FILOSOFI NEGARA KESEJAHTERAAN YANG DIRUMUSKAN …
Transcript of FILOSOFI NEGARA KESEJAHTERAAN YANG DIRUMUSKAN …
SOLJUSTISIO : Jurnal Penelitian Hukum Volume 3,Nomor 1,Juni 2021 Hal 287-303
[email protected] ISSN : 2684-8791 (Online)
287 Appe Hamonangan Hutahuruk : Filosofi Negara Kesejahteraan yang Dirumuskan Dalam Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945
FILOSOFI NEGARA KESEJAHTERAAN YANG
DIRUMUSKAN DALAM PANCASILA
DAN PEMBUKAAN UNDANG – UNDANG DASAR 1945
Appe Hamonangan Hutauruk
Fakultas Hukum Universitas Mpu Tantular
Abstrak
Penelitian ini dilakukan untuk menggali terpenuhinya kesejateraan rakyat melalui konsep
kesejahteraan yang termaktub dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.Hal itu bisa dilihat
dari undang-undang dan peraturan yang dibuat pemerintah dalam kehidupan masyarakat sehari-
hari.Undang-undang,peraturan dan kebijakan yang berpihak krpada rakyat akan membawa
kemakmuran. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Deskriptif dengan
desain eksploratori yang menggambarkan sesuatu yang sedang berlangsung dengan melakukan
eksplorasi terhadap Pancasila dan Undang-Undang Dasar 45 dengan penerapanya pada
masyarakat.Hasil dari penelitian ini adalah konsep negara kesejateraan yang yang dirumuskan
dalam Pancasila dan pembukaan Unsang-Undang Dasar 1945 belum pada cita-cita terwujudnya
kesejahteraan rakyat,masih dalam proses.
Kata Kunci : Negara Kesejahteraan,Pancasila,Undang-Undang Dasar 1945
PENDAHULUAN
Hakekat Negara Kesejahteraan
Pembangunan nasional merupakan pencerminan kehendak untuk terus menerus
meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia secara adil dan merata, serta
mengembangkan kehidupan masyarakat dan penyelenggara negara yang maju dan demokratis
berdasarkan Pancasila dan Undang–Undang Dasar 1945 (The national development is reflection of
willing to increase continually the Indonesians’ prosperity which is just and well – distributed, to
develop a social life and to carry out a developed and democratic country based on Pancasila and
1945 Constitution).Proses keputusan politik dalam konteks kebijakan legislasi membuat peraturan
perundang–undangan sebagai instrumen pengelolaan sumber daya alam dalam
mewujudkan kesejahteraan bangsa Indonesia.Cita–cita membangun masyarakat adil dan makmur
yang menjadi mission sacre, merupakan komitmen universal atas keadilan sosial sesuai dengan
komitmen para pendiri Indonesia. Kalimat terakhir Pembukaan Undang – Undang Dasar 1945
mengamanatkan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Keadilan sosial
telah menjadi moral politik yang melandasi semua langkah dalam mengelola ekonomi–politik
negara (Husodo,2009).Ketaatan hukum adalah alat dan sarana pembangunan masyarakat menuju
kesejahteraan tanpa memandang bulu dengan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (basic
rights) dan memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.Pemerintah daerah sesuai
dengan kewenangannya harus mendukung tegaknya supremasi hukum (supremacy of law) dengan
melakukan berbagai penyuluhan peraturan perundang–undangan dan menghidupkan kembali
nilai–nilai (values) serta norma–norma (norms) yang berlaku di masyarakat.Pemerintah Daerah
SOLJUSTISIO : Jurnal Penelitian Hukum Volume 3,Nomor 1,Juni 2021 Hal 287-303
[email protected] ISSN : 2684-8791 (Online)
288 Appe Hamonangan Hutahuruk : Filosofi Negara Kesejahteraan yang Dirumuskan Dalam Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945
perlu mengupayakan Peraturan Daerah (Perda) yang bijaksana dan efektif, serta didukung
penegakan hukum yang adil dan tepat. Pemerintah Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DRPD) maupun masyarakat perlu menghilangkan kebiasaan yang dapat menimbulkan Kolusi,
Korupsi dan Nepotisme (KKN).
Gerakan transparansi untuk mewujudkan prinsip–prinsip pemerintahan yang bersih,harus
menjadi bagian demokratisasi sistem politik ekonomi sekaligus untuk mereformasi hukum
ketatanegaraan dan konstitusi untuk memperkecil monopoli dan diskresi kekuasaan politik dari
tangan Presiden, sehingga dimungkinkan terjadinya pembagian kekuasaan, pembatasan, dan
penyeimbangan di dalam sistem politik (Ali,2008).Transparansi adalah keterbukaan atas semua
tindakan dan kebijakan yang diambil oleh pemerintah dengan adanya kepercayaan timbal–
balik antara pemerintah dan masyarakat melalui penyediaan informasi.Tolak ukur transparansi
yang digunakan,yaitu; (a) bertambahnya wawasan, pengetahuan dan pemahaman masyarakat
terhadap penyelenggaraan pemerintahan, (b) Meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap
pemerintahan, (c) meningkatnya jumlah masyarakat yang berpartisipasi dalam pembangunan
daerahnya,(d) berkurangnya pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan.
Rumusan Masalah :
a. Negara Kesejahteraan dirumuskan dalam Pancasila
b. Negara Kesejahteraan dirumuskan dalam Undang-Undang dasar 45
LANDASAN TEORI
Keadilan Sosial
Negara kesejaateraan yang dirumuskan dalam Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang
Dasar 45 adalah sebuah konsep untuk mensejaterahkan rakyat yang dituangkan dalam pasal demi
pasal.Diperlukan hukum dan peraturan yang bersenyawa dengan makna yang termaktub pada
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 45 agar konsep negara kesejateraan tercapai.Konsep Roscoe
Pound tentang kepentingan sosial merupakan upaya yang lebih eksplisit untuk menciptakan suatu
model hukum yang responsif.Hukum yang baik harus menawarkan sesuatu lebih dari keadilan
prosedural,memberi keadilan dan komitmen pada tercapainya rasa adil yang substansi (Salman dan
Susanto,2012).Informasi tentang kebijakan yang dibuat pemerintah pusat dan daerah harus mudah
didapatkan masyarakat melalui brosur, leaflet, pengumuman melalui koran, radio serta televisi
maupun media informasi lainnya.Prinsip kebijakan ini mengandung makna meningkatkan
akuntabilitas para pengambil keputusan dalam segala bidang yang menyangkut kepentingan
masyarakat luas. Seluruh pembuat kebijakan pada semua tingkatan harus memahami kebijakan
yang diambil harus dipertanggung-jawabkan kepada masyarakat. Diperlukan indikator kinerja jelas
serta sistem pengawasan diperkuat dan hasil audit harus dipublikasikan,diberi sanksi apabila
terdapat kesalahan agar terhindar dari praktek–praktek maladministasi menjalankan fungsi
pelayanan publik.Konsep maladministrasi pertama kali di introdusir tahun 1967, ketika pemerintah
Inggris membentuk Parliamentary Commission for Administrasion (the ombudsman).
Maladminsitrasi dikaitkan dengan tindakan menyimpang dari aparat; yang tidak mengindahkan atau
tidak mengikuti norma–norma perilaku yang baik. The Commission menyatakan: bad decisions are
bad adminstrastion and bad administration is maladministration .... bad decision goes the bad rule,
fallacy statutory regulation (Hadjon dkk,2012).Kata maladministrasi, berasal dari bahasa
Latin ”malum” yang artinya jahat (jelek) dan administrasi dari kata administrare yang berarti
melayani,keduanya mengandung arti pelayanan yang jelek.Maladministrasi menyoroti
perilaku (behaviour) aparat melaksanakan tugas pemerintahan,perilaku aparat dalam pelayanan
publik yang diukur dengan norma–norma perilaku aparat.Norma perilaku aparat berbeda dengan
norma pemerintahan yakni Norma perilaku aparat ditujukan untuk tindakan yang dapat
didiskualifikasikan sebagai tindakan maladministrasi,sedangkan norma pemerintah ditujukan untuk
SOLJUSTISIO : Jurnal Penelitian Hukum Volume 3,Nomor 1,Juni 2021 Hal 287-303
[email protected] ISSN : 2684-8791 (Online)
289 Appe Hamonangan Hutahuruk : Filosofi Negara Kesejahteraan yang Dirumuskan Dalam Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945
suatu legalitas tindakan pemerintahan.Undang–Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan
Publik, menentukan pelaksanaan dalam menyelenggarakan pelayanan publik harus berprilaku adil
tidak tidak diskriminatif,cermat,santun dan ramah,tegas, andal, serta tidak memberikan keputusan
yang berlarut–larut,profesional,tidak mempersulit.Setiap pengambil kebiajakan harus patuh pada
perintah atasan,menjunjung tinggi nilai–nilai akuntabilitas dan integritas institusi
penyelenggara,tidak membocorkan informasi atau dokumen rahasia sesuai dengan peraturan
perundang–undangan.
