Gangguan Stress Pasca Trauma
-
Upload
devi-grania-amelia -
Category
Documents
-
view
315 -
download
0
description
Transcript of Gangguan Stress Pasca Trauma
BAB I
PENDAHULUAN
Setiap manusia memiliki kebutuhan psikologik maupun somatik untuk dapat hidup
layak sebagai seorang manusia. Untuk menjamin agar manusia itu berusaha untuk memenuhi
kebutuhannya, maka dibutuhkan dorongan. Makin besar keterlibatan secara pribadi manusia
itu dalam suatu usaha untuk mencapai kebutuhannya, makin besar pula dorongannya. Dalam
mencapai kebutuhan, seorang manusia akan menghadapi penghalang atau kesukaran yang
menuntut seseorang untuk menyesuaikan diri. Penghalang atau kesukaran akan
mengakibatkan stress, karena itu penghalang atau kesukaran itu disebut stressor.1 Stress
adalah ketegangan fisiologis atau psikologis yang disebabkan oleh rangsangan merugikan,
fisik, mental atau emosi, internal atau eksternal, yang cenderung mengganggu fungsi
organisme dan keinginan alamiah organisme tersebut untuk menghindar.2 Setiap manusia
memiliki tingkat penyesuaian diri yang berbeda terhadap stress karena penilaiannya terhadap
stress itupun berbeda – beda, dan tuntutan atau kebutuhan tiap individu berbeda – beda; ini
antara lain tergantung pada: umur, sex, kepribadian, integrasi, emosi, status sosial atau
pekerjaan individu itu.
Trauma dapat menimbulkan stress melalui hambatannya terhadap kebutuhan manusia
yaitu untuk mencapai rasa keamanan. Peristiwa traumatik yang ekstrem, yang bersifat
katastrofik dan menakutkan, yang menimbulkan distress pada hampir setiap orang biasanya
menimbulkan reaksi yang berkepanjangan. Tidak semua orang yang terlibat dalam peristiwa
itu mengalami reaksi yang berkepanjangan, sebagian besar pulih dalam waktu satu bulan.
Reaksi jangka panjang yang paling sering terjadi adalah gangguan stress pasca trauma. 1
1
BAB II
PEMBAHASAN
I. DEFINISI
Gangguan stress pasca trauma didefinisikan sebagai Anxietas patologis yang biasanya
timbul setelah seorang individu mengalami atau menyaksikan trauma berat yang
menimbulkan ancaman terhadap integritas fisik atau nyawa dari individu tersebut atau orang
lain. 3
II. EPIDEMIOLOGI
Prevalensi seumur hidup gangguan stress pasca trauma diperkirakan 8 persen populasi
umum, walaupun suatu tambahan 5 sampai 15 persen mungkin mengalami bentuk gangguan
yang subklinis. Di antara kelompok resiko tinggi yang merupakan anggota yang mengalami
peristiwa traumatik, angka prevalensi seumur hidup terentang antara 5 sampai 75 persen. Kira
– kira 30 persen veteran Vietnam mengalami gangguan stress pasca trauma, dan tambahan 25
persen mengalami bentuk gangguan subklinis. Walaupun dapat tampak pada segala usia,
gangguan stress pasca trauma paling menonjol pada dewasa muda. Trauma untuk laki – laki
biasanya pengalaman peperangan, sedangkan pada wanita paling sering adalah penyerangan
atau pemerkosaan.4
Pada survei yang dilakukan antara Februari 2001 dan April 2003 di Amerika,
dilakukan wawancara pada 9,282 warga negara amerika yang dianggap representatif yang
berusia 18 tahun keatas. Gangguan stress pasca trauma dinilai pada 5,692 orang dengan
menggunakan kriteria DSM-IV. Prevalensi gangguan stress pasca trauma pada pria adalah
3,6% dan pada wanita 9,7%. Hal ini menunjukkan bahwa wanita memiliki resiko yang lebih
tinggi (2,6:1) untuk menderita gangguan stress pasca trauma.5
Di Indonesia telah terjadi berbagai macam kejadian yang dapat menimbulkan
gangguan stress pasca trauma. Salah satu dari kejadian tersebut adalah tsunami yang terjadi di
Aceh. Pada penelitian yang dilakukan pada 482 anak yang berusia antara 11 sampai 19 tahun
