Gangguan Cemas Menyeluruh Resume
-
Upload
tsrulianty -
Category
Documents
-
view
140 -
download
21
Transcript of Gangguan Cemas Menyeluruh Resume
GANGGUAN CEMAS MENYELURUH
A. DEFINISI
Gangguan Cemas Menyeluruh (Generalized Anxiety Disorder)
merupakan salah satu jenis gangguan kecemasan dengan karakteristik
kekhawatiran yang tidak dapat dikuasai dan menetap, biasanya terhadap
hal-hal yang sepele/tidak utama. Individu dengan gangguan cemas
menyeluruh akan terus menerus merasa khawatir tentang hal-ha yang
kecil/sepele. 1,2
Menurut DSM-IV yang dimaksud gangguan cemas menyeluruh
adalah suatu keadaan ketakutan atau kecemasan yang berlebih-lebihan,
dan menetap sekurang kurangnya selama enam bulan mengenai sejumlah
kejadian atau aktivitas disertai oleh berbagai gejala somatik yang
menyebabkan gangguan bermakna pada fungsi sosial, pekerjaan, dan
fungsi - fungsi lainnya Sedangkan menurut ICD-10 gangguan ini
merupakan bentuk kecemasan yang sifatnya menyeluruh dan menatap
selama beberapa minggu atau bulan yang ditandai oleh adanya kecemasan
tentang masa depan, ketegangan motorik, dan aktivitas otonomik yang
berlebihan. 1,2
B. EPIDEMIOLOGI
Gangguan cemas menyeluruh merupakan gangguan anxietas yang
paling sering dijumpai, diklinik, diperkirakan 12 % dari seluruh gangguan
anxietas. Prevalensinya di masyarakat diperkirakan 3 %, dan prevelansi
seumur hidup (life time) rata-rata 5 %. Di Indonesia prevalensinya secara
pasti belum diketahui, namun diperkirakan 2% -5%. Gangguan ini lebih
sering dijumpai pada wanita dengan ratio 2 : 1, namun yang datang
meminta pengobatan rationya kurang lebih sama atau 1 :1 antara laki-laki
dan wanita.3
C. ETIOLOGI
Etiologi dari gangguan ini belum diketahui secara pasti, namun diduga dua
faktor yang berperan terjadi di dalam gangguan ini yaitu, factor biologic
dan psikologik. Faktor biologik yang berperan pada gangguan ini adalah
‘’neurotransmitter’’.Ada tiga neurotransmitter utama yang berperan pada
gangguan ini yaitu, norepinefrin ,serotonin, dan gamma amino butiric acid
atau GABA . Namun menurut Iskandar neurotransmitter yang memegang
peranan utama pada gangguan cemas menyeluruh adalah serotonin,
sedangkan norepinefrin terutama berperan pada gangguan panik. 1
Dugaan akan peranan norepinefrin pada gangguan cemas didasarkan
percobaan pada hewan primata yang menunjukkan respon kecemasan pada
perangsangan locus sereleus yang ditunjukan pada pemberian obat-obatan
yang meningkatkan kadar norepinefrin dapat menimbulkan tanda-tanda
kecemasan, sedangkan obat-obatan menurunkan kadar norepinefrin akan
menyebabkan depresi. 1
Peranan Gamma Amino Butiric Acid pada gangguan ini berbeda dengan
norepinefrin. Norepinefrin bersifat merangsang timbulnya anxietas,
sedangkan Gamma Amino Butiric Acid atau GABA bersifat menghambat
terjadinya anxietas ini.
