GANGGUAN BERKEMIH
-
Upload
momoblubblub -
Category
Documents
-
view
219 -
download
19
Transcript of GANGGUAN BERKEMIH
BAB I
PENDAHULUAN
Disfungsi berkemih merupakan suatu abnormalitas pengisian atau pengosongan
urinaria (vu) yang dapat disebabkan oleh aktivitas otot dinding vu yang inappropriate
yaitu otot-otot yang mengontrol untuk memulai atau menghentikan aliran urin keluar
dari sfingter atau otot-otot di dasar panggul, gangguan neurologis dan obat-obatan juga
berkontribusi untuk terjadinya disfungsi berkemih1..
Disfungsi berkemih merupakan masalah urinary yang paling banyak ditangani
oleh dokter spesialis kedokteran fisik dan rehabilitasi pada pasien-pasien rehabilitasi yang
menjalani rawat inap. Masalah – masalah dalam berkemih dapat timbul sebagai akibat
dari obat-obatan, perubahan kognitif, kelainan-kelainan fisik atau penyebab-penyebab
neurogenik. Identifikasi perawatan dan follow up dengan tepat pada pasien dengan
disfungsi berkemih merupakan hal yang penting karena disfungsi berkemih baik pada
pria dan wanita dapat menyebabkan dampak yang serius pada kehidupan sehari-hari
seperti dapat menyebabkan munculnya rasa malu pada pasien, mengganggu terapi,
meningkatkan morbiditas dan pada akhirnya dapat menyebabkan gangguan untuk
berintegrasi dalam masyarakat dan terkurung dalam rumah atau tergantung perawatan
dirumah1,2,3.
Penatalaksanaan disfungsi berkemih harus melibatkan semua pihak, baik medis,
paramedis, pasien dan keluarganya, dimana tujuan dari penatalaksanaan disfungsi
berkemih adalah untuk mencegah komplikasi traktus urinarius bagian bawah, memelihara
traktus urinarius bagian atas dan melaksanakan program manajemen urinaria yang
realistik4.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. DEFINISI
Disfungsi berkemih merupakan suatu abnormalitas pengisian atau pengosongan
urinaria (vu) yang dapat disebabkan oleh aktivitas otot dinding vu yang inappropriate
yaitu otot-otot yang mengontrol untuk memulai atau menghentikan aliran urin keluar
dari sfingter atau otot-otot di dasar panggul, gangguan neurologis dan obat-obatan juga
berkontribusi untuk terjadinya disfungsi berkemih1.
Disfungsi berkemih dapat meliputi gejala-gejala seperti inkontinensia,
retensi ,kesulitan dalam memulai berkemih serta hilangnya sensasi untuk berkemih5.
2. ANATOMI
2.1. Traktus Urinarius Atas
Ginjal , secara anatomis terbagi menjadi 2 bagian yaitu korteks dan medula ginjal.
Di dalam kortek terdapat berjuta-juta nefron sedangkan didalam medula banyak terdapat
duktuli ginjal. Nefron adalah unit fungsional terkecil dari ginjal yang terdiri atas tubulus
kontortus proksimalis, tubulus kontortus distal dan duktus koligentes. Darah ynag
membawa sisa-sisa hasil metabolisme tubuh difiltrasi (disaring) didalam glomeruli
kemudian di tubuli ginjal beberapa zat yang masih diperlukan tubuh mangalami
reabsorbsi dan zat-zat hasil sisa metabolisme mengalami sekresi bersama air membentuk
urine. Setiap hari tidak kurang 180 liter cairan tubuh difiltrasi didalam glomerulus dan
menghasilkan urine 1-2 liter. Urine yang terbentuk didalam nefron disalurkan melalui
piramida ke sistem pelvikalikes ginjal untuk kemudian disalurkan ke dalam ureter6.
Ureter, adalah organ berbentuk tabung kecil yang berfungsi mengalirkan urine
dari pielum ginjal ke dalam vu. Pada orang dewasa panjangnya kurang lebih 20cm.
Dindingnya terdiri atas mukosa yang dilapisi oleh sel-sel transisional , otot-otot polos
sirkuler dan longitudinal yang dapat melakukan gerakan perilstatik (berkontraksi) guna
mengeluarkan urine ke vu. Sepanjang perjalanan ureter dari pielum menuju vu, secara
2
anatomis terdapat beberapa tempat yang ukuran diameternya relative lebih sempit
daripada di tempat lain, sehingga batu atau benda-benda lain yang berasal dari ginjal
seringkali tersangkut ditempat ini. Tempat-tempat penyempitan ini adalah : (1) pada
perbatasan antara pelvis renalis dan ureter atau pelvi-ureter junction, (2) tempat ureter
menyilang arteri iliaca di rongga pelvis, dan (3) pada saat ureter masuk ke vu. Ureter
masuk ke vu dalam posisi miring dan berada di dalam otot vu (intramural); keadaan ini
dapat mencegah terjadinya aliran balik urine dari vu ke ureter atau refluks vesiko-ureter
pada saat vu berkontraksi6.
2.2. Traktus Urinarius Bagian Bawah
Vu adalah organ berongga yang terdiri atas 3 lapis otot detrusor yang saling
beranyaman. Di sebelah dalam adalah otot longitudinal, di tengah merupakan otot
sirkuler, dan yang paling luar merupakan otot longitudinal. Mukosa vu terdiri atas sel-sel
transisional yang sama seperti pada mukosa-mukosa pada pelvis renalis, ureter dan uretra
posterior. Pada dasar vu kedua muara ureter dan meatus uretra internum membentuk
suatu segitiga yang disebut trigonom vu. Secara anatomis bentuk vu terdiri atas 3
permukaan, yaitu (1) permukaan superior yang berbatasan dengan rongga peritoneum, (2)
dua permukaan inferiolateral, dan (3) permukaan inferiolateral dan (3) permukaan
posterior. Permukaan superior merupakan lokus minoris dinding vu. Vu berfungsi
menampung urine dari ureter dan kemudian mengeluarkannya melalui uretra dalam
mekanisme miksi (berkemih). Dalam menampung urine, vu mempunyai kapasitas
maksimal yang volumenya untuk orang dewasa kurang lebih adalah 300-400 cc. Pada
saat kosong, vu terletak di belakang simfisis sehingga dapat dan diperkusi. Vu yang terisi
penuh memberikan rangsangan pada saraf aferen dan menyebabkan aktivasi pusat miksi
di medula spinalis segmen sacral S2-4. Hal ini menyebabkan kontraksi otot detrusor,
terbukanya leher vu dan relaksasi uretra sehingga terjadilah proses miksi6.
3
Gambar 1. Vesica Urinaria7.
Uretra, merupakan tabung yang menyalurkan urine ke luar dari vu melalui proses
miksi. Secara anatomis uretra dibagi menjadi 2 bagian yaitu uretra posterior dan uretra
anterior. Pada pria, organ ini berfungsi juga menyalurkan cairan mani. Uretra
diperlengkapi dengan uretra interna yang terletak pada perbatasan vu dan uretra, serta
uretra eksterna yang terletak pada perbatasan uretra anterior dan posterior. uretra interna
terdiri atas otot polos yang dipersarafi oleh sistem simpatis sehingga saat vu penuh, ini
terbuka. uretra eksterna terdiri atas otot bergaris dipersarafi oleh sistem somatik yang
dapat diperintah sesuai dengan keinginan seseorang. Pada saat kencing ini terbuka dan
tetap tertutup pada saat menahan kencing. Panjang uretra wanita kurang – lebih 3-5 cm,
sedangkan uretra pria dewasa kurang lebih 23-25 cm. Uretra posterior pada pria terdiri
atas uretra pars prostatika yaitu bagian uretra yang dilingkupi oleh kelenjar prostat dan
uretra pars membranasea6.
4
3. NEUROANATOMI
3.1. Jalur perifer
3.1.1. Serabut-serabut eferen
Eferen Otonom
- Eferen parasimpatis dari S2-S4 berjalan meleui nervus pelvicus (juga disebut nervus
splanikus/nervus erigentes) ke reseptor parasimpatis (kolinergik muskarinik M2)
didisrtribusikan di sepanjang otot detrusor (lebih banyak dibadan vu daripada
didasarnya). Stimulasi ini menyebabkan kontraksi vu (yaitu pengosongan)3,4.
