gambaran umum orang arab di solo.pdf
-
Upload
riza-rizando -
Category
Documents
-
view
208 -
download
18
Transcript of gambaran umum orang arab di solo.pdf
17
BAB II
GAMBARAN UMUM MASYARAKAT ARAB DI SURAKARTA
A. Komunitas Arab di Pasar Kliwon
Masyarakat keturunan Arab yang bermukim di Nusantara berasal dari
Hadramaut. Golongan Sayid sangat besar jumlahnya di Hadramaut, mereka
membentuk kebangsawanan beragama yang dihormati. Geneologi golongan Sayid
paling jelas jika dibandingkan dengan golongan-golongan yang lain. Untuk
membedakannya dengan golongan Sayid yang lain, mereka yang menetap di
Hadramaut disebut keturunan Alwi yang biasa disebut al-Alawiyyin. 1
Sayid Alwi bin Ubaidillah merupakan orang pertama dari keturunan
Rasulullah SAW yang lahir di Hadramaut, dibesarkan di sana dan memakai nama
Alwi. Kakek Sayid Alwi yaitu Ahmad Al-Muhajir bin Isa semula bermukim di
Basrah, Irak pada abad ke-10 Masehi, kondisi kota Basrah memburuk dan
berkembang berbagai aliran sesat. Pada tahun 317 Hijriah, didampingi putranya
Ubaidillah dan 70 orang pengikutnya, Sayid Ahmad memutuskan untuk berhijrah
hingga tiba di Hadramaut yang warganya ahlus sunnah wal jamaah.2 Anak cucu
Sayid Alwi bin Ubaidillah tersebar ke seluruh penjuru dunia seperti Asia, Afrika,
Amerika, maupun Eropa. Masyarakat selanjutnya menyebut mereka sebagai Al
Abi Alawi, Al Ba Alawi, atau Alawiyyin. Secara umum, kata Alawi digunakan
untuk setiap keturunan Khalifah Ali bin Abu Thalib.
1 Sri Surami Widyastuti, Perkembangan Usaha Batik Masyarakat Keturunan Arab di Pasar
Kliwon 1966-2005, (Surakarta : UNS Skripi, 2006), hal 15
2 Novel Bin Muhammad Alaydrus, Jalan Nan Lurus : Sekilas Pandang Tarekat Bani ‘Alawi,
(Surakarta : Taman Ilmu, 2006), hal 29
18
Suku Arab-Indonesia adalah penduduk Indonesia yang memiliki keturunan
etnis Arab dan etnis Pribumi Indonesia. Pada mulanya mereka umumnya tinggal
di perkampungan Arab yang tersebar di berbagai kota di Indonesia -- misalnya di
Jakarta (Pekojan), Bogor (Empang), Surakarta (Pasar Kliwon), Surabaya (Ampel),
Gresik (Gapura), Malang (Jagalan), Cirebon (Kauman), Mojokerto (Kauman),
Yogyakarta (Kauman) dan Probolinggo (Diponegoro),dan Bondowoso -- serta
masih banyak lagi yang tersebar di kota-kota seperti Palembang, Banda Aceh,
Sigli, Medan, Banjarmasin (Kampung Arab), Makasar, Gorontalo, Ambon,
Mataram, Ampenan, Sumbawa, Dompu, Bima, Kupang, Papua dan bahkan di
Timor Leste.
Perkampungan Arab di Surakarta menempati tiga wilayah kelurahan, yaitu
Kelurahan Pasar Kliwon, Kelurahan Semanggi dan Kelurahan Kedung Lumbu.
Kecamatan Pasar Kliwon atau berada disebelah timur tembok Baluwarti Kraton
Surakarta. Penempatan kampung Arab secara berkelompok tersebut sudah diatur
sejak jaman dulu untuk mempermudah pengurusan bagi etnis asing di Surakarta
dan demi terwujudnya ketertiban dan keamanan. Etnis Arab mulai datang di Pasar
Kliwon diperkirakan sejak abad ke-19. Terbentuknya perkampungan di Pasar
Kliwon, selain disebabkan oleh adanya politik pemukiman di masa kerajaan, juga
tidak terlepas dari kebijakan pemerintah kolonial. Pola pemukiman di daerah
kerajaan masih mengacu pada pembagian kelas sosial, yakni sentono dalem, abdi
dalem dan kawulo dalem. Sedangkan kedudukan etnis Arab sebagai orang asing
yang berada di luar sistem sosial masyarakat Jawa, pemukimannya
dikelompokkan di daerah tertentu serta terpisah dari penduduk lainnya.
19
Munculnya perkampungan Arab di Pasar Kliwon yang telah ada sejak zaman
kerajaan, dipertajam lagi pada masa kolonial Belanda. 3
Pemerintah Hindia Belanda selalu berusaha untuk memisahkan orang-
orang Arab dari pergaulan dan kontak sosial dengan etnis Jawa. Penguasa Hindia-
Belanda menentang pembaharuan keturunan Arab dengan ancaman siapa yang
berani membaur berarti melakukan tindakan kriminal. Pemerintah kolonial
Belanda dalam upaya memisahkan dan mengisolasi keturunan Arab dari arus
integrasi dengan pribumi melakukan politik wijkenstelsel atau passen stelsel.