yang mengalami tsunami, 54 anak (11,2%), 124 anak (25,7%), 196 anak (40,7%), 103 anak
(21,4%), dan 5 anak (1%) secara berturut – turut menunjukkan none, mild, moderate, severe,
dan very severe symptoms dari gangguan stress pasca trauma. Hasil dari studi ini
penyimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi keparahan gejala gangguan stress pasca
trauma adalah jenis kelamin, kehilangan orangtua, dukungan sosial yang rendah, dan respons
somatik berat. Perempuan menunjukkan gejala gangguan stress pasca trauma yang lebih
2
menonjol dibanding dengan laki – laki. Studi ini juga menyimpulkan bahwa usia dan tingkat
pendidikan tidak mempengaruhi gejala gangguan stress pasca trauma. 6
III. ETIOLOGI
Penyebab utama gangguan stress pasca trauma adalah stressor yang berupa peristiwa
traumatik yang extreme.1 Walaupun stressor diperlukan, stressor tidak cukup untuk
menyebabkan gangguan. Klinisi harus mempertimbangkan juga faktor biologis individual
yang telah ada sebelumnya, faktor psikososial sebelumnya, dan peristiwa yang terjadi setelah
trauma. Penelitian terakhir pada gangguan stress pasca trauma telah sangat menekankan pada
respon subjektif seseorang terhadap trauma ketimbang beratnya stressor itu sendiri. 4
Beberapa faktor predisposisi bagi seseorang individu untuk mengalami gangguan
stress pasca trauma adalah:
Adanya gangguan psikiatrik sebelumnya baik pada individu maupun keluarganya
Adanya trauma masa kanak, seperti kekerasan fisik maupun seksual
Kecenderungan untuk mudah menjadi khawatir
Ciri kepribadian ambang, paranoid, dependent, atau antisosial
Mempunyai karakter yang bersifat introvert atau isolasi sosial; adanya problem
menyesuaikan diri
Adanya kebutuhan emosional yang tidak terpenuhi secara bermakna
Terpapar oleh kejadian kejadian yang luar biasa sebelumnya baik tunggal maupun
ganda dan dirasakan secara subjektif oleh individu yang bersangkutan sebagai suatu
kondisi atau peristiwa yang menimbulkan penderitaan bagi dirinya.7
IV. PATOMEKANISME
Gejala – gejala gangguan stress pasca trauma timbul sebagai akibat dari respons
biologik dan juga psikologik seorang individu. Kondisi ini terjadi oleh karena aktivasi dari
beberapa sistem di otak yang berkaitan dengan timbulnya perasaan takut pada seseorang. 7
Faktor Biologik
Terpaparnya seseorang oleh peristiwa yang traumatik akan menimbulkan respons
takut sehingga otak dengan sendirinya akan menilai kondisi keberbahayaan peristiwa yang
dialami, serta mengorganisasi suatu respons perilaku yang sesuai. Dalam hal ini, Amigdala
merupakan bagian otak yang sangat berperan besar. Amigdala mengaktivasi beberapa
3
neurotransmitter serta bahan – bahan neurokimiawi di otak sebagai respons tubuh terhadap
trauma. Hal ini akan menimbulkan stimulus berupa tanda darurat kepada:
1. Sistem Saraf Simpatis
Sistem saraf simpatis akan membuat tubuh menjadi “siaga” dengan meningkatkan
denyut jantung dan tekanan darah, sehingga seseorang mampu untuk menghadapi
trauma tersebut.
2. Sistem Saraf Parasipatis
Sistem saraf parasimpatis bereaksi dengan membatasi reaksi sistem saraf simpatis
pada beberapa jaringan tubuh.
3. Aksis Hipotalamus-Hipofisis-kelenjar Adrenal (HPA)
Hipotalamus akan mengeluarkan Cortico – Releasing Factor (CRF) dan beberapa
neuropeptida regulator lainnya, sehingga kelenjar hipofisis akan terangsang dan
mengeluarkan adenocorticotropic hormone (ACTH) yang akhirnya menstimulasi
pengeluaran hormon kortisol dari kelenjar adrenal. Hormon kortisol berfungsi untuk
menghentikan respons tubuh yang bersifat defensif terhadap stress.
