HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id V... · HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN...
-
Upload
truongnhan -
Category
Documents
-
view
224 -
download
0
Transcript of HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id V... · HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN...
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Penelitian mengenai strategi koping keluarga dalam menghadapi penyakit TB
Paru di keluarga ini diarahkan pada dua kelompok responden sebagai sampel yaitu
keluarga yang dibantu dan keluarga yang tidak dibantu. Keluarga yang dibantu adalah
keluarga yang mendapat bantuan pengobatan secara gratis dari pemerintah melalui
program DOTS (Directly Observerd Treatment Short Course) dimana keluarga-
keluarga ini berobat ke Puskesmas-Puskesmas di Kabupaten Bandung. Sedangkan
Keluarga yang tidak dibantu yaitu keluarga yang tidak mendapatkan bantuan
pengobatan dari pemerintah yang pada umumnya berobat ke Rumah Sakit di Kab.
Bandung (RS. Maj alaya, RS. Soreang dan RS.Cibabat).
Sumber Kopine Keluarea
Boss dalam Sussman dan Steinmetz (1988) mengatakan bahwa surnber
koping keluarga merupakan kekuatan individual dan kekuatan bersama pada saat
menghadapi stressor sebagai penyebab stress. Sumber koping keluarga dalam
menghadapi kejadian penyakit TB pan di Keluarga terdiri dari : karakteristik
individu dan keluarga, pengetahuan keluarga tentang TB Paru, sikap keluarga
mengenai pengobatan TB paru, ketersediaan sarana dan fasilitas kesehatan, dukungan
kerabat, dukungan sosial/masyarakat dan Lingkungan rumah.
Karakteristik individu dan keluarga
Karakteristik individu dan keluarga terdiri dari jumlah anggota keluarga, usia
penderita TB paru, lama pendidikan pasangan dan penderita, pekerjaan dan
pendapatan.
Jumlah anegota keluar~a. Jumlah anggota turut mempengaruhi perilaku koping
keluarga dalam dalam menghadapi kasus penyakit TB Pam di keluarga. Dengan
besarnya jumlah anggota keluarga diharapkan akan lebih memperingan tugas
perawatan terhadap penderita penyakit TB Paru di keluarga. Dari-sisi ini, keluarga
yang dihuni banyak anggota keluarga memperoleh keringanan dalam ha1 tenaga
perawatan, namun disisi lain si penderita penyakit TB Paru bisa mengalami tingkat
Stress yang lebih tinggi karena terlalu beragamnya metode perawatan yang diberikan
oleh anggota keluarga. Pada penelitian ini diketahui bahwa tipe keluarga penderita
TB paru ini pada umumnya adalah keluarga inti (Nuclear Familyl yaitu sebanyak
120 keluarga (80%)
Dari penelitian diperoleh data bahwa jumlah anggota keluarga 5 4 orang
menempati m t a n terbanyak, baik pada keluarga yang mendapat bantuan maupun
pada kelompok keluarga yang tidak mendapat bantuan. Pada keluarga yang
mendapat bantuan sebesar 61,33%, sedilut dibawah keluarga yang tidak mendapat
bantuan 70,67%. Sedangkan Jumlah keluarga yang 2 9 orang sedikit jumlahnya, yaitu
pada keluarga yang mendapat bantuan hanya 9,33%, serta pada kelompok keluarga
yang tidak dibantu lebih sedilut yang hanya 1,33%. Sedangkan rata-rata jumlah
anggota keluarga pada kedua kelompok keluarga adalah 4,22, yang berarti bahwa
keluarga penderita penyakit TB Paru di kabupaten Bandung termasuk keluarga kecil.
Dengan memakai uji t, perbedaan jumlah anggota keluarga antara kelompok yang
dibantu dengan kelompok yang tidak di bantu tidak berbeda nyata pada taraf
kekeliruan 5% ( p = 0,062). . Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 1 berikut :
Tabel 1. Jumlah anggota keluarga berdasarkan kelompok keluarga dibantu dan tidak dibantu
Jumlah anggota Keluarga I
Di bantu / Tidak dibantu Total (n =150) / I keluarga
" I
2 9 orang; 1 7 1 9.33 1 1 I 1.33 1 8 1 5,33 1
Usia dan Jenis Kelamin Penderita TB Paru. Usia diklasifikasikan menurut Berger
(1980) adalah usia dewasa awal (17-39 tahun), usia setengah baya (40-60 tahun) dan
(n=75) 1 n
lanjut usia (lebih dari 60 tahun). Sebaran usia penderita penyakit TB Paru pada
(n=75) O/U
61.33 29.33
1 4 orang 5 - 8 orang;
keluarga yang mendapat bantuan dan keluarga yang tidak mendapat bantuan
46 22
mayoritas berada pada usia dewasa awal(17-39 tahun), yaitu 42,67% untuk keluarga
yang dibantu dan 48,00% untuk keluarga yang tidak Qbantu. Paling sedikit adalah
n o/o
kelompok usia lebih dari 60 tahun untuk kedua kelompok keluarga. Sebaran usia
n O / U 53 21
penderita penyakit TB Paru keluarga yang mendapat bantuan dan keluarga yang
99 43
70.67 28.00
tidak mendapat bantuan hampir sama. Rata-rata usia pasangan penderita penyalut TB
66,OO 28.67
Paru keluarga yang mendapat bantuan lebih kecil dibandingkan dengan rata-rata usia
pasangan penderita penyakit TB Paru keluarga yang tidak mendapat bantuan.
Meskipun ada perbedaan secara kuantitas, tetapi setelah melalui uji t tidak terdapat
perbedaan yang nyata rata-rata usia penderita penyakit TB Paru keluarga yang
mendapat bantuan dengan yang tidak mendapat bantuan (p=0.956). Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Usia penderita penyakit TB Pam berdasarkan kelompok keluarga dibantu dan tidak dibantu
I Usia Peoderita I 72;. 1 Tidak dibantu Total (n =150) (n=75) ,
1 Keluarga -- 1 1
17-39 tahun 40-60 tahun
Sedangkan untuk jenis kelamin penderita TB Paru ternyata antara laki-laki
> 60 tahun Rata-rata
maupun perempuan memiliki persentase yang sama yaitu 50% laki-laki clan 50 %
32 28
perempuan dan dari aspek bantuan pengobatan yang diberikan ternyata lebih banyak
15 120.00 34.67
untuk penderita lalu-laki (52 %).
42.67 37.33
16 1 21.33 1 31 1 20,67 34.80 1 34.73
Tabel 3. Jenis Kelamin penderita TB Pam berdasarkan kelompok keluarga dibantu dan tidak dibantu
36 23
Jenis
Lama pendidikan formal. Secara keseluruhan lama pendidikan penderita penyakit
TB Paru paling banyak (46,67 %) adalah 6 tahun (SD). Pada kelompok keluarga
yang dibantu berada pada tingkat pendidikan sekolah dasar (49,33%), hampir sama
dengan kelompok keluarga yang tidak dibantu tingkat pendidikannya paling banyak
pada tingkat sekolah dasar (44,00%). Yang berpendidikan 9 tahun (SLTP) untuk
48.00 30.67
Perempuan LA-laki
Keluarga Di bantu / Tidak dibantu
68 51
Total (n =l5O)
36 39
45,33 34.00
48.00 52.00
39 36
52.00 48.00
75 75
50 5 0
kelompok keluarga yang mendapat bantuan sebesar 32,00%, kemudran yang
berpendidikan 12 tahun (SLTA) ada sebanyak 1 7,3 3 %. Sedangkan yang melanjutkan
pendidikan sampai ke jenjang perguman tinggi hanya 1,33%. Untuk keluarga yang
tidak mendapat bantuan, yang berbendidikan 9 tahun (SLTP) sama dengan yang
berpendidikan 12 tahun (SLTA) 26,67%,. Sedangkan yang mendapat kesempatan
melanjutkan pendidikan sampai ke jenjang perguruan tinggi hanya 2.00%. Sedangkan
rata-rata lama pendidikan formal penderita TB Paru baik pada keluarga yang dibantu
maupun pada keluarga yang tidak dibantu menunjukkan tidak berbeda jauh yaitu
berkisar pada pendidikan SLTP. Hal ini hampir sama dengan laporan tim survey
epidemiologi kabupaten Bandung tahun 2000 yang menunjukkan bahwa rata-rata
pendidikan penderita Tb Pam antara SD dan SLTP. Untuk melihat perbedaan antara
dua kelompok keluarga secara statistika terlihat perbedaan dalam ha1 lama mengikuti
pendidrkan formal dm si penderita penyakit TB Paru antara keluarga yang dibantu
dengan keluarga yang tidak dibantu (p= 0.008).
