Metodologi Penelitian Studi Islam - Otentisitas Karya Ulama - Perdebatan Metodologi
Web viewsignifikan diajukan oleh Harald Motzki. Ia menyanggah teori Common Link . dengan mengatakan...
Transcript of Web viewsignifikan diajukan oleh Harald Motzki. Ia menyanggah teori Common Link . dengan mengatakan...
BAB I
PENDAHULUAN
Studi seputar relasi antara Islam dan orientalisme termasuk studi prestisius.
Hampir setiap bidang Islamic studies berkaitan dengan orientalisme, baik itu
tafsir, hadis, fikih, filsafat, sufisme maupun sejarah. Masing-masing bidang studi
tidak luput dari sentuhan kajian para orientalis, bahkan mereka berhasil
menghasilkan karya-karya bermutu yang tidak dapat dilakukan oleh sebagian
umat Islam. Sebagai bukti, dalam bidang hadis, mereka meracik berbagai
pembahasan yang berkenaan dengan otentifikasi hadis.
Ketika sarjana Barat memasuki domain penelitian tentang sumber dan asal
usul Islam, mereka dihadapkan pada pertanyaan tentang apakah dan sejauhmana
hadis hadis atau riwayat riwayat tentang nabi dan generasi Islam pertama dapat
dipercaya secara hisroris. Pada fase awal kesarjanaan Barat, mereka menunjukkan
kepercayaan yang tinggi terhadap literatur hadis dan riwayat riwayat tentang nabi
dan generasi Islam awal. Tetapi sejak paroh kedua abad kesembilan belas,
skeptisime tentang otentisitas sumber tersebut muncul. Bahkan sejak saat itu
perdebatan tentang isu tersebut dalam kesarjanaan Barat didominasi oleh
kelompok skeptis. Kontribusi sarjana seperti Ignaz Goldziher, Joseph Schacht,
Wansbrough, Patricia Crone, Michael Cook dan Norman Calder berpengaruh
secara dramatis terhadap karya karya sarjana Barat
Sebagian besar ahli hadis beranggapan bahwa apabila sebuah hadis
tertentu yang disandarkan kepada nabi saw. ditemukan dalam koleksi hadis
kanonik, lebih-lebih dalam Shahih Bukhari dan Muslim, maka dengan koleksi
hadis-hadis itu bersumber dari nabi saw. namun, berdasarkan temuan G.H.A.
Juynboll (1935-) dengan menggunakan teori common link, walaupun sebuah
hadis tertentu telah direkam dalam al-Kutub al-sittah, tetapi hadis itu belum tentu
berasal dari nabi saw.
Temuan Juynboll ini akhirnya menuai berbagai macam kritik dari kaum
orientalis sendiri maupun dari para ahli hadis muslim. Namun kritik yang paling
1
signifikan diajukan oleh Harald Motzki. Ia menyanggah teori Common Link
dengan mengatakan bahwa otentisitas hadis terbukti terjadi sejak abad ke-1 H.1
Tujuan penulisan makalah ini adalah mengkaji teori common link G.H.A.
Juynboll dan implikasinya terhadap persoalan asal usul dan perkembangan awal
hadis. Teori common link yang berpijak pada asumsi yang berbeda dengan asumsi
metode kritik hadis di kalangan muhaddisin pada gilirannya menimbulkan akibat
yang cukup mengejutkan ahli hadis pada khususnya dan umat Islam pada
umumnya. Tujuan lainnya adalah untuk melihat reaksi yang ditimbulkan oleh
teori Common Link itu sendiri, khususnya atas asumsi yang diajukan Harald
Motzki atas sanggahannya terhadap Juynboll. Dalam makalah ini, kita akan
melihat proses kerja dari teori Common Link serta bagaimana sanggahan yang
dilontarkan oleh Harald Motzki terhadap teori Juynboll dengan mengemukakan
teorinya sendiri.
Dengan segala keterbatasan, dan segala upaya yang sebisa mungkin
penulis lakukan, semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi para pembaca umunya,
dan bagi penulis sendiri khususnya. Amin.
1 Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis, (Malang: Uin-Maliki Press, 2010), hlm 175
2
BAB II
TELAAH ATAS TEORI COMMON LINK G.H.A JUYNBOLL
A. G.H.A Juynboll; Biografi singkat
Gautier H.A. Juynboll lahir di Leiden Belanda pada 1935. Pakar hadis dari kaum
orientalis ini bisa disejajarkan dengan para pakar hadis muslim seperti Fazlur Rahman
dan MM Azami. Selama tiga puluh tahun lebih ia secara serius mencurahkan
perhatiannya untuk melakukan penelitian hadits dari persoalan klasik hingga
kontemporer.2
Selain kiprahnya sebagai seorang dosen dibanyak Universitas di Belanda, ia juga
aktif sebagai peneliti dan daily visitor dalam bidang hadis di perpustakaan Universitas
Leiden.3 Dia mempunyai banyak artikel, makalah, jurnal yang terkait dengan studi hadis
dan banyak mengklaim teori-teori konvensional para ulama muhaddisin adalah yang
diada-ada tanpa data dan sanad yang akurat yang dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah. Hal itu membuat namanya semakin dikenal dikalangan para ilmuan hadis masa
kini.
Concordance et Indices de la Tradition Musulmane (kamus hadis tahun 60-an),
On The Origins of Arabic Prose (1974), The Authenticity of the Tradition Literature:
Discussion in Modern Egypt; itu merupakan beberapa karya original Juynboll yang
diambil dari sumber klasik dan kontemporer, mengkaji tentang pendapat-pendapat para
teolog mesir tentang kesahihan hadits nabi yang syarat dengan historis. Dalam buku ini
banyak dijelaskan pemahaman orientalis seperti: G. Weil, W. Muir, dan R.P.A dozy
yang mereka berkesimpulan bahwa banyak hadis-hadis nabi yang palsu tidak memenuhi
syarat kualitas dan kuantitas sanad dan dalam koleksi kitab hadis bukhari sendiripun
hanya sebagian yang dapat dikategorikan sebagai hadis yang otentik atau original.4
B. Posisi Juynboll dalam Studi Hadits Modern di Barat (Orientalis)
Ketika sarjana Barat memasuki domain penelitian tentang sumber dan asal
usul Islam, mereka dihadapkan pada pertanyaan tentang apakah dan sejauh mana
2 Ali masrur, Teori common link, (Yokyakarta: PT. LKis Pelangi Aksara, 2007), hlm. 153 Umi Sumbulah, Kajian Kritis … hlm. 173.4 Ali masrur, Teori common link,….. hlm.18
3
hadis-hadis atau riwayat-riwayat tentang nabi dan generasi Islam pertama dapat
dipercaya secara hisroris. Pada fase awal kesarjanaan Barat, mereka menunjukkan
kepercayaan yang tinggi terhadap literatur hadis dan riwayat-riwayat tentang nabi
dan generasi Islam awal. Tetapi sejak paruh kedua abad kesembilan belas,
skeptisime tentang otentisitas sumber tersebut muncul. Bahkan sejak saat itu
perdebatan tentang isu tersebut dalam kesarjanaan Barat didominasi oleh
kelompok skeptis. Kontribusi sarjana seperti Ignaz Goldziher, Joseph Schacht,
Wansbrough, Patricia Crone, Michael Cook dan Norman Calder berpengaruh
secara dramatis terhadap karya karya sarjana Barat.
Akan tetapi, Tidak semua sarjana Barat dapat digolongkan dalam aliran
atau “mazhab“ skeptis. Sarjana seperti Joseph Van Ess, Harald Motzki, Miklos
Muranyi, M.J. Kister, Fueck, Schoeler bereaksi keras terhadap sejumlah premis,
kesimpulan dan methodologi para kelompok skeptis. Mereka dapat digolongkan
sebagai kelompok non skeptis. Perdebatan antara kedua kelompok ini sangat
tajam selama dua dekade terahir.
