fh.unram.ac.id€¦ · Web viewHukum mempunyai arti yang sangat penting dalam aspek kehidupan...
Transcript of fh.unram.ac.id€¦ · Web viewHukum mempunyai arti yang sangat penting dalam aspek kehidupan...
i
JURNAL
PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA DENGAN KEKERASAN MELAKUKAN PERSETUBUHAN PADA ANAK
PUTUSAN NOMOR 99/PID.SUS.PA/2016/PN.MTR
OLEH:
RIDHO WAHYU AKBAR
D1A014480
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MATARAM
MATARAM
2018
PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA DENGAN KEKERASAN MELAKUKAN PERSETUBUHAN PADA ANAK
(STUDI PUTUSAN NOMOR: 99/PID.SUS.PA/2016/PN.MTR)Ridho Wahyu Akbar
D1A014280Fakultas Hukum Universitas Mataram
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan sanksi pidana yang akan diterapkan dalam tindak pidana dengan kekerasan melakukan persetubuhan pada anak (No. Putusan: 99/PID.SUS.PA/2016/PT.MTR) dan untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam mengadili putusan pengadilan tindak pidana dengan kekerasan melakukan persetubuhan pada anak (No. Putusan: 99/PID.SUS.PA/2016/PT.MTR).Jenis penelitian hukum ini adalah penelitian hukum normatif. Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan perundang-undangan, metode konseptual, dan metode kasus. Hal ini bahwa : Pertama, penerapan sanksi pidana terhadap kekerasan melakukan persertubuhan terhadap anak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan hukuman yang diberikan sudah dengan maksimal. Kedua, pertimbangan hakim dalam memutuskan tindak pidana mengenai kekerasan melakukan persetubuhan pada anak.
Kata Kunci : Penerapan, Sanksi Pidana, Kekerasan, Persetubuhan, Anak.
APPLICATION CRIMINAL SANCTIONSTO CRIMINAL ACTORSWITH VIOLENCE DOING INTERCOURSE IN CHILDREN(STUDY DECISION: 99/PID.SUS.PA/2016/PN.MTR)
ABSTRACT
The purpose of this research is to know the application of criminal sanction which will be applied in criminal act with violence of doing to the child (No. Decision: 99 / PID.SUS.PA / 2016 / PT.MTR) and to know judge's consideration in adjusing judicial decision criminal offense by violently engaging in sexual intercourse with a child (No. Decision: 99 / PID.SUS.PA / 2016 / PT.MTR). This type of legal research is normative legal research. Method of approach used in this research is method of approach of legislation, conceptual method, and case method. This is the case: First, the application of criminal sanctions against violence in childcare in accordance with the applicable laws and the maximum sentence. Secondly, judges' consideration in deciding criminal acts of violence engages in sexual intercourse with the child.
Key Words : Application, Criminal Sanctions, Violence, Intercourse, Children
i
I. PENDAHULUAN
Negara Indonesia merupakan Negara hukum yang berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945, yang mengatur segala kehidupan
masyarakat Indonesia. Hukum mempunyai arti yang sangat penting dalam
aspek kehidupan sebagai pedoman tingkah laku manusia dalam hubungannya
dengan manusia lain.Hukum merupakan suatu norma atau kaidah yang
memuat aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan yang menjamin hak dan
kewajiban perorangan maupun masyarakatmemerlukan berbagai macam
aturan sebagai pedoman hubungan kepentingan perorangan maupun
kepentingan masyarakat.
Semua hubungan tersebut diatur oleh hukum, semuanya adalah hubungan
hukum (rechtsbetrekkingen). Maka untuk itulah dalam mengatur
hubungan-hubungan hukum pada masyarakat diadakan suatu kodifikasi
hukum yang mempunyai tujuan luhur yaitu menciptakan kepastian hukum dan
mempertahankan nilai keadilan dari subtansi hukum tersebut.Sekalipun telah
terkodifikasi, hukum tidaklah dapat statis karena hukum harus terus
menyesuaikan diri dengan masyarakat, apalagi yang berkaitan dengan hukum
publik karena bersentuhan langsung dengan hajat hidup orang banyak dan
berlaku secara umum.
Sebuah pro dan kontra atau pertentangan pendapat yang masih terus
berlangsung dalam hukum sebagaimana tersebut di atas ialah mengenai
ii
keberadaan lembaga pidana mati baik dalam kedudukan sebagai hukum
positif maupun dalam upaya pembaharuan hukum pidana sebagai bagian dari
hukuman (pidana) untuk mensejahterahkan rakyat terutama manusa yang
rentan atas kejahatan yaitu perempuan dan anak.
