Fiqh Islam Tentang Peribadatan Orang Sakit Fk Ugm

26
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta FIQH ISLAM TENTANG TUNTUNAN THAHARAH DAN TATA CARA IBADAH ORANG SAKIT 1 (dari Teori hingga Praktek) Oleh: Drs. H.I.N. Mufti Abu Yazid & Mu’inan Rafi’, S.H.I., M.SI. 2 I. PENDAHULUAN Manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna di muka bumi ini. Sehingga tidaklak salah jika Allah memuji ciptaan-Nya itu dalam Firman-Nya surat al-Tin [95]: 4. ْ دَ قَ ل اَ نْ قَ لَ خَ انَ سْ ن لْ ا ى ف نَ سْ حَ اْ م! ي وْ قَ تٍ . “Sungguh Kami telah menjadikan manusia dalam bentuk yang sebaik- baiknya”. Begitu besar nikmat yang diberikan kepada manusia. Sehingga dengan terang-terangan Allah menegaskan bahwa kenikmatan yang Allah berikan tidak akan bisa dijangkau dan di nalar oleh manusia. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an surat Ibrahim [14]: 34, ْ ن اَ و اْ وُ ّ دُ عَ تَ ةَ مْ ع ت لة ل ا ا.َ اهْ وُ صْ ُ ح تَ لَ ّ ن اَ انَ سْ ن لْ اٌ مْ وُ لَ 8 ظَ ل اً ارَ ّ قَ ك“Dan jika kamu sekalian menghitung nikmat-nikmat Allah, niscaya kamu tidak dapat menghitungnya. Sungguh manusia itu sangat zalim dan mengingkari nikmat Allah”. Sebagai ungkapan rasa syukur dan terima kasih atas segala nikmat yang diberikan oleh Allah kepada hamba-Nya itu, maka 1 Makalah dengan tema: "Peribadatan Orang yang Sakit” disampaikan pada Kuliah Agama Islam Fakultas Kedokteran UGM Yogyakarta Program Reguler dan Internasional, bertempat di gedung Lt. 5, pada hari Senin, 13 Oktober 2012. 2 Ketua Yayasan Bunga Selasih Yogyakarta; Asisten Pengganti pada kuliah Agama Islam Fakultas Kedokteran UGM Yogyakarta Program Reguler dan Internasional; penulis buku “Peltikan Segar Hati Kusut” dan “Potensi Zakat dari Konsumtif Karitatif ke Produktif Berdayaguna Perspektif Hukum Islam”; Pengampu Jamaah Pengajian Majlis Ta’lim SeNdeGAp” Sergep Nderes Gelis Apal, bidang Fiqh Rubu’ ‘Ubudiyyah (Fiqh al-‘Ibadah) se-Condongcatur Depok Sleman Yogyakarta & sekitarnya; staf ahli Lembaga Konsultasi Keluarga Sakinah (LKKS) serta Rohaniawan Yayasan Bunga Selasih Yogyakarta. (1)

Transcript of Fiqh Islam Tentang Peribadatan Orang Sakit Fk Ugm

Page 1: Fiqh Islam Tentang Peribadatan Orang Sakit Fk Ugm

Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

FIQH ISLAM TENTANG TUNTUNAN THAHARAH DAN TATA CARA IBADAH ORANG SAKIT 1

(dari Teori hingga Praktek)

Oleh: Drs. H.I.N. Mufti Abu Yazid & Mu’inan Rafi’, S.H.I., M.SI. 2

I. PENDAHULUANManusia adalah makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna di muka

bumi ini. Sehingga tidaklak salah jika Allah memuji ciptaan-Nya itu dalam Firman-Nya surat al-Tin [95]: 4.

2ق2د0 2ا ل 2ق0ن ل ان2 خ2 0س2 >ن 0إل 2ح0س2ن> فى> ا 2ق0و>يم0 أ .ت“Sungguh Kami telah menjadikan manusia dalam bentuk yang sebaik- baiknya”.

Begitu besar nikmat yang diberikan kepada manusia. Sehingga dengan terang-terangan Allah menegaskan bahwa kenikmatan yang Allah berikan tidak akan bisa dijangkau dan di nalar oleh manusia. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an surat Ibrahim [14]: 34,

>ن0 2عRدQو0ا و2إ >ع0م2ة2 ت 2تحRـصRو0اه2ا. الله> ن >ن\ ال ان2 ا 0س2 >ن 0ال Rو0م[ ا 2ظ2ل ل2ف\ارا ك

“Dan jika kamu sekalian menghitung nikmat-nikmat Allah, niscaya kamu tidak dapat menghitungnya. Sungguh manusia itu sangat zalim dan mengingkari nikmat Allah”.

Sebagai ungkapan rasa syukur dan terima kasih atas segala nikmat yang diberikan oleh Allah kepada hamba-Nya itu, maka haruslah mampu dibuktikan oleh manusia melalui sarfu al-ni'am 'ala ni'mati al-Mun'im, dengan kata lain, membalas jasa atas anugerah Allah yang dilimpahkan kepada manusia dengan jalan menghambakan diri untuk beribadah dan taqarrub kepada-Nya.3 Statemen tersebut merujuk pada al-Qur’an surat adz-Dzariat [51]: 56.

“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”.

1 Makalah dengan tema: "Peribadatan Orang yang Sakit” disampaikan pada Kuliah Agama Islam Fakultas Kedokteran UGM Yogyakarta Program Reguler dan Internasional, bertempat di gedung Lt. 5, pada hari Senin, 13 Oktober 2012.

2 Ketua Yayasan Bunga Selasih Yogyakarta; Asisten Pengganti pada kuliah Agama Islam Fakultas Kedokteran UGM Yogyakarta Program Reguler dan Internasional; penulis buku “Peltikan Segar Hati Kusut” dan “Potensi Zakat dari Konsumtif Karitatif ke Produktif Berdayaguna Perspektif Hukum Islam”; Pengampu Jamaah Pengajian Majlis Ta’lim ”SeNdeGAp” Sergep Nderes Gelis Apal, bidang Fiqh Rubu’ ‘Ubudiyyah (Fiqh al-‘Ibadah) se-Condongcatur Depok Sleman Yogyakarta & sekitarnya; staf ahli Lembaga Konsultasi Keluarga Sakinah (LKKS) serta Rohaniawan Yayasan Bunga Selasih Yogyakarta.

3 Mu’inan Rafi’, Peltikan Segar Hati Kusut, cet.1 (Yogyakarta: Citra Pustaka, 2010), hlm. 42-43.

(1)

Page 2: Fiqh Islam Tentang Peribadatan Orang Sakit Fk Ugm

Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa, manusia di samping sebagai khalifah di muka bumi, juga dituntut pula untuk mengabdi kepada-Nya, dengan cara beribadah. Taqarrub/ibadah kepada Allah tidak mengenal batas ruang dan waktu serta kondisi yang mengitarinya. Baik diwaktu luang maupun sempit, bahagia maupun susah, baik ketika mendapat nikmat maupun bencana, baik di waktu sehat maupun sakit, semuanya itu bagi orang yang beriman tidak ada kata putus untuk beribadah. Rasa cintanya kepada Allah menuntutnya untuk selalu berhubungan kepada-Nya. Kewajiban beribadah terutama yang fardu yakni shalat, tidak boleh ditinggalkan hanya karena alasan sakit. Karena hukumnya adalah wajib, apabila ditinggalkan maka berdosa dan bila dilaksanakan akan mendapat pahala.

Makalah sederhana ini akan mengupas mengenai tata cara bersuci (thahârah) dan shalat bagi orang/pasien yang sedang sakit dalam tinjauan fiqh Islam. Tema ini disampaikan agar mahasiswa khususnya memahami fiqh Islam yang berkaitan dengan peribadatan orang sakit, serta mampu memberikan tuntunan thahârah dan shalat bagi pasien yang sakit.