Singkatnya, diskursus hadis di Barat selalu merujuk kepada nama Ignaz Goldziher (Honggaria) dan Joseph Schacht (Austria), dan untuk yang masih hidup G.H.A. Juynboll (Belanda), Harald Motzki (Jerman) dan beberapa nama yang lain. Dimata Orientalis kedua nama yang pertama dianggap seperti Ibn al-Salah (pendekar ulum al-hadith Muslim) atau Ibn Hajar dalam dunia Islam. Sedangkan G. H. A. Juynboll dan Harald Motzki, dianggap (kurang lebih) seperti Muhammad Shakir, al-Albani dan al-Saqqaf atau al-Gumari dalam dunia Islam. Kedua nama pertama (Goldziher dan Schacht) telah wafat, tapi meninggalkan pengaruh global dan menciptakan madhhab skeptis di Barat. Dimasa Goldziher (Mohammedanische Studien,1890) dan Schacht (The Origins 1950), mayoritas sarjana Barat untuk tidak mengatakan semua, skeptis terhadap literatur Islam, termasuk hadis. Diskursus masa awal Islampun (abad pertama kedua) dianggap tidak tersentuh karena minusnya sumber yang tersedia untuk itu. Secara umum, madhab skeptis berpendapat bahwa pengetahuan dan informasi tentang masa awal Islam (abad pertama kedua hijriah) hanyalah perpsepsi komunitas
4
Muslim abad ketiga. Literatur yang ada tidak lebih dari sekedar refleksi peta konflik yang tidak dapat memantulkan realitas seperti digambarkan oleh sumber itu sendiri.
Ignaz Goldziher dan Josep Schacht adalah merupakan dua pengkaji hadist yang
dapat dikategorikan sebagai pengguna aliran revisionis dan adapun aliran tradisional yang
diwakili diantaranya Fuat Sezgin, Nabia Abbott, dan Azami.5 Aliran revisionais
cendrung menarik kesimpulan yang mengingkari validitas uraian-uraian historis yang
didasarkan pada berbagai fakta dari sumber-sumber Islam. Sedangkan kelompok
tradisional adalah mereka yang tidak mengakui kesimpulan kelompok revisionis dan juga
menolak validitas metode kritik sumber yang digunakan oleh kelompok revisionis. Dalam
kontek ini perlu kiranya pikiran Juynboll diletakkan apakah ia menganut revisionis atau
masuk kedalam katagori tradisional atau justru ia mencari jalan tengah diantara keduanya.
Di samping itu, Juynboll adalah seorang pengkaji hadis modern di Barat
dan sekaligus komentator dan penerjemah ide-ide Goldziher dan Schacht.
Walaupun ia tidak selalau mengikuti dan sejalan dengan keduanya, tetapi paling
tidak melalui teori common linknya, orang dapat memahami dengan baik karya-
karya kedua tokoh itu. Hingga saat ini, Juynboll dapat dianggap sebagai pengkaji
hadis terbesar di Barat. Oleh karena itu, membaca dan menyimak teori common
linknya merupakan sebuah keharusan untuk melihat seberapa jauh capaian-
capaian studi hadis di Barat yang telah disumbangkan kepada studi hadis pada
khususnya, dan studi Islam pada umumnya.
C. Asumsi Dasar dan Istilah-istilah Teknis dalam Teori Common Link
Mayoritas para ulama hadis sepakat bahwa semua hadis yang terdapat
dalam koleksi kitab konanik adalah otentik dan dapat dipertanggungjawabkan
serta sudah merupakan bersumber dari Nabi. Namun Juynboll dengan tegas
mengungkapkan hasil temuannya bahwa setiap hadits yang terdapat dalam koleksi
hadits yang konanik sekalipun, tidaklah bersumber dari sahabat atau Nabi
sekalipun, sahabat dan Nabi tidak bertanggungjawab atas dimasukannya nama-
nama mereka kedalam isnad hadits. Adapun yang bertanggung jawab atas matan
hadis dan juga isnad adalah seorang periwayat hadits yang berperan sebagai
5 Ali Masrur, Teori Common Link… hlm. 32
5
common link dalam suatu bundel Isnad. Oleh karenanya materi hadis itu besumber
dari seorang periwayat yang disebut sebagai common link tersebut.
Dalam kajiannya terhadap sanad hadis, Juynboll secara umum bisa
digolongkan kepada dua bagian, pertama; kritiknya terhadap umat islam dalam
konsep dan cara analisis sanad yang mereka kembangkan, kedua; menciptakan
metode analis isnad yang baru sebagai alternatif. Ia berkesimpulan bahwa
metode yang selama ini digunakan oleh para muhaddisin dalam menganalisis
sanad adalah metode yang lemah. Oleh karena itu perlu rancangan metode
analisis sanad yang baru untuk menyelidiki kemunculan suatu matan hadis. 6
Selain dari pada itu kritikan-kritikan yang dikemukakan oleh Juynboll
juga membawa kesimpulan bahwa sebahagian besar matan-matan hadis yang
terkumpul dalam kitab-kitab hadis bukanlah bersumber dari Rasulullah SAW.
atas dasar ini maka metode alternatif yang ditawarkan oleh Juynboll adalah
bertujuan untuk menyelidiki siapakah orang yang pertama kali menyebarkan
matan hadis tersebut, kapan matan hadis tersebut mulai diriwayatkan dan dimana
matan hadis tersebut muncul serta siapa yang pertama kali meriwayatkannya.7
Teori ini dibangun berdasarkan beberapa asumsi, yaitu:
1. Semakin banyak jalur periwayatan yang bertemu, baik yang menuju
kepadanya atau yang meninggalkannya, maka semakin besar pula
seorang periwayat dan periwayatannya memiliki klaim kesejarahan;
2. Periwayat yang dianggap sebagai Common Link (CL) bertanggung jawab
atas jalur tunggal yang kembali kepadaotoritas tertua, sahabat atau nabi,
berikut perkembangan teks yang terjadi di dalamnya;
3. Posisi CL adalah sebagai originator (pencetus) atau fabricator (pemalsu)
isnad dan matan hadis yang kemudian disebarkan kepada sejumlah
muridnya.8
Keaslian dan tidaknya suatu jalur sanad sangat berkaitan dengan istilah-
istilah yang dibuat oleh Junyboll dalam analisi sanad yang dikembangkannya.
6 Fauzi Dermawan, Arif Chasanul Muna, Op. Cit.7 Informasi via email oleh Prof. Dr. Harald Motzki (Jum'at 17 Maret 2006, 12:01:22) dan
Dr. Syamsudi Arif (Jum'at, 10 Maret 2006, 13:08:47), dikutip dari makalah Teori Common Link.8 Umi Sumbulah, Kajian Kritis….. hlm, 173.,
6
Istilah-istilah tersbut adalah Common link (cl); single stand (ss); partical common
link (pcl) seeming common link (scl); diving stand, dan spider.
Kritik yang paling mendasar menuru Juynboll adalah bahwa common link
hampir dari setiap hadis tidak pernah seorang sahabat, dan sangat jarang seorang
tabi'in besar, melainkan hampir selalu hanya seorang dari generasi tabi'in kecil
atau dari generasi setelah itu yaitu tabi'it tabi'in. Dalam hal ini Juynboll membuat
pernyataan bahwa jika para sahabat dan juga tabi'in besar saja hampir tidak pernah
atau jarang menjadi common link maka apalagi nabi sendiri. Singkatnya menurut
Juynboll bahwa materi hadis dalam berbagai koleksi hadis tidaklah bersumber
dari nabi ataupun sahabat, tetapi hanya dari generaasi tabi'in kecil atau generasi
tabi'it tabi'in.9
Jika sebuah hadits berdasarkan dari nabi hanya melalui seorang sahabat
kapada seorang tabi’in, lalu kepada soerang tabi’in lain yang pada gilirannya
sampai kepada common link, dan sesudah itu jalur periwayatannya mulai tersebar
dan terpancar keluar maka kesejarahan jalur periwayatan tunggal dari nabi hingga
common link tersebut tidak dapat dipertahankan. Disini, yang manjdi persoalan
adalah mengapa nabi manyampaikan haditsnya hanya kepeda seorang sahabat,
begitu pula sahabat hanya kepada seorang tabi’in dan seterusnya sehingga sampai
kepada common link.10
D. Pandangan Juynboll terhadap Metode Kritik Hadis (Takhrijul
Hadis) dan Kelemahannya
Terdapat dua hal yang mendasari pentingnya penelitian hadis yaitu:
pertama, terkait dengan posisi hadis sebagai sumber hukum islam II; kedua,
terkait dengan historitas hadis. Argumen historis ini mencakup alasan karena tidak
semua hadis telah tertulis di masa Nabi, secara factual telah terjadi sejumlah
manipulasi dan pemalsuan hadis.11 Menghadapai hal itu, para ahli hadis
9Ali Masrur, Teori Common Link… hlm. 105-10610 Ibid, hlm. 6411 Umi Sumbulah, Kajian Kritik… hlm. 183
7
mengembangkan metode untuk membedakan antara hadis asli, lemah dan bahkan
hadis palsu. Adapun kriteria dalam kritik sanad adalah:
