Hasil Terjemahan Punya Dr. Aldo (Fix 2 t)
-
Upload
aldo-sitanggang -
Category
Documents
-
view
230 -
download
0
description
Transcript of Hasil Terjemahan Punya Dr. Aldo (Fix 2 t)
Tinjauan
Gangguan penggunaan alkohol pada individu lanjut usia: Tinjauan ulang
singkat dari mulai epidemiologi sampai dengan opsi-opsi penanganan
Fabio Caputo, Teo Vignoli, Lorenzo Leggio, Giovanni Addolorato, Giorgio Zoli, Mauro Bernardi
ABSTRAK
Gangguan penggunaan alkohol (AUDs – Alcohol use disorders) dialami oleh 1-3%
individu lanjut usia. CAGE, SMAST-G, dan AUDIT merupakan kuisioner yang
paling umum dan tervalidasi yang digunakan untuk mengidentifikasi pengidapan
AUDs pada para individu lanjut usia, dan beberapa penanda laboratorium
penyalahgunaan alkohol (AST, GGT, MCV, dan CDR) juga dapat berguna. Secara
khusus, sensitivitas MCV atau GGT untuk mengukur penyalahgunaan alkohol adalah
lebih tinggi pada populasi lanjut usia dibandingkan dengan pada populasi yang
berusia lebih muda. Insiden akan komplikasi medis dan neurologis selama
munculnya sindrom akibat upaya penghentian kebiasaan minum alkohol pada
individu lanjut usia yang merupakan pecandu alkohol adalah lebih tinggi
dibandingkan dengan pada individu yang berusia muda. Penyalahgunaan alkohol
kronis memiliki hubungan dengan kerusakan jaringan pada beberapa organ. Yaitu,
peningkatan tekanan darah akan lebih sering terjadi pada individu lanjut usia
dibandingkan dengan pada individu yang berusia muda, dan para individu lanjut usia
memiliki tingkat vulnerabilitas yang lebih tinggi akan kemunculan penyakit liver
yang diakibatkan oleh alkohol, dan juga telah diketahui bahwa para wanita pecandu
alkohol yang sudah menopaus memiliki tingkat resiko kanker payudara yang lebih
tinggi. Selain itu, tingkat prevalensi demensia/ kepikunan pada individu alkoholik
lanjut usia adalah lima kali lebih tinggi dibandingkan dengan para individu lanjut
usia non-pecandu-alkohol, hampir dari 25% para pasien dengan demensia juga
memiliki gangguan AUDs, dan hampir dari 20% individu yang berusia 65 tahun
keatas yang terdiagnosa mengalami depresi memiliki hubungan dengan gangguan
AUD. Lebih jauh lagi, pencegahan akan kekambuhan penyalahgunaan alkohol pada
para alkoholik lanjut usia – pada beberapa kasus – adalah lebih baik dibandingkan
dengan pada para pasien yang berusia muda; memang, lebih dari 20% dari para
pasien lanjut usia pencandu alkohol dapat menahan diri dari pengkonsumsian alkohol
sampai 4 tahun. Mengingat insiden AUDs pada individu lanjut usia adalah cukup
tinggi, dan AUDs pada individu lanjut usia masihlah dianggap remeh, maka kita
masih memerlukan banyak penelitian lagi di bidang epidemiologi, pencegahan dan
farmakologis, serta penanganan psikoterapeutik AUDs pada subjek individu yang
berusia lanjut.
© 2012 Elseiver Inc. Hak Cipta Dilindungi.
1. Pendahuluan
Sekitar 2 milyar masyarakat di seluruh dunia mengkonsumsi minuman beralkohol.
Diketahui bahwa alkohol menyebabkan 3,8% dari seluruh kematian di seluruh dunia
(6,3% pada laki-laki dan 1,1% pada wanita) dan mencapai 4,6% dari seluruh beban
penyakit di dunia (7,6% pada laki-laki dan 1,4% pada wanita) (Rehm dkk, 2009). Di
hampir seluruh negara-negara di Eropa, konsumsi alkohol bertanggungjawab atas
14,6% kematian prematur pada individu dewasa (17,3% pada laki-laki dan 8,0%
pada wanita); lebih jauh lagi, di Eropa Timur, khususnya di beberapa kota industri di
Rusia, alkohol diketahui bertanggungjawab akan lebih dari setengah jumlah
kematian pada laki-laki berusia muda (15-54 tahun), dan merupakan penyebab utama
kematian pada laki-laki lanjut usia (55-74 tahun) dan pada individu perempuan.
Lebih dari 76 juta individu telah memiliki gangguan penggunaan alkohol (AUDs)
yang terdiri dari gangguan ketergantungan diri pada alkohol, penyalahgunaan
alkohol, atau tindakan minum-minum alkohol yang berbahaya. Definisi dari tindakan
meminum alkohol yang berbahaya ini bisa diartikan dengan asupan alkohol >14 kali
konsumsi alkohol per minggu atau >4 kali konsumsi alkohol dalam satu waktu, dan
>7 klai konsumsi alkohol per minggu atau >3 kali konsumsi alkohol per satu waktu
untuk wanita, dimana satuan untuk satu-kali-konsumsi-alkohol adalah 10-12 g
alkohol murni (Schuckit, 2009). AUDs biasanya ditemukan di seluruh negara maju,
dan lebih rentan dialami oleh laki-laki; yaitu, AUDs seringkali diidap oleh laki-laki
Tiongkok, Jerman, Thailand, dan Amerika Serikat, serta oleh wanita Brasil dan
Amerika Serikat (Rehm dkk, 2009). Resiko AUDs dalam seumur hidup pada laki-
laki adalah lebih dari 20%, dengan resiko sekitar 15% untuk penyalahgunaan alkohol
dan 10% untuk ketergantungan alkohol (Schuckit, 2009).