Tujuannya adalah memisahkan orang-orang Arab dengan pribumi dengan
menempatkan mereka dalam semacam ghetto-ghetto. Ketika itu kalau mereka
ingin keluar dari ghetto mereka harus memiliki izin atau pas dari pemerintah
kolonial Belanda.4 Selain itu, adanya peraturan yang membatasi masuknya para
migran Arab ke Hindia-Belanda, harus memiliki izin menetap dan hanya dapat
berdiam di kota yang telah ditentukan, misalnya di Kampung Pasar Kliwon. 5
Pemukiman orang-orang Arab di Pasar Kliwon juga disebabkan oleh
tarikan migran yang datang dalam kelompoknya sendiri mempunyai latar
belakang budaya yang sama sehingga terbentuk suatu perkampungan yang khusus
dihuni oleh etnis Arab. Perkampungan orang-orang Arab tersebut selanjutnya
bukan lagi merupakan pemukiman yang eksklusif. Perkampungan orang-orang
Arab di Pasar Kliwon berpola tersebar hampir merata di antara penduduk etnis
3 Hari Mulyadi, dkk, Runtuhnya Kekuasaan Kraton Alit, (Surakarta : LPTP, 1999), hal 194
4 Hamid Algadri, Politik Belanda terhadap Islam dan Keturunan Arab di Indonesia, (Jakarta
: CV Haji Masagung, 1988), hal 83
5 Hari Mulyadi, dkk, loc.cit
20
Jawa. Penyebaran pemukiman ini sangat menentukan dalam mempercepat proses
integrasi kelompok minoritas Arab dengan penduduk Jawa. 6
B. Interaksi Sosial Etnis Arab di Surakarta
Sumpah Pemuda Indonesia keturunan Arab 1934, menyebutkan bahwa
tanah air peranakan Arab adalah Indonesia, oleh karena itu mereka harus
meninggalkan kehidupan menyendiri (isolasi).7 Pengakuan tanah air Indonesia
sebagai tanah airnya, kebangsaan Indonesia sebagai kebangsaannya oleh mereka
keturunan Arab tersebut dinyatakan pada waktu Indonesia masih menjadi negeri
jajahan. Mereka ikut berjuang merebut kemerdekaan Indonesia, mereka juga tidak
menolak sebagai Warga Negara Indonesia (WNI). Hal ini membutikan bahwa
mereka ingin menjadi WNI yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama
seperti WNI asli lainnya. Masyarakat Arab dan keturunan Arab telah melebur dan
membaur dengan masyarakat pribumi.
Proses interaksi antara penduduk etnis Arab dengan etnis Jawa di wilayah
Pasar Kliwon Surakarta, lebih menekankan integrasi bersama, yang dapat dilihat
dari beberapa jaringan integrasi, yaitu aspek agama, politik, pendidikan, ekonomi,
organisasi sosial dan perkawinan. Di samping menunjukan pluralitas masyarakat
kota, pola pemukiman di Surakarta juga menunjukkan stratifikasi sosial
masyarakat.
Di Pasar Kliwon sendiri mempunyai masyarakat yang hiterogen, selain
golongan keturunan Arab dan penduduk Jawa juga bermukim warga keturunan
Cina. Keturunan Arab merupakan kelompok penduduk keturunan asing yang
6 Ibid, hal 194-195
7 Hamid, op.cit, hal 155
21
terbesar bila dibandingkan dengan keturunan Cina. Warto dalam penelitiannya
menyebutkan pada tahun 1984, jumlah keturunan Arab adalah 1.877 jiwa,
sementara jumlah keturunan Cina adalah 103 jiwa. Berdasarkan data monografi
kelurahan Pasar Kliwon tahun 2005, menyebutkan bahwa jumlah keturunan Arab
adalah 1.775 jiwa, sedangkan keturunan Cina adalah 135 jiwa. Dari data tersebut
dapat dilihat adanya penurunan jumlah penduduk keturunan Arab di Pasar
Kliwon. Hal ini disebabkan karena lahan di kelurahan Pasar Kliwon semakin
sempit sehingga terjadi perpindahan di daerah lain.
Masyarakat Arab di Surakarta terbagi menjadi dua golongan seperti yang
terjadi di daerah lain. Bertolak dari pembagian antara Sayid dan non-Sayid,
mereka juga dibedakan atas dasar faham keagamaan menjadi dua, yaitu kaum Al-
Irsyad dan kaum Arrabitah Al-Alawiyah. Al Irsyad adalah manifestasi dari
kelompok bukan Sayid dan dilihat dari faham keagamaannya mempunyai
kesamaan dengan faham Muhammadiyah. Sedangkan Arrabitah Al-Alawiyah
adalah manifestasi dari kelompok Sayid dan faham keagamaannya cenderung
pada paham Nahdhatul Ulama. Kelompok pertama mewakili Islam modernis dan
kelompok kedua mewakili kelompok Islam konservatif dalam masyarakat Arab. 8
Kebersamaan untuk menjalin keharmonisan khususnya antar Muslim di
Pasar Kliwon, banyak kegiatan keagamaan yang diselenggarakan bersama.
Misalnya untuk menyelenggarakan sholat Jum’at bagi bagi seluruh penduduk di
Pasar Kliwon baik etnis Arab-Jawa digabung menjadi satu tempat baik etnis Arab
maupun Jawa digabung menjadi satu yaitu di Masjid Iropaten. Jadi tidak ada
pemisahan tempat sholat, antara etnis Arab-Jawa. Dari enam buah masjid yang
8 Hari Mulyadi, dkk, op.cit, hal 198
22
ada di Pasar Kliwon, minimal mempunyai pengurus seorang keturunan Arab.
Namun ada beberapa masjid yang diurus sepenuhnya oleh orang Arab. Bila dilihat
dari fungsinya yang terbuka untuk umum maka sifat eklusifnya menjadi semakin
terbuka.
Di Nusantara, Sayid yang dianggap sebagai wali apabila meninggal maka
kuburan mereka dikunjungi oleh banyak orang sepanjang tahun sebagai tempat
suci untuk diziarahi.9 Hal tersebut juga terjadi pada masyarakat komunitas Arab di
Surakarta. Sekali setahun diadakan sebuah peringatan yang cukup meriah yang
dinamakan dengan tradisi khaul untuk memperingati meninggalnya seorang Sayid
yang bernama Habib Ali Bin Muhammad Al-Habsyi. Tradisi khaul masih dapat
disaksikan di Masjid Riyadh, Gurawan, Pasar Kliwon, tempat Habib Ali Bin
Muhammad Al-Habsyi dimakamkan. Tradisi ini diadakan setiap tanggal 20
Rabiul Tsani. Tradisi khaul tidak hanya dihadiri oleh golongan Sayid saja tetapi
juga dibanjiri masyarakat Arab yang bukan dari golongan Sayid dan masyarakat
Jawa maupun suku lain. Hal ini menjadi salah satu bukti kebersamaan masyarakat
muslim tanpa ada diskriminasi.