II. THAHÂRAH DAN RUANG LINGKUPNYA.A. Definisi Thahârah:

Thahârah berasal dari bahasa arab " ]ة yang berarti bersih atau " ط2ه2ار2suci dari kotoran, baik yang berwujud dzat (hissiyah) atau yang tidak berwujud (ma’nawiyah). Diantara Kotoran yang berwujud seperti kencing, tinja dan lain sebagainya, sedangkan yang bersifat ma`nawiyah seperti syirik dan semua akhlak yang tercela.

Sedangkan thahârah menurut syari' terdapat beberapa pengertian. Sebagian ulama` berpendapat bahwa thahârah ialah mengerjakan sesuatu yang menyebabkan seseorang diperbolehkan menunaikan ibadah shalat dan semisalnya, seperti wudlu, tayammun, dan menghilangkan najis. Sebagian yang lain mendefinisikan bahwa thahârah  yaitu bersih dari najis,4 baik najis yang bersifat hakiki yakni kotoran najis maupun yang bersifat hukmi yakni hadats.5 Dengan demikian, thaharah adalah menghilangkan kotoran yang masih melekat di badan yang membuat tidak sahnya shalat dan ibadah lain6.

4Najis adalah kotoran yang wajib dibersihkan oleh setiap muslim, dengan mencuci benda yang terkena. Adapun Macam-macam najis:

a) Air kencing, tinja manusia, dan hewan yang tidak halal dagingnya, telah disepakati para ulama. Sedangkan kotoran hewan yang halal dimakan dagingnya, hukumnya najis menurut madzhab Hanafi dan Syafi’i; dan suci menurut madzhab Maliki dan Hanbali;

b) Madzi, yaitu air putih lengket yang keluar ketika seseorang sedang berpikir tentang seks dan sejenisnya;

c) Wadi, yaitu air putih yang keluar setelah buang air kecil;d) Darah yang mengalir. Sedangkan yang sedikit di-ma’fu. Menurut madzhab Syafi’i

darah nyamuk, kutu, dan sejenisnya dima’fu jika secara umum dianggap sedikit;e) Anjing dan babi;f) Muntahan;g) Bangkai, kecuali mayat manusia, ikan dan belalang, dan hewan yang tidak berdarah

mengalir.5 kifayah al-Akyar, hlm. 66 Lihat Ibnu Qudamah, Al-Mughni Juz I: 12; dan Abdullah Al-Bassam, Taudhih Al-

Ahkam, Juz I: 87.

(2)

Page 3: Fiqh Islam Tentang Peribadatan Orang Sakit Fk Ugm

Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Adapun menurut Imam Nawawi dari madzhab Syafi’i mendefinisikan thahârah dengan, mengangkat hadats atau menghilangkan najis. Pengertian ini serasi dengan pengertian yang di tafsirkan dikalangan fuqaha madzhab Malikiyah dan Hanabilah, mereka menafsirkan thahârah dengan, mengangkat hadats dan najis dari sesuatu yang menghalangi untuk melaksanakan shalat, baik dengan air, atau mengangkat (hukmi) hukumnya dengan tanah/debu (tayamum).7  

Begitu pentingnya pembahasan thahârah ini, sehingga tidaklah salah jika para fuqaha mendahulukan pembahasan bab thahârah dari pada bab shalat karena thahârah adalah kunci dalam melaksanakan shalat, dan merupakan syarat dari sahnya shalat serta ibadah-ibadah lainnya.

B. Dasar Hukum Thahârah:Pada dasarnya thahârah mempunyai hukum yang berkaitan erat

dengan ibadah lain. Seperti shalat, thawaf, menyentuh mushaf al-Qur’an dan lain sebagainya. Berkenaan dengan shalat, thahârah hukumnya wajib dan tidak sah jika tidak dalam keadaan suci, karena thahârah merupakan syarat sahnya shalat. Abu Hurairah meriwayatkan hadits dari Rasulullah SAW. tentang hal ini, Beliau SAW bersabda:

2 2لR ال Rق0ب 2ةR ت 2ح0د2ث2 م2ن0 ص2ال \ى أ 2 ح2ت 2و2ض\أ 2ت ﴾ البخاري صحيح ﴿. ي“Tidak akan diterima shalat seseorang yang berhadats hingga ia berwudlu`.” 8

Begitu juga thawaf yaitu sama dengan shalat. Bahkan sebagian lagi berpendapat (meskipun masih terjadi perbedaan pendapat/ikhtilaf al-fuqaha) bahwa menyentuh mushaf, tidak diperbolehkan kecuali dalam kondisi suci dari hadats. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT yang berbunyi:

2 هR ال Q2م2س \ ي >ال ون2 إ Rط2ه\رR0م ﴾ 79 :الواقعة ﴿  ال"Tidak boleh menyentuhnya (al-Qur`an) kecuali bagi mereka yang dalam keadaan suci."

Dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 43, dijelaskan tentang perintah untuk bersuci dari hadats maupun najis, baik dengan cara berwudlu atau dengan tayamum. Allah SWT berfirman:

ى ح2ت\ى 2ار2 ك Rم0 س��R 0ت 2ن ة2 و2أ Rوا الص\ال2 ب 2ق0ر2 Rوا ال2 ت \ذ>ين2 آم2ن Qه2ا ال ي2 2ا أ ي

\ى >يل ح2ت ب >ر>ي س��2 اب >ال\ ع��2 ا إ Rب��` ن Rون2 و2ال2 ج Rول��R2ق ا ت وا م��2 R2م�� 2ع0ل تد[ 2ح��2 اء2 أ و0 ج��2

2 ف2ر أ و0 ع2ل2ى س��22 ى أ ض��2 Rم0 م2ر0 0ت Rن >ن0 ك Rوا و2إ ل 2س��> 2غ0ت ت

7 Kitab Majmu’ Juz. 1:124 dan Kitab Mughni Muhtaj Juz. I: 16

8 Dikeluarkan (di-takhrij) oleh Muttafaqun ’alaihi, Imam Bukhari hadis nomor: 135 dan Imam Muslim hadis nomor 225. Hadits yang semakna juga diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi serta Abu Dawud dalam Imam Muhammad ibn Isma’il al-Kahilani, Subul as-Salam bi Syarh Bulug al-Maram Min Jami’ Adillah al-Ahkam, Ahmad ibn ‘Ali ibn Muhammad ibn Hajar al-‘Asqalani al-Qahiri, (Surabaya: Al-Hidayah, t.t.), Juz. I, hlm. 40; bandingkan dengan Wahbah al-Zuhaily, Fiqh al-Islami wa Adilatuhu, Juz 1, hal. 208.

(3)

Page 4: Fiqh Islam Tentang Peribadatan Orang Sakit Fk Ugm

Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

اء` دRوا م��2 2ج��> 2م0 ت اء2 ف2ل �س��2 RمR الن ت م2س��0 و0 ال22 ط> أ 0غ2ائ��> Rم0 م>ن2 ال 0ك م>ن

>ن\ Rم0 إ د>يك 2ي��0 Rم0 و2أ وه>ك Rج��Rو< حRوا ب �با ف2ام0س��2 2م\مRوا ص2ع>يدا ط2ي 2ي ف2ت2ان2 ع2فRو ا غ2فRورا \ه2 ك الل

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema’af lagi Maha Pengampun. (QS: An-Nisa’/4: 43)

Dalam segala situasi, kita dianjurkan supaya dalam keadaan suci. Sebab itu, Allah mencintai orang-orang yang dalam keadaan suci. Seperti firman-Nya dalam surat al-Baqarah ayat 222:

>ن\ \ه2 إ Rح>بQ الل >ين2 ي \و\اب Rح>بQ الت 2ط2ه�ر>ين2 و2ي 0مRت ﴾ 222 البقرة:﴿ ال"Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang bersuci." (Q.S. al-Baqarah/2: 222)

Jadi hukum thahârah wajib dilaksanakan dalam rangka untuk memenuhi syarat sahnya suatu ibadah.