Tabel 4. Lama Pendidikan formal penderita penyalut TB Pam berdasarkan kelompok keluarga dibantu dan tidak dibantu
1 Keluarga I 1 t
I Lama Pendidikan I I I
Di bantu 1 Tidak dibantu / Total (n =150)
6 tahun ( SD) 9 tahun ( SLTP) 12 tahun ( SLTA)
17 tahun( PT)
(n=75)
37 24 13 1
49,33 32,OO 17,33 1.33
(n=75)
Rata-rata
1 n I O/O I n I % I n I % I
I
P-value =0.008 1 7.84
33 20 20 2
7.41
44,OO 26,67 26,67 2,67
7,625
70 44 33 3
46,67 29,33 22,OO 2,OO
Sedangkan lama pendidikan pasangan penderita TB Paru terlihat bahwa sebaran
terbanyak lama pendidikan pada pasangan penderita penyakit TB Paru kelompok
keluarga yang dibantu berada pada tingkat pendidikan sekolah dasar (36,00%), sama
halnya dengan kelompok keluarga yang tidak dibantu tingkat pendidikannya paling
banyak pada tingkat sekolah dasar (49,33%). Yang berpendidikan SLTP untuk
kelompok keluarga yang mendapat bantuan sebesar 26,67%, kemudian yang
berpendidikan SLTA juga ada sebanyak 26,67%. Sedangkan yang melanjutkan
pendidikan sampai ke jenjang perguruan tinggi hanya 10,67%. Untuk keluarga yang
tidak mendapat bantuan, yang berbendidikan SLTP 18,67%, kemudlan yang
berpendidikan SLTA 28,00%. Sedangkan yang mendapat kesempatan melanjutkan
pendidikan sarnpai ke jenjang perguruan tinggi hanya 4%.
Rata-rata lama pendidikan formal pasangan baik pada keluarga yang dibantu
maupun pada keluarga yang tidak dibantu menunjukkan tidak berbeda jauh yaitu
berlusar pada pendidikan SLTP. Meskipun secara kuantitatif terlihat perbedaan dalam
ha1 lama mengikuti pendldikan formal dari si penderita penyaht TB Paru antara
keluarga yang dibantu dengan keluarga yang tidak dibantu, tetapi setelah dilakukan
pengujian dengan uji t terhadap perbedaan tersebut diperoleh hasil yang secara
statistika menyatakan tidak ada perbedaan lama pendidikan antara kedua kelompok
tersebut (p= 0.100).
Tabel 5. Lama Penchdikan formal pasangan penderita penyalut TB Pam berdasarkan kelompok keluarga dibantu dan tidak dibantu
1 Lama Pendidibn yz;
I
Pekeriaan Pasangan. Pekerjaan pasangan responden dari kedua kelompok keluarga
pada umumnya adalah buruh (41,333%). Hal ini sesuai dengan letak daerah
Keluarga
6 tahun (SD) 9 tahun (SLTP) 12 tahun (SLTA) 17 tahun ( PT)
Rata-rata
kabupaten Bandung yang banyak terdapat pabrik-pabrik dan sebagan daerah
1 Tidak dibantu
(n=75)
pertanian yang umumnya dimiliki oleh orang yang berada di luar daerah tersebut.
Total (n =150)
P-value =O. I00
n 27 20 20 8
Tabel 6. Jenis pekerjaan pasangan penderita TB Paru berdasarkan kelompok keluarga dibantu dan tidak dbantu
% 36.00 26.67 26.67 10.67
Penciapatan Keluarga. Banyak pendapat yang menerangkan, bahwa makin
meningkatnya pendapatan keluarga, maka peluang untuk meningkatnya distribusi
tingkat kesejahteraan kepada seluruh anggota keluarga juga makin meningkat. Pada
9.57
I
Pekerjaan
Tani Buruh
Kary. Swasta Peg.Negeri
ABRI Lainnya
8.68
n %
P-value = 0.0231
-pppp. 9,125
N 64 34 41 11
37 14 21 3
Kelompok
% 1 42,67 22,67 27,33 7,33
49.33 18.67 28.00 4.00
Total Dibantu (n=75)
n 14 62 3 2 8 1
3 3
n 4 34 17 - 1
19
Tidak dibantu(n=75) %
9.33 4 1.33 21.33 5.33 0.67
22.00
YO 5.33
45.33 22.67
- 1.33
25.33
n 10 28 15 8 -
14
YO 13.33 37.33 20.00 10.67
- 18.67
umumnya kedua kelompok keluarga ( yang d~bantu dan yang tidak dibantu)
mempunyai pendapatan dibawah Rp 500.000,- (47,,33%) bila dibandingkan dengan
Upah Minimal Regional (UMR) kabupaten Bandung menunjukkan data yang lebih
rendah yakni sebesar Rp 520.000. Jika dilihat dari perbedaan pendapatan kedua
kelompok keluarga menunjukkan sebaran terbanyak pendapatan keluarga yang
dibantu adalah kurang dari Rp.500.000,- sedangkan untuk keluarga yang tidak
dibantu sebaran terbanyak pada selang pendapatan Rp.500.000,- s/d Rp. 1.000.000,-.
Rata-rata pendapatan keluarga pada keluarga yang mendapat bantuan (Rp.470.400,-),
lebih rendah sebesar Rp.303.400,- bila dibandingkan dengan rata-rata pendapatan
keluarga pada keluarga yang tidak mendapat bantuan. Jadi dengan demihan bantuan
yang diberikan tepat kepada orang yang benar-benar membutuhkannya. Hasil uji t
untuk melihat perbedaan rata-rata pendapatan kedua kelompok keluarga tersebut
menunjukkan hasil yang berbeda nyata (p=O.000) antara keluarga yang lbantu
dengan keluarga yang tidak dibantu dalam pengobatan TB paru. Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat pada tabel 6 berikut:
Tabel 7. Pendapatan Keluarga berdasarkan kelompok keluarga yang dibantu dan tidak dibantu
Pendapatan (ribu)
<Rp. 500 Rp.500- Rp. 1.000
>Rp. 1.000- Rp. 1.500 >Rp. 1.500- Rp.2.000 --
>Rp. 2.000 Rata-rata
Total (n =150)
n 1 YO
Keluarga
48 22
Di bantu (n=75)
n 1 %
P value =0.000
2 1 2
Tidak dibantu (n=75)
n 1 % 64.00 29.33 2.67 1.33 2.67
23 35
Rp. 470.400
13 3 1
30.67 46.67
Rp. 773.800 622,100
17.33 4
1.33
71 57
47,33 38,OO
15 4 3
10,OO 2,67 2,OO
Pengetahuan keluarga (pasanpan) mengenai penvakit TB Paru.
Untuk melihat seberapa jauh pengetahuan si pasangan penderita mengenai
penyakit TB Paru, peneliti melakukan pengukuran dengan memberikan kuesioner
yang terdiri dari 11 buah pernyataan, dimana masing-masing pernyataan diberi skor 1
jika responden menjawab benar dan 0 jika salah. Dari penelitian diperoleh garnbaran
bahwa secara keseluruhan tingkat pengetahuan pasangan penderita mengenai
penyakit TB Paru paling banyak termasuk dalam katagori kurang (40,67%). Hal ini
sesuai dengan hasil penelitian B.Lapau (1987) dan Khairil Anwar (2000) yang
mengatakan bahwa pada umumnya penderita TB Paru dan keluarganya kurang
mengetahui tentang penyakit TB paru terutama dalam ha1 penularannya. Sedangkan
untuk kelompok yang dibantu masuk kategori cukup, sementara pengetahuan untuk
keluarga yang tidak dibantu paling banyak pada kategori kurang. Setelah melalui
pengujian secara statistika melalui uji t-student diperoleh kesimpulan bahwa terdapat
perbedaan pengetahuan si pasangan mengenai penyakit TB paru untuk kelompok
yang dibantu dengan kelompok yang tidak dibantu (P = 0,000), lmana pengetahuan
kelompok yang dibantu lebih baik dibanding kelompok yang tidak dibantu mengenai
penyakit TB paru. Dengan demikian maka bantuan yang diberikan mempunyai
dampak terhadap pengetahuan penderita TB karena menurut program
penanggulangan TB Pam Dep Kes (1999) setiap bantuan pengobatan harus selalu
diikuti dengan penjelasan mengenai penyakit tersebut,penularan dan pengobatannya.