- Eferen simpatis dari Th11-L2 berjalan melalui pleksus hipogastrik ke reseptor-reseptor
simpatis (α2 dan β2 adrenergik) . Stimulasi reseptor β2 berlokasi terutama pada dasar
vu menyebabkan kontraksi (yaitu penutupan) sfingter uretra internum pada saluran
keluar detrusor (otot-otot polos melingkari saluran keluar vu) meningkatkan
penyimpanan urine. Reseptor α lebih banyak terdapat pada dasar vu dan uretra
prostatika, stimulasi reseptor ini menyebabkan otot-otot polos berkontraksi sehingga
meningkatkan tahanan saluran keluar vu dan uretra prostatika3,4.
Eferen Somatis
Eferen somatis dari S2-S4 berjalan melalui nervus pudendus untuk menginervasi
otot-otot lurik sfingter uretra eksternum (EUS). EUS ditutup dengan tonus normal (untuk
mencegah pengosongan urin/kebocoran) dan terbuka secara pasif oleh dorongan aliran
urin disertai kontraksi detrusor dan otot-otot abdomen. Kontraksi yang disadari dapat
menahan urin dalam vu sampai batas waktu tertentu4.
3.2.2. Serabut Aferent
Sinyal-sinyal serabut aferen berjalan melalui nervus pudendus dan pelvikus ke
conus medularis dan melalui pleksus hipogastrik ke torakolumbal medula spinalis.
Sinyal-sinyal ini berasal dari reseptor-reseptor peregang otot detrusor, sfingter anus
eksternum dan sfingter uretra, perineum dan genetalia. Pengisian vu sampai ke suatu
tingkat ambang (tingkat awal/permulaan) mengaktifkan bagian-bagian reseptor di vu
yang mengirim impuls-impuls melalui saraf aferent (kemungkinan melalui nervus
5
pudendus/pelvicus, fisiologis secara tepatnya belum diketahui) menuju pusat miksi di
sakral untuk menstimulasi eferen parasimpatis, sehingga menghasilkan reflek kontraksi
detrusor, pembukaan sfingter dan pengosongan vu3,4.
3.2. Jalur Central (Pusat Berkemih)
Loop I (corticopontin-mesencepalic nuclei)
Berasal dari lobus parietal dan menghambat pengaruh dari pusat miksi sakral
parasimpatis (loop III) yang akan menyebabkan pengisian vu. Lesi pada loop I diatas
pusat miksi pada pontin (misalnya stroke, cedera otak traumatik, hidrocephalus, multiple
sklerosis, tumor otak dan parkinson) menyebabkan kurangnya efek penghambat kortek
serebri pada pusat miksi sakral (parasimpatis), sehingga menghasilkan ambang refluk
detrusor yang rendah (hipereflexic detrusor) dan kapasitas vu kecil. Karena pusat miksi di
pontin tetap utuh, tidak akan ada disenergia sfingter4.
Loop II (pontine-mesencepalic-sacral nuclei atau “ Pusat miksi dipontin”)
Mengkoordinasi interaksi detrusor dan sfingter yang efisien (yaitu selama
berkemih, mengkoordinasi kontraksi vu dan pembukaan sfingter) lesi setinggi pusat
miksi dipontin atau dibawahnya dan diatas medula spinalis setinggi sakral (misalnya
trauma medula spinalis, melitis transversum, multipel sklerosis yang melibatkan medula
spinalis, siringomylia dan tumor medula spinalis primer maupun metastasis) akan
menyebabkan hiperrefleksia detrusor dan disenergia sfingter detrusor sehingga
menyebabkan pola berkemih yang tidak efisien (misalnya kontraksi vu pada sfingter
yang tertutup dapat menyebabkan refluk vesikoureteral atau hidronefrosis)4.
Loop III (nuclei pelvicus dan pudendus atau “pusat miksi disakral”)
Bertanggung jawab untuk mengintegrasikan stimulus dari pusat cephalic dan
untuk memilah, mengedarkan dan memulai sensasi inhibisi dan eksitasi pada organ
tujuan. Ia juga memediasi reflek miksi parasimpatis pada sakral S2-S4 (yaitu
meregangkan otot-otot detrusor, menstimulasi eferen parasimpatis sehingga
menghasilkan reflek kontraksi detrusor dan pengosongan vu). Lesi yang melibatkan pusat
miksi disakral (contoh cedera pada conus dan cauda equina, herniasi diskus L4-5 atau L5-
S1, tumor primer atau metastasis, myelodisplasia, malformasi arteriovenosus/malformasi
6
AV, stenosis lumbal dan proses peradangan seperti arachnoiditis) atau syaraf-syaraf
perifer (contoh neuropati diabetes dan trauma pelvis) menyebabkan disinergia pada otot
detrusor dan disinergia pada interaksi sfingter eksternum sebagaimana disinergia pada
pusat miksi di sakral yang menghasilkan retensi urin (areflexic atau atonic bladder)4.
Loop IV (kortek motorik ke nekleus pudendus)
Bertanggung jawab pada kontrol volunter (kontraksi atau penghambatan) dari
sfingter uretra eksternum4.
Gambar 2. Inervasi (jalur perifer) pada vesika urinaria8.
7
4.FISIOLOGI
Fungsi urinaria (vu) normal terdiri dari 2 fase, pengisian (penyimpanan) dan
pengosongan (berkemih). Siklus berkemih normal menyebabkan vu dan uretra bekerja
bersama-sama sebagai sebuah unit yang terkoordinir untuk penyimpanan dan
pengosongan urin. Selama penyimpanan urin, vesika urinaria bertindak sebagai suatu
wadah bertekanan rendah, sedangkan sfingter mempertahankan tahanan tinggi terhadap
aliran urin untuk menjaga saluran keluar vu tertutup. Selama pengeluaran urin, vu
berkontraksi untuk mengeluarkan urin sementara sfingter urin terbuka (tahanan rendah)
sehingga aliran urin tidak terhambat dan terjadi pengosongan vu.
4.1. Fase Pengisian
Selama fase pengisian, terjadi akumulasi peningkatan volume urin sedangkan
tekanan didalam vu tetap rendah. Selama fase pengisian, tekanan didalam vu harus lebih
rendah daripada tekanan uretra. Jika tekanan vu lebih besar daripada tekanan uretra
(tahanan), dapat terjadi kebocoran urin. Pengisian vu tergantung pada sifat
viskoelastisitas intrinsik vu dan inhibisi dari saraf parasimpatis, jadi pengisian vu
terutama merupakan suatu mekanisme yang pasif.
Saraf simpatis juga memfasilitasi penyimpanan urin melalui cara-cara berikut :
- Saraf simpatis menginhibisi saraf parasimpatis yang memicu kontraksi vu
- Saraf simpatis secara langsung menyebabkan relaksasi otot detrusor
- Saraf simpatis menutup leher vu dengan mengkontraksikan sfingter uretra
internum.
Saat pengisian vu, nervus pudendus menjadi tereksitasi. Stimulasi dari nervus
pudendus menghasilkan kontraksi sfingter uretra eksternum. Kontraksi sfingter eksterna
dan interna, menjaga tekanan uretra (tahanan) lebih besar dari tekanan vu yang normal.
Kombinasi dari kedua sfingter ini dikenal sebagai mekanisme kontinensia. Tekanan
dalam vu dan uretra memainkan peranan yang penting dalam miksi yang normal. Selama
tekanan uretra lebih besar daripada tekanan pada vu, pasien dapat mempertahankan
8
kontinensia. Jika tekanan uretra abnormal rendah atau jika tekanan intravesikal abnormal
tinggi, hal ini dapat menyebabkan inkontinensia urin3,9.
4.2. Fase Pengosongan
Saat vu terisi penuh, reseptor-reseptor peregang yang berada dalam dinding vu
mengirimkan sinyal ke sacral cord. Sacral cord pada gilirannya mengirimkan pesan
kembali ke vu yang mengindikasikan bahwa inilah saatnnya untuk mengosongkan vu.
