file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BAHASA_ARAB/... · Web viewAdapun pendapat...
Transcript of file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BAHASA_ARAB/... · Web viewAdapun pendapat...
Ayat ini diturunkan berkenaan dengan seseorang yang bernama Tsa'labah.
Dia adalah seorang munafik. Sebelumnya dia senantiasa berada di Masjid Rasulullah
saw. siang dan malam. Karena itu, dia dijuluki Merpati Masjid. Dahinya seperti lutut
unta karena banyak bersujud pada tanah dan batu yang panas terkena sinar matahari.
Kemudian dia segera keluar dari masjid begitu Rasulullah saw. selesai melaksanakan
salat fajar secara berjamaah, tanpa diam sejenak dan berdoa. Pada suatu hari
Rasulullah saw berkata kepadanya, “Ada apa denganmu? Mengapa kelakuanmu
seperti orang munafik yang tergesa-desa keluar dari masjid?”
Dia menjawab, “Hai Rasulullah, sesungguhnya aku ini orang yang sangat
miskin, sehingga aku dan isteriku hanya memiliki satu pakaian, yaitu yang aku
kenakan ini. Jika aku salat dengannya, maka isteriku telanjang di rumah, lalu aku
kembali kepada isteriku dan melepaskannya, sehingga dia dapat memakainya untuk
alat. Maka berdoalah kepada Allah agar Dia memberiku harta.”
Rasulullah saw. bersakata, “Janganlah, hai Tsa'labah. Harta yang sedikit,
tetapi kamu kamu dapat mensyukurinya adalah lebih baik daripada harta yang
banyak sedang kamu tidak sangup mensyukurinya.”
Dia mengulangi permintaanya sambil berkata, “Hai Rasulullah, demi Zat
yang mengutusmu sebagai Nabi dengan membawa kebenaran, sekiranya engkau
berdoa agar Allah memberiku harta, pasti aku akan menunaikan haknya kepada
setiap orang yang berhak menerimanya”. Maka Rasulullah saw. berdoa, “Ya Allah,
berilah Tsa'labah harta kekayaan”.
Tsa’labah memperoleh seekor kambing, lalu kambing itu berkembang-biak,
seperti belatung, sehingga jalan-jalan di Madinah menjadi sempit karenanya.
Tsa'labah turun ke lembah hingga dia ketinggalan salat berjamaah. Dia tidak salat
berjamaah kecuali zhuhur dan ashar. Kambingnya terus berkembang-biak dan
menjadi sangat banyak. Maka dia pergi ke tempat yang jauh hingga dia tidak dapat
salat berjamah dan salat jum'ah. Nabi saw. menanyakan ihwalnya. Lalu dikatakan
kepada beliau, “Harta Tsa'labah demikian banyak, hingga satu lembah tidak dapat
menampung dombanya. Dia menempatkannya pada beberapa lembah dan padang
pasir. Lalu dia pergi ke tampat yang jauh. Rasulullah saw. bersabda, “Celakalah
Tsa'labah”.
209
Tatkala turun firman Allah Ta'ala, Ambillah zakat dari sebagian harta
mereka..., Nabi saw. menyuruh dua orang untuk mengambil shadaqah, yakni seorang
dari kaum Anshar dan seorang lagi dari Bani Salim. Nabi saw. menuliskan ayat
tentang sedekah kepada keduanya dan berbagai ketentuannya. Beliau menyuruh
keduanya supaya mengambil zakat dari masyarakat. Orang-orang menyambut
keduanya dengan menberikan zakat mereka. Akhirnya, kedua orang itu menemui
Tsa'labah. Dia diminta zakatnya dan dibacakan kepadanya surat Rasulullah saw.
yang berisi aneka ketentuan zakat. Tsa'labah berkata, “Zakat ini tiada bedanya
dengan jizyah. Ini persis dengan jizyah. Dia melanjutkan, “Kembalilah, aku akan
mempertimbangkannya.” Inilah yang dimaksud oleh firman Allah Ta'ala…,
Maka setelah Allah memberikan kepada mereka sebahagian dari karunia-
Nya, mereka kikir dengan karunia itu, dan berpaling, dan mereka memanglah
orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran). (QS. At-Taubah 9:76)
Falamma `atahum (maka setelah Allah memberikan kepada mereka) harta.
Min fadllihi (sebagian dari karunia-Nya) dan kemurahan-Nya.
Bakhilu bihi (mereka kikir dengan karunia itu). Mereka tidak menunaikan hak
Allah dari hartanya itu.
Wa tawallau (dan mereka berpaling). Mereka meninggalkan ketaatan kepada
Allah dan mengingkari janji kepada-Nya.
Wa hum mu'ridluna (dan mereka orang-orang yang selalu membelakangi).
Mereka adalah kaum yang biasa berpaling.
Maka Allah menimbulkan kemunafikan pada hati mereka sampai pada waktu
mereka menemui Allah, karena mereka telah mengingkari Allah atas apa
yang telah mereka ikrarkan kepada-Nya dan juga karena mereka selalu
berdusta. (QS. At-Taubah 9:77)
Fa 'aqabahum nifaqan fi qulubihim `ila yaumi yalqaunahu (maka Allah
menimbulkan kemunafikan pada hati mereka sampai pada waktu mereka menemui-
Nya). Allah menambahkan pada perbuatan mereka itu kemunafikan yang kokoh dan
210
keyakinan yang buruk hingga hari kematian di mana mereka akan menemui Tuhan-
Nya.
Bima `akhlafullaha ma wa'aduhu (karena mereka telah mengingkari Allah
atas apa yang telah mereka ikrarkan kepada-Nya), disebabkan pengingkaran mereka
atas zakat dan kebaikan yang mereka janjikan kepada Allah.
Wa bima kanu yakdzibuna (dan juga karena mereka berdusta). Mereka terus
menerus berdusta dalam berbagai perkataan yang semuanya merupakan janji mereka
yang telah disebutkan di atas.
Tidaklah mereka mengetahui bahwasa Allah mengetahui rahasia dan bisikan
mereka, dan bahwasanya Allah amat mengetahui segala yang ghaib? (QS.
At-Taubah 9:78)
`Alam ya'lamu (tidaklah mereka mengetahui). Pertanyaan ini dimaksudkan
untuk menetapkan. Yakni, mereka telah mengetahui…
`Annallaha ya'alamu sirrahum (bahwasa Allah mengetahui rahasia mereka),
yaitu niat ingkar yang mereka rahasiakan di dalam diri mereka, padahal mereka
tidak mengatakannya, baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan.
Wa najwahum (dan bisikan mereka). Allah mengetahui apa yang dibisikan
di kalangan mereka seperti penamaan zakat dengan jizyah dan hal lainnya yang tidak
mengandung kebaikan. Tanaji dan najwa diartikan rahasia yang tersembunyi.
Wa `annallaha 'allamul ghuyubi (dan bahwasanya Allah amat mengetahui
segala yang ghaib). Maka tiada sesuatu pun yang tersembunyi dari-Nya. Lalu
mengapa mereka berani melakukan kemunafikan dan berniat mengingkari janji?
Dalam Hadits diriwayatkan, Ada tiga perkara yang barangsiapa
memilikinya, maka dia seorang munafik dan diragukan keislamannya, walaupun dia
melaksanakan shaum dan salat: jika berbicara, dia berdusta; jika berjanji, dia
mengingkari; jika diberi amanat, dia khianat. (HR. Bukhari. Muslim, dan Nasa`i).
Hadits di atas dikenakan pada orang yang membiasakan diri dengan karakter
ini, bukan pada orang yang jarang melakukannya, sebagaimana pendapat Bukhari.
Adapun mayoritas ulama berpendapat bahwa karakter ini merupakan karakter orang-
orang munafik. Jika seseorang berbuat demikian, berarti dia menyerupai mereka.
211
Penggunaan sebutan munafik pada pelakunya dimaksudkan untuk menyangatkan
betapa buruknya karakter itu, sebagaimana Allah Ta'ala menggunakan sebutan
“orang yang tidak berhaji” dengan “orang yang kafir”. Hal ini dimaksudkan untuk
menyangatkan keburukannya.
Orang-orang yang mencela orang-orang mu'min yang memberi sedekah
dengan sukarela dan mencela orang-orang yang tidak memperoleh untuk
disedekahkan selain sekedar kesanggupannya, maka orang-orang munafik itu
menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka itu, dan untuk
mereka azab yang pedih. (QS. At-Taubah 9:79)
Alladzina (orang-orang yang). Kaum munafikin adalah orang-orang yang…
Yalmizuna (mencela), yakni mengejek dan mengumpat.
Al-muthawwi'ina (orang-orang yang dengan sukarela), yakni orang–orang
yang senantiasa melakukan amal sunnah dan tambahan.
Minal mu`minina (dari orang-orang Mu'min). Penggalan ini merupakan
keterangan keadaan dari al-muthawwi’ina.
Fishshadaqat (dalam memberi sedekah). Penggalan ini bertemali dengan
yalmizuna. Diriwayatkan bahwa pada suatu hari Nabi saw. berkhotbah ketika
hendak berangkat ke medan perang Tabuk. Beliau menganjurkan orang-orang untuk
berinfak dan membantu dalam mempersiapkan perlengkapan pasukan. Orang yang
pertama kali datang membawa sedekah adalah Abu Bakar r.a. Dia membawa semua
hartanya senilai empat ribu dirham. Rasulullah saw. berkata kepadanya, “Apakah
engkau menyisakan sesuatu untuk keluargamu?” Abu Bakar menjawab, “Aku
menyisakan Allah dan Rasul-Nya bagi mereka”. Kemudian Umar bin Khatab r.a.
datang membawa separuh hartanya. Rasulullah saw. berkata kepadanya, “Apakah
engkau menyisakan sesuatu bagi keluargamu?” Dia menjawab, “Separuh harta
kekayaan”. Dari peristiwa itu diketahuilah kelebihan Abu Bakar r.a. atas Umar r.a.
Selanjutnya, Utsman bin Affan r.a. berinfak dengan harta yang sangat banyak yang
tidak seorang pun yang menandinginya, karena dia telah mempersiapkan sepuluh
ribu, yaitu dia menafkahknnya sebanyak sepuluh ribu dinar seraya menumpahkannya
ke pangkuan Nabi saw. Di samping itu dia memberi tiga ratus ekor unta beserta
212
pakaian dan pelananya, dan lima puluh ekor kuda. Pada saat itulah Rasulullah saw.
berdoa, “Ya Allah, ridhailah Utsman karena sesungguhnya aku ridha kepadanya”.
Sebelumnya Rasulullah saw. menikahkan puterinya, yaitu Ruqayyah, dengan
Utsman. Ruqayyah meninggal ketika Rasulullah saw. berperang ke Badar. Ketika
kembali dari perang Badar, beliau menikahkan Utsman dengan putrinya yang lain,
yaitu Ummu Kultsum. Karena itu, Utsman diberi gelar Dzunnurain (pemilik dua
cahaya).
Selanjutnya, Abdurrahman bin 'Auf r.a. datang dengan membawa empat ribu
dirham, lalu Rasulullah saw. berkata, “Semoga Allah memberkahimu atas apa yang
kamu simpan dan apa yang kamu berikan”. Berikutnya al-Abbas datang dengan
membawa harta yang banyak dan begitu pula Thalhah. Giliran berikutnya, 'Ashim
bin 'Adiy bersedekah dengan seratus wasaq kurma. Satu wasaq sama dengan enam
puluh sha'. Kemudian Abu 'Uqail al-Anshari membawa satu sha' kurma seraya
berkata, “Hai Rasulullah, sehari penuh aku bekerja untuk mendapatkan dua sha’
kurma. Maka satu sha' aku berikan kepada keluargaku, sedang satu sha' lagi aku
pinjamkan kepada Tuhanku.” Lalu Rasulullah saw. menyuruhnya agar
menyimpannya bersama sedekah lainnya. Maka orang-orang munafik mencela kaum
Mu`minin seraya berkata, “Tidaklah Abdurrahman dan 'Ashim memberikan sesuatu
melainkan karena riya` dan sum'ah. Sungguh, Allah tidak butuh satu sha' kurma
dari Abi 'Uqail.” Lalu Allah Ta'ala menurunkan ayat ini.
Walladzina layaziduna `illa juhdahum (dan orang-orang yang tidak
memperoleh selain sekadar kesanggupannya). Mereka mencela orang-orang yang
tidak bersedekah kecuali selaras dengan kemampan mereka. Mereka menuduh orang-
orang yang banyak bersedekah sebagai orang yang berbuat riya` dan mencela orang
yang sedikit bersedekah dengan meremehkannya. Dikatakan, al-jahdu berarti
kesusahan, sedangkan al-juhdu berarti kesanggupan.
Fa yaskharuna minhum (maka orang-orang munafik itu menghina mereka).
Orang-orang munafik mengolok-olok mereka. Yang dimaksud dengan mereka pada
penggalan ini adalah kelompok yang terakhir seperti Abi 'Uqail.
Sakhiralllahu minhum (Allah akan membalas penghinaan mereka itu). Allah
akan membalas hinaan mereka. Penamaan balasan dengan sukhriyah dilihat dari
213
aspek persesuaian bentuk karena hal ini selaras dengan firman Allah Ta'ala, Maka
orang-orang munafik itu menghina mereka.
Wa lahum (dan untuk mereka), yakni ditetapkan bagi mereka.
Azabun `alimun (azab yang pedih) atas kekafiran dan kemunafikan mereka.
Tatkala ayat ini diturunkan, kaum munafikin menjumpai Rasulullah saw. seraya
berkata, “Hai Rasulullah, mohonkanlah ampunan bagi kami”. Maka Rasulullah saw.
memohonkan ampunan bagi kaum yang secara lahiriah memeluk Islam dan tidak
diketahui kemunafikannya. Apabila salah seorang dari kaum munafikin itu
meninggal, mereka meminta Rasulullah mendoakan dan memohonkan ampunan bagi
mereka. Lalu Rasulullah saw. memohonkan ampunan bagi mereka, karena mengira
bahwa mereka itu Muslim. Kemudian Allah SWT. memberitahukan bahwa mereka
itu orang-orang munafik dan bahwa permohonan ampunannya itu tidak akan
bermanfaat. Berkenaan denga hal itu, Allah Ta'ala berfirman…,
Kamu memohonkan ampun bagi mereka atau tidak kamu mohonkan ampun
kepada mereka adalah sama saja. Kendati pun kamu memohonkan ampun
bagi mereka tujuh puluh kali, namun Allah sekali-kali tidak akan memberi
ampun kepada mereka. Yang demikian itu adalah karena mereka kafir
kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada
kaum yang fasik. (QS. At-Taubah 9:80)
`Istaghfir lahum `au la tastaghfir lahum (kamu memohonkan ampunan bagi
mereka atau kamu tidak mohonkan ampunan kepada mereka). Jika kamu
menghendaki, mohonkanlah ampunan bagi mereka dan jika kamu tidak
menghendaki, jangan engkau mohonkan ampunan untuk mereka. Keduanya sama
saja dalam hal tidak ada manfaat berupa perolehan ampunan dan rahmat.
`In tastaghfir lahum sab'ina marratan (kendati kamu memohonkan ampun
bagi mereka tujuh puluh kali), yaitu tujuh puluh kali permohonan ampunan. Tujuh
puluh disebutkan secara khusus untuk menegaskan tidak adanya ampunan, karena
apabila ingin menyangatkan pengungkapan sesuatu, ditegaskan dengan tujuh dan
tujuh puluh, sebagaimana seseorang berkata, “Walaupun kamu meminta kepadaku
agar aku memenuhi kebutuhanmu tujuh puluh kali, niscaya aku tidak akan
214
memenuhinya.” Hal ini tidak berarti bahwa bila dia memintanya lebih dari tujuh
puluh akan dipenuhi kebutuhannya. Yang dimaksud dengan tujuh puluh adalah
bilangan yang banyak, bukan batasan bilangannya.
Falayyaghfirallahu lahum dzalika (namun Allah sekali-kali tidak akan
memberi ampun kepada mereka). Ditolaknya permohonan ampunan bagi mereka,
walaupun setelah memohonnnya secara maksimal, bukan karena tidak berharganya
permohonan ampunanmu, tetapi …
Bi `annahum (karena mereka), disebabkan mereka itu …
Kafaru billahi wa rasulihi (kafir kepada Allah dan Rasul-Nya) dengan
kekafiran yang melampaui batas, sebagaimana tampak dari penjelasan sifat kefasikan
mereka.
Wallahu la yahdil qaumal fasiqina (dan Allah tidak memberi petunjuk
kepada kaum yang fasik), karena kefasikan pada segala sesuatu diartikan sebagai
pembangkangan dan pelanggaran terhadap hukum-hukum Allah. Makna ayat: Allah
tidak akan memberi mereka petunjuk yang akan mengantarkan mereka ke tujuan,
karena hal itu bertentangan dengan hikmah yang menjadi tempat beredarnya planet
penciptaan dan pensyari'atan.
Adapun sedekah, baik banyak maupun sedikit, sangatlah penting dalam
pandangan Allah. Nilai sedekah tergantung pada niatnya yang ikhlas, bukan pada
banyak atau sedikit sedekah.
Diriwayatkan bahwa Daud a.s. memohon kepada Tuhan agar diperlihatkan
kepadanya timbangan, lalu Dia memperlihatkannya kepada beliau melalui mimpi.
Tatkala melihat ukuran mizan yang sangat besar, beliau jatuh pingsan. Setelah
siuman, dia berkata, “Tuhanku, siapakah yang mampu mengisi penampang
timbangan itu dengan aneka kebaikan?” Allah Ta’la berfirman, “Hai Daud,
sesungguhnya bila Aku ridha terhadap hamba-Ku, niscaya Aku akan memenuhinya
hanya dengan pahala sedekah sebutir kurma.”
Diriwayatkan bahwa Hasan bertemu dengan pengrajin logam yang membawa
budak perempuan yang cantik. Lalu dia berkata kepada si pengrajin, “Apakah
engkau mau menjualnya dengan satu atau dua dirham?” Dia menjawab, “Tidak.”
215
Hasan berkata, “Pergilah, sesugguhnya Allah mau memberikan seorang bidadari
hanya dengan satu atau dua sen.”
Orang-orang yang ditinggalkan itu, merasa gembira dengan tinggalnya
mereka di belakang Rasulullah, dan mereka tidak suka berjihad dengan harta
dan jiwa mereka pada jalan Allah dan mereka berkata, “Janganlah kamu
berangkat pergi berperang dalam panas terik ini”. Katakanlah, “Api neraka
jahanam itu lebih panas”, jikalau mereka mengetahui. (QS. At-Taubah 9:81)
Farihal mukhallafuna (orang-orang yang tidak ikut berperang itu merasa
gembira). Maksudnya, orang-orang munafik yang ditinggal di Madinah, sedang Nabi
saw. pergi ke medan perang Tabuk. Beliau memperkenankan mereka tidak ikut
setelah meminta izin.
Bimaq’adihim (dengan tinggalnya mereka). Maq’ad merupakan mashdar
mimi yang berarti duduk. Makna ayat: dengan tinggal dan tidak ikutnya mereka
berperang.
Khilafa rasulillahi (di belakang Rasulullah) dan setelah beliau berangkat,
mereka tidak berangkat. Jadi, khilafun pada penggalan ini bermakna tinggal
sebagaimana Allah Ta’ala berfirman, ... dan kalau terjadi demikian, niscaya
sepeninggalmu mereka tidak tinggal, melainkan sebentar saja (QS. Al-`Isra` 17:76).
Atau khilafun bermakna menentang, sehingga ayat itu bermakna: mereka merasa
gembira karena dapat menentang Nabi saw., sehingga beliau berjihad, sedang
mereka sendiri tidak ikut.
Wa karihu ayyujahidu bi `amwalihim wa `anfusihim fi sabilillahi (dan mereka
tidak suka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah), karena mereka
lebih mengutamakan kesenangan dan kelapang hidup daripada keta’atan kepada
Allah, sedang di dalam hatinya terdapat kekafiran dan kemunafikan.
Wa qalu (dan mereka berkata). Sebagian mereka berkata kepada sebagian
yang lain untuk memperteguh ketidakberangkatan dan tinggalnya mereka; dan untuk
saling menasehati di antara mereka dengan keburukan dan kerusakan. Atau mereka
berkata kepada kaum Mu`minin guna menghalang-halangi mereka dari berjihad dan
mencegah mereka dari berbuat makruf. Sungguh, mereka telah menghimpun tiga
216
karakter kekafiran dan kesesatan: merasa gembira karena tidak ikut berperang,
membenci berjihad, dan mereka melarang orang lain berjihad.
La tanfiru (janganlah kamu berangkat), yakni pergi berperang.
Fil harri (dalam panas terik ini), karena kamu tidak akan sanggup menahan
teriknya. Mereka diseru untuk pergi ke medan perang Tabuk di saat matangnya buah
kurma, yakni waktu biasanya sangat panas.
Di antara orang yang tidak berangkat bersama-sama dengan Nabi saw. adalah
Abu Khaitsumah. Ketika Nabi saw. telah berangkat, Abu Khaitsumah menjumpai
isterinya di hari yang sangat panas. Dia mendapati kedua isterinya berada dalam
tandu yang tersandar ke tembok. Masing-masing isterinya memercikan air pada
tandunya, mendinginkannya dengan air, dan menyiapkan makanan. Ketika Abu
Khaitsumah masuk, dia melihat kedua isterinya dan apa yang dilakukan oleh
keduanya. Abu Khaitsumah berkata, “Rasulullah saw. tengah berada di bawah terik
mentari, sedang Abu Khaitsumah berada di bawah naungan, air yang dingin,
makanan yang tersedia, dan isteri yang cantik?” Lalu dia berkata, “Demi Allah, aku
tidak akan masuk ke dalam tandu salah seorang dari kamu sebelum aku bersua
dengan Rasulullah. Maka siapkanlah perbekalan untuku!” Lalu keduanya
menyiapkan bekal. Dia pun menyiapkan kendaraannya dan membawa pedang serta
panahnya. Selanjutnya, dia berangkat mengejar Rasulullah saw. hingga dapat
menyusulnya.
Qul (katakanlah). Penggalan ini dimaksudkan membantah mereka dan
menyatakan kebodohan mereka.
Naru jahannama `asyaddu harran (api neraka jahanam itu lebih panas)
daripada panas matahari yang ini. Lalu mengapa kamu tidak mewaspadainya?
Lau kanu yafqahuna (jika mereka mengetahui), yakni mengetahui bahwa
demikianlah akibat dari penentangan mereka.
Di dalam hadits dikatakan, Sesungguhnya apimu yang ini merupakan satu
bagian dari tujuh puluh bagian dari api neraka jahanam. (HR. Bukhari, Muslim,
dan Tirmidzi). Maksudnya, apabila kayu bakar yang ada di dunia dikumpulkan, lalu
dibakar semuanya hingga menjadi api, maka api itu merupakan satu bagian saja dari
217
api neraka jahanam yang panasnya tujuh puluh kali lipat daripada panasnya api di
dunia.
Maka hendaklah mereka sedikit tertawa dan banyak menangis, sebagai
pembalasan dari apa yang selalu mereka kerjakan. (QS. At-Taubah 9:82)
Falyadlhaku (maka hendaklah mereka tertawa) dengan tertawa yang...
Qalilan (sedikit) di dunia yang menunjukkan batas usia. Jika usia dunia itu
sangat singkat, bagaimana dengan usia orang yang berada di dunia. Maka
sesunggunya umurnya itu sangat pendek.
Walyabku (dan menangislah) dengan tangisan yang...
Katsiran (banyak) di akhirat, yakni di neraka.
Jaza`an (sebagai pembalasan). Yakni menangislah sebagai balasan...
Bima kanu yaksibuna (atas apa yang selalu mereka kerjakan) berupa aneka
kemaksiatan. Walyabku berbentuk perintah, sedang maknanya sebagai
pemberitahuan. Makna ayat: mereka sedikit tertawa dan selalu menangis.
Diriwayatkan bahwa orang-orang munafik menangis di neraka selama usia
dunia. Air mata mereka tidak berhenti mengalir dan tidak pula mereka tertidur.
Di dalam hadits diriwayatkan, Allah mengirim tangisan kepada penduduk
neraka, lalu mereka menangis hingga air matanya kering. Kemudian mereka
menangis darah hingga wajah mereka tampak tinggal tulang pipinya”.
Dalam hadits lain dikatakan, Sekiranya kamu mengetahui apa yang aku
ketahui, niscaya kamu akan banyak menangis dan sedikit tertawa. (HR. Bukhari dan
Tirmidzi)
Ibnu Umar r.a. berkata, Pada suatu hari Rasulullah saw. bepergian. Beliau
mendapati suatu kaum yang tengah bercakap-cakap dan tertawa-tawa, lalu beliau
berhenti dan mengucapkan salam kepada mereka sambil berkata, “Perbanyaklah
mengingat hadzamil ladzdzat”! Kami bertanya, “Apa itu hadzimulladzdzat?” Beliau
menjawab, “Kematian.” (HR. Tirmidzi dan Nasa`i)
Hasan Bashri bertemu dengan seorang pemuda yang sedang tertawa. Dia
berkata kepada pemuda itu, “Wahai anaku, apakah engakau pernah melewati
shirath?” Pemuda itu menjawab, “Belum.” Kemudian Hasan Bashri berkata,
218
“Tahukah kamu, apakah engkau akan menjadi penduduk surga ataukah penduduk
neraka?” Pemuda itu berkata, “Tidak tahu”. Beliau berkata lagi, “Lalu apa yang
menyebabkanmu tertawa?” Sejak saat itu pemuda tersebut tidak pernah terlihat
tertawa.
Ulama berkata: Tangisan itu ada sepulu macam: (1) tangisan gembira, (2)
tangisan sedih, (2) tangisan rahmat, (4) tangisan cemas atas apa yang akan diperoleh,
(5) tangisan dusta, seperti tangisan orang yang meratapi mayat karena dia menangis
lantaran kesedihan orang lain, (6) tangisan ikut-ikutan, karena meilhat orang-orang
menangis, lalu dia pun menangis, padahal tidak mengetahui alasannya, (7) tangisan
cinta dan kerinduan, (8) tangisan takut ditimpa penderitaan yang tidak dapat
dipikulnya, (8) tangisan karena kelemahan dan kepayahan, (9) tangisan kemunafikan,
yaitu matanya menangis, sedang hatinya keras, dan (10) pura-pura menangis yang
terbagi menjadi dua macam, yakni yang terpuji dan tercela. Adapun tangisan pura-
pura yang terpuji ialah tangisan yang terjadi untuk melembutkan hati, sedangkan
tangisan pura-pura yang tercela ialah tangisan yang dilakukan karena riya` dan
sum’ah. Demikianlah dikatakan dalam Insanul ‘Uyun.
Jadi, hendaknya para pencari akhirat mengurangi tertawa dan memperbanyak
menangis serta tidak melupakan kematian dan perolehan balasan, karena berapa
banyak yang tertawa, sedang kain kafannya telah tersedia di tukang jahit.
Maka jika Allah mengembalikanmu kepada satu golongan dari mereka,
kemudian mereka meminta ijin kepadamu untuk pergi berperang, maka
katakanlah, “Kamu tidak boleh keluar bersama-samaku selama-lamanya dan
tidak boleh memerangi musuh bersamaku. Sesungguhnya kamu telah rela
tidak pergi berperang kali yang pertama. Karena itu, tinggallah bersama
orang-orang yang tidak ikut berperang”. (QS. At-Taubah 9:83)
Fa `irraja’akallahu (maka jika Allah mengembalikanmu). Makna ayat: Jika
Allah mengembalikanmu dari perang Tabuk.
`Ila tha`ifatim minhum (kepada satu golongan dari mereka). Dlamir minhum
merujuk kepada orang-orang munafik yang tidak berangkat dan tinggal di Madinah,
bukan kaum munafikin secara mutlak.
219
Fasta`danuka lilkhuruji (kemudian mereka meminta ijin kepadamu untuk
pergi) bersamamu ke medan perang yang lain setelah perang Tabuk ini.
Faqul lan takhruju ma’iya `abadan (maka katakanlah, “Kamu tidak boleh
keluar bersama-samaku selama-lamanya). Kamu sama sekali jangan memberikan
izin kepada mereka. Penggalan ini berbentuk pemberitahuan, tetapi maknanya
pelarangan. Cara demikian untuk menyangatkan.
Wa lan tuqutilu ma’iya ‘aduwwan (dan tidak boleh memerangi musuh
bersamaku), yakni musuh yang mana saja.