1. Sanad bersambung
2. Perawi bersifat adil
3. Perawi bersifat dhabit
4. Terhindar dari syadz
5. Terhindar dari ilat.
Metode di atas sudah dianggap mapan dan baku oleh para ahli hadis
klasik. Namun dalam pandangan Juynboll sangat berbeda, menurutnya metode
klasik tersebut masih menimbulkan kontroversi jika digunakan untuk
membuktikan kesejarahan penisbatan hadis kepada Nabi. Juynboll mengatakan
ada beberapa titik kelemahan dalam metode tersebut, yaitu:
a. Kemunculan metode kritik hadis konvensional dianggap terlambat.
b. Isnad dapat dipalsukan secara keseluruhan seseuai dengan kondisi
budaya dan politik dimasanya.
c. Tidak diterapkan kritik matan yang tepat hanya fokus kepada kritik
sanad.12
Informasi tentang nabi yang terekam dalam buku-buku hadis laksana
pecahan-pecahan kaca yang harus direkonstruksi supaya dapat memantulkan
berita-berita akurat tentang nabi. Meskipun hadis-hadis tersebut telah diseleksi
oleh para kolektornya (misalnya al-Bukhari, Muslim, Tirmizi, Ibn Majah, Abu
Daud, Nasai dll). Namun, kenyataan bahwa para kolektor ini hidup pada abad ke
tiga hijriah (dua ratus tahun lebih setelah nabi wafat), pertanyaan epistimologis
muncul: sejauh mana tingkat akurasi metodologi para kolektor ini dalam
menyeleksi hadis-hadisnya? Apakah metodologi mereka sama dengan metodologi
yang populer kita kenal dengan ulum al-hadis?
Al-Bukhari yang dikenal sebagai the man of hadis, misalnya, tidak pernah
menjelaskan metodologinya secara detail. Ulum al-hadis yang menurut mayoritas
sarjana Islam sangat akurat menyimpan sejumlah pertanyaan-pertanyaan
12 Ali Masrur, Teori Common Link… hlm. 113.
8
epistimilogis yang tidak terjawab secara empiris. Ulum al-hadis diterima dan
dianggap sesuatu yang taken for granted.13
Dalam hal ini Junyboll pun menawarkan metode common link yang
menurutnya pantas untuk menggantikan metode kritik hadis klasik. Tak hanya
untuk menggantikan posisi metode kritik hadis klasik tersebut, teori common link
juga dimaksudkan untuk menolak semua asumsi dasar yang menjadi pijakan
metode itu.
E. Cara Kerja Teori Common Link G.H.A Juynboll
Secara garis besar, cara kerja dari teori Common Link ini adalah:
a. Menentukan hadis yang akan diteliti
b. Menelusuri hadis dalam berbagai koleksi hadis
c. Menghimpun seluruh isnad hadis
d. Menyusun dan merekonstruksi seluruh jalur isnad dalam satu bundel
isnad (pohon sanad)
e. Mendeteksi Common Link, periwayat yang dinilai paling
bertanggung jawab atas penyebaran hadis.14
Junyboll mengatakan kita tidak pernah menemukan metode yang sukses secara
ilmiah untuk membuktikan kesejarahan penisbatan hadits kepada Nabi. Selaian itu
menurutnya, metode kritik isnad yang digunakan oleh para ulama hadis memiliki
beberapa kelemahan: pertama, metode kritik isnad baru berkembang pada priode yang
relatif sangat lambat. Kedua, isnad hadits, sekalipun shahih, dapat di palsukan secara
keseluruhan dengan mudah. Ketiga, tidak diterapkannya kriteria yang tepat untuk
memeriksa matan hadits. Dalam fenomena ini Juynboll mengajukan solusi dengan
menggunakan metode common link dan metode analisis isnad.
Setelah menentukan dan menelusuri hadis yang akan diteliti dalam berbagai
koleksi hadis, langkah selanjutnya adalah membuat isnad bundle construction.
Tahap kerja isnad bundle construction ini seorang peneliti sebuah hadis
harus membuat skema yang menggambarkan jalur-jalur sanad yang menyokong
13 Phil. H. Kamaruddin Amin, "Refleksi Metodologis atas Diskursus Kesarjanaan Hadis Islam dan Barat," http://kamaruddinamin.uin-alauddin.ac.id/pidato-12-western-methods-of-dating-visavis-ulumul-hadis.htm (akses 03 Januari 2012).
14 Ali masrur, Teori common link……….hlm. 77
9
matan hadis yang dikaji, kemudian jalur-jalur sanad yang berasal dari berbagai
kitab tersebut digabung menjadi satu sehingga membentuk satu konstruksi/
gabungan sanad yang menggambarkan perjalanan periwayatan matan hadis dari
generasi kegenerasi dimulai dari Rasulllllah S.A.W hingga masa para ulama
pengumpul hadis seperti al-Bukhari, Muslim dan lain sebagainya. 15
Untuk menyusun isnad bundle construction , Juynboll menjadikan kitab Tuhfah
al-Asyraf bi Ma'rifah al-Atraf karya al-Mizzi sebagai rujukan utama. Kitab al-Mizzi
ini mencatat jalur-jalur sanad hadis- hadis yang diriwayatkan oleh al-a'immah al-sittah
secara rapi, sehingga dengan menggunakan kitab al-Mizzi ini, Juynboll tidak perlu
menyusun semua jalur sanad yang terdapat dalam al-kutub al-sittah. Supaya jalur-jalur
sanad yang akan dikaji lebih komprehensif dan menggambarkan perjalanan periwayatan
sebenarnya, maka jaringan sanad yang terdapat dalam kitab-kitab selain al-kutub al-
sittah juga harus disusun semua dan kemudian digabungkan dengan jaringan sanad
yang sudah disusun oleh al-Mizzi.16
Hasil dari gabungan jaringan sanad ini akan memberikan gambaran bagaimana
periwayatan berlangsung: siapa saja yang berperanan dalam meriwayatkan matan hadis;
pada generasi manakah matan hadis tersebut mulai menyebar secara luas; dari daerah
manakah asal para perawi tersebut dan lain sebagainya. Singkatnya jaringan sanad
inilah yang akan dijadikan lahan/ medan analisis.
Langkah berikutnya adalah Analisis Sanad
Jaringan-jaringan berbagai sanad yang sudah terpampang dalam kumpulan
isnad bundle construction sebagaimana yang dirilis dari Kutub al-sittah dan
selainnya maka kemudian dianalisis sedemikian rupa dengan metode yang ada,
untuk mencari siapa orang yang pertama kali membuat matan hadis tersebut.
Jalur sanad dari Rasulullah hingga perawi ketiga atau keempat yang tunggal
diistilahkan oleh Juynboll dengan single stand. Manakala perawi ketiga atau keempat
yang mulai mempunyai murid lebih daripada satu dinamakan oleh Juynboll dengan
common link. Adapun murid common link yang mempunyai murid lebih dari satu
dinamakan partial common link.17
15 Umi Sumbulah, Kajian Kritis …. hlm. 17416 G.H.J. Juynboll, "Some Isnad-Analytical Methods Illustrated on the Basis of Seeveral
Woman-Demeaning Sayings from Hadist Literatur" al-Qantara, vol. X (1991), hlm. 345-350, Seperti dikutip oleh: Fauzi Dermawan, Arif Chasanul Muna, Op. Cit.