Diskresi (discretion) adalah kebebasan bertindak atau mengambil keputusan dari para
pejabat Administrasi Negara yang berwenang menurut pendapat sendiri.Diskresi diperlukan sebagai
pelengkap dari asas legalitas hukum yang menyatakan bahwa setiap tindak atau perbuatan
administrasi negara harus berdasarkan ketentuan undang–undang.Undang–undang memiliki
keterbatasan untuk mengatur secara detail segala macam kasuspositie dalam praktik kehidupan
sehari hari.Diperlukan adanya “kebebasan” atau diskresi dari administrasi negara yang terdiri
dari “Diskresi Bebas” yakni undang–undang hanya menetapkan batas–batas, dan administrasi
negara bebas mengambil keputusan apa asalkan tidak melampaui/melanggar batas–batas,
dan “Diskresi Terikat” yakni undang–undang menetapkan beberapa alternatif, dan administrasi
negara bebas memilih salah satu alternatif (Atmosudirjo,1995). Namun demikian, diskresi tidak
boleh digunakan apabila bertentangan dengan Asas–Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AUPB)
yang diadaptasi oleh pemerintah Indonesia sebagai prinsip untuk mewujudkan negara kesjahteraan.
Negara Kesejateraan
Welfare state adalah gagasan yang telah lama lahir, dirintis oleh Prusia di bawah Otto von
Bismarck sejak 1850an. Dalam Encyclopedia Americana disebutkan bahwa welfare state adalah “a
form of government in which the state assumes responsibility for minimum standards of living for
every person” (bentuk pemerintahan dimana negara dianggap bertanggung jawab untuk
menjamin standard hidup minimum setiap warga negaranya). Gagasan negara kesejahteraan itu, di
Eropa dan Amerika di masa lampau, berbenturan dengan konsepsi negara liberal kapitalistik.
Namun kemudian sejarah mencatat bahwa benturan dan gagasan besar itu telah menghasilkan
negara – negara makmur dan rakyatnya hidup sejahtera, seperti di Amerika Utara dan Eropa
Barat.(Husodo,2009).Sudah lebih dari 60 tahun Republik Indonesia diproklamasikan sebagai negara
kebangsaan dan negara kesejahteraan. Namun wujud negara kesejahteraan itu belum tampak.
Bahkan kita menyaksikan dengan prihatin proses komersialisasi yang meluas dan cepat di bidang
pendidikan dan kesehatan seiring makin terbatasnya APBN. Di tengah keterbatasan pemerintah
menciptakan lapangan kerja dan menaikkan daya beli rakyat, kondisi ini menyakitkan kelompok
rakyat yang tidak berpunya.(Husodo,2009).Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa negara
kesejahteraan (welfare state) adalah negara yang menganut sistem ketatanegaraan dengan menitik
beratkan perhatian pada kepentingan kesejahteraan warga negaranya.Tujuan dari negara
kesejahteraan bukan untuk menghilangkan perbedaan dalam ekonomi masyarakat, tetapi
memperkecil kesenjangan ekonomi dan mengurangi kemiskinan.Kesenjangan (gap) yang lebar
antara masyarakat kaya (the have / the rich) dengan masyarakat miskin (the poor) dalam suatu
negara tidak hanya menunjukkan kegagalan negara tersebut didalam mengelola keadilan sosial,
tetapi kemiskinan menimbulkan dampak buruk dalam segala segi kehidupan masyarakat. Dampak
tersebut akan dirasakan mulai dari rasa ketidakberdayaan masyarakat miskin dalam berbagai
bidang, hingga berdampak buruk pada penyelenggaraan sistem demokrasi.Konsep negara
kesejahteraan yaitu berupaya untuk memperkecil jurang pemisah / kesenjangan kondisi ekonomi
dalam kehidupan masyarakatnya melalui berbagai usaha pelayanan kesejahteraan
warganegaranya. Dalam konsep negara kesejahteraan yang mengutamakan untuk mengurusi secara
langsung kesejahteraan rakyatnya, membawa akibat bahwa negara kesejahteraan menjadi negara
yang memasuki sangat banyak segi kehidupan rakyat, mulai dari soal pendidikan, jaminan sosial,
SOLJUSTISIO : Jurnal Penelitian Hukum Volume 3,Nomor 1,Juni 2021 Hal 287-303
[email protected] ISSN : 2684-8791 (Online)
290 Appe Hamonangan Hutahuruk : Filosofi Negara Kesejahteraan yang Dirumuskan Dalam Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945
jaminan kesehatan, dan sebagainya. Pemerintah sebagai alat negara, makin lama makin dipaksa
untuk menerima tanggung jawab positif atas penciptaan dan distribusi kekayaan demi terciptanya
keadilan sosial secara merata. Sejalan dengan pelaksanaan tanggung jawab tersebut perlu dilakukan
pembangunan hukum untuk mengatur dan mengendalikan berbagai kepentingan masyarakat pada
satu sisi dan pedoman pemerintah (pusat dan daerah) untuk menjalankan fungsinya sebagai
pemegang peranan dalam rangka mewujudkan negara kesejahteraan dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Deskriptif dengan desain
eksploratori yang menggambarkan sesuatu yang sedang berlangsung dengan melakukan eksplorasi
terhadap Pancasila dan Undang-Undang Dasar 45 dengan penerapanya pada masyarakat
(Umar,2008)
PEMBAHASAN
Kewajiban dan Tanggung Jawab Pemerintah Wujudkan Kesejahteraan Bagi Rakyat
Indonesia.
UUD 1945 menganut paham kedaulatan rakyat Indonesia yang mencakup aspek demokrasi
politik maupun aspek demokrasi ekonomi.Berdasarkan kedua doktrin demokrasi tersebut,sistem
sosial di Indonesia dapat dikembangkan menurut prinsip–prinsip demokrasi yang seimbang,
sehingga menumbuhkan kultur demokrasi sosial yang kokoh.Dalam paham demokrasi sosial (social
democracy),negara berfungsi sebagai alat kesejahteraan ditengah gelombang liberalism dan
kapitalisme yang mempengaruhi hampir seluruh kehidupan manusia.(Asshiddiqie,2012).Tujuan
pemerintah mengalami pergeseran seiring waktuJika dulu tujuan pemerintahan membuat dan
mempertahankan hukum atau menjaga ketertiban (orde en rust) saja,sekarang lebih luas kepada
menyelenggarakan kepentingan umum (servicepublique) (Purbopranoto,1981). Rumusan tujuan
pemerintahan menurut aline IV Undang–Undang Dasar 1945 yakni melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Tugas penyelenggaraan kepentingan umum (public service) dijalankan oleh alat
pemerintahan (bestuurorgaan = administratief orgaan) yang bisa berwujud:
a. seorang petugas pemerintahan yang berdasarkan peraturan undang–undang diberi
kewenangan untuk menyatakan kehendakpemerintah c.q. penguasa (wil v/h openbaar
gezag).Dus yang dilengkapi dengan kewenangan melakukan tindakan–tindakan yang
mengikat hukum (persoon of college met enig openbaar gezag bekleed);
b. badan pemerintahan (openbaar lichaam) yaitu kesatuan hukum yang dilengkapi dengan
alat–alat atau kewenangan memaksa (coersive) (de met wereldlijk overheidsgezag en
physike dwangmiddelen toegeruste gemeenschappen”).(Purbopranoto,1981)
Bila pemerintah berpegang semua aktivitasnya pada kesejahteraan umum maka harus
langsung ditujukan pada perbaikan kondisi rakyat hidup dan bekerja.Menurut Mc.Iver (1981)
Pemerintah melakukan untuk kesehatan,keamanan,perumahan dan kehidupan yang layak, untuk
jaminan sosial serta ekonomi dan sebagainya.Peraturan-Peraturan yang mengatur penerimaan
negara harus untuk mensejahterahkan rakyat.Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2008 Tentang Jenis
dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Penggunaan Kawasan
Hutan untuk Kepentingan Pembangunan di Luar Kegiatan Kehutanan yang Berlaku pada
Departemen Kehutanan, merupakan salah satu contoh negara telah menjadi alat hisap Kapitalisme.
SOLJUSTISIO : Jurnal Penelitian Hukum Volume 3,Nomor 1,Juni 2021 Hal 287-303
[email protected] ISSN : 2684-8791 (Online)
291 Appe Hamonangan Hutahuruk : Filosofi Negara Kesejahteraan yang Dirumuskan Dalam Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945
Dalam Peraturan Pemerintah ini, negara memberikan kesempatan luas kepada perusahaan-
perusahaan tambang untuk melakukan kegiatan tambang di kawasan hutan lindung. Akibatnya
perusahaan tambang batu bara memiliki kesempatan luas dan legal untuk melakukan kegiatan
pertambangan walaupun di kawasan hutan lindung. In concreto, kawasan hutan lindung di
Indonesia khususnya daratan Kalimantan menyimpan kekayaan barang tambang yang sangat
melimpah. Hal ini menjadi masalah utama negara kita yang tidak memiliki “visi” bagaimana
memanfaatkan sumber daya alam batubara untuk kepentingan rakyat.Dalam tataran demikian,
birokrasi merupakan instrumen penting dalam masyarakat modern yang keberadaannya sangat
penting dalam menjalankan tugas pemerintahan untuk menyelenggarakan kesejahteraan
umum (bestuurzorg).Birokrasi adalah sebagai salah satu sistem otorita yang ditetapkan secara
rasional oleh berbagai peraturan untuk mengorganisasi secara teratur suatu pekerjaan yang
dilakukan banyak orang. Sejalan dengan pendapat Weber, Blau dan Page dalam (Mustafa 2013)
memformulasikan birokrasi sebagai tipe dari organisasi, dimaksudkan untuk mencapai tugas–tugas
administratif besar dengan cara mengkoordinasikan secara sistematika pekerjaan orang banyak.
Hubungan Hak Penguasaan Negara dengan Kedudukan dan Kewenangan Pemerintah.