C. Pembagian Thahârah:Dengan memahami pengertian di atas, thahârah dapat dibagi

menjadi dua, yakni: 1. Thahârah  dari hadats, seperti wudlu', mandi dan tayammum.  2. Thahârah  dari najis. ini yang dimaksud adalah mensucikan najis

yang ada pada badan, tempat dan pakaian kita.

D. Alat Thahârah:Alat yang dapat digunakan untuk bersuci –baik dari hadats maupun

najis- ada empat macam, yaitu: 1. Air 2. Debu3. Batu 4. Dabghu (sama`)

Sebagian ulama` muta`akh-khirin menambahkan sabun sebagai pelengkap alat bersuci.

E.Air sebagai Alat Thahârah:1. Macam-macam air untuk bersuci.

Air merupakan sarana yang fundamental dalam hal thahârah. Air yang dapat dipergunakan untuk bersuci adalah air yang bersih (suci dan menyucikan), yaitu air yang turun dari langit atau bersumber dari bumi yang  tidak terkena najis dan belum di pakai untuk bersuci.

Ditinjau dari sumber asalnya, air terbagi menjadi tujuh macam:

(4)

Page 5: Fiqh Islam Tentang Peribadatan Orang Sakit Fk Ugm

Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

1) Air hujan. Yakni air yang turun dari langit dalam bentuk air. Sesuai firman Allah SWT:

Rل 2ز� Rن Rم0 و2ي 0ك 2ي م2اء> م>ن2 ع2ل Rم0 م2اء` الس\ ك Rط2ه�ر2 >ي >ه> ل ﴾ 11 :األنفال ﴿... بArtinya: “dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk menyucikan kamu dengan hujan itu”.

2) Air sumur. Yakni air yang bersumber dari dalam tanah. Allah SWT berfirman:

2م0 2ل 2ر2 أ 2ن\ ت \ه2 أ ل2 الل ز2 2ن��0 م2اء> م>ن2 أ اء` الس��\ 2هR م��2 2ك ل >يع2 ف2س��2 اب 2ن��2 ف>ي ي

ر0ض>2 0أل ﴾ 21 :الزمر ﴿ ا

Artinya: “Apakah kamu tidak memperhatikan, bahwa sesungguhnya Allah menurunkan air dari langit, maka diaturnya menjadi sumber-sumber air di bumi…”.

Dalam hadits riwayat Sahal disebutkan:

2ا سRول2 "...ي \ك2 الله ر2 >ن 0ر 0ن>م Rأ\ض2و2ت2ت إ >ئ اع2ة ب Rض��2 ا0ي>ف2و ب ه��2ا Rنج>ي م��2 اسR ي >ضR الن��\ ائ 0ح��2 RبR و2ال 0جن ال2 و2ال ولR ف2ق��2 Rس�� ر20ه> الله صلى الله> 2ي 2 طRهRو0ر[ ء2Rما0ال2و2سلم: ع2ل هR ال R2ج�س�� Rن ي

ى0ء[ ﴾وغيره أحمد اإلمام وصححه الترمذي حسنه﴿ ش2Artinya: “Ya Rasulullah, engkau berwudlu dari air sumur Budlo’ah yang digunakan orang-orang untuk bersuci (istinja`), untuk mandi orang yang haidl maupun junub. Rasulullah SAW menjawab: “air itu suci dan mensucikan, tidak bisa dinajiskan oleh sesuatu”.

3) Air laut. Yakni air yang berada di lautan dan memiliki rasa asin secara alami. Rasulullah SAW ditanya tentang air laut kemudian beliau bersabda:

0ح>ل± م2اؤهR، الط±هRورR هRو2» RهR ال 2ت 0ت 9«م2ي

Artinya: “Laut itu airnya mensucikan dan bangkainya halal dimakan”.

4) Air sungai. Air yang berada di sungai dan memiliki rasa tawar.

5) Air salju. Yakni air yang turun dari langit dalam wujud es yang lembut dan halus.

6) Air es. Air yang turun dari langit dalam wujud beku dan keras. 

7) Air embun. Air yang turun dari langit pada pertengahan malam dan menempel pada dedaunan atau benda-benda yang lain.

2. Pembagian Air.Dari ketujuh macam air di atas, semuanya dapat digunakan

untuk bersuci. Namun dengan syarat air tersebut dihukumi suci dan

9 Hadits ini diriwayatkan oleh tujuh shahabat yaitu Abu Hurairah, Jabir bin Abdullah, Ali bin Abi Thalib, Anas bin Malik, Abdullah bin Umar, Abu Bakar as-Shidiq dan al-Farasiy (Nashbu al-Rayah Juz. 1: 90, lihat juga Wahbah al-Zuhaily, Fiqh al-Islami wa Adilatuhu, Juz 1: 114.

(5)

Page 6: Fiqh Islam Tentang Peribadatan Orang Sakit Fk Ugm

Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

tidak berubah sifat-sifatnya. Dari sisi hukumnya, air terbagi menjadi empat10 kategori :

a. Air thâhir muthahir.   Artinya air tersebut dihukumi suci yang bisa mensucikan

sesuatu dan tidak makruh digunakan untuk bersuci. Air ini juga disebut air mutlhlak, sebab air ini masih dalam keadaan murni dan statusnya tidak di pengaruhi oleh hal apapun selain pengaruh tempat.11 Seperti air yang di sebutkan di atas, semuanya tergolong air muthlak.

b. Air thâhir muthahir, namun makruh digunakan pada badan.

Air ini tergolong air suci dan mensucikan. Namun, makruh digunakan untuk anggota badan manusia dan hewan ternak. Kemakruhan ini disebabkan adanya bahaya yang ditimbulkan dari air  tersebut.

Termasuk kategori ini yaitu air musyammas. Dikatakan air musyammas karena air tersebut panas akibat sengatan matahari di dalam bejana yang terbuat dari logam selain emas dan perak, dan berada di daerah yang panas seperti Negara Yaman saat kemarau.12 Jika digunakan untuk anggota badan, akan menimbulkan infeksi pada kulit.13 Selain air musyammas yaitu air yang sangat panas sebab direbus dan air yang sangat dingin. Kedua air tersebut bisa menghentikan peredaran darah.

Air musyammas dihukumi makruh jika memenuhi sembilan syarat dibawah ini, yaitu: 1. Berada di kawasan yang cuacanya panas. Seperti Arab Saudi.  2. Sengatan matahari bias mempengaruhi perubahan air menjadi

berkarat. 3. Air ditempatkan pada bejana selain emas dan perak. 4. Penggunaannya saat air masih dalam kondisi panas. 5. Digunakan untuk tubuh baik bagian luar maupun dalam. 6. Pemanasannya pada musim kemarau. 7. Tidak ditemukan selain air tersebut.

10 Ada satu macam air lagi yaitu air yang suci dan menyucikan tetapi haram memakainya, semisal air yang diperoleh dengan cara ghasab atau mencuri (mengambil tanpa izin), air yang dikhususkan untuk minum (ma`u musabbal li-syarb).

11 Maksudnya adalah, setiap air yang mengalami perubahan nama atau status karena semata-mata memandang tempat atau wadahnya, semisall air laut. Dinamakan air laut karena air tersebut memang berada di lautan. Apabila dipindah ke dalam kendi, niscaya air tersebut akan berubah namanya menjadi air kendi, dimasukkan ke dalam sumur menjadi air sumur, demikian seterusnya. Berbeda dengan air yang memiliki status atau nama yang permanen, seperti air kopi, air susu, dll. Air ini, diletakkan dalam wadah apapun tetap namanya tidak akan berubah, baik diletakkan dalam gelas, kendi, gallon, maupun yang lainnya. Air yang memiliki status permanen bukan termasuk air yang suci menyucikan, sehingga tidak dapat dipergunakan untuk berwudlu, mandi dan menghilangkan najis.

12 Untuk Negara Indonesia, termasuk bercuaca sedang, sehingga air yang terkena sengatan matahari tidak masuk kategori musyammas.

13 Sahabat Nabi pernah ada yang menggunakan air musyammas dan tidak lama kemudian meninggal dunia sebab parahnya infeksi kulit yang ditimbulkan dari karat bejananya. 

