Grand Strategy Pengembangan Hasil Hutan Bukan...
Transcript of Grand Strategy Pengembangan Hasil Hutan Bukan...
BAB I
Grand Strategy Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Nasional
Oleh: Ir. Suharisno, MM /Tenaga Ahli pada Ditjen RLPS.
I-1
I. PENDAHULUAN
KA. Latar Belakang
omunitas kehutanan selama ini masih dininabobokan hasil hutan kayu
baik dari hutan alam maupun dari hutan tanaman, padahal disisi lain
masih terdapat potensi kawasan hutan yang bernilai ekonomis yang
perlu digali dan dioptimalkan pengelolaan pemanfaatan maupun pemungutannya,
seperti aneka usaha kehutanan dari hasil hutan bukan kayu yang hampir tidak
terjamah, meskipun potensinya sangat besar.
Sumberdaya hutan (SDH) mempunyai potensi multi fungsi yang dapat
memberikan manfaat ekonomi, lingkungan dan sosial bagi kesejahteraan umat
manusia. Manfaat tersebut bukan hanya berasal dari Hasil Hutan Kayu (HHK)
seperti yang terjadi saat ini, melainkan juga manfaat Hasil Hutan Bukan Kayu
(HHBK), karbon dan ekowisata.
Sejalan dengan itu, ke depan pembangunan kehutanan diharapkan tidak lagi
hanya berorientasi pada hasil hutan kayu, tetapi sudah selayaknya menggali
potensi Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK), sehingga perlu kebijakan dalam rangka
mengoptimalkan pemanfaatan HHBK sesuai dengan peraturan perundangan
yang berlaku (Pengelolaan pemanfaatan HHBK) tercantum pada UU. No. 41
tahun 1999, yaitu pasal 26 (pemungutan HHBK pada Hutan Lindung), pasal 28
(pemanfataan HHBK pada hutan produksi). Demikian juga halnya pada PP no 6
tahun 2007, upaya optimalisasi HHBK juga terdapat pada pasal 28 (Pemungutan
HHBK pada Hutan Lindung), pasal 43 (Pemanfaatan HHBK dalam hutan
tanaman pada hutan produksi).
Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN) disusun sebagai pelaksanaan
mandat UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan PP No. 44 Tahun 2004
tentang Perencanaan Kehutanan. RKTN disusun berdasarkan hasil inventarisasi
hutan nasional, merupakan rencana jangka panjang 20 tahun yang meliputi
seluruh fungsi pokok hutan (konservasi, lindung dan produksi). RKTN meliputi
seluruh aspek pengurusan hutan (perencanaan kehutanan, pengelolaan hutan,
Litbangdiklatluh, dan pengawasan). RKTN sebagai rencana sektor kehutanan
akan menjadi acuan bagi penyusunan rencana-rencana yang cakupannya lebih
I-2
rendah baik berdasarkan skala geografis, jangka waktu rencana maupun
program-program pembangunan kehutanan.
RKTN diharapkan dapat memberikan arah pengurusan hutan ke depan untuk
dapat mengembalikan potensi multi fungsi dari hutan dan kawasan hutan serta
pemanfaatannya secara lestari bagi kesejahteraan rakyat Indonesia serta mampu
memberikan kontribusi nyata bagi kepentingan pemeliharaan lingkungan global,
yang didasarkan pada kerangka pikir sebagai berikut:
DIAGRAM ALUR PENYUSUNAN RENCANA KEHUTANAN TINGKAT NASIONAL
KONDISI SAAT INI TARGET s/d 2029
HHKHHBKJasling, WA
Gambar 1. Diagram kerangka pikir penyusunan RKTN (2010 - 2029).
Sistem perencanaan HHBK menjadi salah satu kebijakan yang bersifat pengarus-
utamaan (main streaming) pada sistem perencanaan hutan, yang memberikan
arahan pemanfaatan, rehabilitasi dan konservasi, penelitian dan pengembangan,
kelembagaan, organisasi dan sumberdaya manusia, serta pemberdayaan
masyarakat.
B. Maksud dan Tujuan
Penyusunan Grand Strategy ini adalah untuk memberikan arah, kebijakan serta
gambaran pengembangan HHBK kepada pelaku usaha, para pihak dan
masyarakat yang akan mengembangkan usaha HHBK. Sedangkan tujuannya
adalah :
H. Produksi
H. Konsevasi
H. Lindung
Ekonomi, SosialLingkungan, Terbangunnya
prakondisiClimate
Daerah kritisProgram-rehabilitasiPeta DAS
KehatiPerlindunganPemanfaatan
ISU GLOBALNasional - Internasional
Terpeliharanyamulti fungsi hutan
dan pemanfaatan lestaribagi kesejahteraan
masyarakat
Tantangan
Program PembangunanKehutanan yg telah
dilaksanakan
ArahanPengurusanHutan Nasional
Ketahanan NasionalStrategi KH dalam
kerangka dayadukung ruang
I-3
1. Menggali potensi daerah dalam pengembangan HHBK sebagai alternatif
sumber pangan, sumber bahan obat-obatan, penghasil serat, penghasil
getah-getahan dan lainnya yang dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.
2. Mendukung kebijakan nasional dalam mengembangkan dan meningkatkan
produksi HHBK.
3. Adanya acuan mulai dari perencanaan sampai pasca panen bagi pelaku
usaha, para pihak dan masyarakat luas dalam pengembangan HHBK;
C. Ruang Lingkup
Ruang lingkup penyusunan Grand Strategy ini meliputi: Arah Kebijakan dan
Strategi Pengembangan HHBK 2009 – 2014.
I-4
II. ARAH KEBIJAKAN PENGEMBANGAN HHBK
A. Prospek Pengembangan
1. Kondisi Saat Ini
Nilai tambah terbesar HHBK adalah pada perdagangan internasional (ekspor),
dan ini berlaku untuk semua komoditas, di semua Negara produsen. Terdaftar
10 properti pasar internasional untuk komoditi HHBK yang sekarang ini
menunjukkan kinerja ekspor yang potensial. Dari 10 properti tersebut, 6
properti dapat dijadikan arahan untuk pengembangan ekspor HHBK ke pasar
internasional, dan 4 properti lainnya merupakan keterbatasan yang harus
diperhatikan ketika akan dilakukan pengembangan ekspor.
Di Indonesia melalui Peraturan Menteri Kehutanan nomor P.35/Menhut-II/
2007 telah ditetapkan 558 komoditas HHBK baik nabati maupun hewani yang
menjadi urusan kehutanan. Sampai saat ini telah terkumpul informasi
sebaran Komoditas Unggulan HHBK Per Provinsi (Tabel 1).
