HAK ASUH ANAK YANG DIBEBANKAN KEPADA AYAH AKIBAT ...repository.uinjambi.ac.id/2709/1/skripsi...
Transcript of HAK ASUH ANAK YANG DIBEBANKAN KEPADA AYAH AKIBAT ...repository.uinjambi.ac.id/2709/1/skripsi...
HAK ASUH ANAK YANG DIBEBANKAN KEPADA AYAH AKIBAT
PERCERAIAN ( ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA JAMBI )
SKRIPSI
BAHARUDIN SYAH
SHK. 141601
PEMBIMBING
DR. H. UMAR YUSUF., M.HI
DRA. RAMLAH., M.Pd.I
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI
2019
ii
iii
iv
v
MOTTO
ا ه قىد ا و م نار يك ل ه أ م و ك فس ن نىا قىا أ ين آم ذ ا ال ه ي ا أ ي
ىن اد ل يعص لظ شد ة غ ئك ل ا م ه ي ل ة ع ار ج ح ال اس و الن
ون ز م ا يؤ لىن م ع ف ي م و ه ز م ا أ م الل
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-
malaikat yang kasar, keras dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang
diperintaahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan”. (QS. At-Tahrim: 6)
vi
PERSEMBAHAN
Alhamdulillah…Alhamdulillah… Alhamdulillahirabbil‟alamin
Sujud syukur kusembahkan kepada-Mu sang penggenggamm langit dan bumi
Dengan rahmat dan Rahim yang menghampar melebihi luasnya angkasa raya
Dengan ridho-Mu ya Allah amanah ini telah selesai, sebuah langkah usai sudah
Namun inii bukan akhir dari perjalananku melainkan awal dari sebuah
perjuangan
Ayahanda dan Ibunda tersayang
HAMZAH dan ANDI MEGAWATI
Petuahmu bak pelita, menuntunku di jalan-Nya, peluhmu bagai air,
menghilangkan haus dahaga, kutata masa depan dengan doamu, kugapai cita dan
impian dengan pengorbananmu, Terima kasih atas semua yang telah diberikan
dan sungguh tidaklah dapat diri ini membalasnya, hanya doa yang dapat ananda
panjatkan semoga ayahanda dan ibunda selalu dalam limpahan rahmat dan
karunia-Nya.
Adik-adikku tersayang
YUSUF, RAMA, FITRI dan AZKIYAH
Indahnya kebersamaan suatu hal yang sangat berharga dan tak tergantikan
Terima kasih untuk malaikat-malaikat kecilku yang selalu menjadi penyemangat
dan motivasi bagiku
kepada kedua pembimbingku
Bapak Dr. H. Umar Yusuf, M.HI dan Ibu Dra. Ramlah, M.Pd.I terima kasih
karena sudah banyak memberikan tunjuk ajar kepadaku dalam menyelesaikan
tugas akhir ini sebagai mahasiswa fakultas syariah
Kepada keluarga besar karya maju 128
Bapak Drs. Jamil Laena, Ibu Dr. Hj. Fadlilah terima kasih sudah menjadi orang
tua keduaku dan untuk kakak-kakak dan adik-adik di karya maju 128 terima kasih
atas semua dukungan dan semangatnya dalam menyelesaikan tugas akhir ini..
Juga kepada teman-teman jurusan Hukum Keluarga angkatan 2014, Keluargaku
di KAPEMA TJT, Teamku Ladass Project, my gengs Dtypo, dan semua sahabat-
sahabat yang tak dapat kusebutkan satu persatu namanya
Penyemangat, penghibur, dan kebersamaan kalian telah menorehkan warna-
warni indah dikertas hidupku..
Untuk kalian semua thanks for everything gaess
Semoga segenggam keberhasilan ini akan menjadi amal ibadah dan kesuksesan
pada masa yang akan datang… aamiin.
vii
ABSTRAK
Baharudin Syah; SHK141601; Hak Asuh Anak Yang Dibebankan Kepada Ayah
Akibat Perceraian. (Analisis Putusan Pengadilan Agama Jambi).
Penelitian ini merupakan penelitian tentang hak asuh anak atau hadhanah
terhadap anak yang berada dibawah umur, yang dalam hal ini berusia 4 tahun
dan1,5 tahun dan oleh majelis hakim ditetapkan jatuh kepada ayahnya. Dalam hal
hak asuh atau hadhanah anak yang belum berusia 12 tahun seyogyanya dijatuhkan
hak asuhnya kepada ibunya sesuai dalam pasal 105 Kompilasi Hukum Islam
menyatakan bahwa hak asuh atau hadhanah anak yang belum berusia 12 tahun
merupakan hak dari seorang ibu. Penulis ingin menjawab rumusan masalah yaitu
pertimbangan hakim tentang hak asuh anak yang dibebankan kepada ayah akibat
putusnya perkawinan dan relevansinya dengan aturan KHI yang diterapkann di
Indonesia. Penulis menggunakan jenis penelitian lapangan (field research)
menelusuri atau meneliti hal yang berkaitan dengan kasus yang disusun dengan
cara melakukan wawancara langsung serta mendapatkan bukti-bukti pada
Pengadilan Agama jambi. Penelitian ini menggunakan pendekatan normative
sosiologis yaitu pendekatan hukum yang dikonsepkan sebagai pranata sosial.
Hasil penelitian yang telah menunjukkan, bahwa hak asuh atau hadhanah yang
dimiliki olehseorang ibu dapat dialihkan apabila sii biu tersebut tidak mempunyai
tabiat yang baik dan kapasitas dalam mendidik. Selain itu pasal 105 Kompilasi
Hukum Islam yang mengaturtentang hak asuh anak atau hadhanah anak di bawah
umur 12 tahun merupakan hak ibu tersebut dapat dikesampingkan jika si ibu tidak
memenuhi syarat-syarat dalam memegang hak asuh anak atau hadhanah. Hal ini
sesuai dengan aturan yang terdapat dalam pasal 49 ayat (1) huruf a dan b Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974.
Kata kunci: Hadhanah, KHI, UU Perkawinan
viii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang mana dalam
penyelesaian skripsi ini penulis selalu diberikan kesehatan dan kekuatan, sehingga
dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Disamping itu, tidak lupa pula
iringan shalawat serta salam penulis sampaikan kepada junjungan Nabi
Muhammad SAW.
Skripsi ini diberi judul “Hak Asuh Anak Yang Dibebankan Kepada Ayah
Akibat Perceraian (Analisis Putusan Pengadilan Agama Jambi)”. Kemudian dalam
penyelesaian skripsi ini, penulis akui, tidak sedikit hambatan dan rintangan yang
penulis temui baik dalam mengumpukan data maupun dalam penyusunannya.
Dan berkat adanya bantuan dari berbagai pihak, terutama bantuan dan
bimbingan yang diberikan oleh dosen pembimbing, maka skripsi ini dapat
diselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, hal yang pantas penulis ucapkan adalah
kata terima kasih kepada semua pihak yang turut membantu penyelesaian skripsi
ini, terutama sekali kepada Yang Terhormat:
1. Bapak Dr.H.Hadri Hasan, MA selaku Rektor UIN STS Jambi, Indonesia
2. Bapak Dr.A.A. Miftah M.Ag selaku Dekan Fakultas Syariah UIN STS
Jambi.
3. Bapak H. Hermanto, Lc, M.HI,Ph.D, selaku Wakil Dekan Bidang
Akademik.
4. Bapak Dr. Rahmi Hidayati, S.Ag.,M.HI, selaku Wakil Dekan Bidang
Administrasi Umum, Perencanaan dan Keuangan.
ix
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................. i
LEMBARAN PERNYATAAN ............................................................ ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING........................................................ iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN. ..................................................... iv
MOTTO ................................................................................................. v
PERSEMBAHAN .................................................................................. vi
ABSTRAK ............................................................................................. vii
KATA PENGANTAR ........................................................................... viii
DAFTAR ISI .......................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................... 8
C. Batasan Masalah .............................................................. 8
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian..................................... 8
E. Kerangka Teori. ............................................................... 10
F. Kerangka Konseptual ...................................................... 16
G. Tinjauan Pustaka ............................................................. 22
BAB II METODE PENELITIAN
A. Lokasi dan Sasaran Penelitian ......................................... 25
B. Unit Analisis .................................................................... 26
C. Jenis Data dan Sumber Data............................................ 26
D. Tekhnik Pengumpulan Data ............................................ 27
xi
E. Teknik Analisis Data ....................................................... 29
F. Sistematika Penulisan ...................................................... 30
BAB III GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Sejarah Pengadilan Agama Jambi ................................... 32
B. Visi dan Misi Pengadilan Agama Jambi ......................... 34
C. Kekuasaan Peradilan Agama. .......................................... 36
D. Tugas Pokok dan Fungsi Pengadilan Agama Jambi ....... 38
E. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Jambi ................ 40
BAB IV PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN
A. Proses Pengajuan Perkara Hadhanah di Pengadilan
Agama Jambi ................................................................... 45
B. Faktor Penyebab Hak Asuh Anak Dibebankan
Kepada Ayah ................................................................... 52
C. Pertimbangan Hakim Dalam Memutuskan Hak Asuh
Anak Yang Belum Mumayyiz Jatuh Kepada Ayah ........ 55
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan..................................................................... 63
B. Saran-saran..................................................................... 64
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
CURICULUM VITAE
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pernikahan adalah suatu akad yang secara keseluruhan aspeknya
dikandung dalam kata nikah atau tazwīj dan merupakan ucapan seremonial
yang sakral. Dikatakan sakral karena dalam akad pernikahan yang
dilangsungkan tersebut pihak suami mengucapkan akad nikah diaman dia
dengan suka rela telah menyatakan qabul dari ucapan ijab wali calon istri.
Sebab dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 disebutkan “Perkawinan
menurut hukum Islam adalah pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau
mitsaqan ghalizham untuk mentaati perintah Allah dan melakukannya
merupakan ibadah”.1
Ada beberapa definisi nikah yang dikemukakan para ahli fikih, namun
pada prinsipnya tidak ada perbedaan yang berarti kecuali pada redaksinya
saja. Yakni:
1. Menurut Ulama Malikiyah: Nikah adalah akad yang semata-
mata untuk mendapatkan kesenangan dengan sesama manusia.
2. Menurut ulama Hanafiyah: Nikah adalah akad yang disengaja
dengan tujuan mendapatkan kesenangan.
3. Menurut ulama Hanabilah: Nikah adalah akad dengan lafaz
nikah atau kawin untuk mendapatkan manfaat bersenang-
senang
1 Zainal Abidin Abu bakar, Kumpulan peraturan perundang-undangan dalam lingkungan
peradilan agama”, Cet Ke-3, (Jakarta: Yayasan Al-Hikmah, 1993) hlm. 307
2
4. Menurut ulama Syafi;iyah: Nikah adalah akad yang
mengandung maksud untuk memiliki kesenangan (wathi’)
disertai lafadz nikah, kawin atau yang semakna.2
dalam fikih dijelaskan bahwa nikah mengakibatkan kehalalan dalam
berjimak. Pernikahan merupakan jalan alami dan biologis yang paling baik
untuk menyalurkan dan memuaskan naluri seksual.3
Dari beberapa pengertian diatas, yang tampak adalah kebolehan
hukum antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk melakukan
pergaulan yang semula dilarang (yakni bersenggama). Dewasa ini,
pernikahan dijadikan dasar yang kuat bagi kehidupan manusia karena
adanya beberapa nilai yang tinggi dan beberapa tujuan utama yang baik bagi
manusia, makhluk yang dimuliakan Allah SWT.4
Pernikahan juga merupakan jalan untuk menyalurkan naluri manusia
untuk memenuhi nafsu syahwatnya yang telah mendesak agar terjaga
kemaluan dan kehormatannya. Jadi pernikahan adalah kebutuhan fitrah
manusia yang haruss dilakukan oleh setiap manusia. Begitu pentingnya
pernikahan dalam Islam, Rasulullah pun sangat menekankan karena
pernikahan merupakan perisai diri manusia, nikah dapat menjaga diri
kemanusiaan dan menjauhkan dari pelanggaran-pelanggaran yang
diharamkan dalam agama.
2 Abd ar-Rahman Al-jaziri, Kitab al-fiqh „ala al-mazahib al-„Arba‟ah, (Beirut: Dar al-Fikr,
2002), Cet I hlm. 3 3 Sayyid Sabiq. Fiqh Sunnah. (Kairo: Daar al-Fath, 2000). Cet Ke-1, jilid 1, hlm. 7.
4 Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat
Khitbah, Nikah, dan Talak, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2009), Cet pertama, hlm. 39
3
Dalam ajaran islam, pernikahan memilliki nilai ibadah. Dalam ayat 2
Kompilasi Hukum Islam, meneybutkan bahwa perkawinan adalah akad
yang sangat kuat (Mitsaqan Ghalidan) untuk mentaati perintah Allah SWT,
dan melaksanakan perkawinan juga merupakan bentuk ibadah.
Namun dalam kenyataannya, perkawinan tidaklah selalu berjalan
dengan penuh keharmonisan, kadangkalanya sebuah rumah tangga
mendapatkan sebuah konflik keluarga yang jika tidak bisa diatasi akan
menimbulkan sebuah perceraian. Jika ikatan antara suami istri sedemikian
kokohnya maka tidak ssepatutnya dirusakkan dan disepelekan, seriap usaha
untuk melenyapkan hubungan perkawinan seharusnya sedapat mungkin
dihindari karena perceraian itu merupakan perbuatan halal akan tetapii
teramat dibenci Allah SWT.