17 Ibid.
10
Dari uraian diatas terlihat jelas bahwa Juynboll menegaskan bahwa fenomena
common link adalah yang menjamin keaslian suatu periwayatan hadis. Dengan kata lain
Juynboll menganggap bahwa beredarnya matan hadis dan juga sanadnya semenjak
mulai zaman common link hingga masa ulama pengumpul hadis adalah otentik dan
manakala kewujudan matan hadis pada masa sebelum common link tidak otentik atau
tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya dengan kata lain cacat sejarah.
Juynboll menetapkan syarat yang ketat supaya seorang perawi dapat dikatakan
sebagai common link dan partial common link syarat tersebut adalah:
1. Mempunyai lebih dari pada satu murid yang masing-masing
dinamakan partial common link
2. Masing-masing partial common link tersebut pula harus mempunyai
murid lebih dari pada satu, begitu seterusnya sehingga masa ulama
pengumpulkan hadis.
Juynboll juga menegaskan bahwa generasi sahabat tidak ada yang berada dalam
posisi common link. Kebanyakan periwayatan suatu hadis, sahabat hanya mempunyai
satu murid saja. Kalaupun sahabat mempunyai dua murid atau lebih, namun murid-
muridnya tidak memenuhi syarat sebagai partial common link.18
Selain menggunakan metode analisis isnad, Juynboll juga melakukan analisis
matan guna menguji otentisitas dan kesejarahan hadits Nabi. Secara umum langkah-
langkah metode analisis matan yang diajukan Juynboll adalah sebagai berikut:
1.Mencari matan yang sejalan.
2.Mengidentifikasi common link yang terdapat pada matan yang sejalan.
3. Menentukan common link yang tertua.
4. Menentukan bagian teks yang sama dalam semua hadits yang sejalan.
Sumber atau asal semu matan hadis tersebut yang sejalan kemudian ditelusui
dengan menggunakan cara yang sama, yakni metode analisi isnad. Dengan langkah ini,
maka pada akhirnya ditemukan siapa orang-orang yang bertanggung jawab terhadap
suatu hadis dan pada ahirnya diketahui keotentikan dan kebenaran suatu hadis.19
Juynboll menolak bahwa matan hadis yang disokong oleh sanad dalam bentuk
single strand sebagaimana gambar diatas bersumber dari Rasulullah S.A.W. Ia
menetapkan bahwa perawi yang bertanggung jawab membuat matan hadis dan juga
18 Ibid.19 Ali Masrur, Op. Cit, hlm. 88-89
11
rangkaian sanad tersebut adalah ulama pengumpul hadis atau gurunya. Perpindahan
satu matan hadis dari satu perawi kepada satu murid sebelum masa guru ulama
pengumpul hadis tidak dapat dibuktikan keabsahannya kerana tidak ada murid lain
yang meriwayatkan matan yang sama. Oleh karena itu keberadaan matan hadis sebelum
masa guru pengumpul hadis tidak dapat dibuktikan kesejarahannya.20
Seeming common link, adalah apabila seorang perawi kelihatan seperti common
link, namun sebenarnya ia tidak memenuhi syarat sebagai common link. Gambarannya
adalah bahwa jika seorang perawi mempunyai dua murid (partial common link) atau
lebih, namun partial common link tersebut hanya mempunyai satu murid, maka perawi
tersebut tidak dianggap sebagai common link, dan jalur sanad yang sampai kepada ulama
pengumpul hadis diragukan keotentikannya. Perawi yang berada dalam keadaan seperti
ini dinamakan dengan seeming common link (seolah-olah common link).21
Adapun istilah lain yang dikemukakan Juynboll adalah Diving strand yaitu murid
yang berada dibawah common link namun tidak memenuhi syarat sebagai partical
common link dengan pengertian bahwa jalur isnad yang menyelam dan tiba-tiba sampai
kepada periwayat dibawah common link.22 Hal ini hampir sama juga seperti single stand
artinya single stand berada dibawa common link sedangkan single strand dalam
pengertian istilah Juynboll adalah sanad tunggal dari Nabi hingga ke common link.
Konsep "Diving strand" menurut hasil penelitian Juynboll, pertama hadis tersebut
dilihat seperti diriwayatkan oleh lebih dari satu Tabiin atau Sahabat, akan tetapi ketika
isnadnya diteliti secara cermat dan seksama jaringan atau strand tersebut sesungguhnya
berjalur tunggal. Strand seperti itu, menurut Juynboll, dibuat-buat oleh kolektor tertentu
untuk mendukung periwayatan hadis yang bersangkutan.23
Istilah selanjutnya adalah Spider, yakni sebuah bundel isnad yang terdiri dari
berbagai jalur tunggal, namun tidak seorang periwayat pun yang memiliki lebih dari
seorang murid.24 Istilah spider ini juga hampir sama dengan single strand namun rentan
rawinya melewati orang yang semasa dengan Common link atu langsug memperoleh
riwayat dari guru common link dan bahkan melewati sahabat yang lain, maka fenomena
ini dinamakan dengan spider stand. Dikalangan ulama hadis spider ini dinamakan
dengan istilah syawahid dan Mutabi'. syawahid berasal dari kata syahid yang bermakna
20 Fauzi Dermawan, Arif Chasanul Muna, Op. Cit.21Ibid.22Ali Masrur, Teori Common Link….. hlm. xxii.23Phil. H. Kamaruddin Amin, Op. Cit.24Ali Masrur, Teori Common Link…hlm. xxiv.
12
menyaksikan, yakni seorang sahabat menyaksikan sunnah nabi namun matan atau
maknanya mempunyai kesamaan dengan matan atau makna hadis yang lain.25 Adapun
Mutabi' bermakna mengiringi atau yang mencocoki, maksudnya adalah hadis yang
sanadnya menguatkan sanad lain dari hadis itu juga.26 Hal ini terjadi pada perawi yang
melewati generasi setelah sahabat yakni sanadnya langsung disandarkan kepada tabi'in.
Langkah selanjutnya adalah Analisis Motif dan Perkembangan Sanad
dan Matan
Setelah melalui berbagai teori di atas, Junyboll mengakhirinya dengan analisis
motif dan perkembangan sanad dan matan hadis. Pada tahap ini Junyboll menyelidiki
motif pembuatan matan hadis oleh si common link atau perawi setelahnya yang
mempunya sanad single strand; Motif pembuatan jalur sanad oleh Common link atau
perawi setelahnya; Motif pengembangan hadis atau perawi setelah common link; Motif
pembuatan jalur spider yang tidak melewati common link dan motif pembuatan jalur
sanad diving stand yang melewati common link. Dengan diketahuinya motif-motif diatas
maka akan diketahui juga perkembangan bentuk matan hadis dari masa kemasa.27
Setelah mengaplikasikan metode diatas serta mengamati struktur jaringan sanad
dalam al-kutub al-sittah, Juynboll menyimpulkan bahwa sebahagian besar sanad yang
terdapat dalam al-kutub al-sittah adalah berbentuk single strand dan sebahagiannya lagi
adalah gabungan sanad single strand yang membentuk seeming common link dan spider
strand yang tidak mempunyai partial common link sehingga sanad-sanad tersebut tidak
dapat dianggap ilmiah. Juynboll menegaskan bahwa hadis yang mempunyai bentuk
sanad seperti ini jumlahnya ribuan. Sedangkan hadis yang mempunya common link yang
disokong dengan partial common link jumlahnya hanya ratusan.28
F. Kritik Teori Common Link dan Single Strand G.H.A. Juynboll
Dari berbagai uraian sebagaimana di atas, tampak jelas bahwa melalui analisis
single strand (ss); partial common link (pel); seeming commoll link (sel); dan spider,
Juynboll berpendapat bahwa suatu khabar yang diinformasikan oleh satu orang saja tidak
dapat diterima. Dengan kata lain Juynboll tidak menerima kesahihan khabar ahad yakni
yang berbentuk gharib (hadis yang hanya diriwayalkan oleh seorang saja). Selain
25 Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Hadis, (Jakarta: Bumi aksara, 1997), hlm. 23626 Ibid, hlm. 18327Fauzi Dermawan, Arif Chasanul Muna, Op. Cit. 28G.H.A. Juynboll, "Nafi', the Mawla of Ibn 'Umar and His Position in Muslim Hadist
Literatur", Der Islam, vol. LXX (1993), hlm. 207-216, Seperti dikutip oleh: Ibid.