Tabel 1. Sebaran Komoditas Unggulan HHBK per Provinsi
No Provinsi Jenis Komoditi HHBK Unggulan
1 Nangroe Aceh Darussalam Gondorukem, Arang, Gaharu
2 Sumatera Utara Kemiri, gambir, gondorukem, getah J l d S l3 Sumatera Barat Kemiri, Gambir, Kulit manis
4 Riau Getah Jelutung, Gaharu, Arang
5 Jambi Getah Jelutung
6 Sumatera Selatan Gaharu, Kemiri
7 Lampung Kemiri
8 Bengkulu Gaharu, Kemiri
9 Daerah Khusus Ibukota J k
-
10 Jawa Barat Gondorukem, kemiri, Sutera alam, Bambu
11 Jawa Tengah Sutera alam
12 Istimewa Yogyakarta Bambu
13 Jawa Timur Empon-Empon, Gondorukem
14 Kalimantan Barat Gaharu, biji Tengkawang & getah Jelutung
15 Kalimantan Tengah Gaharu, biji Tengkawang & getah Jelutung
16 Kalimantan Selatan Kemiri, getah Jelutung
17 Kalimantan Timur Biji Tengkawang & getah Jelutung
18 Sulawesi Utara Getah Damar, gondorukem
19 Sulawesi Tengah Rotan, Getah Kopal, Aren
20 Sulawesi Selatan
Rotan, Sutera, Gondorukem, getah kopal, Aren, Sagu
I-5
21 Sulawesi Tenggara Aren, Rotan, Getah Kopal
22 Nusa Tenggara Barat Gaharu, minyak cendana, gondorukem, Madu
23 Nusa Tenggara Timur Lak, minyak cendana, kemiri, bambu, Kayu putih
24 Maluku Sagu, getah kopal, kayu putih
25 Maluku Utara Sagu, getah kopal, kayu putih
26 Papua Sagu, gambir, buah merah, gaharu, kemiri
27 Irian Jaya Barat Sagu, buah merah, gaharu
28 Banten Bambu, tanaman obat
29 Keplauan Bangka B li
Gaharu
30 Gorontalo Sagu
31 Sulawesi Barat Kemiri
32 Kepulauan Riau Getah jelutung, gaharu, arang
33 Bali Gondorukem, bambu, sutera
Tabel 2. Data ekspor produksi beberapa jenis HHBK pada tahun 2003 s/d 2004 dalam Ton
Tahun No Komoditi Satuan 2003 2004
1 Rotan Ton 32.746 31.600 2 Gondorukem Ton 4.881,64 863,69 3 Damar/resin Ton - - 4 Terpentin Ton 5.495 6.794 5 Arang Ton 5.178,08 12.436 6 Gambir Ton 8.920 17.478 7 Minyak atsiri Ton 6.904 6.563 8 Gaharu Ton 540,04 1.408,84 9 Sagu Ton 21,27 388,76 10 Jelutung Ton - - 11 Kolang-kaling Ton 204,18 7,14 12 Kemiri Ton - - 13 Bambu Ton 4.463 4.847
Tabel 3. Data ekspor produksi beberapa jenis HHBK pada pada tahun 2003 s/d 2004, dalam US$)
Tahun No Komoditi Satuan 2003 2004
1 Rotan Juta USD 20,59 20,83 2 Terpentin Juta USD 2,28 3,36 3 Gambir Juta USD 9,69 18,23 4 Minyak Atsiri Juta USD 66,41 71,03 5 Tanaman Obat Juta USD 4,6 5,7 6 Kopal Juta USD - - 7 Bambu Juta USD 1,89 2,28
I-6
2. Kondisi yang diharapkan.
Diharapkan dengan pengembangan HHBK pada wilayah sentra produksi baik
yang berasal dari kawasan hutan maupun luar kawasan hutan melalui
serangkaian kebijakan pengembangan HHBK :
a. Mengurangi ketergantungan pada hasil hutan kayu.
b. Peningkatan pendapatan masyarakat sekitar hutan dari HHBK serta
menimbulkan kesadaran dalam pemeliharaan kawasan hutan.
c. Meningkatkan devisa sektor kehutanan non kayu.
d. Terciptanya lapangan kerja baru di sektor kehutanan yang berasal dari
komoditi HHBK.
3. Peluang Intervensi.
Peluang Indonesia untuk memanfaatkan pasar internasional cukup terbuka.
Keterbukaan tersebut terutama didorong oleh : pertumbuhan ekspor HHBK
dunia yang bagus, yakni sekitar 15% per tahun, sebaran negara pengimpor
HHBK yang cukup lebar, preferensi konsumen yang menilai tinggi pada
produk yang terkait dengan proses alami di hutan terutama hutan tropis, dan
biaya produksi yang murah di negara-negara produsen produk primer.
Ketika properti pasar internasional, baik yang bersifat membuka
pengembangan, maupun yang bersifat keterbatasan, akan ditanggapi lebih
tertata, maka masing-masing dapat dihadapkan pada langkah utama atau
fokus intervensi. Langkah utama atau fokus intervensi tersebut berupa salah
satu atau kombinasi dari yang berikut ini :
a. Strategi pelayanan nilai-nilai pada pasar global
b. Strategi pelayanan pada pasar dan ekonomi nasional
c. Strategi pelayanan pada pasar dan ekonomi lokal
d. Kebijakan nasional
e. Peningkatan peran pemerintah daerah
f. Peningkatan Potensi dan ragam
g. Peningkatan Kapasitas pengelolaan usaha/produksi
h. Optimasi pelayanan pasar untuk komoditas tertentu
i. Peningkatan pengelolaan Informasi dan pembelajaran
j. Pengembangan teknologi
k. Peningkatan kepemimpinan
l. Peningkatan akses finansial
I-7
Di sisi sistem produksi HHBK, masing-masing produk HHBK dihadapkan pada
karakter potensi sumberdaya, kinerja ekonomi (yang pernah tercatat), karakter
morfologis yang berpotensi mendorong pengembangan, berpotensi sebagai
hambatan, berpotensi membuka peluang pengembangan, bersifat terbatas,
serta ancaman terhadap sumberdaya maupun usaha komoditas HHBK yang
bersangkutan. Tabel 4 menyajikan secara lebih terinci mengenai profil singkat
HHBK di Indonesia. Setiap sistem usaha komoditas HHBK mempunyai ciri
morfologis tersendiri yang perlu diperhatikan pada saat akan dirumuskan
strategi pengembangan yang spesifik. Ada beberapa komoditas yang sudah
dapat diusahakan pada skala menengah (rotan, pinus, kayu putih, arwana,
walet) tetapi komoditas lainnya masih sangat kental dengan bentuk skala
usaha rumah tangga, kelompok, dan skala usaha kecil.
Pada masing-masing komoditas kemudian diidentifikasi kunci intervensi
pengembangannya, mulai dari kunci pemasaran, kebijakan, kapasitas usaha,
sampai dengan kepemimpinan dan akses finansial. Dapat dicermati pada
tabel tersebut bahwa pengembangan usaha HHBK di semua komoditas selalu
memerlukan dua hal penting sebagai kunci intervensi, yakni:
a. informasi dan peningkatan kapasitas melalui pengelolaan informasi dan
pembelajaran yang terus menerus,
b. kepemimpinan, yang dapat diartikan sebagai ketokohan untuk melakukan
berbagai terobosan dalam memanfaatkan peluang pasar,
memaksimumkan potensi dan menemukan strategi yang tepat untuk
menanggapi berbagai situasi yang menghambat. Kepemimpinan ini
diperlukan dengan berbagai kualitas di tingkat kebijakan/ kepemerintahan,
pemerintah daerah, lembaga bisnis di tingkat unit usaha, dan pada aktor
pendamping masyarakat (LSM).
