GERAKAN EMANSIPASI PEREMPUAN DI AWAL ABAD KE-20:...
Transcript of GERAKAN EMANSIPASI PEREMPUAN DI AWAL ABAD KE-20:...
GERAKAN EMANSIPASI PEREMPUAN DI AWAL ABAD KE-20: POETRI MARDIKA
1912-1919
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum)
Disusun oleh:
Restu Diniyanti
1112022000046
PROGRAM STUDI SEJARAH PERADABAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2017 M / 1438 H
i
ABSTRAK
Skripsi ini meneliti tentang organisasi Poetri Mardika di Batavia pada
periode 1912 sampai 1920, dengan melihat sejarah pembentukan serta peran
organisasi ini terhadap perkembangan ide-ide mengenai emansipasi terhadap
perempuan. Pembelajaran mengenai pentingnya pendidikan bagi kaum
perempuan, kemudaratan yang di munculkan oleh pernikahan usia dini,
poligami, dan bahkan pergundikan menjadi isu sentral organisasi ini.
Menariknya, kaum perempuan di Batavia mulai bergerak memperjuangkan hak-
hak mereka setelah organisasi ini berdiri. Pengarusutamaan perempuan dalam
berbagai sektor guna mencerdaskan, menterampilkan, dan membuat para
perempuan menjadi mandiri terus diupayakan oleh organisasi ini.
Kata Kunci: Gerakan Perempuan, Organisasi Perempuan, Poetri Mardika
ii
KATA PENGANTAR
“Dari perempuanlah manusia pertama kali menerima pendidikan dan makin lama
makin jelas bagiku bahwa pendidikan yang pertama kali itu bukan tanpa arti bagi
seluruh kehidupan. Dan bagaimana ibu-ibu bumiputra mendidik anak-anaknya
jika mereka sendiri tidak berpendidikan? Bukan hanya untuk perempuan saja
tetapi untuk seluruh masyarakat Indonesia pengajaran kepada anak-anak
perempuan merupakan rahmat.”
(Kartini, 21 Januari 1901 dalam suratnya kepada Nyonya Abendanon)
Pertama-tama segala puji syukur kita haturkan kehadirat Allah SWT.
Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan pada junjungan baginda Nabi
Muhammad SAW, serta keluarga, sahabat dan seluruh pengikutnya. Akhirnya
Skripsi ini selesai dengan tema tentang Gerakan Emansipasi Perempuan di Awal
Abad Ke-20: Poetri Mardika 1912-1920. Memang sangat jarang dan belum ada
yang menulis selama peneliti lihat dalam catatan Skripsi alumni Sejarah dan
Kebudayaan Islam di UIN Jakarta, inilah yang menjadi tantangan sendiri bagi
peneliti dengan rujukan berbahasa Indonesia yang tidak terlalu banyak, maka
harus sering bertemu dengan surat kabar berbahasa Melayu dan Belanda.
Tentunya dalam menyelesaikan skripsi ini saya tidak semata-mata berhasil
dengan tenaga dan upaya sendiri namun banyak pihak yang telah berpartisipasi
dalam penulisan skripsi ini, baik yang bersifat moril maupun materil, maka
dengan ini sepatutnya penulis menyampaikan terima kasih atas motivasinya.
Rasa terimakasih yang begitu tinggi saya sampaikan kepada:
1. Prof. Dr. Syukron Kamil, M.A selaku Dekan Fakultas Adab dan
Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. H.Nurhasan MA, selaku Ketua Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam
dan Shalikatus Sa’diyah M.Pd selaku Sekretaris Jurusan Sejarah dan
Kebudayaan Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Teruntuk Amelia Fauzia P.hD selaku dosen Pembimbing Akademik
sekaligus dosen pembimbing skripsi yang banyak membantu dengan
sabar serta selalu memotivasi dalam mengarahkan proses penelitian ini.
iii
Penulis merasa sangat beruntung karena telah di bimbing oleh beliau
selama masa kuliah hingga penulisan skripsi.
4. Terimakasih untuk para penguji bapak Dr. Sudarnoto Abdul Hakim M.A
dan ibu Imas Emalia M.Hum yang telah memberikan pengarahan dan
membimbing hinga skripsi ini menjadi lebih baik.
5. Dosen-dosen di jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam dan dosen
jurusan lain yang memberikan sumbangsih moril, ilmu dan
pengalamannya.
6. Seluruh staff dan pegawai Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
7. Teruntuk kedua orangtua penulis yang memberikan do’a dan perhatian
yang luar biasa, sehingga penulis selalu dapat termotivasi dan dapat
menyelesaikan penelitian ini.
8. Terimakasih untuk Achmad Syahri yang selalu memberikan dukungan
dan meluangkan waktu untuk menemani penulis mengerjakan skripsi ini.
9. Penulis pun mengucapkan terimakasih secara khusus untuk Endi Aulia
Garadian S.Hum yang telah banyak membantu penulis dalam
mengerjakan skripsi ini hingga akhir.
10. Untuk kawan-kawan tersayang Muspiroh S.Hum, Ulfah Bughiah S.Hum,
Mardiyah S.Hum, Dwi Septiani yang selalu memberikan semangat untuk
penulis dan kawan-kawan angkatan 2012 Sejarah Kebudayaan Islam
yang berproses bersama di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta kawan –
kawan SKI 2012 lainnya.
11. Terimakasih juga untuk The Chablaks Indri, Biydah, Mamu, Nida, Qibi,
Maki, Zaty, yang selalu memberikan dukungan dan motivasi untuk terus
bersemangat dalam menulis skripsi.
Sekali lagi penulis ucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu dan mendukung serta membimbing penulis hingga selesai.
Penulis sadar bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Semoga skripsi ini
bermanfaat untuk pembaca sekalian.
iv
DAFTAR ISI
ABSTRAK ...................................................................................................... i
KATA PENGANTAR .................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................... iii
DAFTAR TABEL .......................................................................................... iv
DAFTAR GRAFIK DAN GAMBAR ........................................................... vii
DAFTAR ISTILAH ....................................................................................... viii
DAFTAR SINGKATAN ................................................................................ x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1
B. Perumusan dan Pembatasan Masalah ....................................... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................. 6
D. Kerangka Teori ......................................................................... 7
E. Tinjauan Pustaka…....................................................................8
F. Metode Penelitian ..................................................................... 9
G. Sistematika Penulisan ............................................................... 12
BAB II KONDISI PEREMPUAN DI BATAVIA PADA MASA
PERGERAKAN NASIONAL
A. Gambaran Umum Kota Batavia ............................................... 13
B. Keadaan Sosial di Batavia pada Masa Kolonial ....................... 18
C. Kondisi Perempuan di Kota Batavia ........................................ 22
BAB III ORGANISASI POETRI MARDIKA: PEMBENTUKAN,
ANGGOTA DAN PROGRAM
A. Sejarah Singkat Organisasi Poetri Mardika 1912-1920 ........... 26
B. Anggota Organisasi Poetri Mardika ......................................... 31
C. Program Organisasi Poetri Mardika ......................................... 32
v
BAB IV POETRI MARDIKA DAN GERAKAN EMANSIPASI
PEREMPUAN
A. Peran Organisasi Poetri Mardika .............................................. 40
B. Dampak Organisasi Poetri Mardika dalam Memperjuangkan
Emansipasi Perempuan ............................................................. 56
C. Hambatan Organisasi Poetri Mardika dalam Memperjuangkan
Emansipasi Perempuan ............................................................. 59
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................... 66
B. Saran ......................................................................................... 69
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 70
LAMPIRAN .................................................................................................... 73
vi
DAFTAR TABEL
II.1. Komposisi Penduduk Batavia................................................................... 20
III.1. Surat Kabar Perempuan Sebelum Tahun 1928 ....................................... 29
III.2. Jenis Sekolah Pada Tahun 1900 .............................................................. 35
IV.1. Organisasi Perempuan yang Berdiri Sebelum Tahun1928 ..................... 41
IV.2. Daftar Jumlah Anak-anak yang diberikan Beasiswa .............................. 45
IV.3 Perhitungan Uang Kas Poetri Mardika Tahun 1915 ................................ 46
IV.4. Aktivitas Kongres Poetri Mardika…………..………………………….48
IV.5. Perhimpunan yang Bekerjasama dengan Poetri Mardika ....................... 50
IV.6. Laporan pemerintah tentang pendidikan pada tahun 1928 ..................... 58
vii
DAFTAR GRAFIK
III.1. Grafik Anggota Periode 1914-1919 ........................................................ 31
DAFTAR GAMBAR
II.1. Jan Pieterzoon Coen Gubernur ke 4 dan 6 Di Batavia ............................ 14
IV.1. Perhitungan Uang Kas Poetri Mardika 1916 ......................................... 47
IV.2. Laporan Masuk Uang Kas Poetri Mardika Tahun 1916-1919 ................ 63
IV.3. Laporan Keluar Uang Kas Poetri Mardika Tahun 1916-1919 ................ 64
viii
DAFTAR ISTILAH
R.A : Raden Adjeng sebutan untuk para perempuan ningrat
Batavia : Ibu kota Hindia Belanda yang dibangun sejak menjadi
lokasi markas besar perdagangan Vereenigde Oost-
Indische Compagnie (VOC) serta menjadi kota yang telah
berkembang pesat oleh J.P Coen tahun 1619.
Kweekschool : Adalah salah satu jenjang pendidikan resmi untuk menjadi
guru pada zaman Hindia Belanda
Verslag : Laporan
Verpleegsters : Perawat
Bestuur : Pengurus
Ommelanden : Lingkungan sekitar Batavia, wilayah antara perbatasan
Kota dan Kabupaten-kabupaten
Studiefonds : Dana untuk para pelajar/ dana untuk membantu para
pelajar yang pandai tetapi kurang mampu dalam hal
pembiayaan
Pensiunfonds : Dana pensiun yang diberikan untuk para janda-janda
Fonds : Dana
f : Satuan gulden mata uang belanda
Raad Agama : Penasehat Agama
Selir : Selir merupakan istri yang dinikahi tetapi kedudukannya
lebih rendah dari pada istri yang utama biasanya kegiatan
ini dilakukan oleh para bangsawan.
Nyai : Nyai adalah perempuan pribumi yang menjadi istri lelaki
bangsa asing tanpa diketahuinya kejelasan sah-nya atau
menjadi istri yang tanpa dinikahi. Kedudukan Nyai sangat
lemah dalam hukum, begitupula dengan anak-anaknya
para Nyai jika mereka di tinggalkan ayahnya ke tanah
airnya maka mereka tdak dapat menuntut apa-apa.
LosbanDigheid : Sesuatu hal yang menyimpang/ penyelewengan.
Contributie : Uang iuran
ix
Derma : Uang donasi
Abonnement : Uang administrasi surat kabar
x
DAFTAR SINGKATAN
VOC : Vereenigde Oost-Indische Compagnie
ELS : Europeesche Lagere School
HIS : Hollandsch Inlandsche School
HIK : Hollandsch Indissche Kweekschool
MULO : Meer Uitgebreid Lager Onderwijs
AMS : Algemence Middlebare School
HBS : Hogere BurgerSchool
THS : Technische Hoge School
RHS : Rechtskundige Hogeschool
NIAS : Nederlandsh Indishe Artsen School
INS : Indonesisch Nederlandsche School
NIOK : Nederlandsh Indisch Kongres Voor Opvoeding En
Onderwijs
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
“Laki-laki dan perempoean haroes misti sama-sama madjoe”
(Anonim, dalam surat kabar Poetri Mardika 16 Januari 1917)
Perempuan Indonesia telah mengambil peran penting dalam perjuangan
perjalanan bangsa yang tidak dapat dilupakan begitu saja. Bila diperhatikan awal
tahun 1900- an merupakan sebuah tahun dimana semangat untuk memperbaiki
keadaan perempuan mulai bangkit. Dalam kutipan surat kabar Soenting Melajoe
yang di tulis oleh Hatidjah, ia menuliskan:
Zaman ini diseboet orang zaman kemadjoean; madjoe! madjoe! apakah jang madjoe?
dengan kata madjoe adalah soeatoe perkataan jang loeas ma’nanja. Madjoe dengan kata
ma’na jang pantaslah saja oeraikan disini: Ditanah Europa dan Amerika soedah lama
besar kemadjoean itoe hidoep hingga bertjabanglah di tanah Djepang dengan
toemboehnja amat soeboer; madjoe di tempat jang terseboet itoe boekannja madjoe orang
laki-laki sadja, tetapi sama sama madjoe dengan perempoean. Kita sama sama taoe bahwa
di tanah Inggeris perempoean soedah mintak dengan keras akan disamakan hak laki-laki
dengan hak perempoan.1
Di asumsikan dalam kutipan di atas bahwa kemajuan memang sudah
menjadi impian para perempuan. Keadaan perempuan ketika awal abad ke-20 itu
sangat terbatas ruang geraknya, sehingga memunculkan adanya gerakan
emansipasi yang mengidealkan kemajuan perempuan sama dengan laki-laki.
Seperti kutipan yang di tulis oleh anggota Poetri Mardika (anonim, M) ia
mengatakan bahwa“laki-laki dan perempoean haroes misti sama-sama madjoe”.
M mengambarkan dalam tulisannya bahwa kaum perempuan harus terus berjuang
untuk menjadi lebih maju. Seperti juga tercatat pada kutipan surat kabar yang
ditulis oleh anggota Poetri Mardika dibawah ini:
“…Sebab biarpun anak perempuan belum cukup kepandaiannya dan belum ada pikiran
berumah-rumah jika ia sudah berumur 12 tahun dianggaplah ia sudah sampai buat
berumah sendiri oleh orangtuanya, lantas si orang tua mencari satu lelaki yang ia anggap
pantas buat menjadi menantunya…”2
1 Hatidjah,” Geraknja Kaoem Moeda Perempoan”, dalam soerat kabar Soenting Melajoe,
Desember, 1913. No 51, (Tahun II). 2 M (Anonim),” Adat jang haroes kita lenjapkan”, dalam surat kabar Poetri Mardika,
Juli,1915. No 4, (Tahun II), h. 43.
2
Kutipan tersebut menggambarkan sebuah kondisi perempuan pada masa
abad ke-20 yang kerap berkutat di rumah tangga saja, di mana perempuan
terbelenggu dari kungkungan adat istiadat. Oleh karena itu muncullah gerakan
yang ingin melakukan perubahan, dan salah satunya adalah gerakan emansipasi
perempuan. Emansipasi perempuan dapat diartikan sebagai usaha untuk
memperjuangkan kebebasan dan menuntut persamaan hak kaum perempuan
terhadap kaum laki-laki.3 Namun kebebasan di sini maksudnya bukan kebebasan
yang mutlak, melainkan menuntut kebebasan dalam berpendidikan dan kebebasan
dari praktik adat yang merugikan pihak perempuan seperti praktik pernikahan usia
dini, pergundikan dan sebagainya.
Gerakan emansipasi pada abad ke-20 merupakan sebuah aksi yang
dilakukan oleh perkumpulan perempuan Indonesia untuk mempertinggi
kedudukan sosial dari segi pendidikan maupun kehidupan dalam ruang publik.
Pada abad ke-20 ini tampaknya menjadi periode penanaman kesadaran akan
pentingnya kebangkitan dan masa ini pun menjadi masa di mana perempuan
Indonesia mulai terjun bersama dengan kaum laki-laki untuk mewujudkan
persatuan untuk meningkatkan derajat bangsa. Periode ini merupakan suatu masa
dimana bangsa Indonesia berjuang untuk melepas diri dari penjajah asing yang
tidak lagi mengandalkan pada kekuatan senjata, melainkan dengan menggunakan
suatu perkumpulan yang memiliki tujuan ataupun cita-cita yang sama: memajukan
kesejahteraan bangsa.4 Bekerjasama dalam meraih tujuan guna mencapai cita-cita
kemajuan diantaranya dengan membentuk sebuah organisasi.5 Organisasi
merupakan salah satu upaya untuk mencapai tujuan yang diharapkan lebih efisien,
dikarenakan dalam sebuah organisasi setiap masing-masing anggotanya memiliki
peran yang saling berkaitan dengan tujuannya. Kesadaran akan perlunya
membentuk organisasi dalam mewujudkan cita-cita menyebabkan pula dalam
periode ini disebut masa kebangkitan. Sebab, kunci perkembangan pada masa
3 Fahmi Wahyuningsih, “Perjuangan Tokoh Emansipasi Perempuan Indonesia dan
Jerman”, Lentera Jurnal Studi Perempuan, Vol. 9. No. 1, Juni 2013, h. 52 4 Sukanti Suryochondro, Potret Pergerakan Wanita di Indonesia, (Jakarta: CV Rajawali,
1984), h. 84. 5 Sukanti Suryochondro, Potret Pergerakan…, h. 84.
3
kebangkitan ini adalah dengan munculnya ide-ide baru mengenai organisasi dan
dikenalnya gagasan baru.6
Keterlibatan kaum perempuan pada abad ke-20 di mulai dengan berdirinya
organisasi perempuan. Organisasi perempuan pada masa tersebut memiliki
gagasan yang membuat kaum perempuan sadar bahwa peningkatan derajat untuk
kaum perempuan sangatlah penting. Corak dari perkumpulan gerakan perempuan
pada masa sebelum kemerdekaan bersifat fokus kepada perbaikan kedudukan
perempuan hingga berkembang untuk meningkatkan hak pendidikan terhadap
perempuan.7
Di Batavia tahun 1912 untuk pertama kalinya didirikan sebuah
perkumpulan perempuan yang bernama Poetri Mardika.8 Organisasi ini
mendapatkan dukungan serta bantuan dari Budi Utomo yang menekankan pada
bidang pendidikan serta kebudayaan.9
Tokoh Poetri Mardika di antaranya: R.A. Theresia Saburudin, R.K.
Rukmini, dan R.A. Sutinah Joyopranoto.10
Dalam majalah Poetri Mardika
disebutkan bahwa pada tahun 1915 Teongkoe11
Theresia Saburudin sebagai ketua,
R.Aj. S. Djajapranata sebagai wakil, Abdulrahman sebagai komisaris.12
Poetri
Mardika merupakan organisasi yang bertujuan memberikan motivasi kepada
perempuan pentingnya meningkatkan taraf hidup para perempuan baik dalam
pendidikan maupun dalam kehidupan sosial.13
Sesudah tahun 1912 jumlah
perkumpulan perempuan bertambah banyak dan organisasi perempuan semakin
luas orientasinya, terutama dalam menjangkau masyarakat bawah untuk
mendapatkan kebebasan dalam kehidupan bermasyarakat. Organisasi-organisasi
besar pada masa itu juga mendirikan perkumpulan atau bagian khusus perempuan.
6 G.A.Ohorella, Peranan Wanita Indonesia dalam Pergerakan Nasional,
(Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1992), h. 1. 7G.A.Ohorella, Peranan Wanita Indonesia dalam Pergerakan Nasional..., h. 2.
8 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia
V, (Jakarta: Balai Pustaka,1993), h. 243. 9 Cora Vreede-de stuers, Sejarah Perempuan Indonesia Gerakan & Pencapaian,
(Jakarta: Komunitas Bambu, 2008), h. 24. 10
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional
Indonesia…, h. 243. 11
Di dalam majalah Poetri Mardika tertulis sebutan untuk Theresia Sabarudin adalah
Teongkoe, sedangkan dalam sumber buku lain sebutan untuk Theresia Saburudin adalah R.A. 12
S.Djojopranoto, “Verslag dalam boelan juli sampai September 1915.”Poetri Mardika.
November, 1915. No 6 (Tahun II), h. 79. 13
Sukanti Suryochondro, Potret Pergerakan…, h. 85.
4
Misalnya, Sarikat Islam, Muhammadiyah, dan Sarekat Ambon yang juga
mempunyai kelompok pergerakan perempuan. Kelompok pergerakan perempuan
dari Sarekat Islam ialah Wanudiyo Utomo kemudian Sarekat Perempuan Islam
Indonesia (SPII), bagian perempuan dari Muhammadiyah adalah Aisyiyah, dan
perkumpulan perempuan dari Sarekat Ambon adalah Ina Tuni. Rata-rata
perkumpulan-perkumpulan perempuan di atas bermaksud untuk memberikan
kesempatan bagi perempuan memiliki kepandaian-kepandaian khusus, seperti
keterampilan menjahit, membatik, merenda dan sebagainya. Kegiatan ini
diajarkan kepada perempuan agar mereka mempunyai kemampuan bertahan hidup
tanpa selalu bergantung kepada laki-laki. Sukanti Suryochondoro menjelaskan
bahwa “pergerakan perempuan 25 tahun pertama itu bersifat memperjuangkan
nilai-nilai baru dalam hal pendidikan, kesusilaan, dan peri kemanusiaan, serta
menuju pada usaha meninggikan kedudukan perempuan dalam keluarga dan
masyarakat.14
Nampaknya hal ini sangat terkaitan dengan cita-cita organisasi
Poetri Mardika. Kelahiran Poetri Mardika ini bertujuan memajukan pengajaran
anak-anak perempuan, sekaligus memperjuangkan kemerdekaan untuk para
perempuan.
Lahirnya sebuah organisasi yang didorong oleh gagasan kemerdekaan
menimbulkan kesadaran butuhnya untuk menyebarkan suara mereka secara luas.
Media massa dianggap sebagai kebutuhan untuk menampung maksud tersebut.15
Menurut Myra M. Sidharta di dalam buku yang di tulis oleh Kurniawan Junaedhi
bahwa surat kabar perempuan pertama adalah Tiong Hwa Wi Sien Po yang di urus
oleh Lien Titie Nio dan surat kabar kedua adalah Poetri Hindia yang terbit pada
1908 yang di pimpin oleh RTA Tirtokoesomoe, dan pada tahun 1912 dari Sumatra
Barat menerbitkan surat kabar yang bernama Soenting Melajoe.16
Begitupun
dengan Poetri Mardika yang mengeluarkan surat kabar untuk menyebarluaskan
gagasan-gagasan mereka. Menurut Kurniawan Junaedhi bahwa surat kabar Poetri
Mardika di terbitkan mulai tahun 1915,17
dengan semboyan surat kabarnya yaitu
“soerat kabar memperhatikan keadaanja pihak perempoan boemi poetra di
14
Sukanti Suryochondro, Potret Pergerakan…, h. 87. 15
Kurniawan Junaedhi, Rahasia Dapur Majalah di Indonesia. (Jakarta: PT Gramedia
Utama, 1995) h. xix. 16
Kurniawan Junaedhi…, h. 69. 17
Kurniawan Junaedhi…, h, 68.
5
Insulinde”, di dalam surat kabar tersebut berisikan pengajaran terhadap
perempuan serta gagasan-gagasan baru untuk para perempuan. Surat kabar Poetri
Mardika tercantum nama percetakannya yaitu NV. Drukkerij Boedi Oetomo
Surakarta.18
Surat kabar ini mengandalkan pembiayaanya dari pelanggannya, lihat
warta redactie dalam surat kabar Poetri Mardika berikut ini:
Dari sebab kekoerangan wang, maka soerat kabar Poetri Mardika ini tjoema di keloearkan
8 katja. Menoeroet perhitoengannja Administratie, maka soerat kabar Poetri Mardika bisa
djoega dikeloerkan 12 katja djikalaoe tida ada langganan jang menoenggak. Maka dari
itoe kami harap pertolongannja langganan-langganan, soepaja kami bisa mengeloerkan
soerat kabar Poetri Mardika sebagaimana biasa19
Media massa tentunya sangat berpengaruh terhadap organisasi Poetri
Mardika. Poetri Mardika berperan sebagai pewacana emansipasi perempuan
dengan memperkenalkan gagasannya melalui surat kabar misalnya, dalam
persoalan pendidikan untuk perempuan. Di dalam sebagian surat kabar secara
jelas dituliskan bahwa Poetri Mardika membantu meningkatkan pendidikan
perempuan dengan memberikan bantuan dana beasiswa pendidikan serta
memberikan pengajaran dan kesadaran akan pentingnya meraih kemajuan
terhadap perempuan terutama dalam bidang pendidikan. Tujuan utama Poetri
Mardika memberikan pengajaran kepada kalangan perempuan karena masih
sangat kurangnya sekolah-sekolah untuk perempuan pribumi, disamping itu adat
maupun kebiasaan yang dapat dikatakan menghambat kemajuan perempuan,
seperti praktik pernikahan usia dini, praktik kawin paksa dan lain-lain.