Pengaruh dari neutronstransmitter ini pada gangguan anxietas didapatkan
dari peranan benzodiazepin pada gangguan tersebut. Benzodiazepin dan
GABA membentuk “GABABenzodiazepin complex”yang akan
menurunkan anxietas atau kecemasan. Penelitian pada hewan primata yang
diberikan suatu agonist inverse benzodiazepine Beta- Carboline-
Carboxylic-Acid (BCCA) menunjukkan gejala-gejala otonomik gangguan
anxietas. 1,3
Mengenai peranan serotonin dalam gangguan anxietas ini didapatkan dari
hasil pengamatan efektivitas obat-obatan golongan serotonergik terhadap
anxietas seperti buspiron atau buspar yang merupakan agonist reseptor
serotorgenik tipe 1A (5-HT 1A).Diduga serotonin mempengaruhi reseptor
GABA-Benzodiazepin complex sehingga ia dapat berperan sebagai anti
cemas. Kemungkinan lain adalah interaksi antara serotonin dan
norepinefrin dalam mekanisme anxietas sebagai anti cemas. 1
Sehubungan dengan faktor-faktor psikolgik yang berperan dalam
terjadinya anxietas ada tiga teori yang berhubungan dengan hal ini, yaitu :
teori psikoanalitik, teori behavorial, dan teori eksistensial. Menurut teori
psiko-analitik terjadinya anxietas ini adalah akibat dari konflik
unconscious yang tidak terselesaikan. Teori behavior beranggapan bahwa
terjadinya anxietas ini adalah akibat tanggapan yang salah dan tidak teliti
terhadap bahaya. Ketidaktelitian ini sebagai akibat dari perhatian mereka
yang selektif pada detil-detil negative dalam kehidupan, penyimpangan
dalam proses informasi, dan pandangan yang negative terhadap
kemampuan pengendalian dirinya . Teori eksistensial bependapat bahwa
terjadinya anxietas adalah akibat tidakadanya rangsang yang dapat
diidentifikasi secara spesifik. Ketiadaan ini membuat orang menjadi sadar
akan kehampaannya di dalam kehidupan ini . 1,4
D. FAKTOR RESIKO
Faktor predisposisi adalah faktor yang mempengaruhi jenis dan jumlah
sumber yang dapat digunakan individu untuk mengatasi stres (Stuart &
Laraia, 2005)
1. Biologi
Model biologis menjelaskan bahwa ekpresi emosi melibatkan
struktur anatomi di dalam otak (Fortinash, 2006). Aspek biologis yang
menjelaskan gangguan ansietas adalah adanya pengaruh neurotransmiter.
Tiga neurotransmiter utama yang berhubungan dengan ansietas adalah
norepineprin, serotonin dan gamma-aminobutyric acid (GABA)
2. Psikologis
Stuart dan Laraia (2005) menjelaskan bahwa aspek psikologis
memandang ansietas adalah konflik emosional yang terjadi antara dua
elemen kepribadian yaitu id dan superego.
Menurut Tarwoto dan Wartonah (2003), maturitas individu, tipe
kepribadian dan pendidikan juga mempengaruhi tingkat ansietas
seseorang. Suliswati, dkk., (2005) memaparkan bahwa ketegangan dalam
kehidupan yang dapat menimbulkan ansietas diantaranya adalah peristiwa
traumatik individu baik krisis perkembangan maupun situasional seperti
peristiwa bencana, konflik emosional individu yang tidak terselesaikan
dengan baik, konsep diri terganggu.
3. Sosial budaya
Suliswati, dkk., (2005) menerangkan bahwa riwayat gangguan
ansietas dalam keluarga akan mempengaruhi respon individu dalam
berespon terhadap konflik dan cara mengatasi ansietas. Tarwoto dan
Wartonah (2003) memaparkan jika sosial budaya, potensi stres serta
lingkungan merupakan faktor yang mempengaruhi terjadinya ansietas.
E. PATOFISIOLOGI
Upaya untuk menjelaskan penyebab dari munculnya gangguan
kecemasan, Accocella dkk (1976) memaparkan dari beberapa sudut
pandang teori. Menurut para ahli psikofarmaka, Gangguan Kecemasan
Menyeluruh bersumber pada neurosis, bukan dipengaruhi oleh ancaman
eksternal tetapi lebih dipengaruhi oleh keadaan internal individu.1,2,5
Sebagamana diketahui, Sigmund Freud sebagai bapak dari
pendekatan psikodinamika mengatakan bahwa jiwa individu diibaratkan
sebagai gunung es. Bagian yang muncul dipermukaan dari gunung es itu,
bagian terkecil dari kejiwaan yang disebut sebagai bagian kesadaran.