Dalam kedudukannya sebagai pemegang kuasa pertambangan dengan kewenangan
melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi, berdasarkan ketentuan Undang–Undang Nomor 4
Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara,pemerintah menyerahkan kewenangan
tersebut kepada badan pelaksana, seterusnya berdasarkan KKS diserahkan lebih lanjut kepada
badan usaha atau bentuk usaha tetap sebagai pelaksana kegiatan eksplorasi dan eksploitasi. KKS
merupakan suatu bentuk perjanjian dalam kegiatan usaha hulu yang melibatkan dua pihak yaitu
Badan Pelaksana sebagai pelaksana kuasa pertambangan yang dipunyai oleh pemerintah dengan
Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap berkenaan dengan pelaksanaan kegiatan eksplorasi dan
eksploitasi sumber daya alam mineral dan batubara. (Sumardono dan Ismail, dkk,2011).Orang,
badan hukum dan perorangan yang diberi akses mengusahakan sumber daya mineral dan batubara
harus dilandaskan pada ijin tertentu. Hubungan hukum antara orang dengan mineral dan batubara
tersebut menurut UU Minerba sudah tidak dimungkinkan lagi didasarkan pada Kontrak Karya
sebagaimana yang telah ada selama ini. Namun demikian, Kontrak Karya yang telah ada berlaku
pada saat diundangkannya UU Minerba tetap berlaku sampai berakhirnya Kontrak Karya.
(Sumardono dan Ismail, dkk,2011)
Konsep pemegang kuasa pertambangan dengan kewenangan melakukan kegiatan eksplorasi
dan eksploitasi sebagaimana diatur dalam Undang–Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara, tidak dapat dipisahkan dengan hak penguasaan atas tanah.
Hak penguasaan atas tanah oleh negara, pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menegaskan,bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar–
besarnya untuk kemakmuran rakyat.Aturan (kaidah hukum) yang dirumuskan dalam ketentuan
pasal 33 UUD 1945 ini secara konstitusional merupakan landasan hukum bagi negara atas hak
agraria atau hak penguasaan atas tanah.Secara khusus, ketentuan–ketentuan pokok tentang
pertanahan di Indonesia diatur dalam Undang–Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan
Dasar Pokok-pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1960 Nomor 104–
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043), atau yang lebih dikenal dengan
sebutan Undang–Undang Pokok Agraria (UUPA).UUPA yang berlaku sejak tanggal 24 September
1960 dan sejak saat itu mulai berlaku Hukum Tanah Nasional di Indonesia.Tujuan pembentukan
Undang Undang Pokok Agraria untuk kemakmuran rakyat, sesuai dengan tujuan kehidupan
berbangsa dan bernegara berdasarkan Undang–Undang Dasar 1945.
Tambang Untuk Kemandirian dan Kesejahteraan Rakyat.
Industri pertambangan saat ini beralih dari mengandalkan sumber daya alam menjadi industry padat
SOLJUSTISIO : Jurnal Penelitian Hukum Volume 3,Nomor 1,Juni 2021 Hal 287-303
[email protected] ISSN : 2684-8791 (Online)
292 Appe Hamonangan Hutahuruk : Filosofi Negara Kesejahteraan yang Dirumuskan Dalam Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945
modal perlu modal besar, agar menghasilkan keuntungan dan efek ganda yang besar.Demikian
dengan penerapan aturan nilai tambah diharapkan dapat memberikan kontribusi yang signifikan
pada pemasukan negara. Kebijakan legislasi dalam usaha pertambangan mineral dan batubara yang
diatur dalam UU No.4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dapat dianggap
sebagai suatu lompatan besar dalam meningkatkan level perusahaan pertambangan di Indonesia,
keadaan demikian yang disebut revolusi industri pertambangan di Indonesia.Melalui pemasukan
dan nilai tambah yang diperoleh negara dapat menciptakan kemandirian dalam dunia pertambangan
mineral dan batubara di serta peningkatan kesejahteraan rakyat Indonesia. Salah satu kebijakan
yang ditentukan dalam UU Minerba Nomor 4 Tahun 2009 yaitu pengusaha pertambangan harus
mendirikan pabrik pengolahan, peleburan, dan pemurnian dalam negeri. Kebijakan tersebut
menunjukkan bahwa pemerintah menghendaki peningkatan nilai tambah dan penyediaan bahan
baku untuk industri di dalam negeri.Selama ini ekspor bijih besi meningkat luar biasa,terlihat dari
data kementerian perdagangan menunjukkan selama empat tahun terakhir, sejak tahun 2008, ekspor
bijih mineral Indonesia meningkat besar–besaran; Ekspor bijih nikel dari 4,1 juta ton menjadi 33
juta ton; bijih bauksit dari 7,8 ton menjadi 40 juta ton; dan bijih besi dari 1,8 juta ton menjadi 12,
juta ton di tahun 2011. Padahal peningkatan nilai tambah memberikan keuntungan cukup besar,
sebagai contoh, memberi nilai tambah sekitar US $ 81,15 juta untuk tiap 1 juta ton bauksit dan
pengolahan lebih lanjut ke aluminium memberikan nilai tambah baru sekitar US $ 185
juta. (Advancer,2014) Dapat kita bayangkan apabila nilai tambah sebanyak itu, belum termasuk
bahan mineral yang lain dipergunakan untuk peningkatan sebesar – besarnya kesejahteraan rakyat
Indonesia.
Berkaitan dengan kenyataan tersebut, pemerintah mengeluarkan aturan yang memperkuat
peraturan sebelumnya yakni, Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2013 Tentang Percepatan
Peningkatan Nilai Tambah Mineral melalui Pengolahan dan Pemurnian di Dalam Negeri, dan
Peraturan Menteri Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Nilai Tambah dan Larangan Ekspor Produk
Mineral Mentah. Pemerintah menyadari bahwa Indonesia mempunyai peluang besar untuk
mengambil peran dan pengaruh yang lebih besar di pasar mineral dan batubara dunia. Indonesia
memiliki cadangan laterit (oxide) terbesar nomor 4 di dunia. Indonesia memasok sekitar 7 % (tujuh
persen) kebutuhan nikel dunia pada 2010, produsen tembaga terbesar ke–5 dengan memberi
kontribusi 5 % (lima persen) produksi dunia (Advancer,2014).Kebijakan legislasi larangan ekspor
komoditi bahan mentah mineral harus diterapkan agar Indonesia menjadi tuan di rumah sendiri
dalam pemanfaatan sumber daya alam mineral dan batubara. Kebijakan tersebut menimbulkan efek
domino yang sangat besar bagi ptogram pemerintah untuk menciptakan lapangan pekerjaan baik
yang menyangkut tenaga operator maupun tenaga ahli, akan banyak Sarjana Teknik Indonesia yang
akan dipekerjakan.
Ekonomi mineral membicarakan tentang nilai dan biaya tambang, investasi modal jangka
panjang, cadangan, distribusi, pemilikan dan aliran mineral secara internal serta berbagai faktor
seperti terjadinya mineral, ketidakpastian cadangan dan penemuan, pengurangan, endapan, daur
ulang dan persyaratan lingkungan tambang.Sumberdaya mineral meliputi endapan hipotetis,
spekulatif, belum ditemukan, dan subekonomis atau endapan yang belum ditemukan dan tak
diketahui nilai ekonomisnya. (Reksohadiprodjo, Sukanto, Pradono,1988).Cadangan mineral adalah
konsentrasi komoditi mineral yang dapat dimanfaatkan, yang dapat secara ekonomis dan hukumiah
diproduksikan pada saat evaluasi.Negara Indonesia dikaruniai sumber daya alam dan energi yang
melimpah,bila digunakan untuk kemakmuran rakyat akan sejahtera rakyat Indonesia.
Pemerintah akan dianggap bersalah apabila tidak mampu mensejahterakan rakyatnya,karena
sudah termuad dalam Undang–Undang Dasar 1945 mengamanatkan bahwa bumi, air, dan
kekayaan alam yang terdapat didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya
untuk kemakmuran rakyat, namun dalam tataran penerapannya bumi, air, dan kekayaan alam yang
terdapat didalamnya tersebut dikuasai oleh investor. Begitu pula, Undang – Undang Nomor 32
SOLJUSTISIO : Jurnal Penelitian Hukum Volume 3,Nomor 1,Juni 2021 Hal 287-303
[email protected] ISSN : 2684-8791 (Online)
293 Appe Hamonangan Hutahuruk : Filosofi Negara Kesejahteraan yang Dirumuskan Dalam Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945
tahun 2004 secra eksplisit memberikan ruang dan peluang sebesar–besarnya kepada Pemerintah
Kabupaten dan Pemerintah Kota untuk mengembangkan potensi yang ada serta sumber daya alam
secara lebih baik semata-mata demi kepentingan dan kemajuan masyarakat, demi pembangunan
daerah yang berkelanjutan dan demi kesejahteraan dan kemakmuran.Keberpihakan pemerintah
kepada investor berpengaruh pada rasa tanggung jawab sosial perusahaan terhadap masyarakat.