13
daripada itu melalui teori common link, nampak pula bahawa Juynboll hanya
menerima hadis yang disokong oleh sanad yang terdiri dari dua perawi dan masing-
masing perawi mempunyai setidaknya dua murid dan begitu seterusnya.
Untuk menanggapi berbagai teori Juynboll diatas, mari kita coba uraikan bukti-
bukti yang logis bahwa periwayatan hadis ahad kategori gharib adalah jenis
periwayatan yang diterima sejak pada masa Rasulullah SAW. dan berkesinambungan
hingga pada masa sahabat dan generasi-generasi setelahnya. Selain daripada itu penulis
akan coba juga menguraikan sejarah munculnya pendapat yang mengatakan suatu
khabar dapat diterima apabila ianya diinformasikan oleh seorang atau lebih dan juga
tanggapan ulama terhadapnya.
Diantara bukti-bukti yang menunjukkan bahwa khabar ahad yang
dikategorikan gharib diterima dikalangan ulama hadis dan umat Islam pada umumnya
adalah :
1. Kegiatan harian Rasulullah S.A.W. tidak selamanya dihadiri atau disaksikan
oleh banyak orang. Misalnya saja kegiatan di dalam rumah yang tidak
semestinya diketahui oleh semua sahabat. Oleh karena itu kadang-kadang
informasi yang berkaitan dengan perkara tersebut hanya diinformasikan
oleh sahabat Anas bin Malik atau 'A'isyah saja. Sangat tidak dapat diterima
oleh akal apabila riwayat-riwayat yang sedemikian ditolak hanya kerana
tidak ada perawi lain yang menyokongnya.29
2. Kadang-kadang Rasulullah S.A.W melakukan suatu kegiatan hanya diketahui
oleh seorang sahabatnya saja. Misalnya pada kejadian Nabi menginap di
rumah Abu ayyub al-Anshari selama sepuluh hari semasa awal-awal
kedatangan beliu di Madinah. Bisa jadi ada kegiatan Rasulullah S.A.W di
dalam rumah Abu ayyub al-Anshari yang hanya diketahui oleh Abu ayyub
saja. Kemudian Abu ayyub al-Anshari menceritakan perkara itu kepada orang
lain. Periwayatan Abu ayyub al-Anshari ini tidak ditolak oleh para sahabat
yang lain hanya karena beliau meriwayatkan secara sendirian.
3. Rasulull ah S.A.W kadang-kadang mengirim seorang utusan saja ke daerah-
daerah untuk mendakwahkan Islam. Ajaran-ajaran yang bersumber dari pada
Rasulullah yang dibawa oleh seorang utusan tersebut termasuk khabar
ahad kategori gharib. Informasi-informasi tersebut diterima oleh penduduk 29 Abd al-Mauwjud 'Abd al-Latif, al-Sunnah al-Nabawiyah bayn Du'at al-Fitnah wa Ad'iya'
al-'Ilm, (Kaherah: Dar al-Tiba'ah al-Muhammadiyah, 1990), hlm. 119-120, seperti dikutip oleh: Ibid.
14
daerah tersebut dan mereka tidak menuntut adanya orang lain sebagai
saksi."30
4. Begitu pula dengan utusan-utusan suatu kaum yang dikirim untuk belajar
kepada Rasulullah S.A.W. antara mereka ada yang hanya berjumlah satu
saja, dan setelah mereka kembali ke masyarakatnya mereka akan
menceritakan apa yang diperoleh daripada Rasulullah S.A.W. Informasi
mereka yang hanya seorang tersebut tidak ditolak begitu saja oleh kaumnya
hanya kerana diceritakan sendiri.31
Singkatnya, tidak semua sahabat selalu bersama Nabi dalam setiap hari dan
setiap masa sebab di antara mereka ada yang bekerja di kebun, di pasar, pergi berperang
atau mempunyai kegiatan-kegiatan peribadi lainnya.
Pembagian hadis kedalam mutawatir, ahad dan juga pensyaratan jumlah
(al-'adad) dalam periwayatan belum terjadi pada masa sahabat dan tabi'in. Pada masa
itu semua umat Islam menerima periwayatan ahad termasuk yang dikategorikan gharib
yang memenuhi syarat-syarat untuk diterima . Kemudian selepas abad kedua hijriah,
muncullah usaha untuk meragukan khabar ahad yaitu yang dilakukan oleh para ahli
kalam dari kelompok Mu'tazilah. Mereka mendefinisikan khabar ahad dengan "Mala
yu'lam kaunuhu sidqan wala kadziban" (berita yang tidak diketahui kebenaran dan
kebohongannya). 32
Untuk menerima sebuah riwayat, mereka mensyaratkan adanya jumlah
(al-'adad) sama seperti dalam kesaksian. Diantara mereka ada yang mensyaratkan
bahawa suatu hadis dapat diterima apabila diriwayatkan oleh dua orang perawi,
kemudian setiap perawi tersebut mestilah mempunyai dua orang murid dan masing-
masing murid tersebut juga mempunyai dua murid dan begitu seterusnya. Ini adalah
pendapat Ibrahim bin Isma'il bin 'Aliyyah dan al-Jahiz tokoh Mu'tazilah.33
Berikut ini adalah uraian beberapa pendapat ulama yang memperkuat
keabsahan khabar ahad dan sekaligus menolak persyaratan al-'adad sebagaimana yang
disyaratkan oleh Junyboll dalam teori common link nya.
30 "Abd al-Ghani "Abd al-Khaliq, Hujjiyah al-Sunnah, c.2, (Mansurah: Dar al-Wafa', 1993), hlm. 419, Seperti dikutip oleh:Ibid.
31 'Abd al-Aziz b. Rasyid, Radd syubuhat al-Ilhad 'an Ahadith al-Ahad wa Tahdid al Tawatur 'inda Ahl al-Kalam, c.2 (Beirut: al-Maktab al-Islami, hlm. 43-44, Seperti dikutip oleh:Ibid.
32Al-Qadi 'Abd al-Jabbar al-Hamdhani, Syarah al-Ushul al-Khamsah, (Kaherah: Maktabah Wahbah, 1965), hlm. 769, Seperti dikutip oleh: Ibid.
33Jalal al-Din 'Abd al-Rahman bin Abu Bakr al-Suyuti, Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi, (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, 2002), hlm. 32, Seperti dikutip oleh: Ibid.
15
Ibn Hazm (M. 456 H.)
"Semua umat Islam menerima khabar yang bersumber dari satu orang yang
tsiqah dari Nasbi Muhammad S.A.W. mayoritas aliranpun mengakui itu seperti Ahli al-
Sunnah, Khawarij, Syi'ah dan Qadariyyah. Kemudian setelah tahun keseratus (hijriah)
para ahli kalam Mu'tazilah mempunyai pendapat baru sehingga mereka bertentangan
dengan Ijma'". 34
Imam Abu Bakr Al-Hazimi (M. 584 H)
"Saya tidak mengetahui aliran-aliran Islam yang menerima khabar ahad yang
mensyaratkan adanya jumlah (perawi dalam periwayatan) kecuali pengikut Mu'tazilah
masa-masa akhir (muta'akhkhiril Mu'tazilah)".35
Ibn Taymiyyah
"Ini (pendapat yang mensyaratkan adanya sejumlah perawi khabar supaya suatu
khabar dapat diterima) adalah pendapat yang lemah. Yang benar adalah pendapat
sebahagian besar ulama, yaitu ilmu pengetahuan kadang-kadang dapat diperoleh melalui
jumlah pembawa khabar yang banyak, kadang-kadang disebabakan oleh sifat-sifat
keagamaan dan ke-dhabitan pembawa berita (meskipun jumlahnya hanya satu
orang)"36
Ibn Hajar (M. 852 H)
"Adapun pendapat orang yang mensyaratkan adanya jumlah (perawi supaya
sebuah periwayatan diterima) adalah pendapat yang aneh dan bertentangan dengan
pendapat jumhur. Periwayatan seorang perawi adalah diterima apabila periwayatan
tersebut telah memenuhi syarat-syarat untuk diterima"37
34 Abu Muhammad 'Ali bin Ahmad bin Sa'id bin Hazm, Al-Ihkam fi Usul al-Ahkam, j. I, (Beirut: Dar-Al-Kutub al-'Ilmiyyah, t.t.), hlm. 110, Seperti dikutip oleh: Ibid.