Sebaran tingkat pengetahuan si pasangan penderita penyakit TB Paru dapat
dilihat pada tabel 8 berikut:
Tabel 8. Pengetahuan pasangan penderita mengenai penyalut TB Paru berdasarkan kelompok keluarga yang dibantu dan tidak dibantu
/ Pengetahuan 1 (n=75) - 1 (n=75) 1 Tingkat
Apabila tingkat pengetahuan ini dibedakan menurut jenis kelamin maka
Keluarga Di bantu 1 Tidak dibantu
Baik Cukup Kurang
Mean Skor
terdapat sedikit perbedaan, dimana pada jenis kelamin pasangan perempuan 44,00%
Total (n =150) ,
yang memiliki pengetahuan mengenai penyakit TB paru kurang, sedangkan pada
n 25 31 19
pasangan laki-laki terdapat 37,33 % yang kurang . Namun perbedaan ini setelah diuji
ternyata tidak cukup bermakna perbedaanya antara pasangan laki-laki dan perempuan
YO 33.33 41.33 25.33
(p =0,200). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut:
7,6533
Tabel 9. Tingkat pengetahuan pasangan penderita Tb Paru berdasarkan Jenis kelarnin pasangan.
n 7
26 42
Tingkat Pengetahuan
5,8133 6,733 -
Yo 9.33
34.67 56.00
I n I % , 32 57 61
21,33 38,OO 40,67
Sikap Keluarpa Mengenai Pengobatan TB Paru
Dari hasil penelitian diperoleh gambaran bahwa secara keseluruhan sikap
keluarga mengenai pengobatan lebih banyak yang optimis (62,67%) dari pada yang
pesimis. Sedangkan bila dilihat perbedaan antar keluarga, keluarga yang mendapat
bantuan lebih bersikap optimis mengenai pengobatan TB paru dibanding dengan
keluarga yang tidak dibantu. Hal ini digambarkan oleh banyaknya keluarga yang
bersikap optimis pa& keluarga yang mendapat bantuan, yaitu sebesar 73,33%,
sedangkan keluarga yang tidak dibantu hanya 52,00% yang bersikap optimis
mengenai pengobatan TB paru. Dari hasil pengujian secara statistik (Kruskal- Wallis)
menunjukkan bahwa memang terdapat perbedaan yang nyata antara sikap keluarga
yang dibantu dengan keluarga yang tidak dibantu mengenai pengobatan TB paru (p =
0.006). Hal ini menunjukkan bahwa bantuan yang diberikan dapat meningkatkan rasa
optimisme keluarga akan kesembuhan penyakit TB paru yang di derita anggota
keluarganya. Adapun sebaran data untuk sikap keluarga mengenai pengobatan TB
Paru dapat dilihat pada tabel 10 berikut.
Tabel 10. Sikap keluarga mengenai pengobatan TB Paru berdasarkan kelompok
keluarga yang dibantu dan tidak dibantu
Sikap keluarga
Optimis Pesimis
Mean Skor 1 7.93
Keluarga
P-value =0.006 6.95
Total (n =150)
n %
7.44
Di bantu (n=75)
94 56
Tidak dibantu (n=75)
n 55 20
62.67 37.33
n 39 36
% 73.33 26.67
YO 52.00 48.00
Apabila sikap keluarga ini dibedakan menurut jenis kelamin ternyata terdapat
perbedaan yang bermakna antara jenis kelamin pasangan laki-laki dan perempuan
(p= 0,038), dimana laki-laki lebih banyak yang bersikap optimis menghadapi masalah
penyakit TB paru di keluarga. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 1 1. Sebaran data sikap keluarga tentang penyakit Tb Paru berdasarkan Jenis kelamin.
Ketersediaan Sarana dan Fasilitas Kesehatan.
Ketersediaan sarana dan fasilitas kesehatan seperti Puskesmas dan Rurnah sakit
disekitar tempat tinggal sangat mendukung suksesnya pelayanan kesehatan terhadap
penderita penyakit TB paru dalam keluarga (B.Lapau , 1987). Dari hasil penelitian
didapatkan garnbaran bahwa lebih dari setengah keluarga yang dibantu, disekitar
tempat tinggalnya terdapat Puskesmas yaitu sebanyak 56%. Demikian juga untuk
keluarga yang tidak dibantu, pada umurnnya disekitar tempat tinggalnya tersedia
sarana kesehatan seperti Puskesmas yaitu sebanyak 52 %. Sedangkan Rurnah sakit
mayoritas dari keluarga yang dibantu, disehtar tempat tinggalnya belurn tersedia
sarana Rumah sakit yaitu sebanyak 76%. Demikian juga untuk keluarga yang tidak
hbantu, pada umumnya disekitar tempat tinggalnya belum tersedia sarana kesehatan
seperti Rumah sakit yaitu sebanyak 68 %.
Sebaran data sarana dan fasilitas kesehatan seperti ketersediaan Puskesmas dan
- Rumah sakit dapat dilihat pada tabel 12 berikut.
Tabel 12. Sarana dan Fasilitas Kesehatan berdasarkan kelompok keluarga yang dibantu dan tidak dibantu
Dukunean Dari Keluarea/Ikatan kekerabatan
Dukungan dan keluarga merupakan salah satu faktor yang sangat dibutuhkan
untuk meningkatkan strategi koping keluarga dalam menghadapi kasus penyakit TB
paru di keluarga. Dukungan keluarga yang dimaksud adalah seberapa besar perhatian
yang diberikan oleh setiap anggota keluarga pada si penderita penyakit TB Paru
dalam ha1 terapi pengobatan. Dari tabel 13 kelihatan bahwa sebaran terbanyak
dukungan keluarga pada si penderita penyakit TB Pam kelompok keluarga yang
dibantu berada pada tingkat dukungan yang tinggi (68,00%), sama halnya dengan
kelompok keluarga yang tidak dibantu aukungannya paling banyak pada tingkat
dukungan yang tingg (56,00%). Secara kualitatif terlihat perbedaan dalam ha1 tingkat
dukungan keluarga terhadap penderita penyakit TB Paru antara keluarga yang dibantu
dengan keluarga yang tidak dibantu, setelah dilakukan pengujian terhadap perbedaan
tersebut diperoleh hasil yang secara statistika ('ruskal- Wallis) menyatakan terdapat
perbedaan dukungan keluarga dari si penderita penyakit TB Paru antara kedua
kelompok keluarga tersebut (p= 0.006) dimana dukungan dari keluarga yang dibantu
lebih tinggi dibanding kelompok yang tidak dibantu.
Sebaran data dukungan dari keluargdlkatan kekerabatan si penderita penyakit
TB Paru dapat dilihat pada tabel 1 3 berikut.
Tabel 13. Dukungan keluargakerabat penderita penyakit TB Paru berdasarkan kelompok keluarga yang dibantu dan tidak dibantu
Dukungan keluarga
Tinggi Rendah
Dukungan Dari Masvarakat
Dukungan masayarakat dapat dilihat pula dari bagaimana reaksi masyarakat
dan tokoh masyarakat disekitar keluarga Penderita terhadap Penderita Penyakit TB
Paru, apakah mengetahui ada yang menderita TB paru, ikut terlibat atau tidak dalam
pengobatan dan atau memotivasi untuk berobat atau malahan mengucilkannya.
Secara keseluruhan terlihat bahwa 58 % masyarakat memberikan dukungan terhadap
keluarga penderita TB paru, namun sisanya tidak mendukung. Hal ini kurang sejalan
dengan program penanggulangan TB paru melalui strategi DOTS yang salah satu
Mean Skor 1 20.71
Keluarga
P-value = 0.006 19.29
Total (n =150)
20.00
Di bantu (n=75)
n 93 57
n 51 24
Tidak dibantu (n=75)
% 62.00 38.00
YO 68.00 32.00
n 42 33
YO 56.00 44.00
cirinya adalah adanya keterlibatan penuh clan masyarakat melalui keterlibatannya
sebagai PMO (Pengawas Minurn Obat). Dilihat dari tabel 14 terlihat bahwa sebaran
terbanyak dukungan masyarakat pada keluarga yang dibantu (64,00%), sedangkan
-pada kelompok keluarga yang tidak dibantu dukungan masyarakat pada keluarga
penderita penyakit TB Paru sebesar 52,00%.
Meskipun secara kuantitatif terlihat perbedaan dalam ha1 dukungan masyarakat
pada si penderita penyakit TB Paru kelompok keluarga yang dibantu dengan keluarga
yang tidak dibantu, setelah dilakukan - pengujian terhadap perbedaan tersebut
diperoleh hasil yang secara statistika (Kruskal-Wallis) menyatakan tidak terdapat
perbedaan dukungan masyarakat pada si penderita penyakit TB Paru antara kedua
kelompok tersebut (p= 0.343).
Tabel 14. Dukungan Masyarakat berdasarkan kelompok keluarga yang dibantu dan tidak dibantu
/ masyarakat I (n=75) (n=75) 1
Dukungan Keluarga
Di bantu / Tidak dibantu
Ada Tidak
Lingkungan Tem~at Tinggal (rumah)
Untuk melihat kondisi Lingkungan Tempat Tinggal responden, peneliti
memberikan kuesioner yang terdiri dari 12 bush pernyataan, dimana masing-masing
pernyataan dijawab oleh responden sesuai dengan keadaan lingkungan tempat
tinggalnya. Kemudian disusun rating (kualitas) tempat tinggal responden sehingga
Total (n =150)
MeanSkor 1 6.96
n 48 27
P-value =0.343 6,75
YO 64.00 36.00
6.855
n 39
- 36
yo
52.00 48.00
n 87 63
% 58.00 42.00
akan diperoleh gambaran tentang kualitas lingkungan tempat tinggal seperti yang
tertera pada tabel 1 5.
