FUNGSI INTERMEDIASI LEMBAGA KEUANGAN, KINERJA DAN...
Transcript of FUNGSI INTERMEDIASI LEMBAGA KEUANGAN, KINERJA DAN...
1
FUNGSI INTERMEDIASI LEMBAGA KEUANGAN, KINERJA DAN
KEBERLANJUTAN USAHA PETANI DAN UMKM PERDESAAN DI JAWA
BARAT
Oleh Tuti Karyani1)
, Maman H Karmana 2), Burhan Arief
3), Ronnie Natwidjaja
4)
Abstrak
Saat ini banyak lembaga keuangan yang mulai melirik sektor perdesaan
sebagai akibat terjadinya krisis ekonomi di AS maupun Eropa, karena faktanya
sektor usaha skala besar dan non riil mendorong terjadinya kebangkrutan
ekonomi. Namun demikian, hal ini tidak serta merta sudah tidak ada lagi masalah
dengan permodalan di perdesaan utamanya pertanian. Oleh karena itu maka
penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana fungsi intermediasi
lembaga keuangan di perdesaan saat ini, dan bagaimana pengaruhnya terhadap
kinerja dan keberlanjutan usaha nasabah petani dan UMKM.
Penelitian dilakukan di Jawa Barat dengan objek BRI Unit, BPR dan
Koperasi sebagai lembaga keuangan pelopor di perdesaan. Jumlah sampel 225
orang yang dipilih melalui teknik multi stage cluster random sampling, dengan
analisis statistik yang digunakan ialah Structural Equation Modelling (SEM)
Hasilnya menunjukkan bahwa fungsi intermediasi bervariasi berdasarkan
kelompok lembaga keuangan. Fungsi intermediasi BRI Unit paling baik dengan
adanya agen “Mantri” yang memperlancar proses dalam intermediasi, sebaliknya
fungsi intermediasi pada koperasi paling buruk, terutama pada koperasi petani
padi. Untuk koperasi perikanan dan peternakan yang terakait dengan input faktor
dan pemasaran produk relatif lebih baik. Analisis SEM menunjukkan bahwa
fungsi intermediasi yang diproksi dari kualitas pelayanan berpengaruh positif
terhadap kinerja usaha dan keberlanjutan usaha.
Kata Kunci: fungsi intermediasi, mantri, kinerja usaha dan keberlanjutan usaha
I. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Krisis ekonomi yang terjadi pada sektor keuangan di eropa disinyalir akan
memberikan efek domino bagi negara-negara eropa lainnya, bahkan ke negara-
negara di Asia. Krisis ini dipicu karena kegiatan perekonomian sebagian besar
didanai dari hutang yang digunakan untuk kegiatan usaha skala besar dan sektor
1-4) Dosen Universitas Padjadjaran
2
non riil dengan menapikan sektor UMKM,. sehingga ketika krisis terjadi maka
perekonomian menjadi lumpuh.
Kondisi ini memberikan pembelajaran bagi negara-negara lain, demikian
juga dengan di Indonesia untuk tidak mengalami kejadian yang sama dan
mendorong lembaga keuangan untuk melirik sektor UMKM dan perdesaan,
karena sektor ini telah terbukti mampu bertahan terhadap goncangan ekonomi.
Sektor perdesaan identik dengan para petani dan kehidupan para petani yang
peranannya dalam pembangunan nasional dapat dilihat dari sumbangannya
terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Pada tahun 2006 - 2010 masih
memberikan sumbangan sebesar 13 persen sampai 14 persen. Pentingnya peran
sektor pertanian dapat dilihat juga dalam: (1) menyediakan kebutuhan pangan
yang dibutuhkan masyarakat, (2) menyediakan bahan baku industri, (3) perannya
sebagai sebagai pasar potensial bagi produk-produk industri, (4) penyediaan
tenaga kerja dan pembentukan modal yang diperlukan bagi pembangunan sektor
lain, dan (5) sumber perolehan devisa (Kuznet, 1964; Harianto,2007).
Saat ini banyak lembaga keuangan (LK) sudah mulai memasuki
perdesaan, termasuk di Jawa Barat. Jawa Barat sebagai propinsi yang memiliki
potensi besar dalam bidang agribinis, memiliki LK di perdesaannya lebih variatif.
Apalagi dengan dicetuskannya Millenium Development Goals (MDGs) dimana
sektor finansial didorong untuk memberi dukungan sektor UMKM melalui LKM.
Banyaknya lembaga keuangan menyerbu perdesaan merupakan angin segar
walaupun belum memberikan indikasi kemudahan masyarakat desa mendapat
pelayanan dari lembaga tersebut karena faktanya keterbatasan modal (lack of
capital) masih sering menjadi masalah di perdesaan.
BRI Unit, BPR dan Koperasi merupakan pemain lama yang selama ini
berperan sebagai lembaga keuangan di perdesaan. Dengan masuknya berbagai
macam LK ke perdesaan maka persaingan antara LK akan semakin ketat, dan ini
menuntut masing-masing LK proaktif dalam merebut posisi dimata masyarakat
guna mencapai tujuan yang maksimal. Oleh karena itu LK tidak saja harus
memperhatikan kualitas dari produknya tetapi harus memperhatikan kepuasan
nasabah melalui jasa layanan (service) yang diberikan, kualitas bukanlah untuk
3
memenuhi sejumlah kriteria yang ditetapkan pimpinan, namun sejumlah kriteria
yang ditetapkan nasabah dan apa saja yang mereka inginkan.
Bagaimana lembaga keuangan perdesaan mengimplementasikan fungsi
intermediasinya melalui kualitas pelayanan yang diberikan tanpa mengabaikan
keberlanjutan lembaganya, karena diharapkan dengan fungsi intermediasi LKP
yang optimal akan meningkatkan kemampuan nasabah dalam penguatan modal,
kinerja usaha dan keberkelanjutan usaha nasabah.