35 Abu Bakr Muhammad bin Musa al-Hazimi, Syurut al-A'immah al-Khamsah, (Beirut: Dar al-Basya'ir al-Islamiyah, 1997), hlm. 157-157, Seperti dikutip oleh: Ibid.
36 Ahmad bin Taymiyyah, 'Ilm al-Hadith, (Kaherah: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 1984), hlm. 111, Seperti dikutip oleh: Ibid.
37 Ahmad bin Hajar 'Ali bin Hajar al-Asqalani, Lisan al-Mizan, j. I, (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1996), hlm. 111, Seperti dikutip oleh: Ibid.
16
BAB III
PEMIKIRAN HARALD MOTZKI TENTANG HADISA. Biografi Harald Motzki
Tidak banyak informasi yang bisa didapat tentang latar belakang
kehidupan Harald Motzki, sejauh ini hal yang diketahui tentang dirinya adalah
bahwa Harald Motzki adalah seorang orientalis berkebangsaan Jerman yang
menjadi Guru Besar di Universitas Nijmegen, Belanda. Motzki adalah sosok yang
dikenal para pemerhati orientalisme sebagai sosok yang banyak mengkaji hadits
sejarah yang berhubungan dengan sīrah, metode pencermatan Motzki terhadap
hadits lebih didominasi penelitiannya terhadap sisi sejarah hadits itu sendiri.38
B. Teori-teori Harald Motzki dalam Menganalisis Hadis
Munculnya teori Common Link oleh Schacht dan kemudian dikembangkan
oleh Juynboll menuai berbagai macam kontroversi. Banyak pakar hadis yang
mulai mengkritik teori Common Link tersebut, salah satunya adalah Harald
Motzki yang menyanggah terhadap interpretasi Juynboll yang menilai Common
Link sebagai pemalsu hadis. Ia mengkritik asumsi skeptis Schacht dan Juynboll
dengan mengatakan bahwa otentisitas hadis terbukti sejak abad ke-1 Hijriah. Bagi
Motzki, al-Qur’an dan hadis sudah dipelajari sejak abad kedua Hijriah, atau
bahkan sejak Nabi Muhammad Saw. masih hidup, dan para fuqaha Hijaz terbukrti
telah menggunakan hadis-hadis sejak abad pertama Hijriah. Ia berkesimpulan
bahwa kecil sekali kemungkinan terjadinya keberagaman data periwayatan itu
hasil pemalsuan yang terencana, sehingga sanad dan matan hadis-hadis dalam
kitab tersebut layak dipercaya.39 Dalam kaitannya, menurutnya lagi Common Link
tersebut tidak selalu bisa dikatakan sebagai pemalsu hadis selama belum
ditemukan data sejarah yang menunjukan beliau sebagai pemalsu hadis.
Menurutnya lagi, Common Link tersebut lebih sesuai jika dikatakan sebagai
penghimpun hadis yang pertama, fungsinya adalah sebagai perekam dan
meriwayatkannya ke dalam kelas-kelas reguler, dan dari kelas-kelas itulah sebuah
38 Umi Sumbulah, Kajian Kritis……, hlm. 175. 39Ibid.,
17
sistem belajar yang terlembaga dan berkembang.40 Dari sinilah awal mula teori-
teori Harald Motzki tercipta
Menurut Juynboll, ketika Common Link mengutip satu jalur riwayat hadis
saja maka itu berarti bahwa beliau hanya meriwayatkan versi hadis yang mereka
terima saja, dan tidak menutup kemungkinan mereka mengetahui adanya versi
riwayat yang lain. sementara alasan yang kedua adalah bahwa Common Link
hanya mungkin saja hanya meriwayatkan satu versi jalur yang dianggapnya paling
terpercaya. Selanjutnya alasan ketiga ialah bahwa mungkin Common Link
menambah informan yang paling cocok apabila mereka lua informan yang
sebenarnya.41
Berangkat dari beberapa argumentasi tersebut, maka muncullah teori-teori
Harald Motzki tentang jalur tunggal (Singgle Strand), yaitu sebagai berikut:
1. Jalur tunggal tidak mesti berarti hanya satu jalur periwayatan
2. Jalur tunggal berarti bahwa Common Link ketika meriwayatkan hadis dari
koleksinya hanya menyebutkan satu jalur riwayat, yakni versi yang aling
diketahui dan dinilai paling otoritatif.
3. Mungkin ada versi lain yang tidak sempat terkumpul atau menghilang
karena Common Link tidak sempat menerima atau menyampaikannya, atau
karena versi tersebut tidak diketahui di masa dan tempat Common Link.42
Teori-teori Motzki di atas kemudian mendapat tanggapan dan respon yang
beragam, baik yang menolak maupun mendukung. Adapun diantara orang yang
menolak teori Motzki tersebut adalah Irene Schneider, karena menurutnya
mustahil pesan nabi yang orisinal telah diriwayatkan oleh Common Link sejak
awal, sebab praktik semacam itu tidak ditemukan pada masa awal-awal Islam.
Oleh karena itu, Irene Schneider berpendapat bahwa Motzki telah gagal mengakui
bahwa Common Link telah memalsukan hadis bersama satu atau beberapa jalur
riwayat.43
40 Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis..., hlm. 176.41 Ibid.42 Ibid.43 Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis..., hlm. 176-177.
18
Sedangkan tokoh yang mendukung teori Harald Motzki adalah Gregor
Schoeler. Menurut Gregor Schoeler Common Link tidak harus dipahami sebagai
pemalsu hadis. Hal tersebut dapat dibuktikan pada hadis tentang al-ifk, yang
memiliki Common link al-Zuhri (w.124) dan benar-benar informannya (gurunya)
adalah ‘Urwah ibn al-Zubair (w.94) dan dia tidak memalsukan hadis.
Hadis tersebut adalah sebagai berikut:
فليح حدثنا أحمد بعضه وأفهمني داود بن سليمان بيع الر أبو حدثنا
بن وسعيد بير الز بن عروة عن هري الز شهاب ابن عن سليمان بن
عتبة بن ه الل عبد بن ه الل وعبيد يثي الل وقاص بن وعلقمة ب المسي
حين م وسل عليه ه الل ى صل بي الن زوج عنها ه الل رضي عائشة عن
هم وكل هري الز قال منه ه الل أها فبر قالوا ما اإلفك أهل لها قال
له وأثبت بعض من أوعى وبعضهم حديثها من طائفة حدثني
عن حدثني ذي ال الحديث منهم واحد كل عن وعيت وقد اقتصاصا
كان قالت عائشة أن زعموا بعضا يصدق حديثهم وبعض عائشة
بين أقرع سفرا يخرج أن أراد إذا م وسل عليه ه الل صلى ه الل رسول
غزاة في بيننا فأقرع معه بها خرج سهمها خرج تهن فأي أزواجه
غزاها ...C. Metode Penelitian Harald Motzki
Harald Motzki tidak secara eksplisit menyebutkan langkah-langkah
penelitian yang sistematis ketika melakukan penelitian kitab Musannaf Abd ar-
Razaq. Meskipun demikian, dari data yang ada, penyusun mencoba
menggambarkan metode, pendekatan, dan langkah-langkah sistematis yang
ditempuh Harald Motzki sebagai berikut:
1. Meletakkan dating, yakni menentukan asal-muasal dan umur terhadap
sumber sejarah yang merupakan salah satu substansi penelitian sejarah.
Jika dating yang dilakukan oleh seorang peneliti terhadap sebuah sumber
sejarah terbukti tidak valid di kemudian hari, maka seluruh premis teori
dan kesimpulan yang dibangun atas sumber sejarah tersebut menjadi
19
colleps (roboh). Teori inilah yang menjadi epistemologi Motzki dalam
merekonstruksi sejarah awal Islam dalam karyanya The Origins of Islamic
Jurisprudence.
