HAJI BERULANG TELAAH HADIS HAJI LEBIH DARI...
Transcript of HAJI BERULANG TELAAH HADIS HAJI LEBIH DARI...
HAJI BERULANG
TELAAH HADIS HAJI LEBIH DARI SEKALI
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Mutmainnah
NIM: 1112034000040
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H./2018 M.
iv
Pedoman Transliterasi
Transliterasi yang dipakai dalam penyusunan skripsi ini berpedoman pada
Romanisasi Standar Bahasa Arab (Romanization of Arabic) yang pertama kali
diterbitkan pada tahun 1991 dari American Library Association (ALA) dan Library
Congress (LC).
A. Konsonan Tunggal danVokal
Arab Indonesia Inggris Arab Indonesia Inggris
ط A A اṬ Ṭ
ظ B B بẒ Ẓ
ع T T ت‘ ʻ
غ Ts Th ثGh Gh
ف J J جF F
ق Ḥ Ḥ حQ Q
ك Kh Kh خK K
ل D D دL L
م Dz Dh ذM M
ن R R رN N
و Z Z زW W
H H ه S S س
’ ’ ء Sy Sh ش
ي Ṣ Ṣ صY Y
H H ة Ḍ Ḍ ض
v
Vocal Panjang
وَ Ā Ā ا َُ Ū Ū أ
Ī Ī إِيَ
B. KonsonanRangkapKarenaSyaddah.
Mu’assasah مؤسسة
Muta‘addidah متعددة
C. Tā’ Marbūṭah.
Ṣalāh Bila dimatikan صالة
Mir’āt al-Zamān Bila Iḍāfah مرأة الزمان
D. Singkatan.
Swt : Subḥānahū wa ta‘ālā
Saw : Ṣallā Allāhu ‘alayh wa sallam
M : Masehi
H : Hijriyah
QS : Qur’ān Sūrat
HR : Hadis Riwayat
W : Wafat
vi
ABSTRAK
Mutmainnah
Haji Berulang; Telaah Hadis Haji Lebih dari Sekali
Skripsi ini membahas hadis-hadis perintah melaksanakan haji. Dalam
hadis-hadis itu, disebutkan haji diwajibkan hanya sekali dalam seumur hidup.
Sedangkan haji yang kedua dan setelahnya adalah sunnah. Hadis-hadis perintah
melaksanakan haji ini dibaca dan dipahami menggunakan metode pemahaman
hadis Ali Mustafa Yaqub yang tertuang dalam karyanya Al-Ṭuruq al-Ṣaḥīḥah fi
Fahmi al-Sunnah al-Nabawiyah, yang diantara metodenya adalah memahami
hadis dengan melihat majaz dalam hadis, sabab al-Wurūd dalam hadis serta al-
Ḥalah al-Ijtimā‘iyah (kondisi sosial) dalam hadis.
Penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian pustaka. Sumber data
dalam penelitian ini adalah hadis-hadis perintah melaksanakan haji yang terdapat
dalam Kutub al-Aḥādīs al-Aṣliyah. Dalam memahami hadis ini dibantu dengan
menggunakan kitab-kitab syaraḥ hadis, seperti Fatḥ al-Bārī bi Syarḥ Ṣaḥīḥ al-
Bukhārī, ‘Umdah al-Qārī Syarḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī dan ‘Aun al-Ma‘būd Syarḥ
Sunan Abū Dawūd.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa melaksanakan haji lebih dari sekali
pada masa sekarang tidak dianjurkan. Justru yang menjadi anjuran adalah agar
umat Islam, khususnya di Indonesia melaksanakan haji sekali seumur hidup. Hal
ini bertujuan agar orang yang belum melaksanakan haji memiliki peluang yang
lebih besar untuk melaksanakan haji. Biaya yang seharusnya digunakan untuk
berhaji akan lebih baik digunakan untuk kepentingan sosial seperti menyantuni
anak yatim dan membantu fakir miskin.
Kata kunci: Haji berulang, kondisi sosial
vii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur saya haturkan kepada Allah Swt., karena atas
pertolonganNya lah skripsi yang berjudul Haji berulang; Telaah Hadis Haji Lebih
dari Sekali ini dapat diselesaikan. Ṣalawāt dan salām senantiasa tercurah limpahkan
kepada junjungan Nabi Muhammad Saw, keluarga, sahabat-sahabat dan para
pengikutnya.
Selesainya penulisan skripsi ini tidak luput dari kesalahan dan kekurangan.
Karena hal itu merupakan bukti dari keterbatasan saya sebagai manusia. Penelitian ini
juga tidak lepas dari peran beberapa pihak seperti keluarga, dosen, kerabat dekat dan
teman baik berupa bantuan pikiran, motivasi, materil serta moral baik secara lahir
maupun batin. Oleh karena itu, saya ucapan terimakasih yang setinggi-tingginya
kepada pihak yang terlibat dalam skripsi ini, diantaranya:
1. Prof. Dr. Dede Rosyada dan MA. selaku rektor Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Prof. Dr. Masri Mansoer, M.A., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA selaku Ketua Jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir
dan Drs. Banun Binaningrum, M.Pd selaku Sekertaris Jurusan Ilmu al-Qur’an dan
Tafsir.
4. Segenap dosen serta seluruh staf dan karyawan yang berada di lingkungan
Fakultas Ushuluddin yang telah memberi dukungan dengan berbagai fasilitas.
viii
5. Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA rahimahullāh dan Ibu Nyai Hj. Ulfah
Uswatun Hasanah yang telah mengasuh kami dengan sabar dan ikhlas. Dan
segenap dosen dan musyrif serta musyrifah Darus Sunnah yang telah memberikan
ilmu dan tauladan yang baik kepada saya.
6. KH. Abdul Ghafur Syafiuddi, Lc dan Ibu Nyai Hj. Khoiriyah Baqir yang telah
mengasuh dan mendidik saya di Pesantren al-Mujtama‘. Dan segenap guru-guru
saya di Pesantren Miftāh al-‘Ulūm dan Pesantren al-Mujtama‘ yang telah
membimbing dan mengarahkan saya baik ilmu maupun adab.
7. Rifqi Muhammad Fatkhi, MA yang telah memberikan waktu, tenaga dan pikiran
untuk membimbing, memberikan arahan, kritik dan masukan kepada saya dengan
sabar dan cermat demi kesempurnaan skripsi ini. Masukan-masukan yang beliau
berikan sangat berharga bagi saya.
8. Dr. Faizah Ali Syibromalisi, MA selaku dosen pembimbing akademik, yang ikut
berpartisipasi demi kelancaran skripsi ini.
9. Kedua orang tua saya, Abi Moh. Ali Wafa Mas’ud dan Ummi Hasanah yang
senantiasa mendo’akan saya tiada henti. Saudara saya, Kak Ali Affandi, yang
telah banyak memberikan dukungannya, baik secara materi maupun non-materi.
Kak Umarul Faruq, yang telah memberikan dukungannya dengan sepenuh hati.
Sahabat-sahabat saya, Imroatus Sholihah, Haridah, Masturah Yasmin Hafidzoh,
Hilmiyah Azhar, Jauharatu Nabilah, Siti Masyiṭah yang telah menjadi teman
diskusi berbagai persoalan dalam hidup ini.
10. Seluruh teman Tafsir Hadis angkatan 2012 baik dari kelas A, B, C, D dan E dan
masih banyak lagi yang tidak bisa saya sebutkan satu-persatu. Mereka telah
ix
memberikan masukan, motivasi, senyuman dan mendengarkan keluh kesah saya.
Terima kasih teman-teman atas semua kenangan manis bersama kalian.
11. Seluruh teman-teman Darus-Sunnah khususnya angkatan 15 (Avicenna) yang
telah mewarnai hidup saya selama di Ciputat.
12. Teman-teman KKN INVENTOR 2015 yang telah memberi kesempatan kepada
saya bergabung berjuang bersama melayani dan membantu masyarakat.
Tidak semua nama yang berjasa saya sebutkan di sini, karena keterbatasan
ruang. Oleh karena itu, saya ucapkan jazākumullah aḥsan al-jazā’ kepada semua
pihak yang terlibat dalam penulisan skripsi ini. Semoga Allah Swt. membalas
perbuatan baik kalian semua. Āmīn.
Ciputat, 19 Desember 2017
Mutmainnah
x
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ........................................................i
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. iii
PEDOMAN TRANSLITERASI ..........................................................................iv
ABSTRAK .............................................................................................................vi
KATA PENGANTAR ......................................................................................... vii
DAFTAR ISI ..........................................................................................................ix
BAB І : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah..................................................................................... 1
B. Identifikasi, Batasan dan Rumusan Masalah ................................................... 10
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................................ 11
D. Studi Terdahulu yang Relevan ........................................................................ 12
E. Metodologi Penelitian ...................................................................................... 16
F. Metode Penulisan ............................................................................................. 18
G. Sistematika Penulisan ...................................................................................... 18
BAB ІІ : METODE PEMAHAMAN HADIS ALI MUSTAFA YAQUB
A. Biografi Ali Mustafa Yaqub .............................................................................. 20
B. Metode Pemahaman Hadis Ali Mustafa Yaqub ................................................ 30
a. Tekstual dan Kontekstual menurut beberapa Tokoh .................................. 31
b. Tekstual dan Kontekstual menurut Ali Mustafa Yaqub ............................. 35
xi
c. Memahami Hadis secara Tematis .............................................................. 48
d. Kontradiksi Hadis .............................................................................................. 50
BAB ІІІ : PEMAHAMAN HADIS SUNAH MELAKSANAKAN HAJI
LEBIH DARI SEKALI
A. Haji .................................................................................................................... 55
B. Takhrij Hadis Kewajiban Melaksanakan Haji hanya Sekali ............................. 58
C. Pemahaman Hadis Kewajiban Melaksanakan Haji ........................................... 65
a. Majāz dalam Hadis ................................................................................. 67
b. ‘Illah dalam Hadis .................................................................................. 71
c. Sabab Wurūd al-Ḥadīts .......................................................................... 73
d. Kondisi Sosial dalam Hadis ................................................................... 78
D. Pandangan Cendikiawan tentang Haji Berulang ............................................... 85
a. Bisyr bin al-Ḥārits al-Ḥāfī ........................................................................... 85
b. Jamal Ahmed Badi ....................................................................................... 86
c. Ibn Bāz ........................................................................................................... 87
d. Ṣāliḥ bin Fauzān bin Abdullah al-Fauzān ................................................ 87
BAB ІV: PENUTUP
A. Kesimpulan ...................................................................................................... 89
B. Rekomendasi .................................................................................................... 90
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 91
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pergi ke tanah suci Mekah memang berbeda dengan pergi ke tempat lain,
setiap muslim selalu rindu pergi ke tempat yang satu itu meskipun ia sudah
berkali-kali pergi kesana. Bahkan mereka yang pernah bermukim di tempat yang
tandus dan gersang itu tetap merasa rindu untuk datang lagi kesana, apalagi
mereka yang belum pernah pergi kesana sama sekali. Oleh karena orang yang
pergi ke tanah suci pada umumnya dalam rangka menjalankkan ibadah haji, maka
tentulah tidak ada satu orangpun yang menginginkan ibadah hajinya tidak
diterima oleh Allah sebagai haji mabrur.1
Ibadah haji tidak hanya ritual yang semata-mata hanya untuk menjalankan
perintah dan memperoleh ridha Allah, melainkan lebih dari itu. Yaitu, napak tilas
perjalanan hamba-hamba Allah yang suci, Nabi Ibarhim, Hajar, dan Nabi Isma‘il,
yang peristiwanya sangat historis, dan memberikan banyak pelajaran bagi kaum
yang mengetahui dan memperhatikannya. Tidaklah heran bila haji dikategorikan
sebagai puncak ibadah yang juga merupakan rukun Islam terakhir yang menjadi
sendi agama. Sebab, ia tidak hanya bisa dilakukan dengan hati ikhlas, melainkan
juga dengan menyertakan pikiran, kekuatan fisik, dan kekayaan material.2 Allah
menekankan kepada setiap muslim yang mampu menunaikan ibadah haji untuk
bersegera melaksanakannya, seperti dalam firman-Nya:
1Ali Mustafa Ya’qub, Mewaspadai Provokator Haji (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009), h.
13. 2 Nurcholis Majid, Perjalanan Religius ‘Umrah dan Haji (Jakarta: Paramadina, 2000), h.
cover.
2
Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam
Ibrahim 4 ; barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah
Dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu
(bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.
barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), Maka Sesungguhnya Allah
Maha Kaya (Tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam. (HR. Āli
‘Imrān [3:97]).
Kita dapat memahami betapa tegas perintah Allah tersebut. Hal itu terlihat
dalam kata-kata “kafara” (ingkar) bagi mereka yang enggan untuk
mengerjakannya. Artinya, Allah menyamakan seorang muslim yang sudah
mampu untuk menunaikan ibadah haji namun ia enggan untuk melaksanakannya
dengan orang kafir.5
Selain termasuk rukun Islam, ibadah haji merupakan salah satu dari amal
perbuatan yang paling utama dalam Islam setelah iman dan jihad di jalan Allah.
Ibadah haji memiliki banyak faḍīlah dan hikmah. Berikut hadis-hadis yang
menyebutkan faḍīlah dan hikmah dalam ibadah haji.
3Al-Qur’ān surah Āli ‘Imrān ayat 97. 4 Tempat Nabi Ibrahim a.s. berdiri membangun Ka'bah. 5 Wahbah al-Zuhaili, Al-Tafsīr al-Munīr fī al-‘Aīdah wa al-Syarī’ah wa al-Manhaj
(Dimaskus: Dār al-Fikr al-Ma’āṣir, 1418 H), vol. 5, h. 15. 6Muslim bin al-Hajjāj, Ṣaḥīḥ Muslim (Riyad: Dār al-Salām, 1998), h. 569.Diriwayatkan
juga oleh al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī (Riyad: Dār al-Salām, 1999), h.246.
3
Telah menceritakan kepada kami Yahyā bin Yahyāia berkata, saya telah
membacakan kepada malik dari Summī maula Abū Bakr bin
Abdurrahmān, dari AbūṢāliḥ al-Sammān dari Abū Hurairah bahwa
Rasūlullah Saw. Bersabda: “Dari satu umrah ke umrah yang lainnya
menjadi penghapus dosa di antara keduanya. Dan tidak ada balasan bagi
haji mabrūr kecuali surga”.(HR. Muslim).
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah ia berkata, telah
menceritakan kepada kami Ibrāhīm bin Sa‘d dari al-Zuhrī dari Sa‘īd bin
al-Musayyib dari Abū Hurairah ra. ia berkata, Ditanyakan kepada
Rasulullah Saw., amaliyah apa yang paling utama? Rasulullah Saw.
menjawab: Iman kepada Allah dan Rasulnya, kemudian ditanyakan lagi:
Lantas apalagi wahai Rasulullah? Rasulullah Saw. menjawab: Jihad fī
sabīlillāh, kemudian ditanyakan lagi: Lantas apalagi? Rasulullah Saw.
menjawab: Haji mabrūr. (HR. Al-Bukhārī).
Dari hadis di atas telah jelas bahwa haji memiliki beberapa keutamaan
tersendiri, yaitu seorang muslim yang melaksanakan haji akan diampuni dosanya
bahkan dijanjikan masuk surga. Hal ini cukup memberi pengaruh kepada umat
muslim untuk terus berusaha dapat melaksanakan haji, bahkan tidak jarang dari
mereka telah melaksanakan haji berkali-kali.
Salah satu falsafah yang berkembang di masyarakat yaitu semakin sering
orang pergi haji, maka semakin baik pula citranya di masyarakat. Sebagian oknum
jemaah haji Indonesia ada yang merasa wajib mandi di Wadi Fatma. Biasanya
mereka adalah kaum ibu yang konon apabila mereka mandi di sini, maka akan
7Al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī…, h. 247. Diriwayatkan juga oleh Muslim bin al-Ḥajjāj,
Ṣaḥīḥ Muslim.., h. 51. Al-Tirmidzī, Jāmi’ al-Tirmidzī (Riyad: Dār al-Salām, 1999), 399.
4
tetap cantik dan awet muda.8
Sedangkan sejarah mencatat bahwa Rasulullah Saw selama hidupnya
setelah disyari’atkannya ibadah haji hanya melaksanakan haji sekali, yaitu pada
tahun ke-10 H. Ibadah haji pertama kali disyariatkan dalam Islam pada tahun ke-6
H.9 Pada tahun itu Rasulullah Saw bersama para sahabat pergi ke Mekah untuk
melaksanakan umrah, akan tetapi gagal karena dihalangi oleh kaum musyrik
untuk masuk Mekah. Pada tahun berikutnya, tahun ke-7 H Rasulullah Saw.
bersama para sahabat berhasil masuk Mekah dan melaksanakan umrah pada tahun
ke-7 H yang kemudian dikenal dengan Umrat al-Qaḍa.10
Pada tahun ke-8 H Nabi Saw berhasil menaklukkan Mekah dan
melaksanakan ibadah umrah pada bulan Dzū al-Qa’dah, setelah itu Nabi Saw
kembali ke Madinah tanpa melakukan ibadah haji, padahal pada saat itu Mekah
sudah berada di bawah kekuasaan umat Islam.11
Pada tahun ke-9 H Nabi Saw tidak melaksanakan ibadah haji ataupun
umrah. Pada tahun ke-10 H Nabi Saw baru melaksanakan haji, dan tiga bulan
kemudian beliau meninggal dunia pada tahun ke-11 H. Meskipun pada saat itu
Nabi Saw memiliki tiga kesempatan untuk melaksanakan haji, yaitu pada tahun
ke-8, ke-9 dan ke-10 H beliau hanya melaksanakan sekali. 12 Sejarah yang
mencatat Nabi Saw hanya melaksanakan haji sekali telah dilegitimasi oleh hadis
sebagaimana berikut:
8Ali Mustafa Ya’qub, Mewaspadai Provokator Haji, 43.
9Sa‘īd Ramaḍān al-Būṭī, Fiqh al-Sīrah,(Bairut: Dār al-Fikr al-Maqāṣir, 1991)h. 347. Ibn
Ḥajar al-‘Asqalāni, Fath al-Bārī bi Syarh Ṣaḥīḥ al-Bukhārī (Kairo: Dār al-Ḥadīts, 1998), vol. 3, h.
428. 10 Sa‘īd Ramaḍān al-Būṭī, Fiqh al-Sīrah…, h. 137. 11 Ali Mustafa Ya’qub, Mewaspadai Provokator Haji (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009), h.
101. 12Ali Mustafa Ya’qub, Mewaspadai Provokator Haji …, h. 102.
5
Telah menceritakan kepadaku Zuhair bin Ḥarb ia berkata, telah
menceritakan kepada kami al-Ḥasan bin Mūsā, ia berkata telah
mengabarkan kepada kam Zuhair dari Abū Ishāq ia berkata, saya
bertanya kepada Zaid bin Arqam: berapa kali kami berperang bersama
Rasulullah Saw.? Ia menjawab: tujuh belas kali. Abū Ishāq berkata, telah
menceritakan kepadaku Zaid bin Arqam bahwa Rasulullah Saw.
berperang Sembilan belas kali, dan setelah hijrah beliau melaksanakan
haji hanya sekali, yaitu haji wada’. (HR. Muslim).
Dalam praktiknya Nabi Saw hanya melaksanakan haji sekali, beliau juga
mengajarkan umatnya bahwa melakukan haji adalah wajib bagi setiap orang
sekali dalam seumur hidup. Haji yang kedua dan berikutnya adalah sunnah
sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis:
Telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Ḥarb dan Ustmān bin Abī
Syaibah secara makna, mereka berkata; telah menceritakan kepada kami
Yazīd bin Hārūn dari Sufyān bin Husain dari al-Zuhrī dari Abu Sinān dari
13Muslim bin al-Ḥajjāj, Ṣaḥīḥ Muslim...., h.531. 14 Abū dāwud, Sunan Abī Dāwud (Riyad: Dār al-Salām, 1999), h. 254.
6
Ibn ‘Abbās bahwa al-aqra‘ bin Ḥābis bertanya kepada Nabi Saw. Ia
berkata: Wahai Rasulullah, apakah haji wajib pada setiap tahun atau
hanya sekali? Beliau Saw. bersabda “Satu kali, seiapa yang menambah
(lebih dari sekali)hal tersebut adalah sunah.”(HR. Abū Dāwud).
Melaksanakan haji berulang adalah sunah dan dianjurkan sebagaimana
disebutkan dalam hadis di atas. Sunnah yang oleh ulama fiqih dipahami sebagai
sebuah hukum atas sebuah perbuatan yang apabila hal tersebut dikerjakan akan
membuahkan pahala bagi pelakunya. 15 Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa
Allah akan mencintai seorang hamba yang senantiasa mendekati Allah melalui
amalan-amalan sunnah.16
Ulama sepakat bahwa ibadah haji diwajibkan sekali seumur hidup bagi
seseorang yang mampu secara materi dan fisik. Sebagian ulama Syafi‘iyah
mengatakan bahwa bagi seseorang yang telah melaksanakan haji wajib maka
baginya farḍu kifāyah. Namun pendapat ini ditolak oleh sebuah hadis yang
menyatakan haji yang kedua adalah sunnah.17 Haji disunahkan setiap lima tahun
sekali bagi seseorang yang mampu, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Ḥibbān
dalam Ṣaḥīḥ-nya bahwa Nabi Saw bersabda:
15 Abdul Karim Zīdān, al-Wajīz fī Uṣūl al-Fiqh (Bagdad: Maktabah al-Basyāir, 1976), h.
29. 16 Hadis riwayat al-Imām al-Bukhārī :
Al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Buhārī…, h. 1127. 17Ali bin Muhammad al-Qārī, Mirqāh al-Mafātīḥ Syarḥ Misykāh al-Maṣābīḥ (Bairut: Dār
al-Fikr, 2002), vol. 5, h. 1748.
7
Allah berfirman: “Sesungguhnya seorang hamba yang Aku sehatkan
badannya, dan Aku luaskan rizkinya melewati lima tahun tidak berziyarah
ke rumahku (baitullah), maka diharamkan baginya (cintaku).” (HR. Ibnu
Ḥibbān).
Secara tersirat hadis ini menunjukkan bahwa haji diwajibkan setiap lima
tahun sekali bagi seorang yang memiliki badan sehat dan kelapahan rizki. Hal ini
terlihat dari ungkapan maḥrūm (diharamkan) dalam hadis tersebut. Oleh
karenanya, berdasarkan dengan hadis ini al-Hasan mewajibkan haji setiap lima
tahun sekali bagi seseorang yang dikaruniai kesehatan dan kekayaan. Namun,
pendapat ini syādz dan ditolak karena berlawanan dengan ijma‘ ulama yang
mengatakan wajibnya haji hanya sekali.19
Tidak disangsikan lagi, bahwa haji lebih dari sekali sangat dianjurkan.
Namun apabila kita melihat kondisi sosial pada saat ini, dimana Islam tidak hanya
berada di negara Arab saja, tetapi sudah menyebar ke seluruh penjuru kota di
setiap Negara, termasuk Indonesia, dan pemeluk Islam seiring berjalannya waktu
semakin banyak, pengamalan hadis disunnahkan haji lebih dari sekali akan
mencederai kesempatan umat muslim lainnya yang belum melaksanakan haji. Di
Indonesia, khususnya di Jakarta misalnya, untuk melaksanakan haji perlu
mengantri sampai 16 tahun dimulai dari awal ia mendaftar haji. Di Kalimantan
Selatan harus mengantri sampai 26 tahun. Bahkan di Pare-pare khususnya di
18 Muḥammad bin Ḥibbān, Ṣaḥīḥ Ibn Ḥibbān (Bairut: Muassis al-Risālah, 1988), cet. 1,
vol. 9, h. 16. 19 Zainuddin al-Ḥaddādī, Faiḍ al-Qadīr (Mesir: Maktabah al-Tijāriyah al-Kubrā, 1356),v.
2, h. 310. Lihat Ali bin Muhammad al-Qārī, Mirqāh al-Mafātīḥ Syarḥ Misykāh al-Maṣābīḥ.., vol.
5, h. 1748.
8
Kabupaten Wajo harus mengantri hingga 34 tahun, artinya apabila ia mendaftar
pada tahun 2018 maka ia akan berangkat pada 2052, dan di Kabupaten Sirdap
harus menunggu hingga 36 tahun. Di Kabupaten Sirdap ini merupakan antrian
terpanjang di Indonesia setelah Kabupaten Wajo. 20 Lantas bagaimana kita
mengamalkan hadis yang menyebutkan bahwa haji lebih dari sekali adalah sunnah
di masa sekarang?
Posisi hadis sebagai sumber hukum Islam kedua setelah al-Qur’ān,
mengharuskan umat Islam mengikuti apa yang terkandung dalam hadis.21 Namun
kendati demikian pengamalan sebuah hadis tidak terpaku pada dzahir lafadznya.
Dibutuhkan beberapa perangkat dan aspek-aspek lain untuk memahami suatu
hadis sehingga hadis akan terus relevan dari masa ke masa. Hal ini mengingat
bahwa hadis tidaklah lahir dari ruang yang kosong. Hadis memiliki syarat makna
yang luas dan tujuan luhur yang membuahkan kebaikan bagi pengamalnya.Hadis
disabdakan oleh Nabi Saw. di Arab yang tidak terlepas dari adat kebiasaan dan
kondisi sosial pada masa itu.
Melihat betapa pentingnya memahami hadis banyak ulama yang telah
mengarang kitab sebagai upaya mempermudah memahami maksud hadis. Seperti,
Al-Syāfi‘ī (w. 204 H) menulis kitab Ikhtilāf al-Hadīs dan al-Nāsikh wa al-
Mansūkh min al-Hadīs. Ibnu Qutaibah al-Dainūrī (w. 276 H) menulis kitab Ta’wīl
Mukhtalaf al-Hadīs22. Al-Ṭaḥāwī (w. 321 H) menulis kitab Syarh Musykil al-
20 Kementrian Agama RI Direktorat Penyeleggaraan Ibadah Haji dan Umrah 2017. Lihat:
https://haji.kemenag.go.id/v3/basisdata/waiting-list. Diakses pada hari selasa 9 Januari 2018. 21Alī Musṭafā Yaqub, al-Ṭuruq al-Ṣaḥīḥah fī Fahmi al-Sunnah al-Nabawiyah (Jakarta,
Maktabah Dār al-Sunnah, 2014) h.1. 22 Menurut Ibn Qutaibah sunnah bila dipilah ketiga kategori; sunnah Jibril, sunnah Ibahah
dan sunnah ta‘dib. Sunnah Jibril berarti sunnah yang diwahyukan oleh Allah swt. melalui malaikat
Jibril. Sunnah Ibāḥah yaitu sunnah yang di dalamnya Nabi saw. diizinkan menggunakan pendapat
pribadinya. Sedangkan Sunnah ta’dib merupakan jenis pernyataan nabi yang apabila diikuti, umat
9
Ātsār. Ibnu Khuzaimah (w. 311 H) menulis kitab Musykil al-Ātsār. Ibnu al-Utsair
al-Jazarī (w. 606 H) menulis kitab Jāmi‘ al-Ușūl fī Aĥādīts al-Rasūl. Tidak hanya
itu, selanjutnya Ulama kontemporer juga menulis kitab bagaimana cara yang
benar memahami hadis, seperti Yūsuf al-Qaraḍāwī menulis kitab Kaifa Nata‘āmal
ma‘a al-Sunnah, Muḥammad al-Ghazālī23 (w. 1417 H/ 1996 M) menulis kitab Al-
Sunnah al-Nabawiyah baina Ahl al-Ḥadīts wa Ahl al-Fiqh.24 Ali Musṭafā Yaqub
(w. 1437 H/ 2016 M) menulis kitab al-Ṭuruq al-Ṣaḥīḥah fī Fahmi al-Sunnah al-
Nabawiyah25 dan lain sebagainya.