Keterbatasan-keterbatasan perilaku industri hilir yang masih dikuasai Negara
pengimpor, struktur pasar internasional cenderung oligopsonik, kentalnya
peran pengepul (agen) di negara produsen, serta belum mantapnya
standarisasi produk HHBK primer, untuk sementara ini pengembangan hanya
dapat dilakukan pada produk bahan mentah dan industri primer saja.
I-8
Tabel 4, Profil singkat HHBK di Indonesia
KELOMPOK KOMODITAS
POTENSI
SUMBERDAYA POTENSI EKONOMI PENGUNGKIT KENDALA ANCAMAN INTERVENSI YANG
DIPERLUKAN
Makanan
Unggulan:
Tengkawang
Paling kurang tersebar di 4 juta hektar hutan alam dan 1 juta hektar pada tanaman meranti di Kalimantan
Dapat dikem-bangkan di Sumatra
Ekspor - 213 MT pada 1997/1998
15,000 orang bekerja sambilan dalam pengum-pulan, pengepul, industri dan perdagangan tengkawang
Mampu melibatkan perempuan dalam kegiatan pasca pengumpulan buah
Mudah dibudidaya- kan
Akses pasar sangat kurang
Deforestasi terhadap habitat pohon tengkawang
Kerja kayu (logging) lebih memberikan pendapatan tunai dari pada peremajaan pohon tengkawang
Pasar global Pasar dan ekonomi nasional Pasar dan ekonomi local Peran pemerintah daerah Kapasitas pengelolaan usaha/produksi Pelayanan pasar Informasi dan pembelajaran Kepemimpinan Akses finansial
Makanan
Unggulan:
Sagu
Paling kurang tersebar di 6 juta hektar hutan alam (rawa dan dataran rendah) Di Kalimantan, Sumatra, Sulawesi, Maluku, Papua. Potensi produksi lestari sagu diperkirakan sebesar 2 juta ton per tahun
Ekspor tidak diketahui
Paling kuran 1 juta penduduk Indonesia bergantung sagu sebagai makanan pokok.
Mampu melibatkan perempuan dalam kegiatan pasca panen
Mudah dibudidayakan
Akses pasar sangat kurang
Teknologi dan industri hilir belum dikembangkan (termasuk biodiesel industry)
Deforestasi terhadap habitat pohon sagu
Substitusi oleh beras
Pasar dan ekonomi local Kebijakan nasional Peran pemerintah daerah Kapasitas pengelolaan usaha/produksi Pelayanan pasar Informasi dan pembelajaran Pengembangan teknologi Kepemimpinan Akses finansial
Getah-getahan:
Pinus
Paling kurang 500,000 ha tanaman pinus di kawasan hutan Negara,
50,000 ha tanaman pinus rakyat
Produksi gondoru- kem, 62 110 MT; turpentin 12 306 MT
Ekspor: gondorukem, 39 166 MT (US$18.5 juta) pada 1999; turpentin 7 188 MT (US$2.13 juta)
Menguntungkan secara finansial, melnyerap banyak tenaga kerja
Pengembangan pasar
Industri hilir tidak dikembangkan
Deforestasi terhadap habitat pohon tengkawang
Kerja kayu (logging) lebih
Pasar global Kapasitas pengelolaan usaha/produksi Pelayanan pasar Informasi dan pembelajaran Pengembangan teknologi
I-9
70.000 orang ter-libat pada peker-jaan di hutan pinus dan pabrik gondo-rukem di kawasan Perhutani saja
memberikan pendapatan tunai dari pada peremajaan pohon tengkawang
Kepemimpinan
Getah-getahan:
Jelutung
Potensi areal hutan sebagai sumber sebaran pohon jelutung lebih besar dari 4 juta hektar.di Kalimantan dan Sumatra
Ekspor - 2 785 MT pada 1997/1998
Melibatkan 15,000 orang bekerja sambilan pada penyadapan, pengepulan dan perdagangan getah jelutung
Mampu melibatkan perempuan dalam kegiatan pasca pengumpulan getah
Mudah dibudidayakan
Akses pasar sangat kurang
Budidaya dan pengelolaan hutan damar sangat bergantung pada leadership lokal
Deforestasi terhadap habitat pohon jelutung
Kerja kayu (logging) lebih memberikan pendapatan tunai dari pada mellakukan peremajaan
Pasar global Pasar dan ekonomi nasional Pasar dan ekonomi local Peran pemerintah daerah Kapasitas pengelolaan usaha/produksi Pelayanan pasar Informasi dan pembelajaran Pengembangan teknologi Kepemimpinan Akses finansial
Getah-getahan: Pinus
Paling kurang 500,000 ha tanaman pinus di kawasan hutan Negara, 50,000 ha tanaman pinus rakyat
Produksi gondoru- kem, 62 110 MT; turpentin 12 306 MT Ekspor: gondorukem, 39 166 MT (US$18.5 juta) pada 1999; turpentin 7 188 MT (US$2.13 juta) 70.000 orang ter-libat pada peker-jaan di hutan pinus dan pabrik gondo-rukem di kawasan Perhutani saja
Menguntungkan secara finansial, melnyerap banyak tenaga kerja
Pengembangan pasar Industri hilir tidak dikembangkan
Deforestasi terhadap habitat pohon tengkawang Kerja kayu (logging) lebih memberikan pendapatan tunai dari pada peremajaan pohon tengkawang
Pasar global Kapasitas pengelolaan usaha/produksi Pelayanan pasar Informasi dan pembelajaran Pengembangan teknologi Kepemimpinan
Getah-getahan: Jelutung
Potensi areal hutan sebagai sumber sebaran pohon jelutung lebih besar dari 4 juta
Ekspor - 2 785 MT pada 1997/1998 Melibatkan 15,000 orang bekerja sambilan pada
Mampu melibatkan perempuan dalam kegiatan pasca pengumpulan getah
Akses pasar sangat kurang Budidaya dan pengelolaan
Deforestasi terhadap habitat pohon jelutung Kerja kayu
Pasar global Pasar dan ekonomi nasional Pasar dan ekonomi local
I-10
hektar.di Kalimantan dan Sumatra
penyadapan, pengepulan dan perdagangan getah jelutung
Mudah dibudidayakan hutan damar sangat bergantung pada leadership lokal
(logging) lebih memberikan pendapatan tunai dari pada mellakukan peremajaan
Peran pemerintah daerah Kapasitas pengelolaan usaha/produksi Pelayanan pasar Informasi dan pembelajaran Pengembangan teknologi Kepemimpinan Akses finansial
Obat-obatan: minyak kayu putih
17,000 ha tanaman kayu putih milik Perum perhutani. Hutan kayu putih tersebar di Propinsi Maluku merupakan potensi yang cukup besar
357 035 liter pada 1998/ 1999 dengan Nilai : Rp.7 858 362 000 5000 orang bekerja pada hutan dan pabrik, 10,000 orang bekerja pada perdagangan yang menyangkut transaksi kayu putih
Menguntungkan secara finansial, melnyerap banyak tenaga kerja Usaha produktif dapat dilaukan oleh UKM
Pengembangan pasar Industri hilir tidak dikembangkan
Pasar global Pasar dan ekonomi nasional Pasar dan ekonomi local Kapasitas pengelolaan usaha/produksi Pelayanan pasar Informasi dan pembelajaran Pengembangan teknologi Kepemimpinan
Serat: Rotan dan bambu