Perceraian merupakan pemutusan tali perkawinan yang disyariatkan
dalam Islam.5 Dengan putusnya suatu perkawinan, berdasarkan putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde),
maka akan ada akibat hukum yang mengikutinya, salah satunya adalah
mengenai hak asuh atas anak-anak yang lahir dar perkawinan tersebut.
Hak asuh anak adalah merupakan mashdar atau mengasuh anak.
Mengasuh anak dalam artian tersebut adalah menjaga anak ayng belum
mempu mengatur dan merawat diri sendiri serta belum mampu menjaga diri
dari berbagai hal yang mungkin membahayakan dirinya.
5 Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga (Jakarta Timur: Pustaka Al-kautsar), hlm. 207
4
Dalam hal mengasuh anak orang yang lebih berkewajiban dalam hal
tersebut adalah ibu.6 Karena anak dimasa kecilnya membutuhkan kasih
sayang yang lebih, pemeliharaan yang optimal agar tumbuh kembang anak
tersebut terpelihara.
Dimana dalam keadaan lain bapak sibuk dalam mencari nafkah, maka
ibu yang lebih berperan dalam memelihara anak. Maka dari itu Islam
memberikan hadhanah itu kepada ibu. Serta mewajibkan suaminya untuk
menafkahi anak dan ibu tersebut.
Hadhanah merupakan hak bagi anak-anak yang masih kecil, karena ia
membutuhkan pengawasan, penjagaan, pelaksanaan urusannya dan orang
yang mendidiknya.
Muderis Zaini berpendapat bahwa keluarga mempunyai peranan
penting dalam kehidupan manusia sebagai manusia sosial dan merupakan
masyarakat kecil yang terdiri dari seorang ayah, ibu dan anak.7
Dalam melaksanakan kewajiban dan tanggung jawab dalam rumah
tangga, mereka harus saling membantu, saling pengertian, saling membina,
agar keutuhan itu tetap harmonis dan terlaksana, maka haruslah ada
komunikasi yang baik dan efektif antara anggota keluarga.
Akan tetapi sebaliknya, jika dalam suatu keluarga tidak ada
komunikasi yang baik, maka akan timbul permasalahan dan semua akan
berdampak pada psikologi seorang anak. Diantara hal yang akan terjadi
6 Al-Hamdani, Risalah Nikah: Hukum Perkawinan Islam. (Jakarta: Pustaka Amami, 2002).
hlm. 318 7 Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika,
1992), hlm. 7.
5
adalah anak akan menjadi stres, perubahan fisik dan mental, yang semua itu
akan berdampak timbulnya kecemasan dalam diri seorang anak. Selain itu
dampak yang akan terjadi hilangnya hak anak dan kepentingan anak, seperti
kasih sayang dalam sebuah keluarga yang utuh dan tingkat kecerdasan anak
demi pengembangan diri mulai terabaikan. Ini semua disebabkan orang tua
yang sibuk menyalahkan siapa yang menjadi awal penyebab dari keretakan
rumah tangganya dan semua itu akan berujung pada perceraian.8
Perceraian mengakibatkan putusnya hubungan ikatan pernikahan
antara suami dan isteri, begitu juga hubungan orang tua dan anak yang
berubah menjadi pengasuhan. Karena itu, jika pernikahan dipecahkan oleh
hakim maka harus pula diatur tentang pemeliharaan terhadap anak terutama
anak yang masih dibawah umur.
Menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 105 (a): pemeliharaan anak
yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya.
Akan tetapi dalam kasus perceraian pada putusan Pengadilan Agama Jambi
bahwa hak pmeliharaan anaknya yang masih dibawah umur jatuh ke pihak
bapak bukan berada di pihak ibu seperti sebagaiman ayang diatur dalam
pasal 105 (a) kompilasi Hukum Islam (KHI).9
Dalam putusan Pengadilan Agama Jambi Nomor:
122/Pdt.G/2019.PA.Jmb tertuang dalam Duduk Perkara sebagai berikut:10
8 Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika,
1992) hlm. 8
9 Wawancara dengan Raudhah (Panitera muda), tanggal 15 maret 2019 di Kantor
Pengadilan Agama Jambi 10 Putusan Hakim Pengadilan Agama Jambi No: 122/Pdt.G/2019/PA.Jmb
6
1. Bahwa pada tanggal 13 april 2014, Pemohon dan Termohon
melangsungkan pernikahan yang dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah
Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan XXX, Kabupaten Muaro
Jambi
2. Bahwa pada waktu akad nikah Pemohon Berstatus Jejaka sedangkan
Temohon berstatus Janda.
3. Bahwa setelah akad nikah Pemohon dan Termohon hidup bersama
sebagai suami-isteri dengan bertempat tinggal dirumah sendiri di
Kelurahan XXX Kecamatan Jelutung Kota Jambi (sampai sebelum
berpisah)
4. Bahwa dari pernikahan tersebut Pemohon dan Termohonn telah
melakukan hubungan suami-isteri (ba’da dukhul) dan telah dikaruniai 2
(dua) orang anak yang bernama:
a. Anak pertama, berumur 4 tahun
b. Anak kedua, berumur 1,5 tahun
5. Bahwa keadaan rumah tangga Pemohon dan Termohon semula berjalan
rukun dan harmonis, akan tetapi sejak Tahun 2017 mulai goyah, yakni
antara pemohon dan termohon sering terjadi perselisihan dan
pertengkaran yang disebabkan oleh:
a. Termohon sering pergi meninggalkan rumah tanpa sepengetahuan
pemohon sehingga anak terlantarkan
b. Termohon menelantarkan anak
7
6. Bahwa puncak perselisihan antara Pemohon dan Termohon terjadi pada
tanggal 3 oktober 2018 disebabkan oleh peselingkuhan yang dilakukan
oleh termohon, sehingga menyebabkan antara pemohon dan termohon
berpisah tempat tinggal selama 5 bulan dan selama itu antara pemohon
dan termohon sudah tidak pernha menjalankan tugas serta kewajiban
sebagaimana layaknya suami-isteri
7. Bahwa pemohon telah berusaha untuk mempertahankan rumah tangga
dengan meminta bantuan pihak keluarga untuk mencari solusi dari
permasalahan rumah tangga yang dihadapi akan tetapi tidak berhasil
8. Bahwa penjelasan diatas menunjukkan bahwa keadaan rumah tangga
pemohon dan termohon benar-benar sudah tidak harmonis dan tidak
memiliki harapan akan dapat hidup rukun kembali bersama termohon
untuk membina rumah tangga yang bahagia dimasa yang akan datang.
9. Bahwa anak-anak pemohon dan termohon yang bernama anak pertama
dan anak kedua masih di bawah umur dan sangat membutuhkan kasih
sayang serta bimbingan pemohonn sebagai ayahnya. Oleh karena itu
pemohon mengahrapkan agar perkembangan jiwa anak tersebut tumbuh
dengan baik, maka pemohon memohon agar kedua anak-anak tersebut
diberikan hak asuhnya kepada pemohon, Karena termohon sering
menelantarkan anak.
Maka berdasarkan uraian diatas, penulis mencoba meninjau lebih
dalam mengenai hadhanah seorang anak kepada bapaknya setelah
perceraian orang tuanya dalam bentuk skripsi dengan judul “Hak Asuh
8
Anak Yang Dibebankan Kepada Ayah Akibat Perceraian (Analisis
Putusan Pengadilan Agama Jambi)
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang diajukan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana Proses Pengajuan Perkara Hadhanah Di Pengadilan Agama
Jambi
2. Apa faktor penyebab hak asuh anak dibebankan kepada ayah
3. Bagaimana pertimbangan hakim dalam menentukan hak asuh anak
yang belum mumayyiz jatuh kepada ayah
C. Batasan Masalah
Jika dilihat dari latar belakang masalah, ternyata permasalahn yang
ada begitu luas, agar dalam penelitian masalah ini tidak terlalu melebar dan
dapat terarah serta tersusun secara sistematis, maka penulis membatasi
permasalahn dalam hal apa yang menjadi pertimbangan hakim tentang hak
pemeliharaan anak akibat perceraian yang diperoleh bapak
D. Tujuan Peneletian dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Secara umum tujuan penelitian ini tidak lain untuk turut serta
memberikan kontribusi peneliti terhadap wacana, pemikiran, kajian dan
praktik kehidupan rumah tangga yang sedang berlangsung. Adapun tujuan
khusus penelitian ini adalah:
9
a. Untuk mengetahui bagaimana proses pengajuan perkara hadhanah di
PA Jambi
b. Untuk mengetahui apa yang menjadi penyebab jatuhnya hak asuh
anak kepada ayah
c. Untuk mengetahui bagaimana pertimabangan hakim dalam memutus
perkara hak asuh anak yang belum mumayyiz jatuh kepada bapak
2. Kegunaan Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian, maka kita dapat mengharapkan
kegunaan atau manfaat dari hasil penelitian. Kegunaan penelitian ini
dapat dibagi atas dua bagian, yaitu kegunaan teoritis dan kegunaan
praktis
a. Kegunaan Teoritis
1. Hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan bagi
penelitian selanjutnya dan dapat pula dijadikan sebagai bahan
masukan dalam memahami perihal hak asuh anak kepada
orang tua laki-laki (ayah) akibat perceraian (analisis di
pengadilan agama jambi)
2. Hasil penelitian ini dihdarapkan dapat menjadi bahan untuk
mengembangkan penelitian ini lebih lanjut guan kepentingan
ilmu pengetahuan khususnya studi Hukum Keluarga
b. Kegunaan Praktis
1. Hasil penelitian ini nantinya diharapkan dapat berguna sebagai
tambahan wawasan pengetahuan tentang hak asuh anak kepada
10
ayah akibat perceraian ditinjau dari undang-undang
perkawinan dan kompilasi hukum Islam
2. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan
pertimbangan bagi masyarakat Indonesia pada umumnya dan
para cendikiawan hukum khususnya mengenai hak asuh anak
kepada ayah akibat perceraian
E. Kerangka Teori
Kerangka teori yang akan dijadikan landasan dalam suatu penelitian
tersebut, adalah teori-teori hukum yang telah dikeembangkan oleh ahli
hukum dalam berbagai kajian dan temuan antara lain sebagai berikut:11
1. Teori maqasid al-syariah
Teori maqasid al-syariah dikemukakan dan dikembangkan oleh Abu
Ishaq Al-Syatibi, yaitu tujuan akhir hukum adalah maslahah atau kebaikan
dan kesejahteraan manusia. Tidak satu pun hukum Allah SWT yang tidak
mempunyai tujuan sama dengan membebankan sesuatu yang tidak dapat
dilaksanakan. Hukum-hukum Allah SWT dalam Al-Qur’an mengandung
kemaslahatan.12
a. Qashdu al-syari’ fi wadhi’ al-syari’ah (maksud syari’ dalam menetapkan
syariat)
Menurut al-Syatibi, Allah menurunkan syariat (aturan hukum) tiada lain
selain untuk mengambil kemaslahatan dan menghindari kemudaratan (jalbul
11 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), I, hlm 79.
12
Satria Effendi, dan M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm 233.
11
mashalih wa dar‟ul mafasid). Dengan bahasa yang lebih mudah, aturan-
aturan hukum yang Allah tentukan hanyalah untuk kemaslahatan manusia
itu sendiri. Al-Syatibi kemudian membagi maslahat ini kepada tiga bagian
penting yaitu dharuriyat (primer), hajiyyat (sekunder), dan tahsiniyyat
(tersier).
Maqasid atau maslahat dharuriyyat adalah sesuatu yang mesti adanya
demi terwujudnya kemaslahatan agama dan dunia. Apabila hal ini tidak ada,
maka akan menimbulkan kerusakan bahkan hilangnya hidup dan kehidupan
seperti makan, minum, shalat, shaum dan ibadah-ibadah lainnya. Yang
termasuk maslahat atau maqashid dharuriyyat ini ada lima yaitu: agama (al-
din), jiwa (al-nafs), keturunan (an-nasl), harta (al-mal) dan aqal (al-aql).
Maqashid atau maslahah hajiyyat adalah sesuatu yang sebaiknya ada
agar dalam melaksanakannya leluasa dan terhindar dari kesulitan. Kalau
sesuatu ini tidak ada, maka ia tidak akan menimbulkan kerusakan atau
kematian hanya saja akan mengakibatkan masyaqqah dan kesempitan.
Misalnya, dalam masalah ibadah adalah rukhsah; shalat jama‟ dan qashar
bagi musafir.
Maqashid atau maslahah tahsinat adalah sesuatu yang sebaiknya ada
demi sesuainya dengan keharusan akhlak yang baik atau dengan adat. Kalau
sesuatu ini tidak ada, maka tidak akan menimbulkan kerusakan atau
hilangnya sesuatu juga tidak akan menimbulkan masyaqqah dalam
melaksanakannya, hanya saja dinilai tidak pantas dan tidak layak menurut
12
ukuran tatakrama dan kesopanan. Diantara contohnya adalah thaharah,
menutup aurat dan hilangnya najis.
Untuk memperjelas maqashid atau maslahah dikaitkan dengan tiga
tingkat kepentingan; dharuriyyat, hajiyyat, tahsiniyyat, maka perlu
diterangkan keterkaitan atau cara kerjanya:
a) Memelihara Agama
Menjaga dan memelihara agama berdasarkan kepentingan dapat
dibedakan menjadi tiga peringkat:
1) Memelihara agama dalam peringkat dharuriyyat yaitu memelihara
dan melaksanakan kewajiban keagamaan yang termasuk peringkat
primer, seperti melaksanakan sholat lima waktu. Bila sholat ini
diabaikan, maka terancam eksistensi agamanya.