Melihat betapa antusiasnya ulama menulis kitab sebagai upaya dalam
memahami hadis, hal ini menunjukan hadis tidak bisa sekedar diamalkan
berdasarkan ẓahir lafaẓnya. Tidak jarang hadis menjelaskan permasalahan-
permasalahan secara terperinci. Namun, terkadang kita tidak perlu mengamalkan
persis seperti yang dikatakan oleh hadis. Kita harus mentelaah nilai maslahat yang
akan mendapatkan keutamaan. Ibn Qutaibah al-Dīnawarī, Ta’wīl Mukhtalaf al-Hadīs (Beirut:
Muassasah al-Kutub al-Saqafiyah, 1988), cet. Ke-1, h.130. 23 Muhammad al-Ghazali adalah seorang ulama jebolan Universitas al-Azhar Mesir yang
disegani di dunia Islam, khususnya timur tengah, dan salah satu penulis Arab yang produktif.
Lihat: M. Quraish Shihab, dalam “Studi Kritis atas Hadīts Nabi Muhammad Saw antara
pemahaman dan Kontekstual”, kata pengantar (Bandung: Mizan, 1992), h. 7. Muhammad al-
Ghazali lahir pada 1917 M di al-Bahirah, Mesir. Wafat pada hari Sabtu 9 Syawāl 1416 H,
bertepatan dengan tanggal 6 Maret 1996, ketika ia berada di Saudi Arabia untuk menghadiri
seminar tentang Islam dan Barat. Lihat: Bustamin dan M. Isa H. A. Salam, Metodologi Kritik
Hadis (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), h. 99-100. 24 Muhammad al-Ghazali dalam menilai dan memahami makna suatu hadis terlebih
dahulu membandingkannya dengan al-Qur’an. Sehingga hadis-hadis yang bertentangan langsung
atau tidak langsung dengan al-Qur’an yang dari segi periwayatannya shahih tetap ditolak dan
dinyatakan sebagai hadis yang tidak shahih. Bahkan ia mengkritik orang yang hanya menyibukkan
diri dengan hadis Nabi Saw. dan kurang memperhatikan al-Qur’an. Lihat Endang Soetari,
Otentisitas Hadis; Studi Kritik atas Kajian Hadis Kontemporer, (Bandung: PT Remaja Rosdakaya,
2004), h.272.
Al-Ghazali mempersoalkan status hadis ahad dari segi kehujjahannya. Ia menyatakan:
“sekali-kali kami tidak hendak melemahkan suatu hadis yang masih bisa dishahihkan. Tetapi kami
benar-benar berkeinginan agar setiap hadis dipahami di dalam kerangka makna-makna yang
ditunjukkan oleh al-Qur’an, baik secara langsung ataupun tidak”. Lihat Muhammad al-Ghazali,
Studi Kritik atas Hadis Nabi saw. :Antara Pemahaman tekstual danKontekstual, terjamahan
Muhammad Baqir (Bandung: Mizan, 1996) h.32.
25 Ali Mustafa Yaqub menyebutkan dalam kitabnya ada beberapa pendekatan untuk
memahami hadis yaitu: pemahaman tekstual dan kontekstual yang di dalamnya meliputi, majaz,
takwil, illat, geografi budaya arab, kondisi social dalam hadis, serta latar belakang
diriwayatkannya sebuah hadis. Alī Musṭafā Yaqub, al-Ṭuruq al-Ṣaḥīḥah…, h. 9.
10
terkandung dalam sebuah hadis.
Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa pengkajian ulang terhadap hadis
disunnahkan melaksanakan haji lebih dari sekali, menjadi sangat penting. Dalam
mengkajinya peneliti menggunakan metode pemahaman hadis menurut Ali
Mustafa Yaqub (w. 2016 M) yang salah satunya dengan melihat kondisi sosial
pada masa Nabi Saw disandingkan dengan kondisi sosial pada masa sekarang dan
melihat hikmah-hikmah diperintahkannya haji. Upaya ini dilakukan untuk
melahirkan pemahaman yang utuh.
B. Identifikasi, Batasan dan Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang permasalahan di atas dapat diidentifikasi
beberapa permasalahan seputar hadis sunah melaksanakan haji lebih dari sekali,
yaitu:
Pertama, hadis yang merupakan hukum Islam kedua memiliki pesan-
pesan baik yang harus diikuti oleh umat Islam. Berkenaan dengan hadis “sunnah
melaksanakan haji lebih dari sekali”, pengamalannya pada masa sekarang,
khususnya di Indonesia, dapat melahirkan masalah baru seperti semakin
meningkatnya antiran keberangkatan haji. Sehingga hadis “sunnah melaksanakan
haji lebih dari sekali” perlu dikaji kembali.
Kedua, ketika umat Islam lebih gemar melaksanakan ibadah haji berulang
yang merupakan ibadah individu dari pada berinfaq kepada fakir miskin yang
merupakan ibadah sosial, akan menyebabkan berkurangnya kepekaan sosial
terhadap lingkungan masyarakat. Hal ini akan mencederai nilai Islam yang
menjunjung rahmatan li al-‘ālamīn. Hal ini menimbulkan persoalan apakah nilai
Islam dapat bertentangan dengan nilai yang terkandung dalam hadis.
11
Berdasarkan dari beberapai identifikasi permasalahan di atas, peneliti akan
membatasi permasalah pada: Pemahaman hadis “sunnah melaksanakan haji lebih
dari sekali”. Berdasarkan hal tersebut, dapat dirumuskan rumusan malasah dalam
penelitian ini sebagai berikut: Bagaimana hadis sunnah melaksanakan haji lebih
dari sekali dipahami untuk kondisi saat ini?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai melalui penelitian ini adalah mengetahui cara
mengamalkan hadis sunnah melaksanakan haji lebih dari sekali dalam konteks
masa kini. Skripsi ini juga bertujuan untuk menunjukkan, bahwa hadis tidak selalu
diamalkan berdasarkan dzahir lafadznya, melainkan juga dengan melihat aspek-
aspek lain yang menjadi pelengkap dalam memahami hadis.
2. Manfaat penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat penelitian yang
bersifat praktisdan akademis. Secara praktis, penelitian ini bermanfaat untuk
memberikan pemahaman bahwa melaksanakan haji berkali-kali bukanlah ukuran
kesempurnaan keberimanan seseorang, sehingga kegemaran melaksanakan haji
berkali-kali dapat dikurangi dan materi yang mulanya dialokasikan untuk
melaksanakan haji dapat disalurkan pada hal lain yang lebih bermanfaat. Secara
akademis, penelitian ini bermanfaat sebagai pembanding bagi penelitia-penelitian
yang lain yang berkenaan dengan metode memahami hadis, khususnya dalam
masalah pelaksanaan haji.
12
D. Studi Terdahulu yang Relevan
Untuk mendudukkan posisi penelitian ini peneliti akan menghadirkan
beberapa penelitian terdahulu yang relevan dengan kajian ini. Ada beberapa
penelitian yang menunjukkan bahwa pelaksanaan haji berulang bukanlah sesuatu
yang patut untuk terus dipraktikkan. Beberapa penelitian tersebut berangkat dari
fenomena yang terjadi dalam masyarakat Indonesia, yaitu gemarnya
melaksanakan haji berulang. Meski demikian terdapat titik perbedaan dalam
penelitan-penelitian tersebut. Dari beberapa penelitian sebelumnya dapat
dikelmpokkan menjadi tiga kelompok sebagaimana berikut:
Pertama, melaksanakan haji berulang dikaji dengan melihat kondisi sosial
di Indonesia, tepatnya adalah kemiskinan yang masih mengakar dan belum
teratasi di Indonesia yang lebih membutuhkan perhatian ekstra dibanding
melaksanakan haji berulang, serta mengkaitkannya dengan praktik haji Nabi
Muhammad Saw. Penelitian dengan model seperti ini adalah penelitian Ali
Mustafa Yaqub dan Muhammad Hanifuddin.
Ali Mustafa Yaqub, Haji pengabdi Setan, dalam bukunya, Ali Mustafa
Yaqub memberikan kesimpulan bahwa haji bekali-kali yang mulanya sunah boleh
jadi menjadi makruh atau haram ketika seseorang lebih mementingkan haji
berkali-kali padahal banyak anak yatim terlantar, puluhan ribu orang menjadi tuna
wisma akibat bencana alam, banyak balita busung lapar, banyak orang terkena
pemutusan hubungan kerja, banyak orang makan nasi aking, banyak rumah Allah
yang roboh, banyak rumah anak yatim dan pembangunan pesantren terbengkalai.
Kesimpulan ini dihasilkan melalui pendekatan ushul fiqh dimana ada sebuah
kaidah menyebutkan al-Muta‘addī afḍal min al-Qāṣir (ibadah sosial lebih utama
13
daripada individual). Di samping itu pula melihat praktik Nabi Saw dalam
melaksanakan haji. Nabi Saw hanya melaksanakan haji sekali setelah
diwajibkannya ibadah haji pada tahun ke-6 hijriyah, padahal beliau memiliki
kesempatan untuk melaksanakan haji lebih dari sekali jika berkehendak untuk
melaksanakannya.26
M. Hanifuddin, Simbolisasi Haji, dalam artikelnya Hanifuddin bertitik
pada kesempulan untuk mengkampanyekan slogan: “Haji dan umrah berulang,
no!, infak berulang yes!” kesimpulan ini dihasilkan dari telaahnya terhadap
kehidupan Nabi Saw selaku pembawa syariat sekaligus teladan terbaik yang
melaksanakan ibadah haji hanya sekali. Dari penelitiannya ia menyebutkan bahwa
setelah Nabi Saw menetap di Madinah sekurang-kurangnya ada hal penting yang
terjadi di Madinah sehingga Nabi Saw tidak melaksanakan haji lebih dari sekali.
Pertama, Nabi Saw. menghadapi orang-orang yang memusuhi dan memerangi
beliau, maka Nabi Saw. Menginfakkan hartanya untuk kepentingan jihād fī
sabīlillāh. Kedua, akibat perang atau jihād fī sabīlillāh gugurlah para syuhada
yang kemudian menimbulkan janda-janda dan anak yatim. Rasulullah Saw
menginfakkan hartanya untuk menyantuni para janda, orang-orang miskin, dan
anak-anak yatim. Ketiga, banyaknya pelajar yang menuntut ilmu dari Nabi
Muḥammad Saw, sementara mereka tidak punya apa-apa, baik harta maupun
keluarga.Mereka tinggal di satu ruangan di masjid Nabawi yang disebut ahl al-
Ṣuffah. Meskipun Nabi Saw memiliki kesempatan untuk melaksanakan haji atau
umrah berkali-kali, beliau lebih memilih untuk mencurahkan pikiran, waktu, dan
26 Ali Mustafa Yaqub, Haji Pengabdi Setan, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2015), Cet. Ke-4,
h. 5.
14
harta bendanya untuk memberdayakan umat.27
Kedua, kegemaran melaksanakan haji berulang dikaji dengan pendekatan
al-Qur’ān. Penelitian dengan model ini telah dikaji oleh Leni Lestari, dengan
judul Tafsir ayat-ayat Perintah Haji dalam Konteks Ke-Indonesiaan, jurnal ini
berawal dari keheranan penulis melihat fenomena haji berulang di Indonesia yang
melahirkan beberapa pertanyaan, yaitu: apakah melakukan haji berkali-kali
memberian dampak positif pada perubahan sosial di Indonesia. Apakah ada ayat-
ayat al-Qur’ān yang menganjurkan untuk melaksanakan haji berkali-kali? Untuk
menjawab pertanyaan tersebut penulis mencoba mengalasis posisi pengulangan
haji di Indonesia serta mengkaji ayat-ayat al-Qur’ān yang berkenaan dengan haji,
untuk membuktikan apakah pengulangan haji yang terjadi di Indonesia memiliki
legitimasi dari Al-Qur’ān. Dari penelitiannya tersebut penulis menyimpulkan
bahwa,tidak ada ayat al-Quran yang menganjurkan untuk menyempurnakan haji
dengan cara melakukan haji berkali-kali. Konsep yang terkandung dalam kata
mabrūr dalam al-Quran selalu dikaitkan dengan interaksi sosial-kemasyarakatan,
yang membuktikan bahwa ibadah haji tidak hanya ibadah individu tetapi juga
berorientasi pada hubungan sosial. Namun, meski demikian ibadah haji lebih
mengutamakan pengalaman spiritual individual. Misi haji adalah misi sosial.
Sempurnanya haji bukan karena dilaksanakan berulang kali, tetapi lebih pada efek
yang timbul sepulang dari haji kepada masyarakat.28
Ketiga, penelitian terhadap pelaksanaan haji berulang yang lebih
ditekankan pada sangsi agar praktik berhaji ulang tidak terjadi lagi. Penelitian ini
27 Majalah Nabawi edisi 112/Zulqa’da-Zulhijjah(Ciputat: Darus Sunnah International for
Hadith Sceinces, 1436 H), h. 7. 28Leni Lestari, Tafsir ayat –ayat Perintah Haji dalam Konteks Ke-Indonesiaan, UIN
Sunan Kali Jaga Yogyakarta.
15
dikaji oleh Agus Sujadi, dengan judul Kriminalisasi Pengulangan Haji (I‘ādah al-
Hajj) di Indonesia, skripsi, penelitian ini berangkat dari permasalah waiting list
yang terjadi di Indonesia, yang menurut peneliti hal tersebut disebabkan oleh
kegemaran penduduk Indonesia dalam melaksanakan haji berkali-kali. Metode
penelitian dalam skripsi ini bersifat kajian pustaka dan lapangan.Dalam
pengambilan data dari lapangan, upaya Agus adalah dengan meminta daftar dan
catatan-catatan dari Kemenag serta wawancara terhadap tokoh dan para pelaku
haji berulang. Dengan penelitiannya tersebut penulis mengkategorikan
pengulangan haji di Indonesia merupakan tindak kriminal dan perlu diberikan
sangsi bagi pelakunya. Sangsi yang ditawarkan oleh Agus adalah
melipatgandakan biaya ibadah haji yang kedua dan ibadah haji yang ketiga dicoret
dari daftar keberangkatan, serta yang keempat dan seterusnya sudah pasti tidak
dapat mendaftar.29
Dari tiga klasifikasi penelitian tersebut, menjelaskan bahwa penelitian ini
berbeda dengan penelitian sebelumnya meskipun dalam tema yang sama. Posisi
penelitian ini adalah mengkaji praktik berhaji ulang berdasarkan hadis yang secara
jelas menyebutkan bahwa haji berulang adalah sunnah. Selain itu berdasarkan
penelusuran peneliti, di UIN Syarif Hadayatullah, khususnya di Ushuluddin
belum ada skripsi yang mengkaji pemahaman hadis haji lebih dari sekali.
Sehingga peneliti merasa perlu untuk mengajinya dalam penelitian ini.
29 Agus Sujadi,Kriminalisasi Pengulangan Haji (I‘ādah al-Hajj) di Indonesia UIN
Yogyakarta, Fak.Syari’ah dan Hukum, 2013.
16
E. Metodologi Penelitian
Penelitian ini dilakukan menggunakan metode tertentu yang dibagi ke dalam
dua bagian; metode pengumpulan data dan metode analisis.
1. Metode Pengumpulan Data
Dalam melakukan pengkajian dan penelitian berkenaan dengan
pemahaman hadis disunnahkan melaksanakan haji lebih dari sekali, peneliti
menggunakan merode penelitian kepustakaan (library research), yaitu dengan
mengumpulkan data dan informasi, baik berupa buku-buku maupun artikel-artikel
yang kemudian diidentifikasi secara sistematis dan analisis dengan bantuan
berbagai macam materi yang ada.
Sedangkan data-data yang diperlukan dan dicari adalah data-data dari
sumber-sumber kepustakaan yang bersifat primer, yaitu data yang langsung dan
segera yang diperoleh dari sumber data pertama, disebut dengan sumber pertama.
Dalam hal ini, yang menjadi sumber utama penulisan adalah hadis-hadis yang
berkenaan dengan sunnah melaksanakan haji berkali-kali, yaitu hadis yang
diriwayatkan oleh Abū Dawūd dalam Sunan-nya, Bāb Farḍ al-Ḥajj, dan
diriwayatkan juga oleh Ahmad bin Ḥanbal dalam Musnad-nya, Bāb Musnad
Abdullah bin al-‘Abbās, juga beberapa hasil dari pemahaman baik yang tekstual
maupun kontekstual dari beberapa ulama.
Dalam pengumpulan hadis-hadisnya, peneliti menggunakan metode takhrij
yang dirumuskan oleh Maḥmūd al-Ṭaḥḥān dalam kitabnya Uṣul al-Takhrīj wa
Dirāsah al-Asānīd, yaitu metode takhrij hadis dengan cara mengetahui topik yang
terkandung dalam hadis, kitab yang dipakai untuk menelusuri keberadaan
17
hadisnya adalah kitab Miftāẖ Kunūz al-Sunnah serta dengan bantuan pencarian
melalui al-Maktabah al-Syāmilah.
2. Metode Analisis Data
Sumber yang digunakan untuk metode analisis data adalah metode
pemahaman hadis Ali Mustafa Yaqub (w. 2016 M.) yang terdapat dalam karyanya
yang berjudul al-Ṭuruq al-Ṣaẖīẖah fī Fahm al-Sunnah al-Nabawiyyah. Di
dalamnya terdapat tiga metode yang digunakan untuk memahami hadis dengan
baik. Yaitu:
a. Tekstual dan Kontekstual yang di dalamnya meliputi: Majāz dalam hadis,
Ta’wīl dalam hadis, ‘Illah dalam hadis, Jughrāfiyyah (situasi geografis)
dalam hadis, Taqālīd al-‘Arabiyyah dalam hadis, Al-Ḫālah al-Ijtimā’iyyah
(konteks sosial) dalam hadis, dan Sabab al-Wurūd dalam hadis.
b. Memahami Hadis secara Tematik, yaitu dengan mengumpulkan hadis-
hadis yang setema yang gunanya untuk memahami secara utuh, karena
antara satu hadis dengan hadis yang lain saling menafsirkan.
c. Kontradiksi hadis, yaitu dengan mengkaji hadis-hadis yang terlihat
kontradiksi dengan hadis yang lain.
Dalam skripsi ini, peneliti hanya akan menggunakan metode pertama yaitu
tekstual dan kontekstual. Lebih spesifik lagi metode yang akan digunakan, yaitu:
majāz, ‘illah, al-ẖālah al-ijtimā’iyyah, dan sabab al-wurūd, karena dengan
menggunakan empat metodenya sudah mewakili dan menjawab sebagian besar
pertanyaan yang ada dan tujuan skripsi ini dibuat.
18
F. Metode Penulisan
Adapun dalam hal tehnik penulisan, skripsi ini mengacu kepada Pedoman
Akademik Program Strata 1 2012/2013 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.30Serta
penulis menggunakan Pedoman Transliterasi Romanisasi Standar Bahasa Arab
(Romanization of Arabic) tahun 1991 dari America Library Association (ALA)
dan Library Congress (LC).
G. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini, penulis membagi bahasan menjadi empat bab
dengan rincian sebagai berikut:
Bab satu, berisi pendahuluan yang di dalamnya mencakup latar belakang
masalah yang di dalamnya disebutkan alasan pentingnya penelitian ini, kemudian
identifikasi masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, studi terdahulu yang Relevan, serta metodologi penelitian dan
sistematika penulisan.
Bab dua, berisi metode memahami hadis Ali Mustafa Yaqub, sebelum
masuk pada metode, dipaparkan terlebih dahulu berkenaan biografi Ali Mustafa
Yaqub. Selanjutkan masuk pada metode pemahaman hadis yang diawali dengan
pemahaman tekstual dan kontekstual menurut beberapa tokoh, kemudian
pemahaman tekstual dan kontekstual menurut Ali Mustafa Yaqub, yang meliputi
majāz, takwīl, ‘illah, geografi budaya arab, kondisi sosial dalam hadis, serta latar
30 Hamid Nasuhi dkk, Pedoman Akademik Program Strata 1 2012/2013 UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta (Ciputat: Biro Administrasi Akademik dan Kemahasiswaan, 2012),353-404
19
belakang diriwayatkannya sebuah hadis. Mengumpulkan hadis dalam satu tema
dan ikhtilāf al-Ḥadīts.
Bab tiga, berisi pemahaman hadis sunnah melaksanakan haji lebih dari
sekali, yaitu analisis terhadap hadis-hadis tersebut dengan menggunkan metode
pemahaman hadis Ali Mustafa Yaqub. Namun, sebelumnya dijeaskan secara
singkat tentang haji, kemudian disebutkan letak hadis-hadis tersebut dalam kutub
al-Ḥadīts yang dirangkum dalam takhrij hadis kewajiban melaksanakan haji yang
diikuti dengan penjelasan mengenai kualitas hadis tersebut secara umum
berdasarkan penilaian para ulama. Kemudian masuk pada pemahaman hadis
kewajiban melaksanakan haji dengan metode yang telah dijabarkan dalam bab
dua, di antaranya adalah: majāz, ‘illah, sabab al-Wurūd dan kondisi sosial dalam
hadis. Sebagai penguat argumen disebutkan juga pandangan cendikiawan tentang
haji berulang.
Bab empat, berisi penutup dari penelitian ini. Sebagai penutup dari
pembahasan ini akan ditarik kesimpulan dan menjawab permasalahan-
permasalahan yang di bahas di bab-bab sebelumnya, serta memberikan saran atas
permasalah-permasalahan tersebut.
20
BAB II
METODE PEMAHAMAN HADIS ALI MUSTAFA YAQUB
Ali Mustafa Yaqub sudah sejak lama dikenal sebagai ahli hadis di
Indonesia. Hal ini karena setiap kali Ali Mustafa menyampaikan pandangannya
senantiasa menyebutkan dalilnya dari al-Qur’ān ataupun hadis. Pendapatnya tidak
pernah dipisahkan dengan hadis. Telah banyak karyanya yang berkenaan dengan
hadis. Namun, karyanya tentang metode memahami hadis termasuk karyanya
yang baru. Bahkan buku yang ditulisnya secara lengkap baru diluncurkan sebulan
setelah wafatnya Ali Mustafa. Sebelum mengkaji tentang metode pemahaman
hadis menurut Ali Mustafa Yaqub, peneliti akan menggambarkan sosok Ali
Mustafa Yaqub.
A. Biografi Ali Mustafa Yaqub
a. Latar Belakang keluarga
Ali Mustafa Yaqub lahir di Batang, Jawa tengah, 2 Maret 1952, wafat di
Jakarta, 28 April 2016 pada usianya yang ke 64 tahun.1 Ia hidup dalam sebuah
keluarga yang religius, sangat memegang ajaran agama dalam kehidupan sehari-
hari. Masa kecil Ali Mustafa Yaqub, tiap hari sehabis belajar di Sekolah Dasar
(SD) di desa kelahirannya, ia habiskan untuk menemani kawannya untuk
mengembala kerbau di lereng-lereng bukit pesisir utara Jawa Tengah.2 Kebiasaan
1 Panitia Wisuda Darus-Sunnah, Dzikrayāt al-Takharruj Wisuda Sarjana Ke-14 (Jakarta:
Darus-Sunnah, 2016), h. 4. 2 Ali Mustafa Yaqub, Hadis-hadis Palsu Seputar Ramadhan (Jakarta: Pustaka Firdaus,
20013), cet VI, h. 143.
21
inilah yang membentuk karakter dan kepribadian Ali Mustafa yang tegas, kritis,
dan peduli.3
b. Riwayat Pendidikan
Ali Mustafa Yaqub mulai belajar agama di bawah asuhan orang tuanya, ia
membaca kitab-kitab kuning4 (turāts) dalam bimbingan ayahnya, seperti Safinah
al-Najāh dan lain sebagainya. Mulanya, Ali Mustafa Yaqub sangat terobsesi
untuk terus belajar di sekolah umum, namun keinginannya tersebut terpaksa
kandas, karena setelah tamat SMP ia harus mengikuti arahan orang tuanya,
mancari ilmu di pesantren. Maka dengan diantar ayahnya, pada tahun 1969 ia
mulai tinggal di pesantren untuk menerima didikan di Pondok Seblak Jombang
sampai tingkat Tsanawiyah (Madrasah al-Salafiyah al-Syāfi‘iyah), 1969.
Kemudian ia nyantri lagi di Pesantren Tebuireng Jombang yang lokasinya hanya
beberapa ratus meter saja dari Pondok Seblak.5
Di samping belajar formal sampai Fakultas Syariah Universitas Hasyim
Asy‘ari, di pesantren ini ia menekuni kitab-kitab turāts dibawah asuhan para kiai
sepuh, antara lain al-Marhum KH. Idris Kamali, al-Marhum KH. Adlan Ali, al-
Marhum KH. Shobari, dan al-Musnid KH. Syamsuri Badawi. Di pesantren ini, ia
juga mengajar Bahasa Arab, sampai awal tahun 1976.6
3 Hartono, Perkembangan Pemikiran Hadis Kontemporer di Indonesia (Studi atas
Pemikiran Abdul Hakim Abdat dan Ali Mustafa Ya’qub) Tesis Konsentrasi Tafsir Hadis Sekolah
Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Jakarta, 2009, 82. 4 Dinamakan kitab kuning karena buku tersebut dicetak di atas kertas berwarna
kuning.Sebagian penerbit bahkan mencetak kitab di atas kertas berwarna kuning karena
tampaknya kitab berwarna kuning ini menjadi lebih klasik di pikira para penggunanya. Lihat
Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat (Bandung: Mizan, 1999), h. 142. 5 Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011), cet. VI, cover
belakang. 6 Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis…, cover belakang.
22
Pada tahun 1976 ia mencari ilmu lagi di Fakultas Syariah Universitas
Islam Imam Muhammad bin Saud, Riyadh, Saudi Arabia, sampai tamat dengan
ijazah Licance (Lc) pada tahun 1980. Masih di kota yang sama ia melanjutkan
dirāsah-nya di Universitas King Saud, Departemen Studi Islam Jurusan Tafsir dan
Hadis, sampai tamat dengan ijazah Master pada tahun 1985.7Dipilihnya Fakultas
Syariah (S1) dan Departemen Tafsir Hadis (S2) oleh Ali Mustafa Yaqub bukanlah
sebuah kebetulan, tetapi karena dalam pandangannya kedua ilmu ini sangat
diperlukan masyarakat.8 Setelah selasai studinya, ia kembali ke tanah air dan tidak
melanjutkan studinya lagi karena pada saat itu belum ada program doktoral di
Riyadh.
Pada tahun 2008, Ali Mustafa Yaqub merampungkan studinya pada
tingkat doktor di Universitas Nizamia, Hyderabad India, Spesialis Hukum Islam.
Lulus dengan desertasinya yang berjudul “Ma‘āyir al-Ḥalāl wa al-Ḥarām fī al-
aṭ‘imah wa al-Asyribah wa al-Adawiyah wa al-Mustaḥḍarāt al-Tajmīliyah ‘alā
Ḍau’ al-Kitāb wa al-Sunnah” di bawah bimbingan Dr. Muhammad Hasan Hitu9,
Guru Besar Fikih Islam dan Uṣūl Fiqhdi Universitas Kuwait dan Direktur
Lembaga Studi Islam Intenational di Franfurt Jerman.
7 Ali Mustafa Yaqub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008),
cet IV, h. 240. 8Wawancara Ni’mah Diana Cholidah dengan Ali Mustafa Yaqub, Kontribusi Ali Mustafa
Yaqub terhadap Perkembangan Kajian Hadis Kontemporer di Indonesia (Skripsi: UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 13. 99Dr. Muhammad Hasan Hitu lahir di Siria pada tanggal 11 Dzul Qa ‘dah1362 H/ 10
Agustus 1943. Meskipun ia dikenal sebagai pakar uṣūl al-Fiqh, namun ia juga mahir dalam
berbagai macam ilmu lainnya. Salah satu ilmu-ilmu yang dikuasainya adalah akidah, fikih, ilmu-
ilmu hadis, tafsir, ilmu mantik dan lain sebagainya. Salah satu karyanya adalah al-Khulāṣah fī
Uṣūl al-Fiqh, yang dijadikan buku panduan di Pondok Pesantren Darus-Sunnah International
Institute for Hadith Sciences.Lihat Biografi Dr. Muhammad Hasan Hitu
http://www.almostaneer.com, diakses pada 12 Juni 2016 M.