`Innakum (sesungguhnya kamu). Penggalan ini merupakan atas penggalan
sebelumnya. Maksudnya, karena kamu.
Radlitum bil qu’udi (telah rela tidak pergi) perang dan kamu merasa bahagia
karenanya.
`Awwala marratin (kali yang pertama), yakni pergi ke perang Tabuk.
Faq’udu ma’alkhalifina (karena itu, tinggallah bersama orang-orang yang
tidak ikut berperang). Mutakhallifina berarti orang-orang yang tidak ikut berperang,
yang umumnya laki-laki lebih dominan atas perempuan.
Ulama berkata: Allah mengucilkan orang-orang munafik dari institusi
ketentaraan, menghapus nama-namanya dari daftar para mujahidin, dan menjauhkan
tempatnya dari tempat yang biasa diduduki para sahabat Nabi saw. sebagai balasan
atas ketidakikutsertaan mereka dalam berperang yang merupakan pelecehan perintah
dan penampakan kemunafikan. Pengucilan juga bertujuan untuk menjelaskan bahwa
mereka bukan golongan orang-orang yang mengokohkan agama dan memuliakan
Islam seperti yang dilakukan Kaum Mu`minin yang ikhlas. Kami memohon kepada
Allah Ta’ala kiranya Dia menjadikan kita sebagai pemeluk agama yang berteman
dengan ahli agama hingga hari pembalasan.
Dan janganlah sekali-kali kamu menyalatkan jenazah seseorang yang mati di
antara mereka, dan janganlah kamu berdiri mendoakan di kuburnya.
Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka
mati dalam keadaan fasik. (QS. At-Taubah 9:84)
La tushalli (dan janganlah kamu menyalatkan), hai Muhammad …
220
‘Ala ahadin minhum (seseorang di antara mereka), yaitu orang-orang
munafik.
Mata `abadan (yang mati selamanya). Zharaf pada penggalan ini bermakna
melarang. Yakni jangalah kamu mendoakan dan memohonkan ampun bagi mereka
untuk selamanya.
Hudzaifah r.a. adalah seseorang yang menjadi tempat menyimpan rahasia
Rasulullah saw. Pada suatu hari beliau berkata kepada Hudzifah, “Sesungguhnya aku
akan menyampaikan sebuah rahasia kepadamu. Jangan sekali-sekali kamu
menceritakannya kepada yang lain. Sesungguhnya aku dilarang menyalatkan si fulan
dan si fulan.” Beliau menyebutkan beberapa kelompok orang munafik. Ketika
Rasulullah saw. telah wafat dan Umar bin Khattab r.a. memegang kekhilafahan
sesudah Abu Bakar r.a., lalu ada seseorang yang meninggal, sedang dia diduga
termasuk kelompok munafikin, maka Umar memegang tangan Hudzaifah seraya
mengajaknya untuk menyalatkan orang itu. Bila Hudzaifah melangkahkan kakinya,
maka Umar menyalatkan mayat itu. Namun, bila Hudzaifah menepiskan tangannya
dari pegangan Umar, maka Umar tidak menyalatkannya.
Wa lataqum ‘ala qabrihi (dan janganlah kamu berdiri di kuburnya).
Janganlah kamu berdiri di dekat kuburnya untuk menguburkannya, atau
menziarahinya, atau mendoakannya. Apabila Nabi saw. mengubur mayat, beliau
biasa berdiri di kuburnya dan mendoakannya.
`Innahum kafaru billahi wa rasulihi (sesungguhnya mereka telah kafir kepada
Allah dan Rasul-Nya). Penggalan ini menjelaskan alasan pelarangan, karena mereka
terus-menerus kafir kepada Allah dan Rasul-Nya selama hidup mereka.
Wa matu wa hum fasiquna (dan mereka mati dalam keadaan fasik). Mereka
sombong dengan kekafirannya dan melanggar had-had Allah.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ketika Abdullah bin Salul, pemuka
kaum munafikin, sakit, dia mengundang Rasulullah saw. Tatkala beliau
menjumpainya, dia memohon kepada beliau agar memintakan ampun baginya dan
menyalatkannya, bila dia mati, serta mendoakannya di atas kuburnya. Kemudian
Ibnu Salul mengutus seseorang kepada Nabi saw. guna meminta gamis beliau untuk
dijadikan kain kafan. Beliau memberikan gamis luar kepadanya, tetapi dia
221
mengembalikannya dan meminta gamis bagian dalam yang menempel dengan kulit
beliau. Selanjutnya, Umar r.a. berkata, “Anda memberikan gamis kepada orang yang
paling najis?”
Riwayat ini menunjukkan bahwa musuh Allah hendak meminta berkah
dengan benda milik Rasulullah saw., padahal benda itu hanya akan berpengaruh bagi
tempat yang baik. Juga hal ini ditunjukkan oleh sabda Rasulullah kepada Jabir r.a,
Kuburkanlah mayat-mayat di antara kamu di tengah-tengah kaum yang saleh,
karena mayat merasa tersakiti dengan tetangga yang buruk, sebagaimana orang
hidup merasa tersakiti dengan tetangga yang buruk. (HR. Abu Na’im).
Ditegaskan bahwa tatkala Abdullah bin Anis r.a. berhasil membunuh Sufyan
bin Khalid al-Hadzali, dia meletakannya di hadapan Rasulullah. Kemudian beliau
memberikan tongkat yang dipegangnya kepada Ibnu Anis seraya berkata,
“Bertelekanlah pada ini di surga”. Tongkat itu tetap berada di tangan Ibnu Anis.
Ketika maut menjemputnya, dia berwasiat kepada keluarganya agar memasukannya
di antara kulit dan kain kafannya. Lalu mereka melaksanakan wasiatnya.
Ditegaskan pula bahwa rambut Nabi saw. dicukur oleh Mu’ammar bin
Abdullah, lalu beliau memberikan separuh rambutnya kepada Abu Thalhah dan
membagikan separuhnya lagi kepada para sahabat lainnya. Maka ada yang mendapat
sehelai atau dua helai rambut. Mereka mendapatkan berkah dengan rambut itu dan
mereka ditolong selama membawanya.
Ketika Ibnu Ubay meninggal, maka anaknya – dia adalah seorang Mu`min
yang saleh – pergi menemui Rasulullah saw. dan memintanya agar melihat jenazah
ayahnya. Kemudian Nabi saw. bersabda, “Salatkan dan kafanilah ia”. Anaknya
berkata, “Jika engkau tidak menyalatkannya, hai Rasulullah, niscaya tidak ada
seorang Muslim pun yang sudi menyalatkannya. Kiranya Allah menunjukkanmu,
janganlah engkau membuat pihak musuh mencelaku.” Lalu Rasulullah saw.
memenuhinya untuk menghiburnya dan menjaga perasaannya, kemudian berdiri
untuk menyalatkannya. Tiba-tiba, Umar r.a. datang dan langsung berdiri di hadapan
Rasulullah guna menghalanginya dari arah kiblat agar beliau tidak menyalatkannya.
Umar berkata, “Apakah engkau akan menyalatkan musuh Allah yang berbicara
‘begini dan begitu’ pada peristiwa anu dan anu?” Umar menyebutkan jejak hidupnya
222
yang buruk. Lalu diturunkanlah ayat di atas. Kemudian Rasulullah saw. berpaling
dan beliau tidak menyalatkannya.
Peristiwa di atas menunjukkan salah satu martabat Umar r.a. yang tinggi,
karena banyak wahyu yang turun selaras dengan ucapan dan tindakannya, di
antaranya adalah ayat ini. Umar r.a. mempunyai kedudukan dan derajat yang tinggi
di dalam agama. Rasulullah saw. bersabda, Sesunguhnya di kalangan umat sebelum
kamu terdapat para muhaddats. Jika pada umatku ini ada orang semacam itu, maka
Umar bin Khathab-lah orangnya. (HR. Bukhari dan Muslim).
Muhaddats ialah orang yang jiwanya menerima sesuatu, lalu sesuatu
diinformasikan kepada pihak lain sebagai sebuah firasat. Firasat berarti pandangan
atau pendapat yang benar, sehingga sesuatu terjadi sebagaimana yang dikatakannya.
Dia seolah-olah diberi tahu malaikat yang mulia. Berkenaan dengan keutamaan
Umar r.a., seseorang bersenandung,
Dia mempunyai aneka keutamaan yang diketahui setiap insan
kecuali oleh orang yang tidak mengetahui bulan
Dikatakan: Ayat di atas diturunkan ketika Rasulullah saw. telah menyalatkan
Ibnu Salul dan diam sejenak. (Riwayat ini adalah yang paling sahih, yaitu bahwa ayat
ini diturunkan setelah beliau menyalatkan Ibnu Salul, sebagaimana ditegaskan dalam
hadits yang diriwayatkan Bukhari). Sesudah peristiwa itu, beliau tidak pernah
menyalatkan orang munafik mana pun dan tidak pula mendoakannya di kuburnya.
Adapun ihwal pemberian gamis kepada orang munafik, maka para ulama
mengemukakan beberapa pendapat. Di antaranya menegaskan bahwa ketika Abbas,
paman Nabi saw., dijadikan tawanan pada peristiwa Badar, lalu kaum kafir tidak
memiliki baju yang sesuai untuk tubuhnya yang tinggi, maka Abdullah bin Ubay bin
Salul memberikan gamisnya untuk dipakai al-Abbas. Dengan demikian, tidaklah
Nabi saw. memberikan kainnya kepada Ubay kecuali untuk membalas kebaikannya,
bukan untuk memuliakannya.
Pendapat kedua mengatakan bahwa Allah Ta’ala memerintahkan beliau agar
jangan menolak orang yang meminta, seraya membaca, Dan terhadap orang yang
minta-minta, maka janganlah kamu menghardiknya. (QS. Adl-Dluha 93:10). Kikir
223
dengan sehelai gamis dan tidak memberikannya, apalagi jika diminta, merupakan
perbuatan yang menodai kemuliaan.
Pendapat ketiga mengatakan bahwa mungkin saja Nabi saw. menerima
wahyu yang mengatakan, “Sesunguhnya, bila kamu memberikan gamismu, hal itu
akan mendorongan seribu orang munafik untuk masuk Islam”. Maka beliau
memberikannya berdasarkan wahyu ini. Wallahu `a’lam.
Dan janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu.
Sesungguhnya Allah menghendaki untuk mengazab mereka di dunia dengan
harta dan anak-anak itu, dan agar nyawa mereka melayang dalam keadaan
kafir. (QS. At-Taubah 9:85)
Wala tu’jibka `amwaluhum wa `auladuhum (dan janganlah harta benda dan
anak-anak mereka menarik hatimu). Dlamir hum pada penggalan ini merujuk pada
orang-orang munafik. Harta didahulukan daripada anak pada berbagai ilustrasi
tentang hal ini, padahal anak lebih berharga daripada harta, karena pada umumnya
harta merupakan kebutuhan yang mendesak dan dibutuhkan untuk keberlangsungan
hidup manusia dan anak-anak mereka. Atau karena harta lebih dahulu ada daripada
anak-anak.
`Innama yuridullahu (sesungguhnya Allah menghendaki), melalui harta dan
anak-anak yang membuat mereka senang.
Ayyu’adzdzibahum biha fiddunya (yang akan mengazab mereka di dunia).
Allah mengazab mereka disebabkan oleh harta dan anak-anak.
Wa tazhaqa `anfusahum (dan agar melayang nyawa mereka). Yakni
nyawanya keluar dan mereka mati.
Wa hum kafiruna (sedang mereka dalam keadaan kafir). Mereka kafir
disebabkan kesibukannya dalam menikmati harta dan anak-anak dan karena lalai
dari merenungkan dan memikirkan aneka akibatnya.
Ketahuilah bahwa ayat ini disajikan dalam surah yang mulia ini dengan
beberapa variasi pada beberapa lapadznya. Pengulangan ayat ini dimaksudkan untuk
menegaskan nasihat dan menonjolkan kepentingannya seraya mengingatkan bahwa
nasihat semacam ini tidak selayaknya membingungkan orang yang mendengarnya.
224
Meskipun anak-anak merupakan nikmat bagi kaum Mu`minin, tetapi merupakan
bencana bagi kaum munafikin, karena nikmat itu membuat hati mereka lupa dari
mengingat Allah dan mencari-Nya.
Dan apabila diturunkan suatu surah yang memerintahkan kepada orang-
orang munafik itu, “Berimanlah kamu kepada Allah dan berjihadlah beserta
Rasul-Nya”, niscaya orang-orang yang sanggup di antara mereka meminta
ijin kepadamu untuk tidak berjihad dan mereka berkata, “Biarkanlah kami
berada bersama orang-orang yang duduk”. (QS. At-Taubah 9:86)
Wa idza `unzilat suratun (dan apabila diturunkan suatu surah) al-Qur`an.
`An `aminu billahi wa jahidu ma’a rasulihi (berimanlah kamu kepada Allah
dan berjihadlah beserta Rasul-Nya) untuk memuliakan agama Allah dan
meninggikan kalimat-Nya.
`Ista`dzanaka `uluth-thauli minhum (niscaya orang-orang yang sanggup di
antara mereka meminta ijin kepadamu). Mereka adalah kaum munafikin yang
mempunyai kelebihan dan kelapangan serta kemampuan untuk berjihad, baik secara
fisik maupun materil. Asal makna kata ath-thaul adalah panjang yang merupakan
lawan dari al-qashr (pendek), karena apabila panjang, maka mengandung
kesempurnaan dan kelebihan, sebagaimana apabila pendek mengandung
keterbatasan dan kekurangan. Juga orang kaya disebut thaul, karena dia memperoleh
aneka yang diinginkan yang tidak dapat diperoleh oleh orang miskin, sebagaimana
diperolehnya sesuatu dengan perkara yang panjang, yang tidak dapat diraih dengan
sesuatu yang pendek.
Wa qalu dzarna (dan mereka berkata, “Biarkanlah kami), yakni tinggalkanlah
kami.
Nakum ma’al qa’idina (berada bersama orang-orang yang duduk), orang-
orang yang tidak ikut berperang karena suatu alasan.
Mereka rela berada bersama orang-orang yang tidak pergi berperang, dan
hati mereka telah dikunci mati, maka mereka tidak mengetahui kebahagiaan
beriman dan berjihad. (QS. At-Taubah 9:87)
225
Radlu (mereka rela), yakni kaum munafikin rela.
Bi `ayyakunu ma’al khawalifi (berada bersama orang-orang yang tidak pergi
berperang), yaitu bersama perempuan yang tinggal di rumah-rumah. Khawalif jamak
dari khalifah. Adapun ta` sebagai penanda ta’nits. Ada pula yang mengartikan
khalifah dengan orang yang tidak mempunyai kebaikan. Jika demikian, ta`
dimaksudkan mentransfer dari fungsi washfiyah ke isimiyah, bukan untuk ta`nits.
Mungkin orang yang tidak mempunyai kebaikan disebut khalifah, karena mereka dia
tidak merespon aneka tugas yang diserukan kepadanya.
Wa tubi’a ‘ala qulubihim (apa yang dan hati mereka telah dikunci mati).
Makna thab’un adalah sesuatu yang dicap, seperti dinar dan dirham. Susunan ayat
menunjukkan bentuk akhir yang diraih sesuatu, hingga berakhir dengan bentuk itu,
lalu pengertian ini dianalogikan dengan kebiasan, watak, dan perangai manusia yang
merupakan pembawaannya. Pengecapan dikhusukan bagi hati, karena hati
merupakan tempat pemahaman. Dan karena itu Allah Ta’ala berfirman,
Fahum la yafqahuna (maka mereka tidak mengetahui) kebahagian yang
terkandung dalam keimanan kepada Allah dan dalam menta’atinya; kebahagian yang
terkandung dalam aneka perintah dan larangan-Nya serta kebahagian dalam
mengikuti Rasulullah saw. dan berjihad; mereka tidak mengetahui kesengsaraan
yang ada di balik kekafiran kepada Allah dan penentangan kepada Rasulullah.
Tetapi Rasul dan orang-orang yang beriman bersama dia, mereka berjihad
dengan harta dan diri mereka. Dan mereka itulah orang-orang yang
memperoleh kebaikan; dan mereka itulah pula orang-orang yang beruntung.
(QS. At-Taubah 9:88)
Lakinirrasulu walladzina `amanu ma’ahu (tetapi Rasul dan orang-orang yang
beriman bersama dia). Orang yang beriman kepada Allah dan kepada apa yang
dibawa oleh Rasul dari sisi-Nya. Maksudnya, berimanlah sebagaiman Rasulullah
saw. beriman.
Wa jahadu bi`amwalihim wa `anfusihim (mereka berjihad dengan harta dan
diri mereka). Namun, beliau tidak menjadi lemah dalam masalah karena mereka
226
tidak ikut serta di dalamnya. Sungguh, telah berjihad orang yang lebih baik daripada
mereka; orang yang paling ikhlas niat dan keyakinannya.
Wa `ula`ika lahumul khairat (dan mereka itulah orang-orang yang
memperoleh kebaikan) berupa aneka manfaat di dunia dan di akhirat. Di dunia
mereka mendapat pertolongan dan ghanimah, sedang di akhirat memperoleh surga
dan kemulian. Dapat pula ditafsirkan: mereka memperoleh isteri-isteri yang cantik di
surga berupa bidadari. Tafsiran ini didasarkan atas firman Allah Ta’ala, Di dalam
surga-surga itu terdapat bidadari-bidadari yang baik lagi cantik (QS. Ar-Rahman
55:70).
Wa `ula`ika humul muflihuna (dan mereka itulah orang-orang yang
beruntung), yakni orang-yang yang memperoleh apa yang diinginkan, bukan orang
yang memperoleh harta yang fana.
Allah telah menyediakan bagi mereka surga yang mengalir di bawahnya
sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.
(QS. At-Taubah 9:89)
`A’addallahu lahum (Allah telah menyediakan bagi mereka). Dia telah
menyiapkan untuk mereka di akhirat.
Jannatin (surga-surga). Jannaat jamak dari jannat yang berarti kebun yang
ditumbuhi pepohonan yang berbuah.
Tajri min tahtiha (yang mengalir di bawahnya). Yakni di bawah tanahnya,
atau di bawah pepohonannya, atau di bawah istana-istana dan gedung-gedung surga.
`Anharun (sungai-sungai). Anharun jamak dari nahrun yang berarti tempat
air mengalir. Disebut `anharun karena keluasannya dan kejernihannya. Adapun
sungai surga itu terdiri atas sungai khamr, air, madu, dan susu yang masing-masing
tidak bercampur dengan yang lain.
Khalidina fiha (mereka kekal di dalamnya). Mereka ditakdirkan untuk tinggal
abadi di surga-surga yang telah dideskripsikan di atas.
Dzalika (itulah). Penggalan ini menunjukkan pada perolehan kemulian dan
ketinggian yang telah dipersiapkan Allah SWT. bagi mereka, yaitu surga-surga yang
telah dipaparkan berikut perolehan kemulian yang banyak.
227
Al-fauzul ‘adzimu (kemenangan yang besar) yang tidak ada lagi kemenangan
selain itu. Mereka beruntung memperoleh surga dan kenikmatannya dan selamat dari
neraka yang apinya menyala-nyala.
Di dalam hadits dikatakan, “Di dalam surga terdapat seratus tingkatan (kata
seratus menyatakan banyak dan darajat berarti tingkatan) yang Allah disediakan
bagi para mujahid di jalan-Nya (orang-orang yang benar-benar berjihad dengan
mengharap keridhaan Tuhannya). Jarak antara tingkat surga yang satu dengan
tingkat yang lain sejauh antara langit dan bumi. Jika kamu memohon kepada Allah,
maka mintalah kepada-Nya al-Firdaus. (Ia adalah kebun di surga yang ditumbuhi
segala jenis buah-buahan), karena ia merupakan tengah-tengah surga (yakni bagian
surga yang paling mulia) dan surga yang paling tinggi, sedang di atasnya adalah
'Arys ar-Rahman. Dan dari surga itulah sungai-sungai mengalir.” (HR. Bukhari)
Keempat sungai itu adalah sungai yang disebutkan Allah dalam firman-Nya,
Di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tiada berubah rasa dan baunya,
sungai-sungai dari susu yang tiada berubah rasanya, sungai-sungai dari khamr yang
lezat rasanya bagi peminumnya dan sungai-sungai dari madu yang disaring... (QS.
Muhammad 47:15). Kemudian Allah Ta’ala berfirman,
Dan datang kepada Nabi orang-orang yang mengemukakan 'uzur, yaitu
orang-orang Arab Badui agar diberi izin bagi mereka untuk tidak pergi
berjihad, sedang orang-orang yang mendustakan Allah dan Rasul-Nya duduk
berdiam diri saja. Kelak orang-orang yang kafir di antara mereka itu akan
ditimpa azab yang pedih. (QS. At-Taubah 9:90)
Wa ja`al mu’adzdziruna minal `a’rabi liyu`dzana lahum (dan datang kepada
Nabi orang-orang yang mengemukakan ‘uzur, yaitu orang-orang Arab Badwi agar
diberi ijin bagi mereka). Al-mu’adzdziruna berasal dari ‘adzaral amra, jika
seseorang tidak dapat dan tidak mampu melakukann suatu urusan. Pengertian yang
sebenarnya ialah jika dia memberikan kesan kepada orang lain bahwa dirinya
memiliki ‘uzur atas apa yang akan dilakukannya, padahal dia tidak memilikinya.
Mu’adzdzir merupakan isim fa’il dari taf’ilun. ‘I'tidzar artinya berdalih yang kadang-
kadang disertai dengan kebohongan dan kadang-ladang dibarengi dengan kejujuran.
228
Dikatakan demikian karena I’tidzar berarti melakukan sesuatu yang dikemas dalam
bentuk alasan, baik orang yang beralasan itu memiliki alasan yang sebenarnya, atau
tidak.
Al-`A’raab berarti penduduk Arab yang tinggal di lembah-lembah. Kata ini
tidak mempunyai bentuk tunggal. Adapun ‘Arab merupakan lawan dari ‘ajam (orang
asing), yaitu penduduk yang tinggal di perkotaan. Adapun yang dimaksud dengan
orang-orang yang berdalih pada ayat ini adalah kabilah `Asad dan Ghathfan. Ketika
kaum Muslimin pergi ke medan perang Tabuk, mereka memita izin untuk tidak pergi
dengan dalih tidak sanggup karena sempitnya penghidupan dan banyaknya keluarga.
Para ulama berbeda pendapat tentang apakah dalih orang-orang munafik itu
pura-pura atau sungguh-sungguh. Pendapat yang sahih adalah yang kedua
sebagaimana ditunjukkan oleh al-Qamus yang menegaskan bahwa firman Allah
Ta’la, Wa ja`al mu’adzdziruna ... dibaca dengan dzal yang bertasydid kasrah.
Mu’adzdziruna berarti orang-orang yang berdalih karena mempunyai ‘uzur. Kadang-
kadang orang yang berdalih itu tidak memiliki alasan yang benar. Jika diartikan
demikian, ayat itu bermakna: Mereka tidak pergi berjihad tanpa alasan yang benar.
Wa qa’adalladzina kadzabullaha wa rasulahu (sedang orang-orang yang
mendustakan Allah dan Rasul-Nya, duduk berdiam diri saja). Mereka adalah kaum
munafikin dari kalangan orang Arab Badui yang tidak merespon perintah, tidak
mengemukakan alasan, dan tidak meminta izin untuk tinggal. Maka jelaslah bahwa
mereka mendustakan Allah dan Rasul-Nya melalui pengakuan keimanan dan
keta’atannya. Mereka berjumlah delapan puluh dua orang. Yang lainnya berupa
kaum munafikin yang tinggal tanpa ada alasan yang kuat.
Sayusibulladzina kafaru minhum (kelak orang-orang yang kafir di antara
mereka itu akan ditimpa), yakni sebagian orang Arab Badui atau sebagian orang
yang beralasan. Apakah yang dimaksud itu orang Badui atau orang yang
mengemukakan alasan, huruf min tetap bermakna sebagian, bukan keseluruhan,
sebab tidak setiap mereka itu kafir. Allah Ta’ala mengetahui bahwa sebagian orang
Arab Badui akan beriman dan bahwa sebagian orang yang beralasan itu
mengemukanan alasan karena kemalasannya, bukan karena kafir.
229
‘Adzabun `alimun (azab yang pedih) dengan diperangi dan ditawan di dunia
dan dengan api neraka di akhirat.
Tiada dosa lantaran tidak pergi berjihad atas orang-orang yang lemah, atas
orang-orang yang sakit dan orang-orang yang tidak memperoleh apa yang
akan mereka nafkahkan, apabila mereka berlaku ikhlas kepada Allah dan
Rasul-Nya. Tidak ada jalan sedikit pun untuk mengalahkan orang-orang
yang berbuat baik. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS.
At-Taubah 9:91)
Laisa ‘aladl dlu’afa`i (tiada atas orang-orang yang lemah) seperti orang yang
lanjut usia dan orang yang sakit menahun.
Wa la ‘alal mardla (dan tidak pula atas orang-orang yang sakit). Mardla`
jamak dari maridl.
Wala ‘alalladzina layajiduna ma yunfiquna (dan orang-orang yang tidak
memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan) karena kemiskinan mereka, seperti
Bani Mazinah, Juhainah, dan Bani ‘Udzrah.
Harajun (dosa) karena tidak ikut berperang dan tetap tinggal di rumahnya.
`Idza nashahu lillahi wa rasulihi (apabila mereka berlaku ikhlas kepada Allah
dan Rasul-Nya). An-nash-hu berarti membersihkan amal dari kecurangan.
Dikatakan: Nashahasy syai`a, jika dia membersihkan sesuatu; Nashahu lahu fil qaul,
jika dia menasihatinya semata-mata demi kebaikannya. Jadi, nasihun berarti orang
yang ikhlas dan tulus.
Di dalam hadits dikatakan, Agama itu nasihat, agama itu nasihat, agama itu
nasihat. Rasulullah saw. menyebutkannya tiga kali. Dikatakan: Sabda Nabi ini
menerangkan esensi Islam, karena nasihat diberikan semata-mata demi kebaikan.
Artinya, tiang agama itu adalah nasihat. Hal ini seperti sabda Nabi saw., Haji itu
‘Arafah. Artinya, Arafah itu pilarnya haji. Para sahabat bertanya, “Bagi siapa, hai
Rasulullah?” Beliau bersabda, Untuk Allah, untuk Rasul-Nya, untuk Kitab-Nya,
untuk para pemimpin kaum Muslimin, dan untuk semua umat Islam. Makna nasihat
untuk Allah adalah beriman kepada-Nya dan melaksanakan apa yang diperintahkan
Allah dan Rasul-Nya dengan ikhlash. Nasihat untuk Rasulullah berarti
230
membenarkannya dan membenarkan segenap perkara yang diketahui bersumber dari
dirinya dan menghidupkan sunnahnya. Nasihat untuk Kitab-Nya berarti meyakini
bahwa kitab itu firman Allah, mengamalkan ayat-ayat yang muhkam, dan menerima
ayat-ayat yang mutasyabih. Nasihat bagi pemimpin kaum Muslimin berarti
menaatainya dalam hal yang makruf dan mengingatkannya ketika berbuat lalai.
Nasihat bagi umat Islam berarti menasihati seluruh umat Islam, menolak
kemadaratan dari diri mereka, dan memberikan manfaat bagi mereka selaras dengan
kadar kemampuan.
Makna ayat: Orang-orang yang tidak ikut berperang karena alasan yang kuat
tidaklah berdosa, jika mereka beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dengan ikhlash
dan mentaati perintah keduanya dalam semua urusan. Dan yang terpenting ialah
mereka tidak boleh menyebar-luaskan aneka berita nestapa para pejuang Islam yang
mereka dengar, tidak boleh mengobarkan aneka fitnah, berusaha untuk
menyampaikan bantuan kepada para mujahid, dan melakukan hal-hal yang bertalian
dengan aneka kepentingan rumah tangga para mujahid saat ditinggal perang.
Ma ‘alal muhsinina min sabilin (tidak ada jalan sedikit pun untuk
mengalahkan orang-orang yang berbuat baik). Penggalan ini merupakan ungkapan
permulaan untuk menegaskan kandungan ayat yang sebelumya. Makna ayat: tiada
dosa atas mereka dan tidak ada jalan sedikit pun bagi orang lain untuk mencela
mereka.
Wallahu ghafurur rahimun (dan Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang). Penggalan ini menunjukkan bahwa mereka membutuhkan ampunan,
meskipun tidak ikutnya mereka dalam berperang didasarkan atas alasan yang benar,
karena manusia tempatnya kekeliruan dan kelemahan. Karena itu, dia senantiasa
memerlukan ampunan.
