GUMUK PASIR
-
Upload
roberto-quintao -
Category
Documents
-
view
214 -
download
4
Transcript of GUMUK PASIR
![Page 1: GUMUK PASIR](https://reader036.fdocument.pub/reader036/viewer/2022082605/5571fade4979599169935965/html5/thumbnails/1.jpg)
GUMUK PASIR & CAGAR BIOSFER
Pengantar
Berawal dari mitos. Lewat mitos, “masyarakat Jawa” mengenal hubungan tak terpisahkan
antara Gunungapi Merapi, Kraton Yogyakarta dan Pantai Selatan. Masyarakat menganggap,
ketiganya adalah pilar harmonisasi kekuasaan politis di “tanah Jawa”. Garis-garis itu bisa
imajiner : tidak ada sama sekali, atau benar-benar berwujud dan nyata. Berwujud sungai
misalnya. Bukankah masyarakat mengenal mitos tapa ngeli-nya Sutawijaya di Kali Opak?
Bagaimana hubungan hanyutnya pasir hasil aktivitas Gunungapi Merapi dibawa aliran Kali
Opak dengan tapa ngeli-nya Sutawijaya? Juga, bagaimana jika bertemunya Sutawijaya
dengan Nyai Penguasa Laut Selatan digambarkan sebagai mengendapnya pasir-pasir itu di
sepanjang pantai Parangtritis? Melalui mitos itu, bisa dipahami bahwa dibalik penyatuan
Gunungapi Merapi, Kraton Yogyakarta dan Laut Selatan oleh Kali Opak itu ada sebuah karya
fenomental yang terbentuk : ekosistem gumuk pasir. Melalui mitos itu kita disadarkan bahwa
ketiganya bukan hanya pilar harmonisasi kekuatan politis “tanah Jawa”, tetapi juga
harmonisasi penciptaan ekosistem khas “tanah Jawa”, termasuk ekosistem gumuk pasir yang
hanya satu-satunya di Indonesia itu.
Fenomena Gumuk Pasir
Kawasan ekosistem gumuk pasir itu terletak di Desa Parangtritis, sekitar 28 kilometer dari
kraton Yogyakarta ke arah selatan. Secara admistratif masuk wilayah Kecamatan Kretek,
Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebelah selatan berbatasan dengan
Samudera Hindia, sebelah barat berbatasan dengan Kali Opak. Sebelah utara berbatasan
dengan Desa Donotirto Kecamatan Pundong, sedang sebelah timur Kecamatan Panggang,
Kabupaten Gunungkidul. Di desa itu terdapat sekitar 190 buah gumuk pasir yang terdiri dari
jenis barchan, longitudinal, parabolik dan sisir. Masing-masing jenis gumuk pasir tersebut
mempunyai cara pembentukan yang berbeda, dan dikontrol oleh faktor-faktor yang berbeda-
beda pula.
Gumuk pasir merupakan akumulasi pasir lepas berupa gundukan teratur hasil kerja dan
pengaruh komponen-komponen : (1) jumlah pasir yang diendapkan teratur ke laut, (2) ombak
yang memindahkan pasir dari laut ke darat, (3) intensitas sinar matahari yang mengeringkan
pasir di pantai, (4) intensitas dan kemenerusan angin yang memindahkan pasir, (5) tebing
![Page 2: GUMUK PASIR](https://reader036.fdocument.pub/reader036/viewer/2022082605/5571fade4979599169935965/html5/thumbnails/2.jpg)
penghambat gerak angin dan sebaran pasir, (6) vegetasi, dan (7) dinamika budaya
masyarakat.
Di Parangtritis terdapat sekitar 190 bentukan gumuk pasir, yang terdiri dari jenis-jenis
barchan 70 buah, longitudinal 80 buah, parabolik 30 buah dan sisir 10 buah. Masing-masing
bentuk tersebut mempunyai cara dan faktor pengontrol pembentukan yang berbeda. Bentuk
parabolik dan sisir dipengaruhi oleh vegetasi yang memotong arah angin sehingga kecepatan
angin di belakang vegetasi kurang. Bentuk barchan dan longitudinal dipengaruhi oleh
aktivitas angin yang bertiup kuat. Barchan mempunyai proses pembentukan menarik.
