Filsafat Pendidikan Islam
Click here to load reader
-
Upload
arief-munandar -
Category
Documents
-
view
18 -
download
0
Transcript of Filsafat Pendidikan Islam
1
TUGAS MANDIRI
Nama : AGUS NUR EKO CAHYO
NPM : 1174645
Prodi/Kelas : PGMI / B
REVITALISASI ANALISIS NILAI DALAM PROSES
PENDIDIKAN
A. Revitalisasi Pendidikan
Revitalisasi dalam konteks pendidikan maksudnya adalah memaksimalkan semua unsur
pendidikan yang dimiliki menjadi lebih vital atau terberdaya lagi, sehingga sasaran dan proses
pendidikan yang dilakukan bisa dicapai dan dilangsungkan dengan maksimal pula.
Banyak hal yang penting dibuat lebih berdaya. Diantaranya sama seperti enam agenda
rapat koordinasi nasional (Rakornas) yang digelar selama tiga hari sejak tanggal 7 sampai dengan
tanggal 9 Agustus 2006, membincang tentang tiga isu aktual saat itu, salah satunya revitalisasi
pendidikan. Enam unsur penting beserta rumusan hasil yang menjadi agenda pembahasan
revitalisasi pendidikan, diantaranya:
1. Penyempurnaan Renstra.
2. Penjaminan mutu melalui ujian nasional.
3. Penjaminan mutu melalui peningkatan kualifikasi dan sertifikasi pendidik, kurikulum, dan
metode pembelajaran.
4. Penjaminan mutu melalui saluran pendidikan bertarap internasional, peningkatan mutu
sarana dan prasarana, pembelajaran berbasis ICT dan TV Edukasi.
5. Sistem seleksi dan pembinaan peserta didik berpotensi kecerdasan dan atau bakat
istimewa.
6. Penuntasan desentralisasi pendidikan jenjang dasar dan menengah, dan pengakuan
kelulusan pendidikan keagamaan.
Pada prinsipnya ruang lingkup dan substansi draft agenda pembahasan pertama, yaitu
Rencana Strategis Pendidikan Nasional 2005-2009 sudah cukup memadai untuk menjadi
pedoman dasar dalam pembangunan pendidikan nasional.
Dalam pengembangan konsep dan implementasi Revitalisasi Pendidikan, diidentifikasi
tiga aspek yang perlu diperkuat yaitu:
2
1. Sinergisme dan harmonisasi pelaksanaan tugas dan fungsi departemen, kementeriandan
lembaga terkait pendidikan.
2. Sinergisme pemerintah pusat dan daerah dalm konteks otonomi daerah.
3. Peningkatan peran serta dan pemberdayaan masyarakat.
Revitalisasi Pendidikan adalah upaya yang lebih cermat, lebih gigih dan lebih bertangung
jawab untuk mewujudkan tujuan pembangunan pendidikan nasional sesuai dengan amanat
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Aspek akhlak mulia,
moral dan budi pekerti perlu dimasukkan dalam pengembangan kebijakan, program dan indikator
keberhasilan pendidikan, khususnya dalam mengembangkan potensi peserta didik.
Pendidikan nasional harus mampu mengidentifikasi dan menjawab tantangan masa depan,
serta menjamin keberlanjutan kebijakan dan programnya. Keberpihakan pemerintah terhadap
masyarakat yang tidak mampu dalam memperoleh layanan pendidikan yang bermutu perlu
dipertegas, sehingga pemerataan pendidikan untuk semua generasi anak bangsa bisa dirasa semua
kalangan dari lintas penjuru se- Indonesia. Terlebih untuk mereka yang punya bakat dan
kemampuan istimewa. Isu untuk anak cerdas dan punya bakat istimewa, dibahas di agenda
pembahasan kelima. isinya mengatur mekanisme rekrutmen, proses pembinaan, sampai dengan
bentuk penghargaan yang layak didapat. Proses seleksi dan proses pembinaan dilakukan dengan
cara sistematis. Pengembangan sistem seleksi, melalui pembinaan anak berbakat yang lebih
efektif perlu didahului dengan sistem pemetaan berjenjang dari tingkat kecamatan sampai dengan
tingkat nasional, dan di samping sistem seleksi secara berjenjang, pembinaan perlu didukung
dengan sistem pemilihan pelatih yang diseleksi dari para guru bidang studi di tingkat kecamatan
sampai dengan tingkat nasional.
Pemerintah juga melibatkan peran serta masyarakat, akan tambah baik apabila ada
demarkasi yang jelas antara peran pemerintah dan peran masyarakat. Pendidikan dan pembinaan
bagi anak anak berpotensi kecerdasan/atau bakat istimewa merupakan private goods yang
diserahkan pengelolaannya lebih banyak kepada masyarakat dan peran pemerintah adalah pada
penentuan regulasi. Peningkatan mutu pendidikan bagi peserta didik pada umumnya merupakan
domain public goods dan oleh karena itu menjadi tanggung jawab pemerintah untuk
mengelolanya secara langsung.
Peran serta masyarakat, terutama dunia usaha melalui corporate social responibility, perlu
untuk lebih didorong melalui sistem insentif bidang perpajakan dan melalui keterlibatan mereka
dalam talent scouting anak-anak berpotensi kecerdasan atau bakat istimewa. Dan kesadaran
philantrophy anggota masyarakat perlu dibangun agar pembinaan siswa berpotensi
kecerdasan/atau bakat istimewa memperoleh dukungan masyarakat secara lebih nyata.
Penghargaan penting diberikan dalam berbagai bentuk, diantaranya seperti; Penghargaan
material dimaksudkan untuk menstimuli pengembangan akademik anak berpotensi
kecerdasan/atau bakat istimewa dan hendaknya tidak menimbulkan ekses berkembangnya sikap
materialistis. Begitu pula penghargaan akademik kepada para siswa berpotensi kecerdasan atau
bakat istimewa peraih prestasi nasional dan atau internasional diarahkan untuk memberikan
3
kesempatan melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi tanpa melalui ujian seleksi.
Untuk memberi kesempatan lebih lanjut bagi siswa berbakat istimewa mengembangkan potensi
akademiknya, pemerintah pusat dan pemerintah daerah menyediakan beasiswa untuk
melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Penghargaan kepada anak berpotensi
kecerdasan atau bakat istimewa secara akademis, perlu diberi jaminan kerja sesuai dengan
keahliannya. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya brain drain seperti yang selama ini
sudah terjadi.
Dan terakhir pentingnya peran khas dari pemerintah, di semua tingkatan baik pemerintah
pusat, propinsi, kota/kabupaten, dan satuan pendidikan. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah
bersinergi dalam melakukan regulasi untuk melakukan pemetaan dan seleksi, serta pembinaan
bagi siswa berpotensi maupun bagi guru pelatih. Pemerintah daerah perlu memasyarakatkan
sikap dan nilai-nilai apresiasitif terhadap pemenang kompetisi pendidikan di daerahnya masing-
masing agar masyarakat secara keseluruhan bisa menghargai prestasi warga masyarakat di bidang
pendidikan. Di samping pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat juga perlu
menyediakan fasilitas dan dana dalam proses seleksi dan pembinaan siswa berpotensi
kecerdasan/atau bakat istimewa dan guru pelatih. Satuan pendidikan melakukan penelusuran
anak-anak yang mempunyai potensi kecerdasan/atau bakat istimewa, dan melakukan pembinaan
untuk menjaga keseimbangan antara aspek akademis dengan aspek moral dan nilai-nilai
nasioalisme. Belajar dari keberhasilan berbagai sistem pelatihan bagi peserta olimpiade, perlu
dikembangkan pusat-pusat pelatihan untuk bidang seni, budaya dan olahraga.