Konsep Negara Kesejateraan Menurut Pandangan Hidup Bangsa Indonesia
Dalam abad modern ini telah terjadi pemekaran tugas negara dan bukan hanya sekedar
menjaga ketertiban tetapi juga mengusahakan agar setiap anggota masyarakat dapat menikmati
kemakmuran secara adil dan merata. Untuk mencapai cita – cita wefare state tidak dapat
dihindarkan, bahkan dibutuhkan campur tangan negara dalam segala kegiatan warga negaranya. Di
negara Barat cara ini memang merupakan cara yang tepat, oleh karena mereka dalam abad ke XIX
mengalami ekses – ekses daripada struktur masyarakat yang terlampau individualistis, sehingga
asas aquality before the law malahan memukul anggota masyarakat yang kedudukan sosial
ekonominya lemah, sedangkan dalam hal–hal tertentu negara menitikberatkan kepentingan umum
dengan mengurangi kepentingan individu.Peranan negara yang bertambah besar dalam usaha
pembangunan mengakibatkan sering terjadi bentrokan antara kepentingan negara dengan
individu.(Kusnardi dan Saragih,2008).Dengan berpangkal tolak pada perumusan sebagai yang
digariskan oleh para pembentuk Undang–Undang Dasar kita yaitu, Indonesia ialah negara yang
berdasar atas hukum (rechtsstaat) maka diasumsikan bahwa pola yang diambil tidak menyimpang
dari pengertian negara hukum pada umumnya yang disesuaikan dengan keadaan di Indonesia,
dengan lain perkataan rumusan negara hukum tersebut dipergunakan dengan ukuran pandangan
hidup maupun pandangan bernegara bangsa kita.(Soemardi,1987).Konsep untuk menyelenggarakan
kesejahteraan sosoial–ekonomi, dapat dilakukan dengan memanfaatkan pengelolaan sumber daya
alam yang dimiliki oleh bangsa Indonesia semaksimal mungkin. Pengelolaan sumber daya alam
tersebut harus sesuai dengan nilai–nilai yang terkandung dalam pandangan hidup bangsa Indonesia
yakni Pancasila.Pancasila menurut sejarah pembawaannya adalah mengandung “Isi Jiwa Bangsa
Indonesia” sehingga dapat dikatakan adalah Filsafat Bangsa Indonesia. Suatu filsafat itu adalah
suatu pemikiran yang bulat . (Kartohadiprodjo,1969).Terdapat perbedaan antara konsep keadilan
dunia barat dengan Indonesia.Perbedaan ini timbul karena pandangan hidup barat yang bersifat
individualistis, liberal dan materialistis dengan cara berpikirnya yang abstrak, analitis dan
sistematis, berbeda dengan pandangan hidup bangsa Indonesia yang lebih mengutamakan
kepentingan keluarga dan hidup dalam alam yang diliputi suasana magis metafisis dengan cara
berpikirnya yang konkrit dan riil. Walaupun terdapat perbedaan konsep keadilan
menurut pemikiran barat dan pemikiran Indonesia, namun ada kesamaan dalam hal tertentu,
karena dari konsep tersebut unsur – unsur pokok yang bernilai universal dari keadilan menurut
pemikiran barat terdapat pula dalam konsep keadilan menurut pandangan bangsa Indonesia yang
berdasarkan pada Pancasila.(Nasution,2012).
Pandangan hidup juga mengandung arti bahwa tindakan atau tingkah laku didasarkan atas
suatu endapan pengalaman yang telah tertanam sebelumnya. Sampai berapa jauh pantulan itu di
dalam penglihatan yang dibawakan oleh bangsa kita akan tampak di dalam reaksi terhadap
tantangan yang dihadapinya.(Darmodiharjo,1983). Dalam pergaulan hidup terkandung konsep dasar
mengenai kehidupan yang dicita-citakan oleh suatu bangsa, terkandung pikiran-pikiran yang
terdalam dan gagasan suatu bangsa mengenai wujud kehidupan yang dianggap baik..Cita hukum
atau rechtsidee adalah apa yang dicita–citakan atau apa yang dituju oleh hukum, jadi cita hukum
berada dalam dunia idee, tumbuh dalam cita–cita dan eksis dalam dunia sollen. Cita
hukum (rechtsidee) menurut Rudolf Stammler sebagaimana dikutip Theo Huijbers (1998), adalah
konstruksi pikir yang mengarahkan hukum pada cita–cita yang di inginkan masyarakat. Cita hukum
berfungsi sebagai pemandu untuk mencapai apa yang dicita–citakan,mengandung prinsip yang
SOLJUSTISIO : Jurnal Penelitian Hukum Volume 3,Nomor 1,Juni 2021 Hal 287-303
[email protected] ISSN : 2684-8791 (Online)
294 Appe Hamonangan Hutahuruk : Filosofi Negara Kesejahteraan yang Dirumuskan Dalam Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945
berlaku sebagai norma bagi keadilan atau ketidakadilan hukum. Dengan demikian, hukum yang adil
adalah hukum yang diarahkan oleh cita hukum untuk mencapai tujuan masyarakat (Saleh, 1995).
Selanjutnya Radbruch menegaskan pula bahwa cita hukum tidak hanya berfungsi sebagai tolak ukur
yang bersifat regulatif yang menguji apakah suatu hukum positif adil atau tidak, melainkan juga
sekaligus berfungsi sebagai dasar yang bersifat konstitutif, yaitu yang menentukan bahwa tanpa cita
hukum, hukum akan kehilangan maknanya sebagai hukum (Sisworo 1995).Hakekat keadilan adalah
penilaian terhadap suatu perlakuan atau tindakan dengan mengkajinya oleh suatu norma yang
menurut pandangan subjektif melebihi norma–norma lainnya (Mertokusumo,2003).Penilaian
keadilan umumnya,ditinjau dari satu pihak saja, yaitu pihak yang menerima perlakuan, misalnya
kalau kebijaksanaan pemerintah telah dipertimbangkan masak–masak bahwa hal itu demi
kepentingan umum,orang banyak, tetapi ada warga negara yang tidak terpenuhi
kebutuhannya.Menurut Nasution (2012).keadilan harus dilihat dari dua pihak, yaitu pihak yang
memperlakukan dan pihak yang menerima perlakuan.(Nasution,2012).
Menurut Sumardi (1987) Pancasila menguasai seluruh hukum yang berlaku bagi bangsa
Indonesia, baik hukum yang tertulis maupun hukum yang tidak tertulis.Maka dalam mengartikan
hukum rumusan yang menyebutkan bahwa Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum, kita
hanya dapat menyimpulkan bahwa yang dimaksud ialah sumber dari segala sumber hukum yang
terbatas dalam kehidupan rakyat Indonesia bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kita tidak
perlu menafsirkan lebih luas daripada itu. (Attamimi,).Teori bernegara bangsa Indonesia secara
universal pada umumnya dan secara khusus pada suatu kelompok manusia. (situatio Gebundenheit)
yang bersumber pada alam dan budaya bangsa oleh Prof. Soepomo disebut dengan istilah suasana
kebatinan bangsa Indonesia (geistlichen Hintergrund). Suatu negara dapat kita lihat sebagai suatu
kesatuan yang utuh (Ganzheit) ataupun dapat kita lihat dalam strukturnya. Dengan teori dua segi
ini (zweiseiten theorie) dapat dijelaskan bahwa luas lingkup ketatanegaraan Indonesia yaitu dimana
ideologi Pancasila diimplementasikan. (Wahjono,1991).Apabila dalam teori ekonomi Barat (Klasik
– Neoklasik – Keynesian) diasumsikan bahwa hakekat manusia adalah egois dan selfish, sedangkan
dalam teori ekonomi “timur” (Marxian) manusia dianggap bersemangat kolektif, maka dalam
masyarakat Pancasila manusia mencari keseinbangan antara hidup sebagai pribadi dan hidup
sebagai warga masyarakat, antara kehidupan materi dan kehidupan rohani. Menurut Pancasila yang
Berketuhanan Yang Maha Esa, selain homo – economicus, sekaligus homo – metafisikus dan homo
– mysticus. Ini berarti bahwa dalam ekonmomi Pancasila manusia tidak hanya dilihat dari tata segi
saja yaitu instink ekonominya, tetapi sebagai manusia bulat, manusia seutuhnya. Sebagai manusia
yang utuh ia berpikir, bertingkah laku dan berbuat, tidak berdasar rangsangan ekonomi saja, tetapi
juga terangsang oleh faktor–faktor sosial dan moral.Faktor soasial dalam hubungannya dengan
manusia lain dan masyarakat dimana ia berada, dan faktor moral dalam hubungan manusia sebagai
titah Tuhan dengan penciptanya. (Moerdiono, dkk,1992).
Hak Ulayat Menurut Hukum Pertanahan
Secara sosiologis, hukum merupakan lembaga kemasyarakatan yaitu himpunan dari pada
kaedah–kaedah dari segala tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok di dalam kehidupan
masyarakat. Hukum bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pokok dari pada warga–warga
masyarakat akan ketertiban dan sebagai lembaga kemasyarakatan hukum jelas berfungsi sebagai
pedoman bagaimana bertingkah laku, sebagai alat untuk menjaga keutuhan masyarakat dan sebagai
sistem pengendalian sosial. Sebagai suatu lembaga kemasyarakatan, hukum berdiri berdampingan
dengan Lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya dan saling pengaruh–mempengaruhi dengan
Lembaga-lembaga kemasyarakatan tadi. (Soekanto,1983).Dalam hal ini diantaranya lembaga
masyarakat hukum yang dikenal dengan sebutan hak ulayat.Hak ulayat dan yang serupa itu dari
masyarakat hukum adat, (untuk selanjutnya disebut hak ulayat) adalah kewenangan yang menurut
hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan
SOLJUSTISIO : Jurnal Penelitian Hukum Volume 3,Nomor 1,Juni 2021 Hal 287-303
[email protected] ISSN : 2684-8791 (Online)
295 Appe Hamonangan Hutahuruk : Filosofi Negara Kesejahteraan yang Dirumuskan Dalam Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945
lingkungan para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam termasuk tanah dalam
wilayah tersebut bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya yang timbul dari hubungan secara
lahiriah dan batiniah, turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut
dengan wilayah yang bersangkutan.Dasar hukum berlakunya hak ulayat di Indonesia, antara lain:
a. Ketentuan Pasal 3 dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang menyatakan:
1) Pasal 3 berbunyi: “Dengan mengingat Ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 Pelaksanaan
Hak Ulayat dan Hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat Hukum Adat,
sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan
kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh
bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi”.
