FASILITASI PERKAWINAN BEDA AGAMA OLEH LEMBAGA SOSIAL...
Transcript of FASILITASI PERKAWINAN BEDA AGAMA OLEH LEMBAGA SOSIAL...
-
FASILITASI PERKAWINAN BEDA AGAMA OLEH
LEMBAGA SOSIAL
(Study Kasus Terhadap Percik Salatiga )
SKRIPSI
Disusun untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Syari’ah (S. Sy)
Oleh:
AZZA FAIQ HAMAM
NIM 21108023
JURUSAN SYARI’AH
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSYIYYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
SALATIGA
2013
-
KEMENTERIAN AGAMA RI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA
Jl. Tentara Pelajar 02 Telp (0298) 323706 Fax 323433 Kode Pos 50721 Salatiga
http//www.stainsalatiga.ac.id e-mail: [email protected] Ilyya Muhsin, S.HI, M.Si Dosen STAIN Salatiga PERSETUJUAN PEMBIMBING Lamp : 4 (empat) eksemplar Hal : Pengajuan Naskah Skripsi
Saudara Azza Faiq Hamam Kepada Yth, Ketua STAIN Salatiga di Salatiga
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Setelah Kami meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, maka bersama ini Kami kirimkan naskah skripsi saudara: Nama : Azza Faiq Hamam NIM : 21108023 Jurusan : Syari’ah Program studi : Ahwal Al-Syakhsiyyah Judul : Fasilitasi Perkawinan Beda Agama Oleh Lembaga
Sosial (Study Kasus Terhadap Percik Salatiga )
Dengan ini kami mohon skripsi saudara tersebut di atas supaya segera dimunaqosyahkan. Demikian agar menjadi perhatian. Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Salatiga, 19 Februari 2013 Pembimbing, Ilyya Muhsin, S.HI, M.Si NIP. 197909302003121001
-
SKRIPSI
FASILITASI PERKAWINAN BEDA AGAMA OLEH
LEMBAGA SOSIAL
(Studi Kasus Terhadap Percik Salatiga)
DISUSUN OLEH
AZZA FAIQ HAMAM
NIM: 21108023
Telah dipertahankan di depan Panitia Dewan Penguji Skripsi Jurusan Syari’ah, Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)
Salatiga, pada tanggal 6 Maret 2013 dan telah dinyatakan memenuhi syarat guna memperoleh gelar sarjana S1 Syari’ah
Susunan Panitia Penguji
Ketua Penguji : Drs. Miftahudin, M.Ag
Sekretaris Penguji : Muna Erawati, M.Si
Penguji I : Drs. Mubadirun, M.Ag
Penguji II : Dra. Siti Zumrotun, M.Ag
Penguji III : Ilyya Muhsin, S.H.I, M.Si,
Salatiga, 6 Maret 2013 Ketua STAIN Salatiga
Dr. Imam Sutomo, M.Ag NIP.1958082719830310002
-
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Azza Faiq Hamam
NIM : 21108023
Jurusan : Syari’ah
Program Studi : Ahwal Al-Syakhsiyyah
Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya
saya sendiri bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan
orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode
etik ilmiah.
Salatiga, Februari 2013
Yang Menyatakan,
Azza Faiq Hamam
21108023
-
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO
" Sebaik-baik manusia di antaramu adalah yang paling
banyak manfaatnya bagi orang lain " ( HR. Bukhari ).
Persembahan
Untuk Bapak dan ibuku Untuk Saudara-Saudaraku
Untuk temen-teman terbaikku,
-
ABSTRAK
Faiq Hamam, Azza. 2013. Fasilitasi Perkawinan Beda Agama Oleh Lembaga Sosial (Studi Kasus Terhadap Percik Salatiga). Skripsi. Jurusan Syari’ah. Program Studi Ahwal Al-Syakhsyiyyah. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga.
Kata kunci: Fasilitasi, Perkawinan, beda agama, dan Percik.