(6)

Page 7: Fiqh Islam Tentang Peribadatan Orang Sakit Fk Ugm

Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

8. Waktu belum mendesak. 9. Tidak terbukti atau tidak ada dugaan adanya madlarat. Jika

benar-benar terbukti adanya kemadlaratan, maka haram penggunaannya.

Pernyataan di atas sesuai dengan pendapat imam Rafi`i. Akan

tetapi berbeda halnya dengan Imam Nawawi, beliau berpendapat bahwa tidak ada hukum makruh dalam menggunakan air musyammas.

c. Air thâhir ghairu muthahir. Yang dimaksud air thâhir ghairu muthahir, yaitu air yang

masih dalam kondisi suci, namun tidak dapat digunakan untuk bersuci. Termasuk kategori air thâhir ghairu muthahir ada dua, yakni: 1. Air musta'mal, yaitu air yang telah digunakan untuk

menyucikan hadats atau menghilangkan najis, selama tidak berubah sifat-sifatnya (warna, rasa dan baunya), serta volume airnya tidak bertambah.

2.  Air mutaghayyir, yaitu yang telah berubah salah satu sifatnya. Berdasarkan sebabnya, air mutaghayyir ada tiga, yaitu : a.  Mutaghayyir bil-mukhalith. Yaitu air yang berubah sifat-sifatnya sebab bersenyawa

dengan benda suci lainnya hingga mempengaruhi terhadap nama dan statusnya, semisal air kopi, teh, sirup, susu dll.

b.  Mutaghayyir bi-thaulil muktsi. Yaitu air yang berubah sifat-sifatnya sebab terlalu lama

diam. Seperti air kolam yang tidak pernah dijamah manusia hingga berubah sifatnya.

c.  Mutaghayyir bil-mujawir. Yaitu, air yang berubah sifat-sifatnya sebab terpengaruh

benda lain yang ada disekitarnya. Semisal air yang berdekatan dengan bunga melati hingga tercium aroma melati pada air tersebut.

Di antara ketiga air mutaghayyir di atas, yang tidak dapat digunakan untuk bersuci hanya air mutaghayyir bil-mukhalith. Sedangkan dua yang lainnya masih bisa digunakan untuk bersuci.

d. Air mutanajjis. Yaitu air yang terkena najis (kemasukan najis). Berdasarkan ukurannya, air Mutanajis ada dua: 1. Mutanajis dalam ukuran air kurang dari dua qullah. Yaitu air yang terkena najis (kemasukan najis) sedang

volumenya kurang dari dua qullah, baik berubah sifatnya atau tidak.

2. Mutanajis dalam ukuran air dua qullah atau lebih. Yaitu air yang terkena najis (kemasukan najis) sedang volumenya ada dua qullah atau lebih hingga najis mempengaruhi terhadap perubahan sifat-sifat air. Dan Jika

(7)

Page 8: Fiqh Islam Tentang Peribadatan Orang Sakit Fk Ugm

Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

tidak terjadi perubahan maka sah di gunakan untuk bersuci.

Sedangkan ukuran air dua qullah sama dengan atau mendekati 270 liter, atau kubus yang semua sisinya 58 cm.14

3. TayamumArti Tayamum menurut bahasa adalah menyengaja. Sedangkan

menurut syara’ ialah menyengaja tanah untuk menghapus muka dan kedua tangan dengan maksud menghilangkan hadats. Adapun dalil disyari’atkannya tayamum:a. Q.S. An-Nisa’/4: 43

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam Keadaan junub,15 terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.

b. Q.S. Al-Maidah/5: 6.

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit16 atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air

14 Mustafa Dib al-Biga, al-Tadzhib fi adilati matn al-Gayah wa Al-Taqrib al-Masyhur bi Matn Abu Suja’ fi Fiqh as-Syafi’i, (Surabaya: al-Hidayah, t.t.), hal. 11.

15 Menurut sebahagian ahli tafsir dalam ayat ini termuat juga larangan untuk bersembahyang bagi orang junub yang belum mandi

16 Maksudnya: sakit yang tidak boleh kena air.

(8)

Page 9: Fiqh Islam Tentang Peribadatan Orang Sakit Fk Ugm

Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

(kakus) atau menyentuh17 perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.

c. Hadits Rasulullah S.A.W.

Artinya: Seluruh bumi dijadikannya bagiku dan umatku sebagai masjid dan alat bersuci. Maka dimana juga sholat itu menemui salah seorang diantara umatku, di sisinya terdapat alat untuk bersuci itu. (HR. Bukhari)

4. Sebab-sebab yang Membolehkan TayamumDibolehkan bertayamum bagi orang yang berhadats kecil

maupun berhadats besar, baik diwaktu mukim maupun dalam perjalanan. Adapun sebab-sebab yang membolehkan tayamum :a. Jika seseorang tidak mendapatkan air, atau ada tetapi tidak cukup

untuk bersuci. Hadits Rasulullah S.A.W. :

وأبي الل��ه عب��د م��ع شقيق: كنت عن األعمش، عن عم��ار ق��ول تس��مع موس��ى: ألم أب��و فق��ال وائ��ل،

بعث��ني وس��لم عليه الله صلى الله رسول لعمر: إن رس��ول فأتينا بالصعيد، فتمعكت فأجنبت، وأنت، أنا

(إنم��افق��ال: فأخبرن��اه، وسلم عليه الله صلى الله]338[ر: هذا) يكفيك كان

Artinya: Ketika itu kami berada dalam perjalanan bersama Rasulullah S.A.W. Beliaupun sholat bersama orang-orang. Kiranya ada seorang lelaki memencilkan diri, maka tanya Nabi : Kenapa anda tidak sholat?. Ujarnya; Saya dalam keadaan janabat, sedang air tidak ada. Maka sabda Nabi “Pergunakanlah tanah, demikian itu cukup bagi anda”.

b. Jika seseorang dalam keadaan sakit atau luka, dan ia khawatir dengan memakai air penyakitnya semakin parah atau lama sembuhnya.

c. Jika air sangat dingin dan dikhawatirkan akan menimbulkan bahaya dan ia tidak sanggup memanaskan air tersebut.

d. bila air tersebut sangat dibutuhkan untuk keperluan minum bagi manusia maupun hewan.

5. Tata Cara BertayamumHendaklah orang yang bertayamum itu berniat terlebih dahulu,

kemudian meletakkan kedua telapak tangan ke tanah yang suci lalu menghembuskan kedua telapak tangan tersebut, kemudian sapukan ke muka.

17 Artinya: menyentuh. menurut jumhur ialah: menyentuh sedang sebagian mufassirin Ialah: menyetubuhi.

(9)

Page 10: Fiqh Islam Tentang Peribadatan Orang Sakit Fk Ugm

Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Selanjutnya letakkan kembali kedua telapak tangan ke tanah yang suci lalu dihembus kemudian sapukan kedua tangan sampai pergelangan.

6. Hal-hal Yang Dibolehkan dengan TayamumTayamum adalah pengganti wudlu dan mandi. Ketika tidak ada air,

maka dibolehkan dengan tayamum itu apa yang dibolehkan dengan wudlu dan mandi seperti: sholat, thawaf, menyentuh Al Quran, dan lain-lain.

7. Yang Membatalkan TayamumTayammum itu menjadi batal oleh segala sesuatu yang

membatalkan wudlu, karena ia merupakan ganti dari wudlu. Begitu pula ia batal disebabkan adanya air bagi rang yang tidak mendapatkan air, atau bila telah dapat memakai air bagi orang yang tidak sanggup pada mulanya. Misalnya orang yang sakit, karena terlalu dingin.