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian pendahuluan tersebut, maka dapat diidentifikasikan
beberapa permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana penilaian nasabah terhadap kualitas pelayanan LKP dalam
menjalankan fungsi intermediasinya di Jawa Barat
2. Bagaimana pengaruh fungsi intermediasi terhadap kinerja usaha dan
keberlanjutan usaha nasabah LKP di Jawa Barat
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan identifikasi masalah tersebut, maka maksud dan tujuan yang
ingin dicapai dalam penelitian adalah sebagai berikut :
1. Mengidentifikasi penilaian nasabah atas kualitas pelayanan LKP dalam
menjalankan fungsi intermediasinya di Jawa Barat
2. Menganalisis pengaruh fungsi intermediasi terhadap kinerja usaha dan
keberlanjutan usaha nasabah LKP di Jawa Barat.
II. Kajian Pustaka
2.1 Kualitas Pelayanan Lembaga Keuangan dalam Menjalankan Fungsi
Intermediasinya
Salah satu fungsi utama dari lembaga keuangan ialah fungsi intermediasi
antara pihak yang memiliki kelebihan dana dengan yang kekurangan dana. Selain
itu lembaga keuangan juga merupakan lembaga yang menawarkan jasa, sehingga
4
dalam menjalankan fungsinya harus memenuhi kaidah sebagai lembaga yang
memberikan pelayanan yang prima atau berkualitas. Dengan demikian maka
konsep fungsi intermediasi dapat didekati dengan kualitas pelayanan yang
diberikan. Pendapat mengenai fungsi intermediasi harus dipandang dari sisi
pelayanan lembaga keuangan diperkuat dengan Amended theory yang
menyatakan bahwa Financial intermediary is an entrepreneurial provider of
financial services (Scholtens, B and Van Wensveen, D.M.N, 2000).
Untuk menilai kualitas pelayanan suatu Lembaga Jasa, maka menurut
Parasuraman, Zeithaml, dan Berry (1995,1998), terdapat lima dimensi yang
harus diperhatikan yaitu: tangible, empathy, reliability, responsiveness,
assurance.
Tangibles merupakan bukti nyata dari kepedulian dan perhatian yang
diberikan oleh penyedia jasa kepada konsumen. Pentingnya dimensi tangibles ini
akan menumbuhkan image penyedia jasa terutama bagi konsumen baru dalam
mengevaluasi kualitas jasa. Perusahaan yang tidak memperhatikan fasilitas
fisiknya akan merusak image perusahaan.
Jadi yang dimaksud dengan dimensi tangibles adalah suatu lingkungan
fisik perusahaan jasa dan konsumennya berinteraksi. Komponen-komponen
tangibles akan memfasilitasi komunikasi jasa tersebut meliputi penampilan fisik
seperti gedung, ruangan front-office, tempat parkir, kebersihan, kerapian,
kenyamanan ruangan, dan penampilan karyawan. Kriteria ini berlaku terutama di
perkotaan, ada pun bagi orang-orang di perdesaan penampilan fisik sebenarnya
tidak begitu diperhatikan yang penting tempat tersebut fisik bangunannya bisa
memberikan keamanan bagi uang yang disimpannya.
Emphaty merupakan kemampuan perusahaan yang dilakukan langsung
oleh karyawan untuk memberikan perhatian kepada konsumen secara individu,
termasuk juga kepekaan akan kebutuhan konsumen. Jadi komponen dari dimensi
ini merupakan gabungan dari akses (acces) yaitu kemudahan untuk memanfaatkan
jasa yang ditawarkan oleh perusahaan, komunikasi merupakan kemampuan
melakukan untuk menyampaikan informasi untuk mengurangi asimetri informasi
kepada konsumen untuk mengetahui dan memahami kebutuhan dan keinginan
5
konsumen. Indikatornya bisa berupa pembinaan dan penyuluhan, perhatian
terhadap usaha nasabah.
Reliability atau kehandalan merupakan kemampuan perusahaan untuk
memberikan jasa sesuai dengan apa yang telah dijanjikan secara tepat waktu.
Pentingnya dimensi ini adalah kepuasan konsumen akan menurun bila jasa yang
diberikan tidak sesuai dengan yang dijanjikan. Adapun indikatornya ialah: (a)
kejujuran pegawai, artinya pegawai ini sudah dikenal oleh masyarakat sebagai
orang yang jujur, oleh karena itu pegawai ini sering berinteraksi dengan masyakat
(b) pelayanan pada saat mendaftar tidak berbelit-belit, mudah, waktu pelayanan,
yaitu sesuai dengan yang dijanjikan
Responsiveness atau daya tanggap merupakan kemampuan lembaga
keuangan atau yang dilakukan oleh langsung karyawan untuk memberikan
pelayanan dengan cepat dan tanggap. Daya tanggap dapat menumbuhkan persepsi
yang positif terhadap kualitas jasa yang diberikan. Termasuk di dalamnya jika
terjadi kegagalan atau keterlambatan dalam penyampaian jasa, pihak penyedia
jasa berusaha memperbaiki atau meminimalkan kerugian konsumen dengan
segera.
Dimensi ini menekankan pada perhatian dan kecepatan karyawan yang
terlibat untuk menanggapi permintaan, pertanyaan, dan keluhan konsumen. Jadi
komponen atau unsur dari dimensi ini terdiri dari kesigapan karyawan dalam
melayani pelanggan, kecepatan karyawan dalam melayani pelanggan, dan
penanganan keluhan pelanggan, kejelasan informasi, pemberian pelayanan yang
tidak diskriminatif.