Dan tiada pula dosa atas orang-orang yang apabila mereka datang
kepadamu, supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata,
“Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu”, lalu mereka
kembali, sedang mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran
231
mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan. (QS. At-Taubah
9:92)
Wa ‘alalladzina idza ma `atauka litahmilahum (dan tiada pula dosa atas
orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu memberi mereka
kendaraan). Juga tiada dosa sedikit pun atas orang-orang yang berbuat baik dan atas
orang-orang yang datang kepadamu supaya kamu memberi mereka kendaraan.
Mereka adalah tujuh orang dari kaum Anshar yang menangis. Mereka datang kepada
Rasulullah saw. seraya berkata, “Kami telah bertekad untuk pergi berperang. Karena
itu, berilah kami sepatu yang bertambal dan sandal yang diikat, lalu kami berperang
bersamamu.”
Qultu la `ajidu ma `ahmilukum ‘alaihi (kamu berkata, “Aku tidak
memperoleh kendaraan untuk membawamu”). Tatkala mereka datang kepadamu,
kamu berkata, “Aku tidak mendapatkan apa pun.” Huruf ma pada penggalan ini
mencakup apa yang mereka minta kepada Nabi saw. dan hal lainnya yang biasanya
dijadikan perbekalan seperti biaya dan kendaraan. La `ajidu (aku tidak mendapatkan)
lebih dipilih daripada laisa ‘indi (aku tidak punya) karena untuk melembutkan
ungkapan dan menyenangkan hati-hati orang yang meminta. Seolah-olah Nabi saw.
mencari apa yang senantiasa mereka minta, namun beliau tidak menemukannya.
Tawallau (mereka kembali). Penggalan ini adalah jawab idza.
Wa `a’yunuhum tafidlu (sedang mata mereka berderai). Yakni mencucuran
air mata dengan deras.
Minad dam’i (air mata). Penyandaran al-faidl (mencucurkan) kepada ‘ainun
(mata) adalah majazi (kiasan), seperti ungkapan salal mizab (saluran air mengalir).
Asalnya, air matanya mengalir. Pemakaian bentuk kiasan ini dimaksudkan untuk
menyangatkan derasnya cucuran air mata, seolah-olah seluruh mata mencucurkan
air.
Hazanan (karena kesedihan). Penggalan ini di-nasab-kan karena sebagi
alasan.
Alla yajidu (lantaran mereka tidak memperoleh). Mereka tidak mendapatkan.
232
Ma yunfiquna (apa yang akan mereka nafkahkan), apa yang dapat mereka
gunakan untuk membeli apa yang dibutuhkannya, jika mereka tidak mendapatkannya
darimu.
Sesungguhnya jalan untuk menyalahkan hanyalah terhadap orang-orang
yang meminta ijin kepadamu, padahal mereka itu orang-orang yang kaya.
Mereka rela berada bersama-sama orang-orang yang tidak ikut berperang
dan Allah telah mengunci mati hati mereka, maka mereka tidak mengetahui
(QS. At-Taubah 9:93)
`Innamassabilu (sesungguhnya jalan) untuk mencerca.
‘Allalladina yasta`dzinuka (hanyalah terhadap orang-orang yang meminta
izin kepadamu) untuk tidak ikut berperang.
Wa hum `aghniya`u (padahal mereka itu orang-orang yang kaya). Mereka
mempunyai biaya untuk mempersiapkan diri dalam berperang, di samping mereka
juga orang-orang yang sehat.
Radlu bi `ayyakuna ma’al khawalifi (mereka rela berada bersama-sama
orang-orang yang tidak ikut berperang), yaitu kaum perempuan. Mereka rela berada
dalam kehinaan dan lebih memilih pengucilan.
Wa thaba’allahu ‘ala qulubihim (dan Allah telah mengunci mati hati mereka)
sehingga mereka lupa akan bahaya pembalasan.
Fa hum (maka mereka), disebabkan hal itu.
La ya’lamuna (tidak mengetahui) selamanya akan bahaya yang mereka ridhai
saat di dunia, sebagaimana meraka tidak mengetahui kerugian urusannya di akhirat.
Seorang ahli hikmah berkata: Dunia laksana pasar akhirat. Akal merupakan
pemandu kebaikan. Harta laksana selendang kesombongan. Hawa nafsu merupakan
kendaraan bagi aneka kemaksiatan. Dan kesedihan adalah pengantar kepada
kebahagian. Allah Ta’ala mencela kaum munafikan melalui kegembiraan dan olok-
olok; Dia memuji orang-orang yang ikhlas melalui kesedihan dan tangisan. Tawa
kaum munafikin akan mengantarkan kepada tangisan yang banyak, sedangkan
tangisan orang-orang ikhlas akan mengantarkannya kepada tawa yang banyak.
233
Mereka mengemukakan 'uzurnya kepadamu, apabila kamu telah kembali
kepada mereka dari medan perang. Katakanlah, “Janganlah kamu
mengemukakan 'uzur; kami tidak percaya lagi kepadamu, karena
sesungguhnya Allah telah memberitahukan kepada kami beritamu yang
sebenarnya. Dan Allah serta Rasul-Nya akan melihat pekerjaanmu,
kemudian kamu dikembalikan kepada Yang Mengetahui yang ghaib dan yang
nyata, lalu Dia memberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”.
(QS. At-Taubah 9:94)
Ya’tadziruna (mereka mengemukakan 'uzurnya). Kaum munafikin akan
berdalih.
`Ilaikum (kepadamu) untuk tidak ikut berperang. Mereka berjumlah lebih dari
delapan puluh orang. Khitab penggalan ini ditujukan kepada Rasulullah saw. dan
para sahabatnya. Ayat ini diturunkan sebelum kaum munafikan mengemukakan
dalih.
`Idza raja’tum (apabila kamu telah kembali) dari medan perang Tabuk.
`Ilaihim (kepada mereka). Di sini Allah tidak berfirman, “Kembali ke
Madinah” karena hendak memberitahukan bahwa fokus penyampaian alasan adalah
ketika Nabi saw. kembali, tanpa melihat apakah beliau telah tiba di Madinah atau
belum, sebab di antara mereka ada orang yang bergegas mengemukakan alasan
sebelum Rasulullah dan para sahabatnya tiba di Madinah.
Qul (katakanlah), hai Muhammad.
La ta’tadziru (janganlah kamu mengemukakan 'uzur). Janganlah kamu
berdalih.
Lan nu`mina lakum (kami tidak percaya lagi kepadamu). Kami tidak akan
membenarkan alasanmu karena ...
Qad nabba`anallahu min akhbarikum (sesungguhnya Allah telah
memberitahukan kepada kami beritamu). Allah telah memberitahukan kepada kami
melalui wahyu sebagian dari keadaanmu yang tidak perlu dipercaya karena
merupakan keburukan dan kebusukan yang terdapat di dalam hatimu.
Wa sayaralluhu ‘amalakum (dan Allah akan melihat pekerjaanmu) yang akan
dilakukan.
234
Wa rasuluhu (dan Rasul-Nya). Apakah kamu akan bertobat dari kekafiran
dan kemunafikan atau akan terus-menerus melakukannya?
Tsumma turadduna (kemudian kamu dikembalikan) pada hari kiamat.
`Ila ‘alilimil ghaibi (kepada Yang Mengetahui yang ghaib). Ghaib adalah apa
yang tidak terlihat oleh hamba.
Wasysyahadah (dan yang nyata), yaitu apa yang diketahui hamba.
Fa yunabbi`ukum (lalu Dia memberitakan kepadamu) ketika kamu kembali
kepada Allah dan kamu berdiri di hadapan-Nya.
Bima kuntum ta’maluna (apa yang telah kamu kerjakan), yakni apa yang
kamu lakukan ketika di dunia. Yang dimaksud dengan memberitahukan di sini
adalah membalas perbuatanmu.
Kelak mereka bersumpah kepadamu dengan nama Allah, apabila kamu
kembali kepada meraka, supaya kamu berpaling dari mereka. Maka
berpalinglah dari mereka; karena sesungguhnya mereka itu adalah najis dan
tempat mereka jahanam; sebagai balasan atas apa yang telah mereka
kerjakan. (QS. At-Taubah 9:95)
Sayahlifuna billahi lakum (mereka akan bersumpah kepadamu dengan nama
Allah). Penggalan ini menegaskan kebohongan alasan-alasan yang dikemukakan oleh
kaum munafikin yang berkata, “Demi Allah, kami tidak sanggup untuk pergi
berperang. Kalaupun kami sanggup, niscaya kami akan tercecer”.
`Idzanqalabtum (apabila kamu kembali), yakni pulang dari medan perang.
`Ilaihim (kepada meraka). Mereka adalah Judd Ibnu Qais dan Mut’ab bin
Qusyair dan kawan-kawannya.
Li tu’ridlu ‘anhum (supaya kamu berpaling dari mereka); berpaling dalam arti
mengabaikan mereka dan tidak mencela serta mengecam meraka.
Fa `a’ridlu ‘anhum (maka berpalinglah dari mereka). Yakni menjauhlah dari
mereka dengan kebencian dan penghinaan.
`Innahum rijsun (karena sesungguhnya mereka itu adalah najis). Mereka
seperti bangkai yang mesti dijauhi. Dan di dalam diri mereka terdapat najis ruhani.
235
Wa ma`wahum (dan tempat mereka itu), yakni tempat mereka kembali adalah
...
Jahannam (jahanam). Penggalan ini merupakan akhir penjelasan alasan.
Keberadaan mereka sebagai penghuni jahannam merupakan faktor yang mendorong
umat Islam supaya menjauhi mereka dan faktor yang mengharuskan umat Islam
agar tidak berdamai dengan mereka, tetapi hendaknya mereka dicela dan dihinakan.
Jaza’an (sebagai balasan). Mereka dibalas dengan balasan ...
Bima kanu yaksibuna (atas apa yang telah mereka kerjakan) ketika di dunia
berupa aneka jenis keburukan.
Mereka akan bersumpah kepadamu, agar kamu ridha kepada mereka. Tetapi
jika sekiranya kamu ridha terhadap mereka, maka sesungguhnya Allah tidak
ridha kepada orang-orang yang fasik itu. (QS. At-Taubah 9:96)
Yahlifuna (mereka akan bersumpah) dengan nama Allah Ta’ala.
Lakum litardlau ‘anhum (kepadamu agar kamu rela kepada mereka). Mereka
melakukan sumpah palsu agar kamu bersikap terhadap mereka sebagaimana yang
kamu lakukan kepada mereka selama ini.
Fa `in tardla ‘anhum fa`innallaha la yardla ‘anil qaumil fasiqina (tetapi jika
sekiranya kamu rela terhadap mereka, maka sesungguhnya Allah tidak ridha kepada
orang-orang yang fasik itu) yang sombong dengan kekafirannya, karena kerelaanmu
tidak memastikan adanya keridhaan Allah dan kerelaan kamu semata tidak akan
memberi manfaat kepada mereka, bila mereka berada dalam murka Allah dan siksa-
Nya. Tujuan ayat adalah melarang orang-orang yang disapa meridhai mereka dan
jangan tertipu dengan alasan-alasan dusta mereka. Tujuan ini disampaikan melalui
cara yang paling mendalam dan tegas.
Diriwayatkan bahwa ketika Nabi saw. datang ke Madinah, beliau bersabda,
“Jangnlah kamu duduk bersama mereka dan janganlah berbicara dengannya”.
Hadits di atas menunjukkan pada pemutusan hubungan dengan orang
munafik dan dengan orang yang bercokol dalam dosanya sebelum dia bertobat.
Muhammad al-Baqir berkata: Ayahku, Zainal Abidin, berwasiat kepadaku.
Dia berkata, “Jangan sekali-sekali kamu bersahabat dengan lima orang, jangan
236
berbicara dengan mereka, dan janganlah kamu menemani mereka dalam perjalanan.
Pertama, jangan sekali-sekali bersahabat dengan orang fasik, karena dia akan
menjualmu dengan harga sesuap makanan atau lebih murah lagi. Kedua, jangan
sekali-sekali bersahabat denga orang bakhil, karena dia akan menolak permintaan
yang sangat kamu perlukan. Ketiga, jangan sekali-sekali bersahabat dengan orang
yang banyak berdusta, karena dia seperti fatamorgana, dia akan menjauhkan yang
dekat darimu dan menjadikan yang dekat itu menjauh darimu. Keempat, jangan
sekali-sekali bersahabat dengan orang bodoh, karena dia hendak memberimu
manfaat, tetapi malah memdharatkanmu. Dikatakan orang bahwa musuh yang
berakal lebih baik daripada teman yang bodoh. Dan kelima, jangan sekali-sekali
bersahabat dengan orang yang memutuskan silaturahmi, karena aku
mendanpatkannya dilaknat di dalam al-Qur`an pada tiga surat.”
Orang-orang Arab Badui itu lebih sangat kafir dan munafik, dan lebih wajar
tidak mengetahui hukum-hukum yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya.
Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. At-Taubah 9:97)
Al-‘arabu (Orang-orang Arab Badui itu). Al-`a’rab jamak dari `a’rabiy,
sebagaimana al-arab jamak dari ‘arabiy, majusi jamak dari majusiy, dan yahudi
jamak dari yahudiy dengan dibuang ya’ nisbah pada bentuk jamak. Adapun
perbedaan antara al-‘Arab dan al-‘Arab bahwa al-‘Arab adalah golongan tertentu
dari keturunan manusia, baik yang tinggal di padang sahara maupun di kota-kota,
sedangkan al-`A’rab hanya diperuntukkan bagi orang yang tinggal di padang sahara.
Karena itu, al-‘Arab lebih umum. Yang lain mengatakan bahwa al-‘Arab adalah
orang-orang yang menempati perkotaan dan pedesaan, sedangkan al-‘A’rab adalah
penduduk yang nomaden.
`Asyaddu kufran wa nifaqan (lebih sangat kafir dan munafik) daripada
penduduk yang menetap, karena penduduk yang nomaden mirip dengan binatang
buas dilihat dari segi bahwa mereka berwatak tidak ta’at dan patuh. Udara panas
yang kering mempengaruhi mereka sehingga menjadi semakin keras hatinya.
Kerasnya hati mereka menyebabkan ketakaburan, kesombongan, dan kekeliruan
dalam memahami kebenaran. Maka bagaimana mungkin disamakan antara orang
237
yang tidak dididik oleh guru, tidak bergaul dengan orang yang berilmu pengetahuan,
dan tidak menyimak Kitab Allah Ta’ala dan aneka nasihat Rasul-Nya dengan orang
yang siang dan malamnya bergaul dengan orang berilmu dan memiliki hikmah
sambil menyimak aneka nasehat al-Kitab dan Sunnah? Jika Anda ingin mengetahui
perbedaan antara penduduk kota dan penduduk yang nomaden, bandingkanlah buah-
buahan pegunungan dengan buah-buahan di perkotaan. Adapun yang dimaksud
dengan al-`A’rab pada ayat ini adalah Bani Tamim, Bani Asad, dan Bani Ghathafan.
Wa `ajdaru alla ya’lamu (dan lebih wajar tidak mengetahui). Yakni lebih
pantas dan lebih lazim apabila mereka tidak mengetahui.
Hududa ma `anzalallahu ‘ala rasulihi (hukum-hukum yang diturunkan Allah
kepada Rasul-Nya). Yakni aneka hukum ibadah dan syar’ah yang diturunkan dari
Allah Ta’ala kepada Rasul-Nya, baik yang wajib maupun yang sunah. Hal itu karena
mereka tidak menyimak al-Qur`an dan Sunnah. Karena itu, makruh hukumnya orang
Arab Badui menjadi imam salat. Ulama berkata, “Apa bila imam melakukan aneka
perbuatan makruh di dalam salat, maka makruh pula mengikutinya. Dan hendaknya
orang yang melihat dan orang yang memiliki kekuasaan memecatnya dari
kedudukannya sebagai imam.
Wallahu ‘alimun (dan Allah Maha Mengetahui) aneka keadaan setiap
penduduk, baik penduduk kota maupun desa.
Hakimun (lagi Maha Bijaksana) berkenaan dengan siksa dan pahala yang
ditimpakan kepada pelaku keburukan atau kebaikan.
Di antara orang-orang Arab Badui itu ada orang yang memandang apa yang
dinafkahkannya di jalan Allah sebagai suatu kerugian dan dia menanti-nanti
marabahaya menimpamu; merekalah yang akan ditimpa marabahaya. Dan
Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. At-Taubah 9:98)
Wa minal `a’rabi (di antara orang-orang Arab Badui itu). Di antara suku
Arab Badui itu.
Mayyattakhidzu ma yunfiqu (ada orang yang memandang apa yang
dinafkahkannya) berupa harta. Makna ayat: dia menganggap apa yang dia serahkan
dan yang disedekahkannya di jalan Allah sebagai suatu bentuk ...
238
Maghraman (kerugian). Maghraman adalah mashdar yang berarti al-
gharamah, yaitu harta yang dijadikan oleh seseorang sebagai ganti rugi dari suatu
kemadaratan yang bukan karena tindak pidana. Tentu saja orang yang tidak beriman
kepada Allah dan hari akhir, tidak menghendaki pahala atas harta yang
dinafkahkannya di jalan Allah, dan tidak takut disiksa karena meninggalkannya
menganggap apa yang dinafkahkannya itu sebagai suatu kerugian dan dianggap
menyia-nyiakan harta tanpa ada manfaatnya. Sesungguhnya dia berinfak hanya
karena riya` atau karena takut.
Wa yatarabbashu bikumud dawa`ira (dan dia menanti-nanti marabahaya
menimpamu). Tarabbashun berarti menunggu-nunggu, sedang dawa`ir jamak dari
da`iratun yang berarti aneka musibah dan penyakit yang melingkupi manusia.
Adapun makna tarabbashud dawa`ir adalah menunggu-nungu aneka musibah berupa
hancurnya negeri kaum Muslimin disebabkan kematian Rasulullah, lalu mereka
dikalahkan orang-orang kafir, sehingga orang Badui terbebas dari kewajiban
berinfak. Nifak jenis ini ada di zaman sekarang. Tidakkah kamu memperhatikan
sebagian orang yang memakai identitas Islam, mengapa mereka berharap kiranya
kemenangan diraih orang-orang kafir supaya mereka terbebas dari kewajiban
berinfak dan kewajiban lainnya dari pemerintah?
‘Alaihim da`iratussau`i (mereka yang akan ditimpa marabahaya). Dia
mendoakan buruk atas mereka sebagaimana keburukan yang mereka harapkan
menimpa kaum Mu`minin. As-sau (keburukan) adalah masdar dari sa`a yang
merupakan lawan dari kebaikan. Kemudian kata ini digunakan untuk setiap
kemadharatan dan keburukan. Dan da`irah disandarkan kepada as-sau karena
essensinya, sebagaimana penyandaran pada orang buruk.
Wallahu sami’un (dan Allah Maha Mendengar) apa yang mereka katakan
ketika berinfak berupa perkataan yang tidak mengandung kebaikan.
‘Alimun (lagi Maha Mengetahui) aneka urusan busuk yang mereka
sembunyikan, yang di antaranya adalah mereka menunggu-nunggu musibah
menimpamu.
239
Dan di antara orang-orang Badui itu, ada orang yang beriman kepada Allah
dan hari kemudian, dan memandang apa yang dinafkahkannya di jalan Allah
itu, sebagai jalan mendekatkannya kepada Allah dan sebagai jalan untuk
memperoleh doa Rasul. Ketahuilah sesungguhnya nafkah itu adalah suatu
jalan bagi mereka untuk mendekatkan diri (kepada Allah). Kelak Allah akan
memasukkan mereka ke dalam rahmat-Nya; sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. At-Taubah 9:99)
Wa minal `a’rabi (dan di antara orang-orang Badui itu). Di antara golongan
mereka secara umum seperti Bani Asad, Juhainah, Ghaffar, dan Aslam.
Mayyu`minu billahi wal yaumil akhiri (ada orang yang beriman kepada Allah
dan hari kemudian). Dikatakan di dalam al-Raudlah: Seorang Arab Badui mendengar
firman Allah Ta’ala, Orang-orang Arab Badui itu, lebih sangat kafir dan munafik,
lalu dia menjadi surut. Setelah dia mendengar friman Allah Ta’ala, Dan di antara
orang-orang Badui itu, ada orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian,
dia berkata, “Allah Mahabesar. Allah mencela kami, lalu memuji kami.”
Wa yattakhidu ma yunfiqu (dan memandang apa yang dinafkahkannya) di
jalan Allah.
Qurubatin (sebagai jalan untuk mendekatkannya); sebagai sarana dan wasilah
untuk mendekatkan diri kepada Allah.
‘Indallahi (kepada Allah). Dia memberikan infaknya dalam berjihad untuk
mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dalam rangka mencari kedudukan di sisi-Nya
dan untuk mendapatkan pahala. Qurubat dijamakkan karena banyaknya macam
taqarrub dan jenis-jenisnya. Ihwal taqarrub ini ditunjukkan oleh hadits Qudsi,
Barangsiapa yang mendekat kepada-Ku sejengkal, maka aku akan mendekat
kepadanya sehasta. (HR. Bukhari)
Wa shalawaturrasuli (dan sebagai jalan untuk memperoleh doa Rasul);
sebagai sarana dan sebab bagi diperolehnya doa, karena Rasulullah saw. senantiasa
mendoakan orang yang bersedekah agar dia memperoleh kebaikan dan keberkahan
serta memohonkan ampun baginya. Karena itu, disunnahkan bagi orang yang
menerima sedekah untuk mendoakan orang-orang yang memberikan sedekah, tetapi
bukan bersalawat kepadanya, sebagaimna yang dilakukan Rasulullah saw. ketika
240
beliau berdoa, “Ya Allah, semoga rahmat dilimpahkan atas keluarga Abu Aufa”,
karena ungkapan demikian selaras dengan kedudukan beliau dan dia memiliki
kewenangan untuk memberikannya kepada siapa saja yang dikehendakinya.
`Ala (dan ketahuilah). `Ala adalah ungkapan untuk meminta perhatian.
`Innaha (sesungguhnya ia itu), yakni infak. Perujukan ha kepada infak
berdasarkan kata ma yunfiqu. Adapun nafaqah dimu`anatskan karena melihatnya
sebagai kebaikan secara umum.
Qurbatun (suatu jalan bagi mereka untuk mendekatkan diri) yang penting.
Lahum (bagi mereka). Melalui infak ini Allah akan mendekatkan mereka.
Penggalan ini merupakan kesaksian dari pihak Allah Ta’ala bagi mereka atas
kebenaran keyakinan mereka, yaitu bahwa apa yang dinafkahkan oleh mereka di
jalan Allah merupakan sarana untuk mendekatkan diri dan sebagai pembenaran atas
harapan mereka.
Sayudkhiluhumullahu fi rahmatihi (kelak Allah akan memasukkan mereka ke
dalam rahmat-Nya). Penggalan ini merupakan janji Allah bahwa Dia akan meliputi
mereka dengan rahmat-Nya yang luas. Sin berfungsi untuk mewujudkan janji,
karena huruf sin yang ada dalam kalimat itsbat setara dengan lan yang terdapat
dalam kalimat nafi (penegasian).
`Innallaha ghafurur rahimun (sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang) kepada mereka. Allah tidak menyegerakan siksa bagi mereka.
Ketahuilah bahwa keutamaan bersedekah dan berinfak tidak diragukan lagi
oleh siapa pun.
Diriwayatkan bahwa Bani Israil ditimpa musim paceklik, lalu datanglah
seorang miskin meminta-minta di salah sebuah jalan kota di mana terdapat sebuah
rumah orang kaya. Orang miskin itu berkata, “Bersedekahlah kepadaku karena
Allah”. Anak perempuan orang kaya itu memberinya roti yang masih panas. Orang
kaya itu bertemu dengan si miskin, seraya berkata, “Siapa yang memberikan roti ini
kepadamu”. Dia menjawab, “Anak perempuan yang berada di dalam rumah ini”.
Lalu si orang kaya itu masuk dan memotong tangan kanan anak perempuannya.
Selanjutnya Allah mengubah keadaannya, hingga dia menjadi miskin dan
mati dalam keadaan miskin. Tiba-tiba seorang pemuda kaya berbaik hati kepada
241
anak perempuan itu karena wajahnya yang cantik, lalu menikahinya dan
membawanya masuk ke dalam rumahnya. Ketika malam tiba, disuguhkanlah
hidangan. Dia mengambil makanan dengan tangan kiri. Maka pemuda kaya itu
berkata, “Aku mendengar bahwa orang-orang miskin itu kurang sopan.” Dia
menambahkan, “Gunakan tanganmu yang kanan”. Perempuan itu mengulurkan lagi
tangan kirinya, bahkan hingga tiga kali. Tiba-tiba di dalam rumah ada suara yang
berkata, “Kelurakanlah tanganmu yang sebelah kanan, karena Tuhan - lantaran kamu
telah menyedekahkan roti karena-Nya - telah mengembalikan tanganmu yang
sebelah kanan.” Lalu dia mengeluarkan tangannya yang sebelah kanan dengan
perintah Allah Ta’ala. Maka dia pun makan dengan tangan kanannya. Demikian
dikatakan di dalam Raudlatu al-‘Ulama.
Kisah di atas menegaskan bahwa barangsiapa yang telah diberi nikmat oleh
Allah, tetapi dia tidak mensyukurinya, maka Allah akan membalasnya dengan
merampas nikmat itu. Tidakkah kamu memperhatikan Bal’am bin Ba’ura yang tidak
mensyukuri nikmat Islam? Maka Allah mematikannya dalam keadaan kafir, karena
barangsiapa yang menghendaki ridha Allah Ta’ala dalam setiap perbuatan yang
dilakukan dan yang ditingalkan, niscaya Allah akan memperbaiki aneka
kekurangannya.
Kisah itu pun menunjukkan bahwa makan dengan tangan kiri itu
bertentangan dengan sopan santun, karena setan makan dengan tangan kiri, tetapi
dibolehkan bila ada udzur.
Dikatakan: Tiada suatu hak yang ditolak melainkan timbul kebatilan beberapa
kali lipat. Ali r.a. berkata, “Allah telah menetapkan makanan orang-orang miskin di
dalam harta orang-orang kaya. Maka tiada orang miskin yang kelaparan melainkan
disebabkan kekikiran orang kaya, dan Allah akan meminta pertanggungjawabannya.
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama masuk Islam di antara
orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka
dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah.
Dan Dia menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-
242
sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah
kemenangan yang besar. (QS. At-Taubah 9:100)
Wassabiqunal `awwaluna minal muhajirina (orang-orang yang terdahulu lagi
yang pertama-tama masuk Islam di antara orang-orang Muhajirin). Yang dimaksud
adalah para sahabat terdahulu. Mereka adalah orang-orang yang lebih dahulu
beriman dan salat menghadap dua kiblat serta ikut perang Badar. Adapun orang yang
pertama kali masuk Islam adalah Khadijah r.a. Demikianlah yang disepakati jumhur
ulama.
Wal `anshari (dan Anshar). Yakni orang-orang berbai’at ‘Aqabah pertama
yang berjumlah tujuh orang dan orang-orang yang berbai’at ‘Aqabah kedua yang
berjumlah tujuh puluh orang serta orang-orang yang beriman ketika datang kepada
mereka Abu Zararah dan Mush’ab bin ‘Umair, sebaagaimana yang akan dipaparkan.
Allah memuji orang-orang yang terdahulu, karena orang yang terdahulu merupakan
imam bagi orang yang berikutnya dan keutamaan berada di pihak orang terdahulu.
Walladzinat taba’uhum bi`ihsanin (dan orang-orang yang mengikuti mereka
dengan baik), yakni dengan melakukan kebaikan. Yang dimaksud dengan kebaikan
adalah setiap perkara yang baik. Mereka adalah orang-orang yang berjumpa dengan
dua golongan Muhajirin dan Anshar.
Dikatakan: yang dimaksud dengan mereka adalah semua sahabat dari kaum
Muhajirin dan Anshar, karena mereka adalah orang-orang yang lebih dahulu masuk
Islam dibandingkan dengan seluruh Muslimin lain. Jika ditafsirkan demikin, huruf
min pada penggalan ini bermakna menjelaskan. Adapun yang dimaksud dengan
orang-orang yang mengikuti mereka ialah orang-orang yang beriman hingga hari
kiamat.
Radliyallahu ‘anhum (Allah ridha kepada mereka) dengan menerima ketaatan
mereka dan aneka amalnya.