23
c. Guru-gurunya
Ali Mustafa Yaqub berguru pada ulama-ulama besar dari dalam nageri dan
dari luar negeri.
Guru-gurunya yang berasal dari dalam negeri di antaranya adalah:
1. Idris Kamali (w.1984M)
“Kalau kamu belum mengaji kepada Kiai Idris, saya belum rela kepada
kamu” pesan ayahnya kepada Ali Mustafa Yaqub.10 Ia mulai berguru kepada Idris
Kamali ketika ia menjadi salah satu siswa Madrasah Aliyah Tebuireng pada tahun
1969M, dan pada saat itu Ali Mustafa Yaqub masih tinggal di pesantren Seblak,
yang sekarang namanya menjadi “al-Mahfūdz”.
Saat pertama kali bertemu dengan Kiai Idris Ali Mustafa langsung disuruh
menghafal sepuluh kitab, dengan mantap Ali Mustafa menjawab “InsyaAllah siap
menghafal sepuluh kitab”. Ketundukan, kepatuhan, dan kerelaan memenuhi
semua arahan guru, itulah yang kelak Ali Mustafa dengan percaya diri menyebut
dirinya “sebagai khadim Kiai Idris”. Ali Mustafa Yaqub merupakan Santri yang
senantiasa siap memenuhi perintah Kiai Idris, mulai dari mengepel kamar,
membersihkan masjid, memandikan kambing, memerah susu sapi, mengambil
ampas tahu, hingga mengisi bak mandi. Justeru sikap seperti inilah yang
mengantarkan Ali Mustafa sebagai santri yang mendalam ilmu agamanya sejak di
pesantren tebuireng.11
10Choidir Ibhar, Khodimun Nabi; Membuka Memori 1971-1975 Bersama Prof. KH. Ali
Mustafa Yaqub (Jombang: Pustaka Tebuereng, 2016), h.8. 11Choidir Ibhar, Khodimun Nabi; Membuka Memori 1971-1975 Bersama Prof. KH.Ali
Mustafa Yaqub.., h.8-9.
24
2. Syamsuri Badawi
Syamsuri Badawi adalah guru hadis dan Uṣūl fiqh Ali Mustafa Yaqub di
Pesantren Tebuireng Jombang. Dari beliaulah Ali Mustafa Yaqub banyak belajar
sikap tawaḍu‘, ikhlas, dan semangat dalam mendalami hadis. Dari beliau pula Ali
memperoleh sanad hadis-hadis Ṣaḥīḥ al-Bukhārī dan Ṣaḥīḥ Muslim dengan cara
ijāzah12 yang bersambung kepada Nabi Saw melalui jalur Hasyim Asy‘ari.
Gurunya-gurunya yang berasal dari luar negeri:
1. Muhammad Mustafa Azami
M. M. Azami adalah Guru Besar ilmu hadis Universitas King Saud. Riyāḍ,
Saudi Arabia. M. M. Azami termasuk salah satu ulama pengkaji hadis dalam
pergulatan pemikiran kontemporer yang banyak mengkritisi pemikiran orientalis.
Sumbangan penting M. M. Azami adalah disertasinya di Universitas Cambridge,
Inggris yang berjudul Studies in Early Hadith Literature, (1996), karena secara
akademik mampu meruntuhkan pengaruh kuat dua orieantalis Yahudi Ignaz
Goldziher (1850-1921) dan Joseph Schacht (1902-1969). Temuan naskah kuno
hadis abad pertama hijriyah dan analisis disertasi itu secara argumentatif
menunjukkan bahwa hadis betul-betul otentik dari Nabi Saw. Azami secara
khusus juga menulis kritik tuntas atas karya monumental Joseph Schacht, yang
berjudul On Schacht’s Origins of Muhammadan Jurisprudence. Azami telah
berhasil menjaga hadis dengan argumentasi yang kuat dan ilmiah dengan
meruntuhkan teori Projecting Back Joseph Schacht. Menurut Joseph Schacht
12Ijāzah termasuk salah satu metode al-Taḥammmul wa al-Adā’ dalam ilmu hadis.Hal ini
diketahui dengan ungkapam seorang guru yang mengatakan “Ajaztuka Ṣaḥīḥ al-Bukhārī”.Dengan
ungkapan ini, seorang yang mendapatkan ijazah telah mempunyai jalur sanad sebagaimana
gurunya kepada pengarang kitab.Lihat al-SuyūṭīTadrīb al-Rāwī fī Syarh Taqrīb al-Nawawī(Cairo:
Dār al-Ḥadīts, 2002), h. 321.
25
hukum Islam belum eksis pada masa al-Sya‘bi (w.110H). Penegasan ini
memberikan pengertian bahwa apabila ditemukan hadis-hadis yang berkaitan
dengan hukum Islam, maka hadis-hadis itu adalah buatan orang-orang yang hidup
sesudah al-Sya‘bi. Ia berpendapat bahwa hukum Islam baru dikenal sejak
penganngkatan para qāḍi. pengangkatan qādi baru dilakukan pada masa dinasti
Banī Umaiyah.13
Ali Mustafa Yaqub betemu dengan M. M. Azami ketika ia belajar di
Riyād, Saudi Arabiya. M. M. Azami member pengaruh yang besar kepada Ali
Mustafa Yaqub, terutama dalam keistiqamahannya serta tanggung jawabnya yang
begitu besar dalam membela hadis Nabi Saw. melawan orang-orang orientalis.
Menurut Ali Mustafa Yaqub, M. M. Azami adalah teladan bagi ulama
kontemporer, beliau teguh pendirian dan tidak terpengaruh dengan pemikiran
orientalis saat menempuh studinya di Universitas Cambridge, Inggris yang
merupakan tempat para orientalis, M. M. Azami justru melawan mereka dengan
disertasinya.14
2. Abdul ‘Aziz bin Bāz
Ali Mustafa Yaqub ketika belajar dan tinggal di Saudi selama Sembilan
tahun tidak mencukupkan belajarnya di bangku kuliah saja, ia sering mengikuti
halaqah-halaqah dan majlis-majlis di luar kelas, seperti halaqah yang dipimpin
oleh Abdul ‘Aziz bin Bāz yang mempelajari kitab-kitab induk hadis (kutub al-
Sittah), disanalah ia bertemu dengan Abdul ‘Aziz bin Bāz. Buah dari ikut sertanya
13Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadi, h. 25-31. 14 Muhammad al-Faiz, al-Du‘a bi al-Rumuz Inda al-Syeikh Ali Mustafa Yaqub (Dirasah
wa Istinbathan).Skripsi Fakultas Dirasat Islamiyyah Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.2014, h. 17.
26
Ali Mustafa Yaqub dalam halaqah ini adalah dibangunnya Pondok Pesantren
Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences yang secara khusus
mempelajari hadis dan ilmu-ilmu hadis pada tahun 1987 yang bertempat di
Cireudeu Pisangan Barat Ciputat Tangerang Selatan. 15
Menurut pengakuan Ali Mustafa Yaqub, guru-gurunya yang disebut di
atas telah memberikan pengaruh yang cukup besar terhadapnya.16 Selain guru-
guru yang telah disebutkan, ada beberapa guru Ali Mustafa Yaqub, seperti Adlan
Ali al-Ḥāfidz yang dari Ali Mustafa belajar akhlak dan hal-hal yang berhubungan
dengan etika, Shabari yang telah mengajarkan hadis dan ilmu-ilmu dalam di
bangku sekolah, Abdurrahman Wahid, Presiden Repuplik Indonesia ke IV darinya
Ali Mustafa belajar Bahasa Arab beserta kaidah-kaidahnya, dan darinya pula Ali
Mustafa mengaji kitab Qatr al-Nada.17
d. Sepak Terjang dalam Dunia Dakwah
1. Karya-karya Ali Mustafa Yaqub
Wa lā tamūtunna illā wa antum kātibūn, janganlahmati kecuali kalian
telah memiliki karya tulis, kata-kata inilah yang sering dipesankan kepada murid-
muridnya. Maka tidaklah heran bila Ali Mustafa Yaqub memilik banyak karya.
Dalam setiap tahunnya ia akan meluncurkan buku pada acara wisuda Darus-
Sunnah International Institute for Hadith Siences. Berikut akan disebutkan karya-
karya Ali Mustafa Yaqub.
15 Muhammad al-Faiz, al-Du‘a bi al-Rumuz Inda al-Syeikh Ali Mustafa Yaqub, h. 19. 16 Ali Mustafa Yaqub, Pidato yang disampaikan saat perayaan dan tasyakuranhatamnya
Kutub al-Sittah (Jakarta: Darus-Sunnah Interntional Institute for Hadith Sciences, 24 Mei 2013),
Muhammad al-Faiz 17Ali Mustafa Yaqub, Kerukunan Umat dalam Perspektifal-Qur’ān dan Hadis (Jakarta:
Pustaka firdaus, 1999), h. 105.
27
Karya-karyanya dalam bidang hadis:Imam al-Bukhārī dan Metodologi
Kritik dalam Ilmu Hadis (1991), Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya (Alih
Bahasa dari Prof. Dr. Muhammad Mustafa Azami 1994), Krtitik Hadis18 (1995),
Peran Ilmu Hadis dalam Pembinaan Hukum Islam (1999), MM Azami Pembela
Eksistensi Hadis (2002), Hadis-hadis Bermasalah (2003), Hadis-hadis Palsu
Seputar Ramadan (2003), (2011), Al-Ṭuruq al-Ṣaḥīḥah fī Fahm al-Sunnah al-
Nabawiyah (2014).
Karya-karyanya dalam bidang fikih: Memahami Hakikat Hukum Islam
(Alih Bahasa dari Prof. Dr. Muhammad Abdul Fattah al-Bayanuni, 1986),
Ma‘āyir al-Ḥalāl wa al-Ḥarām fī al-aṭ‘imah wa al-Asyribah wa al-Adawiyah wa
al-Mustaḥḍarāt al-Tajmīliyah ‘alā Ḍau’ al-Kitāb wa al-Sunnah (2010), Nikah
Beda Agama dalam Perspektif al-Qur’ān dan Hadis (2005), Imam Perempuan
(2006), Kiblat Antara Bangunan dan Arah Ka’bah (Bahasa Arab dan Indonesia,
2010), Isbāt Ramaḍān wa Syawāl wa Dzī al-Ḥijjah ‘alā Ḍau’ al-Kitāb wa al-
Sunnah (2013), Al-Qiblah ‘alā Ḍau’ al-Kitāb wa al-Sunnah (2010), Kiblat
Menurut al-Qur’ān dan Hadis: Kritik atas Fatwa MUI No. 5/2010.
Karya-karyanya dalam bidang akidah: Aqidah Imam Empat Abū Hanīfah,
Mālik, al-Syāfi‘ī, dan Ahmad (Alih Bahasa dari Prof. Dr. Abd. Al-Rahman al-
Khumayis, 2001), Kemusyrikan Menurut Madzhab Syāfi‘ī (Alih Bahasa dari Prof.
Dr. Abd. Al-Rahman al-Khumayis, 2001), Toleransi Antar Umat Beragama
(Bahasa Arab dan Indonesia, 2008).
18Mulanya buku ini adalah kumpulan-kumpulan artikel tentang kajian hadis yang dimuat
secara serial dalam Majalah Amanah.Diawali dengan topik Kritik Hadis dalam Perspektif Sejarah,
kemudian Kajian Hadis di Kalangan Orientalis, da seterusnya.Menurut para pembaca tulisan-
tulisan tersebut merupakan barang langka dan perlu dikembangkang.Karena tanggapan yang
begitu antusias dari para pembaca akhirnya Ali Mustafa Yaqub berinisiatif untuk
membukukannya. Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011), cet ke-II, h.
xiii.
28
Karya-karya dalam dakwah: Nasihat Nabi kepada Para Pembaca dan
Prnghafal al-Qur’ān (1990), Sejarah dan Metode Dakwa Nabi (1997), Bimbingan
Islam untuk Pribadi dan Masyarakat (Alih Bahasa dari Muhammad Jameel Zino,
terbit di Saudi Arabia, 1418 H), Kerukunan Umat dalam Perspektif al-Qur’ān dan
Hadis (2000), Panduan Amar Makruf Nahi Mungkar (2012), Al-Wahābiyah wa
Nahḍah al-‘Ulamā’ Ittifāq fī al-Uṣūl lā Ikhtilā (2015).
Selain karya-karyanya di atas masih banyak lagi karya-karya Ali Mustafa
Yaqub yang berupa kumpulan-kumpulan makalah atau artikel dari berbagai jenis-
jenis ilmu seperti tafsir, hadis, fiqih, sejarah nabi, dakwah, etika, dialok ilmiah dan
lain sebagainya. Kumpulan makalah-makalah tersebut telah disampaikan dalam
khutbah dan pertemuan ilmiah atau telah diterbitkan di berbagai media-media
cetak di Jakarta. Tulisan tersebut juga merupakan dokumentasi dari pertanyaan-
pertanyaan yang diajukan oleh kalangan masyarakat kepada Ali Mustafa Yaqub.
Di antara buku-buku tersebut adalah: Islam Masa Kini (2001), Fatwa-fatwa
Kontemporer (2002), Pengajian Ramadan Kiai Dulali (2003), Haji Pengabdi
Setan (2006), Fatwa Imam Besar Masjid Istilal (2007), Pantun Syariah Ada
Bawal Kok Pilih Tiram (2008), Kidung Bilik Pesantren (2009), Mewaspadai
Provokator Haji (2009), Islam di Amerika (2009), Islam Between War and Peace
(2009), 25 Menit Bersama Obama (2010), Ramada Bersama Ali Mustafa Yaqub19
(2011), Cerita dari Maroko20 (2012), Makan Tak Pernah Kenyang (2012), Ijtihad,
19Buku ini adalah kumpulan pertanyaan terkait ibadah Ramadhan dan Idul Fitri yang
diajukan masyarakat kepada Ali Mustafa Yaqub selama bulan Ramadhan 1431 H/ 2010 M ketika
beliau diamanati untuk mengasuh Rubrik Konsultasi Ramadhan di harian REPUBLIKA. Ali
Mustafa Yaqub, Ramadhan Bersama Ali Mustafa Yaqub (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011). 20Buku ini lahir atas saran dari kawan-kawan Ali Mustafa Yaqub untuk mengabadikan
pengalamannya saat melakukan safari Ramadhan ke Maroko pada tahun 2011 M. Buku ini tidak
sebatas catatan perjalanan Ali Mustafa Yaqub ke Maroko, atau gambaran tentang Maroko, namun
juga di dalamnya banyak dibumbuhi ilmu-ilmu keagamaan. Ali Mustafa Yaqub, Cerita dari
Maroko (Jakarta: Maktabah Dār al-Sunnah, 2012), h. 14.
29
Terorisme, dan Liberalisme (2012), Dalīl al-Hasabah (2012), Menghafal al-
Qur’ān di Amerika Serikat21 (2014), Setan Berkalung Surban (2014), Islam is Not
Only for Muslim22 (2016), Teror di Tanah Suci (2016).
2. Aktifitas dan Dakwahnya
Al-Da‘wah laisat mujrrad tablīgh wa lākin akhlāq wa sulūk, dakwah
bukanlah penyampaian semata, tetapi moralitas dan prilaku,23 itulah yang menjadi
prinsip Ali Mustafa Yaqub dalam berdakwah. Mulanya Ali Mustafa Yaqub ingin
berdakwah menghidupkan agama Allah di Papua, namun Allah telah menyiapkan
tempat berdakwah yang lain untuknya. Hal ini terjadi setelah pertemuannya
dengan Abdurrahman Wahid di kantor Pegurus Besar Nahḍatul Ulama (PBNU),
saat ia baru pulang dari belajar di Saudi Arabia pada tahun 1985.24 Sejak ia
Abdurrahman Wahid memberikan petuah atau nasihat kepada Ali Mustafa Yaqub
bahwa dakwah tidak harus di Papua, teruma bagi lulusan timur tengah, Jakartalah
yang lebih membutuhkan petolongan dalam membina masyarakat.25 Sejak saat itu
Ali Mustafa Yaqub menetap di Jakarta.
Pada tahun 1985, setelah menyelesaikan studi S2 nya dan pulang ke tanah
air ia mengajar di Institut Ilmu al-Qur’ān (IIQ) Jakarta. Di samping menjadi dosen
di IIQ, ia juga mengajar di Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur’ān (PTIQ), Pengajian
21 Buku ini ditulis atas saran dari Ali Yafie agar safari dakwah Ali Mustafa Yaqub ke
Amerika tidak sebatas menjadi kenangan saja, tetapi dapat member manfaat pada orang lain. Safari
dakwah ke Amerika pada tahun 2013 ini bukankah safari dakwah Ali pertama kali ke Amerika,
sebelumnya pada tahun 2008 ia telah melakukan safari dakwah ke Amerika dan Kanada. Ali
Mustafa Yaqub, Menghafal al-Qur’ān di Amerika Serikat (Jakarta: Maktabah Dār al-Sunnah,
2014), h. 1-2. 22 Buku ini termasuk salah satu karya terakhir Ali Mustafa Yaqub yang diluncurkan pada
acara wisuda Darus-Sunnah ke 14 tepat pada tanggal 28 Mei 2016 sebulan setelah wafatnya
penulisnya. 23Ali Mustafa Yaqub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi…, h. v. 24 Ali Mustafa Yaqub, Kerukunan Umat dalam Perspektifal-Qur’ān dan Hadis.., h. 108. 25 Muhammad al-Faiz, al-Du‘a bi al-Rumuz Inda al-Syeikh Ali Mustafa Yaqub, h. 24
30
Tinggi Islam Masjid Istiqlal, dan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang kini
menjadi UIN Syarif HIdayatullah Jakarta. Ia juga mengajar di Institut Agama
Islam Shalahuddin al-Ayyubi (INISA) Tambun Bekasi, Pendidikan Kader Ulama
(PKU) MUI, dan Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah (STIDA) al-Hamidiyah, Jakarta.
Tahun 1989, ia bersama keluarganya mendirikan Pesantren Darussalam di desa
Kelahirannya, Kemiri.26
Di samping aktif dalam organisasi dakwah, Mantan Ketua Umum
Penghimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Riyadh yang pernah menjadi Pengasuh
Pesantren al-Hamidiyah Depok (1995-1997) dan Ketua STIDIA al-Hamidiyah
Jakarta (1991-1997) ini juga rajin menulis dan mengajarkan hadis dan ilmu hadis.
Pada tahun1990-1996 ia diamanati menjadi Sekretaris Jendral Pimpinan Pusat
Ittihadul Mubalighin. Kemudian pada periode 1996-2000 ia diamanati menjadi
Ketua Dewan Pakar, merangkap Ketua Departemen Luar Negeri DPP Ittihadul
Muballighin. Ia juga aktif sebagai anggota Komisi Fatwa MUI Pusat, Ketua
Lembaga Pengkajian Hadis Indonesia (LepHi), dan Pengasuh Rubrik
Hadis/Mimbar Majalah Amanah.27
B. Metode pemahaman hadis Ali Mustafa Yaqub
Metode pertama yang paparkan oleh Ali Mustafa Yaqub adalah
memahami hadis secara tekstual dan kontekstual. Namun sebelum masuk pada
pembahasan tekstual dan kontekstual menurut Ali Mustafa, disini akan disinggung
sekilas tentang tekstual dan kontekstual yang ditawarkan oleh para cendikian
sebelum Ali Mustafa Yaqub.
26 Ali Mustafa Yaqub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, h. 240. 27 Ali Mustafa Yaqub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi., h. 240.
31
a. Tekstual dan Kontekstual menurut beberapa Tokoh
Sejumlah pakar dari kalangan modernis berusaha menghidupkan ruh hadis
melalui pendekatan kontekstual sebagai perimbangan dan melengkapi nalar
tekstual. Istilah kontekstual diambil dari kata konteks yang berarti suatu uraian
atau kalimat yang mendukung atau menambah kejelasan makna, atau situasi yang
ada hubungannya dengan suatu kejadian atau lingkungan sekelilinganya.28 Dalam
bahasa Arab digunakan istilah ‘alāqah, qarīnah dan siyāq al-kalām. Kontekstual
dalam hal itu adalah suatu penjelasan terhadap hadis-hadis baik dalam bentuk
perkataan, perbuatan maupun ketetapan Nabi Saw berdasarkan situasi dan kondisi
ketika hadis itu lahir.29
Salah satu tokoh yang juga memiliki metode memahami hadis secara
tekstual dan kontekstual adalah Yusuf al-Qaraḍāwī dalam kitabnya Kaifa
Nata‘āmalma‘a al-Sunnah al-Nabawīyah. Ada delapan metode untuk memahami
hadis yang disebutkan oleh Yūsuf al-Qaradhāwī dalam kitabnya tersebut, yaitu:
Pertama, memahami hadis sesuai dengan petunjuk al-Qur’ān, kedua,
mengumpulkan hadis-hadis dalam topik yang sama, ketiga kompromi
(penggabungan) atau menggunggulkan (mentarjih) hadis-hadis yang tampaknya
berlawanan, keempat memahami hadis dengan mempertimbangkan latar belakang
(sabab al-wurūd), situasi dan kondisi pada waktu diriwayatkannya sebuah hadis
serta memahami maksud yang diinginkan hadis, kelima membedakan antara
perantara atau sarana yang berubah-rubah dengan tujuan yang tetap dalam sebuah
hadis, keenam membedakan antara hakikat dan majāz dalam sebuah hadis, ketujuh
28Depdikbud RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka 1988), 458. 29 Ilyas, “Pemahaman Hadis Secara Kontekstual (Telaah terhadap Asbāb al-Wurūd)”,
Jurnal Kutub Khazanah, no. 2(Maret, 1999), h. 87.
32
membedakan antara hal-hal yang bersifat gaib dengan hal-hal yang bersifat nyata,
dan kedelapan memastikan makna peristilahan yang digunakan oleh hadis.30
Delapan metode yang ditawarkan Yūsuf al-Qaraḍāwī tersebut adalah
upaya memahami hadis secara menyeluruh dan tidak hanya fokus pada teks hadis
tanpa mempedulikan proses sejarah yang melahirkannya (ahistoris).
Salah satu bentuk memahami hadis secara kontekstual adalah dengan
melihat posisi Nabi Saw dalam sabdanya. Al-Qarāfī dianggap sebagai orang
pertama yang memilah-milah ucapan dan sikap Nabi Muhammad Saw,
menurutnya Nabi Saw terkadang berperan sebagai Imam agung, Qāḍi (penetap
hukum yang bijaksan) atau Mufti yang amat dalam pengetahuaya.31
Pedapat di atas, bagi penanut kontekstual dijabarkan dan dikembangkan
lebih jauh, sehingga setiap hadis harus dicari konteksnya, apakah ia diucapkan/
diperankan oleh Nabi Saw dalam kedudukan beliau sebagai Rasul, Mufti, Hakim,
Pemimpin atau Pribadi.32
M. Syuhudi Ismail juga termasuk salah satu dari cendikiawan yang
menggunakan metode tekstual dan kontekstual untuk memahami hadis. Hal ini
30Yūsuf al-Qaraḍāwī, Kaifa Nata‘āmal ma‘a al-Sunnah, h. 91. 31Muhammad Quraish Shihab, sebuah pengantar. Studi Kritis atas Hadis Nabi Saw
antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual, Muhammad Al-Ghazali, penerjemah: Muhammad
al-Baqir. (Jakarta: Mizan, 1996) h. 9. 32Berikut penjelasan posisi hadis saat diungkapkan Nabi Saw dalam kedudukan Rasul,
Mufti, Hakim, Pemimpin dan Pribadi.Petama, Rasul: sudah pasti hadis tersebut benar,sebab
bersumber ari Allah Swt.Kedua, Mufti yang memberi fatwa berdasarkan pemahaman dan
wewenang yang diberikan Allah Swt kepadanya. Dan ini pun pasti bear serta berlaku umum bagi
setiap Muslim. Ketiga, Hakim yang memutuskan perkara.Dalam hal ini putusan tersebut walaupun
secara formal pasti benar, namun secara material adakalanya keliru.Hal ini diakibatkan oleh salah
satu pihak yang bersengketa dalam menutup-nutupi kebenaran.Keempat, Pemimpin yang
menyesuaikan sikap, bimbingan dan petunjunya sesuai dengan kondisi dan budaya masyarakat
yang beliau temui.Kelima, Pribadi baik karena beliau memiliki kekhususan dan hak-hak tertentu
yang dianugerahkan oleh Allah Swt dalam rangka kenabiannya, seperti kewajiban shalat malam,
maupun karena kekhususan-kekhususan yang diakibatkan oleh sifat manusia yang berbeda antara
seorang dengan orang yang lain. Lihat: Muhammad Quraish Shihab, sebuah pengantar. Studi
Kritis atas Hadis Nabi Saw antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual, Muhammad Al-
Ghazali, penerjemah Muhammad al-Baqir. (Jakarta: Mizan, 1996) h. 9-10.
33
terlihat dalam bukunya, Hadis Nabi yang Tektualdan Kontekstual: Telaah Ma‘ānī
al-Ḥadīts tentag Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal. Dalam
bukunya tersebut Syuhudi Ismail mengklasifikasi setidaknya ada empat metode
dalam memahami hadis, yaitu: pertama, melihat bentuk matan hadis serta
cakupan petunjuknya. Kedua, kandungan hadis dihubungkan dengan fungsi Nabi
Muhammad Saw. Ketiga, petunjuk Nabi Saw dihubugkan dengan latar belakang
terjadinya. Keempat, petunjuk Nabi yang tampak saling bertengtangan.33
Menurut M. Syuhudi Ismail, dilihat dari bentuk matannya, hadisada yang
berupa jami‘ al-Kalim (ungkapan yang singkat, namun memiliki makna yang
padat), tamtsīl (perumpamaan), bahasa simbolik (ramzī), bahasa percakapan
(dialog), ungkapan analogi (qiyāsī), dan lain-lain.34
Pada umunya, hadis-hadis Nabi Saw yang berbentuk jawāmi‘ al-Kalim
menuntut pemahaman secara tekstual dan menunjukkan bagian dari ajaran Islam
yang universal. Namun, di antara hadis yang berbentuk jawāmi‘ al-Kalim
tersebut, ada juga yang dipahami secara kontekstual dan menunjukkan adanya
bagian ajaran Islam yang bersifat temporal, di samping yang universal.35 Adapun
hadis yang bentuk matannya berupa simbolik maka hadis tersebut menuntut untuk
dipahami secara tekstual.Hal ini terlihat dari contoh-contoh yang dipaparkan oleh
M. Syuhudi Ismail.36 Dalam hadis-hadis Nabi Saw yang berbentuk dialog, ada
ajaran Islam yang bersifat temporal dan ada pula ajaran Islam yang bersifat
33M. Syuhudi Ismail Hadis Nabi yang Tektualdan Kontekstual: Telaah Ma‘ānī al-Ḥadīts
tentag Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal (Jakarta: Bulan Bintag, 1994), h. 9-71. 34M. Syuhudi Ismail Hadis Nabi yang Tektualdan Kontekstual, h. 9. 35M. Syuhudi Ismail Hadis Nabi yang Tektualdan Kontekstual, h. 13. 36M. Syuhudi Ismail Hadis Nabi yang Tektualdan Kontekstual, h. 18-22.
