GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH … file10. Penyelenggaraan Imunisasi adalah serangkaian...
-
Upload
nguyendien -
Category
Documents
-
view
224 -
download
0
Transcript of GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH … file10. Penyelenggaraan Imunisasi adalah serangkaian...
GUBERNUR SUMATERA BARAT
PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT
NOMOR 4 TAHUN 2016
TENTANG
PENYELENGGARAAN IMUNISASI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR SUMATERA BARAT,
Menimbang : a. bahwa kesehatan bayi, anak balita, anak dan wanita
usia subur merupakan salah satu indikator utama
tingkat kesejahteraan suatu bangsa dan daerah yang
berkontribusi melalui keluarga sejahtera dengan
memberikan perhatian pada investasi sumber daya
manusia sejak dini;
b. bahwa untuk meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat dan mempertahankan status kesehatan
seluruh rakyat diperlukan tindakan imunisasi sebagai
tindakan preventif sesuai dengan peraturan
perundang-undangan;
c. bahwa penyelenggaraan imunisasi adalah bagian dari
bidang kesehatan yang merupakan urusan wajib yang
menjadi kewenangan pemerintah daerah provinsi yang
perlu diatur sehingga tertib, efektif dan tepat sasaran;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c, perlu
menetapkan Peraturan Daerah tentang
Penyelenggaraan Imunisasi;
- 2 -
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 61 Tahun 1958 tentang
Penetapan Undang-Undang Darurat Nomor 19 Tahun
1957 tentang Pembentukan Daerah-daerah Swatantra
Tingkat I Sumatera Barat, Jambi dan Riau sebagai
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1958 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 1646);
2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1979 Nomor 32, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3143);
3. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah
Penyakit Menular (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1984 Nomor 20, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3273);
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235),
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 297, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5606);
5. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5063);
6. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587),
sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23
- 3 -
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5679);
7. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang
Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 298, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5607);
8. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 42 Tahun 2013
tentang Penyelenggaraan Imunisasi;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
PROVINSI SUMATERA BARAT
dan
GUBERNUR SUMATERA BARAT
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAAN
IMUNISASI.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:
1. Daerah adalah Provinsi Sumatera Barat.
2. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Provinsi Sumatera Barat.
3. Gubernur adalah Gubernur Sumatera Barat.
4. Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota adalah Pemerintah
Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Barat.
5. Kementerian adalah kementerian yang membidangi bidang
kesehatan.
6. Dinas Kesehatan adalah Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat.
7. Kepala Dinas Kesehatan adalah Kepala Dinas Kesehatan Provinsi
Sumatera Barat.
8. Imunisasi adalah suatu upaya untuk menimbulkan/meningkatkan
kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit sehingga
- 4 -
bila suatu saat terpajan dengan penyakit tersebut tidak akan sakit
atau hanya mengalami sakit ringan.
9. Vaksin adalah produk biologi yang berisi antigen berupa
mikroorganisme yang sudah mati atau masih hidup tapi
dilemahkan, masih utuh atau bagiannya, atau berupa toksin
mikroorganisme yang telah diolah menjadi toksoid atau protein
rekombinan, yang ditambahkan dengan zat lainnya, yang bila
diberikan kepada seseorang akan menimbulkan kekebalan spesifik
secara aktif terhadap penyakit tertentu.
10. Penyelenggaraan Imunisasi adalah serangkaian kegiatan
perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi kegiatan
imunisasi.
11. Imunisasi wajib adalah imunisasi yang diwajibkan oleh pemerintah
untuk seseorang sesuai dengan kebutuhannya dalam rangka
melindungi yang bersangkutan dan masyarakat sekitarnya dari
penyakit menular tertentu.
12. Imunisasi pilihan adalah imunisasi yang dapat diberikan kepada
seseorang sesuai dengan kebutuhannya dalam rangka melindungi
yang bersangkutan dari penyakit tertentu.
13. Auto Disable Syringe yang selanjutnya disingkat ADS adalah alat
suntik sekali pakai untuk pelaksanaan pelayanan imunisasi.
14. Safety Box adalah sebuah tempat yang berfungsi untuk menampung
sementara limbah bekas ADS yang telah digunakan dan harus
memenuhi persyaratan khusus.
15. Cold Chain adalah serangkaian peralatan yang dimaksudkan untuk
memelihara dan menjamin mutu vaksin dalam pendistribusian
mulai dari pabrik pembuat vaksin sampai pada sasaran yang
dilengkapi dengan sistem pengelolaan vaksin yang baik.