Potensi areal hutan untuk pengembangan rotan alam paling kurang tersebar di areal seluas 40 juta hektar Tanaman rotan rakyat diperkirakan paling kurang seluas 50,000 ha di 4 propinsi di kalimantan 50 000 ha – tanaman bambu di Jawa Timur dan Sulawesi Selatan,
Ekspor - 112 078 MT (US$294 juta) Produksi 62.664 MT pada 1998/1999 Permintaan jernang rotan paling kurang 500 ton per tahun 350 000 bekerja sambilan dan penuh waktu pada pengumpulan/ pemanenan, pengepulan, dan industri rotan. Ekspor bambu- US$1.2 juta pada 1989. Pada 1985 konsumsi bambu 146 juta batang
Menguntungkan secara finansial, melnyerap banyak tenaga kerja Usaha produktif dapat dilaukan oleh UKM
Transfer price bergantung pada pengepul, tidak menguntungkan petani rotan. Pengembangan pasar dikuasai China dan Singapore Sinkronisasi dengan industri hilir tidak dikembangkan
Substitusi plastic dan metal Konversi hutan untuk penggunaan lain Kebakaran hutan
Pasar global Pasar dan ekonomi nasional Pasar dan ekonomi local Kebijakan nasional Peran pemerintah daerah Kapasitas pengelolaan usaha/produksi Pelayanan pasar Informasi dan pembelajaran Pengembangan teknologi Kepemimpinan
I-11
150,000 orang bekerja sambilan dan tetap pada tanaman dan industri bambu
Gaharu Potensi nasional tidak diketahui karena sebaran kayu gaharu sangat acak. Diperkirakan paling kurang ada 100,000 pohon gaharu, dan setiap pohonnya menghasilkan 0.5 sampai 4 kg gaharu. Penaman pohon gaharu masih dalam sekala eksperimental.
Ekspor - 309.8 MT Rp.6 .2 milyar pada 1995 Diperkirakan 7000 orang bekerja pada pencarian dan perdagangan gaharu. Sebagian besar produksi gaharu diselundupkan melalui Singapore dan Hongkong
Harga ijnternasional sangat bagus
Transfer price bergantung pada pengepul, tidak menguntungkan pemburu gaharu Budidaya belum sampaui pada tingkat imlementasi yang diterima petani hutan
Deforestasi hutan alam menye-babkan sumber gaharu sedmakin menipis Konversi hutan untuk penggunaan lain Kebakaran hutan
Pasar global Kebijakan nasional Peran pemerintah daerah Potensi dan ragam Informasi dan pembelajaran Pengembangan teknologi Kepemimpinan
Produk serangga: Madu dan lilin lebah
Potensi pengembangan madu alam tergantung pada kuas areal hutan di dataran rendah, yang telah berkurang tinggal 40%. Perkiraan konservatif adalah 20 juta hektar hutan alam yang masih mempunyai potensi sebagai habitat lebah madu
2 615 72.8 MT (1997/98), Lebih dari 300,000 orang terlibat dalam pekerjaan sambilan untuk pengumpulan, budidaya, pengolahan dan perdagangan
Permintaan internasional dan domestic tinggi Budidaya dikuasai
Transfer price bergantung pada pengepul, tidak menguntungkan petani Teknologi pasca panen dan industri hilir tidak berkembang
Deforestasi hutan alam menye-babkan habitat lebah sedmakin menipis Konversi hutan untuk penggunaan lain Kebakaran hutan
Pasar global Pasar dan ekonomi nasional Pasar dan ekonomi local Peran pemerintah daerah Kapasitas pengelolaan usaha/produksi Pelayanan pasar Informasi dan pembelajaran Pengembangan teknologi Kepemimpinan
Produk serangga lain: shellac
Potensi pengembangan budidaya cukup luas, dapat mencapai 200,000 hektar di Jawa dan nusa tenggara, tetapi kelayakannya sangat bergantung pada
Ekspor - 93 MT dengan nilai US$130200 (1999) Diperkirakan mam pu menampung 20,000 orang dalam penanaman, pemanenan, industri dan perdagangan
Permintaan internasional dan domestic tinggi Penghusahaan menguntungkan secara finansial Budidaya dikuasai
Negosiasi harga di tingkat internasional lemah Produk hilir tidak dikembangkan
Pasar global Kapasitas pengelolaan usaha/produksi Pelayanan pasar Informasi dan pembelajaran Pengembangan teknologi
I-12
situasi harga Kepemimpinan
Satwa dan produk turunannya: arwana
Potensi budidaya sangat besar, karena teknologinya sudah dikuasai
USD 1.4 juta pada 2001 Financial menguntungkan Peluang investasi terbuka
Memerlukan pengamanan terhadap investasi yang konsisten
Kerusakan habitat alam menurunkan potensi sumber genetic arwana
Pasar global Peran pemerintah daerah Informasi & pembelajaran Kepemimpinan Akses finansial
Satwa dan produk turunannya: walet
Potensi budidaya sangat besar, karena teknologinya sudah dikuasai
USD 12 juta pada 2004 Financial sangat menguntungkan Peluang investasi terbuka
Memerlukan pengamanan terhadap investasi yang konsisten
Kerusakan habitat alam menurunkan kualitas produk
Pasar global Kapasitas pengelolaan usaha/produksi Pelayanan pasar Informasi dan pembelajaran Kepemimpinan Akses finansial
Produk HHBK lain (karang indah dll)
Potensi budidaya sangat besar, karena teknologinya sudah dikuasai
Ekspor 2.2 juta unit senilai USD 420,000 Melibatkan lebih dari 500 kelompok nelayan
Financial menguntungkan Dapat dilakukan oleh UKM
Memerlukan dana investasi awal Memerlukan pendampingan kelompok nelayan yang konsisten
Penyelundupan karang indah merusak struktur dan perilaku pasar
Pasar global Pasar dan ekonomi nasional Kebijakan nasional Peran pemerintah daerah Potensi dan ragam Kapasitas pengelo-laan usaha/produk Pelayanan pasar Kapasitas pengelolaan usaha/produksi Pelayanan pasar Informasi dan pembelajaran Kepemimpinan Akses finansial
I-13
B. Kerangka Pemikiran Grand Strategy HHBK
HHBK dapat berasal dari kawasan hutan dan luar kawasan hutan/lahan milik atau
hutan rakyat. HHBK yang berasal dari kawasan hutan menurut UU No. 41 tahun
1999, dan PP No. 6 tahun 2007 dan perubahannya dibedakan menjadi: (a) HHBK
yang berasal dari hutan lindung dan dikenal dengan nama pemungutan, (b)
HHBK berasal dari hutan produksi baik hutan alam maupun hutan tanaman
dikenal dengan istilah pemanfaatan. Pemungutan HHBK yang berasal dari hutan
lindung antara lain berupa: rotan, madu, getah, buah, jamur, sarang burung walet
dan penangkaran satwa liar. Sedangkan hasil HHBK dari hutan produksi antara
lain:
1. Rotan, sagu, nipah, yang meliputi kegiatan penanaman, pemanenan, dan
pemasaran hasil.