34
universal.37 Matan hadis dalam bentuk ungkapan analogi bisa dipahami secara
tekstual dan ajarannya bersifat universal atau ketentuan itu berlaku untuk semua
waktu dan tempat.38
Metode kedua yang ditawarkan oleh M. Syuhudi Ismail adalah kandungan
hadis dihubungkan dengan fungsi Nabi Muhammad Saw. Nabi Muhammad Saw
selain berfungsi sebagai seorang Rasul, juga sebagai Kepala Negara, panglima
perang, hakim, tokoh masyarakat, suami dan pribadi.Hadis yang dikemukakan
oleh Nabi Saw dalam kapasitas beliau sebagai Rasulullah, ulama menyatakan
kesepakatan tentang wajib mematuhinya. Hadis yang dikemukaan oleh Nabi Saw
sebagai kepala Negara dan pemimpin masyarakat, misalnya pengiriman angkatan
perang dan pemungutan dana untuk bait al-māl, kalangan ulama ada yang
menyatakan bahwa hadis tersebut tidak menjadi ketentuan syariat yang bersifat
umum.39
Menghubungkan kandungan petunjuk hadis dengan fungsi Nabi Saw
ketika hadis itu lahir, sangat membantu untuk memahami kandungan petunjuk
hadis secara benar. Hanya saja usaha yang demikian itu tidak mudah dilakukan
dan tidak mudah disepakati oleh ulama.40
Metode ketiga adalah petunjuk hadis dihubungkan dengan latar belakang
37Dalam hadis-hadis yang berbentuk dialog ada pertanyaan-pertanyaan yang sama, namun
ternyata dapat jawaban yang berbeda-beda. Perbedaan materi jawaban tidaklah bersifat substantif.
Yang substantive ada dua kemungkinan.Pertama, relevansi antara keadaan orang yang bertanya
dan materi jawaban yang diberikan.Kedua, relevansi antara keadaan kelompok masyarakat
terntentu dengan materi jawaban yang diberikan.Kemungkinan ini mempertimbangkan bahwa
jawaban Nabi Saw itu merupakan petunjuk umum bagi kelompok masyarakat yang kesehariannya
menunjukkan gejala yang perlu diberikan bimbingan.Orang yang bertanya sekedar berfungsi
wakil. Jawaban Nabi Saw atas pertanyaan-pertanyaan yang sama itu bersifat temporal, tepatnya
kondisional, dan bukan universal. Lihat: M. Syuhudi Ismail Hadis Nabi yang Tektualdan
Kontekstual, h. 26. 38M. Syuhudi Ismail Hadis Nabi yang Tektualdan Kontekstual, h. 31. 39M. Syuhudi Ismail Hadis Nabi yang Tektualdan Kontekstual, h. 33-34. 40M. Syuhudi Ismail Hadis Nabi yang Tektualdan Kontekstual, h.46-47.
35
terjadinya (sabab al-Wurūd).Dan metode keempat adalah petunjuk hadis yang
tampak bertentangan.41 Metode ketiga dan keempat ini akan diuraikan lebih lanjut
dalam sub bab berikutnya, dalam metode pemahaman hadis Ali Mustafa Yaqub.
b. Tektual dan Kontektual menurut Ali Mustafa Yaqub
Terkadang yang dimaksud dari sebuah hadis adalah kandungan hadis
secara tektual, sehingga hadis harus diamalkan secara tekstual. Terkadang yang
dimaksud adalah kandungan hadis secara kontekstual, sehingga pengamalannya
pun harus secara kontekstual. Namun terkadang yang dimaksud adalah kandungan
hadis secara tekstual dan kontekstual sekaligus, sehingga hadis tersebut boleh
diamalkan secara tekstual atau kontekstual.42 Ada beberapa komponen yang dapat
mengetahui maksud yang diinginkan oleh sebuah hadis, yaitu:
1. Al-Majāz fī al-Ḥadīts
Layaknya bahasa arab yang lain, hadis memiliki makna denotatif atau
haqiqī dan terkadang memiliki makna konotatif atau majāzī43. Majāz adalah lafaẓ
atau kalimat yang diartikan tidak seperti makna asli dari lafaẓ tersebut. Seperti
ungkapan Ahmad Asad (Ahmad adalah singa) diartikan dengan Ahmad seorang
yang pemberani, karena salah satu dari sifat singa adalah pemberani. Ketika
Ahmad Asad diartikan Ahmad adalah singa itu adalah makna hakiki, sedangkan
yang diharapkan oleh lafadz tersebut adalah makna majaz.44 Majāz dalam hadis
meliputi majāz lughawī, ‘aqlī, isti‘ārah, kināyah, isti‘ārah tamtsīliyah dan semua
41M. Syuhudi Ismail Hadis Nabi yang Tektualdan Kontekstual, h. 49, 71. 42Ali Mustafa Yaqub, Cara Benar Memahami Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2016), cet
ke II, h. 3. 43Ali Mustafa Yaqub, Cara Benar Memahami Hadis.., h. 5. 44Abdul ‘Aziz al-Harbi, al-Balāgha al-Muyassarah (Bairut: Dār Ibn Ḥazm, 2011), h. 60.
36
bentuk pemaknaan yang tidak sesuai dengan makna aslinya karena ada indikasi-
indikasi yang mengharuskan untuk tidak diartikan dengan makna aslinya.45
Dalam mengamalkan sebuah hadis harus sesuai dengan makna yang
diinginkan oleh hadis itu, jika makna yang dimaksud adalah makna denotatif
maka hadis tersebut harus diamalkan dengan makna itu. Begitu juga bila yang
dimaksud oleh hadis adalah makna konotatif maka tidak boleh diamalkan dengan
makna hakiki. Meskipun mengamalkan dengan makna yang berbeda tidak
menyebabkan kesesatan, namun terdapat kesalahan dalam memahaminya. 46
Berikut contoh hadis yang mengandung majāz:
Diceritakan dari ‘Āisyah Ra, ia berkata: “Bahwa beberapa istri Nabi Saw
bertanya kepada Nabi Saw: “Siapa yang paling cepat menyusul engkau
(meninggal dunia)?” beliau menjawab: “yang paling p anjang tangannya
dari kalian.” Mereka pun mengambil batang kayu untuk mengukur tangan
mereka.Ketika itu, Saudah adalah yang paling panjang tangannya dari
mereka.Akhirnya kami mengetahui bahwa maksud panjang tangan
tersebut adalah bersedekah.Sebab, ia yang paling cepat menyusul beliau
dari kami, dan ia orang yang gemar bersedekah.”
45Yusuf al-Qaraḍāwī, Kaifa Nata‘āmal m ‘a al-Sunnah.., h. 155. 46Ali Mustafa Yaqub, Cara Benar Memahami Hadis.., h. 5. 47Diriwayatkan oleh al-Bukhārī dalam Ṣaḥīḥnya, Kitab al-Zakah, Bāb Faḍl Ṣadaqah al-
Syaḥīḥ al-Ṣaḥīḥmelalui jalur Mūsā bin Ismā‘īl. Lihat: Muhammad bin Ismā‘īal al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ
al-Bukhārī (Riyād: Dār al-Salām, 1999), h. 229. Diriwayatkan juga olehal-Nasā’ī dalam Sunannya,
Kitab al-Zakāh, Bāb Faḍl al-Ṣadaqah melalui jalur Abū dawūd. Lihat: al-Nasā’ī, Sunan al-Nasā’ī
(Riyād: Dār al-Salām, 1999), h. 351.
37
Ibnu Ḥajar al-‘Asqalānī menjelaskan hadis di atas melalui hadis lain yang
juga diriwayatkan oleh ‘Āisyah Ra, ia berkata: “keadaan kami (istri-istri Nabi
Saw) apabila berkumpul di salah satu rumah kami setelah wafatnya Nabi Saw,
kami saling mengukur panjang tangan kami di dinding, kami senantiasa
melakukannya sampai Zainab binti Jaḥsy wafat. Maka ketika itu kami mengetahui
bahwa yang dimaksud panjang tangan adalah bersedekah. Zainab adalah sosok
perempuan yang rajin tangannya. Beliau biasa menyamak dan melubangi kulit
serta bersedak di jalan Allah.”48 Zainab Ra adalah istri Nabi Saw yang paling
pertama wafat, beliau wafat padamasa pemerintahan ‘Umar Ra. Sedangkan
Saudah Ra wafat pada pemerintahan Muawiyah pada bulan Syawāl tahun 54
Hijriyah.49
2. Al-Ta’wīl fī al-Ḥadīts
Ta’wīl secara bahasa memiliki beberapa makna, pertama bermakna
kembali, kedua bermakna tafsir dan penjelasan. Pengertian ta’wīl dalam istilah
mutaqadimīn adalah semakna dengan tafsir. 50 Menurut ulama mutaakhkhirīn
ta’wīl adalah mengalihkan suatu lafadz dari maknanya yang rājih (kuat) kepada
maknanya yang marjūh (lemah) karena ada indikasi yang menyertainya,
sebagaimana dikemukakan oleh Ali Mustafa Yaqub yang dikutip dari Ibn
Taimiyah dalam kitabnya al-Iklīl fī al-Mutasyābih wa al-Ta’wīl.51
Ta’wīl sebagaimana dibahas dalam ulūm al-Qur’ān seputar ayat yang
muhkam (teks yang pemahamannya pasti) dan mutasyābih (teks yang
48Ibnu Ḥajar al-‘Asqalāni, Fath al-Bārī bi Syarh Ṣaḥīḥ al-Bukhārī(Cairo: Dār al-Ḥadīts,
1998), vol. 3, h. 326. 49Ibnu Ḥajar al-‘Asqalāni, Fath al-Bārī bi Syarh Ṣaḥīḥ al-Bukhārī (Cairo: Dār al-Ḥadīts,
1998), vol. 3, h. 325. 50 Muhammad Alī al-Ṣābunī, al-Tibyān fī ulūm al-Qur;ān (Jakarta: Dār al-Kutub al-
Islāmī, 2003), h. 66. 51Ali Mustafa Yaqub, Cara Benar Memahami Hadis.., h. 26.
38
pengertiannya tidak kongkrit), juga dibahas dalam ulūm al-Ḥadīts, sebab hadis
juga ada yang muhkam dan mutasyābih.52
Berikut contoh hadis yang dita’wīl beserta pandangan ulama terhadap
hadis tersebut:
Diceritakan dari Abū Hurairah Ra, ia berkata: Bahwa Rasulullah Saw
bersabda: “setiap malam, Tuhan kita turun ke langit dunia ketika
sepertiga akhir dari waktu malam seraya berkata: Siapa yang berdoa
kepada-Ku maka akan aku kabulkan, siapa yang meminta kepada-Ku
maka akan aku penuhi, siapa yang meminta ampun kepada-Ku maka akan
aku ampuni.”
Berkenaan dengan hadis di atas tentang “Allah turun”, ulama terbagi
menjadi dua golongan, sebagian ulama memilih untuk mengambil hadis apa
adanya tanpa mena’wīlnya dan tidak mempertanyakan bagaimana caranya.
Sebagian yang lain memilih untuk mena’wīlnya. Sebagaimana telah dikemukakan
oleh al-Nawawī dalam kitab Ṣaḥīḥ Muslim bi Syarh al-Nawawī, ulama yang
mengimani hadis di atas tanpa mena’wīlkannya adalah mayoritas ulama salaf dan
52Ali Mustafa Yaqub, Cara Benar Memahami Hadis.., h. 28. 53Diriwayatkan oleh al-Bukhārī dalam Ṣaḥīḥnya, Kitab al-Tahajjud, Bāb al-Du‘ā’ wa al-
Ṣalāh min Ākhir al-Laīl melalui jalur Abdullah bin Maslamah. Lihat: Al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-
Bukhārī.., h. 183. Diriwayatkan juga oleh Muslim dalam Ṣaḥīḥnya, Kitab Ṣalāh al-Musāfirīn, Bāb
al-Targhīb fī al-Du‘ā’ wa al-Dzikr fī Ākhiri al-Laīl wa al-Ijābah fīh melalui jalur Yaḥya bin
Yaḥya. Lihat: Muslim bin al-Ḥajjāj, Ṣaḥīḥ Muslim (Riyād: Dār al-Salām, 1998), h. 307.
Diriwayatkan juga oleh Abū Dawūd dalam Sunannya, Kitāb al-Taṭawwu‘, Bāb Ay al-Laīl Afḍal
melalui jalur al-Qa‘nabī. Lihat: Abū Dawūd, Sunan Abī Dawūd (Riyād: Dār al-Salām, 1999), h.
197. Diriwayatkan juga oleh al-Tirmidzī dalam Sunannya, Kitāb al-Da‘awāt, Bāb Hadīts Yanzilu
Rabbunā Kulla Lailah melalui jalur al-Anṣārī. Lihat: Al-Tirmidzī, Sunan al-Tirmidzī (Riyād: Dār
al-Salām, 1999), h. 797. Diriwayatkan juga oleh Ibn mājah dalam Sunannya, Kitāb Iqāmah al-
Ṣalāh, Bāb mā Jā’a fī ay sā‘āt al-Laīl Afḍal melalui Jalur Abū Marwān. Lihat: Ibn Mājah, Sunan
Ibn Mājah (Riyād: Dār al-Salām, 1999), h. 194.
39
sebagian ahli kalam.Golongan yang kedua adalah madzhab ahli kalam dan
sebagian ulama salaf.54
Kelompok ulama yang mena’wīlkan hadis di atas menjelaskan bahwa
makna “Allah turun” ada dua pengertian: Pertama, makna “turun” tersebut adalah
turunnya rahmat Allah Swt. Kedua, “turun” tersebut mengandung makna
isti‘ārah.Artinya adalah memenuhi permohonan orang-orang yang berdoa dengan
mengabulkan dan mengasihinya ketika berada dalam waktu sepertiga malam
terakhir.55
Ali Mustafa Yaqub membagi hadis-hadis mutasyābih menjadi dua macam,
yaitu:
Pertama: Hadis-hadis mutasyābih yang memiliki riwayat lain yang
menjelaskan maksud hadis-hadis mutasyābih tersebut. Terkadang riwayat yang
menjelasakan tersebut masih satu kesatuan dengan hadis pertama, dan terkadang
riwayat tersebut terdapat dalam hadis lain.
Kedua: Hadis-hadis yang memuat sifat Allah berupa perbuatan yang
maksudnya tidak tercantum dalam riwayat tersebut. Berkenaan dengan hadis
seperti ini menurut Ali Mustafa Yaqub, kita harus mengimaninya sesuai dengan
apa yang disabdakan Nabi Saw tanpa membahas bagaimana caranya, tidak
menyerupakannya dengan makhluk, tidak menghilangkan maknanya, tidak
mengubahnya dan tidak mena’wīlkannya.56
Dari pengklasifikasian di atas terlihat bahwa Ali Mustafa Yaqub sangat
54Al-Nawawī, Ṣaḥīḥ Muslim bi Syarh al-Nawawī(Cairo: Dār al-Ḥadīts, 2001), vol. 3, h.
293-194. 55Al-Nawawī, Ṣaḥīḥ Muslim bi Syarh al-Nawawī, vol. 3, h. 194. 56Ali Mustafa Yaqub, Cara Benar Memahami Hadis.., h. 49-51.
40
hati-hati dalam memaknai hadis-hadis mutasyābih, bahkan memilih untuk tidak
membahasnya jika tidak ada hadis lain yang menjelaskannya.
3. Al-‘Illah fī al-Ḥadīts
Hadis Nabi Saw terkadang berbentuk perintah, larangan, atau berupa
lafadz yang semakna dengan perintah dan larangan. Perintah atau larangan dalam
hadis kadangkala disebutkan illatnya, kadangkala tidak. Illat yang disebutkan di
dalam hadis disebut manṣūṣah, namun bila tidak disebutkan illatnya disebut
mustanbaṭah.57 Melihat latar belakang (illat) lahirnya sebuah hadis adalah salah
satu cara yang baik untuk memahami hadis, apakah hadis tersebut
dilatarbelakangi dengan sebab-sebab tertentu yang disebutkan dalam hadis
tersebut atau disebutkan di dalam hadis lain yang semakna dengan hadis
tersebut.58 Maksud illat di sini bukanlah illat59 menurut ilmu hadis, melainkan illat
menurut ilmu uṣūl fiqh.
a. Illat eksplisit (al-‘Illah al-Manṣūṣah)
Diceritakan dari ‘Āisyah Ra dari Nabi Saw, beliau bersabda: “Setiap
minuman yang memabukkan adalah haram”
57Ali Mustafa Yaqub, Cara Benar Memahami Hadis.., h. 53. 58Yusuf al-Qaraḍāwī, Kaifa Nata‘āmal m ‘a al-Sunnah.., h. 125. 59‘Illat dalam ilmu hadis adalah sesuatu yang tersembunyi dalam sebuah hadis yang dapat
menciderai keṣahihan hadis tersebut yang secara dzahir hadis tersebut selamat dari ‘illat.‘Illat bisa
terdapat di sanad hadis atau di matan hadis. Lihat: Mahmūd al-Ṭaḥān, Taisīr Muṣṭalaḥ al-Ḥadīts
(Jakarta: Dār al-Maktabah), h.35. 60 Diriwayatkan oleh al-Bukhārī dalam Ṣaḥīḥnya, Kitābal-Wuḍū’, Bāb Lā Yajūzu al-
Wuḍū’ bi al-Nabīdz wa lā al-Muskir melalui jalur ‘Ali bin ‘Abdullah. Lihat: Al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-
Bukhārī.., h. 44. Diriwayatkan juga oleh Muslim dalam Ṣaḥīḥnya, Kitab al-Usribah, Bāb Bayān
Anna Kulla Muskir Khamr wa Anna Kulla Khamr Ḥarām melalui jalur Yaḥya bin Yaḥya. Lihat:
Muslim bin al-Ḥajjāj, Ṣaḥīḥ Muslim.., h. 894.
41
Hadis di atas menyatakan secara eksplisit bahwa setiap yang memabukkan
adalah haram. Illat keharaman benda tersebut adalah memabukkan. Dalam hal ini
ulama tidak berbeda pendapat, sebab illat keharamannya tercantum dalam teks
hadis (manṣūṣah). Dari hadis itu pula ulama menetapkan bahwa setiap minuman
yang tidak memabukkan tidak haram, karena tidak adanya illat berupa
memabukkan.61
b. Illat implisit (al-‘Illah al-Mustanbaṭah)
Dicertakan dari Ibn ‘Umar Ra, ia berkata: Rasulullah Saw bersabda
kepada kami saat pulang dari perang aḥzāb: “Janganlah sekali-kali
seorang pun salat aṣar kecuali di Banī Quraidzah. ”Maka sebagian dari
mereka mendapat waktu aṣar di perjalanan. Ada yang berkata: “Kita
laksanakan salat aṣar setelah sampai disana (Banī Quraidzah).” Sebagian
yang lain berkata: “Tidak, kita laksanakan salat aṣar disini. Nabi Saw
tidak menghendaki kita mengakhirkan salat aṣar sampai malam.”Kemudia
hal tersebut dilaporkan kepada Nabi Saw, ternyata beliau tidak
menyalahkan seorang pun dari mereka.”
Sahabat Nabi Saw dalam memahami hadis di atas terbagi menjadi dua,
sebagian sahabat memehaminya secara kontekstual, dan sebagian yang lain
memahaminya secara tekstual. Sahabat yang memahami hadis secara kontekstual
61Ali Mustafa Yaqub, Cara Benar Memahami Hadis.., h. 56. 62Diriwayatkan oleh al-Bukhārī dalam Ṣaḥīḥnya, Kitābal-Ṣalāh, Bāb Ṣalāh al-Ṭālib wa
al-Maṭlūb Rākiban wa īmā’an melalui jalur ‘Abdullah bin Muhammad. Lihat: Al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ
al-Bukhārī.., h. 152. Diriwayatkan juga oleh Muslim dalam Ṣaḥīḥnya, Kitab al-Jihād, Bābal-
Mubādarah bi al-Ghazwi wa Taqdīmu ahamm al-Amrain al-Muta‘āriḍain melalui jalur ‘Abdullah
bin Muhammad. Lihat: Muslim bin al-Ḥajjāj, Ṣaḥīḥ Muslim.., h. 786.
42
berpendapat bahwa maksud dari sabda Nabi Saw untuk melaksanakan salat ‘aṣar
di Bani Quraidzah adalah agar para sahabat bersegera menuju ke Bani Quraidzah
dan mendapati waktu salat ‘aṣar di sana. Sedangkan sahabat yang lain berijtihat
untuk tetap melaksanakan salat ‘aṣar di Bani Quraidzah kendati sudah masuk
malam. Mereka melihat sabda Nabi Saw secara tekstual. 63 Seperti yang
disebutkan dalam hadis di atas bahwa Nabi Saw tidak menyalahkan salah satu dari
kelompok sahabat yang memahami perintah Nabi Saw secara kontekstual atau
tekstual. Perbedaan pendapat ini disebabkan karena ‘illah dari perintah Nabi Saw
tidak disebutkan dalam hadis tersebut.
4. Al-Jighrāfiyah fī al-Ḥadīts
Menurut Ali Mustafa Yaqub, meskipun geografi bukan termasuk salah
satu sumber hukum islam, mengetahui geografi yang merupakan ilmu peta bumi
sangat penting dalam memahami hadis, karena ada beberapa hadis yang harus
dipahami dengan metode pendekatan geografi.64 Berikut akan disebutkan hadis
yang dalam memahaminya memerlukan pengetahuan biografi.
Diceritakan dari Abū Ayyūb al-Anṣārī Ra, ia berkata: Rasulullah Saw
bersabda: “Ketika seorang dari kaliah hendak buang hajat, maka
janganlah menghadap kiblat atau membelakanginya. Menghadaplah ke
timur dan barat.”
63Ali Mustafa Yaqub, Cara Benar Memahami Hadis.., h. 63. 64Ali Mustafa Yaqub, Cara Benar Memahami Hadis.., h. 75. 65Diriwayatkan oleh al-Bukhārī dalam Ṣaḥīḥnya, Kitab al-Wuḍū’, Bāb Lā Tustaqbalu al-
Qiblah bi baul wa lā Ghāiṭ illā ‘inda al-Binā’ melalui jalur Ādam. Lihat: Al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-
Bukhārī.., h. 71.
43
Hadis di atas apabila dipahami dengan konteks Indonesia maka terjadi
pertangan antara ungkapan Nabi Saw yang pertama “maka janganlah menghadap
kiblat atau membelakanginya” dengan ungkapan Nabi Saw yang ke dua
“Menghadaplah ke timur dan barat”, karena arah kiblat bagi penduduk Indonesia
adalah barat. Maka makna hadis di atas ketika hendak dipraktikkan dalam kontek
Indonesia adalah: “Menghadaplah ke utara dan selatan”, sehingga orang yang
membuang hajat tidak menghadap ke kiblat atau membelakanginya.66
5. Al-Taqālīd al-‘Arabiyah fī al-Ḥadīts
Ali Mustafa Yaqub menjelaskan bahwa tidak semua yang berasal dari
Nabi Saw harus diikuti. Dalam metode ini, Al-Taqālīd al-‘Arabiyah fī al-
Ḥadīts“Budaya Arab dalam hadis”, ia membedakan antara agama yang harus
diikuti dan budaya yang tidak perlu diikuti. 67 Secara garis besar Allah telah
memerintahkan hamba-Nya untuk mengikuti segala sesuatu yang datang dari Nabi
Saw dalam firmannya:
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka ambillah.Dan apa yang
dilarangnya bagimu maka tinggallah.” (QS. Al-Ḥasyr: [59:7]).
Ayat di atas bersifat umum, hal ini terlihat dari lafadz māyang
mengandung arti umum. Namun keumuman ayat tersebut dikhususkan oleh
sebuah hadis:
66Ali Mustafa Yaqub, Cara Benar Memahami Hadis.., h. 77. 67Ali Mustafa Yaqub, Cara Benar Memahami Hadis.., h. 85.
44
Telah menceritaka kepadaku Rāfi‘ bin Khadīj, ia berkata: Saat Nabi Saw
tiba di Madinah, mereka sedang mengawinkan kurma. Mereka katakana
sebagai penyerbukan terhadap kurma (agar dapat berbuah). Beliau
betanya: “Apa yang sedang kalian lakukan?” “Kami biasa
melakukannya,” jawab mereka. Beliau bersabda: “Kalian dapat
mempertimbangkan seandainya tidak melakukannya, maka hal itu akan
lebih baik.” Lalu mereka pun tidak lagi melakukan penyerbukan.Ternyata
pohon itu tidak berbuah.Mereka pun melaporkan hal tersebut kepada Nabi
Saw. Maka beliau bersabda: “Aku hanya manusia biasa. Apabila aku
menyuruh kalian sesuatu dalam urusan agama, maka ambillah.Namun
apabila aku menyuruh kalian sesuatu yang berasal dari pendapatku, maka
aku hanya manusia biasa.”
Ada beberapa kriteria untuk menbedakan antara agama dan budaya yang
dipaparkan oleh Ali Mustafa Yaqub, yaitu sebagimana berikut:
a. Ajaran agama hanya diamalkan oleh kaum muslimin. Berbeda dengan
budaya yang pengamalannya dilakukan oleh umat Islam dan non Islam.
Surban misalnya, ini adalah salah satu budaya Arab, bahkan selain Arab
juga. Surban dipakai oleh orang Islam dan orang non Islam.
68Diriwayatkan oleh Muslim dalam Ṣaḥīḥnya, Kitab al-Faḍāil, Bāb Wujūb Imtitsāli
māqālahu syar‘an dūna mā dzakarahūṣallallāhu ‘alaihi wa sallama min ma‘āyisy al-Dunya ‘alā
sabīl al-Ra’yi melalui jalur ‘Abdullah bin al-Rūmī. Lihat Muslim bin al-Ḥajjāj, Ṣaḥīḥ Muslim.., h.
1039.
45
b. Ada beberapa budaya yang sudah ada sebelum Islam datang, seperti al-
Jummah69 pada rambut kepala, dan terus berlanjut sampai Islam datang.
Sedangkan agama atau syariat Islam tidak ada kecuali setelah Islam
datang. Oleh karena itu wajib mengikuti apa yang dibawa Nabi Saw jika
hal itu berupa agama, namun tidak wajib mengikuti apa yang dibawa Nabi
Saw jika hal itu bukan berupa agama.
c. Ada beberapa budaya yang sudah ada sebelum Islam datang, kemudian
turun wahyu dari Allah Swt memerintahkan umat Islam untuk
melakukannya. Maka budaya tersebut menjadi syariat Islam setelah
turunnya wahyu dari Allah Swt. Hal ini mislanya manasik haji dan
perhitungan bulan qamariyah (tahun hijriyah). Umat Islam saat
melaksanakan ibadah haji atau menggunakan bulan qamariyah tidak
berarti melakukan tradisi kaum jahiliyah, melainkan mengamalkan ajaran
ajaran syariat Islam.70
6. Al-Ḥālah al-Ijtimā‘iyah fī al-Ḥadīts
Salah satu metode yang dikemukakan oleh Ali Mustafa Yaqub adalah
melihat kondisi sosial dalam hadis. Hadis Nabi Saw tidak berangkat dari ruang
yang kosong. Ada beberapa aspek yang mempengaruhi lahirnya hadis itu sendiri,
salah satunya adalah kondisi sosial pada saat hadis itu disabdakan. Sehingga
menggunakan pendekatan sosial dalam memehami hadis sangat diperlukan. Hal
ini karena kondisi sosial pada masa Nabi Saw berbeda dengan kondisi sosial saat
ini. Hadis yang berkaitan dengan kondisi sosial pada saat itu tidak boleh
69Rambut lebat yang berjuntai sampai ke bahu. Lihat Syawqī Ḍaif, al-Mu‘jam al-Wasīṭ
(Jedah: Maktabah Kunūz al-Ma‘rifah, 2011), h. 142. Lihat Ahmad Warson Munawwir, al-
Munawwir (Surabaya: Pustaka Progresif, 2002). h. 211. 70Ali Mustafa Yaqub, Cara Benar Memahami Hadis.., h. 105-106
46
dipraktikkan secara tekstual pada kondisi saat ini. Jika tetap dipraktikkan, maka
kesimpulan hukumnya tidak tepat, bahkan dapat menyalahi sunah.71
Berikut contoh hadis yang berkaitan dengan kondisi sosial pada masa Nabi
Saw:
Diceritakan dari Anas bin Mālik: Bahwa Nabi Saw melihat dahak di
bagian kibat. Beliau merasa berat hingga terlihat perubahan di raut
wajahnya.Beliau pun berdiri dan menggosok dahak itu dengan tangannya.