2) Ketentuan Pasal 5 berbunyi: “Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa
ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara,
yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan
peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan dengan peraturan
perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang berdasar pada
hukum agama.”
b. Ketentuan Pasal II ayat (1) Ketentuan – Ketentuan Konversi, yang berbunyi: “Hak-hak atas
tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan hak yang dimaksud dalam
pasal 20 ayat 1 seperti yang disebut dengan nama sebagai di bawah, yang ada pada mulai
berlakunya Undang-undang ini, yaitu: hak agrarisch eigendom, milik, yasan, andarbeni, hak
atas druwe, hak atas druwe desa, pesini, grant Sultan, landerijenbezitrecht, altijddurende
erfpacht, hak usaha atas bekas tanah partikelir dan hak-hak lain dengan nama apapun juga
yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria, sejak mulai berlakunya Undang-
undang ini menjadi hak milik tersebut dalam pasal 20 ayat 1, kecuali jika yang
mempunyainya tidak memenuhi syarat sebagai yang tersebut dalam pasal 21”.
c. Ketentuan pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
Tentang Pendafaran Tanah, yang menyatakan:
1) Untuk keperluan pendaftaran hak-hak atas tanah yang berasal dari konversi hak-hak lama
dibuktikan dengan alat-alat bukti mengenai adanya hak tersebut berupa bukti-bukti tertulis,
keterangan saksi dan atau pernyataan ybs yang kadar kebenarannya oleh Panitia Ajudikasi
dalam Pendaftaran Tanah secara sistematik atau oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam
pendafataran tanah secara sporadik, dianggap cukup untuk mendaftar hak, pemegang hak
dan hak-hak pihak lain yang membebaninya.
2) Dalam hal tidak atau tidak lagi tersedia secara lengkap alat-alat pembuktian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), pembukuan hak dapat dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan
fisik bidang tanah yang bersangkutan selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara
berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dan pendahulu-pendahulunya,dengan syarat :
penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka oleh yang
bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah, serta diperkuat oleh kesaksian orang yang
dapat dipercaya penguasaan tersebut baik sebelum maupun selama pengumuman
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hukum adat
atau desa/kelurahan yang bersangkutan ataupun pihak lainnya.
d. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman
Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.
Penggunaan Lahan Masyarakat Adat Dalam Investasi Sumber Daya Alam Pertambangan
Menurut ajaran sejarah dan ajaran hukum tentang hak milik, pada awal mulanya hukum
tidak mengenal adanya hak milik pribadi atau perorangan atas benda apapun.Segala benda yang ada
SOLJUSTISIO : Jurnal Penelitian Hukum Volume 3,Nomor 1,Juni 2021 Hal 287-303
[email protected] ISSN : 2684-8791 (Online)
296 Appe Hamonangan Hutahuruk : Filosofi Negara Kesejahteraan yang Dirumuskan Dalam Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945
pada waktu itu semuanya dianggap sebagai milik bersama para anggota masyarakat secara
merata (res communes atau bonum commune) karena setiap benda tersebut dikatakan juga “res
nullius” yang berarti benda tanpa ada yang berhak untuk dimiliki oleh siapa pun juga secara
pribadi.Kemudian orang–perorangan saling mengadakan pembagian melalui perjanjian–perjanjian
untuk memiliki benda–benda tersebut atas namanya masing – masing. Benda–benda yang dapat
dimiliki secara pribadi melalui perjanjian pembagian tersebut menjadi milik mereka secara
perorangan tetapi benda–benda yang tidak dimiliki secara pribadi terpaksa dimiliki secara bersama
sebagai milik masyarakat atau negara. (Purbacaraka dan Halim,1982).
Selaras dengan Falsafah Negara dan Pandangan Hidup Bangsa kita yakni Pancasila yang
menuntut keserasian antara kepentingan perorangan dan kepentingan masyarakat, maka tentu saja di
samping pelaksanaan perlindungan hukum terhadap hak milik sebagai pengejawantahan
kepentingan perorangan, pembatasan hukum terhadap hak milikpun telah dilaksanakan di
Indonesia.Pelaksanaan pembatasan hukum terhadap hak milik inilah yang merupakan
pengejawantahan dari perhatian terhadap kepentingan masyarakat.(Purbacaraka dan Halim,1982).
Sebuah perusahaan pertambangan untuk dapat melakukan penambangan harus memiliki izin dari
pemerintah lebih dahulu. (Supramono,2012).Dengan izin yang dimiliki perusahaan pertambangan
tidak dapat langsung melakukan penambangan sesuai lokasi yang ditunjuk dalam izin,perlu melihat
dahulu di lokasi penambangan, apakah di lokasi tersebut terdapat hak–hak atas tanah yang
dimilikioleh pihak lain. Jika terdapat kepemilikan orang lain maka perlu ditunda untuk menghindari
bentrokan. Langkah yang ditempuh masyarakat maupun pemerintah dalam melakukan upaya
penyelesaian sengketa tanah ulayat secara hukum menyangkut pengakuan keberadaan hak ulayat
dan kepastian hukum. (Suranta,2014).
Refleksi Negara Kesejahteraan Dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945.
Tuntutan atas muatan UU Pertambangan yang harus berpihak pada kepentingan rakyat dan
daerah, merupakan hal yang wajar dan dapat dipahami, karena dijamin oleh konstitusi negara,
persisnya oleh pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Ketentuan pasal 33 ayat (3) tersebut, mengandung roh
yang menegaskan, bahwa kekayaan alam yang terdapat di wilayah hukum Indonesia harus
dipergunakan “hanya dan hanya” untuk sebesar – besarnya kemakmuran rakyat. Selanjutnya roh
pasal 33 ayat (3) mengandung tiga unsur makna, yaitu:
a. Unsur bumi dan kekayaan alam, baik kekayaan alam yang di permukaan maupun di bawah
tanah sebagai objek;
b. Unsur negara sebagai suyek;
c. Unsur rakyat sebagai objek sekaligus subjek atau sasaran dari pemanfaatan hasil bumi dan
kekayaan alam. (Sudrajat,2013)
Dalam konteks hak menguasai negara bidang pertambangan sebagaimana dimaksud pasal 3
ayat (3) UUD 1945, tidak ada ketentuan dalam perundang – undangan, baik UU No. 11 Tahun
1967, maupun UU No. 4 Tahun 2009, yang menjelaskan tentang pengertian dan ruang lingkup
maksud hak menguasai negara tersebut. Pengertian hak menguasai negara ditemukan dalam
Undang–Undang Pokok Agraria (UUPA), memberikan makna “hak menguasai dari negara”, yaitu
wewenang untuk:
1) Mengatur dan menyelenggarakan perubahan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan
bumi, air, dan ruang angkasa tersebut;
2) Menentukan dan mengatur hubungan – hubungan hukum antara orang – orang dengan bumi,
air, dan ruang angkasa;
3) Menentukan dan mengatur hubungan – hubungan hukum mengenai bumi, air, dan ruang
ankasa. (Sudrajat,2013)
SOLJUSTISIO : Jurnal Penelitian Hukum Volume 3,Nomor 1,Juni 2021 Hal 287-303
[email protected] ISSN : 2684-8791 (Online)
297 Appe Hamonangan Hutahuruk : Filosofi Negara Kesejahteraan yang Dirumuskan Dalam Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945
Berkaitan dengan hak menguasai oleh negara, AP Parlindungan menegaskan bahwa
kesimpulan pasal 1, 2, 3, 4, dan 9 UUPA, kesemuanya dalam konteks dengan ketahanan nasional
sebagaimana disebutkan oleh pasal 2 ayat (4) UUPA: Wewenang yang bersumber pada Hak
Menguasai Negara tersebut pada ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar–besarnya
kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam masyarakat
dan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, dan makmur.Mineral dan batubara
mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam menunjang pembangunan suatu negara. Karena
dari hasil pengelolaan dan pemanfaatan mineral dan batubara, negara akan menerima pajak–pajak,
bukan pajak, dan lain–lain. (H. Salim HS,2012).
Prinsip di yang dikemukakan diatas yang menjadi dasar filosofis dan sosiologis
pembentukan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
yang menggantikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pertambangan yang dalam prakteknya tidak mampu mengakomodir perkembangan kegiatan
pertambangan yang terus bermetafora, misalnya pembagian kewenangan antara pemerintah pusat
dan daerah dalam kaitannya dengan otonomi daerah; pengaturan mengenai wilayah pertambangan;
reklamasi dan pascatambang, pembinaan dan pengawasan penyelengaraan pertambangan;
penerimaan negara; penggunaan tanah untuk kepentingan pertambangan; divestasi saham atau
modal pemegang izin usaha pertambangan; status kontrak karya, perjanjian karya pengusahaan
pertambangan batubara dan kuasa pertambangan yang sudah diterbitkan, sehingga diperlukan
pembaharuan hukum pertambangan dari rezim pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun
1967 ke Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009.