III. SHALATNYA ORANG YANG SAKIT.A. Shalat Sebagai Kewajiban.

Syari’at Islam dibangun atas dasar ilmu dan kemampuan orang yang dibebani. Tidak ada satu pun beban syari’at yang diwajibkan kepada seorang di luar kemampuannya. Allah Ta’ala sendiri menjelaskan hal ini dalam firman-Nya:

.... “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya....”.(Qs. Al-Baqarah/2:286)  

Atas dasar itu para ulama sepakat dan berisidlal membuat dalil, bahwa barangsiapa yang tidak mampu melakukan shalat dengan berdiri hendaknya shalat sambil duduk, dan jika tidak mampu dengan duduk, maka shalat sambil berbaring dengan posisi tubuh miring dan menghadapkan muka ke kiblat. Disunnatkan miring dengan posisi tubuh miring di atas tubuh bagian kanan. Dan jika tidak mampu melaksanakan shalat dengan berbaring miring, maka ia boleh shalat dengan berbaring telentang.

Imam An-Nasa’i menambahkan: “… lalu jika tidak mampu, maka sambil telentang”. Barangsiapa mampu berdiri, akan tetapi tidak mampu ruku` atau sujud, maka kewajiban berdiri tidak gugur darinya. Ia harus shalat sambil berdiri, lalu ruku’ dengan isyarat (menundukkan kepala), kemudian duduk dan sujud dengan berisyarat, hal ini sebagaimana firman Allah SWT:

0 لله >ين2>و2قRومRوا >ت ق2ان“…Dan berdirilah karena Allah (dalam shalat-mu) dengan khusyu`.” (Q.S. Al-Baqarah/2: 238).

Pun demikian Rasulullah SAW pernah bersabda: “Shalatlah kamu sambil berdiri”. Firman Allah SWT:

....“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah...” (At-Taghabun: 16).

(10)

Page 11: Fiqh Islam Tentang Peribadatan Orang Sakit Fk Ugm

Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Sementara para ahli kedokteran yang terpercaya mengatakan:“Jika kamu shalat bertelentang lebih memudahkan pengobatanmu”, maka boleh shalat telentang. Barangsiapa tidak mampu ruku`dan sujud, maka cukup berisyarat dengan menundukkan kepala pada saat ruku’ dan sujud, dan hendaknya ketika sujud lebih rendah daripada ruku`. Dan jika hanya tidak mampu sujud saja, maka ruku` (seperti lazimnya) dan sujud dengan berisyarat. Jika ia tidak dapat membungkukkan punggungnya, maka ia membungkukkan lehernya; dan jika punggungnya memang bungkuk sehingga seolah-olah ia sedang ruku`, maka apabila hendak ruku`, ia lebih membungkukkan lagi sedikit, dan di waktu sujud ia lebih membungkukkan lagi semampunya hingga mukanya lebih mendekati tanah se-mampunya. Dan barangsiapa tidak mampu berisyarat dengan kepala, maka dengan niat dan bacaan saja, dan kewajiban shalat tetap tidak gugur darinya dalam keadaan bagaimanapun selagi ia masih sadar (berakal), karena dalil-dalil tersebut di atas. Dan apabila ditengah-tengah shalat si penderita mampu melakukan apa yang tidak mampu ia lakukan sebelumnya, seperti berdiri, ruku`, sujud atau berisyarat dengan kepala, maka ia berpindah kepadanya (melakukan apa yang ia mampu) dengan meneruskan shalat tersebut. Dan apabila si sakit tertidur atau lupa melakukan shalat atau karena lainnya, ia wajib menunaikannya di saat ia bangun atau di saat ia ingat, dan tidak boleh menundanya kepada waktu berikutnya. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Barangsiapa tertidur atau lupa melakukan shalat, maka hendaknya ia menunaikannya pada saat ia ingat, tidak ada tebusan lain baginya kecuali hanya itu”. Lalu beliau membaca firman Allah:

“Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, Maka sembahlah aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat aku.” (Q.S. Thaha: 14).

Dalam keadaan bagaimanapun, setiap mukallaf wajib bersungguh-sungguh untuk menunaikan shalat pada hari-hari sakitnya melebihi hari-hari ketika ia sehat.18 Jadi, tidak boleh baginya meninggalkan shalat wajib hingga lewat waktunya, sekalipun ia sakit selagi ia masih sadar (kesadarannya utuh). Ia wajib menunaikan shalat tersebut menurut kemampuannya. Dan apabila ia meninggalkannya dengan sengaja, sedangkan ia sadar (masih berakal) lagi mukallaf serta mampu melakukannya, walaupun hanya dengan isyarat, maka dia adalah orang yang berbuat dosa. Bahkan ada sebagian dari para Ahlul `ilm (ulama) yang mengkafirkannya berdasarkan sabda Nabi SAW: “Perjanjian antara kita dengan mereka (orang munafiq) adalah shalat, barangsiapa meninggalkannya maka kafirlah ia”.

18 Dan bagi yang sakit, jika ia kesulitan untuk melakukan shalat pada waktunya, maka boleh menjama’ antara shalat Zhuhur dengan shalat Ashar dan shalat Maghrib dengan shalat Isya’, baik jama’ taqdim maupun jama’ ta’khir, sesuai kemampuannya. Dan jika ia mau boleh memajukan shalat Asharnya digabung dengan shalat Zhuhur atau mengakhirkan Zhuhur bersama Ashar di waktu Ashar. Atau jika ia menghendaki, boleh memajukan Isya’ bersama Maghrib atau mengakhirkan Maghrib bersama Isya’. Adapun shalat Subuh, (tetap dilakukan seperti biasa) tidak bisa dijama’ dengan shalat sebelum atau sesudahnya, karena waktunya terpisah dari shalat sebelum dan sesudahnya.

(11)

Page 12: Fiqh Islam Tentang Peribadatan Orang Sakit Fk Ugm

Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Begitu pula sabda beliau yang lain: “(Pembatas) antara seorang muslim dengan kemusyrikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat” (HR. Muslim di dalam Shahih-nya).

B. Dasar Hukum Shalat Bagi Orang yang Sakit.Di antara hukum-hukum yang berhubungan dengan orang sakit

dalam ibadah shalatnya adalah:1. Orang yang sakit tetap wajib shalat diwaktunya dan

melaksanakannya menurut kemampuannya. Hal ini berdasar pada firman Allah:

....... ”Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan

dengarlah serta taatlah...”. (Qs. At-Taghâbûn/ 64:16). Dan berdasar pada perintah Rasulullah SAW kepada ‘Imrân bin Husain:

ان2 ع2ن0 0ن> ع>م0ر2 0ن ب ال2 – عن��ه الل��ه رض��ى – حRص2ي 2ت0 ق��2 ان >ى ك��2 ب

Rير 2و2اس��> 2ل0تR ب أ >ى\ ف2س��2 \ب ع2ن> – وس��لم علي��ه الل��ه ص��لى – الن2ة> ا : ص2ل� ف2ق2ال2 الص\ال >م��` >ن0 ، ق2ائ إ 2م0 ف��2 2ط>ع0 ل ت 2س��0 دا، ت ف2ق2اع��>

>ن0 2م0 ف2إ 2ط>ع0 ل ت 2س0 0ب ف2ع2ل2ى ت [البخارى رواه[ .ج2ن“Diriwayatkan dari Imran bin Husein ra., ia berkata; ”Saya menderita penyakit wasir, lalu saya bertanya kepada Rasulullah saw., maka beliau menjawab: “Shalatlah dengan berdiri, jika tidak mampu maka shalatlah kamu sambil duduk. Jika tidak mampu (duduk), maka hendaklah shalatlah dengan berbaring.” (HR. al-Bukhari)19

Dalam hadis yang lain diriwayatkan oleh Imam ad-Daruqutni, bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda:

19 H.R. al-Bukhari no. 1117 bandingkan dengan Mustafa Dib al-Biga, al-Gayah wa Al-Taqrib ., hlm. 15. Dari hadist tersebut di atas dapat diambil kesimpulan, bahwa: (1) Kalau masih mampu berdiri, lakukanlah shalat dengan berdiri; (2) Bila tidak mampu berdiri, maka kerjakanlah dengan duduk seperti duduk iftirasy (bersimpuh ketika duduk untuk melakukan tahiyat awal), dengan menghadap kiblat; (3) Apabila masih tidak mampu (sambil duduk) maka dapat dilakukan dengan berbaring ditempat tidur, kalau masih sanggup miringlah kekanan. Tetapi bila miring juga tidak sanggup, maka lakukanlah dengan telentang. Mengenai takbiratul ihram dan gerakan-gerakan lainnya dapat dilakukan menurut kemampuan. Tidak perlu sujud dan rukuk seperti waktu shalat dengan berdiri. Cukup dengan isyarat takbir intiqal (takbir peralihan); (4) Apabila dengan itu semua tidak mampu, maka shalat dapat dilakukan dengan semampunya, selama ingatan dan kesadaran seseorang masih ada. Karena kewajiban shalat lima waktu merupakan kewajiban yang tidak bisa ditawar-tawar, selagi nyawa masih dikandung badan.