2) Memelihara agama dalam peringkat hajiyyat, yaitu melaksanakan
ketentuan agama, dengan maksud menghindari kesulitan, seperti salat
jama‟ dan qasar bagi musafir. Kalau ketentuan ini tidak dilaksanakan,
tidak mengancam eksistensi agama, cuma dapat mempersulit
pelaksanaannya.
3) Memelihara agama dalam peringkat tahsiniyat, yaitu mengikuti
petunjuk agama guna menjunjung tinggi martabat manusia, sekaligus
melengkapi pelaksanaan kewajibannya kepada Tuhan. Misalnya menutup
aurat baik di dalam maupun diluar shalat dan membersihkan pakaian,
badan dan tempat. Kegiatan ini erat kaitannya dengan akhlak terpuji.
Apabila semua itu tidak dilakukan karena tidak memungkinkan, maka
13
tidak mengamcam eksistensi agama. Namun demikian, tidak berarti
tahsiniyat itu dianggap tidak perlu, sebab peringkat ini akan menguatkan
dharuriyat dan hajiyat.
b) Memelihara Jiwa
Memelihara jiwa berdasarkan tingkat kepentingannya dapat
dibedakan menjadi tiga peringkat:
1) Memelihara jiwa pada peringkat dharuriyyat adalah memenuhi
kebutuhan pokok berupa makanan untuk mempertahankan hidup. Kalau
kebutuhan pokok itu diabaikan akan berakibat terancamnya eksistensi
jiwa manusia
2) Memelihara jiwa pada peringkat hajiyyat adalah dibolehkannya
berburu dan menikmati makanan yang lezat dan halal. Kalau kegiatan ini
diabaikan tidak akan mengancam eksistensi kehidupan manusia,
melainkan hanya dapat mempersulit hidupnya.
3) Memelihara jiwa pada peringkat tahsiniyyat seperti ditetapkannya tata
cara makan dan minum. Kegiatan ini hanya berhubungan dengan
kesopanan dan etika. Sama sekali tidak akan mengancam eksistensi jiwa
manusia atau mempersulitnya.
c). Memelihara Akal
Memelihara akan, dilihat dari kepentingannya dapat dibagi menjadi
tiga perinkat:
14
1) Memelihara akan pada peringkat dharuriyyat, seperti diharamkan
minum minuman keras. Apabila ketentuan ini dilanggar akan berakibat
terancamnya eksistensi akal manusia.
2) Memelihara akal pada peringkat hajiyyat, seperti dianjurkan untuk
menuntuk ilmu pengetahuan. Sekirannya kegiatan itu tidak dilakukan
tidak akan merusak eksistensi akal, akan tetapi dapat mempersulit
seseorang terkait dengan pengembangan ilmu pengetahuan dan akhirnya
berimbas kesulitan dalam hidup.
3) Memelihar akal pada peringkat tahsiniyyat, menghindarkan diri dari
kegiatan menghayal dan mendengarkan atau melihat melihat sesuatu
yang tidak berfaedah. Kegiatan itu semua tidak secara langsung
mengancam eksistensi akal manusia.
d). Memelihara Keturunan
Memelihara keturunan, ditinjau dari kebutuhannya dapat dibagi
menjadi tiga:
1) Memelihara keturunan pada peringkat dharurriyat, seperti
disyariatkannya menikah dan dilarangnya berzina. Apabila hal ini
diabaikan dapat mengancam eksistensi keturunan.
2) Memelihara keturunan pada peringkat hajiyyat, seperti ditetapkan
menyebut mahar bagi suami ketika melangsungkan akad nikah dan
diberikannya hak talak kepadanya. Bila penyebutan itu tidak dilakukan
15
maka akan mempersulit suami, karena diharuskan membayar mahar misl.
Juga talak, bila tidak dibolehkan akan mempersulit rumah tangga yang
tidak bisa dipertahankan lagi.
3) Memelihara keturunan pada peringkat tahsiniyyat, seperti
disyariatkannya khitbah (peminangan) dan walimah (resepsi) dalam
pernikahan. Hal ini dilakukan untuk melengkapi acara pernikahan. Bila
tidak dilakukan tidak mengancam eksistensi keturunan dan tidak pula
mempersulit.
e). Memelihara Harta
Memelihara harta, ditinjau dari kepentingannya dibagi menjadi tiga
peringkat:
1) Memelihara harta pada peringkat dharuriryat, seperti disyariatkan tata
cara kepemilikan melalui jual beli dan dilaranganya mengambil harta
orang lain dengan cara tidak benar seperti mencuri. Apabila aturan ini
dilanggar akan mengancam eksistensi harta.
2) Memelihara harta pada peringkat hajiyyat, seperti disyariatkannya
jual beli dengan cara salam. Apabila cara ini tidak dipakai tidak akan
mengancam eksistensi harta.
3) Memelihara harta pada peringkat tahsiniyyat, seperti perintah
menghindarkan diri dari penipuan dan spekulatif. Hal ini berupa etika
16
bermuamalah dan sama sekali tidak mengancam kepemilikan harta
apabila diabaikan.13
Dalam poin memelihara keturunan merupakan kewajiban suami istri
untuk melahirkan generasi yang baik, diawali dengan pernikahan.
Perkawinan menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 adalah merupakan
ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami
istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.14
Namun dalam kehidupan rumah tangga tidak selamanya harmonis oleh
sebab itu apabila terjadi perceraian perlunya kesepakatan kedua belah pihak
suami dan isteri untuk memikirkan anak keturunan mereka terutama
bagaimana nafkah bagi si anak agar masa depan anak lebih baik.
F. Kerangka Konseptual
1. Pengertian Hadhanah
“Hadhanah” berasal dari bahasa Arab yang mempunyai arti antara
lain: hal memelihara, mendidik, mengatur, mengurus segala
kepentingan atau urusan anak-anak yang belum mumayyiz (belum dapat
membedakan mana yang baik dan mana yang buruk). Hadhanah
menurut bahasa, berarti meletakkan sesuatu di dekat tulang rusuk atau
dipangkuan. Seperti halnya ketika ibu menyusui anaknya meletakkan
13 Http://blog.umy.ac.id/bidaulandikasari/2012/11/20/teori-maqashid-al-syariah/
14
Baharudin Ahmad dan Yuliatin, Hukum Perkawinan Umat Islam di Indonesia
Perspektif Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, (Depok: Lamping Publishing,
2015), hlm. 16.
17
anaknya dipangkuannya, seakan-akan ibu di saat itu melindungi dan
memelihara anaknya.15
Sedangkan hadhanah menurut para ulama ialah:
1. Assayyid Ahmed bin Umar Asy-Syatiri dalam kitabnya Alya
Qutun Nafis. Hal 174 mengatakan:
“Hadhanah menurut syara‟ ialah memelihara dan menjaga
seseorang (anak) yang belum bisa mandiri dengan segala halnya
dan mendidiknya (mengajarkan) sesuatu yang diperbaikinya.”16
2. H. Sulaiman Rasjid dalam bukunya Fiqih Islam hal. 403
mengatakan:
Hadhanah ialah menjaga, memimpin dan mengatur segala hal anak-
anak yang belum dapat menjaga dan mengaturnya sendiri.17
Dari sini hadhanah dijadikan istilah yang maksudnya: “pendidikan
dan pemeliharaan anak sejak dari lahir sampai sanggup berdiri
sendiri mengurus dirinya yang dilakukan kerabat itu”.
2. Syarat-Syarat Hadhanah
Ibu atau penggantinya yang dinyatakan lebih berhak mengasuh anak itu
harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Berakal sehat
2. Telah balig
3. Mampu mendidik
4. Dapat dipercaya dan berakhlak mulia
15
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih munakahat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010) hlm 215 16
M. Mahdil Mawahib, Fiqih Munakahah, (Kediri: STAIN Kediri Press, 2009) hlm 53 17
Ibid, 54
18
5. Beragama Islam
6. Belum kawin dengan laki-laki lain
Mengenai syarat yang disebutkan terakhir, ada pendapat yang
mengatakan bahwa apabila suami ibu anak (ayah tiri) yang baru adalah
kerabat mahram anak, misalnya pamannya yang cukup mempunyai
perhatian besar terhadap pendidikan kemenakan yang kemudian
menjadi anak tirinya itu, hak ibu untuk mengasuh anak tidak menjadi
gugur sebab paman termasuk yang mempunyai hak mengasuh juga.
Berbeda halnya apabila ibu anak kawin dengan laki-laki lain yang
tidak mempunyai hubungan kerabat dengan anak. Dalam hal yang
akhir ini hak mengasuh anak terlepas dari ibu, dipindahkan kepada
ayah atau lainnya yang elbih mampu mendidik anak bersangkutan.
Namun, inipun tidak mutlak, dimungkinkan juga suami yang baru,
ayah tiri anak, bila ia justru menunjukkan perhatiannya yang amat
besar untuk suksesnya pendidikan anak. Apabila hal ini terjadi, hak ibu
mengasuh anak tetap ada.18
3. Dasar Hukum Hadhanah
Firman Allah Swt
18
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam. (Yogyakarta: UII Press Yogyakarta,
2000) hlm 102
19
ا ه قىد ا و ار م ن يك ل ه أ م و ك فس ن نىا قىا أ ين آم ذ ا ال ه ي ا أ ي
ىن داد ل يعص ة غلظ ش ك ئ ل ا م ه ي ل ع ة ار ج ح ال الناس و
زون م ؤ ا ي لىن م ع ف ي م و ه ز م ا أ م الل
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-
malaikat yang kasar, keras dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang
diperintaahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan”.19
Mengasuh anak-anak yang masih kecil hukumnya wajib, sebab
mengabaikannya berarti menghadapkan anak-anak yang masih kecil
kepada bahaya kebinasaan. Hadhanah merupakan hak bagi anak yang
masih kecil, karena ia membutuhkan pengawasan, penjagaan, pelaksanaan
urusannya, dan orang yang mendidiknya. Dalam kaitan ini, terutama
ibunyalah yang berkewajiban melakukan hadhanah. Rasulullah Saw
bersabda, yang artinya: “Engkaulah (Ibu) yang berhak terhadap
anaknya”.
Pendidikan yang lebih penting adalah pendidikan anak dalam
pangkuan orang tuanya, karena dengan adanya pengawasan dan
perlakuan akan dapat menumbuhkan jasmani dan akalnya,
19
(QS. At-Tahrim: 6)
20
membersihkan jiwanya, serta mempersiapkan diri anak dalam
menghadapi kehidupannya di mas ayang akan datang.20
4. Biaya Mengasuh Anak
Biaya mengasuh anak dibebankan kepada ayah anak, segala
sesuatu yang diperlukan anak diwjibkan kepada ayah untuk
mencukupkannya, apabila ibu yang mengasuh tidak punya tempat
tinggal, ayah harus menyediakannya agar ibu dapat mengasuh anak
dengan sebaik-baiknya. Apabila untuk keperluan asuhan yang baik
diperlukan pembantu rumah tangga, dan ayah memang mampu, ia
diwajibkan menyediakan pembantu rumah tangga itu. Jika anak masih
dalam masa menyusu, dan untuk dapat menyusui anak dengan baik ibu
memerlukan makanan sehat, obat-obatan vitamin, dan sebagainya,
semua itu menjadi beban ayah. Apabila anak sudah waktuny masuk
sekolah, biaya pendidikan itu menjadi tanggungan ayah juga.
Tegasnya, biaya mengasuh anak, apapun berntuknya, apabila memang
benar-benar diperlukan menjadi tanggungan ayah sesuai
kemampuannya yang ada. Kecuali biayah mengasuh, nafkah hidup anak
pun yang berupa makan, pakaian, tempat tinggal, kesehatan, dan biaya
pendidikan dibebankan kepada ayahnya.21
5. Masa Hadhanah
Masa berlakunya hadhanah akan berakhir apabila si anak kecil
sudah tidak lagi memerlukan pelayanan, telah dewasa, dan dapat berdiri
20
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010) hlm 215 21
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam. (Yogyakarta: UII Press Yogyakarta,
2000) hlm 102
21
sendiri, serta telah mampu mengurus kebutuhan pokoknya sendiri,
seperti: makan, berpakaian, mandi dll. Dalam hal ini tidak ada batasan
tertentu tentang waktu habisnya. Hanya saja ukuran yang dipakai adalah
tamyiz dan kemampuan untuk mengurus dirinya sendiri. Jika si anak
kecil itu dapat membedakan sesuatu yang baik dan tidak baik, tidak
membutuhkan pelayanna lagi, dan dapat memenuhi kebutuhan
pokoknya sendiri maka hadhanahnya telah habis.22
Tidak dijumpai ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits yang
gmenerangkan dengan tegas tentang masa hadhanah. Namun, hanya
terdapat isyarat-isyarat yang menerangakann ayat tersebut. Karena itu,
para ulama berijtihad masing-masing dalam menetapkan dengan
berpedoman kepada isyarat itu. Seperti menurut mazhab Hanafi,
misalnya, hadhanah anak laki-laki berakhir saat anak itu tidak lagi
memerlukan penjagaan dan telah dapat mengurus keperluannya sehari-
hari. Sedangkan masa hadhanah wanita berakhir apabila ia telah baligh,
atau telah datang masa haid pertamanya.
Pengikut mazhab Hanafi generasi akhir yang menetapkan bahwa
masa hadhanah berakhir ketika umur 19 tahun bagi laki-laki, dan umur
11 tahun bagi wanita.
Mazhab Syafi’I berpendapat bahwa masa hadhanah itu berakhir
setelah anak sudah mumayyiz, yakni berumur antara 5 dan 6 tahun.