Gagasan revitalisasi pendidikan oleh pemerintah itu, tidak semata-mata khusus hanya
untuk lembaga pendidikan di bawah lingkungan Depdiknas, melainkan menyeluruh dan lebih
luas, termasuk juga lembaga pendidikan di bawah lingkungan Depag. Seperti diketahui
pemerintah mempunyai dua departemen yang sama–sama membawahi lembaga pendidikan yang
ada di Indonesia, pembagian ini dikarenakan ada ciri dan karakter khusus yang berbeda antara
lembaga pendidikan di bawah dua departemen itu. Sentuhan revitalisasi yang dilakukan
pemerintah adalah dalam rangka mewujudkan pemerataan, agar satu sama lain tidak terjadi
ketimpangan. Pemerataan ini bahkan diupayakan pula bagaimana agar bisa sejajar dengan
lembaga pendidikan unggulan lain dari lintas Negara yang ada.
Secara rinci masih banyak bentuk dan berbagai macam tawaran lain seputar revitalisasi
oleh pemerintah apalagi masyarakat luas tentang pendidikan Indonesia ke depan. Banyak
kebijakan yang dikeluarkan sebagai bagian dari spirit revitalisasi. Khusus untuk lembaga
pendidikan agama dalam konteks Indonesia, tawaran revitalisasi menurut Abdul Mu'ti, dapat
dilakukan melalui tiga langkah.
Menyempurnakan perangkat perundang-undangan dan pelaksanaannya. Rancangan UU
Sisdiknas yang sedang dibahas DPR sesungguhnya sudah sangat mencerminkan kondisi obyektif
bangsa Indonesia yang multi-religius. Rancangan dalam pasal 13-1 yang menyebutkan bahwa
"pendidikan agama diberikan sesuai dengan agama siswa dan diajarkan oleh guru yang seagama"
dimaksudkan untuk memperbaiki dan menyempurnakan praktik pendidikan agama yang ternyata
4
belum berjalan sebagaimana mestinya. Rumusan dalam pasal 13-1 tidak sama sekali baru,
melainkan hanya penegasan dari perundangan pendidikan yang sekarang ini seharusnya berlaku.
Rancangan tersebut juga sangat rasional dan universal. Sebagai bangsa yang religius, agama
mendapatkan tempat yang terhormat. Pernyataan bahwa siswa menerima pendidikan agama
sesuai dan oleh guru yang seagama memungkinkan mereka untuk memahami ajaran agamanya
secara mendalam dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Pasal ini tidak mengikat
kelompok tertentu, tetapi semua agama dan lembaga pendidikan.
Meningkatkan kualitas proses belajar-mengajar. Selama ini pelajaran agama lebih
terkesan sebagai "pengajaran" dibandingkan dengan "pendidikan". Dalam konteks "pengajaran",
pelajaran agama dapat diberikan oleh guru yang tidak seagama, bahkan yang anti-agama. Praktik
inilah yang berlaku di negara-negara sekuler, dimana pelajaran agama dimaksudkan untuk
mengetahui ajaran agama sebagai realitas sosiologis mayarakat plural. Dalam pengertian
"pendidikan", pelajaran agama bertujuan untuk memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran
agama. Disini peranan guru yang seagama sangat penting, terutama pada pendidikan Dasar dan
Menengah. Pada level pendidikan ini, guru adalah central figure yang menjadi sumber imitasi dan
otoritas keagamaan. Agama bagi siswa adalah "apa yang diamalkan" oleh gurunya. Termasuk
dalam langkah ini adalah menambah jumlah dan meningkatkan kwalitas kependidikan guru
agama.
Meningkatkan peran sekolah sebagai lembaga pendidikan agama. Dengan sistem
persekolahan sekarang ini, siswa menghabiskan sebagian besar waktunya di sekolah
dibandingkan dengan di rumah. Karena itu, pendidikan agama tidak cukup hanya dalam keluarga.
Disamping karena terbatasnya waktu, banyak orang tua yang tidak mampu memberikan
pendidikan agama. Ketidakmampuan tersebut disebabkan oleh pengetahuan dan oleh tenaga yang
terbatas.
Yang sangat diperlukan dalam hal ini adalah menjadikan pendidikan agama sebagai
bagian integrative dari lembaga pendidikan. Nilai-nilai moral agama melekat dan menjiwai setiap
mata pelajaran. Tidak ada dikotomi antara pelajaran agama dengan yang lainnya. Sekolah
seharusnya menjadi lembaga yang seluruh aktivitas dan personel yang ada di dalamnya
mengamalkan ajaran agama. Misalnya, sekolah dapat menjadi lembaga yang bersih dari korupsi
dimana kejujuran dan keadilan ditegakkan. Sekolah merupakan tempat yang damai dimana
semua orang dapat mengamalkan ajaran agamanya secara bebas, tanpa tekanan, saling
menghormati dan bekerjasama diantara pemeluk agama yang berbeda.
B. Nilai Dalam Pendidikan
1. Nilai Estetika Pendidikan
Bahasa menunjukkan cerminan pribadi seseorang. Karakter, watak, atau pribadi seseorang
dapat diidentifikasi dari perkataan yang ia ucapkan. Penggunaan bahasa yang lemah lembut,
5
sopan, santun, sistematis, teratur, jelas, dan lugas mencerminkan pribadi penuturnya berbudi.
Sebaliknya, melalui penggunaan bahasa yang sarkasme, menghujat, memaki, memfitnah,
mendiskreditkan, memprovokasi, mengejek, atau melecehkan, akan mencitrakan pribadi yang tak
berbudi.
Bahasa memang memiliki peran sentral dalam perkembangan intelektual, sosial, dan
emosional.Begitu pentingnya bahasa dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
sehingga perlu suatu kebijakan yang berimplikasi pada pembinaan dan pembelajaran di lembaga
pendidikan. Salah satu bentuk pembinaan yang dianggap paling strategis adalah pembelajaran
bahasa Indonesia, bahasa Sunda, bahasa Jawa, dan bahasa lainnya di sekolah. Dalam KTSP,
bahasa Indonesia termasuk dalam kelompok mata pelajaran estetika. Kelompok ini juga
merupakan salah satu penyangga dari kelompok agama dan akhlak mulia.Ruang lingkup akhlak
mulia mencakup etika, budi pekerti, atau moral.