Hampir dari 50% dari seluruh individu lanjut usia (berusia lebih dari 65 tahun) dan
hampir dari 25% dari seluruh subjek yang berusia lebih dari 85 tahun meminum
alkohol. AUDs dialami oleh 1-3% subjek lanjut usia, dan merepresentasikan
penyebab akan morbiditas fisik dan psikatrik serta penderitaan sosial (Blazer dan
Wu, 2009). Selain itu, sampai 30% dari seluruh pasien lanjut usia yang dirawat di
bagian pengobatan umum, dan sampai 50% dari seluruh pasien yang dirawat di
bagian psikiatrik mengalami AUDs.
Tujuan dari makalah tinjauan ulang ini adalah untuk secara singkat menganalisa
AUDs pada populasi lanjut usia (berusia >65 tahun). Pembahasan mendalam akan
pencegahan, epidemiologi (yang akan mengimplikasikan pembedaan antara
ketergantungan alkohol, penyalahgunaan alkohol, dan tindakan minum-minum yang
berbahaya), patogenesis, diagnosis, dan penanganan, yang mencakup tindakan
penanganan sosial dan psiko-farmakologis, adalah diluar cakupan dari makalah ini.
Dengan demikian, kami hanya berfokus pada penyakit yang berkaitan-dengan-
alkohol yang disebabkan oleh penyalahgunaan alkohol kronis, walaupun memang
kami juga akan secara singkat membahas masalah-masalah lainnya.
2. Patogenesis gangguan/ kerusakan yang berkatian dengan pengkonsumsian
alkohol
Setelah diminum, etanol (hampir 10%) dimetabolisasi oleh alkohol-dehidrogenase
(ADH) di dalam mukosa lambung, dan mengalami apa yang dikenal dengan istilah
“metabolisme lintas-pertama”. Sisa dari proses ini akan meninggalkan lambung dan
secara cepat diserap oleh usus kecil bagian atas. Kemudian, melalui vena portal,
senyawa ini akan mencapai liver, dimana akan dimetabolisasi menjadi asetaldehida
oleh ADH di dalam sitosol, dan oleh sitokrom P-450-IIE1 di dalam mikrosom
(lieber, 2005). Asetaldehida secara cepat dirubah menjadi karbondioksida dan air,
utamanya melalui aksi aldehida-dehidrogenase (ALDH) (Lieber, 2005). Asupan
alkohol yang terlalu berlebihan akan mensatruasi sistem ini, yang dimana akan
menyebabkan aktivasi sistem oksidasi etanol mikrosomal enzimatik (MEOS). Pada
individu lanjut usia, aktifitas lambung dan ADH hati dapat meningkatkan kadar
alkohol darah sampai 20-50%, dan hal ini, dapat meningkatkan efek etanol pada
sistem syaraf pusat (Lieber, 2005). Selain itu, karena keberadaan komorbiditas,
subjek lanjut usia seringkali mengkonsumsi asupan obat yang tinggi. Ketika sistem
MEOS disaturasi oleh obat-obatan, metabolisme menjadi terganggu dan obat-obatan
akan terakumulasi di dalam darah (Moore dkk, 2007) (Tabel 1); di sisi yang lain,
ketika asupan alkohol yang terlalu berlebihan menyebabkan induksi enzimatik, dosis
obat-obatan yang termetabolisasi oleh sistem MEOS perlu diperbaiki karena tingkat
eliminasi nya yang cepat. Terakhir, metabolisme alkohol dipengaruhi oleh
polimorfisme genetik: dimana variase gen ADH dapat mempercepat pemecahan
alkohol dan menyebabkan akumulasi asetaldehida yang tinggi setelah minum alkohol
(bentuk ALDH inaktif), seperti yang terjadi di masyarakat Asia (Schuckit, 2009).
Alkohol dapat memicu mekanisme yang menyebabkan cedera selular dan jaringan
secara langsung atau melalui metabolitnya (asetaldehida dan asetat). Secara khusus,
asetaldehida akan membentuk protein neo-antigenik yang memicu reaksi anti-bodi –
yang terjadi di dalam liver – yang dapat memicu terjadinya cedera jaringan (Lieber,
2005). Selain itu, asetaldehida yang terikat ke protein yang berkaitan dengan
perbaikan DNA dan metilasi dapat menyebabkan aduksi-DNA, dan hal ini akan
mengganggu proses yang mengendalikan aktifitas gen dan integritas DNA itu
sendiri. Aduksi DNA dapat menyebabkan kesalahan replikasi dan mutasi. Memang,
terdapat bukti yang meyakinkan bahwa efek karsinogenik alkohol disebabkan oleh
sifat mutagenik DNA pada asetaldehida yang beroperasi di banyak level. Lebih jauh
lagi, asetaldehida mampu untuk memodifikasi jalur penyinalan intraselular yang
dapat menimbulkan ketidakstabilan pada kompleks protein taut kedap. Hal ini dapat
menyebabkan gangguan fungsi penahan yang dimiliki oleh taut-kedap, yang dimana
merupakan satu proses yang menjadi penting di dalam sel-sel epitelial lambung
karena meningkatkan permeabilitas terhadap lipopolisakharida (LPS) membran luar
bakteri Gram-negatif. LPS yang diserap di dalam perut akan ditransportasikan oleh
vena portal ke liver untuk mensensitisasi sel-sel Kuppfer ke alur molekular dengan
transkripsi sitokin pro-inflamasi akhir (yaitu: faktor nekrosis tumor alfa: TNF-α;
interleukin-6: IL-6; faktor pertumbuhan pentransformasi beta: TGF-ß); ketika TNF-α
dan IL-6 terlibat di dalam kolestasis dan sintesis protein-protein fase akut, TGF-ß
secara kritis terlibat di dalam fibrogeneis melalui aktivasi sel-sel stelat hepatik.