22
Slamet Abidin dan H. Aminuddin, Fiqih Munakahat, (Bandung: CV Pustaka Setia,1999),
hlm183
22
G. Tinjauan Pustaka
Untuk mendukung penelitian yang lebih integral yang telah
dikemukakan pada latar belakang masalah, maka penulis berusaha untuk
melakukan analisis lebih awal terhadap pustaka atau karya-karya yang lebih
mempunya relevansi terhadap topic yang akan diteliti
Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Nur Faridah Shahidah Bte
Ahmad, Nim: SA.121 739 dengan judul skripsi Peranan Sulh Dalam
Menyelesaikan Perkara Hadhanah (Studi Kasus Di Mahkamah Tinggi
Syariah Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur). Adapun dalam skripsi ini
membahas mengenai prosedur Sulh dalam menangani kasus hadhanah di
Mahkamah Tinggi Syariah wilayah persekutuan yang dimana prosedur sulh
ini menggariskan proses bermula dengan kenyataan aawal Pegawai Sulh Al-
Ta’aruf, presentase awal pihak yang bertikai, diskusi bersama, konsultasi
sebelah pihak, diskusi bersama, penghakiman berbasis federal dan prosedur
setelah selesai menjalani kaidah sulh. Sedangkan pembahasan yang disusun
oleh penulis lebih mengarah kepada putusan pengadilan agama jambi
terhadap hak asuh anak kepada bapak akibat perceraian.23
Kedua: penelitian yang dilakukan oleh Nur Afiqah Binti Rahman,
Nim: SA.121373, dengan judul skripsi Penyelesaian Sengketa Hadhanah Di
Mahkamah Tinggi Syariah Melaka Tengah Dalam Pembaharuan Hukum
Islam. Adapun dalam skripsi ini membahas mengenai prosedur penyelesain
sengketa hadhanah di Mahkamah Tinggi Syariah Melaka Tengah malaysia.
23
Nur Faridah, “ Peranan Sulh Dalam Menyelesaikan Perkara Hadhanah ( Studi Kasus di
Mahkamah Tinggi Syariah Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur”, Fakultas Syariah, UIN STS
Jambi, 2012
23
Dalam kesimpulan nya dijelaskan bahwa penyelesaian dalam kasus
hadhanah terbagi menjadi dua tahap yaitu: penyelesain melalui majlis sulh
atau melalui proses persidangan atau kedua-duanya. Sekiranya majlis sulh
menghadapi kendala dalam mencari solusi yang mendapat persetujuan dan
kesepakatan dari kedua belah pihak yang menggugat dna pihak ayng
digugat, kasus berkenaan akan dibawa keruang persidangan untuk
disidangkan. Sedangkan pembahasan yang disusun oleh penulis ialah
siapakah yang lebih berhak menurut hukum atas pemeliharaan anak sebagai
akibat perceraian dari kudia orang tuanya.24
Ketiga: penelitian yang dilakukan oleh, Miss Arnipta Luemaeh, Nim:
SA. 121 386, dengan judul skripsi Hak Hadhanah Bagi Istrii Murtad (Studi
Kasus Di Majelis Agama Islam Wilayah Patani, Selatan Thailand). Dalam
skripsi ini membahas mengenai hukum hak hadhanah bagi istri murtad
menurut pandangan para tuan guru di Patani dan Ulama Madzhab (Syafi’i,
Hanbali, hanafi dan Maliki). Menurut madzhab syafi’i, Hanbali dan tuan
Guru di Patani bahwa mensyaratkan seorang hadhin adalah Islam dan gugur
hak hadhanah disebabkan kafir dan murtad. Kemudian pendapat yang kedua
adalah pendapat madzhab Hanafi dan Maliki bahwa tidak mensyaratkan
islam bagi Hadhin, karena agama tidak menjadi persoalan, bahwa sifat
penyayang yang dimiliki si ibu tersebut lebih diutamakan bagi anak yang
kecil. Sedangkan pembahasan yang disusun oleh penulis lebih menekankan
24
Nur Afiqah Binti Rahman, “Penyelesaian Sengketa Hadhanah Di Mahkamah Tinggi
Syariah Melaka Tengah Dalam Pembaharuan Hukum Islam”, Fakultas Syariah, UIN STS Jambi,
2013
24
kepada pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara hak asuh anak
yang belum mumayyiz atau masih berumur dibawah 12 tahun.25
25
Miss Ar nipta Luemaeh, “Hak Hadhanah Bagi Istrii Murtad (Studi Kasus Di Majelis
Agama Islam Wilayah Patani, Selatan Thailand)”, Fakultas Syariah, UIN STS Jambi, 2015
25
BAB II
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dengan jenis penelitian Kualitatif (Field Reseach)
yaitu mencari data dengan melakukan penelitian langsung di lapangan untuk
mendapatkan data hasil pengamatan atau informasi dari responden.
A. Lokasi dan Sasaran Penelitian
Dalam penulisan proposal ini penulis melakukan penelitian untuk
memperoleh data, fakta dan informasi yang diperlukan. Data yang didapatkan
harus mempunyai hubungan relevan dengan permasalahan yang dikaji.
Sehingga memiliku kualifikasi sebagai system penulisan yang proporsional.
Adapun dalam penulisan ini penulis menggunakan metode sebagai berikut:
1. Lokasi penelitian
Lokasi penelitian ini dilaksanakan di Pengadilan Agama Jambi yang
terletak di Kota Jambi sebagai lokasi penelitian karena lokasi tersebut
penulis dapat memperoleh data yang diperlukan untuk menyusun serta
menyelesaikan proposal skripsi ini dan sekaligus dapat menghemat biaya
2. Pendekatan penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan adalah normatif sosiologis, pada
penelitian hokum yang sosiologis, hukum dikonsepkan sebagai pranata
sosial yang secara riil diukaitkan dengan variable-variabel sosiall lainnya.
Penelitian sosiologis menggunakan data sekunder sebagai data awalnya,
yang kemudian dilanjutkan dengan data primer atau data lapangan.
26
Dengan penelitian hokum yang sosiologis tetap bertumpu pada premis
normatif.26
B. Unit Analisis
Unit analisis dalam penulisan skripsi perlu dicantumkan apabila
penelitian tersebut adalah penelitian lapangan yang tidak memerlukan
populasi dan sampel. Unit analisis dapat berupa organisasi, baik organisasi
pemerintah maupun swasta atau sekelompok orang. Unit analisis juga
menerangkan kapan waktu (tahun berapa atau bulan berapa) penelitian
dilakukan, jika judul penelitian tidak secara jelas menggambarkan mengenai
batasan waktu tersebut.27
Dalam penelitian ini, unit analisisnya adalah Pengadilan Agama
Jambi, sebagai lokasi penelitian karena penulis dapat memperoleh data yang
diperlukan untuk menyusun serta menyelesaikan skripsi ini dan sekaligus
dapat menghemat biaya. Maka yang menjadi informannya adalah para
hakim dan pegawai di lingkungan Peradilan Agama Jambi.
C. Jenis dan sumber data
a. Jenis data
Secara umum jenis data dibagi menjadi dua bagian28
1. Data primer
Data pokok yang diperlukan dalam penelitian, yang diperoleh
secara langsung dari sumbernya ataupun dari lokasi objek
26
Amirudin dan Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum. (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2009), hlm 133 27
Tim Penulis, Pedoman Penulisan Skipsi. Edisi Revisi, (Jambi: Syariah Press, 2012), hlm
48 28
Ishaq,Metode peneliitian hukum, (STAIN Kerinci Press, 2015), hlm. 105
27
penelitian, atau keseluruhan data hasil penelitian yang diperoleh
dilapangan. Sumbernya yakni putusan Hakim dari Pengadilan
Agama Jambi.
2. Data sekunder
Data sekinder adalah data atau sejumlah keterangan yang
diperoleh secara tidak langsung atau melalui sumber perantara.
Data ini diperoleh dengan cara mengutip dari sumber lain,
sehingga tidak bersifat authentic, Karena sudah diperoleh dari
tangan kedua, ketiga dan seterusnya.29
D. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mengadakan penelitian dalam rangka memperoleh data, maka
diperlukan suatu yang tepat dan sesuai, jadi teknik yang digunakan oleh
penulis antara lain: a) Observasi, b) Wawancara, c) Dokumentasi. Untuk
penjelasan mengenai teknik pengumpulan data akan dijelaskan lebih lanjut
dibawah ini:
1. Observasi
Observasi adalah pengamatan dan pencatatan yang sistematis
terhadap gejala yang tampak pada objek peneliti. Pengamatan dan
pencatatan yang dilakukan terhadap objek ditempat terjadi atau
29
Sayuti Una, Pedoman Penulisan Skripsi, Edisi Revisi, cet. 1. (Jambi: Syari’ah Press,
2012), hlm. 41.
28
berlangsungnya peristiwa, sehingga observasi berada bersama objek
yang diteliti, disebut observasi langsung.30
Melalui observasi dimaksud, maka penulis langsung
mengadakan suatu pengamatan langsung di wilayah hokum Pengadilan
Agama Jambi yaitu masyarakat yang berperkara Hadhanah di
Pengadilan Agama Jambi pada tahun 2019 mengamati kondisi
Pengadilan Agama Jambi, dan keadaan yang lain yang ada kaitannya
dengan masalah yang dibahas.
2. Wawancara
Wawancara merupakan salah satu teknik pengumpulan data
yang dilakukan dengan berhadapan langsung dengan yang
diwawancarai tetapi dapat juga diberikan daftar pertanyaan dahulu
untuk dijawab pada kesempatan lain. Jenis wawancara yang
dipergunakan adalah wawancara terpimpin. Wawancara terpimpin ialah
tanya jawab yang terarah untuk mengumpulkan data-data yang relevan
saja. Wawancara yang dilakukan dengan menggunakan pertanyaan-
pertanyaan yang sudah disiapkan sebelumnya.31
Dalam hal ini peneliti
langsung mewawancarai salah satu Hakim Pengadilan Agama Jambi
yaitu Bapak Drs. H. Efrizal, SH., MH.
3. Dokumentasi
30
31
Julinsyah Noor, Metodologi Penelitian: Skripsi, Tesis, Disertasi, Dan Karya Ilmiah.
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011) hlm 138.
29
Dokumentasi merupakan salah satu alat yang digunakan untuk
mengumpulkan data dalam penelitian kualitatif. Dokumen adalah
catatan tertulis yang isinya merupakan setiap pernyataan tertulis yang
disusun oleh seseorang atau lembaga untuk keperluan pengujian suatu
peristiwa, dan berguna bagi sumber data, bukti dan informasi
kealamiahan yang sukar diperoleh, sukar ditemukan dan membuka
kesempatan untuk lebih memperluas tubuh pengetahuan terhadap
sesuatu yang diselidiki.32
E. Teknik analisis data
Dalam menganalisa data tersebut, penulis menggunakan teknik
analisis data versi Miles dan Huberman antara lain sebagai berikut:
a. Reduksi data
Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan
perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data
kasar yang muncul dari catatan-catatan lapangan. Reduksi dilakukan
sejak pengumpulan data, dimulai denganmembuat ringkasan, mengkode,
menelusuri tema, membuat gugus-gugus, menulis memo, dan lain
sebagainya, dengan maksud menyisihkan data/informasi yang tidak
relevan. Reduksi data merupakan salah satu bentuk analisis yang
32
Sedarmayanti dan Syarifuddin Hidayat, Metodologi Penelitian. (Bandung: Mandar Maju,
2002), hlm 86.
30
menajamnkan, menggolongkan, mengkategarisasikan data sedemikian
rupa sehingga akhirnya data yang terkumpul dapat diverivikasi.33
b. Penyajian Data
Penyajian data adalah pendeskripsian sekumulan informasi
tersusun yang memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan
dan pengambilan tindakan. Penyajian data juga dapat berbentuk matriks,
garfik, jaringan, dan bagan. Semuanya dirancang guna menggabungkan
informasi yang tersusun dalam bentuk yang padu dan mudah dipahami.34
c. Penarikan Kesimpulan/Verifikasi
Penarikan kesimpulan/verifikasi merupakn kegiatan diakhir
penelitian kualitatif. Peneliti harus sampai pada kesimpulan dan
melakukan verifikasi baik dari segi makna maupaun kebenaran
kesimpulan yang disepakati oleh subyek tempat penelitian itu
dilaksanakan35
F. Sistematika Penulisan
Agar penulisan skripsi ini tidak keluar dari pembahasan, maka penulis
membuat sistematika penulisan yang akan menjadi panduan dalam penulisan
skripsi ini dan menjadi ringkasan dari pembahasan-pembahasan yan ada di
dalam babnya sebagai berikut:
33
Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar, metodologi penelitian social, (Jakarta:
Bumi Aksara, 2008), hlm 85 34
Ibid., hlm 86. 35
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&,. (Bandung: Alfabeta.
2016), hlm 252.
31
BAB I : Membahas mengenai pendahuluan yang terdiri dari sub bab sebagai
berikut: latar belakang masalah, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan
penelitian, kerangk teori dan tinjauan pustaka
BAB II : Membahas metode penelitian yang didalamnya membahas tentang
pendekata penelitian , jenis penelitian, jenis dan sumber data, insrumen
pengumpulan data, dan serta sistematika penulisan.
BAB III : Membahas mengenai gambaran umum hak asuh anak. yang terdiri
dari sub-bab sebagai berikut: lokasi penelitian, pendekatan penelitian, unit
analis, jenis dan sumber data, teknik pengumpulan data, teknik analisis
data.
BAB IV : Hak asuh anak kepada ayah akibat perceraian di Pengadilan
Agama Jambi
BAB V : Penutup yang terdiri dari: kesimpulan dan saran-saran
32
BAB III
GAMBARAN UMUM PENGADILAN AGAMA JAMBI
A. Sejarah Pengadilan Agama Jambi
Eksistensi Peradilan Agama sudah ada sebelum Indonesia merdeka,
namun kewenangannya hanya sebatas mengadili Perkara dalam ruang lingkup
Hukum keluarga diantara orang-orang pribumi yang beragama Islam.