Kelompok mata pelajaran estetika sendiri bertujuan untuk meningkatkan sensitivitas,
kemampuan mengekspresikan dan mengapresiasi keindahan dan harmoni.Kemampuan itu
mencakup apresiasi dan ekspresi, baik dalam kehidupan individual sehingga mampu menikmati
dan mesyukuri hidup, maupun dalam kehidupan kemasyarakatan sehingga mampu menciptakan
kebersamaan yang harmonis.
Tujuan rumpun estetika tersebut dijabarkan dalam pembelajaran yang bertujuan agar
peserta didiknya memiliki kemampuan antara lain
Berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara
lisan maupun tulis
Menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, serta
kematangan emosional dan sosial. Tujuan tersebut dilakukan dalam aspek mendengarkan,
berbicara, membaca, dan menulis.
2. Nilai-Nilai Moral Pendidikan
Konflik batin dialami sejumlah siswa SMA beberapa menit setelah mendengarkan
pelajaran tentang nilai-nilai moral.Dalam ruang kelas, guru memperkenalkan dan mengajarkan
nilai saling menghargai, menghormati sesama, menghindari tindak kekerasan, hidup jujur, dan
berlaku adil.
Di luar kelas, mereka menyaksikan peristiwa perendahan martabat manusia, tawuran
antarrekan pelajar, pemuda mengejek pemudi yang sedang lewat, tindak kekerasan oleh preman,
oknum penguasa, korupsi di depan umum (bdk. Seminar Perguruan MTB “Kecerdasan
Emosional dan Penanaman Nilai-nilai Moral dalam Konteks Pembelajaran Siswa”di Pontianak,
17-18/10/ 2003).
Kontradiksi dan disintegrasi antara pendidikan nilai moral di ruang sekolah (kadang nilai
ini tidak pernah ditanamkan!) dan keadaan dalam masyarakat muncul karena beberapa alasan.
6
1) Penanaman nilai moral dalam dunia pendidikan formal umumnya masih berupa
seperangkat teori mentah, terlepas dari realitas hidup masyarakat.Kurang digali akar
terjadinya diskoneksitas antara penanaman nilai moral dan praksis hidup moral dalam
masyarakat.
2) Sebagai lembaga formal yang menyiapkan peserta didik untuk bertindak dan
mentransformasi diri sesuai nilai-nilai moral, ternyata sekolah belum memiliki jaringan
kerja samayang erat dengan keluarga asal peserta didik, lembaga pemerintah,
nonpemerintah, dan seluruh masyarakat.
3) Adanya kesenjangan pandangan hidup antara mereka yang menjunjung tinggi dan
melecehkan pesan moral dalam hidup sosial sehari-hari. Masih tumbuh subur kelompok
sosial yang menghalalkan dan merestui segala cara dan jalan mencapai sasaran yang
digariskan.
Nilai-nilai moral yang perlu disosialisasikan dan diterapkan di masyarakat kita dewasa ini
umumnya mencakup:
1) Kebebasan dan otoritas:
kebebasan memiliki makna majemuk dalam proses pendidikan formal, nonformal, dan
informal. Selama hayat dikandung badan, tak seorang pun memiliki kebebasan mutlak.
Manusia perlu berani untuk hidup dan tampil berbeda dari yang lain tanpa melupakan
prinsip hidup dalam kebersamaan. Kebebasan manusia pada hakikatnya bukan kebebasan
liar, tetapi kebebasan terkontrol.Kebebasan tanpa tanggung jawab mengundang pemegang
roda pemerintahan dalam republik ini untuk menyelewengkan kuasa mereka demi
kepentingan terselubung mereka. Kekuasaan yang seharusnya diterapkan adalah
kekuasaan nutritif yang menyejahterakan hidup rakyat banyak;
2) Kedisiplinan merupakan salah satu masalah akbar dalam proses membangun negara ini.
Kedisiplinan rendah! Sampah bertebaran, para pemegang kuasa menunjukkan posisi
mereka dengan menggunakan “jam karet”, aturan lalu lintas tak pernah sungguh-sungguh
ditaati, tidak sedikit polantas hanya duduk-duduk di bawah pondok di sudut dan
mengintai pelanggar lalu lintas; kedisiplinan mengatur lalu lintas memprihatinkan; banyak
oknum disiplin dalam tindak kejahatan, seperti korupsi; kedisiplinan dalam penegakan
hukum positif terasa lemah sehingga kerusuhan sosial sering terulang di beberapa tempat.
3) Nurani yang benar, baik, jujur, dan tak sesat berperan penting dalam proses sosialisasi
nilai moral dalam negara kita.
Hati nurani perlu mendapat pembinaan terus-menerus supaya tak sesat, buta, dan bahkan
mati. Para pemegang roda pemerintahan negara kita, para pendidik, peserta didik, dan
seluruh anasir masyarakat seharusnya memiliki hati nurani yang terbina baik dan bukan
hati nurani “liar” dan sesat. Keadaan sosial negara kita kini adalah cermin hati nurani
anak-anak bangsa.Penggelapan dan permainan uang oleh pegawai-pegawai pajak,
“pembobolan” uang di bank menunjukkan nurani manusia yang kian korup.
7
Ternyata bukan tanpa halangan untuk menjalankan pendidikan nilai-nilai moral di tengah
kurikulum pendidikan formal yang terasa “mencekik”.Bagaimanakah seorang pendidik bisa
menanamkan nilai moral dalam sebuah kurikulum demikian?Ada beberapa kemungkinan.
1) Terbuka peluang bagi pendidik untuk menggali dan menanamkan nilai-nilai moral di
bidang pelajaran yang dipegang selama ini.
2) Pendidik bisa menyisipkan ajaran tentang nilai moral melalui mitos-mitos rakyat.
3) Kejelian/kreativitas pendidik menggali identitas nilai moral.
Jelas, penanaman nilai-nilai moral dalam dunia pendidikan formal sama sekali tak bersifat
otonom, tetapi selalu terkait dunia lain di luar lingkaran dunia pendidikan formal. Lingkungan
keluarga, pengusaha, RT, lurah, camat, bupati, wali kota, gubernur, penagih pajak, imigrasi,
polisi, tentara, jaksa, pengadilan (negeri, tinggi), Mahkamah Agung, kabinet, dan presiden
seharusnya memiliki dan menghidupi perilaku yang benar-benar mendukung proses penanaman,
penerapan, dan sosialisasi nilai-nilai moral yang digalakkan para pendidik. Pemerintah dan
masyarakat diharapkan menjadi sekolah yang dapat mensosialisasikan (terutama dalam arti
menghidupi) pendidikan nilai-nilai moral.
3. Nilai Sosial Pendidikan
Beranjak dari berbagai pemahaman mengenai paradigma pengajaran, hingga saat ini saya
belum ingin mengatakan pengajaran itu sebagai pendidikan, Indonesia saat ini dalam kaitannya
dengan proses transformasi nilai-nilai etika lingkungan, perlu kiranya kita menengok ke dalam
diri kita, mengingat kembali pengalaman-pengalaman saat kita diajar. Sejauh ini, pola pengajaran
pada lembaga-lembaga pengajaran di Indonesia cenderung mengarahkan peserta ajar untuk
sekadar tahu dan hapal mengenai hal-hal yang berkenaan dengan lingkungan agar hasil ujiannya
baik.