Skenari terakhir adalah mulai terjadinya nekro-inflamasi, apoptosis dan fibrosis yang
menyebabkan ALD (penyakit liver alkoholik), yang kemudian menjadi sirosis
(Gramenzi dkk, 2006).
Tabel 1 – Interaksi alkohol dengan beberapa obat (More dkk, 2007)
Obat Efek
Opiod Meningkatnya efek sedatif
Hipotensi
Anksiolitik Meningkatnya efek sedatif
Antihistamin
Cimetidine
Aspirin Menurunnya aktifitas ADH lambung
PPIs/ Penghambat Pompa Proton (metabolisme lintas-pertama)
Antidepresan Meningkatnya efek sedatif
Antipsikotik Hipertensi
Fenitoin Meningkatnya toksistas
(intoksikasi alkohol akut)
Menurunnya efisasi/ kemanjuran
(penyalahgunaan alkohol kronis)
Carbamazepine Meningkatnya efek sedatif
Beta-blockers Hipotensi
Penghambat saluran-kalsium (intoksikasi alkohol kronis)
Digoksin Menurunnya efek digitalis
Obat-obatan peregulasi hipoglikemia
melalui oral
Hipoglikemia
(penyalahgunaan alkohol kronis)
Meningkatnya resiko laktik asidosis
(metformin)
Heparin Peningkatan resiko pendarahan
Warfarin (yaitu. Saluran lambung-perut)
Aspirin dan NSAID
Statin Peningkatan toksistas hepatik
Parasetamol (hepatitis akut)
Isoniazid
Lithium
Methotrexate
Cefalosporin Peningkatan kadar darah asetaldehida
Kloramfenikol (selama pemberian disulfiram)
Ketokonazol
Metronidrazole
ADH: alkohol-dehidrogenase; NSAIDs: obat-obatan anti inflamasi non steriod; PPI:
penghambat pompa proton
3. Diagnosis AUDs
Beberapa penelitian epidemiologis telah menunjukkan bahwa diagnosis AUDs pada
pasien lanjut usia biasanya terunderestimasi (Moore dkk, 2002). Hal ini
merepresentasikan satu bias yang cukup mengkhawatirkan, karena AUDs pada
individu lanjut usia memiliki probabilitas yang lebih tinggi untuk merespon
penanganan dibandingkan dengan penyakit AUDs pada individu yang berusia lebih
muda. Terdapat beragam kondisi yang dimana evaluasinya harus menyertakan
tindakan skrining atas potensi AUD seperti contohnya: a) semakin parahnya penyakit
kronis (hipertensi, diabetes melitus, osteoporosis, anema makrisitik,
hiperkolesterolemia, gastritis/ maag, penyakit Parkinsons, dan asam urat); b)
menurunnya atau meningkatnya efek farmakologis dari terapi-terapi berkepanjangan/
jangka-panjang; c) munculnya gangguan-gangguan gastrointestinal, inkontinens tinja
atau urin, hipotermia aksidental, hipotensi ortostatik, sering mengalami insiden
terjatuh, pingsan, gagal jantung, pneumonia aspirasi, dehidrasi dan malnutrisi; d)
munculnya gangguan kognitif atau penyakit-penyakit psikiatrik (kebingungan akut,
sindrom cemas-depresi, insomnia, penyakit Alzheimer, dan sindrom Wernicke-
Korsakoff) (Moore dkk, 2002). Diagnosis AUDs didasarkan pada peniliaian multi-
dimensi pasien yang melibatkan tindakan pemeriksaan fisik dan psiko-sosial, dengan
wawancara pasien dan anggota keluarga. Ketika penyalahgunaan alkohol diduga
diidap oleh pasien, maka konsumsi alkohol haruslah di-assessment dengan
menggunakan kuisioner. Uji empat item dengan pertanyaan-pertanyaan tentang
Pengurangan jumlah alkohol yang dikonsumsi, Tingkat ketidak-sukaan terhadap
kritik, Perasaan bersalah, dan tentang fikiran akan keinginan minum alkohol yang
muncul di pagi hari (CAGE – Cutting down, Annoyance at criticism, Guilty feelings,
dan use of Eye-openers) (Culberson, 2006) (Tabel 2), Uji Skrining Alkoholisme
Michigan versi pendek – Versi Geriatri (SMAST-G – Michigan Alcoholism
Screening Test – Geriatric Version), (Johnson-Greene dkk, 2009) (Tabel 3), dan Uji
Identifikasi Gangguan Penggunaan Alkohol (AUDIT – Alcohol Use Disorders
Identification Test) (Aalto dkk, 2011), kesemuanya ini merupakan kuesioner yang
paling umum dan tervalidasi yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi AUD
pada individu lanjut usia. Secara khusus, CAGE dan MAST-G dapat digunakan
bersama-sama untuk meningkatkan sensitivitasnya, dan AUDIT yang dimodifikasi
dengan penyederhanaan ≥5 poin, adalah berguna untuk mengidentifikasi HD (Aalto
dkk, 2011; Culberson, 2006; Johnson-Greene dkk, 2009). Pedoman Diagnostik &
Statistik Gangguan Mental – Edisi ke-4 – Revisi Teks (DSM-IV-TR – Diagnostic
and Statistical Manual of Mental Disorder – 4th edition – Text Revision) (Asosiasi
Psikiatrik Amerika, 2000) dapat digunakan untuk melakukan diagnosis
penyalahgunaan dan ketergantungan alkohol. Pemeriksaan laboratorium seperti
contohnya alanine aminotransferase (ALT), asparte aminotransferase (AST),
gammaglutamyl transpeptidase (GGT), volume korpuskular rerata (MCV), dan
pentransferan defisien karbohidrat (CDT) dapat berguna (Tabel 4). Beberapa
penelitian menunjukan bahwa tingkat sensitivitas MCV atau GGT di dalam
mendeteksi penyalahgunaan alkohol adalah lebih tinggi pada individu lanjut usia
dibandingkan pada populasi individu yang berusia muda (Mundle dkk, 1999).