Agak di bawah permukaan air adalah bagian yang disebut pra-kesadaran,
dan bagian yang terbesar dari gunung es tersebut ada di bawah sekali dari
permukaan air, dan ini merupakan alam ketidaksadaran
(uncounsciousness). Ketidaksadaran ini berisi ide, yaitu dorongan-
dorongan primitif, belum dipengaruhi oleh kebudayaan atau peraturan-
peraturan yang ada dilingkungan. Dorongan-dorongan ini ingin muncul ke
permukaan/ ke kesadaran, sedangkan tempat di atas sangat terbatas. Ego,
yang menjadi pusat dari kesadaran, harus mengatur dorongan-dorongan
mana yang boleh muncul dan mana yang tetap tinggal di ketidaksadaran
karena ketidaksesuaiannya dengan superego, yaitu salah satu unit pribadi
yang berisi norma-norma sosial atau peraturan-peraturan yang berlaku di
lingkungan sekitar. Jika ternyata ego menjadi tidak cukup kuat menahan
desakan atau dorongan ini maka terjadilah kelainan-kelainan atau
gangguan-gangguan kejiwaan. Neurosis adalah salah satu gangguan
kejiwaan yang muncul sebagai akibat dari ketidakmampuan ego menahan
dorongan ide.1
Jadi, individu yang mengalami Gangguan Kecemasan
Menyeluruh, menurut pendekatan psikodinamika berakar dari
ketidakmampuan egonya untuk mengatasi dorongan-dorongan yang
muncul dari dalam dirinya secara terus menerus sehingga ia akan
mengembangkan mekanisme pertahanan diri. Mekanisme pertahanan diri
ini sebenarnya upaya ego untuk menyalurkan dorongan dalam dirinya dan
bisa tetap berhadapan dengan lingkungan. Tetapi jika mekanisme
pertahanan diri ini dipergunakan secara kaku, terus-menerus dan
berkepanjangan maka hal ini dapat menimbulkan perilaku yang tidak
adaptif dan tidak realistis.1
Ada beberapa mekanisme pertahanan diri yang bisa dipergunakan oleh
individu, antara lain1:
1. Represi, yaitu upaya ego untuk menekan pengalaman yang tidak
menyenangkan dan dirasakan mengancam ego masuk ke ketidaksadaran
dan disimpan di sana agar tidak menganggu ego lagi. Tetspi sebenarnya
pengalaman yang sudah disimpan itu masih punya pengaruh tidak langsung
terhadap tingkahlaku si individu.
2. Rasionalisasi, yaitu upaya ego untuk melakukan penalaran sedemikian rupa
terhadap dorongan-dorongan dalam diri yang dilarang tampil oleh superego,
sehingga seolah-olah perilakunya dapat dibenarkan.
3. Kompensasi, upaya ego untuk menutupi kelemahan yang ada di salah satu
sisi kehidupan dengan membuat prestasi atau memberikan kesan sebaliknya
pada sisi lain. Dengan demikian, ego terhindar dari ejekan dan rasa rendah
diri.
4. Penempatan yang keliru, yaitu upaya ego untuk melampiaskan suatu
perasaan tertentu ke pihak lain atau sumber lain karena tidak dapat
melampiaskan perasaannya ke sumber masalah.
5. Regresi, yaitu upaya ego untuk menghindari kegagalan-kegagalan atau
ancaman terhadap ego dengan menampilkan pikiran atau perilaku yang
mundur kembali ke taraf perkembangan yang lebih rendah.