Perdebatan hukum tentang perkawinan beda agama sudah berlangsung sejak lama sehingga menimbulkan pemikiran yang baru tentang keabsahan suatu perkawinan. Melalui Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 2 ayat 1 menyatakan bahwa keabsahan suatu perkawinan tergantung pada agama. Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 40 dan 41 telah melarang adanya perkawinan beda Agama namun jika perkawinan tersebut tetap dilakukan maka perkawinan itu akan menjadi rusak / batal (fasad) sesuai dengan pasal 75.
Adanya peraturan yang tegas tentang perkawinan beda agama ternyata belum mampu membendung pelaku-pelaku perkawinan beda agama. Persoalan-persoalan tersebut membuat peneliti tertarik untuk mengkaji lebih dalam tentang perkawinan dan ternyata ada sebuah lembaga sosial yang bisa memfasilitasi adanya perkawinan beda agama, lembaga tersebut bernama Percik (Persemaian Cinta Kemanusiaan). Pertanyaan yang ingin dijawab adalah (1) Mengapa Lembaga Percik memfasilitasi perkawinan beda agama ? (2) Bagaimana proses perkawinan beda agama yang difasilitasi oleh Lembaga Percik Salatiga? (3) Bagaimana pandangan tokoh agama terhadap perkawinan beda agama?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka penelitian yang digunakan adalah penelitian lapangan (field research). Peneltian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dengan teknik melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi. Metode analisis data menggunakan teknik analisis deskriptif yaitu data yang terkumpul diuraikan secara logis dan sistematis selanjutnya ditarik kesimpulan.
Hasil penelitian ini adalah Fasilitasi yang dilakukan oleh Percik terhadap pasangan beda agama diasumsikan sebagai pintu darurat yang berusaha memberikan tempat / ruang (mempermudah) untuk melakukan perkawinan beda agama. Fasilitasi yang dilakukan Percik yaitu dengan cara menghubungkan dan menjadi mediator dengan para tokoh agama, lembaga dan instansi pemerintah terkait, yang diperlukan untuk memperoleh pendampingan dalam pelaksanaan perkawinan beda agama. Pandangan Tokoh Agama terhadap perkawinan beda agama pun berbeda, ada yang melihat dalam perkawinan beda agama hal itu boleh saja karena untuk menghormati has asasi manusia namun ada juga tokoh agama yang berpendapat lain bahwa perkawinan beda agama itu tidak ideal karena dalam perkawinan beda agama kebanyakan memiliki banyak persoalan dalam perjalanan hidupnya.
-
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah................................................. 1
B. Fokus Penelitian........................................................... 5
C. Tujuan Penelitian.......................................................... 5
D. Kegunaan Penelitian...................................................... 5
E. Penegasan Istilah........................................................... 7
F. Telaah Pustaka.............................................................. 8
G. Metode Penelitian.......................................................... 11
H. Sistematika Penulisan..................................................... 15
BAB II PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM BERBAGAI
PERSEPEKTIF
A. Perkawinan
1. Pengertian
a. Perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan
Nomor 1 tahun 1974........................................... 17
b. Perkawinan menurut KHI..................................... 18
c. Perkawinan menurut Fikih.................................... 18
2. Rukun dan Syarat Perkawinan
a. Rukun dan Syarat Perkawinan Menurut UU
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan........... 19
b. Rukun dan Syarat Perkawinan Menurut KHI........ 22
c. Rukun dan Syarat Perkawinan Menurut Fikih....... 24
3. Tujuan dan Hikmah Perkawinan
a. Tujuan Perkawinan.............................................. 26
b. Hikmah Pernikahan.............................................. 27
B. Nikah Beda Agama Menurut UUP................................... 28
C. Nikah Beda Agama Menurut KHI.................................... 29
D. Nikah Beda Agama Menurut Fikih................................... 29
1. Perkawinan Orang Islam Dengan Bukan Islam
a. Kaum musrikin dengan ahli kitab......................... 29
-
b. Non-Muslim Memeluk Islam.............................. 34
c. Wanita islam dengan laki-laki bukan islam............ 34
E. Nikah Beda Agama Dalam Pandangan HAM........................ 34