Wa radlu ‘anhu (dan mereka pun ridha kepada-Nya) atas nikmat agama dan
dunia yang mereka peroleh.
Wa ‘a`adda lahum jannatin tajri tahtahal `anhar (Dia menyediakan bagi
mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya). Para qari membaca,
243
tahtahal `anhar tanpa huruf min, kecuali Ibnu Katsir, karena dia membacanya, min
tahtiha, sebagaimana pada seluruh surat.
Khalidina fiha (mereka kekal di dalamnya). Kadar kekekalan mereka di
surga-surga itu adalah selamanya.
`Abadan (selama-lamanya) tanpa henti. Penggalan ini dimaksudkan
mencakup keseluruhan waktu yang akan datang.
Dzallika (itulah). Penggalan ini menunjukkan perolehan kemulian yang
banyak seperti dipahami dari penggalan sebelumnya.
Al-fuzul ‘azhimu (kemenangan yang besar) yang tiada taranya.
Di antara orang-orang Arab Badui yang di sekelilingmu itu ada orang-orang
munafik; dan juga di antara penduduk Madinah. Mereka keterlaluan dalam
kemunafikannya. Kamu (Muhammad) tidak mengetahui mereka, tetapi Kami-
lah yang mengetahui mereka. Nanti mereka akan kami siksa dua kali
kemudian mereka akan di kembalikan kepada azab yang besar. (QS. At-
Taubah 9:101)
Wa mimman haulakum (di antara orang-orang yang di sekelilingmu itu).
Penggalan ini adalah khabar muqaddam dari firmann-Nya, munafiquna. Makna ayat:
di sekitar negerimu, Madinah.
Minal `a’rabi (yaitu Arab Badui). Yakni penduduk nomaden. Dan perbedaan
antara `a’rab dan ‘arab telah dijelaskan di atas.
Munafiquna (ada orang-orang munafik). Mereka adalah Bani Juhainah,
Mazinah, Aslam, Asyja’, dan Ghaffar. Mereka semua tinggal di sekitar Madinah.
Wa min `ahlil madinati (dan juga di antara penduduk Madinah itu) ada suatu
kaum.
Maradu ‘alannifaqi (mereka keterlaluan dalam kemunafikannya). Marudu
‘alasysya`i berarti cekatan dan mahir dalam melakukan sesuatu karena terbiasa.
Apabila al-Madinah digunakan secara mutlak, maka yang dimaksud adalah negeri
tempat hijrah di mana terdapat rumah Rasulullah saw. dan pusaranya. Madinah
mempunyai nama yang banyak, di antaranya adalah Thabah dan Thayyiba.
Dinamakan demikian karena baiknya penduduk Madinah, atau bagusnya kehidupan
244
di sana, atau lantaran tanahnya yang suci. Di dalam hadits dikatakan, Sesungguhnya
keimanan akan betah menetap di Madinah, sebagaimana ular tinggal di dalam
sarangnya. (HR. Bukhari dan Muslim)
La ta’lamuhum (kamu tidak mengetahui mereka). Yakni mereka sangat
pandai dalam kemunafikannya, sehingga kemunafikannya itu tidak kamu ketahui,
padahal kamu sangat cerdas dan firasatmu sangat kuat. Maksud ayat: kamu tidak
mengetahui perilaku dan kemunafikan mereka yang sebenarnya.
Nahnu na’lamuhum (tetapi Kami mengetahui mereka); mengetahui orang-
orang munafik dan Kami memberitahukan aneka rahasia mereka kepadamu.
Meskipun mereka sanggup menipumu, tetapi mereka tidak akan mampu menipu
Kami.
Sa nu’adzdzibuhum (nanti mereka akan kami siksa). Sin pada penggalan ini
bermakna menegaskan pernyataan.
Marrataini (dua kali). Mungkin yang dimaksud dengan dua kali hanya untuk
menyatakan banyak, seperti makna dalam firman Allah Ta’ala, Kemudian
pandanglah sekali lagi (QS. Al-Mulk 67:4). Artinya, melihat secara berulang-ulang.
Tsumma yuradduna `ila (kemudian mereka akan di kembalikan) pada hari
kiamat.
`Ila ‘adzabin ‘azhim ( kepada azab yang besar), yakni azab neraka.
Dan ada pula orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka
mencampur-baurkan perkerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang
buruk. Mudah-mudahan Allah menerima tobat mereka. Sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. At-Taubah 9:102)
Wa akharuna (dan ada pula orang-orang lain). Yakni di antara penduduk
Madinah itu ada kaum yang lain.
`Itarafu (yang mengakui), yakni yang menyatakan.
Bidzunubihim (dosa-dosa mereka) karena tidak ikut berperang dan lebih
memilih tinggal di Madinah serta rela bertetangga dengan orang-orang munafik.
Kemudian mereka menyesali dosa-dosa itu dan tidak berdalih dengan alasan-alasan
dusta. Mereka adalah kelompok orang-orang yang tidak ikut berperang. Mereka
245
mengikatkan dirinya ke tiang-tiang masjid ketika sampai kepada mereka bahwa ada
ayat yang diturunkan berkenaan dengan orang-orang yang tidak ikut berperang.
Rasulullah saw. pulang dari medan perang. Beliau langsung masuk masjid dan salat
dua raka’at sebagaimana kebiasannya yang mulia. Beliau melihat mereka dalam
keadaan terikat. Selanjutnya beliau bertanya tentang keadaan mereka. Para sahabat
menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang tidak ikut pergi bersamamu.” Mereka
berjanji kepada Allah dan bersumpah bahwa mereka tidak akan melepaskan diri dari
tiang itu kalau bukan Rasulullah saw. yang melepaskannya. Lalu diturunkanlah ayat
ini. Kemudian beliau melepaskan mereka dan memaafkannya.
Khalathu ‘amalan shalihan (mereka mencampur-baurkan perkerjaan yang
baik). Pekerjaan yang baik itu ialah apa yang telah mereka lakukan seperti aneka
amal saleh dan pergi pada bebagai peperangan yang terdahulu. Amal baik lainnya
ialah apa yang mereka lakukan berupa pengakuan atas dosanya karena tidak ikut
berperang pada kali ini, penghujatan atas dirinya sendiri, dan penyesalannya terhadap
hal itu.
Wa akhara sayyi`an (dan pekerjaan lain yang buruk). Yakni, pekerjaan yang
baik tersebut dicampurkan dengan aneka perbuatan buruk, baik yang terdahulu
maupun yang kemudian, misalnya tidak ikut perang Tabuk.
Al-Haddadi berkata: Mereka pernah pergi berjihad sekali dan tidak ikut
berjihad sekali, sehingga mereka menghimpun antara amal saleh dan amal buruk,
sebagaimana dinar dicampurkan dengan dirham dan seperti air yang dicampur
dengan susu.
‘Asallahu ayyatuba ‘alaihim (mudah-mudahan Allah menerima tobat
mereka). Yakni menerima tobat mereka seperti terpahami dari pengakuan mereka
atas dosa-dosanya.
`Innallaha ghafurur rahimun (sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang). Dia membebaskan aneka keburukan orang yang bertobat dan
memberi karunia kepadanya. Penggalan ini melenyapkan keraguan diterimanya tobat
yang ditimbulkan oleh kata ‘asa, sehingga dengan penggalan ini tercapailah
kepastian diterimanya tobat, karena bagi Zat Yang Maha Dermawan, ‘asa yang
berarti mudah-mudahan menjadi suatu kemestian.
246
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka.
Sesungguhnya doa kamu itu menjadi ketentraman jiwa bagi mereka. Dan
Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. At-Taubah 9:103)
Khudz (ambillah), hai Muhammad.
Min amwalihim (dari sebagian harta mereka). Yakni dari sebagian harta
orang-orang yang tidak ikut berperang, yang mengakui dosa-dosa mereka.
Shadaqah (zakat), sedang kamu ...
Tuthahhiruhum (kamu membersihkan mereka) dari noda dosa karena tidak
ikut berperang.
Wa tuzakkihim biha (dan mensucikan mereka dengan zakat itu). Yakni,
melalui zakat itu dan pengambilannya, aneka kebaikan mereka menjadi berkembang
dan peringkat mereka naik ke martabat orang-orang yang ikhlas.
Diriwayatkan: Ketika Nabi saw. melepaskan ikatan mereka dan Allah
menerima tobatnya, mereka pergi ke rumahnya dan membawa semua hartanya,
seraya berkata, “Hai Rasulullah, ini harta-harta yang semula tidak kami berikan
kepadamu. Kini, ambilah sebagai sedekah dari kami.” Namun, Nabi saw. enggan
untuk menerimanya. Maka diturunkanlah ayat ini. Selanjutnya, Rasulullah saw.
mengambil sepertiga dari harta mereka untuk menyerpurnakan tobat mereka.
Pengambilan harta ini sebagai kifarat atas ketidak-pergian mereka ke medan perang.
Shadaqah ini bukan shadaqah yang diwajibkan, karena ia tidak ditunaikan dengan
cara seperti itu.
Dikatakan: Ayat ini merupakan permulaann turunnya kewajiban pengambilan
zakat dari orang-orang kaya.
Makna ayat: Ambilah dari sebagian harta orang-orang Muslim yang kaya
sebagai sedekah dalam pengertian zakat. Zakat disebut sedekah, karena merupakan
justifikasi atas penghambaannya. Barangsiapa yang tidak menunaikan zakat, maka
pemimpin harus mengambilnya secara paksa, lalu membagikannya sesuai dengan
mustahiknya. Pengambilan secara paksa ini berdasarkan atas firman Allah Ta’ala,
Ambillah dari sebagian harta mereka sebagai sedekah.
247
Wa shalli ‘alaihim (dan berdoalah untuk mereka). Yakni berdoalah bagi
mereka dengan kebaikan, berkah, dan mintakanlah ampunan untuk mereka.
`Inna shalataka (sesungguhnya doa kamu itu menjadi ketentraman bagi
mereka). Doamu itu menenangkan jiwa mereka dan menentramkan hatinya.
Wallahu sami’un (dan Allah Maha Mendengar) pengakuan mereka.
‘Alimun (lagi Maha Mengetahui) penyesalan mereka. Adapun mendoakan
orang yang sudah meninggal itu disyari’atkan. Hal ini berdasarkan firman Allah
Ta’ala, Sesungguhnya doa kamu itu menjadi ketemtraman jiwa bagi mereka.
Sekiranya terjadi kesamaran antara mayat orang Muslim dan mayat orang kafir,
maka periksalah tanda-tanda kemusliman atau kekafirannya. Jika ada ciri sebagai
Muslim, shalatkanlah dia, tetapi jika terdapat ciri kafir, janganlah menyalatkannya.
Tidaklah mereka mengetahui, bahwasannya Allah menerima tobat hamba-
hamba-Nya dan menerima zakat, dan bahwasanya Allah Maha Penerima
tobat lagi Maha Penyayang? (QS. At-Taubah 9:104)
Alam ya’lamu (tidaklah mereka mengetahui). Pertanyaan ini dimaksudkan
menegaskan. Yakni, bukankah orang-orang yang bertobat itu mengetahui?
`Annallaha huwa yaqbalut taubata (bahwasanya Allah menerima tobat) yang
benar dan bersih.
Min ‘ibadihi (dari hamba-hamba-Nya) yang ikhlas dalam bertobat dan Allah
membebaskan aneka keburukan mereka.
Wa ya`khudzush shadaqah (dan mengambil zakat). Yakni jenis sedekah yang
mereka sedekahkan dan yang juga disedekahkan orang lain. Yang dimaksud dengan
pengambil zakat adalah Nabi saw. dan para pemimpin sesudah beliau yang
mengambil zakat, karena mereka mengambil zakat semata-mata karena perintah
Allah Ta’ala. Dan seolah-olah Allah adalah yang mengambilnya.
Al-Baidlawi berkata: Yaqbaluha qabulun berarti seseorang mengambil
sesuatu untuk kemudian memberikan penggantinya. Maka pada ayat ini terdapat
metafora, karena pada hakekatnya yang mengambil zakat adalah Rasulullah saw.,
bukan orang yang ditunjuk secara khusus untuk mengambilnya.
248
Wa `annallaha huwat tawwabu (dan bahwasanya Allah Maha Penerima
tobat). Dia adalah Zat yang mengampuni siapa saja yang bertobat dan Dia-lah yang
membalas dengan aneka kenikmatan kepada setiap pendosa yang kembali berpegang
teguh kepada ketaatan.
Ar-rahimu (lagi Maha Penyayang). Adapun kasih sayang Allah kepada
hamba adalah dengan memberi aneka nikmat kepada mereka. Jadi, ayat ini
memotivasi orang-orang yang bermaksiat untuk bertobat dan bersedekah.
Dan katakanlah, “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-
orang mu'min akan melihat perkerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan
kepada Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-
Nya kepada kamu apa yang kamu kerjakan”. (QS. At-Taubah 9:105)
Wa quli’malu (dan katakanlah, “Bekerjalah kamu”) dengan melakukan
pekerjaan apa saja yang kamu kehendaki. Lahiriah ayat dimaksudkan meringankan
dan memberi pilihan, sedangkan secara batiniah dimaksudkan memotivasi dan
mengancam.
Fasayarallahu ‘amalakum (maka Allah akan melihat perkerjaanmu itu),
karena tiada sesuatu pun yang tersembunyi dari-Nya, baik kebaikan maupun
keburukan. Penggalan ini menjelaskan alasan bagi penggalan yang sebelumnya dan
menguatkan pemberian motivasi dan ancaman. Adapun sin bermakna menegaskan.
Wa rasuluhu wal mu`minuna (dan Rasul-Nya serta orang-orang Mu'min).
Artinya bahwa amal mereka tidak tersembunyi dari-Nya, sebagaima kamu dapat
melihatnya dengan nyata.
Wa saturadduna (dan kamu akan dikembalikan) setelah mati.
`Ila ‘alimil ghaibi wasy-syahadati (kepada Yang Mengetahui akan yang
ghaib dan yang nyata). Urusan yang ghaib didahulukan atas yang nyata karena
luasnya alam Allah dan untuk mementingkannya.
Fa yunabbi`ukum (lalu diberitakan-Nya kepada kamu) setelah kamu
dikembalikan.
Bima kuntum ta’maluna (apa yang telah kamu kerjakan) ketika di dunia.
Yang dimaksud denga ‘pemberitaan’ adalah dijelaskannya kesamaran yang ada di
249
antara alam ghaib dan nyata. Maksudnya, ditampakkan di depan para saksi utama,
yaitu perbuatan keji yang pernah mereka lakukan ketika di dunia dan implikasinya
berupa balasan yang setimpal dengan perbuatannya.
Karena itu, orang berakal hendaknya menempuh jalan amal saleh dan
menjauhi aneka perbuatan tercela supaya tidak ditelanjangi keburukannya di sisi
Allah dan di sisi Rasul serta semua kaum Mu`minin.
Dikatakan di dalam at-Ta`wilatun Najmiyah bahwa amal orang yang muhsin
dan ikhlas mempunyai cahaya yang naik ke langit selaras dengan kadar kebenaran
dan keikhlasannya. Allah Ta’ala melihatnya dengan cahaya ketuhananan-Nya, ruh
Rasulullah saw. melihatnya dengan cahaya kenabiannya, dan ruh-ruh kaum
Mu`minin melihatnya dengan cahaya keimanannya. Adapun naiknya cahaya itu
beserta kejernihan dan sinarnya selaras dengan kadar ketinggian himmah orang yang
muhsin dan kebersihan niatnya serta kejernihan hatinya.
Dan ada pula orang-orang yang lain yang ditangguhkan sampai ada
keputusan Allah; ada kalanya Allah akan mengazab mereka dan ada kalanya
Allah akan menerima tobat mereka. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana. (QS. at-Taubah 9:106)
Wa `akharuna (dan ada pula orang-orang yang lain). Di antara orang-orang
yang tidak ikut berperang, baik dari penduduk Madinah maupun penduduk
sekitaranya dari kalangan orang Arab Badui, ada kaum lain yang tidak mengakui
dosa-dosanya.
Murjauna (mereka yang ditangguhkan). Dikatakan: `Arjautuhu wa
`arja`tuhu, jika saya menangguhkan sesuatu. Makna ayat: mereka ditangguhkan.
Li `amrillah (sampai ada keputusan Allah) tentang urusan mereka. Yakni
hingga Allah menurunkan kepada mereka apa yang Dia kehendaki.
`Imma yu’adzdzubahum (baik Allah mengazab mereka) bila mereka tetap
tidak segera bertobat dan memohon maaf.
Wa `imma yatubu ‘alaihim (maupun Allah akan menerima tobat mereka) bila
niat mereka ikhlas dan benar tobatnya. Jika idza kanat menunjukkan keraguan, kata
250
itu dapat diikuti isim. Namun, jika menunjukkan pilihan, maka kata itu dapat diikuti
fi'il.
Wallahu ‘alimun (dan Allah Maha Mengetahui) aneka keadaan mereka.
Hakimun (lagi Maha Bijaksana) atas apa yang Dia perbuat terhadap mereka
seperti pengangguhan dan sebagainya.
Ayat ini diturunkan berkenaan dengan tiga orang yang tidak ikut berperang,
yakni Ka’ab bin Malik, Mirarah bin al-Rabi’ al-‘Umuri, dan Hilal bin Umayyah.
Mereka pernah ikut dalam perang Badar, tetapi mereka tertinggal dari Rasulullah
saw. pada perang Tabuk. Ka’ab bin Malik berkata, “Aku bekerja menggembalakan
unta milik beberapa orang Madinah. Maka kapan saja aku ingin, aku akan
bergabung dengan pasukan”. Ternyata dia tertinggal beberapa hari dari pasukan dan
putuslah harapannya untuk dapat bergabung dengan pasukan. Maka dia menyesali
apa yang telah diperbuatnya. Begitu pula dengan kawan-kawannya.
Namun, ketiga orang ini tidak melakukan seperti apa yang dilakukan oleh
Abu Lubabah dan kawan-kawawnnya, yaitu mengikat diri mereka pada tiang mesjid
dan menampakkan kesedihan dan kecemasan. Setelah ayat ini turun, Rasulullah saw.
menjauhkan diri dari mereka dan melarang orang-orang untuk duduk, atau makan,
atau minum bersama mereka serta memerintahkan mereka untuk mengasingkan
isteri-isterinya dan mengirimkannya kepada keluarganya. Lalu datanglah isteri Hilal
seraya memohon untuk membawakan makanan bagi Hilal, karena dia seorang yang
sudah tua. Nabi saw. memperkenankannya secara khusus.
Tiba-tiba datanglah seorang utusan dari Syam menemui Ka’ab sambil
memberi semangat kepadanya untuk bergabung dengan mereka. Lalu Ka’ab berkata,
“Kesalahanku mencapai puncaknya di mana kaum musyrikin menginginkanku”.
Ka’ab bergumam, “Bumi yang luas itu terasa sempit olehku”. lalu Hilal bin
`Umayah menangis hingga matanya layu, lalu orang-orang berkata, “Mereka akan
binasa, bila Allah tidak memaafkan mereka.” Yang lain berkata, “Mudah-mudahan
Allah mengampuni mereka.”
Ketiga orang ini menjadi manusia yang ditangguhkan Allah Ta’ala untuk
menerima keputusan tertentu, baik Dia mengazab mereka atau memberi rahmat.
Setelah lewat lima puluh hari, turunlah ayat yang menegaskan diterimanya tobat
251
mereka. Allah Ta’ala berfirman, Sesungguhnya Allah telah menerima tobat Nabi ...
Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan penerimaan tobat kepada mereka .…
Allah Ta’ala menangguhkan keputusan mereka untuk waktu tertentu,
kemudian menjelaskan penerimaan tobat mereka dengan cara yang paling indah,
yaitu menyatukan penerimaan tobat mereka dengan penerimaan-Nya atas tobat Nabi
saw., orang-orang Muhajirin, dan kaum Anshar.
Dari ayat ini dapat diketahui bahwa pengucilan seorang pendosa untuk tujuan
mendidik adalah dibolehkan, meskipun lebih dari tiga hari. Pehatikanlah para
sahabat, bagaimana mereka memutuskan salam dan pembicaraan dengan tiga orang
yang ditangguhkan penerimaan tobatnya hingga al-Kitab memutuskan batas
akhirnya; dan bahwa berniat yang ikhlas dan menyerahkan segala urusan kepada
Allah Ta’ala merupakan sarana untuk memperoleh rahmat Allah Ta’ala; bahwa
tangisan dan penyucian diri merupakan sarana utama bagi diterimanya tobat. Karena
itu, hendaklah kita memohon ampun dan menangis atas dosa-dosa.
Dan di antara orang-orang munafik itu ada orang yang mendirikan masjid
untuk menimbulkan kemadharatan pada orang-orang Mu'min, untuk
kekafiran dan untuk memecah belah di antara orang-orang mu'min serta
menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-
Nya sejak dahulu. Mereka sesungguhnya bersumpah, “Kami tidak
menghendaki selain kebaikan”. Dan Allah menjadi saksi bahwa
sesungguhnya mereka itu adalah pendusta dalam sumpahnya (QS. At-
Taubah 9:107)
Walladzinattakhadzu masjidan (dan orang-orang yang mendirikan masjid).
Di antara orang-orang yang tidak ikut ke medan perang Tabuk terdapat orang-orang
munafik yang mendirikan masjid Quba. Ia adalah masjid pertama yang digunakan
salat oleh Rasulullah saw. beserta para sahabatnya secara berjamaah dalam keadaan
aman. Beliau suka mengunjunginya pada hari Sabtu, baik dengan berjalan kaki
maupun dengan berkendaraan, untuk salat di sana, lalu pulang kembali.
252
Di dalam hadits diriwayatkan, Barangsiapa yang berwudlu dan
menyempurnakan wudlunya, kemudian pergi ke masjid Quba dan melakukan salat,
maka dia akan memperoleh pahala Umrah. (HR. Nasa`i dan Tirmidzi)
Juga diriwayatkan, Barangsiapa yang mendirikan masjid tanpa riya dan
sum’ah, maka Allah akan mendirikan sebuah rumah baginya di surga. (HR.
Syaikhani dan Tirmidzi)
Al-Qurthubi berkata: Hadits di atas tidak boleh dimaknai secara lahiriah
dengan cara apa pun, karena maknanya adalah bahwa Allah mendirikan baginya -
melalui pahalanya - sebuah bangunan yang lebih mulia, besar, dan tinggi daripada
mesjid itu, karena pahala amal itu dilipatgandakan dan bahwa satu kebaikan itu
dibalas dengan sepuluh kebaikan. Hal ini sebagimana diriwayatkan bahwa sebutir
kurma yang disedekahkan akan terus bertambah hingga menjadi seperti gunung.
Namun, pelipatgandaan ini selaras dengan keikhlasan perbuatan. Jika seseorang
mendirikan mesjid tanpa keikhlasan, maka ia tidak akan membuahkan pahala dan
Allah tidak akan mempertimbangkannya, walaupun secara lahiriah syar’i bangunan
itu tetap sebagai masjid yang wajib dihormati, diagungkan, dan sebagainya.
Dan apakah orang kafir boleh mendirikan masjid? Sebagian ulama berkata
bahwa pendapat yang sahih membolehkan orang kafir membangun masjid. Hal ini
berdasarkan sabda Rasulullah saw., Sesungguhnya Allah mengokohkan agama ini
denga orang yang durhaka.
Al-Wahidi mengomentari firman Allah, Tidaklah pantas bagi orang-orang
musyrik itu memakmurkan mesjis-masjid Allah bahwa ayat ini menunjukkan kepada
orang kafir dilarang untuk memakmurkan mesjid kaum Muslimin dan sekiranya dia
berwasiat supaya memakmurkannya, maka wasiatnya jangan diterima.
Sa’adi Jalbiy berkata: Yang difatwakan tentang masalah ini ialah bahwa tidak
boleh dilaksanakannya wasiat orang kafir merupakan kesepakatan para penganut
madzhab kami. Orang kafir tidak akan menjadi muslim karena dia mendirikan
masjid, meskipun dia mengagungkannya, sebelum dia mengucapkan dua kalimat
syahadat. Berbeda dengan seorang Muslim, bila dia mengunjungi gereja dan
meyakini keagungannya, maka dia kafir, karena kekafirannya terjadi hanya dengan
253
niatnya semata. Adapun keislaman tidak akan terjadi kecuali dengan mengucapkan
dua kalimat syahadat.
Kita kembali ke penafsiran ayat. Ketika Bani Amr bin ‘Auf mendirikan
masjid itu, saudara mereka, yaitu Bani Ghanam bin ‘Auf, merasa iri, lalu mereka
mendirikan masjid lain di Quba dengan tujuan busuk dan untuk memecah belah
kaum Mu`minin. Mereka mengangkat Abu ‘Amir ar-Rahib sebagai imam mereka
tatkala kembali dari Syam.
Tatkala pembangunannya telah selesai, mereka berkumpul di masjid itu
sambil membicarakan hal-hal yang menyakiti Nabi saw. dan orang-orang beriman.
Kemudian mereka meminta Rasulullah saw. agar mengunjungi mereka dan salat di
masjid itu. Lalu Rasulullah saw. berkata kepada mereka, “Sebenarnya aku tengah
berada di penghujung safar dan tengah sibuk. Jika sudah pulang, niscaya kami akan
menjumpai kalian dan menjadi imam salat bagi kalian di masjid itu”. Ketika beliau
kembali dari medan perang Tabuk, mereka menemui beliau dan memintanya untuk
datang ke masjid mereka. Nabi saw. meminta diambilkan gamis untuk dikenakannya
tatkala pergi menemui mereka. Lalu Allah menurunkan ayat ini.
Walladzinat takhadzu masjidan dliraran (dan orang-orang yang mendirikan
masji untuk menimbulkan kemadharatan). Dliraran merupakan ma’ul li`ajlih.
Maksudnya, mendirikan mesjid untuk memadharatkan orang-orang Mu'min.
Wa kufran (dan untuk kekafiran) serta mengokohkan kekafiran yang mereka
sembunyikan.
Wa tafriqam bainal mu`minina (dan untuk memecah belah di antara orang-
orang Mu'min) yang berkumpul di masjid Quba, karena dengan mendirikan masjid
itu, orang-orang munafik hendak memalingkan sebagian orang-orang Mu`min dari
mesjid Quba ke mesjid mereka dan hendak memecah belah persatuan umat Islam.
Wa `irshadan (serta menunggu). Yakni menanti dan memantau.
Liman haraballaha wa rasulahu min qablu (kedatangan orang yang telah
memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu), yakni sejak sebelum didirikannya
masjid itu. Dan orang yang dinanti itu adalah Abu ‘Amir al-Rahib. Maksudnya,
mesjid itu didirikan demi Abu ‘Amir al-Rahib sampai dia datang dan salat di masjid
itu guna menyaingi Rasulullah saw.
254
Walayahlifunna (mereka benar-benar bersumpah). Demi Allah, mereka akan
bersumpah.
`In aradna (tiadaklah kami menghendaki). Tidaklah kami bermaksud dengan
didirikannya masjid ini ...
`Illal husna (melainkan kebaikan), kecuali masalah-masalah kebaikan seperti
salat dan berdzikir kepada Allah serta memberikan keleluasaan bagi orang-orang
yang salat.
Wallahu yasyhadu `innahum lakadzibuna (dan Allah menyaksikan bahwa
sesungguhnya mereka itu adalah pendusta) dalam sumpahnya itu.
Ketika ayat ini turun dan Allah memberitahukan kepada Nabi saw. ihwal
keadaan dan niat mereka, beliau memanggil Wahsyi – orang yang membunuh
Hamzah pada Peristiwa Uhud - dan teman-temannya. Beliau bersabda, Pergilah ke
masjid yang jamaahnya zalim, lalu hancurkanlah dan bakarlah ia. (HR. Bukhari dan
Muslim).
Mereka pergi dengan bergegas sambil membawa obor dari pelepah kurma.
Peristiwa ini terjadi antara maghrib dan isya. Mereka meratakan masjid itu dengan
tanah dan Nabi saw. memerintahkan untuk menjadikannya sebagai tempat
pembuangan sampah dan bangkai. Abu 'Amir meninggal dunia di Syam dalam
keadaan sendirian dan terasing.
Dia mati terasing karena bertalian dengan kisah ini. Ketika Nabi saw. tiba di
Madinah, Abu Amir menjumpai beliau seraya berkata, “Apa yang engkau bawa ini?”