Jika hal itu masih terasa sulit (terutama bagi yang sakit dengan kondisi serius) maka dapat dilakukan dengan cara menjamak shalat, alternatif ini dipilih sebagai alasan rukhsah. Shalat Jama’ ialah mengerjakan dua jenis shalat dalam satu waktu. Misalnya shalat Dzuhur dan shalat Ashar dikerjakan pada waktu shalat Dzuhur, yang disebut Jama’ Taqdim; dan apabila shalat tersebut dikerjakan pada waktu shalat Ashar maka disebut Jama’ Takhir. Adapun shalat yang dijama’ ialah, (1) Dzuhur dengan Ashar; (2). Maghrib dengan Isya’. Sedangkan shalat Shubuh tidak dapat dijama’. Lihat Abu al-Walid al-Qurtubi, al-Andalusi asy-Syahir bi Ibn al-Rusydi, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), I: 124 fi bab al-salah. Bandingkan dengan Imam Muhammad ibn Isma’il al-Kahilani, Subul as-Salam bi Syarh Bulug al-Maram Min Jami’ Adillah al-Ahkam, Ahmad ibn ‘Ali ibn Muhammad ibn Hajar al-‘Asqalani al-Qahiri, (Surabaya: Al-Hidayah, t.t.), Juz. II, hlm. 41-43.

(12)

Page 13: Fiqh Islam Tentang Peribadatan Orang Sakit Fk Ugm

Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

ى ¿���± 2ط>ع0 ص2ل ت 2س0 �2م0 ي >ن0 ل 2ط2اع2، ف2إ ت >ن> اس0 >ما إ 0ضR ق2ائ 0م2ر>ي Rص2ل�ي0 ال يRو0د2هRج Rل2 س�� 2، و2ج2ع�2 أ و0م�2

2 جRد2 أ 2س��0 2ن0 ي 2ط>ع0 أ ت 2س��0 2م0 ي >ن0 ل إ 2ع>دا، ف�2 قا` دا ل�ي2 ق2اع��> Rص��2 2ن0 ي 2ط>ع0 أ ت 2س��0 2م0 ي إن0 ل ه>، ف��2 Rو0ع��> ك R2خ0ف2ض2 م>ن0 ر أ2ط>ع0 ت 2س��0 2م0 ي >ن0 ل إ 2ة>، ف��2 0ل 0ق>ب >ل2 ال 2ق0ب ت 0م2ن> مRس0 2ي 0أل >ه> ا 0ب ن ¿ى ع2ل¿ى ج2 �± صلا هR م>م��\ ل��2 0ق>���يا ر>ج0 2ل ت ى مRس0 ¿���± ، ص2ل 0م2ن> 2ي 0أل >ه> ا 0ب ن Rص2ل�ي2 ع2ل¿ى ج2 2ن0 ي أ

2ة2 0ل 0لق>ب 2ل>ي ا (رواه الدار قطني). ي“Orang yang sakit jika hendak melakukan shalat, apabila mampu berdiri, maka shalatnya dengan berdiri, apabila tidak mampu berdiri, maka dengan duduk, apabila tidak mampu sujud, maka dengan isyaroh dan menjadikan sujudnya lebih rendah daripada ruku’nya, apabila tetap tidak mampu, maka dengan tidur miring sambil menghadap qiblat, apabila tidak masih mampu, maka dengan mengarahkan kakinya ke arah qiblat (tidur terlentang).” (HR. Imam ad- Daruqutni).

2. Apabila berat melakukan setiap shalat pada waktunya maka diperbolehkan baginya untuk men-jama’ (menggabung) antara shalat Zhuhur dan Ashar, Maghrib dan ‘Isya baik dengan jama’ taqdim atau ta’khir. Hal ini melihat kepada yang termudah baginya. Sedangkan shalat Shubuh maka tidak boleh dijama’ karena waktunya terpisah dari shalat sebelum dan sesudahnya.

Diantara dasar kebolehan ini adalah hadits Ibnu Abas ra., yang menyatakan: Rasulullah SAW telah menjama’ antara Zhuhur dan Ashar, Maghrib dan Isya’ di kota Madinah tanpa sebab takut dan hujan. Abu Kuraib berkata: Aku bertanya kepada Ibnu Abas radhiallahu ‘anhuma: Mengapa beliau berbuat demikian? Beliau radhiallahu ‘anhuma menjawab: Agar tidak menyusahkan umatnya. (HR Muslim).20

Dalam hadits di atas jelaslah Rasulullah SAW membolehkan kita menjama’ shalat karena adanya rasa berat yang menyusahkan (masyaqqoh) dan jelas sakit merupakan masyaqqah. Hal ini juga dikuatkan dengan menganalogikan orang sakit kepada orang yang terkena istihaadhoh yang diperintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengakhirkan shalat Zhuhur dan mempercepat Ashar dan mengakhirkan Maghrib dan mempercepat Isya’.

3. Orang yang sakit tidak boleh meninggalkan shalat wajib dalam segala kondisinya selama akalnya masih baik.

4. Orang sakit yang berat untuk mendatangi masjid berjama’ah atau akan menambah dan atau memperlambat kesembuhannya bila shalat berjamaah di masjid maka dibolehkan tidak shalat berjama’ah.

Imam Ibnu al-Mundzir menyatakan: Tidak diketahui adanya perbedaan pendapat dikalangan ulama bahwa orang sakit dibolehkan untuk tidak shalat berjama’ah karena sakitnya. Hal itu karena Rasulullah SAW ketika sakit tidak hadir di Masjid dan berkata:

وا RرR2ا م 2ب 0ر أ 2ك Rص2ل� ب 0ي \اس> ف2ل >الن ب20 Hadits nomor 705.

(13)

Page 14: Fiqh Islam Tentang Peribadatan Orang Sakit Fk Ugm

Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

”Perintahkan Abu Bakar agar mengimami shalat”. (HR- Bukhari Muslim).21

C. Tata Cara Shalat Bagi Orang yang Sakit.

Tata cara shalat orang sakit secara ringkas sebagai berikut:

1. Diwajibkan atas orang yang sakit untuk shalat berdiri apabila mampu dan tidak khawatir sakitnya bertambah parah, karena berdiri dalam shalat wajib adalah salah satu rukunnya. Hal ini berdasarkan firman Allah:

0 >ين2 >لله و2قRومRوا >ت ق2ان“Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu”. (Qs. Al-Baqarah/2:238).