BAB III PROFIL PERCIK DAN PELAKU PERKAWINAN BEDA
AGAMA
A. Alasan Percik Memfasilitasi Perkawinan
Beda Agama.................................................................. 38
1. Gambaran Umum Lembaga Percik Salatiga............. 38
a. Sejarah dan Latarbelakang Berdirinya Lembaga
Percik.................................................................. 38
b. Visi dan Misi...................................................... 39
c. Struktur Kepengurusan........................................ 41
d. Profil Kegiatan Lembaga Percik.......................... 43
2. Kegiatan Penelitian.................................................. 43
3. Seminar, Diskusi dan Loka Karya (Workshop)....... 48
4. Kegiatan Advokasi................................................... 49
5. Pengembangan Unit Penunjang................................. 50
6. Pengembangan Relasi dan Kerjasama....................... 51
7. Pengembangan Kampoeng Percik............................. 51
8. Sejarah Percik Memfasilitasi Perkawinan Beda
Agama....................................................................... 52
B. Proses Perkawinan Beda Agama Oleh Percik..................... 54
1. Profil Pelaku Pasangan Perkawinan Beda Agama.......... 54
a. Pasangan DH (Kristen) – AD (Islam)......................... 54
b. Pasangan AR (Kristen) – RW (Katolik)...................... 59
c. Pasangan LM (Kristen) – AL (Islam).......................... 63
d. Pasangan SW (Kristen) – DJ (Islam)........................... 69
e. Pasangan Gama (Katolik) – Chinda (Islam)................ 71
2. Proses Perkawinan Beda Agama Oleh Percik................. 79
a. Proses Perkawinan di Kantor Catatan Sipil................ 79
-
b. Prosedur Perkawinan Yang di Fasilitasi Percik.......... 81
C. Pandangan Tokoh Agama Terhadap Pekawinan Beda
Agama.............................................................................. 87
BAB IV FASILITASI PERKAWINAN BEDA AGAMA OLEH PERCIK
A. Alasan Percik Memfasilitasi Perkawinan Beda Agama.... 99
1. Perspektif UUP........................................................... 99
2. Perspektif KHI........................................................... 100
3. Perspektif Agama....................................................... 100
4. Persepektif HAM....................................................... 102
B. Proses Fasilitasi Perkawinan beda Agama Oleh Percik... 103
C. Pandangan Tokoh Agama Terhadap Perkawinan
Beda Agama......................................................................... 110
1. Setuju.......................................................................... 110
2. Tidak Setuju................................................................ 115
3. Netral........................................................................... 118
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan........................................................................ 121
B. Saran.................................................................................. 124
-
KATA PENGANTAR
ÉO ó¡ Î0 «! $# Ç̀»uH÷q§9$# ÉO ŠÏm §9$#
Puji syukur Penulis haturkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
rahmat-Nya dan salam semoga tetap terlimpah kepada Nabi Muhammad SAW
berikut keluarganya, para sahabat dan seluruh umat pengikutnya, Penulis akhirnya
dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Fasilitasi Perkawinan Beda Agama
Oleh Lembaga Sosial (Studi Kasus Terhadap Percik Salatiga)”. Penulisan
skripsi ini merupakan tugas akhir sebagai syarat untuk menyelesaikan Program
Studi Ahwal Al Syahsyiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)
Salatiga. Skripsi ini disadari oleh Penulis masih jauh dari harapan dan masih
banyak kekurangannya. Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun
dari pembaca. Dalam kesempatan ini, Penulis ingin mengucapkan terima kasih
kepada pihak-pihak yang telah membantu Penulis dalam penulisan skripsi ini,
antara lain :
1. Dr. Imam Sutomo M.Ag Selaku Ketua STAIN Salatiga
2. Drs. Mubasirun, M.Ag selaku Ketua Jurusan Syariah
3. Ilyya Muhsin, S.H.I, M.Si, selaku Ketua Program Studi Ahwal Al Syahsyiyah
dan sekaligus dosen pembimbing skripsi yang telah menyempatkan waktu
dan kesempatanya demi terselesainya skripsi ini.
4. Dr. Prajarta Dirdjosanjoto, Selaku Direktur Lembaga Percik Salatiga.
5. Seluruh Staff lembaga Percik Salatiga yang telah meluangkan waktunya demi
terselesainya skripsi ini.