Pada pasien yang mengalami gangguan stress pasca trauma, dihipotesis terjadi
hipersensitivitas dari ketiga sistem yang teraktivasi di atas sehingga seseorang menjadi
mudah untuk mengalami gejala – gejala tersebut.7,4
Faktor Psikodinamik
Dihipotesis bahwa pada gangguan stress pasca trauma, terjadi reaktivasi konflik
psikologik yang belum terselesaikan di masa lampau. Dengan adanya peristiwa traumatik
yang dialami, maka konflik – konflik psikologis yang belum diselesaikan itu akan
tereaktivasi kembali. Sistem ego akan kembali teraktivasi dan berusaha untuk mengatasi
masalah dan meredakan kecemasan yang terjadi. Hal – hal yang berkaitan dengan aspek
psikodinamik gangguan stress pasca trauma adalah:
1. Arti subjektif dari stresor yang dialami mungkin menentukan dampak dari peristiwa
traumatik yang dialami oleh seseorang.
2. Kejadian traumatik yang dialami mungkin mereaktivasi konflik – konflik psikologis
pada peristiwa trauma di masa kanak.
3. Peristiwa traumatik akan membuat seseorang gagal untuk meregulasi sistem
afeksinya.
4
4. Refleksi peristiwa traumatik yang dialami mungkin akan timbul dalam somatisasi
atau aleksitimia.
5. Beberapa sistem defensi yang sering digunakan pada individu dengan gangguan
stress pasca trauma adalah penyangkalan, splitting, projeksi, disosiasi, dan rasa
bersalah.
6. Model relasi objek yang digunakan adalah proojeksi dan introjeksi dari berbagai
peran seperti penyelamat yang omnipoten atau korban yang omnipoten. 7,4
V. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis utama gangguan stress pasca trauma adalah mengalami kembali
secara involunter peristiwa traumatik dalam bentuk mimpi atau “bayangan” yang intrusif,
yang menerobos masuk ke dalam kesadaran secara tiba –tiba (kilas balik atau flashback . Hal
ini sering dipicu oleh hal – hal yang mengingatkan penderita akan peristiwa traumatik yang
pernah dialami. Kelompok gejala yang lain adalah tanda – tanda meningkatnya keterjagaan
berupa anxietas yang hebat, iritabilitas, insomnia, dan konsentrasi yang buruk. Anxietas akan
bertambah parah saat terjadi kilas balik. Gejala – gejala disosiatif merupakan kelompok
gejala lainnya berupa kesulitan mengingat kembali bagian – bagian penting dari peristiwa
traumatik, perasaan bukan bagian dari peristiwa itu (detachment), ketidakmampuan untuk
merasakan perasaan (emotional numbness). Kadang – kadang terjadi depersonalisasi dan
derealisasi.
Perilaku menghindar merupakan bagian dari gejala gangguan stress pasca trauma.
Pasien menghindari hal – hal yang dapat mengingatkan dia akan peristiwa traumatik tersebut.
Gejala – gejala depresi kerap kali didapatkan dan penyintas (survivor) sering merasa
bersalah. Perilaku maladaptif sering terjadi berupa rasa marah yang persisten, penggunaan
alkohol atau obat – obat yang berlebihan dan perbuatan mencederai diri yang sebagian
berakhir dengan bunuh diri.1
VI. DIAGNOSIS
Kriteria diagnostik untuk gangguan stress pascatraumatik menurut DSM IV:
1. Orang telah terpapar dengan suatu kejadian traumatik dimana kedua dari berikut ini
terdapat:
a. Orang mengalami, menyaksikan, atau dihadapkan dengan suatu kejadian atau
kejadian – kejadian yang berupa ancaman kematian atau kematian yang
5
sesungguhnya atau cedera yang serius, atau ancaman kepada integritas fisik
diri atau orang lain.
b. Respon orang tersebut berupa rasa takut yang kuat, rasa tidak berdaya atau
horor.