Para ahli dari aliran humanistik-eksternal mengatakan bahwa konsep
kecemasan bukan hanya sekedar masalah, yang bersifat individual tetapi
juga merupakan hasil konflik antara individu dengan masyarakat atau
lingkungan sosialnya.1
Jika individu melihat perbedaan yang sangat luas antara pandangannya
tentang dirinya sendiri dengan yang diinginkan maka akan`muncul perasaan
inadekuat dalam menghadapi tantangan di kehidupan ini, dan hal ini
menghasilkan kecemasan. Jadi menurut pandangan humanis eksternalis,
pusat kecemasan adalah konsep diri, yang terjadi sehubungan dengan
adanya gap antara konsep diri yang sesungguhnya (real self) dan diri yang
diinginkan (idea self). Hal ini muncul sehubungan tidak adanya kesempatan
bagi individu untuk mengaktualisasikan` dirinya sehingga
perkembangannya menjadi terhalang. Akibatnya, dalam menghadapi
tantangan atau kendala dalam menjalani hari-hari, di kehidupan selanjutnya,
ia akan mengalami kesulitan untuk membentuk konsep diri yang positif.
Setiap kita sebenarnya perlu mengembangkan suatu upaya untuk menjadi
diri sendiri (authenticity), sedangkan indivisu yang neurotis, atau
mengalami gangguan kecemasan adalah individu yang gagal menjadi diri
sendiri (inauthenticity) karena mereka mengembangkan konsep diri yang
keliru/palsu
Sementara para ahli dari pendekatan behavioristik mengatakan bahwa
kecemasan muncul karena terjadi kesalahan dalam belajar, bukan hasil dari
konflik intrapsikis, individu belajar menjadi cemas. Ada 2 tahapan belajar
yang berlangsung dalam diri individu yang menghasilkan kecemasan yaitu:1
1. Dalam pengalaman individu, beberapa stimulus netral tidak berbahaya
atau tidak menimbulkan kecemasan, dihubungkan dengan stimulus yang
menyakitkan (aversive) akan menimbulkan kecemasan (melalui
respondent condotioning)
2. Individu yang menghindar dari stimulus yang sudah terkondisi, dan
sejak penghindaran ini menghasilkan pembebasan/terlepas dari rasa
cemas, maka respon menghindar ini akan menjadi kebiasaan (melalui
operant conditioning)
Dari sudut pandang kognitif, gangguan kecemasan terjadi karena adanya
kesalahan dalam mempersepsikan hal-hal yang menakutkan. Berdasarkan
dari teori kognitif, masalah yang terjadi dari individu yang mengalami
gangguan kecemasan adalah terjadinya kesalahan persepsi atau kesalahan
interpretasi terhadap stimulus internal maupun eksternal. Indivisu yang
mengalami gangguan kecemasan akan melihat suatu hal yang tidak benar-
benar mengancam sebagai sesuatu yang mengancam. Jika individu
mengalami pengalaman sensasi dalam tubuh yang tidak biasa, lalu
mengintepretasikannya sebagai sensasi yang bersifat catastropic, yaitu suatu
gejala bahwa ia sedang mengalami sesuatu hal seperti serangan jantung,
maka akan timbul rasa panik.
F. GEJALA KLINIS
Gejala utama dari ganguan anxietas adalah rasa cemas, ketegangan
motorik, hiperaktivitas otonomik, dan kewaspadaan kognitif. Kecemasan
berlebihan dan mengganggu aspek lain kehidupan pasien.