Beliau menjawab, “Aku membawa ajaran yang lurus, yaitu agama Ibrahim.” Abu
Amir berkata, “Dan saya pun memeluk agama itu.” Nabi saw. berkata,
“Sesungguhnya kamu tidak memeluk agama ini.” Dia berkata, “Tentu saja aku
memeluknya, tetapi engkau memeluk ajaran yang menyimpang dari agama ini?”
Nabi saw. berkata, “Aku tidak melakukan penyimpangan, justru aku membawa
agama ini sebagai agama yang bersih dan murni.” Lalu Abu Amir berkata, “Semoga
Allah mematikan pendusta di antara kita dalam keadaan terusir, seorang diri, dan
terasing.” Rasulullah saw. mengaminkan doanya. Karena itu, Abu Amir yang fasik
fasik ini disebut ar-Rahib (melarikan diri). Kemudian dia mati dalam keadaan kafir di
Qansirin, nama sebuah negeri di Syam. Meskipun Abu Amir melakukan pengkhiatan
255
ini, dia mempunyai seorang anak yang saleh yang bernama, Abu Hanzalah yang mati
syahid pada peristiwa Uhud, lalu malaikat memandikannya.
Janganlah kamu salat dalam masjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya
masjid yang didirikan atas dasar takwa sejak hari pertama adalah lebih
patut kamu shalat di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang ingin
membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih. (QS. At-
Taubah 9:108)
La taqum (janganlah kamu berdiri), hai Muhammad untuk melaksanakan
salat.
Fihi (di dalam masjid itu), di dalam masjid orang-orang munafik itu.
`Abadan (selama-lamanya). Yakni janganlah salat di dalam masjid itu. Salat
diungkapkan dengan qiyam (berdiri), sebagaimana ungkapan orang Arab, Fulanun
yaqumullaila (si Fulan melaksanakan salat malam). Juga hal ini diungkapkan dalam
hadits shahih, Barangsiapa yang melakukan qiyamu ramadlan (salat tarawih)
dengan keimanan dan niat karena Allah, niscaya dia akan diampuni dosanya yang
telah lalu (HR. Syaikhan).
La masjidun (sesungguhnya masjid), yakni masjid Quba. Lam pada
penggalan in bermakna memulai atau bersumpah.
`Ussisa (yang didirikan). Ta`sisun berarti mendirikan bangunan. Maksudnya,
masjid yang didirikan oleh Rasulullah saw. dan digunakan salat oleh beliau selama
berada di Quba.
'Ala taqwa (atas dasar takwa). Yakni masjid itu didirikan atas dasar
ketaatan kepada Allah.
Min `awwali yaumin (sejak hari pertama) keberadaan dan pendiriannya.
Dikatakan yang dimaksud dengan masjid pada ayat ini adalah masjid Rasulullah saw.
di Madinah. Namun, pendapat pertama lebih populer dan lebih sesuai dengan riwayat
sebab masjid itu berada di Quba. Mesjid yang ada di Quba dan di Madinah lebih
utama daripada mesjid yang ada di selain Quba dan Madinah. Al-Haddadi berkata,
“Ayat ini dapat pula ditafsirkan bahwa yang dimaksud dengan masjid yang didirikan
256
atas dasar takwa itu adalah kedua masjid itu, yakni masjid Nabawi dan masjid
Quba.”
`Ahaqqu `an taquma fihi (adalah lebih patut kamu berdiri di dalamnya).
Yakni lebih utama kamu salat di dalam masjid itu.
Fihi (di dalamnya), di dalam masjid yang didirikan atas dasar ketakwaan itu.
Rijalun (ada orang-orang), yakni kaum Anshar.
Yuhibbuna `ayyatathahharu (yang ingin membersihkan diri) dari aneka najis
dan kotoran apa pun, baik yang bersifat fisik maupun perbuatan, seperti aneka
maksiat dan perilaku tercela.
Wallahu yuhibbu `ayyatathahharuna (dan Allah menyukai orang-orang yang
bersih). Allah menyukai orang-orang yang membersihkan diri dan mendekatkannya
dengan Allah, seperti dekatnya seorang pecinta dengan kekasihnya.
Diriwayatkan bahwa ketika ayat ini diturunkan, Rasulullah saw. berjalan
bersama orang-orang Muhajirin hingga berdiri di depan pintu masjd Quba, lalu
beliau duduk seraya berkata, “Hai orang-orang Anshar, sesungguhnya Allah memuji
kamu. Apa yang kamu lakukan ketika wudlu dan setelah buang air besar?” Mereka
menjawab, “Kami membersihkan bekas buang air besar dengan tiga batu, lalu
dengan air.” Kemudian beliau membaca ayat, “Di dalamnya ada orang-orang yang
ingin membersihkan diri” (HR. Ibnu Majah dan Hakim).
Adapun orang yang pertama kali bersuci dengan air adalah Ibrahim a.s.,
sedangkan beristinja` dilakukan dengan tiga mud air. Jika tidak mendapatkan air,
maka dengan batu. Tujuan istinja ialah membersihkan anggota badan. Jika tujuan itu
tercapai dengan satu kali, maka cukup baginya, tetapi jika tidak, tiga kali atau lebih.
Namun, kaum Anshar membersihkan bekas kencingnya dengan batu kemudian
dengan air.
Maka apakah orang-orang yang mendirikan bangunannya atas dasar takwa
kepada Allah dan keridhaan-Nya itu yang baik, ataukah orang-orang yang
mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunannya itu
jatuh bersama-sama dengan dia ke dalam neraka jahanam? Dan Allah tidak
257
memberikan petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (QS. At-Taubah
9:109)
`Afaman `assasa bunyanahu (maka apakah orang-orang yang mendirikan
bangunannya). Hamzah (kata tanya) pada penggalan ini bermakna mengingkari,
sedangkan fa berfungsi mengathafkan kepada kata yang tersirat. Ta`sisun berarti
mendirikan fondasi bangunan, dan inilah makna asalnya. Bunyanun adalah mashdar,
seperti ghufranun, tetapi yang dimaksud bunyan di sini adalah isim maf'ul, yaitu
sesuatu yang didirikan. Makna ayat: Apakah setelah diketahuinya perilaku mereka,
lalu orang yang mendidrikan bangunan masjidnya …
'Ala takwa minallahi (atas dasar takwa kepada Allah). Yang dimaksud
dengan takwa adalah berhati-hati dari segala tindakan yang dapat menimbulkan dosa,
baik menyangkut perbuatan dilakukan atapun yang ditinggalkan.
Wa ridlwanin (dan keridhaan). Yakni mencari keridhaan Allah dengan
menyibukkan dirinya dalam ketaatan.
Khairun am man `assasa bunyanahu (yang lebih baik, ataukah orang-orang
yang mendirikan bangunannya). Makna ayat: Kelompok manakah dari dua kelompok
itu yang lebih baik dan lebih pantas menjadi sahabat dan mendirikan salat bersama
mereka? Apakah orang-orang yang mendirikan bangunan masjidnya dengan
menghendaki ketakwaan kepada Allah dan ketaatan kepada-Nya, yakni jamaah
masjid Quba, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunan masjidnya atas dasar
kemunafikan dan kekafiran serta bertujuan memecah belah kaum Mu`minin dan
melemahkan urusan agama?
'Ala syafa jurufin harin (di tepi jurang yang runtuh). Syafas syai`u berarti
ujung dan tepi sesuatu. Jurufun adalah tanah yang tepinya dihanyutkan banjir. Harin
berarti sesuatu yang belah yang hampir jatuh.
Fanhara bihi fi nari jahannama (lalu bangunannya itu jatuh bersama-sama
dengan dia ke dalam neraka jahanam). Dikatakan: Haral bina`a berarti dia
menghancurkan bangunan itu, sehingga robohlah ia. Artinya, bangunan itu saling
berjatuhan dan berantakan seraya membawa penghuninya ke dalam neraka jahanam.
Jabir berkata, “Aku melihat asap keluar dari masjid Dlirar.”
258
Al-Haddadi berkata, “Sebagaimana orang yang mendirikan sebuah bangunan
di pinggir sungai yang kemudian bangunannya hanyut ke dalam sungai, begitu pula
dengan bangunan orang-orang munafik, yaitu masjid yang menaburkan perselisihan,
seperti bangunan yang didirikan di tepi neraka jahanam yang jatuh bersama dengan
penghuninya.
Wallahu la yahdil qaumazhzhalimina (dan Allah tidak memberikan petunjuk
kepada orang-orang yang zalim). Dia tidak membimbing mereka kepada sesuatu
yang dapat menyelematkan dan bermanfaat bagi mereka. Pada hakikatnya kezaliman
berarti menempatkan penghambaan kepada dunia, kecintaan kepadanya, dan
kerakusan dalam mencarinya pada posisi penghambaan kepada Allah, kecintaan
kepada-Nya, dan kebenaran dalam mencari-Nya.
Bangunan-bangunan yang mereka dirikan itu senantiasa menjadi pengkal
keraguan dalam hati mereka, kecuali bila hati mereka itu telah hancur. Dan
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. At-Taubah 9:110)
La yazalu bunyanuhumulladzina banau (bangunan-bangunan yang mereka
dirikan itu senantiasa). Bunyanun merupakan mashdar, tetapi yang dimaksud adalah
isim maf'ul. Makna ayat: Masjid mereka itu senantiasa merupakan bangunan yang
diruntuhkan.
Ribatan fiqulubihim (pangkal keraguan dalam hati mereka). Yakni penyebab
keraguan dan kebimbangan dalam beragama. Seolah-olah mesjid itu merupakan
keraguan itu sendiri.
`Illa `an taqaththa'a (kecuali bila telah hancur). Taqaththa'a dibuang salah
satu ta`-nya, asalnya `illa `an tataqaththa'a.
Qulubuhum (hati-hati mereka). Hati mereka benar-benar telah hancur dan
bercerai-berai, sehingga mereka itu tidak dapat memahami apa pun. Makna ayat:
Bangunan mereka itu senantiasa menjadi keraguan pada setiap saat kacuali pada saat
hancurnya hati mereka. Maka pada saat itu hilanglah keraguan dari hati mereka.
Adapun selama hatinya ada, maka keraguan akan senantiasa mengendap di
dalamnya. Ayat ini menggambarkan tetapnya keraguan dalam hati sebelum mereka
mati.
259
Wallahu 'alimun (dan Allah Maha Mengetahui). Dia mengetahui apa yang
disyari'atkan-Nya.
Hakimun (lagi Maha Bijaksana) atas apa yang ditetapkan dan diperintahkan-
Nya seperti perintah merobohkan masjid orang-orang munafik, dan Dia
menampakkan kemunafikan mereka.
Ketahuilah bahwa ayat ini mengandung sejumlah makna.
Pertama, barangsiapa yang kedudukannya sebagai orang yang celaka itu
bersifat asli dan azali, maka ujian yang diberikan Allah Ta'ala kepadanya akan
membuatnya semakin bertambah sesat, marah, dan ingkar.
Kedua, Rasulullah saw. senantiasa melindungi manusia agar tidak terjerumus
ke dalam neraka. Karena itu, beliau menghancurkan masjid Dlirar, sebab bila beliau
membiarkannya, niscaya akan menimbulkan kemadharatan bagi semua orang dengan
diturunkannya bencana. Di dalam hadits diriwayatkan, Sungguh, aku hendak
menyuruh seseorang untuk salat bersama manusia, sedang aku sendiri akan
menyelidiki orang yang tidak ikut salat berjamaah, lalu aku bakar rumahnya. (HR.
Bukhari dan Muslim).
Hadits di atas menunjukkan dibolehkannya membakar rumah orang yang
tidak salat berjamaah. Jika membakar rumah orang yang meninggakan amalan
sunnah mu`akkadah (sunnah yang sangat dianjurkan untuk dikerjakan) saja
dibolehkan, bagaimana menurut pendapatmu dengan membakar rumah orang yang
meninggalkan amal wajib dan fardlu?
Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang Mu'min diri dan harta
mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada
jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh. Itu telah menjadi janji
yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil, dan al-Qur'an. Dan siapakah
yang lebih menepati janjinya selain Allah? Maka bergembiralah dengan jual
beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar. (QS.
At-Taubah 9:111)
`Innallahasytara (sesungguhnya Allah telah membeli). Diriwayatkan bahwa
ketika orang-orang Anshar berbaiat kepada Rasulullah saw. pada hari 'Aqabah di
260
Mekah, dan mereka berjumlah tujuh puluh orang, Abdullah bin Rawahah berkata,
“Hai Rasulullah, tentukanlah syarat apa saja atas kami untuk diberikan kepada Rabb-
mu dan dirimu.” Lalu Rasulullah saw. menjawab, “Untuk Rabb-ku, aku
mensyaratkan supaya kamu menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan
sesuatu pun, sedangkan untuk diriku adalah hendaklah kamu melindungiku seperti
kamu melindungi dirimu dan harta-hartamu”. Abdullah bin Rawahah berkata, “Jika
kami melakukan hal itu, apa yang kami peroleh?” Nabi saw. bersabda, “Surga”.
Mereka berkata, “Itu adalah jual-beli yang menguntungkan. Kami tidak akan
melanggar dan membatalkan baiat ini”. Lalu diturunkanlah ayat, Sesungguhnya Allah
telah membeli dari orang-orang mu'min …
Minal mu`minina (dari orang-orang Mu'min), bukan dari orang-orang
munafik dan oran-orang kafir, karena mereka tidak bersedia melakukan bai'at ini.
Al-Hasan berkata, “Dengarkanlah jual-beli yang menguntungkan itu. Allah
mengadakan jual-beli dengan orang Mu`min melalui bai’at. Demi Allah, tiada
seorang Mu`min pun yang berada di muka bumi ini kecuali dia tercakup dalam baiat
tersebut.
`Anfusahum (diri-diri mereka). Yang dimaksud dengan diri adalah fisik yang
merupakan sarana untuk memperoleh aneka kesempurnaan ruhaniah manusia.
Wa `amwalahim (dan harta-harta mereka). Harta ialah sarana untuk
memelihara aneka kemaslahatan raga ini.
Bi `annalahmul jannata (dengan memberikan surga untuk mereka). Mereka
berhak mendapatkan surga sebagai imbalannya. Jika ada yang bertanya, “Bagaimana
mungkin seseorang membeli sesuatu seperti harta yang merupakan kepunyaan Tuan-
nya, sedang sesuatu itu merupakan milik-Nya juga?” Dijawab: Sesungguhnya
melalui ayat ini Allah hendak mengobarkan semangat manusia agar ikut berperang.
Pada ayat ini Allah menghaluskan ungkapan dalam menyeru kaum Mu`minin kepada
ketaatan, baik dengan fisik ataupun harta, dan untuk menegaskan balasan. Ayat ini
senada dengan firman Allah Ta'ala,
Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik ...
(QS. Al-Baqarah 2:245).
261
Pada surah al-Baqarah ini Allah mengungkapkan sedekah dengan qardl
(pinjaman) untuk memotivasi manusia agar bersedekah dan untuk memberi
semangat. Ditafsirkan demikian karena pinjaman itu mesti dikembalikan secara sama
dengan apa yang dipinjam tanpa dikurangi sedikit pun, padahal yang terjadi tidaklah
demikian. Seolah-olah Allah Ta'ala bermu'amalah dengan hamba-Nya seperti
bermu'amalah dengan seorang pemilik lain. Di sini Allah Ta'ala sebagai pembeli,
sedang orang mu`min sebagai penjual. Fisik dan hartanya sebagai barang yang dijual
yang merupakan pokok dalam akad jual beli. Adapun surga sebagai harganya yang
merupakan sarana jual-beli.
Diriwayatkan dari Ja'far ash-Shadiq r.a. bahwa Nabi saw. pernah bersabda,
“Hai manusia, ketahuilah nilai dirimu karena sesungguhnya ketika Allah mengetauhi
nilai dirimu, Dia tidak memberimu harga selain dengan surga”.
Yuqatiluna fi sabilillahi (mereka berperang pada jalan Allah). Penggalan ini
merupakan ungkapan permulaan yang menjelaskan jual beli yang telah disebutkan.
Seolah-olah Allah berfirman: Bagaimana cara mereka menjual diri dan harta mereka
dengan surga? Lalu dijawab: Mereka berperang di jalan Alah, yakni mengorbankan
jiwa dan harta mereka, dan menyerahkan keduanya untuk digunakan di dalam
ketaatan kepada Allah.
Fayaqtuluna (lalu mereka membunuh). Mereka adalah para pejuang
(mujahid) dan mereka akan memperoleh surga.
Wayuqtaluna (atau terbunuh). Mereka adalah orang-orang yang mati syahid
dan mereka akan memperoleh surga. Sesungguhya seorang penjual berhak
mengajukan harga dengan menyerahkan barang yang dijual. Abu Ali al-Kufi
bersenandung,
Barangsiapa yang membeli kubah si surga Adn yang tinggi
Beruntunglah di bawah teduhnya bangunan yang menjulang
Perantaranya adalah al-Mushthafa, pembelinya adalah Allah
Dari siapa saja yang dikehendaki-Nya dan jibril penyerunya
Wa'dan 'alaihi haqqan (Itu telah menjadi janji yang benar), yaitu janji yang
telah ditetapkan dan diputuskan Allah Ta'ala.
262
Fittaurati wal `injili wal qur`ani (di dalam Taurat, Injil, dan al-Qur'an).
Yakni janji yang telah ditegaskan dan disebutkan di dalam Taurat dan Injil,
sebagaimana ditegaskan dan disebutkan pula di dalam al-Qur`an. Artinya, janji
bahwa umat ini akan memperoleh surga, jika dia berperang di jalan Allah telah
disebutkan di dalam kitab-kitab Allah yang telah diturunkan.
Wa man `aufa bi'ahdihi (dan siapakah yang lebih menepati janjinya selain
Allah?) Man pada penggalan ini merupakan kata tanya yang bermakna mengingkari.
Yakni tidak ada seorang pun yang menepati janji dan komitmennya seperti Allah
menepati janji dan komitmen-Nya, karena Dia berkuasa untuk memenuhinya, sedang
selain-Nya tidak berdaya.
Fastabsyiru (maka bergembiralah). `Istibsyar berarti menampakkan
kebahagian. Yakni jika demikian, maka bergembiralah kamu dengan segembira-
gembiranya dan berbahagialah dengan sebahagia-bahagianya atas surga yang kamu
raih.
Bi bai'ikum (dengan jual beli). Al-Haddadi menafsirkan: Dengan menjual
dirimu kepada Allah, karena tiada pembeli yang lebih tinggi selain Allah dan tiada
harga yang paling tinggi selain surga. Adapun firman Allah Ta'ala …
Alladzi baya'tum bih (yang telah kamu lakukan itu) dimaksudkan untuk lebih
menegaskan jual-beli mereka, karena hal itu merupakan penjualan benda yang fana
dengan barang yang kekal dan lantaran kedua perkara yang diperjualbelikan itu
kepunyaan Allah swt.
Wa dzalika (dan itulah). Yakni surga yang merupakan harga penjualan dan
imbalan dari diri dan harta yang mereka korbankan.
Huwal fauzul 'azhim (adalah kemenangan yang besar) yang tidak ada lagi
kemenangan yang lebih besar daripada itu, karena dia memperoleh surga yang kekal
dengan diri dan hartanya yang fana.
Ketahuilah bahwa semua makhluk merupakan milik Allah dan sebagai
hamba-Nya dan bahwa Allah memperlakukan milik-Nya dan hamba-Nya sesuai
dengan kehendak-Nya. Allah tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang
dilakukan-Nya, sedang mereka akan dimintai pertanggungjawabannya. Meskipun
263
begitu, Allah Ta'ala membeli diri orang-orang Mu`min karena mereka
menganggapnya indah. Pembeliannya ini merupakan kebaikan dari-Nya.
Ketahuilah bahwa ajal itu telah ditetapkan dan diputuskan; bahwa rizki itu
telah dibagikan dan diberikan; bahwa setiap jiwa akan merasakan kematian; bahwa
surga itu berada di bawah bayang-bayang pedang; bahwa para syuhada itu benar-
benar hidup di sisi Allah; bahwa ruh-ruh mereka berada di dalam tembolok burung-
burung hijau yang menghuni bagian surga yang dikehendakinya; bahwa semua dosa
dan kesalahan orang yang mati syahid akan diampuni; bahwa dia dapat memberi
syafaa't kepada tujuh puluh orang keluarga dan anak-anaknya; bahwa dia aman dari
ketakutan yang sangat mengerikan pada hari kiamat; bahwa dia tidak merasakan
duka kematian dan kengerian ketika dibangkitkan; dan bahwa dia tidak akan
merasakan sakitnya terbunuh. Alangkah indahnya orang yang berkata,
Wahai orang yang mendekap dunia yang tidak kekal
Pagi dan petang dalam keadaan tertipu dan diperdaya
Mengapa kamu tidak melepaskan dunia dari dekapanmu
Agar kamu dapat memeluk perawan di surga Firdaus
Jika engkau mendambakan surga sebagai tempat tinggal,
hendaknya kamu tidak merasa aman dari api neraka
Mereka itu adalah orang-orang yang bertobat, yang beribadat, yang memuji
Allah, yang melawat, yang ruku', yang sujud, yang menyuruh berbuat ma'ruf
dan mencegah berbuat munkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah.
Dan gembirakanlah orang-orang mu'min itu. (QS. At-Taubah 9:112)
`Atta`ibuna (orang-orang yang bertobat). Maksdunya orang-orang yang
bertobat dari perbuatan syirik dan kemunafikan serta kemaksiatan, baik kecil maupun
besar. Asal makna tobat adalah kembali. Tobat mesti dilakukan dengan segera dan
didahului dengan pengetahuan bahwa perbuatan yang akan ditinggalkannya itu
merupakan dosa. Adapun ciri diterimanya tobat itu ada empat: memutuskan
hubungan dengan kaum fasik, berhubungan dengan orang yang shaleh,
melaksanakan segala ketaatan, dan hilangnya kesenangan duniawi dari hatinya. Jika
tobat itu benar-benar bersumber dari hati, engkau akan melihat seluruh anggota
264
badan itu tunduk kepada tujuan penciptaannya. Hal ini seperti pohon. Jika
pangkalnya baik, cabang-cabangnya pun akan berbuah.
Al-'abiduna (orang-orang yang beribadat), yaitu mereka yang beribadah
kepada Allah dengan ikhlas. Ibadah adalah melakukan pekerjaan disertai perasaan
mengagungkan Allah Ta'ala.
Al-hamiduna (orang-orang yang memuji), yaitu yang menyanjung-Nya atas
segala nikmat-Nya; yang bersyukur atas aneka nikmat-Nya; yang bertahmid dengan
menyebutkan berbagai sifat dan nama-Nya. Di antara hal yang patut diketahui ialah
bahwa taufik untuk bertauhid merupakan nikmat yang besar dari Allah Ta'ala. Maka
hendaknya seorang Mu'min selalu berucap, “Segala puji bagi Allah atas Dinul Islam
dan taufik kepada keimanan.” Mujahid menafsirkan firman Allah, Alaisallahu
bi`alama bisysyakirina dengan orang-orang yang bersyukur atas ketauhidan.
As-sa`ihuna (orang-orang yang melawat). Diriwayatkan dari Ibnu 'Abbas r.a.:
Setiap kata siyahah dalam al-Qur`an berarti shaum. Dalam Hadits dikatakan,
“Berwisatanya umatku adalah shaum”. Penyair bersenandung,
Engkau melihat dia shalat di malam hari
Pada siang hari, dia senantiasa berdzikir kepada Allah sambil shaum
Shaum diserupakan dengan wisata karena ia menghambat syahwat layaknya
orang berwisata yang tidak dapat memenuhi segala keinginannya dengan leluasa.
Shaum merupakan latihan jiwa agar dapat menemukan aneka rahasia pada alam al-
Mulk dan Malakut sebagai seorang wisatawan dapat mengetahui apa yang tidak
diketahui dan dilihat sebelumnya.
'Atha` berkata: Yang dimaksud dengan as-sa`ihuna adalah para pejuang di
jalan Allah. Mereka menempuh tempat-tempat perhentian hingga sampai ke negeri
orang-orang kafir, lalu memeranginya.
'Akramah menafsirkan as-sa`ihuna dengan orang-orang yang mencari ilmu.
Mereka berpindah dari suatu negeri ke negeri lain. Jabir r.a. pergi dari Madinah dan
ke Mesir hanya untuk memperoleh satu hadits. Karena itu, seseorang tidak akan
dianggap sempurna kecuali setelah dia mengelana dan dia tidak akan mencapai
tujuannya kecuali setelah berhijrah.
265
Ar-raki'unas sajiduna (orang-orang yang yang ruku' dan sujud) di dalam
salat. Ruku' dan sujud merupakan kinayah untuk salat semata-mata karena pada
keduanya aspek ibadah lebih menonjol ketimbang pada rukun salat lainnya; karena
berdiri dan duduk sudah biasa dilakukan orang sebagai ibadah. Bebeda dengan ruku
dan sujud yang bukan perbuatan alamiah sebagaimana biasanya. Keduanya hanya
dilakukan untuk beribadah. Keduanya lebih dikhususkan bagi salat.
Al-`amiruna bilma'rufi (orang-orang yang menyuruh berbuat ma'ruf). Yakni
menyuruh orang kepada keimanan dan ketaatan.
Wannahuna 'anil munkari (dan orang-orang yang mencegah berbuat munkar),
yakni dari perbuatan syirik dan aneka maksiat. Al-Haddadi berkata: Al-ma'ruf berarti
sunnah, sedang al-munkar berarti bid'ah.
Berkenaan dengan sabda Nabi saw., “Setiap bid'ah itu sesat”, Ibnu Malik
berkata: Setiap perilaku baru yang dikerjakan, padahal Nabi saw. tidak
mengerjakannya, adalah sesat karena kesesatan berarti meninggalkan jalan yang
lurus dan pergi ke jalan lain. Adapun jalan yang lurus itu adalah syari'ah. Bid'ah
hasanah dikecualikan dari ketentuan ini, sebagaimana Umar r.a berkata tentang
shalat tarawih berjamaah sebagai bid'ah yang baik.
Ulama mengatakan bahwa bid'ah itu ada lima macam. Pertama, bid'ah wajib
seperti menyusun dalil-dalil untuk menghilangkan kesamaran orang-orang atheis dan
selainnya. Kedua, bid'ah mandubah seperti menyusun buku, membangun sekolah,
dan sebagainya. Ketiga, bid'ah mubahah seperti menyediakan aneka makanan secara
leluasa dan selainnya. Keempat dan kelima adalah bid'ah makruh dan bid'ah haram
yang keduanya sudah jelas.
Wal hafidzuna lihududillahi (dan orang-orang yang memelihara hukum-
hukum Allah), yaitu aneka hakikat dan berbagi syariat yang telah dijelaskan dan
ditentukan Allah sebagai amalan maupun sebagai dorongan bagi manusia agar
melakukannya. Aneka kewajiban syar'iah itu tidak terbatas pada apa yang telah
dipaparkan, tetapi ia mempunyai jenis dan bagian yang banyak, sehingga tidak
mungkin memerinci dan menjelskannya kecuali dalam beberapa jilid. Karena itu,
Allah Ta'ala memaparkan semua jenis keawajiban secara global yang ditunjukkan
dengan firman-Nya, Wal hafidzuna lihududillahi, karena perbuatan orang-orang
266
mukallaf itu ada dua macam, yaitu perbuatan anggota badan dan berbagai perbuatan
hati. Kitab-kitab fiqih mecakup penjelasan jenis-jenis kewajiban yang berhubungan
dengan aneka perbuatan anggota badan. Adapun aneka kewajiban yang berhubungan
dengan berbagai perbuatan hati tidak terdapat dalam kitab-kitab fikih, kecuali sedikit
sekali, dan sebagian topiknya terdapat dalam kitab akidah dan sebagian lagi seperti
dijelaskan oleh Imam Ghazali, seperti ilmu akhlak. Seluruh kewajiban ini tercakup
dalam firman Allah Ta'ala, Wal hafidzuna lihududillahi.