Meskipun organisasi ini tidak berdiri lama namun dampaknya sangat besar
dengan adanya berbagai perkumpulan perempuan lain, baik yang didukung oleh
organisasi-organisasi umum laki-laki, maupun yang terbentuk secara mandiri oleh
kaum perempuan itu sendiri. Kesediaan perempuan untuk terlibat dalam kegiatan
organisasi makin meningkat dan kecakapan berorganisasi pun bertambah maju.
Hal ini disebabkan karena kesempatan belajar makin meluas dan berkembang ke
lapisan bawah. Contoh peran nyata yang telah diupayakan oleh Poetri Mardika
tercantum dalam verslag Poetri Mardika No. 5 Agustus 1915 ditulis oleh
Sadikoen Toendoekoesomo mengatakan bahwa Poetri Mardika telah membiayai
18
Kurniawan Junaedhi…, h. 68. 19
Poetri Mardika, No.4, Juli 1915, h. 41
6
dua anak perempuan di HBS, satu anak perempuan di sekolah Belanda, tiga anak
di Bataviasche Kartinischool, dan satu anak perempuan di sekolah swasta.
Penulis tertarik melakukan penelitian mengenai organisasi Poetri Mardika
yang dibentuk di Batavia dengan periode tahun 1912-1919, karena dalam periode
tersebut merupakan masa keaktifan Poetri Mardika mengkampanyekan serta
memberikan gagasan terbaru tentang hak-hak perempuan. Adapun di Indonesia
masih belum ada kesepakatan penggunaan kata yang ajeg mengenai perempuan
dan wanita dalam penggunaan istilah untuk memanggil kaum yang kerap
dipanggil kaum hawa itu. Sebagian ada yang menggunakan istilah “perempuan”
dan tak sedikit pula menggunakan istilah “wanita”. Dalam skripsi ini penulis
menggunakan istilah “perempuan” dengan merujuk perspektif feminis di
Indonesia yang kerap memilih menggunakan istilah “perempuan”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Melihat latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya oleh penulis maka
penulis merumuskan masalah penelitian ini sebagai berikut:
1. Bagaimana latar belakang berdirinya organisasi Poetri Mardika?
2. Bagaimana peranan organisasi Poetri Mardika dalam mengangkat derajat
Perempuan?
3. Bagaimana pengaruh pembentukan organisasi Poetri Mardika terhadap
kondisi dan gerakan emansipasi perempuan?
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian:
Ada tiga tujuan yang penulis ingin capai melalui penelitian ini, yaitu:
a. Mengungkapkan latar belakang berdirinya organisasi Poetri Mardika.
b. Mengungkapkan peran Poetri Mardika dalam memperjuangkan
perempuan.
c. Mengungkapkan pengaruh Poetri Mardika terhadap kondisi perempuan.
7
2. Manfaat penelitian :
Penelitian ini akan bermanfaat bagi berbagai pihak yang ingin mengetahui dan
mempelajari tentang peranan organisasi Poetri Mardika di Batavia pada masa
Pergerakan Nasional
a. Tulisan ini diharapkan dapat memberi pengetahuan dan wawasan bagi
pembaca tentang latar belakang berdirinya organisasi Poetri Mardika.
b. Tulisan ini diharapkan dapat menambah wawasan mengenai pengaruh
aktifnya organisasi Poetri Mardika di Batavia
c. Tulisan ini diharapkan dapat menambah referensi untuk penulisan
selanjutnya.
D. Kerangka Teori
Teori di dalam penelitian di umpamakan sebagai pemandu dalam meneliti
sebuah penelitian. Maka teori yang digunakan oleh penulis untuk menyoroti
masalah yang diteliti yaitu:
Gerakan Perempuan
Gerakan perempuan dapat dilihat sebagai usaha dari perbuatan individu
ataupun organisasi yang berperhatian terhadap berkurangnya berbagai aspek
subordinasi gender yang dipandang sebagai berjalinan dengan penindasan lainnya,
seperti misalnya yang didasarkan atas kelas, ras, etnik, umur dan seks.20
Gerakan
perempuan yang terjadi pada akhir abad ke-18 sampai awal abad ke-20 banyak
memusatkan perhatiannya pada upaya memperoleh ruang publik. Kaum sosialis
memandang perlunya gerakan perempuan yang bukan bertujuan memusuhi laki-
laki, melainkan gerakan perempuan mesti lebih kritis memandang asal-usul
penindasan terhadap perempuan dan kaum tertindas lainnya. Di dalam teori
gerakan perempuan maka penulis mencoba untuk mengaplikasikan teori tersebut
dengan melihat kondisi gerakan emansipasi perempuan serta kondisi perempuan
pada tahun 1912-1919.
20
Saskia E. Wieringa, Penghancuran Gerakan Perempuan Politik Seksual di Indonesia
Pasca Kejatuhan PKI, (Yogyakarta: Galangpress, 2010), h. 75.
8
E. Tinjauan Pustaka
Penyusunan karya ilmiah agar hasilnya dapat dipertanggung jawabkan,
tentu mempunyai dasar yang kuat yaitu dengan tinjauan kepustakaan. Setiap
penelitian ilmiah tidak dilakukan dengan cara sembarangan tanpa disertai dengan
literatur yang relevan. Oleh karena itu tinjauan pustaka yang dikemukakan di
bawah ini berdasarkan literatur dan dengan sendirinya disesuaikan dengan
tema/judul penelitian. Berdasarkan penelitian yang sudah ada, belum ditemukan
yang membahas judul ini secara terperinci.
Sejauh ini yang ditemukan oleh penulis hanyalah berupa ulasan-ulasan
yang sifatnya masih umum, sebagian diantaranya adalah sebagai berikut: Sukanti
Suryochondoro, Potret Pergerakan Wanita di Indonesia dalam bukunya
menjelaskan sejarah pergerakan perempuan di Indonesia, latar belakang dari
munculnya gerakan perempuan, serta menjelaskan kontribusi yang di berikan oleh
gerakan perempuan bagi pergerakan nasional di Indonesia. Dalam bukunya ini
pun menjelaskan sekilas tentang organisasi Poetri Mardika. Selain itu penulis juga
menggunakan buku tulisan A.K. Pringgodigdo yang berjudul Sejarah Pergerakan
Rakyat Indonesia. Buku ini banyak membahas mengenai pergerakan perempuan
masa pergerakan nasional yang terbagi menjadi tiga periode yakni sebelum tahun
1920, masa tahun 1920-1930 dan setelah 1930. Pergerakan perempuan pada
masing-masing periode memiliki ciri-ciri masing-masing sesuai zamannya.
Pergerakan perempuan sebelum tahun 1920 identik dengan pergerakan pada
wilayah sosial, tahun 1920-1930 mulai berorientasi politik dengan mendirikan
banyak perkumpulan sedangkan periode setelah 1930 semakin jelas orientasi
politiknya. Selanjutnya Winingsari Trimurti, dalam skripsinya yang berjudul
Perkembangan Kongres Perempuan Indonesia Pertama Tahun 1928 di
Yogyakarta, menjelaskan pergerakan perempuan Indonesia pada masa pergerakan
nasional, pelaksanaan Kongres Perempuan Indonesia Pertama,dan perkembangan
Kongres Perempuan Indonesia.
Berdasarkan tinjauan tersebut maka dapat dipahami bahwa sudah cukup
banyak penelitian yang dilakukan tentang gerakan perempuan. Namun belum ada
satu kajian khusus tentang organisasi Poetri Mardika secara detil. Hal yang
9
membedakan penelitian ini dengan yang penelitian yang lain adalah, penelitian ini
menjelaskan secara terperinci bagaimana keadaan organisasi Poetri Mardika baik
dari segi internal maupun eksternal, dan peran organisasi ini dalam melakukan
perubahan kondisi perempuan serta gerakan emansipasi perempuan di Hindia
Belanda, khususnya di Batavia.
F. Metode Penelitian
Metode sejarah adalah suatu proses menguji dan menganalisis secara kritis
terhadap rekaman dan peninggalan masa lampau berdasarkan data-data yang telah
diperoleh.21
Metode yang digunakan dalam studi ini ialah metode historis dengan
pendekatan sosiologi. Pendekatan sosiologi merupakan suatu pendekatan yang
bertujuan untuk mempelajari manusia sebagai anggota masyarakat yang berkaitan
dengan adat istiadat, kebiasaan, kehidupan dan tingkah laku.22
Metode hitoris
adalah sebuah penelitian yang tujuannya mendeskripsikan dan menganalisis
peristiwa-peristiwa masa lampau yang bertumpu pada lima langkah menurut
Kuntowijoyo, yaitu:23
a. Pemilihan Topik
Tahap awal dalam melakukan penelitian maupun penulisan yaitu
menentukan topik. Penentuan topik menjadi penentu langkah apa yang akan
dilakukan selanjutnya agar penulis fokus dalam pencarian sumber. Penulis tertarik
untuk mengadakan penelitian mengenai Gerakan Emansipasi Perempuan Awal
Abad Ke-20: Poetri Mardika 1912-1920 sebagai judul skripsi tidak terlepas dari
faktor intelektual penulis sebagai seseorang yang memiliki ketertarikan terhadap
pergerakan perempuan.
21
Louis Gottshalck, Terj. Nugroho Susanto, Mengerti Sejarah, (Jakarta: Universitas
Indonesia Press,2008), h. 39. 22
Suhartono W. Pranoto, Teori dan Metodologi Sejarah, (Yogyakarta: Graha Ilmu,
2001). h.136 23
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Bentang Pustaka, 2001), h. 91.
10
b. Pengumpulan Sumber (Heuristik)
Heuristik merupakan tahapan pertama, yaitu tahapan pengumpulan sumber.
Pengumpulan sumber yang dilakukan penulis melalui data tertulis berupa
dokumen, buku-buku, surat kabar. Untuk itu penulis dalam melakukan penelitian
ini menggunakan suatu alat pengumpulan data penelitian berupa:
Library Research (Penelusuran Kepustakaan) yang dimaksud di sini adalah
penulis mengadakan penelusuran terhadap data-data tertulis, berupa buku-buku,
surat kabar dan skripsi-skripsi yang berhubungan dengan tema skripsi, terkait
dengan pencarian sumber penulis mencarinya di perpustakaan utama UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, perpustakaan Adab dan Humaniora, Perpustakaan Nasional
Republik Indonesia, Perpustakaan milik pribadi Dosen Adab ibu Amelia Fauzia
Ph.D Sumber-sumber yang diperoleh kemudian dikategorikan berdasarkan
sifatnya, yaitu:
1. Sumber primer
Sumber primer adalah suatu dokumen atu sumber informasi yang
berkaitan langsung dengan peristiwa yang akan di teliti. Adapun sumber primer
yang digunakan dalam penelitian ini berupa surat kabar Poetri Mardika yang
berada di gedung Perpustakaan Nasional Republik Indonesia di Jl. Salemba Raya
No. 28A, Kenari Senen Jakarta Pusat, DKI Jakarta.
2. Sumber sekunder
Sumber sekunder merupakan sumber pendukung yang dapat digunakan
penulis untuk menggali informasi lebih mendalam mengenai tema yang diteliti.
Melalui penelusuran Kepustakaan Library Research yaitu berupa buku-buku dan
skripsi-skripsi yang terkait dengan tema yang serupa.
c. Verifikasi
Verifikasi ada dua macam yaitu autentisitas (keaslian sumber) atau kritik
eksteren, dan kredibilitas atau kritik intern.24
Kritik sumber merupakan tahap
setelah melakukan pengumpulan data. Dalam tahap ini penulis menganalisis dan
mengkritisi sumber-sumber yang didapat agar mendapatkan sumber yang valid
dan relevan dengan tema yang diteliti. Penulis berusaha mencari sumber-sumber
24
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Bentang Pustaka, 2001), h. 101.
11
yang dapat di pertanggung jawabkan kebenaranya, serta melakukan kritik sumber
dengan membandingkan berbagai macam sumber yang telah didapat baik itu
sumber tertulis maupun tidak tertulis. Penulis melakukan kritik sumber terhadap
sumber primer yang merupakan berasal dari surat kabar dan lainnya. Kritik
sumber dilakukan untuk mengetahui keaslian dokumen tersebut sehingga
kredibilitasnya tidak diragukan.
d. Interpretasi
Menguraikan informasi dari data-data dan sumber yang sudah diperoleh
serta sudah dipilih merupakan tahap dimana peneliti harus bisa berfikir logis dan
sesuai dengan kaidah-kaidah ilmu sejarah. Setelah sumber-sumber yang di dapat
dianalisis tahapan selanjutnya yang dilakukan penulis mencoba menafsirkan
terhadap sumber yang ditemukan oleh penulis, sehingga dapat menemukan
pemecahan atas permasalahannya.
e. Penulisan Sejarah (Historiografi)
Tahap ini merupakan tahap akhir dari sebagai penulisan akhir yang berupa
skripsi sebagai tugas akhir dalam perkuliahan di Program studi Sejarah dan
Kebudayaan Islam.
12
G. Sitematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab.
BAB I: Menjelaskan latar belakang, rumusan masalah, tujuan, manfaat
penelitian, kerangka teori, metodologi penelitian, sistematika penulisan.
BAB II: Menjelaskan kondisi perempuan di Batavia pada masa pergerakan
Nasional. Oleh karenanya penting untuk menjelaskan sejarah Kota Batavia secara
umum dan konteks sosial Kota Batavia di era Kolonial Belanda tahun 1912-1928
pada khususnya. Lebih jauh karena fokus penelitian ini adalah perempuan maka
penting menjelaskan bagaimana kondisi perempuan di Kota Batavia pada masa
itu.
BAB III: Menjelaskan sejarah salah satu gerakan perempuan Poetri Mardika di
Batavia pada tahun 1912. Organisasi ini didirikan guna membebaskan perempuan
dari belenggu adat istiadat sebagaimana dijelaskan dalam bab ini. Bab ini juga
menjelaskan bagaimana cara kerja organisasi ini dalam memperjuangkan aspirasi
perempuan.
BAB IV: Sebagaimana dijelaskan peran Organisasi Poetri Mardika semakin
terlihat signifikan. Dampak Organisasi Poetri Mardika terhadap Perempuan pun
penulis jelaskan dalam bab ini. Kemudian tidak lupa penulis jelaskan apa saja
hambatan Organisasi Poetri Mardika dalam Memperjuagkan Perempuan.
BAB V: Berisi kesimpulan dari adanya organisasi Poetri Mardika serta
pengaruhnya terhadap perempuan di masa awal abad ke-20.
13
BAB II
KONDISI PEREMPUAN DI BATAVIA PADA MASA PERGERAKAN
NASIONAL
Berbicara mengenai gerakan emansipasi perempuan awal abad ke-20,
berarti kita berbicara tentang upaya perubahan sosial, dan tentang masyarakat
serta kondisi lingkungan kota seperti apa yang menjadi katalisatornya. Organisasi
Poetri Mardika dilahirkan dan dibesarkan di Kota Batavia (Jakarta). Penting untuk
melihat secara detail Kota ini sehingga bisa mendorong perubahan dan menjadi
tempat kelahiran sebuah organisasi gerakan perempuan pertama di Hindia
Belanda. Bab ini memuat dua poin penting, pertama tentang perkembangan Kota
Batavia sehingga dapat berkontribusi memajukan pembentukan gerakan
perempuan Poetri Mardika dan poin kedua adalah memberikan gambaran umum
keadaan perempuan di Batavia pada masa awal abad ke-20 sehingga menjadi
pusat tujuan dibentuknya gerakan perempuan. Pada poin kedua penulis
menggambarkan kondisi sosial masyarakat dan keadaan perempuan pada masa
kolonial di Batavia. Selain perkembangan Kota Batavia penulis menjelaskan
keadaan masyarakat, sehingga menimbulkan adanya rasa nasionalisme dan
membuat strategi perlawanan diubah dari kekuatan fisik menjadi kekuatan
pikiran. Maka dalam poin di bawah ini penulis akan menjelaskan lebih lanjut
tentang keadaan sosial serta keadaan perempuan di Batavia.
A. Gambaran Umum Kota Batavia
Batavia (dahulu sunda kelapa) merupakan kota pelabuhan kosmopolit
semenjak masa kerajaan Hindu-Budha.1 Setelah orang-orang Portugis berhasil
diusir nama Sunda Kelapa kemudian diubah menjadi Jayakarta, yang berarti
“Kemenangan Besar”. Nama Djakarta juga termuat dalam cerita Melayu klasik,
Hang Tuah, bahwa “djaja” berarti unggul, menang, megah, gagah berani. Adapun
“Karta” memiliki makna makmur, sejahtera, raharja, mukti.2 Maka Djakarta kira-
1 Susan Blackburn, Terj Gatot Triwira, Jakarta Sejarah 400 Tahun, (Jakarta: Masup
Jakarta, 2012), h. 5. 2 Boejoeng Saleh,”Asal-usul Nama-nama Tempat di Ibu Kota Indonesia”, Jurnal
Kebudajaan, vol 10, Oktober 1953, h. 256
14
kira bermakna makmur karena kejayaan. Pada 27 Juni 1527 tanggal tersebut
sampai saat ini selalu diperingati sebagai hari kelahiran Kota Jakarta.3
Wilayah Batavia memiliki pola kota seperti kerajaan Islam pesisir Jawa
yang terdapat alun-alun, masjid, serta pasar yang diperkuat pagar kayu sebagai
garis pertahanan kota.4 Sejarah Kota Batavia erat hubungannya dengan kota
pelabuhan karena tumbuhnya perdagangan di kepulauan Indonesia dan
sekitarnya.5 Gambaran letak secara astronomis dan geografis terletak pada antara
60-80 Lintang Selatan dan 1060-108
0 Bujur timur serta dengan luas pelabuhan ±
65 KM2.6
Batavia selama rentang waktu yang cukup panjang, telah mengalami
proses perkembangan dan perubahan pesat, terlebih karena posisinya sebagai kota
pelabuhan dan perdagangan paling ramai di Nusantara. Kota Batavia juga telah
mengalami beberapa kali pergantian nama seiring dengan terjadinya pergantian
kekuasaan disana. Pada tahun 1619 terjadi pertempuran antara orang Belanda
melawan orang Inggris. Gubernur Jenderal VOC pada saat itu, Jan Pieterzoon
Coen (J.P. Coen) merebut dan mendirikan kota Batavia, Betawi atau Jakarta.
GAMBAR. II.1
Jan Pieterzoon Coen salah satu Gubernur ke 4 dan 6
Di Batavia pada masa jabatan 1619-1623 dan 1627-1629
Sumber:
http://bataviadigital.pnri.go.id/tokoh/?box=detail&id_record=7&npage=1&search_key=&search_v
al=&status_key=&dpage=1
3 Purnawan Basundoro, Pengantar Sejarah Kota, (Yogyakarta: Ombak, 2012), h. 85-86.
4 Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara, (Jakarta:Kepustakaan Populer
Gramedia, 2009), h. 142-143. 5 Desca Dwi Savolta, Arsitektur Indis Dalam Perkembangan Tata Kota Batavia Awal
Abad 20, Skripsi, (Surakarta: Universitas Sebelas Maret, 2010), h. 18.
15
Kemudian Benteng Jayakarta diubah namanya menjadi Benteng Batavia,
yang berasal dari kata Bataaf atau Batavier, sebagai penghormatan pada suku
bangsa leluhurnya. Pada 30 Mei 1619, J.P. Coen berhasil menakkukkan Jayakarta
dan dirubah menjadi Batavia.6 Lambang kota yang tertua adalah lambang Batavia.
Lambang tersebut ditetapkan pada 15 Agustus 1620, berupa sebuah perisai
berwarna orange, campuran merah-kuning (rood-geel), yang ditengahnya
tergambar sebilah pedang. Pedang ini dilingkari “krans” dedaunan berwarna
hijau-kecoklatan, yang dua sisinya bagian bawah dihiasi pita. Pita ini sebenarnya
baru muncul pada lambang Batavia yang tertera pada mata uang tahun 1643.
Lambang kota Batavia menggunakan dua semboyan dari J.P. Coen,
“Despereert Niet” yang berarti “jangan putus asa” dan “Daer can in Indien wat
groots verricht”, yang diterjemahkan “karena di Hindia dapat dilaksanakan hal-
hal yang besar”.7 Disebutkan bahwa Batavia merupakan kota kolonial pertama
yang ada di Indonesia, kemudian Batavia mulai berkembang degan dibangunnya
bangunan baru yang bergaya Belanda pada tahun 1619, dengan kebijakannya J.P.
Coen mendirikan kota Batavia sebagai kota yang berkembang, elit serta strategis
untuk perdagangan di Hindia Belanda dan dunia pada awal abad ke-20.8
Saat Batavia berkembang, kemudian Batavia terbagi ke dalam dua bagian
yakni, Oud Batavia (Batavia Lama) dan Nieuw Batavia (Batavia Baru):
1. Oud Batavia
Oud Batavia merupakan julukan untuk awalnya Kota Batavia didirikan.
Wilayah ini sendiri dibuat menyerupai kota-kota di Belanda khususnya
Amsterdam.9 Oud Batavia mencapai puncak kejayaannya pada tahun 1700 karena
pada periode ini, pemerintah kolonial mampu memperoleh kekuasaan efektif yang
layak atas sebagian besar penguasa-penguasa lokal tanpa harus melalui misi invasi
yang mahal. Selain itu, adanya perluasan wilayah tersebut dimanfaatkan
pemerintah Batavia untuk membangun berbagai bangunan dan monumen
6 Hendrick Niemeijer, Batavia Masyarakat Kolonial Abad XVII, (Depok: Masup Jakarta,
2012), h. 14. 7 P. Swantoro, Dari Buku ke Buku: Sambung Menyambung Menjadi Satu, (Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia, 2002), h. 7. 8 Yudi Prasetyo,” Dari Oud Batavia sampai Nieuwe Batavia: Sejarah Kota Batavia 1596-
1900”.http://lppm.stkippgri-sidoarjo.ac.id/files/Dari-Oud-Batavia-sampaiNieuwe-Batavia.Di akses
pada 15 Mei 2016. 13.03 WIB 9 Willard A. Hanna, Hikayat Jakarta, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1988), h. 48.
16
penunjang fasilitas penduduk kota seperti kastil, balai kota, rumah sakit, gereja,
lembaga peradilan, rumah panti asuhan, hingga urusan taman kota. Pembangunan
Batavia berjalan sangat pesat. Dalam waktu delapan tahun saja luas kota ini sudah
membengkak sampai tiga kali lipat, seluruh pembangunannya sendiri baru selesai
pada tahun 1650.10 Penduduk Oud Batavia dibagi dalam beberapa kategori, yaitu
vrijburger atau bekas pegawai dan tentara VOC yang tidak kembali ketanah
airnya, mestizo atau orang yang berdarah campuran Belanda- Asia, mardijker atau
bekas budak yang telah di bebaskan orang-orang Asia (sebagai besar adalah orang
Cina) dan berbagai etnis lain di Nusantara.11
2. Nieuw Batavia
Nieuw Batavia merupakan Batavia baru dibangun pada masa Gubernur
Jenderal Herman Willem Daendels. Daendels memiliki rencana untuk mengubah
dan meningkatkan kesehatan Kota Batavia yang sebelumnya memburuk, salah
satunya dengan memindahkan pusat Kota Batavia ke daerah pedalaman yang
kemudian dia beri nama Weltevreden. Weltevreden merupakan pusat dari kota
Batavia baru yang mampu menarik minat masyarakat untuk datang kesana.