Tabel 2 – Uji CAGE: dua jawaban positif atau lebih menunjukkan keberadaan
masalah yang berkaitan dengan pengkonsumsian alkohol (Culberson, 2006).
C (cut-off): apakah anda perna merasa bahwa anda harus mengurangi jumlah alkohol
yang anda minum?
A (annoyed): apakah anda merasa tidak suka/ sebal jika ada orang yang mengkritik
kebiasaan minum anda?
G (guilty): apakah anda memiliki perasaan bersalah tentang kebiasaan minum anda?
E (eye-opener): apakah anda pernah merasa membutuhkan minuman di pagi hari
untuk membuat diri anda tenang atau untuk menghilangkan rasa mabuk?
Tabel 3 – Uji Skrining/ Penafisan Alkoholisme Michigan Pendek – Versi Geriatri
(SMAST-G): dua jawaban positif atau lebih menunjukkan keberadaan masalah yang
berkaitan dengan pengkonsumsian alkohol di 12 bulan terakhir (Johnson-Greene
dkk, 2009).
1. Ketika berbicara dengan orang lain, apakah anda pernah meremehkan jumlah
minuman yang anda minum?
2. Setelah sejumlah minuman yang anda konsumsi, apakah anda terkadang tidak
makan atau melewatkan makan anda karena anda tidak merasa lapar?
3. Apakah dengan minum alkohol anda dapat mengurangi intensitas gemetaran
yang anda alami?
4. Apakah alkohol terkadang membuat anda merasa kesulitan untuk mengingat
saat-saat/ kejadian-kejadian di siang atau di malam hari?
5. Apakah anda biasanya minum untuk menenangkan syaraf-syaraf anda?
6. Apakah anda minum alkohol untuk menghilangkan pusing karena masalah-
masalah yang anda hadapi?
7. Apakah anda pernah meningkatkan asupan alkohol yang anda minum setelah
mengalami hantaman jiwa di dalam hidup anda?
8. Apakah dokter atau perawat pernah berkata bahwa mereka merasa khawatir
dengan kebiasaan minum anda?
9. Apakah anda pernah membuat aturan untuk menangani kebiasaan minum
anda?
10. Ketika anda merasa kesepian, apakah kebiasaan atau aktifitas minum anda
dapat membantu?
4. Penyakit-penyakit yang berkaitan dengan pengkonsumsian alkohol
Efek samping jangka-pendek (intoksikasi alkohol akut) dan jangka panjang
(penyalahgunaan alkohol kronis) dari kebiasaan minum alkohol yang berlebihan
adalah lebih beresiko dibandingkan dengan dampak positif nya yang masih bersifat
dugaan. Bahkan satu episode intoksikasi etanol akut sebelum terjadinya kerusakan
organ jangka-panjang (yaitu cedera traumatik yang diakibatkan oleh kecelakaan
karena intoksikasi alkohol) dapat meningkatkan resiko infeksi. Penyalahgunaan
alkohol kronis berkaitan dengan banyak penyakit, yang melibatkan organ hati,
pankreas, saluran lambung-usus, saluran pernafasan, otot, otak, dan sistem imun.
Propensitas individu untuk mendapatkan penyakit yang berkaitan dengan alkohol
berkaitan dengan pola dan durasi asumsi alkohol, dalam hal faktor-faktor pengiring
lainnya seperti contohnya predisposisi genetik, gender, faktor makanan/ diet, dan
lingkungan (Schuckit, 2009).
4.1. Alkohol dan sistem kardiovaskular
Asupan alkohol yang berlebihan dapat meningkatkan resiko kardiovaskular (yaitu
stroke hemorahik) (Mukamal dkk, 2006). Memang, penyalahgunaan alkohol dapat
secara negatif mempengaruhi berbagai determinan/ penentu resiko kardiovaskular
seperti contohnya kelainan/ gangguan metabolisme, peningkatan lingkar pinggang
(Mukamal dkk, 2006), dan secara khusus, peningkatan tekanan sistolik: pada
kenyataannya, terdapat bukti bahwa asupan alkohol akan lebih mudah menyebabkan
hipertensi pada individu lanjut usia dibandingkan dengan pada individu dewasa
muda (Wakabayashi dan Araki, 2010). Selain itu, individu-individu yang
mengkonsumsi lebih dari 90 g alkohol perhari selama lebih dari 5 tahun dapat
menderita penyakit jantung terkembang non-iskhemik yang dapat menyebabkan
disfungsi ventrikular dan gagal jantung (Piano, 2002).