-
6. Kepala dan Pegawai Kantor Catatan Sipil (KCS) Salatiga yang telah
membantu dalam penyelesaian skripsi ini.
7. Seluruh anggota Tim penguji skripsi yang telah meluangkan waktunya untuk
menilai kelayakan dan menguji skripsi dalam rangka menyelesaikan studi
Ahwal Al Syahsyiyah Di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)
Salatiga.
8. Seluruh staf Program studi yang telah membantu Penulis dalam
menyelesaikan administrasi-administrasi selama perkuliahan.
9. Bapak Ibuku yang selalu memberi dukungan dan doa yang tiada henti.
10. Semua Dosen-dosen Syari’ah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)
Salatiga.
11. Semua teman-teman angkatan 2008 yang tidak dapat aku sebutkan satu
persatu.
12. Semua teman, sahabat dan kerabat yang tidak dapat aku sebutkan satu persatu
yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini.
Semoga skripsi ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan bagi para
Pembaca.
Salatiga, Februari 2013
Penulis
-
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Pelaku Perkawinan Beda Agama ................................................... ....12
Tabel 1.2 Tokoh Agama ................................................................................ ....13
Table 1.3 Pengurus Percik ............................................................................. ....13
Tabel 4.1 Proses Perkawinan Rumah Tangga Beda Agama .......................... ....91
Tabel 4.2 Latar Belakang Keluarga Subjek Penelitian ................................... ....95
Tabel 4.3 Pandangan Tokoh Agama Terhadap Perkawinan Beda Agama....... 110
-
DAFTAR GAMBAR
Gambar 4.1 Bagan Prosedur Pencatatan Beda Agama diKCS ........................ ....87
Gambar 4.2 Bagan Perkawinan Beda Agama Yang di Fasilitasi Percik............. ..93
-
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Daftar Riwayat Hidup
Lampiran 2 Surat Tugas Pembimbing
Lampiran 3 Lembar Konsultasi
Lampiran 4 Berkas-berkas Persyaratan Administrasi Perkawinan Beda Agama Lampiran 5 Dokumentasi Pelaku Perkawinan Beda Agama.
-
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Negara Indonesia adalah negara yang mempunyai masyarakat yang
sangat majemuk, baik dari segi budaya, ras, etnik maupun agama. Sehingga
karena kemajemukannya sering terjadi lalu lintas antar suku, ras, dan agama
yang tidak bisa dihindari. Salah satu fenomena yang tidak dapat dihindari dari
lalu lintas kemajemukan adalah perkawinan beda agama, karena perkawinan
beda agama bukanlah sesuatu hal yang baru dalam masyarakat Indonesia.
Dahulu orang Hindhu menikah dengan orang Islam, orang Budha dengan orang
Kristen. Hal ini merupakan hal yang wajar dan manusiawi karena cinta dan
kasih antar manusia bisa melewati etnis, budaya dan agama (Tim Percik, 2009:
1).
Indonesia memiliki dasar hukum perkawinan yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP). Menurut
UUP pasal 1 ayat 1 menyatakan bahwa perkawinan adalah “ikatan lahir batin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
ketuhanan Yang Maha Esa”. UUP memandang sah apabila perkawinan
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya sesuai dengan pasal 2
UUP.
-
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa perkawinan dianggap
sah jika sesuai dengan agamanya. Indonesia mengakui 6 agama yang
dipercayai. Agama tersebut adalah agama Islam, Kristen Protestan, Kristen
Katolik, Hindu, Budha dan Konghuchu. Menurut KHI BAB II Pasal 2,
perkawinan adalah akad yang sangat kuat atau mitsaaqon ghalidzan untuk
mentaati perintah Allah dan melakukanya merupakan ibadah.