Berbagai tempat menarik menjadi tujuan baik itu masyarakat sekitar maupun
wisatawan baik dalam negeri maupun luar negeri. Weltevreden yaitu pemukiman
pinggiran kota yang mengelilingi Koningsplein. Wilayah yang dikelilingi oleh
garis pertahanan Van den Bosch pada 1835.12 Secara bertahap Weltevreden
menjadi semakin lengkap dengan hadirnya gereja-gereja baru, sekolah, klab dan
lain-lain yang semakin mempertegas ciri khas kota Eropa modern. Di daerah
pedalaman Batavia, terutama pegunungan Priangan, dibangun perkebunan-
perkebunan yang luas serta pesanggrahan indah tempat tinggal orang Eropa, yang
keindahannya melebihi hampir semua rumah di Nieuw Batavia. Di Nieuw
Batavia, orang membangun rumah-rumah dipinggir jalan dan dinaungi oleh
pohon-pohon yang rindang. Rumah-rumah yang dibangun itu tidak seperti di Oud
Batavia, dekat dengan jalan dan bertingkat dua, namun terlihat modern seperti di
Eropa dengan tingkat satunya yang luas dan sejuk.13 Kebijakan Daendels yang
10
Desca Dwi Savolta, Arsitektur Indis…, h. 25. 11
Lance Castles,“ The Ethnic Profile of Djakarta, Indonesia ”, vol.1,April 1967, h. 155. 12
Susan Blackburn, Jakarta Sejarah…, h. 73. 13
Willard A. Hanna, Hikayat Jakarta…, h. 191.
17
pertama terhadap kota Batavia yaitu Daendels memuat rencana besar mengubah
Weltevreden menjadi Ibukota baru meskipun keadaan keuangan pada waktu itu
buruk.14 Sedangkan untuk di daerah pedalaman Batavia, dibangun perkebunan-
perkebunan yang luas serta pesanggrahan indah tempat tinggal juragannya, yang
keindahannya melebihi hampir semua rumah di Nieuw Batavia. Realitas tersebut
mengembalikan citra dan gelar “Ratu dari Timur” yang pernah disandang pada
masa Oud Batavia.15
Sejak tahun 1912, Weltevreden direncanakan oleh Kantor Pekerjaan
Umum (BOW) Batavia sebagai pusat pemukiman penduduk Hindia Belanda
keturunan Eropa. Secara bertahap Weltevreden menjadi semakin lengkap dengan
hadirnya gereja-gereja baru, sekolah, klab, dan lain-lain yang semakin
mempertegas ciri khas Kota Eropa modern. Pinggiran Kota Batavia makin meluas
Weltevreden, ke daerah yang bernama Gondangdia dan Menteng. Jalan raya yang
megah pada waktu itu ialah Oranje Nassau dan van Heutz, atau sekarang Jalan
Diponegoro, Imam Bonjol dan Tengku Umar. Di jalan ini, atau didekatnya,
dibagun rumah-rumah besar dan bagus oleh penduduk terkemuka yang
kebanyakan orang-orang Belanda, beberapa orang Cina, dan juga beberapa kaum
ningrat Indonesia.16
Perkantoran pemerintah dan perdagangan di Batavia masih tetap terpusat
di daerah khusus, yang satu di Batavia Centrum, atau Batavia lama yang
diperindah, dan yang lainya di sekitar Koningsplein atau sekarang taman Monas.
Di Batavia Centrum itu terdapat bukti nyata tentang kemajuan yang dicapai.
Dikatakan bahwa Nieuwe Batavia merupakan perubahan kota yang kosmopolitan
dengan aspek yang melingkupinya. Nieuw Batavia dapat disejajarkan dengan
kota-kota besar dunia seperti Paris dan London. Kota ini menjadi semacam
magnet dengan segala hal yang menjadi ciri kota urban tersedia di Batavia, mulai
dari pusat pemerintahan, pusat kebudayaan, peluang bisnis, pendidikan, hiburan
hingga sektor pariwisata.17
Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa perubahan
kota Batavia yang semakin berkembang, berdampak pada kemajuan beragam
14
Desca Dwi Savolta, Arsitektur Indis…, h. 27. 15
Willard A. Hanna, Hikayat Jakarta…, h. 191. 16
Desca Dwi Savolta, Arsitektur Indis…, h.76. 17
Yudi Prasetyo, Dari Oud Batavia…, h. 15.
18
aktivitas, terutama ekonomi, di dalam membantu memajukan kegiatan didalam
kota tersebut.
B. Keadaan Sosial di Batavia pada masa Kolonial
1. Penduduk Batavia pada Abad ke- 19
Batavia menjadi kota yang berkembang dengan jumlah populasi
penduduknya yang terus meningkat. Awal abad ke-19, Kota Batavia diwarnai oleh
kehadiran lima kelompok yaitu, Belanda, Indo-Eropa, Cina, Arab, serta Pribumi.
Maka dari itu timbul berbagai pemukiman penduduk yaitu, orang Eropa, orang
Timur Asing, dan juga berbagai suku bangsa di Indonesia. Hal ini adalah akibat
dari dihapuskannya perdagangan budak, sehingga Pulau Jawa menggantikan
pulau-pulau lain sebagai sumber imigran yang masuk ke Kota Batavia.18
Di
bawah ini terdapat beberapa kelompok yang hidup di Kota Batavia:
Golongan Warga Mardiker
Merupakan kelompok yang ada diwilayah Batavia. Mereka berasal dari
kelompok budak yang dibebaskan dan merupakan orang-orang dari Bengali,
Tamil, Malabar, Gujarat, dan Srilanka. Selain itu, warga mardiker ini menjadi
warga yang memilliki kekayaan yang lumayan cukup karena mereka berhasil
mengumpulkan kekayaan yang lumayan banyak dan mereka tinggal dirumah-
rumah besar yang ada kebunnya atau memiliki lahan di Ommelanden. Semua ini
munkin karena mereka mewarisi jiwa dagang orang India yang cenderung
membuat mereka lebih gesit dibandingkan dari warga etnis Asia lain.19
Golongan Kelompok Mestizo
Kelompok ini dapat dikatakan kelompok masyarakat inlander yang berdarah
campuran Eropa dan Asia. Adapaun pertumbuhan warga mestizo pada 1632
seluruh penduduk Batavia berjumlah sekitar 8.000 orang, pada 1650 jumlah itu
bertambah dua kali lipat hal itu dikarenakan pada tahun 1636 Pemerintah
melarang para budak dan perempuan pribumi asli yang sudah menikah dengan
orang Belanda untuk berimigrasi ke negeri Belanda. Maka dari itu kebanyakan
keluarga campuran memilih tinggal di dalam Kota Batavia sehingga dapat di
18
Lance Castles, Profil Etnik Jakarta…, h. 18. 19
Hendrick, Batavia Masyarakat…, h. 35.
19
simpulkan bahwa keadaan tersebut bedampak positif bagi perkembangan
kelompok mestizo. Kemudian kelompok campuran para mestizo tidak memainkan
peran teramat penting dalam kehidupan masyarakat pendatang di Batavia ketika
itu.20
Golongan Timur Asing dan Tionghoa
Kehidupan golongan Timur Asing dan orang Tionghoa secara umumnya
bergerak di perdagangan dan menjadi orang yang kaya. Namun, ada pula yang
tetap menjadi kuli dan hidup dalam kemiskinan.21 Kehidupan masyarakat Eropa
menjadi patokan peradaban paling tinggi di Batavia dengan segala
kemewahannya. Kemajuan kebudayaan barat menjadi salah satu faktor
berkembangnya kehidupan masyarakat Eropa yang mewah.
Golongan Pribumi
Penduduk pribumi mendapatkan penghasilan berdagang dari hasil bumi.
Produksi kerajinan, dan pemberian pelayanan, seperti mengemudi kereta sado,
kuli, penjahit, tukang sepatu, tukang kayu, pembatu rumah tangga, binatu/tukang
cuci pakaian, pembuat pelana dan pedati, buruh diindustri rakyat, yaitu
memproduksi topi dan kaset. Diantara mereka ada juga yang menjadi pegawai
kantor rendahan, seperti pengatar surat dan pegawai kantor, sedangkan yang lain
melakukan usaha sendiri, seperti pedagang keliling. Mereka ini biasanya tinggal
dikampung yang berdekatan dengan daerah tempat tinggal orang Eropa.
Pendapatan kalangan bawah ini tidak tetap, kerena pekerjaan mereka serabutan
dan hanya cukup untuk makan.22
Selain itu penduduk pribumi mendapatkan
penghasilan dari menjual tanaman, sedikit produksi kerajinan tangan dan
memberikan jasa pelayanan seperti menjadi kusir sado atau gerobak lembu, serta
menjadi pencuci pakaian. Banyak diantaranya yang menanam sirih dan menjual
daunnya sebagai bahan untuk mengunyah sirih. Para lelaki mengumpulkan buah,
kayu bakar, rumput (untuk populasi kuda yang semakin banyak) dan sayuran
untuk dijual ke Kota. Industri rumahan juga menjadi aspek ekonomi yang penting
bagi masyarakat pribumi.
20
Hendrick, Batavia Masyarakat…,h. 37-41. 21
Susan Blackbrun, Jakarta Sejarah…, h. 93 22
Desca Dwi Savolta, Arsitektur Indis…, h. 38.
20
Menurut laporan Meyer Ranneft Huender; diperhitungkan bahwa penghasilan
satu keluarga Pribumi untuk satu tahun f. 225, jadi dalam sebulan mereka
berpenghasilan f. 18, 75. Sebagian lagi berpenghasilan dalam satu tahun f. 45, jadi
dalam sebulan hanya berpenghasilan f. 3,75 belum termasuk potongan pajak
sebesar 10%, di dalamnya tidak dijelaskan pendapatan tersebut didapat dari
bekerja di sektor apa saja. Sedangkan seorang Belanda pendapatannya f. 9000 atau
lebih dari f. 10.000, tergantung dari posisi dan kedudukannya. Jika seorang
Belanda pendapatannya kecil maka presentase untuk pajak kecil dibawah 10%.
Sedangkan pendapatan Pribumi yang sudah kecil ini sendiri masih harus dikenai
pajak 10%, dan bagi golongan Belanda diberikan dispensasi oleh pemerintah
Hindia Belanda.23
2. Penduduk Batavia Abad ke- 20
Pada awal abad ke-20, penduduk Batavia meningkat pesat hingga 500.000
jiwa, terdiri dari 50.000 orang Belanda dan 200.000 orang Indo.24
Lihat tabel
penduduk Batavia dalam periode 1890-1920 dibawah ini:
TABEL II.1
Komposisi Penduduk Batavia 1890-1920
KOMPOSISI PENDUDUK BATAVIA
TAHUN EROPA DAN
YANG
DISAMAKAN
TIONGHOA ARAB TIMUR
ASING
LAIN
PRIBUMI TOTAL
1890 10.793 78.925 2.410 162 978.466 1.070.756
1900 13.653 89.064 3.062 252 1.831.974 1.938.006
1905 13.805 92.520 2.772 277 1.999.978 2.109.352
1920 37.128 - - 122.065 2.628.142 2.787.345
Sumber: Hanneke Lomerse, “Tabel Komposisi Penduduk Batavia”, dalam Gert Oostinde (ed.),
Dutch Colonialism, Migration, and Cultural Heritage (Leiden: KITLV Press) 2008, hlm. 322
Dalam tabel diatas menunjukan bahwa pada tahun 1900-an semakin
meningkat kepadatan penduduk di Batavia. Hal ini menjelaskan bahwa Batavia
semakin berkembang pesat dimulai pada tahun 1900-an. Selanjutnya pada awal
abad ke-20 kota-kota Batavia merupakan kota dengan aktivitas ekonomi yang
cukup tinggi. Hal ini menunjukan faktor pendorong majunya tingkat gaya hidup
23
Desca Dwi Savolta, Arsitektur Indis…, h. 40. 24
Yudi Prasetyo,”Dari Oud Batavia”…, h. 14.
21
masyarakat perkotaan di kota-kota itu. Proses modernisasi ini dapat terjadi karena
diakibatkan oleh faktor-faktor pemicu antara lain, laju pertumbuhan penduduk
yang tinggi, berkembangnya sekolah-sekolah gaya Barat, liberalisasi
perekonomian yang meningkatkan arus migrasi penduduk asing dan arus investasi
modal asing, pesatnya industrialisasi, pesatnya pembangunan infrastruktur dan
sistem komunikasi modern, serta pembaharuan sistem administrasi dan birokrasi
pemerintahan kolonial Belanda.25
Modernisasi yang mulai terbangun serta dorongan kebangkitan semangat
kebebasan pada awal abad ke-20 agaknya telah merubah pola pikir masyarakat
Batavia untuk bisa berbaur, terlebih dengan adanya percampuran atau perkawinan
antar etnis yang secara terus-menerus berlangsung di Batavia. Kehidupan
masyarakat Eropa menjadi patokan peradaban paling tinggi di Batavia dengan
segala kemewahannya. Kemajuan kebudayaan barat menjadi salah satu faktor
berkembangnya kehidupan masyarakat Kemudian Batavia berkembang karena
didukung adanya mulai perubahan serta pembaruan dalam kota tersebut sehingga
memberikan perkembangan diantaranya sekolah-sekolah yang berkembang di
Batavia memunculkan generasi-generasi baru yang mneumbuhkan gagasan baru.
Selanjutnya membahas tentang gaya hidup masyarakat di Kota Batavia.
Batavia memiliki beragam etnis diantaranya, Orang Cina, Arab, dan pribumi.
Mereka memiliki gaya hidup yang berbeda dengan orang Eropa, karena kelas
sosial mereka yg berada dibawah orang Eropa. Identitas masyarakat di Kota
Batavia sendiri tergambarkan dari tata cara berbusana tiap golongan yang telah
terbagi tadi. Masyarakat Eropa sebagai strata sosial paling atas dalam Kota
Batavia, pada awal abad 20 terlihat sangat hedonis dengan gaya busana khasnya
yang sering disebut pakean Eropa.26
Model-model baju berkerah menjadi ciri
khas, serta jas yang menjadi pelengkap terlebih bagi orang Eropa yang bekerja di
dalam pemerintahan penggunaan jas menjadi sangat lah wajib. Gaun-gaun yang
berwarna cerah dengan hiasan topi kecil menjadi gaya busana bagi perempuan
berkebangsaan Eropa yang ada di Batavia. Hal ini disebabkan pada permulaan
25
Sartono Kartodirdjo, Perkembangan Peradaban Priyayi, (Yogyakarta: Gajah Mada
University Press, 1987), h.166. 26
Didi Kwartanada, Dua Abad Pakean Eropa di Indonesia, Simbol Pemberontakan
dan Modernitas, (Esquire: 2013), h. 91.
22
abad ke- 20 mode pakaian barat mulai mengikuti tren yang terjadi di Paris.27
Lalu
ada etnis Tionghoa yang menjadi kelas masyarakat nomor dua setelah orang-
orang Eropa. Walaupun ada juga diantara mereka yang hidup dalam kelas elit
bangsawan. Orang Cina dalam kalangan kelas menengah kebawah umumnya
mempunyai ciri khas rambut yang di kepang panjang dengan baju bercirikan
orang Cina pada umumnya. Mereka biasanya bekerja secara serabutan seperti
memalu, mengergaji, mengecat, menjahit, dan membangun atau melakukan
kerjaan lainnya. Meski banyak yang menjadi kuli atau pedagang kaki lima dengan
penghasilan yang minim, namun tidak dapat di pungkiri banyak juga orang Cina
yang sukses di Batavia dan biasanya menjalankan hidup layaknya orang Eropa.
Sedangkan orang Arab yang kebanyakan hidup dengan cara berdagang
mempunyai ciri khas pakaian dengan gamis dan penutup kepala berupa kain
sorban, dengan jenggot yang menghiasi wajah mereka. Sedangkan pada golongan
bawah di huni oleh etnis pribumi dengan gaya busana yang menjadi ciri dari
identitas mereka ialah sarung dengan baju lengan pendek dan bahkan bertelanjang
dada kemudian kaum perempuan cenderung berbusana kebaya pada umumnya.
Orang pribumi kebanyakan hidup menjadi kuli dan pekerja kasar.28
C. Kondisi perempuan di Kota Batavia pada masa Kolonial
Tahun 1600-an kedatangan VOC di Nusantara sekitar menjadi awal di
mulainya pergundikan dan munculnya para nyai pada masa penjajahan.29
Pada
periode ini keadaan yang dialami oleh perempuan adalah pergundikan.
Pergundikan ini dimulai dari dipekerjakannya para perempuan pribumi untuk
mengurus rumah tangga para pegawai kulit putih, yang lambat laun tidak hanya
berkutat pada urusan dapur namun juga menemani majikannya tidur. Ketika itu
banyak dari laki-laki Eropa terlebih orang bangsawan memiliki dan memelihara
perempuan Pribumi untuk dijadikan nyai atau gundik yang diambil dari anak atau
27
Agung Wibowo, “Gaya Hidup Masyarakat Eropa di Batavia Pada Masa Depresi
Ekonomi (1930-1939)”, Skripsi, (Depok: Universitas Indonesia, 2012), h. 57. 28
Susan Blackburn, Jakarta Sejarah…, h.71. 29
Reggie Baay, Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda, (Depok: Komunitas
Bambu, 2010), h.1.
23
istri pekerja perkebunan atau dari kampung orang Pribumi.30
Relasi kuasa antara
majikan dengan budak perempuannya ini membuat pergundikan menjadi sebuah
sistem yang sulit diberantas. Pergundikan terus berlanjut hingga bertahun-tahun
selama masa kolonial karena sistem ini juga kemudian diteruskan oleh
keturunannya atau orang-orang Indo.31
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) disebutkan bahwa gundik berarti istri tidak resmi, selir, atau perempuaan
piaraan. Pergundikan berarti suatu praktik dalam masyarakat yang berupa ikatan
hubungan di luar perkawinan antara seorang perempuan dengan seorang laki-laki
dengan alasan tertentu.32
Memasuki masa kolonialisme, pergundikan sebagai salah satu strategi dari
bangsa pendatang agar dapat diterima oleh penduduk asli dengan cara menikahi
perempuan pribumi. Selain itu para pendatang biasanya tidak membawa istri dari
negeri asalnya sehingga mengambil istri penduduk pribumi atau sekedar menjalin
hubungan tanpa status. Dalam abad ke-20 masih banyak orang Eropa
menggunakan sebutan untuk para nyai. Sebutan yang paling halus adalah inlandse
huishoudster yang berarti pembantu rumah tangga. Para nyai yang dipelihara di
dalam tangsi-tangsi tentara kolonial biasa disebut moentji. Istilah ini merupakan
pelesetan dari kata mondje yang berarti bermulut kecil. Sebutan ini merujuk pada
kenyataan bahwa para perempuan gundik merupakan perempuan penurut, tidak
banyak bicara, tidak protes, dan tunduk pada tuannya. Terkadang muncul pula
julukan snaar/snoer (senar atau dawai) yang digunakan untuk menyebut seorang
pelacur atau perempuan panggilan. Berbagai sebutan itu memiliki satu maksud
yaitu menegaskan bahwa meskipun mereka menjadi istri seorang majikan kulit
putih, namun kedudukan nyai tidak dianggap sederajat.33
30
Djoko Soekiman, Kebudayaan Indis, Dari Zaman Kompeni sampai Revolusi, (Jakarta:
Komunitas Bambu, 2011) , h.72. 31
Hendra Kurniawan,” Nyai Dalam Pergundikan: Pendorong Munculnya Kaum Indo
di Hindia Belanda”, dalam jurnal Historia Vitage seri pengetahuan dan pengajaran sejarah.
Vol 28, No 2, Universitas Sanata Dharma, 2014), h. 139. 32
Hendra Kurniawan, Nyai dalam Pergundikan…, h. 139. 33
Reggie Baay,”Nyai Dalam Pergundikan”…, h. 58-59.
24
Masyarakat tradisional pada umumnya menganggap status perempuan
berada di bawah kaum laki-laki. Kaum perempuan tidak diberi kebebasan untuk
menentukan nasibnya sendiri. Perempuan tidak diberi kesempatan untuk maju,
karena adanya adat isiadat yang mengikat kebebasan bergerak para perempuan.
Kaum perempuan hanya dipersiapkan menjadi calon pelayan suami yang harus
bekerja di dalam rumah.34
Menurut Cora Vreede keadaan perempuan itu terbagi
dalam empat golongan yaitu:
- Golongan kelas pertama yaitu bangsawan, mereka mendapatkan
pendidikan hanya saja ketika mereka sudah beranjak umur 12 tahun maka
mereka akan menjalani masa pingitan dan kemudian dinikahkan dengan
pilihan orangtuanya.
- Golongan kelas menengah, perempuan golongan ini di berikan kebebasan
untuk melakukan kegiatan seperti bekerja di sawah, belajar menjahit dan
sebagainya, hanya saja mereka memang tidak dapat merasakan pendidikan
di sekolah. Mereka juga merasakan perjodohan seperti halnya kaum
perempuan bangsawan. Untuk perempuan kelas menengah ini mereka
dinikahkan pada umur 12-15 tahun.
- Golongan ketiga, golongan perempuan kelas bawah keadaanya hamper
sama dengan keadaan perempuan kelas menengah, hanya saja untuk
perempuan kelas rendah tidak disebutkan pada umur berapa mereka di
nikahkan.
- Golongan keempat adalah perempuan golongan santri, perempuan dalam
golongan ini memang tidak disekolahkan namun mereka mendapatkan
pendidikan agama dan di nikahkan pada umur 15 tahun. 35
34
Mayling Oey Gardine, Perempuan Indonesia Dulu dan Kini, (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama,1996), h. 293. 35
Cora Vreede-de stuers, Sejarah Perempuan Indonesia Gerakan & Pencapaian..., h. 63-
64.
25
Dapat disimpulkan bahwa keadaan perempuan pada masa tersebut tidak lepas
dari pernikahan usia dini dan hak (seperti mendapatkan kebebasan untuk meraih
pendidikan dan mendapatkan kebebasan untuk mengeskplor diri dalam ruang
publik) yang mereka dapati juga terbatas. Meskipun pada abad tersebut
kedudukan perempuan masih disepelekan dan selalu diberikan keterbatasan ruang
gerak ketika mereka beranjak dewasa dengan alasan untuk menjaga para
perempuan agar terhindar dari budaya Barat. Namun alasan tersebut di sanggah
oleh Sadikoen dalam surat kabar Poetri Mardika ia mengatakan bahwa untuk
menghindarkan perempuan dari budaya Barat itu berada dalam keyakinan dirinya
sendiri, maksudnya dengan ketetapan hati dalam mempertahankan kebudayaan
serta pikiran berada dalam diri mereka sendiri.36
36
Sadikoen Toendokoesomo. “Perobahan Alam Perempoewan’’, dalam surat kabar
Poetri Mardika, September, 1915. No 6, (Tahun II), h.58.
26
BAB III
ORGANISASI POETRI MARDIKA: PEMBENTUKAN, ANGGOTA
DAN PROGRAM
Ketika berbicara mengenai organisasi tentu saja tidak akan lepas untuk
membicarakan latar belakang organisasi, misi organisasi, serta faktor pendorong
munculnya organisasi tersebut. Maka bab III ini ditulis guna menjelaskan
beberapa hal seputar Poetri Mardika. Baik dari sejarah, tujuan, hingga keadaan
anggota-anggotanya.
A. Sejarah Singkat Organisasi Poetri Mardika Tahun 1912-1919
Permulaan abad ke-20 merupakan masa kebangkitan di Indonesia karena
dampak kebijakan dari politik etis. Politik etis merupakan ide dari Van Deventer
yang berpendapat bahwa Indonesia telah berjasa membantu keungan pemerintah
Belanda. Oleh karena itu sudah sewajarnya kebaikan orang Indonesia dibayar
kembali dengan upaya melalui irigasi, edukasi, dan emigrasi.37
Salah satu upaya
dari politik etis ialah kaum pribumi di berikan kebijakan untuk belajar di sekolah
yang didirikan oleh pemerintah Belanda. Hasil dari pendidikan tersebut
menimbulkan kebangkitan pada masyarakat pribumi dengan munculnya ide-ide
mengenai organisasi.38
Berorganisasi merupakan cara mencapai tujuan yang
diharapkan bersama akan lebih mudah atau efisien. Sebab dalam sebuah
organisasi, setiap masing-masing anggotanya memiliki peran yang saling
berkaitan dengan tujuannya. Alasan umum perempuan merasa perlu membentuk
sebuah organisasi supaya kaum perempuan merasakan bahwa kedudukannya
masih jauh dari baik. Sepertinya masih banyak yang harus disempurnakan dalam
bermacam lapangan seperti dalam lapangan ekonomi (kurangnya jaminan hidup),
dalam bidang sosial (masih ada kepincangan-kepincangan pergaulan, kurang
sempurnanya pendidikan), dan lain-lainnya. Bila disadari bahwa organisasi-
organisasi itu menjadi alat perjuangan rakyat Indonesia menghadapi penjajah
Belanda karena tindakan-tindakan pemerintah Belanda, peraturan-peraturan
37
Suhartono, Sejarah Pergerakan Nasional. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994) h.16-17 38
G.A.Ohorella, Peranan Wanita dalam Pergerakan Nasional. (Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1992), h. 1.