Gejala klinis Gangguan Cemas Menyeluruh meliputi: 5,6
• Penderita menunjukkan anxietas sebagai gejala primer yang berlangsung
hampir setiap hari untuk beberapa minggu sampai bulan, yang tidak
terbatas atau hanya menonjol pada keadaan situasi khusus tertentu saja
(free floating atau mengambang)
• Gejala-gejala tersebut biasanya mencakup unsur-unsur berikut:
- Kecemasan (khawatir akan nasib buruk seperti berada di ujung tanduk,
sulit berkonsentrasi, dll)
- Ketegangan motorik (gelisah, gemetaran, sakit kepala, tidak dapat
santai,
dsb)
- Overaktivitas otonomik (terasa ringan, berkeringat, takikardi, takipnea,
jantung berdebar-debar, sesak napas, epigastrik, pusing kepala, mulut
kering, dan gangguan lainnya)
• Pada anak-anak sering terlihat adanya kebutuhan berlebihan untuk
ditenangkan serta keluhan somatik berulang yang menonjol
• Adanya gejala-gejala lain yang sifatnya sementara (untuk beberapa hari),
khususnya depresi, tidak membetalkan diagnosis utama Gangguan
anxietas
menyeluruh, selema hal tersebut tidak memenuhi kriteria lengkap dari
episode depresi, gangguan anxietas fobik, gangguan panik atau gangguan
obsesif kompulsif.
G. PENEGAKAN DIAGNOSIS
Diagnosis Gangguan Cemas Menyeluruh (DSM-IV halaman 435,
300.02) ditegakkan bila terdapat kecemasan kronis yang lebih berat
(berlangsung lebih dari 6 bulan; biasanya tahunan dengan gejala
bertambah dan kondisi melemah) dan termasuk gejala seperti respons
otonom (palpitasi, diare, ekstremitas lembab, berkeringat, sering buang air
kecil), insomnia, sulit berkonsentrasi, rasa lelah, sering menarik nafas,
gemetaran, waspada berlebihan, atau takut akan sesuatu yang akan terjadi.
Ada kecenderungan diturunkan dalam keluarga, memiliki komponen
genetik yang sedang dan dihubungkan dengan fobia sosial dan sederhana
serta depresi mayor (terdapat pada 40% atau lebih pasien; meningkatkan
resiko bunuh diri. Biasanya pada kondisi ini tidak`ditemukan etiologi stres
yang jelas, tetapi harus dicari penyebabnya.1,2
Diagnosis gangguan cemas menyeluruh menurut PPDGJ-III ditegakkan
berdasarkan :5
Penderita harus menunjukkan anxietas sebagai gejala primer yang
berlangsung hampir setiap hari untuk beberapa minggu sampai beberapa
bulan, yang tidak terbatas atau hanya menonjol pada keadaan situasi
khusus tertentu saja (sifatnya “free floating” atau “mengambang”).
Gejala-gejala tersebut biasanya mencakup unsur-unsur berikut:
1. Kecemasan (khawatir akan nasib buruk, merasa seperti di ujung
tanduk, sulit berkonsentrasi, dsb)
2. Ketegangan motorik (gelisah, sakit kepala, gemetaran, tidak dapat
santai); dan
3. Overaktivitas otonomik (kepala terasa ringan, berkeringat, jantung
berdebar-debar, sesak napas, keluhan lambung, pusing kepala, mulut
kering, dsb)
Adanya gejala-gejala lain yang sifatnya sementara (untuk beberapa hari),
khususnya depresi, tidak membatalkan diagnosis utama Gangguan
Anxietas Menyeluruh, selama hal tersebut tidak memenuhi kriteria
lengkap dari episode depresif (F.32.-), gangguan anxietas fobik (F.40.-),
gangguan panik (F42.0), atau gangguan obsesif-kompulsif (F.42.-) 2
H. MANAGEMENT
Pengobatan yang paling efektif untuk pasien dengan kecemasan
menyeluruh adalah pengobatan yang mengkombinasikan psikoterapi dan
farmakoterapi. Pengobatan mungkin memerlukan cukup banyak waktu
bagi klinisi yang terlibat.1,5,6