Pada sebuah diskusi mengenai adaptasi perubahan iklim melalui sektor pendidikan di
Bogor beberapa waktu yang lalu, seorang peserta diskusi memaparkan pengalamannya belajar di
sebuah institusi perguruan tinggi yang banyak mengajarkan tentang aspek-aspek lingkungan,
namun dia merasa sistem pengajaran yang diterapkan di perguruan tinggi tersebut belum, bila
tidak ingin dikatakan tidak, mampu menumbuhkan dan mengembangkan kepekaan dan kesadaran
peserta ajar pada lingkungan walaupun ilmu-ilmu yang diajarkan adalah ilmu-ilmu yang
berkaitan dengan lingkungan. Lalu apa dan atau siapa yang salah? Objektifikasi peserta ajar,
ketidakmampuan pengajar dalam mentransformasi nilai-nilai etika lingkungan, sistem
pengajaran, atau kurikulumnya yang salah?
Objektifikasi peserta ajar. Hal ini dimengerti bahwa selama ini, peserta ajar adalah objek
atas transfer ilmu dari subjek yang bernama pengajar. Peserta ajar ,saat ini, jarang sekali
dilibatkan dalam diskusi-diskusi atau diajak berdiskusi mengenai hal-hal yang mengarah pada
pengembangan kreatifitas, kekritisan, dan kesadaran peserta ajar atas contoh- contoh kasus yang,
harapannya, disampaikan oleh pengajar. Pengajar seperti melakukan teater monolog di mana
peserta ajar duduk termangu menonton pengajarnya bermonolog.
8
Ketidakmampuan pengajar dalam mentransformasikan nilai-nilai etika lingkungan.
Tingkat kepakaran pengajar pada suatu bidang kadang kala membuat sang pengajar enggan untuk
mentransformasikan hal-hal di luar bidang yang dikuasainya, terlebih lagi hal itu dianggap
bertentangan dengan bidang yang digelutinya selama ini. Selain itu, hal tersebut pun terjadi
karena sang pengajar pun belum memperoleh pengetahuan, atau belum mengaktualisasikan, nilai-
nilai etika lingkungan, sehingga tentunya ia tidak mampu untuk mentransformasikan nilai-nilai
etika lingkungan kepada peserta ajar.
Sistem pengajaran.Sebagaimana telah dijelaskan pada pengantar tulisan ini, sistem
pengajaran di Indonesia saat ini hanya mampu membentuk peserta ajar menjadi robot-robot di
mana orangtua sebagai pengendalinya dan pengajar sebagai benda yang memancarkan
gelombang (kurikulum) untuk akhirnya ditangkap oleh sensor yang ada di otak peserta ajar.Akan
baik kiranya bila orang tua mengarahkan anaknya untuk mengembangkan, kepekaan, kesadaran,
wawasan dan kreatifitas anaknya terhadap nilai-nilai lingkungan dan didorong pula oleh pengajar
dengan memberikan materi yang merangsang peserta ajarnya untuk kritis dan kreatif.Namun
pada kenyataannya, saat ini hal itu masih sangatlah jarang ditemui, apalagi bila kita melihat di
sekolah-sekolah maupun perguruan-perguruan tinggi negeri.
Kurikulumnya yang salah?Lancang memang bila saya memasuki wilayah yang notabene
dikuasai oleh pemerintah dan lebih lancang lagi sepertinya bila saya menganggap kesalahan
kurikulum ini adalah kesalahan pemerintah.Penandatanganan nota kesepahaman antara Menteri
Lingkungan Hidup dengan Menteri Pendidikan Nasional tentang Pembinaan dan Pengembangan
Pendidikan Lingkungan Hidup pada tanggal 3 Juni 2005 merupakan langkah awal yang baik
dilakukan oleh pemerintah sebagai langkah awal terintegrasinya nilai-nilai etika lingkungan ke
dalam kurikulum pendidikan nasional. Namun perlu kita ingat bahwa apapun kebijakan
pemerintah yang dibuat, bila tidak diselaraskan dengan pencerabutan keadaan struktural sistem
pendidikan Indonesia yang telah begitu mengakar dan sulit diubah, tidak akan mampu mengubah
paradigma pendidikan Indonesia yang masih hanya mengedepankan transfer pengetahuan hingga
saat ini.
C. Pendekatan Dalam Penanaman Nilai
Ada lima pendekatan dalam penanaman nilai, yaitu:
Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach)
Pendekatan perkembangan moral kognitif (cognitive moral development approach)
Pendekatan analisis nilai (values analysis approach)
Pendekatan klarifikasi nilai (values clarification approach)
Pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach)
1. Pendekatan Penanaman Nilai
9
Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach) adalah suatu pendekatan yang
memberi penekanan pada penanaman nilai-nilai sosial dalam diri siswa.Pendekatan ini
sebenarnya merupakan pendekatan tradisional.Banyak kritik dalam berbagai literatur barat yang
ditujukan kepada pendekatan ini.Pendekatan ini dipandang indoktrinatif, tidak sesuai dengan
perkembangan kehidupan demokrasi.Pendekatan ini dinilai mengabaikan hak anak untuk
memilih nilainya sendiri secara bebas.
kehidupan manusia berbeda karena perbedaan waktu dan tempat. Kita tidak dapat
meramalkan nilai yang sesuai untuk generasi yang akan datang. setiap generasi mempunyai hak
untuk menentukan nilainya sendiri. Oleh karena itu, yang perlu diajarkan kepada generasi muda
bukannya nilai, melainkan proses, supaya mereka dapat menemukan nilai-nilai mereka sendiri,
sesuai dengan tempat dan zamannya.
2. Pendekatan Perkembangan Kognitif
Pendekatan ini mendorong siswa untuk berpikir aktif tentang masalah-masalah moral dan
dalam membuat keputusan moral.Perkembangan moral menurut pendekatan ini dilihat sebagai
perkembangan tingkat berpikir dalam membuat pertimbangan moral, dari suatu tingkat yang
lebih rendah menuju suatu tingkat yang lebih tinggi.
Tujuan yang ingin dicapai oleh pendekatan ini ada dua hal yang utama.Pertama,
membantu siswa dalam membuat pertimbangan moral yang lebih kompleks berdasarkan kepada
nilai yang lebih tinggi.Kedua, mendorong siswa untuk mendiskusikan alasan-alasannya ketika
memilih nilai dan posisinya dalam suatu masalah moral (Superka, et. al., 1976; Banks, 1985).
Pendekatan perkembangan kognitif pertama kali dikemukakan oleh Dewey (Kohlberg
1971, 1977).Dewey membagi perkembangan moral anak menjadi tiga tahap sebagai berikut:
o Tahap “premoral” atau “preconventional”. Dalam tahap ini tingkah laku seseorang
didorong oleh desakan yang bersifat fisikal atau social.
o Tahap “conventional”. Dalam tahap ini seseorang mulai menerima nilai dengan
sedikit kritis, berdasarkan kepada kriteria kelompoknya.
o Tahap “autonomous”. Dalam tahap ini seseorang berbuat atau bertingkah laku
sesuai dengan akal pikiran dan pertimbangan dirinya sendiri, tidak sepenuhnya
menerima kriteria kelompoknya.