C. Kegiatan Politik Keturunan Arab di Surakarta
1. Keturunan Arab dan Sarekat Islam
Kedatangan bangsa Arab ke Nusantara oleh Snouk Hurgronje selalu
dikaitkan dengan gerakan Pan-Islam di Indonesia. Islam dan keturunan Arab
dianggap sebagai pemicu munculnya perlawanan terhadap pemerintah kolonial.
Selain itu, Islam bisa berkembang menjadi agama mayoritas di Indonesia. Pada
9 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982), hal
67
23
tahun awal-awal abad ke 20, reformis dengan cepat menyebar hampir ke seluruh
wilayah Nusantara. Pengaruh-pengaruh Belanda melemahkan kekuasaan lokal,
banyak anggotanya yang bekerja kepada pemerintah kolonial. Penetrasi ekonomi
dan administratif serta munculnya politik etis telah menciptakan tatanan sosial
yang semakin rawan. Campur tangan pemerintah kolonial dalam kehidupan desa
mengakibatkan malaise yang cukup hebat di pedesaan, maka kesempatan-
kesempatan ekonomi dan pendidikan juga muncul eksitensi kelompok-kelompok
elite baru.
Sekolah khusus yang dibentuk oleh Belanda seperti sekolah untuk anak
raja-raja yang semula dimaksudkan untuk memberi pendidikan umum, kemudian
direorganisasi pada tahun 1900 dan diberi nama Opleiding School Voor
Invlandsche Ambtenaren (OSVIA). Sekolah pegawai negri pribumi ini sengaja
dibentuk untuk menciptakan pangreh-praja yang mempunyai keyakinan tipis
terhadap agamanya (Islam). Salah seorang lulusan OSVIA adalah HOS
Tjokroaminoto yang kemudian menjadi pimpinan Sarekat Islam (SI). Hal ini
menunjukan kegagalan dari salah satu tujuan didirikannya OSVIA, yaitu
”mengemansipasikan” peserta didiknya dari agamanya. 10
Haji Samanhoedi, pedagang batik di Surakarta berinisiatif mendirikan
organisasi. Maka pedagang Arab dan Indonesia mendirikan Sarekat Islam (SI) di
Surakarta untuk melindungi diri terhadap pedagang Cina, di bawah pimpinan
Raden Mas Tirtoadisoerjo, juga seorang lulusan OSVIA. Organisasi Sarekat Islam
(SI) sebelumnya bernama Sarekat Dagang Islam (SDI) yang semula ditujukan
untuk kegiatan ekonomi pada perkembangannya menunjukan reaksi terhadap
10
Hamid, op.cit, hal. 105
24
politik Belanda yang mulai condong kearah membantu penyebaran agama
Kristen. Kegiatan misionaris ini menimbulkan reaksi di masyarakat Islam, tidak
terkecali SI, karena banyak anggota Budi Utomo dan Sarekat Islam yang
sebelumnya adalah anggota Jamiat Khair, yang identik dengan Arab dan Islam.
Pengikut Sarekat Islam tidak terbatas pada etnis tertentu saja. Pada Januari
1913, diadakan Konggres Sarekat Islam yang dipersiapkan oleh suatu perserikatan
dagang. Dalam kombinasi ini orang Arab mempunyai pengaruh besar. Salah satu
bukti pengaruh tersebut adalah berdirinya Sarekat Islam didahului dengan
berdirinya Sarekat Dagang Islamiah di Bogor (1909) dengan pengurus sebagai
berikut :
Sekretaris Adviseur : RM Tirtoadisoerjo
Presiden : Syekh Ahmad bin Abdulrachman Badjenet
Komisaris-komisaris : Syekh Achmad bin Sayid Badjenet
Syekh Ghalib bin Sayid bin Tebe
Syekh Muhammad bin Sayid Badjenet
Mas Railus dan Haji Muhammad Arsad
Sekalipun dalam resolusi tahun 1913 diputuskan untuk tidak lagi
menerima orang yang bukan orang Indonesia, masih banyak orang Arab yang
tetap menjadi anggota dan aktif bekerja dalam Sarekat Islam. Untuk mewakili
kepentingan keturunan Arab Hasan bin Semit masuk dalam kepengurusan Sarekat
Islam. Ali al-Habsji, seorang guru agama ortodoks di Jakarta, berusaha
meningkatkan citra keagamaan organisasi itu. Tujuan yang sama menggerakkan
Abdullah bin Husein Alaydrus, ketua Jamiat Khair, yang selalu duduk di meja
25
direktur dalam rapat Sarekat Islam di Jakarta. Ia dengan penuh semangat
menganjurkan bahwa memajukan pendidikan adalah kewajiban agama.11
2. Keturunan Arab dan Persatuan Arab Indonesia (PAI)
Masyarakat Arab di Indonesia mencerminkan ciri-ciri yang sama dengan
masyarakat Hadramaut, yaitu terbagi menjadi golongan Sayid dan bukan Sayid.
Hal tersebut semakin nyata dengan berdirinya Arrabitah dan Al-Irsyad.
Perpecahan antara Arrabitah dan Al-Irsyad yang telah lama terjadi menimbulkan
adanya usaha dari keturunan Arab sendiri untuk meredam pertikaian tersebut.
Terdapat dua usaha yang ditempuh untuk mendamaikan golongan Alawi dan non
Alawi. Pertama oleh Awad Sjahbal, kepala golongan Arab di Surakarta, seorang
non-Alawi dan kemudian oleh seorang Alawi, Ismail Alatas, putra Abdullah bin
Alwi Alatas, menyumbang F.60.000,- untuk membantu berdirinya Al-Irsyad.