Lalu bersabda: “Sesungguhnya salah seorang kalian ketika sedang salat,
ia sedang bermunajat kepada Tuhannya. Atau sungguh posisi Tuhannya
berada di antara ia dan kiblat. Karenanya, janganlah sekali-kali seorang
dari kalian meludah ke arah kiblatnya.Namun, meludahlah ke sebelah kiri
atau di bawah kakinya.”
Dari hadis di atas dipahami bahwa meludah pada saat salat di masjid
diperbolehkan, hanya saja tidak boleh meludah kearah kiblat.Untuk memahami
hadis di atas perlu diketahui kondisi masjid pada saat itu.
71Ali Mustafa Yaqub, Cara Benar Memahami Hadis.., h. 109. 72Diriwayatkan oleh al-Bukhārī dalam Ṣaḥīḥnya, Kitab al-Ṣalāh, Bāb Hakkial-Buzāq bī
al-Yad min al-Masjid melalui jalur Qutaibah. Lihat: Al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī.., h. 71. 73Diriwayatkan oleh al-Bukhārī dalam Ṣaḥīḥnya, Kitab al-Ṣalāh, Bāb Kafārah al-Buzāq fī
al-Masjidmelalui jalur Ādam. Lihat: Al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī.., h. 72. Diriwayatkan juga oleh
Muslim dalam Ṣaḥīḥnya, Kitab al-Masājid wa Mawāḍi‘ al-Ṣalāh, Bāb al-Nahy ‘an al-Buṣāq fī al-
Masjid, fī al-Ṣalāh wa ghairihāmelalui jalur Yaḥyā bin Yaḥyā. Lihat: Muslim bin al-Ḥajjāj, Ṣaḥīḥ
47
Diceritakan dari Anas bin Mālik Ra, ia berkata: Nabi Saw bersabda:
“Meludah di Masjid adalah dosa. Kafaratnya adalah dengan
menguburnya.”
Melalui hadis di atas diketahui bahwa lantai masjid pada masa Nabi Saw
berbeda dengan lantai masjid pada masa sekarang. Oleh karena itu hadis tentang
meludah di masjid tidak boleh praktikkan di masjid saat ini. Karena lantai masjid
sekarang terdiri dari keramik dan mermer serta beralaskan karper yang indah.74
7. Sabab Wurūd al-Ḥadīts
Mengetahui Sabab al-Wurūd, faktor atau latar belakang diriwayatkannya
sebuah hadis merupakan salah satu perangkat penting dalam memahami sebuah
hadis. Ada beberapa hadis yang sulit dipahami tanpa mengetahui sebab yang
melatarbelakanginya, 75 berikut contoh hadis yang memerlukan pengetahuan
terhadap latar belakang sebuah hadis:
Diceritakan dari Jābir, bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Tidak baik
berpuasa di perjalanan.”
Muslim.., h. 223. Diriwayatkan juga oleh Abū Dawūd dalam Sunannya, Kitāb al-Ṣalāh, Bāb
Karāhiyah al-Buzāq fī al-Masjid melalui jalur Musaddad. Lihat: Abū Dawūd, Sunan Abī Dawūd..,
h.79. Diriwayatkan juga oleh al-Tirmidzī dalam Sunannya, Kitāb abwāb al-Safar, Bāb
fīKarāhiyah al-Buzāq fī al-Masjid melalui jalur Qutaibah. Lihat: Al-Tirmidzī, Sunan al-Tirmidzī..,
h. 149. 74Ali Mustafa Yaqub, Cara Benar Memahami Hadis.., h. 175. 75Ali Mustafa Yaqub, Cara Benar Memahami Hadis.., h. 180. 76Diriwayatkan oleh al-Bukhārī dalam Ṣaḥīḥnya, Kitab al-Ṣaūm, Bāb Qaul al-NabīṢallā
Allahu ‘alaih wa Sallam liman Dzullila ‘Alaih wa isytadda al-Ḥarr melalui jalur Ādam. Lihat: Al-
Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī.., h. 313. Diriwayatkan juga oleh Muslim dalam Ṣaḥīḥnya, Kitab al-
Ṣiyām, Bāb Jawāz al-Ṣaūm wa al-Fiṭr fī Syahr Ramaḍānli al-Musāfir fī ghairi Ma‘ṣiyah melalui
jalur Abū Bakr bin Abī Syaibah. Lihat: Muslim bin al-Ḥajjāj, Ṣaḥīḥ Muslim.., h. 457.
Diriwayatkan juga oleh Abū Dawūd dalam Sunannya, Kitāb al-Ṣiyām, Bāb Ikhtiyār al-Fiṭr melalui
jalur Abū al-Walīd al-Ṭayālisī. Lihat: Abū Dawūd, Sunan Abī Dawūd.., h. 349. Diriwayatkan juga
oleh al-Nasā’i dalam Sunannya, Kitāb al-Ṣiyām, Bāb mā Yukrahu min al-Ṣiyām fī al-Safar melalui
jalur Isḥāq bin ībrāhīm. Lihat: al-Nasā’i, Sunan al-Nasā’i.., h. 314.
48
Hadis di atas menyatakan secara pasti bahwa berpuasa saat melakukan
perjalanan tidak baik. Namun dalam al-Qur’ān disebutkan bahwa puasa
merupakan perbuatan yang baik tanpa membatasi apakah sedang tidak perjalanan
atau sedang dalam perjalanan. Allah Swt berfirman:
“Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-
Baqarah: [2:184]).
Al-Qur’ān dan hadis di atas secara dzahir terlihat bertentangan. Sehingga
untuk memahami hadis tersebut harus mengetahui sebab yang melatarbelakangi
terjadinya hadis itu. Al-Nasā’ī dalam kitabnya, Bāb mā Yukrahu min al-Ṣiyām fī
al-Safar, meriwayatkan dari Jābir bin Abdullah bahwa Rasulullah Saw melihat
seseorang dikerumuni karena jatuh pingsan. Beliau Saw bertanya, lalu ada yang
menjawab bahwa ia memaksakan dirinya untuk berpuasa. Lalu Rasulullah Saw
bersabda: “Tidak baik berpuasa di perjalanan.”77
Berkenaan dengan hadis di atas Al-Khaṭṭābī berkata bahwa melalui sebab
Rasulullah Saw bersabda dapat diketahui bahwa puasa tidak baik bagi orang yang
sedang dalam perjalanan apabila puasa tersebut memberikan mudarat baginya,
sehingga berbuka lebih baik baginya. Namun, apabila puasa dalam perjalanan
tidak menimbulkan madarat, maka tetap melanjutkan puasa lebih utama.78
77Al-Nasā’i, Sunan al-Nasā’i.., h. 314. 78Muhammad Syamsul Haq al-‘Adzīm Ābādī, ‘Aun al-Ma‘būd Syarḥ Sunan Abī Dawūd
(Dār al-Ḥadīts, 2001), vol. 4, h. 484.
49
c. Memahami Hadis Secara Tematis
Hadis dengan teksnya yang beragam, merupakan satu kesatuan yang tidak
dapat dipisahkan. Hal ini mengingat bahwa hadis bermuara pada satu sumber,
yaitu Rasulullah Saw.
1. Hadis Saling Menafsirkan
Hadis sampai kepada kita dengan berbagai jalur, di antara redaksi hadis
tersebut ada yang bersifat umum, dan sebagian yang lain bersifat khusus. Hadis
yang redaksinya umum tersebut harus dipahami secara khusus, sebagaimana hadis
yang bersifat muṭlaq harus dipahami melalui hadis yang bersifat muqqayyad, dan
yang bersifat mujmaldipahami melalui hadis yang bersifat mabayyin. Hal ini agar
maksud yang diinginkan hadis menjadi jelas.79Berpijak pada satu riwayat saja
dalam memahami hadis terkadang dapat menimbulkan kesalahan dalam
memahami maksudnya.Bahkan dapat juga berdampak pamahaman yang sesat dan
menyesatkan.80
2. Langkah-langkah Metode Tematik
Pertama, mengumpulkan semua riwayat hadis dalam tema yang sama.81
Kedua, mengkritisi riwayat-riwayat tersebut, dengan cara menyeleksi yang
ṣaḥīḥdari yang ḍa‘īf.
Ketiga, mengambil riwayat yang ṣaḥīḥ dalam hadis tersebut dan
79Ali Mustafa Yaqub, Cara Benar Memahami Hadis.., h. 133. 80Ali Mustafa Yaqub, Cara Benar Memahami Hadis.., h. 134. 81Lebih lanjut Bustamin dan M. Isa menjelaskan maksud mengumpulkan semua riwayat
hadis dalam tema yang sama adalah: Pertama, hadis-hadis yang mempunyai sumber sanad yang
sama, baik riwayat bi al-Lafdz maupun riwayat bi al-Ma‘nā. Kedua, hadis-hadis yang
mengandung makna yang sama, baik sejalan maupun bertolak belakang. Ketiga, hadis-hadis yang
mempunyai tema yang sama, seperti tema aqidah, ibadah dan lainnya. Lihat Bustamin dan M. Isa
H. A. Salam, Metodologi Kritik Hadis (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), h. 64-65.
50
meninggalkan riwayat yang tidak ṣaḥīḥ, mengambil hadis yang berlaku (ma‘mūl)
dan meninggalkan hadis yang tidak berlaku, misalnya hadis-hadis yang telah
dinasakh.
Keempat, mengambil teks-teks hadis yang petunjuknya jelas, lalu
menyeleksinya dari teks-teks hadis yang yang petunjuk maknanya tidak jelas.
Keenam, menafsirkan teks-teks hadis yang yang tidak jelas petunjuk
maknanya dengan teks-teks hadis yang jelas petunjuk maknanya, berdasarkan
kaidah: Lafadz yang jelas dapat menafsirkan lafadz yang tidak jelas.82
d. Kontradiksi Hadis
Al-Nawawī mendefinisikan kontradiksi hadis atau mukhtalaf al-Ḥadīts
adalah adanya dua hadis yang secara dzahir lafadznya bertentangan satu sama
lain. Tugas seorang ahli hadis dalam masalah ini adalah menggabungkan dua
hadis yang bertentangan itu, atau mentarjīh salah satunya.83
Dari definisi yang dipaparkan oleh al-Nawawī dipahami bahwa tejadinya
kontradiksi hadis itu hanya terdapat pada hadis dengan hadis yang lain, beliau
tidak menyebutkan adanya pertentangan antara hadis dengan al-Qur’ān atau antara
hadis dengan akal. Ali Mustafa Yaqub menjelaskan bahwa telah ada ulama
sebelum al-Nawawī, yaitu al-Ḥāzimī yang telah membahas pertentangan hadis
dengan al-Qur’ān dalam kitabnya al-I‘tibār fī Bayān al-Nāsikh wa al-Mansūkh
min al-Ātsār. Begitu pula Ibnu Qutaibah dalam kitabnya Ta’wīl Mukhtalaf al-
Ḥadīts telah menyebutkan adanya pertentangan hadis dengan akal.84
82Ali Mustafa Yaqub, Cara Benar Memahami Hadis.., h. 135-136. 83Jalauddin al-Suyūṭī, Tadrīb al-Rāwī fī Syarh Taqrīb al-Nawawī (Cairo: Dār al-Ḥadīts,
2002), h. 467. 84Ali Mustafa Yaqub, Cara Benar Memahami Hadis.., h. 186.
51
Adapun metode memahami kontradiksi hadis yang disebutkan oleh Ibnu
al-Ṣalāḥ dalam kitabnya Muqaddimah Ibn al-Ṣalāḥ fī ‘Ulūm al-Ḥadīts ada dua
cara yaitu: pertama mengkompromikan dua hadis yang bertentangan dan
mengamalkan keduanya. Kedua apabila tidak memungkinkan untuk
mengkompromikan dua hadis tersebut maka ada dua metode dalam hal ini,
mengkaji apakah terdapat nasakh pada hadis tersebut, sehingga yang diamalkan
adalah hadis terakhir yang posisinya sebagai nāsikh. Namun apabila tidak terjadi
nasakh maka dengan mentarjīh85 salah satu hadis tersebut.86
Sebagaimana dikemukakan oleh al-Nawawī, bahwa kontradiksi ini hanya
pada makna dzahirnya saja. Karena sebenarnya dalam faktanya tidak ada
kontradiksi antara dua hadis, atau antara hadis dan al-Qur’ān. Sebab sumber dari
al-Qur’ān dan hadis adalah satu, yaitu wahyu dari Allah Swt.87 Kontradiksi pada
kenyataannya bersifat relatif. Karena terkadang hadis dianggap bertentangan
85 Menurut al-Suyūṭī ada tujuh klasifikasi dalam melakukan tarjīh yaitu: pertama,
mentarjīh berdasarkan keadaan rāwī, misalnya, periwayatan orang yang banyak lebih diunggulkan
dari periwayatan seorang rāwī, periwayatan orang yang lebih tsiqah diunggulkan dari periwayatan
orang yang tsiqah. Kedua, mentarjīh berdasarkan cara penerimaan periwayatan (al-Taḥammul).
Misalnya, mengunggulkan periwayatan seorang rāwī yang menerima hadis setelah ia baligh dari
pada seorang rāwī yang menerima hadis dari sebelum ia baligh. Periwayatan rāwī dengan al-Simā‘
diunggulkan dari periwayatan rāwī dengan al-kitābah. Ketiga, mentarjīh berdasarkan mekanisme
periwayatan. Misalnya, riwayat seorang rāwī secara lafadz lebih diunggulkan dari riwayat rāwī
yang diriwayatkan secara makna. Riwayat seorang rāwī yang di dalamnya menyebutkan sabab al-
Wurūd lebih diunggulkan dari riwayat rāwī yang tidak menyebutkan sabab al-Wurūd.Keempat,
mentarjīh berdasarkan waktu penyampaian riwayat. Misalnya, riwayat seorang rāwī yang
menerima dalam keadaan Islam diunggulkan dari riwayat seorang rāwī yang menerima hadis
sebelum ia masuk Islam. Kelima, mentarjīh berdasarkan redaksi hadis.Misalnya, hadis yang
redaksinya khusus diunggulkan dari pada hadis yang redaksinya umum.Keenam, mentarjīh
berdasarkan hukum hadis.Misalnya, mengunggulkan hadis yang memiliki hukum haram dari hadis
yang memiliki hukum mubah.Ketujuh, mentarjīh berdasarkan faktor eksternal.Misalnya
mengunggulkan hadis yang sesuai dengan kandungan al-Qur’ān.Lihat al-SuyūṭīTadrīb al-Rāwī fī
Syarh Taqrīb al-Nawawī, h. 469-471. 86Ibnu al-Ṣalāḥ, Muqaddimah Ibn al-Ṣalāḥ fī ‘Ulūm al-Ḥadīts (Cairo: Dār al-Ḥadīts,
2010), h. 262-263. 87Sebagaimana firman Allah Swt. dalam al-Qur’ān surah al-Najm:
“Dan tidaklah yang diucapkan itu menurut hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada
lain hanyalah wahyu yang diwahyukan.” (QS. Al-Najm : [53:3-4]).
52
dengan hadis yang lain, al-Qur’ān atau dengan akal menurut satu kalangan, dan
tidak bertentangan menurut kalangan yang lain.88
1. Kontradiksi hadis terhadap al-Qur’ān
Al-Qur’ān adalah firman Allah yang tidak akan terjadi kesalahan di
dalamnya, bahkan Allah berjanji akan menjaganya.89Al-Qur’ān sampai kepada
kita melalui riwayat yang mutawātir. Ulama sepakat akan kehujjahan al-
Qur’ān. 90 Hadis merupakan penjelas terhadap al-Qur’ān, yang berfungsi untuk
mengkhususkan ayat yang bersifat umum dalam al-Qur’ān, menafsiran ayat yang
bersifat global (mujmal) dan membatasi ayat-ayat yang mutlak.Apabila ada
pertentangan antara al-Qur’ān dan hadis, maka keduanya dikompromikan dengan
membawa lafadz yang umum pada lafadz yang khusus. Namun bila tidak
memungkinkan untuk mengkompromikan keduanya, menurut para muhadditsīn
tidak diragukan lagi bahwa ada kekeliruan dalam hadis tersebut.91
2. Kontradiksi hadis terhadap hadis lain
Rasulullas Saw bersabda: “Lakukan apa saja selain nikah (bersetubuh).”
88Ali Mustafa Yaqub, Cara Benar Memahami Hadis.., h. 187. 89Sebagaimana firman Allah Swt. dalam al-Qur’ān surah al-Hijr:
“Sesungguhnya kamilah yang menurunkan al-Qur’ān dan sesungguhnya kami
benar-benar menjaganya.”(QS. Al-Ḥijr : [15:9]) 90Musfir‘Azmullah, Maqāyīs Naqd Mutūn al-Sunnah (Riyad: Jamī’ al-Ḥuqūq Mahfūdzah
li al-Muallif,1984), h. 61. 91Musfir ‘Azmullah, Maqāyīs Naqd Mutūn al-Sunnah.., h. 118. 92Diriwayatkan oleh Muslim dalam Ṣaḥīḥnya, Kitab al-Ḥaiḍ, Bāb JawāzGhasl al-Ḥāiḍ
Ra’si Zaujihā wa Tarajjulihī wa Ṭahārah su’rihā wa al-Ittikā’ fīḤijrihā wa qirā’ah al-Qur’ān
fīh,melalui jalur Zuhair bin Ḥarb. Lihat: Muslim bin al-Ḥajjāj, Ṣaḥīḥ Muslim.., h.137.
53
Dari Ḥaram bin Ḥakīm dari pamannya, ia bertanya kepada Rasulullah
Saw: “Apa yang halal bagiku terhadap isteriku yang lagi haid? Rasulullah
Saw bersabda: Untukmu anggota tubuh yang di atas kain.”
Dua hadis di atas saling bertentangan. Hadis pertama menunjukkan bahwa
suami boleh melakukan apa saja terhadap istri yang sedang haid selain jimak.
Sedangkan hadis yang kedua menunjukkab bahwa suami tidak boleh bercumbu
dengan istri kecuali bagian tubuh yang di atas sarung saja. Pengertian hadis
pertama cakupannya lebih luas dalam hal hubungan suami istri di banding dengan
hadis yang kedua.94
Pertentangan kedua hadis tersebut dapat dikompromikan, yaitu dengan
dipahami bahwa hadis pertama diperuntukkan suami yang mampu menahan
syahwatnya sehingga tidak dihawatirkan terjerumus pada persetubuhan.
Sedangkan hadis kedua diperuntukkan suami yang syahwatnya kuat dan
dihawatirkan tidak mampu menahannya, sehingga terjerumus pada jimak.95
3. Kontradiksi hadis terhadap akal
Sejatinya, tidak ada syariat yang bertentangan dengan akal. Begitu pula
dengan hadis yang merupakan sumber syariat tidak akan bertentangan dangan
akal. Salah satu bukti bahwa syariat tidak bertentangan dengan akal adalah
diangkatnya hukum taklīf bagi orang gila.Adanya pertentangan itu di dalam
93Diriwayatkan juga oleh Abū Dawūd dalam Sunannya, Kitāb al-Ṭahārah, Bāb fī al-
Madzīmelalui jalur Hārun bin Muhammad bin Bakkār. Lihat: Abū Dawūd, Sunan Abī Dawūd.., h.
40. 94Ali Mustafa Yaqub, Cara Benar Memahami Hadis.., h. 221. 95Ali Mustafa Yaqub, Cara Benar Memahami Hadis.., h. 221.
54
pemahaman al-Nādzir pemerhati atau pembaca. 96 Oleh karena itu kontradiksi
hadis terhadap akal bersifat relatif, bukan mutlak.97
Namun dalam masalah Ibadah, menurut Ali Mustafa Yaqub tidak semua
syariat dapat dilogikakan. Hal ini karena dalil dalam masalah ibadah al-Qur’ān
dan hadis bukan akal. Dalam hal ini syariat ada yang masuk akal dan ada yang
tidak masuk akal. Syariat Islam yang masuk akal disebut al-Ma‘qūl al-Ma‘nā atau
al-Ta‘aqqulī. Adapun Syariat yang Islam yang tidak masuk akal disebut al-
Ta‘abbudī.98 Hal ini sebagaimana ungkapan Ali bin Abī Ṭālib Ra:
Diceritakan dari ‘Alī Ra, ia berkata: “Seandainya agama harus
berdasarkan logika, tentu bagian bawah khuf lebih tepat untuk diusap dari
pada bagian atasnya. Sungguh aku melihat Rasulullah Saw mengusap
bagian bunggung kedua khufnya.”
Mengusap dua khuf merupakan salah satu ibadah yang tidak masuk akal
(al-Ta‘abbudī). Tempat mengusap dua khuf itu bagian atasnya.Menurut akal,
mengusap bagian bawah khuf lebih utama, karena bagian bawah khuflah yang
bersentuhan langsung dengan jalan dan seharusnya dibersihkan, berbeda dengan
bagian atasnya yang bersentuhan dengan punggung kaki.100
96Qāsim al-Baiḍānī, Mabānī Naqd Matn al-Ḥadīts (Mansyūrāt al-Markaz al-Ālamī li al-
Dirāsah al-Islāmī, 1385), h. 134-135. 97Ali Mustafa Yaqub, Cara Benar Memahami Hadis.., h. 236. 98Ali Mustafa Yaqub, Cara Benar Memahami Hadis.., h. 240. 99Diriwayatkan oleh Abū Dawūd dalam Sunannya, Kitāb al-Ṭahārah, Bāb Kaif al-Masḥ,
melalui jalur Muhammad bin al-‘Alā’. Lihat: Abū Dawūd, Sunan Abī Dawūd.., h. 34. 100Ali Mustafa Yaqub, Cara Benar Memahami Hadis.., h. 240.
55
BAB III
PEMAHAMAN HADIS SUNNAH MELAKSANAKAN HAJI LEBIH DARI
SEKALI
Setelah mengkaji metode pemahaman hadis menurut Ali Mustafa Yaqub
dalam bab sebelumnya, selanjutkan metode tersebut akan direalisasikan untuk
memahami hadis kewajiban melaksanakan haji sekali dan sunnah
melaksanakannya lebih dari sekali. Dari beberapa metode pemahaman hadis yang
dipaparkan sebelumnya hanya beberapa yang digunakan untuk memahami hadis
tersebut, diantaranya yaitu: memahami hadis dengan melihat sisi kebahasaan,
mengetahui asbab al-Wurūd dan memahami hadis pendekatan sosial. Namun
sebelumnya akan dikaji permasalahan haji secara umum serta mengumpulkan
hadis-hadis yang menjelaskan tentang kewajiban melaksanakan haji dan
pandangan ulama salaf terkait hadis tersebut.
A. Haji
Haji adalah rukun Islam yang ke-lima, haji merupakan ibadah badanī yang
berkaitan dengan Bait al-Harām dan pelaksanaanya dibatasi oleh waktu, yaitu
Syawal Dzul Qa’dah dan sepuluh awal Dzul Hijjah. Haji disyari’atkan pada tahun
ke-6 Hijriyah. Kewajiban haji ini hanya diperuntukkan kepada seorang mukallaf
yang memiliki kemampuan untuk melaksanakannya. Adapun yang dimaksud
dengan mampu disini adalah mampu secara materi dan mampu secara jasmani.1
1Ahmad Ṣabīh, Dalīluka ilā Ḥajj Mabrūr wa ‘Umrah Maqbūlah (Kairo: Al-Hai’ah al-
Miṣriyah al-‘Āmah li al-Kitāb, 2005), h. 19-20.
56
Lebih lanjut al-Nawawī (w. 676 H) membagi mampu ini menjadi dua
ketegori, yaitu mampu yang datangnya dari dirinya dan mampu yang datangnya
dari orang lain. Mampu yang datangnya dari diri sendiri terdiri dari lima aspek,
kendaraan pulang pergi, bekal yang mencukupinya sampai kembali pada
keluarganya, jaminan keamanan selama perjalanan, kesehatan jasmani serta
memungkinkan untuk melakukan perjalanan. Adapun mampu yang datangnya
dari orang lain adalah ketidakmampuan dirinya untuk melaksanakan haji, baik hal
itu disebabkan oleh mati, tua, lemahnya badan disebabkan sakit yang terus
menerus, sakit yang tidak diketahui kapan sembuhnya atau pikun. Bagi orang
yang telah meninggal dan belum melaksanakan haji sedang ia mampu secara
materi maka hajinya harus diwakilkan pada orang lain. Akan tetapi bila ia tidak
mampu secara materi maka ahli warisnya tidak memiliki kewajiban untuk
melaksanakan haji untuknya. Namun, apabila ahli warisnya atau orang lain
dengan suka rela ingin melaksanakan haji untuknya maka haji tersebut sah.
Adapun bagi orang yang masih hidup namun jasmaninya tidak mampu
melaksanakan haji, maka ia tidak boleh dihajikan oleh orang lain kecuali telah
mendapat izin darinya.2
Bagi seseorang yang telah memenuhi syarat untuk melaksanakan haji
maka baginya boleh untuk mengakhirkan dalam melaksanakannya selagi tidak
dikhawatirkan akan meninggal. Jika dikhawatirkan akan meninggal maka ia wajib
melaksanakan haji dengan segera, pendapat ini menurut Madzhab al-Syāfi‘ī.
Sedang menurut Malik, Abū Ḥanīfah, Ahmad dan al-Muzanī adalah
melaksanakan haji harus disegerakan, dan apabila seseorang meninggal sebelum
2Muhyiddin al-Nawawī al-Syāfi‘ī, Matn al-Īḍāḥ fī al-Manāsik (Beirut: Dār al-Kutub al-
‘Ilmiyah, 1406 H-1986 M), h. 31-32.
57
melaksanakan haji padahal ia sebelum meninggal mampu melaksanakannya maka
ia meninggal dalam keadaan maksiat.3 Hal ini berdasarkan hadis yang diceritakan
oleh Ibn Abbas ra.:
Diceritakan dari Ibn ‘Abbās ra.berkata: Rasulullah Saw bersabda:
Bersegeralah kalian untuk melaksanakan haji (haji fardhu), karena
sesungguhnya salah seorang di antara kalian tidak ada yang mengetahui
sesuatu yang akan menghalanginya. (HR. Ahmad).
Berkenaan dengan berapa kali haji itu wajib dilaksanakan, ulama sepakat
bahwa ibadah haji diwajibkan sekali seumur hidup bagi seseorang yang mampu
secara materi dan fisik. Sebagian ulama Syafi‘iyah mengatakan bahwa bagi
seseorang yang telah melaksanakan haji wajib maka baginya farḍu kifāyah.
Namun pendapat ini ditolak oleh sebuah hadis yang menyatakan haji yang kedua
adalah sunnah.5 Hadis inilah yang akan dikaji dalam penelitian ini.
Terdapat tiga macam pelaksanaan ibadah haji. Petama, mendahulukan
melaksanakan umrah dan baru kemudian melaksanakan haji; kedua,umrah dan
haji dilaksanakan bersama-sama; dan ketiga, haji dikerjakan terlebih dahulu dan
baru kemudian melaksanakan umrah. Berdasarkan ketiga macam pelaksanaan haji
tersebut, para ulama menetapkan tiga macam ihram, yaitu, tamaṭṭu‘, qirān, dan
ifrād. Tamaṭṭu‘ adalah melakukan ihram untuk umrah terlebih dahulu, dan
sesudah itu baru melaksanakan ihram untuk haji. Sementara qirān adalah
3Muhyiddin al-Nawawī al-Syāfi‘ī, Matn al-Īḍāḥ fī al-Manāsik, h. 32-33. 4Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Ḥanbal (Muassisah al-Risālah, 1421 H), vol. 3,
h. 268. 5Ali bin Muhammad al-Qārī, Mirqāh al-Mafātīḥ Syarḥ Misykāh al-Maṣābīḥ (Bairut: Dār
al-Fikr, 2002), vol. 5, h. 1748.