Eksistensi Peradilan Agama yang tercantum dalam Undang-Undang No. 48
tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan bahwa kedudukan
dan tugas Peradilan Agama sebagai Kekuasaan Kehakiman sejajar dengan
Pengadilan lain yang ada, dikarenakan Peradilan Agama sebagai salah satu
Badan Peradilan Negara disamping tiga Badan Peradilan lainnya (Peradilan
Umum, Militer dan Tata Usaha Negara ) di Negara Republik Indonesia ini.
Disamping Undang-Undang tersebut di atas, keberadaannya yang
terkait dengan fungsinya yaitu memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan
perkara keluarga telah dimuat juga dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974
tentang perkawinan. Upaya untuk selalu menjadikan Peradilan Agama tetap
eksis sebagai Lembaga Peradilan tidak cukup disini, maka untuk memperkuat
cita-cita tersebut diwujudkan pula dalam bentuk lahirnya Undang-Undang
No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diubah dengan
Undang-Udang No. 3 tahun 2006 yang didalamnya memuat kewenangan
Pengadilan Agama tidak sebatas dalam bidang Hukum Keluarga saja tetapi
termasuk didalamnya bidang Ekonomi Syari’ah.
33
Dengan bertambahnya kewenangan ini menunjukkan bahwa Peradilan
Agama sebagai pelaku kekuasaan Kehakiman telah diakui oleh Negara dan
Masyarakat. Disamping itu berdasarkan tuntutan masyarakat akan keberadaan
dan kedudukannya ini yaitu untuk memperkuat prinsip dasar dalam
penyelenggaraan kekuasaan Kehakiman, maka telah dilakukan perubahan
yang kedua terhadap Undang-Undang tersebut yaitu Undang-Undang No. 50
tahun 2009.
Pengadilan Agama Jambi yang berada di wilayah Yuridiksi
Pengadilan Tinggi Agama Jambi yang dibentuk berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957. Pengadilan Agama Jambi sebelumnya
dikenal dengan Kerapatan Qadi Jambi yang berdiri pada tahun 1959 s/d 1962
diketuai oleh Guru KH. Madjid Ghofar berkantor disamping Kodim ( RS.
DKT ) sekarang Gereja St. Theresia. Pada tahun 1962 s/d 1964 berubah
menjadi Mahkamah Syari’ah Jambi diketuai oleh Guru KH. Abdul Kadir
Ibrahim berkantor di Pasar Rombeng. Kemudian Mahkamah Syari’ah Jambi
tahun 1964 s/d 1971 yang diketuai oleh Guru KH. Abdul Kadir Ibrahim
berkantor di Front Nasional didepan kantor PN lama ( Sekarang RS Polisi )
disamping Wali Kota lama. Perubahan nama dari Mahkamah Syari’ah Jambi
menjadi Pengadilan Agama Jambi pada tahun 1971 diketuai oleh MA.
Rahman berkantor di Simpang Murni sekarang Kantor Kemenag Kota Jambi
sampai tahun 1974, selanjutnya pada tahun 1975 s/d 1976 Pengadilan Agama
Jambi pindah ke kantor Islamic Center. Pada tahun 1976 s/d 1995 Pengadilan
Agama Jambi pindah ke kantor di Telanaipura atau dibelakang Kantor
34
Wilayah Kemenag Provinsi Jambi dan pada tahun 1996 Pengadilan Agama
Jambi pindah ke kantor baru yang beralamat di Jalan Jakarta Kota Baru Jambi
sampai sekarang.36
B. Visi dan Misi Pengadilan Agama Jambi
Tahun 2017 merupakan tahun ketiga dari Rencana Strategis (Renstra)
Pengadilan Agama Jambi tahun 2015 – 2019 merupakan gambaran atau
visionable dari kinerja dan rencana kinerja Pengadilan Agama Jambi, yang
lingkupnya dalam kurun waktu 5 tahunan. Sehingga Rencana Strategis
(Renstra) Pengadilan Tinggi Agama Jambi tahun 2015 – 2019 sebagai proses
yang berorientasi pada hasil yang ingin dicapai dalam Visi, Misi Mahkamah
Agung serta Tujuan dan Sasaran yang telah ditetapkan. Adapun Visi dan Misi
tersebut adalah.
1. Visi
Visi Pengadilan Agama Kota Jambi adalah ‘’Terwujudnya
Pengadilan Agama Jambi Yang Agung’’.
Visi Pengadilan Agama Kota Jambi tersebut merupakan kondisi atau
gambaran keadaan masa depan yang ingin diwujudkan dan diharapkan dapat
memotivasi seluruh aparatur Pengadilan Agama Kota Jambi dalam
melakukan aktifitasnya. Selanjutnya dalam pernyataan visi Pengadilan
Agama Kota Jambi mengandung pengertian secara kelembagaan dan
organisasional sebagai berikut :
36 Buku Laporan Tahunan Pengadilan Agama Jambi 2017, hal. 1-2
35
a. Pengertian secara kelembagaan : Pengadilan Agama Kota Jambi adalah
Pengadilan Tingkat Pertama yang berkedudukan di kota Jambi yang
daerah hukumnya meliputi wilayah Kota Jambi.
b. Pengertian secara organisasional : Pengadilan Agama Kota Jambi adalah
Pengadilan Agama tingkat pertama yang susunannya terdiri dari Pimpinan
(Ketua dan Wakil Ketua), Hakim, Panitera, Sekretaris, Jurusita, serta
seluruh bagian yang ada di masing-masing fungsionaris tersebut.
Adapun makna Agung dari visi Pengadilan Agama Kota Jambi
tersebut adalah :
a. Mempunyai kedudukan yang sangat terhormat, berbudi baik, disegani
masyarakat.
b. Kekuasaannya diakui dan ditaati serta ada pembawaan untuk dapat
menguasai dan mempengaruhi, dihormati orang lain melalui sikap dan
tingkah laku yang mengandung kepemimpinan dan penuh daya tarik.
c. Sebagai tempat bagi pencari keadilan dalam mengharapkan berkeadilan
bagi masyarakat.
2. Misi
Untuk mencapai visi tersebut, ditetapkan misi Pengadilan Agama
Kota Jambi sebagai berikut
a. Menjaga kemandirian Pengadilan Agama Kota Jambi.
b. Memberikan pelayanan hukum yang berkeadilan kepada pencari keadilan.
c. Meningkatkan kualitas Pimpinan Pengadilan Agama Kota Jambi.
36
d. Meningkatkan kredibilitas dan transparansi Pengadilan Agama Kota
Jambi.37
C. Kekuasaan Peradilan Agama
Kekuasaan kehakiman di Lingkungan Badan Peradilan Agama
dilaksanakan oleh Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama dengan
tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan
setiap perkara yang diajukan kepadanya. Kedua pengadilan ini berpuncak
kepada Mahkamah Agung Sebagai Pengadilan Negara Tertinggi.38
Berbicara tentang kekuasaan Peradilan dalam kaitannya dengan
Hukum Acara Perdata, biasanya menyangkut dua hal, yaitu tentang
“Kekuasaan Absolut” dan “Kekuasaan Relatif”.
1. Kekuasaan Absolut
Kekuasaan absolut adalah kekuasaan badan pengadilan dalam
memeriksa jenis perkara tertentu yang secara mutlak tidak dapat diperiksa
oleh badan pengadilan dalam lingkungan pengadilan lain. Kekuasaan absolut
ini memberikan jawaban atas pertanyaan: apakah peradilan tertentu itu pada
umumnya berwenang memeriksa jenis perkara tertentu yang diajukan
kepadanya dan bukan wewenang pengadilan lain.
Kekuasaan absolut pengadilan dalam lingkungan pengadilan agama
diatur dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah
dengan undang-undang No 3 Tahun 2006, atas asas Personalitas Keislaman,
dalam pasal 2 disebutkan bahwa peradilan Agama merupakan salah satu
37
Ibid., hal. 3-4 38
Roihan A. Rasyd, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2006), hlm. 25.
37
pelaksanaan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang
beragama Islam mengenai perkara-perkara perdata tertentu yang diatur dalam
pasal 49 ayat (1) UU No. 3 Tahun 2006, yaitu bidang perkawinan, waris,
wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi syari’ah.
2. Kekuasaan Relatif
Kekuasaan relatif adalah untuk menjawab pertanyaan kepada
pengadilan dimanakah gugatan atau tuntutan harus diajukan. Kekuasaan
relatif diartikan sebagai kekuasaan pengadilan yang satu jenis dan satu
tingkatan, dalam perbedaanya dengan kekuasaan pengadilan yang sama jenis
dan sama tingkatan lainnya, misalnya antara Pengadilan Agama Sleman
dengan Pengadilan Agama Bantul. Kekuasaan relatif ini pada dasarnya
berkaitan dengan wilayah hukum satu pengadilan. Pasal 4 UU No. 7 Tahun
1989 ayat (1) menyebutkan: Pengadilan Agama Berkedudukan di Kotamadya
atau di ibukota Kabupaten dan daerah hukumnya meliputi wilayah
Kotamadya atau kabupaten.39
Adapun kekuasaan relatif Pengadilan Agama Jambi adalah:
a. Kecamatan Telanaipura.
b. Kecamatan Jambi Timur.
c. Kecamatan Jambi Selatan.
d. Kecamatan Kota Baru.
e. Kecamatan Pasar Jambi.
f. Kecamatan Jelutung.
39
Rasito, Panduan Belajar Hukum Acara Perdata, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015),
hal. 40-41
38
g. Kecamatan Pelayangan.
h. Kecamatan Danau Teluk.
i. Kecamatan Danau Sipin.
j. Kecamatan Alam Barajo.
k. Kecamatan Paal Merah.40
D. Tugas Pokok Dan Fungsi Pengadilan Agama Jambi
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menentukan dalam pasal 24 ayat (2) bahwa Peradilan Agama merupakan
salah satu lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung
bersama badan peradilan lainnya di lingkungan Peradilan Umum, Peradilan
Tata Usaha Negara, dan Peradilan Militer, merupakan salah satu badan
peradilan pelaku kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan hukum dan
keadilan bagi rakyat pencari keadilan perkara tertentu antara orang-orang
yang beragama Islam.
Pengadilan Agama Jambi yang merupakan Pengadilan Tingkat
Pertama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam
di bidang: perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah
dan ekonomi syariah sebagaimana diatur dalam pasal 49 Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
40
Buku Laporan Tahunan Pengadilan Agama Jambi 2017, hal. 24
39
Di samping tugas pokok dimaksud di atas, Pengadilan Agama Jambi
mempunyai fungsi, antara lain sebagai berikut:
1. Fungsi mengadili (judicial power), yakni menerima, memeriksa, mengadili
dan menyelesaikan perkara-perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan
Agama dalam tingkat pertama (vide: Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006).
2. Fungsi pembinaan, yakni memberikan pengarahan, bimbingan, dan
petunjuk kepada pejabat struktural dan fungsional di bawah jajarannya,
baik menyangkut teknis yudisial, administrasi peradilan, maupun
administrasi umum/perlengkapan, keuangan, kepegawaian, dan
pembangunan.(vide: Pasal 53 ayat (3) Undang-Undang No. 3 Tahun 2006
jo. KMA Nomor KMA/080/VIII/2006).
3. Fungsi pengawasan, yakni mengadakan pengawasan melekat atas
pelaksanaan tugas dan tingkah laku Hakim, Panitera, Sekretaris, Panitera
Pengganti, dan Jurusita/Jurusita Pengganti di bawah jajarannya agar
peradilan diselenggarakan dengan seksama dansewajarnya (vide: Pasal 53
ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 3 Tahun 2006) dan terhadap
pelaksanaan administrasi umum kesekretariatan serta pembangunan.( vide:
KMA Nomor KMA/080/VIII/2006).
4. Fungsi nasehat, yakni memberikan pertimbangan dan nasehat tentang
hukum Islam kepada instansi pemerintah di daerah hukumnya, apabila
diminta. (vide: Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang No. 3 Tahun 2006).
40
5. Fungsi administratif, yakni menyelenggarakan administrasi peradilan
(teknis dan persidangan), dan administrasi umum (kepegawaian, keuangan,
dan umum/perlengkapan) (vide: KMA Nomor KMA/080/ VIII/2006).
6. Fungsi Lainnya:
a. Melakukan koordinasi dalam pelaksanaan tugas hisab dan rukyat
dengan instansi lain yang terkait, seperti DEPAG, MUI, Ormas Islam
dan lain-lain (vide: Pasal 52 A Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006).
b. Pelayanan penyuluhan hukum, pelayanan riset/penelitian dan
sebagainya serta memberi akses yang seluas-luasnya bagi masyarakat
dalam era keterbukaan dan transparansi informasi peradilan, sepanjang
diatur dalam Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor
KMA/144/SK/VIII/2007 tentang Keterbukaan Informasi di
Pengadilan.41
E. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Jambi
Struktur Organisasi adalah bagian yang memuat urutan
kedudukan/jabatan dan para personilnya serta gambaran hubungan dari
masing-masing kedudukan/jabatan. sehingga dapat diketahui tugas dan
tanggung jawab para pemegang kedudukan/jabatan tersebut. Struktur
Organisasi Pengadilan Agama Jambi telah tersusun sesuai dengan ketentuan
yang diatur dalam Undang-undang nomor 50 tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
serta Keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : KMA
41
http://www.pa-jambi.go.id
41
/004/SK/I/1992 tentang susunan Organisasi dan Tata Kerja Kepaniteraan
Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama.