Perkawinan menurut agama Kristen dan Katholik adalah suatu ikatan
cinta kasih tetap dan taat yang menggambarkan, melahirkan dan mewujudkan
hubungan cinta Kristus dengan Gerejanya. Sebagaimana yang diatur dalam
kitab kejadian 1-26 sampai 30, 2.7 sampai 25 juga Perjanjian Baru episus V: 21
sampai 33 (Sastroatmodjo dan Aulawi, 1975:27). Perkawinan menurut agama
hindu adalah hubungan yang sakral dan hanya yang sah bila sudah dilakukan
menurut agama tersebut (Sastroatmodjo dan Aulawi, 1975:25). Perkawinan
menurut agama budha adalah ikatan yang fleksibel karena selalu mengadaptasi
adat-adat yang hidup dalam masyarakat (Sastroatmodjo dan Aulawi, 1975:26).
Dari pengertian perkawinan di atas mengandung beberapa prinsip
diantaranya:
1. Agama Kristen dan Khatolik menghendaki agar penganutnya kawin dengan
orang yang seagama. Karena tujuan utama perkawinan adalah untuk
mencapai kebahagiaan sehingga kebahagiaan itu akan sulit tercapai kalau
suami istri tidak seiman (Nurkhalis dan Baso, 2010:34).
2. Agama Islam menganut prinsip perkawinan harus dilakukan dengan orang
yang seagama karena secara teoritis perbedaan agama akan berpotensi
-
menimbulkan konflik (Pamungkas, 2008:44). Dalam Al Qur’an surat Al
Baqoroh:221 ditegaskan,
Ÿw ur (#qßs Å3Zs? ÏM »x.ÎŽô³ ßJø9$# 4Ó®Lym £̀ ÏB÷sム4 ×ptBV{ ur îpoYÏB÷s•B ׎öyz `ÏiB 7px.ÎŽô³ •B öqs9ur
öNä3÷Gt6yf ôãr& 3 Ÿw ur (#qßs Å3Zè? tûüÏ.ÎŽô³ ßJø9$# 4Ó®Lym (#qãZÏB÷sム4 Ó‰ö7yès9ur í̀ ÏB÷s•B ׎öyz `ÏiB
78 ÎŽô³ •B öqs9ur öNä3t6yf ôãr& 3 y7 Í́̄»s9'ré& tbqããô‰tƒ ’n
-
beragama Kristen ataupun Katolik dalam kepercayaannya juga tidak
diperbolehkan menikah dengan orang yang berbeda agama.
Adanya peraturan yang melarang perkawinan beda agama ternyata
belum mampu mencegah perkawinan beda agama dalam masyarakat. Aturan
dalam KHI dan UU Perkawinan di Indonesia seharusnya mampu menjadi
pedoman yang bisa ditegakkan. Dalam penelitian ini peneliti menemukan
sebuah lembaga yang yang bisa memfasilitasi perkawinan beda agama.
Lembaga tersebut adalah Percik (Persemaian Cinta Kemanusiaan). Percik,
merupakan lembaga independen yang diperuntukan bagi penelitian sosial,
demokrasi dan keadilan sosial. Lembaga ini didirikan pada awal tanggal 1
Februari 1996 oleh sekelompok ilmuwan di Salatiga yang terdiri dari sejumlah
peneliti sosial, pengajar universitas, serta aktivis Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang bantuan hukum serta
pengorganisasian masyarakat.
Kesenjangan yang muncul antara peraturan hukum dengan praktek
yang terjadi inilah yang menarik minat peneliti untuk meneliti bagaimana
perkawianan beda agama di Lembaga Percik Salatiga. Sehingga Penulis
memberi judul penelitian skripsi : FASILITASI PERKAWINAN BEDA
AGAMA OLEH LEMBAGA SOSIAL (Studi Kasus terhadap Percik Salatiga).
-
B. Fokus Penelitian
Berdasarkan latar belakang di atas, dengan demikian fokus penelitian
dalam skripsi ini adalah:
1. Mengapa Lembaga Percik memfasilitasi perkawinan beda agama?
2. Bagaimana proses perkawinan beda agama yang di fasilitasi oleh Lembaga
Percik Salatiga?
3. Bagaimana pandangan tokoh agama terhadap perkawinan beda agama?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan fokus penelitian yang menjadi target skripsi ini, maka
tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui alasan Lembaga Percik memfasilitasi perkawinan beda
agama.