2. Kejadian traumatik secara menetap dialami kembali satu (atau lebih)cara berikut:
a. Rekoleksi yang menderitakan, rekuren, dan mengganggu tentang kejadian,
termasuk angan, pikiran atau persepsi.
b. Mimpi menakutkan berulang tentang kejadian.
c. Berkelakuan atau merasa seakan – akan kejadian traumatik terjadi kembali.
d. Penderitaan psikologis yang kuat saat terpapar dengan tanda internal atau
eksternal yang menyimbolkan atau menyerupai suatu aspek kejadian
traumatik.
e. Reaktivitas psikologis saat terpapar dengan tanda internal atau eksternal yang
menyimbolkan atau menyerupai suatu aspek kejadian traumatik.
3. Penghindaran stimulus yang persisten yang berhubungan dengan trauma dan kaku
karena responsivitas umum (tidak ditemukan sebelum trauma) seperti yang
ditunjukkan oleh tiga (atau lebih) berikut ini:
a. Usaha untuk menghindari pikiran, perasaan atau percakapan yang
beerhubungan dengan trauma.
b. Usaha untuk menjauhi aktivitas, tempat, atau orang yang menimbulkan
rekoleksi dari trauma.
c. Tidak mampu untuk mengingat aspek penting dari trauma.
d. Hilangnya minat atau peran serta yang jelas dalam aktivitas yang bermakna.
e. Merasa terpisah atau lain dari orang – orang di lingkungannya.
f. Rentang afek yang terbatas.
g. Perasaan bahwa masa depan menjadi pendek.
4. Gejala menetap adanya peningkatan kesadaran yang ditunjukkan oleh dua (atau lebih)
berikut :
a. Kesulitan untuk tidur atau tetap tidur.
b. Iritabilitas atau ledakan kemarahan.
c. Sulit berkonsentrasi.
d. Respon kejut yang berlebihan.
e. Lama gangguan (gejala dalam kriteria b, c, d) adalah lebih dari satu bulan.
6
f. Gangguan menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau
gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan atau fungsi penting lain.
Kriteria Diagnostik menurut PPDGJ III (F 43.1):
1. Diagnosis baru ditegakkan bilamana gangguan ini timbul dalam kurun waktu 6 bulan
setelah kejadian traumatik berat (masa laten yang berkisar antara beberapa minggu
sampai beberapa bulan, jangan sampai melampaui 6 bulan).
Kemungkinan diagnosis masih dapat ditegakkan apabila tertundanya waktu mulai saat
kejadian dan onset gangguan melebihi waktu 6 bulan,asal saja manifestasi klinisnya
adalah khas dan tidak terdapat alternatif kategori gangguan lainnya.
2. Sebagai bukti tambahan selain trauma, harus didapatkan bayang- bayang atau mimpi-
mimpi dari kejadian traumatik tersebut secara berulang-ulang kembali (flashbacks)
3. Gangguan otonomik, gangguan afek dan kelainan tingkah laku semuanya dapat
mewarnai diagnosis tetapi tidak khas.
4. Suatu “sequelae” manahun yang terjadi lambat setelah stres syang luar biasa,
misalnya saja beberapa puluh tahun setelah trauma, diklasifikasikan dalam kategori
F62.0 (perubahan kepribadian yang berlangsung lama setelah mengalami katastrofa).9
VII. DIAGNOSA BANDING
Gejala gangguan stress pasca trauma dapat sulit dibedakan dengan gejala gangguan
panik dan gangguan cemas menyeluruh. Hal ini dikarenakan ketiganya berhubungan dengan
kecemasan dan aktivasi gejala autonomik. Kunci untuk membedakan gangguan stress pasca
trauma adalah relasi waktu antara kejadian traumatik dan gejala, dan terngiang-ngiang akan
trauma yang tidak terjadi pada dua kelainan lainnya. Depresi mayor juga sering terjadi
bersamaan dengan gangguan stress pasca trauma. Hal ini perlu dicatat karena akan
mempengaruhi terapi gangguan stress pasca trauma.