Secara umurn lingkungan tempat tinggal keluarga penderita TB paru termasuk
dalam katagori tidak memadai dan bila dibandingkan antara keluarga yang dibantu
dengan tidak dibantu menunnjukkan tidak ada perbedaan diantara keduanya
(p=0,955) dan mempunyai rata-rata skor yang sama yakni pada katagori tidak
memadai. Lingkungan rumah yang berpengaruh terutama dalam ha1 ventilasi yang
kurang memadai dan kondisi pencahayaan yang kurang terutama menyangkut alat
penerangan yang pada urnumnya petromak. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
Kusdinar (1993) dalam Atrnosukarto (2000) yang membuktikan bahwa banyaknya
tuberculosis paru dalam rurnah tergantung dari intensitas cahaya serta luas lubang
penghawaan (ventilasi). Untuk lebih jelasnya dapat dillhat dalam tabel berikut :
Tabel 15. Kualitas Lingkungan Tempat Tinggal berdasarkan kelompok keluarga yang dibantu dan tidak dibantu
Persepsi Keluar~a Mengenai Penyakit TB Paru
Mc. Cubbin dan Patterson (1980) dalam Sussman dan Steinrnetz (1988) salah
satu faktor yang berpengaruh terhadap stress keluarga dan penentuan strate@ koping
keluarga adalah persepsi keluarga tersebut terhadap stressor. Persepsi keluarga
mengenai penyakit TB paru adalah cara pandang keluarga penderita TB paru
mengenai penyakit TB paru dari sudut pandang kesehatan. Jadi dari persepsi keluarga
yang positif mengenai penyakit TB paru nantinya akan sangat membantu si penderita
dalam pemulihan kesehatannya. Berdasarkan tabel 16 diperoleh gambaran bahwa
pada umumnya persepsi keluarga mengenai penyakit TB paru adalah positif. Dimana
sebanyak 72% keluarga yang mendapat bantuan mempunyai persepsi yang positif
mengenai penyalut TB paru dan 58,67% keluarga yang tidak dibantu mempunyai
persepsi yang positif mengenai penyakit TB paru. .Meskipun secara kuantitatif
terlihat perbedaan persepsi antara keluarga yang mendapat bantuan dengan keluarga
yang tidak mendapat bantuan, akan tetapi setelah dilakukan pengujian secara
statistika (Kruskal-Wallis) ternyata tidak terdapat perbedaan yang berarti antara
keluarga yang mendapat bantuan dengan keluarga yang tidak mendapat bantuan(p =
0.292). Tetapi apabila ditinjau dari tingkat pengetahuan pasangan si penderita
penyakit TB paru terdapat perbedaan yang nyata antara tingkat pengetahuan yang
baik, cukup dan kurang tentang persepsi mengenai penyalut TB paru (p = 0.001). jadi
dengan demikian makin baik pengetahuan si pasangan penderita penyakit TB paru
mengenai penyakit TB paru itu sendiri, maka akan memberikan persepsi yang lebih
positif mengenai penyakit TB paru. Sebaran data tentang persepsi keluarga mengenai
TB paru dapat dilihat pada tabel 16 berikut.
Tabel 16. Persepsi Keluarga Mengenai Penyakit TB Paru berdasarkan kelompok keluarga yang dibantu dan tidak dibantu
Persepsi keluarga
Positif Negati f
Apabila persepsi ini dibedakan menurut jenis kelamin ternyata tidak terdapat
Mean Skor 1 18,02
perbedaaan yang berrnakna antara jenis kelamin pasangan laki-laki dan perempuan
Total (n =150)
n 1 010
Keluarga
54 21
(p= 0,268). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam tabel berikut:
Di bantu - (n=75)
P (K-W) = 0.296 17,52
Tabel 17. Persepsi keluarga tentang penyakit TB Paru berdasarkan Jenis kelamin.
Tidak dibantu (n=75)
72.00 28.00
17.770 /
Strategi Koping Keluarga ( Suami 1 Istri ) Dalam Menghadapi Kasus Penyakit TB Paru di Keluartza
n 1 '10 , n 1 O/O
Perilaku koping adalah upaya-upaya yang dilakukan oleh keluarga (Suami/Istri)
44 31
dalam menghadapi berbagai masalah/kesulitan sehubungan dengan adanya penderita
penyakit TB paru dalam keluarga. Menurut M.A. McCubbin (1987) Strategi atau
58.67 41.33
perilaku koping keluarga dikelompokkan menjadi tiga pola penanggulangan yaitu :
98 52
65.33 34.67
Pola I. Mempertahankan keutuhan keluarga, kerjasama dan rasa optimis
menghadapi keadaan; Pola 11. Mempertahankan dukungan sosial, kepercayaan
diri dan rasa stabilitas psikologis; Pola ID. Memahami situasi medis melalui
komunikasi dengan keluarga lain dan konsultasi dengan tenaga kesehatan.
Berdasarkan tabel 18 diperoleh gambaran mengenai perilaku koping keluarga
dalam menghadapi berbagai kesulitan sehubungan dengan adanya penderita penyakit
TB paru, pada keluarga yang di bantu mayoritas berprilaku positifladaptif yaitu
sebanyak 61.33%. Sedangkan dalam keluarga yang tidak dibantu, perilaku koping
keluarganya sebanding antara yang positif/adaptif dengan yang negatif lmaladaptif
dalam menghadapi berbagai kesulitan sehubungan dengan adanya penderita penyakit
TB paru dalam keluarga. Setelah diuji secara statistika ternyata terdapat perbedaan
perilaku koping keluarga dalam menghadapi berbagai kesulitan sehubungan dengan
adanya penderita penyakit TB paru dalam keluarga antara kelompok yang di bantu
dengan yang tidak dibantu (p- 0.019). Tetapi yang menjadi pertanyaan adalah apakah
perbedaan perilaku koping keluarga tersebut disebabkan oleh karena kelompoknya
yang berbeda atau mungkin karena disebabkan faktor lain, maka untuk menguji ha1
tersebut dlakukan analisis kovarians (jumlah anggota keluarga, pendapatan
keluarga,pengetahuan si pasangan penderita TB paru, sikap keluarga, Dukungan
keluarga, dan persepsi sebagai kovariat). Dan setelah dilakukan pengujian ternyata
kelompok (yang dibantu dan yang tidak dibantu) tidak memberikan pengaruh yang
nyata terhadap perilaku koping keluarga (~(Ancova) = 0.274).
Sebaran data untuk perilaku koping keluarga dalam menghadapi berbagai
masalah/kesulitan sehubungan dengan adanya penderita penyakit TB paru dalam
keluarga dapat dilihat pada tabel 18 berikut ini.
Tabel 18. Perilaku koping keluarga dalam menghadapi kasus penyakit TB paru berdasarkan kelompok keluarga yang dibantu dan tidak dibantu
Perilaku koping keluarga
Positif Negatif
Bila dilihat dari pola penerapan strategi koping keluarga yang paling dominan
dilakukan oleh keluarga dalam menghadapi berbagai kesulitan sehubungan adanya
penderita penyakit TB paru, baik pada keluarga yang dibantu maupun yang tidak di
bantu diperoleh gambaran bahwa mayoritas menerapkan pola pertama
(mempertahankan keutuhan keluarga, kerjasama danrasa optimis menghadapi
Keluarga I I
Mean Skor 1 83.56
keadaan) yaitu 70,67%. Pola penanggulangan atau strategi koping pada kasus Tb paru
orang tua (pasien dewasa) di keluarga ini menunjukkan hasil yang berbeda dengan
pola penanggulangan pada kasus penyalut jantung iskemik, Qmana hasil penelitian
Molarejo (1983) dalam M A.McCubbin (1987) pada kasus jantung iskemik
menunjukkan pola I11 (memahami situasi medis dengan komunikasi dengan petugas
kesehatan dan keluarga lain) lebih banyak digunakan. Hal ini dapat dimengerti karena
pada umumnya penderita penyakit jantuing adalah keluarga dari tingkat sosial
ekonomi cukup tinggi sehingga mempunyai kemampuan untuk konsultasi pada
46 29
Total (n =150)~
n 1 %
Di baotu (n=75)
n 1 %
I P-value = 0.019 1
77.56
- Tidak dibantu (n=75)
n 1 % 61.33 38.67
80.560 ,
36 39
48.00 52.00
82 68
54.67 45.33
tenaga kesehatan lebih baik bila dibandingkan dengan kasus TB paru yang pada
umumnya terjadi pada keluarga menengah kebawah.
Sedangkan dilihat dari uji statistik chi kuadrat menunjukkan tidak ada hubungan
antara kelompok keluarga (dibantu dan tidak dibantu) dengan pola penerapan strategi
koping. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 19 berikut ini :
Tabel 19. Pola strategi koping keluarga dalam menghadapi Penyakit TB Pam berdasarkan keloinpok keluarga yang dibantu dan tidak dibantu
Pola I: Mempertahankan keutuhan keluarga
Mempertahankan keutuhan keluarga, ke rjasama dan rasa optimis menghadapi
keadaan merupakan aspek dari perilaku koping keluarga dalam menghadapi berbagai
kesulitan sehubungan dengan adanya penderita penyalut TB paru dalam keluarga.