Kedua, berdirinya PAI (Persatuan Arab Indonesia) yang didukung penuh oleh
pemuda keturunan Arab yang beraliran progresif dari kedua golongan, Alawi
maupun non-Alawi. Kedua usaha tersebut pada hakekatnya merupakan kegagalan
politik devide et impera Belanda di masa itu terhadap keturunan Arab. 12
Persatuan Arab Indonesia didirikan pada tahun 1934. Orang-orang dari
golongan Arrabitah dan Al-Irsyad duduk bersama dalam PAI. Persatuan Arab
Indonesia diketuai oleh A.R. Bawesdan yang berasal dari golongan Al-Irsyad. PAI
mempertegas posisi keturunan Arab, tidak saja sebagai orang Islam, tetapi sebagai
nasionalis Indonesia. Berdirinya PAI dengan pengakuan Indonesia sebagai tanah
11
Ibid, hal. 110
12 Ibid, hal. 115
26
air keturunan Arab, sering dinamakan hari Sumpah Pemuda keturunan arab pada
tanggal 4 Oktober 1934. 13
Bagi penduduk etnis Arab di Pasar Kliwon, berdirinya PAI itu di samping
sebagai wadah perjuangan keturunan Arab, juga untuk menghapuskan
pertentangan intern masyarakat Arab mulai dihapuskan. PAI berusaha
mempersatukan golongan Arrabitah dan Al-Irsyad. Sejak berdirinya PAI,
pertentagan antara ke-dua golongan tersebut mulai mereda. Adapun pemimpin
PAI cabang Surakarta adalah sebagai berikut : Abdullah Sjahbal (Al-Irsyad),
Salim Aidid (Arrabitah), Said Badres (Al-Irsyad), Atmadja (Al-Irsyad), Ali
Assegaf (Arrabitah), serta tokoh-tokoh dari Al-Irsyad lainnya seperti Muhammad
AR Baradja, Nasae Sanad, dan Yuslam Badres. 14
Masyarakat keturunan Arab di Surakarta menganggap bahwa PAI
merupakan tonggak bagi menyatunya keturunan Arab dengan masyarakat
Indonesia umumnya. Dengan demikian status penduduk keturunan Arab tidak
dianggap lagi sebagai orang asing karena mereka tidak menolak untuk menjadi
warga negara Indonesia. Selain itu, mereka tidak senang bila dikatakan sebagai
orang asing dan dianggap eklusif dalam interaksinya dengan etnis Jawa.
PAI dibubarkan oleh Jepang. Pada tanggal 3 November 1945, pemerintah
Indonesia mengeluarkan Maklumat Pemerintah tentang Partai Politik. Dalam
maklumat itu antara lain dianjurkan agar Partai Politik yang dibubarkan didirikan
kembali. Namun PAI tetap memutuskan untuk membubarkan diri dan
menyarankan kepada eks-anggotanya masuk dalah organisasi politik yang lain.
13
Ibid, hal. 119 14
Hari Mulyadi, dkk, op.cit, hal 200
27
D. Gambaran Umum Pendidikan di Surakarta
1. Pendidikan di Surakarta tahun 1900-1940
Bentuk pendidikan gaya Barat sebagai realitas dari Politik Etis juga
dirasakan di Surakarta. Bahkan Sekolah Guru (Kweekschool) pertama didirikan di
Surakarta pada tahun 1852 sebelum Politik Etis dikumandangkan di Hindia-
Belanda. Seperti halnya di daerah lain di Surakarta juga banyak bermunculan
sekolah-sekolah di bawah Pemerintah Kolonian Belanda seperti ELS, HIS, HCS
dan MULO. Selain itu atas usulan dari Awad Sjahbal, kapiten Arab di Surakarta,
di Surakarta didirikan Hollandsch Arabische School (HAS) oleh pemerintah.
Pemerintah Hindia-Belanda memberi subsidi kepada sekolah-sekolah untuk
menunjang kegiatan belajar-mengajar. Penyelenggaraan sekolah dengan
perlengkapan dan tingkatan biaya rata-rata sesuai dengan kemampuan teoritis
anggaran pemerintah. Adapun biaya rata-rata tiap murid satu tahun adalah sebagai
berikut :
Tabel 1
Biaya Rata-rata Tiap Murid Dalam Satu Tahun di Sekolah Rendah
Pemerintah Hindia-Belanda Tahun 1937
Sekolah Berbahasa
Belanda
Biaya Rata-
rata (gulden)
Sekolah Berbahasa
Bumiputera
Biaya Rata-
rata (gulden)
Sekolah Eropa (ELS)
HIS
Sekolah Khusus
Schakel
HAS
HCS
f. 90,-
f. 45,-
-
-
-
f. 60
Sekolah Desa
Sekolah Vervolg
Sekolah Vervolg
(dengan mata
pelajaran bahasa
Belanda)
Sekolah Vervolg
untuk gadis
f. 5,-
f. 14,50
f. 20,-
f. 17,-
Sumber : Pendidikan di Indonesia 1900-1945, hal. 282, di sadur dari van der Wal,
Het Onderwijsbeleid in Nederland-Indie 1900-1940.
28
Tabel di atas hanya tertera biaya di ELS, HIS, dan HCS. Dari tabel tersebut
dapat diketahui bahwa bantuan pemerintah tidak merata, hanya sekolah-sekolah
tertentu saja yang mendapat subsidi dengan jumlah yang tidak sama. Kesukaran
terdapat dalam pembiayaan sekolah rendah corak Barat. Dengan demikian,
diharapkan partisipasi masyarakat dalam perluasan sekolah.
Selain di bawah kekuasaan pemerintah Kolonial di Surakarta juga dikenal
sebagai kawasan vorstenlanden, yang tebagi menjadi dua kerajaan yaitu
Kasunanan dan Praja Mangkunegaran. Dengan masyarakat yang heterogen dan
terbagi dalam beberapa kekuasaan sehingga tak heran pula bila ada banyak
sekolah yang ada di daerah ini, baik sekolah pemerintah maupun swasta.