27
negara yang dipergunakannya, cara-cara menyusun perekonomian masyarakat,
seluruhnya merugikan rakyat Indonesia.39
Faktor dari penderitaan akibat penjajahan menimbulkan rasa Nasionalisme
pada rakyat Indonesia. Rasa Nasionalisme mengubah strategi pelawanan dari
kekuatan fisik menjadi kekuatan pikiran, maka timbul golongan kaum terpelajar
mendirikan organisasi Budi Utomo yang memiliki pandangan terhadap
nasionalisme dan perempuan.40
Permulaan abad ke-20 muncullah organisasi
nasional perempuan pertama di Batavia “Poetri Mardika” (1912) yang di dukung
oleh organisasi Budi Utomo, dapat dikatakan bahwa Poetri Mardika merupakaan
organisasi keputrian dari Budi Utomo.41
Organisasi Poetri Mardika dapat
disimpulkan sebagai organisasi perempuan yang berideologi nasionalisme, hal ini
merujuk kutipan yang ditulis dalam majalah Poetri Mardika
“…apakah maksoed kita bergerak menoembohkan beberapa perkoempoelan? Tida lain
mendjoejoeng bangsa dan tanah: membangoenkan bangsa jang oetama. Maka dari itoe
haroeslah kita bersama-sama meoesahakan, selamanja pada kita sendiri, soepaja saudara
fehak perempoean menjadi iboe jang bijaksana: sebab tjoema iboe jang bijaksana bakal
bias menoeroenkan bangsa satria…42
Kemudian untuk kata mardika merupakan kata dari merdika atau merdeka, seperti
dari tulisan yang termuat dalam majalah Poetri Mardika
“…Kamardikaan: Jaitoe kamardikaan boeat berlakoe meneroet goemolongnja perasaan
kita dan boeat melakukan menoeroet djalanja angen-angen jang menontoen kita pada
tempat keoetamaan tadi goena njampoerken dengan perasaan kita: djadi goenanja
kemerdikaan tadi jaitoe boeat njampoernakan keadaan hidoep kita”...43
Tulisan yang tercantum di dalam majalah tersebut menunjukan, bahwa
Poetri Mardika menginginkan kemerdekaan serta kehidupan yang lebih baik.
Seperti yang dikatakan oleh Asiah (seorang ketua dari Poetri Mardika yang
menjabat pada tahun 1916), ia mengatakan bahwa;
39
Amini Sutari Abdul Gani, Perjuangan wanita Indonesia 10 windu setelah kartini
1904-1984, (Departemen Penerangan RI, 1984), h. 166. 40
Leiriza, R.Z, dkk, Sejarah Pemikiran tentang Sumpah Pemuda. (Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan
Dokumentasi Sejarah Nasional, 1989), h. 123. 41
Sukanti Suryochondro, Potret Pergerakan…, h. 85. 42
Koesoemo,”Keoentoengan Hindia.’’Poetri Mardika, Maret, 1916. No 3, (Tahun III),
h.32. 43
Sadikoen Tondokoesoemo.” Toedjoean dan sifatnja perobahan alam perempoean”
Poetri Madika, Desember, 1916. No 12, (Tahun III), h.122.
28
“ a) memang soedah djadi maksoed kita oerang perempoean bebas dari koewasanja orang
lelaki: sebab seperti saudara soedah bilang maka kebanjakan orang lelaki meninggalkan
koewadjibannja atau istrinja: sepandjang pendapatan kami, maka kebanjakan orang lelaki
tida tjoema meninggalkan sadja, akan tetapi kebanjakan memang tida mengerti apa jang
mendjadi koewadjibannja soeami sabatoelnja atas isterinja, jaitoe koewadjiban mendjadi:
goeroe laik, artinja mendjadi pendidik, penoentoen dan panoetan (tjonto), b) memang
soedah djadi maksoed kita soepaja oerang perempoean meneria haknja sama dengan
lelaki, jaitoe ha katas pengetahoean dan koewadjiban manoesia dalam hidoep bersama-
sama”.44
Selanjutnya kutipan dalam verslag Poetri Mardika yang disampaikan oleh
R.Ng. Asiah45
menerangkan arti kata “Merdeka” dalam nama organisasi Poetri
Mardika yang berada di Batavia ini sebagai berikut:
“Merdeka dalam perhimpoenan P.M. itoe tidak boleh diartikan LOSRAN DIGREID,
tetapi arti jang berboenji dalam perkataan itoe ialah: LOEWES akan ketjakapan
perempoewan dalam koewadjibannja dan dapat toeloeng meneoloeng dengan pehak
lelaki”.46
Bahwasanya untuk kata merdeka dalam Poetri Mardika ini adalah
mengupayakan memperluas ruang gerak untuk para perempuan dan bukan lagi
terbelenggu dengan perkara adat istiadat yang membatasi para perempuan.
Lahirnya sebuah organisasi yang di dorong oleh gagasan kemerdekaan maka,
menimbulkan kesadaran akan butuhnya untuk menyebarkan suara mereka secara
luas. Media massa di anggap sebagai kebutuhan untuk menampung maksud
tersebut.47
Menurut Myra M. Sidharta di dalam buku yang di tulis oleh Kurniawan
Junaedhi bahwa surat kabar perempuan pertama adalah Tiong Hwa Wi Sien Po
yang di urus oleh Lien Titie Nio dan Surat Kabar kedua adalah Poetri Hindia yang
terbit pada 1908 yang di pimpin oleh RTA Tirtokoesomoe, dan pada tahun 1912
dari Sumatra Barat menerbitkan surat kabar yang bernama Soenting Melajoe.48
44
Asiah. “Poetri Mardika”, April, 1916. No. 4, (Tahun III), h.10. 45
Asiah merupakan seorang ketua organisasi Poetri Mardika pada masa kepemimpinan
tahun 1916-1919. 46
“Verslaag Algemenee Vergadering P.M. di gedoeng No. 41 KRAMAT (Weltevderen)
pada tanggal 19 Agustus 1917”. Poetri Mardika, Oktober, 1917. No 10, (Tahun IV), h.100. 47
Kurniawan Junaedhi, Rahasia Dapur Majalah di Indonesia. (Jakarta: PT Gramedia
Utama, 1995) h. xix. 48
Kurniawan Junaedhi, Rahasia Dapur Majalah di Indonesia…, h. 69.
29
TABEL III.1
Surat Kabar Perempuan Sebelum Tahun 1928
NAMA SURAT KABAR TAHUN
1 Tiong Hwa Wi Sien Po 1906
2 Poetri Hindia 1908
3 Soenting Melajoe 1912
4 Wanita Sworo 1912
5 Sekar Setaman 1914
6 Poetri Mardika 1915
7 Hesti Oetama 1918
8 Perempoan Bergerak 1919
9 Doenia Istri 1922
10 Istri Soesilo 1924
Sumber: Kurniawan Junaedhie, Rahasia Dapur Majalah di Indonesia. (Jakarta: PT Gramedia
Utama, 1995)
Menurut Kurniawan Junaedhie bahwa majalah Poetri Mardika telah terbit
di tahun 1915 namun, di dalam surat kabar Soenting Melajoe pada tahun 1914
Poetri Mardika telah di sebutkan di dalam surat kabar Soenting Melajoe yang
berjudul “Satoe Karangan dalam Soerat Chabar” Poetri Mardika” di Betawi,
menghinakan Orang Alam Minangkabau”, dalam artikel Soenting Melajoe ini di
tulis oleh S. Maharadja Lelo yang mengkritik serta mengklarifikasi surat kabar
Poetri Mardika pada tahun 1914 yang membahas adat orang minangkabau bahwa
untuk laki-laki minang yang di lamar oleh perempuan dan di berikan uang
lamaran oleh pihak perempuan.49
Tulisan ini telah menunjukan bahwa Poetri
Mardika telah menerbitkan majalah di tahun 1914.
Poetri Mardika menerbitkan majalah karena memiliki gagasan baru untuk
meraih kemerdekaan, maka organisasi Poetri Mardika berupaya menerbitkan
majalah yang berfungsi sebagai penyebar gagasan kemajuan perempuan serta
sebagai sarana praktis pendidikan dan pengajaran. Penerbitan majalah ini juga
sebagai bentuk usaha organisasi-organisasi perempuan Indonesia untuk
49
S. Maharadja Lelo, “Satoe Karangan dalam Soerat Chabar” Poetri Mardika” di Betawi,
Menghinakan Orang Alam Minangkabau”. Soenting Melajoe, Juni, 1914. No 26. (Tahun III).
30
memberikan pendidikan kepada kaum perempuan.50 Tjiptorahardjo mengatakan
dalam majalah Poetri Mardika bahwa tujuan Poetri Mardika sebagai berikut:
Soerat kabar P.M. goena terbatja sekalian orang, terlebih pada kaoem poetri, karena
soedara itoe joega toedjoennja, agar soepaja menambah pemandangan dan
pendengarannja, Olih karena itoe barang siapa mempoenjai soerat kabar P.M.
sosoedahnja terbatja soedah apalah kiranja memberikan handai dan taukanja, agar soepaja
lambat laoen sekalian orang mengetahoei toedjoeannja P.M. lebih tegas lagi.51
Media massa (surat kabar) merupakan salah satu media yang ampuh dan
sangat efektif untuk menyebarkan gagasan, ide dan cita- cita mereka. Surat kabar
berfungsi sebagai penyebar gagasan dan sebagai sarana pendidikan serta
pengajaran agar pemikiran kaum perempuan terbuka dengan tanggung jawab yang
semestinya.52
Adapun harga majalah Poetri Mardika pada tahun 1915 dikenakan
biaya sebesar f.1 (gulden), untuk berlangganan selama satu tahun dengan
pembayaran di awal terlebih dahulu. Dalam laporan surat kabar diberitahukan
bahwa terdapat adanya kenaikan harga seperti yang telah di paparkan oleh Asiah
dalam laporan administrasi.
Dari sebab hargannja kertas naik 100% maka terpaksalah kita menaikkan djoega
hargannja abonnement. Harganja langganan sekarang djadi f. 1, 50 boeat satoe tahoen.
Dari naik hargannja abonnement maka kita harap, soepaja ini tida mendjadi lantaran
boeat berhenti menjadi abonne. Dengan hormat kita minta pada langganan jang beloem
membajar, soedi apalah kiranja meloenaskan toenggakannja, soepaja soerat kabar dapat
teroes dikeloerkan tiap-tiap boelan dengan 12 katja.53
Maka dengan laporan ini harga surat kabar Poetri Mardika pada tahun
1916 naik menjadi f. 1,50 kemudian tahun 1920 naik menjadi f. 2,50. Dana hasil
dari pembelian surat kabar ini dimasukkan ke dalam dana kas Poetri Mardika dan
dialokaskan untuk dana keperluan anak tanggungan Poetri Mardika. Dana dari
pembayaran majalah tersebut dijadikan sebagai pemasukan uang kas organisasi
dan dana tersebut diperuntukkan untuk keperluan organisasi.54
50
Kongres wanita Indonesia, Sejarah Setengah Abad Kesatuan Pergerakan Wanita
Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,1986), h. 44. 51
Tjiptorahardjo, “Soerat Kabar”, Poetri Mardika, Juli, 1917. No 7. (Tahun IV), h.70. 52
Kongres Wanita Indonesia, Sejarah Setengah Abad…, h. 44. 53
Asiah,” Warta dari administratie ”, Poetri Mardika, april 1917. No 4. (Tahun III), h. 39. 54
Lihat pada tabel V dan gambar II pada bab IV.
31
B. Anggota Organisasi Poetri Mardika
Dalam sebuah organisasi tentu saja terdapat struktur pengurus dan
keanggotaan. Poetri Mardika tahun 1915 di pimpin oleh R.A.Theresia
Sabaroedien dan pada tahun 1916 dipimpin oleh R. Nganten Asiah Koesrin.
Organisasi ini merupakan organisasi yang luas, karena memiliki anggota yang
berasal dari berbagai daerah.55
Hal ini menunjukan bahwa pada awal abad ke-20
sudah banyak masyarakat yang menginginkan kemajuan bagi perempuan. Lihat
perhitungan data anggota Poetri Mardika dalam periode tahun 1914-1919 dibawah
ini:
Grafik III.1
Perhitungan anggota periode 1914-1919
Sumber : di sarikan dari majalah Poetri Mardika tahun 1916-1919
Pada tahun 1914 Poetri Mardika mempunyai anggota sebanyak 159, pada
tahun 1915 sebanyak 161 orang, tahun 1917 sebanyak 179, tahun 1918 sebanyak
155 orang dan pada tahun 1919 sebanyak 123 orang. Dapat disimpulkan Poetri
Mardika mengalami peningkatan di tahun 1916.56
Dalam kolom tahun 1917
hingga 1919 mengalami penurunan di karenakan banyaknya anggota yang di
keluarkan dari Poetri Mardika lantaran tungakan – tunggakan uang iuran karena
tiap anggota Poetri Mardika di wajibkan untuk membayar iuran kas. Dalam
laporan Poetri Mardika dituliskan bahwa:
“…kebanjakan kloearnja anggota-anggota tadi tida dengan permintaannja sendiri, tetapi
di kloearkan lantaran dari banjaknja toenggakan contributie, meskipoen beberapa kali
diberi ingat dan kadang-kadang antjaman. Selainnja memang tida soeka membajar
oetangnja banjak djoega jang pindah tempat tida ketahoean kemana pindahnja…”57
Kutipan diatas menunjukan alasan menurunnya anggota Poetri Mardika
karena banyaknya anggota yang menunggak uang kontribusi dan ketidakjelasan
keadaan para anggota seperti yang telah dipaparkan dalam surat kabarnya.
55
Lihat pada lampiran VII 56
Verslag Poetri Mardika 1916-1919, h.4. 57
Lihat Pada Lampiran VI.
159 156 184 179 155 123
1914 1915 1916
1917 1918 1919
32
Selanjutnya Poetri Mardika merupakan organisasi yang bisa di golongkan sebagai
organisasi nasional dengan merujuk kepada beragamnya asal anggota Poetri
Mardika (lihat lampiran VII), di antaranya berasal dari Purbolinggo, Bojonegoro,
Madiun, Borneo (Kalimantan), Buitenzorg (Bogor), Purworejo, Porong, Ternate
(Maluku), Madiun, dan lain-lain. Meskipun banyaknya anggota yang berasal dari
luar wilayah Batavia dalam data tersebut namun tetap saja para anggota yang
berasal dari Batavia mendominasi.58
Hal ini menunjukkan luasnya jaringan Poetri
Mardika dan luasnya perkembangan Poetri Mardika hingga ke seluruh wilayah
Indonesia. Salah satu aktivitas yang dilakukan oleh setiap pengurus maupun
anggota ialah menuliskan artikel untuk surat kabar Poetri Mardika yang berisi
gagasan, laporan organisasi ataupun pengajaran untuk para masyarakat terutama
untuk perempuan. Dalam rangka pencapaian atau usaha gerakan perempuan
Indonesia menuntut hak pendidikan tersebut, mereka juga menggunakan surat
kabar. Untuk para anggota yang berada di luar Batavia mengirimkan tulisannya
tersebut ke alamat “Batoetoelis 21 Weltevderen”.59
C. Program Organisasi Poetri Mardika 1912-1928.
Poetri Mardika merupakan organisasi utama yang bergerak dalam
menyebarkan emansipasi perempuan. Dalam perkumpulan Poetri Mardika ini
tentu saja ada sesuatu yang ingin dicapai. Hadirnya emansipasi berawal dari upaya
perorangan yang kemungkinan di munculkan dari R.A. Kartini serta Dewi Sartika.
Mereka merupakan sosok perempuan yang memperjuangkan perempuan
terkhusus dalam hal pendidikan. R.A. Kartini pada masanya memperjuangkan
perempuan untuk meraih pendidikan melalui gagasannya. Sebagai contoh lihat
dalam surat-suratnya R.A. Kartini yang mengkritik adat yang membatasi peranan
perempuan. Hal ini terlihat dalam suratnya kepada Nona Zeehandelaar pada
tanggal 25 mei 1899:
Kami, anak-anak perempuan yang masih terantai pada adat istiadat lama, hanya boleh
memanfaatkan sedikit saja dari kemajuan di bidang pengajaran itu. Bahwa sebagai anak
perempuan, setiap hari pergi meninggalkan rumah untuk belajar disekolah, sudah
58
Di dalam majalah tertulis secara terpisah antara Weltevderen dan Batavia hanya saja
penulis menggabungkan dengan alasan karena Weltevderen masih satu wilayah dengan Kota
Batavia. 59
Redacti Poetri Mardika,”Mohon Diperhatiken”, Mei, 1916, No.5, (Tahun III), h.56.
33
merupakan pelanggaran besar terhadap adat kebiasaaan negeri kami.Ketahuilah, adat
negri kami melarang keras gadis-gadis keluar rumah. Pergi ke tempat lain kami tidak
boleh dan satu-satunya lembaga pendidikan yang ada di kota kecil kami hanyalah rendah
umum biasa untuk orang – orang Eropa.60
Tulisan R.A. Kartini menceritakan keadaan perempuan pada masanya,
terkhusus adalah perempuan ningrat yang setiap ruang geraknya dibatasi dengan
adat istiadat yang ada. Bahkan ketika itu posisi dan status perempuan diremehkan
sehingga perempuan tidak mendapatkan kesempatan untuk menikmati pendidikan
tinggi. Setelah R.A. Kartini, ada Dewi Sartika yang melanjutkan gerakan
pendidikan perempuan. Dewi Sartika mendirikan Sakola Istri pada 16 Januari
1904 di Paseban Kabupaten Bandung dengan murid berjumlah 20 dan guru
berjumlah tiga orang diantaranya; Dewi Sartika, Ibu Purma, dan Ibu Uwit.61
Sekolah ini memberikan pelajaran umum sekaligus pelajaran keterampilan
perempuan, seperti memasak, membatik, merenda, menyulam, dan lain-lain.62
Hal ini telah menunjukan dalam periode inilah mulai muncul upaya untuk
menyadarkan perempuan dalam mengekpresikan diri untuk mengeluarkan
gagasan mereka.
Corak tujuan utama Poetri Mardika hampir sama dengan pergerakan
perempuan pada masa abad ke-20 yaitu bertujuan meningkatkan taraf pendidikan
dan keterampilan.63
Lihat dalam kutipan surat kabar yang di tuliskan oleh Ratoe
Ita Soepono menjelaskan sedikit tentang tujuan dari Poetri Mardika sebagai
berikut:
Perempoean-perempoean tiada akan mendapat kemerdikaan djikalau mereka itoe beloem
mempoenyai kepandaian. Djadi pada timbangan hamba toentoenlah kami doeloe dari
doenia kegelapan (kebodohan) pada doenia keterangan (kepinteran) disitoelah baroe kami
bisa mendapat kemerdikaan. Dan kemerdikaannya itoe boekan pengasihnja dari lelaki
tapi kami tetap tahoe akan hak kami.64
Kutipan di atas menunjukan bahwa Poetri Mardika menginginkan
kemajuan para perempuan dengan memberikan kesadaran pentingnya kemajuan
dan mendapatkan pendidikan melalui gagasan yang mereka gulirkan melalui surat
60
Sulastin, Sutrisno, Surat-surat Kartini Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya,
(Jakarta: Djambatan, 1979), h. 2. 61
Rochiati Wiriaatmadja, Dewi Sartika. (Jakarta: Proyek IDSN,1980/1981), h. 84. 62
Rochiati Wiriatmadja, Dewi Sartika…, h. 84. 63
Amelia Fauzia, dkk, Tentang Perempuan Islam: Wacana dan Gerakan, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama), 2004, h. 22. 64
Ratoe Ita Soepono, “Pertimbangan” dalam surat kabar Poetri Mardika. Maret, 1916,
No 3, (Tahun III), hlm 31.
34
kabarnya. Kemudian penulis akan menjelaskan secara umum keadaan pendidikan
serta sekolah yang didirikan oleh pemerintah di tahun 1900-an. Pada tahun 1900
siswa pribumi yang bersekolah di ELS (Europesche Lagere School) sebanyak
1.545 di seluruh Indonesia, sedangkan jumlah murid Eropa 13.592 siswa. Anak
yang tamat dari ELS seharusnya dapat melanjutkan ke STOVIA atau HBS.
Namun pada kenyataannya untuk anak Pribumi hal ini hampir tidak mungkin
dilakukan karena hanya kurang dari 1% tamatan ELS (Europesche Lagere School)
yang bisa menikmati pendidikan 5 tahun HBS tersebut. Alasan yang cukup kuat
adalah karena persyaratan dan biaya yang sangat membenani.65
Pada tahun 1913
pemerintah Hindia Belanda telah menyediakan dana kurang dari satu setengah
juta gulden untuk pengembangan pendidikan.66
Pada 1924 pemerintah juga mulai
memperkenalkan sekolah-sekolah yang menghubungkan antara sekolah
Boemipoetra dengan sekolah Belanda. Hal ini memberikan peningkatan yang luar
biasa terhadap sekolah Belanda, karena pada 1910-1930 kenaikan yang dicapai
sekolah Belanda sekitar delapan kali lipat menjadi 43.411 siswa. Namun para
murid pribumi sulit mendapatkan ijazah dan diperkirakan hanya seperempat atau
25% saja dari mereka yang dapat menerima ijazah.
Pada 1910-1920 pendidikan mengalami perkembangan dilihat dari jumlah
murid yang memasuki sekolah di desa seluruh Hindia Belanda dari 71.239
menjadi 423.314 dan di tahun tersebut murid telah naik sampai 1.229.666 jiwa.67
Pendidikan di abad ke- 20 sekolah rendah berjumlah dalam keseluruhan terdapat
1.501 sekolah. Hal ini menunjukan peningkatan yang cukup besar.68
Berikut ini
adalah tabel yang menyebutkan bahwa adanya sekolah-sekolah yang berkembang
pada tahun 1900-an.
65
Nina Herlina Lubis, (Ed) Adrian B.Lapian,”Pendidikan, Mobilitas Sosial dan
Munculnya Elit Modern”, Indonesia dalam Arus Balik Sejarah Jilid 5, (Jakarta: PT Ichtiar Baru
Van Houve atas kerjasama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia,
2011), h. 244. 66
CoraVreede-de stuers, Sejarah Perempuan…, h. 96. 67
Nina Herlina Lubis Pendidikan, “Mobilitas Sosial”…, h. 245-246. 68
Nina Herlina Lubis Pendidikan, “Mobilitas Sosial”…, h. 244.
35
TABEL III.2
Beberapa Jenis Sekolah Pada Tahun 1900-an
SEKOLAH
BELANDA
SEKOLAH SWASTA
TAK BERSUBSIDI
PERGURUAN
TINGGI
ELS Taman Siswa THS
HIS Schakel School RHS
MULO Sekolah NIAS
AMS Muhammadiyah Landbouwkundige Faculteit
HBS INS
STOVIA Pondok Pesantren
AMBACHTSCHOOL
KWEEKSCHOOL
HIK
Sumber: editor Adrian B. Lapian. Indonesia dalam Arus Sejarah Jilid 5 “, (Jakarta: PT Ichtiar Baru van
Houve atas kerjasama dengan Kementrian Pendidikan dan kebudayaan Republik Indonesia), 2011.