Berdasarkan tabel 20 diperoleh gambaran mengenai mempertahankan keutuhan
keluarga, kerjasarna dan rasa optimis menghadapi keadaan sehubungan dengan
adanya penderita penyakit TB paru dalam keluarga, kelompok yang di bantu
mayoritas mempertahankan yaitu sebanyak 64%. Sedangkan dalam keluarga yang
tidak dibantu, mempertahankan keutuhan keluarga, kerjasama dan rasa optimis
menghadapi keadaan sebanding antara yang mempertahankan dengan yang tidak
mempertahankan dalam menghadapi berbagai kesulitan sehubungan dengan adanya
penderita penyakit TB paru dalam keluarga. Setelah diuji secara statistika ternyata
terdapat perbedaan perilaku mempertahankan keutuhan keluarga, ke rjasama dan rasa
optimis menghadapi keadaan dalam menghadapi berbagai kesulitan sehubungan
dengan adanya penderita penyakit TB paru dalam keluarga antara kelompok yang di
bantu dengan yang tidak dibantu (p = 0.049). Tetapi yang menjadi pertanyaan adalah
apakah perbedaan perilaku mempertahankan keutuhan keluarga, ke rjasama dan rasa
optimis menghadapi keadaan tersebut disebabkan oleh karena kelompoknya yang
berbeda atau mungkin karena disebabkan faktor lain, maka untuk menguji ha1
tersebut dilakukan analisis kovarians (jumlah anggota keluarga, pendapatan
keluarga,pengetahuan si pasangan penderita TB paru, sikap keluarga, dukungan
keluarga, dan persepsi sebagai kovariat). Dan setelah dilakukan pengujian ternyata
kelompok (yang dibantu dan yang tidak lbantu) tidak memberikan pengaruh yang
nyata terhadap perilaku koping keluarga (p(Ancova) = 0.932). Sebaran data aspek
mempertahankan keutuhan keluarga, kerjasama dan rasa optimis menghadapi
keadaan dapat dilihat pada tabel 20 lbawah ini.
Tabel 20. Aspek mempertahankan keutuhan keluarga, kerjasama dan rasa optimis berdasarkan kelompok keluarga
dibantu dan tidak dibantu
Keluarga I Tirlnk rli hnnt~~
Mempertahankan Tidak mempertahankan
Mean skor
4 8 27
P (K-W) = 0.004) 37.87
64.00 36.00
34.83
3 6 39
48.00 52.00
Pola 11: Mempertahankan dukunpan sosial
Mempertahankan dukungan sosial, kepercayaan diri dan rasa stabilitas
psikologis merupakan aspek dari perilaku koping keluarga dalam menghadapi
berbagai kesulitan sehubungan dengan adanya penderita penyakit TB paru dalam
keluarga. Berdasarkan tabel 2 1 diperoleh gambaran mengenai mempertahankan
dukungan sosial, kepercayaan diri dan stabilitas psikologis sehubungan dengan
adanya penderita penyakit TB paru dalam keluarga, kelompok yang di bantu
mayoritas mempertahankan yaitu sebanyak 60%. Sedangkan dalam keluarga yang
tidak dibantu, mempertahankan dukungan sosial, kepercayaan diri dan stabilitas
psikologis lebih banyak yang tidak mempertahankan dalam menghadapi berbagai
kesulitan sehubungan dengan adanya penderita penyakit TB paru dalam keluarga.
Setelah diuji secara statistika ternyata terdapat perbedaan perilaku mempertahankan
dukungan sosial, kepercayaan diri dan stabilitas psikologis dalarn menghadapi
berbagai kesulitan sehubungan dengan adanya penderita penyalut TB paru dalam
keluarga antara kelompok yang di bantu dengan yang tidak dibantu (p = 0.036).
Tetapi yang menjadi pertanyaan adalah apakah perbedaan perilaku mempertahankan
dukungan sosial, kepercayaan &ri dan stabilitas psikologts sehubungan dengan
adanya penderita penyakit TB paru dalam keluarga tersebut disebabkan oleh karena
kelompoknya yang berbeda atau mungkin karena disebabkan faktor lain, maka untuk
menguji ha1 tersebut dilakukan analisis kovarians (jumlah anggota keluarga,
pendapatan keluarga,pengetahuan si pasangan penderita TB paru, sikap keluarga,
dukungan keluarga, dan persepsi sebagai kovariat). Dan setelah dilakukan pengujian
ternyata kelompok (yang dibantu dan yang tidak dbantu) tidak memberikan pengaruh
yang nyata terhadap perilaku koping keluarga (~(Ancova) = 0.496).
Sebaran data aspek mempertahankan dukungan sosial, kepercayaan diri dan
stabilitas psikologis dapat dilihat pada tabel 21 dibawah ini.
Tabel 2 1. Aspek mempertahankan dukungan sosial, kepercayaan diri dan stabilitas psikologis
Mempertahankan dukungan sosial
Pola III: Memahami situasi medis
Memahami situasi medis melalui komunikasi dengan keluarga lain dan
konsultasi dengan tenaga kesehatan merupakan salah satu aspek dari perilaku koping
keluarga dalam menghadapi berbagai kesulitan sehubungan dengan adanya penderita
penyakit TB paru dalam keluarga. Berdasarkan tabel 22 diperoleh gambaran
mengenai aspek memahami situasi medis melalui komunikasi dengan keluarga lain
dan konsultasi dengan tenaga kesehatan sehubungan dengan adanya penderita
penyakit TB paru dalam keluarga, kelompok yang di bantu mayoritas memahami,
yaitu sebanyak 60%. Sedangkan dalam keluarga yang tidak dibantu, aspek
memahami situasi medis melalui komunikasi dengan keluarga lain dan konsult~si
dengan tenaga kesehatan sebanding antara yang memahami dengan yang tidak
memahami dalam menghadapi berbagai kesulitan sehubungan dengan adanya
Mempertahankan Tidak mempertahankan
Mean skor
Keluarga Dibantu
n=75 / %
P (K-Wl= 0.036
45 3 0
Tidak di bantu n= 75 1 %
60.00 40.00
30.07 27.28
3 5 40
46.67 53.33
penderita penyakit TB paru dalam keluarga. Setelah diuji secara statistika ternyata
tidak terdapat perbedaan perilaku memahami situasi medis melalui komunikasi
dengan keluarga lain dan konsultasi dengan tenaga kesehatan dalam menghadapi
berbagai kesulitan sehubungan dengan adanya penderita penyakit TB paru dalam
keluarga antara kelompok yang di bantu dengan yang tidak dibantu (p = 0.328).
Sebaran data aspek memahami situasi medis melalui komunikasi dengan keluarga
lain dan konsultasi dengan tenaga kesehatan dapat dilihat pada tabel 22 dibawah ini.
Tabel 22. Aspek memahami situasi medis melalui komunikasi dengan keluarga lain dan konsultasi dengan tenaga kesehatan
I Keluarga 1 Memahami situasi medis
Memahami Tidak memahami
Faktor-faktor yang mempen~aruhi Strategi Koping keluarga.
Pada analisa bivariabel akan menilai hubungan antara variabel independent
Dibantu n=75 1 %
Mean skor
dengan variabel dependent dan hubungan antara sesama variabel independent dengan
Tidak di bantu n=75 1 %
45 30
menggunakan ukuran koefisien korelasi, sesuai dengan kerangka konsep maka
P (K-W) = 0.328 15.92
variabel independent (Jumlah anggota keluarga, Usia penderita TB Paru, Jenis
60.00 40.00
15.45
kelamin, Lama pendidikan pasangan si penderita TB Paru,Pendapatan keluarga,
pengetahuan,sikap keluarga, Dukungan kel~arga~dukungan masyarakat,kondisi
37 3 8
lingkungan tempat tingga1,persepsi keluarga, ketersediaan sarana dan prasarana
49.33 50.67
kesehatan) dilihat hubungannya satu persatu dengan variabel dependent (Strateg
koping keluarga dalam menghadapi penderita penyakit TB Paru dalam keluarga).
Diantara variabel independent yang hubungannya siknifikan dengan strategi
koping keluarga dalam menghadapi berbagai kesulitan sehubungan dengan adanya
penderita penyakit TB paru dalam keluarga pada tingkat kekeliruan 5%, yaitu: Lama
pendidikan formal pasangan si penderita TB Paru, Pendapatan keluarga penderita TB
Paru, Pengetahuan pasangan si penderita TB Paru, Sikap keluarga penderita TB Paru,
Dukungan keluarga penderita TB Pam, Dukungan masyarakat, Persepsi keluarga
penderita TB Paru dan Ketersediaan sarana dan prasarana kesehatan.