Al-Haddadi berkata: Inilah salah satu sifat yang paling mendalam dalam
menggambarkan ketaatan hamba kepada Allah, pelaksanaan aneka perintah-Nya,
dan penghindaran dari berbagai larangan-Nya, karena Allah Ta'ala menjelaskan
hukum-hukum-Nya melalui perintah, larangan, dan anjuran. Maka Dia memotivasi
manusia supaya melakukannya, memberinya pilihan, dan menjelaskan mana
perbuatan yang lebih utama dan selaras dengan ketentuan Allah Ta'ala. Jika
seseorang melaksanakan aneka kewajibannya kepada Allah Ta'ala dan berakhir
dengan apa yang dikehendaki Allah, maka dia termasuk orang-orang yang
memelihara hukum-hukum-Nya. Diriwayatkan dari Khalaf bin Ayub bahwa pada
suatu malam dia menyuruh isterinya supaya tidak menyusui anaknya. Dia berkata,
“Anak ini telah berusia dua tahun”. Lalu dikatakan kepadanya, “Mengapa engkau
tidak membiarkan istrimu menyusuinya pada malam itu?” Khalaf menjawab, “Lalu
bagaimana dengan firman Allah Ta'ala, Wal hafidzuna lihududillahi?
Wa basysyiril mu`minina (dan gembirakanlah orang-orang mu'min itu), yakni
orang-orang yang disifati dengan aneka sifat keutamaan di ata.s. Orang-orang
Mu`min disajikan secara eksplisit, padahal dapat disajikan dengan kata ganti, adalah
untuk mengingatkan bahwa keimanan telah mendorong mereka berbuat hal seperti
itu. Isi kabar itu tidak disebutkan karena hendak mengangungkan berita itu. Seolah-
olah Allah berfirman, “Dan gembirakanlah mereka dengan apa yang sulit dipahami
akal dan dengan apa yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata….”
Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan
ampun kepada Allah bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang
267
musyrik itu adalah kaum kerabat, sesudah jelas bagi mereka bahwa orang-
orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam. (QS. At-Taubah 9:113)
Ma kana linnabiyyi walladzina `amanu (tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan
orang-orang yang beriman). Yakni tidak dibenarkan bagi mereka dan tidak layak
menurut ketentuan dan hikmah Allah Ta'ala.
`Ayyastaghfiru lil musyrikina (mereka memintakan ampun abgi orang-orang
musyrik) kepada Allah SWT.
Wa lau kanu (walaupun mereka itu), yakni orang-orang musyrik itu.
`Uli qurba (kaum kerabat), yakni kerabat mereka sendiri.
Mimba'di ma tabayyana lahum (sesudah jelas bagi mereka). Setelah nyata
bagi Nabi saw. dan orang-orang beriman.
`Annahum (bahwa mereka), yakni orang-orang musyrik itu.
`Ashabul jahim (penghuni neraka jahanam), yaitu penghuni neraka
disebabkan mereka mati dalam kekafiran, atau wahyu menerangkan bahwa mereka
akan mati dalam keadaan kafir.
Diriwayatkan bahwa ketika Abu Thalib sakit dan kondisinya yang sangat
parah itu sampai kepada kaum Quraisy, sebagian orang berkata kepada yang lain
berkata, “Umar dan Hamzah sudah masuk Islam dan urusan Muhammad telah
tersebar pada semua kabilah Quraisy. Karena itu, mari kita menjumpai Abu Thalib,
sehingga kita dapat memberinya jaminan atas keselamatan keponakannya. Demi
Allah, kita khawatir orang tua ini akan mati, lalu di antara kita ada yang membunuh
Muhammad, sehingga orang-orang Arab akan menghina kita.” Kaum yang lain
berkata, “Janganlah mengganggu Muhammad. Bila pamannya meninggal, bunuhlah
dia.”
Para pemuka kaum itu menjumpai Abu Thalib, di antaranya adalah kedua
putera Rabi'ah, yakni 'Utbah dan Syaibah, Abu Jahal, Umayyah bin Khalaf, dan Abu
Sufyan. Lalu mereka mengutus seseorang agar Abu Thalib memperkenankan mereka
masuk. Utusan berkata, “Mereka adalah para pemuka kaummu yang meminta izin
untuk menemui”. Abu Thalib berkata, “Suruh mereka masuk.” Mereka menemuinya
seraya berkata, “Hai Abu Thalib, engkau adalah tuan dan pemuka kami. Sungguh,
engkau merasakan datangnya ajal dan yang kami mengkhawatirkanmu. Engkau
268
mengetahui persoalan yang terjadi antara kami dan keponakanmu, Muhammad.
Karena itu, panggilah dia agar dia membiarkan kami dan agama kami dan kamu pun
membiarkan dia dan agamanya.”
Abu Thalib mengutus seseorang kepada Nabi saw. Maka beliau pun datang.
Ketika menjumpai Abu Thalib, beliau melihat ada celah antara Abu Thalib dan
kaum Quraisy, yang cukup untuk duduk. Maka Abu Jahal khawatir Nabi saw. duduk
di tempat itu, lalu dia lebih mendekat kepada Abu Thalib sambil meloncat - semoga
Allah melaknatnya - lalu menempatinya, sehingga Nabi saw. tidak mendapatkan
tempat yang dekat dengan Abu Thalib. Akhirnya beliau duduk di dekat pintu.
Selanjutnya Abu Thalib berkata kepada Rasulullah saw, “Hai keponakanku, mereka
adalah para pemuka kaummu, berikanlah apa yang mereka minta darimu, sedang
mereka akan berbuat adil terhadapmu. Mereka memintamu agar berhenti mencela
tuhan-tuhannya, dan mereka akan membiarkanmu dan Tuhanmu.”
Lalu Rasulullah saw. berkata, “Bagaimana menurut kalian, jika aku memberi
kalian apa yang kalian pinta, apakah kalian akan memberiku satu kalimat yang
dimiliki oleh orang Arab dan dianut oleh orang Asing?” Abu Jahal berkata, “Kami
akan memberikan satu kalimat itu, bahkan ditambah dengan sepuluh kalimat yang
lain. Kalimat apakah gerangan?” Rasulullah saw. bersabda, “Hendaknya kamu
mengatakan, Tiada Tuhan selain Allah dan hendaknya kamu meninggalkan apa yang
kamu sembah selain Allah.” Mereka bertepuk tangan seraya berkata, “Hai
Muhammad, mintalah kepada kami selain kalimat ini?” Lalu sebagian mereka
berkata kepada sebagian yang lain, “Demi Allah, orang ini tidak akan memberimu
sesuatu yang kamu kehendaki. Karena itu, tetaplah pada agama bapak-bapakmu
hingga Allah memutuskan antara kamu dan Muhammad.”
Kemudian mereka bubar dan ketika itu Nabi saw. berkata, “Hai pamanku,
katakanlah kalimat itu, maka aku akan bersaksi di hadapan Allah bahwa engkau telah
mengatakannya.” Abu Thalib berkata, “Hai keponakanku, sekiranya tidak ada
kekhawatiran terhadap orang yang akan menghinamu dan keturunanmu setelah aku
mati; kalaulah aku tidak mengkhawatirkan kaum Quraisy mengatakan bahwa aku
mengatakan kalimat ini semata-mata kerena takut mati, niscaya aku akan
mengatakannya”. Tatkala Abu Thalib menolak mengatakan kalimat tauhid ini, Nabi
269
saw. berkata, “Aku akan senantiasa memohonkan ampun bagimu selama tidak
dilarang?” Beliau berbuat demikian, lantaran pamannya pernah menjaga Nabi saw.
dan menolongnya. Karena itu, beliau tetap memohonkan ampun bagi Abu Thalib
hingga diturunkannya ayat ini.
Dan permintaan ampun dari Ibrahim kepada Allah untuk bapaknya, tidak
lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya
itu. Maka tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh
Allah, maka Ibrahim berlepas diri darinya. Sesungguhnya Ibrahim adalah
seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun. (QS. At-Taubah 9:114)
Wa ma kanastighfaru `Ibrahima li`abihi (dan tidaklah permintaan ampun dari
Ibrahim untuk bapaknya) dengan ungkapan, Dan ampunilah bapakku agar Allah
memberinya taufik kepada keimanan dan menunjukkannya kepada-Nya.
Illa 'an mau'idatin (melainkan karena suatu janji). Permohonan ampun dari
Ibrahim untuk bapaknya, Azar, hanya dilakukan karena suatu janji.
Wa 'adaha (yang telah diikrarkan) Ibrahim.
`Iyyahu (kepadanya), kepada bapaknya dengan ungkapan, Sa`astaghfiru laka
rabbi (aku akan memohonkan ampunan untukmu kepada Tuhanku) dengan harapan
dia beriman karena saat itu belum jelasnya keadaan bapaknya yang sebenarnya.
Falamma tabayyana lahu (maka tatkala jelas baginya), bagi Ibrahim melalui
wahyu yang turun kepadanya bahwa bapaknya akan tetap konsisten dalam kekafiran,
bukan keimanan.
`Annahu 'aduwwullahi (bahwa dia itu adalah musuh Allah). Allah
menyifatinya sebagai musuh guna menggugahnya dengan keadaan saat kematian.
Tabarra`a minhu (maka Ibrahim berlepas diri darinya), tidak memohonkan
ampun untuknya dan menjauhinya sejauh-jauhnya.
`Inna `ibrahima la awwahun (sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang
sangat lembut), banyak mengucapkan ah…, yaitu mengaduh pada saat seseorang
mengalami gelisah dan merasakan sakit karena sesuatu. Awwah berarti tunduk dan
merendahkan diri. Makna ayat: Sesungguhnya Ibrahim itu penyayang dan bermurah
270
hati. Karena Ibrahim sangat bermurah hati dan penyayang, maka dia memintakan
ampunan untuk bapaknya yang kafir sekalipun.
Halimun (lagi penyantun), yakni tabah terhadap penderitaan. Karena itu, dia
tabah dalam menghadapi bapaknya, tabah dalam menerima gangguannya, dan
memohon ampunan untuknya, padahal perilaku ayahnya itu sangat buruk dan hatinya
keras.
Selanjutnya tatkala Rasulullah saw. memohon ampun untuk pamannya yang
musyrik, sebagaimana Ibrahim memohon ampun untuk bapaknya yang juga musyrik,
lalu dilarang memohon ampun untuk orang kafir, maka diturunkanlah ayat ini untuk
menjelaskan alasan permohonan ampun yang dilakukan seseorang bagi para
pendahulunya yang musyrik sebelum dilarang oleh firman Allah Ta'ala,
Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah Allah
memberi petunjuk kepada mereka hingga dijelaskan-Nya kepada mereka apa
yang harus mereka jauhi. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu. (QS. At-Taubah 9:115)
Wa ma kanallahu liyudlilla qauman (dan Allah sekali-kali tidak akan
menyesatkan suatu kaum). Bukan kebiasaan Allah menyifati mereka dengan
kesesatan dan menetapkan aneka ketentuan-Nya kepada mereka.
Ba'da `idz hadahum (sesudah Dia memberi petunjuk kepada mereka) kepada
agama Islam.
Hatta yubayyina lahum (hingga Dia menjelaskan kepada mereka) melalui
wahyu yang jelas atau petunjuk.
Ma yattaquna (apa yang harus mereka jauhi). Apa yang mesti dijauhi seperti
aneka perkara yang dilarang agama. Adapun sebelum Allah memberi petunjuk
kepada mereka, apa yang mereka lakukan tidak disebut kesesatan dan mereka tidak
akan dihukum karenanya. Ayat ini menunjukkan bahwa orang berakal tidak dibebani
dengan apa yang tidak dapat ditangkap dan difahami akalnya.
`Innallaha bikulli sya`in 'alimun (sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu). Allah Ta'ala mengetahui semua hal, di antaranya kebutuhan mereka
terhadap penjelasan tentang keburukan yang dapat dijangkau oleh akal dan
271
pengetahunnya. Karena itu, Allah menjelaskan kepada mereka tentang hal itu,
sebagaimana Dia menjelaskannya pada ayat di atas.
Sesungguhnya kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi. Dia
menghidupkan dan mematikan. Dan sekali-kali tidak ada pelindung dan
penolong bagimu selain Allah. (QS. At-Taubah 9:116)
`Innallaha lahu mulkussamawati wal ardli (sesungguhnya kepunyaan Allah-
lah kerajaan langit dan bumi) tanpa berbagi dengan yang lain.
Yuhyi wa yumitu (Dia menghidupkan dan mematikan). Allah menghidupkan
yang mati dan mematikan yang hidup. Artinya, Dia yang mengadakan kehidupan dan
kematian di bumi; menghidupkan raga dan hati umat.
Wa ma lakum min dunillahi (dan sekali-kali tidak ada bagimu selain Allah)
yang melebihi perlindungan dan pertolongan-Nya.
Miwwaliyyiw wala nashirin (pelindung dan tidak pula penolong). Setelah
Allah melarang mereka memohonkan ampunan bagi orang-orang musyrik, meskipun
mereka kerabat sendiri, Dia menjelaskan kepada mereka bahwa Allah adalah Pemilik
setiap yang maujud dan yang mengurusinya serta yang menguasainya. Dan mereka
tidak akan memperoleh perlindungan dan pertolongan melainkan dari Allah Ta'ala
agar mereka menghadap diri kepada-Nya dan berlepas diri dari selain-Nya, sehingga
tidak ada tujuan lain bagi mereka atas apa yang mereka dikerjakan dan ditinggalkan
selain kepada Allah.
Dikatakan di dalam as-Sirah al-Halibiyah: Pelarangan memohonkan ampun
untuk Ibu Nabi saw. tiada lain hanyalah berdasarkan pendapat bahwa barangsiapa di
antara ahlul fatrah (orang-orang yang hidup di masa kevakuman dari kerasulan) yang
mengganti agamanya, atau mengubahnya, atau menyembah berhala, dia akan diazab.
Namun, pendapat ini lemah yang didasarkan pada kewajiban beriman dan bertauhid
berdasarkan akal semata. Adapun pendapat mayoraitas Ahlussunnah wal Jamaah
adalah mereka tidak wajib beriman kecuali setelah diutusnya para rasul. Faktanya
ialah bahwa tidak diutus kepada bangsa Arab seorang rasul pun sesudah Isma'il a.s.;
dan bahwa risalah Isma'il itu berakhir dengan kematiannya seperti para rasul lainnya,
karena lestarinya risalah setelah wafatnya seorang rasul termasuk keistimewaan Nabi
272
kita; bahwa ahlul fatrah dari bangsa Arab itu tidak diazab, meskipun mereka
mengubah agama, atau menggantinya, atau menyembah berhala.
Hadits-hadits yang menyebutkan diazabnya orang-orang yang telah
dipaparkan di atas, atau orang yang mengganti agama, atau mengubahnya, atau
menyembah berhala itu perlu ditakwilkan terlebih dahulu atau hadits itu bermakna
dan bertujuan mendorong manusia masuk Islam. Adapun berkenaan dengan Ibu dan
ayah Nabi saw., mayoritas ulama berpendapat bahwa keduanya selamat karena
termasuk ahlul fatrah. Allah Ta'ala berfirman, Dan Kami tidak akan mengazab
sebelum Kami mengutus seorang rasul (QS. Al-`Isra` 17:15) dan ahlul fatrah tidak
didatangi seorang rasul pun.
Sesungguhnya Allah telah menerima tobat Nabi, orang-orang Muhajirin dan
orang-orang Anshar, yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati
segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima tobat
mereka itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
kepada mereka (QS. At-Taubah 9:117)
Laqad taballahu 'alannabiyyi (sesungguhnya Allah telah menerima tobat
Nabi). Ibnu Abbas berkata: Nabi saw. bertobat karena telah mengizinkan orang-
orang munafik untuk tidak ikut berperang. Dosa ini termasuk kekeliruan karena para
nabi terpelihara dari aneka dosa besar dan dari berbagai dosa kecil dan lantaran
perbuatan dosa termasuk perkara yang dapat mencemarkan kehormatan orang yang
melakukannya dan dianggap besar jika dilakukan oleh Kaum Mu`minin. Adapun
para nabi mesti dihormati dan disegani. Karena itu, mereka terpelihara dari aneka
penyakit yang membuatnya dijauhi orang seperti lepra dan sebagainya. Kekeliruan
bukan berarti bahwa para nabi tergelincir dari kebenaran menuju kebatilan, tetapi
maknanya adalah bahwa mereka tergelincir dari urusan yang paling utama ke yang
utama. Para nabi dicela karena berbuat demikian lantaran tingginya martabat mereka
dan kedudukanya di sisi Allah Ta'ala. Abu Sa'id al-Kharraz berkata, “Aneka
kebaikan orang-orang yang saleh merupakan keburukan bagi kaum muqarrabin.”
Wal muhajirina wal anshari (orang-orang Muhajirin dan orang-orang
Anshar). Anshar jamak dari nashiir, seperti syarif dan asyraf, atau jamak dari
273
naashir, seperti shahib dan ashhab. Kaum Anshar adalah para sahabat dari penduduk
Madinah yang memberi tempat tinggal kepada Rasulullah saw. Anshar ialah nama
yang Islami yang diberikan Allah Ta'ala kepada Aus dan Khazraj karena sebelum
menolong Rasulullah saw., mereka tidak dipanggil dengan nama Anshar dan tidak
pula dipanggil demikian ketika turunnya al-Qur`an. Mencintai mereka adalah wajib
dan termasuk ciri keimanan.
Di dalam hadits dikatakan, Ciri orang Mu`min adalah mencintai kaum
Anshar, sedang ciri orang munafik adalah membenci kaum Anshar (HR. Syaikhan).
Orang-orang Muhajirin lebih utama daripada orang-orang Anshar,
sebagaimana sabda Nabi saw., Sekiranya tidak ada hijrah, niscaya aku menjadi
orang Anshar. Hadits ini pun bertujuan memuliakan orang-orang Anshar, karena
tidak ada martabat yang paling tinggi setelah hijrah daripada menolong agama.
Al-ladzinat taba'uhu (dan orang-orang yang mengikutinya), mengikuti Nabi
saw. dan tidak menyalahinya.
Fi sa'atil 'usrati (dalam masa kesulitan), saat terjadi perang Tabuk, karena
pada perang itu Kaum Mu`minin ditimpa kesulitan yang besar seperti sangat
panasnya mentari dan sedikitnya kendaraan hingga satu ekor unta ditunggangi
sepuluh orang.
Diriwayatkan dari Umar r.a.: Kami berangkat di saat udara sangat panas.
Pada saat itu kami ditimpa dahaga yang luar biasa, sehingga seseorang menyembelih
untanya, lalu memeras ususnya dan meminumnya. Karena itu, perang Tabuk disebut
perang 'Usrah dan orang yang berjihad pada perang itu disebut pejuang 'Usrah. Sifat
in merupakan pujian bagi para sahabat Nabi saw. karena mereka mengikutinya di
saat sulit. Walaupun demikian, mereka tetap harus bertobat. Lalu bagaimana menurut
pendapatmu tentang orang selain mereka yang penderitaannya tidak ada apa-apanya
jika dibandingkan dengan orang-orang yang mengikuti Nabi saw.?
Mim ba'di ma kada yazighu qulubu fariqim minhum (setelah hati segolongan
dari mereka hampir berpaling). Hati sekelompok orang di antara mereka cenderung
berpaling dari keteguhan di medan juang dan dalam mengikuti Rasalullah saw.
Mereka hendak berpaling bukan pada waktunya berpaling dan tanpa diizinkan Nabi
274
saw. karena beratnya aneka penderitaan yang menimpa mereka di dalam peperangan
itu, akan tetapi mereka bersabar dan tabah.
Tsumma taba 'alaihim (kemudian Dia menerima tobat mereka). Allah
membebaskan dosa yang telah mereka lakukan. Penggalan ini merupakan
pengulangan yang dimaksudkan menegaskan dan mengingatkan bahwa tobat mereka
diterima karena kesulitan dan ketakutan yang mereka derita.
`Innahu (sesungguhnya Dia), Allah Ta'ala.
Bihim ra`ufurrahimun (Maha Pengasih lagi Maha Penyayang). Penggalan ini
merupakan ungkapan permulaan yang bertujuan menjelaskan alasan diterimanya
tobat mereka, karena sifat murah hati dan kasih sayang merupakan faktor penyebab
diterimanya tobat mereka dan diberinya maaf. Di antara kesempurnaan rahmat Allah
adalah Dia mengutus kekasih-Nya dan memperlihatkan mu'jizatnya.
Diriwayatkan bahwa para sahabat mengadu kepada Nabi saw. tentang
kesulitan mendapatkan air pada perang Tabuk. Lalu Abu Bakar r.a. berkata, “Hai
Rasulullah, sesungguhnya Allah Ta'ala senantiasa mengabulkan permohonanmu.
Karena itu berdoalah kepada Allah bagi kami.” Nabi saw. berkata, “Apakah engkau
menginginkan hal itu?” Dia berkata, “Ya”. Kemudian Nabi saw. mengangkat kedua
tangannya dan belum lagi beliau menurunkan tangannya, Allah mengirim awan lalu
turun hujan, sehingga orang-orang dapat minum dengan puas dan membawanya
sesuai dengan kebutuhan. Dan hujan itu hanya mengguyur tentara, tidak menyebar ke
tempat lain.
Juga diriwayatkan bahwa pada perang Tabuk mereka singgah di suatu padang
sahara yang tidak ada air. Kuda dan binatang tunggangan lain hampir mati karena
kehausan. Lalu Rasulullah saw. menyeru seraya berkata, “Dimana pembawa tempat
air wudlu?” Dikatakan, “Ini, hai Rasulullah.” Beliau berkata, “Bawalah kepadaku
tempat air wudlumu itu!” Orang itu membawanya dan di dalamnya masih ada sedikit
air. Kemudian Rasulullah saw. meletakan jari-jari tangannya yang mulia pada tempat
air itu, tiba-tiba memancarlah air di antara sepuluh jari-jari tangannya. Orang-orang
berdatangan sambil meminta minum. Air melimpah hingga mereka minum dan
memberi minum kudanya dan binatang tunggangan lainnya. Di dalam pasukan itu
terdapat dua belas ribu ekor kuda dan lima belas ribu ekor unta serta tiga ribu tentara.
275
Riwayat lain mengatakan bahwa tatkala kelaparan menimpa para sahabat
pada perang Tabuk, mereka berkata, “Hai Rasulullah, kalau Anda mengizinkan, kami
akan menyembelih unta, membuat dendeng, dan membuat minyak.” Lalu Umar r.a.
berkata, “Hai Rasulullah, jika Anda mengizinkannya, niscaya kendaraan kita akan
habis. Namun, panggilah mereka agar membawa sisa perbekalannya dan berdoalah
kepada Allah bagi mereka dengan meminta berkah. Semoga Allah menjadikan hal itu
keberkahan.” Rasulullah saw. berkata, “Ya”. Beliau meminta sebuah tikar dari kulit
dan membentangkannya. Kemudian meminta mereka membawa sisa perbekalannya.
Maka orang-orang mulai berdatangan. Ada yang membawa sekepal biji-bijian, yang
lain membawa sekepal kurma, dan ada pula yang membawa makanan lainnya
hingga terkumpul pada tikar kulit itu sedikit makanan. Selanjutnya Nabi saw. berdoa
dengan memohon keberkahan. Beliau berkata, “Ambilah bejana-bejana kamu!”
Mereka mengambilnya, sehingga mereka tidak meninggalkan bejana yang ada dalam
pasukan melainkan telah terisi dengan makanan. Mereka makan hingga kenyang,
tetapi makanannya masih tersisa. Nabi saw. bersabda, “Aku bersaksi tiada Tuhan
melainkan Allah dan sesunguhnya aku adalah utusan Allah. Tidaklah seorang hamba
menemui Allah dengan membawa kalimah itu dan meyakininya melainkan Dia
memeliharanya dari api neraka” (HR. Ibnu Jarir).
Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan penerimaan tobat kepada
mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi meraka, padahal
bumi itu luas dan jiwa mereka pun telah sempit pula terasa oleh mereka,
serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari siksa Allah,
melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima tobat mereka agar
mereka tetap dalam tobatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Penerima
tobat lagi Maha Penyayang. (QS. At-Taubah 9:118)
Wa 'alats tsalatsatil ladzina khullifu (dan terhadap tiga orang yang
ditangguhkan kepada mereka). Allah menerima tobat ketiga orang yang
ditangguhkan urusannya dan tidak diputuskan hingga diturunkan wahyu. Mereka
adalah Ka'ab bin Malik (penyair), Mirarah al-Rabi', dan Hilal bin Umayyah al-
Anshari. Ketiga namanya dapat disingkat dengan kata MEKAH.
276
Hatta idz dlaqat 'alaihimul ardli (hingga apabila bumi telah menjadi sempit
bagi mereka). Allah menangguhkan urusan mereka hingga bumi terasa menjadi
sempit.
Bima rahubat (padahal bumi itu luas), padahal keadaan bumi itu lapang dan
luas. Bumi terasa sempit karena mereka diisolir oleh khalayak dan tidak boleh
berbicara dengan meraka, meskipun sekedar mengucapkan salam dan menjawabnya.
Mereka takut, bila mati, Nabi saw. dan orang-orang beriman tidak menyalatkan
jenazah mereka. Penggalan ini melukiskan kegelisahan mereka yang mendalam,
seolah-olah tiada tempat yang dapat membuatnya tenang dan tiada rumah yang
dapat menentramkannya.
Wa dlaqat 'alaihim `anfusuhum (dan jiwa mereka pun telah sempit terasa
oleh mereka). Hati mereka dipenuhi dengan ketakutan dan kegelisahan yang luar
biasa, sehingga mereka tidak merasakan sedikit pun ketenangan, kenyamanan, dan
kebahagian.
Wa zhannu `alla malja`a minallahi `illa `ilaihi (serta mereka telah
mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari Allah, melainkan kepada-Nya saja).
Mereka mengetahui dan meyakini bahwa tidak ada tempat berlindung dan tidak ada
tempat untuk menyelamatkan diri dari kemurkaan Allah kecuali dengan kembali
kepada-Nya.
Sebagian ulama terdahulu berkata: Barangsiapa diberi aneka kenikmatan,
perbanyaklah memuji Allah; barangsiapa yang diliputi kedukaan, perbanyaklah
memohon ampun. Dan ketahuilah bahwa barangsiapa yang menyelam di samudera
ketauhidan sehingga dia tidak melihat wujud, melainkan Allah, hanya berlindung
kepada Allah, maka tidak ada tempat lari kecuali hanya kepada-Nya dalam kondisi
apa pun.
Tsumma taba 'alaihim (kemudian Dia menerima tobat). Allah memberi taufik
kepada mereka untuk bertobat.
Liyatubu (agar mereka tetap dalam tobatnya), supaya mereka meninggalkan
maksiat.
`Innahu huwat tawwaburrahimu (sesungguhnya Allah-lah Yang Maha
Penerima tobat lagi Maha Penyayang), Dia sangat menerima tobat bagi orang yang
277
bertobat dan yang memberi karunia kepada mereka dengan aneka kenikmatan,
padahal mereka mestinya ditimpa aneka macam siksa.
Diriwayatkan dari Abu Dzar al-Ghifari bahwa untanya lambat, lalu dia
mematkan barang-barangnya di atas punggung unta, lalu mengikuti jejak Rasulullah
saw. dengan berjalan kaki. Ketika Rasulullah saw. melihatnya dari jauh, beliau
bersabda, “Jadilah seperti Abu Dzar!” Orang-orang berkata, “Apa yang telah dia
kerjakan”. Rasulullah saw. berkata, “Semoga Allah memberi rahmat kepada Abu
Dzar. Dia berjalan sendirian, mati sendirian, dan dibangkitkan sendirian”.
Di antara mereka ada orang yang tertinggal, tetapi tidak bergabung dengan
Rasulullah saw. Mereka adalah tiga orang yang ditangguhkan penerimaan tobatnya,
yaitu Ka'ab yang berbaiat di Aqabah, dan Hilal serta Mirarah yang ikut berperang di
Badar. Ka'ab berkisah: Tatkala Rasulullah saw. masuk ke rumahnya, aku
menjumpainya dan memberi salam kepadanya, tetapi beliau menjawab salamku
seperti orang marah sambil berkata, “Apa yang membuatmu tidak ikut denganku?
Bukankah aku memantaumu?” Lalu aku berkata, “Tiada suatu alasan pun yang
membuatku tidak mengikutimu”. Rasulullah saw. berkata, “Pergilah dari sisiku
hingga Allah memutuskan urusanmu”. Hal yang sama beliau katakan pula kepada
kedua kawan Ka'ab. Beliau melarang Kaum Muslimin berbicara dengan mereka.
Maka orang-orang pun menjauhi mereka dan tidak ada seorang pun yang berbicara
dengan mereka, baik dari jarak dekat maupun dari jauh.
Adapun dua kawan Ka'ab tinggal di masing-masing rumahnya sambil
menangis, sedangkan Ka'ab ikut salat bersama Kaum Muslimin dan berkeliaran di
pasar, tetapi tiada seorang pun di antara mereka yang mau berbicara dengannya.