2. Getah, kulit kayu, daun, buah atau biji, gaharu yang meliputi kegiatan
pemanenan, pengayaan, pemeliharaan, pengamanan, dan pemasaran hasil.
Langkah-langkah dalam Pengelolaan Pemanfaatan :
1. Inventarisasi dan pemetaan potensi HHBK didalam dan diluar kawasan hutan,
Kegiatan ini dimaksudkan untuk memperoleh:
Sebaran potensi per komoditas per Provinsi
Sebaran potensi per komoditas per Kabupaten
2. Penentuan/seleksi jenis komoditas HHBK prioritas yang akan dikembangkan
pada suatu wilayah. Untuk menentukan prioritas pengembangan HHBK pada
suatu wilayah, ditetapkan kriteria, antara lain:
Prospek pasar (lokal, regional, dan Internasional)
Kesiapan infrastruktur menuju sentra HHBK
Dukungan pengusaha dan Pemda setempat
3. Penyusunan/Perumusan Kebijakan yang mendukung pengelolaan HHBK.
Kebijakan ini diharapkan dapat menjadi dasar bagi pelaku usaha dan
masyarakat yang akan melaksanakan pengembangan HHBK. Langkah ini
bersifat lintas sektor, antara lain:
Alokasi lahan produksi (alam dan tanaman) untuk pengembangan HHBK
Insentif bagi pengusaha dibidang HHBK (Pelaku Usaha)
Insentif bagi masyarakat yang akan mengembangkan HHBK.
I-14
Kerangka pemikiran pengelolaan pemanfaatan HHBK dapat dilihat pada
Gambar.2.
Gambar 2. Diagram Pengembangan Pemanfaatan HHBK
C. Program Pengembangan HHBK
1. Pengelompokan HHBK berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan nomor
P.35/Menhut-II/2007 adalah:
a. Kelompok Resin.
b. Kelompok Minyak Atsiri.
c. Kelompok Minyak Lemak, Pati, dan Buah-buahan.
d. Kelompok Tannin, Bahan Pewarna dan Getah.
e. Kelompok Tumbuhan Obat dan Tanaman Hias.
f. Kelompok Palma dan Bambu.
I-15
g. Kelompok Alkaloid.
h. Kelompok Lainnya.
i. Kelompok Hasil Hewan.
2. Road Map HHBK sektor kehutanan (2010 s/d 2025) maka program
pengembangan HHBK sektor kehutanan terdiri atas :
Tier 1 (level 1) : HHBK yang termasuk dalam kelompok advance (komoditas
HHBK ekonomis yang telah dikuasai teknik budidaya dan
teknologi pengolahan).
Tier 2 (level 2) : HHBK yang termasuk dalam kelompok intermediate
(komoditas HHBK ekonomis yang belum sepenuhnya
dikuasai teknik budidaya dan teknologi pengolahan).
Tier 3 (level 3) : HHBK yang termasuk dalam kelompok preliminary
(komoditas HHBK ekonomis yang belum dikuasai teknik
budidaya dan teknologi pengolahannya).
(Sumber : Road Map Sektor Kehutanan, Badan Litbang Kehutanan, 2008)
Setiap lima tahun dilakukan evaluasi terhadap perkembangan status dan
produktifitas HHBK pada setiap level.
3. Faktor Pendukung Pengembangan HHBK
a. Pemantapan kawasan
Peningkatan kelengkapan, keakuratan dan keterkinian hasil
inventarisasi HHBK di dalam setiap kegiatan inventarisasi hutan;
Pelaksanaan inventarisasi HHBK di tiap level; Metode dan
pelaksanaan inventarisasi HHBK; Jenis parameter inventarisasi hutan
dimasing-masing level.
Percepatan proses pengukuhan; Penyelesaian konflik kawasan;
Identifikasi kawasan hutan yang potensial untuk non kehutanan:
Proses penyesuaian tata ruang; Rekonstruksi (tinjau ulang) dan
realisasi tata batas.
Percepatan proses pembentukan unit-unit KPH pada seluruh kawasan
hutan (konservasi, lindung dan produksi) dengan mengarus-utamakan
kelas perusahaan HHBK.
I-16
Implementasi dari perencanaan pengembangan HHBK sebagai
bagian dari sistem perancanaan kehutanan menuju terwujudnya
rencana kehutanan yang hirarkis dan terintegrasi mulai dari tingkat
nasional, provinsi, kabupaten/kota dan unit pengelolaan, yang meliputi
jangka waktu panjang dan pendek pada seluruh kawasan hutan
(konservasi, lindung dan produksi).
Mempertimbangkan Indonesia merupakan kepulauan (terdiri dari lebih
kurang 17.000 pulau yang sebagian besar merupakan pulau-pulau
kecil), dengan kawasan hutan yang juga tersebar di sebagian besar
pulau-pulau tersebut, maka arah pengembangan HHBK harus
mempertimbangkan ekosistem, termasuk ekogeografis yang spesifik.
b. Mitigasi perubahan iklim.
Terselenggaranya secara optimum peran kawasan hutan di dalam
mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dan diterimanya imbalan yang
seimbang dari peran tersebut. Pengembangan HHBK ditempatkan
sebagai salah satu elemen pendukung percepatan pembentukan KPH
untuk diposisikan sebagai register area dalam mekanisme
perdagangan karbon.
Identifikasi lokasi-lokasi yang potensial memasuki skema pasar
karbon dan membangun model implementasi skema perdagangan
karbon dengan lebih menitik-beratkan pemanenan HHBK serta lebih
banyak menunda pemanenan kayu untuk memperbesar cadangan
karbon.
Penyelenggaraan penelitian kemampuan/kapasitas penyerapan dan
penyimpanan karbon (CO2) oleh tegakan hutan dan pengembangan
sistem perhitungannya, ketika tegakan lebih diarahkan untuk produksi
HHBK.
c. Pemanfaatan hutan
Penyempurnaan pedoman dan percepatan tata hutan baik untuk
hutan konservasi, lindung dan produksi sebagai dasar arahan bentuk
I-17
pemanfaatan hutan dalam sistem KPH yang meliputi kayu dan bukan
kayu; Penyusunan rencana pengelolaan hutan pada setiap unit KPH.
Peningkatan kegiatan inventarisasi sumberdaya hutan sehingga dapat
dikuasainya data/informasi potensi hutan sebagai dasar pemanfaatan
kayu dan bukan kayu yang lestari.