Walaupun tidaklah tepat untuk membahas topik ini disini, perlu diketahui bahwa
efek protektif kardiovaskular dari konsumsi alkohol ringan sampai sedang (1 kali
konsumsi/ hari untuk wanita sampai 2 kali konsumsi/ hari untuk laki-laki) dialami
pada populasi dewasa dan individu lanjut usia (Mukamal dkk, 2006; Costanzo dkk,
2010). Memang, mayoritas penelitian yang membahas tentang asupan alkohol telah
menemukan kurva resiko berbentuk J atau U dengan pengkonsumsi alkohol ringan
sampai sedang yang memiliki resiko penyakit kardiovaskular arterosklerosis yang
lebih rendah dibandingkan dengan non-peminum alkohol dan peminum berat.
Secara khusus, satu pengalaman terbaru pada 13.296 orang kulit putih lanjut usia di
Amerika Serikat menunjukan bahwa konsumsi alkohol sedang baik di kalangan
wanita maupun laki-laki memiliki hubungan dengan penurunan resiko penyakit
kardiovaskular sebanyak 15-30% (Paganini-Hill, 2011). Hasil yang cukup menarik
yang dihasilkan dari penelitian meta-analitik menunjukkan adanya penurunan resiko
penyakit diabetes tipe 2 sebanyak 30% pada pengkonsumsi alkohol sedang (Koppes
dkk, 2005).
4.2. Alkohol dan sistem endokrin
Penyalahgunaan alkohol kronis dapat memicu beberapa alterasi atau gangguan
kelenjar hipotalami-pituitari. Sebagai satu contoh, selama kondisi penyalahgunaan
alkohol kronis dan selama sindrom putus-konsumsi alkohol, kadar hormon kortisol
dan adreno-kortikotropik (ACTH) ditemukan meningkat dengan waktu
pengembalian ke kadar normal yang mencapai 2-6 minggu setelah dalam waktu itu
pasien tidak mengkonsumsi alkohol. Kadar kortisol yang meningkat dapat memicu
apa yang dikenal dengan istilah kondisi pseduo-Cushing; namun, karena banyak
kesamaan dalam gejala, kondisi ini masihlah sulit untuk dibedakan dari bentuk
gangguan/ sindrom Cushing primer (Newell-Price dkk, 2006).
4.3. Alkohol, liver, lambung, dan pankreas
Subjek penelitian yang berusia lanjut yang menyalahgunakan alkohol secara kronis
memiliki tingkat kerentanan yang lebih tinggi terhadap kemunculan penyakit liver
alkoholik (ALD). Gejala dan tanda ALD dan komplikasinya adalah sama dengan
yang terjadi pada pasien di semua usia, dan penanganannya utamanya difokuskan
pada penghentian konsumsi alkohol (Seitz dan Stickel, 2007). Baik konsumsi alkohol
akut maupun kronis bertanggungjawab terhadap efek yang buruk pada mukosa
esofagus seperti contohnya penyakit Barrett’s esophagus. Kondisi klinis ini dicirikan
dengan metaplasia pada sel-sel porsi inferior esofagus dengan gejala-gejala klinis
seperti nyeri ulu hati, disfagia, dan hematemesis. Lambung juga akan terdampak dari
konsumsi etanol akut dan kronis; memang, gastritis akut dan kronis muncul dengan
peningkatan resiko pendarahan ketika adanya ulkus. Selain itu, karena sakit kronis
sering ditemukan pada individu lanjut usia, asumsi obat harian seperti aspirin dan
penghambat pompa proton bersamaan dengan minuman beralkohol dapat
menurunkan aktivitas ADH lambung dengan peningkatan kadar etanol darah dan
efek sedatif. Lebih jauh lagi, penkonsumsian alkohol akut dan kronis dapat memicu
diare yang dapat menyebabkan malnutrisi karena adanya penurunan penyerapan
mikro-gizi. Lebih lanjut lagi, penyalahgunaan alkohol adalah satu penyebab yang
umum akan penyakit pankreatitis, walaupun hal ini tampaknya lebih sering terjadi
pada individu yang berusia lebih muda (30%) dibandingkan dengan individu lanjut
usia (5%) (Hall dkk, 2005).
Tabel 4 – Tingkat prevalensi alterasi penanda laboratorium akan penyalahgunaan
alkohol kronis pada para pasien lanjut usia dibandingkan dengan subjek yang berusia
lebih muda (Mundle dkk, 1999).
Parameter serum Alterasi (%) (pasien yang berusia ≥65 tahun)
Alterasi (%)(pasien yang berusia ≤65 tahun)
AST yang meningkat 56 42GGT yang meningkat 55 48MCV yang meningkat 44 17Glukosa yang meningkat 32 36Asam urat yang meningkat 21 <1Albumin yang menurun 17 3Alkalin fosfatase yang meningkat
11 15
Trigliserida yang meningkat
16 15
AST: aspartate aminotransferase; GGT: gamma-glutamyl transpeptidase; MCV:
rerata volume korpuskular
4.4. Alkohol dan penyakit paru
Disamping tingkat kerentanan individu lanjut usia terhadap infeksi paru disebabkan
oleh reduksi fisiologis respons imun, yang dimana dapat menjadi parah oleh asupan
alkohol yang berlebihan, penyalahgunaan alkohol juga telah diketahui dapat menjadi
faktor resiko independen untuk kemunculan Sindrom Gawat Pernafasan Dewasa
(ARDS), yaitu suatu bentuk cedera paru yang parah yang dicirikan dengan
hipoksemia, peningkatan permeabilitas membran kapiler alveolar, dan akumulasi
protein interstitial dan edma intra-alveolar. Memang, sekitar hampir 200.000
individu yang mengidap ARDS di Amerika serikat tiap tahunnya, hampir dari 50%
dari mereka memiliki riwayat penyalahgunaan alkohol. Disamping penelitian-
penelitian yang ditujukan pada peningkatan hasil penanganan para pasien pengidap
ARDS, tingkat kematiannya masihlah tinggi (40%), dan bagi mereka yang
menyalahgunakan alkohol memiliki tingkat kematian yang lebih tinggi (65%) (Boe
dkk, 2009).