Sekolah pada tahun 1900-an sudah mulai berkembang, namun sayangnya
aturan-aturan yang di bentuk oleh pemerintah kolonial salah satunya adalah
membedakan posisi kedudukan antara lapisan atas dan lapisan bawah. Hal ini di
buktikan dengan adanya sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah kolonial
untuk kaum elit dan kaum rendahan. Adapun latar belakang murid yang sekolah
pemerintah sebagai contoh adalah HIS, karena HIS dimaksudkan sebagai
standenschool atau sekolah yang berdasarkan status. Untuk menentukan status
seseorang dalam masyarakat kolonial pemerintah Belanda indikatornya adalah
penghasilan. Kelas terdiri dari kategori A, B dan C. Dalam kategori A termasuk
kaum bangsawan dan pejabat tinggi serta swasta kaya yang berpenghasilan bersih
lebih dari f. 75 sebulan. Sedangkan kategori B ialah orangtua yang tamatan
sekolah MULO dan Kweekschool ke atas. Kemudian kategori C merupakan
pegawai, pengusaha kecil, militer, petani, nelayan, dan orangtua murid yang
pernah mendapat pendidikan di HIS. Pada sekitar tahun 1912 tercatat sebanyak
4.259 atau 26,12% dari jumlah murid yang ada berasal dari golongan kelas
menengah, sedangkan dari kelas menengah bawah jumlahnya 4.005 murid atau
24,56%.69
Kemudian dalam pidatonya Abendanon pada tahun 1913 mengatakan
bahwa “hingga hari ini belum ada sekolah umum untuk perempuan dari rakyat
69
CoraVreede-de stuers, Sejarah Perempuan…, h. 255.
36
biasa”.70
Hal tersebut telah menunjukan bahwa masih terbatasnya kebebasan
meraih pendidikan untuk kalangan perempuan dan sempitnya pendidikan yang di
perkenalkan oleh pemerintah terhadap pribumi terutama untuk perempuan, dan
faktor lain yang menjadi alasan sedikitnya para pribumi yang bersekolah karena
adanya kecurigaan yang telah menjadi sugesti mereka, bahwa sekolah yang
didirkan oleh pemerintah memberikan dampak yang dapat menasranikan anak
negri hal ini di sebabkan karena yang mendominasi adalah para orang Eropa baik
pengajar ataupun murid. Sehingga berdampak minimnya para pribumi
mendapatkan pendidikan karena dua faktor tersebut.71
Organisasi Poetri Mardika selain memiliki tujuan untuk memajukan
pendidikan terhadap perempuan orgnisasi ini memiliki tujuan lain, diantaranya
adalah memberikan pengajaran perihal kecakapan dalam mengatur rumah tangga
dengan cara memberikan informasi kepada perempuan-perempuan melalui
majalah yang mereka terbitkan secara berkala.72
SOVIA berdiri pada 19 Agustus
1912 yang di pimpin oleh Nona Charlotte Jacobs. Upaya yang dilakukan oleh
SOVIA diantaranya adalah: membantu perempuan bumiputra agar dapat belajar
ilmu kedokteran, mendirikan asrama untuk para pelajar dari negri lain, serta
mendirikan rumah pondokan untuk para pribumi yang belajar kebidanan dan
kedokteran.73
Dalam Soenting Melajoe di jelaskan juga bahwa di adakannya
perkumpulan SOVIA karena adanya rasa keprihatinan terhadap perempuan yang
pada saat itu dokter mayoritas adalah laki-laki, sehingga perempuan yang hendak
bersalin lebih memilih bersalin dengan dukun beranak ketimbang dengan dokter
laki-laki. Hal ini memberikan dampak berbahaya pada perempuan ketika bersalin
dengan dukun beranak, karena banyaknya perempuan yang meninggal saat
bersalin dan anak yang meninggal saat dilahirkan.74
Kemudian tujuan Poetri
Mardika bekerjasama dengan SOVIA adalah memberikan upaya terhadap para
70
CoraVreede-de stuers, Sejarah Perempuan…, h. 72. 71
CoraVreede-de stuers, Sejarah Perempuan…, h. 255. 72
Tj.H,”Perkoempoelan S.o.v.i.a”. Soenting Melajoe, September, 1914. No 35 (Tahun
III). 73
Mey C.Perk,“Pehimpunan Sovia”. Poetri Mardika, Agustus,1915. No 5, (Tahun II), h.
50. 74
Tj.H,”Perkoempoelan S.o.v.i.a”. Soenting Melajoe, September, 1914. No 35 (Tahun
III).
37
perempuan dengan mengadakan pengajaran keterampilan kebidanan
(VroedVrouw):
“…Didalam tiga bulan yang lalu maka keadaanya P.M. tidak berubah tetap sebagai yang
sudah. Cuma saja dalam waktu itu bestuur P.M. ada bekerja bersama sama dengan Bestuur
perhimpunan S.O.V.I.A. akan mengadakan pengajaran untuk dukun beranak (Vroedvrouw)
yang tidak bersangkutan sama dengan pengajaran verpleegsters yang sudah diadakan oleh
pekumpulan S.O.V.I.A…”75
Alasan Poetri Mardika bekerjasama dengan SOVIA yaitu untuk mencetak
perempuan sebagai dokter terutama bidan, dengan memberikan pengajaran ilmu
kebidanan dan kedokteran kepada perempuan-perempuan eropa dan pribumi.
Ketika perempuan telah lulus dari SOVIA mereka tidak terikat terhadap
pemerintah atau tidak bekerja terhadap pemerintah sehingga dapat bekerja dengan
membuka praktik bidan.76
Karena dengan menjadi bidan perempuan dapat
membantu para perempuan untuk bersalin terkhusus untuk yang kurang mampu.
Kemudian dengan mengupayakan program yang dibuat tentu harus melalui proses
perkenalan kepada masyarakat. Poetri Mardika berusaha untuk memperkenalkan
gagasannya serta memberikan kesadaran kepada perempuan guna pentingnya
pendidikan melalui surat kabar yang di tuliskan oleh perempuan Eropa, terlihat
dalam kutipan dibawah ini:
Boeat orang perampoean adalah beberapa djenis pekerdjaan goena memadjoekan bangsa dan
tanah jang haroes dilakoekan olehnja sebagai iboe dari anak-anaknja sebagai pendidik adat
istiadatnja toeroenan kita. Maka perempoean penja hak boeat menerima kahormatan jang
sebesar-besarnja dari pehak laki-laki dan dibantoe olehnja dalam waktoe mentjahari
pengatahoean dan samanja kamanosiaan.77
Kutipan di atas menunjukan bahwa bukan hanya perempuan Indonesia
yang menginginkan sebuah keadilan dalam meraih pendidikan serta yang
menginginkan kebebasan. Bahkan perempuan Eropa mendukung kegiatan
tersebut. Perempuan merupakan pendidik awal dari generasi disetiap bangsanya.
Karena kelak jika menjadi seorang ibu yang tidak memiliki pengetahuan
bagaimana dapat memajukan bangsa? maka Poetri Mardika berusaha
memperjuangkan hak-hak para perempuan agar mendapatkan pengetahuan dan
75
Soetinah Djojopernoto dan Sadikoen, ”Verslag P.M. dalam Boelan Oetober t/m
December 1915”. Poetri Mardika, Februari 1916. No 2, (Tahun III), h. 16. 76
Soetinah Djojopernoto dan Sadikoen, ”Verslag P.M…, h. 6. 77
Een Europeesche vrouw, “ Kiriman (tersalin dalam bahasa belanda)”, dalam majalah
Poetri Mardika, Maret, 1916. No 3 (Tahun IV), h. 28.
38
pendidikan yang lebih baik. Lihat juga kutipan surat kabar Poetri Mardika yang
menuliskan upaya-upaya yang mesti dilakukan serta di kembangkan oleh Poetri
Mardika sebagai berikut:
“…Maka Poetri Mardika satu vereeninging yang masih muda yang hendak bekerja untuk itu
hal jalan dengan fasal 2: memperhatikan keadaan perempuan dengan lantaran memuliakan
kesopanan dengan ketertipan, begitu juga melenyapkan segala adat istiadat yang melintangi
kemajuan kata pula. Fasal 3: buat mendapat hasil hasilnya dari yang tersebut tadi maka Poetri
Mardika berdaya upaya akan mendapat hasil pantas dengan tertimbang tenanganya dengan;
bab I: Membantu dengan derma Oewang kepada anak-anak perempuan yang miskin atau tidak
mampu belajar dan bab 2: memberi nasihat dari keterangan pada anak-anak perempuan yang
ingin belajar. Bab 3: membangunkan kesopanan perasaan dan ingatan dari pihak perempuan,
bab 4: memberi waktu pada orang perempuan buat melahirkan pikirannya dalam pandangan
agar supaya dapat melenyapkan berkecilan hati, dan bab 5: segala usaha yang dapat
menjadikan kesempurnaanya alam perempuan maksud-maksud bukannya mudah dilakukan
dan tidak dengan sebentaran tetapi volharding ocericint (Jikalau yakin akan perolehnya
kemenangan.78
Kutipan di atas telah menunjukkan bahwa tujuan utama Poetri Mardika
adalah meningkatkan taraf pendidikan dan keterampilan untuk perempuan dengan
tidak menghilangkan nilai kesopanan. Kemudian Poetri Mardika mencoba untuk
mengubah adat istiadat yang dapat menghambat perempuan untuk meraih
pendidikannya, karena sejak kecil anak-anak perempuan tidak diberikan
kesempatan untuk bersekolah tinggi, karena pemikiran masyarakat pada saat itu
kewajiban perempuan hanya untuk mengurusi kehidupan rumah tangga.
Perlakuan orang tua terhadap anak perempuan dan laki-laki tidaklah sama. Anak
perempuan dididik sebagai persiapan berumah tangga, sedang anak laki-laki
dikirim kesekolah sebagai persiapan memperoleh suatu profesi.79
Program organisasi Poetri Mardika selanjutnya yaitu mencoba
menghilangkan kebiasaan pernikahan dini, dalam salah satu artikel yang ditulis
Abdoerachman di surat kabar Poetri Mardika ia mengatakan bahwa:
Kami akan sangat gembira jika saja perempuan dibawah usia 18 tahun dilarang
menikah…jika perkumpulan kita dapat membantu mengakhiri semua ini, dan secepatnya,
suatu kebiasaan lama yang membawa para gadis yang baru saja meninggalkan masa
kanak-kanaknya untuk menikah dengan seorang lelaki yang tidak dikenalnya dan bahkan
tidak akan pernah dapat mencintainya.80
78
Sadikoen, “Pidatonja Presidente P.M. Th Sabaroedin”…, h. 46. 79
Hadriana Marhaeni Munthe, Perkembangan Status dan Peranan Wanita Indonesia,
(Universitas Sumatera Utara), 2003, h. 4. http://library.usu.ac.id/ 80
Abdoerachman,”Kinderhuwelijken (Pernikahan Dini)”. Poetri Mardika, Agustus 1917.
No 8,(Tahun IV), lihat juga Cora Vreede-De Stuers.”Sejarah Perempuan Indonesia Gerakan dan
Pencapaian”. (Jakarta: Komunitas Bambu, 2008), h. 85.
39
Kebiasaan yang sering terjadi juga seperti pernikahan di usia dini dan
kawin paksa dalam surat kabar Poetri Mardika di tuliskan bahwa terjadinya kawin
paksa terhadap perempuan memang sudah menjadi adat serta kebiasaan yang
belum hilang.81
Praktik seperti ini berlaku di masyarakat terutama terhadap
masyarakat kelas atas yang menggunakan dasar kepentingan untuk diplomatik
yang menguntungkan bagi negrinya tersebut. Penjelasan di atas merupakan
beberapa tujuan serta kontribusi Poetri Mardika di Batavia dengan menggerakan
kesadaran para perempuan untuk mendapatkan hak mereka dalam kehidupannya.
Karena dengan bekal ilmu pendidikan adalah upaya untuk mengetahui
perkembangan suatu bangsa juga.
81
Bintang Pagi (Anonim),“Kawin Terpaksa”, dalam majalah Poetri Mardika, Agustus
1916. No 8, (Tahun III), h. 83.
40
BAB IV
POETRI MARDIKA DAN GERAKAN EMANSIPASI PEREMPUAN
Bab ini menjelaskan perkembangan organisasi Poetri Mardika yang di
dalamnya memperlihatkan dinamika organisasi serta gerakan emansipasi
perempuan yang di propagandakan. Bagian awal dalam bab ini berisi pembahasan
tentang peran serta kontribusi Poetri Mardika. Di lihat dari pergerakan perempuan
di Hindia Belanda pada awal abad ke-20. Bagian ini juga berisi naik turunnya
organisasi serta nilai-nilai yang diperjuangkan. Bagian kedua akan membahas
dampak yang telah di berikan oleh Poetri Mardika selaku organisasi pergerakan
perempuan terkemuka di Batavia. Bagian ketiga menjelaskan bagaimana
hambatan yang di hadapi oleh Poetri Mardika dalam memperjuangkan emansipasi
perempuan.
A. Peran Organisasi Poetri Mardika 1912-1919
Gerakan perempuan yang muncul di abad ke-20 bersifat mengutamakan
perubahan keadaan sosial. Secara umum, gerakan perempuan hadir di karenakan
adanya perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat. Hal ini di sebabkan
beberapa faktor, di antaranya adalah: adanya keinginan untuk melakukan
perubahan yang merupakan hasil gagasan para intelektual dalam masyarakat
dengan berstandar pada tujuan-tujuan dan kehendak-kehendak tertentu, sehingga
menimbulkan perubahan sosial yang salah satunya berdampak pada muncul di
antaranya gerakan perempuan.1 Pada abad ke-20 perempuan lebih banyak
berupaya dalam perbaikan kedudukan sosial, peningkatan kemampuan melalui
pendidikan serta mempertinggi keterampilan sebagai seorang ibu.2 Menurut
Pringdodigdo bahwa urusan politik belum menjadi konsentrasi utama dalam
gerakan perempuan pada awal ke-20 karena fokus tentang budi pekerti,
keagamaan serta adat, masih menjadi rintangan terbesar bagi perempuan untuk
1 Abdul Syani, Sosiologi dan Perubahan Masyarakat, (Unila Bandar lampung: Pustaka
Jaya ,1995), h. 90. 2 Suhartono, Sejarah Pergerakan Nasional: Dari Budi Utomo sampai Proklamasi 1908-
1945, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994), h.102.
41
dapat bertindak ke arah lebih jauh.3 Memang pada abad ke-20 sudah muncul
wacana untuk memberikan kesadaran akan pentingnya merubah taraf hidup
perempuan agar lebih baik. Memanglah pada abad ke-20 tersebut sudah mulai
terbentuknya organisasi-organisasi sebagai bentuk semangat kebangkitan
memperjuangkan kemerdekaan. Organisasi nasional perempuan pertama dapat
dikatakan adalah Poetri Mardika dengan merujuk pada tabel berikut:
TABEL IV.1
Organisasi yang Berdiri Sebelum Tahun 1928
Nama Organisasi Tempat Tahun Pembentukan
Poetri Mardika Jakarta 1912
Keoetamaan Istri Bandung 1913
Keradjinan Amai Setia Kota Gadang
Minangkabau
1914
Wanito Hadi Jepara 1915
Prawijatan Wanito Magelang 1915
Poerborini Tegal 1917
PIKAT (Pertjintaan Ibu
Kepada Anak Temoeroen)
Manado
1917
Wanito Soesilo Pemalang 1918
Wanodjo Oetomo Yogyakarta 1920
Gorontalische
Mohammedaanshe
Vrouwenbeweging
Gorontalo 1920
Sarekat Kaoem Iboe
Soematra
Bukittinggi 1920
Kamadjoean Isteri Jakarta dan Bogor 1926
Mardi Kamoeliaan Madiun 1927
Ina Toeni Ambon 1927
Poetri Setia Manado 1928
Wanita Sahati Jakarta 1928
Sumber: Susan Blackburn, Kongres Perempuan Pertama, h. xxvi.
Perkumpulan perempuan pertama yang berdiri di kota Batavia adalah
Poetri Mardika di Kota Batavia pada tahun 1912. Poetri Mardika mencita-citakan
kemajuan terhadap perempuan agar tidak lagi menjadi perempuan yang hanya
terpaku mengikuti adat istiadat saja, melainkan sebagai perempuan diharuskan
aktif dalam meningkatkkan derajat mereka. Berikut ini kutipan dalam surat kabar
yang ditulis oleh Rahardjo mengenai kemajuan yang dicita-citaka oleh Poetri
Mardika; “…Adapoen maksoed kemadjoewan itoe kalau tiada salah, jaitoe:
menoentoet segala kepandaian kala bisa menoentoet kepandaiannja lain bangsa,
3A.K. Pringgodigdo, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, (Jakarta:Dian Rakyat, 1980),
h. 22.
42
setidak-tidaknnja sendiri bisa sempoerna soedah baik dan bagoes”.4 Jelas sekali
bahwa Poetri Mardika memang memperjuangkan kemajuan untuk perempuan dan
meningkatkan kualitas diri para perempuan.
Poetri Mardika bukan organisasi perempuan yang berasaskan Islam,
organisasi ini terbuka untuk agama apapun karena tujuan dari organisasi ini
adalah kemajuan untuk seluruh para perempuan. Tertulis dalam surat kabar Poetri
Mardika sebagai berikut:
Njatalah bahwa kamardikaan tida tjoema kita jang mengharap tetapi djoega lain-lain orang.
Baik jang beragama Islam, baik jang beragama Christen, maoepoen jang memeloek agamanja
nabi Kong oe Tjoe, bagi saja terang sekali boleh kita pertjaja, jang kamardikaan itu boekan
sekali-sekali kehendaknja Agama, sebagaimana kebanjakan poenja kira kalau maonja agama
Christen, tetapi memang haknja manoesia boeat memegang tetap kemanoesiaanja. Jaitoe
kamardikaan menjadi sendjata, boeat menjampoernakan oetamanja hidoep penghidoepan kita.
Mardika lepas dari rintangan, baik rintangan lahir maopoen rintangan batin.5
Kutipan di atas menunjukan bahwa organisasi Poetri Mardika memang
bertujuan memajukan kaum perempuan tanpa melihat atau memandang agama,
karena bagi Poetri Mardika bahwa kemerdekaan adalah hak semua orang, seperti
penjelasan sebelumnya bahwa Poetri Mardika berdiri karena bertujuan untuk
meningkatkan kemajuan serta membebaskan diri dari adat istiadat yang
menghambat kemajuan bukan berarti untuk mencoba menghilangkan adat istiadat.
Lihat dalam kutipan surat kabar Poetri Mardika bahwa R.Ng Asiah (R.Ng. Asiah
adalah ketua organisasi Poetri Mardika pada masa kepemimpinan tahun 1916-
1919) mencoba untuk menerangkan maksud dari pembentukannya Poetri Mardika
agar masyarakat tidak salah paham ketika Poetri Mardika mengeluarkan
gagasnnya tentang kemerdekaan tersebut:
“…P.M. tidak sekali-kali berkehendak menghilangkan adat-istiadat, adat jang maka
kematiannja pehak perempoean kepada pehak lelaki dan pada maatschapphy, sebab adat
lembaga itoe MEMANG PERLOE dan kalau dihilangkan nistjaja membinasakan bangsa. Hal
perobahan adat istiadat itoe, tergantoeng atas keperloewannja (keboetoehanja). Djadi tidak
benar sekali kalau arti MERDEKA (jang berarti loewes) diartikan memboewang2
adat istiadat.
Pendek kata: MERDEKA, kalau diartikan LOSBANDIGHEID itoe salah jang besar, dan
besarnja mesti diartikan loewes.6
4 Rahardjo,” Wellevenbeid bagian I”, dalam majalah Poetri Mardika, Oktober, 1917. No
10, (Tahun IV), h. 103. 5 S.Koesoemo.” Perampoean Boemipoetra dibitjarakan”, dalam majalah Poetri
Mardika, Maret, 1917. No 3, (Tahun IV), h. 29. 6 Verslaag Algemenee Vergadering P.M. di gedoeng No. 41 KRAMAT (Weltevderen)
pada tanggal 19 Agustus 1917, dalam surat kabar Poetri Mardika, Oktober, 1917, No 10, (Tahun
IV), h.100.
43
Kutipan di atas menunjukan bahwa Poetri Mardika mencoba untuk
membebaskan perempuan agar lebih terbuka ruang geraknya yang selama ini
terbelenggu oleh adat istiadat seperti pernikahan usia dini, larangan akan meraih
pendidikan di sekolah, dan sebagaimana yang telah di sebutkan pada bab
sebelumnya. Poetri Mardika hanya bermaksud untuk mencoba menghilangkan
adat istiadat yang di anggap perlu di hilangkan dan dapat menghambat kemajuan
perempuan dalam hal pendidikan, seperti pernikahan usia dini, pelarangan
perempuan untuk sekolah, dan tradisi pergundikan. Selanjutnya ketika menjadi
organisasi pertama tentu saja terdapat upaya yang mesti dilakukan oleh Poetri
Mardika beberapa diantaranya adalah:
Pertama, peran Poetri Mardika adalah memberikan wacana emansipasi
perempuan yang di gulirkan melalui surat kabar. Menerbitkan surat kabar yang
merupakan isi dari gagasan mereka adalah sebagai sarana untuk memberikan
pendidikan dan pengajaran. Dalam bab III telah di kemukakan bahwa surat kabar
berguna untuk memberikan wawasan serta memberikan pengajaran untuk para
pembacanya. Poetri Mardika mengeluarkan surat kabar yang berasal dari pikiran
atau persepsi para anggotanya, karena Poetri Mardika mewajibkan di setiap
anggota untuk menuangkan tulisan mereka yang berisi pikiran, perasaan ataupun
kegelisahan mereka. Alasan Poetri Mardika mewajibkan setiap anggota untuk
membuat artikel agar masing-masing dari anggota dapat menuangkan isi hati
mereka ataupun gagasan mereka, yang kemudian akan dirundingkan untuk
mencari solusi ataupun informasi bagi setiap orang.7 Tulisan yang tercantum
dalam surat kabar Poetri Mardika berisi pengajaran agar perempuan cakap dalam
mengurus rumah tangga, informasi tentang pendidikan serta memberikan
informasi kegiatan Poetri Mardika. Surat kabar Poetri Mardika juga banyak
memuat tulisan dari laki-laki yang mendukung wacana emansipasi terhadap
perempuan adalah surat kabar Poetri Mardika. Hal ini menunjukkan terhadap
pembacanya, sebagian laki-lak pun sudah berfikiran maju dan menginginkan
perempuan menjadi lebih baik meskipun sebagian besar masih banyak masyarakat
7 Sadikoen, “Perobahan Alam Perempoan”, dalam surat kabar Poetri Mardika,
September, 1915. No 6, (Tahun II), h. 63.
44
melekat fikiran negatif bahwa jika perempuan telah pandai akan merasa tinggi dan
tidak hormat terhadap laki-laki.8
Kedua, peran Poetri Mardika selanjutnya adalah memberikan beasiswa. Poetri
Mardika merupakan gerakan perempuan yang berupaya untuk memperbaiki
keadaan pendidikan terhadap perempuan. Perjuangan organisasi ini sangat jelas,
yaitu memberikan beasiswa terhadap anak-anak yang kurang pendidikan
terkhususnya anak perempuan. Di gambarkan dalam kutipan mengenai pandangan
dari R.A. Kartini bahwa:
”…Pendidikan itu harusnya bersifat non- diskriminatif karena setiap orang berhak untuk
belajar mengembangkan diri mereka, selain itu juga pendidikan yang harus diberikan selain
dari pengetahuan dan keterampilan adalah pendidikan karakter karena dengan kepribadianlah
yang dapat menentukan kualitas suatu bangsa…”9
Pandangan R.A. Kartini telah menjadikan acuan visi dan misi organisasi
Poetri Mardika dalam hal pendidikan. Alasan perempuan menuntut hak untuk
mendapatkan pendidikan itu dikarenakan perempuan pada masa kolonial tidak
mendapatkan keadilan yang layak. Maka dari itu pendidikan merupakan salah satu
upaya untuk mengangkat derajat para perempuan dan melepaskan mereka dari
kegiataan adat- istiadat yang merugikan pihak perempuan. Maka Poetri Mardika
memperjuangkan pendidikan dengan memberikan bantuan dana kepada
perempuan agar dapat bersekolah.10
Lihat dalam tabel jumlah anak-anak yang
ditanggung oleh Poetri Mardika dibawah ini:
8 S. Koesomo,” Maksoed dan keandaanja Perobahan Alam Perempoan”, dalam
Majalah Poetri Mardika, Mei, 1916, No 5, (Tahun III), h. 54. 9 Ki Soeratman, Kartini dan Pendidikan: Satu Abad Kartini, (Jakarta: Sinar Harapan,
1979), h. 39. 10
Cora Vreede-De Stuers, Sejarah Perempuan …,h. 84.