Intensifikasi pemanfaatan lahan hutan; peningkatan produktifitas
melalui perbaikan teknik silvikultur yang disesuaikan dengan tipologi
hutan setempat; Joint production (dalam satu tapak hutan dapat
dimanfaatkan dengan berbagai tujuan misalnya hasil hutan kayu, hasil
hutan bukan kayu dan sekaligus jasa lingkungan air, dsb).
Pemanfaatan hutan guna produksi hasil hutan bukan kayu
diselenggarakan oleh usaha skala kecil untuk menciptakan dunia
usaha kehutanan yang tahan (lentur) menghadapi perubahan
lingkungan strategis yang sangat dinamis.
Peningkatan pemberdayaan masyarakat di dalam pemanfaatan hutan,
antara lain melalui peningkatan kapasitas dan akses masyarakat
terhadap sumber daya hutan termasuk di dalamnya HHBK, dengan
memanfaatkan secara maksimal instrumen pemberdayaan (pola
kemitraan, HKm dan Hutan Desa) serta pelibatan dalam usaha
kehutanan skala kecil antara lain melalui HTR, dll.
d. Rehabilitasi
Meningkatkan pertimbangan pengembangan HHBK pada percepatan
pembangunan hutan tanaman (HTI dan HTR), pembangunan hutan
rakyat, GERHAN, dan gerakan menanam lainnya sehingga lebih
dapat terjamin adanya laju rehabilitasi yang lebih besar dari laju
degradasi
Percepatan rehabilitasi pada DAS prioritas dengan memaksimumkan
kelas perusahaan HHBK untuk meningkatkan daya dukung ruang
hidup.
I-18
Kegiatan rehabilitasi dipersiapkan kemungkinannya untuk memasuki
skema voluntary carbon market, yang dapat memberikan manfaat
langsung kepada masyarakat.
e. Perlindungan dan pengamanan hutan
Penguatan peraturan perundangan dan kelembagaan untuk
meningkatkan efektifitas upaya pencegahan dan pemberantasan
gangguan terhadap hutan dan kawasan hutan melalui berbagai
insentif yang melekat pada pengembangan HHBK.
Penyadaran dan penguatan kelembagaan masyarakat untuk ikut
berperan dalam kegiatan perlindungan dan pengamanan hutan
melalui berbagai insentif pemanfaatan HHBK.
Penegakan hukum (low enforcement) yang adil dan transparan.
f. Konservasi alam
Pemanfaatan HHBK tidak dapat dilepaskan dari upaya peningkatan
upaya konservasi keanekaragaman hayati melalui konservasi
ekosistem in-situ dan konservasi ex-situ.
Penguatan pengelolaan kawasan konservasi ekosistem, jenis dan
genetik melalui kolaborasi pengelolaan, profesionalisme sumber daya
manusia, penerapan good forest governance serta pengembangan
sistem insentif konservasi yang kondusif.
Memperluas pelaku dan jumlah jenis pemanfaatan HHBK di kawasan
konservasi.
g. Penelitian dan Pengembangan
Pemanfaatan hasil Litbang dan teknologi dalam pemanfaatan HHBK
untuk meningkatkan efisiensi serta nilai tambah pemanfaatan hutan.
Membangun kegiatan penelitian yang lebih integratif; melibatkan
berbagai disiplin ilmu dan berorientasi kepada kebutuhan pengguna
(user-oriented); menghasilkan produk HHBK dan teknologi
pengembangannya yang inovatif, bernilai tambah tinggi, berorientasi
pasar, ramah lingkungan dan berdaya saing tinggi.
I-19
h. Kelembagaan
Kelembagaan pengurusan HHBK dibangun kembali dengan
sumberdaya manusia yang berorientasi pada kompetensi program
dan kerja, dengan dukungan organisasi dan tata hubungan kerja serta
sumber dana, SDM yang berkualitas dalam jumlah dan penyebaran
yang memadai.
Penguatan SDM melalui pengembangan Sistem Pendidikan dan
Pelatihan Kehutanan berbasis kompetensi usaha HHBK;
pengembangan standardisasi kompetensi, peningkatan jumlah dan
distribusi SDM profesional kehutanan; serta pembinaan SDM
kehutanan untuk pengembangan HHBK.
Penyuluhan kehutanan dilakukan secara terintegrasi (pusat dan
daerah); Peningkatan penyuluhan terpadu, bimbingan teknis dan
pendampingan masyarakat dalam kegiatan pengelolaan hutan; Bisnis
dan pemasaran HHBK, Penyesuaian program penguatan
kelembagaan penyuluhan kehutanan guna melayani kebutuhan
pengembangan HHBK; termasuk perluasan sasaran penyuluhan
kehutanan.
Pengawasan yang menjamin terselenggaranya pengurusan hutan
sesuai dengan mandat UU, sebagai umpan balik yang menjadi bahan
penyempurnaan kebijakan pengurusan hutan dari waktu ke waktu;
Optimalisasi peran pengawasan kinerja pembangunan kehutanan oleh
unsur masyarakat.
Pengembangan kebijakan/regulasi tentang HHBK yang dapat
memfasilitasi terselenggaranya kebijakan yang lebih bersifat insentif
daripada disinsentif serta penerapan pemerintahan yang baik (good
governance).
I-20
III. STRATEGI PENGEMBANGAN HHBK 2009 – 2014
A. Unggulan Prioritas HHBK
Untuk memacu perkembangan HHBK perlu ditetapkan unggulan nasional.
Penetapan unggulan nasional diperlukan agar sumberdaya yang terbatas dapat
dimanfaatkan secara optimal. Unggulan nasional dipilih berdasarkan beberapa
kriteria sebagai berikut :
- Ekonomi
- Bio fisik dan lingkungan
- Kelembagaan
- Sosial
- Teknologi.
Berdasarkan hasil kajian telah ditetapkan 5 komoditas HHBK unggulan nasional,
yaitu: Bambu, Sutera Alam, Lebah Madu, Gaharu dan Rotan. Selain 5 komoditas
HHBK unggulan nasional, daerah dapat mengembangkan komoditas HHBK yang
diunggulkan berdasarkan potensi HHBK dan kemampuan daerah.
B. Stakeholder Utama
Agar dapat dicapai hasil-hasil yang maksimal, perlu dipetakan peran pelaku
utama kedalam lini-lini kegiatan dan hubungan keterkaitan antar lini dalam
pengembangan HHBK. Pelaku utama dikelompokkan dalam lini-lini kegiatan
sebagai berikut :
1. Lini: Fasilitasi, Regulasi
2. Lini: Litbang
3. Lini: Produksi
4. Lini: Industri
5. Lini: Promosi/Pemasaran
6. Lini : Penyuluhan dan Pengembangan SDM
7. Lini : Inkubasi dan BDS
Hubungan antar lini diatur berdasarkan penetapan kelompok institusi, kegiatan
operasional dan keluaran yang harus dihasilkan dari tiap-tiap lini yang tersaji
dalam tabel 5.