2. Mengetahui proses perkawinan beda agama di Lembaga Percik Salatiga.
3. Mengetahui pandangan tokoh agama terhadap perkawinan beda agama.
D. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara
teoritis maupun secara praktis di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Secara Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang perkawinan
beda agama dan khazanah keislaman pada umumnya dan khususnya jurusan
Syariah program studi ahwal-alsyakhsiyyah.
-
2. Secara Praktis
a. Bagi Masyarakat
1) Bagi pelaku nikah agama
Terhadap masyarakat khususnya bagi pelaku nikah beda
agama agar lebih mempertimbangkan akibat yang akan diterima jika
akan melakukan perkawinan beda agama.
2) Bagi tokoh agama
Agar para tokoh agama lebih gencar lagi menyiarkan
agamanya khususnya tentang masalah perkawinan untuk
meminimalisir angka perceraian akibat dari perkawinan beda agama.
b. Bagi Program Studi Al Ahwal Al Syakhsiyyah
Dengan adanya penelitian terhadap lembaga yang memfasilitasi
perkawinan beda agama diharapkan dapat menambah wawasan bagi
Program Studi Ahwal Al Syakhsiyyah sehingga dari Program Studi dapat
menjadikannya sebagai bahan diskusi dan memantau perkembangan
produk hukum mengenai perkawinan beda agama tersebut.
c. Bagi Percik
Hasil dari penelitian tentang perkawinan beda agama ini
diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi Percik sebagai
lembaga yang memfasilitasi perkawinan beda agama untuk mengambil
kebijakan-kebijakan yang tepat ketika menghadapi calon mempelai yang
akan melakukan perkawinan beda agama.
-
E. Penegasan Istilah
Sebelum memulai menyusun skripsi ini perlu penulis sampaikan
bahwa judul skripsi adalah FASILITASI PERKAWINAN BEDA AGAMA
OLEH LEMBAGA SOSIAL (Studi Kasus di Lembaga Percik Salatiga). Untuk
menghindari kesalahfahaman pengertian, maka penulis kemukakan pengertian
serta sekaligus penegasan judul skripsi ini sebagai berikut:
Fasilitasi adalah sarana atau segala sesuatu untuk memudahkan atau
melancarkan pelaksanaan (KBBI, 2010:t.h).
Perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 1 adalah ikatan lahir
batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan menurut KHI adalah
pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk
mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah, bertujuan
untuk membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah (KHI Pasal
2). Perkawinan yang dimaksud peneliti adalah akad antara pria dan wanita
untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang sah menurut agama baik
dicatatkan di KUA atau Kantor Catatan Sipil.
Beda adalah sesuatu yg menjadikan berlainan (tidak sama) (KBBI,
2010:t.h). Agama adalah ajaran, sistem yg mengatur tata keimanan
(kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata
kaidah yg berhubungan dengan pergaulan manusia (KBBI, 2010:t.h).
-
Perkawinan Beda Agama yang dimaksud dalam penelitian tersebut
adalah Perkawinan yang dilakukan oleh pemeluk Agama yang berbeda pada
saat aqad perkawinan.
Lembaga adalah badan (organisasi) yang bermaksud melakukan suatu
penyelidikan keilmuan atau melakukan suatu usaha (Soeryadarminta,
2006:685).
Sosial adalah segala sesuatu mengenai masyarakat (Soeryadarminta,
2006:1141).
Jadi yang dimaksud Lembaga sosial adalah suatu badan (organisasi)
yang bermaksud melakukan suatu penyelidikan keilmuan, berkaitan dengan
masyarakat.
Dengan demikian Fasilitasi perkawinan beda agama oleh lembaga
sosial adalah suatu usaha yang dilakukan oleh badan (organisasi) berkaitan
dengan perkawinan yang dilakukan antara pria dan wanita dengan ajaran atau
kaidah-kaidah yang berbeda dalam pelaksaan perkawinan sebelum
dilangsungkanya perkawinan hingga sesudah perkawinan dilaksanakan.