3. Pendekatan analisis nilai (values analysis approach)
Pendekatan analisis nilai memberikan penekanan pada perkembangan kemampuan siswa
untuk berpikir logis, dengan cara menganalisis masalah yang berhubungan dengan nilai-nilai
sosial. Jika dibandingkan dengan pendekatan perkembangan kognitif, salah satu perbedaan
penting antara keduanya bahwa pendekatan analisis nilai lebih menekankan pada pembahasan
10
masalah-masalah yang memuat nilai-nilai sosial. Adapun pendekatan perkembangan kognitif
memberi penekanan pada dilema moral yang bersifat perseorangan.
4. Pendekatan Klarifikasi Nilai
Pendekatan klarifikasi nilai (values clarification approach) memberi penekanan pada
usaha membantu siswa dalam mengkaji perasaan dan perbuatannya sendiri, untuk meningkatkan
kesadaran mereka tentang nilai-nilai mereka sendiri.Pendekatan ini memberi penekanan pada
nilai yang sesungguhnya dimiliki oleh seseorang.Bagi penganut pendekatan ini, nilai bersifat
subjektif, ditentukan oleh seseorang berdasarkan kepada berbagai latar belakang pengalamannya
sendiri, tidak ditentukan oleh faktor luar, seperti agama, masyarakat, dan sebagainya.Oleh karena
itu, bagi penganut pendekatan ini isi nilai tidak terlalu penting. Hal yang sangat dipentingkan
dalam program pendidikan adalah mengembangkan keterampilan siswa dalam melakukan proses
menilai. Ada tiga proses klarifikasi nilai menurut pendekatan ini.
5. Pendekatan Pembelajaran Berbuat
Pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach) memberi penekanan pada
usaha memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan perbuatan-perbuatan moral, baik
secara perseorangan maupun secara bersama-sama dalam suatu kelompok.
Menurut Hersh (1980) pendekatan pembelajaran berbuat diprakarsai oleh Newman,
dengan memberikan perhatian mendalam pada usaha melibatkan siswa sekolah menengah atas
dalam melakukan perubahan-perubahan sosial.
Menurut Elias (1989), walaupun pendekatan ini berusaha juga untuk meningkatkan
keterampilan “moral reasoning” dan dimensi afektif, namun tujuan yang paling penting adalah
memberikan pengajaran kepada siswa, supaya mereka berkemampuan untuk mempengaruhi
kebijakan umum sebagai warga dalam suatu masyarakat yang demokratis.
D. Pergeseran Nilai Pendidikan
Menurut Einstein Tidak semua yang dapat menghitung dapat dihitung, dan tidak semua
yang dapat dihitung dapat menghitung. Apa sebenarnya tujuan utama siswa sekolah menempuh
ujian? mendapat kelulusan? pasti. Mendapatkan nilai yang tinggi? Tentu.Di belahan dunia
manapun ketika seorang siswa menempuh ujian, 2 hal diataslah yang mereka cari. Tetapi adakah
relevansi antara nilai dengan mutu pendidikan?Secara rasio jelas ada. Ketika seorang siswa
mampu mendapatkan nilai bagus dalam ujian, dirinya akan dianggap berhasil.Setuju.Tetapi
ketika seorang siswa tidak mampu mendapatkan nilai yang bagus dan kemudian serta merta di
sebut gagal, tentu hal ini tidak bisa diterima begitu saja. Ketika pendidikan hanya sebatas ukuran
11
numerik, maka pendidikan sudah tidak ada arti lagi.Ilmu menjadi barang mati yang tiada guna.
Karena sudah menjadi barang mati maka yang ada adalah kecurangan dan kecurangan.Siswa
seperti diajak berjuang untuk mendapatkan sebuah benda yang tidak ada artinya, hingga
dihalalkan segala cara untuk meraihnya dan setelah diraih dibuang begitu.
Pendidikan adalah jiwa, pendidikan adalah norma, pendidikan adalah batu asah yang
mengkilapkan mutiara bakat yang bersembunyi di dalam diri siswa. Ilmu itu yang akan
mengeksistensikan dirinya sebagai anggota keluarga, warga masyarakat, warga bangsa dan dunia.
Bukan sekedar deretan angka-angka mati yang tercatat dalam sertifikat kelulusan.Jauh lebih dari
sekedar itu.Tubuh boleh hancur oleh kematian tetapi ilmu tidak. Ilmu tidak akan mati selama
ilmu itu masih terpakai di dunia.
Seorang Thomas Alva Edison bukanlah seorang yang bernilai tinggi di sekolahnya.Pada
masa kecilnya di Amerika Serikat, Edison selalu mendapat nilai buruk.Oleh karena itu ibunya
memberhentikannya dari sekolah dan mengajar sendiri di rumah. Atau Albert einstein, dia
tergolong sebagai siswa yang lambat di sekolahnya. Tetapi lihat, apa yang sudah mereka
hasilkan? mereka ‘gagal’ di sekolah dan menjadi orang yang sangat berjasa di dunia. Sampai
sekarang penemuannya terus dipakai orang.
Pergeseran nilai.Saya sebut gejala seperti ini dengan pergeseran nilai.Pergeseran nilai
pendidikan dari ilmu menjadi sekedar teori dan angka.Yang para siswa kejar sekarang ini adalah
angka, bukan ilmu.
Gejala pergeseran nilai seperti ini bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara-
negara maju seperti Jepang, Eropa atau Amerika yang notabene sudah berpengalaman mencetak
ilmuwan-ilmuwan bertaraf dunia.Pergeseran nilai ini mengakibatkan guncangan yang dahsyat
dalam dunia pendidikan. Materialisme adalah contoh nyata dari dampak adanya goncangan ini
yang selanjutnya disusul dengan perubahan mental anak didik, semula ia berangkat dari rumah
untuk mengejar ilmu berubah niat menjadi pengejar nilai. Yang berbahaya lagi hal seperti ini
tidak disadarinya, bahkan oleh orang tuanya sekalipun, mungkin karena tren jaman sudah seperti
itu keadaannya.Kasus-kasus depresif pembantaian pelajar di sekolah yang dilakukan oleh seorang
siswa yang biasanya kemudian disusul bunuh diri si pelaku atau kasus bunuh diri pelajar-pelajar
Jepang yang kian mengkhawatirkan adalah juga dampak dari goncangan karena pergeseran nilai
yang sedang terjadi.
Bukannya mau menafikan peranan pendidikan sebagai unsur pencetak ilmu pengetahuan,
namun ketika pergeseran-pergeseran nilai seperti ini terjadi kita wajib merasa khawatir akan
dunia pendidikan kedepan. Melihat pada sisi lain dari sekolah sebagai sarana pendidikan adalah
hal yang sudah saatnya harus kita lakukan sekarang saya rasa. Jangan sampai pendidikan justru
menjadi tempat awal tumbuhnya nilai-nilai asusila dan kecurangan dalam diri anak.Kebesaran
hati dan penanaman kepahaman yang mendalam dan kontinyu tentang ilmu kepada anak adalah
suatu tindakan yang mestinya harus dilakukan orang tua terhadap anak saat ini.Jangan sampai
ilmu kehilangan esensi hakikat dalam diri anak didik. Pengajar, pemerintah dan orang tua
mempunyai tanggung jawab yang besar akan ini.