Anak adalah anugerah Tuhan yang Maha Esa yang mana mereka harus
dilindungi harkat dan martabatnya serta dijamin hak-haknya agar anak
terhindar dari objek (sasaran) kejahatan yang dilakukan oleh orang dewasa
maupun anak.Perlu diperhatikan bahwa pada zaman modern ini anak sangat
banyak dijadikan objek kejahatan karena anak sangat rentan dilakukan oleh
orang dewasa yang tidak manusiawi dan sewenang-wenangnya.Anak harus
dilindungi karena anak merupakan generasi bangsa penerus cita-cita bangsa
yang harusnya dirawat, diasuh, dididik dan dijaga sebaik sebaiknya dan agar
mereka tumbuh sehat dan berkembang secara sehat jiwa dan raga.Hal ini perlu
diperhatikan agar di kemudian hari anak bukan generasi yang hilang.1
Sasaran kejahatan terhadap anak telah dibahas dalam beberapa pertemuan
skala Internasional yang antara lain adalah Deklarasi Jenewa Hak-Hak Anak
tahun 1924 yang diakui dalam Unversal Declaration of Human Right tahun
1948. Pada tanggal 20 November 1958, Majelis Umum PBB (Perserikatan
Bangsa Bangsa) Mengesahkan Declaration of the Right the Child (Deklarasi
Hak-Hak Anak).2Sebagai implementasi dari deklarasi tersebut Indonesia
1Abu Huraerah, Kekerasan Terhadap Anak, (Bandung Nusantara, 2006) hlm. 182 Muliadi, Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana (Bandung : Alumni
1992)hlm.108
iii
menuangkan penyelenggaraandan/atau meratifikasikan Perlindungan Anak
melalui Undang-Undang nomor 4 Tahun 1974 tentang Kesejahteraan Anak.
Pada Declaration of the right of the child banyak instrumen dan
rekomendasi yang belum diperhatikan lebih signifikan dalam memberikan
Perindungan hak-hak anak. Deklarasi Wina tahun1993 yang dihasilkan oleh
konfrensi dunia tentang HAM (Hak Asasi Manusia), kembali mengemukakan
prinsip “first call of children,” yang menekankan pentingnya bahwa upaya-
upaya nasional dan Internasional untuk memajukan hak-hak anak atas
“survival protection, development a participation.”3
rumusan masalah dari penelitian ini yaitu bagaimana penerapan sanksi pidana
bagi pelaku tindak pidana dengan kekerasan melakukan persetubuhan pada
Anak (No. Putusan:99/PID.SUS.PA./2016/PT.MTR) dan bagaimanakah
pertimbangan hakim dalam putusan pengadilan tingkat banding bagi pelaku
dalam tindak pidana dengan kekerasan melakukan persetubuhan pada Anak
(No. Putusan: 99/PID.SUS.PA/2016/PT.MTR). Tujuan yang akan dicapai
dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui pemerapan sanksi pidana yang
akan diterapkan dalam tindak pidana dengan kekerasan melakukan
persetubuhan pada anak (No. Putusan: 99/PID.SUS.PA/2016/PT.MTR).
II. PEMBAHASAN
3Hartuti Hartikusunowo, Tantangan dan Agenda Hak Anak, www.portalhukum.com hlm. diakses 1 April jam 09.30 wib
iv
Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Dengan
Melakukan Kekerasan Persetubuhan Pada Anak Pada Putusan
Pengadilan Tinggi Mataram (99/PID.SUS.PA/2016/PT.MTR)
Dalam persidangan pada kasus tindak pidana kekerasan persetubuhan pada
anak di Pengadilan Tinggi, dengan terdakwa bernama Ram Jafar, dimana
terdakwa dituduhkan telah melakukan perbuatan pidana yaitu tindak pidana
dengan kekerasan melakukan persetubuhan pada anak. Dalam dakwaannya
tertanggal 6 September 2016 dengan Reg. Perk Nomor : PDM.
140/MTR/58/2016, penuntut umum membuat dan menyusun dakwaan dalam
bentuk Subsidair, yaitu: a. Kesatu Pasal Pasal 81 (1) jo. Pasal 76D Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 dan; b. Kedua
Pasal Pasal 81 (2) jo. Pasal 76E Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 23 Tahun 2002.