Dan hasil analisa bivariabel antar sesama variabel independent diperoleh
kesimpulan bahwa diantara sesama variabel independent yang hubungannya
siknifkan tidak ada yang hubungannya masuk dalam kategori tinggi, dimana untuk
keperluan analisis regresi linier berganda (multipel) salah satu asumsi yang hams
dipenuhi yaitu diantara sesama variabel independent tidak boleh berkorelasi tinggi
(Multicolinierity). Batasan nilai untuk dua variabel dikatakan berkolinieritas tinggi
bisa dilihat melalui nilai VIF (Variance Inflation Factors). Apabila nilai VIF untuk
variabel independent lebih besar dari 10, maka salah satu diantara variabel yang
berkorelasi tinggi tersebut harus direduksi dari model regresi. Untuk lebih jelasnya
berikut ini hasil out put software SPSS dengan mengunakan metode enter
diperoleh koefisien regresi dan tingkat siknifikansi untuk masing - masing variabel
bebas sebagai berikut:
Tabel. 23 Analisis regresi berganda dan faktor-faktor yang mempengaruhi strateg koping keluarga penderita TB paru
Independent Variable (Constant) Jumlah Anggota Keluarga Usia
* Siknifikan pads tingkat kekeliruan 5%
Lingkungan tempat tinggal (O=rnemadai, l=tidak memadai) Persepsi Ketersediaan Sarana dan prasarana kesehatan (O=tidak ada, l=ada) Kelompok(O=dibantu, l=tidak dibantu) Dependent Variable: Strategi Koping
Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
B 42.753 180 0.346834 0.008436
Strategi koping keluarga dalam menghadapi masalah kesehatan: "Kasus Penyakit TB
* * Siknifikan pada tingkat kelceliruan 1 %
-2.580689
0.727935
6.719039
1.571948
Paru" & Kabupaten Bandung adalah sebagai berikut :
Beta
0.03690 0.00665
Lama pendidikan pasanpan. Lama pendidikan pasangan si penderita TB Paru
-0.02507
0.12384
0.17524
0.04254
memberikan pengaruh yang s ihf ikan terhadap Strategi Koping Keluarga dalam
Sig. O.OOOO* * 0.3527 0.8660
R' = 0.818
menghadapi masalah kesehatan: " Kasus penyakit TB Pam" di Kabupaten Bandung.
V E
1.16880 1.15386
F = 46.953
0.5079
0.0323"
0.0002**
0.3 182
Karena koefisien regresinya bernilai positif berarti pengaruhnya positif, artinya
1.06446
2.44758
1.52363
1.34589
semakin lama pasangan si penderita mengikuti pendidikan formal semakin baik
penerapan Strategi Koping Keluarga dalam menghadapi masalah kesehatan: '' Kasus
penyakit TB Paru" di Kabupaten Bandung.
Tinekat pengetahuan Pasangan. Tingkat pengetahuan pasangan memberikan
pengaruh yang siknifikan terhadap Strategi Koping Keluarga dalam menghadapi
masalah kesehatan: " Kasus penyakit TB Pam" di Kabupaten Bandung. Karena
koefisien regresinya bernilai positif berarti pengaruhnya positif, artinya semakin baik
pengetahuannya semakin baik penerapan Strategi Koping Keluarga dalam
menghadapi masalah kesehatan: " Kasus penyakit TB Pam" di Kabupaten Bandung.
Sikap Keluarga. Sikap Keluarga mengenai pengobatan TB Paru memberikan
pengaruh yang siknifikan terhadap Strategi Koping Keluarga dalam menghadapi
masalah kesehatan: " Kasus penyakit TB Paru" di Kabupaten Bandung. Karena
koefisien regresinya bernilai positif berarti pengaruhnya positif, artinya semakin baik
Sikap Keluarga mengenai pengobatan TB Paru semakin baik penerapan Strateg
Koping Keluarga dalam menghadapi masalah kesehatan: " Kasus penyakit TB Pam"
di Kabupaten Bandung.
Dukungan Keluarga. Dukungan Keluarga memberikan pengaruh yang siknifikan
terhadap Strateg Koping Keluarga dalam menghadapi masalah kesehatan: " Kasus
penyakit TB Pam" di Kabupaten Bandung. Karena koefisien regresinya bernilai
positif berarti pengaruhnya positif, artinya semakin tingg Dukungan Keluarga
semakin baik penerapan Strategi Koping Keluarga dalam menghadapi masalah
kesehatan: " Kasus penyakit TB Paru" di Kabupaten Bandung.
Ketersediaan Sarana dan Fasilitas Kesehatan. Ketersediaan Sarana clan Fasilitas
Kesehatan, yaitu yang ada Puskesmas/Rumah sakit dengan yang tidak ada
Puskesmas/Rumah sakit memberikan pengaruh yang siknifikan terhadap Strategi
Koping Keluarga dalam menghadapi masalah kesehatan: " Kasus penyakit TB Pam"
di Kabupaten Bandung. Karena koefisien regresinya bernilai positif berarti
pengaruhnya positif, artinya semakin tersedia Sarana dan Fasilitas Kesehatan semakin
baik penerapan Strategi Koping Keluarga dalam menghadapi masalah kesehatan: "
Kasus penyakit TB Pam" di Kabupaten Bandung (terutama Puskesmas).
Persepsi Keluarga men~enai pennyakit TB Paru. Dalam analisis ini variabel
Persepsi Keluarga mengenai penyakit TB Paru merupakan variabel kuantitatif dan
diukur dari tingkat persetujuan si responden mengenai pernyataan-pernyataan yang
berhubungan dengan " Kasus penyakit TB Pam7' . Jadi dari hasil persamaan model
regresi yang diperoleh bisa terlihat bahwa Persepsi Keluarga mengenai pennyakit TB
Paru memberikan pengaruh yang siknifikan (pada tingkat kekeliman 5 %) terhadap
Strateg Koping Keluarga dalam menghadapi masalah kesehatan: " Kasus penyakit
TB Pam" & Kabupaten Bandung. Karena koefisien regresinya bernilai positif berarti
pengaruhnya positif, artinya semakin baik Persepsi Keluarga mengenai pennyakit TB
Paru semalun baik penerapan Strategi Koping Keluarga dalam menghadapi masalah
kesehatan: " Kasus penyakit TB Paru" di Kabupaten Bandung.
Dari hasil analisis regresi terhadap faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
koping keluarga dalam kasus TB paru menunjukkan bahwa sumber daya keluarga
(lama pendidikan, pengetahuan pasangan tentang TB paru, sikap keluarga, dukungan
keluarga dan ketersediaan fasilitas) dan persepsi keluarga mengenai penyalt TB paru
berpengaruh terhadap strategi koping keluarga. Hal ini sesuai dengan pendapat Boss
dan McCubbin dalam Sussman dan Steinmetz (1988) yang menyebutitan bahwa
koping keluarga merupakan manajemen kejadian stress dimana dalam ha1 ini
sumberdaya keluarga dan persepsi akan stressor mempunyai pengaruh terhadap upaya
penanggulangan terhadap stressor yang terjadi pada keluarga.
Pada uji Manova (multivariate analysis of variance) akan menilai pengaruh
variabel independent dengan variabel dependent (dalam ha1 ini Pola strategi koping
keluarga), sesuai dengan kerangka konsep maka variabel independent (Jumlah
anggota keluarga, Usia penderita TB Paru, Jenis kelamm, Lama pendidikan pasangan
si penderita TB Pam, pendapatan keluarga, pengetah~an~sikap keluarga, dukungan
keluarga, dukungan masyarakat, kondisi lingkungan tempat tinggal, persepsi
keluarga, ketersediaan sarana dan prasarana kesehatan kemudian kelompok
responden) dilihat pengaruhnya satu persatu dengan variabel dependent (Pola Strategi
koping keluarga dalam menghadapi penderita penyakit TB Paru dalam keluarga).
Dari hasil uji Manova maka faktor-faktor yang mempenganh Pola Strategi
koping keluarga dalarn menghadapi masalah kesehatan: "Kasus Penyalut TB Pam" di
Kabupaten Bandung adalah sebagai berikut :Lama pendidikan pasanpan. Lama
pendidikan pasangan si penderita TB Paru memberikan pengaruh yang siknifikan
terhadap ketiga Pola Strategi Koping Keluarga dalam menghadapi masalah
kesehatan: " Kasus penyakit TB Paruy' di Kabupaten Bandung. Besar pengaruhnya
terhadap Pola 1 sebesar 15,2%, terhadap Pola 2 sebesar 13,4% dan terhadap Pola 3
sebesar 3,8%. Dukungan Masvarakat. Dukungan masyarakat memberikan pengaruh
yang siknifikan terhadap Pola 1 dan Pola 2 dari Strategi Koping Keluarga dalam
menghadapi masalah kesehatan: " Kasus penyakit TB Paru" di Kabupaten Bandung.
Besar pengaruhnya terhadap pola 1 sebesar 2,9% dan terhadap pola 2 sebesar 6,6%.
