normal
DIAGNOSIS
Tiga kelainan utama pada sindrorn HELLP berupa hemolisis,
peningkatan kadar enzim hati dan jumlah trombosit yang rendah. Banyak penulis
mendukung nilai laktat dehidrogenase (LDH) dan bilirubin agar diperhitungkan
dalam mendiagnosis hemolisis. Derajat kelainan enzim hati harus didefinisikan
dalam nilai standar deviasi tertentu dan nilai normal di masing-masing rumah
sakit. Di University of Tennessee, Memphis, digunakan nilai potong > 3 SD.
(Tabel 3).
6
Tabel 3. Kriteria diagnosis sindrom HELLP (University of Tennessee,
Memphis)
Hemolisis
- Kelainan apusan darah tepi
- Total bilirubin > 1,2 mg/dl
- Laktat dehidrogenase (LDH) > 600 U/L
Peningkatan fungsi hati
- Serum aspartate aminotransferase (AST) > 70 U/L
- Laktat dehidrogenase (LDH) > 600 U/L
Jumlah trombosit yang rendah
- Hitung trombosit < 100.000/mm
WORK UP DAN EVALUASI
Laboratorium. Pemeriksaan darah lengkap, faal homeostasis dan fungsi hati.
Pencitraan : Thorax foto jika dicurigai edema paru, USG jika dicurigai ruptura
hepar.
Test khusus.
a. Dopler USG dapat digunakan untuk mengetahui ada tidaknya hellp
sindrome dengan cara mengukur pulsatil indeks (PI) dari a.hepatika
komunis. PI kehamilan normal (24 – 36 mgg) adalah 1,17; pada
preeklamsia PI : 1,63; sedang pada PE yang disertai hellp syndrome
terjadi peningkatan berarti PI : 1,83.
b. Haptoglobin. Merupakan protein plasma ( famili alfa 2 glikoprotein) yang
dibuat dihepar. Molekulnya berbentuk tetramareik terdiri dari 2 alfa ringan
dan 2 rantai beta berat dimana kedua rantai ini diikat oleh ikatan disulfida.
Berfungsi untuk mencegah kehilangan hemoglobin melalui ginjal dan
mempertahankan kadar besi dalam tubuh. Pada saat pemecahan eritrosit
haptoglobin dalam plasma akan berikatan dengan hemoglobin bebas
( pada rantai alfa dan beta) sebagai suatu ikatan non kovalen yang
irreversibel. Kemudian makrofag akan membawa ikatan hemoglobin-
7
heptaglobin ke hepar untuk selanjutnya diuraikan dan besi (Fe) akan
didaur ulang. Pemeriksaan secara serial haptoglobin dapat digunakan
untuk mendeteksi dan memantau keadaan hemolisis. Bila didapatkan hasil
yang menurun biasanya menunjukkan adanya anemia hemolitik.
Konsentrasi yang rendah ditemukan pada keadaan-keadaan yang
menyebabkan destruksi sel eritrosit seperti reaksi transfusi, penggunaan
katup jantung, talasemia dan anemia sikle sel, penyakit hati yang berat dan
kelainan kongenital (haptoglobinemia) kehamilan yang disertai hemolisis.
Konsentrasi yang meningkat dapat terjadi pada fase akut suatu infeksi dan
keganasan. Konsentrasi haptoglobin yang tinggi dapat menyingkirkan
adanya hemolisis.
Temuan pathologis
Erythrocyte : Terjadi kerusakan erythrocyte, mengalami fragmentasi dapat
dilihat pada darah tepi.
Thrombosit
o Umur thrombosit normal : 8 – 10 hari. Pada preeclmpasia umur
thrombosit menjadi : 5 – 8 hari.
o Pada sindroma HELLP, umur thrombosit makin memendek,
disertai peningkatan kerusakan thrombosit dan agregasi thrombosit
pada lapisan sel endothel.
o Kerusakan thrombosit akan, menghasilkan thromboxane,
vasokonstriktor kuat.