Berdasarkan keterangan di atas penyusun berpendapat bahwa surat
dakwaan penuntut umum telah sesuai dengan perundang-undangan yang
berlaku yang mana didakwakan Pasal 80 ayat (1) jo. Pasal 76D Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2014 perubahab atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang unsur- unsur dari pasal yang
didakwakan telah terpenuhi. Dan penerpan pidana pada Terdakwa Ram Jafar
adalah penerapan pidana yang tidak sama dengan tindak pidana yang sama
yang mana tindak pidana yang tingkat berbahayanya yang bisa diperbandingan
v
dengan tindak pidana yang lain tanpa disetai pertimbangan atau penalaran
yang akurat dari hakim yang menangani perkara tersebut.
Berdasarkan surat tuntutan jaksa penuntut umum agar majelis
hakim memeriksa dan mengadili sebagai berikut a. Menyatakan terdakwa
Ram Jafar Alias Tebok Alias Muksin telah terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana persetubuhan yang dilakukan
terhadap anak di bawah umursebagaimana diatur dan diancam pidana dalam
Pasal 81 (1) jo. Pasal 76D UU RI nomor 35 Tahun 2014 Perbuahan atas UU
RI nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan Pasal 81 Ayat (2)
jo. Pasal 76E UU nomor 35 Tahun 2014 Perubahan atas UU RI nomor 23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, b. menjatuhkan pidana terhadap
Ram Jafar Alias Tebok Alias Muksin dengan pidana penjara selama 15 (lima
belas) Tahun dengan dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan
sementara dan denda Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah), Subsidair 3
(tiga) bulan kurungan
Berdasarkan uraian diatas Penyusun berpendapat dakwaan jaksa penuntut
umum kepada terdakwa Ram Jafar telah sesuai dengan Peraturan Perundang-
Undangan yang berlaku di Indonesia yaitu Pasal 80 Ayat (1) jo. Pasal 76D
dan Pasal 81 Ayat (2) jo. Pasal 76E Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak yang mana terdakwa Unsur-Unsurnya telah terpenuhi dan tidak ada
cacat psikologis dalam diri terdakwa. Dan tuntutan Jaksa Penuntut Umum
vi
kepada terdakwa telah sesuai dengan perundang-Undangan yang berlaku di
Indonesia.
Dalam Pasal 193 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) disebutkan bahwa: “Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa
bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka
pengadilan menjatuhkan pidana”.
Amar putusan yang berbunyi :
“ Menjatuhkan Pidana kepada Terdakwa Ram Jafar selama delapan (8) Tahun dan denda sebesar Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar akan diganti dengan pidana kurungan selama tiga (3) bulan.”
Berdasarkan amar putusan tersebut Penyusun berpendapat Hakim
dalam menjatuhkan pidana penjara kepada terdakwa Ram Jafarmenggunakan
pola pemidanaan secara kumulitatif-alternatif delik-delik tertentu yang dapat
ditentukan minimum khususnya, yang mana dimaksud pada delik-delik
tersebut adalah delik-delik yang membahayakan, merugikan, atau meresahkan
masyarakat sehinngga hakim dalm menjatuhkan putusannya belum
mempunyai acuan dalam kewenangan kebebasan yang dimiliki hakim, jadi
Hakim dalm menjatuhkan hukuman pidana penjara kepada Terdakwa Ram
Jafar dilihat dari masa lalunya yang telah dijatuhkan hukuman sebelumnya
pasa kasus atau perkara yang sama yaitu persetubuhan pada anak. Hukuman
pidan penjara yang dikenakan kepada Terdakwa Ram Jafar yaitu hukuman
maksimal dari delik-delik tertentu yaitu Pasal 81 Ayat (1) jo. Pasal 76D
vii
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Dalam penerapannya, suatu putusan pidana yang dijatuhkan oleh
hakim dapat membawa dampak luas, tidak hanya bagi pelaku tindak pidana
yang bersangkutan, akan tetapi juga bagi korban dan masyarakat. Hal ini
dalam proses penjatuhan pidana, disamping bersentuhan dengan aspek yuridis
juga didalamnya terkait dengan aspek sosiologi dan aspek filosofis. Akhirnya
banyak timbul wacana diantara para pemerhati hukum, bahwa untuk
penjatuhan pidana pada delik delik terntentu, manakah yang harus lebih
diprioritaskan antara kepentingan perlindungan masyarakat di satu pihak,
dengan pembinaan individu pelaku tindak pidana di lain pihak. Hal ini
merupakan aksi dan sikap kritis terhadap “beragamnya” yang sudah
diputuskan oleh suatu lembaga peradilan terhadap tindak pidana perkara-
perkara tertentu. Dari persoalan tersebut adalah munculnya disparitas pidana
yang berasal dari hakim yang menjatuhkan putusan pidana dan dari kelamahan
hukum positif (peraturan perundang-undangan).