F. Telaah Pustaka
Penelitian tentang perkawinan beda agama sudah banyak dilakukan
oleh peneliti sebelumnya. Diantara penelitian-penelitian tersebut adalah
penelitian yang dilakukan oleh Maftuhul Fuadi yang berjudul Nikah Beda
Agama Perspektif Ulil Abshar Abdalla. Penelitian tersebut bertujuan untuk
mengetahui bagaimana pandangan Ulil Abshar Abdalla tentang nikah beda
-
agama. Menurut Fuadi, dalam beragama, Ulil Abshar Abdalla tidak lagi
memandang bentuk, tetapi isi. Keyakinan dan praktek keislaman yang dianut
oleh orang-orang yang menamakan diri sebagai umat Islam hanyalah “baju”
dan formal, menurutnya yang pokok adalah nilai yang terkandung di
dalamnya. Setiap agama menunjuk pada nilai keadilan, oleh karena itu setiap
agama sama. Karena setiap agama sama maka dihalalkan nikah beda agama
(Fuadi, 2006).
Skripsi Auwenda Fauzi yang berjudul Perkawinan Campuran Dalam
Perspektif Hukum Islam (Studi Analisis Terhadap Pendapat Imam Syafi’i
Tentang Perkawinan Campuran) menjelaskan dua hal pokok pemikiran Imam
Syafi’i tentang perkawinan campuran. Pertama, perkawinan antara perempuan
muslim dan laki-laki bukan muslim adalah haram hukumnya. Kedua, laki-laki
muslim diharamkan mengawini perempuan bukan muslim. Pendapat ini lebih
didasarkan pada pertimbangan menolak mafsadat demi menjaga keutuhan
umat dari akibat buruk yang ditimbulkan oleh perkawinan campuran (Fauzi,
2004).
Adapun penelitian selanjutnya adalah Skripsi Sri Nikmah yang
berjudul Perkawinan Lintas Agama dalam Tinjauan Hukum Islam dan
Perundang-undangan di Indonesia, Skripsi Sekolah Tinggi Agama Islam
Negeri (STAIN) Salatiga, 2011. Penelitian tersebut menjelaskan mengenai
kehidupan masyarakat pelaku perkawinan lintas agama di Kelurahan Bugel
Salatiga. Tujuan penelitian tersebut diantaranya untuk mengetahui praktek
perkawinan lintas agama dilakukan di Kelurahan Bugel, mengetahui faktor-
-
faktor perkawinan lintas agama dapat terjadi di Kelurahan Bugel, mengetahui
cara pasangan suami istri pelaku perkawinan lintas agama mempertahankan
perkawinan beda agama.
Dalam penelitian tersebut ada dua pola perkawinan lintas agama di
Kelurahan Bugel, yaitu perkawinan yang dilakukan di KUA dan di KCS.
Faktor yang mempengaruhi terjadinya perkawinan lintas agama di Kelurahan
Bugel meliputi, pandangan tertentu tentang agama dan keberagamaan,
perempuan tidak memiliki kemandirian hidup, tradisi perkawinan lintas
agama, kurangnya pengetahuan agama dan kristenisasi pihak luar ( Nikmah,
2011).
Peneliti-peneliti terdahulu tersebut, meskipun memiliki tema yang
sama yaitu tentang perkawinan beda agama, namun memiliki perbedaan
dengan fokus penelitian ini. Perbedaan-perbedaan penelitian ini dengan
peneliti terdahulu diantaranya adalah sebagai berikut : pertama, Skripsi yang
disusun oleh Maftuhul Fuadi yang berjudul Nikah Beda Agama persepektif
Ulil Absar Abdalla. menitik beratkan pada literatur tentang pemikiran tokoh
sedangkan penulis yang dibahas disini adalah study lapangan.
Kedua, Skripsi Auwenda Fauzi yang berjudul Perkawinan Campuran
Dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Analisis Terhadap Pendapat Imam
Syafi’i Tentang Perkawinan Campuran). Menitik beratkan pada pemikiran
tokoh sedangkan penulis bahas disini adalah study lapangan.