Gangguan ginjal :
o Sindroma HELLP dapat menimbulkan gangguan ginjal Kerusakan
ginjal bervariasi dari sekedar kenaikan kreatinine serum sampai
terjadi gagal ginjal akut yang reversible (acute tubular necrosis)
maupun yang ireversibel (cortical necrosis)
o Perubahan ginjal pada HELLP Syndrome adalah pembesaran
glomerulus, adanya butir2 fibrin pada lapisan epithel, dan
pembengkakan sel endothel, sehingga terjadi penyempitan
kapiler.glomenrulus
8
DIAGNOSIS BANDING
Pasien sindrom HELLP dapat menunjukkan tanda dan gejala yang sangat
bervariasi, yang tidak bernilai diagnostik pada preeklampsi berat. Akibatnya
sering terjadi salah diagnosis, diikuti dengan kesalahan pemberian obat dan
pembedahan. Diagnosis banding pasien sindrom HELLP meliputi:
- Perlemakan hati akut dalam kehamilan
- Apendistis
- Gastroenteritis
- Kolesistitis
- Batu ginjal
- Pielonefritis
- Ulkus peptikum
- Glomerulonefritis trombositopeni idiopatik
- Trombositipeni purpura trombotik
- Sindrom hemolitik uremia
- Ensefalopati dengan berbagai etiologi
- Sistemik lupus eritematosus (SLE)
Klasifikasi sindroma HELLP
Berdasar kadar thrombosit darah, maka sindroma HELLP diklasifikasi, menjadi :
Klas 1 : thrombositopenia : ≤ 50.000/cc
Klas 2 : > 50.000 ≤ 100.000/cc
Klas 3 : > 100.000 ≤ 150.000/cc
Disertai : hemolisis dan disfungsi hepar yaitu : LDH ≥600 IU/L, AST dan/atau
ALT ≥ 40 IU/L
9
PENATALAKSANAAN
Pasien sindrom HELLP harus dirujuk ke pusat pelayanan kesehatan tersier
dan pada penanganan awal harus diterapi sama seperti pasien preeklampsi.
Prioritas pertama adalah menilai dan menstabilkan kondisi ibu, khususnya
kelainan pembekuan darah (Tabel 4).
Tabel 4. Penatalaksanaan sindrom HELLP pada umur kehamilan < 35
minggu (stabilisasi kondisi ibu) (Akhiri persalinan pada pasien sindrorn
HELLP dengan umur kehamilan 35 minggu)
1. Menilai dan menstabilkan kondisi ibu a. Jika ada DIC, atasi koagulopati b. Profilaksis anti kejang dengan MgSO4 c. Terapi hipertensi berat d. Rujuk ke pusat kesehatan tersier e. Computerised tomography (CT scan) atau Ultrasonografi (USG) abdomen bila diduga hematoma subkapsular hati
2. Evaluasi kesejahteraan janin a. Non stress test/tes tanpa kontraksi (NST) b. Profil biofisik c. USG
3. Evaluasi kematangan paru janin jika umur kehamilan < 35 minggu a. Jika matur, segera akhiri kehamilan b. Jika immatur, beri kortikosteroid, lalu akhiri kehamilan
Pasien sindrom HELLP harus diterapi profilaksis MgSO4 untuk mencegah
kejang, baik dengan atau tanpa hipertensi. Bolus 4-6 g MgSO4 20% sebagai dosis
awal, diikuti dengan infus 2 g/jam. Pemberian infus ini harus dititrasi sesuai
produksi urin dan diobservasi terhadap tanda dan gejala keracunan MgSO4. Jika
terjadi keracunan, berikan 10-20 ml kalsium glukonat 10% iv.
10
Terapi anti hipertensi harus dimulai jika tekanan darah menetap > 160/110
mmHg di samping penggunaan MgSO4. Hal ini berguna menurunkan risiko
perdarahan otak, solusio plasenta dan kejang pada ibu. Tujuannya
mempertahankan tekanan darah diastolik 90 - 100 mmHg. Anti hipertensi yang
sering digunakan adalah hydralazine iv dalam dosis kecil 2,5-5 mg (dosis awal 5
mg) tiap 15-20 menit sampai tekanan darah yang diinginkan tercapai. Labetalol
dan nifedipin juga digunakan dan memberikan hasil baik. Karena efek potensiasi,
harus hati-hati bila nifedipin dan MgSO4 diberikan bersamaan. Diuretik dapat
mengganggu perfusi plasenta sehingga tidak dapat digunakan.