Misalnya pendidikan di Praja Mangkunegaran. Pada tahun 1912,
didirikannya sekolah pendidikan formal di Mangkunegaran yaitu Sekolah Siswo.
Pembangunan sarana dalam bidang pendidikan dilakukan Mangkunegara VII
dengan melanjutkan pengelolaan Sekolah Siswo dan Studiefonds, serta
memprakarsai berdirinya Sekolah Siswarini dan Sekolah Van Deventer (1927),
juga memperkenalkan pendidikan non formal berupa les-les bahasa asing,
khususnya bahasa Belanda dan kursus keterampilan (menjahit, melukis, membuat
patung, mengukir). 15
Di kawasan Keraton Surakarta Hadiningrat juga berkembang sekolah-
sekolah milik pemerintah maupun milik pihak Kasunanan sendiri. Para putra
kraton seperti Paku Buwana X juga menikmati pendidikan formal. Sekolah seperti
Derde School di Mesen, Eerste School di Lojiwetan, ada juga pendidikan olahraga
15
Sri Wahyuni, Sekolah Siswo Mangkunegaran 1912-1959, (Surakarta: UNS. Skripsi, 2005),
hal 12
29
yaitu Gijmnastik School juga berada di Lojiwetan. Sekolah anak (Frobel school)
di Sangkrah, kemudian dimasukkan ke sekolah lanjutan yang putra masuk Evaste
School dan yang putri di Meisjesscool. Selain sekolah formal para putra-putri
istana juga diberi pendidikan tambahan oleh guru bahasa Jawa. Jadi selain
mendapat pendidikan bahasa Belanda, mereka juga belajar bahasa Jawa, Perancis
dan Inggris, juga belajar kerajinan tangan (Handwark). 16
Sunan Paku Buwana X juga mendirikan sekolah Islam untuk menunjukkan
kedudukannya sebagai panatagama. Pada 1905 di Surakarta telah berdiri sebuah
sekolah Islam dengan nama Mambaul Ulum.17
Pada 1 September 1910, didirikan
sekolah Kasatriyan bertempat di Balowarti. Pada tahun 1922 bekerjasama dengan
Budi Utomo membuka Cursus Boekhouden serta Cursus Nederlandsche Taal. 18
Sekolah yang dikelola oleh swasta juga banyak bermunculan di Surakarta.
Pada masa kolonial struktur masyarakatnya terbagi menjadi tiga golongan, yaitu
masyarakat Barat, Timur Asing dan pribumi. Selain sekolah-sekolah tersebut di
atas, ada pula sekolah-sekolah swasta milik masyarakat timur asing, yaitu sekolah
Cina dan sekolah Arab. Sebagai contoh sekolah milik etnis Cina di Surakarta
adalah Sekolah Ting Hwa Hwee Kwa atau Tionghoa Hwee Koan, sedangkan
sekolah Arab misalnya Arrabittah Al-Alawiyah dan Al-Irsyad Al-Islamiyah.
Pada tahun 1910 Pendeta D. Bakker mendirikan sebuah Sekolah Kristen
Pribumi di Surakarta, tetapi Residen Van Wijk melarang pendidikan agama di
sekolah ini dan tidak mengijinkan murid yang non-Kristen untuk ikut serta dalam
kegiatan agama ekstrakurikuler. Bakker berkeberatan dan membawa masalah
16
Soepardi Hadisuparta (alih huruf), Narpawandawa, (Surakarta : Reksa Pustaka
Mangkunegaran, 2009), hal.60-61
17 Kuntowijoyo, Raja Priyayi dan Kawula, (Yogyakarta : Ombak, 2006), hal.39
18 Soepardi Hadisuparta, loc. cit
30
tersebut kepada Gubernur Jendral AWF Idenberg (1909-1916) yang kemudian
justru mengijinkan di Surakarta untuk kegiatan penginjilan. Keberadaan
penginjilan ini telah menimbulkan reaksi dari kalangan umat Islam.19
Salah satu
bentuk dari reaksi tersebut adalah bermunculannya sekolah-sekolah Islam.
Masalah-masalah yang timbul dalam pendidikan memberi dampak yang
dirasakan terutama oleh masyarakat pemakai, misalnya, timbulnya golongan
menengah yang menganggur karena jenis pendidikan tidak sesuai dengan pasar
kerja, atau kesenjangan dalam pemerataan dan mutu pendidikan; pendidikan
lanjutan yang dinikmati oleh anak-anak orang kaya; komersialisasi pendidikan
dalam bentuk yayasan-yayasan dan sebagainya. 20
2. Lembaga Pendidikan Islam di Surakarta
Perkembangan pendidikan Islam di Indonesia antara lain ditandai dengan
munculnya berbagai lembaga pendidikan secara bertahap, mulai dari yang amat
sederhana sampai dengan tahap yang sudah terhitung modern dan lengkap.21
Faktor-faktor pendorong berkembangnya lembaga pendidikan Islam antara lain:
a. Lembaga pendidikan merupakan sarana strategis bagi terjadinya
transformasi nilai dan budaya pada suatu komunitas sosial. Dalam
lintas sejarah, kehadiran lembaga pendidikan Islam telah memberikan
andil yang sangat besar bagi pengembangan ajaran yang terdapat
dalam Al-Qur’an dan Hadits.