16. Perangkat anafilaktik adalah alat kesehatan dan obat untuk
penanganan syok anafilaktik.
17. Dokumen pencatatan status imunisasi adalah formulir pencatatan
dan pelaporan yang berisikan cakupan imunisasi, laporan KIPI, dan
logistik imunisasi.
18. Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi yang selanjutnya disingkat KIPI
adalah kejadian medik yang berhubungan dengan imunisasi baik
berupa efek vaksin ataupun efek simpang, toksisitas, reaksi
- 5 -
sensitifitas, efek farmakologis maupun kesalahan program,
koinsidens, reaksi suntikan atau hubungan kausal yang tidak dapat
ditentukan.
19. Komite Daerah Pengkajian dan Penanggulangan Kejadian Ikutan
Pasca Imunisasi yang selanjutnya disebut Komda PP KIPI adalah
komite independen yang melakukan pengkajian untuk
penanggulangan kasus KIPI di tingkat daerah provinsi.
20. Kelompok Kerja Pengkajian dan Penanggulangan Kejadian Ikutan
Pasca Imunisasi yang selanjutnya disebut Pokja PP KIPI adalah
komite independen yang melakukan pengkajian untuk
penanggulangan kasus KIPI di tingkat daerah kabupaten/kota.
21. Puskesmas adalah unit pelaksana teknis dinas kesehatan
kabupaten/kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan
pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerjanya.
22. Bayi baru lahir atau disebut neonatal adalah anak usia 0 (nol)
sampai 28 (dua puluh delapan) hari.
23. Bayi adalah anak usia 0 (nol) sampai dengan 11 (sebelas) bulan 29
(dua puluh sembilan) hari atau sebelum ulang tahun pertama.
24. Batita adalah anak usia 12 (dua belas) bulan sampai dengan 36 (tiga
puluh enam) bulan.
25. Balita adalah anak usia 12 (dua belas) bulan sampai
dengan 59 (lima puluh sembilan) bulan.
26. Dewasa adalah orang yang berusia di atas 18 tahun.
27. Ibu adalah wanita usia subur yang masih dapat hamil, sedang
hamil, bersalin, nifas dan menyusui.
28. Wanita usia subur yang selanjutnya disingkat WUS adalah wanita
usia 15-39 tahun.
29. Masyarakat adalah perseorangan, suami, keluarga, kelompok,
organisasi sosial dan/atau organisasi kemasyarakatan.
30. Bulan Imunisasi Anak Sekolah yang selanjutnya disingkat BIAS
merupakan imunisasi lanjutan pada anak usia sekolah.
31. Bacillus Calmette Guerin yang selanjutnya disingkat BCG
merupakan imunisasi untuk mencegah penyakit tuberkulosis.
32. Diphtheria Pertusis Tetanus-Hepatitis B-Hemophilus Influenza type B
yang selanjutnya disingkat DPT-HB-Hib adalah imunisasi untuk
- 6 -
mencegah penyakit difteri, pertusis, hepatitis B, pneumonia dan
meningitis.
33. Hepatitis B pada bayi baru lahir merupakan imunisasi yang
diberikan pada bayi baru lahir sampai dengan usia 7 hari untuk
mencegah penyakit hepatitis B.
34. Polio merupakan imunisasi yang diberikan untuk mencegah
penyakit polio.
35. Campak merupakan imunisasi yang diberikan untuk mencegah
penyakit campak.
36. Diphtheria Tetanus yang selanjutnya disingkat DT merupakan
imunisasi lanjutan yang diberikan pada anak usia sekolah dasar
untuk mencegah penyakit difteri dan tetanus.
37. Tetanus Diphtheria yang selanjutnya disingkat TD merupakan
imunisasi lanjutan yang diberikan pada anak usia sekolah dasar
untuk mencegah penyakit difteri dan tetanus.
38. Tetanus Toxoid yang selanjutnya disingkat TT merupakan imunisasi
lanjutan yang diberikan pada wanita usia subur untuk mencegah
penyakit tetanus pada ibu dan bayi baru lahir.
39. Haemophillus influenza tipe b yang selanjutnya disingkat Hib
merupakan imunisasi yang diberikan untuk mencegah penyakit
pneumonia dan meningitis.
40. Measles Mumps Rubellayang selanjutnya disingkat MMR merupakan
imunisasi yang diberikan untuk mencegah penyakit campak,
gondongan dan rubela.