58
melaksanakan ihram untuk umrah dan haji secarabersama. Sedangkan ifrād adalah
melaksanakan ihram untuk haji terlebih dahulu dan sesudah itu baru
melaksanakan ihram untuk umrah.6
B. Takhrij Hadis Kewajiban Melaksanakan Haji hanya Sekali
Pengumpulan hadis ini berdasarkan salah satu metode Maḥmūd al-Ṭaḥḥān
dalam kitabnya Uṣūl al-Takhrīj wa Dirāsah al-Asānīd. Ia menjelaskan lima
metode yang digunakan dalam takhrij7 hadis, diantaranya adalah pertama, takhrij
dengan metode mengetahui perawi hadis dari kalangan sahabat, pencarian dengan
metode ini menggunakan kitab Musnad. Kedua, metode takhrij degan mengetahui
awal lafaẓ dari matan hadis, kitab yang digunakan untuk menelusuri keberadaan
hadisnya adalah Mausū‘ah Aṭrāf al-Ḥadīts al-Nabawī al-Syarīf. Ketiga, metode
takhrij hadis dengan mengetahui kalimat gharib yang terdapat dalam hadis
tersebut, kitab yang dipakai untuk menelusuri keberadaan hadisnya adalah al-
Mu‘jam al-Mufahras li alfāẓi al-Ḥadīts al-Nabawī. Keempat, metode takhrij hadis
dengan cara mengetahui topik yang terkandung dalam hadis, kitab yang dipakai
untuk menelusuri keberadaan hadisnya adalah kitab Miftāḥ Kunūz al-Sunnah.
Kelima, metode takhrij dengan melihat keadaan hadis baik secara matan ataupun
sanad.8
Dari kelima metode takhrij yang dipaparkan oleh Mahmūd al-Ṭaḥḥan di
atas, metode yang digunakan untuk mengumpulkan hadis dalam penelitian ini
adalah metode keempat, yakni metode takhrij hadis dengan cara mengetahui topik
6 M. Saleh Putuhena, Historiografi Haji Indonesia (Yogyakarta: LKiS, 2007), h. 47. 7 Takhrij adalah suatu metode yang digunakan untuk mengetahui keberadaan sebuah hadis.
Lihat: Maẖmūd al-Ṭaḥḥān, Uṣūl al-Takhrīj wa Dirāsah al-Asānīd (Rirāḍ: Maktabah al-Ma‘ārif,
1431 H/ 2010 M) h. 7. 8 Maẖmūd al-Ṯaẖẖān, Uṣūl al-Takhrīj wa Dirāsah al-Asānīd, h. 35.
59
yang terkandung dalam hadis, kitab yang dipakai untuk menelusuri keberadaan
hadisnya adalah kitab Miftāẖ Kunūz al-Sunnah.9
Setelah merujuk kepada kitab-kitab tersebut, peneliti menemukan hadis-hadis
dengan tema kewajiban melaksanakan haji hanya sekali telah diriwatkan oleh
Muslim dalam ṣaḥīḥ-nya, Abū Dāwud, Al-Nasā’ī, Ibn Mājah dalam sunan-nya,
Ahmad bin Hanbal dalam musnad, al-Dārimī dalam sunan, al-Ḥākim dalam
mustadrak ‘ala al-Ṣaḥīhaini, al-Baihaqī dalam al-Sunan a-Kubrā, al-Dāruquṭnī
dalam sunan, al-Fākihī dalam Akhbāru Makkah, Ibn Abī Syaibah dalam muṣannaf
dan Abū Dāwud al-Ṭayālisī dalam musnad. Berikut adalah hadis-hadis yang
diriwayatkan dalam kitab-kitab tersebut:
Diceritakan dari Abū Hurairah Ra, berkata: Rasulullah Saw berkhatbah
kepada kami, beliau bersabda: Wahai manusia telah diwajibkan atas
kalian untuk berhaj, maka berhajilah kalian.. Kemudian seorang lelaki
berkata: Apakah setiap tahun wahai Rasulullah? Maka Rasulullah Saw
diamhingga ia mengulangi pertanyaannya tiga kali. Maka Rasulullah Saw
bersabda: Kalau saja saya katakana “iya” maka hal itu akan wajib atas
kalian, dan kalian tidak akan mampu. Kemudian beliau Saw bersabda:
Ambillah apa yang aku tinggalkan untuk kalian, karena sungguh telah
celaka umat sebelum kalian karena banyak bertanya dan menyimpang
9 Dalam menelusuri hadis-hadis tersebut, peneliti mengacu pada kata Kemudian
dalam Miftāẖ Kunūz al-Sunnah ditemukan kata kunci .
Selanjutnya peneliti merujuk pada kitab-kitab hadis. 10Hadis no. 3321, Bāb Farḍ al-Ḥajj Marrah fī al-‘Umr. Lihat: Muslim, Ṣaḥīḥ Muslim
(Beirut: Dār al-Jail), vol. 4, h. 102.
60
atas Nabi-nabi yang utus kepada mereka. Oleh karena itu apabila aku
memerintahkan sesuatu maka kerjakanlah semampu kalian, dan apabila
aku melarang untuk melakukan sesuatu maka tinggalkanlah. (HR.
Muslim).
Diceritakan dari Ibn ‘Abbās bahwa al-Aqra‘ bin Ḥābis bertanya kepada
Nabi Saw. Ia berkata: Wahai Rasulullah, apakah haji wajib pada setiap
tahun atau hanya sekali? Beliau Saw. bersabda “Satu kali, seiapa yang
menambah (lebih dari sekali)hal tersebut adalah sunnah.”(HR. Abū
Dāwud).
Diceritakan dari Ibn ‘Abbās bahwa Rasulullah Saw berdiri (di atas
mimbar), maka beliau bersabda: Sesungguhnya Allah Swt telah
mewajibkan atas kalian untuk berhaji. Kemudian al-Aqra‘ bin Ḥābis al-
Taimī berkata: Setiap tahun wahai Rasulullah? Maka Rasulullah Saw
diam, kemudian bersabda: kalau saja saya menjawab “iya” maka hal itu
menjadi wajib. Dan kaliau tidak akan (mampu) mendengarkan dan
mentaati, akan tetapi haji itu hanya sekali. (HR. al-Nasā’ī).
Diceritakan dari Ibn ‘Abbās bahwa al-Aqra‘ bin Ḥābis bertanya kepada
Nabi Saw. Ia berkata: Wahai Rasulullah, apakah haji wajib pada setiap
tahun atau hanya sekali? Beliau Saw. Bersabda: “Satu kali, seiapa yang
menambah (lebih dari sekali)hal tersebut adalah sunnah.” (HR. Ibn
Mājah).
11Hadis no. 1721, Bāb Farḍ al-Ḥajj.Lihat: Abū dāwud, Sunan Abī Dāwud (Riyad: Dār al-
Salām, 1999), h. 254. 12Hadis no.2620, Bāb Wujūb al-Ḥajj.Lihat: Abū Abdirrahman al-Nasā’ī, Sunan al-Nasā’ī
(Halb: Maktab al-Maṭbū‘at, 1406 H), vol. 5, h. 111. 13Hadis no. 2886, Bāb Farḍ al-Ḥajj.Lihat: Ibn Mājah, Sunan Ibn Mājah (Dār Ihya al-
Kutub al-‘Arabiyah), vol. 2, h. 963.
61
Diceritakan dari Ibn ‘Abbās, berkata: Rasulullah Saw berkhutbah kepada
kami maka beliau Saw bersabda:Wahai manusia telah diwajibkan atas
kalian untuk berhaji. Ibn ‘Abbās berkata: Kemudian al-Aqra‘ bin Ḥābis
berdiri dan betanya:Apakah setiap tahun wahai Rasulullah? Kemudian
Rasulullah Saw menjawab: kalau saja saya mengatakan setiap tahun
maka wajib, dan kalau diwajibkan maka kalian tidak akan
melaksanakannya dan kalian tidak mampu untuk melaksanakannya. Haji
hanya sekaliseiapa yang menambah (lebih dari sekali)hal tersebut adalah
sunnah.” (HR. Ahmad).
Diceritakan dari Ibn ‘Abbās, berkata: Rasulullah Sawbersabda: Telah
diwajibkan atas kalian untuk berhaji. Kemudian dikatakan: Wahai
Rasulullah Apakah setiap tahun?Rasulullah Saw menjawab: Tidak. Kalau
saja saya mengatakan setiap tahun maka wajib.Haji hanya sekaliseiapa
yang menambah (lebih dari sekali)hal tersebut adalah sunnah.”(HR. al-
Dārimī).
Diceritakan dari Ibn ‘Abbās bahwa al-Aqra‘ bin Ḥābis bertanya kepada
Nabi Saw. Ia berkata: Wahai Rasulullah, apakah haji wajib pada setiap
tahun atau hanya sekali? Beliau Saw. Bersabda: “Satu kali, seiapa yang
menambah (lebih dari sekali)hal tersebut adalah sunnah.”(HR.al-Ḥākim).
14 Hadis no. 2642, Bāb Musnad Abdullah bin al-‘Abbās. Lihat: Ahmad bin Hanbal,
Musnad Ahmad bin Ḥanbal (Muassisah al-Risālah, 1421 H), vol. 4, h. 392. 15Hadis no. 1829, Bāb Kaifa Wujūb al-Ḥajj.Lihat: Abu Muhammad Abdullah al-Dārimī,
Musnad al-Dārimī (Dār al-Mughnī, 1412 H), vol. 2, h. 1124. 16Hadis no. 1609, Bāb Awwalu Kitāb al-Manāsik.Lihat: Abū Abdillah al-Ḥākim, al-
Mustadrak ‘alā al-Ṣaḥīḥain (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1411 H – 1990 M), vol. 1, h. 608.
62
Diceritakan dari Ibn ‘Abbās, berkata: Rasulullah Saw berkhutbah kepada
kami maka beliau Saw bersabda:Wahai manusia, sesungguhnya Allah
telah mewajibkan atas kalian untuk berhaji. Kemudian al-Aqra‘ bin Ḥābis
berdiri dan betanya:Apakah setiap tahun wahai Rasulullah? Kemudian
Rasulullah Saw menjawab: kalau saja saya mengatakan setiap tahun
maka wajib, dan kalau diwajibkan maka kalian tidak akan
melaksanakannya dan kalian tidak mampu untuk melaksanakannya. Haji
hanya sekaliseiapa yang menambah (lebih dari sekali)hal tersebut adalah
sunnah.”(HR. al-Baihaqī).
Diceritakan dari Ibn ‘Abbās bahwa al-Aqra‘ bin Ḥābis bertanya kepada
Rasulullah Saw. Ia berkata: Apakah haji wajib pada setiap tahun? Beliau
Saw. Menjawab: “Tidak. Akan tetapi satu kali, dan seiapa yang
melaksanakn haji setelah itu maka hal tersebut adalah sunnah.Kalau saja
saya menjawab “iya” maka hal itu menjadi wajib. Dan jika diwajibkan
kaliau tidak akan (mampu) mendengarkan dan mentaati” (HR. al-
Dāruquṭnī).
17Hadis no. 8617, Bāb Wujūb al-Hajj Marrah Wāḥidah.Lihat: Ahamd bin al-Ḥusain Abū
Bakr al-Baihaqī, Al-Sunan al-kubrā (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1424 H – 2003 M), vol. 4,
h. 534. 18Hadis no. 2697, Bāb al-Mawāqīt.Lihat: Abū al-Ḥasan al-Dāruquṭnī, Sunan al-Dāruquṭnī
(Beirut: Muassisah al-Risālah, 1424 H-2004 M), vol. 3, h. 335.
63
Diceritakan dari Abū Hurairah Ra, berkata: Nabi Saw bersabda: Wahai
manusia telah diwajibkan atas kalian untuk berjahi. Kemudian seorang
lelaki berdiri dan berkata: Apakah setiap tahun wahai Rasulullah? Maka
Rasulullah Saw berpaling darinya. Kemudian ia mengulangi
pertanyaannya. Maka Nabi Saw bersabda: Demi Dzat yang jiwaku berada
di tangan-Nya, kalau saja saya katakana “iya” maka hal itu akan wajib
atas kalian, jika diwajibkan maka kalian tidak akan mentaatinya, dan
kalau kalian meninggalkannya maka kalian akan kafir. Kemudian Allah
menurunkan ayat: Wahai orang yang beriman janganlah kamu
menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu
akan menyusahkan kamu. [QS. Al-Māidah 5:101]. Kemudian beliau Saw
bersabda: Haji wajib hanya sekali. (HR. al-Fākihī).
Diceritakan dari Ibn ‘Abbās bahwa al-Aqra‘ bin Ḥābis bertanya kepada
Nabi Saw. Ia berkata: Wahai Rasulullah, apakah haji wajib pada setiap
tahun atau hanya sekali? Beliau Saw. bersabda “Tidak. Akan tetapi satu
kali, seiapa yang menambah (lebih dari sekali)hal tersebut adalah
sunnah.”(HR. Ibn Abī Syaibah).
Diceritakan dari Ibn ‘Abbās bahwa seorang lelaki berkata: Wahai
Rasulullah apakah haji wajib pada setiap tahun? Rasulullah Saw
menjawab: Tidak. Akan tetapi haji sekali. Kalau saya katakana setiap
tahun, maka haji akan wajib setiap tahun. (HR. Abū Dāwud al-Ṭayālisī).
19Hadis no. 774, Bāb Dzikr Farḍ Ḥajj al-Bait al-Ḥarām ‘alā al-Nās. Lihat: Abu Abdillah
al-Fākihī, Akhbāru Makkah fī Qadīm al-Dahr wa Ḥadītsuhu (Beirut: Dār Khiḍr, 1414 H), h. 369. 20Hadis no. 15674, Bāb Man Qāla: Innamā Hiya Ḥajjah Wāḥidah. Lihat: Abū Bakr bin
Abī Syaibah, al-Muṣannnaf fī al-Aḥādīts wa al-Atsār (Riyad: Maktabah al-Rusyd, 1409 H), vol. 3,
h. 430. 21Hadis no. 2791, Bāb ‘Ikrimah Maulā Ibn ‘Abbās. Lihat: Sulaimān bin Dāwud al-
Ṭayālisī, Musnad Abī Dāwud al-Ṭayālisī (Mesir: Dār Hijr, 1419 H), vol 4, h. 393.
64
Secara kualitas hadis ini ṣaḥīḥ, hal ini sebagaimana dikatakan oleh al-
Ḥākim: hadis ini ṣaḥīḥ menurut syarat al-Buhārī dan Muslim. Al-Bukhārī dan
Muslim tidak beriwayatkan hadis ini, mereka tidak meriwayatkan hadis dari
Sufyān bin Ḥusain. Sufyān Ḥusain adalah perawi yang tsiqah.22 Syu’ib al-Arnūṭ
juga mengomentari hadis ini sebagai hadis ṣaḥīḥ dalam periwayatan Ahmad ibn
Ḥanbal.23
Yang dimaksud al-Ḥakim al-Bukhārī dan Muslim tidak beriwayatkan
hadis ini adalah hadis dengan redaksi:
Hadis dengan tema ini diriwayatkan oleh Muslim dalam ṣaḥīḥnya,
sebagaimana telah dicantumkan hadisnya di awal sub bab ini. Ulama sepakat
bahwa Ṣaḥīḥ Muslim adalah kitab hadis yang paling ṣaḥīḥ setelah Ṣaḥīḥ al-
Bukhārī, 24 oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa hadis tentang kewajiban
melaksanakan haji sekali seumur hidup adalah hadis ṣaḥīḥ.
C. Pemahaman Hadis Kewajiban Melaksanakan Haji
Dalam beberapa kitab syarḥ al-Hadīts yang peneliti kaji tidak ditemukan
penjelasan lebih lanjut berkenaan dengan haji yang hukumnya taṭawwu‘ atau haji
yang kedua ketiga dan selanjutnya. Namun untuk mengkaji lebih dalam perlu
kiranya mengaitkannya dengan hadis-hadis yang menjelaskan keutamaan
melaksanakan haji.
22 Abū Abdillah al-Ḥākim, al-Mustadrak ‘alā al-Ṣaḥīḥain (Beirut: Dār al-Kutub al-
‘Ilmiyah, 1411 H – 1990 M), vol. 1, h. 608. 23Ahmad bin Ḥanbal, Musnad Ahmad bi aḥkāmi al-Arnūṭ (al-Maktabah Syamilah), vol. 3,
h. 83. 24Jalāluddin al-Suyūṭī, Tadrīb al-Rāwī (Kairo: Dār al-Ḥadīts, 2010 M), h. 21.
65
Diceritakan dari Abū Hurairah ra berkata: Rasulullah Saw bersabda:
Tidak ada balasan bagi haji mabrūr kecuali surga.Dan dari satu umrah ke
umrah yang lainnya menjadi penghapus dosa di antara keduanya.(HR.
Ahmad).
Surga adalah balasan bagi orang yang telah melaksanakan haji mabrūr.
Maksud dari haji mabrūr adalah haji yang maqbūl atau diterima, ada juga yang
berpendapat bahwa yang dimaksud mabrur adalah melaksanakan haji seperti
tuntunan Nabi Saw dan tidak tercampur dosa di dalamnya, pendapat kedua ini
kemudian diunggulkan oleh al-Nawawī.26Ali Mustafa Yaqub menyebutkan ada
beberapa syarat yang harus dipenuhi sebagai upaya untuk mendapatkan haji
mabrūr. Petama, uang yang digunakan untuk biaya melaksanakan haji benar-
benaruang halal, bukan uang haram. Kedua, motivasi dalam menjalankan ibadah
haji tersebut hanyalah semata-mata karena memenuhi perintah Allah, tidak untuk
hal-hal lain, misalnya, ingin disebut Pak Haji atau Bu Haji dan sebagainya.
Ketiga, menjalankan manasik sesuai dengan tuntunan Rasulullah Saw serta
memelihara etika haji.27
Surga yang dianjikan kepada seseorang yang melaksanakan haji yang
mabrūr hanya surga biasa, tidak ada kejelasan surga kelas berapa. Namun
demikian, minat orang untuk melaksanakan haji sungguh luar biasa. Sementara
25Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal (Muassisah al-Risālah, 1999 M), vol.
12 h. 309. hadis yng senada dengan ini juga diriwayatkan oleh Muslim dalam Ṣahih-nya, lihat:
Muslim bin al-Hajjāj, Ṣaḥīḥ Muslim (Riyad: Dār al-Salām, 1998), h. 569. 26 Ibnu Abd al-Rahīm al-Mubārakfurī, Tuhfah al-Ahwadzī bi syarh Jāmi‘ al-Tirmidzī
(Kairo: D al-Hadīts, 2001 M), vol. 3, h. 242. 27 Ali Mustafa Yaqub, Mewaspadai Provokator Haji (Jakarta: Pustaka Firdaus 2009), h.
14-16.
66
ada surga yang super eksekutif, yang tampaknya kurang diminati kaum muslimin.
Yaitu surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang mau menanggung anak
yatim.28 Dalam suatu hadis disebutkan:
Diceritakan dari Sahl Rasulullah Saw bersabda: Saya di surga bersama
orang yang menyantuni anak yatim seperti dua jari ini. Beliau
mengisyaratkannya dengan jari telunjuk dan jari tengah (HR. Al-
Bukhārī).
Maksudya selalu berdampingan dan tidak dapat dipisahkan seperti dua
buah jari tangan. Dan tentunya surga yang didiami oleh Nabi Saw adalah surga
super eksekutif. Namun, kenyataannya, banyak manusia yang mengejar surga
yang biasa saja. Sementara mereka tidak memperhatikan surga yang eksekutif
ini.30 Yang dimaksud dengan menyantuni anak yatim disini adalah menggantikan
posisi orang tua dari anak yatim tersebut untuk memenuhi kebutuhannya.31
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa melaksanakan haji sunnah
sekalipun balasannya surga, namun tidak dijanjikan akan bersama Nabi Saw di
surga itu. Berbeda halnya dengan orang yang menyantuni anak yatim yang
dijanjikan akan bersama dengan Rasulullah Saw di surga. Melihat dari balasan
yang dijanjikan kepada keduanya dapat ditarik kesimpulan bahwa menyantuni
28 Ali Mustafa Yaqub, Mewaspadai Provokator Haji, h. 20. 29 Muhammad bin Ismāil al-Bukhārī, Ṣahih al-Bukhārī (Dār Ṭūq al-Najāh, 1422 H), vol.
7, h. 53. Diriwayatan juga oleh Abū Dāwud, lihat: Abū Dāwud, Sunan Abū Dāwud (Beirut: Dār al-
Kitāb al-‘Arabī), vol. 4, h. 503. 30 Ali Mustafa Yaqub, Mewaspadai Provokator Haji, h. 20. 31 Ibnu Hajar al-‘Asqalānī, fath al-Bārī bi Syarh Ṣahīh al-Bukhārī, vol 17, h. 142.
67
anak yatim lebih baik dan lebih utama dari pada melaksanakan haji sunnah atau
haji yang kedua, ketiga dan seterusnya.
a. Majāz dalam Hadis
Sebelum masuk pada metode-metode memahami hadis yang lain, metode
pertama yang tawarkan oleh Ali Mustafa Yaqub adalah melihat hadis dari segi
kebahasaan, yaitu dengan melihat apakah hadis tersebut harus dimaknai secara
haqiqī atau majāzī. Hadis yang sedang dicoba untuk dipahami saat ini adalah
hadis yang menjelaskan tentang kebawajiban berhaji hanya sekali sedangkan yang
kedua dan setelahnya adalah sunnah:
Diceritakan dari Ibn ‘Abbās, berkata: Rasulullah Saw berkhutbah kepada
kami maka beliau Saw bersabda:Wahai manusia telah diwajibkan atas
kalian untuk berhaji. Ibn ‘Abbās berkata: Kemudian al-Aqra‘ bin Ḥābis
berdiri dan betanya:Apakah setiap tahun wahai Rasulullah? Kemudian
Rasulullah Saw menjawab: kalau saja saya mengatakan setiap tahun
maka wajib, dan kalau diwajibkan maka kalian tidak akan
melaksanakannya dan kalian tidak mampu untuk melaksanakannya. Haji
hanya sekaliseiapa yang menambah (lebih dari sekali) hal tersebut adalah
sunnah.” (HR. Ahmad).
32 Hadis no. 2642, Bāb Musnad Abdullah bin al-‘Abbās. Lihat: Ahmad bin Hanbal,
Musnad Ahmad bin Ḥanbal (Muassisah al-Risālah, 1421 H), vol. 4, h. 392.
68
Hadis tersebut termasuk pada hadis yang harus dipahami dan dimaknai
secara haqiqī bukan majāzī. Hal ini karena tidak ada qarīnah atau indikasi yang
menunjukkan hadis tersebut harus dipahami secara majāzī. Sehingga maksud dari
hadis tersebut adalah sesuai dengan makna hadis itu sendiri. Sebagaimana telah
dikumpulkan berbagai riwayat yang serupa dengan hadis ini, tidak ada satupun
dari riwayat-riwayat tersebut yang menjelaskan makna sebaliknya atau makna lain
dari hadis tersebut. Abū Ṭayyib Ābādī dalam kitabnya ‘aun al-Ma‘būd saat
menjelaskan hadis ini menyebutkan bahwa hadis ini mejadi dalil bagi seorang
muslim yang telah melaksanakan haji kemudian ia murtad, maka ia tidak perlu
melaksanakan haji lagi ketika ia telah kembali masuk islam. Abū Ṭayyib Ābādī
juga mengutip perkataan Al-Khaṭṭābi (w. 388 H) saat menjelaskan hadis ini, al-
Khaṭṭābī berkata bahwa kewajiban berhaji hanya sekali sudah menjadi ijma’
ulama dan tidak ada persilisihan di dalamnya, hanya saja pendapat tersebut tidak
berdasarkan hadis ini, hal ini karena masih ada sahabat yang menanyakan pelihal
apakah haji itu sekali seumur hidup atau berulang setiap tahunnya sebagaimana
telah digambarkan dalam hadis tersebut.33
Ibnu Hajar al-‘Asqalānī (w. 852 H) dalam kitabnya Fatḥ al-Bāri
menyebutkan terdapat perbedaan pendapat berkenaan dengan kapan
diwajibkannya haji petama kali. Pendapat yang petama mengatakan haji
diwjibkan sebelum hijrah, namun pendapat ini syādz. Pendapat kedua
menyebutkan bahwa haji diwajibkan setelah hijrah. Pendapat kedua ini masih
terdapat perbedaan lagi terkait tahun ditetapkannya kewajiban berhaji. Menurut
jumhur ulama, haji diwajibkan pada tahun ke-6 H. Hal ini berdasarkan ayat:
33 Abū Al-Ṭayyib Muhammad Syamsul Haq Ābādī, ‘Aud al-Ma‘būd syarh Sunan Abī
Dawūd (Kairo: Dār al-Ḥadīts, 2001), vol. 3, h. 414.
69
Maksud menyempurnakan disini adalah permulaan pelaksanaan farḍu. Pendapat
ini dikuatkan dengan qirā’ah ‘Alqamah, Masūq dan Ibrahīm al-Nakha‘ī yang
membacanya dengan bukan sebagaimana diriwayatkan oleh al-
Ṭabrānī (w. 360 H) dengan sanad ṣahīh. Ada juga yang berpendapat bahwa
maksud dari itmām tersebut adalah menyempurnakan pelaksanaan setelah
sebelumnya sudah diwajibkan melaksanakan haji. Hal ini memberi pemahaman
bahwa kewajiban melaksanakan haji telah disyari‘atkan sebelum tahun ke-6 H.
Al-Wāqidī (w. 207 H) menyebutkan bahwa haji diwajibkan pada tahun ke-5 H.34
Al-‘Ainī (w. 855 H) dalam kitabnya ‘Umdah al-Qārī menyebutkan bahwa
dalam sebagian naskah kitab ṣahih al-Bukhārī menyebutkan:
Penyebutan ayat ini menunjukkan bahwa perintah diwajibkannya haji ditetapkan
berdasarkan ayat tersebut. Namun ada juga yang berpendapat bahwa perintah
diwajibkannya haji berdasarkan al-Qur’ān Surah al-Baqarah ayat 196.36
Secara tegas disebutkan dalam hadis tersebut bahwa haji hanya diwajibkan
sekali seumur hidup. Ungkapan sahabat al-Aqra‘ apakah haji wajib setiap tahun,
34Ibnu Hajar al-‘Asqalānī, fath al-Bārī bi Syarh Ṣahīh al-Bukhārī (Kairo: Dār al-Hadīts,
1998 H), vol. 3, h. 428. Lihat juga: Abī al-Ṭayyib Muhammad Syamsul Haq Ābādī, ‘Aun al-
Ma‘būd Syarh Sunan Abī Dāwud (Kairo: Dār al-Hadīts, 2001 M), vol. 3, h. 413. 35Al-Qur’ān surah al-Baqarah ayat 97. 36 Badruddin al-‘Ainī, ‘Umdah al-Qārī Syarh Ṣahīh al-Bukhārī (al-Maktabah al-
Syamilah), vol. 10, h. 373.
70
hal ini mengacu pada ibadah yang lain seperti puasa dan zakat, dimana keduanya
diwajibkan setiap tahun. Dilihat dari subtansinya ibadah puasa termasuk ibadah
yang bersifat badanī, adapun zakat termasuk ibadah yang bersifat materi. Haji
merupakan gabungan dari keduanya. Haji adalah ibadah yang bersifat badanī
sekaligus materi.37
Ugkapan Nabi Saw menjadi landasan bahwa Nabi Saw
diberi wewenang oleh Allah Swt untuk menetapkan sebuah hukum atau syariat.38
Adapun ungkapan Nabi Saw dalam hadis tersebut mengandung arti
bahwa apabila haji diwajibkan setiap tahun maka akan memberikan masyaqqah
yang besar kepada manusia.39
Selanjutnya adalah kalimat ini menunjukkan bahwa haji
hanya wajib sekali seumur hidup, dan haji berikutnya adalah sunnah.40 Taṭawwu‘
adalah maṣdar dari fi‘il taṭawwa‘a yataṭawwa‘u fi‘il mazīd berwazan
(tafa‘ala) dari fi‘il mujarrad ṭā‘a yang artinya tunduk, patuh atau taat. Dalam
Mu‘jam al-Waṣīṭ, taṭawwa‘a memiliki beberapa arti yaitu: lāna yakni lembut atau
lunak, takallafa al-ṭā‘ah yakni mengerjakan sebuah ketaatan, dan tanaffala yakni
melaksanakan ibadah karena ketaatan dan kemauan dirinya bukan karena
37Abī al-Ṭayyib Muhammad Syamsul Haq Ābādī, ‘Aun al-Ma‘būd Syarh Sunan Abī
Dāwud, vol. 3, h. 414. 38Muhammad bin ‘Ali al-Syaukānī, Nail al-Awṭār (Mesir: Dār al-Ḥadīts, 1993 M- 1413
H), vol. 4, h. 331. 39 Abdullah bin Ṣāliḥ al-Fauzān, Minḥah al-‘Allām syarh Bulūgh al-Marām (al-Maktabah
al-Syamilah), vol. 1, h. 145. 40 Abdullah bin Ṣāliḥ al-Fauzān, Minḥah al-‘Allām syarh Bulūgh al-Marām, vol. 1, h.