Gangguan stress pasca trauma harus dibedakan dengan beberapa kelainan terkait yang
dapat menimbulkan kemiripan seperti borderline personality disorder, dissociative disorder,
dan factitious disorder. Gangguan kepribadian ambang sulit dibedakan dengan gangguan
stress pasca trauma. Dua kelainan sisanya dapat terjadi secara bersamaan atau menjadi
kelainan yang terkait. Pasien dengan gangguan kepribadian dissosial biasanya tidak memiliki
7
kelainan autonom, penghindaran, dan riwayat trauma seperti yang didapatkan pada pasien
dengan gangguan stress pasca trauma.4
VIII. PENATALAKSANAAN
Saat klinisi dihadapkan dengan pasien yang telah mengalami trauma berat,
pendekatan yang dianjurkan adalah dukungan, memberikan semangat untuk mendiskusikan
kejadian tersebut, dan edukasi mengenai mekanisme – mekanisme penenangan diri.
Penggunaan sedatif dan hipnotik biasanya membantu. Pada pasien yang telah mengalami
peristiwa traumatik di masa lalu dan sekarang memiliki gangguan stress pasca trauma,
penatalaksaan harus lebih ditekankan pada edukasi mengenai kelainan dan pengobatannya,
baik farmakologis maupun psikologis.4
Psikoterapi
Psikoterapi yang bersifat psikodinamik biasanya memberikan hasil baik pada pasien
gangguan stress pasca trauma. Pada beberapa kasus, terapi rekonstruksi kejadian dengan
pelepasan dan pembersihan dapat memberikan hasil yang baik, tapi psikoterapi harus
diindividualisasikan karena mengalami kembali kejadian traumatik kadang – kadang
menakutkan pasien. Psikoterapi pada pasien dengan gangguan stress pasca trauma terdiri dari
terapi perilaku, terapi kognitif, dan hipnotis. 4
Adapun berbagai macam teknik psikoterapi pada gangguan stress pasca trauma, yaitu
sebagai berikut :
1. Manajemen ansietas, yaitu mengajarkan berbagai kemampuan kepada pasien untuk
mengurangi stress yakni dengan cara latian relaksasi ( latihan untuk mengurangi
ketegangan berbagai otot), latihan pernapasan ( latihan untuk melakukan
hiperventilasi), berpikir positif, dan melatih untuk berhenti memikirkan segala hal
yang dapat menyebabkan kecemasan.
2. Terapi kognitif, digunakan untuk mengurangi berbagai pikiran dan kepercayaan yang
tidak realistik yang dapat mengganggu fungsi dan emosi pasien. Misalnya pada pasien
korban bencana alam, sebaiknyta diberikan terapi kognitif dengan memberikan
berbagai penjelasan yang realistik sehingga dapat membantu untuk mengurangi
gangguan stress pada pasien.
8
3. Exposure Theraphy, membantu pasien dengan mengkonfrontasikan berbagai situasi
yang dialami sebelumnya, baik itu orang, objek, ingatan, atau emosi yang
berhubungan dengan stressor pasien.
4. Play Theraphy, diugunakan pada anak-anak berupa permainan yang dapat
memberikan dan mengarahkan anak pada stressor dengan cara perlahan-lahan,
sehingga tidak memperburuk stress yang dialami.
5. Psikoedukasi, yaitu dengan mengedukasikan kepada pasien dan keluarga pasien
tentang gejala-gejala dan berbagai pengobatan pada gangguan stress pasca trauma.