Assurance atau jaminan merupakan pengetahuan dan perilaku employee
untuk membangun kepercayaan dan keyakinan pada diri konsumen dalam
mengkonsumsi jasa yang ditawarkan. Dimensi ini sangat penting karena
melibatkan persepsi konsumen terhadap risiko ketidakpastian yang tinggi terhadap
kemampuan penyedia jasa. Perusahaan membangun kepercayaan dan kesetiaan
konsumen melalui karyawan yang terlibat langsung menangani konsumen. Jadi
komponen dari dimensi ini terdiri dari kompetensi karyawan yang meliputi
keterampilan, pengetahuan yang dimiliki karyawan untuk melakukan pelayanan
6
dan kredibilitas perusahaan yang meliputi hal-hal yang berhubungan dengan
kepercayaan konsumen kepada perusahaan seperti, reputasi perusahaan, prestasi
dan lain-lain. Indikatornya ialah karyawan memiliki (a) Kemampuan
berkomunikasi dengan baik,(b) informasi akurat,(c) sopan santun dan ramah, (d)
terampil, (e) memberikan keamanan.
Untuk masyarakat perdesaan yang lebih sederhana dalam kesehariannya,
maka kualitas pelayanan yang diharapkan dari pihak lembaga keuangan dapat
didekati dengan beberapa atribut di atas dengan modifikasi sesuai dengan
kebutuhan dan kondisi masyarakat.
2.2 Peran Modal Hubungannya Dengan Kinerja dan Keberlanjutan Usaha
Lembaga keuangan menurut Mosher (1966) merupakan salah satu dari
lima syarat pelancar yang harus dipenuhi dalam pembangunan pertanian yang
menyebutkan lebih spesifiknya sebagai kredit, yaitu sumber modal yang
ditawarkan oleh lembaga keuangan. Keberadaan kredit merupakan penguatan
terhadap kemampuan usaha petani untuk mengakses teknologi. Teknologi yang
selalu berubah menurut Mosher merupakan salah satu syarat pokok pembangunan
pertanian. Teknologi dalam pertanian adalah segala sesuatu yang dapat
memudahkan pekerjaan dan menghasilkan output yang lebih baik. Hal ini berbeda
dengan istilah otomatisasi yang berarti menggantikan suatu pekerjaan yang
dilakukan manusia dengan mesin (Robbins dan Coulter, 2005). Teknologi dalam
pertanian dapat berupa alat-alat, pestisida, maupun metode bertani yang baru,
termasuk juga teknologi pengolahan, penanganan pasca panen dan pemasaran
hasil.
Dengan demikian keberadaan kredit melalui lembaga keuangan
perdesaan penting untuk menguatkan sistem produksi dan pengolahan yang
masih tradisional. Persoalan ini sebenarnya dapat diatasi dengan adanya modal
yang berputar di dalam sistem produksi dan pengolahan. Namun demikian
keterbatasan modal merupakan persoalan paling rumit di wilayah perdesaan.
Keterbatasan modal menyebabkan aktivitas ekonomi tidak berjalan, sehingga
kemudian menyebabkan masyarakat berada dalam posisi tersubordinasi (Ellis dan
7
Biggs, 2001). Karena itu, para perumus kebijakan pembangunan perdesaan harus
mengawinkan kelembagaan sektor finansial dengan kebijakan pemerintah agar
mampu menggerakkan kegiatan ekonomi di wilayah perdesaan, khususnya usaha
pertanian dan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).
Secara faktual di sektor pertanian dan perdesaan, usaha kecil
(termasuk skala mikro) memiliki kontribusi yang sangat signifikan terhadap
pendapatan domestik bruto (PDB). Hasil kajian Wijono (2005) menunjukkan
bahwa 85 persen kontribusi sektor pertanian terhadap PDB didominasi oleh
unit usaha berskala kecil. Implikasinya adalah setiap langkah dalam memacu
perekonomian perdesaan yang umumnya berbasis pada sektor pertanian, harus
disertai dengan upaya memajukan usaha skala mikro/kecil. Kontribusi usaha
kecil dalam penyerapan tenaga kerja juga sangat dominan. Pada tahun 2004
jumlah tenaga kerja yang terserap di usaha kecil mencapai 70,92 juta, jauh lebih
besar dibandingkan dengan usaha menengah (8,15 juta) dan usaha besar (0,40
juta), bahkan di Jawa Barat pada tahun 2010 mampu menyerap 80% dari total
angkatan kerja. Oleh karena itu tidak berlebihan bila dikatakan bahwa sektor
pertanian dan UMKM terlalu berharga untuk diabaikan (Abdullah, 2006).
Dalam implementasinya, kredit ini memberikan tambahan modal atau
dengan kata lain terdapat penguatan modal. melaksanakan usahanya sehingga para
pelaku usaha tani pada gilirannya akan mampu menggunakan teknologi dengan
lebih baik, karena teknologi ini sebagai barang ekonomi memerlukan korbanan
ekonomi untuk menjangkaunya. Selanjutnya,dengan tekonologi yang lebih baik
diharapkan produktivitas usahatani akan meningkat. Oleh karen itu, maka proksi
dari kinerja usaha sebagai akibat dari adanya kredit ialah penguatan modal,
peningkatan penggunaan teknologi dan peningkatan produktivitas usaha.
Usaha yang baik tentunya usaha yang berlangsung terus dalam jangka
panjang (berkelanjutan), bukan usaha yang hanya berjalan sesaat saja. Berkaitan
dengan modal yang berasal dari kredit, maka kriteria berkelanjutan tentunya
terdapat kemampuan untuk membayar kredit beserta kontraprestasinya itu dengan
lancar. Adapun kemampuan membayar ini akan terjadi bila usaha yang dibiayai
meraih keuntungan.
8
III. Metode Penelitian
Penelitian dilakukan menggunakan metode survey dengan mengambil
sampel nasabah Bank BRI, BPR dan Koperasi. untuk menetapkan lokasi
penelitian dilakukan dengan teknik multistage cluster sampling method terdiri atas
suatu seri klaster berdasarkan persamaan kriteria (Nan Lin, 1976). Kriteria yang
digunakan ialah luas lahan pertaian dan jumlah lembaga keuangan yang
dikelompokkan berdasarkan type agroekosistem. Berdasarkan teknik tersebut
terpilih 2 kecamatan di Garut (Cikajang dan Cisurupan) dan 2 kecamatan di
Indramayu (Haur Geulis dan Loh Bener).