Pada titik ini, nervus pudendus menyebabkan relaksasi levator ani sehingga otot-otot
dasar panggul menjadi rileks. Nervus pudendus juga mengirimkan sinyal ke sfingter
eksternum supaya terbuka. Saraf simpatis menggirimkan pesan ke sfingter internum agar
terjadi relaksasi sfingter (sfingter membuka), yang menghasilkan tahanan uretra yang
rendah. Ketika terjadi pembukaan dan relaksasi sfingter uretra, saraf parasimpatis
memicu kontraksi detrusor. Ketika vu berkontraksi, tekanan yang dihasilkan oleh vu
melebihi tekanan pada uretra, yang menghasilkan aliran urin. Seluruh rangkaian proses
ini menyebabkan terjadinya pengosongan urin3,9.
Gambar 3. Siklus Berkemih10.
9
5. PATOFISIOLOGI
Suatu kondisi disfungsi berkemih dapat menghasilkan gejala yang berbeda, mulai
dari retensi urin akut sampai pada suatu kondisi vu overaktif atau bahkan kombinasi
keduanya. Hal ini tergantung pada sistem saraf yang terlibat, meliputi otak, pons, sacral
cord dan saraf perifer9.
5.1. Lesi di Otak
Lesi pada otak diatas pons menghancurkan pusat kendali miksi, menyebabkan
hilangnya kontrol berkemih yang komplit. Reflek-reflek berkemih pada traktus urinarius
bawah tetap utuh. Pasien menunjukkan gejala inkontinensia urgensi, atau vu yang spastik
(hiperreflek atau overaktif vu). Pengosongan vu terlalu cepat dan terlalu sering, dengan
jumlah yang secara relatif rendah dan penyimpanan urin pada vu menjadi terganggu.
Biasanya pasien dengan gangguan ini menjadi terburu-buru ke kamar mandi bahkan
mengalami kebocoran urin sebelum mencapai tujuan. Contoh lesi di otak seperti stroke,
tumor otak, parkinson3,9.
5.2. Lesi di Medula Spinalis
Penyakit atau trauma pada medula spinalis antara pons dan sacral cord juga
menghasilkan vu yang spastik atau overaktif dengan gejala inkontinensia urgensi.
Pengosongan vu terlalu cepat dan terlalu sering. Gangguan berkemih ini mirip dengan
lesi pada otak kecuali sfingter eksternal dapat mengalami kontraksi. Jika vu dan sfingter
eksterna menjadi spastik pada saat yang bersamaan, pasien dapat merasakan hasrat unutk
berkemih namun hanya sedikit urin yang dapat di keluarkan. Istilah secara medis
disinergia detrusor-sfingter karena vu dan sfingter tidak bekerja dengan sinergis3,9.
5.3. Lesi di Sacral Cord
Cedera pada sacral cord dan akar saraf yang berhubungan dengan sacral cord
dapat menghambat pengosongan vu. Jika ada sensory neurogenic bladder pada vu,
pasien tidak dapat merasakan sensasi ketika vu penuh. Pada kasus motor neurogenic
10
bladder, pasien dapat merasakan sensasi ketika vu penuh namun detrusor tidak
berkontraksi, kondisi ini dikenal sebagai arefleksia vu. Pada pasien dengan gangguan ini
memiliki kesulitan mengeluarkan urin dan pada akhirnya dapat menyebabkan
inkontinensia overflow; vu mengalami overdistensi secara bertahap sampai urin tumpah
keluar. Penyebab-penyebab lesi pada sacral cord adalah tumor sacral cord, herniasi
diskus, dan trauma pada pelvis. Kondisi ini juga dapat terjadi setelah laminektomi
lumbal, histerektomi radikal atau reseksi abdominoperineal3,9.
5.4. Lesi Perifer
Terdapat etiologi yang berbagai macam untuk lesi perifer yang dapat
menyebabkan gangguan berkemih. Penyebab paling umum adalah neuropati perifer yang
disebabkan oleh diabetes mellitus (DM). Neuropati perifer lain yang dihubungkan dengan
disfungsi berkemih meliputi alkoholisme kronis, herpes zoster, sindrom Guillain Barre,
dan pembedahan pada pelvis3,9.
Tabel 1. Pola disfungsi berkemih pada gangguan neurologis11 .
Detrusor Activity
Striated Sphincter Comments
Suprapontine Hyperreflexic Synergic
Brain tumor, cerebral palsy Detrusor-sphincter dyssynergia may occur in those with spinal cord damage; voluntary control may be impaired
Cerebrovascular accident Voluntary control may be impaired
Delayed central nervous system maturation
Persistence of uninhibited bladder beyond age 2-3 years; enuresis later
Dementia Voluntary control is impaired
Parkinson disease Detrusor contractility and voluntary control may be impaired
Pernicious anemia Bladder compliance may be decreased
Shy-Drager syndrome Bladder neck remains open; bladder
11
Detrusor Activity
Striated Sphincter Comments
compliance may be decreased; autonomic instability (low blood pressure)
Pons-S1 Hyperreflexic Dyssynergic
Anterior spinal cord ischemia
Bladder compliance may be decreased
Multiple sclerosis Varies with lesions
Myelodysplasia, trauma Variable
Below S1 Areflexic Fixed tone
Acute transverse myelitis Bladder neck may be closed but nonrelaxing
Diabetes, Guillain-Barré syndrome, herniated intervertebral disc
Usually overdistended bladder
Myelodysplasia, poliomyelitis
Decreased bladder compliance may develop; bladder neck may be open (sympathetic denervation)
Radical pelvic surgery Bladder neck is open
Tabes dorsalis, trauma Bladder neck may be closed but nonrelaxing
6. KLASIFIKASI DISFUNGSI BERKEMIH
Ada berbagai klasifikasi untuk menggambarkan disfungsi berkemih. Idealnya,
sistem harus menjelaskan jenis lesi neurologis, gejala klinis, data urodinamik, dan pilihan
pengobatan. Sebuah klasifikasi tunggal yang berfokus pada semua faktor tersebut tidak
ada. Klasifikasi yang telah didasarkan pada lesi neurologis (misalnya, Bors-Comarr,
Bradley), temuan urodinamik (misalnya, Lapides, Krane-Siroky), klasifikasi fungsional
(misalnya, Wein), dan kombinasi fungsi vesika urinaria dan uretra berdasarkan
urodinamik (International Continence Society)3,4.
12
Klasifikasi fungsional dari Wein sederhana dan praktis serta memberikan pilihan-
pilihan terapi yang disesuaikan dengan klasifikasi, dimana disfungsi berkemih secara
sederhana dibagi menjadi : Kegagalan penyimpanan urin, Kegagalan pengosongan urin,
Kegagalan penyimpanan dan pengosongan3.
Sebagai contoh, gejala frekuensi atau inkontinensia biasanya dihubungkan dengan
disfungsi fase penyimpanan dimana penurunan daya aliran atau peningkatan sisa urin
setelah berkemih dihubungkan dengan disfungsi fase pengisian. Sebagai tambahan, kita
dapat menilai disfungsi berkemih dalam bentuk gangguan anatomis : Disfungsi vu
(overaktif, underaktif), Disfungsi saluran keluar vu (overaktif, underaktif), Kombinasi
disfungsi vu dan saluran keluar12.
Tabel 2. Klasifikasi fungsional dari Neurogenik Bladder2.
Tipe kegagalanFaktor vesika urinaria
Faktor saluran kemih
Kegagalan
Penyimpanan
Kegagalan
pengosongan
Hyperrefleks
Penurunan
compliance
Arefleks
Hipokontraktilitas
Denervasi dinding pelvik
Bladder neck turun
Intrinsic bladder neck sphincter failure
Dissinergia detrusor-sphincter (sphincter lurik dan
bladder neck)
Sphincter volunter nonrelaxing
Obstruksi mekanik (benign prostatic hypertrophy atau
striktur)
Klasifikasi berdasarkan sistem anatomi menyatakan bahwa neurogenik bladder
dibagi lagi ke dalam tipe seperti supraspinal, suprasacral spinal, infrasacral, peripheral
autonomik, dan muscular lesions
13
Gambar 4. Klasifikasi anatomi neurogenik Bladder 2.
7. EVALUASI
7.1. Riwayat urologi
Riwayat pasien secara menyeluruh diperlukan untuk mengidentifikasi diagnosis
neurologis, defisit kognitif, dan hal-hal yang berhubungan dengan masalah medis.
Riwayat urologi harus fokus pada awal munculnya gejala-gejala gangguan berkemih pada
pasien.