I-21
Tabel 5. Hubungan antara lini dalam Pengembangan HHBK
NO LINI INSTITUSI KEGIATAN
OPERASIONAL
KELUARAN (OUTPUT)
1 Litbang 1. Badan litbang 2. Universitas 3. R&D dlm negeri 4. R&D luar negeri
1. Kajian posesing 2. Kajian budidaya 3. Kajian sosek 4. Kajian nilai tambah 5. Kajian kriteria dan standar
1. Paket-paket teknologi produksi
2. Paket teknologi budidaya 3. Paket-paket konsep
pemberdayaan masyarakat 4. Kriteria dan standar
pengembangan HHBK 2 Fasilitasi 1. Dephut
2. Dep. Terkait (Dep. Perindustrian, Dep. Perdagangan
1. Penguatan kelembagaan
2. Pemberian insentif berupa pilot proyek, kemudahan pendanaan, dll
3. Pemberdayaan masyarakat
4. Penyiapan regulasi yg kondusif
1. Kebijakan pemanfaatan lahan 2. Kebijakan pemberian insentif
(HTR, Bank, dll) 3. Kebijakan kepastian pasar
para pihak terkait 4. Asosiasi pelaku usaha dan
kelembagaan kelompok tani pengembangan HHBK
5. Bertambah masyarakat pengembang HHBK
3 Produksi Bahan Baku
1. Pelaku usaha (BUMN, BUMS), koperasi
2. Kelompok tani
1. budidaya 2. terapan teknologi
seperti stek, kulktur jaringan, dll
1. HHBK sebagai bahan baku industri
2. HHBK sebagai bahan pangan, serat, obat (konsumsi langsung)
4 Industri 1. Pelaku usaha (BUMN, BUMS), koperasi
2. Kelompok tani
1. Prosesi untuk peningkatan nilai tambah
2. Ketersediaan bahan baku sesuai kapasitas industri
3. Desain produksi sesuai pasar
1. Produksi olahan untuk: a. Pasar dalam negeri b. Pasar luar negeri
5 Promosi 1. Dephut 2. Dep.
Perindustrian, 3. Dep.
Perdagangan 4. Asosiasi
1. Penyebarluasan informasi
2. Propaganda 3. Melakukan study
1. Muncul pertumbuhan-pertumbuhan yang terlatih
2. Pemahaman oleh masyarakat
3. Permintaan HHBK meningkat
6 Penyuluhan dan Pengembangan SDM
1. Lembaga Penyuluhan Kehutanan, Pertanian dan Industri
2. Lembaga Diklat Kehutanan, Pertanian dan Industri
1. Penyuluhan dan diklat budidaya terpadu
2. Penyuluhan dan diklat pemanenan lestari
3. Penyuluhan dan diklat pengolahan
1. Petani HHBK unggul/ bersertifikat
2. Pelaku usaha pengolahan HHBK unggul/ bersertifikat
7 Inkubasi dan Pengembangan Usaha
1. Lembaga pelayanan inkubator bisnis di Universitas
2. Lembaga Pelayanan inkubator bisnis swasta
3. Lembaga
1. Pendampingan untuk memulai usaha bisnis budidaya, pengolahan dan perdagangan yang baru
2. Pendampingan untuk
1. Jaminan keberhasilan usaha baru
2. Ketahanan bisnis (peningkatan daya saing produksi dan passar) bagi pelaku usaha HHBK
I-22
pe;ayanan pengembangan usaha (business development services (BDS))
pengembangan usaha profesional
C. Pendekatan Klaster HHBK.
Klaster adalah kelompok yang terdiri atas jejaring pengusaha yang secara
bersama-sama memajukan kesejahteraan di tingkat wilayah melalui penguasaan
dan pengendalian rantai suplai dan rantai nilai. Klaster menjadi perangkat
deskriptif pengembangan ekonomi wilayah yang mengandung makna yang lebih
kaya untuk mendorong perubahan di dalam dinamika di wilayah yang
bersangkutan. Klaster merepresentasikan rantai suplai dari suatu spektrum
aliran produk dan jasa yang saling berkaitan yang didukung oleh penyediaan
infrastruktur fisik dan infrastruktur ekonomi. Klaster meyediakan nilai tambah
tenaga kerja, baik tenaga kerja rendah maupun tenaga kerja yang berkenaan
dengan nilai tambah tinggi.
Untuk pengembangan HHBK, pendekatan klaster sekaligus menjawab tantangan
peran kehutanan dalam penanggulangan kemiskinan. Klaster memuat saling
keterkaitan antara kekuatan internal yang ada di dalam wilayah yang
bersangkutan dengan kekuatan eksternal yang berasal dari situasi pasar,
kebijakan nasional, dan kondisi makro ekonomi. Ini berarti bahwa pendekatan
klaster selalu berusaha membawa kekuatan internal, termasuk tokoh-tokoh lokal,
kelembagaan lokal, dan kebijakan pemerintah daerah ke dalam percaturan bisnis
dan ekonomi yang lebih global.
Klasterisasi pengembangan HHBK berimplikasi pada penataan konfigurasi
industri pada spektrum barang dan jasa yang melayani pengembangan HHBK
pada tingkatan industri dan jasa berikut ini:
1. Resource-based industry, yang dimulai dari usaha produktif pengumpulan
atau budidaya bahan asalan HHBK dan pengolahan hulu HHBK serta industri
bahan penolong.
2. Low-technology industry, yang meliputi fasilitas pemrosesan produk HHBK
untuk dijual kepada konsumen melalui teknologi konvensional non-automatic.
3. Medium-technology industry, yakni usaha pengolahan HHBK melalui proses-
proses automatic maupun kimia sebelum disajikan kepada konsumen.
4. Jasa perdagangan perantara.
I-23
5. Jasa perdagangan lokal.
6. Jasa perdagangan antar pulau.
7. Jasa perdagangan internasional.
Hampir semua aktivitas pada setiap tingkatan industri HHBK dapat dilayani oleh
unit-unit usaha mikro-kecil-menengah. Namun demikian, ukuran atau skala
industri tidak berarti dapat meninggalkan keharusan pendekatan klaster, yakni
kemampuan bersaing secara global melalui proses pembelajaran dan inovasi
yang terus menerus. Pembelajaran diartikan sebagai usaha untuk memperoleh
pengetahuan baru dari semua sumber yang mungkin (internal maupun eksternal),
dan melakukan aktualisasi penambahan pengetahuan tersebut ke dalam
kompetensi dan standar yang lebih tinggi. Inovasi, di sisi yang lain, dimengerti
sebagai pengembangan produk dan layanan konsumen yang lebih baru dan atau
yang lebih unggul daripada yang sebelumnya.
Interkoneksi bisnis di dalam klaster dapat diilustrasikan seperti pada Gambar 3
berikut.
Gambar 3. Struktur Keterkaitan Industri Di dalam Klaster.
Manfaat Pengembangan HHBK Berbasis Klaster :
Untuk mengkonsentrasikan inovasi produksi, managemen dan pemasaran.
I-24
Untuk mengintegrasikan proses produksi dan rantai suplai dalam peningkatan
daya saing.
Untuk mempertemukan mitra usaha dalam mekanisme transaksi yang
menjamin keberlanjutan bisnis.