Setelah Ketua Mahkamah Agung menandatangani Peraturan
Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2015 tanggal 7 Oktober 2015, maka
Struktur Organisasi di Pengadilan Agama Jambi mengalami perubahan.
Diantara hal yang membedakannya adalah adanya pemisahan antara Panitera
dan Sekretaris serta terdapat nomenklatur baru pada jabatan di bagian
Kesekretariatan. Adapun Struktur Organisasi Pengadilan Agama Jambi pasca
Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2015 adalah sebagai
berikut:42
Dengan mengetahui struktur organisasi Pengadilan Agama Jambi
tersebut, langkah selanjutnya melakukan penyesuaian dan menetapkan
prosedur kerja secara proporsional sesuai dengan urutan kedudukan/jabatan
yang ada. Oleh karena itu dalam memanfaatkan struktur organisasi sebagai
alat untuk menetapkan pembagian tugas atau job description dari suatu
jabatan. Hal ini dapat dilihat dari tugas pokok dan fungsinya pejabat di
Pengadilan Agama Jambi seperti pada bagian struktur diatas yaitu :
1. Ketua, tugas pokok dan fungsinya adalah memimpin pelaksanaan tugas
Pengadilan Agama Jambi dalam melaksanakan, mengawasi dan melaporkan
pelaksanaan tugas sesuai dengan kebijakan dan menurut peraturan
perundangundangan yang berlaku.
42 Buku Laporan Tahunan Pengadilan Agama Jambi 2017, hal. 5
42
2. Wakil Ketua, tugas pokok dan fungsinya adalah mewakili Ketua Pengadilan
Agama Jambi dalam hal merencanakan dan melaksanakan tugas-tugas pokok
dan fungsi sebagai wakil Ketua Pengadilan Agama Jambi serta
mengkoordinir dan melaporkan pelaksanaan tugas kepada ketua Pengadilan
Agama Jambi.
3. Hakim, tugas pokok dan fungsinya adalah menerima, dan meneliti berkas
perkara serta bertanggung jawab atas perkara yang diterima yang menjadi
wewenangnya baik dalam proses penyelesaiannya sampai dengan minutasi,
bekerja sama dengan pejabat terkait dalam penyusunan program kerja
Pengadilan Agama Jambi.
4. Panitera, tugas pokok dan fungsinya adalah berkoordinasi dengan Ketua
Pengadilan Agama Jambi dalam merencanakan dan melaksanakan pelayanan
tekhnis di bidang administrasi perkara, yang berkaitan dengan penyiapan
konsep rumusan kebijakan dalam menggerakkan pelaksanaan tugas kegiatan
Kepaniteraan dalam menyusun program kerja jangka panjang, jangka
menengah dan jangka pendek serta bertanggung jawab kepada Ketua
Pengadilan Agama Jambi.
5. Sekretaris, tugas pokok dan fungsinya adalah berkoordinasi dengan Ketua
Pengadilan Agama Jambi dalam melaksanakan tugas dan memimpin
pelaksanaan tugas pada bagian Kesekretariatan dan bertanggung jawab
sebagai Pejabat Pembuat Komitmen/Penanggung Jawab Kegiatan yang
menggerakkan dan menyiapkan konsep serta memecahkan masalah yang
muncul di bidang Kesekretariatan dan menyusun program kerja jangka
43
panjang, jangka menengah dan jangka pendek, serta bertanggung jawab
kepada Ketua Pengadilan Agama Jambi.
6. Panitera Muda Gugatan, tugas pokok dan fungsinya adalah memimpin dan
mengkoordinir serta menggerakkan seluruh akhtivitas pada kepaniteraan
gugatan serta menyiapkan konsep rumusan kebijakan dalam pelaksanaan
mengevaluasi dan membut laporan / bertanggung jawab kepada Panitera.
7. Panitera Muda Permohonan, tugas pokok dan fungsinya adalah memimpin
dan mengkoordinir serta menggerakkan seluruh akhtivitas pada kepaniteraan
permohonan serta menyiapkan konsep rumusan kebijakan dalam pelaksanaan
mengevaluasi dan membut laporan/bertanggung jawab kepada anitera.
8. Panitera Muda Hukum, tugas pokok dan fungsinya adalah memimpin dan
mengkoordinir serta menggerakkan seluruh akhtivitas pada kepaniteraan
Hukum serta menyiapkan konsep rumusan kebijakan dalam pelaksanaan
mengevaluasi dan membut laporan / bertanggung jawab kepada Panitera.
9. Kasubbag Umum dan Keuangan, tugas pokok dan fungsinya adalah
memimpin dan mengkoordinir serta menggerakkan seluruh akhtivitas pada
urusan umum (rumah tangga)dan Keuangan serta menyiapkan konsep
rumusan kebijakan dalam pelaksanaan mengevaluasi dan membut laporan/
bertanggung jawab kepada Sekretaris.
10. Kasubbag Kepegawaian dan Ortala, tugas pokok dan fungsinya adalah
memimpin dan mengkoordinir serta menggerakkan seluruh aktifitas pada
urusan kepegawaian dan Ortala serta menyiapkan konsep rumusan kebijakan
44
dalam pelaksanaan mengevaluasi dan membut laporan/ bertanggung jawab
kepada Sekretaris.
11. Kepala Sub Bagian Perencanaan Teknologi dan Informasi Pengadilan
tugas pokok dan fungsinya adalah memimpin dan mengkoordinir serta
menggerakkan seluruh akhtivitas pada Sub Bagian Perencanaan Teknologi
dan Informasi Pengadilan serta menyiapkan konsep rumusan kebijakan dalam
pelaksanaan mengevaluasi dan membut laporan/bertanggung jawab kepada
Sekretaris.
12. Panitera Pengganti, tugas pokok dan fungsinya adalah mendampingi dan
membantu Majelis Hakim mengikuti sidang perkara yang dibebankan
kepadanya, membuat berita acara persidangan, dan melaksanakan pengetikan.
13. Jurusita, tugas pokok dan fungsinya adalah melaksanakan perintah Ketua
Pengadilan serta Ketua Majelis dalam pelaksanaan kejurusitaan serta
bertanggung jawab kepada Panitera
14. Jurusita Pengganti, tugas pokok dan fungsinya adalah melaksanakan perintah
Ketua Pengadilan serta Ketua Majelis dalam pelaksanaan kejurusitaan serta
bertanggung jawab kepada Panitera.43
43
Ibid., hal. 6-9
45
BAB IV
PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN
A. Proses Pengajuan Perkara Hadhanah Di Pengadilan Agama Jambi
Pada dasarnya tanggung jawab pemeliharaan anak menjadi beban
orang tuanya, baik kedua orang tuanya masih hidup rukun atau ketika
perkawinan mereka gagal karena perceraian.
Pemeliharaan anak akibat terjadi perceraian dalam bahasa fikih
disebut dengan hadanah. Al-Shan’ani mengatakan bahwa hadanah adalah
memelihara seseorang (anak) yang tidak bisa mandiri, mendidik, dan
memeliharanya untuk menghindarkan dari segala sesuatu yang dapat merusak
dan mendatangkan madlarat kepadanya.44
Tempat mengajukan gugatan/permohonan dalam perkara selain
perkawinan sama dengan tempat mengajukan gugatan/permohonan menurut
Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, yaitu sebagai berikut.45
1. Asas umumnya diajukan ke Pengadilan Agama yang mewilayahi
tempat tinggal tergugat.
2. Kalau tempat tinggal tergugat tidak diketahui, diajukan ke
Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat nyatanya tergugat
berdiam (berada)
44
Ahmad Rafiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada. Jakarta
2013. Hlm 197 45
Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Pengadilan Agama, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta 1991. Hlm 54
46
3. Jika tergugat lebih dari seorang, tidak tinggal dalam satu wilayah
Pengadilan Agama, diajukan ke Pengadilan Agama yang
mewilayahi salah satu dari tempat tinggal tergugat menurut yang
dipilih oleh penggugat.
4. Jika tergugat-tergugat satu sama lain sebagai perutang pertama
dan penanggung, diajukan ke Pengadilan Agama tempat tinggak
si perutang pertama
5. Jika tergugat tidak dikenal atau tidak mempunyai tempat tingal
atau tempat tinggalnya tidak dikenal, diajukan ke Pengadilan
Agama tempat tinggal penggugat atau salah satu dari penggugat
6. Jika gugatan mengenai benda tetap (onroerende goederen),
diajukan ke Pengadilam Agama yang mewilayahi tempat benda
tetap itu.
7. Kalau penggugat dan tergugat telah memilih tempat berperkara
dengan akta secara tertulis, diajukan ke Pengadilan Agama yang
telah dipilih itu.
Adapun proses pengajuan hak asuh anak setelah perceraian di
Pengadilan Agama Jambi dijelaskan oleh Ibu Raudhah Rachman S.H, M.H
sebagai Panitera Muda Hukum Pengadilan Agama Jambi:
“Penggugat atau pemohon dapat langsung mengajukan
permohonannya kepada pihak Pengadilan Agama Jambi. Selain dengan cara
tertulis penggugat atau pemohon dapat mengajukan perkaranya kepada pihak
Pengadilan secara lisan yang akan dibantu oleh ketua pengadilan dalam
membuat surat gugatan atau syarat permohonan yang didasarkan atas nama
Pengadilan Agama Jambi. Yang mana isi gugatan atau permohonannya sesuai
dengan kemahuan para pihak tersebut, dan atau permohonannya sesuai
47
dengan kemahuan para pihak tersebut, dan biasanya juga penggugat/pemohon
tidak dapat mengajukan gugatan atau permohonannya sendiri maka pihak
penggugat/pemohon akan menyerahkan perkaranya kepada orang yang telah
diberi kuasa dengan surat kuasa untuk mengajukan perkaranya ke Pengadilan
Agama Jambi.”
Hal-Hal yang dipersiapkan ke Pengadilan Agama Jambi dalam
pengajuan gugatan/permohonan Hadhanah yaitu sebagai berikut:
1. Mengajukan perkara atau surat gugatan ke Pengadilan Agama Jambi.
2. Objek Perkara (hak asuh anak (hadanah).
3. Foto Copy KTP yang menunjukan sebagai Warga Negara Indonesia dan
bertempat tinggal di daerah mana.
4. Surat nikah sebagai dasar hukum gugatan (Legal Standing).
5. Adanya akte perceraian (apabila sudah cerai).
6. Mengajukan biaya perkara perskot atau panjer biaya perkara sewaktu surat
gugatan didaftarkan di kepaniteraan”.46
Setelah hal-hal diatas telah dipersiapkan terutama buku nikah dan
KTP, maka perkara gugatan Hadhanah atau permohonan Hadhanah dapat
diajukan kepada pihak Pengadilan Agama Jambi dan kemudian perkara
tersebut akan diproses melalui tiga tahap.
Pertama: Tahap Pemeriksaan perkara.
1. Meja I. Penerimaan perkara oleh Kasub Kepaniteraan gugatan untuk
perkara gugatan dan Kasub Kepaniteraan Permohonan untuk perkara
permohonan. Disini dilakukan dan pengecekan terhadap indetitas calon. Dan
apakah Pengadilan Agama tersebut berwenang mengadili baik dilihat dari
sudut kompetensi relatif maupun kompetensi absolut. Kasub Kepaniteraan
memberikan penjelasan seperlunya, selanjutnya Panitera memberi tahu
besarnya uang muka biaya perkara. Bagi yang mampu diberikan “Surat Kuasa
Untuk Membayar”(SKUM). Bagi yang tidak mampu harus membawa surat
46
Hasil wawancara oleh Ibu Raudhah Rachman, Panmud Hukum di Pengadilan Agama
Jambi, 15 Maret 2019
48
keterangan tidak mampu dari Lurah/Kades, kemudian kepada yang
bersangkutan diberikan Surat Keterangan Bebas (SKB) dari biaya rangkap 3.
2. Meja II. Kasub Kepaniteraan Keuangan (Bendahara Khusus) melayani
pembayaran uang muka biaya perkara yang telah ditetapkan dalam SKUM
dan kepada yang bersangkutan diberikan kwitansi sebagai tanda pembayaran
sebanyak 3 lembar, 2 lembar untuk penggugat/pemohon dan 1 lembar
disimpan bendaharawan sebagai pertanggungjawaban. Bagi yang
menyerahkan SKB, tidak ditarik biaya. Pada SKB dibubuhi stempel “bebas
biaya”, juga sebanyak 3 lembar, 2 lembar untuk penggugat/pemohon dan 1
lembar di simpan bendaharawan.
3. Meja III. Staf Kepaniteraan Perkara mendaaftarkan perkara dalam daftar
perkara masuk. Pada kwitansi pembayaran atau SKB (pada kolom nomor
perkara) disini nomor sesuai dengan nomor dalam daftar tersebut, satu lembar
dikembalikan kepada penggugat/pemohon sebagai tanda bukti perkara dan
lembar kedua, disatukan dengan berkas perkara dalam satu map yang telah
diberi nomor sesuai dengan nomor dalam daftar perkara tersebut. Selanjutnya
berkas perkara diserahkan kembali kepada Kasub Kepaniteraan yang
bersangkutan.47
Kedua: Tahap Penelitian dan Pengecekan Berkas Perkara.
1. Kasub kepaniteraan yang bersangkutan mengecek kelengkapan berkas
perkara, kemudian diteruskan ke panitera perkara dan terakhir diteliti kembali
oleh Panitera Kepala. Disini berkas perkara dilengkapi dengan model PMH
47
Darmawati, Kewenangan Peradilan Agama, (Jambi: Sultan Thaha Press IAIN STS
Jambi, 2010), hal. 31-32
49
(Penetapan Majlis Hakim) dan model PHS (Penetapan Hari Sidang).