Disparitas pidana (disparity of sentencing) adalah penerapan
pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang sama (same offence) atau
terhadap tindak-tindak pidana yang sifatnya berbahayanya dapat
diperbandingkan (offences of comfarable) tanpa dasar pembenaran yang jelas.4
Berdasarkan Penjelasan diatas hukuman minimalnya 5 (lima) Tahun dan
4 Hartai, Evi. Op .Cit. hlm. 33
viii
hukuman Maksimalnya 15 (lima belas) Tahun, Jadi hakim dalam menjatuhkan
hukuman pada Terdakwa Ram jafar pada kejahatan sebelumnya yaitu
hukuman pidana penjara maksimal 15 Tahun. Sehingga hakim yang
menjatuhkan hukuman pidana penjara pada putusan Nomor:
99/Pid.Sus.Pa./2016/PT.Mtr yaitu selama 8 Tahun dari keterangan di atas
karena Hakim mempunyai kewenangan dalam menjatuhkan hukumannya yang
mana kewenanganya mengakumulasi dari hukuman kepada terdakwa Ram
Jafar sebelumnya jadi Hakim tidak menjatuhkan pidana maksimal dari delik
delik terntentu yang dikenakan kepada terdakwa yaitu 15 (lima belas) Tahun
pada Pasal 81 Ayat (1) jo. Pasal 76 D yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum
kepada Terdakwa Ram Jafar untuk mendapatkan kepastian hukum kepada
masyarakat dan para korban serta memenuhi rasa keadilan dalam menjatuhkan
hukuman kepada terdakwa. Dan Terdakwa merupakan pelaku Residive
merupakan pengulangan perbuatan pidana pada kejahatan yang sama maupun
tidak. Sehingga ini menjadi dasar atau acuan hakim dalam penerapan pidana
kepada terdakwa atau alasan pembenar dalam pertimbangannya.
Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Sanksi PidanaPada
PelakuTindak Pidana Persetubuhan Terhadap Anak Pada Perkara
Putusan Nomor: 99/Pid.Sus.Pa/2016/PT.MTR.
Hakim dalam pemeriksaan perkara pidana berusaha mencari dan
membuktikan kebenaran materiil berdasarkan fakta yang terungkap dalam
persidangan, serta berpegang teguh pada apa yang dirumuskan dalam surat
dakwaan penuntut umum. Berdasarkan posisi kasus sebagaimana telah
ix
diuraikan diatas, maka dapat disimpulkan telah sesuai dengan ketentuan baik
hukum pidana formil maupun hukum pidana materiil dan syarat dapat
dipidananya seorang terdakwa, hal ini didasarkan pada pemeriksaan dalam
persidangan, dimana alat bukti yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum,
termasuk didalamnya keterangan saksi saling berkesesuaian ditambah
keterangan terdakwa yang mengakui secara jujur perbuatan yang
dilakukannya. Oleh karena itu, Hakim Pengadilan Tinggi Mataram
menyatakan bahwa unsur perbuatan terdakwa telah mencocoki rumusan delik
yang terdapat dalam dakwaan pertama yaitu Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Jo. Pasal 60 KUHP.
Adapun unsur - unsur tindak persetubuhan yang diatur dalam Pasal 81 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak sebagai
berikut : a) Menerima Permohonan banding dari Jaksa Penuntut Umum
tersebut;b) Memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Mataram Nomor :
326/Pid.Sus./2016/PN.Mtr., tanggal 4 oktober 2016 sepanjang pidana yang
dijatuhkan sebagai berikut: Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa Ram Jafar
alias Muksin alias Tebok selama 8 (delapan) Tahun dan denda sebesar Rp.