Riwayat urologi termasuk keluhan berkemih (urgensi, frekuensi, hesistensi,
disuria, dan inkontinensia), riwayat berkemih sebelumnya, pembedahan sebelumnya
(abdomen, pelvis, transuretra dan ekstremitas bawah), obat-obatan (sedatif, hipnotik,
antikolinergik, antidepresan, antipsikotik, antihistamin, antispasmodik, opiat, adrenergik,
CCB), masalah kesehatan lain (stroke, gangguan kognitif, gangguan endokrin seperti
DM, infeksi traktus urinarius yang berulang, pembatasan gerak dan retensi feces atau
inkontinensia), pemasukan dan pengeluaran cairan lebih beberapa periode 24 jam,
aktivitas kehidupan sehari-hari (fungsi tangan, kemampuan untuk berpindah dan
kemampuan untuk memakai dan melepas pakaian), adanya dukungan (misalnya dari
keluarga), gaya hidup dan sexual. Penyebab reversibel (sementara) yang paling mudah
untuk diingat dari inkontinensia pada lanjut usia yang harus disingkirkan dari anamnesis
14
adalah menggunakan singkatan DIAPPERS, Delirium/status confusional, Infeksi
(traktus urinarius,simptomatis), Atropic vaginitis dan/uretritis, Pharmaceuticals/obat-
obatan (sedatif atau hipnotik, terutama obat-obat yang bekerja lama, antikolinergik agent,
diuretik yang bekerja di tubulus, agonist dan antagonist α adrenergik, calcium channel
blockers (CCB), Physicological disorder/gangguan psikologi (depresi), Endocrine
disorder/gangguan endokrin (hiperglikemia dan hiperkalemia), Reduced mobility/
pengurangan gerak, Stool impaction.
7.2 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik termasuk penilaian tingkat motorik, sensorik (sensasi sacral),
reflek tendon dalam, reflek-reflek patologis (misal babinski), anal wink (S1-S4), reflek
bulbocavernosus (S2-S4), test air es (memasukkan 50-100cc air es ke dalam vu melalui
kateter, jika vu berkontraksi dan mengeluarkan kateter ini menunjukkan bahwa pasien-
pasien dengan lesi UMN telah melewati fase syok spinal), pemeriksaan prostat pada pria
dan derajat vaginal support dan estrogenisasi pada wanita3,4.
Pada wanita pasca menopause, uretra dan introitus vagina harus diperiksa untuk
mengetahui perubahan atrofi yang disebabkan oleh defisiensi estrogen. Selain itu,
pemeriksaan juga harus difokuskan pada kekuatan otot-otot panggul3.
Pemeriksaan status mental setidaknya harus mengevaluasi tingkat kesadaran
pasien, orientasi, kemampuan berbicara, ingatan jangka pendek dan jangka panjang serta
tingkat pemahaman pasien. Gangguan berkemih dapat disebabkan oleh karena sekunder
dari gangguan status mental pasien atau diperburuk dengan adanya disorientasi,
ketidakmampuan untuk mengkomunikasikan hasrat berkemih atau kurangnya
pemahaman keluarga dan orang-orang yang merawat ketika pasien ingin berkemih3.
Pemeriksaan sensorik sebaiknya difokuskan pada penentuan level cedera pada
kasus-kasus cedera medula spinalis, terutama jika level cedera di atas T6 yang dapat
menyebabkan pasien rentan terhadap disrefleksia otonom. Sensasi sacral mengevaluasi
aferen ekstremitas dari pusat miksi sacral (yaitu nervus pudendus). Hilangnya sensasi
pinprick dan light touch pada tangan dan kaki mengarah pada neuropati perifer3.
Pemeriksaan motorik membantu untuk menentukan level cedera dan derajat lesi
pada pasien dengan cedera medula spinalis (komplit atau inkomplit). Fungsi tangan juga
15
harus dinilai untuk menentukan kemampuan untuk menanggalkan pakaian atau
kemungkinan untuk melakukan kateterisasi intermiten. Spastisitas ekstremitas atas dan
bawah pada saat duduk, berdiri dan jalan juga perlu di evaluasi. Penurunan atau
hilangnya tonus menunjukan suatu lesi pada sacral atau saraf perifer, sedangkan
peningkatan tonus menunjukkan suatu lesi suprasacral3,4.
Reflek kutaneus yang membantu pada pemeriksaan neurologis adalah reflek
kremaster (L1-L2), reflek bulbocavernosus (S2-S4) dan reflek anal (S2-S4). Hilangnya
reflek-reflek kutaneus menunjukkan penyakit pada traktus piramidal atau lesi perifer.
Reflek bulbocavernosus dilaporkan hanya muncul pada 70-85 % pada pasien dengan
neurologis yang utuh. Sebagai tambahan, reflek-reflek patologi (misal reflek babinski)
dapat membantu melokalisir lesi neurologis3.
1. Test diagnostik7.3.1. Traktus urinarius atas
IVP/Ekskretori Urogram
Digunakan untuk memvisualisasi ukuran bentuk dan fungsi keseluruhan traktus
urinarius (ginjal,ureter,vu) untuk mendeteksi hidronefrosis, pyelonefritis, batu, tumor dan
hipertensi renovaskular. Suatu substansi radioopak disuntikan secara intravena dan seri
dari radiografi diambil dalam 3. 5, 10, 15 dan 20 menit setelah penyuntikan. Pada akhir
pemeriksaan, pasien berkemih dan foto radiografi lainnya diambil untuk melihat sisa
substansi di dalam vu. Kerugian terbesar IVP adalah adanya kemungkinan reaksi alergi
terhadap substant, terpapar radiasi dan ketidaknyamanan pasien (pasien sebaiknya tidak
makan dan menggunakan laksatif). Pemeriksaan ini dapat menyebabkan nefropati kontras
pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal (terutama pada pasien dengan IDDM atau
kreatinin > 1,5mg/dl)2,4.
Renal Ultrasound (US)
Renal ultrasound sangat berguna untuk mendeteksi hidronefrosis dan batu ren ,
tidak seperti IVP, US tidak menyebabkan pasien teradiasi, bagaimanapun juga dalam
menggunakan alat ini harus ada operator yang mengoperasikannya. US tidak memberikan
informasi mengenai fungsi ginjal2,4.
16
Foto Polos Ginjal, Ureter, dan VU (KUB)
Digunakan dengan renal ultrasound untuk mengidentifikasi kemungkinan batu
radioopak yang terlewati oleh ultrasound.
Kuantitaf Renal Scan
Digunakan untuk memonitor fungsi dan drainase ginjal
- Technetium-99m (99m Tc) scan menggunakan 99m Tc-dimercaptosuccinic acid
(DMSA) ini digunakan baik untuk diferensiasi dan evaluasi fungsi area fungsional
dari kortek ginjal. 99m Tc-mercaptoacetyltriglicine (MAG3) digunakan untuk
menilai drainase traktus urinarius dan juga untuk diferensiasi fungsinya.
- Hippuran I- 131 scan digunakan untuk memonitor fungsi ginjal dan menentukan
glomerular filtration rate (GFR) dan excretory renal plasma flow (ERPF)
Klirens kreatinin urine dalam 20 jam
Dapat digunakan untuk mengetahui fungsi ginjal secara kuantitatif,
bagaimanapun juga hasilnya bisa saja tetap normal meskipun terjadi penurunan fungsi
ginjal sedang sampai berat4.
7.3.2. Traktus urinarius bagian bawah
Urinalisis, Kultur urin dan Sensitivitas
Digunakan untuk mendeteksi infeksi traktus urinarius. Pyuria yang disebabkan
oleh koloni bakteri yang mencapai 100.000/lebih dari satu jenis mikroorganisme per ml
urin yang mengindikasikan suatu infeksi UTI. Sensitivitas terhadap antibiotik pada
kultur urin digunakan sebagai acuan untuk memilih antibiotik4.