Langkah selanjutnya ialah mengevaluasi kesejahteraan bayi dengan
menggunakan tes tanpa tekanan, atau profil biofisik, biometri USG untuk menilai
pertumbuhan janin terhambat. Terakhir, harus diputuskan apakah perlu segera
mengakhiri kehamilan. Amniosentesis dapat dilakukan pada pasien tanpa risiko
perdarahan. Beberapa penulis menganggap sindrom ini merupakan indikasi untuk
segera mengakhiri kehamilan dengan seksio sesarea, namun yang lain
merekomendasikan pendekatan lebih konservatif untuk memperpanjang
kehamilan pada kasus janin masih immatur. Perpanjangan kehamilan akan
memperpendek masa perawatan bayi di NICU (Neonatal Intensive Care Unit),
menurunkan insiden nekrosis enterokolitis, sindrom gangguan pernafasan.
Beberapa bentuk terapi sindrom HELLP yang diuraikan dalam literatur sebagian
besar mirip dengan penanganan preeklampsi berat.
Jika sindrom ini timbul pada saat atau lebih dari umur kehamilan 35
minggu, atau jika ada bukti bahwa paru janin sudah matur, atau janin dan ibu
11
dalam kondisi berbahaya, maka terapi definitif ialah mengakhiri kehamilan. Jika
tanpa bukti laboratorium adanya DIC dan paru janin belum matur, dapat diberikan
2 dosis steroid untuk akselerasi pematangan paru janin, dan kehamilan diakhiri 48
jam kemudian. Namun kondisi ibu dan janin harus dipantau secara kontinu selama
periode ini. Goodlin meneliti bahwa terapi konservatif dengan istirahat dapat
meningkatkan volume plasma. Pasien tersebut juga menerima infus albumin 5
atau 25%; usaha ekspansi volume plasma ini akan menguntungkan karena
meningkatkan jumlah trombosit. Thiagarajah meneliti bahwa peningkatan jumlah
trombosit dan enzim hati juga bisa dicapai dengan pemberian prednison atau
betametason.
Clark dkk. melaporkan tiga kasus sindrom HELLP yang dapat dipulihkan
dengan istirahat mutlak dan penggunaan kortikosteroid. Kehamilan pun dapat
diperpanjang sampai 10 hari, dan semua persalinan melahirkan anak hidup;
pasien-pasien ini mempunyai jumlah trombosit lebih dari 100.000/mm3 atau
mempunyai enzim hati yang normal. Dua laporan terbaru melaporkan bahwa
penggunaan kortikosteroid saat antepartum dan postpartum menyebabkan
perbaikan hasil laboratorium dan produksi urin pada pasien sindrom HELLP.
Deksametason l0 mg/12 jam iv lebih baik dibandingkan dengan
betametason 12 mg/24 jam im, karena deksametason tidak hanya mempercepat
pematangan paru janin tapi juga menstabilkan sindrom HELLP. Pasien yang
diterapi dengan deksametason mengalami penurunan aktifitas AST yang lebih
cepat, penurunan tekanan arteri rata-rata (MAP) dan peningkatan produksi urin
yang cepat, sehingga pengobatan anti hipertensi dan terapi cairan dapat dikurangi.
12
Tanda vital dan produksi urine harus dipantau tiap 6-8 jam. Terapi kortikosteroid
dihentikan jika gejala nyeri kepala, mual, muntah, dan nyeri epigastrium hilang
dengan tekanan darah stabil <160/110 mmHg tanpa terapi anti hipertensi akut
serta produksi urine sudah stabil yaitu >50 ml/jam.
Sindrom ini bukan indikasi seksio sesarea, kecuali jika ada hal-hal yang
mengganngu kesehatan ibu dan janin. Pasien tanpa kontraindikasi obstetri harus
diizinkan partus pervaginam. Sebaliknya, pada semua pasien dengan umur
kehamilan > 32 minggu persalinan dapat dimulai dengan infus oksitosin seperti
induksi, sedangkan untuk pasien < 32 minggu serviks harus memenuhi syarat
untuk induksi. Pada pasien dengan serviks belum matang dan umur kehamilan <
32 minggu, seksio sesarea elektif merupakan cara terbaik.