41. Human Papilloma Virusyang selanjutnya disingkat HPV merupakan
imunisasi yang diberikan untuk mencegah penyakit kanker serviks.
42. Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam
bidang kesehatan serta memiliki kemampuan dan/atau ketrampilan
melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu
memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.
43. Asisten tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan
diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau
ketrampilan melalui pendidikan bidang kesehatan dibawah jenjang
Diploma Tiga.
- 7 -
Pasal 2
Peraturan Daerah ini bertujuan :
a. menurunkan angka kesakitan, kecacatan dan kematian akibat
Penyakit yang Dapat Dicegah dengan Imunisasi (PD3I) di Daerah;
b. tercapainya target Universal Child Immunization (UCI) yaitu cakupan
imunisasi dasar lengkap pada bayi minimal 80% secara merata di
seluruh jorong/kelurahan di Daerah;
c. tercapainya imunisasi lanjutan lengkap pada Batita dan anak
sekolah.
d. tercapainya Eliminasi Tetanus Maternal dan Neonatal (insiden di
bawah 1 per 1.000 kelahiran hidup dalam satu tahun);
e. tercapainya eradikasi polio di Daerah; dan
f. tercapainya eliminasi campak dan pengendalian penyakit rubela/
Congenital Rubella Syndrome di Daerah.
Pasal 3
Ruang lingkup pengaturan Peraturan Daerah ini, meliputi:
a. jenis Imunisasi;
b. penyelenggaraan Imunisasi wajib;
c. pencatatan dan pelaporan;
d. pemantauan dan penanggulangan KIPI;
e. peran serta masyarakat dan kemitraan;
f. pembinaan dan pengawasan; dan
g. pembiayaan.
BAB II
JENIS IMUNISASI
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 4
(1) Berdasarkan sifat penyelenggaraannya, Imunisasi dikelompokkan
menjadi Imunisasi wajib dan Imunisasi pilihan.
(2) Imunisasi wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
Imunisasi yang diwajibkan oleh pemerintah untuk seseorang sesuai
dengan kebutuhannya dalam rangka melindungi yang bersangkutan
dan masyarakat sekitarnya dari penyakit menular tertentu.
- 8 -
(3) Imunisasi pilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
Imunisasi yang dapat diberikan kepada seseorang sesuai dengan
kebutuhannya dalam rangka melindungi yang bersangkutan dari
penyakit menular tertentu.
(4) Vaksin untuk imunisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memiliki izin edar sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Bagian Kedua
Imunisasi Wajib
Paragraf 1
Umum
Pasal 5
(1) Imunisasi wajib terdiri atas:
a. Imunisasi rutin;
b. Imunisasi tambahan; dan
c. Imunisasi khusus.
(2) Sasaran pelaksanaan Imunisasi program sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi :
a. Bayi;
b. Batita;
c. anak sekolah dasar kelas 1, 2 dan 3; dan
d. WUS.
(3) Imunisasi wajib diberikan sesuai jadwal sebagaimana yang
ditetapkan dalam pedoman Penyelenggaraan Imunisasi.
Paragraf 2
Imunisasi Rutin
Pasal 6
(1) Imunisasi rutin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf
a dilaksanakan secara terus menerus sesuai jadwal.
(2) Imunisasi rutin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas :
a. Imunisasi dasar; dan
b. Imunisasi lanjutan.
- 9 -
Pasal 7
(1) Imunisasi dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2)
huruf a diberikan pada Bayi sebelum berusia 1 (satu) tahun.
(2) Jenis Imunisasi dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri
atas:
a. Bacilus Calmite Guerin (BCG);
b. Diphteri Pertusi tetanus-Hepatitis B (DPT-HB) atau Dipteri pertusis
Tetatanus-Hepatitis B-Hemophilis Influensa type B (DPT-HB-Hib);
c. Hepatitis B pada bayi;
d. Polio;
e. Tetanus; dan
f. Campak.
Pasal 8
(1) Imunisasi lanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2)
huruf b merupakan Imunisasi ulangan untuk mempertahankan
tingkat kekebalan dan untuk memperpanjang masa perlindungan.
(2) Imunisasi lanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
pada:
a. Batita
b. anak usia sekolah dasar; dan
c. WUS.
(3) Jenis Imunisasi lanjutan yang diberikan pada Batita sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a, terdiri atas Diphteria Pertusis
Tetanus-Hepatitis B (DPT-HB) atau Difteria Pertusis Tetanus-Hepatitis
B-Hemophilus Influenza type B (DPT-HB-Hib) dan campak.