Terdapat tiga syarat minimal,agar hukum dapat berperan mendorong jalannya perekonomian
bangsa, yaitu hukum harus dapat menciptakan predictability, stability, dan fairness, termasuk dalam
peranan pengaturan pertambangan bagi mendorong perekonomian.Pertama, yaitu predictability,
peraturan perundang-undangan harus bisa menciptakan kepastian. Peraturan perundang-undangan
yang menyebabkan ketidakpastian hukum menandakan telah terjadinya kegagalan dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut.Hukum harus memberikan kepastian
mengenai norma yang harus dipatuhi atau dihindari bagi setiap orang/badan yang terkena akibat
hukum dari suatu pengaturan. Jika kepastian hukum tidak ada, maka investasi sektor pertambangan
terhambat. Investasi merupakan kepercayaan seseorang/badan dalam menanamkan modalnya dan
sangat tergantung dari kepastian hukum suatu negara.Selain itu, aspek penegakkan hukum terhadap
tindak pidana korupsi menjadi dasar pertimbangan investor dalam menilai adanya kepastian hukum
di suatu negara. Dengan adanya kepastian pengaturan dam kepastian penegakkan hukum tersebut,
investor akan tertarik untuk menanamkan modalnya sehingga ketertarikan yang diimplementasikan
dengan investasi akan berimplikasi pada pertumbuhan perekonomian bagi Indonesia.Syarat kedua,
yaitu peraturan perundang-undangan harus bisa menciptakan stability, yaitu peraturan perundang-
undangan harus mampu mengakomodir kepentingan-kepentiangan yang saling terkait dalam
masyarakat. Kepentingan masyarakat untuk mendapatkan kepastian hukum, penegakan hukum atas
tindak pidana korupsi, iklim investasi yang sehat dengan didukung oleh sistem perburuan yang
kondusif, kemudahan dalam proses perizinan, kondisi sosial politik yang baik dan stabil, merupakan
bentuk kepentingan yang harus diakomodir guna menciptakan aspek stabilitas dalam mendorong
perekonomian. Stability dapat pula dimaknai dengan adanya keseimbangan antara kepentingan
investor dalam berusaha serta kepentingan pemerintah dan masyarakat dalam memperoleh manfaat
atas implikasi investasi.Syarat ketiga, yaitu peraturan perundang-undangan sebagai saah satu
sumber hukum yang dapat menciptakan fairness.
Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 sebagian pihak investor mengganggap telah
terjadi ketidakadilan dalam pengaturan yang mengatur mengenai ketentuan peralihan yaitu pada
Pasal 172 yang pokoknya menentukan bahwa terhadap permohonan Kontrak Karya (KK) dan
Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang telah diajukan paling lambat
SOLJUSTISIO : Jurnal Penelitian Hukum Volume 3,Nomor 1,Juni 2021 Hal 287-303
[email protected] ISSN : 2684-8791 (Online)
298 Appe Hamonangan Hutahuruk : Filosofi Negara Kesejahteraan yang Dirumuskan Dalam Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945
satu tahun sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 (dalam hal ini paling lambat
12 Januari 2008) dan telah mendapat persetujuan prinsip atau izin penyelidikan pendahuluan, yang
diakui dan tetap diproses perijinannya tanpa melalui proses lelang berdasarkan ketentuan Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2009. Didasari pengaturan tersebut beberapa pengusaha baik secara
perorangan ataupun badan hukum mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2009 kepada Mahkamah Konstitusi dengan registrasi Nomor 759.121/PAN.MK/IX/2009
tanggal 11 September 2009.
Didasari ketiga syarat tersebut hukum dapat mendorong pertumbuhan perekonomian, dalam
hal ini sektor pertambangan yang dalam skema penerimaan negara, sektor ini merupakan salah satu
sektor yang diprioritaskan untuk dapat menjadi sektor yang mampu berkontribusi besar untuk
membiayai pembangunan secara umum. Namun, sektor pertambangan yang menjadi sektor yang
diharapkan mampu berkontribusi tersebut, dalam prakteknya terdapat beberapa persoalan yang
secara umum merupakan bentuk ketidakmampuan penerapan ketiga syarat sebagaimana diuraikan
sebelumnya.Permasalahan yang cukup kompleks dalam kegiatan penanaman modal di bidang
pertambangan mineral dan batubara yang dewasa ini cukup mengemuka diantaranya permasalahan
divestasi saham atau modal. Salah-satu praktik pelaksanaan divestasi yang bermasalah, misalnya
praktik pelaksanaan perjanjian kontrak karya antara Pemerintah Indonesia dengan PT Newmont
NNT dalam eksplorasi tambah batuhijau di Nusa Tenggara Barat (NTB). Perjanjian kontrak karya
yang sudah berjalan bertahun-tahun tersebut tiba-tiba menghadapai permasalahan yang disebabkan
tidak terealisasinya kesepakatan mengenai klausula yang mengatur kewajiban divestasi setiap
periode divestasi yang telah ditentukan dalam perjanjian kontrak karya antara Pemerintah Indonesia
dengan PT. Newmont NNT. Imbas dari kejadian tersebut munculah sengketa antara keduanya,
pemerintah menuding PT Newmont NNT wanprestasi, sementara Newmont Merasa tidak
melakukan pelanggaran atas perjanjian mengenai divestasi. Sengketa antara Pemerintah Indonesia
dengan PT Newmont NNT akhirnya harus diselesaikan melalui penyelesaian sengketa arbitrase di
Majelis Arbitrase International yang diselenggarakan di Singapura pada tahun 2009. Hasil putusan
arbitrase internasional tersebut memenangkan Pemerintah Indonesia dengan mengabulkan tuntutan
pemerintah yang menuntut agar PT Newmont NNT mendivestasikan sahamnya sesuai dengan
periode divestasi yang belum terlaksana.Putusan arbitrase yang memenangkan Pemerintah
Indonesia terhadap PT Newmont NTT dalam pelaksanaannya tidak dapat direalisasikan secara
cepat karena mengalami berbagai kendala, antara lain mengenai kesepakatan harga saham periode
divestasi tahun 2008 yang belum disepakati antara pihak dan permasalahan pendanaan untuk
membeli sahan yang akan didivestasikan. Permasalahan pendanaan tersebut dikarenakan
Pemerintah Daerah NTB yang tidak cukup memiliki dana untuk membeli saham PT Newmont NNT
sehingga untuk mengatasi persoalan tersebut dilakukanlah kerja sama antara pemerintah daerah
dengan perusahaan BUMN dan/atau perusahaan swasta nasional. Perusahaan PT Aneka Tambang
(ANTAM) berminat untuk melakukan kerja sama dengan Pemerintah Daerah NTB dalam divestasi
saham. Namun, upaya kerja sama ini gagal karena persoalan mengenai persentase besaran
sahamnya. Akhirnya Pemeritah Daerah NTB menyepakati untuk bekerjasama dengan perusahaan
Bakrie.
Divestasi saham asing yang secara sederhana diartikan sebagai jumlah saham asing yang harus
ditawarkan untuk dijual kepada peserta Indonesia. Ketentuan mengenai divestasi saham asing ini
secara yuridis normatif telah diatur dalam Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009
yang mengatur bahwa pemegang IUP dan IUPK yang sahamnya dimiliki oleh asing wajib
melakukan divestasi saham pada Pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha milik negara, badan
usaha milik daerah, atau badan usaha swasta nasional. Selanjutnya dalam ayat (2) menyatakan
bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai divestasi saham diatur dengan peraturan
pemerintah.Kewajiban sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 112 Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2009 dalam prakteknya belum dapat diberlakukan secara efektif karena menimbulkan
SOLJUSTISIO : Jurnal Penelitian Hukum Volume 3,Nomor 1,Juni 2021 Hal 287-303
[email protected] ISSN : 2684-8791 (Online)
299 Appe Hamonangan Hutahuruk : Filosofi Negara Kesejahteraan yang Dirumuskan Dalam Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945
penolakan dari berbagai perusahaan pertambangan. Hal ini didasari oleh kendala semisal harga
komoditas yang melambung tinggi apabila dilakukan divestasi karena pengaruh isu divestasi yang
direspon pasar bursa dan juga kendala kesulitan pinjaman bagi perusahaan tambang dari perbankan
apabila komposisi saham yang relatif kecil. Saham yang didivestasikan cenderung nilainya lebih
mahal empat kali lipat dari harga sesungguhnya. Hal ini terjadi karena penilaian harga saham sudah
menyertakan proyeksi keuntungan (discount rate), biaya investasi, dan harga komoditas jangka
panjang. Dengan pola tersebut pemerintah seolah hanya mengganti biaya investasi (replacement
cost) dan mengambil alih saham. Di satu sisi, Pemerintah atau pihak pembeli akan sulit membeli
saham divestasi jika mengandalkan dana perbankan. Alasannya, pihak perbankan selaku pemberi
pinjaman akan berpikir panjang dalam memberikan pinjaman untuk porsi saham yang relatif kecil.
Terlepas dari polemik yang muncul dan berkembang, terdapat beberapa keuntungan dan
kerugian dalam hal divestasi saham badan usaha asing kepada Pemerintah, pemerintah daerah,
BUMN/BUMD, dan swasta nasional. Sehingga menyikapi polemik tersebut harus diupayakan suatu
formulasi hukum yang mampu mengatasi persoalan divestasi ini. Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2009 belum mengatur secara jelas penyelesaian persoalan-persoalan yang timbul sebagai akibat dari
kegiatan divestasi saham. Undang-Undang mengamanatkan agar permasalahan ini diatur lebih
lanjut dalam peraturan Pemerintah. Untuk mengupayakan divestasi saham, Pemerintah dan/atau
pemerintah daerah harus memiliki power kuat dan bargaining potition yang tinggi dalam setiap
perjanjian kontrak kerjasama penambangan di wilayah Indonesia, terutama dalam hal kesiapan
pendanaan. Divestasi saham izin usaha pertambangan ke Pemerintah, pemerintah daerah, BUMN,
atau dab/atau BUMD sebagai wujud kedaulatan dalam negeri dalam hal kegiatan usaha
pertambangan sebagai upaya guna mewujudkan kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya perlu
diciptakan formulasi hukum agar divestasi ini dapat berjalan dan Pemerintah mampu mendorong
supaya investor mentaati setiap peraturan yang ada, tanpa adanya affirmative hukum mustahil
Indonesia akan mendapatkan keuntungan yang besar dalam kerjasama bisnis. Hal ini penting
supaya masyarakat indonesia tidak merasa apatis terhadap investor asing yang masuk sehingga daya
dukung sosial terhadap investasi / divetasi akan mengalami pertumbuhan dan kenyamanan investor
lebih terjamin.