Penilaian atas kualitas pelayanan, kinerja usaha dan keberlanjutan usaha
menggunakan analisis likert, yang selanjutnya dianalisis menggunakan SEM
(Structural Equation Modelling (SEM).
IV. Hasil dan Pembahasan
4.1 Penilain Nasabah Terhadap Fungsi Intermediasi LKP di Jawa Barat
Berdasarkan hasil wawancara, penilaian nasabah terhadap dimensi fungsi
intermediasi LKP yang didekati dari kualitas pelayanannya, diperoleh skor
sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 4.1
Tabel 4.1 Skor Variabel Fungsi Intermediasi LKP
Skor
BRI BPR Koperasi
Grt Ida Jabar Grt Ida Jabar Grt Ida Jabar
Tangible 656 670 1326 324 323 647 929 717 1646
Reliability 505 500 1005 244 254 498 706 546 1252
Responsiveness 668 657 1325 324 327 651 919 705 1624
Assurance 517 487 1004 244 247 491 696 536 1232
Empathy 485 475 960 240 237 477 710 496 1206
Fungsi
Intermediasi 2831 2789 5620 1376 1388 2764 3960 3000 6960
Kriteria Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik
Keterangan: Grt = Garut Ida = Indramayu Jabar = Jawa Barat
9
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa fungsi intermediasi LKP dari
pendekatan mikro yaitu menurut pendapat nasabahnya sudah baik. Artinya
lembaga keuangan baik BRI Unit, BPR dan koperasi oleh nasabahnya sudah
menjalankan fungsi intermediasinya. Namun walaupun secara total skor termasuk
klasifikasi (kriteria) baik, tetapi bila dibandingkan antar lokasi, maka LKP di
Garut (agroekosistem dataran tinggi) sebaran penilaian untuk BRI Unit dinilai
lebih baik dibandingkan BPR dan Koperasi, karena sebesar 40% menilainya
sangat baik dan 60% baik; adapun untuk BPR sebanyak 10% yang menilainya
sangat baik dan sisanya baik; bahkan untuk koperasi terdapat penilaian kualitas
pelayanan yang masih termasuk kriteria kurang baik yaitu 8%
Untuk Kabupaten Indramayu penilaian nasabah terhadap fungsi
intermediasi LKP secara total hampir sama dengan di Kabupaten Garut yaitu
termasuk dalam kriteria baik walaupun skor-nya berbeda untuk tiap indikator,
yaitu untuk BRI Unit skornya termasuk kriteria sangat baik dan baik, demikian
juga dengan BPR. Untuk LK Koperasi bahkan masih ada yang menilai fungsi
intermediasi tidak baik sebesar 2%.
Koperasi di Indramayu yang anggotanya masih ada yang menilai fungsi
intermediasi tidak baik ialah untuk Koperasi Bina Hasil Tani yang posisinya ada
di bawah binaan PT Pertani tetapi membuka kesempatan untuk petani sekitar
bahkan sampai keluar kecamatan untuk bergabung menjadi anggota koperasi. Hal
ini dimaksudkan ke depannya untuk bisa ditarik ke dalam program Resi Gudang
(RG) yang diujicobakan di PT Pertani sebagai pemilik gudang sejak tahun 2008,
dan diimplementasikan tahun 2009 sampai sekarang, tetapi kapasitas gudang yang
harusnya mencapai 10.000 ton tidak terpenuhi, sehingga menyebabkan biaya
gudang menjadi mahal, dan ini pula yang menjadi salah satu keberatan petani.
4.2 Kinerja Usaha Petani dan UMKM Berdasarkan LKP
Jasa yang diintermediasi dari pihak yang surplus terhadap pihak yang
defisit ialah kredit. Secara teoritis kredit dapat meningkatkan permodalan
sehingga bisa lebih kuat, nasabah akan lebih bisa mengakses teknologi yang lebih
10
baik dan pada gilirannya bisa meningkatkan produktivitas usahanya. Penilaian
mengenai pengaruh kredit di Garut untuk semua lembaga keuangan ternyata
secara total dilihat dari skor-nya termasuk ke dalam kriteria kurang berpengaruh
baik. Keadaan ini secara teoritis bukan salah melainkan disebabkan ada beberapa
alasan yaitu: 1) terdapat mis-alokasi kredit (lihat alokasi kredit), karena selain
untuk produksi nasabah menggunakannya untuk konsumtif termasuk untuk
memenuhi keperluan untuk pendidikan 2) jumlah kredit yang diberikan
dirasakan sangat kurang sehingga tidak cukup untuk menjangkau teknologi
lebih baik,
3) Tidak merasa perlu menggunakan teknologi baru, karena menganggap
teknologi yang sudah ada sudah cukup baik, 4) Produktifitas bila tidak ada hama
atau penyakit, dianggap normal saja.
Tabel 4.2 Skor Pengaruh Kredit LKP Terhadap Kinerja Usaha Nasabah
BRI BPR Koperasi
Grt Ida Jabar Grt Ida Jabar Grt Ida Jabar
Penguatan modal 156 164 320 80 61 141 97 166 263
Pening Teknologi 87 81 168 32 44 76 116 81 197
Produktivitas 166 167 333 78 75 153 152 179 331
Jumlah Skor 409 412 821 190 180 370 365 426 791
Kriteria Baik Baik Baik
Krg
baik
Krg
Baik
Krg
Baik
Tdk
Baik
Krg
Baik
Tdk
baik
Secara parsial pengaruh kredit terhadap kinerja untuk kelompok nasabah
LKP ternyata menyebar dari yang menganggap sangat baik pengaruhnya sampai
sangat tidak baik. Untuk LK Bank BRI Unit, lebih banyak menyatakan
berpengaruh baik karena memang digunakan untuk modal usaha, tetapi yang
mencolok di koperasi, sebagai contoh di KPGS, kredit kurang berpengaruh
bahkan tidak berpengaruh baik terhadap kinerja usaha, bukan karena tidak
digunakan untuk penguatan modal (karena bentuk makanan ternak) menurut
penilaian mereka sangat tidak berpengaruh disebabkan harga makanan ternak
(makter) terlalu mahal (Rp 1.700 sd Rp 1.800), sedangkan harga jual susu per
11
liter Rp 2690 s/d Rp. 2700, sehingga peternak memberikan ransum sapinya
dengan dosis yang tidak sesuai aturan.