Jumlah anggota keluarga. Persepsi Keluarga mengenai penyakit TB Paru
memberikan pengaruh yang siknifikan terhadap Pola 3 dari Strategi Koping Keluarga
dalam menghadapi masalah kesehatan: " Kasus penyakit TB Pam" di Kabupaten
Bandung. Besar pengaruhnya terhadap pola 3 sebesar 6%. Ketersediaan Sarana
dan Fasilitas Kesehatan. Ketersediaan Sarana dan Fasilitas Kesehatan, yaitu yang
ada Puskesmas/Rumah sakit dengan yang tidak ada Puskesmas/Rumah sakit
memberikan pengaruh yang siknifikan terhadap Pola 1, Pola2 dan Pola 3 dari Strategi
Koping Keluarga dalam menghadapi masalah kesehatan: " Kasus penyakit TB Pam"
di Kabupaten Bandung. Besar pengaruhnya terhadap pola 1 adalah 4,9%, terhadap
pola 2 sebesar 11,9% dan terhadap pola 2 sebesar 10,8%. Kelompok
keluarealresponden. Kelompok responden, yaitu yang dibantu dengan yang tidak
dibantu memberikan pengaruh yang siknifikan terhadap Pola 3 dari Strategi Koping
Keluarga dalam menghadapi masalah kesehatan: " Kasus penyakit TI3 Paru" di
Kabupaten Bandung. Besar pengaruhnya terhadap pola 3 adalah 3,3%. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada tabel 24 sebagai berikut:
Tabel 24. Hasil analisis multivariate (Manova) dari faktor-faktor yang mempengaruhi
Corrected Model
Jenis kelamin pasangan
Lingkungan Tempat Tinggal
Kelompok responden
Ketersediaan sarana dan fasilitas kesehatan
Jumlah anggota.Keluarga.
Usia
Lama pendidikan pasangan
Pendapatan keluarga
Pengetahuan Pasangan
Sikap Keluarga
Dukungan keluargakerabat
Dukungan masyarakat
Persepsi
* * Siknifikan pada * Siknifikan pada tingkat kekeliruan 5%
Pola3 Polal Pola2 Pola3 Polal Pola2 Pola3 Polal Pola2 Pola3 Polal Pola2 Pola3 Pola 1 Pola2 Pola3 Polal Pola2 Pola3 Pola I Pola2 Pola3 Pola 1 Pola2 Pola3 Polal Pola2 Pola3 Polal Pola2 Pola3
tingkat kekeliruan 1 %
1 I 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
4.700 7.009 18.306 16.447 0.594 3.788 8.692 0.287 0.011 2.794 24.361 21.059 5.403 0.026 0.144 0.164 0.272 0.096 0.680 1.140 1.252 0.523 3.749 0.048 0.766 3.998 9.671 1.583 2.377 0.041 0.227
0.032* 0.009** O.OOO** O.OOO** 0.442 0.054
0.004** 0.593 0.917 0.097
O.OOO** O.OOO** 0.022* 0.873 0.705 0.686 0.603 0.757 0.41 1 0.288 0.265 0.471 0.055 0.827 0.383 0.048* 0.002** 0.210 0.125 0.840 0.635
0.033 0.049 0.119 0.108 0.004 0.027 0.060 0.002 0.000 0.020 0.152 0.134 0.038 0.000 0.001 0.001
- 0.002 0.00 1 0.005 0.008 0.009 0.004 0.027 0,000 0.006 0.029 0.066 0.012 0.017 0.000 0.002
Tingkat Stress Penderita TB Paru
Tingkatan stress penderita penyakit TB Paru terdiri dari dua aspek, yaitu
stress psikis dan stress fisik, tingkatan sterss pada penderita penyakit TB Pam bisa
disebabkan oleh banyak faktor, seperti pendapatan keluarga yang tidak mencukupui,
dukungan keluarga dan masyarakat yang kurang, tingkat pengetahuan pasangan yang
kurang tentang penyakit TB Paru dan lain-lain. Berdasarkan tabel 25 diperoleh
gainbaran bahwa tingkatan stress penderita penyakit TB pam dalam keluarga yang di
bantu mayoritas rendah yaitu sebanyak 58,67%. Sedangkan dalam keluarga yang
tidak dibantu, tingkatan stress penderita penyakit TB paru mayoritas tinggi, yaitu
sebanyak 60%. Setelah diuji secara statistika (Kruskal-Wallis) ternyata terdapat
perbedaan tingkatan stress penderita penyakit TB paru dalam keluarga antara
kelompok yang di bantu dengan yang tidak dibantu (p = 0.027). Tetapi yang menjadi
pertanyaan adalah apakah perbedaan tingkatan stress penderita penyakit TB paru
tersebut disebabkan oleh karena kelompoknya yang berbeda atau munglun karena
disebabkan faktor lain?, maka untuk menguji ha1 tersebut dilakukan analisis
kovarians (jumlah anggota keluarga, pendapatan kel~arga~pengetahuan si pasangan
penderita TB paru, sikap keluarga, tingkat pendidikan penderita TB Pam, dukungan
keluarga dan persepsi sebagai kovariat). Dan setelah dilakukan pengujian ternyata
kelompok (yang dibantu dan yang tidak dibantu) tidak memberikan pengaruh yang
nyata terhadap tingkatan stress penderita penyakit TB paru (~(Ancova) = 0.086). Bila
dilihat dari jenis kelamin penderita TB paru ternyata perempuan mempunyai tingkat
stress yang tingg (58,67 %) sedangkan pada laki-laki sebaliknya (.57,33%) tingkat
stresnya rendah.
Sebaran data mengenai tingkatan stress pada penderita TB paru dapat dilihat
pada tabel 25 berikut.
Tabel 25. Tingkatan Stress Penderita TB Pam berdasarkan keluarga dibantu dan tidak dibantu
1 L Keluarga ] Total (n =150) (
Apabila tingkat stress penderita Tb paru ini dibedakan menurut jenis kelamin
Tinggi Rendah
Mean Skor
maka terdapat sedikit perbedaan antara laki-laki dan perempuan (p=0,073), dimana
pada perempuan lebih banyak mengalami stress dari pada lalu-lalu. Hal ini dapat
P (K-W) = 0.027
31 44
memperkuat pendapat Stuart and Sandeen (1987) yang menyatakan bahwa
perempuan lebih banyak mengalami stress dibandingkan laki-lalu apabila
41.33 58.67
menghadapi masalah kesehatan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam tabel
40.55
berikut ini .
Tabel 26. Tingkat stress penderita Tb Paru berdasarkan Jenis kelamin.
44.49
45 30
42.520
76 74
60.00 40.00
50.67 49.33
Tingkatan Stress Psikis 1 Jiwa. Tingkatan stress psikis penderita penyakit TB
Paru disebabkan oleh rasa takut,cemas dalam menghadapi situasi lingkungan, baik
lingkungan eksternal maupun lingkungan internal. Berdasarkan tabel 27 diperoleh
gambaran bahwa tingkatan stress psikis penderita penyakit TB paru dalam keluarga
yang di bantu lebih banyak yang rendah dibanding yang tinggi. Sedangkan dalam
keluarga yang tidak dibantu, tingkatan stress psikis penderita penyakit TB paru pada
uinumnya tinggi, yaitu sebanyak 65,33%. Setelah diuji secara statistika (Kruskul-
Wallis) ternyata terdapat perbedaan tingkatan stress psilus penderita penyakit TB paru
dalam keluarga antara kelompok yang di bantu dengan yang tidak dibantu (p= 0.007).
yang menjadi pertanyaan adalah apakah perbedaan tingkatan stress penderita penyakit
TB paru tersebut disebabkan oleh karena kelompoknya yang berbeda atau mungkin
karena disebabkan faktor lain?, maka untuk menguji ha1 tersebut dilakukan analisis
kovarians Cjumlah anggota keluarga, pendapatan keluarga,pengetahuan si pasangan
penderita TB paru, sikap keluarga, tingkat pendidikan penderita TB Paru, dukungan
keluarga dan persepsi sebagai kovariat). Dan setelah dilakukan pengujian ternyata
kelompok (yang lbantu dan yang tidak dibantu) memberikan pengaruh yang nyata
terhadap tingkatan stress psikis penderita penyakit TB paru (~(Ancova) = 0.021).
Sebaran data mengenai tingkatan stress psikis pada penderita TB paru dapat
dilihat pada tabel 27 berikut.
Tabel 27 Tingkatan Stress psikis Penderita TB Pam berdasarkan keluarga dibantu dan tidak dibantu
Tingkat Stress Psi kis
Tin~katan Stress Fisik. Berdasarkan tabel 28 diperoleh gambaran mengenai
tingkatan stress fisik penderita penyakit TB paru, dalam keluarga yang di bantu pada
urnumnya rendah. Sedangkan dalam keluarga yang tidak dibantu, tingkatan stress
fisik penderita penyakit TB paru pada urnumnya tinggi, yaitu sebanyak 62,67%..
Meslupiun secara kuantitatif terlihat perbedaan tingkat stress fisik antar kedua
kelompok tersebut, tetapi setelah diuji secara statistika ternyata tidak terdapat
perbedaan tingkatan stress fisik penderita penyakit TB paru antara kelompok yang di
bantu dengan yang tidak dibantu (p = 0.096).
Sebaran data mengenai tingkatan stress fisik pada penderita TB paru dapat
I n
dilihat pada tabel 28 berikut.