b. Keberadaan lembaga pendidikan Islam tidak bisa dilepaskan dari
proses masuknya Islam di nusantara yang sebagian besar bernuansa
19
Hari Mulyadi, dkk, op.cit, hal 140
20 Hellius Sjamsuddin, et.al, Metodologi Sejarah, (Yogyakarta : Ombak, 2007), hal 332
21Abudin Nata, ed, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan
Islam di Indonesia, (Jakarta : PT Gramedia, 2001), hal 1
31
mistis (tarekat) dan mengalami alkuturasi dengan kebudayaan lokal
(adat)
c. Kemunculan lembaga pendidikan Islam bersifat dinamis, baik dari
fungsi maupun sistem pembelajarannya
d. Kehadiran lembaga pendidikan Islam, telah memberi spectrum
tersendiri dalam membuka wawasan dan dinamika intelektual umat
Islam.22
Politik yang dijalankan pemerintah Hindia-Belanda terhadap rakyat
Indonesia yang mayoritas beragama Islam sebenarnya didasarkan oleh rasa
ketakutan, rasa panggilan agamanya, yaitu Kristen dan rasa kolonialismenya
sehingga mereka tetapkan ketentuan atau peraturan menyangkut pendidikan
agama Islam, yaitu ketetapan kolonial yang menyangkut pendidikan Islam antara
lain sebagai berikut :
a. Tahun 1882 pemerintah Hindia-Belanda membentuk suatu badan
khusus yang bertugas untuk mengawasi kehidupan beragama dan
pendidikan Islam yang mereka sebut Priesterraden. Dari penasihat
badan inilah pemerintah Hindia-Belanda mengeluarkan peraturan baru
yang isinya bahwa orang-orang yang memberi pengajaran atau
pengajian agama Islam harus terlebih dahulu meminta izin kepada
Pemerintah Belanda
b. Tahun 1925 keluar lagi peraturan yang lebih ketat terhadap pendidikan
Islam, yaitu bahwa tidak semua orang (kyai) boleh memberikan
22
Ibid, hal 6-7
32
pelajaran mengaji kecuali telah mendapat semacam rekomendasi atau
persetujuan pemerintah Belanda
c. Tahun 1932 keluar lagi peraturan yang isinya berupa kewenangan
untuk memberantas dan menutup madrasah dan sekolah yang tidak ada
izinnya atau memberikan pelajaran yang tidak disukai oleh pemerintah
Belanda yang disebut Ordonansi Sekolah Liar (Wilde School
Ordinatie). 23
Strategi kebijakan pemerintah Hindia-Belanda terhadap keislaman oleh
penduduk pribumi semakin rapi dan terkesan akomodatif setelah adanya salah
seorang penasihat pemerintah Hindia Belanda di bidang keagamaan atau
Islamitische en Arabische Zaken, yaitu Snouck Hurgronje. Snouck Hurgronje
mempelajari seluk beluk muslim Indonesia dengan segala karakteristiknya.
Pada awalnya kelembagaan pendidikan Islam di mulai dari surau
kemudian muncullah lembaga lain seperti pesantren, madrasah dan berbagai
sekolah agama. Lembaga pendidikan Islam tersebut tentunya bertolak belakang
dari sekolah yang diperkenalkan oleh pemerintah kolonial. Baik dari segi
kurikulum, metode pembelajaran maupun sasaran peserta didiknya.
Perkembangan sekolah menumbuhkan gagasan-gagasan dari kaum intelektual
muslim untuk memajukan pendidikan Islam. Mereka mendirikan lembaga
pendidikan baik secara perorangan maupun secara kelompok atau organisasi
dalam bentuk lembaga yang dinamakan madrasah ataupun sekolah.
23
Ibid, hal 74-75
33
Sekolah Islam juga bermunculan di Surakarta. Dalam terjemahan dari
surat Adviseur voor Inlandsche Zaken24
kepada Directur van Onderwijs en
Eeredienst, tertanggal 30 Maret 1915, mengenai sekolah-sekolah agama Islam,
menyebutkan di Solo telah berdiri beberapa masjid dan sekolah Islam yang
bernama Mambaul Ulum. Selain itu, orang Arab juga mendirikan sekolah di Pasar
Kliwon. Sekolah khusus Arab di Batavia dan Surabaya relatif sedikit murid
pribumi aslinya, tetapi di Sidoarjo, Gresik dan Solo (Pasar Kliwon) yang juga
memakai bahasa Arab, jumlah murid pribuminya relatif lebih banyak.
Sekolah umum swasta yang dikelola oleh kaum reformis Islam pada
dasarmya bisa dibedakan dengan sekolah yang dibangun oleh pemerintah.
Sekolah-sekolah Islam pada umumnya mempunyai dasar dan tujuan yang
memberi warna pada ideologi sekolah, dan sistem pendidikan yang diterapkan
berdasarkan ajaran Islam.
Sekolah swasta yang tidak bersubsidi mendapat perhatian khusus dari
pemerintah kolonial karena akan terjadi potensi perlawanan terhadap pemerintah.
Sekolah Liar atau Wilde School lebih bercorak anti pemerintah dan pada
perkembangannya mengalami pasang surut karena tidak terikat oleh organisasi
yang besar. Sekolah-sekolah ini tergantung pada situasi dan kondisi dari faktor
intern maupun ekstern. 25
24 Hamid Algadri, op.cit., hal 178-188
25 Muchammad Ehwanto, Perkembangan Pendidikan Pada Yayasan Pendidikan Islam
Cokroaminoto di Surakarta Tahun 1955-1971, (Surakarta : UNS Skripsi, 1997), hal 33
34
Lembaga pendidikan Islam di Surakarta, misalnya :
1. Mambaul Ulum
Mambaul Ulum didirikan oleh Paku Buwono X pada tanggal 23 Juli 1905.
dengan dibukanya sekolah Mambaul Ulum ini membuktikan bahwa mengaruh
Islam dalam masyarakat telah mendapatkan perhatian dari pihak pemerintah
kerajaan. Sekolah ini dimaksudkan untuk menampung anak-anak abdi dalem
pemutihan, suranata, khatib, ulama, perdikan, juru kunci dan lain sebagainya.
Berdirinya sekolah Islam Mambaul Ulum ini membuktikan bahwa raja tidak lagi
bersifat netral dalam urusan agama, hal ini disebabkan kehadiran zending. Selain
itu berdirinya sekolah ini dikarenakan adanya pengaruh dari gerakan Pan-
Islamisme.