45
TABEL IV.2
Daftar jumlah anak-anak yang diberikan beasiswa
JUMLAH ANAK-ANAK TANGGUNGAN POETRI MARDIKA
1915 1916 1917 1918 1919 Nama Sekolah
2 Orang Anak (HBS) 4 Anak 6 Anak 6 Anak 4 Anak (Kartini School)
1Orang Anak
(SekolahBelanda)
1Anak
1 Anak
1 Anak
-
(EurMeisejeschool)
3 Orang Anak
(BataviascheSchool)
1 Anak
1 Anak
1 Anak
1 Anak
(Ursulinenschool)
1 Anak
(SekolahPartikuler)
1 Anak
1 Anak
1 Anak
1 Anak
(HIS Kwitang)
Sumber: Di sarikan dari majalah Poetri Mardika.
Tabel di atas merupakan bagian bukti nyata bahwa Poetri Mardika
pendekatannya sangat kongkrit dengan mengupayakan memberikan bantuan
terhadap para anak perempuan. Dalam laporan tabel di atas bahwa pada tahun
1915 Poetri Mardika membiayai sekitar tujuh orang anak, 1916 terdapat tujuh
orang anak, 1917 terdapat sembilan orang anak, 1918 terdapat sembilan orang
anak dan pada tahun 1919 enam orang anak. Berkurangnya anak tanggungan
Poetri Mardika karena ada yang melanjutkan ke MULO secara gratis, ada yang
memutuskan untuk berhenti dan menikah.11
Poetri Mardika merupakan organisasi yang memiliki dana cukup besar,
karena setiap anggota Poetri Mardika di wajibkan untuk membayar iuran
perbulannya, hanya saja tidak disebutkan nominal dana iuran tersebut. Poetri
Mardika juga mendapatkan uang donasi, sehingga dapat memberikan beasiswa
kepada anak-anak terutama perempuan yang membutuhkan pendidikan. Lihat
dalam laporan perhitungan uang kas Poetri Mardika beberapa bulan ditahun 1915
yang di laporkan dalam surat kabar Poetri Mardika sebagai berikut:
11 Kadiroen, “Hal anak-anak jang menjadi tanggoengan P.M.“, Extra Nummer 1920, h. 7.
46
TABEL IV.3
Perhitungan Uang Kas P.M. dalam bulan Oktober- Desember 1915
Sumber: Sadikoen, “Peritoengan wang kas P.M. dalem boelan October t/m December 1915”.
Poetri Mardika. Februari. 1916 h. 17.
Boelan Pendapetan Wang Boelan Kloewaran Wang
Oct
Saldo dari 3e kw;
f 93
54
Oct
Wang bantoean bajaran:
sekolah.
Adm: Soerat Kabar
Adm: Secretriaat
f 20
43
9
7
-
10
-
60
Nov
Contributie
id
darma
87
33
5
50
50
Nov
Bajaran sekolah
Adm: Soerat Kabar
Adm: Secretariaat
12
9
3
65
-
25
Dec
Contributie
Darma
66
10
25
Dec
1 Jan 16
Bajaran sekolah
Adm: Soerat kabar
Adm: Secretariaat
Saldo
13
9
6
162
-
-
45
f295 79 f295 79
47
GAMBAR IV.1
Gambar 2: Perhitungan uang kas Poetri Mardika 1916
Sumber: Poetri Mardika Agustus 1916 No 8 Tahun III
Dari laporan uang kas diatas dapat disimpulkan bahwa pemasukan Poetri
Mardika lebih banyak berasal dari uang iuran para setiap (lid) anggotanya. Lihat
dalam laporan uang kas Poetri Mardika di atas ketika bulan Oktober-Desember
1915. Poetri Mardika mendapatkan telah mendapatkan dana iuran pada bulan
Oktober sebesar f. 87.50, selanjutnya pada bulan November sebesar f. 33,
sedangkan pada bulan Desember mendapatkan dana sebesar f. 66. Kemudian
untuk dana donasi Poetri Mardika hanya men dapatkan sebesar f. 5.25 dibulan
November dan Desember hanya mendapatkan f. 10. Selanjutnya, dalam laporan
uang kas pada tahun 1916 menunjukan dana iuran lebih besar dari dana donasi.
48
Pada bulan April Poetri Mardika mendapatkan dana iuran sebesar f. 32.50, bulan
Mei mendapatkan sebesar f. 21.25, pada bulan Juni f. 93.25 dan dana abonnement
sebesar f. 55.50. Dana tersebut digunakan untuk biaya keperluan anak-anak
tanggungan Poetri Mardika dan untuk biaya operasional. Kemungkinan anggota
Poetri Mardika merupakan kumpulan dari golongan atas dengan merujuk
lampiran daftar nama-nama anggota Poetri Mardika yang menandakan nama-
nama para bangsawan. Dalam majalah Poetri Mardika terdapat laporan bahwa
mereka menerima dua anak murid kartini di Batavia Pada bulan juli 1915,12
kemudian pada bulan agustus tahun 1916 Poetri Mardika telah memberikan
beasiswa kepada dua anak perempuan disekolah H.B.S, satu anak di Semarang,
satu anak di Batavia, satu anak perempuan di sekolah belanda gouverment, tiga
anak perempuan di Bataviasche kartini school dan satu anak sekolah swasta.13
Poetri Mardika merupakan organisasi netral terhadap agama, namun
anggota Poetri Mardika realitanya mayoritas beragama Islam, dengan ini Poetri
Mardika mengupayakan untuk mengkampanyekan wacana untuk para siswa agar
memperoleh pendidikan Islam di sekolah. Hal ini merupakan upaya yang cukup
unik bagi penulis karena, organisasi ini tidak berasaskan Islam dan terbuka untuk
umum (tidak menutup diri dari perbedaan agama) namun, Poetri Mardika tetap
memperjuangkan Islam. Salah satu contoh di dalam surat kabar Poetri Mardika di
tuliskan bahwa, organisasi Poetri Mardika sangat mengharapkan pengadaan
pendidikan agama Islam di sekolah-sekolah terutama di K.T.S (Kartini School)
serta menyediakan guru Agama Islam, karena pengajaran Agama Islam cukup
sulit bila diajarkan di luar sekolah. Hal ini disebabkan karena:
a)Oerang toeanja masih tiada sempat memberi pengadjaran, atau meskipoen sempat tiada
sampoerna hal itoe, b) di kampoeng djarang ada goeroe goeroe memberi pengadjaran, ja
ada joega akan tetapi hanja di adjar mendjadi Koran sadja lain lain tiada, c) oempama
meskipoen dikampoeng ada goeroe mengadjar Igama, toch misti mengeloearkan ongkos
lagi. Demikian joega berat jang akan beladjar, mana tempo goena belajar pagi, mana
tempo goena belajar Igama.14
12
S. Djojopranoto dan Sadikoen,” Verslag P.M. dalem boelan juli sampai September
1915” dalam surat kabar Poetri Mardika, November 1915. No 8, (Tahun II), h. 80. 13
Sadikoen,”Pidatonja Presidente P.M. Th”…, h. 46. 14
Tjipto, “K.T.S dan Agama Islam”, dalam Soerat Kabar Poetri Mardika. Oktober,
1916. No 10, (Tahun III), h. 108.
49
Usaha ini telah menunjukan bahwa meskipun organisasi ini terbuka untuk
umum dan bukan organisasi Islam namun, organisasi Poetri Mardika tetap
memperjuangkan Islam.
Ketiga, organisasi Poetri Mardika merupakan penggerak utama organisasi
perempuan yang dapat menyebarkan pandangan progresif tentang emansisapasi
dan terbukti menjadi organisasi pertama karena telah memberikan wacana
emansipasi yang berdampak besar terhadap perempuan lainnya. Organisasi Poetri
Mardika dapat dikatakan cukup berperan penting karena Poetri Mardika menjadi
salah satu organisasi yang terkemuka dimasanya.
TABEL IV.4
Aktivitas Propaganda atau Kongres Poetri Mardika
Tanggal Tempat
11 Juli 1915 Madiun
18 Juli 1915 Surabaya
05 Maret 1916 Kantor Volkslectuur
06 Juni 1916 Bogor
Sumber: Poetri Mardika, 1915-1916
Poetri Mardika memiliki peran menjadi pemimpin saat diadakannya
propaganda pada 11 Juli 1915 di Madiun yang mana perkumpulan tersebut di
hadiri kurang lebih 175 orang perempuan dan laki-laki (dalam sumber tidak
dijelaskan secara rinci jumlah antara perempuan dan laki-laki). Kemudian juga
Poetri Mardika sudah dapat bekerjasama dengan perhimpunan yang lainnya,
dimulai pada tahun ke 1915, lihat dalam tabel berikut merupakan perhimpunan
yang berkerjasama dengan Poetri Mardika.
50
TABEL IV.5
Perhimpunan yang bekerjasama dengan organisasi Poetri Mardika
Nama
Perhimpunan
Asal
Studiefounds Tot Opleiding van
vrouwelijke
Inlandsche artsen
Pengasah Boedi
Indisch Vereeniging
Vereeniging Tot bevordering der
Inlandsche Ziekenverpleging
De Dageraad
Bataviasche Kartini Vereeniging
Prinsenbond
Comite Indische Vrouwenraad
Betawi
Betawi
Bandoeng
Den Haag
Semarang
Soerabaja
Betawi
Djokjakarta
Betawi
Sumber: Disarikan dari verslag surat kabar Poetri Mardika 1915, h. 4.
Tabel diatas menunjukan bahwa Poetri Mardika merupakan organisasi
yang aktif dan maju pada masanya.15
Karena telah melakukan kerjasama dengan
perhimpunan yang berasal dari berbagai daerah. Poetri Mardika juga merupakan
organisasi yang dapat berkembang cepat di karenakan pergerakannya berada di
Batavia yang merupakan salah satu kota yang berkembang di Hindia Belanda, di
Batavia terdapat banyak sekolah, pusat kesehatan, dan pusat pemerintahan yang
didirikan di kota ini dan Batavia merupakan sebagai pusat pendidikan terbesar
karena banyaknya lembaga-lembaga pendidikan menengah dan tinggi.16
Poetri
Mardika organisasi yang cukup tinggi kepopularitasnya di karenakan Poetri
Mardika seringkali menyebarkan propaganda di berbagai daerah di Indonesia
terutama di Jawa. Poetri Mardika mengadakan propaganda (acara ini seperti acara
kongres) di wilayah Buitenzorg pada 06 Juni 1916 dengan bantuan dari
perhimpunan Harso Darsino.17
Poetri Mardika juga mengadakan acara
propaganda yang diadakan didaerah Madiun (11 Juli 1915) dan Surabaya (18 Juli
1915). Adapun tujuan kegiatan kegiatan propaganda ini semata-mata untuk
memperkuat serta memajukan perhimpunan perempuan agar memiliki banyak
relasi serta memberikan pengajaran melalui acara ini. Kegiatan propaganda ini
menghasilkan pengadaan kerja sama antara Poetri Mardika dengan para nyonya
15
Poetri Mardika” Verslag dalam tahoen 1915, 1915, h. 6. 16
Susan Blackburn, Terj Gatot Triwira. Jakarta Sejarah 400 Tahun, (Jakarta: Masup
Jakarta, 2012), h. 132. 17
Djojopernoto dan Sadikoen”, Verslag P.M. dalem boelan juli”…, h. 48.
51
Belanda untuk mendirikan kongres perempuan hal ini berupaya untuk
menguatkan serta memperkenalkan perhimpunan Poetri Mardika ke berbagai
pelosok Indonesia.18
Kemudian dalam laporan surat kabar Poetri Mardika di
katakan bahwa Poetri Mardika telah masuk menjadi bagian dari anggota
Nederlandsh Indisch Kongres Voor Opvoeding En Onderwijs (NIOK):
Moelai dalam tahoen 1918 maka kita empoenja perhimpoenan masoek mendjadi anggota
dari Ned. Ind. Kongres v. Opvoending en Onderwijs. Kami merasa perloe dan faedah
tjampoernja Poetri-Merdika dengan perhimpoenan ini jang bermaksoed memperbaiki
adanja pengadjaran oentoek kita ampoenja anak-anak, karena kita sendiri menganggep
onderwijs soatoe alat jang teroetama goena mendjoendjoeng deradjatnja fehak
perempoean.19
Laporan diatas telah menunjukan bahwa Poetri Mardika memperkuat
organisasinya dengan cara bergabung dengan perhimpunan-perhimpunan yang
lain. Melihat upaya-upaya Poetri Mardika berjuang untuk meraih cita-citanya
tersebut, tidak heran sehingga Poetri Mardika menjadi organisasi yang terkemuka.
Dalam sebuah berita tentang kegiatan propaganda organisasi yang dilaporkan di
surat kabar Poetri Mardika, dikatakan bahwa organisasi Poetri Mardika telah
resmi mendirikan cabang di Cirebon pada tanggal 10 Desember 1917. Peresmian
cabang ini telah di hadiri sekitar 30 orang perempuan baik perempuan tua maupun
perempuan muda.20
Ketika pendirian cabang Poetri Mardika organisasi ini telah
memiliki 59 anggota, tertulis di dalam kutipan majalah Poetri Mardika:
“Sebagaimana jang telah pernah kami kabarkan, maka di cheribon soedah berdiri P.M.
dengan 59 leden jang doedoek dalam bestuur jaito: R.A. Soemardjo, M.A. Boedirahardjo,
R.A. Soekarmidjah, R.A. Soemadi, R.A. Notoprawra, R.A. Soerjorahardjo, M.A.
Ronosentiko”.21
Poetri Mardika di Cirebon ini telah melakukan upaya mendirikan rumah
pondok bagi anak-anak perempuan yang menuntut ilmu di Cirebon.22 Adanya
Cabang Poetri Mardika di Cirebon ini telah menunjukan keaktifan serta peran
penting Poetri Mardika yang mempengaruhi terhadap perkembangan gerakan
perempuan lainnya.
18
Djojopernoto dan Sadikoen, “Verslag P.M. dalem boelan juli”… , h. 48. 19
Kadiroen,“Nederlandsh Indisch Kongres Voor Opvoeding En Onderwijs”, Extra
Nummer 1920, h. 8. 20
Anonim .”Poetri Mardika di Cheribon”, dalam majalah Poetri Mardika, Februari,
1917. No 2, (Tahun IV), h. 18. 21
Anonim, ”Poetri Mardika di Cheribon”, dalam majalah Poetri Mardika, Juli,
1917. No 7, (Tahun IV), h. 72. (Lihat dalam lampiran II) 22
Anonim, ”Poetri Mardika di Cheribon”… hlm 72.
52
Keempat, organisasi Poetri Mardika mempropagandakan dan mengupayakan agar
kaum perempuan mendapatkan hak serta kesejahteraan. Poetri Mardika melihat
kebiasaan yang sering dilakukan oleh masyarakat. Misalnya, melarang keras
perempuan untuk meraih pendidikan sebagai suatu masalah yang besar. Hal lain
yang menjadi sorotan oleh Poetri Mardika adalah tentang perkawinan dengan
sistem perjodohan dan kegiatan poligami, di mana praktik ini sudah menjadi
sorotan sebagian tokoh yang mendorong kemajuan perempuan. Di bawah ini
adalah upaya-upaya Poetri Mardika dalam memperjuangkan kesejahteraan
perempuan, diantaranya adalah:
Meminimalisir praktik kawin paksa
Tertulis dalam surat kabar Poetri Mardika tentang kawin paksa ialah; ”…
Kebanjakan bangsa kita Hindia ini kalau mempoenjai seorang anak perawan jang
soedah tjoekoep oemoernja lantas tidak tempo lagi boeroe-boeroe dia tjarikan
bakal lakinja, tidak dengan semoefakat dengan anaknja”.23
Dalam hal ini pula
Kartini mengemukakan dalam tulisannya tentang perkawinan dengan kegiatan
perjodohan“…Cinta, apakah yang kami ketahui tentang cinta disini? Bagaimana
kami mencintai seorang laki-laki dan seorang laki-laki mencintai kami, kalau
kami tidak saling mengenal, bahkan yang seseorang tidak boleh melihat yang lain
anak gadis dan anak muda dipisahkan sungguh-sungguh…”.24
Kedua kutipan
tersebut menunjukkan perempuan mengalami kekangan adat istiadat sehingga
perempuan tidak diberi kesempatan memilih pasangan yang dikehendakinya.
Keadaan seperti ini dilihat bahwa keadaan perempuan yang sangat terbatasi dalam
kehidupan mereka bahkan dalam memiliki pasangan hidup pun tak memiliki daya
upaya untuk memilih orang yang mereka cintai.
Meminimalisir praktik pernikahan dini.
Kegiatan pernikahan dini memanglah sering terjadi, seperti banyak
disebutkan dalam surat kabar Poetri Mardika bahwa terjadinya kawin paksa atau
pernikahan usia dini terhadap perempuan memang sudah menjadi adat serta
kebiasaan yang belum hilang. Pernikahan di umur muda dengan sistem
23
Bintang Pagi (Anonim), “Kawin Terpaksa”, dalam majalah Poetri Mardika. Agustus,
1916, No 8. (Tahun III), h. 83 24
Sulastin, Sutrisno, Surat-surat Kartini Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya,
(Jakarta: Djambatan, 1979), h. 4.
53
perjodohan merupakan kebiasan yang dilakukan pada saat itu serta hal ini dapat
memicu adanya praktik poligami serta perceraian. Usaha yang juga dilakukan oleh
organisasi Poetri Mardika adalah mencoba menghilangkan kebiasaan pernikahan
dini dengan cara propaganda. Salah satu artikel yang di tulis Abdoerachman
dalam surat kabar Poetri Mardika dikatakan bahwa:
Kami akan sangat gembira jika saja perempuan dibawah usia 18 tahun dilarang
menikah… jika perkumpulan kita dapat membantu mengakhiri semua ini, dan
secepatnya, suatu kebiasaan lama yang membawa para gadis yang baru saja
meninggalkan masa kanak-kanaknya untuk menikah dengan seorang lelaki yang tidak
dikenalnya dan bahkan tidak akan pernah dapat mencintainya.25
Maka dari pada itu Poetri Mardika mengeluarkan gagasan syarat untuk menikah,
guna meminimalisir praktik pernikahan usia dini;
“… Orang menikah dan haroes diadakan wet negeri jang melarang perempoean dan lelaki
beloem oemor, menikah beloem baleg dari 15 tahoen kebawah pendek adakan burgelijke
wetboek, jang boenjinja sebagai maoenja syara’ atau mengoelajai syara’. Dengan pendek
demikian: 1e. pengoebe onder (district) diangkat sebagai abtenaar V.d burgerlijke stand
dengan mendapat gadjih atau toelage dari gouverment. Lihat voorstellen hal oeang
perkasak nikah. 2e. penganten lelaki dan perempoean mistilah baleg (meerderjarig, paling
rendah misti lebih dari 14 tahoen). 3e. lelaki dan perempoeannja misti sendiri di hanter
oleh walinja atau wakilnja, soepaja ambtenaar burgelijke stand sendiri menjakseni idinja
(toestemming) pengantin. 4e. diadakan perdjanjian boeat menohoni haknja perampoean
dan laki² (talek) jang di tetapkan dalam sjara’ (burgelijk wetboek) dan bikinnja
formuliernja dengan di tetapkan negeri. Kalau kedoea penganten soedah sanggoep di
bikinnja proces verbaal nikach sesoedahnja rampoeng baroe di nikachkannja”.26
Di maksudkan dalam kutipan tersebut bahwa distrik yang mengurusi
perkawinan di angkat menjadi Ambtenar Van de Burgelijke stand dengan
mendapatkan gaji. Pengantin laki-laki dan perempuan harus jelas identitasnya,
Diadakannya perjanjian untuk memenuhi hak perempuan dan laki-laki yang telah
ditetapkan dalam syara’ agama, Diadakan larangan perempuan dan laki-laki
menikah dibawah umur 15 tahun atau belum baligh. Peraturan yang dibuat ini
semata-mata untuk memperjelas status pernikahan dan mengurangi kegiatan
pernikahan usia dini.
25
Abdoerachman,”Kinderhuwelijken” (Pernikahan Dini), dalam surat kabar Putri
Mardika, Agustus 1917, No 8, (Tahun IV), lihat juga Cora Vreede-De Stuers.”Sejarah Perempuan
Indonesia Gerakan dan Pencapaian”. (Jakarta: Komunitas Bambu, 2008), h. 85. 26
Kijahi Achmad Arsjad,” Voorstel akan mengoerangkan banjaknja orang jang berbini
lebih dari seorang”, dalam majalah Poetri Mardika, April, 1917, No 4, (Tahun IV), h. 43.
54
Menghilangkan tradisi pergundikan atau sistem nyai.
Poetri Mardika juga mempertanyakan atau mengkritik kegiatan perempuan
yang menjadikan diri mereka sebagai Nyai. Sebutan Nyai di gunakan untuk para
perempuan yang menjadi istri para bangsa berkulit putih tanpa memiliki ikatan
yang sah, yakni yang diketahui atau disahkan oleh penghulu. Status perempuan
dalam hal ini disebut gundik. Istilah nyai atau nyahi sebenarnya mengacu pada
bahasa Bali yang artinya adik perempuan atau perempuan muda. Sebutan nyai
juga digunakan dalam wilayah budaya Sunda yang berarti perempuan dewasa.
Pada masa Hindia Belanda saat praktik pergundikan semakin meluas, istilah nyai
memiliki konotasi lain. Nyai diartikan sebagai gundik, selir, atau perempuan
simpanan para pejabat dan serdadu Belanda.27 Poetri Mardika menyebutkan
bahwasanya nyai itu rata-rata dari golongan kaum yang tidak terpelajar, dan nyai
di kritik sebagai sosok perempuan yang gila harta. Dalam surat kabar Poetri
Mardika mereka sangat menentang kegiatan pergundikan karena berdampak
memperlambat kemajuan terhadap perempuan serta menurunkan derajat para
perempuan.28 Kemudian Poetri Mardika mengkritik serta memberikan nasehat
kepada pera perempuan yang pada masa itu banyak yang tidak ingin menikah
dengan laki-laki pribumi lantaran ketika perempuan yang berpendidikan merasa
derajatnya lebih tinggi dan tidak ingin menikah dengan laki laki yang tidak
berpendidikan. Poetri Mardika memberikan pandangan bahwa menikah itu
seharusnya dengan yang seagama dan jika tidak ingin menikah dengan
sebangsanya maka dianggap sama saja menghinakan bangsanya sendiri. Poetri
Mardika menganggap bahwa perempuan yang seperti itu tidak mencintai
agamanya, Bangsanya, serta lupa dengan tujuan untuk kemajuan.29
27
Hendra Kurniawan,” Nyai Dalam Pergundikan: Pendorong Munculnya Kaum Indo
di Hindia Belanda”, dalam jurnal Historia Vitage seri pengetahuan dan pengajaran sejarah. Vol
28 No.2. (Universitas Sanata Dharma, 2014), h. 142. 28
Tjiptorahardjo, “Pemandangan” dalam majalah Poetri Mardika, September, 1917.
No 9, (Tahun IV), h. 80-88. 29
Tjiptorahardjo, “Pemandangan” …, h. 80.