4.5. Alkohol dan respons imun
Asupan alkohol diketahui dapat merusak respon imun bawaan. Alkohol dengan dosis
tinggi dapat secara langsung menekan berbagai respon imun dengan menurunkan
imunitas yang termediasi-sel dan fungsi imun humoral, dan juga hal tersebut
berkaitan dengan peningkatan insiden sejumlah penyakit-penyakit infeksi (Diaz dkk,
2002). Jumlah sel-sel T dan B secara signifikan mengalami penurunan pada para
pasien dengan penyakit yang dipicu oleh pengkonsumsian alkohol. Selain itu,
imunoglobulin yang dihasilkan oleh sel-sel B terhadap patogen sebagai respon
pertahanan tubuh biasanya meningkat pada para pasien penderita ALD. Terakhir,
alkoholisme kronis dan ALD memiliki hubungan dengan peningkatan produksi
sitokin. Pada kenyataannya, sitokin (yaitu IL-6, IL-10, IL-12) akan meningkat pada
pecandu alkohol (Diaz dkk, 2002; Szabo dan Mandrekar, 2009).
4.6. Alkohol dan patah tulang-sendi
Penyalahgunaan alkohol merupakan satu faktor resiko yang penting akan insiden
terjatuh dan patah tulang spontan karena hal tersebut dapat menyebabkan: a)
kebingunan akut, dan hipotensi ortostatik; b) neuropati dan miopati sensori motor
distal; c) penurunan kemampuan penilaian spasial dan ataksia; d) penurunan densitas
mineral tulang, terutama jika dihubungkan dengan kebiasaan merokok (Johnston dan
McGovern, 2004). Harus diingat bahwa subjek lanjut usia dengan penurunan
kemampuan otonomi dan peningkatan resiko kerapuhan tulang harus diingatkan
untuk menghindari konsumsi alkohol.
4.7. Alkohol dan tumor
Pengkonsumsian alkohol sebanyak lebih dari 40 g per hari merepresentasikan satu
faktor resiko untuk kemunculan tumor di banyak organ, termasuk diantaranya:
orofaring, laring, esofagus, liver, kolon-rektum, dan payudara (Bagnardi dkk, 2001).
Terlebih lagi, hubungan antara konsumsi alkohol dan kemunculan tumor tergantung
pada dosis alkohol. Secara khusus, pada wanita yang sudah menopaus, peningkatan
resiko kanker payudara telah diketahui nyata adanya, dimana hal ini merupakan satu
efek yang berkaitan dengan peningkatan kadar estrogen darah yang dipicu oleh
alkohol. Saat ini, bahkan satu asupan alkohol sedang (dari 3 sampai 6 gelas per
minggu) diketahui dapat menjadi satu faktor resiko independen untuk kemunculan
kanker payudara pada individu wanita berusia lanjut (Chen dkk, 2011). Keberadaan
gejala-gejala gastrointestinal seperti contohnya konstipasi, penurunan berat badan,
diare, disfagia, dan rasa sakit pada perut pada subjek lanjut usia dengan anamnesis
positif akan asupan alkohol yang tinggi harus memunculkan kecurigaan akan
keberadaan kanker yang berkaitan dengan konsumsi alkohol, dan hal ini
membutuhkan pemeriksaan lanjutan. Terakhir, perlu diketahui bahwa di Jepang,
kanker merupakan kategori penyakit yang paling memiliki kaitan tinggi dengan
konsumsi alkohol, hal ini berlaku bagi laki-laki dan perempuan (Rehm dkk, 2009).
4.8. Alkohol dan otak
Alkohol beraksi pada sistem syaraf pusat melalui efek langsung dan tidak langsung.
Efek langsung ini disebabkan karena perubahan yang terjadi pada fluiditas membran
sel, yang merusak fungsi sel, meningkatkan aktivitas penghambatan reseptor gamma
amino-butyric, dan penghambatan aktivitas eksitatori respetor N-methyl-D-aspartate.
Efek tidak langsung nya termediasi oleh malnutrisi, yang dapat menyebabkan
defisiensi thiamin, asam nikotin, vitamin B, dan folat. Defisiensi thiamine memicu
pelepasan glutamat yang berlebihan yang dapat menyebabkan kerusakan syaraf
(sindrom Wernicke-Korsafoff dan penyakit Marchiafava Bignami). Sebaliknya,
demensia alkohol, pada bentuk degeneratif dan vaskularnya, biasanya muncul
dengan ketiadaan defisit nutrisional; pada kasus ini, efek neurotoksik langsung
alkohol pun terimplikasi. Pada individu lanjut usia, tingkat prevalensi demensia
adalah 5 kali lebih tinggi pada mereka yang merupakan pecandu alkohol
dibandingkan dengan individu-individu yang non-alkoholik, dan hampir dari 25%
pasien lanjut usia penderita demensia juga mengalami AUDs (Moriyama dkk, 2006).