Ka'ab berkata, “Saya tengah berjalan di pasar Madinah. Seseorang warga Syam yang
biasa membawa makanan dan menjualnya di Madinah tiba-tiba berkata, “Siapakah
yang sudi menunjukkan Ka'ab bin Malik kepadaku?” Maka orang-orang menunjuk
ke arah Ka’ab. Lalu dia menjumpaiku sambil menyerahkan sepucuk surat dari Raja
Ghassan yang bernama al-Harits bin Abi Syamr. Surat itu dibungkus dengan secarik
kain sutera yang berisi. Di dalamnya tertulis, Amma ba'du, telah sampai berita
kepadaku bahwa sahabatmu bersikap keras kepadamu, padahal Allah tidak
menjadikanmu berada di negeri kehinaan dan tidak pula di rumah kenistaan. Karena
278
itu, maka bergabunglah dengan kami, niscaya kami membantumu”. Setelah selesai
membacanya, aku berkata, “Ini adalah ujian juga.” Lalu aku menuju tungku dan
membakar surat itu.
Setelah empat puluh malam berlalu, utusan Rasulullah menjumpaiku seraya
berkata, “Rasulullah saw. menyuruhmu untuk menjauhi isterimu.” Aku berkata,
“Apakah akau mesti menceraikannya atau bagaimana?” Dia berkata, “Bukan, tetapi
jauhilah dan janganlah kamu mendekatinya.” Hal yang sama juga disampaikan
kepada kawanku, Hilal dan Mirarah.
Selanjutnya, aku berkata kepada isteriku, “Pulanglah ke keluargamu dan
tinggallah bersama mereka hingga Allah memutuskan perkara ini”. Lalu isteri Hilal
menjumpai Rasulullah saw. seraya berkata, “Hai Rasulullah, Hilal itu orang tua yang
lemah dan tidak mempunyai pelayan. Apakah Anda akan membenciku bila aku
melayaninya?” Rasulullah saw. berkata, “Tidak, tetapi dia tidak boleh
mendekatimu”. Dia berkata, “Demi Allah, sebenarnya dia tidak memiliki hasrat
sedikit pun pada perkara semacam itu. Demi Allah dia terus-menerus menangis sejak
permulaan urusannya hingga hari ini.” Setelah itu berlalulah sepuluh hari, hingga
genap menjadi lima puluh hari sejak pelarangan berbicara dengannya.
Ka'ab melanjutkan kisahnya: Ketika salat subuh pada dini hari kelima puluh,
aku mendengar suara yang sangat keras dari puncak gunung Sila', “Hai Ka'ab bin
Malik, begembiralah!” Lalu aku bersimpuh sambil bersujud, karena mengetahui
bahwa Rasululah saw. diberitahu tentang tobat kami yang diterima Allah. Tatkala
orang yang saya dengar suaranya menjumpaiku sambil menyampaikan kabar
gembira, aku menanggalkan kedua bajuku, lalu memakaikannya kepada orang itu
sebagai ungkapan kegembiraan atas berita gembira yang dibawanya. Demi Allah,
pada saat itu aku tidak memiliki baju selain kedua potong baju itu. Maka aku
meminjam dua potong baju kepada keponakanku, Qatadah, lalu aku mengenakannya.
Ka'ab melanjutkan: Allah telah menurunkan penerimaan tobat kami kepada
Nabi-Nya pada saat sepertiga malam terakhir, sedang Rasulullah berada di rumah
Ummu Salamah r.a. Ummu Salamah merupakan orang yang simpati terhadap
urusanku dan suka membantuku. Rasulullah saw. bersabda, “Hai Ummu Salamah,
tobat Ka'ab telah diterima”. Ummu Salamah berkata, “Mengapa Anda tidak
279
mengutus seseorang untuk memberitahukan kabar gembira itu kepadanya sekarang
juga?” Beliau berkata, “Jika aku melakukannya, orang-orang akan ribut, sehingga
membuatmu tidak dapat tidur sepanjang malam ini”. Sesudah Rasulullah saw. salat
fajar, barulah beliau memberitahukan bahwa tobat mereka diterima Allah.
Ka’ab melanjutkan: Aku pergi menemui Rasulullah saw. Lalu orang-orang
berbondong-bondong menjumpaiku sambil mengucapkan selamat atas diterimanya
tobatku. Mereka berkata, “Selamat atas tobatmu yang diterima Allah.” Kemudian
aku masuk mesjid dan ternyata Rasulullah saw. sedang duduk dikelilingi orang-
orang. Tiba-tiba Thalhah bin Abdullah bergegas menyambutku seraya menylamiku
dan mengucapkan selamat kepadaku. Demi Allah, tidak ada seorang pun dari
kalangan Muhajirin yang menghampiriku saat itu selain Thalhah dan aku tidak akan
melupakannya. Hal itu terjadi karena Nabi saw. pernah mempersaudarakan di antara
keduanya tatkala tiba ke Madinah.
Ka'ab berkata: Ketika aku mengucapkan salam kepada Rasulullah saw.,
wajah beliau bersinar karena gembira. Bila beliau merasa bahagia, wajahnya
bercahaya bagaikan sepotong bulan. Tatkala aku duduk di hadapan Rasulullah saw.,
beliau berkata, “Hai Ka'ab, bergembiralah atas kebaikan pada hari yang paling baik
sejak ibumu melahirkanmu”. Kemudian beliau membacakan kepada kami firman
Allah Ta'ala, Laqad taballahu … Wa kunu ma'ash shadiqina. Selanjutnya, aku
berkata, “Hai Rasulullah, di antara tobatku adalah aku menyerahkan hartaku kepada
Allah dan Rasul-Nya sebagai sedekah”. Beliau berkata, “Simpanlah sebagian
hartamu untuk kepentinganmu, karena hal itu lebih baik bagimu”. (Riwayat ini
terdapat dalam Shahihain dan Kutubus Sunan).
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah
kamu bersama orang-orang yang benar. (QS. At-Taubah 9:119)
Ya `ayyuhalladzina `amanu (hai orang-orang yang beriman), baik dengan
ungkapan maupun pembuktian.
Ittaqullaha (takutlah kepada Allah) dari apa yang tidak diridhai-Nya.
Wa kunu ma'ash shadiqina (dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang
benar) dalam setiap urusan. Ma'ash shadiqina berarti “menjadi bagian dari orang-
280
orang yang benar”. Maksudnya, jadilah kelompok orang-orang yang benar dan
bergaul dengan mereka atau dengan sebagian mereka.
Ayat ini menunjukkan pada keutamaan orang yang benar dan ketinggian
martabatnya; serta menganjurkan manusia agar berbuat benar.
Di dalam hadits diriwayatkan, Para pedagang akan dibangkitkan pada hari
kiamat sebagai al-fujjar, kecuali pedagang yang bertakwa, berbakti, dan jujur. (HR.
HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Al-fujjar jamak dari fajir. Pedagang disebut fujjar karena dalam berjual beli,
dia berdusta, menipu, memperdaya, merancang muslihat, dan mengambil riba yang,
sedang dia tidak berupaya menghindarinya. Karena itu, beliau bersabda, Kecuali
pedagang yang bertakwa. Yakni takut untuk berdusta. Sebaliknya dia jujur dalam
sumpahnya dan benar dalam ucapannya, sehingga mereka tidak menjual barang
dagangannya dengan bersumpah palsu karena Allah akan menghilangkan keberkahan
dari harga barang itu.
Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang Badui yang
tinggal di sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah pergi berperang
dan tidak patut pula bagi mereka lebih mencintai diri mereka daripada
mencintai diri Rasul. Yang demikian itu ialah karena mereka tidak ditimpa
kehausan, kepayahan, dan kelaparan pada jalan Allah. Dan tidak pula
menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan
tidaklah mereka ditimpa bencana dari musuh, melainkan dituliskanlah bagi
mereka dengan yang demikian itu suatu amal saleh. Sesungguhnya Allah
tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik, (QS. At-
Taubah 9:120)
Ma kana li `ahlil madinati (tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah).
Yakni tidak dibenarkan dan tidak pula pantas bagi mereka. Madinah ialah nama yang
sering digunakan untuk menyebut Darul Hijrah. Adapun bentuk nisbat-nya adalah
Madani, sendangkan nisbat untuk kota lainnya adalah disebu Madaini, guna
membedakan antara Madinah dan kota lainnya. Menurut pendapat sebagian ulama
Madinah mempunyai seratus nama, di antaranya, Dar al-Akhyar, Dabir al-Abrar,
281
Dar as-Sunnah, Dar as-Salamah, Dar al-Fath, Baarrah, Thabah, dan Thayyibah.
Madinah disebut Thayyibah karena hidup di sana menyenangkan, wawangiannya
sangat harum dan tidak terdapat di tempat lain, dan air susunya dapat dijadikan
penawar racun.
Allah Ta'ala menyebutkan Mekah dan Madinah secara khusus, karena kedua
tempat itu senantiasa dihuni orang-orang berilmu, kaum pilihan, dan ahli agama
hingga Allah mengambil bumi dan apa yang berada di atasnya sebagai pusaka, dan
Dia adalah sebaik-baik penerima pusaka. Madinah dan Mekah itu terpelihara dari
kejahatan dajjal, sehingga keduanya tidak akan didatangi dajjal. Hadits-hadits mulia
yang shahih menegaskan akan hal ini.
Wa man haulahu minal 'arabi (dan orang-orang Badui yang tinggal di sekitar
mereka) seperti kabilah Mazinah, Juhainah, Asyja', Ghaffar, dan sebaginya.
`Ayyatakhallafu 'an rasulillah (tidak turut menyertai Rasulullah) ketika beliau
pergi berperang; tatkala beliau menyuruh mereka bangkit dan pergi. Penggalan
merupakan larangan yang diungkapkan dalam bentuk negasi. Pengungkapan
demikian dimaksudkan menegaskan.
Wa la yarghabu bi `anfusihim annafsihi (dan tidak patut pula mereka lebih
mencintai diri mereka daripada Rasul). Raghibtu 'anhu berarti aku berpaling darinya.
Makna ayat: Janganlah mereka menjadikan diri-dirinya membenci dan berpaling dari
Nabi saw. Jadi, jangnlah mereka memalingkan dirinya dari apa yang akan dialaminya
berupa aneka penderitaan dan berbagai ketakutan di medan perang, tetapi hendaklah
mereka menahan penderitaan yang menimpa bersama-sama dengan Nabi saw.,
karena tidak sepantasnya mereka memilih hidup yang enak dan mudah, sementara
Rasulullah saw. berada di bawah terik matahari dan kesulitan.
Al-Haddadi menafsirkan: Mereka tidak sepantasnya lebih mengutamakan dan
lebih menyayangi dirinya sendiri daripada Nabi saw. Bahkan semestinya mereka
menjadikan dirinya sebagai tameng bagi Nabi saw. karena itulah hak beliau yang
wajib mereka berikan sebab beliau telah menyeru mereka untuk beriman, sehingga
mereka mendapat petunjuk dan selamat dari api neraka.
Dzalika (Yang demikian itu), yakni kewajiban mengikuti Nabi.
Bi `annahum (karena mereka), sebab bila mereka bersama Nabi saw.
282
La yushibuhum zhama`an (tidak akan ditimpa kehausan) sedikit pun.
Wa la nashabun (dan tidak ditimpa kepayahan) dan keletihan fisik.
Wa la makhmashatun (dan tidak ditimpa kelaparan) sedikit pun.
Fi sabilillah (pada jalan Allah) dan ketika meninggikan kalimat-Nya.
Wa la yatha`una (dan tidak pula mereka menginjak). Mereka tidak menapaki
dengan kaki-kakinya, dengan kuku-kuku kudanya, dan dengan kaki binatang
tunggangannya …
Mauthi`an yaghizhul kuffara (suatu tempat yang membangkitkan amarah
orang-orang kafir). Mereka tidak sampai ke suatu tempat kepunyaan orang kafir,
baik dengan melintasi lembah maupun gunung, sehingga menimbulkan kemarahan
dalam hati kaum kafir karena kamu melewati tempat itu.
Wa la yanaluna min 'aduwwin nailan (dan tidaklah mereka ditimpa suatu
bencana dari pihak musuh) berupa kemadaratan apa saja seperti terbunuh, tertawan,
kalah, dan takut.
`Illa kutiba lahum bihi (melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang
demikian itu). Yakni dari setiap kemadaratan yang dirinci tersebut.
'Amalun shalihun (suatu amal saleh), yang karena amal saleh itu mereka
berhak memperoleh pahala yang melimpah.
`Innallaha la yudli'u `ajral muhsinina (sesungguhnya Allah tidak menyia-
nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik) atas kebaikan mereka. Penggalan ini
menjelaskan dan mengingatkan bahwa jihad termasuk perbuatan baik.
Dan mereka tidak menafkahkan suatu nafkah yang kecil dan tidak pula yang
besar dan tidak melintasi suatu lembah, melainkan dituliskan bagi mereka
amal saleh pula, karena Allah akan memberi balasan kepada mereka dengan
balasan yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (QS. At-
Taubah 9:121)
Wa la yunfiquna (dan mereka tidak menafkahkan) tatkala berjihad.
Nafaqatan shagiratan (suatu nafkah yang kecil), berupa sebiji kurma, atau
gantungan cemeti, atau sepatu kuda.
283
Wa la kabiratan (dan tidak pula nafkah yang besar) seperti yang diinfakkan
Utsman r.a. dan Abdurrahman bin Auf r.a. kepada pasukan 'Usrah (Tabuk).
Wa la yaqtha'una (dan mereka tidak melintasi), mereka tidak menempuh
perjalanan saat menuju wilayah orang-orang, baik saat maju atau mundur.
Wadiyan (suatu lembah). Asal makna wadin adalah setiap celah di gunung
atau bukit yang menjadi tempat air mengalir.
`Illa kutiba lahum (melainkan dituliskan bagi mereka), ditetapkan bagi
mereka dalam kitab catatan amalnya. Yang ditetapkan itu adalah infak dan pergi
berperang yang mereka lakukan.
Li yajziyahumullahu `ahsana ma kanu ya'maluna (karena Allah akan
memberi balasan kepada mereka dengan yang lebih baik). Dia akan membalas
mereka dengan yang lebih baik atas aneka amalnya. Jihad mengandung aneka
keutamaan yang tidak terdapat pada amal lainnya dan ia merupakan profesi Nabi
saw.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., dia berkata, Seorang sahabat Rasulullah
saw. melewati sebuah negeri di mana terdapat mata air tawar, lalu dia merasa takjub
dengannya. Dia berguman, “Sekiranya aku mengasingkan diri dari orang-orang, lalu
aku tinggal di tempat ini. Namun, aku tidak akan melakukannya sebelum meminta
izin kepada Rasulullah saw. Maka dia menceritakan hal itu kepada beliau. Rasulullah
saw. bersabda, “Kamu jangan melakukannya, karena keberadaan salah seorang di
antara kamu di jalan Allah lebih utama daripada salat tujuh puluh tahun. Apakah
kamu tidak ingin Allah mengampuni dan memasukanmu ke dalam surga? Pergilah
berperang di jalan Allah, karena barangsiapa yang berperang di jalan Allah lalu dia
meninggal di atas untanya, maka dia akan memperoleh surga” (HR. Ahmad).
Hadits di atas menunjukkan bahwa jihad lebih utama daripada uzlah
(mengasingkan diri) untuk beribadah. Dan ketahuilah bahwa orang yang tidak ikut
berperang karena suatu alasan, bila niatnya ikhlas, dia akan memperoleh pahala dan
imbalan seperti yang diperoleh seorang pejuang. Sebagaimana diriwayatkan bahwa
ketika Nabi saw. pulang dari medan perang Tabuk, beliau berkata, Sesungguhnya
ada kaum yang kita tinggalkan di Madinah. Kita tidak menempuh suatu ngarai atau
lembah, melainkan mereka ikut bersama kita, hanya saja mereka tertahan oleh uzur
284
(HR. Bukhari dan Muslim). Artinya, mereka akan berbagi pahala dengan kita karena
mereka bersama kita dalam hal niat. Mereka yang tidak ikut berperang bersama kita
karena suatu uzur. Sekiranya tidak ada uzur, niscaya mereka bersama kita secara
hakiki. Namun, jangan mengira pahala yang diraih oleh yang uzur itu persis sama
dengan pahala tentara yang berjihad, karena Allah Ta'ala berfirman,
Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan
pahala yang besar (QS. An-Nisa` 4:95)
Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang beriman itu pergi semuanya.
Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa
orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk
memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali
kepadanya supaya mereka itu dapat menjaga diri. (QS. At-Taubah, 9:122).
Wa ma kanal mu`minuuna liyanfiruu kaffatan (tidak sepatutnya bagi orang-
orang yang beriman itu pergi semuanya). Lam berfungsi menegaskan negasi. Yakni
tidak dibenarkan dan tidak pantas mereka semua pergi ke medan perang atau
menuntut ilmu, sebagaimana tidak pantas bagi mereka semua berdiam diri saja,
karena hal itu merusak tatanan kehidupan.
Fa lau la nafara (mengapa tidak pergi). Fa lau la merupakan ungkapan untuk
menganjurkan, seperti halla. Kata anjuran, jika berada sebelum fiil madhi, maka
bermakna mencela karena meninggalkan suatu pekerjaan. Tidaklah celaan
diungkapkan melaikan karena seseorang meninggalkan pekerjaan wajib. Maka dari
makna ini dapat diketahui bahwa pekerjaan yang dikemukakan pada penggalan ini
hukumnya wajib. Firman Allah Ta'ala, falau la nafara itu bermakna perintah supaya
pergi dan meresponnya.
Min kulli firqatin minhum thaifatun (dari tiap-tiap golongan di antara mereka
beberapa orang), dari setiap kumpulan yang banyak seperti kabilah dan penduduk
negeri serta kumpulan yang kecil. Kata thaifah mencakup satu orang atau lebih.
Liyatafaqqahu fiddiini (untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang
agama), yang ditugaskan untuk memperdalam pengetahuan agama dan bersabar
285
dalam menanggung beban ketika memperolehnya. Tafaqquh berarti memahami
aneka hukum agama.
Wa liyundziru qaumahum idza raja’uu ilaihim (dan untuk memberi
peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya) dan agar
mereka menjadikan puncak usahanya dan sebagian besar tujuannya berupa
pemberian petunjuk dan peringatan kepada kaumnya. Pada penggalan ini
penyebutan pemberian peringatan tidak diiringi penyebutan pemberian kabar
gembira karena pemberian peringatan lebih penting dan lantaran takhalli
(pengosongan diri dari sifat tercela) lebih utama daripada tahalli (menghiasi diri
dengan sifat terpuji).
La’allahum yahdzarun (supaya mereka dapat menjaga diri) karena keinginan
mereka untuk mewanti-wanti kaumnya dari apa yang mereka takuti. Ayat ini
menunjukkan bahwa memperdalam pengetahuan agama dan menghapal al-Qur'an
termasuk fardhu kifayah, dan bahwa tujuan orang yang menuntut ilmu semestinya
berupa keistiqamahan dan keteguhan, bukan untuk menyombongkan diri kepada
manusia karena menjadi memimpin, berkuasa, dan berjalan-jalan ke berbagai negeri
dengan mengenakan aneka pakaian, kendaraan, dan diiringi pelayan dan budaknya,
seperti kebiasaan orang-orang generasi sekarang. Allah-lah sebaik-baik penolong.
Sepatutnya seorang penuntut ilmu berniat mencari keridhaan Allah dan negeri
akhirat, melenyapkan kebodohan dari dirinya dan dari semua orang bodoh,
menghidupkan agama dan mengabadikan Islam, karena keabadian Islam itu
terwujud dengan ilmu dan tidak dibenarkan zuhud dan bertakwa tanpa landasan ilmu.
Dan selayaknya seorang penuntut ilmu memiliki niat untuk bersyukur atas
nikmat akal, kesehatan fisik, dan keselamatan panca indera sebagai pengamalan atas
firman Allah Ta'ala,
Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak
mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati,
agar kamu bersyukur. (QS. An-Nahl 16:78)
Juga hendaknya seorang penuntut ilmu memilih ustadz yang paling berilmu
dan paling wara` setelah merenungkannya secara mendalam, sebagaimana yang
dilakukan Abu Hanifah r.a. ketika memilih Hammad. Dia berkata, “Aku datang ke
286
Bashrah, lalu mengira bahwa tidak akan ditanya tentang sesuatu pun melainkan aku
dapat menjawabnya. Tiba-tiba mereka bertanya kepadaku tentang segala sesuatu
yang aku tidak mempunyai jawabannya. Selanjutnya, aku bersumpah kepada diriku
tidak akan pergi dari Hammad. Aku bersamanya selama dua puluh tahun. Tidaklah
aku mendirikan salat kecuali aku mendoakan guruku, Hamad, dan kedua orang
tuaku.”
Diri para ustadz yang saleh dan para da’i yang sempurna memiliki berbagai
pengaruh yang mengagumkan, sebagaiman diriwayatkan bahwa ayah Abu Hanifah
yang bernama Tsabit memberi hadiah kue puding kepada Ali bin Abi Thalib pada
hari Nairuz (tahun baru bangsa Persia) dan hari Mahrajan (karnaval). Maka Ali
mendoakan kiranya Tsabit dan putera-puteranya dilimpahi keberkahan.
Tatkala seorang pencari ilamu mendapatkan seorang ustadz yang alim dan
mengamalkan ilmunya, hendaknya dia memilih semua ilmu yang paling baik dan
paling bermanfaat di akhirat.
Al-'Iz bin Abdus Salam berkata: Ilmu yang wajib dicari itu ada tiga macam.
Pertama, ilmu tauhid, yakni ilmu yang menjelaskan kepadamu tentang ushuluddin
(pokok-pokok agama). Karena itu, pertama-tama kamu mesti mengetahui Zat yang
disembah, lalu kamu menyembah-Nya. Bagaimana mungkin kamu mneyembah
sesuatu yang tidak kamu ketahui nama-namanya dan sifat-sifat Zatnya, sifat-sifat
yang wajib dan sifat yang mustahil bagi-Nya? Mungkin kamu meyakini sesuatu,
berkenaan dengan berbagai sifatnya, yang bertentangan dengan kebenaran, maka
ibadahmu laksana debu yang beterbangan.
Kedua, ilmu sirr, yakni ilmu yang berhubungan dengan hati dan aneka
karakternya. Karena itu, seorang Mumin mesti mengetahui aneka keadaan hati
seperti tawakal, tobat, rasa takut, dan rela, karena semua ini akan dibutuhkan pada
berbagai keadaan. Dan semestinya dia menjauhi ketamakan, marah, sombong,
dengki, 'ujub, riya, dan sebagainya.
Ketiga, ilmu syari'ah, yakni aneka kewajiban syar'iyah yang mesti kamu
kerjakan. Karena itu, kamu mesti mengetahuinya untuk dilaksanakan selaras dengan
hukum syara, sebagaimana diperintahkan kepadamu. Begitu pula kamu wajib
287
megetahui segala sesuatu yang mesti kamu tinggalkan seperti aneka larangan syar'iah
untuk kamu tinggalkan.
Ketiga jenis ilmu di atas menckup aneka peribadatan dan mu'amalah. Maka
setiap orang yang berjual beli dan melakukan profesi lain, mesti menjaga diri dari
barang haram di dalam mu'amalah yang dilakukannya dan berhati-hati atas apa yang
diperolehnya melalui profesinya. Adapun mempelajari ilmu yang kadang-kadang
diperlukan merupakan wajib kifayah.
Dalam ‘Ainul Ma’ani dikatakan: Adapun yang dimaksud dengan firman
Allah Ta'ala, liyatafaqqahu fiddini adalah ilmu tentang akhirat karena difokuskan
dengan pemberian peringatan dan mewanti-wanti. Ilmu tentang akhirat itu mencakup
ilmu mu'amalah dan ilmu mukasyafah. Adapun ilmu mu'amalah ialah ilmu yang
dapat mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala atau menjauhkan diri dari-Nya, yang
termasuk di dalamnya aneka perbuatan anggota badan dan hati, sedangkan makna
ilmu mukasyafah ialah seperti dijelaskan pada sabda Nabi saw., Kelebihan orang
alim atas ahli ibadah seperti kelebihanku atas umatku (HR. Tirmidzi).
Boleh mempelajari ilmu astronomi sekadar untuk mengetahui arah kiblat dan
aneka waktu salat. Juga boleh mempelajar ilmu kedokteran sekadar untuk megobati
aneka penyakit.
Dikatakan di dalam al-Asybah: Hukum mempelajari ilmu itu enam macam.
Pertama, fardlu 'ain, yakni mempelajari ilmu sekadar yang dibutuhkan untuk
agamanya. Kedua, fardlu kifayah, yakni memperlajari ilmu yang dapat memberikan
lebih banyak manfaat kepada orang lain. Ketiga, mandub, yakni mempelajari ilmu
untuk memperdalam pengetahuan tentang fikih dan ilmu hati. Keempat, haram, yakni
mempelajari ilmu menipu, astrologi, meramal, dan ilmu sihir. Kelima, makruh, yakni
mempelajari syair-syair ghazal (syair cinta) dan syair yang menggambarkan
kegagahan. Dan keenam, mubah, seperti mempelajari syair-syair mereka yang tidak
mengandung bualan.
Dalam menyebarkan ilmu dan membimbing orang untuk memperolehnya
terdapat aneka keutamaan. Rasulullah saw. berkata kepada Mu'adz bin Jabal r.a.
ketika beliau mengutusnya ke Yaman, Jika Allah memberi petunjuk kepada
288
seseorang dengan perantaraanmu, hal itu lebih baik bagimu daripada segala
sesuatu yang disinari matahari. (HR. Thabrani, Bukhari, dan Muslim).
Adapun ulama itu pewaris para nabi, sebagaimana mereka pun sibuk
berdakwah dan membimbing umat. Begitu pula dengan pewaris mereka. Maka
selayaknya setiap mursyid (pembimbing keagamaan) yang merupakan pewaris para
nabi memiliki tujuan meninggikan kehormatan Rasulullah dan megagungkannya
dengan memperbanyak pengikutnya. Rasulullah saw. bersabda, Sesungguhnya aku
memperbanyak umatku melalui upayamu.
Ayat di atas memotivasi orang-orang beriman agar pergi dari negerinya untuk
mencari ilmu yang bermanfaat. Jabir r.a. pergi dari Madinah ke Mesir hanya untuk
memperoleh satu hadits. Karena itu, seseorang tidak dianggap sempurna sebelum dia
“merantau”; dan dia tidak akan mencapai tujuannya, kecuali setelah dia berhijrah.
Penyair bersenandung,
Bepergianlah, niscaya kamu temukan penganti dari yang kau tinggalkan
Berletih-letihlah, karena kemuliaan terdapat pada keletihan
Hai orang-orang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar
kamu itu, dan hendaklah mereka mendapatkan kekerasan darimu, dan
ketahuilah, bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa. (QS. At-
Taubah 9:123)
Ya `ayyuhalladzina `amanu (hai orang-orang yang beriman), yaitu orang-
orang yang telah berikrar kepada Allah dan keesaan-Nya; dan mereka membenarkan
eksistensi pemilik risalah dan kebenarannya.
Qatilulladzina yalunakum (perangilah orang-orang yang berada di sekitar
kamu itu), yakni orang-orang yang dekat denganmu.
Minal kuffari (orang-orang kafir). Perangilah musuh yang berada di
sampingmu dan dekat denganmu serta perangilah orang-orang yang dekat dan yang
paling dekat. Janganlah kamu membiarkan musuh yang paling untuk menghadapi
musuh yang jauh. Maka musuh yang paling dekat dengan negerimu, keluargamu,
289
serta anak-anakmu. Ayat ini mengandung makna bahwa jika merasa aman dari
musuh yang paling dekat, mereka boleh memerangi musuh yang paling jauh.
Ketahuilah bahwa memerangi seluruh kaum kafir itu wajib, baik yang dekat
maupun yang jauh, tetapi memerangi musuh yang paling dekat lebih wajib lagi.
Karena itu, pertama-tama Rasululullah saw. memerangi kaumnya, kemudian pergi
memerangi seluruh bangsa Arab lalu penduduk Syam. Begitu pula dengan para
sahabat r.a. Setelah memerangi Syam, mereka memasuki Irak. Begitulah yang mesti
dilakukan oleh setiap penduduk negeri, yaitu memerangi musuh yang paling dekat
dengan mereka selama tidak memadharatkan penduduk muslim yang tinggal di
negeri lain. Urusan dakwah pun dilakukan menurut aturan ini. Pertama-tama Nabi
saw. memberi peringatan kepada keluarganya, karena keluarga dekat lebih berhak
memperoleh kasih sayang dan perbaikan untuk menjamin haknya.