145.
71
kewajiban yang telah Allah farḍukan.41 Di dalam al-Qur‘ān kata taṭawwa‘ā
disebut dua kali yaitu pada ayat haji42 dan ayat puasa.43 Dari kedua ayat tersebut
menunjukkan bahwa kata taṭawwa‘a berarti sesuatu yang sangat dianjurkan.
Namun dalam hadis yang berkenaan dengan haji berulang kata taṭawwa‘ā akan
dipahami dengan berbagai pendekatan, seperti pendekatan sosial. Sehingga makna
taṭawwa‘a yang terdapat dalam hadis bisa saja bergeser dan tidak memiliki makna
sangat dianjurkan. Inilah kemudian yang disebut dengan pemahaman kontekstual.
b. ‘Illat dalam Hadis
Sebagaimana disebutkan dalam bab sebelumnya terdapat dua bentuk ‘illat,
yaitu ‘illat yang tercantum dalam dalam teks atau ‘illat eksplisit (al-‘Illah al-
Manṣūṣah) dan ‘illat yang yang ditetapkan melalui ijtihad atau ‘illat implisit (al-
‘illah al-Mustambaṭah). Berikut hadis yang akan dipahami dengan melihat ‘illat
yang terdapat dalam hadis:
41 Syaqī Ḍaif dkk, Al-Mu‘jam al-Wasīt (Jedah: Maktabah Kunūz al-Ma‘rifah, 1432 H/
2011 M) h. 590.
Al-Baqarah ayat 158, Allah Swt berfirman:
Ayat ini menjelaskan tentang sa ‘ī, ayat ini mengisyaratkan bahwa sa‘ī adalah sunnah.
Abu hanīfah berpendapat bahwa sa‘ī adalah wajib tetapi bukanlah rukun haji, dan bagi orang yang
meninggalkannya dam. Sedangkan menurut Malik dan al-Syāfi‘ī sa‘ī adalah rukun haji, sehingga
apabila tidak melaksanakan sa‘ī maka hajinya tidak sah. Hal ini berdasarkan hadis:
Lihat: Abū al-Qāsim al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf (Mauqi‘ al-Tafāsīr), vol. 1, h. 147 43 Al-Baqarah ayat 184, Allah Swt berfirman:
72
Dalam hadis tersebut tidak disebutkan ‘illat diwajibkannya melaksanakan
haji. ‘Illah yang disebutkan dalam hadis tersebut adalah ‘illat mengapa haji hanya
diwajibkan sekali seumur hidup. ‘Illat tersebut terletak pada kalimat:
Kalau diwajibkan maka kalian tidak akan melaksanakannya dan kalian
tidak mampu untuk melaksanakannya.
Artinya bahwa apabila haji diwajibkan setiap tahun maka akan memberikan
masyaqqah yang besar kepada manusia, apabila kesulitan ini sudah pasti akan
dirasakan pada masa Rasulullah Saw, bagaimana dengan masa sekarang? Maka
akan menimbulkan Masyaqqah yang lebih berat lagi. Akan tetapi karena
kemurahan dan rahmat Allah Swt kepada hambanya, haji hanya diwajibkan sekali
seumur hidup.45 Allah Swt berfirman:
Allah menginginkan kemudahan bagimu sekalian dan tidaklah Allah
menginginkan kesulitan bagimu sekalian. (Al-Baqarah [2:185]).
Dalam menetapkan syari’at Allah Swt sangat memperhatikan kemampuan
hamba-Nya. Allah tidak akan membebani hambanya melebihi kemampuan
44 Hadis no. 2642, Bāb Musnad Abdullah bin al-‘Abbās. Lihat: Ahmad bin Hanbal,
Musnad Ahmad bin Ḥanbal (Muassisah al-Risālah, 1421 H), vol. 4, h. 392. 45Abdullah bin Ṣāliḥ al-Fauzān, Minḥah al-‘Allām syarh Bulūgh al-Marām (al-Maktabah
al-Syamilah), vol. 1, h. 145.
73
hamba-Nya. Sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’ān surah al-Baqarah ayat
286.46 Sebagian ulama’ uṣūl berkata:
Aṣal dalam kemudaratan adalah haram, karena kemudaratan tidak boleh
disyari‘atkan secara ijma‘.
Sesuatu yang telah disyari‘atkan sudah tentu mengandung kemudahan di
dalamnya, dan tidak akan menyimpan kemasyaqqahan dan kemudaratan. Karena
tujuan dari disyari’atkannya hukum-hukum Islam adalah untuk kemaslahatan
umat Islam. Hal ini sebagaimana firman Allah Swt dalam surah al-Ḥajj ayat 78:
Dan Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untukmu dalam agama suatu
kesempitan. (QS. Al-Ḥajj [22:78]).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam di syari‘atkannya suatu
ibadah pada umumnya tidak akan ada unsur kemasyaqqahan dan kemuaratan,
begitu pula dalam disyari‘atkannya ibadah haji. Sehingga ibadah haji hanya
diwajibkan sekali seumur hidup. Hal ini sebagaimana digambarkan dalam hadis
tersebut. Pada kasus berikutnya apabila pelaksanaan haji berulang yang
merupakan sunnah mengandung kemadaratan untuk dirinya atau orang lain maka
haji berulang tidak dianjurkan untuk dilaksanakan.
c. Sabab Wurūd al-Ḥadīts
Tidaklah Allah membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya. (QS. Al-
Baqarah [2:268]). 47 Al-Ḥasan bin Muhammad al-Naisābūrī, Gharāib al-Qur’ān wa Raghāib al-Furqān
(Beirut: Dār al-Kuub al-‘Ilmiyah, 1416 H), vol. 4, h. 274.
74
Ketika mencoba memahami suatu hadis, tidak cukup hanya melihat teks
hadsnya saja, khususnya ketika hadis itu mempunyai sabab al-wurūd, melainkan
harus melihat konteksnya. Dengan kata lain, ketika ingin mengetahui ata menggali
pesan moral dari suatu hadis, perlu memperhatikan konteks historisnya, kepada
siapa hadis itu disampaikan oleh Nabi Saw. Dalam kondisi sosio-kultural yang
bagaimana Nabi Saw waktu menyampaikannya. Tanpa memperhatikan konteks
historisnya, seseorang akan mengalami kesulitan dalam menangkap dan
memahami makna suatu hadis, dan bahkan dapat membawa ke dalam pemahaman
yang keliru.48
Asbāb al-wurūd digunakan untuk mengetahui hadis yang bermuatan
norma hukum, khususnya hukum sosial. Sebab, hukum dapat berubah karena
perubahan atau perbedaan sebab, situasi dan ‘illat. Asbāb al-wurūd tidak
dibutuhkan untuk memahami hadis yang bermuatan informasi alam gaib atau
akidah karena masalah ini tidak terpengaruh oleh situasi apapun. Asbāb al-wurūd
hadis sering kali dimuat dalam hadis itu sendiri ketika periwayat menuturkan
sebuah peristiwa secara utuh. Terkadang, periwayat hanya mengutip potongan
hadis tertentu untuk dijadikan dalil dalam kasus tertentu pula.49
Dalam periwayat hadis, sebuah matan diriwayatkan oleh perawi secara
berulang-ulang karena diriwayatkan melalui beberapa jalur. Semakin banyak jalur
(terutama sejak generasi sahabat) maka semakin terlihat bahwa materi hadis itu
populer. Salah satu jalur dicantumkan sabab al-wurūd-nya (kalau memang ada),
sementara jalur lain tidak disebutkan. Di sini perlu diketahui bahwa tidak semua
48 Said Agil Husin Munawwar dan Abdul Mustaqim, Asbabul Wurud; Studi Kritis Hadis
Nabi Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual (Yogyakarta: Pusat Pelajar, 2001), h. 5. 49 Muh. Zuhri, Telaah Matan Hadis Sebuah Tawaran Metodologi (Yogyakarta: PT Tiara
Wacana, 2002), h. 62.
75
hadis dapat ditemukan sabab al-wurūd-nya, seperti halnya ayat al-Qur’ān tidak
semuanya mempunyai sabab al-nuzūl. Teori sabab al-wurūd perlu dikembangkan
dalam rangka mengetahui konteks sosial budaya, ketika hadis itu muncul.50
Menurut al-Suyūṭī (w. 911 H), untuk mengetahui asbāb al-wurūd dapat
dikategorikan menjadi tiga macam yaitu:
Pertama, sebab yang berupa ayat al-Qur’ān. Maksudnya adalah ayat al-
Qur’ān itu menjadi penyebab Nabi Saw mengeluarkan sabdanya. Misalnya, hadis
disabdakan karena turunnya ayat yang memiliki bntuk umum, namun, yang
dikehendaki oleh ayat itu adalah makna khusus.51 Contohnya, yang terdapat dalam
firmn Allah Swt QS al-An‘ām: 82, yang berbunyi:
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka
dengan keẓaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat
keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk”
(QS. Al-An‘ām: [6:82]).
Ketika itu sebagian sahabat Rasulullah Saw memahami ayat ini dengan
menganggap bahwasanya yang dimaksud dengan kata “al-ẓulm” adalah “al-jaur”
yang berarti berbuat aniaya atau melanggar batas ajaran agama. Lantaran itulah
maka mereka lalu mengadu kepada Nabi Muhammad Saw, kemudian beliau
memberikan penjelasan bahwa yang dimaksud al-ẓulm dalam firman Allah
tersebut adalah “al-syirk” yakni menyekutukan Allah.52 Kemudian di perjelas lagi
dengan surah al-Luqmān yang berbunyi:
50 Muh. Zuhri, Telaah Matan Hadis Sebuah Tawaran Metodologi, h. 63. 51 Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī, Asbāb Wurūd al-Ḥadīts; al-Luma‘ fī Asbāb al-Ḥadīts (Beirut:
Dār al-Maktabah al-‘Ilmiyah, 1401 H/ 1984 M), h. 16. 52 Said Agil Husin Munawwar dan Abdul Mustaqim, Asbabul Wurud, h. 10.
76
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia
memberi pelajaran kepadanya: hai anakku, janganlah kamu
mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah
benar-benar keẓaliman yang besar.” (QS. Luqmān: [31:13]).
Dijelaskan juga dalam sebuah hadis riwayat al-Bukhārī dalam Ṣaḥīḥ-nya
bāb man intaẓara ḥattā tudfan:
Diceritakan dari Abdullah ra, ia berkata: ketika turun ayat yang berbunyi
“orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan keimanannya
dengan aniaya (keẓaliman)” Sahabat Nabi Saw berkata: siapakah di
antara kami yang tidak mencampuradukkan keimanannya dengan aniaya?
Maka diturunkan ayat: “Sesungguhnya mempersekutukan Allah itu aniaya
yang besar.” (HR. Al-Bukhārī).
Kedua, sabab al-wurūd yang berupa hadis. Maksudnya adalah ketika
terdapat suatu hadis, namun sebagian sahabat merasa kesulitan memahaminya,
maka kemudian muncul hadis lain yang memberikan penjelasan terhadap hadis
tersebut.54
Ketiga, sabab al-wurūd yang berupa perkara yang berkaitan dengan para
pendengar di kalangan sahabat. Hal ini dapat ditemukan dalam persoalan yang
berkaitan dengan sahabat syuraid bin Suwaid al-Tsaqafī. Pada peristiwa fath
Makkah al-Tsaqafī datang kepada Nabi Muhammad Saw seraya berkata: “Saya
bernazar manakala Allah memberikan keberhasilan kepada tuan dalam
membebaskan kota Makkah, saya akan salat di Bait al-Maqdis.” Mendengar
53 Muhammad bin Ismāil al-Bukhārī, Ṣahih al-Bukhārī, h. 163. 54 Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī, Asbāb Wurūd al-Ḥadīts, h. 18.
77
pernyataan sahabat tersebut, lalu Rasulullah Saw bersabda: “Salat di sini, yakni
Masjid al-Ḥarām itu lebih utama.” Kemudian beliau mengatakan: Demi Dzat yang
jiwaku berada dalam kekuasaan-Nya, seandainya kamu salat di sini (masjid al-
Ḥarām Makkah), maka sedah mencukupi bagimu untuk memenuhu nazarmu.”55
Berkenaan dengan sabab al-wurūd dari hadis diwajibkannya berhaji,
diceritakan bahwa ketika turun QS Ali ‘Imrān ayat 97, 56 Rasulullah Saw
mengumpulkan seluruh pemeluk agama, kemudian Nabi Saw berkhutbah kepada
mereka, beliau Saw bersabda: Allah Swt telah mewajibkan kepada kalian untuk
berhaji, maka hendaklah kalian berhaji. Mendegar khutbah Nabi Saw berimanlah
orang-orang Islam, sedang pemeluk agama yang lain enggan untuk beriman,
mereka berkata: Kami tidak akan beriman pada ka’bah, kami tidak akan bershalat
ataupun berhaji padanya. Kemudian turun kelanjutan ayat tersebut.57
Diceritakan ketika diturunkan ayat kewajiban berhaji, salah seorang
sahabat bertanya kepada Rasulullah Saw apakah kewajiban berhaji tersebut
berlaku setiap tahunnya, pertanyaan tersebut diulang sampai tiga kali, Rasulullah
Saw diam, kemudia ia bersabda: Kalau saya menjawab iya maka haji setiap tahun
akan menjadi wajib, apabila itu diwajibkan maka kalian harus melaksanakannya,
55 Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī, Asbāb Wurūd al-Ḥadīts, h. 19.
56
Perintah Allah Swt dalam QS Ali ‘Imrān ayat 97 ini bersifat umum, artinya perintah
tersebut tidak terkhusus pada orang Islam saja, akan tetapi teruntuk selain orang Islam juga.Orang
yang sedang berhadats dibebankan kewajiban shalat meskipun wudu’ adalah syarat sahnya
shalat.Oleh karena itu tidak adanya syarat tidak berarti gugurnya kewajiban seorang atas sesuatu
yang disyarati. Lihat: Abū Abdillah Fakhruddin Al-Rāzī, Mafātīḥ al-Ghaib; al-Tafsīr al-Kabīr
(Beirut: Dār Iḥya al-TurātsArabī, 1420 H), vol. 8, h. 304. 57 Abū al-Qāsim Al-Zamakhsyarī, Al-Kasysyāf ‘an Ḥaqāiq Ghawāmiḍ al-Tanzīl (Beirut:
Dār al-Kitāb al-‘Arabī, 1407 H), vol. 1 h. 391. Penganut agama yang dikumpulkan oleh Rasulullah
Saw adalah: Muslim, Nasranī, Yahudī, Ṣābi’in, Majusī dan Musyrikin. Sebagaimana diceritakan
oleh al-Ḍaḥḥak. Lihat: Abū Abdillah Fakhruddin Al-Rāzī, Mafātīḥ al-Ghaib; al-Tafsīr al-Kabīr,
vol. 8, h. 305.
78
jika kalian tidak melaksanakannya maka kalian telah kafir.58
Dapat disimpulkan bahwa sabab wurud hadis kewajiban haji hanya sekali
dan selebihnya merupakan sunnah adalah diturunkannya ayat perintah
melaksanakan haji. Hal ini untuk memberikan informasi kepada manusia bahwa
Allah Swt telah menurukan ayat perintah melaksanakan haji. Berdasarkan
kategori yang disebutkan oleh al-Suyūṭī, sabab al-wurūd hadis kewajiban
melaksanakan haji ini termasuk pada kategori yang pertama yaitu, sabab al-wurūd
yang berupa ayat al-Qur’ān. Sedangkan sabab al-wurūd haji yang kedua kalinya
termasuk sunnah adalah pertanyaan sahabat yang terdapat dalam hadis tersebut.
Berdasarkan hadis tersebut ulama berpendapat bahwa perintah
melaksanakan haji tidak berfaidah tikrār (tidak berulang), hal ini berdasarkan dua
hal: Pertama, perintah wajib berhaji tidak berfaidah tikrār. Kedua, sahabat masih
bertanya kepada Rasulullah Saw apakah haji diwajibkan secara berulang atau
tidak, apabila ṣighat perintah haji itu telah mengandung makna tikrār, sahabat
sebagai seorang yang pasti mahir dalam Bahasa Arab, tidak mungkin bertanya
kepada Rasulullah Saw.59
d. Kondisi Sosial dalam Hadis
Pada masa Nabi Muhammad Saw umat Islam belum menyebar luas ke
seluruh penjuru Negara. Sehingga melaksanakan haji berkali-kali atau setiap
setahun sekali bukanlah sesuatu yang sulit sejak ditaklukkannya kota Mekah.
Maka mengalamalkan hadis sunnah melaksanakan haji lebih dari sekali adalah
keutamaan yang luar biasa. Namun, meski demikian dalam praktiknya Nabi
Muhammad Saw hanya melaksanakan haji sekali yaitu pada tahun ke 10 hijriyah.
58 Abū Abdillah Fakhruddin Al-Rāzī, Mafātīḥ al-Ghaib; al-Tafsīr al-Kabīr, vol. 8, h. 304. 59 Abū Abdillah Fakhruddin Al-Rāzī, Mafātīḥ al-Ghaib; al-Tafsīr al-Kabīr, vol. 8, h. 304.
79
Selanjutnya hadis sunnah melaksanakan haji berulang akan dipahami melalui
pendekatan sosial pada masa sekarang, dan khususnya di Indonesia.
Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di
dunia. Angkanya mencapai 88,8 persen dari total penduduk dunia yang mencapai
235 juta jiwa atau sekitar 200 juta jiwa lebih. Tak heran bila negeri ini selalu
menjadi Negara terbesar dalam pengiriman jumlah jamaah haji ke Tanah Suci.
Dalam satu dasawarsa terakhir, bisa dirata-rata, jumlah umat Islam Indonesia yang
menunaikan ibadah haji mencapai 200 ribu orang pertahun.60 Dari jumlah jamaah
haji yang diberangkatkan setiap tahunnya, tidak jarang diantara mereka telah
melaksanakan haji yang kesekian kalinya. Artinya haji yang ia laksanakan adalah
sunnah.
Pada dasarnya, memang tidak ada larangan untuk berhaji berkali-kali
selama orang tersebut mampu melaksanakannya. Namun, tingginya animo
pengulang haji terkadang sengaja menutup mata untuk memberikan kesempatan
terhadap calon jemaah haji yang baru ingin melaksanakan ibadah haji yang
pertama kalinya. Seharusnya jika mereka sudah pernah berhaji, mereka harus
memiliki rasa toleransi agar mendahulukan kemaslahatan yang umum.61 Hal ini
sebagaimana terdapat dalam kaidah fikih berikut:
“Kemaslahatan yang umum lebih didahulukan daripada kemaslahatan
yang khusus.”
60 Syahruddin el Fikri, Sejarah Ibadah; Menelusuri Asal-usul Memantapkan
Penghambaan (Jakarta: Republika, 2014), h. 100. 61Sopa dan Siti Rahmah, “Studi Evaluasi Atas Dana Talangan Haji Produk Perbankan
Syariah di Indonesia,” Ahkam: Vol. XIII, No. 2, Juli 2013, h. 306-307. 62Muhammad Mustafa al-Zuḥailī, al-Qawā‘id al-Fiqhiyah wa Taṭbīqātihā fī al-Mudzāhib
al-Arba‘ah (Damaskus: Dār al-Fikr, 2006), vol. 1, h. 235. Lihat: Ibrāhim bin Mūsā al-Stāṭibī, al-
Muwāfaqāt (Dār Ibn ‘Affān, 1997), vol. 3, h. 89.
80
Ibadah haji berkali-kali bukanlah kriteria keluhuran seseorang di sisi Allah
Swt. Sebaliknya, ibadah haji satu kali bukanlah kriteria kerendahan di sisi-Nya.
Justru ibadah haji yang berkali-kali itu dapat membahayakan yang bersangkutan,
apabila ia semata-mata menuruti hawa nafsu. Di negeri ini banyak kewajiban-
kewajiban agama, khususnya yang berkaitan dengan masalah sosial yang
seharusnya lebih diprioritaskan daripada ibadah haji sunnah. Ibadah haji sunnah
manfaatnya hanya kembali kepada pelakunya saja, sementara ibadah sosial
manfaatnya kembali kepada pelakunya dan orang lain. 63 Oleh karena itu,
sebaiknya umat Islam yang berkemampuan lebih baik bersedekah kepada sesama.
Kaidah hukum Islam menyebutkan bahwa:
“Ibadah yang bermanfaat kepada pelakunya dan orang lain lebih utama
daripada ibadah yang manfaatnya hanya dirasakan pelakunya saja”.
Ali Mustafa Yaqub tidak segan-segan menyebut orang yang gemar
melaksanakan haji berkali-kali dengan sebutan haji pengabdi setan, hal ini karena
tidak jarang dari mereka yang melaksanakan haji hanya untuk memuaskan
hasratnya. Dibanding ibadah lain, ibadah haji adalah ibadah yang paling rawan
godaanya. Karenanya wajar bila dalam ayat yang mewajibkan ibadah haji
disertakan dengan kata lillāh. Sementara dalam ibadah lain, kendati juga harus
lillāh tetapi ayat-ayat untuk itu tidak dibarengi kata lillāh. 65 Faktanya adalah
63Ali Mustafa Yaqub, Mewaspadai Provokator Haji (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 2009),
h. 78-79. 64 Muhammad Ṣidqī bin Ahmad Abū al-Ḥārits al-Ghazī, Mausū‘ah al-Qawā‘id al-
Fiqhiyah (Beirut: Muasisah al-Risālah, 2003), vol, 9. H. 470. 65Ali Mustafa Yaqub, Mewaspadai Provokator Haji (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 2009),
h. cover.
81
bahwa ibadah haji seringkali dilakukan karena pamrih duniawi. Ibadah haji
memang sarat rayuan setan. Dalam sebuah hadis disebutkan:
Akan datang masa, di mana kaum kaya dari umatku beribadah haji untuk
bertamasya, kaum menengah mereka beribadah haji untuk berniaga
(kepentingan bisnis), kaum terpelajar mereka berhaji untuk pamer dan
riya, dan kaum fakir mereka berhaji untuk meminta-minta.(HR. al-
Dailamī)
Menurut Andi Rahman, masa yang disebutkan dalam hadis tersebut sudah
datang. Banyak orang kaya menganggap haji dan umrah sebagai liburan. Mereka
berhaji tanpa serius mempelajari manasiknya, memahami makna dan hikmah haji,
kemudian berniat untuk tetap melakukan rutinitas maksiat selepas ibadah haji.
Ada juga yang melihat haji dan umrah sebagai peluang bisnis. Travel haji dan
umrah ada di setiap kota dengan agen cabangnya di setiap kecamatan. Diiklankan
di Koran dan televisi, dengan mengajak artis dan selebritis sebagai daya tariknya.
Alih-alih niat membantu jamaah, petugas travel malah mengubah haji dari ibadah
menjadi lading rupiah.67
Ada beberapa masalah yang akan ditimbulkan oleh sebab gemarnya orang
Islam melaksanakan haji berkali-kali pada masa-masa sekarang, di antaranya
adalah semakin memanjangnya daftar tunggu jamaah haji yang akan
menyebabkan orang yang akan melaksanakan haji untuk yang pertama kalinya
akan menunggu waktu lebih lama lagi. Sedangkan seseorang yang sudah mampu
66 Jamāluddin Abū al-Farj al-Jauzī, al-‘ilal al-Mutanāhiyah fī al-Aḥādīts al-Wāhiyah
(Pakistan: Idārah al-‘Ulūm al-Atsariyah, 1981), vol. 2, h. 74. 67Majalah Nabawi edisi 100/Zulqa’da-Zulhijjah (Ciputat: Darus Sunnah International for
Hadith Sceinces, 1434 H). h. 57-58.
82
untuk melaksanakan haji diharuskan untuk bersegera melaksanakan haji.
Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis riwayat Ahmad bin Hanbal:
Diceritakan dari Ibn ‘Abbās ra.berkata: Rasulullah Saw bersabda:
Bersegeralah kalian untuk melaksanakan haji (haji fardhu), karena
sesungguhnya salah seorang di antara kalian tidak ada yang mengetahui
sesuatu yang akan menghalanginya. (HR. Ahmad).
Namun, karena sangat panjangnya antrian haji orang yang mampu untuk
melaksanakan haji tidak bisa melaksanakan haji dengan segera. Oleh karena itu,
untuk meminimalisir antrian haji seorang yang sudah melaksanakan haji
seharusnya tidak melaksanakan haji lagi.
Selain itu juga maraknya melaksanakan jadi berkali-kali akan menutup
kepekaan sosial umat Islam. Ia memilih mengeluarkan banyak uang untuk
melaksanakan haji sunnah dibanding menyantuni anak yatim, membatu fakir
miskin atau untuk kepentingan masyarakat umum. Melihat kondisi sosial yang
demikian dapat disimpulkan bahwa melaksanakan haji berkali-kali pada masa
sekarang tidaklah dianjurkan bahkan akan lebih utama jika ditinggalkan.
Masalah yang juga ditimbulkan oleh gemarnya orang melaksanakan haji
berulang adalah padatnya jamaah haji. Kepadatan jamaah haji ini pada gilirannya
akan memicu terjadinya musibah waktu menjalankan ibadah haji, khususnya
waktu melempar jamrah di Mina. Pada musim haji tahun 1424 H/ 2004 M, terjadi
tragedi yang merenggut ratusan korban ketika para jamaah haji sedang
68Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Ḥanbal (Muassisah al-Risālah, 1421 H), vol. 3,
h. 268.
83
melontarkan jamrah di Mina.69 Pada tahun 1426 H/ 2006 M, tragedi itu terulang
kembali. 70 Sebelum itu di Mina sering terjadi musibah yang menelan korban
ratusan, bahkan ribuan. Akhirnya, Mina identik dengan tragedi.71
Pada tahun 2015 tragedi Mina terulang kembali. Setidaknya 1000 orang
dilaporkan tewas saat menjalani ritual haji di Mina, Kamis 24 September 2015
lalu. Dilansir dari Aljazeera, tragedi ini terjadi karena jamaah sudah sangat
berdesak-desakan di cuaca panas diatas 50 derajat Celcius. Karena hal itu, banyak
jemaah yang tak kuat dan jatuh, terinjak-injak dan meninggal.72
Selain beberapa dampak yang mungkin terjadi sebabkan oleh banyaknya
jamaah haji yang melaksanakan haji berkali-kali di atas, akan disebutkan beberapa
alasan Nabi Saw tidak bersegera melaksanakan haji dan hanya melaksanakan haji
sekali dalam hidupnya. Faktor-faktor Nabi Saw hanya melaksanakan haji sekali
berkaitan erat dengan pengembangan sosial masyarakat. Nabi Saw lebih
memprioritaskan ibadah sosial dibanding melaksanakan haji berkali-kali. Salah
satu ibadah sosial yang menjadi prioritas Nabi Saw adalah pembinaan umat. Nabi
Saw dikenal tidak pernah meninggalkan umatnya dalam rangka membina mereka.