Mulanya terbentuk gumukpasir longitudinal yang mempunyai sumbu panjang sejajar dengan
arah angin. Berikutnya tubuh gumuk pasir semakin tinggi. Kondisi tersebut menyebabkan
terjadinya perputara air di belakang gumuk, yang menyebabkan terjadinya penggerusan di
belakang gumuk. Penggerusan yang semakin kuat menjadikan penggerusan semakin intensif
sehingga dimensi lebar seimbang dengan dimensi panjang.
Gumuk pasir Parangtritis dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar : pasif dan aktif.
Gumuk pasir aktif menempati sisi timur pada luasan sekitar 70 hektar. Di sini proses-proses
pembentukan gumuk pasir longitudinal dan barchan oleh aktivitas angin yang bertiup kuat
dapat diamati dan dipelajari dengan baik, misalnya struktur pengendapan permukaan riple
mark. Gumuk pasir pasif menempati sisi barat dan selatan sampai muara Kali Opak pada
luasan sekitar 175 hektar. Di sini berkembang gumuk pasir parabolik dan sisir. Vegetasi yang
memotong arah angin tenggara-barat laut menyebabkan berkurangnya kecepatan angin di
belakang vegetasi sehingga terjadi sedimentasi.
Keanekaragaman flora
Dari hasil inventarisasi partisipatif bersama masyarakat, diketahui sebanyak 74 spesies
“penghuni” gumuk pair. Dengan identifikasi dan dirujukkan ke “Flora” karya Van Stenis
diketahui : 39 jenis teridentifikasi nama daerah dan latin tingkat spesies, 8 jenis teridentifikasi
nama daerah dan latin tingkat genus, 8 jenis teridentifikasi sebatas nama daerah dan 19 belum
teridentifikasi. Peranannya dalam komunitas tercermin dalam nilai pentingnya yang tersusun
dari nilai kelimpahan, sebaran dan penguasaan daerah (dominansi) yang didapatkan dari hasil
analisis vegetasi. Analisis vegetasi dilakukan dengan metode petak ganda sebanyak 107 plot
yang terbagi dalam 8 jalur transek yang dibuat tegak lurus pantai. Jarak antar plot 100 m.
Ukuran plot 2 X 2 m dengan memperhatikan hasil observasi awal, bahwa secara umum
![Page 3: GUMUK PASIR](https://reader036.fdocument.pub/reader036/viewer/2022082605/5571fade4979599169935965/html5/thumbnails/3.jpg)
tumbuhan yang ada setingkat seedling (ketinggian 0 – 50 cm). Beberapa pohon yang
diperhatikan secara khusus tanpa menggunakan analisis vegetasi karena pohon sangat
terbatas. Umumnya pohon ini merupakan tanaman budidaya, seperti jambu mete, kelapa,
gliriside, akasia. Pohon tal merupakan tanaman alami yang masih tersisa dengan jumlah tak
banyak lagi.
Jenis tumbuhan yang diperoleh dalam analisis vegetasi jauh lebih rendah dari jumlah jenis
yang diketemukan. Jenis tumbuhan yang tidak terekam berarti merupakan jenis yang sangat
jarang. Hal ini dimungkinkan karena daya adaptasinya yang rendah. Tanaman yang hidup
pada suatu daerah bukanlah suatu kebetulan semata, tetapi merupakan proses
mempertahankan hidup lewat persekutuan dengan faktor lingkungan, yang jika cocok
(mampu beradaptasi) maka akan tumbuh dan berbiak. Semakin adaptif suatu tanaman maka
akan semakin baik pertumbuhannya dan pemancarannya, yang secara analisis vegetasi akan
nampak dari nilai kerapatan (banyaknya tanaman persatuan luas), dominansi (kesuburan,
tercermin dari penguasaan ruang tumbuh) dan frekuensinya (apakah sebarannya merata atau
mengumpul pada suatu tempat). Semakin “baik” suatu daerah (tersedianya kebutuhan hidup,
seperti air, unsur hara, suhu, bandingan CO2 dan O2, keasaman tanah (pH), intensitas dan
kuantitas cahaya dll.) akan semakin tinggi tingkat keragamannya, karena kebutuhan hidup
relatif tersedia bagi kebanyakan tanaman (mampu beradaptasi), sebaliknya semakin
“ekstrem” suatu wilayah maka akan semakin rendah tingkat keragamannya sebagai akibat
terbatasnya kebutuhan hidup tanaman (adanya faktor pembatas, seperti kondisi kering dan
miskin hara).