(4) Imunisasi lanjutan yang diberikan pada anak usia sekolah dasar
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b diberikan pada bulan
imunisasi anak sekolah (BIAS).
(5) Imunisasi lanjutan yang diberikan pada anak usia sekolah dasar
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terdiri atas Diphteria Tetanus
(DT), campak dan Tetatus Diphteria (TD).
(6) Jenis Imunisasi lanjutan yang diberikan pada wanita usia subur
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c berupa Tetanus Toxoid
(TT).
- 10 -
Paragraf 3
Imunisasi Tambahan
Pasal 9
(1) Imunisasi tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1)
huruf b, diberikan pada kelompok umur tertentu yang paling
berisiko terkena penyakit sesuai kajian epidemiologis pada periode
waktu tertentu.
(2) Pemberian Imunisasi tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tidak menghapuskan kewajiban pemberian Imunisasi rutin.
Paragraf 4
Imunisasi Khusus
Pasal 10
(1) Imunisasi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1)
huruf c, dilaksanakan untuk melindungi seseorang dan masyarakat
terhadap penyakit tertentu pada situasi tertentu.
(2) Jenis Imunisasi khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara
lain terdiri atas :
a. Imunisasi Meningitis Meningokokus;
b. Imunisasi demam kuning; dan
c. Imunisasi Anti Rabies (VAR).
Bagian Ketiga
Imunisasi Pilihan
Pasal 11
(1) Imunisasi pilihan dapat berupa Imunisasi terhadap :
a. pneumonia yang disebabkan oleh pneumokokus;
b. diare yang disebabkan oleh rotavirus;
c. influenza;
d. varisela,;
e. gondongan (mumps);
f. campak jerman (rubella);
g. demam tifoid;
h. hepatitis A;
- 11 -
i. kanker mulut rahim yang disebabkan oleh Human Papiloma
Virus;
j. japanese enchephalitis;
k. herpes zoster; dan
l. hepatitis B pada dewasa.
(2) Sasaran pelaksanaan Imunisasi pilihan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), meliputi :
a. Bayi;
b. anak sampai dengan 18 tahun; dan
c. Dewasa.
(3) Pelayanan Imunisasi pilihan dilaksanakan di fasilitas pelayanan
kesehatan pemerintah maupun swasta.
BAB III
PENYELENGGARAAN IMUNISASI WAJIB
Bagian Kesatu
Tanggung Jawab
Paragraf 1
Tanggungjawab Pemerintah Daerah
Pasal 12
(1) Pemerintah Daerah bertanggung jawab terhadap pendistribusian
vaksin, auto disable syringe, safety box, dan dokumen pencatatan
status Imunisasi ke seluruh kabupaten/kota di wilayahnya.
(2) Pemerintah Daerah bertanggung jawab terhadap penyediaan:
a. peralatan pendukung cold chain, peralatan anafilaktik, dan
dokumen pencatatan status Imunisasi sesuai dengan kebutuhan;
dan
b. ruang untuk menyimpan vaksin dan logistik Imunisasi lainnya
pada instalasi yang memenuhi standar dan persyaratan teknis
penyimpanan.
(3) Penyediaan logistik untuk Penyelenggaraan Imunisasi wajib
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
- 12 -
Bagian Kedua
Perencanaan
Pasal 13
(1) Perencanaan Penyelenggaraan Imunisasi wajib dilaksanakan oleh
Pemerintah Daerah berdasarkan perencanaan yang dilakukan oleh
Puskesmas, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan Pemerintah
Daerah secara berjenjang.
(2) Perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
penentuan sasaran, kebutuhan logistik, dan pendanaan.
Pasal 14
(1) Penentuan sasaran Penyelenggaraan Imunisasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) dihitung berdasarkan angka
jumlah penduduk, pertambahan penduduk serta angka kelahiran
dari data yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang atau dari
hasil pendataan yang dapat dipertanggungjawabkan atau
berdasarkan data yang ditetapkan Pusat Data dan Informasi
Kementerian.
(2) Perhitungan sasaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk
menentukan jumlah sasaran imunisasi dalam satu tahun yang
dibagi menjadi sasaran Kabupaten/Kota.
Pasal 15
(1) Untuk mengetahui Vaksin yang dibutuhkan, Pemerintah Daerah
menetapkan besar cakupan yang akan dicapai pada tahun yang
direncanakan.
(2) Penetapan target cakupan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
didasarkan target yang ditetapkan oleh Kementerian.