Ekonomi moral yang tidak semata–mata rasional harus kita akui sudah cukup melekat pada
sistem nilai dan budaya bangsa Indonesia. Meskipun kita secara terbuka ingin mengikis habis sifat–
sifat irrasional yang tercermin dalam efisiensi dan produktivitas yang rendah dalam perekonomian
kita, pada akhirnya kita menghadapi “tantangan” berupa moral ekonomi bangsa yang tidak
sepenuhnya bersifat negatif. Dalam hati nurani kita sebagai bangsa masih selalu terselip perasaan
was–was jangan–jangan pengambilan pilihan yang semata–mata rasional justeru akan merugikan
dalam jangka panjang. (Moerdiono,1992).Wawasan ekonomi Pancasila memberikan semacam
pegangan kepada setiap pelaku ekonomi dalam melaksanakan misi dan tugasnya masing – masing,
dalam upaya memajukan kehidupan ekonominya masing–masing, dalam upaya memajukan
kehidupan ekonomi negara, bangsa dan masyarakat. Ideologi Ekonomi Pancasila adalah “aturan
main” yang mengikat setiap pelaku ekonomi, yang apabila dipatuhi secara penuh akan
mengakibatkan tertib dan teraturnya perilaku setiap warga negara. Dan ketertiban serta keteraturan
perilaku ini pada gilirannya akan menyumbang pada kemantapan dan efektivitas usaha perwujudan
keadilan sosial. (Moerdiono,1992)
Etika Ekonomi Pancasila bersumber pada UUD 1945 khusunya pasal 33 sebagai sistem
ekonomi kekeluargaan, dan pada Pancasila sebagai pedoman etik yang memberikan semangat dan
gerak pembangunan nasional. Apabila wawasan ekonomi Pancasila sudah kita terima sebagai satu –
satunya pegangan etik sistem dan kebijaksanaan pembangunan nasional, maka ia berubah menjadi
acuan nasional yang harus dipatuhi oleh setiap warga negara. Hadiah dan sanksi atas pelaksanaan
atau pelanggaran aturan etik memang bersifat etik pula, yang pengawasannya tidaklah bisa
dilakukan oleh aparat negara dan pemerintah saja. Pengawasan ini harus melekat pada hakekat
SOLJUSTISIO : Jurnal Penelitian Hukum Volume 3,Nomor 1,Juni 2021 Hal 287-303
[email protected] ISSN : 2684-8791 (Online)
300 Appe Hamonangan Hutahuruk : Filosofi Negara Kesejahteraan yang Dirumuskan Dalam Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945
moral masyarakat bangsa secara keseluruhan baik dalam kelompok – kelompok kecil maupun
kelompok besar. (Moerdiono,1992)
Tujuan akhir Pembangunan Nasional Jangka Panjang (PNJP) adalah keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia. Secara lebih lengkap pembangunan nasional harus mampu:
(1) memajukan kesejahteraan umum;
(2) memajukan kecerdasan kehidupan bangsa; dan
(3) mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. (Moerdiono,1992)
Konsep Pengelolaan Pertambangan
Persoalan sangat mendasar dan mendesak yang menjadi tanggung jawab pemerintah beserta
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) saat ini adalah pelaksanaan kebijakan
hilirisasi mineral. Kebijkan tersebut berkaitan dengan amanat undang–undang Minerba yang telah
disahkan tanggal 12 Januari 2009, yang menyatakan bahwa perusahaan tambang mineral harus
melakukan pengolahan dan pemurnian lima tahun setelah undang–undang Minerba dinyatakan
berlaku. Sesuai ketentuan mengenai tenggang waktu yang disebutkan dalam undang–undang
tersebut, maka saat ini (terhitung tanggal 12 Januari 2014) klausul undang-undang
tersebut imperative harus dilaksanakan. Dengan pengertian lain, setelah lima tahun undang–undang
Minerba tersebut dinyatakan berlaku maka tidak boleh lagi ada ekspor barang mentah (raw
mineral), semua produk tambang mineral dan batubara harus diolah.Pemerintah harus
melaksanakan undang – undang Minerba secara konsisten, karena baik untuk kepentingan negara.
Kemanfaatannya bagi negara adalah akan ada pengendalian ekspor dan produksi, akan ada nilai
tambah, serta pelestarian lingkungan akan lebih dapat dikendalikan. Akan tetapi, pemerintah juga
harus mempertimbangkan ketahanan perekonomian nasional, berkaitan dengan pemberlakuan UU
Minerba tersebut.Namun sampai saat ini pemerintah belum mempersiapkan peraturan organik
(peraturan pelaksana dari UU Minerba tersebut baik dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP)
maupun Peraturan Menteri (Permen). Peraturan lorganik tersebut diharapkan dapat menakomodir
kepentingan perusahaan tambang termasuk pemegang Kontrak Karya (KK). Diharapkan, kebijakan
hilirisasi yang akan ditetapkan dalam peraturan organik tersebut menegaskan hal – hal antara lain:
pertama, konsistensi pemerintah melaksanakan UU Mineral dan Batubara tersebut; kedua,
terhitung tanggal 12 Januari 2014 tidak ada lagi ekspor biji mineral; ketiga, pemerintah segera
menyiapkan PP dan Permen yang mengatur perusahaan yang telah melakukan kegiatan pengolahan
dan pemurnian.Secara substansial, terdapat perbedaan mendasar antara UU No. 11 Tahun
1967 dengan UU No. 4 Tahun 2009, baik dalam hal penggolongan bahan galian, maupun dalam
kaitannya dengan sistem pengelolaannya. Perbedaan mendasar tersebut dapat dilihat dari sisi
muatan UU No. 4 Tahun 2009 yang lebih baik dari muatan UU No. 11 Tahun 1967.Kebijakan
pemerintah mengenai hilirisasi yang mewajibkan perusahaan tambang mengolah hasil tambang di
dalam negeri,menegaskan bahwa tidak boleh ada lagi ekspor mineral
mentah. Pelaksanaan kewajiban pengolahan mineral di dalam negeri akan memberi nilai tambah.
Akan segera muncul pabrik–pabrik pengolahan mineral. Pabrik pengolahan mineral membutuhkan
supply tenaga listrik yang banyak, sehingga batubara Indonesia tidak perlu lagi dijual ke luar
negeri.Dalam jangka penedek, pelarangan ekspor ini akan menimbulkan masalah dan kesulitan bagi
perusahaan – perusahaan tambang seperti PT.Freeport, PT. Newmont, PT. Vale dan berbagai
perusahaan tambang lainnya yang diizinkan mengekspor mineral mentah. Perusahaan–perusahaan
tersebut harus membangun sendiri industri pemurnian dan pengolahan, atau menitipkan hasil
tambangnya ke smelter lain.Bila program hilirisasi yang digagas pemerintah dan Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) berjalan dengan lancar, maka di Indonesia akan muncul industri pengolahan dan
pemurnian minderal di daerah–daerah yang selama ini kurang berkembang dengan baik. Di
wilayah–wilayah tambang seperti Halmahera Utara, Kalimantan Barat, Sulawesi Tenggara serta di
berbagai wilayah penghasil mineral lainnya akan segera berdiri industri pengolahan dan pemurnian.