Di BRI Unit di Indramayu, pengaruh kredit terhadap kinerja menurut
penilaian nasabahnya sebagian besar berpengaruh baik karena sebagian besar
kreditnya digunakan untuk membeli faktor produksi termasuk untuk menggadai
sawah baru, karena salah satu bentuk investasi atau tabungan di Indramayu
adalah sawah yang diperoleh secara gadai. Biasanya sawah yang digadai
merupakan sawah PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) dengan
ketentuan masyarakat menanam padi dari lahan yang dicetaknya dan Perhutani
menitipkan kayu putih. Kebiasaan menggadaikan kembali sawah yang dicetak
petani ini menunjukkan bahwa mereka memerlukan uang tunai dan jangka
waktu gadai paling tidak selama 2 musim tanam.
Nasabah BPR menilai pengaruh kredit terhadap kinerja usaha cukup
merata dari yang sangat baik sampai sangat tidak baik sehingga dilihat dari
skornya termasuk kurang baik. Yang menilai tidak baik ialah petani yang
menggunakan kreditnya untuk modal usahataninya, tetapi ternyata padinya
hancur akibat serangan hama wereng. Petani tidak mendapat perlindungan
padahal hutangnya tetap harus dibayar. Walaupun demikian, kebijakan BPR
yang sudah benar-benar mengenal nasabahnya tetap memberikan pinjaman
berikutnya agar nasabahnya tetap bisa berusaha dan mengembalikan kreditnya.
Untuk nasabah koperasi persentase yang menilai pengaruh kredit baik
terhadap kinerja usaha lebih tinggi dibandingkan BPR terutama untuk koperasi
mina yang kreditnya benar-benar merupakan faktor produksi untuk menjalankan
usahanya berupa perbekalan selama menangkap ikan di laut. Adapun yang
menilai kredit tidak berpengaruh disebabkan nilai kredit kurang sesuai dengan
kebutuhan, juga disebabkan merasa permintaan kreditnya belum terpenuhi
sehingga tidak berpengaruh terhadap kinerja usahanya.
12
4.3 Keberlanjutan Usaha Berdasarkan Penilaian Nasabah LKP
Sebagai gambararan konkrit dari fungsi intermediasi ialah penyaluran kredit
dari LK kepada nasabah yang awalnya mempengaruhi kinerja usaha, akan
mempengaruhi pula terhadap sustainability (keberlanjutan) usaha. Keberlanjutan
usaha terjadi bila usaha jalan terus sebagai akibat adanya keuntungan dan pada
gilirannya mempunyai kemampuan untuk membayar kembali utang-utangnya.
Penilaian bahwa kinerja usaha ini mempengaruhi keberlanjutan usaha
kenyataannya juga sejalan, yaitu bagi yang menggunakan sebagaimana mestinya
maka berpengaruh terhadap keberlanjutan usaha nasabah menjadi baik. Walaupun
demikian terdapat fenomena yang berbeda di lapangan, yaitu nasabah yang
menilai fungsi intermediasi LK kurang berpengaruh terhadap kinerja usaha tetapi
sebenarnya mereka punya keyakinan bahwa seandainya tidak terjadi hal-hal yang
tidak diinginkan (hama, harga produk yang jatuh) maka keberadaan kredit dapat
membuat usaha mereka beruntung dan apa pun yang terjadi mereka sadar betul
pentingnya melunasi kredit karena khawatir tidak akan diberi kredit berikutnya,
apalagi kredit yang mereka ambil bukan kredit program pemerintah. Dengan
demikian kesadaran melunasi kredit sebagai kewajiban yang harus dikembalikan
untuk kredit komersial sangat bagus, dan ini pula yang memberi spirit yang lebih
tinggi bagi bank untuk lebih banyak mengucurkan kredit komersialnya daripada
kredit program pemerintah. Kondisi ini memang terjadi pada kredit komersial
yang dikucurkan oleh LKP pada kasus penelitian ini. Penilaian terhadap
keberlanjutan usaha berdasarkan lembaga keuangan sebagaimana dapat dilihat
pada Tabel 4.3
Tabel 4.3 Penlaian Nasabah Terhadap Pengaruh Kredit Terhadap Keberlanjutan
Usaha
BRI BPR Koperasi
Grt Ida Jabar Grt Ida Jabar Grt Ida Jabar
Profitabilitas 172 174 346 86 80 166 189 193 382
Kemampuan
bayar 187 197 384 92 99 191 293 220 513
Jumlah 359 371 730 178 179 357 482 413 895
Kriteria
Sangat
Baik
Sangat
Baik
Sangat
Baik
Sangat
Baik
Sangat
Baik
Sangat
Baik Baik Baik Baik
13
Skor penilaian terhadap keberlanjutan usaha untuk setiap LKP, baik untuk
Kabupaten Garut maupun Indramayu, sebenarnya bervariasi.
Di Kabupaten Garut untuk nasabah koperasi ada yang menilainya tidak
baik pengaruhnya karena merasa bahwa kredit yang diperolehnya tidak cukup
untuk meningkatkan keuntungan. Banyak faktor lain yang mempengaruhi
keuntungan sehingga petani dan UMKM bisa berkelanjutan usahanya. Sebagai
contoh ketika petani mendapat kredit dalam waktu bersamaan dengan harga
komoditas sayur yang ditanamnya sedang jatuh, maka mereka tidak mendapat
keuntungan. Selain itu faktor alokasi penggunaan kredit yang kurang sesuai juga
menjadi penyebab buruknya keberlanjutan usaha, sebagaimana terjadi pada
penilaian nasabah koperasi.