Pasal 16
(1) Penyedian dan kebutuhan logistik sebagimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (2) meliputi :
a. Vaksin;
b. Auto Disable Syringe;
c. safety box;
d. peralatan cold chain;
- 13 -
e. perangkat anafilaktik;
f. peralatan pendukung cold chain; dan
g. dokumen pencatatan status imunisasi suhu serta pencatatan
logistik.
(2) Peralatan cold chain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d
terdiri atas:
a. alat penyimpan vaksin, meliputi cold room, freezer room, vaccine
refrigerator,dan freezer;
b. alat transportasi vaksin, meliputi cool box, vaccine carrier, cool
pack, dan cold pack; dan
c. alat pemantau suhu, meliputi termometer, termograf, alat
pemantau suhu panas, alat pemantau/mencatat suhu secara
terus-menerus, dan alarm.
(3) Peralatan pendukung cold chain sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) meliputi :
a. Automatic Voltage Stabilizer (AVS);
b. standby generator; dan
c. suku cadang peralatan cold chain.
Bagian Ketiga
Penyimpanan dan Pemeliharaan Logistik
Pasal 17
(1) Untuk menjaga kualitas, Vaksin harus disimpan pada tempat
dengan kendali suhu tertentu.
(2) Tempat menyimpan Vaksin sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
hanya diperuntukkan khusus untuk penyimpanan Vaksin.
Bagian Keempat
Pelaksanaan Pelayanan Imunisasi Wajib
Pasal 18
(1) Pelayanan Imunisasi wajib dapat dilaksanakan secara massal dan
perseorangan.
(2) Pelayanan Imunisasi secara massal dilaksanakan di Puskesmas,
Posyandu, sekolah, atau Pos pelayanan Imunisasi lainnya yang
telah ditentukan.
- 14 -
(3) Pelayanan Imunisasi secara perseorangan dilaksanakan dirumah
sakit, puskesmas, klinik, pratek dokter dan dokter spesialis, pratek
bidan dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya.
Bagian Kelima
Komunikasi, Informasi dan Edukasi
Pasal 19
(1) Pemerintah Daerah wajib melakukan komunikasi, informasi dan
edukasi tentang Penyelenggaraan Imunisasi.
(2) Sebelum mendapatkan pelayanan Imunisasi, masyarakat berhak
mendapatkan informasi mengenai tujuan, manfaat, jenis vaksin
yang diberikan, keserentakan program.
(3) Pemberian informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
dilakukan secara perseorangan maupun massal.
(4) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dimuat ke dalam
media komunikasi massa dalam ruang atau luar ruang.
Pasal 20
(1) Dalam hal tertentu, pelaksana Imunisasi melakukan penyaringan
terhadap adanya kontraindikasi dari individu yang merupakan
sasaran Imunisasi.
(2) Terhadap individu yang diduga memiliki kontraindikasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan pelayanan
Imunisasi dengan memberikan penjelasan :
a. jenis Imunisasi;
b. manfaat Imunisasi;
c. kemungkinan terjadinya KIPI; dan
d. jadwal Imunisasi berikutnya.
Pasal 21
(1) Tenaga kesehatan dan asisten tenaga kesehatan wajib
melaksanakan program Imunisasi.
(2) Setiap tenaga kesehatan yang tidak melaksanakan program
Imunisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan sanksi
administratif berupa:
- 15 -
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis; dan / atau
c. sanksi kepegawaian lainnya.
(3) Sanksi kepegawaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c,
dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 22
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian sanksi
administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) diatur
dengan Peraturan Gubernur.
Bagian Keenam
Pemantauan dan Evaluasi
Pasal 23
(1) Pemerintah Daerah dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota wajib
melaksanakan pemantauan dan evaluasi penyelenggaraan Program
Imunisasi wajib secara berkala, berkesinambungan, dan
berjenjang.
(2) Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan untuk mengukur kinerja Penyelenggaraan Imunisasi
wajib sebagai masukan dalam penyusunan perencanaan.
(3) Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan dengan menggunakan instrumen Pemantauan
Wilayah Setempat (PWS), Data Quality Self Assessment
(DQS),Effective Vaccine Management (EVM),Supervisi Suportif,
Surveilans KIPI, Recording and Reporting (RR), Stock Management
System (SMS), Cold Chain Equipment Management (CCEM), Rapid
Convinience Assessment (RCA) dan Survei Cakupan Imunisasi.