Postvoid Residual (PVR)
17
Melibatkan kateterisasi transuretra untuk mengukur volume residual urine pada vu
segera setelah berkemih, untuk memastikan kemampuan vu dalam pengosongkan dan
untuk mengukur efektivitas terapi pada vu. Vu disebut berimbang (a balanced bladder)
mempunyai PVR < 100 ml dengan frekuensi reflek berkemih lebih dari setiap 2 jam
(misal pada pria dengan cedera medulla spinalis). PVR dengan jumlah banyak harus
diintepretasikan penyebabnya karena mungkin saja sisa urin tersebut tidak diambil segera
setelah berkemih atau pasien justru tidak mengerti instruksi bahwa ia juga harus
berkemih sampai habis. PVR yang konsisten rendah menyingkirkan kemungkinan
obstruksi tapi suatu keadaan inkontinensia tidak menyingkirkan kemungkinan retensi
urin2,4.
Voiding cystourethrography
Merupakan pemeriksaan radiologik yang memaparkan struktur dan dinamika
(fungsi) vu. Kontras di masukkan kedalam vu melalui kateter dan kemudian dilakukuan
foto sistografi. Pasien kemudian diminta untuk berkemih dan foto rontgen diambil selama
miksi yang akan memperlihatkan bentuk dan ukuran vu, fungsi sfingter, aliran urin dan
adanya refluk. Ini dapat membantu mendeteksi adanya kelainan neurogenik pada vu,
fistula, tumor dan ruptur pada vu2,4.
Cystocopy
Merupakan visualisasi langsung pada dinding vu dan uretra, ini juga digunakan untuk
biopsi jaringan dan untuk mengeluarkan batu dan debris dari ureter distal, vu atau uretra.
Indikasi klinis termasuk gejala infeksi traktus urinarius yang berulang, episode sepsis
genitourinary, retensi urin atau inkontinensia, batu kecil dan penggunaan kateter jangka
panjang (untuk menyingkirkan karsinoma)4.
Urodinamik atau Cystometogram (CMG)
Mendokumentasikan tekanan vu (melalui tranducer intravesical pressure),
aktivitas listrik dari sfingter urin (melalui elektroda EMG yang diletakkan pada
permukaan) dan sensasi subyektif pasien dalam berkemih sebagaimana dalam vu dapat 18
dirasakan melalui transuretra yang diisi dengan air atau CO2. Meskipun air lebih
fisiologis namun memakan waktu yang lama untuk mengisi vu. Di tempat praktek atau di
tempat tidur, CO2 lebih umum digunakan karena mengisi vu dengan cepat,
bagaimanapun fase berkemih pada saat miksi tidak dapat dievaluasi dengan CO2. VU
dan uretra dapat juga dilihat menggunakan fluroskopi (misal: urodinamik video) atau
teknik sonografi. Indikasi umum untuk urodinamik termasuk infeksi traktus urinarius
yang berulang pada pasien dengan disfungsi berkemih, inkontinensia urin, frekuensi PVR
yang besar (yakni pada retensi), penurunan fungsi traktus urinarius atas, memonitor
teknanan saat berkemih dan evaluasi serta monitoring obat-obat neurologik2,3,4.
- Filling phase study (studi pada fase pengisian) :
Saat volume vu meningkat, terjadi peningkatan yang lambat tekanan intral yang
dikarenakan viskoelastisitas vu. Sfingter uretra akan terlihat aktif pada EMG yang akan
meningkat secara perlahan untuk mencegah kebocoran vu. Sekitar 100-200 cc sensasi
pertama dari pengisian terjadi pada vu, sekitar 300-400 cc urin pada vu menyebabkan
hasrat berkemih yang ringan, pada saat vu terisi sekitar 400-500 cc menyebabkan hasrat
yang kuat untuk berkemih (urgensi). Pada keadan normal vu yang terisi penuh selama
fase pengisian (kapasitas maksimum 400-750cc pada dewasa) mempunyai tekanan intral
0-6 cm H2O, yang seharusnya kenaikannya tidak melebihi 15 cm H2O. Pada pasien-
pasien dengan hiperrefleksia vu (detrusor) yang disebabkan oleh lesi UMN, vu akan
berkontraksi dan dikosongkan pada volume yang sedikit. Pasien-pasien dengan vu yang
atonik disebabkan oleh lesi pada LMN (yakni setinggi loop III dan dibawahnya)
bagaimanapun juga memiliki kapasitas yang besar dan tidak menunjukkan peningkatan
tekanan intral walaupun terdapat volume cairan yang banyak.
- Voiding phase study (studi pada fase berkemih) :
Digunakan untuk menentukan koordinasi vu dan sfingter urin selama miksi.
Selama berkemih terdapat aktivitas EMG yang tiba-tiba lenyap dan menurun secara
normal pada tekanan uretra proksimal (dikarenakan hambatan pada reseptor simpatis α
adrenergik), lalu vu berkontraksi dan terjadilah miksi. Kontraksi detrusor dihasilkan dari
19
aliran keluar sacral parasimpatis menuju vu melalui nervus pelvicus untuk menambah
tekanan pada pengaruh simpatis β2 adrenergik pada otot detrusor. Kontraksi vu dan
relaksasi sfingter dikoordinasi oleh “pusat miksi dipontin”. Setelah berkemih, EMG
menjadi aktif kembali untuk mempertahankan sfingter tertutup, koordinasi ini hilang
pada pasien dengan disenergia sfingter-detrusor. Pada wanita setelah miksi tekanan
detrusor dibawah 30 cm H2O dan antara 30-50cm H2O pada pria. Rata-rata aliran miksi
antara 15-20 ml H2O pada pria jika terdapat sedikitnya 150 ml urin di vu. EMG pada pria
seharusnya tetap diam selama berkemih.
Gambar 4. Gambaran Urodinamik Normal3
8. PENATALAKSANAAN
Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mencegah komplikasi traktus urinarius
bagian bawah (misal dengan mempertahankan kontinensia), memelihara traktus urinarius
bagian atas (misal dengan menghindari tekanan intravesikuler yang tinggi, yang bisa
menyebabkan refluk vesicoureteral) dan melaksanakan program manajemen vu yang
20
realistik. Penatalaksanaan yang kurang optimal dapat menurunkan potensi sosial orang,
vokasional, avokasional2,3,4.
8.1. Manejemen Tingkah Laku
Waktu Berkemih yang Terjadwal
Untuk pasien dengan hiperrefleks yang menimbulkan urgensi atau refleks
inkontinensia, program waktu berkemih yang terjadwal dapat membantu dengan
memerintahkan pasien untuk buang air kecil sebelum kontraksi detrusor. Terbatasnya
program ini adalah orang dengan demensia perlu diingatkan terus menerus. Ini juga
berguna untuk pasien dengan kelemahan sphincter selama inkontinensia yang memburuk
saat vesika urinaria penuh dan waktu berkemih yang terjadwal dapat mengurangi jumlah
kebocoran urin2,4.
Latihan Vesika urinaria (Bladder Training)
Dilakukan dengan peningkatan secara progresif waktu antara berkemih yaitu 10-
15 menit setiap 2-5 hari sampai dengan interval antara berkemih tercapai dengan baik
(berkemih secara teratur paling tidak setiap 3 jam). Pasien dibuat bertanggung jawab penuh
untuk mematuhi jadwal minum, berkemih dan kateterisasi. Jadwal minum biasanya terdiri
dari pemasukan cairan 1800cc/hari pada jam-jam yang tetap setiap harinya (400cc pada
saat makan, 200cc pada pukul 10 pagi, 2 siang dan 4 siang). Pasien berusaha untuk
berkemih sedikitnya setiap 3 jam ketika bangun dengan teknik khusus yang memberikan
respon terbaik selama urodinamik. Jadwal kateterisasi intermiten diatur sesuai dengan sisa
volume urin. Data-data berikut dibuat oleh pasien : pemasukkan cairan , berkemih yang
disengaja (jumlah dalam ml), berkemih yang tidak disengaja dan sejumlah sisa volume urin
yang didapat setelah berkemih melalui kateterisai intermiten. Data dari hari ke hari ini lalu
dipresentasikan dalam bentuk grafik dan dipasang pada clipboard disamping tempat tidur
untuk menentukan efisiensi berkemih. Latihan vesika urinaria (bladder training) adalah
latihan yang paling efektif pada pasien yang sudah sembuh atau dalam masa penyembuhan
dari lesi neurologik (misal stroke atau cedera otak traumatik). Tapi buang air kecil yang
21
sering (berkali-kali) dikarenakan ketakutan terjadinya inkontinensia atau diluar kebiasaan,
cedera medula spinalis pasien-pasien dengan trauma otak tertentu dan pada pasien-pasien
yang atonik myogenik detrusor insufisiensi (vu yang kurang aktif dan saluran keluar yang
normoaktif) dihubungkan dengan kontraksi habitualis dari sfingter uretra eksternum.