Selanjutnya bila dianggap sudah lengkap dan sempurna diserahkan kepada
ketua Pengadilan Agama.
2. Proses penerimaan perkara tidak boleh lebih dari 7 hari, terhitung sejak
tanggal pemberian nomor perkara sampai dengan diserahkan kepada ketua
Pengadilan Agama.
Ketiga: Tahap Persiapan Sidang.
1. Ketua Pengadilan menerima dan meneliti berkas perkara.
2. Menunjuk majelis hakim dengan surat penetapan (PMH) selambat-
lambatnya 3 hari sesudah berkas perkara diterimanya.
3. Penyerahan berkas perkara kepada majelis hakim yang ditunjuk.
4. Ketua majelis hakim menyerahkan berkas perkara kepada hakim anggota
untuk dipelajari. Kemudian menetapkan hari sidang dengan model PHS,
selambat-lambatnya 14 hari sesudah diterimanya berkas perkara. Terakhir
menunjuk panitera/panitera pengganti yang akan membantu majelis hakim
dalam persidangan.48
Dalam mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama sama dengan
pengajuan hak keperdataan lainnya sebagai mana diatur dalam pasal 142 dan
144R.Bg. Gugatan itu harus memenuhi syarat-syarat formal suatu gugatan
yang tentunya yang tidak perlu dijelaskan secara rinci dalam tulisan ini.
Cuma dalam konteks gugatan hadhanah dirasa perlu mempertegas kembali
rumusan petitum gugatan yang harus ada sebagai berikut; (1) mengabulkan
48
Ibid., hal. 32-33
50
gugatan penggugat; (2) menetapkan secara hokum anak atas nama anak
pertama dan anak kedua berada di bawah asuhan dan pemeliharaan
penggugat, atau menetapkan secara hukum penggugat yang berhak untuk
mengasuh dan memeliharan anak atas nama anak pertama dan anak kedua
bin/binti pemohon (3) menghukum termohon untuk menyerahkan anak atas
nama anak pertama dan anak kedua bin/binti pemohon kepada pemohon.
Terhadap gugatan hadhanah ini, R.Bg. tidak memperbolehkan dilaksanakan
sita terhadap objke perkara. Dengan demikian, anak tidak boleh diletakkan
sita.
Untuk menjaga agar putusan Pengadilan Agama nanti tidak ilusoir
(hampa) dan kepentingan pemohon terjamin sepenuhnya maka dalam gugatan
hadhanah pemohon dapat mengajukan permohonan provinsi dengan meminta
kepada hakim agar sebelum pokok perkara diputus, anak yang menjadi objek
sengketa dalam perkara hadhanah itu dititipkan pada pihak ketiga. Tuntutan
provinsi tersebut berbentuk badan hukum atau perorangan; (3) dalam hal
pihak ketiga tersebut adalah perorangan haruslah disebut secara jelas dan
lengkap identitas serta hubungannya dengan pemohon; (4) pihak ketiga
tersebut diyakini akan mampu menjada dan mengasuh anak tersebut; (5)
adanya jaminan atau kesetiaan dan penjagaan yang baik dari pihak ketiga
terhadap anak yang disengketakan itu, (6) menyebut secara tegas
pemeliharaan anak tersebut selama berada pada pihak ketiga.
Apabila tuntutan provinsi diajukan kepada Pengadilan Agama, maka
rumusan petitum gugatan yang berbunyi sebagai berikut:
51
Dalam provinsi:
Mengabulkan permohonan pemohon
Sebelum memutus pokok perkara memerintahkan agar anak atas nama
anak pertama dan anak kedua dititipkan kepada pihak ketiga
Dalam pokok perkara:
Mengabulkan permohonan pemohon
Menetapkan secara hukum anak atas nama anak pertama dan anak
kedua berada dibawah asuhan pemeliharaan pemohon
Menghukum termohon untuk menyerahkan anak atas nama anak
pertama dan anak kedua kepada pemohon.
Dalam hal diajukan tuntutan provinsi tersebut, maka hakim terlebih
dahulu harus memutus permohonan provinsi tersebut dalam suatu putusan
sela, dengan ketentuan setelah tuntutan provinsi itu diperiksa dalam
persidangan insidentil. Jika tuntutan tersebut dikabulkan, maka sebelum
memeriksa pokok perkara terlebih dahulu anak tersebut harus diserahkan
dan dititipkan kepada pihak ketiga yang ditunjuk dalam putusan provinsi
itu, tetapi jika tuntutan provinsu tersebut ditolak maka pemeriksaan pokok
perkara langsung diajukan setelah pembacaan putusan sela tadi.
Tentang siapa yang berhak mengajukan tuntutan hadhanah kepada
pengadilan agama, sudha tentu pihak-pihak yang merasa dirugikan.
Beerdasarkan pasal 47 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang perkawinan dan pasal 105 huruf a Kompilasi Hukum Islam,
apabila ayah tidak memberikan biaya hadhanah terhadap anak yang
52
berusia di bawah umur 12 tahun yang berada di bawah asuhan ibu, maka
yang dapat mengajukan tuntutan hak keperdataan tersebut adalah ibu dari
anak tersebut. Sedangkan bila ayah tidak memberikan biayah hadhanah
terhadap anak yang sudah berusia 18 tahun hingga 21 tahun dan belum
pernah menikah, baik yang ikut dengan ayahnya sendiri maupun yang ikut
dengan ibunya, maka yang mengajukan gugatan tuntutan hak adalah anak
tersebut sebagaimana yang diatur dalam pasal 47 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Dari rumusan pasal ini dapat
diinterpretasikan secara a contrario anak tersebut dipandang telah dewasa
dan cakap bertindak hukum. Apabila ayah tidak memberrikan biayah
hadhanah terhadap anak yang berusia dibawah umur 18 tahun yang ikut
dengannya, maka yang berhak mengajukan gugatan adalah pihak keluarga
dalam garis keturunan lurus baik dari pihak ibu ataupun dari pihak ayah.
Untuk menjaga agar putusan Hadhanah tidak ilusoir (hampa) dan
kepentingan pemohon dapat terjamin sepenuhnya, pemohon dapat
mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama agar harta benda
milik termohon diletakkan sita jaminan.
B. Faktor Penyebab Hak Asuh Anak Dibebankan Kepada Ayah
Perceraian biasanya menyisakan masalah antara mantan suami dan
istri. Selain harta gono-gini, yang cukup sering diperebutkan adalah tentang
hak asuh anak. Pasangan juga tidka setuju dengan pihak mantan pasangan
tidak mau menerima anak.
53
Ketentuan tentan ghak asuh anak atas salah satu dari perceraian tidak
diatur kusus, baik dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang
perkawinan (UU Perkawinan) serta peraturan pemerintah Nomor 9 tahun
1975 tentang pelaksanaan UU Perkawinan.
Mengenal ketentuan hak asuh anak jelas termuat dalam kompilasi
hukum Islam (KHI), sebagaimana dimaksud dalam pasal 105 sebagai
berikut:
1. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12
tahun adalah hak ibunya
2. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz disetrahkan kepada
anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang
hak pemeliharaannya.
3. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya49
Namun, telah disampaikan dalam sebuah artikel Kata Siapa Hak Asuh
Anak Selalu di Ibu? Ayah Juga Bisa Dapat KOk!, hal ini tidak berlaku. Ada
kalanya seorang ibu kehilangan haknya untuk melakukan pengurusan dan
perawatan terhadap yang sudah dewasa.
Berdasarkan beberap literature, ditemukan beberapa alasan yang dapat
menggantikan seorang ibu yang kehilangan hak asuh anak, seperti:50
1. Menjadi pemabuk, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan
2. Telah meninggalkan pihak lain tanpa izin dan tanpa alasan yang
sah atau karena hal lain diluar kemampuannya
49
Jaih Mubarok, Peradilan Agama di Indonesia, Pustaka Bani Quraisy, Bandung 2004,
hal 203 50
Fairus Harris, Hak Asuh Anak, Kantor Pengacara.com, 2017
54
3. Mendapat hukuman penjara
4. Melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang melibatkan
pihak lain.
5. Alasan-alasan lain sehingga dikhawatirkan tidak dapat menjamin
keselamatan jasmani dan rohani anak.
Putusan Mahkamah Agung RI No. 102 K / Sip / 1973 tanggal 24 April
1975, yaitu:
“Berdasarkan yurisprudensi mengenai perwalian anak, patokannya
adalah ibu kandung yang diutamakan, khusus untuk anak-anak yang
masih kecil, karena kepentingan anak yang menjadi kriterium, jka
terbukti ada ibu yang tidak sesuai untuk disesuaikan”.
Namun dalam satu putusan Pengadilan Agama Jambi dengan Nomor:
122/Pdt.G/2019/PA.Jmb51
, Majelis Hakim memutuskan hak asuh anak
diberikan kepada bapak (pemohon). Putusan ini diberikan dengan
alasan-alasan Ibu (Termohon) dari anak-anak tersebut:
1. Tidak amanah, tidak memiliki kemauan dan kesadaran dalam
mendidik anak
2. Tidak bertanggung jawab dalam hal mendidik anak, sering
meninggalkan rumah tanpa sepengetahuan pemohon sehingga
anak terlantar, dan membahayakan keselamatan sang anak
3. Memiliki akhlak yang buruk dalam hal mendidik anak
51
Putusan Hakim Pengadilan Agama Jambi No: 122/Pdt.G/2019/PA.Jmb
55
C. Pertimbangan Hakim Dalam Menentukan Hak Asuh Anak Yang Belum
Mumayyiz Jatuh Kepada Ayah
Undang-undang No 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 41 huruf a
memaparkan sebagai berikut:
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian baik ibu atau bapak
tetap berkewajiban memelihara dan menjaga anak-anaknya, semata-mata
berdasarkan kepentingan anak; bila mana ada perselisihan mengenai
mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan memberi putusannya;52
Selain itu dalam kompilasi hukum islam , pasal 156 huruf e
menyatakan bahwa; bila mana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan
nafkah anak, pengadilan agama memberikan putusannya berdasarkan huruf a
b d, sedangkan yang termaktub dalam huruf a memaparkan sebagai berikut:
anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya,
kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan
oleh:53
1. Wanita-wanita dalam garis lurus dari ibu
2. Ayah
3. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah
4. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan
5. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah
6. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah
52
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, PT Rineka Cipta, Jakarta 1991, hal 296 53 Jaih Mubarok, Peradilan Agama di Indonesia, Pustaka Bani Quraisy, Bandung 2004, hlm 204
56
Berdasarakan ketentuan tersebut di atas maka hakim apabila
diperhadapkan dengan permasalahan hadhanah seyogyanya memberikan hak
asuh anak kepada ibunya namun dalam perkara perebutan hak asuh anak
antara pemohon dan termohon yang tertuang dalam putusan No:
122/Pdt.G/2019/PA.Jmb memenangkan pemohon sebagai pemegang hak asuh
anak sehingga perlu dipertanyakan hal-hal yang menjadi dasar pertimbangan
hakim sehingga memutuskan demikian.
1. Putusan Nomor: 122/pdt.G/2019/PA.Jmb
Deskripsi Kasus, pemohon berusia 33 tahun, pekerjaan
wiraswasta. Termohon berusia 22 tahun pekerjaan ibu rumah tangga.
Menikahh tahun 2014 dan mempunyai dua orang anak, masa awal
pernikahan pemohon dan termohon rukun dan harmonis, namun mulai
tahun 2017 mulai goyah, sering terjadi perselisihan dan pertengkaran.
Yang disebabkan oleh:
a. Termohon sering pergi meninggalkan rumah tanpa sepengetahuan
dari pemohon sehingga anak terlantar
b. Anak pemohon dan termohon yang bernama anak pertama dan
kedua masih dibawah umur dan sangat membutuhkan kasih sayang
serta bimbingan pemohon sebagai ayahnya
2. Pertimbangan Hukum
Berdasarkan wawancara peneliti pada tanggal 29 maret 2019 , Drs.
H. Efrizal,SH., MH sebagai hakim yang menangani perkara tersebut
memaparkan bahwa adapun pertimbangan hakim memutuskan untuk
57
memberikan hak asuh anak kepada pemohon adalah diantaranya sebagai
berikut:54
1. dikarenakan tidak adanya kesadaran oleh termohon untuk merawat
anaknya dikarenakan termohon sering meninggalkan anak nya selama
berhari-hari sampai berminggu-minggu dan termohon juga di duga
memliki sifat yang buruk dalam hal mengasuh anak.
2. pada saat persidangan berlangsung di dukung oleh saksi-saksi yang
menyatakan bahwa termohon suka pergi dari rumah dan pulang larut
malam dengan pakaian kurang sopan serta termohon juga sering
melalaikan anak-anaknya.55
3. bahwa termohon tidak pernah hadir di persidangan dan tidak pula
menunjuk orang lain untuk menghadap sebagai wakil/kuasanya yang sah,
meskipun telah dipanggil secara resmi dan patut dengan relaas panggilan
Nomor 122/Pdt.G/2019/PA.Jmb sebanyak 3 (tiga) kali yaitu tanggal 12
februari 2019 untuk sidang tanggal 18 Februari 2019, tanggal 19 Februari
2019 untuk sidang tanggal 25 Februari 2019, dan tanggal 26 Februari
2019 untuk sidang pada tanggal 04 maret 2019, yang di bacakan di
persidangan, ternyata tidak hadirnya termohon bukan disebabkan suatu
alasan yang sah menurut hukum.
4. Selain itu juga hal yang menjadi pertimbangan hakim adalah bahwa pada
tanggal 03 oktober 2018 termohon memiliki hubungan dengan laki-laki
lain yang sampai sekarang termohon tidak pernah kembali.