BAB IV
PENCATATAN DAN PELAPORAN
Pasal 24
(1) Setiap fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan
pelayanan Imunisasi harus melakukan pencatatan dan pelaporan
- 16 -
secara rutin dan berkala serta berjenjang sesuai peraturan
perundang-undangan.
(2) Pencatatan dan pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi cakupan Imunisasi, stok dan pemakaian vaksin,
monitoring suhu, kondisi peralatan cold chain dan kasus KIPI atau
diduga KIPI.
Pasal 25
(1) Pelaksana pelayanan Imunisasi harus melakukan pencatatan
terhadap pelayanan Imunisasi yang dilakukan.
(2) Pencatatan pelayanan Imunisasi rutin dilakukan sesuai peraturan
perundang-undangan.
(3) Pencatatan pelayanan Imunisasi rutin yang dilakukan pada
pelayanan kesehatan swasta wajib dilaporkan setiap bulan ke
Puskesmas wilayahnya dengan menggunakan format yang berlaku.
Pasal 26
(1) Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota berkewajiban menyampaikan
laporan rekapitulasi pelaksanaan Imunisasi yang telah
dilaksanakan oleh Puskesmas baik secara manual maupun
elektronik kepada Dinas Kesehatan.
(2) Dinas Kesehatan menyampaikan laporan rekapitulasi pelaksanaan
imunisasi yang telah dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota baik secara manual maupun elektronik kepada
pemerintah pusat.
BAB V
PEMANTAUAN DAN PENANGGULANGAN KIPI
Pasal 27
(1) Dalam rangka pemantauan dan penanggulangan KIPI, Pemerintah
Daerah membentuk Komda PP KIPI.
(2) Keanggotaan Komda PP KIPI sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri atas unsur perwakilan dokter spesialis anak, dokter spesialis
penyakit dalam, dokter spesialis forensik, farmakolog, vaksinolog,
imunolog.
- 17 -
(3) Penanggulangan KIPI harus dilaksanakan melalui kegiatan:
a. surveilans KIPI dan website keamanan vaksin;
b. pengobatan dan perawatan pasien KIPI; dan
c. penelitian dan pengembangan KIPI.
(4) Pembiayaan operasional Komda PP KIPI dibebankan pada Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah.
(5) Komda PP KIPI ditetapkan dengan Keputusan Gubernur.
Pasal 28
(1) Masyarakat yang mengetahui adanya dugaan terjadinya KIPI, harus
melapor kepada pelaksana pelayanan Imunisasi, Puskesmas, atau
dinas kesehatan setempat.
(2) Pelaksana pelayanan Imunisasi, Puskesmas, atau dinas kesehatan
setempat yang menerima laporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus melakukan investigasi.
(3) Hasil investigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus segera
dilaporkan secara berjenjang kepada Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota dan Kepala Dinas Kesehatan yang selanjutnya
dilaporkan kepada Komda PP KIPI.
(4) Kepala Dinas Kesehatan melalui Kementerian menyampaikan hasil
investigasi kepada Komnas PP KIPI untuk dilakukan pengkajian
kausalitas KIPI.
(5) Hasil kajian kausalitas KIPI sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
disampaikan kepada Kementerian.
Pasal 29
(1) Pasien yang mengalami gangguan kesehatan diduga akibat KIPI
diberikan pengobatan dan perawatan selama proses investigasi dan
pengkajian kausalitas KIPI berlangsung.
(2) Dalam hal gangguan kesehatan akibat KIPI sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan gangguan kesehatan berkaitan dengan
Vaksin, maka pasien mendapatkan pengobatan dan perawatan.
- 18 -
BAB VI
PERAN SERTA MASYARAKAT DAN KEMITRAAN
Bagian Kesatu
Peran Serta Masyarakat
Pasal 30
(1) Pemerintah Daerah bertanggung jawab menggerakkan masyarakat
agar berperan aktif dalam pelaksanaan pelayanan imunisasi wajib.
(2) Penggerakkan peran aktif masyarakat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan melalui kegiatan:
a. pemberian informasi melalui media cetak, media elektronik, dan
media luar ruang;
b. advokasi dan sosialisasi;
c. pembinaan kader;
d. pembinaan kepada kelompok binaan balita dan anak sekolah;
dan/atau
e. pembinaan organisasi atau lembaga swadaya masyarakat.
Pasal 31
(1) Masyarakat dapat berperan serta dalam pelaksanaan Imunisasi
bekerjasama dengan Pemerintah Daerah.