Bladder retraining mungkin dikontraindikasikan pada pasien dengan dekompensasi fungsi
ginjal, terutama ketika disertai vesicoureteral junction yang inkompeten, begitu juga pada
pasien dengan sistisis berat, batu vu atau perubahan struktural mayor baik pada vu maupun
uretra; pada pasien–pasien yang tidak bisa patuh dalam melaksanakan prosedur latihan
(serta tidak mau mencatatnya); pada pasien–pasien yang masih sangat muda, pasien dewasa
yang debil, pasien yang tidak disiplin, dan tidak punya motivasi dan pada pasien yang tidak
dapat melakukan aktivitas yang penting untuk berkemih seperti transfer ke toilet,
berpakaian atau melepas pakaian2,4.
Stimulasi vesika urinaria
Berbagai manuver sudah dicoba untuk menstimulasi vesika urinaria. Dengan
mengusap-usap atau menjepit kulit perineum yang diharapkan menyebabkan stimulasi
refleks ternyata kurang efektif. Mengetuk (tapping) atau suprapubik jabbing diatas vesika
urinaria menyebabkan peregangan secara mekanik dinding vesika urinaria dan kemudian
kontraksi. Studi kontrol menunjukkan bahwa lekukan yang lebih dalam dari vesika urinaria
dengan teknik jabbing adalah manuver yang paling efektif2.
Suprapubic Jabbing dilakukan dengan menekan vu secara dalam untuk
memelarkan dinding vu secara mekanik, hal ini lebih efektif dibanding pengetukan
suprapubik (pengetukan secara halus dan cepat pada tempat dimana respon reflek dicapai
pada derajat yang tertinggi) atau pemukulan suprapubik atau cubitan kulit perineum2,4.
Selain itu, stimulasi elektrik vu melalui transurethra baru-baru ini telah
digunakan secara eksperimental untuk mengaktivasi mekanoreseptor aferen, yang akan
mengembalikan sensasi pengisian vu dan sebaliknya mengaktivasi saraf-saraf eferen
menghasilkan kontraksi detrusor dan vu4.
Manuver Valsava
22
Pasien dengan areleksia dan denervasi dasar panggul (lesi infrasacral) dapat
buang air kecil melalui manuver valsava. Manuver ini dapat dilakukan dengan
meningkatkan tekanan intra dengan meningkatkan tekanan intraabdomen. Baik pada pria
dan wanita manuver valsava dilakukan dengan cara pasien duduk atau tiduran dengan
abdomen menghadap paha. Selama posisi ini, memeluk lutut dan kaki dapat mencegah
penonjolan abdomen. Dengan sikap ini, semua peningkatan pada tekanan intraabdomen
ditransfer ke vu dan ke pelvis. Efek yang merugikan dari manuver valsava meliputi
eksaserbasi hemoroid, prolaps rektum atau hernia. Pada pasien dengan refluk
vesikoureteral manuver ini merupakan kontra indikasi2,4.
Manuver – manuver Crede’s
Meningkatkan tekanan intral dengan cara dorongan kebawah vu secara manual.
Manuver ini memiliki efek merugikan dan mempunyai kontra indikasi yang sama dengan
manuver valsava2,4.
- Metode crede’s tangan terbuka
Dengan meletakan ibu jari masing-masing tangan pada SIAS kanan-kiri dan jari-jari
lain pada daerah suprapubik dengan ujung yang sedikit tumpang tindih lalu ditekankan
pada abdomen. Saat telah tepat mengenai simfisis tekanan diarahkan kebawah untuk
menekan fundus vu. Kedua tangan kemudian ditekan sedalam mungkin hingga ke
kavum pelvis.
- Metode Crede’s tangan tertutup
Menekan vu dengan menggunakan kepalan satu tangan atau handuk yang digulung.
Analstretch Voiding
Teknik ini meliputi relaksasi dasar panggul dengan mula-mula memelarkan
sfingter anal dan kemudian urin dikeluarkan melalui manuver valsava. Ini dapat
digunakan pada pasien-pasien paraplegi yang tidak memiliki sensasi anal dan dapat
transfer ke toilet serta melakukan manuver valsava. Untuk alasan ini, maka tidak
23
digunakan secara luas, walaupun teknik ini memberikan gambaran yang baik selama
lebih dari 20 tahun yang lalu2,4.
Latihan Dasar Panggul (Latihan Kegel)
Hanya efektif pada wanita dengan stres inkontinensia yang ringan-sedang
dikarenakan sfingter yang hipotonis. Pada latihan ini pasien-pasien perlu diberikan
motivasi yang tinggi karena bisa memakan waktu 4-8 minggu sebelum efeknya terlihat.
Ketika melakukan latihan ini, vesika urinaria dalam keadaan kosong, pasien diminta
untuk mengencangkan dasar panggul seperti halnya saat berusaha menahan aliran
kencing atau menahan buang gas, tahan kontraksi selama 10 detik lalu diikuti relaksasi
selama 10 detik, diulangi 20-25 kali, sehari 3 kali. Latihan ini dapat dilakukan sambil
berdiri, duduk dan tiduran4,13.
Biofeedback
Terapi ini dapat digunakan dengan latihan kegel. Terapi biofeedback merupakan
suatu bentuk rehabilitasi otot dasar panggul yang menggunakan suatu peralatan
elektronik untuk pasien-pasien yang mempunyai kesulitan dalam mengidentifikasi otot-
otot levator ani. Terapi Biofeedback direkomendasikan untuk penatalaksanaan stress
inkontinensia, inkontinenesia urgensi dan inkontinenesia campuran. Terapi Biofeedback
menggunakan komputer dan peralatan elektronik untuk menyampaikan informasi visual
atau auditori pada pasien tentang status aktivitas otot panggulnya. Peralatan ini juga
memungkinkan pasien untuk menerima umpan balik visual langsung mengenai aktivitas
otot-otot panggul4,9.
8.2. Peralatan Untuk Menampung Urin
8.2.1. Kateter Kondom Eksternal
Digunakan pada pria dengan hiperreflexia detrusor atau fungsi vu yang normal
dan tidak terdapat obstruksi tetapi terdapat inkontinensia akibat imobilisasi (misal
tetraplegi) atau demensia. Tidak seperti diapers (popok), kateter kondom eksternal hanya
dapat diganti 1x/hari, bagaimanapun juga pasien harus menggunakan kantung yang
24
dilekatkan pada kaki. Terdapat sedikit peningkatan resiko infeksi traktus urinarius, dan
potensiasi untuk terjadinya pengelupasan pada kulit penis dan kerusakan uretra2,4.
8.2.2. Kateter Indwelling
Digunakan ketika pilihan terapi yang lain telah gagal atau untuk kenyamanan
pasien. Komplikasinya meliputi: batu vu, hematuri, bakteremia (terutama saat kateter
tersumbat), erosi logam, fistula scrotum dan penis, fistula vesikovaginal,
epiddimoorchitis, striktur uretra, diverticulum uretra, karsinoma vu (pada pemakaian
yang lama). Banyak center yang merekomendasikan cystoscopy, sitologi dan biopsi
secara tahunan, jika mempunyai indikasi ketika pasien sudah menggunakan kateter
indwelling selama 10 tahun atau lebih. Untuk mencegah atau mengurangi komplikasi
indwelling kateter harus diganti tiap 2-4 minggu, pasien juga harus minum sedikitnya 2
liter/hari; pada pria kateter harus dilekatkan ke perut untuk mencegah traksi dan resiko
fistula penis dan scrotum; meatus uretra harus dibersihkan dengan sabun dan air; kantung
penampung urin harus disterilkan; hiperefleksia detrusor harus dikontrol dengan
antikolinergik dan kantung penampung urin tidak boleh dinaikkan diatas vu untuk
mencegah refluk urin ke vu2,4.