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dengan ketentuan apabila denda tidak
dibayar diganti dengan pidana kurungan sebesar 3 (tiga) bulan; c) Menguatkan
putusan selain dan selebihnya; d) Membebankan kepada Terdakwa untuk
membayar biaya perkara dalam dua tingkat Peradilan, yang dalam tingkat
banding sebesar Rp. 2.500,00 (dua ribu lima ratus rupiah).
x
Pertimbangan hukum Majelis Hakim dalam memutus perkara harus
mencerminkan rasa keadilan masyarakat, yakni tidak hanya berdasarkan
pertimbangan yuridis tetapi terdapat juga pertimbangan sosiologis, yang
mengarah pada latar belakang terjadinya kejahatan. Pandangan masyarakat
terhadap perbuatan yang dilakukan terdakwa juga harus menjadi pertimbangan
hakim karena perbuatan terdakwa merupaka perbuatan yang dibenci oleh
masyarakat, sehingga apabila telah selesai menjalani hukumannya, masyarakat
akan memandang terdakwa sebagai penjahat. Penjatuhan Pidana diharapkan
agar terdakwa atau orang yang melakukan perbuatan tersebut akan takut
melakukan perbuatan itu karena dengan adanya ancaman hukuman tersebut
tidak akan melakukan perbuatan hal semacam tersebut.
Majelis hakim harus mempunyai keyakinan dalam memutus
perkara dengan cara mendengarkan keterangan saksi-saksi, terdakwa dan alat
bukti, serta menciptakan rasa keadilan bagi masyarakat. Berdasarkan Putusan:
99/Pid.Sus.PA/2016/PT.Mtr. menyatakan bahwa terdakwa Ram Jafar terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana persetubuhan
terhadap anak secara berlanjut. Maka terdakwa dijatuhi hukuman pidana
penjara selama 8 (delapan) tahun dan denda Rp. 1000.000.000,00 (satu miliar
rupiah) dengan ketentuan apabila pidana denda tidak dibayar diganti dengan
pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan. Dengan demikian perbuatan terdakwa
adalah perbuatan yang melawan hukum dan tidak ada alasan pembenar.
Terdakwa juga adalah orang yang menurut hukum mampu bertanggung jawab
dan terdakwa melakukan perbuatannya dengan sengaja serta tidak ada alasaan
xi
pemaaf. Sehingga dengan demikian putusan hakim yang berisikan sanksi
pemidanaan sudah tepat. Sanski tersebut di berikan untuk memberikan efek
jera, agar terdakwa menyesali perbuatannya dan tidak mengulangi
perbuatannya dikemudian hari. Majelis Hakim menjatuhkan sanksi kepada
terdakwa dengan hukuman penjara 8 (delapan) tahun dan denda Rp.
1000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dengan ketentuan apabila pidana denda
tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan, karena
dalam Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 perubahan
atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yaitu
mengatur pidana maksimal 15 tahun penjara dan minimal 3 tahun penjara,
sehingga dalam hal ini Majelis Hakim tidak dapat menjatuhkan sanksi pidana
dibawah 3 tahun penjara. Pertimbangan Majelis Hakim adalah hal yang sangat
penting dalam menjatuhkan sanksi terhadap terdakwa, seorang Hakim
haruslah memutus perkara dengan pertimbangan yang berasal dari hati nurani
dan pikiran agar dapat menghasilkan putusan yang seadil-adilnya. Bahwa
sebelum menjatuhkan putusan terhadap terdakwa, terlebih dahulu Majelis
Hakim harus mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan
terdakwa sehingga putusan yang di jatuhkan dapat mencapai rasa keadilan
dalam masyarakat.
Pertimbangan yang bersifat yuridis adalah pertimbangan hakim yang
didasarkan faktor-faktor yang terungkap dalam persidangan dan oleh
Undang-Undang telah ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat dalam
xii
putusan. Berikut adalah pertimbangan secara yuridis dalam putusan nomor
99/PID.SUS.PA/2016/PT.MTR
xiii
III. PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka penulis
menyimpulkan beberapa hal diantaranya adalah sebagai berikut yaitu
penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana dengan kekerasan
melakukan persetubuhan pada Anak dengan Pasal 76D jo. Pasal 81 ayat (1)
UU No. 35 Tahun 2014 perubahan atas Undang Undang Nomor 23 Tahun
2002 Tentang Perlindungan Anakoleh Hakim terhadap tindak pidana
persetubuhan terhadap anak telah sesuai dantelah memenuhi unsur-unsur yang
ada. Serta selama pemeriksaan di persidangan tidak ditemukan alasan-alasan
penghapusan pertanggungjawaban pidana baik alasan pembenar maupun alasan
pemaaf, sehingga terdakwa dinyata mampu bertanggungjawab dan harus
mendapatkan sanksi yang setimpal atasperbuatannya setra terdakwa merupakan
residive, sehingga di hukum seberat-beratnya yang timbul efek jera kepada
terdakwa.
Pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan Putusan Tingkat Banding
pidana pada pelaku tindak pidana persetubuhan terhadap anak dalam studi
kasus Putusan PT: 99/Pid.Sus.PA/2016/PT.Mtr telah sesuai dengan ketentuan
dalam Pasal 183 KUHAP yakni sekurang- kurangnya dua alat bukti ditambah
keyakinan Hakim. Alat bukti dalam kasus ini yaitu keterangan saksi, surat dan
keterangan terdakwa yang saling bersesuaian, sehingga. Majelis Hakim
memperoleh keyakinan bahwa terdakwa pidana
14
xiv
persetubuhan terhadap anak. Serta Hakim telah mempertimbangkan hal-hal
yang memberatkan danhal hal yang meringkan terdakwa sehingga hak dan
kewajiban Terdakwa terpenuhi diproses Peradilan dalam peradilan pidana pada
umunya dan khususnya pidana anak.
Saran
Berdasarkan kesimpulan tersebut, maka penulis menyarankan beberapa hal
yaitu diharapkan kepada para penegak hukum agar lebih memperhatikan duduk
perkara yang berkaitan dengan perbuatan persetubuhan terlebih jika yang
menjadi korban adalah anak. Sebab unsur-unsur dalam setiap tindak pidana
persetubuhan bisa saja menjadi dasar penjatuhan hukuman yang lebih berat
bagi pelaku. Anak sebagai korban tindak pidana persetubuhan harus
mendapatkan perhatian yang lebih khusus dari orang tua dan orang-orang di
lingkungan sekitarnya agar anak tersebut tetap percaya diri serta
dapatberprestasi dan diharapkan para orang tua agar lebih memperhatikan dan
meningkatkan pengawasan terhadap anak.
xv
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Chandra, Septa dan Jans Crijins. 2012. Hukum Dalam Perspektif. Denpasar: PustakaLarasan
Chazawi, Adami. 2010. Pelajaran Hukum Pidana I Cetakan Lima. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Hamza, Andi. 1985. Sistem pemidanaan Indonesia Retribusi Ke Reformasi. Bandung: Praditya Paramita
Hartai, Evi. 2008. Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika
Hurairah, Abu. 2006. Kekerasan Terhadap Anak. Bandung: Bandung Nusantara
Gultom, Maidin. 2010. Perlindungan Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia. Bandung : Refika Aditama
Lamintang. 1997. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti
Marpaung, Leden. 2015. Asas Teori Peraktik Hukum Pidana Cetakan Lima. Jakarta:Sinar Grafika
Marzuki, Mahmud. 2005. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenda Media Grup.
Moelajtno. 2008. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rhineka Cipta
Muliadi dan Barda Nawawi Arief. 1992. Bunga Rampai Hukum Pidana. Bandung:Alumni 1992
Nawawi, Barda Arif. 2000. Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Pawennei, Mulyati dan Rahmanudin Toemalili. 2015. Jakarta: Mitra Wacana Media
Poernomo, Bambang. 2008. Asas-Asas Hukum Pidana Edisi Revisi. Jakarta: Rhineka Cipta
xvi
----------. 1993. Asas-Asas Hukum Pidana Seri Hukum Pidana I. Jakarta: Ghali Indonesia
Reksodipuro,Marjono. 2010.Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana
KumpulanKarangan Kedua. Jakarta: Pusat Pelayanan dan
Pengabdian Lembaga Krimonolgi Universitas Indonesia.
Rifai, Ahmad. 2010. Penemuan Hukum. Jakarta: Sinar Garfika
Rusli, Muhammad. 2007. Hukum Acara Pidana Kontemporer. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Soekanto, Soejono Dan Sri Muliadi. 2001. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Waluyadi. 2009. Hukum Perlindungan Anak. Bandung: Mandar Maju.
Peraturan Perundang-Undangan
Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Indonesia, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. LN 58 Tahun 1958
Indonesia, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012. Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. LN 109 Tahun 2002
Indonesia, Undang-Undang 35 Tahun 2014 Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 23Tahun 2002. Tentang Perlindungan Anak. LN Nomor 297 tahun 2014
Indonesia, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak. LN Nomor 53 Tahun 1974.