54
Wawancara Hakim Pengadilan Agama Jambi (Efrizal) tanggal 29 maret 2019 55
Putusan PA Jambi Nomor: 122/Pdt.G/2019/Pa.Jmb hal 6
58
Hal yang juga diperhatikan hakim dalam mengambil keputusan ini
adalah bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang perlindungan anak Pasal 3 bahwa perlindungan anak bertujuan
untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpastisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan
martabat serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi
dengan terwujudnya anak Indonesia yang berkulitas, berakhlak mulia dan
sejahtera.56
Hak asuh anak jika terjadi perceraian menurut ketentuan baik
dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan
kompilasi hukum Islam seharusnya merupakan hak ibunya (istri). Akan
tetapi, dimungkinkan hak asuh anak merupakan hak ayahnya (suami)
apabila suami cukup bisa membuktikan sifat/akhlak buruk yang dimiliki
istri sehingga tidak layak memelihara anak. Selain itu, jika dapat
dibuktikan bahwa istri selingkuh atau istri menelantarkan anak.57
Meskipun memang telah diatur dengan jelas mengenai ketentuan
pemeliharaan anak jika terjadi perceraian, namun dimungkinkan hakim
menerapkan lain. Hal ini di dasarkan pada asas ius contra legem. Hal ini
juga dikemukakan oleh M. Yahya Harahap (2011:858) bahwa apabila
ketentuan undang-undang yang ada bertentangan dengan kepentingan
umum, kepatutan, peradaban, dan kemanusiaan, hakim bebas dan
berwenang melakukan tindakan contra legem yakni mengambil keputusan
56
Amandemen Undang-undang Perlindungan Anak, Sinar Grafika Offset, 2015, hal 65 57
Pendapat Mahmuddin sebagai hakim di Pengadbbbilan Agama Makassar.
59
yang bertentangan dengan pasal undang-undang yang bersangkutan.
Dalam perkara ini, hakim melakukan contra legem karena dianggap istri
tidak dapat memberikan contoh yang baik untuk anaknya dan demi
kepentingan serta masa depan anak maka hak asuh anak diberikan kepada
suami sebagai ayahnya.
Bahwa walaupun menurut pasal 105 huruf (a) Kompilasi Hukum
Islam pemeliharaan anak yang belum mumayyiz diserahkan kepada
ibunya, namun menurut dalil permohonan pemohon yang menyatakan
bahwa termohon sejak tahun 2017 sampai sekarang sering pergi berhari-
hari tanpa tujuan yang jelas sehingga menelantarkan anak-anak, hal itu
tidak dibantah oleh termohon. Oleh karena itu Majelis Hakim ketentuan
pasal 49 ayat (1) huruf a dan b Undang-undang nomor 1 tahun 1974 yang
berbunyi “Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut
kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang
tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis
lurus keatas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang
berwenang, dengan keputusan pengadilan dalam hal-hal :
c. ia sangat melalaikan kewjibannya terhadap anaknya
d. Ia berkelakuan buruk sekali
Dari pernyataan diatas dapat diberlakukan terhadapat Termohon
karena Termohon telah terbukti sering pergi malam tanpa seizin Pemohon
selaku suaminya sehingga perbuatan Termohon tersebut menelantarkan
anak-anak Pemohon dan Termohon, maka dari itu Majelis Hakim perlu
60
mencabut hak asuh kedua anak tersebut dari Termohon selaku ibu
kandungnya dan menyerahkan hak asuh dan pemeliharaan kedua orang
anak Pemohon dan Termohon tersebut kepada Pemohon selaku ayah
kandung.
3. Analisis Penulis
setelah mengamati kasus antara pemohon dan termohon seperti
yang diuraikan diatas. Ada hal menarik untuk disoroti yaitu jatuhnya
hadhanah atau pemelliharaan anak yang belum mumayyiz kepada ayah.
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa dalam
permasalahan hadhanah ibu lebih berhak mendapatkan hadhanah ketika
seorang anak masih dibawah umur dan selama ibu belum menikah.
Kompilasii Hukum Islam menyatakan bahwa hak asuh anak yang
belum mumayyiz adalah hak ibunya. Hal ini dikarenakan ibu mempunyai
tahap kasih sayang serta kesabaran yang lebih tinggi, selain itu seorang ibu
lebih lembut ketika menjaga dan mendidik anaknya terlebih bagi anak
yang masih dalam usia menyusui, ibu memiliki sesuatu yang tidak dimiliki
semua orang.
Kalau kita lihat kasus diatas ibu seringkali meninggalkan rumah
yang semestinya tidak dilakukan karena tentu hal tersebut dapat
menelantarkan anak.
Disamping itu anak merupakan makhluk sosial seperti layaknya
orang dewasa. Membutuhkan orang lain (orang tua) untuk membantu
61
mengembangkan kemampuannya, karena anak lahir dengan segala
kelemahannya sehingga tanpa bantuan orang dewasa anak tidak mungkin
dapat mencapai taraf kemanusiaan yang normal.
Kalau kita lihat kembali hak asuh diatas, pemohon selagi hidup
dengan termohon ada hal yang tidak selayaknya dilakukan oleh termohon
seperti sering keluar rumah tanpa seizin pemohon bahkan pernah berhari-
hari dan berminggu-minggu sehingga anak menjadi terlantar. Mellihat dari
tingkah laku tersebut termohon sudah tidak layak untuk mendapatkan hak
asuhnya.
Seorang anak ayng belum mumayyiz masih berhak atas
pengasuhan kedua orang tuanya, walaupun orang tuanya sudah bercerai
seperti dalam kasus diatas. Dan pengasuhan tersebut semata-mata hanya
utnuk kepentingan anak tersebut. Bila nantinya terjadi perselisihan dan
penguasaan anak maka pengadilan memberikan putusan yang seadil-
adilnya tanpasedikitpun mengurangi hak-hak anak.
Sesuai dengan rumusan dan makna undang-undang, bahwa dalam
menentukan hak pemeliharaan anak yang harus diperhatikan adalah demi
kepentingan hokum anaknya. Jadi hakim harus benar-benar
memperhatikan apabila anak tersebut dipelihara oleh ibunya atau
bapaknya mempunyai jaminan sosial dan kesejahteraan yang lebih baik
atau tidak.
62
Oleh karena itu penulis sependapat dengan Putusan Pengadilan
Agama Jambi yang memutuskan bahwa pemeliharaan anak jatuh kepada
pemohon selaku ayah kandungnya bukan kepada termohon sebagai ibu
kandungnya. Karena dalam hal ini, ayah lebih menunjukkan sikap
kepedulian dan kasih sayang terhadap anaknya, dan anak tentu merasa
lebih aman dan nyaman berada dalam asuhan ayahnya. Disinilah hak-hak
anak yang dimaksud harus lebih diutamakan.
Seperti halnya juga manusia, anakpun memiliki hak nya sendiri
yakni hak perlindungan anak yang bertujuan untuk menjamin terpenuhinya
hak-hak anak agar dapat hidup, tumbu dan berkembang serta berpartisipasi
secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta
mendapat perlindunga dari kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya
anak-anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.
Menurut Drs. Efrizal ketika ibu tidak mampu mengurus anaknya,
misalnya ibu mempunyai moral yang jelek, murtad, pengguna obat-obatan
terlarang, dan lain-lain bisa membawa dampak buruk kepada tumbuh
kembang si anak, maka ayahnya lah yang lebih berhak atas permasalahan
pemeliharaan dan pengasuhan yang seperti ini.
63
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Dalam proses pengajuan perkara hak asuh anak (Hadhanah) di
Pengadilan Agama Jambi dapat diajukan dalam bentuk perkara tersendiri
(khusus masalah hadhanah) artinya tidak digabung dengan perkara yang
lain, dapat pula diajukan bersamaan dengan perkara lain yaitu perceraian
(komulatif). Dan dalam hal ini putusan Pengadilan Agama Jambi Nomor:
122/Pdt.G/2019/Pa.Jmb ini termasuk dalam perkara yang diajukan oleh
pemohon bersamaan dengan perkara Hadhanah (Komulatif).
2. Penetapan hadhanah ini berdasarkan sebab-sebab kepentingan anak tidak
terpenuhi, seperti tidak amanah dan tidak betanggung jawab, tidak
memiliki kesadaran dalam memelihara anak serta meninggalkan anak
selama berhari-hari sehingga anak terlantar, oleh karena itu hakim
memutuskan perlindungan sang anak yang bertujuan untuk menjamin
terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpastisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabatnya.
3. hakim bebas dan berwenang melakukan tindakan contra legem yakni
mengambil keputusan yang bertentangan dengan pasal undang-undang
yang bersangkutan apabila menyangkut kemaslahatan anak yang belum
mumayyiz ini, maka hakim melakukan contra legem karena dianggap
istri tidak dapat memberikan contoh yang baik untuk anaknya dan demi
kepentingan serta masa depan anak sehingga hak asuh anak diberikan
kepada ayahnya.
64
B. Saran-Saran
Untuk kasus Hak Asuh Anak yang belum mumayyiz, yang perlu
diberikan saran yaitu:
1. Perlu disosialisasikan kepada masyarakat bahwa sang ayah juga memiliki
hak asuh anak apabila ibu tidak memenuhi syarat dalam memelihara anak.
2. Sebaiknya ada aturan tertulis yang menjadi rujukan hakim dalam
memutuskan perkara hak asuh anak yang belum mumayyiz yang jatuh
kepada ayah dengan ketentuan-ketentuan tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
Abd ar-Rahman Al-jaziri, Kitab al-fiqh „ala al-mazahib al-„Arba‟ah, Beirut:
Dar al-Fikr, 2002
Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh
Munakahat Khitbah, Nikah, dan Talak, Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2009
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta: UII Press
Yogyakarta, 2000
Ahmad Rafiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, PT Raja Grafindo
Persada. Jakarta 2013
Al-Hamdani, Risalah Nikah: Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Pustaka
Amami, 2002
Amirudin dan Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2009
Amandemen Undang-undang Perlindungan Anak, Sinar Grafika Offset,
2015
Buku Laporan Tahunan Pengadilan Agama Jambi 2017
Darmawati, Kewenangan Peradilan Agama, Jambi: Sultan Thaha Press
IAIN STS Jambi, 2010
Fairus Harris, Hak Asuh Anak, Kantor Pengacara.com, 2017
Hasil wawancara oleh Ibu Raudhah Rachman, Panmud Hukum di
Pengadilan Agama Jambi, 15 Maret 2019
Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar, metodologi penelitian social,
Jakarta: Bumi Aksara, 2008
Ishaq,Metode peneliitian hukum, STAIN Kerinci Press, 2015
Jaih Mubarok, Peradilan Agama di Indonesia, Pustaka Bani Quraisy,
Bandung 2004
Julinsyah Noor, Metodologi Penelitian: Skripsi, Tesis, Disertasi, Dan Karya
Ilmiah. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011
M. Mahdil Mawahib, Fiqih Munakahah, Kediri: STAIN Kediri Press, 2009
Miss Arnipta Luemaeh, “Hak Hadhanah Bagi Istrii Murtad (Studi Kasus Di
Majelis Agama Islam Wilayah Patani, Selatan Thailand)”, Fakultas Syariah, UIN
STS Jambi, 2015
Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum, Jakarta:
Sinar Grafika, 1992
Nur Afiqah Binti Rahman, “Penyelesaian Sengketa Hadhanah Di
Mahkamah Tinggi Syariah Melaka Tengah Dalam Pembaharuan Hukum Islam”,
Fakultas Syariah, UIN STS Jambi, 2013
Nur Faridah, “ Peranan Sulh Dalam Menyelesaikan Perkara Hadhanah (
Studi Kasus di Mahkamah Tinggi Syariah Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur”,
Fakultas Syariah, UIN STS Jambi, 2012
Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 Tahun 2016 Pasal 17
tentang Tahap Pramediasi
Putusan Hakim Pengadilan Agama Jambi No: 122/Pdt.G/2019/PA.Jmb
Putusan PA Jambi Nomor: 122/Pdt.G/2019/Pa.Jmb
Rasito, Panduan Belajar Hukum Acara Perdata, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2015
Roihan A. Rasyd, Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2006
Satria Effendi, dan M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2008)
Sayuti Una, Pedoman Penulisan Skripsi, Edisi Revisi, cet. 1. Jambi:
Syari’ah Press, 2012
Sayyid Sabiq. Fiqh Sunnah. Kairo: Daar al-Fath, 2000
Sedarmayanti dan Syarifuddin Hidayat, Metodologi Penelitian. Bandung:
Mandar Maju, 2002
Slamet Abidin dan H. Aminuddin, Fiqih Munakahat, Bandung: CV Pustaka
Setia,1999
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, PT Rineka Cipta, Jakarta 1991
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&,. Bandung:
Alfabeta. 2016
Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga Jakarta Timur: Pustaka Al-kautsar
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih munakahat, Jakarta: Rajawali Pers, 2010
Tim Penulis, Pedoman Penulisan Skipsi. Edisi Revisi, Jambi: Syariah Press,
2012
Wawancara dengan Raudhah (Panitera muda), tanggal 15 maret 2018 di
Kantor Pengadilan Agama Jambi
Wawancara Hakim Pengadilan Agama Jambi (Efrizal) tanggal 29 maret
2019
Zainal Abidin Abu bakar, Kumpulan peraturan perundang-undangan dalam
lingkungan peradilan agama”, Cet Ke-3, Jakarta: Yayasan Al-Hikmah, 1993
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009)
Zakky , “Pengertian Observasi Menurut Para Ahli dan Secara Umum,Zona
Referensi 2018.
Lampiran-lampiran