12
E. Implementasi Nilai-Nilai Pendidikan
Tujuan Nilai-nilai Pendidikan adalah penanaman nilai-nilai tertentu dalam diri
siswa.Pengajarannya bertitik tolak dari nilai-nilai sosial tertentu, yakni nilai-nilai Pancasila dan
nilai-nilai luhur budaya bangsa Indonesia lainnya, yang tumbuh dan berkembangan dalam
masyarakat Indonesia. Metode yang digunakan dalam pendekatan penanaman nilai antara lain:
keteladanan, penguatan positif dan negatif, simulasi, permainan peranan, dan lain-lain.
Metoda yang digunakan dalam Pendekatan Perkembangan Moral Kognitif.Misalnya
mengangkat dan mendiskusikan kasus atau masalah nilai-nilai pendidikan dalam masyarakat
yang mengandung dilemma, untuk didiskusikan dalam kelas. Penggunaan metoda ini akan dapat
menghidupkan suasana kelas. Namun berbeda dengan Pendekatan Perkembangan Moral Kognitif
di mana yang memberi kebebasan penuh kepada siswa untuk berpikir dan sampai pada
kesimpulan yang sesuai dengan tingkat perkembangan moral reasoning masing-masing, dalam
pengajaran Pendidikan nilai-nilai siswa diarahkan sampai pada kesimpulan akhir yang sama,
sesuai dengan nilai-nilai sosial tertentu, yang bersumber dari Pancasila dan budaya luhur bangsa
Indonesia.
Metoda pengajaran yang digunakan Pendekatan Analisis Nilai, khususnya prosedur
analisis nilai dan penyelesaian masalah yang ditawarkan, bermanfaat jua untuk diaplikasikan
sebagai salah satu strategi dalam proses pengajaran nilai-nilai pendidikan. Seperti telah
dijelaskan, dalam mata pelajaran ini, aspek perkembangan kognitif merupakan aspek yang
dipentingkan juga, yakni untuk mendukung dan menjadi dasar bagi pengembangan sikap dan
tingkah laku yang sesuai dengan nilai-nilai sosial yang ingin ditanamkan.
Metoda pengajaran yang digunakan dalam Pendekatan Klarifikasi Nilai, dengan
memperhatikan faktor keadaan serta bahan pelajarannya yang relevan, dapat diaplikasikan juga
dalam pengajaran nilai-nilai pendidikan.Namun demikian, penggunaannya perlu hati-hati, supaya
tidak membuka kesempatan bagi siswa, untuk memilih nilai-nilai yang bertentangan dengan
nilai-nilai masyarakatnya, terutama nilai-nilai Agama dan nilai-nilai Pancasila yang ingin
dibudayakan dan ditanamkan dalam diri mereka.
Metoda pengajaran yang digunakan dalam Pendekatan Pembelajaran Berbuat bermanfaat
juga untuk diaplikasikan dalam pengajaran “PPKn/PLPS” di Indonesia, khususnya pada
peringkat sekolah lanjutan tingkat atas.Para siswa pada peringkat ini lebih tepat untuk melakukan
tugas-tugas di luar ruang kelas, yang dikembangkan untuk meningkatkan kompetensi yang
berhubungan dengan lingkungan, seperti yang dituntut oleh pendekatan ini.
F. Unsure-unsur Revitalisasi Analisis Nilai Dalam Proses Pendidikan
13
Luasnya ruang pembahasan tentang pendidikan, menyebabkan semakin banyak pula
tawaran pembahasan dari sisi yang terkecil sekalipun untuk disorot dalam rangka direvitalisasi
hal-hal minus yang dianggap penting untuk itu. Hanya secara universal menurut hemat penulis,
unsur-unsur pendidikan saja dulu yang perlu dilihat pertama untuk diketahui apakah perlu
direvitalisasi atau tidak. Beberapa unsur itu, diantaranya:
1. Peserta Didik
Peserta didik berstatus sebagai subjek didik. Pandangan modern cenderung menyebutkan
demikian oleh karena peserta didik adalah subjek atau pribadi yang otonom, yang ingin diakui
keberadaannya. Menempatkan peserta didik sebagai pribadi yang utuh adalah suatu keharusan.
Dalam kaitannya dengan kepentingan pendidikan, akan lebih ditekankan hakikat manusia sebagai
kesatuan sifat makhluk individu dan makhluk sosial yang merdeka dan bebas.
Ciri khas peserta didik yang perlu dipahami oleh pendidik ialah:
a. Individu yang memiliki potensi fisik dan psikis yang khas, sehingga merupakan insan
yang unik.
b. Individu yang sedang berkembang.
c. Individu yang membutuhkan bimbingan individual dan perlakuan manusiawi.
d. Individu yang memiliki kemampuan untuk mandiri.
2. Pendidik
Istilah pendidik lebih dikenal dengan sebutan guru, mereka adalah orang yang diberi pelimpahan
dari tugas orang tua yang tidak mampu untuk memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada
anak-anaknya. Yang dimaksud pendidik adalah orang yang bertanggung jawab terhadap
pelaksanaan pendidikan dengan sasaran peserta didik. Mendidik mempunyai arti jauh lebih luas
lagi dari sekedar mengajar. Belakangan ini tidak mudah untuk bisa menyandang idenditas
Pendidik. Selain kualifikasi akademik yang harus didapat, tentu dengan cara melanjutkan kuliah
hingga lulus S1 atau minimal D2, selebihnya juga perlu uji kelayakan yang di tes pemerintah
melalui program sertifikasi.
3. Interaksi Edukatif antara Pendidik dan Peserta Didik
Interaksi edukatif pada dasarnya adalah komunikasi timbal balik antara peserta didik dengan
pendidik yang terarah kepada tujuan pendidikan. Pencapaian tujuan pendidikan secara optimal
ditempuh melalui proses berkomunikasi intensif dengan manipulasi isi, metode, serta alat-alat
pendidikan. Memperlancar pola interaksi antara pendidik dan peserta didik agar tercipta
perbaikan yang diinginkan, setidaknya pendidik perlu memiliki sifat-sifat sebagai berikut:
a. Mencintai profesinya sehingga tugas-tugas sebagai pendidik dilaksanakan dengan rasa
senang dan penuh anggung jawab.
b. Peka terhadap kebutuhan peserta didik dan mau membantu peserta didik dalam
menghadapi kesulitan belajarnya serta berusaha untuk mengetahui kemungkinan masalah
yang akan dihadapinya.
14
c. Bisa membangkitkan semangat dan perhatian belajar siswa melalui penyajian bahan dan
prosedur pengajaran yang digunakan.