8.2.3. Popok Untuk Dewasa dan Bahan Pelindung Lainnya
Merupakan suatu kombinasi bahan dengan daya serap tinggi yang menjaga kulit
pasien tetap kering. Keduanya digunakan pada pasien-pasien dementia yang menderita
inkontinensia dengan pengosongan vu yang adekuat. Pemeliharaannya mahal dan
mungkin menimbulkan kesulitan dalam memakai dan melepasnya serta berpotensi
menyebabkan maserasi kulit jika tidak diganti dalam 2-4 jam setelah basah4.
8.2.4. Kateterisasi Intermiten
Kateterisasi intermitten menggunakan teknik steril yang diperkenalkan oleh
Guttmann dan Frankel pada tahun 1950-an untuk penatalaksanaan pasien dengan cedera
medula spinalis akut. Lapides dkk tahun 1972 mengemukakan teknik nonsteril tapi
“bersih”, untuk penatalaksanaan retensi dan infeksi kronis.21 Teknik ini ada sejak
dipergunakan secara luas untuk penyakit neurogenik bladder. Kateterisasi intermiten 25
digunakan pada vu yang cukup arflexic dan lemas ( yakni vu tekanan rendah dengan
kapasitas lebih dari 300cc) dan mempunyai tahanan aliran yang cukup untuk pembatasan
aktivitas kehidupan sehari-hari. Antikolinergik/muskulotropik mungkin digunakan pada
pasien-pasien dengan hiperrefleksia detrusor dan inkontinensia. Pada keadaan akut
(misal: cedera medula spinalis yang akut), teknik seterilisasi direkomendasikan untuk
mencegah infeksi traktus urinarius, namun pada keaadan kronis, teknik yang mungkin
digunakan teknik non steril tapi bersih (disebut clean intermittent cateterisation). Untuk
menjaga kebersihan kateter, pasien boleh membersihkannya dengan air dan sabun atau
jika ada bakteriuria yang berulang, sebaiknya direndam dalam cidex solution atau
merebusnya. Pasien harus dibatasi sekitar 600cc pada interval waktu diantara kateterisasi
atau total 1,8 liter-2 liter/hari. Jadwal kateterisasi intermiten dapat disesuaikan dengan
kebutuhan jika pasien telah dapat merasakan sensasi berkemih atau dapat dicatat setiap
waktu untuk menjaga residu urin dibawah 400-450cc. Untuk jadwal kateterisasi
intermiten yang tercatat waktunya sistem yang paling mudah diingat adalah sistem “1-2-
3-4” , yaitu untuk sisa volume urin 100(± 50)cc, kateterisasi 1x/hari; 200(± 50)cc,
2x/hari,; 300(± 50)cc, 3x/hari; 400(± 50)cc, 4x/hari. Jika sisa volume urin pasien
konsisiten dibawah 100cc, kateterisasi intermiten tidak diperlukan. Kontra indikasi relatif
untuk program kateterisasi intermiten mandiri meliputi spastisitas otot-otot adduktor kaki
yang signifikan, koordinasi yang buruk antara mata dan tangan, kognitif jelek, motivasi
yang kurang2,4.
Komplikasi kateterisasi intermiten meliputi gejala-gejala bakteriuria, trauma
uretra, pembentukkan batu vu (kotoran dari rambut pubis atau celana yang ikut masuk
selama kateterisasi telah ditemukan dapat menjadi nidus untuk pembentukan batu). Jika
ada spasme sfingter, ekstra lubrikasi dan gel anestesi lokal (lidokain 2%) atau kateter
dengan ujung yang bengkok dapat digunakan. Pendarahan yang berulang selama
kateterisasi intermiten mengharuskan penggunaan kateter indwelling sampai sumber
trauma terobati (yaitu trauma mukosa uretra atau kesalahan pasase uretra)2,4.
26
8.3. Obat-obatan
8.3.1. Obat-obatan yang digunakan pada inkontinensia yang disebabkan oleh
hiperrefleksia vesica urinaria
- Obat-obat antikolinergik digunakan untuk merelaksasi vu yang hiperreflek dengan
memblok secara kompetitif reseptor-reseptor acetilkolin pada tempat-tempat reseptor
kolinergik postganglion.
- Tricyclic Antidepresants (TCAs) dikenal menyebabkan retensi urin karena efek
antikolonergiknya. TCAs juga menyebabkan kontraksi sfingter dengan potensiasi
reseptor adrenergik (melalui penghambatan pengambilan kembali norefinefrin). TCAs
dapat digunakan sendiri atau kombinasi dengan antikolinergik .
- Obat-obat eksperimental termasuk Terolidene (suatu CCB yang merelaksasi detrusor;
telah dilarang beredar karena menyebabkan cardiac arrhythmias), prostaglandin (PG)
inhibitor (misal obat-obat NSAID seperti flurbiprofen), intrathecal baclofen3,4.
8.3.2. Obat-obat yang digunakan pada inkontinensia yang disebabkan oleh
inkompeten sfingter atau saluran keluar vu
Bereaksi terutama dengan menstimulasi reseptor-reseptor α adrenergik atau
mempotensiasi efek-efek adrenergik melalui penghambatan pengambilan kembali
norefinefrin sehingga meningkatkan penutupan spinter uretra internum pada saluran
keluar detrusor dan mendorong terjadinya penyimpanan urin3,4.
- Agonist α adrenergik berguna untuk mengatasi stres inkontinensia yang ringan –
sedang yang disebabkan oleh sfingter (misalnya : Efedrin, Phenylpropanolamin,
Pseudoefedrin)
- Krim vaginal Premarin (estrogen terkonjugasi) membantu pada wanita postmenopause
dengan stres inkontinensia yang disebabkan oleh atrofi epitel uretra atau gejala-gejala
iritatif dari uretritis atrofi. Preparat ini kemungkinan meningkatkan sensitivitas atau
meningkatkan jumlah reseptor-reseptor α adrenergik. Preparat ini dikontraindikasikan
27
pada wanita dengan karsinoma mammae, kehamilan, perdarahan genital dan penyakit
tromboemboli.
- Antidepresan Trisiklik
8.3.3. Obat-obat yang digunakan pada retensi yang disebabkan areflexia vesika
urinaria
- Bethanechol (Urecholine) adalah suatu agen kolinergik yang menstimulasi pelepasan
asetilkolin.
- Obat-obat eksperimental termasuk antagonis narkotik (untuk memblok enkephalins
yang diduga dapat menghambat reflek miksi sacral) dan prostaglandi intral F2α untuk
meningkatkan tekanan detrusor4.
8.3.4. Obat-obatan yang digunakan pada retensi yang disebabkan oleh kontraksi
sfingter
- α adrenergik blocker meningkatkan pengosongan vu pada pasien-pasien dengan
disenergia sfingter-detrusor (misal pada cedera medulla spinalis atau obstruksi saluran
prostat (karena otot polos prostat juga dimediasi oleh α adrenoceptor).
- Relaxant otot lurik oral (baclofen, diazepam, dan dantrolene), dapat digunakan untuk
meningkatkan relaksasi otot-otot untuk meningkatkan relaksasi otot lurik spinter uretra
eksternum4.
8.4. Pembedahan
Terapi pembedahan merupakan terapi yang digunakan hanya jika terapi konservatif
tidak berhasil2,4.
8.4.1. Augmentasi vu (Augmentation cytoplasty)
Digunakan untuk meningkatkan kapasitas vu dan mengurangi tekanan intral. Ini
diindikasikan pada pasien-pasien dengan hiperrefleksi detrusor atau dengan penurunan
fungsi vu yang gagal pada terapi non bedah.
28
8.4.2. Continent Diversion
Menggunakan usus tidak hanya untuk meningkatkan kapasitas vu tapi juga untuk
membentuk suatu saluran yang dapat dilalui kateter yang terbuka hingga ke dinding
abdomen.
8.4.3. Prosedur Dinervasi
Digunakan pada pasien dengan hiperrefleksia vu, dapat dilakukan baik pada
pangkal saraf (misal sakral rhizotomies), syaraf perifer (misal block nervus pudendus
unilateral/neurektomi) atau pada daerah perivesikal (gangliectomy). Prosedur ini tidak
diterima secara luas karena dapat menyebabkan areflexia vu.
8.4.4. Surgically implanted electrical neurostimulation
Dapat menstimulasi kontraksi detrusor secara selektif tanpa menstimulasi sfingter
uretra eksternum atau dapat merelaksasi vu hiperrefleksi. Prosedur ini menggunakan
elektroda yang ditanam di dinding vu, nervus pelvicus, akar syaraf sakral (tempat yang
paling sering) dan conus. Penggunaan terapi ini masih bersifat eksperimental dan
kontroversial.