Diwajibkan juga orang yang mampu berdiri walaupun dengan menggunakan tongkat atau bersandar ke tembok atau berpegangan dengan tiang berdasarkan hadits Ummu Qais ra., yang berbunyi:

2ن\ ول2 أ Rس \ه> ر2 \هR ص2ل\ى الل 0ه> الل 2ي \م2 ع2ل ل 2م\ا و2س��2 ن\ ل س��22 ل2 أ \ح0م2 و2ح2م��2 ذ2 الل \خ��2 ات

هR ف>ي ع2مRودا 2م>دR مRص2ال\ 2ع0ت 0ه> ي 2ي ع2ل “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berusia lanjut dan lemah maka beliau memasang tiang di tempat shalatnya untuk menjadi sandaran”.(HR Abu Daud dan dishahihkan al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah 319).22

Demikian juga orang bungkuk diwajibkan berdiri walaupun keadaannya seperti orang rukuk.23 Ibnu Utsaimin  berkata, “Diwajibkan berdiri atas seorang dalam segala caranya, walaupun menyerupai orang ruku’ atau bersandar kepada tongkat, tembok, tiang ataupun manusia.”24

2.Iorang sakit yang mampu berdiri namun tidak mampu ruku’ atau sujud, tetap tidak gugur kewajiban berdirinya. Ia harus shalat berdiri dan bila tidak bisa rukuk maka menunduk untuk rukuk. Bila tidak mampu membongkokkan punggungnya sama sekali maka cukup dengan menundukkan lehernya, Kemudian duduk lalu menunduk untuk sujud dalam keadaan duduk dengan mendekatkan wajahnya ke tanah sedapat mungkin.25

3. Orang sakit yang tidak mampu berdiri maka melakukan shalat wajib dengan duduk, berdasarkan hadits ‘Imrân bin Hushain dan ijma’ para ulama di atas. Ibnu Qudâmah rahimahullah menyatakan, “Para ulama telah ber-ijma’ (bersepakat) bahwa orang yang tidak mampu shalat berdiri maka dibolehkan shalat dengan duduk.” 26

4. Orang sakit yang dikhawatirkan akan menambah parah sakitnya atau memperlambat kesembuhannya atau sangat susah berdiri, 21 Lihat Shahih Muslim dan Fikih Sunnah Juz: I: 512-51322 Lihat Ibnu Qudamah, al-Mughni Juz. II:57123 Ibid., Juz. II:57124 Syarh al-Mumti’ ‘Ala Zâd al-Mustaqni’ Juz. IV:45925 Ibnu Qudamah, al-Mughni Juz. II: 57226 Ibnu Qudamah, al-Mughni Juz. II: 570

(14)

Page 15: Fiqh Islam Tentang Peribadatan Orang Sakit Fk Ugm

Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

diperbolehkan shalat dengan duduk. Ibnu Utsaimin rahimahullah menyatakan, “Yang benar adalah kesulitan (masyaqqah) membolehkan shalat dengan duduk. 27 Apabila seorang merasa susah shalat berdiri maka ia boleh shalat dengan duduk, berdasarkan firman Allah:

Rر>يدR RمR Rالله ي >ك ر2 ب Rس0 0ي 2 ال Rر>يدR و2ال RمR ي >ك ر2 ب 0عRس0 ال “Allah menghendaki kemudahan bagimu,28 dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”. (Qs. Al-Baqarah/2:185)

5. Orang yang sakit apabila shalat dengan duduk sebaiknya duduk bersila pada posisi berdirinya berdasarkan hadits ‘Aisyah ra., yang berbunyi:

R0ت 2ي أ >ي\ ر2 \ب \هR ص2ل\ى الن 0ه> الل 2ي \م2 ع2ل ل Rص2ل�ي و2س2 �عا ي ب 2ر2 مRت“Aku melihat Nabi SAW shalat dengan bersila”.

Hal ini juga karena bersila secara umum lebih enak dan tuma’ninah (tenang) dari duduk iftirâsy.29

6. Orang sakit yang tidak mampu melakukan shalat berdiri dan duduk maka boleh melakukannya dengan berbaring miring, boleh dengan miring ke kanan atau ke kiri dengan menghadapkan wajahnya ke arah kiblat. Hal ini dilakukan dengan dasar sabda Rasulullah SAW dalam hadits ‘Imrân bin al-Hushain: “Shalatlah dengan berdiri, apabila tidak mampu maka duduklah dan bila tidak mampu juga maka berbaringlah”. (HR al-Bukhari no. 1117).

Dalam hadits ini Nabi SAW tidak menjelaskan sisi mana ke kanan atau ke kiri sehingga yang utama adalah yang termudah dari keduanya. Apabila miring ke kanan lebih mudah maka itu yang lebih utama dan bila miring ke kiri itu yang termudah maka itu yang lebih utama. Namun bila kedua-duanya sama mudahnya maka miring ke kanan lebih utama dengan dasar keumuman hadits ‘Aisyah ra., yang berbunyi:

2ان2 سRولR ك \ه> ر2 ل\ى الل هR ص��2 ه> الل��\ 2ي��0 \م2 ع2ل ل Rح>بQ و2س��2 2مQن2 ي \ي ف>ي الت>ه> 0ن أ �ه> ش2 Rل 0ه> ف>ي ك 2ي 2ع0ل >ه> ن ل Qج 2ر2 و2طRهRور>ه> و2ت

27 Ibid., Juz. II: 57128 Sebagaimana juga bila berat berpuasa bagi orang yang sakit walaupun masih

mampu diperbolehkan berbuka dan tidak berpuasa maka demikian juga bila susah berdiri maka ia dibolehkan shalat dengan duduk.”

29 Apabila rukuk maka rukuk dengan bersila dengan membungkukkan punggungnya dan meletakkan tangannya di lututnya, karena ruku’ berposisi berdiri. Dalam keadaan demikian masih diwajibkan sujud diatas tanah dengan dasar keumuman hadits Ibnu Abas ra., yang berbunyi: “Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, “Aku diperintahkan untuk bersujud dengan tujuh tulang; Dahi –dan beliau mengisyaratkan dengan tangannya ke hidung- kedua telapak tangan, dua kaki dan ujung kedua telapak kaki.” (Muttafaqun ‘Alaihi).

Bila tidak mampu juga maka ia meletakkan kedua telapak tangannya ketanah dan menunduk untuk sujud. Bila juga tidak mampu maka hendaknya ia meletakkan tangannya dilututnya dan menundukkan kepalanya lebih rendah dari pada ketika ruku’. Lihat Syarhu al-Mumti’ ‘Ala Zaad al-Mustaqni’, Syeikh Ibnu Utsaimin, Juz. IV: 466-467

(15)

Page 16: Fiqh Islam Tentang Peribadatan Orang Sakit Fk Ugm

Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

“Dahulu Rasulullah SAW suka mendahulukan sebelah kanan dalam seluruh urusannya, dalam memakai sandal, menyisir dan bersucinya”.(HR Muslim no 396).

Kemudian melakukan ruku’ dan sujud dengan isyarat menundukkan kepala ke dada dengan ketentuan sujud lebih rendah dari ruku’. Apabila tidak mampu menggerakkan kepalanya maka para ulama berbeda pendapat dalam tiga pendapat:

a) Melakukannya dengan mata. Sehingga apabila ruku’ maka ia memejamkan matanya sedikit kemudian mengucapkan kata Rم2ن0 ح2م>د2ه< ل Rالله م>ع2 lalu membuka matanya. Apabila sujud maka س2memejamkan matanya lebih dalam.

b) Gugur semua gerakan namun masih melakukan shalat dengan perkataan.

c) Gugur kewajiban shalatnya dan inilah pendapat yang dirajihkan Ibnu Taimiyah.

Syeikh Ibnu Utsaimin merajihkan pendapat kedua dengan menyatakan, “Yang rajih dari tiga pendapat tersebut adalah gugurnya perbuatan saja, karena ini saja yang tidak mampu dilakukan. Sedangkan perkataan maka ia tidak gugur karena ia mampu melakukannya dan Allah berfirman: “Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu”. (Qs. At-Taghabun/64:16)”30

Orang sakit yang tidak mampu berbaring miring, maka boleh melakukan shalat dengan terlentang dan menghadapkan kakinya ke arah kiblat karena hal ini lebih dekat kepada cara berdiri. Misalnya bila kiblatnya arah barat maka letak kepalanya di sebelah timur dan kakinya di arah barat.