Angka-angka keberhasilan terapi yang tinggi dilaporkan pada
kasus-kasus dengan diagnosis dini. Psikoterapi yang sederhana sangat
efektif, khususnya dalam konteks hubungan pasien dengan dokter yang
baik, sehingga dapat membantu mengurangi farmakoterapi yang tidak
perlu.1,6, 8
Penanganan dengan psikoterapi juga dapat dijelaskan melalui
pendekatan psikodinamika, humanistik eksistensialis atau pendekatan
behavioristik maupun kognitif.1
Pendekatan psikoterapi untuk gangguan kecemasan menyeluruh
meliputi : 1,6
a) Terapi kognitif perilaku, terapi ini memiliki keunggulan jangka panjang
dan
jangka pendek. Pendekatan kognitif secara langsung menjawab distorsi
kognitif pasien dan pendekatan perilaku menjawab keluhan somatik
secara langsung. Teknik utama yang digunakan pada pendekatan
behavioral : relaksasi dan biofeedback
b) Terapi suportif, terapi yang menawarkan ketentraman dan kenyamanan
bagi pasien, menggali potensi yang ada dan belum tampak, mendukung
egonya, agar pasien lebih bisa beradaptasi optimal dalam fungsi sosial
dan
pekerjaaan
c) Terapi berorientasi tilikan, memusatkan untuk mengungkapkan konflik
bawah sadar dan mengenali kekuatan ego pasien. Mengajak pasien
untuk
mencapai penyingkapan konflik bawah sadar, menilik egostrength,
relasiu
objek, serta keutuhan self pasien. Dari pemahaman akan komponen
tersebut, terapis memperkirakan sejauh mana pasien dapat diubah untuk
menjadi lebih matur. Bila tidak tercapai, setidaknya terapis
memfasilitasi
pasien agar dapat beradaptasi dalam fungsi sosial dan pekerjaannya
Menurut para ahli psikodinamika, karena gangguan ini berakar
pada keadaan internal individu sehubungan dengan adanya konflik
intrapsikis yang dialami individu sehingga ia mengembangkan suatu
bentuk mekanisme pertahanan diri, maka upaya menanganinya juga
terarah pada pemberian kesempatan bagi individu untuk mengeluarkan
seluruh isi pikiran atau perasaan yang muncul di dalam dirinya.
Asumsinya adalah jika individu bisa menghadapi dan memahami konflik
yang dialami, ego akan lebih bebas dan tidak harus terus berlindung di
balik mekanisme pertahanan diri yang dikembangkannya.1
Teknik dasar yang digunakan disebut free association, individu
diminta untuk menjelaskan secara sederhana tentang hal-hal yang ada di
dalam pikirannya, tanpa melihat apakah itu logis atau tidak, tepat atau
tidak, ataupun pantas atau tidak. Hal-hal dari alam bawah sadar atau tidak
sadar yang diungkapkan akan dicatat oleh terapis untuk diinterpretasikan.
Tehnik ini juga bisa dimanfaatkan saat menggunakan teknik dream
interpretation; individu diminta untuk menceritakan mimpinya secara
detail dan tepat. Kedua teknik ini memiliki kelebihan dan kelemahan
masing-masing. Dalam melaksanakan teknik-teknik tersebut di atas, ada
dua hal yang biasanya muncul, yaitu apa yang disebut dengan resistance
(yaitu individu bertahan dan beradu argumen dengan terapis saat terapis
mulai sampai pada bagian sensitif), dan transference (yaitu individu
mengalihkan perasaannya pada terapis dan menjadi bergantung.1,5
Sementara para ahli dari pendekatan humanistik eksistesialis yang
melihat kecemasan sebagai hasil konflik diri yang terkait dengan keadaan
sosial dimana pengembangan diri menjadi terhambat, maka mereka lebih
menyarankan untuk membangun kembali diri yang rusak (damaged self).