Dari sisi klinis, adalah penting untuk membedakan antara demensia/ kepikunan yang
memiliki kaitan dengan alkohol dengan demensia tipe lain. Dalam hal ini, demensia
yang berkaitan dengan alkohol merupakan satu diagnosis spesifik yang disertakan di
dalam DSM-IV-TR (Asosiasi Psikiatrik Amerika, 2000).
Walaupun satu efek protektif dari asupan alkohol tingkat sedang pada penurunan
kognitif lambat dan kemunculan demensia Alzheimer masihlah kontroversial (Lobo
dkk, 2010), namun hal ini diketahui bahwa mereka yang tidak mengkonsumsi
alkohol memiliki fungsi kognitif yang lebih buruk dibandingkan dengan mereka
yang mengkonsumsi alkohol dengan tingkat ringan (Rodgers dkk, 2005); selain itu,
satu penelitian terbaru telah menunjukkan bahwa kepatuhan yang lebih tinggi
terhadap penerapan diet tiep Mediterania, yang dicirikan dengan asupan minuman
anggur dalam jumlah sedang, memiliki hubungan dengan resiko akan penurunan
fungsi kognitif yang menurun, resiko penyakit Alzheimer yang menurun, dan
penurunan kematian dengan-segala-penyebab pada para pasien pengidap demensia
Alzheimer (Solfrizzi dkk, 2011).
4.9. Alkohol dan gangguan psikiatrik
Hampir dari 20% individu yang berusia ≥ 65 tahun yang didiagnosa dengan depresi
ternyata mengalami AUD (Gunn dan Cheavens, 2008). Sebaliknya, lebih dari 90%
subjek yang berusia lanjut dengan AUD ternyata memiliki riwayat depresi.
Hubungan antara AUD dan depresi di masa tua adalah kompleks dan sangat penting
untuk memahami apakah depresi merupakan akibat dari AUD atau kebalikannya.
Lebih lanjut lagi, ketika dikaitkan dengan AUD, depresi dan gangguan angsietas/
kecemasan adalah bertanggungjawab akan lebih dari 70% insiden bunuh diri, dan
merupakan satu penyebab signifikan akan kekerasan dalam rumah tangga,
perceraian, dan penurunan kualitas sosial dan ekonomi. Para pasien yang depresi
yang berhenti mengkonsumsi alkohol secara progresif dapat meningkatkan kondisi
psikiatriknya dibandingkan dengan mereka yang terus mengkomsi alkohol. Namun
demikian, penanganan gejala-gejala ansietas dan depresi masih merupakan poin
penting selama penanganan AUDs. Disamping kurangnya bukti ilmiah yang
mengindikasikan satu strategi khusus untuk menangani para pasien lanjut usia
pengidap depresi dan AUDs, maka pentingnya penanganan kedua masalah tersebut
sangatlah direkomendasikan.
5. Penanganan gangguan penggunaan alkohol
5.1. Detoksifikasi
Insiden komplikasi medis (iskhemia miokardial, pneumonia aspirasi, aritmia,
hipotensi ortostatik) dan komplikasi neurologis (halusinasi, delirium tremen, pusing,
dan kejang) selama sindrom putus-konsumsi-alkohol (AWS – alcohol withdrawal
syndrome) pada para pecandu alkohol lanjut usia adalah lebih tinggi dibandingkan
dengan pada para individu yang berusia lebih muda (Letzia dan Reinbolz, 2005).
Penelitian klinis terkendali telah mengevaluasi kemanjuran obat/ medikasi untuk
penanganan AWS pada para pasien lanjut usia belumlah tersedia. Namun, untuk
menghindari setiap resiko sedasi, benzodiazepine efek-singkat (BDZs) [yaitu
lorazepam 30-60 mg oral setiap 4 jam atau oxazepam 1-2 mg oral atau i.m. (injeksi
kedalam otot) atau i.v. (injeksi kedalam vena) setiap 4 jam untuk hari pertama dan
kemudian dosisnya diturunkan sebanyak 50% pada hari ke-2 dan ke-3] adalah
direkomendasikan. Para pasien lanjut usia biasanya rentan terhadap kemunculan
beberapa komplikasi AWS, seperti contohnya sindrom Wernicke-Korsakoff yang
dicirikan dengan neuropati tepi, ataksia, kelumpuhan okular, kebingungan,
konfabulasi, dan amnesia yang disebabkan karena penurunan kadar serum
magnesium. Dengan demikian, selain BDZs, penanganan AWS harus menyertakan
pemberian magnesium dan tiamin (intra-otot dan intra-vena) selama 3 sampai 5 hari.
Pada kasus agitasi parah yang berkaitan dengan gangguan tidur dan perilaku berat,
jika BDZs saja tidak mampu mengendalikan gejala-gejala AWS, haloperidol dapat
dipertimbangkan. Beta-blocker (yaitu atenolol) telah terbukti efektif di dalam
penanganan takhikardia ataupun hipertensi, namun haruslah digunakan secara bijak
karena adanya peningkatan resiko hipotensi pada populasi pasien lanjut usia. Pada
kasus delirium tremens, pemberian diazepam intravena sebanyak 30-60 mg,
magnesium, tiamin sebanyak 100-250 mg intravena, dan elektrolit (jika diperlukan)
adalah hal yang dibutuhkan (Letizia dan Reinbolz, 2005).