Keragaman tanaman nantinya akan menentukan keragaman binatang, dengan demikian
semakin tinggi keragaman flora di suatu daerah bisa dipastikan semakin tinggi pula
keragaman faunanya. Hal ini terjadi karena proses alami dimana hewan sebagai konsumen
membutuhkan tanaman sebagai produsen, yang apa bila kondosi (jenis maupun kelimpahan
produsen rendah) sehingga diluar batas kemampuan adaptasi hewan maka dia akan
melakukan migrasi, mencari tempat yang cocok. Nilai penting dapat dilihat dari nilai IVI
(Important Value Index) yang tersusun dari tiga hal, yaitu : (1) penting karena banyaknya /
limpahannya; (2) penting karena sebarannya / daya adaptasinya, yaitu makin adaptif semakin
luas sebarannya; serta (3) penting karena penguasaan daerahnya / ukuran penutupan tajuk
tanaman. Nilai IVI dan penyusunnya dapat disusun dalam suatu Phytogeograf, sehingga nilai
penting suatu tanaman dalam suatu komunitas akan nampak jelas. Secara konservatif nilai
![Page 4: GUMUK PASIR](https://reader036.fdocument.pub/reader036/viewer/2022082605/5571fade4979599169935965/html5/thumbnails/4.jpg)
IVI yang rendah justru bisa menunjukkan nilai penting yang lain, yaitu tanaman tersebut
dalam status “langka”. Jika orientasi kerja mengarah kepada keragaman jenis, maka jenis-
jenis yang ber IVI rendah ini justru lebih diperhatikan. Jika kerapatan rendah berarti
jumlahnya sedikit, termasuk tanaman yang berdominansi tinggi tetapi kerapatannya rendah,
juga pada frekuensi yang rendah karena andaikanpun jumlahnya banyak namun mengumpul
berarti juga rawan terhadap ancaman kepunahan.
Tabel : Lima Tanaman yang mempunyai IVI terbesar
No. Nama I V I KR DR FR
1 Rumput Lari 87.489 21.579 (2) 40.678 (1) 25.233 (2)
2 Pagut 51.905 32.164 (1) 8.985 (4) 11.646 (2)
3 Rumput Teki 32.982 15.673 (4) 10.517 (3) 6.793 (7)
4 Tengkinong 32.602 16.842 (3) 7.025 (5) 8.734 (4)
5 Widuri 30.263 1.813 (6) 16.804 (2) 11.646 (3)
Total 235.244 88.071 84.008 64.052
Keterangan : IVI : Nilai Penting (NP)
KR : Kerapatan Relatif
DR : Dominansi Relatif
FR : Frekwensi Relatif
Dari analisis vegetasi yang dilakukan diperoleh 51 plot kosong, hal ini berarti hampir separuh
bentang gumuk pasir (47.66 %) tanpa tanaman. Berdasarkan hasil perhitungan IVI, diperoleh
bahwa rumput pagut tertinggi (71.55 %) kemudian berturut-turut Rumput lari (68.69 %),
Rumput Teki (49.26 %), Tengkinong (42.95 %) dan Widuri (16.99 %). Jumlah total dari IVI
kelima jenis ini adalah 249.44 % dari 300 % nilai total (83.15 %), yang berarti sebagian besar
peranan komunitas tumbuhan gumuk pasir “dikuasai” kelima jenis tersebut, baik dari sisi
kerapatan / kelimpahan tanaman, maupun penyebaran tanaman.