(2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diwujudkan melalui :
a. penggerakan masyarakat;
b. sosialisasi Imunisasi;
c. dukungan fasilitasi Penyelenggaraan Imunisasi; dan/atau
d. turut serta melakukan pemantauan Penyelenggaraan Imunisasi.
Bagian Kedua
Forum Kemitraan Peduli Imunisasi
Pasal 32
(1) Pemerintah Daerah membentuk Forum Kemitraan Peduli Imunisasi
Provinsi.
(2) Keanggotaan Forum Kemitraan Peduli Imunisasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), meliputi unsur :
- 19 -
a. instansi pemerintah yang terkait dengan urusan Kesehatan;
b. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi;
c. perguruan tinggi;
d. organisasi profesi;
e. organisasi agama;
f. organisasi kemasyarakatan;
g. media massa; dan
h. pihak lain yang terkait.
(3) Forum Kemitraan Peduli Imunisasi Provinsi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) mempunyai tugas:
a. mempersiapkan masyarakat, khususnya tokoh masyarakat,
sehingga bersedia mendukung pelaksanaan pelayanan Imunisasi
dan membangun dukungan masyarakat;
b. menggali peran lintas sektor;
c. melakukan kegiatan untuk mengatasi tindakan-tindakan
penolakan terkait pelaksanaan Imunisasi dan memberikan
dukungan moril maupun material; dan
d. membantu meningkatkan cakupan imunisasi wajib.
(4) Forum Kemitraan Peduli Imunisasi Provinsi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Gubernur.
BAB VII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 33
(1) Pemerintah Daerah melakukan pembinaan terhadap
Penyelenggaraan Imunisasi secara berkala, berjenjang dan
berkesinambungan.
(2) Pembinaan oleh Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi:
a. melakukan pelatihan dan bimbingan teknis.
b. melakukan monitoring dan evaluasi secara berjenjang.
c. memberikan penghargaan terhadap kabupaten/kota yang
mencapai target cakupan Imunisasi.
- 20 -
(3) Pembinaan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) diarahkan
untuk meningkatkan cakupan dan kualitas pelayanan Imunisasi.
Pasal 34
(1) Pemerintah Daerah melakukan pengawasan terhadap
Penyelenggaraan Imunisasi yang dilakukan oleh Pemerintah
Kabupaten/Kota secara berkala.
(2) Dalam rangka pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) Pemerintah Kabupaten/Kota melaporkan
Penyelenggaraan Imunisasi di daerahnya kepada Gubernur melalui
Dinas Kesehatan.
(3) Pengawasan oleh Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) digunakan sebagai tolak ukur kepatuhan Pemerintah
Kabupaten/Kota terhadap Penyelenggaraan Imunisasi.
(4) Pengawasan Penyelenggraaan Imunisasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi pengawasan terhadap :
a. rencana kerja yang dilaksanakan, jumlah Bayi yang diimunisasi
dan kegiatan Imunisasi dimulai dari tahap persiapan,
pelaksanaan, pencatatan dan pelaporan serta monitoring dan
evaluasi;
b. cakupan program dan drop out;
c. Universal Child Immunization (UCI) desa/kelurahan;
d. Logistik; dan
e. kualitas dan keakuratan data Imunisasi mencakup data
sasaran, data logistik, data capaian dan data pelaksanaan
Imunisasi.
BAB VIII
PEMBIAYAAN
Pasal 35
(1) Pembiayaan Penyelenggaraan Imunisasi dibebankan kepada
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi Sumatera Barat
dan sumber pembiayaan dari pihak lain yang tidak mengikat;
(2) Pemerintah Daerah dapat membantu biaya penyelenggaraan
imunisasi.
- 21 -
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 36
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah
Provinsi Sumatera Barat.
Ditetapkan di Padang
pada tanggal 2016
GUBERNUR SUMATERA BARAT,
ttd
IRWAN PRAYITNO
Diundangkan di Padang
pada tanggal 2016
SEKRETARIS DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT,
ttd
ALI ASMAR
LEMBARAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT TAHUN 2016
NOMOR 4
NOREG PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT: (4/2016)
- 22 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT
NOMOR 4 TAHUN 2016
TENTANG
PENYELENGGARAAN IMUNISASI
I. UMUM
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan, imunisasi merupakan salah satu upaya untuk mencegah
terjadinya penyakit menular yang merupakan salah satu kegiatan
prioritas Kementerian Kesehatan sebagai salah satu bentuk nyata
komitmen pemerintah untuk mencapai Millennium Development Goals
(MDGs) khususnya untuk menurunkan angka kematian pada anak.