55
Menentang tradisi poligami.
Upaya yang dilakukan oleh Poetri Mardika adalah meningkatkan kualitas
diri sebagai perempuan, dengan cara membebaskan para perempuan dari belenggu
adat-adat di masyarakat setempat. Poetri Mardika sangat menentang kegiataan
poligami yang telah di anggap biasa oleh sebagian masyarakat. Kegiatan
poligami, atau memiliki istri lebih dari satu, merupakan praktik yang sudah
menjadi kebiasaan yang turun temurun dalam beberapa generasi. Poetri Mardika
berupaya untuk mengkapampanyekan ketidaksetujuannya terhadap praktik
poligami. Dalam sebuah artikel yang di tulis oleh S. Koesoemo di surat kabar
Poetri Mardika, jelas sekali posisi organisasi ini menentang praktik poligami. S.
Koesoemo menuliskan, “…Derhalve is de mening dat polygamie niet van
regeringswege behoeft onderdrukter worden, (Oleh karena itu saya memiliki
fikiran bahwa poligami itu tidak resmi dan harus di tekan)…” 30 karena itu Poetri
Mardika bertujuan untuk menghilangkan praktik seperti ini. Dikarenakan hal ini
sering sekali terjadi dimana para laki-laki dianggap biasa jika memiliki istri lebih
dari satu dan kekuasaan laki-laki tidak terbatas dalam perkawinan (seorang laki-
laki dengan begitu saja sewaktu-waktu boleh menceraikan istrinya, tidak usah
mengatakan sebab-sebabnya dan tidak ada beban kewajiban untuk menyokong
istri yang diceraikan). Surat kabar Poetri mardika, juga memuat tulisan bahwa
perempuan Eropa juga mengkritik poligami dan menentangnya, karena hal itu
berakibat menyakiti hati para perempuan; ”…Haraplah orang lelaki memaloei
pada orang perempoean, dan haraplah jangan menjakitkan hatinja orang
perepoean lantaran madoe (piara bini lebih dari satoe)…”.31 Disebutkan bahwa
pada dasarnya tidak ada perempuan yang ingin di poligami, ada juga yang
merasakan senang ketika suaminya beristri lebih dari satu. Seorang tokoh
perempuan, Tien Sastrowirjo menyatakan:
Polygamie itoe tidak baik sekali. Polygamie itoe mendidik hati chawatir, dan
kedjadiannja orang-orang takakan bisa tjinta kepada tanah toempah darahnja, kepada
bangsanja. Boekan hanja plygamie jang terang sadja pengaroehnja sebesar ini, akan tetapi
polygamie jang tak terang (tidak mempakai idsinnja penghoeloe) begitoe djoega. Maka
dari itoe fikiran djelek jang masoek kesanoebari kita, jaitoe fikiran bahwa kaoem laki-laki
30
S.Koesoemo,” De Polygamie”, dalam majalah Poetri Mardika, Februari, 1916.
No 2 (Tahun III), h. 10. 31
Een Europeesche Vrouw, ” Kiriman”, (tersalin dalam bahasa belanda), dalam majalah
Poetri Mardika, Maret, 1916. No 3, (Tahun III), h. 28.
56
itoe djempoelan, berani, hampir sama dengan Ardjoeno djika beristeri lebih seorang itoe
haroes dihapoeskan.32
Dalam kesimpulan diatas bahwasanya poligami akan berdampak kepada
perempuan, dimana perempuan tidak memiliki andil dalam perkawinan yang tidak
dapat dihindari dan jaminan yang tidak menentu untuk menjadi ibu. Poligami
menjadi perdebatan dari berbagai pelopor gerakan perempuan, mereka
menyatakan ketidaksetujuan mereka terhadap poligami maupun penyalahgunaan
poligami.33
Adapun beberapa usaha yang dilakukan oleh Poetri Mardika untuk
meminimalisir praktik poligami adalah sebagai berikut:
“… telah kita ketahoei bahwa pengoeloe itu sebenernja di atoer oleh negeri, sebagai
wakilnja wali, jang poenja hak boeat menetapkan jang djadi wakil wali dalam perkara
bigamie oempanja chakim Raad Igama jang koeasakan boeat menimbang dan
memoetoeskan (idin) boleh tidanja dengan mengingat hal sjareatnnja sjachnja hal
njandoeng menoeroet sjara:
1e oerang jang ingin mempoenjai isteri jang kedoea, ketiga, atau keempat haroes
mendapat poetoesan Raad Igama jang nanti memeriksa dengan titi apa oerang itu adil
boeat menohani hal kemistiannja lelaki njandoeng menoeroet sjara, 2e isteri jang toea
(jang pertama haroes menerangkan di moeka hakim, bahwa ia betoel mengidini lakinja
boeleh njandoeng begitoe djoega wali dan istri jang maoe “di tandoeng” haroes di bawa
mengadap, 3e candidat misti pandai menerangkan sendiri di moeka hakim kewadjibannja
oerang jang njandoeng menoeroet sjara dan sanggoep akan menohoni dengan perdjanjian
jang nanti disjahkan oleh civielerechter, 4e oleh negeri di tetapkan hak haknja oerang
jang mempoenjai bini doea djangan di pandang dan dibikin selir”. 34
Kutipan tersebut bermaksud bahwa Poetri Mardika dalam mengupayakan
meminimalisir praktik poligami dengan memberikan syarat bahwa laki-laki yang
ingin memiliki istri lebih dari satu diharusknanya mendapatkan persetujuan dari
Raad Agama. Istri pertama di haruskan menerangkan didepan hakim serta
meyakinkan hakim bahwa dirinya merelakan suaminya menikah lagi. Kandidat
mesti kuat menerangkan kepada hakim orang yang akan di madu menurut syara.
Ketika ditetapkan dan di izinkan oleh Negara untuk berpoligami maka ditetapkan
hak-haknya oleh Negara dan jangan menjadikan istri kedua sebagai selir. Hal ini
merupakan upaya meminimalisir kegiatan poligami yang telah menjadi adat
istiadat masyarakat. Ketika syarat berpoligami dikaitkan kepada Negara maka
akan terasa lebih sulit apalagi ketika diharuskannya meminta persetujuan dari istri
32
Susan Blackburn, Terj Koesalah Soebagyo Toer, Kongres Perempuan Pertama
Tinjauan Ulang, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia/ KITLV-Jakarta). 2007, h. 77-78. 33
CoraVreede-de stuers, Sejarah Perempuan …, h.158. 34
Kijahi Achmad Arsjad,” Voorstel aka mengoerangkan banjaknja orang jang berbini
lebih dari seorang”, dalam majalah Poetri Mardika. April, 1917. No 3, (Tahun IV), h. 43.
57
pertama hal tersebut diharapkan akan berdampak pada penurunan dari praktik
poligami.
Memberikan Pensiunfonds
Poetri Mardika mengupayakan untuk mensejahterakan perempuan-
perempuan tua serta membantu para janda-janda. Hal ini terlihat seperti yang
dituliskan dalam verslag persidangan besar Poetri Mardika pada 05 maret 1916
dikantor Volkslectuur bahwa salah satu bestuur yakni R.M. Soenarjo
Djojopranoto meminta agar segera dilakukan permohonan untuk pemerintah agar
diadakannya Pensiunfonds untuk para janda dengan memotong gaji para priyai
gouvernement atau pegawai pemerintah.35
B. Dampak Organisasi Poetri Mardika Terhadap Kondisi Perempuan
Dampak dari perjuangan Poetri Mardika diantaranya adalah, mulai
terbukanya akses pendidikan bagi kaum perempuan. Akses pendidikan bagi kaum
perempuan dari tahun ke tahun telah memberikan bukti bahwa perempuan
Indonesia tidak hanya di jadikan dan di katakan sebagai kaum yang rendah saja,
namun perempuan juga mampu merubah kehidupannya menjadi lebih baik
dengan mendapatkan hak pendidikannya yang sama seperti dengan kaum laki-
laki. Pemerintah kolonial juga sudah banyak mendirikan sekolah-sekolah untuk
kaum perempuan Indonesia. Mereka sadar bahwa pendidikan juga perlu diberikan
kepada kaum perempuan. Sekolah-sekolah khusus bagi kaum perempuan secara
lambat laun bermunculan, salah satu contohnya adalah Kartini Fonds yang
didirikan pada tahun 1913 yang menjadikan perempuan mendapatkan pendidikan
dan menjadi lebih maju. Pada tahun 1918, pemerintah juga mendirikan sebuah
Sekolah Guru (Kweekschool) untuk guru-guru perempuan di Salatiga. Guru-guru
lulusan ini berhak untuk mengajar di HIS (Hollands Inlandse School) dan juga di
Kartini Fonds.36
Di bawah ini merupakan tabel laporan pemerintah tentang
pendidikan kejuruan di tahun 1928 semakin meningkat terutama perempuan.
35
Soetinah,” Verslag Persidangan Besar P.M. pada hari minggoe tanggal 5 Maret
1916 diroemah Kantoer Volkslectuur”, dalam majalah Poetri Mardika, April, 1916. No 4, (Tahun
III), h. 42. 36 Siwi Tyas Fheny Cahyani, Dkk,” Perjuangan Organisasi Perempuan Indonesia
Menuntut Hak Pendidikan Pada Masa Kolonial Belanda Tahun 1912-1928”, 2015. No I. h, 11.
58
TABEL IV.6
Laporan Pemerintah tentang Pendidikan Kejuruan pada tahun 1928
Jenis Sekolah
Jumlah Murid Persentase
Lelaki Perempuan Lelaki Perempuan
Kursus untuk guru-guru (lelaki atau
perempuan) sekolah desa
5.394
332
94
6
Sekolah pelatihan 1.398 539 78 22
Sekolah pelatihan untuk sekolah
Belanda
690
144
83
17
Sekolah pelatihan tinggi 269 6 98 2
Sekolah pelatihan tinggi dengan
sertifikat yang setara dengan
standar belanda untuk
a. Asisten guru
b. Guru
39
85
182
293
18
22
82
78
Kursus untuk guru taman kanak-
kanak.
-
339 - 100
Sumber: Stuers, 2008 h. 97.
Laporan dinas pendidikan menyatakan bahwa 58 persen dari perempuan
Indonesia berhasil meraih ijazahnya pada 1928.37
Penulis hanya memberikan
gambaran bagaimana keadaan pendidikan yang di dapatkan oleh perempuan
setelah hadirnya organisasi Poetri Mardika, hal ini kemungkinan Poetri Mardika
telah memberikan pengaruh terhadap perempuan agar lebih mudah dalam
mengakses pendidikannya. Selanjutnya dampak dari perjuangan Poetri Mardika
ialah, munculnya perhimpunan-perhimpunan perempuan baru di daerah-daerah
lainnya dengan tujuan yang sama, seperti Kautaman Istri, Pengasah Budi,
Poernahma Sidhi yang mana juga memiliki tujuan untuk memperhatikan keadaan
perempuan.38 Hal ini dikarenakan Poetri Mardika selalu melakukan propaganda
ataupun kongres-kongres di berbagai daerah dengan tujuan memperkenalkan
perhimpunannya dan menguatkan relasinya dengan perhimpunan yang lain.
Terselenggaranya Kongres Perempuan Pertama di Yogyakarta Tahun 1928
kemungkinan besar pengaruh atau dampak dari munculnya organisasi Poetri
Mardika yang merupakan salah satu penggagas kemerdekaan perempuan. Pesan
dan keputusan Kongres itu pada dasarnya sama dengan yang diperjuangkan dan
dikampanyekan oleh Poetri Mardika sejak berdirinya di tahun 1912. Dalam acara
37
CoraVreede-de stuers, Sejarah Perempuan…, h. 98. 38
Sadikoen, “Perobahan Alam Perempoan”…, h. 63.
59
kongres Perempuan yang pertama di selenggarakan memanglah tidak dijelaskan
bahwa Poetri Mardika mengikuti kongres tersebut, dari berbagai utusan organisasi
perempuan sekitar ada 22 organisasi perempuan. Adapun hasil lain dari adanya
kongres ini yakni diputuskan hendak mengadakan studiefonds (dana beasiswa)
untuk anak-anak gadis yang pandai tetapi tidak mampu. Selain itu kongres
berkeputusan untuk mencegah perkawinan anak-anak dengan cara tiap anggota
harus membuat propaganda tentang buruknya perkawinan anak-anak Kongres
juga mengirimkan pesan kepada Pemerintah Hindia Belanda agar secepatnya
diadakan tunjangan bagi janda dan anak-anak.39
Memang sulit diketahui dengan tepat berapa banyak organisasi perempuan
di Hindia-Belanda yang aktif pada saat itu dan organisasi mana yang tidak
terwakili dalam kongres. Walaupun dapat ditemukan data mengenai pembentukan
organisasi yang lumayan banyak di seluruh kepulauan Indonesia, namun
kebanyakan organisasi tersebut pendek umurnya dan sering kali tidak tercatat
kapan sebuah organisasi menghentikan kegiatannya atau bahkan bubar.40
Begitupun dengan Poetri Mardika, tidak adanya kejelasan organisasi Poetri
Mardika menghentikan kegiataannya.
Sesudah tahun 1920, jumlah organisasi perempuan bertambah banyak.
Kesediaan kaum perempuan untuk terlibat dalam kegiatan organisasi lebih
meningkat dan kecakapan bertindak dalam organisasi pun bertambah maju.
Hampir di semua tempat yang penting ada perkumpulan perempuan. Hal ini
disebabkan karena kesempatan belajar yang makin berkembang ke bawah,
sehingga jumlah perempuan yang mampu beraksi juga bertambah luas dan tidak
lagi terbatas pada lapisan atas saja.
39
Winingsari Trimurtini, Perkembangan Kongres Perempuan Indonesia Pertama
Tahun 1928 di Yogyakarta, Skripsi. (Yogyakarta: Universitas Negri Yogyakarta, 2015), h. 59. 40
Susan Blackburn, Terj Koesalah Soebagyo Toer, Kongres Perempuan Pertama
Tinjauan Ulang, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia/ KITLV-Jakarta, 2007), h. XXIV.
60
C. Hambatan Poetri Mardika Dalam Memperjuangkan Emansipasi
Perempuan
Poetri Mardika sangat memahami bahwa melakukan proses gerakan
emansipasi tentu saja akan mengalami hambatan-hambatan yang tidak ringan.
Terkait hal ini S.Koesoemo menuliskan dalam surat kabar “Kita haroes piker
bahawa segala keadaan atau perobahan jang misih baroe itoe tentu soesah sekali
bisanja menoedjoe apa jang dimaksoedkan apa poela perobahan alam jang
berhoeboeng sama kamanosiaan”.41
Dalam proses perubahan tidak selamanya
hanya terdapat faktor pendorong saja, tetapi juga ada faktor penghambat
terjadinya proses perubahan tersebut.begitu pula dengan organisasi Poetri
Mardika yang memperjuangkan kemerdekaan bagi para perempuan meskipun
menjadi organisasi pelopor pada masanya namun Poetri Mardika juga mengalami
hambatan –hambatan. Faktor penghalang tersebut antara lain:
1. Adat atau kebiasaan
Biasanya pola perilaku yang sudah menjadi adat bagi suatu masyarakat
akan selalu dipatuhi dan dijalankan dengan baik. Apabila pola perilaku yang
sudah menjadi adat maka akan sulit untuk merubahnya, karena masyarakat
tersebut akan mempertahankan adat istiadat yang dianggapnya telah membawa
sesuatu yang baik bagi pendahulu-pendahulunya. Faktor-faktor yang menghalangi
terjadinya proses perubahan tersebut, secara umum memang akan merugikan
masyarakat itu sendiri. Karena setiap anggota dari suatu masyarakat umumnya
memiliki keinginan untuk mendapatkan sesuatu yang lebih daripada yang sudah
didapatnya. Hal tersebut tidak akan diperolehnya jika masyarakat tersebut tidak
mendapatkan adanya perubahan-perubahan dan hal-hal yang baru.
Orang perempoean (iboe kita) tida perloe berilmoe jang tinggi, tida perloe tjampoer
memperhatiken pergerakan bangsa dan kemadjoean tanah kelahiran, sebab semoa itoe
wadjibnja orang lelaki orang perempoan hanja berwadjib selainnja mendjaga keamanan
roemah tangga ialah mendjaga soeaminja baik tentang keadannja lahir maoepoen keadaanja
batin mendjaga adat istiadat dan djalanja ingean melakoekan kewadjiban lelaki.42
41
S.Koesoemo,” Pengharepan”, dalam majalah Poetri Mardika, Juli, 1916. No 7,(Tahun
II), h. 69. 42
S. Koesoemo,” Iboe”, dalam majalah Poetri Mardika, Maret, 1916. No 3, (Tahun III),
h. 27.
61
Selain itu masih banyak pula para masyrakat yang menentang serta salah
persepsi terhadap tujuan Poetri Mardika, banyak yang mengartikan bahwa Poatri
Mardika berupaya untuk menyetarakan perempuan dan lelaki dengan kesetaraan
yang sama dalam seluruh hal yang bahwasanya perempuan dan lelaki tidak dapat
disamaratakan. Sedangkan tujuan Poetri Mardika adalah memerdekan para
perempuan dari praktik adat istiadat yang mengurung lingkup para perempuan itu
sendiri. Masyarakat yang masih berpegang teguh pada pemikiran seperti ini tentu
saja akan menghambat perubahan yang akan dilakukan Poetri Mardika dengan
cepat.
2. Menurunnya Kegiatan Anggota Poetri Mardika
Hambatan selanjutnya yang di alami oleh organisasi Poetri Mardika adalah
menurunnya kegiatan para anggota untuk menulis. Dalam verslag Poetri Mardika
dikatakan bahwa mulai menurunnya aktivitas menulis di mulai pada tahun 1916.43
Hal ini mulai terjadi dikarenakan adanya masalah internal dari para anggota Poetri
Mardika itu sendiri. Beberapa permasalahan internal Poetri Mardika di antanya
adalah: pada tahun 1916 saudara Abdulrachman yang mengendalikan administrasi
pada saat itu pindah rumah ke berbagai daerah dalam beberapa waktu, hal ini
menyulitkan Poetri Mardika dalam mengelola administrasi. Ketika di gantikan
dengan Mohammad yang posisinya pun berada di Loemadjang pun tidak
bertambah baik dan tidak kondusif. Hal ini membuat penurunan kegiatan Poetri
Mardika serta menurunnya jumlah penulisan artikel-artikel yang dibuat para
anggota lantaran sebab hal-hal pribadi.44
Selain itu pula banyak para anggota-
anggota yang keluar maupun dikeluarkan lantaran banyaknya tunggakan yang
dilakukan oleh para anggota yang tidak membayar dana kontribusi. Tunggakan ini
menghambat kegiatan Poetri Mardika seperti mencetak surat kabar ataupun
menanggung kegiatan-kegiatan organisasi.45
Kemudian Poetri Mardika juga sudah
jarang mengdakan propaganda ke daerah-daerah lainnya dikarenakan kurangnya
kesediaan anggota dan banyaknya yang terhalang oleh pekerjaan lainnya. Hal ini
karena pengurus (Bestuur) bukan hanya berfokus dengan Poetri Mardika saja tapi
43
Verslag Tahoen 1916-1919, Extra Nummer 1920. 44
Kadiroen, “Verslag Tahoen 1916-1919”, Extra Nummer, 1920, h. 2. 45
Kadiroen, “Verslag Tahoen 1916-1919”…, h. 4.
62
mengurus hal lainnya.46
Permasalahan yang lainnya adalah karena adanya
tunggakan-tuggakan para anggota serta melemahnya uang derma yang didapatkan
oleh Poetri Mardika. Laporan uang kas pada tahun 1916-1919 disebutkanbahwa
Poetri Mardika mengalami kerugian pada periode waktu tersebut.
46
Kadiroen, “Verslag Tahoen 1916-1919”…, h. 3.
63
GAMBAR IV.2
Laporan pemasukan uang kas Poetri Mardika tahun 1916-1919
Sumber: Kadiroen,”Verslag 1916-1919”, Poetri Mardika, Extra Numerik Tahun 1920, h. 5-6
64
GAMBAR IV.3
Laporan keluarnya uang kas Poetri Mardika selama tahun 1916-1919
Sumber: Kadiroen,”Verslag 1916-1919”, dalam majalah Poetri Mardika, Extra Numerik
Tahun 1920, h. 5-6
65
Pada tahun 1916 uang kas yang masuk secara keseluruhan sekitar f. 723.10 dan
uang yang keluar di tahun 1916 sebesar f. 710.33⅓. Pada tahun 1917 uang kas
yang masuk f. 567.55 dan uang yang keluar sebanyak f. 728.35, ditahun 1918
uang yang masuk f. 695.75 dan yang keluar sebanyak f. 745.28 kemudian yang
terakhir ditahun 1919 uang yang masuk f. 570.70 dan yang keluar f. 606.45. Dapat
dikatakan dalam laporan tersebut Poetri Mardika mengalami kemerosotan karna
sedikitnya pemasuakan namun uang yang harus dikeluarkan lebih besar, dan
akhirnya Poetri Mardika mengalami kerugian cukup besar pada tahun 1916-1919.
Pemaparan di atas menjelaskan yang ternyata masih banyak hambatan
bagi Poetri Mardika, baik yang berasal dari internal maupun eksternal, yang
menghalangi gerakan untuk memajukan organisasi. Selanjutnya dari seluruh
penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa perjuangan pembebasan perempuan
atau gerakan emansipasi perempuan adalah perjuangan melawan penghambat-
penghambat kemajuan perempuan. Tanpa memenangkan perlawanan terhadap
penghambat-penghambat tersebut maka kaum perempuan tidak akan bisa
mengembangkan pengetahuannya serta kesadarannya.
66
BAB V
KESIMPULAN
Poetri Mardika adalah organisasi perempuan yang berdiri pada tahun 1912
di Batavia yang bertujuan untuk memperjuangkan perempuan agar mendapatkan
hak-hak mereka meraih pendidikan serta meningkatkan kualitas perempuan dalam
perbaikan kehidupan berkeluarga, perkawinan, dan mempertinggi usaha-usaha
untuk mencapai kesejahteraan. Munculnya Poetri Mardika merupakan faktor dari
adanya pandangan baru atas kesadaran terhadap perempuan. Para anggota Poetri
Mardika yang aktif mayoritas dari golongan terpelajar ningrat. Organisasi ini
merupakan organisasi yang berpusat di kota Batavia yang dimana kota tersebut
telah menjadi pusat perkembangan kegiatan masyarakat. Apa yang dilakukan oleh
organisasi Poetri Mardika merupakan upaya gerakan emansipasi perempuan yang
bertujuan untuk mempertinggi nasib dan derajat para perempuan. Sisi lain
keunikan dari Poetri Mardika ialah organisasi yang meskipun bebas dan terbuka
untuk umum, namun organisasi ini tidak lupa memperjuangkan Islam dengan
mengkampanyekan bahwa pendidikan Agama Islam harus diadakan di sekolah-
sekolah. Adapun peran maupun kontribusi Poetri Mardika adalah sebagai berikut:
1. Poetri Mardika menjadi inisiator bagi organisasi perempuan lainnya yang
hadir setelah Poetri Mardika. Organisasi ini juga melakukan sosialisasi
dengan mengadakan kegiatan kongres-kongres di berbagai daerah
sehingga menjadikan Poetri Mardika semakin kuat jaringannya dengan
perhimpunan-perhimpunan lainnya.
2. Poetri Mardika berupaya memberikan pengajaran kepada masyarakat luas,
terutama perempuan, yang dapat membangkitkan semangat pembaruan,
keterbukaan, dan nasionalisme melalui surat kabar yang diterbitkannya.
Surat kabar ini berfungsi sebagai penyebar gagasan kemajuan perempuan
sekaligus menjadi sarana yang memudahkan para perempuan ataupun
masyarakat lainnya dalam mentransmisikan misi-misi Poetri Mardika.