Tujuan utama didirikannya sekolah Mambaul Ulum adalah untuk
membentuk kader-kader ulama sebagai corong dakwah rakyat dengan ajaran
Islam yang diakui sebagai ajaran yang baik oleh masyarakat. Selain itu, juga
untuk mendidik calon pejabat agama yang ahli dan cakap dalam menjalankan
tugasnya, seperti halnya tugas sebagai naib pernikahan dan ahli dalam hukum-
hukum agama. Adapun waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan pendidikan
pada sekolah tersebut adalah 11 tahun. 26
Sebagai seorang panatagama, pada mulanya Paku Buwono X keberatan
dengan adanya kegiatan zending tetapi akhirnya terpaksa mengizinkannya juga.
Sunan menjelaskan kepada Residen W. de Vogel bahwa secara pribadi dia tidak
26
Ibid, hal 38
35
berteberatan terhadap zending, dan tidak memusuhi Kristen, tetapi sebagai
panatagana ia berkeberatan kalau rakyatnya memeluk agama selain Islam.27
2. Muhammadyah
Muhammadyah merupakan organisasi yang bergerak di bidang
pendidikan, kesehatan dan sosial. Didirikan oleh K.H Ahmad Dahlan pada tahun
1912 di Yogyakarta, Muhammadyah bertujuan untuk menegakkan ajaran Islam
sesuai Al-Qur’an dan Hadits. Maksud dari didirikannya organisasi ini adalah
menyebarkan ajaran Nabi Muhammad SAW kepada penduduk bumiputra dan
memajukan hal agama Islam kepada anggota-anggotanya. Untuk mencapai tujuan
tersebut dilakukan usaha seperti mendirikan lembaga-lembaga pendidikan,
mengadakan rapat-rapat dan tabligh, menerbitkan buku, brosur, surat kabar dan
majalah. 28
Muhammadyah cabang Surakarta berdiri sejak tahun 1923, merupakan
perubahan dari Sidik, Amanat, Tabligh, Fatonah (SATF). Gerakan
Muhammadyah mempunyai kegiatan yang permanen diselenggarakan seperti
menyelenggarakan sekolah, kursus-kursus yang teratur ataupun memelihara anak
yatim-piatu. Pembagian kerja antara anggota-anggota pimpinannya pun mulai
diadakan. Kegiatan-kegiatan Muhammadyah tidaklah tumbuh semata-mata dari
buah pikiran pemimpinnya saja. Pengaruh-pengaruh luar juga menjadi salah satu
faktor organisasi ini dapat berkembang. Hal ini terbukti dengan berdirinya PKU
(Penolong Kesengsaraan Umum) dan Aisyah. PKU bergerak di bidang kesehatan,
sementara Aisyah merupakan organisasi wanita Muhammadyah. Aisyah
27 Kuntowijoyo, op.cit, hal 41
28 Javasche Courant. No 71, 4 September 1914, dalam buku Deliar Noer, Gerakan Modern
Islam di Indonesia 1900-1942, hal 86
36
memberikan perhatian kepada anak-anak perempuan remaja dengan membangun
Siswa Pradja yang pada tahun 1931 diubah menjadi Nasyiatul Aisyah.
Pada tahun 1918 didirikan gerakan kepanduan Muhammadyah yang
bernama Hizbul Wathan, sebagai reaksi dari kegiatan misionaris Kristen yang
melakukan latihan kepanduan missi Kristen di alun-alum Mangkunegaran, Solo.
Selain latihan kepanduan, pandu-pandu Muhammadyah juga diberi pelajaran-
pelajaran agama serta latihan dalam berorganisasi. Mulanya Hizbul Wathan
merupakan bagian dari Departemen Pendidikan Muhammadyah. Kemudian pada
Konggres Muhammadyah tahun 1926 memutuskan untuk membentuk departemen
khusus bagi gerakan kepanduan yang dinamakan Majelis Hizbul Wathan. 29
3. Sekolah Al-Islam
Sekolah Al-Islam bertujuan untuk mempersatukan aliran-aliran dalam
Islam dengan tidak mengakui adanya madsab, dan menjadikan Islam sebagai
agama modern yang mampu mengikuti perkembangan zaman. Kelahiran Al-Islam
bermula dari kelompok pengajian di kampung Jamsaren, Surakarta pada tahun
1926, muncul sebagai akibat ketidakpuasan terhadap sistem pendidikan kolonial
yang dualistis dan mempunyai sifat sekuler. Selain itu Al-Islam ingin
menjembatani sistem pendidikan tradisional dan modern yang telah memicu
perpecahan di kalangan umat Islam. 30
Di Surakarta juga berdiri lembaga pendidikan Islam yang didirikan oleh
masyarakat keturunan Arab. Seperti halnya masyarakat Arab di Indonesia pada
umumnya, masyarakat Arab di Surakarta juga terbagi menjadi dua golongan yaitu
Al-Irsyad dan Arrabitah. Ketika di Kelurahan Pasar Kliwon belum didirikan
29
Deliar Noer, op.cit, hal 92
30 Ibid, hal 71
37
lembaga pendidikan milik pemerintah, masyarakat keturunan Arab di Surakarta
telah mendirikan dua lembaga pendidikan untuk anak-anak mereka. Lembaga
pendidikan itu adalah Arrabitah Al-Alawiyah dan Al-Irsyad Al-Islamiyah. Kedua
lembaga pendidikan ini tidak khusus diperuntukan bagi anak-anak keturunan etnis
Arab tetapi terbuka untuk anak-anak dari etnis Jawa atau etnis lain.
Gambaran umum mengenai kedua lembaga pendidikan Islam tersebut
adalah :
1. Arrabitah Al-Alawiyah
Sekolah Arrabitah Al-Alawiyah didirikan oleh masyarakat Arab di
Indonesia, yang dalah hal ini adalah kelompok Alawiyyin. Berdirinya Arrabitah
Al-Alawiyah tidak lepas dari adanya Jamiat Khair yang berdiri di Jakarta tahun
1905. Pada awalnya, Jamiat Khair didirikan oleh orang-orang keturunan Arab dan
beberapa orang Sumatera Barat untuk mengatasi golongan ekonomi lemah.