Adapun teknik-teknik psikoterapi tersebut digunakan sesuai dengan gejala-gejala yang
timbul pada pasien, yang tampak pada tabel dibawah ini :
Tabel 1. Teknik Psikoterapi berdasarkan gejala target
9
Adapun teknik psikoterapi berdasarkan umur adalah sebagai berikut :
Tabel 2. Teknik psikoterapi terbaik yang digunakan berdasarkan umur11
Dari berbagai macam psikoterapi untuk gangguan stress pasca trauma, yang paling
diterima adalah psikoterapi kognitif – perilaku. Teknik spesifik pada terapi ini adalah dengan
pengeksposan dan restrukturisasi kongnitif. Terapi pengeksposan berfungsi untuk membantu
pasien menghadapi dan mengontrol terhadap ketakutan dan kesakitan yang sangat pada
trauma, dan harus dilakukan dengan sangat hati – hati, jangan sampai membuat pasien
menjadi semakin trauma. Pada sebagian kasus, seluruh trauma dapat dihadapi bersamaan
(“flooding”), sedangkan pada sebagian kasus pasien lebih memilih untuk menghadapi trauma
satu per satu dari trauma terkecil sehingga yang terparah dengan teknik relaksasi
(“desensitization”). Termasuk dalam restrukturisasi kognitif adalah mengidentifikasi cara
berpikir, merasakan, dan sikap yang tidak rasional (tapi dapat dimengerti) yang muncul
setelah kejadian traumatik. Psikoterapi kognitif – perilaku tambahan adalah dengan
mempelajari teknik untuk menghadapi kecemasan.10
Selain dari psikoterapi kognitif – perilaku, teknik psikoterapi lainnya adalah
psikoterapi berkelompok. Teknik ini baik digunakan pada pasien gangguan stress pasca
trauma dengan trauma perang seperti para veteran Vietnam. 10 Psikoterapi lainnya yang
bersifat kontroversial adalah eye movement desensitization and reprocessing (EMDR)
dimana pasien memfokuskan pada pergerakan ke lateral jari klinisi sambil mempertahankan
gambaran mental mengenai traumanya. Masyarakat umum mempercayai bahwa gejala dapat
dihilangkan bila pasien melewati peristiwa traumatik tersebut dengan relaksasi dalam. Pasien
10
– pasien yang telah melakukan terapi ini mengatakan bahwa terapi ini sangat efektif dan
mereka lebih memilih terapi ini untuk penyembuhan mereka.4
Farmakoterapi
Bukti efikasi obat tertentu untuk gangguan stress pasca trauma masih terbatas,
meskipun kondisi komorbiditas harus diobati dengan intervensi spesifik.1
Selective Serotinin Reuptake Inhibitor (SSRI) dianggap sebagai lini pertama yang
dapat menghilangkan gejala – gejala gangguan stress pasca trauma.
Trisiklik belum terbukti memberikan hasil yang baik untuk penanganan gangguan
stress pasca trauma, walaupun begitu, pasien yang memberi hasil positif terhadap obat
ini sebaiknya mengkonsumsi obat ini selama satu tahun sebelum dilakukan usaha
untuk menraik obat.
Benzodiazepin dan Monoamine Oxidase Inhibitor (MAOI) belum terbukti
memberikan hasil yang baik untuk terapi gangguan stress pasca trauma.
Antipsikotik hanya digunakan sebagai kontrol jangka pendek untuk sikap agresif yang
berat dan agitasi. Hampir tidak ada data positif mengenai penggunaan antipsikotik
pada penderita gangguan stress pasca trauma.4
Pada terapi farmakologi, adapun terapi yang digunakan berdasarkan keefektifan dan
keamanan penderita adalah sebagai berikut:
Tabel 3. Terapi farmakologi berdasarkan keektifan dan keamanannya
11
Adapun berbagai obat yang digunakan pada gangguan stress pada pasca trauma
berdasarkan gejala klinis yang menonjol pada pasien.
Tabel 4. Terapi farmakologi berdasarkan gejala yang menonjol pada pasien
12
Adapun dosis yang direkomendasikan adalah sebagai berikut :
IX. PROGNOSIS
Sampai 50% kasus akan pulih pada tahun pertama, namun sampai 30% perjalanan
penyakitnya akan kronis. Tampaknya hasilnya bergantung pada keparahan gejala awal.