Untuk kredit natura berupa makanan ternak (konsentrat) di KPGS dan
KUD Cisurupan memang digunakan untuk faktor produksi, tetapi dalam
implementasinya beberapa peternak tidak membeli/mengkredit konsentrat sesuai
kebutuhan. Hal ini terjadi karena harga konsentrat yang mahal mencapai Rp.
1800/kg, sementara harga susu yang diterima peternak hanya Rp 2700. Setiap
ekor sapi membutuhkan 5 kg makanan ternak per hari dengan produksi susu
maksimal 15 liter per hari dan rata-rata 11 liter. Kondisi ini menyebabkan
peternak mengurangi penggunaan konsentrat, apalagi sapi peternak tidak
semuanya sudah berumur produktif.
Harga susu yang dianggap wajar oleh peternak ialah Rp 3500/liter, karena
peternak memiliki kewajiban-kewajiban lain baik yang sifatnya variabel maupun
tetap, seperti iuran wajib, tabungan sukarela yang progresif sesuai jumlah susu
yang dihasilkannya, disamping pula angsuran bila punya hutang baik karena
kredit uang, berupa natura ( makanan ternak dan sembako)
Berdasarkan kelompok LKP, baik di Garut maupun Indramayu yang
dinilai sangat baik terhadap usaha yang berkelanjutan ialah BRI Unit, ada pun
untuk BPR dinilai baik,. Berbeda pada Koperasi, di Kabupaten Garut dinilai baik
sedangkan di Indramayu kurang baik. Secara keselurahan simpulannya untuk
14
Garut pengaruh terhadap keberlanjutan usaha sudah baik, sedangkan di Indramayu
tergolong kurang baik.
4.4 Analisis Pengaruh Fungsi Intermediasi Lembaga Keuangan Terhadap
Kinerja Usaha dan Keberlanjutan Usaha Nasabah
Alat analisis yang digunakan ialah Structural Equation Modelling (SEM).
Sebelum dilakukan pengujian terhadap hipotesis penelitian, terlebih dahulu
dilakukan analisis terhadap data hasil penelitian yang meliputi uji validitas dan
reliabilitas, uji normalitas serta yang uji kesesuaian model (goodness of fit).
Hasil uji validitas menunjukkan bahwa semua item pernyataan valid
sehingga tidak ada yang direduksi pada analisis selanjutnya. Koefisien reliabilitas
kuesioner ketiga variabel yang diteliti juga semuanya lebih besar dari 0,7 sehingga
dapat disimpulkan bahwa alat ukur yang digunakan sudah memberikan hasil yang
konsisten.
Hasil uji normalitas multivariat, diperoleh nilai chi-square sebesar 297,557
dengan p-value 0,000, oleh karena p-value lebih kecil dari 0,05 dapat disimpulkan
bahwa data variabel manifes (indikator) tidak berdistribusi normal multivariat.
Sesuai dengan hasil uji normalitas data (tidak normal), maka metode estimasi
yang cocok digunakan untuk menguji pengaruh fungsi intermediasi terhadap
sustainabilitas dengan kinerja usaha sebagai variabel perantara adalah metode
robust maximum likelihood.
Hasil ukuran kesesuaian absolut menunjukkan model yang diperoleh
memenuhi kriteria goodness of fit pada ukuran RMSEA yang relatif kecil (0,037 <
0,080) dan ukuran Goodness of Fit Index yang relatif besar (0,964 > 0,90)
sehingga dapat disimpulkan bahwa model empiris yang diperoleh sudah sesuai
dengan model teoritis. Untuk ukuran parsimonius (CFI, IFI, RFI) semua
memenuhi kriteria model yang baik, yaitu lebih besar dari 0.9.
Pada uji kecocokoan model (goodness of fit) menyimpulkan bahwa model
dapat diterima, artinya model yang diperoleh dapat digunakan untuk menguji
hipotesis penelitian yang telah ditetapkan. Menggunakan metode estimasi robust
maximum likelihood diperoleh diagram jalur full model pengaruh fungsi
15
intermediasi terhadap sustainabilitas melalui dan kinerja usaha sebagai variabel
perantara seperti terlihat pada Gambar 4.1 berikut.
Gambar 4.1 Koefisien Standarisasi Permodelan Persamaan Struktural
Melalui bobot faktor yang terdapat pada Gambar 4.1 dapat dilihat pada
variabel laten fungsi intermediasi (ksi), indikator X3 (responsiveness) lebih
dominan dalam merefleksikan variabel laten fungsi intermediasi (ksi), kemudian
disusul indikator X2 (reliability). Selanjutnya indikator X5 (empathy) paling
rendah dalam merefleksikan variabel laten fungsi intermediasi (ksi)
Pada variabel laten endogen kinerja usaha (eta1), indikator Y1 (penguatan
modal) lebih dominan dalam merefleksikan variabel laten kinerja usaha (eta1).
Adapun indikator Y2 (peningkatan teknologi ) merupakan yang paling rendah
dalam merefleksikan variabel laten kinerja usaha (eta1). Kemudian pada variabel
laten sustainabilitas (eta2), indikator Z1 (profit) lebih dominan dalam
merefleksikan variabel laten keberlanjutan/sustainabilitas (eta2), dibanding
indikator Z2 (solvabilitas ).