Untuk memonitor efektivitas keterkaitan usaha di dalam kesatuan rantai nilai.
Untuk membangun gugus kerja berkualitas.
Untuk membangun pemasaran yang efektif dalam rangka peningkatan daya
saing sisi permintaan..
Untuk mengefisienkan pelayanan finansial.
Untuk mencegah praktek kecurangan usaha.
D. Pengembangan Klaster HHBK Unggulan
Model pelaksanaan pembangunan klaster setidaknya mencakup tiga tahapan
besar, yakni tahapan inisiasi, tahapan peningkatan produksi, dan tahapan
peningkatan daya saing melalui kualitas dan inovasi. Menjadi jelas kiranya
bahwa pembangunan klaster HHBK tidaklah sekedar memperbanyak produksi
pada suatu wilayah, tetapi lebih dari itu menyangkut pengembangan keterkaitan
bisnis di dalam jejaring yang teratur, disertai dengan peningkatan kualitas dan
pengembangan inovasi produk dan jasa serta manajemen bisnis (Gambar 4).
Gambar 4. Model Pengembangan Klaster.
Pola pembinaan yang dikembangkan dapat mengembangakan pola klaster
maupun mengkombinasikan dengan lainnya sehingga pengambil kebijakan
I-25
Pusat dengan para pihak di daerah (Pemda, UPT, Bank maupun lembaga
keuangan non bank di buat skim pendanaan) dapat bersinergi.
E. Unit Pengembangan HHBK
Agar diperoleh hasil yang optimal pengembangan HHBK harus dilaksanakan
dengan basis unit pengelolaan yang baik agar dapat mewujudkan hal tersebut
maka unit-unit pengembangan digolongkan sebagai berikut :
1. Unit Bentangan Lahan.
- Satuannya berupa bentangan lahan yang digunakan sebagai tempat
budidaya.
- Dari bentangan lahan tersebut dapat diperoleh produk dengan volume
mencapai skala ekonomis.
2. Unit Satuan Berbentuk Desa.
Untuk jenis tanaman tertentu dapat ditanam diberbagai tempat, misalnya pada
lahan-lahan pribadi, kakija, kakisu, spot-spot lahan kosong. Kumpulan dari
berbagai tapak tadi dihimpun jadi satu unit sehingga dapat mencapai skala
ekonomi.
3. Unit Satuan Berbentuk Kelompok
- Yang menjadi inti pengembangan adalah individu petani yang membudi
dayakan HHBK.
- Kumpulan individu yang dipersatuakn menjadi satu kesatuan manajemen
yang mampu menghasilkan produk dalam jumlah yang mencapai skala
ekonomis.
4. Unit-unit pengembangan HHBK selanjutnya akan diintegrasikan dengan unit-
unit industri untuk proses lebih lanjut dalam rangka meningkatkan nilai tambah
dan memenuhi pasar bebas.
F. Pola Kemitraan dan Kerjasama antar Stakeholder dalam pengembangan
HHBK.
1. Akan dibangun sinergi dari pelaku utama pengembangan HHBK agar
diperoleh unit/pengembangan dengan daya saing yang tinggi.
2. Pola-pola kemitraan, dan kerjasama difokuskan pola sinergi antara
Kelompok tani
I-26
Investor
Industriawan
BUMN
Sumber IPTEK unggulan
Fasilitator
G. Insentif yang akan dikembangkan.
Pemerintah sebagai pemicu (trigger) dalam pengembangan HHBK dapat
berperan antara lain dalam hal:
1. Membangun Pilot Project pengembangan HHBK dengan Pola BOT (Built,
Operate, Transfer) dalam hal ini pemerintah membangun unit HHBK secara
langsung mulai dari produksi bahan baku sampai unit-unit industri
pengolahannya. Selain itu menyiapkan SDM, Sarana Prasarana kemudian
secara bertahap diserahkan ke Kelompok Tani untuk dikelola lebih lanjut.
2. Menyiapkan Sarana Prasarana produksi untuk diberikan kepada kelompok-
kelompok yang akan membentuk unit HHBK, sarana produksi dapat berupa:
benih unggul (materi genetik unggul), Mesin pemroses, pupuk dll.
3. Membantu Penguatan Kelembagaan antara lain melalui:
Penyiapan Pedoman
Pelatihan Teknis
Pelatihan Manajerial
Study banding
Pertemuan-pertemuan, Seminar, Diskusi
Pemasaran
4. Promosi
Mempromosikan program-program yang berkaitan dengan pengembangan
HHBK benih melalui:
Aktivitas Penyuluhan
Penyebarluasan Informasi
Penguatan jejaring kerja
I-27
H. Monitoring dan Evaluasi.
Monitoring dan Evaluasi akan dilaksanakan dengan tertib agar secara terus,
menerus dapat diperoleh pembelajaran dan sekaligus penyempurnaan yang
diperlukan.
I. Regulasi.
Secara prinsip regulasi diarahkan pada upaya peningkatan produktivitas dan
daya saing sehingga regulasi yang menghambat secara bertahap akan
dideregulasi.
J. Program Aksi 2009 s/d 2014
Program AKSI merupakan Rencana Tindak dari Stakeholder Utama untuk kurun
waktu 2009 – 2014
Tabel 6. Program Aksi 2009 – 2014
LINI 09 10 11 12 13 14 Fasilitasi 1. Penguatan kelembagaan (Peningkatan kapasitas masyarakat,
penguatan Asosiasi) 2. Pemberian insentif berupa pilot proyek, kemudahan pendanaan 3. Pemberdayaan masyarakat 4. Penyiapan regulasi yang kondusif (kebijakan pemanfaatan lahan,
kebijakan kepastian pasar, kebijakan pemberian insentif)
V
V
V V
V
V
V V
V
V
V V
V
V
V V
V
V
V
V
V
V
Litbang 1. Kajian prosesing 2. Kajian Budidaya 3. Kajian sosek 4. Kajian Nilai Tambah 5. Kajian Kriteria dan standar
V V
V V
V V V
V
V
V V
V
V V
Produksi 1. Budidaya 2. Terapan teknologi seperti stek, kultur jaringan, dll
V V
V V
V V
V V
V V
V V
Industri 1. Prosesi untuk peningkatan nilai tambah 2. Ketersediaan bahan baku sesuai kapasitas industri 3. Desain produksu sesuai order/permintaan pasar
V V V
V V
V V V
V V
V V V
V V
Promosi 1. Sosialisasi 2. Penyebarluasan informasi 3. Propaganda 4. Melakukan study
V V V V
V V V V
V V V V
V V V V
V V V V
V V
Penyuluhan dan Pengembangan SDM 1. Penyuluhan dan diklat budidaya terpadu 2. Penyuluhan dan diklat pemanenan lestari 3. Penyuluhan dan diklat pengolahan
V V V
V V V
V V V
V V V
V V V
V V V
Inkubasi dan Pengembangan Usaha 1. Pendampingan untuk memulai usaha 2. Pendampingan untuk mengembangkan usaha
V V
V V
V V
V V
V V
V