Pemulihan akan dibantu dengan: dukungan sosial yang baik, tidak ada tanggapan negatif dari
orang lain, tidak ada mekanisme coping yang maladaptif, serta tidak adanya peristiwa
traumatik berikutnya, termasuk kesehatan fisik, disabilitas, kecacatan, relasi yang terputus,
masalah keuangan dan proses hukum.1
Kebanyakan individu yang menjalani terapi medik dan psikiatrik yang sesuai dan
sembuh sempurna (atau hampir sempurna). Walaupun begitu, ada individu yang mengalami
gejala yang semakin parah dan bunuh diri bahkan dengan terapi yang intensif. Pada pasien
gangguan stress pasca trauma yang menjalani pengobatan, gejala bertahan rata – rata dalam
36 bulan, dibandingkan dengan 64 bulan pada pasien yang tidak mendapat terapi. Walaupun
begitu, lebih dari sepertiga pasien yang menderita gangguan stress pasca trauma tidak pernah
sembuh sempurna.3
BAB III13
KESIMPULAN
Gejala – gejala gangguan stress pasca trauma timbul sebagai akibat dari
respons biologik dan juga psikologik seorang individu. Kondisi ini terjadi oleh karena
aktivasi dari beberapa sistem di otak yang berkaitan dengan timbulnya perasaan takut pada
seseorang. 7 Pada pasien yang mengalami gangguan stress pasca trauma terdapat gangguan
faktor biologis, dimana dihipotesis terjadi hipersensitivitas dari ketiga sistem yang teraktivasi
(sistem saraf simpatis, parasimpatis, dan aksis HPA) sehingga seseorang menjadi mudah
untuk mengalami gejala – gejala tersebut. Pada gangguan faktor psikologik, dihipotesis
bahwa pada gangguan stress pasca trauma, terjadi reaktivasi konflik psikologik yang belum
terselesaikan di masa lampau. Dengan adanya peristiwa traumatik yang dialami, maka
konflik – konflik psikologis yang belum diselesaikan itu akan tereaktivasi kembali.7,4
Manifestasi klinis utama gangguan stress pasca trauma adalah mengalami kembali
secara involunter peristiwa traumatik dalam bentuk mimpi atau “bayangan” yang intrusif,
yang menerobos masuk ke dalam kesadaran secara tiba –tiba (kilas balik atau flashback . Hal
ini sering dipicu oleh hal – hal yang mengingatkan penderita akan peristiwa traumatik yang
pernah dialami.1
Pada pasien yang telah mengalami peristiwa traumatik di masa lalu dan
sekarang memiliki gangguan stress pasca trauma, penatalaksaan harus lebih ditekankan pada
edukasi mengenai kelainan dan pengobatannya, baik farmakologis maupun psikologis.4
Prognosis gangguan stress pasca trauma bergantung pada keparahan gejala awal,
faktor lingkungan, dan terapi yang diterima pasien. Jika ketiga hal tersebut dipenuhi dengan
baik, maka prognosis pasien baik.
14
DAFTAR PUSTAKA
1. Maramis, W. F.; Albert A. Maramis. 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Ed 2;
Surabaya: Airlangga University Press.
2. Dorland, W. A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland. Ed. 29. Jakarta: ECG.
3. T Allen Gore, MD, MBA, CMCM, DFAPA. 2011. Posttraumatic Stress Disorder.
[cited 3 April 2012]. Available from: http://www.emedicinehealth.com/post-
traumatic_stress_disorder_ptsd/article_em.htm
4. Kaplan, H. I., dkk. 2007. Synopsis of Psychiatry Behavioral Sciences/Clinical
Psychiatry. Ed 10. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
5. Jaimie L. Gradus, DSc, MPH. 2007. Epidemiology of PTSD. [cited 3 April 2012].
Available from: http://www.ptsd.va.gov/professional/pages/epidemiological-facts-
ptsd.asp
6. E. N. Agustini BN, I. Asniar BN MN4, H. Matsuo MD PhD. 2011. The prevalence of
long-term post-traumatic stress symptoms among adolescents after the tsunami in
Aceh. Journal. [cited 3 April 2012]. Available from:
http://pubget.com/paper/21749561
7. Elvira, S. D., dkk. 2010. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: FKUI.
8. Frances, A., M. D., Pincus, H. A., M. D., dkk. 1994. Diagnostic and Statistical
Manual of Mental Disorders. Ed 4. Washington DC: American Psychiatric
Association.
9. Maslim, R., 2001. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa. Jakarta: Bagian Ilmu
Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya.
10. Cohen, H., Ph. D., 2008. Psychotherapy Treatment for PTSD. [cited 4 April 2012].
Available from: http://psychcentral.com/lib/2006/treatment-of-ptsd/
11. Edna Foa, Jonathan Davidson, Allen Frances. The Expert Consensus Guideline
Series, Treatment of Posttraumatic Stress Disorder. The Journal of Clinical Psikiatry,
Volume 60. 1999.
15