2. Tidak melakukan penelitian secara keseluruhan hadis-hadis yang terdapat
dalam sumber primernya Musannaf Abd ar-Razaq. Namun, ia
menggunakan metode sampling, yakni mengambil beberapa bagian yang
diangap telah mewakili populasi dari yang diteliti. Tujuan dari penentuan
sampel ini adalah untuk menghindari kekeliruan generalisasi dari sampel
ke populasi. Motzki dalam hal ini meneliti 3810 hadis dari keseluruhan
kitab Musannaf Abd ar-Razzaq yang berjumlah 21033 hadis. Dengan
demikian ia meneliti sekitar 21% hadis.
3. Setelah data terkumpul, kemudian Motzki menganalisis sanad dan matn
dengan menggunakan metode isnad cum analisis dengan pendekatan
traditional-historical, yakni sebuah metode yang cara kerjanya menarik
sumber-sumber awal dari kompilasi yang ada, yang tidak terpelihara
sebagai karya-karya terpisah, dan memfokuskan diri pada materi-materi
para perawi tertentu ketimbang pada hadis-hadis yang terkumpul pada
topik tertentu.
Jadi, traditional-historical dijadikan sebagai alat untuk menganalisa dan
menguji materi-materi dari perawi. Oleh karena itu, penelitian struktur
periwayatan yang dilakukannya memberikan kesimpulan bahwa materi-
materi yang diletakkan atas nama empat tokoh sebagai sumber utamanya
adalah sumber yang otentik, bukan penisbatan fiktif yang direkayasa.
4. Terkait dengan materi periwayatan (matn) hadis, Motzki mengajukan teori
external criteria dan formal criteria of authenticity sebagai alat analisa
periwayatan.
5. Penyusunan atau dsebut sebagai tahap aplikasi. Yakni berangkat dari
metode-metode di atas, Motzki kemudian mengklasifikasikan terhadap
riwayat yang terdapat dalam kitab Musannaf.
20
Penggunaan Motzki terhadap teori dating (menentukan umur dan asal
muasal terhadap sumber sejarah) yang di dasarkan atas sumber orisinil berupa
kitab Musannaf karya Abd ar-Razzaq ditambah dengan metode isnad cum analisis
dengan pendekatan traditional-historical merupakan penelitian yang dapat
dipertangungjawabkan secara akademisi. Hal ini berbeda jauh dengan analisis
historisnya Schacht yang didasarkan atas keragu-raguan dalam menginterpretasi
terhadap fenomena semata sebagaimana tampak dalam projecting back
(penyandaran ide kepada tokoh yang memiliki otoritas-nya). Meskipun demikian,
jika dicermati lebih mendalam teori yang dibangun oleh Motzki sebenarnya sudah
ada dalam kajian ilmu hadis dalam Islam. Misal teorinya tentang traditional-
historical dapat disejajarkan dengan ilmu al-rijal al-hadis dan teorinya tentang
external criteria dan argument internal formal criteria of authenticity dalam
periwayatan hadis dapat disejajarkan dengan teori al-tahammul wa al-‘ada al-
hadis.
Dalam memahami sebuah teks, menarik bila kita menelaah pemikiran
Julia Kristeva, seorang pemikir post-strukturalis Perancis. Dalam kedua bukunya:
Revolution in Poetic Language (Kristeva: 1974) dan Desire in Language: A
Semiotic Approach to Literature and Art (Kristeva: 1979). Ia memperkenalkan
istilah ‘intertekstualitas’ sebagai kunci untuk menganalisis sebuah teks.
Menurutnya, relasi dalam sebuah teks tidaklah sesederhana relasi-relasi antara
‘bentuk’ dan ‘makna’ atau ‘penanda’ (signifier) dan ‘petanda’ (signified)
sebagaimana dipertahankan oleh semiotika konvensional. 44
Sebaliknya, Kristeva melihat pentingnya dimensi ruang dan waktu. Sebuah
teks dibuat di dalam ruang dan waktu yang konkret. Karena itu mesti ada relasi-
relasi antara satu teks dengan teks lainnya dalam suatu ruang, dan antara satu teks
dengan teks sebelumnya di dalam garis waktu. Hal inilah yang terlupakan dari
kajian Motzki, di mana ia terlalu “asyik” dengan kajian teks dalam Mus}annaf
dan jarang sekali ia melakukan interpretasi sejarah di luar teks. Pemberian porsi
yang sebanding antara keduanya dengan mensintesakan secara kreatif antara teori
44 Harald Motzki, The Musannaf of ar-razaq as-San’ani a Source of Authentic Ahadit of the fist Century, dalam journal of Near Easern Studies, vol. 50. No. 1,.... hlm. 12.
21
Schacht dengan teori Motzki dapat dijadikan sebagai salah satu solusi untuk
mengatasi kelemahan ini, agar pemahaman terhadap teks (al-Qur'an dan hadis)
tidak tercerabut dari konteks kesejarahannya.
D. Sanggahan-sanggahan Harald Motzki atas Skeptisisme Para
Orientalis terhadap Hadis
Harald Motzki selaku Dosen Universitas Nijmegen Belanda ini tidak
setuju dengan kesimpulan Schacht mengenai awal munculnya hadits. Sebab
berdasarkan hasil analisis beliau terhadap sanad maupun matan hadis beliau
menyimpulkan bahwa hadits-hadits yang terdapat dalam kitab al-Mushannaf
karya Abdurrazzaq as-Shan’ani (w. 211 H/826 M) adalah kecil sekali
kemungkinan adanya keberagaman data periwayatan hadis adalah suatu hasil
pemalsuan yang terencana. Dengan demikian beliau menyatakan bahwa suatu
matan hadis dan isnadnya dalam kitab-kitab hadis tersebut layak dipercaya.45
Dengan demikian kesimpulan Motzki berbeda dengan orientalis
skeptisisme seperti Schacht dan Ignaz Golzher yang menganggap semua hadits
adalah palsu. Karena Motzki telah membantah teori Schacht yang
mengungkapkan bahwa isnad cenderung membengkak jumlahnya makin ke
belakang, dan teorinya bahwa isnad yang paling lengkap adalah yang paling
belakangan munculnya. 46
Berkenaan dengan sejarah munculnya hukum Islam Motzki juga tidak
sependapat dengan Schacht. Menurut Motzki, Alquran dan hadits sudah dipelajari
semenjak abad kedua hijriyah atau bahkan sejak Nabi Muhammad saw masih
hidup, karena para fuqaha di Hijaz sudah menggunakan hadis sejak abad pertama
hijriyah. Oleh karena itu, Motzki pun sepakat dengan Coulson, yang mengusulkan
agar para orientalis membalik tesis Schacht, dari via negativ menjadi via positiv.
yakni jika Schacht berkata semua hadits harus dianggap tidak otentik hingga
45 Sohibul Adib, Pemikiran Harald Motzki Tentang Hadis, http://islamuna-adib.com dikutip pada tanggal 29 desember 2011.
46 Ibid.
22
terbukti keotentikannya, maka harus dilbalik menjadi menjadi pernyataan “semua
hadits harus dianggap otentik kecuali jika terbukti ketidak otentikannya.47
Berbeda dengan pendapat Schacht dan Juynboll yang menganggap
common link sebagai pemalsu atau pemula bagi sebuah hadis, maka Motzki pun
menafsirkan common link sebagai penghimpun hadis yang sistematis pertama,
yang berperan merekam dan meriwayatkannya dalam kelas-kelas murid regular,
dan dari kelas-kelas itulah sebuah sistem belajar berkembang.48
Selanjutnya adapun pemahaman beliau terhadap suatu fakta bahwa para
kolektor awal ini (common link) mengutip hanya satu otoritas untuk riwayat
mereka adalah mereka hanya menyampaikan versi hadis yang telah mereka
terima atau mereka menganggapnya sebagai jalur yang paling tepercaya dan
bahwa kebutuhan untuk mengutip otoritas dan informan yang lebih banyak,dan
juga berarti versi matan yang berbeda, namun demikian mungkin para
penghimpun (common link) menambah informan yang paling cocok apabila
mereka lupa informan yang sesungguhnya.49 Adapun yang dimaksud dengan jalur
tunggal tersebut adalah bahwa periwayatan hadis tersebut memiliki karakter
sebagai berikut: Nabi-----Satu Sahabat------satu Tabiin----satu fulan- satu
fulan------sejumlah perawi sampai ke mukharrij (collector).