Surat kabar yang terbit pada tahun 1900-an ini juga berperan aktif sebagai
media sosialisasi Poetri Mardika kepada masyarakat. Dalam surat kabar
tersebut, misalnya berisi salah satu bentuk dukungan bagi perempuan
untuk mendapatkan pendidikan serta pentingnya pendidikan bagi kaum
67
perempuan, masalah pendidikan campuran antara laki-laki dan perempuan,
serta pemberian kelonggaran untuk bergerak bagi kaum perempuan di
tengah era Kolonialisme Belanda.
3. Poetri Mardika mencoba untuk menanamkan kesadaran terhadap
perempuan dalam meraih pendidikan contohnya adalah para anggota
Poetri Mardika itu sendiri yang kerapkali mendongkrak wacana akan
pentingnya pendidikan di tengah masyarakat. Alasan utama atau alasan
pokok kaum perempuan ingin mendapatkan pendidikan yang setara
dengan laki-laki tidak lain adalah kaum perempuan Indonesia pada masa
kolonial Belanda tidak diperlakukan adil untuk mengekspresikan diri
mereka dalam menerima pendidikan.
4. Poetri Mardika meningkatkan upaya penegakan keadilan serta hak asasi
perempuan dalam kehidupan. Hal ini dilakukan dengan cara membantu
para perempuan untuk keluar dari kungkungan adat seperti poligami,
pernikahan anak di bawah umur, sistem nyai, sistem selir, ataupun kawin
paksa. Kemudian Poetri Mardika mengupayakan pengadaan kegiatan dana
pensiun untuk para janda-janda. Hal ini menjadi salah satu bukti bahwa
Poetri Mardika berperan aktif terhadap perempuan dan kuat dengan
tujuannya yang ingin meningkatkan taraf hidup perempuan. Poetri
Mardika adalah organisasi yang terbuka untuk umum. Maksudnya
organisasi ini tidak menutup peluang bagi orang yang berbeda ras, suku,
agama serta negara. Namun demikian anggotanya adalah beragama Islam.
Kemudian hambatan yang dialami oleh organisasi Poetri Mardika dapat
terjadi dikarenakan kurangnya pemasukan dana serta merosotnya aktivitas-
aktivitas oragnisasi yang kerap kontributif untuk mengadakan kegiatan dan
menulis artikel . Hal ini disebabkan banyaknya kepentingan-kepentingan lainnya
disetiap urusan para anggota. Faktor lainnya yang menyebabkan organisasi ini
pudar cahayanya adalah masifnya resintesi-resintesi yang berasal dari masyarakat
yang menolak perubahan. Dapat dikatakan juga bahwa awal abad ke-20
merupakan abad fase dasar perjuangan hak-hak perempuan Indonesia. Kemudian
dampak yang terjadi terhadap perempuan dengan hadirnya Poetri Mardika adalah
membuka pikiran yang membelenggu akan adat isitiadat yang merugikan pihak
68
kaum perempuan. Sekolah-sekolah bagi kaum perempuan secara bertahap telah
didirikan. Kaum perempuan sudah banyak yang bersekolah, mendapatkan
pendidikan yang selayaknya, perempuan menjadi lebih maju dan pendidikan
sudah dibuka bagi kaum perempuan. Selain itu secara lambat laun keadaan lekas
berubah menjadi lebih baik dari tahun ke tahun, misalnya poligami, kawin
paksaan, berlakunya kekuasaan suami yang tidak terbatas terhadap perceraian,
membiarkan gadis-gadis bodoh akibat larangan untuk bersekolah setelah mulai
dewasa, perkawinan anak-anak dan permasalahan perempuan lainnya sudah mulai
berkurang. Perempuan secara lambat laun telah mampu untuk bangkit dalam
menghilangkan kebijakan pemerintah kolonial yang telah membatasi akses
pendidikan bagi kaum perempuan dan kekangan adat istiadat, mereka berjuang
demi mendapatkan pendidikan agar tidak selalu dipandang lemah dalam segala
hal. Maka organisasi Poetri Mardika telah membuat perempuan Indonesia menjadi
maju serta mampu berperan aktif dalam pergaulan nasional bahkan Internasional
dengan segala upaya yang telah dilakukannya.
69
SARAN
Di harapkan hasil penelitian sejarah gerakan emansipasi organisasi Poetri
Mardika pada masa kolonial ini dapat menambah penguasaan materi gerakan
perempuan. Kemudian saran untuk para penulis yang memang menggandrungi
masalah gerakan emansipasi perempuan atau ingin meneliti lebih lanjut tentang
Poetri Mardika alangkah baiknya lebih mendalami faktor hilangnya organisasi ini.
Karena jarang dan belum ditemui sampai saat ini faktor penyebab hilangnya
organisasi tersebut dengan jelas
70
DAFTAR PUSTAKA
A. SUMBER SEJAMAN
Poetri Mardika, No.4/ II, Juli 1915.
Poetri Mardika, No 5/II, Agustus 1915.
Poetri Mardika, No 6/II, September 1915.
Poetri Mardika, No 6/II, November 1915.
Poetri Mardika. No 2/III, Februari 1916.
Poetri Mardika. No 3/III, Maret 1916.
Poetri Mardika. No 10/III, Oktober 1916.
Poetri Mardika. No 12/ III, Desember 1916.
Poetri Mardika. No 9/IV, September 1917.
Poetri Mardika. No 7/IV, Juli 1917.
Poetri Mardika. No 4/IV, April 1917
Poetri Mardika. Extra Nummer, 1920.
Soenting Melajoe, No 26/III, Juni 1914
Soenting Melajoe, No 25/III, September 1914
B. BUKU
Baay, Reggie. Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda. Depok: Komunitas
Bambu, 2010.
Basundoro, Purnawan. Pengantar Sejarah Kota.Yogyakarta: Ombak, 2012.
Blackburn, Susan. Kongres Perempuan Pertama Tinjauan Ulang, Terj Soebagyo
Toer, Koesalah.Jakarta: Yayasan Obor Jakarta/ Jakarta- KITLV, 2007.
Blackburn, Susan, (Terj) Triwira, Gatot. Jakarta Sejarah 400 Tahun. Jakarta:
Masup Jakarta, 2012.
Djoened, Marwati. Poesponegoro, Sejarah Nasional Indonesia V. Jakarta: Balai
Pustaka, 1993.
Fauzia, Amelia dkk. Tentang Perempuan Islam: Wacana dan Gerakan. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2004.
Gardine, Mayling Oey. Perempuan Indonesia Dulu dan Kini. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1996.
Gottshalck, Louis. Mengerti Sejarah, Terj. Nugroho Susanto, Jakarta: Universitas
71
Indonesia, Press, 2008.
Hanna, Willard A. Hikayat Jakarta. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1988.
Kartodirjo, Sartono. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metode Sejarah. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1992.
Kartodirjo, Sartono. Sejak Indisch Sampai Indonesia. Jakarta: Kompas
Media Nusantara, 2005.
Kongres Wanita Indonesia. Sejarah Setengah Abad Pergerakan Wanita
Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1978.
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang Pustaka, 2003.
Kwartanada, Didi. Dua Abad Pakean Eropa di Indonesia, Simbol Pemberontakan
dan Modernitas. Esquire, 2013.
Lapian, Adrian B. Indonesia dalam Arus Balik Sejarah. Jakarta: PT Ichtiar Baru
van Houve atas kerjasama dengan Kementrian Pendidikan dan kebudayaan
Republik Indonesia, 2011.
Niemeijer, Hendrick. Batavia Masyarakat Kolonial Abad XVII. Depok: Masup
Jakarta, 2012.
Ohorella, G.A. Dkk. Peranan Wanita Indonesia dalam pergerakan
Nasional. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1992.
Pranoto, Suhartono W. Teori dan Metodologi Sejarah.Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2001.
Putra, Fadillah. Dkk. Gerakan Sosial. Malang: Averrors Press, 2006.
Pringgodigdo, A.K. Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia. Jakarta: Dian
Rakyat, 1980.
Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 1995.
Sastroatmodjo, Suryanto Tragedi Kartini. Yogyakarya: Penerbit Narasi, 2005.
Sjamsuddin, Helius dan Ismaun. Pengantar Ilmu Sejarah. Jakarta:
Depdikbud, 1996.
Soewondo, Nani. Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum Dan Masyarakat.
Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984.
Subhan, Zaitunah. Qodrat Perempuan Taqdir atau Mitos. Yogyakarta: Pustaka
Pesantren, 2004.
72
Suhartono. Sejarah Pergerakan Nasional: Dari Budi Utomo sampai Proklamasi
1908 1945. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994.
Suparno, A. Suhaenah. Wanita dalam Masyarakat Indonesia. Yogyakarta: Sunan
Kalijaga Press, 2001.
Suryochondro. Sukanti. Potret Pergerakan Wanita di Indonesia. Jakarta: CV
Rajawali, 1984.
Sutrisno, Sulastin. Surat-surat Kartini Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya,
Jakarta: Djambatan, 1979.
Swantoro, P. Dari Buku ke Buku: Sambung Menyambung Menjadi Satu. Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia, 2002.
Syani, Abdul. Sosiologi dan Perubahan Masyarakat. Unila Bandar lampung:
Pustaka Jaya, 1995.
Soekiman, Djoko. Kebudayaan Indis, Dari Zaman Kompeni sampai Revolusi,
Jakarta: Komunitas Bambu, 2011.
Tjandrasasmita, Uka. Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia, 2009.
Wiriaatmadja, Rochiati. Dewi Sartika. Jakarta: Proyek IDSN, 1980/1981.
Vreede-de stuers, Cora. Sejarah Perempuan Indonesia Geakan & Pencapaian.
Jakarta: Komunitas Bambu, 2008.
C. ARTIKEL JURNAL
Darwin, Muhajir.”Gerakan Perempuan di Indonesia dari Masa ke Masa”. Jurnal
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Vol 7, 2004.
Boejoeng, Saleh.”Asal-usul Nama-Nama di Ibu Kota Indonesia”. Kebudajaan.
Vol 10, Oktober 1953.
Castles, Lance. “The Ethnic Profile of Djakarta, Indonesia”. Vol 1 April 1967.
Kurniawan, Hendra. “Nyai dalam Pergundikan: Pendorong Munculnya Kaum
Indo di Hindia Belanda”. Jurnal Historia Vitage seri pengetahuan dan
pengajaran sejarah. Vol 28 No. 2. Universitas Sanata Dharma, 2014.
73
LAMPIRAN 1
Salah satu artikel Poetri Mardika dalam memberikan gagasan pendidikan terhadap
perempuan
Sumber: Soematri, “Onderwijs voor Inlandsche meisjes”. Poetri Mardika, februari 1917. No 2/ IV
Februari 1917
86
LAMPIRAN II
Laporan pendirian cabang Poetri Mardika di Cirebon
Sumber: Poetri Mardika, Februari, 1917. No 2/ IV, h. 18.
87
LAMPIRAN III
Pengurus Poetri Mardika cabang Cirebon
Sumber: Anonim.” Poetri Mardika di Cheribon”. Poetri Mardika. Februari, 1917. No 2,
(Tahun IV), h.18
88
LAMPIRAN IV
Artikel Poetri Mardika berisi gagasan perihal pernikahan usia dini
Sumber: Abdoerachman.” Kinderhuwelijken” (Pernikahan Anak-anak) Poetri Mardika, Agustus,
1917. No 8/IV, h. 75.
89
LAMPIRAN V
SUSUNAN PENGURUS POETRI MARDIKA TAHUN 1915
Ketua : R.A. Theresia Sabaroedien
Wakil Ketua : R.Aj. S. Djajapranata sebagai wakil
Komisaris : Ng. Abdoerrachman
Sekertaris : Sadikoen
SUSUNAN PENGURUS POETRI MARDIKA PERIODE 1916-1919
Ketua : R. Nganten Asiah koesrin
Wakil Ketua : R. Aj Djojopranoto
Komisaris:
- R.A. Djatoen
- Abdoel rachman
- R.Tjokrodibroto
- M. Sastrodirono
Sekertaris I : Sadikoen Tondokoesoemo
Sekertaris II : R. Aj Noerbaiti Moehadjir
- M. Mohammad Penningmester
Sumber: Poetri Mardika tahun 1915-1919
90
LAMPIRAN VI
DAFTAR PERHITUNGAN ANGGOTA POETRI MARDIKA TAHUN 1916-
1919
Anggota :
Pada akhir bulan juni 1914 : 159 Orang
Pada bulan September 1915 : 156 Orang
Akhir 1915 : 161 Orang
1916 : 184 Orang
1917 : 179 Orang
1918 : 155 Orang
1919 : 123 Orang
Sumber: Poetri Mardika 1916-1920
91
LAMPIRAN VII
JUMLAH ANGGOTA POETRI MARDIKA 1916-1919
TAHUN 1916 1917 1918 1919
Anggota Baru 59 41 51 24
Anggota
Keluar
36
46
75
57
Sumber: “Verslag 1916-1919”. Poetri Mardika, extra nummer 1920, h.6.
92
LAMPIRAN VIII
DAFTAR NAMA ANGGOTA POETRI MARDIKA YANG MASUK DAN
KELUAR PADA TAHUN 1915-1917
DAFTAR NAMA ANGGOTA YANG MASUK TAHUN 1915
NAMA BULAN ASAL
1. Redjokoesoemo
2. R. Diroatmodjo
3. M. Padmowerdojo
4. M. Djojowijoto
5. R. Pranoto
6. Mij W.I. Bosch
7. A. Veheur Jonquire
8. M.Ismail
9. M. Djajasoebrata
10. Karsono.M
11. Aminah
12. R. Tjitrodarsono
13. Njonja R. Wazar
14. Ghanij Aziz
15. Saijd Mohammad Al-Juneed
16. R, Soenardjo Djojopranoto
17. Ongko
18. M. Soeradi
19. B. Permansjah
20. Aroepalaka
21. R. Arismoenandar
22. RI. Dinardiningrat
23. Rd.Ajoe Soetidjah
24. M. Pardjo
Juni
Juni
Juni
Juni
Juni
Juli
Juli
Juli
Juli
Juli
Juli
Juli
Juli
Agustus
September
September
September
September
September
September
September
November
November
November
Probolinggo
Bodjoenegoro
H.I.S
Bodjoenegoro
Bodjoenegoro
“
“
Onderwijzer
“
“
“
weltevderen
Manggar
Batavia
Weltevderen
Weltevderen
Bandoeng
-
Batavia
Poewarkarta
-
Batavia
Weltevderen
Weltevderen
Sumber: Poetri Mardika 1915-1917
93
DAFTAR NAMA ANGGOTA YANG KE LUAR TAHUN 1915
NAMA BULAN ASAL
1. R. Tjokrosoedhirdjo
2. M. Soeroesodigdo
3. Djantera
4. R.R. Astoet
5. M.Soedigdomarto
6. M.Moh.Hamid
7. M.A. Moh Hamid
8. Sahaboedin
9. S. Koesoemo
November
November
November
November
November
November
Oktober
-
-
LoeboekPakam
Tanjoengsaloer
Pacitan
Magetan
Buitenzorg
Buitenzorg
Buitenzorg
Sumber: Poetri Mardika 1915-1917
94
DAFTAR NAMA ANGGOTA YANG MASUK 1916
1. Setijono
2. R. Kartadirejo
3. A.W. Karjoso
4. R.R. Jatti
5. R. Koesoen
6. R. Soedarmadi
7. R. Ng Asiah
8. Mohani
9. Soemantri
10. R.P. Sangidah
11. Mej. L. spit
12. Inah,G.Zecha
13. Kadiman
14. Soewando
15. Teek
16. S.Mangoenkoesomo
17. R.A. Soekandi
18. R.Soepono
19. R. Soehardipoetro
20. M.Roeslan
21. R.A.Soeratni
22. M.A. Soekarmi
23. M.A.Sar, Binti
M.Reksowardojo
24. R.Ajoe Sastrodirdjo
25. M.R.Soelastinah
26. R. Koesnden
Januari
Januari
Januari
Januari
Januari
Januari
Februari
Februari
Februari
Februari
Maret
Maret
Maret
Maret
Maret
Maret
April
April
April
April
Mei
Mei
Mei
Mei
Mei
Juni
Madioen
Weltevderen
Poerworedjo
Ngawi
Weltevderen
Madioen
Weltevderen
Soerabaja
Madioen
-
Batavia
Weltevderen
Madioen
Madioen
Weltevderen
Weltevderen
Tandjongpandan
Semarang
Weltevderen
Weltevderen
Weltevderen
Weltevderen
Ngandjoek
Weltevderen
Bandoeng
Moera
95
27. Soegito
28. R.Roeslan
29. R.R. Rabingoe
30. R.Adjeng Arminatoer
31. R.Soemali
32. M.Soewarni
33. R.I.G. Tjiptorahardjo
34. Mohammad Anwari
35. R. Soewandi B
36. R. Santiko Lantjoer
37. R. Soeratman
38. M. Waskito
39. Mevr.E.H. Sonneborn. Geb.
40. R. Aj. Brotosoewarno
41. R.Mohammad
42. R.Adjeng Louise Harpini
43. R.Soeturdjo
44. R.Irawan B.
45. Toean Abdoel Kadir
Hadiwinoto
46. Soekartiko
47. K.Moeljadi Koesoemodikdo
48. J.C. Suedibjo
49. P.S. Moeljadi
Djojohadimoeljo
50. R. Tedjowinoto
51. R. Mohammad Saleh
52. R. Soerjo
53. R.Tajib
Juni
Juni
Juni
Juni
Juni
Agustus
Agustus
September
September
September
September
September
September
September
September
September
September
September
November
November
November
November
November
November
November
November
November
November
Soerabaja
Madioen
Semarang
Porong
Welterderen
Palembang
Welterderen
Madioen
Madioen
Madioen
Madioen
Madioen
Semarang
Djokja
Madioen
Soerabaja
Madioen
Madioen
Modjokerto
Poerworedjo
Blitar
Blitar
Blitar
Blitar
Welterden
Welterden
Madioen
Madioen
96
54. Mevrouw S.Djajengmina November
Poerworedjo
Sumber: Poetri Mardika 1915-1917
97
NAMA ANGGOTA YANG KE LUAR PADA TAHUN 1916
NAMA BULAN ASAL
1. R. Soekarman
2. R.Ng. Martodihardjo
3. C.Miga
4. Mevr. Th. Karssebom
5. Dr. Soewardjo
6. Soetah Mohd. Arifin
7. R. Padnowardojo
8. M.Djono
9. R.Kawadijo
10. D.J. Bekedam
11. R.A. Kastoeri
sastraatmadja
12. R. Soedarmo
13. R.A.Adjis
14. R.Aj.Dinardiningrat
15. M. Djaend Abidin
16. Mangoenpoerwoto
17. Saroedjo
18. R.Tjokrodiejo
19. R.A Harsini
20. M. Kiswari
21. Tangkoe Poean
Sabaroedin
22. Mej. Van Taalingen
23. M.Narmoedi
24. R. Adjeng Arminatien
Wilhelmina
25. Mej. M. W. Sikman
Januari
Januari
Januari
Februari
Februari
Februari
Februari
Februari
Maret
Maret
Maret
April
Mei
Mei
Juni
Juni
Juni
Juni
Juni
Juni
Juni
Agustus
Agustus
November
November
Magetan
Madioen
Batavia
-
Rangkasbetoeng
Batavia
Bodjonegoro
Magetan
Magetan
Djember
Tandjoengpandan
Batavia
Tg.Pandan
Batavia
Batavia
Tasik malaja
Welterderan
Patih Madioen
Mr. Cornelis
Welterderen
Medan
Semarang
Buitentorg
Porong
Welterden
Sumber: Poetri Mardika 1915-1917
98
DAFTAR NAMA ANGGOTA YANG MASUK TAHUN 1917
NAMA BULAN ASAL
1. R.Aj.Soemarsono
2. R.M.Soetopo
3. M.Soemohardjo
4. M.Jasin
5. M. Kartowinoto
6. Mevr.Kartowidigdo
7. M.Iskak Prawiroatmodjo
8. R.Notoprodjo
9. M.Wirja
10. M.Soeparman
11. R.Soewito
12. R.Soeratkadarisman
13. Bb. Soediman
14. Sidikboediman
15. R.soewigno
16. R.R.Soertijah
17. Mej.Moorsini
18. Hr. Soeroegondo
19. Hr. Soemidi
20. R.R.Ngoemiati
21. R.soemano
22. R.Soewandi
23. R.Amin Kanapi
24. R.Soerosoegondo
25. Smeets, Z.O.
26. R.Oemar Slamet
27. M.Soemandi
28. R.Ng.Roekijah
29. Abdoelmadjid
30. Mas roro soetinah
31. Mas roro soemilah
32. Soedirdjo
33. R. nganten soenarmi
34. R. Krisman
35. Soengadji
Januari
Januari
Januari
Januari
Januari
Januari
Januari
Januari
Januari
Januari
Januari
Januari
Januari
Januari
Januari
Januari
Januari
Januari
Januari
Januari
Januari
Februari
Februari
Februari
Februari
Februari
Februari
Februari
April
April
April
April
April
Mei
Mei
Poerwoerojo
“
“
“
“
“
“
“
“
“
Soerabaja
Soerabaja
Semarang
“
“
Blitar
“
Salatiga
Poerworedjo
Ternate
Weltevderen
Poerwoeredjo
Madioen
Salatiga
Borneo
Madioen
Poeworedjo
Semarang
Soerabaja
Toeloengagoeng
“
Soerabaja
Djatibarat
Semarang
Koelon pasar madioen
99
36. Rs. Dwidjadisastra
37. Rr. Soeminah
38. M.Sarwono
39. Siram martoadmodjo
40. Siti Mariah
September
Oktober
Oktober
Oktober
Oktober
Poerworedjo
Djokja
Buitenzorg
Semarang
Poeworedjo
Sumber: Poetri Mardika 1915-1917
100
DAFTAR NAMA ANGGOTA YANG KE LUAR TAHUN 1917
NAMA BULAN ASAL
1. M.Djajasoebrata
2. R.Ngn.Soewarto
Mohammad Soepraptop
3. R.Koesoemasoedjan
4. M. RR.Moetiorowat
5. R. Aj. Soemarsono
6. R.M. Soetoepo
7. Soedarmo
8. Kartohatmodjo
9. R.M.Darmosoegondo
10. Soegito
11. Soerjo
12. Anwari
13. Soeratman
14. Mas parjo
15. S. Redjokoesoemo
16. R. Notoprodjo
17. M.R.Soemilah
18. Aminah
19. M.djono
20. Roekmini
21. Sjavioedin
22. M.A.Sar
23. Mevr. E.H.Sonnebor
24. M. Kartowinoto
Januari
Januari
Januari
Januari
Februari
Februari
April
April
April
April
April
April
April
April
Juli
Agustus
Agustus
Oktober
Oktober
Oktober
Oktober
Oktober
Oktober
“
Tjilegon
Semarang
Stovia
Cheribon
-
-
Soerabja
Tegal
Pekalongan
Sorabaja
Madioen
“
“
Weltevderen
Probolinggo
Poerwoeredjo
Toeloengagoeng
Onderwijs
Magetan
-
Weltevderen
-
Semarang
Poeweredjo
101
25. M.Soeparman
26. R.Amin kanapi
27. M.Soewandi
28. M.Goenowardhojo
29. M.Atmowisastro
30. Soepi
31. M. nitwidjaja
32. R.R. Hartini
33. R.Djoowijoto
34. M.Basoeki
35. Ghani Aziz
36. Saijd Mohd Al-juneed
37. Ki Djojotenoto
38. R.Kartadirejo
39. R.P.Sangidah
40. M.Roeslan
41. M.A.Soekarmi
42. R.Rachmat Djojopespito
43. J.C.Soedibjo
44. M.Jasin
45. Moordjono
Darmopoespito.
“
“
“
“
“
“
“
“
“
“
“
“
“
“
“
“
“
“
“
“
“
“
Madioen
Weltevderen
Weltevderen
Weltevderen
Perboelinggo
Serang
Koeloenprogo
Probolinggo
Poeweredjo
Batavia
Weltevderen
Patjitan
Weltevderen
Poerworedjo
Weltevderen
Weltevderen
Blitar
Blitar
Poerworedjo
Semarang
Sumber: Poetri Mardika 1915-1917