Selanjutnya dilakukan pengujian apakah indikator-indikator yang
digunakan untuk mengukur variabel laten kinerja usaha kecil menengah dan
pertanian memiliki derajat kesesuaian yang tinggi melalui pendekatan construct
16
reliability dan variance extracted. Hasil pengujian untuk masing masing indikator
variabel laten diuraikan pada Tabel 4.4 sebagai berikut:
Tabel 4.4 Construct Reliability dan Variance Extracted Masing-Masing
Variabel Laten
Variabel Manifes Bobot Faktor () Variabel Laten
Ksi Eta1 Eta2
X1 0,7060
X2 0,7634
X3 0,7924
X4 0,7883
X5 0,6150
Y1
0,8730
Y2
0,7251
Y3
0,7698
Z1
0,9185
Z2
0,7594
3,6651 2,3679 1,6779
2 2,7088 1,8805 1,4203
2,2912 1,1195 0,5797
Construct Reliability 0,9307 0,8486 0,7379
Variance Extracted 0,5418 0,6268 0,7102
Pada variabel laten fungsi intermediasi, nilai variance extracted sebesar
0,5418 menunjukkan bahwa 54,18% informasi yang terkandung pada variabel
manifes (kelima indikator) dapat terwakili dalam variabel laten fungsi
intermediasi. Kemudian nilai construct reliability dari kelima indikator variabel
laten fungsi intermediasi (0,9307) masih lebih besar dari yang di rekomendasikan
yaitu 0,70. Pada variabel laten kinerja usaha, nilai variance extracted sebesar
0,6268 menunjukkan bahwa 62,68% informasi yang terkandung pada variabel
manifes (ketiga indikator) dapat terwakili dalam variabel laten kinerja usaha.
Adapun nilai construct reliability dari ketiga indikator variabel laten kinerja
usaha (0,8486) masih lebih besar dari yang di rekomendasikan yaitu 0,70.
Pada variabel laten sustainabilitas, nilai variance extracted sebesar 0,7102
menunjukkan bahwa 71,02% informasi yang terkandung pada variabel manifes
(kedua indikator) dapat terwakili dalam variabel laten sustainabilitas. Kemudian
17
nilai construct reliability dari kedua indikator variabel laten sustainabilitas
(0,7379) masih lebih besar dari yang di rekomendasikan yaitu 0,70.
1) Model Struktural
Model struktural adalah model yang menghubungkan variabel laten
exogenous dengan variabel laten endogenous atau hubungan variabel endogenous
dengan variabel endogenous lainnya. Berikut rangkuman nilai-nilai yang
digunakan dalam model struktural.
Tabel 4.5 Rangkuman Hasil Uji Statistik
Sub Struktur Jalur Koefisien thitung* R-Square
Pertama Ksi Eta1 0,5517 8,9830 0,3044
Kedua Ksi Eta2 0,4567 5,8888 0,3999
Eta1 Eta2 0,2528 3,1350
*tkritis = 1,96
Fungsi intermediasi dapat memberikan penjelasan sebesar 30,44% terhadap
kinerja usaha petani dan UMKM berbasis agribisnis dan sisanya sebesar 69,56%
dijelaskan oleh faktor-faktor lain yang tidak diteliti. Kemudian secara bersama-
sama fungsi intermediasi dan kinerja usaha memberikan penjelasan sebesar
39,99% terhadap sustainabilitas petani dan UMKM berbasis agribisnis, sedangkan
sisanya sebesar 60,01% dijelaskan oleh faktor-faktor lain yang tidak diteliti.
Selanjutnya dilakukan pengujian hipotesis untuk membuktikan ada
tidaknya pengaruh fungsi intermediasi terhadap sustainabilitas melalui kinerja
usaha sebagai variabel perantara.
1) Pengaruh Fungsi Intermediasi Terhadap Kinerja Usaha
Pada Tabel 4.5 dapat dilihat koefisien jalur fungsi intermediasi (ksi)
terhadap kinerja usaha (eta1) sebesar 0,5517 dengan arah positif, artinya fungsi
intermediasi yang dijalankan dengan baik akan meningkatkan kinerja usaha petani
dan UMKM berbasis agribisnis. Nilai thitung (8,9830) lebih besar dibanding tkritis
(1,96) memberikan bukti empiris bahwa fungsi intermediasi (ksi) memberikan
18
pengaruh yang signifikan terhadap kinerja usaha (eta2) pada usaha petani dan
UMKM berbasis agribisnis. Secara langsung fungsi intermediasi memberikan
kontribusi atau pengaruh sebesar (0,55172 × 100%) = 30,44% terhadap kinerja
usaha petani dan UMKM berbasis agribisnis.
2). Pengaruh Fungsi Intermediasi Terhadap Keberlanjutan Usaha
(Sustainability)
Pada Tabel 4.5 dapat dilihat koefisien jalur fungsi intermediasi (ksi)
terhadap sustainabilitas (eta2) sebesar 0,4567 dengan arah positif, artinya fungsi
intermediasi yang dijalankan dengan baik akan meningkatkan sustainabilitas
usaha petani dan UMKM berbasis agribisnis. Nilai thitung (5,8888) lebih besar
dibanding tkritis (1,96) memberikan bukti empiris bahwa fungsi intermediasi (ksi)
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap sustainabilitas (eta2) pada usaha
petani dan UMKM berbasis agribisnis. Secara langsung fungsi intermediasi
memberikan kontribusi atau pengaruh sebesar (0,45672 × 100%) = 20,86%
terhadap sustainabilitas usaha petani dan UMKM berbasis agribisnis. Kemudian
pengaruh tidak langsung fungsi intermediasi terhadap sustainabilitas usaha petani
dan UMKM berbasis agribisnis melalui kinerja usaha sebesar (0,4567 × 0,5517 ×
0,2528) × 100% = 6,37 persen.
3). Pengaruh Kinerja Usaha Terhadap Keberlanjutan Usaha (Sustainability)
Koefisien jalur kinerja usaha (eta1) terhadap sustainabilitas (eta2) sebesar
0,2528 dengan arah positif, artinya semakin baik kinerja usaha petani dan UMKM
berbasis agribisnis meningkatkan sustainabilitas usaha petani dan UMKM
berbasis agribisnis tersebut. Selanjutnya nilai thitung (3,1350) lebih besar
dibanding tkritis (1,96) memberikan bukti empiris bahwa kinerja usaha (eta1)
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap sustainabilitas (eta2) pada usaha
petani dan UMKM berbasis agribisnis . Secara langsung kinerja usaha
19
memberikan kontribusi atau pengaruh sebesar (0,25282 × 100%) = 6,39%
terhadap sustainabilitas usaha petani dan UMKM berbasis agribisnis.