Tekhniknya sering disebut sebagai client centered therapy yang
berpendapat bahwa setiap individu memiliki kemampuan yang positif
yang dapat dikembangkan sehingga ia membutuhkan situasi yang
kondusif untuk mengeksplorasi dirinya semaksimal mungkin.1,7
Setiap permasalahan yang dihadapi setiap individu sebenarnya
hanya dirinyalah yang paling mengerti tentang apa yang sedang
dihadapinya. Oleh karena itu, individu itu sendirilah yang paling berperan
dalam menyelesaikan permasalahan yang mengganggu dirinya.1,7
Karena para ahli melihat kecemasan sebagai sebagai hasil dari
belajar (belajar menjadi cemas) maka untuk menanganinya perlu
dilakukan pembelajaran ulang agar terbentuk pola perilaku baru, yaitu
pola perilaku yang tidak cemas.1,7
Teknik yang digunakan untuk mengurangi kecemasan adalah
systematic desentisitization, yaitu mengurangi kecemasan dengan
menggunakan konsep hirarki ketakutan, menghilangkan ketakutan secara
perlahan-lahan mulai dari ketakutan yang sederhana sampai ke hal yang
lebih kompleks. Pemberian reinforcement (penguat) juga dapat digunakan
dengan secara tepat memberikan variasi yang tepat antara pemberian
reward- jika ia memperlihatkan perilaku yang mengarah keperubahan
ataupun punishment – jika tidak ada perubahan perilaku atau justru
menampilkan perilaku yang bertolak belakang dengan rencana perubahan
perilaku. Adanya model yang secara nyata dapat dilihat dan menjadi
contoh langsung kepada individu juga efektif dalam upaya melawan
pikiran-pikiran yang mencemaskan.7
Pendekatan kognitif yang melihat gangguan kecemasan sebagai
hasil dari kesalahan dalam mempersepsikan ancaman (misperception of
threat) menawarkan upaya mengatasinya dengan mengajak individu
berpikir dan mendesain suatu pola kognitif baru. David Clark dkk (dalam
Acocella dkk, 1996) mengembangkan desain kognitif yang melibatkan 3
bagian yaitu1 :
1. Identifikasi interpretasi negatif yang dikembangkan individu tentang
sensasi tubuhnya
2. Tentukan dugaan atau asumsi dan arahkan alternatif intrepretasi, yang
noncatastropic.
3. Bantu individu menguji validitas penjelasan dan alternatif-alternatif
tersebut.
Dengan kata lain, para ahli dari pendekatan kognitif ini menyatakan bahwa
tujuan dari terapi sebagai upaya menangani gangguan kecemasan adalah
membantu individu melakukan intrepretasi sensasi tubuh dengan cara yang
noncatastropic1.
Dalam beberapa hal, penanganan terhadap penderita gangguan
kecemasan tidak selalu hanya berpegang pada satu tehnik saja, atau hanya
mengikuti pendapat salah satu ahli dari suatu pendekatan saja. Terapi yang
diberikan dapat sekaligus dengan menggunakan lebih dari satu pendekatan
atau lebih dari satu tehnik, asalkan tujuannya jelas dan tahapan-tahapannya
juga terinci.1
Pertimbangkan penggunaan obat-obatan maupun psikoterapi. Anti
depresan yang baru, venlafaksin XR, tampaknya cukup efektif dan aman
untuk pengobatan gangguan cemas menyeluruh. Gunakan benzodiazepin
dengan tidak berlebihan(diazepam, 5 mg per oral, 3-4 kali sehari atau 10 mg
sebelum tidur) untuk jangka pendek(beberapa minggu hingga beberapa
bulan); biarkan penggunaan obat-obatan untuk mengikuti perjalanan
penyakitnya. Pertimbangkan pemberian buspiron untuk pengobatan awal
atau untuk pengobatan kronis (20-30 mg/hari dalam dosis terbagi). Pasien
tertentu yang telah terbiasa dengan efek cepat benzodiazepin akan merasakan
kurangnya efektivitas buspiron. Anti depresan trisiklik, SSRI, dan MAOI
bermanfaat terhadap pasien-pasien tertentu (terutama bagi mereka yang
disertai dengan depresi). Sedangkan pasien dengan gejala otonomik akan
membaik dengan β-bloker (misal, propanolol 80-160 mg/hari). 7
Tabel 2. Sediaan Obat Anti-Anxietas dan Dosis Anjuran (menurut IiMS Vol.