8.4.5. Prosedur saluran keluar vu (Bladder outlet procedures)
Diindikasikan untuk stres inkontinensia yang berat yang tidak merespon agonis α
adrenergik. Meliputi: Terapi injeksi kedalam uretra menggunakan teflon sekarang sudah
tidak digunakan lagi karena bahaya adanya migrasi partikel, prosedur pembedahan
compresif eksternal (prosedur fascial sling, implant sfingter urin buatan, spinterektomi)
8.4.6. Diversi urinarius
Dilarang pada pasien-pasien dengan gangguan uretra yang berat seperti striktur,
fistula, abses, periuretra dan inkontinensia dengan kerusakan kulit perineum. Metode
yang paling sederhana adalah kateterisasi suprapubik dan penutupan leher vu.
29
9. KOMPLIKASI
9.1. Infeksi Traktus Urinarius
Merupakan komplikasi yang paling umum dari disfungsi berkemih. Kira-kira
setengah dari infeksi yang diperoleh di rumah sakit, berasal dari traktus urinaria yang
berhubungan dengan kateter urin dan alat pembuangan lainnya. Pada pasien dengan
neurogenik bladder, umumnya infeksi traktus urinarius merupakan sumber morbiditas4.
9.2. Batu vu
biasanya dihubungkan dengan kateter folley indwelling atau retensi urin yang
lama. Ini kadang-kadang bisa disebabkan oleh masuknya benda asing yang berasal dari
tubuh (rambut pubis atau bagian dari balon kateter folley), hal ini memicu hematuria,
infeksi UTI yang persisten, autonom disrefleksia atau obstruksi; bagaimamapun juga ini
tidak dihubungkan dengan penurunan fungsi ginjal2,4.
9.3. Batu ginjal
Ditemukan pada 8% pasien SCI yang telah menderita SCI selama 10 tahun, lebih
banyak pada pria muda pada 3 tahun pertama trauma dengan batu vu. Jika tidak diterapi,
terdapat 50% kemungkinan gagal ginjal4.
9.4. Refluk vesikoureteral
Sering dihubungkan dengan disenergia detrusor-sfingter (yaitu hiperrefleksi
detrusor dan sfingter urin eksternal yang spastik)4.
9.5. Pyelonefritis
Sering dihubungkan dengan refluk vesikoureteral, batu ginjal dan obstruksi yng
dapat menyebabkan penurunan fungsi ginjal2,4.
9.6. Kanker VU
Biasanya karsinoma sel squamosa, banyak ditemukan pada pasien-pasien cedera
medula spinalis yang telah memakai kateter folley indwelling lebih dari 10 tahun. Pasien-30
pasien tersebut sebaiknya dimonitor dengan sistokopi, sitologi sel dan biopsi vu pada
daerah yang dicurigai2,4.
9.7. Autonomic Dysreflexia (AD)
Dapat terjadi pada pasien-pasien dengan cedera medula spinalis pada T6 atau
diatasnya yang dicirikan dengan stimulus yang menyebabkan respon otonom yang
berlebihan yang berbahaya pada orang yang normal (misal distensi vu), gejala-gejala AD
meliputi nyeri kepala, hiperhidrosis (khususnya pada di kening), vasodilatasi kutaneus
(yakni flushing diatas level lesi), obstruksi hidung, piloereksi, parestesi atau anxietas.
Tanda-tanda klinis termasuk hipertensi, reflek bradikardi (takikardi atau irama sinus
normal sering ditemukan) atau perubahan ST-T yang tidak spesifik. Jika tidak diobati ini
bisa menyebabkan perubahan status mental, kejang, perdarahan intraserebral, atau bahkan
kematian. Hal ini biasanya dipicu oleh stimulus yang berbahaya dari distensi vu (misal
kateter urin yang buntu) infeksi traktus urinarius, batu vu atau sumber-sumber lainnya
(misal distensi usus besar, ulkus dekubitus , sarung kaki yang ketat, pakaian ketat, kuku
kaki yang sedang dalam masa pertumbuhan, orgasme, melahirkan, spastisitas, fraktur,
hemoroid dan kegawatdaruratan abdomen seperti apendicitis)2,3,4.
31
BAB III
PENUTUP
Disfungsi berkemih merupakan suatu abnormalitas pengisian atau pengosongan
vesika urinaria (vu) yang dapat disebabkan oleh aktivitas otot dinding vu yang
inappropriate yaitu otot-otot yang mengontrol untuk memulai atau menghentikan aliran
urin keluar dari sfingter atau otot-otot di dasar panggul, gangguan neurologis dan obat-
obatan juga berkontribusi untuk terjadinya disfungsi berkemih.
Ada berbagai klasifikasi untuk menggambarkan disfungsi berkemih. Idealnya,
sistem harus menjelaskan jenis lesi neurologis, gejala klinis, data urodinamik, dan pilihan
pengobatan. Klasifikasi fungsional dari Wein sederhana dan praktis serta memberikan
pilihan-pilihan terapi yang disesuaikan dengan klasifikasi.
Evaluasi penderita dengan disfungsi berkemih secara menyeluruh dapat
membantu menentukan pilihan penatalaksanaan yang tepat yaitu evaluasi riwayat
berkemih, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Tujuan penatalaksanaan penderita dengan disfungsi berkemih adalah untuk
mencegah komplikasi traktus urinarius bagian bawah (misal dengan mempertahankan
kontinensia), memelihara traktus urinarius bagian atas (misal dengan menghindari
tekanan intravesikuler yang tinggi, yang bisa menyebabkan refluk vesikoureteral) dan
melaksanakan program manajemen vu yang realistik.
32
DAFTAR PUSTAKA
1. Kelly C. Bladder dysfunction. Last update : January 2011 .
http://urology.med.nyu.edu/conditions-we-treat/bladder-dysfunction.
2. Cardenas D., Mayo M. Management Of Bladder Dysfunction. Physical
Medicine And Rehabilitation Edited By Randall Braddom. 3rd Ed.
Philadelphia : Saunders. 2008.617-635.
3. Linsemeyer T., Stone J. Neuronegeic Bladder and Bowel Dysfunction.
Physical Medicine And Rehabilitation Edited By De Lisa J. 4th Ed.
Philadelphia : Lippincot Williams and Wilkins.2005. 1619-1625.
4. Tan J. Voiding Dysfunction. Practical Manual Of Physical Medicine And
Rehabilitation. Philadelphia : Mosby. 1998. 538-552.
5. Alexander E., Beth E. Treatment Of Urinary Dysfunction Syndromes
with Spinal Cord Stimulation. Last Update : January 2011.
http://www.clinmedres.org/cgi/content/full/8/1/22
6. Purnomo B. Dasar-dasar Urologi. 2rd Ed. Malang : Sagung Seto.2003.2-6.
7. R. Putz., R Pabst. Sobotta Atlas Anatomi Manusia Bagian 2. Jakarta :
EGC. 1994
8. Kirshblum S., Gonzales P., Cucurullo S., Lisa L., Spinal Cord Injuries.
Physical Medicine And Rehabilitation Edited By Cucurullo. New York :
Demos. 2004.
9. Rackey R. Neurogenic Bladder And Overactive Bladder. Last Update :
January 2011. http ://emidicine.medscape.com/article/453539-overview.
10. Pripatnanont C. Voiding Dysfunction 2009. Last Update : January
2011 .http://medinfo2.psu.ac.th/surgery/Edu_be_document/document
%205/Voiding%20Dysfunction%20(Presentation).pdf
11. Kaynan A., Perkash I. Neurogenic Bladder. Essentials Of Physical
Medicine And Rehabilitation Edited By Walter Frontera 2nd Ed. Florida :
Saunders. 733-753. 2008.
33
12. Nitti V., Ficazzola M. Voiding dysfunction: Diagnosis and Treatment
Edited By Rodney Appell. New Jersey : Humana Press. 2000. 26-27.
13. Hall C., Brody L. The Pelvic Floor Therapeutic Exercise 2nd Ed.
Philadelphia : Lippincot Williams And Wilkins. 2005.423-429
34