Kegiatan imunisasi diselenggarakan di Indonesia sejak tahun 1956.
Mulai tahun 1977 kegiatan imunisasi diperluas menjadi Program
Pengembangan Imunisasi (PPI) dalam rangka pencegahan penularan
terhadap beberapa Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi
(PD3I) yaitu Tuberkulosis, Difteri, Pertusis, Campak, Polio, Tetanus
serta Hepatitis B. Beberapa penyakit yang saat ini menjadi perhatian
dunia dan merupakan komitmen global yang wajib diikuti oleh semua
negara adalah eradikasi polio (ERAPO), eliminasi campak-
pengendalian rubella (EC-PR) dan Maternal Neonatal Tetanus
Elimination (MNTE).
Di samping itu, dunia juga menaruh perhatian terhadap mutu
pelayanan dengan menetapkan standar pemberian suntikan yang
aman (safe injection practices) bagi penerima suntikan yang dikaitkan
dengan pengelolaan limbah medis tajam yang aman (waste disposal
management), bagi petugas maupun lingkungan.
Cakupan imunisasi harus dipertahankan tinggi dan merata di
seluruh wilayah. Hal ini bertujuan untuk menghindarkan terjadinya
daerah kantong yang akan mempermudah terjadinya kejadian luar
- 23 -
biasa (KLB). Untuk mendeteksi dini terjadinya peningkatan kasus
penyakit yang berpotensi menimbulkan KLB, imunisasi perlu
didukung oleh upaya surveilans epidemiologi.
Masalah lain yang harus dihadapi adalah munculnya kembali PD3I
yang sebelumnya telah berhasil ditekan (Reemerging diseases),
timbulnya penyakit-penyakit menular baru (Emerging Infectious
Diseases) serta penyakit infeksi yang betul-betul baru (new diseases)
yaitu penyakit-penyakit yang tadinya tidak dikenal (memang belum
ada, atau sudah ada tetapi penyebarannya sangat terbatas; atau
sudah ada tetapi tidak menimbulkan gangguan kesehatan yang
serius pada manusia). Penyakit yang tergolong ke dalam penyakit
baru adalah penyakit-penyakit yang mencuat, yaitu penyakit yang
angka kejadiannya meningkat dalam dua dekade terakhir ini, atau
mempunyai kecenderungan untuk meningkat dalam waktu dekat,
penyakit yang area geografis penyebarannya meluas, dan penyakit
yang tadinya mudah dikontrol dengan obat-obatan namun kini
menjadi resisten.
Seiring dengan kebijakan pemerintah, maka Pemerintah Provinsi
Sumatera Barat berkomitmen untuk menyelenggarakan imusinasi
dengan tujuan :
a. menurunkan angka kesakitan, kecacatan dan kematian akibat
Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) di provinsi
Sumatera Barat.
b. Tercapainya cakupan imunisasi dasar lengkap (IDL) pada bayi
sesuai target RPJMN.
c. Tercapainya Universal Child Immunization/UCI (Prosentase
minimal 80% bayi yang mendapat IDL di suatu desa/kelurahan) di
seluruh desa/kelurahan.
d. Tercapainya target imunisasi lanjutan pada batita dan pada anak
sekolah.
e. Tercapainya validasi Eliminasi Tetanus Maternal dan Neonatal
f. Tercapainya Eradikasi Polio.
g. Tercapainya Eliminasi Campak dan Pengendalian Penyakit Rubela/
Congenital Rubella Syndrome.
- 24 -
Dengan ditetapkannya Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan
Imunisasi, diharapkan mampu mencegah penularan penyakit
menular yang dapat mengganggu kesehatan masyarakat Sumatera
Barat dan tujuan penyelenggaraan imunisasi sebagaimana dimaksud
dapat tercapai.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
- 25 -
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Yang dimaksud dengan “kendali suhu tertentu” adalah
untuk menjaga kualitas vaksin tetap tinggi sejak diterima
sampai didistribusikan ketingkat berikutnya (atau
digunakan), vaksin harus selalu disimpan pada suhu yang
telah ditetapkan, seperti:
a. Vaksin Polio Tetes disimpan pada suhu -15°C s.d. -25°C
pada freeze room atau freezer.
b. Vaksin lainnya disimpan pada suhu 2°C s.d. 8°C pada
cold room atau vaccine refrigerator.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
- 26 -
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT
NOMOR 124.