Rumput Lari / Rumput Gulung (Spinifex littoreus). Rumput ini dalam bahasa jawa dikenal
dengan nama Jantran, Kretanan dan Tikusan, juga dikenal sebagai Jukut jongkrang (Sunda)
ataupun Rebba angen (Madura). Rumput yang banyak dikenal sebagai tumbuhan pantai,
![Page 5: GUMUK PASIR](https://reader036.fdocument.pub/reader036/viewer/2022082605/5571fade4979599169935965/html5/thumbnails/5.jpg)
sangat mudah dikenali dari bunganya yang berbentuk bulir tersusun dalam berkas yang
menyerupai bongkol, ketika kering kerapkali menggulung terbawa angin. Nilai penting
tanaman ini selain jumlahnya cukup banyak, juga didukung oleh daya adaptasinya yang
paling luas, sehingga mudah dijumpai di setiap lokasi karena sebarannya yang relatif merata.
Dengan jumlah yang cukup besar maka penguasaan ruang
Rumput Pagut. Rumput dengan daun-daun mengumpul pada pangkal dekat tanah (roset)
dengan bunga bertangkai panjang mempunyai nilaipentiong tertinggi. Nilai keberartiannya
adalah dari jumlahnya (kerapatannya) yaitu 14.089 tumbuhan/Ha (27.97%) dan didukung
oleh penguasaan ruang hidup (dominansi) paling tinggi yaitu 1627 m2 /Ha (31.09 %). Dari
sekian banyak tumbuhan tersebut tersebar tidak merata, 12 plot dari 107 plot (11.22 %).
Pohon yang banyak dijumpai dan fungsi serta sebarannya adalah akasia, gliriside dan tal.
Akasia banyak di tepi utara, berbatasan dengan lahan sawah masyarakat. Gliriside cukup
menyebar disebelah utara jalan, nampak sebagai bekas paga rumah, saat ini diambil sebagai
pakan ternak. Pada tanaman gliriside nampak upaya adaptasi tanaman terhadap rendahnya air
(kekeringan) dalam penebalan daun. Tal banyak dibagian sebelah utara berbatasan dengan
pemukiman, sangat sedikit tersisa dalam kondisi alaminya. Jambu mete dan Kelapa banyak
pada daerah perbatasan dengan pemukiman sebelah utara, juga beberapa di bagian gumuk
yang pasif bekas petak-petak pemukiman. Tanaman yang ditanam untuk melindungi dari
pergerakan pasir adalah akasia yang membentang diperbatasan utara bersebelahan dengan
sawah masyarakat. Sedang untuk melindungi daerah pemukiman banyak digunakan gliriside
dan jambu mente.
Tawaran Kebijakan : Zonasi Pemanfaatan Ekologis
Kawasan ini dari waktu ke waktu mengalami pertambahan luas, terutama karena
bertambahnya daratan ke arah laut karena besarnya sedimentasi pantai. Sejak tahun 1930-an
sampai 1980-an, garis pantai sepanjang garis pantai Parangtritis sampai Kali Opak
mengalami pergeseran ke arah selatan antara 300 – 500 meter. Pergerakan pantai ini
menjadikan kawassan Parangtritis bertambah sekitar 125 hektar. Namun demikian, sejak
sepuluh tahun terakhir terjadi kecenderungan abrasi, sehingga garis pantai cenderung
bergerak ke utara. Jika dihubungkan dengan persyaratan pembentukan gumuk, maka abrasi
dan penyempitan pantai ini sangat berhubungan dengan berherntinya kontinyuitas
![Page 6: GUMUK PASIR](https://reader036.fdocument.pub/reader036/viewer/2022082605/5571fade4979599169935965/html5/thumbnails/6.jpg)
sedimentasi pasir ke laut melalui kali opak. Kondisi ini tentu berhubungan erat dengan
maraknya kegiatan pembangunan sabo dan penambangan di bagian hulu Kali Opak.