30-2001)8
No Nama Generik Nama Dagang Sediaan Dosis
Anjuran
1. Diazepam Diazepin
Lovium
Stesolid
Tab. 2-5 mg
Tab. 2-5 mg
Tab. 2-5 mg
Amp.
10mg/2cc
10-30 mg/h
2. Chlordiazepoxide Cetabrium
Arsitran
Tensinyl
Drg. 5-10 mg
Tab. 5 mg
Cap. 5 mg
15-30 mg/h
3. Lorazepam Ativan
Renaquil
Tab. 0,5-1-2
mg
Tab. 1 mg
2-3 x 1 mg/h
4. Clobazam Frisium Tab. 10 mg 2-3 x 1m
mg/h
5. Alprazolam Xanax
Alganax
Tab. 0,25-0,5
mg
Tab. 0,25-0,5
mg
0,75-1,50
mg/h
6. Sulpiride Dogmatil Cap. 50 mg 100-200 mg/h
7. Buspirone Buspar Tab. 10 mg 15-30 mg/h
8. Hydroxyzine Iterax Caplet 25 mg 3x25 mg/h
Obat anti-anxietas Benzodiazepine yang bereaksi dengan
reseptornya (benzodiazepine receptors) akan meng-reinforce “the
inhibitory action of GABA-ergic neuron”, sehingga hiperaktivitas tersebut
di atas mereda.8
Dorong rasa percaya diri, rumatan aktivitas produktif, dan kognisi
yang berdasarkan pada realita. Latihlah pasien dengan teknik relaksasi
(misal biofeedback, meditasi, otohipnotis). Lebih dari 50% pasien
menjadi asimtomatik seiring berjalannya waktu, tetapi sisanya memberat
pada derajat hendaya yang bermakna. Bantulah pasien untuk memahami
akan sifat kronis penyakitnya dan mengerti akan adanya kemungkinan
untuk selamanya hidup dengan beberapa gejala yang memang tidak akan
hilang.
I. PROGNOSIS
Prognosis Gangguan Kecemasan Menyeluruh sukar untuk untuk
diperkirakan. Namun demikian beberapa data menyatakan peristiwa
kehidupan berhubungan dengan onset gangguan ini. Terjadinya beberapa
peristiwa kehidupan yang negatif secara jelas meningkatkan kemungkinan
akan terjadinya gangguan. Hal ini berkaitan pula dengan berat ringannya
gangguan tersebut.7 Suatu keadaan kronis yang mungkin berlangsung
seumur hidup. Lebih kurang 25% pasien GAD akan mengalami gangguan
panik, juga dapat mengalami gangguan depresi mayor
DAFTAR PUSTAKA
1. 1. Kaplan, H., Sadock, Benjamin. 1997. Gangguan Kecemasan dalam
Sinopsis Psikiatri: Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis Edisi ke-7
Jilid 2. Jakarta: Bina Rupa Aksara. Hal. 1-15
2. Kaplan, Harold. I. 1998. Ilmu Kedokteran Jiwa Darurat. Jakarta: Widya
Medika. Hal. 145-54
3. http://nanank-syamsa.blogspot.com/2008/04/gangguan-anxietas-
menyeluruh-f411.html
4. Maramis W.F. Nerosa. Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga
University Press; 2004. p.250-62
5. Maslim, Rusdi. 2001. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas
PPDGJ-III. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran
Unika Atmajaya. Hal. 72-75
6. Mansjoer A, dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius
FKUI; 2001.
7. Yates, W. R. 2008. Anxiety Disorders. Update August 13, 2008.
www.emedicine.com
8. Maslim, Rusdi. 2007. Penggunaan Klinis Obat Psikotropik. Jakarta:
Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Unika Atmajaya. Hal.
12