Nabi Saw selalu salat berjamaah dengan mereka, Nabi Saw juga tidak pernal
meninggalkan mereka karena safari dakwah, Nabi Saw juga tidak pernah salat
jumat dan berkhutbah di luar Masjid Nabawi, padahal saatt itu di Madinah sudah
69 Sekitar 244 jemaah haji meninggal dunia, sementara 244 lainnya luka-luka dalam
sebuah insiden di al-Jamarat, Mina pada 1 Februari 2004. Liputan 6, “7 Tragedi Mina dalam
Kurun Waktu 1990-2015” Global. Lihat: http://global.liputan6.com/read/2325255/7-tragedi-mina-
dalam-kurun-waktu-1990-2015. Diakses pada hari sabtu 16 Desember 2017. 70 Setidaknya 345 jemaah haji meninggal dunia akibat berdesak-desakan saat
melaksanakan ritual lempar jumrah di Mina pada 12 Januari 2006. Lihat: Liputan 6, “7 Tragedi
Mina dalam Kurun Waktu 1990-2015” Global. Lihat: http://global.liputan6.com/read/2325255/7-
tragedi-mina-dalam-kurun-waktu-1990-2015. 71 Ali Mustafa Yaqub, Mewaspadai Provokator Haji, h. 71-72. 72 Kronologi Tragedi Mina saat Musim Haji 2015, Kesalahan anak Raja Saudi? Lihat:
https://indocropcircles.wordpress.com/2015/09/25/tragedi-mina-saat-haji-2015/ diakses pada hari
senin 18 Desember 2017.
84
ada tujuh buah masjid. Termasuk juga Nabi Saw tidak pergi ke Mekah untuk
melakukan umrah Ramaḍan, sementara umat ditinggalkan di Madina.73 Padahal
dalam sebuah hadis disebutkan bahwa berumrah pada bulan Ramaḍan nilainya
sama dengan ibadah haji.
Diceritakan dari Wahb bin Khanbasy, ia berkata: Rasulullah Saw
bersabda: beribadah umrah pada bulan Ramaḍan nilainya sama dengan
ibadah haji.
Nabi Saw lebih memilih membina umat dibandingkan dengan
melaksanakan ibadah umrah pada bulan Ramaḍan. Artinya Nabi Saw lebih
mendahulukan ibadah yang sifatnya sosial dari pada ibadah yang sifatnya
individual seperti umrah dan haji berkali-kali. Berikut akan disebutkan setidaknya
ada tiga alasan Nabi Saw tidak melaksanakan haji berkali-kali:
Pertama, jihad fī sabīlillāh. Ketika masih tinggal di Mekah, Nabi Saw
belum diwajibkan berjihad untuk melawan orang-orang yang meneror dan
mendzalimi beliau, kendati beliau sering diteror. Bahkan hijrah itu sendiri adalah
akibat gencarnya teror atas beliau. Setelah tinggal di Madinah, beliau diizinkan
dan kemudian diwajibkan untuk melawan teror-teror itu, maka terjadilah
peperangan. Setiap peperangan tentulah memerlukan biaya yang tidak sedikit.
Dan tentu Nabi Saw sebagai pemimpin umat lebih memperhatikan masalah ini.
Kedua, menyantuni anak yatim. Akibat adanya peperangan, banyak para
73 Ali Mustafa Yaqub, Mewaspadai Provokator Haji, h. 24. 74 Ibnu Mājah, Sunan Ibnu Mājah (Dār iḥya al-Kutub al-‘Arabiyah, tt.), vol. 2, h. 995.
Hadis ini juga diriwayatkan oleh Muslim dalam Ṣaḥīḥ-nya, lihat: Muslim bin al-Ḥajjāj, Ṣaḥīḥ
Muslim (Beirut: Dār iḥya al-Turāts al-‘Arabī, tt.), vol. 2, 917.
85
sahabat yang gugur sebagai syuhada. Akibat selanjutnya banyak janda-janda dan
anak-anak yatim yang terlantar. Nabi Saw lebih mengutamakan menyantuni para
janda dan anak yatim dari pada berhaji dan berumrah berulang kali.
Ketiga, mahasiswa ṣuffah. Setelah Nabi Saw menetap di Madinah, banyak
mahasiswa yang belajar langsung dari Nabi Saw dan tinggal di Ṣuffah, salah satu
ruangan di Masjid Nabawi. Menurut Muhammad Mustafa Azami, perguruan al-
Ṣuffah ini merupakan perguruan pertama dalam Islam. Jumlah mahasiswa al-
Ṣuffah sangat banyak dan fluktuatif. Namun rata-rata ada 400 orang. Mereka tidak
punya apa-apa kecuali badan mereka sendiri. Nabi Saw sendiri setiap hari
memberi makan tidak kurang 70 orang mahasiswa al-Ṣuffah.75
Dari ketiga penyebab Nabi Saw tidak melaksanakan ibadah haji berkali-
kali di atas semuanya adalah faktor sosial. Nabi Saw lebih mementingkan
pengembangan umat Islam, dari pada melaksanakan haji berkali-kali yang
sifatnya ibadah individu.
Sekiranya ibadah individual itu lebih utama dari pada ibadah sosial, tentu
Nabi Saw sudah pergi haji berulang kali dari pada menyantuni anak yatim.
Sekiranya ibadah umrah sunnah itu lebih utama dari pada menyantuni fakir
miskin, tentu Nabi Saw selalu mondar-mandir ke Mekah, khususnya pada bulan
Ramaḍan untuk beribadah umrah sunnah. Dan ternyata semua itu tidak penah
terjadi.76
D. Pandangan Cendikiawan tentang Haji Berulang
a. Bisyr bin al-Ḥarits al-Ḥāfī
75 Ali Mustafa Yaqub, Mewaspadai Provokator Haji, h. 103-105. 76 Ali Mustafa Yaqub, Mewaspadai Provokator Haji, h. 107.
86
Suatu hari ada seseorang yang datang menemui Bisyr bin al-Ḥārits al-
Ḥāfī77 lalu berkata, “Wahai Abu Nashr aku hendak berangkat haji (Sunnah untuk
yang kesekian kalinya), dan aku ingin meminta nasihat darimu. Nasihatilah aku.”,
Bisyr berkata: “Berapa biaya yang kamu kau keluarkan untuk pergi haji?” “Dua
ribu dirham” jawab pria itu. Pada waktu itu dua ribu dirham merupakan nominal
yang besar.Bisyr bertanya lagi, “apakah motivasi hajimu karena zuhud, rindu ke
Baitullah, atau karena mencari ridha Allah Swt?” Pria itu menjawab. “Demi
Allah, karena mencari ridha Allah.”
Bisyr kemudian berkata, “Apakah engkau berkenan kalau aku tunjukkan
sesuatu yang menyebabkan kamu memperoleh ridha Allah, sementara kamu tetap
berada di rumah dan kampung halamanmu?” “Ya” jawab pria itu.“Caranya adalah
engkau berikan uang sejumlah biaya haji sunnahmu itu kepada sepuluh orang.
Pertama, orang fakir untuk menutupi kefakirannya, kemudian anak anak yatim
untuk memenuhi kebutuhannya, lalu orang yang berhutang untuk melunasi
hutangnya, dan seterusnya sampai sepuluh orang. Seandainya kau berikan semua
uang itu kepada satu orang untuk memenuhi kebutuhannya, tentu lebih utama.
Sungguh menghilangkan kesedihan saudramu, meringankan beban saudaramu dan
membantu saudaramu yang lemah lebih utama bagimu dari pada seratus kali
berhaji sunnah.” Kata Bisyr menasihati.
Tetapi peria itu menjawab, “Wahai Abu Nashr, hatiku lebih suka untuk
melakukan haji (sunnah).” Maka Bisyr pun berkata: “Sesungguhnya harta itu
apabila dihasilkan dari sesuatu usaha yang kotor dan syubhat, maka pemiliknya
77 Nama lengkapnya adalah Bisyr bin al-Ḥārits bin Abdurrahmān bin ‘Aṭā’ bin Hilāl bin
Māhān bin Abdullah al-Marwazī, Abū Nashr, beliau adalah salah satu sufi abad ketiga hijriyah,
lahir 152 H di Baghdād dan hidup di sana. Bisyr meninggal di Baghdād tahun 227 H. Ia sangat
dikagumi oleh Ahmad bin Hambal dan dihormati oleh Khalifah al-Ma’mun. lihat: Abū
Abdirrahman al-Sulamī, Ṭabaqāt al-Ṣūfiyah (Beirut: Dāal-Kutub al-‘ilmiyah, 2003), h.43-46.
87
tidak mau menggunakannya kecuali untuk hal-hal yang diinginkan oleh nafsu dan
seleranya.”78
b. Jamal Ahmed Badi
Jamal Ahmed Badi saat menjelaskan hadis ke-tiga dari al-Arba’īn al-
Nawawī, hadis tentang lima pilar agama yang salah satunya adalah haji, juga
menyatakan bahwa apabila seseorang bermaksud untuk melaksanakan haji yang
kesekia kalinya, akan lebih baik untuk menggunakan uang tersebut untuk
membantu orang lain guna melaksanakan kewajibannya, yaitu dengan
membiayainya untuk melaksanakan haji wajib, karena dengan demikian ia akan
mendapat pahala dari atas haji orang tersebut, atau menggunakan uang tersebut
untuk kepentingan sosial, seperti memenuhi keutuhan fakir miskin serta anak
yatim.79
c. Ibn Bāz
Ketika ditanya tentang malaksanakan haji berulang, Ibn Bāz menjelaskan
bahwa melaksanakan haji berulang memiliki keutamaan yang besar. Namun
apabila melihat peraktik haji di tahun-tahun terakhir ini yang sangat berdesak-
desakan yang tidak jarang telah memakan korban, serta becampurnya laki-laki dan
perempuan, maka meninggalkan haji berulang lebih utama bagi mereka dan lebih
menjaga dari terjadinya kerusakan. Oleh sebab itulah seseorang yang sengaja
meninggalkan haji berulang dengan alasan memberi keluasan bagi para jamaah
dan mengurangi berdesak-desakan, diharapkan akan mendapatkan keutamaan
78 Abu Ḥamid Muhammad al-Ghazālī, Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn (Beirut: Dār al-Ma‘rifah), vol.
3, h. 409. 79Jamal Ahmed Badi, Sharh Arba’een an Nawawi; Commentary of Forty Hadiths of an
Nawawi (Malaysia: The Kulliyah of ICT, IIUM [forty Hadith.com], 2001), h. 19.
88
yang lebih besar dari pada melaksanakan haji berulang karena niat baiknya
tersebut. Untuk menguatkan pendapatnya Ibn Bāz menjelaskan bahwa syari’at
Islam yang sempurna terbangun dari dua asal yang sangan agung, yaitu: petama,
pertolongan untuk memberikan kemaslahatan serta terus menjaga kemaslahatan
tersebut. Kedua, pertolongan untuk menolak dan mencegah kerusakan dan
kemudharatan secara menyeluruh.80
d. Ṣāliḥ bin Fauzān bin Abdullah al-Fauzān
Ṣalih bin Fauzan memberikan pendapat yang tidak jauh berbeda dengan
Ibn Bāz, ia menjelaskan bahwa haji diwajibkan setiap tahunnya bagi umat Islam,
namun kewajiban di sini maksudnya farḍu kiāyah, secara pribadi atau individu
umat Islam, haji hanya diwajibkan sekali dalam seumur hidup. Ṣāliḥ menyebutkan
bahwa haji merupakan salah satu bentuk jihād fī sabīlillāh, hanya saja tidak ada
peperangan disana, artinya melaksanakan haji memiliki keutamaan seperti
berjihad. Namun meski demikian jika melaksanakan haji dihawatirkan akan
mendatangkan mudarat karena jamaah haji yang semakin hari semakin banyak
maka akan lebih baik jika uang yang akan digunakan untuk melaksanakan haji
digunakan untuk memberi makan fakir miskin dan menyantuni anak yatim dan
atau menggunakan uang tersebut untuk kemanfaatan-kemanfaatan yang lain. Hal
ini karena berdesak-desakan saat melaksanakan haji terkadang akan menjadi
penyebab tidak semprunanya ibadah haji yang telah dilaksanakan.81
80 Al-Mauqi‘ al-Rasmī li al-Imām Ibn Bāz; Ḥukm tikrār al-Ḥajj li al-Rijāl wa al-
Nisa’(http://www.binbaz.org.sa/fatwa/648 ), diakses pada hari Senin 2 Oktober 2017. 81Mauqi‘ al-Syekh Ṣāliḥ bin Fauzān al-Fauzān; Tikrār al-Ḥajj wa al-Ru’yah al-Syar‘iyah
(http://www.alfauzan.af.org.sa/ar/node/2304 ), diakses pada hari Selasa 3 Oktober 2017.
89
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pemaparan peneliti pada skripsi ini, dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1. Hadis sunnah melaksanakan haji lebih dari sekali ketika dipahami secara
kontekstual, yaitu dengan melihat kondisi sosial pada saat ini maka
pelaksanaan haji sunah tersebut tidak lagi menjadi anjuran. Pada kondisi
saat ini dimana antrian haji sangat panjang, sangat dianjurkan untuk
melaksanakan haji hanya sekali dalam seumur hidup. Karena haji yang
kedua dan seterusnya akan menciderai hak orang lain yang belum
melaksanakan haji sama sekali. Dengan berhaji yang kedua, ia telah
mengambil jatah orang lain.
2. Dari pada melaksanakan haji berulang lebih dianjurkan untuk
menggunakan biaya berhaji untuk kepentingan sosial, seperti menyantuni
anak yatim, berinfak kepada fakir miskin. Hal ini berlandaskan pada dua
kaidah fikih, yaitu al-maṣlaḥah al-‘āmah muqaddamah ‘alā al-maṣlaḥah
al-khāṣṣah dan al-muta‘addī afḍal min al-qāsir.
3. Anjuran untuk melaksanakan haji hanya sekali ini juga mengacu pada
praktik yang dilakukan Nabi Muhammad Saw, beliau hanya melaksanakan
haji sekali dalam hidup beliau Saw. Dan yang menjadi latar belakang Nabi
Saw melaksanakan haji sekali adalah kepentingan sosial, seperti
90
menyantuni anak yatim dan fakir miskin serta untuk pembinaan
masyarakat.
B. Saran dan Rekomendasi
1. Penelitian ini lebih terfokus pada pemahaman hadis sunah haji lebih dari
sekali menggunakan motode Ali Mustafa Yaqub. Karena itu penelitian
selanjutnya dapat meneruskan dengan mengkomper metode Ali Mustafa
Yaqub dengan metode-metode yang lain, sehingga menghasilkan
pemahaman yang lebih tajam.
91
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur‟ān Al-Karīm.
„Azmullah, Musfir, Maqāyīs Naqd Mutūn al-Sunnah, Riyad: Jamī‟ al-Ḥuqūq
Mahfūdzah li al-Muallif,1984.
Ābādī, Abī al-Ṭayyib Muhammad Syamsul Haq, ‘Aun al-Ma‘būd Syarh Sunan
Abī Dāwud, Kairo: Dār al-Hadīts, 2001.
Abū Bakr bin Abī Syaibah, al-Muṣannnaf fī al-Aḥādīts wa al-Atsār, Riyad:
Maktabah al-Rusyd, 1409 H.
Abū Dawūd, Sunan Abī Dawūd, Riyād: Dār al-Salām, 1999.
Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Ḥanbal, Muassisah al-Risālah, 1421 H.
Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir, Surabaya: Pustaka Progresif, 2002.
Al-„Ainī, Badruddin, ‘Umdah al-Qārī Syarh Ṣahīh al-Bukhārī, Al-Maktabah Al-
Syāmilah.
Al-„Asqalāni, Ibn Ḥajar, Fath al-Bārī bi Syarh Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, Kairo: Dār al-
Ḥadīts, 1998 H.
Al-Baiḍānī, Qāsim, Mabānī Naqd Matn al-Ḥadīts, Mansyūrāt al-Markaz al-Ālamī
li al-Dirāsah al-Islāmī, 1385.
Al-Baihaqī, Ahamd bin al-Ḥusain Abū Bakr Al-Sunan al-kubrā, Beirut: Dār al-
Kutub al-„Ilmiyah, 1424 H – 2003 M.
Al-Bukhārī, Muhammad bin Isma„il, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī Riyad: Dār al-Salām,
1999.
Al-Būṭī, Sa„īd Ramaḍān, Fiqh al-Sīrah, Bairut: Dār al-Fikr al-Maqāṣir, 1991.
Al-Dārimī, Abu Muhammad Abdullah, Musnad al-Dārimī, Dār al-Mughnī, 1412
H.
Al-Dāruquṭnī, Abū al-Ḥasan Sunan al-Dāruquṭnī, Beirut: Muassisah al-Risālah,
1424 H-2004 M.
92
Al-Faiz, Muhammad, al-Du‟a bi al-Rumuz Inda al-Syeikh Ali Mustafa Ya‟qub
(Dirasah wa Istinbathan), Skripsi Fakultas Dirasat Islamiyyah Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.2014.
Al-Fākihī, Abu Abdillah Akhbāru Makkah fī Qadīm al-Dahr wa Ḥadītsuhu,
Beirut: Dār Khiḍr, 1414 H.
Al-Fauzān, Abdullah bin Ṣāliḥ Minḥah al-‘Allām syarh Bulūgh al-Marām, al-
Maktabah al-Syāmilah.
Al-Ghazālī, Abu Ḥamid Muhammad, Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn, Beirut: Dār al-
Ma„rifah.
Al-Ghazālī, Muhammad, Studi Kritis atas Hadis Nabi Saw antara Pemahaman
Tekstual dan Kontekstual, penerjemah: Muhammad al-Baqir, Jakarta:
Mizan, 1996.
Al-Ghazī, Muhammad Ṣidqī bin Ahmad Abū al-Ḥārits Mausū‘ah al-Qawā‘id al-
Fiqhiyah, Beirut: Muasisah al-Risālah, 2003.
Al-Ḥākim, Abū Abdillah al-Mustadrak ‘alā al-Ṣaḥīḥain, Beirut: Dār al-Kutub al-
„Ilmiyah, 1411 H – 1990 M.
Al-Harbi, Abdul „Aziz, al-Balāgha al-Muyassarah, Bairut: Dār Ibn Ḥazm, 2011.
Al-Jauzī, Jamāluddin Abū al-Farj, al-‘ilal al-Mutanāhiyah fī al-Aḥādīts al-
Wāhiyah Pakistan: Idārah al-„Ulūm al-Atsariyah, 1981.
Al-Mubārakfurī, Ibnu Abd al-Rahīm, Tuhfah al-Ahwadzī bi syarh Jāmi‘ al-
Tirmidzī, Kairo: D al-Hadīts, 2001 M.
Al-Naisābūrī, Al-Ḥasan bin Muhammad, Gharāib al-Qur’ān wa Raghāib al-
Furqān, Beirut: Dār al-Kuub al-„Ilmiyah, 1416 H.
Al-Nasā‟ī, Sunan al-Nasā’ī, Riyād: Dār al-Salām, 1999.
Al-Nawawī, Muhyiddin al-Syāfi„ī, Matn al-Īḍāḥ fī al-Manāsik, Beirut: Dār al-
Kutub al-„Ilmiyah, 1406 H-1986 M.
Al-Nawawī, Ṣaḥīḥ Muslim bi Syarh al-Nawawī, Cairo: Dār al-Ḥadīts, 2001.
93
Al-Qārī, Ali bin Muhammad, Mirqāh al-Mafātīḥ Syarḥ Misykāh al-Maṣābīḥ,
Bairut: Dār al-Fikr, 2002.
Al-Rāzī, Abū Abdillah Fakhruddin, Mafātīḥ al-Ghaib; al-Tafsīr al-Kabīr, Beirut:
Dār Iḥya al-TurātsArabī, 1420 H.
Al-Ṣābunī, Muhammad Alī, al-Tibyān fī ulūm al-Qur;ān (Jakarta: Dār al-Kutub
al-Islāmī, 2003.
Al-Suyūṭī, Jalāl al-Dīn, Tadrīb al-Rāwī fī Syarh Taqrīb al-Nawawī, Cairo: Dār al-
Ḥadīts, 2002.
__________, Asbāb Wurūd al-Ḥadīts; al-Luma‘ fī Asbāb al-Ḥadīts, Beirut: Dār
al-Maktabah al-„Ilmiyah, 1401 H/ 1984 M.
Al-Syāṭibī, Ibrāhim bin Mūsā, al-Muwāfaqāt, Dār Ibn „Affān, 1997.
Al-Syaukānī, Muhammad bin „Ali Nail al-Awṭār, Mesir: Dār al-Ḥadīts, 1993 M-
1413 H.
Al-Ṭaḥḥān, Mahmūd, Taisīr Muṣṭalaḥ al-Ḥadīts, Jakarta: Dār al-Maktabah.
___________, Uṣūl al-Takhrīj wa Dirāsah al-Asānīd, Rirāḍ: Maktabah al-
Ma„ārif, 1431 H/ 2010 M.
Al-Ṭayālisī, Sulaimān bin Dāwud, Musnad Abī Dāwud al-Ṭayālisī, Mesir: Dār
Hijr, 1419 H.
Al-Tirmidzī, Jāmi’ al-Tirmidzī, Riyad: Dār al-Salām, 1999.
Al-Qaraḍāwī, Yusuf, Kaifa Nata‘āmal ma‘a al-Sunnah al-Nabawiyah, Kairo: Dār
al-Syurūq, 2004.
Al-Zamakhsyarī, Abū al-Qāsim, Al-Kasysyāf ‘an Ḥaqāiq Ghawāmiḍ al-Tanzīl,
Beirut: Dār al-Kitāb al-„Arabī, 1407 H.
Al-Zuḥailī, Muhammad Mustafa, al-Qawā‘id al-Fiqhiyah wa Taṭbīqātihā fī al-
Mudzāhib al-Arba‘ah, Damaskus: Dār al-Fikr, 2006.
Al-Zuhaili, Wahbah, Al-Tafsīr al-Munīr fī al-‘Aīdah wa al-Syarī’ah wa al-
Manhaj, Dimaskus: Dār al-Fikr al-Ma‟āṣir, 1418 H.
94
Badi, Jamal Ahmed, Sharh Arba’een an Nawawi; Commentary of Forty Hadiths
of an Nawawi, Malaysia: The Kulliyah of ICT, IIUM [forty Hadith.com],
2001.
Bruinessen, Martin Van, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat, Bandung: Mizan,
1999.
Bustamin dan M. Isa H. A. Salam, Metodologi Kritik Hadis, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2004.
Cholidah, Ni‟mah Diana, Kontribusi Ali Mustafa Yaqub terhadap Perkembangan
Kajian Hadis Kontemporer di Indonesia, Skripsi: UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2011.
Ḍaif, Syawqī dkk, al-Mu‘jam al-Wasīṭ, Jedah: Maktabah Kunūz al-Ma„rifah,
2011.
Depdikbud RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka 1988.
El Fikri, Syahruddin, Sejarah Ibadah; Menelusuri Asal-usul Memantapkan
Penghambaan, Jakarta: Republika, 2014.
Hamid Nasuhi dkk, Pedoman Akademik Program Strata 1 2012/2013 UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Ciputat: Biro Administrasi Akademik dan
Kemahasiswaan, 2012.
Hartono, Perkembangan Pemikiran Hadis Kontemporer di Indonesia (Studi atas
Pemikiran Abdul Hakim Abdat dan Ali Mustafa Ya’qub), Tesis
Konsentrasi Tafsir Hadis Sekolah Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri
Jakarta, 2009.
Ibhar, Choidir, Khodimun Nabi; Membuka Memori 1971-1975 Bersama Prof. KH.
Ali Mustafa Yaqub, Jombang: Pustaka Tebuereng, 2016.
Ibn Mājah, Sunan Ibn Mājah, Riyād: Dār al-Salām, 1999.
Ibnu al-Ṣalāḥ, Muqaddimah Ibn al-Ṣalāḥ fī ‘Ulūm al-Ḥadīts, Cairo: Dār al-
Ḥadīts, 2010.
Ilyas, “Pemahaman Hadis Secara Kontekstual (Telaah terhadap Asbāb al-
Wurūd)”, Jurnal Kutub Khazanah, no. 2, Maret, 1999.
95
Ismail, M. Syuhudi, Hadis Nabi yang Tektualdan Kontekstual: Telaah Ma‘ānī al-
Ḥadīts tentag Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal, Jakarta:
Bulan Bintag, 1994.
Lestari, Leni, Tafsir ayat –ayat Perintah Haji dalam Konteks Ke-Indonesiaan,
UIN Sunan Kali Jaga Yogyakarta.
M. Saleh Putuhena, Historiografi Haji Indonesia, Yogyakarta: LKiS, 2007.
Majalah Nabawi edisi 100/Zulqa‟da-Zulhijjah, Ciputat: Darus Sunnah
International for Hadith Sceinces, 1434 H.
Majalah Nabawi edisi 112/Zulqa‟da-Zulhijjah, Ciputat: Darus Sunnah
International for Hadith Sceinces, 1436 H.
Majid, Nurcholis, Perjalanan Religius ‘Umrah dan Haji, Jakarta: Paramadina,
2000.
Munawwar , Said Agil Husin dan Abdul Mustaqim, Asbabul Wurud; Studi Kritis
Hadis Nabi Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual, Yogyakarta: Pusat
Pelajar, 2001.
Muslim bin al-Hajjāj, Ṣaḥīḥ Muslim, Riyad: Dār al-Salām, 1998.
Panitia Wisuda Darus-Sunnah, Dzikrayāt al-Takharruj Wisuda Sarjana Ke-14.
Jakarta: Darus-Sunnah, 2016.
Ṣabīh, Ahmad, Dalīluka ilā Ḥajj Mabrūr wa ‘Umrah Maqbūlah, Kairo: Al-Hai‟ah
al-Miṣriyah al-„Āmah li al-Kitāb, 2005.
Sopa dan Siti Rahmah, “Studi Evaluasi Atas Dana Talangan Haji Produk
Perbankan Syariah di Indonesia,” Ahkam: Vol. XIII, No. 2, Juli 2013.
Sujadi, Agus, Kriminalisasi Pengulangan Haji (I‘ādah al-Hajj) di Indonesia, UIN
Yogyakarta, Fak.Syari‟ah dan Hukum, 2013.
Ya‟qub, Ali Mustafa, Mewaspadai Provokator Haji, Jakarta: Pustaka Firdaus,
2009.
________, al-Ṭuruq al-Ṣaḥīḥah fī Fahmi al-Sunnah al-Nabawiyah, Jakarta,
Maktabah Dār al-Sunnah, 2014.
96
________, Cara Benar Memahami Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2016, cet ke
II.
________, Cerita dari Maroko, Jakarta: Maktabah Dār al-Sunnah, 2012.
________, Hadis-hadis Palsu Seputar Ramadhan, Jakarta: Pustaka Firdaus,
20013.
________, Haji Pengabdi Setan, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2015, Cet. Ke-4.
________, Kerukunan Umat dalam Perspektifal-Qur’ān dan Hadis, Jakarta:
Pustaka firdaus, 1999.
________, Kritik Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011.
________, Menghafal al-Qur’ān di Amerika Serikat, Jakarta: Maktabah Dār al-
Sunnah, 2014.
________, Ramadhan Bersama Ali Mustafa Yaqub, Jakarta: Pustaka Firdaus,
2011.
________, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008, cet
IV.
Zīdān, Abdul Karim, al-Wajīz fī Uṣūl al-Fiqh, Bagdad: Maktabah al-Basyāir,
1976.
Zuhri, Muh., Telaah Matan Hadis Sebuah Tawaran Metodologi, Yogyakarta: PT
Tiara Wacana, 2002.
http://global.liputan6.com/read/2325255/7-tragedi-mina-dalam-kurun-waktu-
1990-2015.
http://global.liputan6.com/read/2325255/7-tragedi-mina-dalam-kurun-waktu-
1990-2015.
https://indocropcircles.wordpress.com/2015/09/25/tragedi-mina-saat-haji-2015/.
http://www.binbaz.org.sa/fatwa/648
http://www.alfauzan.af.org.sa/ar/node/2304
http://www.almostaneer.com.