Dari hasil analisis SEM ini menunjukkan bahwa model yang dibangun
sudah sesuai dengan hipotesis bahwa fungsi intermediasi berpengaruh terhadap
kinerja dan sustainabilitas usaha baik secara langsung maupun tidak langsung,
demikian juga kinerja usaha terhadap sustainabilitas usaha.
V. Simpulan dan Saran
5.1 Simpulan
1. Fungsi intermediasi lembaga keuangan perdesaan yang paling baik dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional ialah BRI Unit.
Kunci keberhasilan dari BRI Unit ialah karena adanya “mantri” sebagai ujung
tombak (agen) yang menjembatani hubungan antara BRI Unit dengan nasabahnya.
Demikian juga untuk BPR, fungsi intermediasinya juga dinilai baik oleh
masyarakat karena memiliki agen seperti mantri yang bertugas di lapangan
mengadakan kunjungan ke nasabah, bahkan memberikan pelayanan tabungan
sekalipun uang nasabah tersebut berupa recehan. Walaupun demikian, karena
penguasaan teknologi, sumberdaya manusia serta permodalan yang kurang,
menyebabkan lembaga ini bertambah terpuruk dan sulit bersaing dengan lembaga
keuangan lain yang mulai bermunculan di perdesaan. Untuk koperasi, walaupun
merupakan milik anggota tetapi karena anggota sebagai pemilik memiliki
keterbatasan dalam mengakumulasi permodalannya, ditambah
kekurangprofesionalan manajemen dan karyawan dalam memberikan pelayanan,
fungsi intermediasi koperasi dinilai masih kurang. Upaya jemput bola, kekuatan
posisi tawar (bargain) serta upaya peningkatan nilai tambah masih dirasakan
kurang pada koperasi, terutama pada koperasi yang anggotanya petani padi.
2. Fungsi intermediasi berpengaruh positif terhadap kinerja usaha terutama
dalam permodalan dan produktivitas adapun untuk peningkatan teknologi masih
belum terrefleksikan dengan baik. Fungsi intermediasi dan kinerja usaha
20
berpengaruh positif terhadap keberlanjutan usaha baik langsung maupun tidak
langsung terutama dalam meningkatkan kemampuan mendapat keuntungan.
Artinya semakin baik pelayanan LKP (terutama dalam menyalurkan kredit), maka
akan meningkatkan kinerja usaha dan pada gilirannya akan menciptakan
keberlanjutan usaha.
5.2 Saran
1. Untuk memelihara eksistensi LKP, maka LKP tersebut harus terus
meningkatkan kualitas pelayanan untuk memenangkan persaingan dengan para
pemain baru melalui cara memperbaiki sikap empathy terhadap nasabah. Oleh
karena sikap ini bersifat personal, maka peran agen seperti Mantri (di BRI) perlu
ditingkatkan, dan bagi LKP yang belum memiliki SDM seperti mantri, perlu
mengadopsi cara BRI tersebut. Selain itu, LKP perlu menerapkan lebih fleksibel
cara pembayaran kembali kredit disesuaikan dengan pola usaha nasabah.
Penerapan teknik pembayaran kredit „yarnen‟ pada usahatani perlu dikembangkan
terus.
2. Agar kinerja usaha semakin baik terutama produktifitas usahanya, maka
penggunaan kredit untuk penggunaan teknologi yang tepat, lebih ditingkatkan.
Oleh karena itu harus ada pendampingan terutama untuk mengawasi penggunaan
modal sesuai dengan tujuan kreditnya, terutama dalam penggunan teknologi
dengan dilibatkannya PPL. Demikian juga untuk indikator kemampuan dan
kemauan membayar kembali perlu ditingkatkan pemahaman dan pengertian
kepada nasabah tentang pentingnya membayar kembali kreditnya agar usaha LKP
berkelnjutan karena modal yang dipinjamkan merupakan modal dari masyarakat
juga, selain itu juga untuk menjaga hubungan baik dengan LKP agar bisa
meminjam kembali untuk masa berikutnya.
21
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Burhanudin , 2006. Jalan Menuju Stabilitas. Mencapai Pembangunan
Ekonomi Berkelanjutan. Jakarta: LP3ES.
Ellis, Frank dan Stephen Biggs.2001. Evolving Themes in Rural Development
1950s-2000s. Development Policy Review, Vol. 19, No. 4: 437-448.
Harianto. 2007. Peranan Pertanian dalam Ekonomi Perdesaan. Pusat Studi
Pembangunan Pertanian dan Perdesaan Bogor. IPB. Bogor.
Kuznets S. 1964. Economic Growth and Contribution of Agriculture in Eicher CK
and Witt LW (Eds). Agriculture in Economic Development. New York:
McGraw Hill.
Mosher, A.T. 1966. Getting Agricultural Moving, Essential for Development &
Modernization. New York, Washington. London: Fredrich A Preager
Publisher.
Nan Lin, 1976. Foundations of Social Research. Mc Graw-Hill, Departement of
Sociology State University of New York , Albani
Parasuraman, A. Valarie, A. Zeithaml, & L. Berry, 1998. Communication and
Control Processes in the Delivery of Service Quality, Journal of
Marketing, Vol. 52,pp.35-48.
Robbins, Stephen P. and Mary Coulter. 2005. Manajemen –Ed. 7–jilid 2, Alih
Bahasa T. Hermaya; Penyunting Bahasa Bambang Sarwiji. Jakarta: Indeks
Scholtens, B., and van Wensveen, D.M.N. (2000). A Critique on The Theory of
Financial Intermediation, Journal of Banking and Finance 24, 1243-1251
Wijono, W. 2005. Pemberdayaan Lembaga Keuangan Mikro Sebagai Salah Satu
Pilar Sistem Keuangan Nasional: Upaya Kongkrit Memutus Mata Rantai
Kemiskinan. Kajian Ekonomi dan Keuangan, Edisi Khusus.
http://www.fiskal.depkeu. go.id/bkf/kajian/ wiloejo-diakses 20 Januari
2010