Transfusi trombosit diindikasikan baik sebelum maupun sesudah
persalinan, jika hitung trombosit < 20.000/mm3. Namun tidak perlu diulang karena
pemakaiannya terjadi dengan cepat dan efeknya sementara. Setelah persalinan,
pasien harus diawasi ketat di ICU paling sedikit 48 jam. Sebagian pasien akan
membaik selama 48 jam postpartum; beberapa, khususnya yang DIC, dapat
terlambat membaik atau bahkan memburuk. Pasien demikian memerlukan
pemantauan lebih intensif untuk beberapa hari.
Sindrom HELLP dapat timbul pada masa postpartum. Sibai melaporkan
dalam penelitian 304 pasien sindrom HELLP, 95 pasien (31%) hanya
bermanifestasi saat postpartum. Pada kelompok ini, saat terjadinya berkisar dari
beberapa jam sampai 6 hari, sebagian besar dalam 48 jam postpartum. Selanjutnya
75 pasien (79%) menderita preeklampsi sebelum persalinan, 20 pasien (21%)
13
tidak menderita preeklampsi baik antepartum maupun postpartum.
Penanganannya sama dengan pasien sindrom HELLP anteparturn, termasuk
profilaksis antikejang. Kontrol hipertensi harus lebih ketat.
FOLLOW-UP
1. Kemungkinan komplikasi: 1-25% sindroma HELLP mengalami
komplikasi serius seperti : DIC, solusio plasenta, GGA, infeksi/sepsis,
ruptur hematoma hepar, efusi pleura, edema paru, ablasio retina dan
kematian ibu. Terhadap janin komplikasi yang dapat terjadi yaitu kematian
janin dalam rahim, kematian neonatus, lahir prematur dan nilai apgar yang
rendah. Risiko untuk terjadinya sindroam HELLP pada kehamilan
berikutnya ± 14-27 % sedangkan risiko untuk penderita PEB pada
kehamilan berikutnya ± 43%.
Angka kejadian DIC pada sindroma HELLP sekitar 15%.
Hellegren dkk menggunakan sistem skoring untuk mendiagnosis DIC sbb :
1. jumlah trombosit < 100 000
2. pemanjangan waktu protrombin ( 14 det) dan tromboplastin
parsial ( 40 det)
3. kadar fibrinogen 300 mg/dl
4. fibrin split product + (>40 mg/L) atau D-Dimer ( 40 mg/L)
5. aktivitas anti-trombin III < 80 %
Bila didapat 3 kelainan tersebut adalah merupakan diagnosis DIC
manifest dan jika ditemukan 2 kelainan dicurigai suatu dugaan DIC.
Menurut Sibai diagnosis DIC jika didapatkan : trombositopeni, fibrinogen
< 300, FDP > 40 ug/dl. (Peningkatan trhombin time)
2. Outcome yang dapat terjadi :
a. Kematian ibu bersalin cukup tinggi yaitu 24 %. Penyebab kematian
dapat berupa : kegagalan kardiopulmuner , gangguan pembuluh darah,
perdarahan otak, rupture hepar, kegagalan organ multiple.
b. Kematian perinatal cukup tinggi, terutama disebabkan oleh persalinan
preterm.
14
Algoritma penanganan suatu hellp syndrome meliputi:
Pertimbangan dalam kehamilan :
a. Persalinan pervaginam diusahakan bila penderita berada dalam
keadaan inpartu, usia kehamilan > 32 minggu dan bila nilai
pelvik baik dapat dilakukan induksi dengan drip oksitosin.
b. Persalinan dengan operasi sesar dilakukan pada umum
kehamilan ≤ 32 minggu dan nilai pelvik belum matang, ada
gawat janin, malpresentasi, riwayat operasi sesar sebelumnya,
induksi dengan drips oksitosin gagal, nilai pelvik yang jelek
atau pada keadaan dimana kondisi ibu cenderung memburuk
asdfasdfasdf
15