Kemudian, organisasi ini memfokuskan pada dua bidang kegiatan. Pertama,
pendirian dan pembinaan sekolah pada tingkat dasar, yang guru-gurunya di
datangkan dari Arab. Kedua, pengiriman anak-anak muda ke Turki untuk
melanjutkan pendidikan, namun bidang kedua ini terhambat karena kekurangan
biaya.31
Jamiat Khair merupakan organisasi modern dalam masyarakat Islam dan
yang mendirikan suatu sekolah dengan metode modern seperti penetapan
kurikulum, pemakaian sarana pendidikan dan lain sebagainya.32
Perpecahan di
dalam Jamiat Khair berpengaruh pada berdirinya organisasi Arab yang lain
setelahnya, seperti Al-Irsyad dan Arrabitah Al-Alawiyah. Sekolah di bawah
asuhan kelompok Alawiyyin ini tersebar di beberapa daerah di Indonesia
31
Ibid, hal 68
32 Muchammad Ehwanto, op.cit, hal 36
38
termasuk Surakarta. Seperti halnya sekolah-sekolah Islam pada umumnya sekolah
ini menekankan pada pendidikan agama Islam tanpa meninggalkan pendidikan
umum. Selain bergerak di bidang pendidikan kaum Alawiyyin juga melakukan
kegiatan di bidang da’wah dan publikasi. Sekolah Arrabitah Al-Alawiyah ini akan
dibahas pada Bab berikutnya.
2. Al-Irsyad Al-Islamiyah
Yayasan pendidikan milik komunitas Arab selain Arrabitah Al-Alawiyah
adalah Yayasan Al-Irsyad Al-Islamiyah yang dipelopori oleh Assyeikh Ahmad
Bin Muhammad Assoorkaty Al-Khazrajiy Al-Anshary atau yang lebih dikenal
dengan panggilan Surkati. Setelah Surkati meninggalkan Jamiat Khair, pada tahun
1914 beliau mendirikan Madrasah Al-Irsyad Al-Islamiyah di Jakarta. Al-Irsyad
Al-Islamiyah cabang Solo, berdiri pada tanggal 21 September 1939.
Berdirinya Al-Irsyad diawali dengan sikap Surkati yang tidak setuju
dengan adanya diskriminasi atau perpecahan antara golongan Sayid dengan bukan
Sayid. Syeikh Ahmad Surkati mengeluarkan fatwa bahwa pekawinan antara
seorang Islam bukan Sayid dengan Syarifah adalah jaiz. Fatwa ini dikemukaan di
Solo tahun 1913, ketika di dalam suatu pertemuan Ia menekankan bahwa Islam
memperjuangkan persamaan sesama Muslim tanpa diskriminasi.
Fatwa Surkati mengenai nasib seorang Syarifah yang hidup bersama-sama
dengan seorang Cina di Solo. Dalam suatu pertemuan makan bersama yang
dihadari oleh banyak kalangan masyarakat Arab di Solo, Surkati menyarankan
kepada orang-orang yang hadir untuk mengumpulkan uang untuk keperluan
Syarifah tersebut agar dia dapat meninggalkan orang Cina itu. Tetapi karena tidak
seorangpun yang bersedia memberikan uangnya untuk keperluan ini, Sukarti
39
mengemukakan saran lain, yaitu mencari seorang Muslim yang bersedia menikahi
Syarifah tersebut. Golongan Sayid yang hadir berkeberatan terhadap hal ini
dengan alasan kafa’ah atau tidak sederajat, mereka beranggapan bahwa seorang
Syarifah hanya dapat menikah dengan seorang Sayid.33
Hal itu menyebabkan
kehadiran Surkati tidak disukai oleh kalangan Sayid di lembaga Jamiat Khair,
tempatnya mengajar. Surkati meninggalkan Jamiat Khair pada tahun 1913 dan
membuka sekolah Al-Irsyad.
Al-Irsyad sebagai Perhimpunan Islam yang bertujuan memurnikan tauhid,
ibadah dan amaliyah Islam, bergerak dalam bidang pendidikan, pengajaran,
kebudayaan dan da’wah Islam serta kemasyarakatan berdasarkan Al-Qur’an dan
Sunnah, guna mewujudkan pribadi Muslim dan masyarakat Islam menuju
keridhoan Allah SWT.34
Al-Irsyad sendiri menjuruskan perhatian pada bidang
pendidikan, terutama pada masyarakat Arab, ataupun pada permasalahan yang
timbul di kalangan masyarakat Arab, walaupun orang-orang Indonesia Islam
bukan Arab, ada yang menjadi anggotanya.35
Al-Irsyad memiliki empat badan
otonom, yaitu Pemuda Al-Irsyad, Pelajar Al-Irsyad, Wanita Al-Irsyad dan Puteri
Al-Irsyad.
Bersama-sama dengan Perhimpunan Islam lainnya, terutama
Muhammadyah, Al-Irsyad terus berkembang. Pendiri Muhammadyah Kyai
Ahmad Dahlan, merupakan sahabat akrab Surkati.36
Ahmad Surkati dikenal
sebagai Pelopor Reformasi Islam dan Pelopor Gerakan Pembaharu di Indonesia
33
Deliar Noer, op.cit, hal 74
34 Hussein Abdullah Badjerei, Al-Irsyad, (Jakarta : Perhimpunan Al-Irsyad, 1985), hal 19-20
35 Deliar Noer, op.cit, hal 75
36 Hussein Abdullah Badjerei, op.cit, hal 11
40
serta pembawa faham Muhammad ‘Abduh ke Indonesia. Program reformis
‘Abduh dapat dengan singkat disimpulkan sebagai pemurnian Islam dari
pengaruh-pengaruh dan praktek-praktek yang merusak, pembaharuan pendidikan
tinggi Muslim, pembaharuan dokrin Islam yang dipandang dari pemikiran modern
dan pembelaan Islam.37
37
Azyumardi Azra, Perspektif Islam di Asia Tenggara, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia,
1989), hal 116