Pantai Parangtritis seperti halnya kawasan pantai landai di belahan selatan pulau Jawa
lainnya, merupakan kawasan rawan bencana tsunami (gelombang pasang) jenis near field
tsunami; yaitu gelombang pasang dengan waktu tempuh antara 20 sampai 40 menit, dengan
jumlah gelombang jamak 5 sampai 12 kali. Karena itu, pengembangan kawasan ini perlu
perencanaan yang baik sehingga tidak memicu terjadinya akumulasi penduduk dan
tumbuhnya pemukiman baru. Akibatnya jika terjadi bencana akan memungkinkan korban
menjadi sangat besar. Sementara kita ketahui bahwa metoda perlidungan alam atas bencana
gelombang pasang di kawasan itu tidak baik, sedangkan metoda perlindungan buatan tidak
dapat dibuat sederhana karena bentuk pantai yang terbuka.
Dari sisi ilmu kebumian lainnya, kawasan ini bernilai sangat luar biasa. Karena keluar-
biasaan dan kekhasan gumuk pasirnya, kawasan itu layak ditetapkan sebagai cagar biosfer;
tempat kita bisa belajar sekaligus menikmati kekhasan ekosistemnya. Menurut draft Rencana
Struktur Tata Ruang Propinsi (RSTRP) Daerah Istimewa Yogyakarta 2006, kawasan ini
merupakan bagian dari kawasan lindung setempat, sub kawasan konservasi sempadan pantai
di Kabupaten Bantul dengan luas 1968 hektar. Permasalahan yang ada menurut RSTRP itu
pula adalah kondisi saat ini yang berfungsi sebagai kawasan pariwisata, dan belum ada usaha
perlindungan sesuai dengan fungsi semula sebagai kawasan lindung setempat. Menurut
RSTRP ini pula perlu dilakukan arahan kebijakan untuk peningkatan usaha konservasi
kawasan pantai berpasir, pengembangan wisata alam dan pengembangan pertanian tanaman
pantai. Oleh karena itu kami menganggap adalah suatu kewajaran menetapkan kawasan
lindung ini sebagai cagar biosfer. Sebaliknya, ironi jika kawasan menurut RSTRP seharusnya
dikembangkan menjadi kawasan lindung setempat, dibatalkan begitu saja.
Pencagaran adalah suatu tawaran dan harapan. Kenyataan riilnya pemerintah telah
menggunakan logika yang jungkir-balik dalam membuat kebijakan. Melalui HGB 30 tahun
ke Bupati Bantul dan HPL ke PT Awani Dream, kawasan itu di calonkan sebagai kawasan
wisata moderen; yang mengesampingkan fungsi kawasan cagar budaya dan cagar biosfer,
walaupun sebenarnya perundangan di atasnya menetapkan sebagai kawasan lindung
bawahan. Pembalikan logika itu dipertegas dengan rencana mencadangkan gumuk pasir di
Pandansimo untuk dicagarkan. Padahal tempat itu yang dari sisi kekuatan khas gumuk
pasirnya tidak ada sama sekali. Ketidakjelasan ini dipertegas dengan pemerintah mensepakati
![Page 7: GUMUK PASIR](https://reader036.fdocument.pub/reader036/viewer/2022082605/5571fade4979599169935965/html5/thumbnails/7.jpg)
dua lokasi pendaratan dan pelelangan ikan dengan jarak yang saling berdekatan. Kebijakan
ini menjadikan ekosistem gumukpasir ini menjadi semakin tertekan.
Kondisi perekonomian yang belum kembali normal mengajak kita untuk berfikir ulang dalam
melakukan konservasi kawasan. Bagaimana jika kawasan khas itu dikonservasi dengan
memberi peran dan bermanfaat bagi masyarakat? Setidaknya mengajak masyarakat gumuk
pasir untuk memanfaatkan kembali gumuk pasir pasif sekaligus melakukan konservasi
ekosistem itu. Sudah saatnya kita berbagi kapling dalam zonasi-zonasi pemanfaatan dengan
batasan-batasan yang cukup ketat, yang seluruhnya ramah ekosistem pantai. Oleh karenanya
perlu didukung dan diatur kembali berbagai aktifitas yang berbasis masyarakat : pertanian,
perikanan dan pariwisata.