7. Apabila tidak mampu menghadap kiblat dan tidak ada yang mengarahkannya atau membantu mengarahkannya ke kiblat, maka shalat sesuai keadaannya tersebut, berdasarkan firman Allah Ta’ala: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”.(Qs. Al-Baqarah/2:286)

8. Orang sakit yang tidak mampu shalat dengan terlentang maka shalat sesuai keadaannya dengan dasar Firman Allah:

\قRوا Rم0 م2ا الله2 ف2ات 2ط2ع0ت ت اس0 “Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu”. (Qs. At-Taghaabun/64:16)

9. Orang yang sakit dan tidak mampu melakukan seluruh keadaan di atas. Ia tidak mampu menggerakkan anggota tubuhnya dan tidak mampu juga dengan matanya, maka ia shalat dengan hatinya. Shalat tetap diwajibkan selama akal seorang masih sehat.

10. Apabila orang sakit mampu di tengah-tengah shalat melakukan perbuatan yang sebelumnya ia tidak mampu, baik keadaan berdiri, ruku’ atau sujud, maka ia melaksanakan shalatnya dengan yang ia telah mampui dan menyempurnakan yang tersisa. Ia tidak perlu

30 Ibid., Syarh., Syeikh Ibnu Utsaimin, Juz. IV: 466-467

(16)

Page 17: Fiqh Islam Tentang Peribadatan Orang Sakit Fk Ugm

Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

mengulang yang telah lalu karena yang telah lalu dari shalat tersebut telah sah.

11. Apabila orang sakit tidak mampu sujud di atas tanah, maka ia menundukkan kepalanya untuk sujud di udara dan tidak mengambil sesuatu sebagai alas sujud. Hal ini didasarkan kepada hadits Jâbir yang berbunyi: “Sesungguhnya Rasulullah SAW menjenguk orang sakit lalu melihatnya shalat di atas (bertelekan) bantal, lalu beliau mengambilnya dan melemparnya. Lalu ia mengambil kayu untuk dijadikan alas shalatnya, lalu Nabi SAW mengambilnya dan melemparnya. Beliau bersabda: “Shalatlah di atas tanah apabila ia mampu dan bila tidak maka dengan isyarat dengan menunduk (al-Imâ’) dan menjadikan sujudnya lebih rendah dari ruku’nya.”

D. Kesimpulan

Pada dasarnya orang sakit sama dengan orang sehat dalam hal

kewajiban melaksanakan shalat tanpa pengecualian, hanya saja bagi

orang sakit ada beberapa rukhsah (keringanan) dalam

melaksanakannya. Di dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa agama Islam itu

mudah tidak sulit, dan Allah tidak menjadikan untuk kita dalam agama

suatu kesempitan. Begitu urgen dan pentingnya shalat, tak terkecuali

orang yang sakit, maka bila tidak mampu dilaksakan dengan berdiri

boleh shalat dengan duduk. Apabila hal itu tidak mampu maka boleh

shalat dengan tidur miring. Bila hal itu masih tidak mungkin, maka

boleh dikerjakan dengan terlentang atau shalat dengan isyarah. Jika hal

itu semua masih tidak mungkin maka shalat tetap dikerjakan dalam hati

selagi oatak dan akal fikiran masih sadar.

-Selamat Belajar dan Beribadah-

(17)

Page 18: Fiqh Islam Tentang Peribadatan Orang Sakit Fk Ugm

Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Riwayat Hidup

Nama : M u ‘ i n a n R a f i’, S.H.I., M.SI.

Umur : 32 Tahun

Tempat/Tanggal Lahir : Gresik, 03 Maret 1979

Agama : Islam

Alamat di Yogyakarta : Jl. Sentulrejo 29 MG II/627, RT: 31/RW: IX

Wirogunan Yogyakarta 55151

Telp. : Telp. (0274) 374390 / HP. 0817 541 2596

PENDIDIKAN:

Jenjang Formal:

1. SDN Pegundan 464 Bungah Gresik Jawa Timur : Tahun 1985

- 1991

2. MI Al-Falahiyah Pegundan Bungah Gresik Jawa Timur : Tahun 1987

- 1993

3. MTs. Ma’arif Assa’adah I Sampurnan Bungah Gresik Jatim : Tahun

1993 - 1996

4. MAK Ma’arif Assa’adah Sampurnan Bungah Gresik Jatim : Tahun

1996 - 1999

5. S-I UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Fakultas Syari’ah-

Jurusan al-Ahwal al-Syahsiyyah (AS) : Tahun 1999 -

2003

6. S-2 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Program Studi-

Hukum Islam Konsentrasi Hukum Keluarga : Tahun 2004

– 2007

Jenjang Non-Formal:

1. PP. Qomaruddin Sampurnan Bungah Gresik Jatim : Tahun 1993

- 1999

2. PP. Wahid Hasyim Gaten CC. Depok Sleman Yogyakarta : Tahun

1999 - 2006

PENGALAMAN KERJA:

(18)

Page 19: Fiqh Islam Tentang Peribadatan Orang Sakit Fk Ugm

Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

1. Koord. Departemen Pelayanan Umat LPM PPWH Yogya : Tahun 1999

- 2001

2. Wakil Ketua LPM Wahid Hasyim Yogyakarta : Tahun 2000

- 2003

3. Guru Staf Madrasah Diniyah PP. Wahid Hasyim Yogya : Tahun

2003 - 2005

4. Guru Staf Bidang Studi Bahasa Arab MA Wahid Hasyim : Tahun

2004 - 2006

5. Guru Staf Ma’had Aly PP.Wahid Hasyim Yogyakarta. : Tahun 2006

- 2009

6. Guru Staf LPD al-Itqon Yogyakarta. : Tahun

2005 - 2006

7. Staf Ahli Lembaga Konsultasi Keluarga Sakinah (LKKS) : Th. 2003 -

Present

8. Staf/Penyuluh Agama Jama’ah Pengajian Bahjatul-

Ummahat se-Condongcatur Depok Sleman Yogyakarta. : Th. 2001-

Present

9. Direktur LP3M Madania dan Konsultan LAZIS Madania-

Panti Asuhan Nurul Haq Gedongkuning Yogyakarta : Tahun 2008

– 2009

10. Bimbingan Belajar Bahasa Arab (LB3A) : Tahun 2009

- 2010

11. Rohaniawan Yayasan Bunga Selasih Yogyakarta : -

Present -

KARYA ILMIAH:

Dalam bentuk buku yang sudah terbit:

1. Peltikan Segar Hati Kusut. (Agustus, 2010) : Penerbit Citra

Pustaka

2. Potensi Zakat (dari Konsumtif-Karitatif ke Produktif-

Berdayaguna) Perspektif Hukum Islam. (Feb. 2011) : Penerbit Citra

Pustaka

3. Dari Taklik Talak Hingga Cerai Gugat Perspektif-

Gender & HAM (masih dalam proses editing penerbit).

(19)

Page 20: Fiqh Islam Tentang Peribadatan Orang Sakit Fk Ugm

Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Dalam bentuk lain (Seminar, Work Shop, Lomba Karya Tulis,

dll):

1. Nikah Sirri dalam Perspektif Hukum Islam (Makalah Seminar

Mahasiswa)

2. Pacaran dan Relevansinya dengan Khitbah (makalah seminar

Remais se-Condongcatur Depok Sleman Yogyakarta).

3. Kafaah dalam Perkawinan (makalah pengajian Remais tidak

diterbitkan).

4. Shalat Tarawih atau Qiyamul Lail? Rekonstruksi Matan Hadis

Shalatul-laili Rasulullah Matsna-Matsna dengan Yusholli Arba’an.

(makalah seminar Songsong Ramadhan Remaja masjid se Kota

Yogyakarta)

5. Kepemimpinan dalam Keluarga (makalah tidak diterbitkan).

6. Menuju Pesantren Eksekutif (Solusi Pesantren dalam Menciptakan

Lapangan Kerja dan Padat Karya). Makalah dalam Lomba karya tulis

ilmiah pengembangan keilmuan keislaman dan ke-pesantrenan yang

diadakan oleh Kementrian Agama RI Pusat badan Litbang dan Diklat.

7. Majmu’ Fiqh ‘Amali ‘Inda A’immah al-Fuqaha’ (antara Teori dan

Praktek) (Diktat)

8. Majmu’ah al-Khutabah al-Ma’asir (Menjadi Khatib yang Benar).

(Diktat)

(20)