5.2. Rehabilitasi
Tujuan dari rehabilitasi untuk penanganan AUDs adalah sama seperti halnya semua
gangguan kambuhan kronis lainnya: yaitu untuk mempertahankan tingkat motivasi
yang tinggi, untuk merubah sikap terhadap kesembuhan, dan untuk mengurangi
resiko kekambuhan. Pencegahan kekambuhan akan pengkonsumsian alkohol pada
individu pecandu alkohol lanjut usia adalah sangat krusial, karena hasil
penanganannya pada beberapa kasus lebih baik dibandingkan dengan hasil
penanganan pada individu usia muda. Lebih dari 20% dari seluruh pasien
ketergantungan alkohol lanjut usia dapat menahan diri untuk tidak mengkonsumsi
alkohol selama 4 tahun (Satre dkk, 2004). Lebih jauh lagi, dibandingkan para laki-
laki, para wanita cenderung lebih mudah untuk tetap berpuasa alkohol baik pada
jangka panjang maupun pada jangka pendek (Satre dkk, 2004, 2007).
Diantara obat-obatan yang disetujui untuk penanganan ketergantungan alkohol,
disulfiram secara umum tidak direkomendasikan karena kaitannya dengan
peningkatan resiko akan efek samping yang serius (Oslin dkk, 1997; Satre dkk, 2004,
2007). Selain itu, naltrexone (antagonis µ-opiod) yang diberikan pada dosis 50-100
mg per hari (atau 150 mg tiga kali dalam satu minggu) dapat membantu para pasien
ketergantungan alkohol dengan menurunkan rasa ingin mengkonsumsi minuman
beralkohol ketika minum minuman tersebut, dan hampir dari seluruh penelitian telah
melaporkan waktu yang lebih lama sebelum munculnya kekambuhan atau asupan
alkohol yang lebih rendah pada satuan waktu dengan hasil penanganan yang
meningkat, yaitu 20% (Schuckit, 2009). Karena keamanan profile nya, naltrexone
(50 mg per hari) dianggap sebagai obat farmakologis untuk pencegahan kekambuhan
pada para pecandu alkohol lanjut usia (Olsin dkk, 1997). Lebih jauh lagi, karena
predisposisi individu lanjut usia terhadap kondisi yang membuat mereka menjadi
pelupa, beberapa hipotesis pun muncul dalam hal potensi manfaat formulasi
naltrexone yang diinjeksikan (380 mg/ bulan selama 4 bulan) setelah periode
abstinensi-terhadap-alkohol 3-5 hari (Johnson, 2010). Lebih jauh lagi, walaupun
penelitian-penelitian spesifik pada populasi lanjut usia belum dilakukan, namun
acamprosate (penghambat reseptor asam-glutamat N-metil-D-aspartik) diketahui
dapat memperpanjang waktu menuju kekambuhan, menurunkan jumlah satuan
konsumsi minuman per hari, dan dapat membantu di dalam menjaga abstinensi
dengan tingkat hasil yang sama dengan naltrexone. Naltrexone terkombinasi dan
acamprosate adalah sedikit lebih baik dibandingkan dengan masing-masing obat
tersebut tanpa terkombinasi, walaupun tidak semua penelitian menyetujuinya
(Schuckit, 2009). Terakhir, obat GABA-ergic seperti contohnya sodium oxybate
(diperobolehkan di beberapa negara di Eropa untuk penanganan ketergantungan
alkohol), baclofen dan topiramate diketahui efisien dan merupakan obat yang
menjanjikan untuk menangani ketergantungan terhadap alkohol dan dapat
mengurangi jumlah episode kebiasaan minum alkohol berat (Addolorato dkk, 2011;
Caputo dan Bernardi, 2010; Johnson, 2010).
Terapi perilaku-kognitif dan kehadiran di dalam kelompok swa-bantu seperti
contohnya Alcoholics Anonymous telah terbukti bermanfaat jika dilakukan
bersamaan dengan pendekatan farmakologis (Oslin dkk, 1997; Satre dkk,
2004,2007). Di sisi lain, depresi, konflik antar-personal, keterasingan, dan kejadian-
kejadian yang membuat depresi adalah faktor-faktor resiko yang penting untuk
kekambuhan di populasi individu lanjut usia. Dengan demikian, pendekatan
multidimensional yang mencakup penanganan farmakologis, psikologis, dan sosial-
perilaku adalah penting untuk mempertahankan abstinens pada para pasien lanjut
usia yang ketergantungan terhadap alkohol.
6. Kesimpulan
Tingkat insiden AUDs pada individu lanjut usia adalah tinggi: namun, AUDs pada
individu lanjut usia masih diremehkan, dan pengumpulan data tentang penyakit yang
berkaitan dengan alkohol pada para individu lanjut usia yang dilakukan oleh Uni
Eropa dan WHO masihlah belum lengkap (Lee dkk, 2008). Pengisian jurang
keilmiahan ini dapat mengidentifikasi intervensi/ penanganan AUDs yang efektif
dari sisi biaya pada para individu lanjut usia, yang dimana hal ini akan meningkatkan
sustainabilitas keuangan publik dan mengurangi ketidak-adil-merataan upaya
penanganan kesehatan (Scafato, 2010); penelitian tambahan dibutuhkan untuk
mengidentifikasi strategi-strategi pengimplementasian terbaik.
Dengan demikian, diagnosis dan penanganan AUDs pada subjek lanjut usia harus
selalu diupayakan karena hal tersebut seefektif pada para pasien dengan usia muda;
perhatian yang lebih harus difokuskan pada kerapuhan/ kerentaan para pasien lanjut
usia selama AWS dan terhadap kebutuhan akan pendekatan multi-dimensi di dalam
pencegahan kekambuhan. Lebih banyak penelitian dalam hal penanganan
farmakologis dan psikoterapeutik AUDs pada para individu lanjut usia adalah hal
yang diperlukan.