Pertanian ekologis adalah sebuah alternatif. Pola pertanian ekologis dapat dikembangkan di
kawasan gumuk pasir pasif dan dikawasan muka gumuk pasir aktif. Pola ini memungkinkan
pemanfaatan lahan yang ramah terhadap dinamika proses pembentukan gumuk pasir pantai.
Pola pertanian ini sangat sesuai untuk pemenuhan kebutuhan (dan disepakati) masyarakat
Parangtritis barat (Depok, Bungkus, Samiran, Grogol) yang merupakan masyarakat petani.
KAPPALA Indonesia sedang melakukan pengembangan pertanian ekologis tanaman pangan
lokal bersama kelompok masyarakat.
Perikanan laut merupakan primadona dan aktor baru dua tahun terakhir. Dampak buruk dari
perikanan laut yang menjadi primadona ini adalah terfragmentasikannya masyarakat menjadi
kelompok-kelompok yang memungkinkan konfik horisontal. Kondisi ini diperparah dengan
kebijakan janggal pemerintah : mendukung keberadaan dua tempat pendaratan dan
pelelalangan ikan. Mengapa tidak melakukan pembaruan manajemen? Semakin banyak
tempat pendaratan dan pelelangan ikan akan memunculkan pusat-pusat pertumbuhan
“pemukiman” yang tidak ramah ekosistem gumuk. Pertumbuhan ini menjadi “legal” ketika
“aparat desa” dan “aparat kepolisian” mendukung aktifitas ini melalui ikut serta mengambil
keuntungan.
Pariwisata merupakan aktor lama yang perlu penganekaragaman jenis. Selain kegiatan wisata
panorama yang berjalan selama ini, perlu dikembangkan bentuk wisata lain : wisata ilmiah,
wisata agro, wisata nelayan. Namun, yang perlu dicerpati adalah peran perusahaan daerah
pengelola pariwisata, yang nampaknya hanya sekedar menjadi “tukang palak” bagi
pengunjung. Hasilnya belum secara nyata bermanfaat bagi masyarakat dan pengunjung .
![Page 8: GUMUK PASIR](https://reader036.fdocument.pub/reader036/viewer/2022082605/5571fade4979599169935965/html5/thumbnails/8.jpg)
Pengelolaan kawasan Parangtritis tentu bukan sekedar mengurus Parangtritis. Diperlukan
aturan dan kesepakatan untuk bersama-sama mengelola kawasan-kawasan pendukung
Parangtritis : perbukitan kars dan non kars disekitarnya, serta kawasan Merapi. Kawasan kars
jelas salah satu kawasan yang bernilai fenomental, sebagai ekotipe kars tropika basah. Sedang
kawasan non kars di seputar Parangtritis, diduga kuat merupakan salah satu “halaman
terakhir” panthera di Jawa. Kawasan Merapi jelas merupakan pencatu keberadaan pasir.
Agar tetap terjadi keteraturan pengiriman pasir ke laut selatan, maka perlu manajemen yang
baik atas Merapi, khususnya di pertambangan. Kuota penambangan pasir bukan sesuatu yang
tabu untuk dilakukan kan?
Jadi, mari kita lupakan mega proyek parang tritis dan berbagai bentuk pengelolaan kawasan
yang tidak ramah ekosistem gumuk pasir. Menetapkan kawasan tersebut sebagai cagar
biosfer, serta menawarkan untuk dikelola sebagai kawasan pertanian ekologis adalah
alternatif masa depan. Untuk ini diperlukan kebijakan pemerintah yang tegas dan cerdas,
yang mendukung kebijakan sultan dalam “menegakkan tahta untuk rakyat” sebagai “tanah
untuk rakyat”.
Pustaka
http://geohazard.blog.com/2008/10/17/gumuk-pasir-cagar-biosfer/