Interpretasi Mozki pada fenomena common link membawanya pada
penafsiran yang berbeda tentang jalur tunggal antara common link dan otoritas
yang lebih awal dan fenomena diving. Menurut Motzki jalur tunggal (single
stand) tidak harus berarti hanya satu jalur periwayatan, melainkan jalur tunggal
adalah berarti bahwa common link ketika meriwayatkan sebuah hadis dari
koleksinya hanya menyebut satu jalur riwayat menurut versinya adalah karena
common link menganggap bahwa riwayat tersebutlah yang paling dia ketahui.
Sementara dikemudian hari, para murid common link atau penghimpun
belakangan mencoba untuk menemukan versi-versi (yang mungkin hilang atau
diabaikan oleh common link) bersama dengan jalur-jalur informasinya. Apabila
47 Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis..., hlm. 175.48 Kamaruddin amin, Metode kritik hadis..., hlm. 167.49 Ibid.
23
mereka sukses menemukannya mereka pun kemudian “dive” satu atau lebih
generasi dibawah commom link. Ini juga berarti bahwa strand yang “diving” tidak
harus dipahami sebagai hasil pemalsuan dari penghimpun belakangan,
sebagaimana yang dipahami oleh Juynboll.50
Pada prinsipnya meskipun penafsiran Motzki pada teori common link
berbeda dengan dengan pemahaman Schacht dan Juynboll, di sisi lain beliau juga
cenderung mengakui sistem isnad secara umum dan sistem common link secara
khusus dapat digunakan untuk tujuan-tujuan penanggalan.51
Demikian juga pendapat Motzki tentang argumentum e silentio dalam
bukunya Die Anfange, Motzki membantah aplikasi umum argumentum e silentio
dengan memberikan kesimpulan bahwa e silentio adalah berbahaya. Selanjutnya
setelah mengalisis riwayat Ibnu Juraij dari ‘Atha’, ia juga berkesimpulan bahwa
para ulama pada awal Islam tidak selalu merasa wajib mengutip semua rincian
hadis meskipun mereka mengetahuinya. Demikian pula, kenyataan bahwa seorang
ulama tidak menyebut sebuah hadis tertentu mungkin disebabkan karena mereka
tidak mengetahuinya. Ini tidak berarti hadis tersebut tidak eksis sama sekali.
Akhirnya sumber- sumber yang kita miliki tidak lengkap melainkan terpencar-
pencar. Oleh karena itu, munculnya sebuah hadis dalam koleksi hadis yang lebih
tua tidaklah harus dipahami bahwa hadis-hadis tersebut adalah hasil dari
pemalsuan melainkan adalah sebuah hasil periwayatan sebelum diketahui
berbagai hal yang menyebabkan kecacatan periwayatannya atau kecacatan
matannya.52
50 Kamaruddin amin, Metode kritik hadis...,, hlm. 16851 Ibid. 52 Ibid, hlm. 169.
24
BAB IV
PENUTUP
Verifikasi teori common link membuktikan bahwa teori ini dapat diterima
kebenarannya sebagai sebuah metode untuk menelusuri asal-usul hadis. Teori
tersebut dapat memberi jawaban yang lebih akurat dan memadai mengenai kapan,
di mana, dan oleh siapa sebuah hadis mulai disebarkan secara publik. Namun
berbeda dengan Juynboll yang menganggap common link sebagai seorang
pemalsu (fabricator) hadis yang bertanggung jawab atas perkembangan isnad dan
matan hadis dan bahwa hampir tidak pernah seorang sahabat memainkan peranan
sebagai common link, studi ini membuktikan bahwa common link adalah seorang
periwayat yang menjadi titik pindah dari periode periwayatan hadis secara publik
dan massal. Common link bukanlah seorang pemalsu hadis. Ia adalah orang yang
pertama yang meriwayatkan hadis dengan kata-katanya sendiri, tetapi subtansi
maknanya tetap memiliki kesinambungan dengan tokoh yang lebih tua dari pada
dirinya, baik sahabat maupun Nabi saw. studi ini juga menunjukkan bahwa
seorang periwayat yang menduduki posisi common link dalam sebuah bundel
isnad berasal dari generasi yang beragam: generasi sahabat kecil, tabin atau tabiit
tabiin walaupun sebagian besar periwayat yang menduduki posisi tersebut berasal
dari generasi tabiin.
Interpretasi Mozki pada fenomena common link membawanya pada
penafsiran yang berbeda tentang jalur tunggal antara common link dan otoritas
yang lebih awal dan fenomena diving. Menurut Motzki jalur tunggal (single
stand) tidak harus berarti hanya satu jalur periwayatan, melainkan jalur tunggal
adalah berarti bahwa common link ketika meriwayatkan sebuah hadis dari
koleksinya hanya menyebut satu jalur riwayat menurut versinya adalah karena
common link menganggap bahwa riwayat tersebutlah yang paling dia ketahui.
Sementara dikemudian hari, para murid common link atau penghimpun
belakangan mencoba untuk menemukan versi-versi (yang mungkin hilang atau
diabaikan oleh common link) bersama dengan jalur-jalur informasinya. Apabila
25
mereka sukses menemukannya mereka pun kemudian “dive” satu atau lebih
generasi dibawah commom link. Ini juga berarti bahwa strand yang “diving” tidak
harus dipahami sebagai hasil pemalsuan dari penghimpun belakangan,
sebagaimana yang dipahami oleh Juynboll.
Pada prinsipnya meskipun penafsiran Motzki pada teori common link
berbeda dengan dengan pemahaman Schacht dan Juynboll, di sisi lain beliau juga
cenderung mengakui sistem isnad secara umum dan sistem common link secara
khusus dapat digunakan untuk tujuan-tujuan penanggalan.
26
Daftar Pustaka
Adib, Sohibul, Pemikiran Harald Motzki Tentang Hadis, http://islamuna-
adib.com dikutip pada tanggal 29 desember 2011.
Amin, Kamaruddin, “Book Review The Origins of Islamic Jurisprudence
Meccan Fiqh before the Classical School”, dalam Al-Jami’ah: Journal of
Islamic Studies, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2003.
Amin, Kamarudin, Metode Kritik hadis, Jakarta: PT Mizan Publika, 2009.
Arif, Syamsuddin, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, Jakarta: Gema Insani,
2008.
Juynboll, G.H.A "Some Isnad-Analytical Methods Illustrated on the Basis of
Seeveral Woman-Demeaning Sayings from Hadist Literatur" al-Qantara,
vol. X (1991), hlm. 345-350, Seperti dikutip oleh: Fauzi Dermawan, Arif
Chasanul Muna,
Masrur, Ali, Teori common link, (Yokyakarta: PT. LKis Pelangi Aksara, 2007.
Motzki, Harald, The Musannaf of ar-razaq as-San’ani a Source of Authentic
Ahadit of the fist Century, dalam journal of Near Easern Studies, vol. 50.
No. 1 di download dari http://www.scribd.co m , pada tanggal 3 Desember
2011.
Phil. H. Kamaruddin Amin, "Refleksi Metodologis atas Diskursus Kesarjanaan
Hadis Islam dan Barat," http://kamaruddinamin.uin-alauddin.ac.id/pidato-
12-western-methods-of-dating-visavis-ulumul-hadis.htm (akses 03 Januari
2012).
Solahudin, M. Agus dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2009.
Sumbulah, Umi, Kajian Kritis Ilmu Hadis, (Malang: UIN-Maliki Press, 2010)
Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Hadis, (Jakarta: Bumi aksara, 1997)
alimasrur.blogspot.com/.../daftar-isi-buku-teori-common-link-g.htm. Dikutip pada tanggal 29 Desember 2011.
27