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan amal yang paling utama
setelah aneka amal wajib. Syafi'i r.a. berkata, “Salat adalah amal fisik yang paling
utama dan salat sunnah merupakan amal yang paling utama di antara amal sunnah
lainnya”. Ahmad berkata, “Aku tidak mengetahui suatu amal wajib yang lebih
utama daripada berjihad, karena ia merupakan “profesi” Nabi saw.” Abu Hanifah dan
Malik berkata, “Tiada suatu amal setelah aneka amal wajib lainnya yang
kebaikannya lebih utama daripada mencari ilmu, karena aneka amal didirikan
berdasarkan ilmu; selanjutnya amal yang lebih utama adalah berjihad.”
Walyajidu fikum ghilzhah (dan hendaklah mereka mendapatkan kekerasan
darimu). Mereka mendapatkan kesengsaraan dan penderitaan karena perang.
Dikatakan dalam al-Qamus: Ghilzhah merupakan lawan dari kelembutan. Ungkapan
ini seperti Janganlah aku menjumpaimu di sana. Meskipun lahiriah ungkapan
menunjukkan bahwa orang pertama melarang dirinya melihat orang kedua di sana,
tetapi maknanya bahwa dia takkan berada di sana. Demikianlah lahiriah ayat ini
menyuruh orang kafir menemukan kekerasan pada orang kafir, tetapi maknanya ialah
menyuruh orang Mu`min memperlakukan kaum kafir dengan keras dan kasar.
Ungkapan demikian merupakan kiasan.
Wa'lamu `annallaha ma'al muttaqina (dan ketahuilah bahwa Allah beserta
orang-orang yang bertakwa) dengan menjaga dan menolongnya. Adapun yang
290
dimaksud dengan “kebersamaan” adalah perlindungan yang senantiasa menyertai
orang-orang yang bertakwa. Kata ma’a disertakan kepada al-muttaqin, padahal sudah
jelas Dia menyertai mereka, karena mereka adalah orang-orang yang berperang
secara langsung. Seolah-olah Allah Ta'ala berfirman, “Dan ketahuilah bahwa
pertolongan Allah menyertai kamu karena ketakwaanmu dengan bertauhid,
melaksanakan Islam, beriman, dan taat.
Dan apabila diturunkan suatu surah, maka di antara mereka ada yang
berkata, “Siapa di antara kamu yang bertambah imannya dengan turunnya
surah ini?”. Adapun orang yang beriman, maka surah ini menambah
imannya, sedang mereka merasa gembira. (QS. At-Taubah 9:124)
Wa `idza ma (dan apabila). Ma pada penggalan ini mereupakan kata
penghubunga yang menguatkan karena adanya keterkaitan antara jawab dan syarat.
`Unzilat surahun (diturunkan suatu surah) di antara surah-surah al-Qur`an
yang menurut ijma' ulama berjumlah 114 surah. Surah adalah kumpulan firman Allah
Ta'ala.
Fa minhum (maka di antara mereka), di antara orang-orang munafik.
Mayyaqulu (ada yang berkata) kepada kawannya sebagai pengingkaran dan
olok-olok.
`Ayyukum (siapakah di antara kamu). Penggalan ini merupakan mubtada` dan
ayat berikutnya merupakan khabar.
Zadzathu hadzihi (yang bertambah dengan ini), dengan surah ini.
`Imanan (keimanannya). Penggalan ini merupakan maf'ul dari zadat.
Keimanan mereka dikatakan bertambah, padahal mereka sama sekali tidak beriman,
adalah membandingkan dengan keyakinan orang-orang Mu`min. Ayat ini
menunjukkan bahwa mengolok-olok termasuk ciri kemunafikan dan tanda
pengingkaran. Kemudian Allah menjawab keingkaran dan olok-olokan mereka,
Fa `ammal ladzina `amanu (adapun orang yang beriman) kepada Allah dan
kepada apa yang berasal dari sisi-Nya.
Fa zadathum `imanan (maka surah ini menambah imannya). Pertambahan ini
sesuai dengan hubungan dengan penggalan sebelumnya, tetapi derajat kekuatan dan
291
kelemahan keimanan mereka bervariasi, karena orang yang mengetahui sesuatu
secara global tidaklah sama dengan yang mengetahuinya secara terperinci,
sebagaimana orang yang melihat sesuatu dari jauh tidaklah sama dengan orang yang
melihatnya dari dekat. Wujud iman adalah membenarkan dengan hati, baik secara
global maupun terperinci. Esensi iman itu adalah ihsan, yakni kamu beribadah
kepada Allah seolah-olah kamu melihat-Nya. Kalaupun kamu tidak melihat-Nya,
sesungguhnya Allah melihatmu. Adapun esensi ihsan adalah suatu martabat di mana
Aku menjadi pendengaran dan penglihatannya (HR. Bukhari). Martabat ini diraih
dengan mendekatkan diri kepada-Nya melalui aneka amal sunnah. (Riwayat ini
merujuk pada hadits shahih Bukhari dan yang lainnya dengan redaksi, Hamba-Ku
senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan aneka amal sunnahnya hingga Aku
mencintainya. Jika Aku mencintainya, maka Aku menjadai pendengaran yang
digunakannya untuk mendengar dan Aku menjadi penglihatan yang digunakannya
untuk melihat).
Martabat ihsan yang lebih tinggi adalah yang diraih dengan mendekatkan diri
kepada-Nya melalui aneka amal wajib. Hal ini merujuk pada sabda Nabi saw., Allah
Maha Mendengar orang yang memuji-Nya.
Walhasil, Jika orang yang meyakini Ka'bah melihatnya dari jauh,
keyakinannya menjadi kokoh. Jika melihatnya dari dekat, sempurnalah
keyakinannya. Dan jika dia masuk ke dalam Ka’bah, bertambahlah kesempurnaan
keyakinannya. Namun, pokok akidahnya itu sendiri sama.
Wa hum yastabsyiruna (sedang mereka merasa gembira) karena turunnya
ayat Allah dan aneka manfaat agama dan dunia yang terkandung di dalamnya.
Dan adapun orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan
surah itu bertambah kekafiran mereka, di samping kekafirannya yang telah
ada dan mereka mati dalam keadaan kafir. (QS. At-Taubah 9:125)
Wa `ammalladzina fi qulubihim maradlun (adapun orang yang di dalam hati
mereka ada penyakit) berupa kekafiran dan akidah yang buruk. Allah menamakan
kemunafikan dengan penyakit, karena keraguan di dalam hati merupakan penyakit
hati, sebagaimana rasa sakit pada badan disebut penyakit fisik.
292
Al-Faqir berkata: Masing-masing dari penyakit hati dan penyakit fisik dapat
menyebabkan kebinasaan. Adapun penyakit lahir menyebabkan kebinasaan pada
fisik, sedangkan penyakit batin menyebabkan kebinasaan pada ruh. Karena itu
keduanya mesti diobati selaras dengan yang semestinya.
Fazadathum rijsan `ila rijsihim (maka bertambah najis mereka atas najis
yang telah ada). Dengan diturunkannya ayat ini bertambahlah kekafiran mereka atas
kekafiran yang sudah ada, dan bertambah pula aneka keyakinan batil serta akhlak
yang tercela. Perbedaan antara rijsun dan najasun adalah bahwa rijsun digunakan
pada hal-hal yang mengotori akal, sedangkan najasun digunakan pada hal-hal yang
mengotori karakter.
Wa matu wa hum kafiruna (dan mereka mati dalam keadaan kafir). Kekafiran
mereka itu abadi hingga mereka mati. Pada ayat ini Allah Ta'ala menjelaskan bahwa
dengan diturunkannya suatu surah dari langit, orang-orang beriman akan
memperoleh dua hal, yaitu bertambahnya keimanan mereka dan rasa gembira.
Adapun orang munafik memperoleh dua hal yang sebaliknya, yaitu bertambahnya
kekafiran dan mati dalam keadaan kafir.
Di dalam hadits dikatakan, Sesungguhnya dengan Kitab ini, Allah
meninggikan suatu kaum dan merendahkan kaum yang lain. (HR. Muslim). Artinya,
barangsiapa yang beriman kepada al-Qur'an dan mengagungkan urusannya serta
mengamalkannya, niscaya Allah akan meninggikan derajatnya di akhirat dan akan
memberinya rizki kemulian dan kehormatan, sedangkan barangsiapa yang tidak
beriman kepadanya, atau tidak mengamalkannya, atau tidak mengagungkan
urusannya, niscaya Allah akan menghinakannya di dunia dan di akhirat.
Dan tidakkah mereka memperhatikan bahwa mereka diuji sekali atau dua
kali setiap tahun, kemudian mereka tidak juga bertobat dan tidak pula
mengambil pelajaran? (QS. At-Taubah 9:126)
`Awala yarauna (dan tidakkah mereka memperhatikan). Hamzah pada
penggalan ini bermakna mengingkari dan menyatakan buruk. Makna ayat: orang-
orang munafik itu tidak memperhatikan dan tidak pula berpikir.
`Annahum yuftanuna fi kulli `amin marratan `au marratain (bahwa mereka
diuji sekali atau dua kali setiap tahun). Yang dimaksud dengan sekali atau dua kali
293
adalah untuk menyatakan banyak, bukan menjelaskan frekuensi kejadiannya yang
sekali atau dua kali. Maksudnya, mereka diuji dengan aneka jenis ujian seperti sakit,
penderitaan, dan sebagainya guna mengingatkan mereka akan dosa-dosanya dan
keberadaannya di hadapan Rabbul 'izzah, yang pada gilirannya dapat mendorongnya
untuk beriman kepada Allah Ta'ala.
Tsumma la yatubuna (kemudian mereka tidak juga bertobat). Penggalan ini
diathafkan pada penggalan sebelumnya yang merupakan bagian dari perkara yang
dicela dan diingkari dari diri mereka.
Wa la hum yadzdzakkaruna (dan tidak pula mereka mengambil pelajaran).
Makna ayat: Mengapa mereka tidak merenungkan ujian yang menimpa mereka yang
dapat mendorongnya untuk beriman? Mengapa mereka tidak bertobat dari
kemunafikan yang dikerjakannya dan mengapa tidak mengambil pelajaran dari aneka
ujian itu yang mendorong mereka berfikir dan bertobat? Ujian ini dapat membuahkan
kesadaran hati yang hidup, tetapi hati mereka itu mati. Hati yang mati tidak mau
kembali kepada Allah dan tidak akan terpengaruh oleh nasehat orang-orang yang
menasehati, sebagaimana Allah Ta'ala berfirman, Sesungguhnya kamu tidak dapat
menjadikan orang mati (hatinya) mendengar (QS. An-Naml 29:80). Juga Dia
berfirman, Supaya dia memberi peringatan kepada orang yang hidup (hatinya) (QS.
Yasin 36:70)
Dan apabila diturunkan satu surah, sebagian mereka memandang kepada
sebagian yang lain sambil berkata, “Adakah seorang dari orang-orang
muslimin yang melihat kamu?” Sesudah itupun mereka pergi. Allah telah
memalingkan hati mereka disebabkan mereka adalah kaum yang tidak
mengerti. (QS. At-Taubah 9:127)
Wa `idza ma 'unzila (dan apabila diturunkan satu surah). Penggalan ini
menjelaskan keadaan kaum munafik ketika sebuah surah diturunkan di majlis tempat
disampaikannya wahyu.
Nazhara ba'dlahum `ila ba'dlin (sebagian mereka memandang kepada
sebagian yang lain). Mereka saling melirik sebagai pengingkaran atas surah ini dan
mengolok-oloknya.
294
Hal yarakum min `ahadin (adakah seseorang yang melihat kamu), mereka
berbuat demikian sambil berkata, “Apakah ada seorang dari kaum Muslimin yang
melihatmu? Mereka bertanya demikian agar dapat pulang dari masjid atau majlis
tanpa terpengaruh tatkala mendengar surah itu; dan mereka tertawa terbahak-bahak,
lalu tersingkapla aib mereka.
Tsumman sharafu (sesudah itupun mereka pergi). Mereka semua pergi dari
tempat diturunkannya wahyu karena takut aibnya ditelanjangi. Makna ayat: Sebagian
mereka berkata kepada sebagian yang lain, “Adakah salah seorang di antara orang-
orang yang beriman melitmu saat kamu hendak beranjak dari majlismu?” Jika tidak
ada seorang pun yang melihatnya, niscaya kaum munafik itu akan keluar dari masjid
dan jika ada orang Mu`min melihatnya, maka mereka akan tetap berada di masjid itu
hingga Nabi saw. selesai berkhotbah, lalu mereka pergi.
Sharafallahu qulubahum (Allah telah memalingkan hati mereka) dari
keimanan selaras dengan keberpalingan mereka dari majlis itu. Penggalan ini
merupakan kalimat doa.
Bi `annahum qaumul layafqahuna (disebabkan mereka adalah kaum yang
tidak mengerti) lantaran buruknya pemahaman mereka atau mereka tidak berfikir.
Sebagian ulama berkata: Hati manusia itu ada tiga macam.
Pertama, hati yang seperti binatang. Allah Ta'ala berfirman, Mereka
mempunyai hati, tetapi tidak dipergukan untuk memahami ayat-ayat Allah (QS. Al-
A'raf 7:179).
Kedua, hati yang berada dalam tubuh manusia, tetapi ruhnya seperti ruh
setan.
Dan ketiga, hati yang berada di bawah lindungan Allah Ta'ala di hari yang
tidak ada naungan kecuali naungan-Nya.
Diriwayatkan dari Abu Bakar al-Warraq – rahimahullah - bahwa Nabi saw.
bersabda, “Hati itu mempunyai enam keadaan: hidup, mati, sehat, sakit, terjaga, dan
tidur. Hati yang hidup karena hidayah, hati yang mati karena sesat, hati yang sehat
karena kesuciannya, hati yang sakit katerena ketergantungannya kepada dunia, hati
yang terjaga adalah karena berdzikir, dan hati yang tidur karena lalai.
295
Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri,
berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan keimanan dan
keselamatan bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-
orang Mu'min. (QS. At-Taubah 9:128)
Laqad ja`akum (sesungguhnya telah datang kepadamu). Khithab pada
penggalan ini ditujukan kepada orang Arab dan semua orang asing. Makna ayat:
Demi Allah! Hai manusia, telah datang kepadamu …
Rasulun (seorang rasul). Yakni seorang rasul yang demikian tinggi
urusannya. Rasul adalah manusia yang diutus Allah Ta'ala kepada makhluk-Nya
untuk menyampaikan aneka hukum.
Min `anfasikum (dari kalanganmu sendiri), dari jenis manusia seperti kamu,
bukan dari jenis malaikat, dan bukan pula jenis lain agar mereka tidak berpaling
darinya, supaya mereka mengikutinya, dan agar mereka tidak berkata, “Kami tidak
sanggup mengikutinya karena dia bukan dari jenis kami.” Tafsiran ini ditegaskan
pula oleh firman Allah Ta'ala, Katakanlah, “Sesungguhnya aku ini hanya seorang
manusia seperti kamu” (QS. Al-Kahfi 18:110).
Mungkin pula khithab pada ayat ini dikhususkan kepada bangsa Arab,
sehingga ayat ini bermakna: “Demi Allah! Hai bangsa Arab, telah datang kepadamu
seorang rasul berkebangsaan Arab sepertimu yang menggunakan bahasamu.”
Keadaan demikian supaya lebih mengakrabkan dan lebih cepat dalam memahami
hujjah yang disampaikan Rasul, karena pemahaman hanya diperoleh dengan
mengetahui bahasa yang digunakan.
Dikisahkan bahwa ada empat orang - yakni orang asing, Arab, turki, dan
Romawi - menemukan dirham di jalan, lalu mereka berselisih pendapat. Salah
seorang dari mereka tidak mengerti dan tidak memahami perkataan yang lain. Lalu
salah seorang dari mereka bertanya kepada seseorang yang menguasai keempat
bahasa itu. Maka dia bertanya kepada orang Arab, Isy turid? (apa yang kamu
inginkan?). Kepada orang asing, Syih maikhawaahi?, misalnya. Dan tahulah si ahli
bahasa ini bahwa keinginan keempat orang itu adalah membeli anggur dengan
dirham tadi. Lalu orang yang mengetahui nilai dirham di antara mereka
296
mengambilnya dan membelikan anggur untuk mereka. Maka hilanglah perselisihan
di antara mereka.
Ada pula ulama yang membaca penggalan di atas dengan min anfasikum,
karena ia bersal dari nafasah yang berarti dari pemukamu dan orang pilihan di
antara kamu. Syaiun nafisun berarti sesuatu yang berharga.
'Azizun 'alaihi ma 'anittum (berat terasa olehnya penderitaanmu). 'Anat berarti
ditimpa urusan yang berat. Adapun urusan yang paling berat adalah masuk neraka.
Makna ayat: berat sekali dirasakan olehnya penderitaanmu. Maksudnya, kesusahan
dan penderitaan yang menimpamu karena kamu tidak beriman terasa berat olehnya;
rasul mengkhawatirkanmu mendapat balasan yang buruk dan terjerumus ke dalam
azab.
Harishun 'alaikum (sangat menginginkan bagimu). Rasul sangat
menginginkan keimanan dan keselamatan keadaanmu, sebab Nabi saw. tidak
menginginkan diri-diri mereka. Hirshun berarti sangat menginginkan sesuatu yang
disertai dengan kesungguhan.
Bil mu`minina ra`ufurrahimun (amat belas kasihan lagi penyayang terhadap
orang-orang Mu'min). Pada penggalan ungkapan yang lebih mendalam didahulukan,
yaitu kata ra`uf, karena ra`fah berarti sangat menyayangi, padahal pemberian pujian
hendaknya dilakukan secara berjenjang dari yang utama ke yang lebih utama, adalah
untuk meraih persamaan bunyi akhir. Daka kata bilmu`minin didahulukan dari
muta`allaqnya, yaitu kata ra`uf, adalah untuk mengkhususkan. Maka ayat itu
bermakna: tiada kasih sayang dan tidak pula ada rahmat kecuali kepada orang-orang
beriman. Adapun orang-orang kafir, mereka tidak akan memperoleh kasih sayang
dan rahmatnya.
Diriwayatkan bahwa setelah Abu Thalib meninggal dan kaum Quraisy dapat
menghina Nabi saw. dengan penghinaan yang belum pernah dialami semasa
hidupnya, beliau pergi ke Tha`if dengan kesedihan yang mendalam atas ejekan,
hinaan, dan pendustaan yang dilakukan kaum Quraisy dan keluarganya sendiri.
Mereka berkata, “Kamukah orang yang telah menjadikan tuhan-tuhan itu sebagai
Tuhan yang satu?” Maka Abu Bakar memukul orang yang ini dan menahan orang
297
itu seraya berkata, “Apakah kamu akan membunuh seseorang karena mengatakan
Tuhannya adalah Allah?”
Nabi saw. pergi ke Tha`if pada bulan Syawal tahun ke-10 sejak kenabiannya.
Beliau menyampaikan Islam kepada kaum Tsaqif dengan harapan agar mereka
masuk Islam dan menolongnya dalam membela Islam. Tatkala sampai di Tha`if,
beliau menjumpai para pemuka kaum Tsaqif dan menginformasikan kepada mereka
tentang al-Qur`an. Lalu salah seorang dari mereka memberi tanggapan, “Dia telah
mengunting kain Ka'bah, tetapi dia tidak merasa mencurinya”. Yang lain berkata,
“Apakah Allah tidak mendapatkan seseorang untuk diutusnya selain kamu?” Orang
yang ketiga berkata kepada beliau, “Demi Allah, aku tidak akan pernah berbicara
denganmu selamanya. Jika kamu seorang rasul dari sisi Allah, sebagaimana yang
kamu katakan, tentu terlalu tinggi kedudukanmu untuk aku jawab dengan
perkataannya. Namun, jika kam berdusta atas nama Allah, maka tidak pantas aku
berbicara denganmu.” Selanjutnya, Nabi saw. pergi meninggalkan mereka dalam
keadaan bersedih seraya berkata, “Rahasiakanlah apa yang kita bicarakan!” Beliau
berkata demikian agar pembicaraan itu tidak sampai kepada kaumnya, lalu mereka
semakin keras dalam menekannya. Mereka berkata kepada Nabi saw., “Pergilah dari
negeri kami”. Mereka memobilisasi warga Tsaqif yang awam agar mengepung
beliau, menawannya, dan meneriakinya. Maka berkerumunlah manusia dalam dua
barisan di kanan dan kiri jalan yang akan dilalui Nabi saw. Ketika beliau lewat di
antara dua barisan itu, mereka melempari kedua kaki beliau dengan batu hingga
berdarah. Setelah berhasil menyelamatkan diri, beliau pergi menuju kebun dan
berteduh di bawah pohon kurma sambil berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya aku
mengadukan kepada-Mu akan lemahnya kekuatanku dan minimnya usahaku serta
ketidakmampuanku dalam menghadapi manusia. Wahai Zat Yang Maha Pengasih,
Engkau adalah Rabb orang-orang yang lemah, Engkau adalah Rabb-ku, siapa lagi
yang akan melindungiku? Jika Engkau tidak murka kepadaku, maka legalah hatiku”.
Beliau melanjutkan perjalannya dalam kesedihan yang mendalam hingga
sampai di Qarnu al-Tsa'alib, yakni miqat bagi penduduk Nejed atau Yaman.
Adapun jarak antara miqat itu dan Mekah selama perjalanan sehari semalam.
Kemudian Allah Ta'ala mengutus Jibril yang disertai malaikat yang mengurus
298
gunung. Malaikat berkata, “Jika kamu menghendaki, aku akan menjatuhkan kedua
gunung ini kepada Bani Tsaqif.” Rasulullah saw. bersabda, “Tidak, tetapi aku
berharap semoga Allah mengeluarkan dari tulang sulbi mereka keturunan yang
menyembah Allah Ta'ala dan tidak menyekutukan-Nya dengan apa pun”. Setelah
beliau berkata demikian, malaikat yang menangani gunung berkata kepadanya,
“Engkau sebagaimana disebut Tuhammu, “Amat belas kasihan lagi penyayang”.
Jika mereka berpaling dari keimanan, maka katakanlah, “Cukuplah Allah
bagiku; tidak ada Ilah selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakal, dan
Dia adalah Tuhan yang memiliki 'Arsy yang agung”. (QS. At-Taubah 9:129)
Fa `in tawallau (jika mereka berpaling). Penggalan ini menghibur Rasulullah
saw. Makna ayat: Jika mereka berpaling dari beriman kepadamu dan tidak menerima
nasehatmu serta tidak mengikutimu ...
Faqul hasbiyallahu (maka katakanlah, “Cukuplah Allah bagiku). Dia yang
akan mencukupi diriku karena Dia yang akan membalas mereka atas aneka
keburukan yang ditimpakan kepadamu dan Dia akan membantumu dalam
menghadapi mereka. Ayat ini menunjukkan bahwa penyampaian risalah oleh Nabi
saw. mesti mendorong manusia untuk mendekatkan dirinya kepada Allah dan
menerimanya.
La `ilaha illa huwa (tidak ada Ilah selain Dia). Tidak ada yang patut
disembah dengan hak selain Allah dan tidak ada Tuhan selain Dia
'Alaihi tawakkaltu (hanya kepada-Nya aku bertawakal). Hanya kepada-Nya
aku menyandarkan kepercayaan. Maka aku tidak berharap dan tidak pula takut
kecuali hanya kepada-Nya. Tawakal berarti menyandarkan hati kepada Allah; tenang
serta tidak gelisahnya hati karena bergantung kepada Allah.
Wa huwa rabbul 'arsyil 'azhimi (dan Dia adalah Tuhan yang memiliki 'Arsy
yang agung). Dia Pencipta singgasana yang agung, yang lebih besar daripada langit
dan bumi. Di sini ‘Arasy dikhususkan bagi ketuhanan-Nya karena jika Dia adalah
Tuhan ‘Aarasy yang agung, di samping keagungan-Nya itu sendiri, maka tuhan
selain Dia tiada apa-apanya. Dikatakan: 'Arys disebutkan secara khusus tiada lain
kecuali untuk memuliakannya dan mengagungkan urusannya.
299
Dan tentang aneka keutamaan kedua ayat terakhir ini, terdapat kisah yang
diriwayatkan dari orang saleh bahwa dia ditimpa kesulitan yang hebat. Lalu dia
mimpi bertemu Nabi saw. dan beliau bersabda kepadanya, “Hai fulan, janganlah
kamu gelisah dan jangan pula bersedih. Jika hari esok tiba, temuilah seorang menteri
yang bernama Ali bin Isa, lalu ucapkanlah salam dan katakanlah kepadanya, “Karena
engkau bersalawat kepadaku sebanyak seribu kali, maka kamu diberi seratus dinar.”
Maka tatkala pagi tiba, dia pergi menjumpainya dan menceritakan mimpinya
bertemu Nabi saw. kepadanya. Kemudian kedua mata Ali bin Isa berlinang, lalu
berkata, “Maha Benar Allah dan Rasul-Nya, kamu benar, hai fulan.” Ini adalah
kebenaran yang hanya diketahui Allah dan rasul-Nya. Hai pelayan, bawalah kantong
uangku.” Dia membawanya ke hadapannya. Selanjutnya, Ali mengeluarkan tiga
ratus dinar, seraya berkata, “Ini seratus dinar yang dikatakan Rasulullah saw. dan ini
seratus dinar lagi untukmu sebagai pembawa kabar gembira ini serta ini seratus dinar
lagi sebagai hadiah bagimu”. Kemudian orang itu perdi dari hadapannya dengan
membawa tiga rasus dinar dan hilanglah kesulitan dan kecemasannya.
Allah memberi karunia kepada menteri tersebut, lalu dia meninggalkan
kementrian dan ketinggian jabatannya serta keagungan kekuasaannya. Dia pergi ke
Mekah dan tinggal di dekatnya dengan keberkahan shalawat kepada Nabi saw. dan
diistimewakannya dengan mengutus orang itu. Hal ini sebagai ketentuan yang telah
ditetapkan dalam ilmu Allah, yaitu kehidupannya akan berakhir dengan kebaikan dan
husnul khatimah.
Dan ketahuilah bahwa berbagai hadits yang diriwayatkan oleh pengarang al-
Kasyaf, yang juga diikuti oleh al-Qadli al-Baidlawi dan Al-Maala Abu Su'ud
berkenaan dengan keutamaan akhir surah ini, telah banyak dibicarakan oleh para
ulama. Di antara ulama, misalnya Imam as-Shafi dan yang lainnya, ada yang
menetapkannya dan ada pula yang menegasikannya selaras dengan konteks hadits.
Jika hadits itu sahih dan kuat, maka tidak perlu diperbincangkan lagi. Namun, jika
sanadnya dla’if, para ahli hadits sepakat bahwa hadits dla'if boleh diamalkan dalam
hal targhib (anjuran) dan tarhib (menakut-nakuti) saja, sebagaimana yang terdapat
dalam al-Adzkar karangan Imam Nawawi. Jika hadits-hadits itu ma'udlu', maka al-
Hakim dan yang lainnya meriwayatkan bahwa seseorang yang zuhud telah bekerja
300
menyusun hadits-hadits tentang fadlilah al-Qur`an dan surat-suratnya, lalu dia
ditanya, “Mengapa kamu melakukan hal ini?” Dia menjawab, “Aku melihat orang-
orang tidak menyukai al-Qur`an. Karena itu, aku hendak memotivasi mereka”. Lalu
dikatakan kepadanya, “Sesungguhnya Nabi saw. bersabda, Barangsiap yang
berdusta atas namaku secara sengaja, maka bersiaplah untuk bertempat tinggal di
neraka”. Lapadz hadits ini berupa perintah, sedang maknanya merupakan berita.
Maksudnya, Allah menempatkannya pada tempat duduk di neraka. Lalu orang itu
berkata, “Aku berdusta demi keuntungannya, bukan kerugiannya.” Yang benar
adalah bahwa berdusta tidak boleh dilakukan dengan dalih apa pun, karena akan
menghancurkan sendi-sendi Islam, merusak syari'ah, dan menghancurkan berbagai
hukum. Dan hal demikian semata-mata disebabkan kebodohan orang yang tidak
mengerti aneka hukum syari'ah, karena berdusta itu haram, baik karena untuk
menganjurkan atau menakut-nakuti.
301