Total (n =150) Keluarga
YO
46.67 53.33
Tinggi Rendah
Tabel 28. Tingkatan Stress fisik Penderita TB Paru berdasarkan keluarga
Di bantu (n=75)
35 40
Tidak dibantu (n=75)
n 49 26
i Mean Skor 20.32 17.89
dibantu dan tidak dibantu
19.105
YO
65.33 34.67
i - - . - - - - - - - - -
Keluarga
Tingkat Stress Fisik
1 ! ~.- --
P (K-W) = 0.096 .- - 2
7
Tinggi Rendah
Mean Skor
n 84 66
Di bantu n=75
% 56.00 44.00
n 32 43
Tidak dibantu (n=75)
Total (n =150)
% 42.67 57.33
22.65
n 47 28
24.17 23.41 0
% 62.67 37.33
n i % 79 71
52.67 47.33
Tingkat Kepatuhan Penderita TB Paru
Kepatuhan si penderita dalam menjalani terapi pengobatan penyakit TB paru
sangat erat kaitamya dengan keberhasilan pelaksanaan strategi koping keluarga
inenghadapi berbagai masalah/kesulitan sehubungan dengan adanya penderita
penyakit TB paru dalam keluarga.
Tingkat kepatuhan penderita penyakit TB paru dapat dilihat dari keteraturan
dalam minum obat dan keteraturan dalam kontrol berobat. Dikatakan patuh apabila si
penderita mentaati segala aturan yang telah dianjurkan dalam pengobatan dan
dikatakan tidak patuh apabila si penderita tidak mentaati salah satu atau lebih aturan
pengobatan yang telah dianjurkan. Dari tabel 29 didapatkan gambaran bahwa
kelompok keluarga yang mendapat bantuan lebih patuh dalam terapi pengobatan
dibandingkan dengan kelompok keluarga yang tidak mendapat bantuan. Hal ini
&dukung oleh hasil pengujian secara statistika yang memperlihatkan assosiasi yang
nyata antar kedua kelompok dalam ha1 kepatuhan dalam berobat (p = 0.005). Sebaran
data kepatuhan &lam berobat dapat dilihat pada tabel 29 berikut.
Tabel 29. Kepatuhan Penderita TB Paru dalam berobat berdasarkan kelompok keluarga dibantu dan tidak dibantu.
Apabila tingkat kepatuhan ini dihubungkan dengan jenis kelamin penderita,
maka ternyata tidak berhubungan secara nyata antara laki-laki dan perempuan
(p=0,870). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tebel berikut :
Tabel 30. Tingkat kepatuhan penderita Tb Paru berdasarkan Jenis kelamin .
Hubungan Tingkat Kepatuhan Penderita TB Paru dengan Perilaku Koping Keluarga Penderita TB Paru.
Perilaku koping adalah upaya-upaya yang dilakukan oleh keluarga (SuamiIIstri)
dalam menghadapi berbagai masalahkesulitan sehubungan dengan adanya penderita
penyakit TB paru &lam keluarga. Dari tabel 3 1 &pat dilihat gambaran sebaran
data antara tingkat kepatuhan dengan perilaku koping keluarga penderita TB Paru.
Apabila di perhatikan secara seksama, terlihat adanya perbedaan tingkat kepatuhan
dalam minurn obat dan kontrol berobat antara perilaku koping keluarga yang
posifladaptif dengan yang negatiflmal adaptif, dimana untuk perilaku koping keluarga
yang positifladaptif mayoritas penderita penyakit TB paru patuh dalam menjalani
terapi pengobatan. Sedangkan untuk perilaku koping keluarga yang
negatiflmaladaptif lebih banyak yang tidak patuh dalam menjalani terapi pengobatan.
Hal ini didukung dengan pengujian tabel kontingensi secara statistika, dimana
diperoleh p-value = 0,000 dan dapat disimpulkan bahwa terdapat keterkaitan
(hubungan) antara Tingkat kepatuhan dengan perilaku koping keluarga penderita TB
paru. (Tabel 3 1)
Tabel 3 1. Hubungan antara tingkat kepatuhan dengan perilaku koping keluarga penderita TB Pam.
Hubungan Tingkat Ke~atuhan Penderita TB Paru dengan Tingkat Stress Penderita TB Paru.
Tingkat kepatuhan penderita TB Pam diihat dari keteraturan si penderita
dalam minum obat dan dan keteraturan dalam kontrol berobat. Apabila sipenderita
TB paru tidak teratur dalam melakukan kedua ha1 diatas sesuai anjuran tim medis,
maka dianggap si penderita tidak patuh . Tingkat stress penderita TB paru
dikategorikan menjadi dua kategori, yaitu tingkat stress tinggi dan rendah. Berikut
disajikan tabel kontingensi antara tingkat kepetuhan dengan tingkat stress penderita
TB paru untuk melihat apakah terdapat keterkaitan antara kedua aspek tersebut.
Tabel 32. Hubungan antara tingkat kepatuhan dengan tingkat stress penderita TB Paru.
Dari tabel 32 diatas dapat dilihat gambaran sebaran data antara tingkat
kepatuhan dengan tingkat stress penderita TB Pam. Apabila di perhatikan secara
seksama, terlihat adanya perbedaan tingkat kepatuhan dalam minum obat dan kontrol
berobat antara tingkat stress rendah dan tingkat stress tinggi, dimana untuk tingkat
stress rendah mayoritas penderita penyakit TB paru patuh dalam menjalani terapi
pengobatan. Sedangkan untuk tingkat stress tinggi lebih banyak yang tidak patuh
dalam inenjalani terapi pengobatan. Hal ini didukung dengan pengujian tabel
kontingensi secara statistika, dimana diperoleh p-value = 0,000 dan dapat
disimpulkan bahwa terdapat keterkaitan (hubungan) antara Tingkat kepatuhan dengan
tingkat stress pa& penderita TB Paru.
Faktor-Faktor yang mempengaruhi Kepatuhan penderita TB Paru
dalam berobat.
Variabel yang diduga mempengaruhi kepatuhan Penderita TB Paru di
Kabupaten Bandung dalam berobat terdiri dari 3 variabel, yaitu: Strategi koping
keluarga, kelompok keluarga dan tingkat stress penderita. Dalam pengujian secara
bivariat ternyata dari ketiga variable tersebut sangat s ipf ikan berhubungan dengan
adanya tingkat kepatuhan (tabel 29, 3 1, dan 32). Narnun setelah dilakukan pengujian
dengan regresi logistik ternyata terdapat dua variable saja yang mempengaruhi
tingkat kepatuhan yaitu variable strategi koping dan tingkat stress penderita,
sedangkan variable kelompok keluarga dibantu dan tidak dibantu tidak secara
signifikan mempengaruhi tingkat kepatuhan penderita dalam berobat. Hal ini terjadi
karena kelompok keluarga dibantu dan tidak dibantu secara nyata (p=0.0212)
mempengaruhi tingkat stress (lampiran 5) dan variable tingkat stress mempengaruhi
secara nyata terhadap tingkat kepatuhan. Dengan demikian pengaruh variable
kelompok keluarga dibantu dan tidak dibantu tidak secara langsung mempengaruhi
tingkat kepatuhan (p=O, 1026) tetapi hams melalui variable tingkat stress dulu.
Walaupun demikian dari hasil pengujian koefisien regresi baik secara
simultan inaupun secara parsial (individu) menunjukkan hasil yang signifikan. Hal ini
mengindikasikan bahwa variabel-variabel yang ada dalam model persamaan regresi
logistik tersebut, berperan atau berpengaruh terhadap tingkat kepatuhan penderita
TB Paru di Kabupaten Bandung. Dari 3 buah variabel yang diuji pengaruhnya dua
variabel diantaranya sigknifikan pengaruhnya terhadap Kepatuhan Penderita TB Pam
di Kabupaten Bandung pada taraf kekeliruan 5%. Dibawah ini akan dijelaskan
masing-masing variabel yang pengaruhnya secara statistika siknifikan terhadap
Kepatuhan Penderita TB Paru di Kabupaten Bandung.
Tinekat Stress Penderita TB paru. Dalam analisis ini variabel tingkat stress telah
dikonversikan menjadi variabel kualitatif (tinggi dan rendah). Jadi dari tabel koefisien
regresi logistik yang diperoleh bisa terlihat bahwa tingkat stress penderita TB p a n
memberikan pengaruh yang siknifikan terhadap Kepatuhan Penderita TB Pam di
Kabupaten Bandung @-value = 0.000). Dimana untuk penderita TB paru yang tingkat
stressnya rendah 11,9 kali lebih patuh dalam menjalani terapi pengobatan
dibandingkan dengan penderita TB paru yang tingkat stressnya tinggi .
Perilaku koping keluar~a. Dalam analisis ini variabel perilaku koping keluarga
telah dikonversikan menjadi variabel halitatif (membantu dan tidak membantu). Jadi
dari tabel koefisien regresi logistik yang diperoleh bisa terlihat bahwa perilaku koping
keluarga penderita TB paru memberikan pengaruh yang siknifikan terhadap
Kepatuhan Penderita TB Paru di Kabupaten Bandung @-value = 0.000). Dimana
untuk penderita TB paru yang perilaku koping keluarganya positif 28,9 kali lebih
patuh dalam menjalani terapi pengobatan dibandingkan dengan penderita TB paru
yang perilaku koping keluarganya negatif.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam tabel; berikut :
Tabel 33. Hasil pengujian Regresi Logistik Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan penderita TB paru dalam berobat
* * Signrfikan pada taraf kekeliruan I % *Sign$kan pada taraf kekeliruan 5%