4. Tujuan Pendidikan
Setiap proses selalu ada tujuan yang hendak dicapai, karena melangkah tanpa tujuan sama seperti
berjalan tidak tau arah. Akan cenderung mudah dibuat ombang-ambing oleh keadaan yang
mengiringinya. Proses pendidikan-pun mempunyai tujuan yang ingin dicapai oleh semua pihak
terutama peserta didik yang menjadi pelaku pendidikan. Secara garis besar target tujuan akhir
dari proses pendidikan yang dilakukan, sebagaimana dicita-citakan oleh negara yang tertuang
dalam UUD 1945 adalah untuk mencerdaskan generasi anak bangsa ke depan. Cita-cita ini
berlandaskan cita-cita agama yaitu membentuk peserta didik menjadi insan paripurna.
Lebih spesifik lagi menurut Dede Rosyada, bahwa tujuan pendidikan selalu diarahkan kepada
pencapaian kompetensi, yaitu kecakapan atau kemampuan peserta didik dalam tiga ranah
sekaligus, kognetif, afektif dan psikomotorik.
5. Materi Pendidikan (Kurikulum)
Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, menyatakan bahwa
kurikulum adalah "seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran
serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk
mencapai tujuan pendidikan tertentu".
Dalam banyak literature kurikulum diartikan sebagai suatu dokumen atau rencana tertulis
mengenai kualitas pendidikan yang harus dimiliki oleh peserta didik melalui suatu pengalaman
belajar. Pengertian ini mengandung arti bahwa kurikulum harus tertuang dalam satu atau
beberapa dokumen atau rencana tertulis.
Dokumen atau rencana tertulis itu berisikan pernyataan mengenai kualitas yang harus dimiliki
seorang peserta didik yang mengikuti kurikulum tersebut. Pengertian kualitas pendidikan di sini
mengandung makna bahwa kurikulum sebagai dokumen merencanakan kualitas hasil belajar
yang harus dimiliki peserta didik, kualitas bahan atau konten pendidikan yang harus dipelajari
peserta didik, kualitas proses pendidikan yang harus dialami peserta didik. Kurikulum dalam
bentuk fisik ini seringkali menjadi fokus utama dalam setiap proses pengembangan kurikulum
karena ia menggambarkan ide atau pemikiran para pengambil keputusan yang digunakan sebagai
dasar bagi pengembangan kurikulum sebagai suatu pengalaman.
Biasanya untuk mempermudah penyampaian materi kepada peeserta didik, kurikulum
diorganisasikan sesuai dengan sistem pengajaran pendidikan yang ada, yaitu pendidikan dasar (9
tahun), pendidikan menengah (3 tahun), dan pendidikan atas (4 tahun). Sederhananya, kurikulum
adalah materi pelajaran yang telah dirumuskan bersama untuk ditransformasikan kepada peserta
didik sesuai dengan jenjang dan jenis pendidikan dalam kerangka NKRI, dengan memperhatikan
peningkatan iman dan taqwa, dan peningkatan akhlaq mulia. Arah dari rumusan kurikulum tentu
untuk mewujudkan tujuan/cita-cita pendidikan. Ada kerja sama berkesinambungan antar unsure-
unsur pendidikan yang ada.
15
6. Metode dan Alat Pembelajaran
Metode mengajar adalah sekumpulan cara untuk melakukan aktivitas yang tersistem dari sebuah
lingkungan yang terdiri dari pendidik dan peserta didik untuk saling berinteraksi dalam
melakukan suatu kegiatan sehingga proses belajar berjalan dengan baik dalam arti tujuan
pengajaran tercapai. Alat atau bisa juga disebut perangkat pembelajaran adalah instrumen atau
media yang digunakan ketika pembelajaran dilangsungkan agar peserta didik mudah mencerna
dan memahami materi yang disampaikan oleh pendidik. Alat pembelajaran ini biasanya
disesuaikan dengan metode pembelajaran yang digunakan. Berikut beberapa macam metode
pembelajaran:
a. Metode Ceramah
Metode ceramah yaitu sebuah metode mengajar dengan menyampaikan informasi dan
pengetahuan saecara lisan kepada sejumlah peserta didik yang pada umumnya mengikuti
secara pasif. Metode ceramah dapat dikatakan sebagai satu-satunya metode yang paling
ekonomis untuk menyampaikan informasi, dan paling efektif dalam mengatasi
kelangkaan literatur atau rujukan yang sesuai dengan jangkauan daya beli dan paham
peserta didik.
b. Metode Diskusi
Metode diskusi adalah metode mengajar yang sangat erat hubungannya dengan
memecahkan masalah (problem solving). Metode ini lazim juga disebut sebagai diskusi
kelompok (group discussion) dan resitasi bersama (socialized recitation ).
c. Metode Simulasi
Metode simulasi adalah metode mengajar dengan cara memperagakan barang, kejadian,
aturan, dan urutan melakukan suatu kegiatan, baik secara langsung maupun melalui
penggunaan media pengajaran yang relevan dengan pokok bahasan atau materi yang
sedang disajikan.
7. Lingkungan Pendidikan
Sejak lama Ki Hajar Dewantoro memproklamirkan ada tiga lingkungan pendidikan yang disebut
dengan tri pusat-pendidikan. Penjelasan dari lingkungan itu banyak juga yang menyebut dengan
istilah pendidikan formal, informal, dan nonformal. Hanya untuk pembahasan ini akan banyak
mengupas lingkungan pendidikan di sekolah saja atau ketika proses pembelajaran berlangsung.
Lingkungan belajar, adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan tempat proses pembelajaran
dilaksanakan. Lingkungan ini mencakup dua hal utama, yaitu lingkungan fisik dan lingkungan
sosial, kedua aspek lingkungan tersebut dalam proses pembelajaran haruslah saling mendukung,
sehingga siswa merasa kerasan di sekolah dan mau mengikuti proses pembelajaran secara sadar
dan bukan karena tekanan ataupun keterpaksaan. Oleh karenanya dalam pelaksanaan kegiatan
belajar mengajar, setiap guru harus dapat menciptakan suasana belajar yang humanis, bebas, dan
menyenangkan. suasana interaksi belajar mengajar yang hidup, memotivasi siswa untuk
berpartisipasi dalam proses belajar mengajar, dan lingkungan belajar di kelas yang kondusif.
Agar pembelajaran benar-benar kondusif maka guru mempunyai peranan yang sangat penting
16
dalam menciptakan kondisi pembelajaran tersebut. Diantara yang dapat diciptakan guru untuk
kondisi tersebut adalah penciptaan lingkungan belajar.
G. Sasaran dan Target Revitalisasi Pendidikan
Sebagaimana telah kita pahami bahwa pengembangan manusia seutuhnya telah menjadi
tujuan pendidikan nasional, dan mungkin saja telah menjadi tujuan pendidikan nasional di
berbagai negara. Tetapi pada kenyataannya kita sering kurang jelas atau kesulitan menemukan
gambaran manusia seutuhnya, dan akan lebih sulit lagi ketika harus merumuskan bagaimana
mengembangkan manusia yang utuh, terintegrasi, selaras, serasi dan seimbang dari berbagai
aspek dan potensi yang dimiliki manusia.