SOLJUSTISIO : Jurnal Penelitian Hukum Volume 3,Nomor 1,Juni 2021 Hal 287-303
[email protected] ISSN : 2684-8791 (Online)
301 Appe Hamonangan Hutahuruk : Filosofi Negara Kesejahteraan yang Dirumuskan Dalam Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945
Dengan sendirinya daerah–daerah yang selama ini tertinggal akan dapat merasakan
kemajuan pembangunan ekonomi.Hadirnya industri pengolahan akan segera diikuti dengan
munculnya prasarana lain bagi kepentingan masyarakat seperti sekolah, rumah sakit, pertokoan dan
sebagainya, oleh karena daerah–daerah yang selama ini tidak berpenghuni akan didiami oleh
banyak penduduk. Pemda sebagai pihak yang mengeluarkan Izin Usaha Pertambangan (IUP),
memiliki peran sentral untuk menjaga lingkungan di area tambang dan sekitarnya. Keberadaan PP
Nomor 75 Tahun 2001 Tentang Perubahan Kedua Atas PP Nomor 32 Tahun 1969 Tentang
Pelaksanaan UU No. 11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan–Ketentuan Pokok Pertambangan dan UU
Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daearah memberikan kewenangan penuh kepada
Pemda yang memunculkan euforia penambangan di daerah. Pemda seakan – akan lepas kendali
dalam menerbitkan Izin Usaha Pertambangan (IUP). Berlindung di balik peningkatan pendapatan
daerah, Bupati dan Walikota maupun Gubernur di wilayah yang memiliki potensi kekayaan alam
berlimpah cenderung “mengobral” menirbitkan IUP.Pemertintah Pusat tidak mempunyai kendali
dan pengawasan terhadap pengelolaan wilayah pertambangan. Berbagai persoalan pertambangan di
Indonesia kemudian bermunculan. Salah satu masalah yang sangat krusial adalah masalah reklamasi
lingkungan di area bekas pertambangan. Terutama pertambangan yang dikelola perusahaan –
perusahaan kecil pemegang IUP.Menurut Bupati Sumatera Barat yang juga merangkap sebagai
Ketua Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral Aplikasi, Zulkifli Mahadli, “Masih banyak
pengusaha pertambangan yang tidak melakukan kegiatan reklamasi paska tambang secara benar
dan tepat. Banyak yang belum melakukan sama sekali. Adapula yang sudah melakukan, tetapi tidak
memenuhi standar dan prinsip–prinsip pengelolaan yang baik dan benar”. (Muhadi,2014) “Padahal,
reklamasi paska tambang merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh pemegang IUP dan
IUPK, sebagaimana diatur dalam pasal 96 huruf (c) UU No. 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara, serta pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2010 Tentang
Reklamsi dan Pascatambang”. (Muhadi,2014).Akibat diabaikannya kegiatan reklamasi paska
tambang tersebut, pencemaran dan kerusakan lingkungan terjadi secara masif di daerah. Pemerintah
Daerah sebagai pengawas belum sepenuhnya menjalankan fungsinya sebagai pemegang
peranan (role playing) secara maksimal. Bahkan, pemertintah daerah belum memahami arti
pentingnya kegiatan reklamasi lahan pasca tambang sebagai bagian yang integral dengan
pembangunan berkelnjutan di daerah.Kebijakan pemerintah daerah harus jelas dan tegas terkait
reklamasi untuk menjadi pedoman pelaku pertambangan untuk melaksanakan pemulihan
lahan.Pakar Agronomi IPB, Purwono, mengatakan bahwa pemerintah daerah memiliki peran sangat
sentral untuk melakukan kontrol terhadap perusahaan dalam menyelenggarakan kegiatan reklamasi
sesuai dengan rencana pascatambang.Pelaksanaan reklamasi merupakan perintah undang – undang
yang wajib dilakukan, dan mendapat kontrol pemerintah daerah.Namun belum semua
daerah memberi perhatian yang besar pada masalah lingkungan karena terbentur masalah politik.
Terdapat beberapa kepala daerah yang peduli dengan lingkungan karena faktor latar belakang
sebelum menjadi kepala daerah.Kepala daerah yang berasal dari petani lebih perduli dari pada yang
berlatar belakang pengusaha (Purwono,2014).Kebijakan legislasi yang ditetapkan memang
memiliki beberapa permasalahan yang harus dicarikan pemecahannya (problem solving) secara
bersama – sama antara pengusaha dan pemerintah. Regulasi yang ditetapkan dalam undang –
undang mineral dan batubara mengharuskan (imperatif) perusahaan pembangunan smelter (pabrik
pengolahan, peleburan dan pemurnian mineral) membuat infrastruktur lain seperti untuk
transportasi dan energi, padahal lokasi pertambangan biasanya jauh dari perkotaan, bahkan
mayoritas di luar Pulau Jawa. Belum lagi masalah harga energi, pajak dan bea keluar komoditi
mineral logam. Oleh karena itu sinergi antara pemerintah dengan kalangan usaha menjadi faktor
penting dalam pelaksanaan kebijakan hilirisasi.
IUPK Eksplorasi meliputi kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan
dalam rangka pertambangan. Menurut Pasal 62 Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2010 tentang
SOLJUSTISIO : Jurnal Penelitian Hukum Volume 3,Nomor 1,Juni 2021 Hal 287-303
[email protected] ISSN : 2684-8791 (Online)
302 Appe Hamonangan Hutahuruk : Filosofi Negara Kesejahteraan yang Dirumuskan Dalam Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945
Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara yang telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No 23
Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (PP Tentang
Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba), IUPK Eksplorasi diberikan berdasarkan
permohonan dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), atau
badan usaha swasta yang telah mendapatkan Wilayah Ijin Usaha Pertambangan Khusus
(WIUPK).Berdasarkan Pasal 78 Undang – Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Mineral dan
Batubara, IUPK Eksplorasi sekurang-kurangnya wajib memuat:nama perusahaan,luas dan lokasi
wilayah,rencana umum tata ruang,jaminan kesungguhan,modal investasi,perpanjangan waktu tahap
kegiatan,hak dan kewajiban pemegang IUPK,jangka waktu tahap kegiatan,jenis usaha yang
diberikan,rencana pengembangan dan pemberdayaan masyarakat di sekitar wilayah
pertambangan,perpajakan,penyelesaian perselisihan masalah pertanahan,iuran tetap dan iuran
eksplorasi dan amdal.
KESIMPULAN
Hasil dari penelitian ini adalah konsep negara kesejateraan yang yang dirumuskan dalam
Pancasila dan pembukaan Unsang-Undang Dasar 1945 belum pada cita-cita terwujudnya
kesejahteraan rakyat,masih dalam proses.Hal ini terjadi karena penerapan kebijakan belum
sepenuhnya berjalan dengan baik,masih terdaoat disan-sini penyimpangan.
REFERENSI
Advancer,R.(2014). Reklamasi Masih Sebatas Slogan, The Indonesian Energy & Mining
Tambang,Jakarta,PT media Bakti Tambang,Volume 8 No. 103.
Ali,H,Z.(2008). Sosiologi Hukum, Jakarta,Sinar Grafika.
Asshiddiqie,J.(2012). Hukum Tata Negara & Pilar – Pilar Demokrasi, Jakarta,Penerbit Sinar
Grafika.
Atmosudirjo,S,P.(1995). Hukum Administrasi Negara, Jakarta,Ghalia Indonesia.
Attamimi,A,H,S.(1991). Pancasila Cita Hukum dalam Kehidupan Bangsa Indonesia,Jakarta, BP–7
Pusat.
Darmodiharjo,D.(1983). Pancasila dalam Beberapa Perspektif. Jakarta, Aries Lima, Jakarta.
Gatot Supramono, Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara di Indonesia, Penerbit Rineka
Cipta, Jakarta, 2012.
Gatot Supramono,G.(2012). Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara di Indonesia,Jakarta,
Rineka Cipta
Hadjon,P.M.,dkk.(2012). Hukum Administrasi dan Good Governance,Jakarta,Universitas Trisakti.
Husodo,S,Y.(2009).Menuju Welfare State, Jakarta, Penerbit Baris Baru.
Kusnardi,M., Bintan, R,S.(2008). Ilmu Negara, Jakarta,Gaya Media Pratama
Kartohadiprodjo,S.(1969).Beberapa Pikiran Sekitar Pancasila, Bandung.
Mc. Iver.(1981). Jaring – Jaring Pemerintahan, Jakarta,Aksara baru, Jakarta.
Mustafa,D. (2013).Birokrasi Pemerintahan, Bandung,Alfabeta.
Moerdiono., dkk.(1992). Pancasila sebagai Ideologi dalam Berbagai Bidang Kehidupan
Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara,Jakarta, BP – 7 Pusat.
Nasution,B,J.(2012). Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, Bandung,Mandar Maju.
Purbopranoto,K.(1981). Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan Administrasi
Negara, Bandung,Alumni, Bandung.
Purbacaraka,P., A.Ridwan,H.(1982).Hak Milik, Keadilan dan Kemakmuran Tinjauan Falsafah
Hukum, Jakarta,Ghalia Indonesia.
Parlindungan,A,P.(1989). Hak Pengelolaan Menurut Sistem UUPA, Bandung,Mandar Maju.
Reksohadiprodjo, S,P.(1988). Ekonomi Sumber Daya Alam dan Energi,Yogyakarta,
SOLJUSTISIO : Jurnal Penelitian Hukum Volume 3,Nomor 1,Juni 2021 Hal 287-303
[email protected] ISSN : 2684-8791 (Online)
303 Appe Hamonangan Hutahuruk : Filosofi Negara Kesejahteraan yang Dirumuskan Dalam Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945
Salman,H,R,O., Anthon,F,Susanto,.(……).Beberapa Aspek Sosiologi Hukum, Bandung,PT.
Alumni.
Sumardono,M,S,W., Nurham,I., dkk. (2011).Pengaturan Sumber Daya Alam di Indonesia antara
yang Tersurat dan Tersirat, Yogyakarta,Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada bekerja
sama dengan Gadjah Mada University Press.
Soemardi,D.(1987). Pengantar Tata Hukum Indonesia, Jakarta,IND–HILL–CO.
Soekanto,S.(1983). Beberapa Permasalahan Hukum dalam Kerangka Pembangunan di
Indonesia,Jakarta, Universitas Indonesia (UI – Press).
Suranta,F,A.(2014). Penggunaan Lahan Hak Ulayat Dalam Investasi Sumber Daya Alam
Pertambangan di Indonesia, Jakarta, Media Online, diakses pada hari Minggu, pukul 12.00,
tanggal 23 Maret 2014.
Sudrajat,N.(2013).Teori dan Praktik Pertambangan Indonesia, Jakarta,Pustaka Yustisia,
Salim,H,S.(2012). Hukum Pertambangan Mineral & Batubara,Jakarta,Sinar Grafika
Wahjono,P.(1991). Pancasila sebagai Ideologi dalam Kehidupan Ketatanegaraan, Jakarta,BP – 7
Pusat.
Zulkufli Muhadi,Z.(2014). Reklamasi Masih Sebatas Slogan, The Indonesian Energy &
Mining Tambang,Jakarta,PT media Bakti Tambang, Jakarta, Volume 8 No. 103, Januari
2014.
Umar,H.(2008).Metode Penelitian Untuk Skripsi dan Tesis Bisnis,Jakarta : PT.RajaGrafindo
Persada