Secara garis besar objek ahir yang akan diberdayakan adalah generasi muda harapan
bangsa, bagaimana ke depan bisa ikut terlibat mengisi kemerdekaan republik tercinta ini menjadi
lebih baik, atau minimal bisa menjadi warga negara yang cinta tanah air, berkepribadian baik,
tidak suka merusak asset negara dalam bentuk material dan terus menjaga keutuhan hidup
berbangsa dan bernegara. Ekspresi itu, penulis menganggap cermin manusia seutuhnya dalam
konteks ke-Indonesia-an sebagaimana yang dicita-citakan oleh tujuan pendidikan nasional.
Hanya lebih general, sebelum memberdayakan anak bangsa di usia sekolah, menjadi
penting pula memberdayakan lembaga tempat anak belajar. Dan lebih spesifik lagi lembaga yang
mestinya menjadi sasaran revitalisasi adalah lembaga pendidikan yang masih belum terberdaya
baik itu lembaga pendidikan di bawah lingkungan Depdiknas maupun Depag, dan atau baik
lembaga pendidikan itu formal, informal, maupun nonformal, agar pemerataan dan penyetaraan
lembaga pendidikan di Indonesia beserta out put peserta didiknya, bias dirasa “duduk sama
rendah, berdiri sama tinggi.” Dalam arti sama dan sepadan.
H. Tujuan Revitalisasi Analisis Nilai Dalam Proses Pendidikan
Bahwa berhasil tidaknya suatu usaha atau kegiatan banyak tergantung pada jelas tidaknya
tujuan yang hendak dicapai oleh orang atau lembaga yang melaksanakannya. Berdasarkan
pernyataan tersebut, maka perlunya suatu tujuan dirumuskan dengan sejelas-jelasnya. Kemudian
berulah menyusun suatu program kegiatan yang objektif dan realistis sehingga segala energi dan
kemungkinan biaya yang melimpah tidak akan terbuang sia-sia.
Sehubungan dengan itu, apabila kita mau berbicara tentang pendidikan maka kita harus
menyadari bahwa suatu proses pendidikan selalu diarahkan untuk dapat menyediakan atau
menciptakan tenaga-tenaga terdidik bagi kepentingan bangsa dan negara tanah air kita. Apabila
negara atau suatu bangsa membutuhkan tenaga-tenaga terdidik dalam berbagai macam bidang
pembangunan, maka segenap proses pendidikan termasuk menyangkut sistem pendidikannya
harus sesuai atau diarahkan pada kepentingan pembangunan masa sekarang dan masa yang akan
datang.
17
Pembangunan merupakan proses perkembangan, yaitu suatu proses perubahan yang
meningkat dan dinamis maka pendidikan harus mampu mencetak atau menciptakan tenaga ahli
yang dapat mengikuti dan dapat melibatkan dirinya dalam proses perkembangan tersebutdan
tidak melepaskan diri dari dasar-dasar dan kepentingan bangsa dan negara. Ini berarti
pembangunan dapat dilaksanakan oleh manusia-manusia yang terdidik, yaitu manusia yang dapat
menunjang pembangunan bangsa dalam arti yang luas baik material, spiritual, dan soaial budaya.
Dalam sejarah pendidikan kita dapat menerapkan perkembangan pendidik dan usaha-usaha
perwujudannya sebagai salah satu cita-cita bangsa dan negara.
Berdasarkan uraian di atas, maka revitalisai pendidikan di Indonesia mempunyai tujuan
pendidikan yan berlaandaskan pada filsafat hidup bangsa Indonesia yaitu pancasila. Filsafat
pancasila inilah yang menjadi pedoman pokok dalam pendidikan yang melalui usaha-usaha
pendidikan, dalam keluarga, masyarakat, sekolah, dan perguruan tinggi.
18
KESIMPULAN
Revitalisasi analisis nilai dalam proses pendidikan pendidikan maksudnya adalah
memaksimalkan semua unsur pendidikan yang dimiliki menjadi lebih vital atau terberdaya lagi,
sehingga sasaran dan proses pendidikan yang dilakukan bisa dicapai dan dilangsungkan dengan
maksimal pula. Dalam revitalisasi pendidikan terdapat unsur-unsur sebagai berikut: peserta didik,
pendidik, interaksi edukatif antara pendidik dan peserta didik, tujuan pendidikan, materi
pendidikan (kurikulum), metode dan alat pembelajaran, dan lingkungan pendidikan.
Berbagai nilai-nilai pendidikan yang berkembang mempunyai aspek penekanan yang berbeda,
serta mempunyai kekuatan dan kelemahan yang relatif berbeda pula. Berbagai metode
pendidikan dan pengajaran yang digunakan oleh berbagai pendekatan pendidikan nilai yang
berkembang dapat digunakan juga dalam pelaksanaan nilai-nilai Pendidikan . Hal tersebut sejalan
dengan pemberlakukan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang proses pembelajarannya
memadukan ranah kognitif, afektif, dan psikomotor.
Pelaksanaan program-program nilai-nilai Pendidikan perlu disertai dengan keteladanan guru,
orang tua, dan orang dewasa pada umumnya.Lingkungan sosial yang kondusif bagi para siswa,
baik dalam keluarga, di sekolah, dan dalam masyarakat juga memberikan kontribusi positif dalam
penerapan nilai-nilai pendidikan secara holisitik.
Sebagaimana telah kita pahami bahwa pengembangan manusia seutuhnya telah menjadi tujuan
pendidikan nasional, dan mungkin saja telah menjadi tujuan pendidikan nasional di berbagai
negara. Tetapi pada kenyataannya kita sering kurang jelas atau kesulitan menemukan gambaran
manusia seutuhnya, dan akan lebih sulit lagi ketika harus merumuskan bagaimana
mengembangkan manusia yang utuh, terintegrasi, selaras, serasi dan seimbang dari berbagai
aspek dan potensi yang dimiliki manusia.
Secara garis besar objek ahir yang akan diberdayakan adalah generasi muda harapan bangsa,
bagaimana ke depan bisa ikut terlibat mengisi kemerdekaan republik tercinta ini menjadi lebih
baik, atau minimal bisa menjadi warga negara yang cinta tanah air, berkepribadian baik, tidak
suka merusak asset negara dalam bentuk material dan terus menjaga keutuhan hidup berbangsa
dan bernegara.
Revitalisai pendidikan di Indonesia mempunyai tujuan pendidikan yan berlaandaskan pada
filsafat hidup bangsa Indonesia yaitu pancasila. Filsafat pancasila inilah yang menjadi pedoman
pokok dalam pendidikan yang melalui usaha-usaha pendidikan, dalam keluarga, masyarakat,
sekolah, dan perguruan tinggi.
19
DAFTAR PUSTAKA
Shene, H.G, Arti Pendidikan Bagi Masa Depan, Jakarta, CV Rajawali, 1984
Ramayulis, filsafat pendidikan Islam, Jakarta, kalam Mulia 2010.
Brodjonegoro, Pendidikan Nasional, Yogyakarta, Yayasan Penerbitan FIP, 1964.
Jalaludin, H. Abdullah, Manusia, Filsafat, Pendidikan, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2011.