Ketiga Skripsi Sri Nikmah yang berjudul Perkawinan Lintas Agama
dalam Tinjauan Hukum Islam dan Perundang-undangan di Indonesia.
-
Memiliki kesamaan dengan penelitian, yaitu sama-sama penelitian lapangan.
Sedangkan perbedaanya terdapat pada pelakunya. Jika Skripsi Sri Nikmah
pelaku perkawinan beda Agama hakikatnya tidak menikah beda agama
karena pada saat akad perkawinan pasangan pindah keagama calon
pasangannya setelah prosesi akad pasangan pindah ke Agama semula.
Adapun dalam penelitian ini, pelaku perkawinan beda agama dalam
melangsungkan akad tetap pada agamanya masing-masing.
G. Metodologi Penelitian
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif, karena
penelitian ini bertujuan untuk mengungkap semaksimal mungkin data dari
kasus yang akan diteliti, menggunakan pendekatan normatif dan sosiologis.
Pendekatan normatif digunakan untuk mengetahui status hukum perkawinan
beda agama dan pendekatan sosiologis digunakan untuk mengetahui
bagaimana perkawinan beda agama yang dipraktekkan di Lembaga Percik
Salatiga dan bagaimana pandangan tokoh agama maupun masyarakat
terhadap perkawinan beda agama.
2. Kehadiran Peneliti
Dalam penelitian ini kehadiran peneliti merupakan hal yang utama
karena peneliti secara langsung mengumpulkan data di lapangan. Status
peneliti dalam mengumpulkan data diketahui oleh informan secara jelas
guna menghindari kesalahpahaman antara peneliti dengan informan.
-
3. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Lembaga Percik Salatiga yang beralamat
di Jl. Patimura Km. 1 Kampung Percik, Turusan-Salatiga.
4. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Sumber data primer; yaitu hasil temuan data di lapangan melalui
wawancara dengan pengurus Lembaga percik, tokoh Agama, pelaku
nikah beda agama.
1). Pelaku Perkawinan Beda Agama
Tabel 1.1 Pelaku Perkawinan Beda Agama
No Suam
i Agama Istri Agama
Kawin
Tahun
Tempat Perkawinan
1 AD Islam DH Kristen 2005 Percik dan GKJ Sidomukti
2 AR Kristen RW Katolik 2005
Gereja
Kristen
3 AL Islam LM Kristen 2005 Percik dan GKJ Sidomukti
4
DJ Islam SW Kristen 2007
GKJ
Sidomukti
dan
Rumah Istri
5
Gama Katolik Cinda Islam 2012
Gereja
Kristus Raja
dan
Rumah Suami
-
2) Tokoh Agama
Tabel 1.2 Tokoh Agama
No Nama Agama Keterangan
1 K.H. Anshori Jawadi Islam Kyai
2 Pdt. Eben Heizer L Kristen Pendeta
3 Pdt. Sari F Kristen Pendeta
4 Prof. Zuhri Islam Pakar hukum Islam
5 K.H. Atiq Afifudin Islam Tokoh NU
6 K. Mustain Islam Ta’mir masjid
3) Pengurus Percik Tabel 1.3 Pengurus Percik
No Nama Keterangan
1 Agung Waskito A Staff Advoksi
2 Muhammad Akbar Staff Peneliti
b. Sumber data sekunder; yaitu data yang diperoleh dari literatur buku-
buku, perundang-undangan tentang perkawinan dan kepustakaan ilmiah
lain yang menjadi referensi maupun sumber pelengkap penelitian.
5. Prosedur Pengumpulan Data
a. Wawancara
Pengumpulan data dengan cara mengadakan wawancara langsung
dengan pihak-pihak yang berkaitan. Dalam hal ini adalah para pengurus
maupun anggota Lembaga Percik Salatiga, pendeta, tokoh Agama Islam,
pelaku nikah beda agama, dan pegawai Kantor Catatan Sipil.
-
b. Observasi
Metode pengumpulan data dengan cara pengamatan langsung dan
pencatatan secara sistematis atas pelaksanaan perkawinan beda agama di
Lembaga Percik Salatiga, Kantor Catatan Sipil dan GKJ Sidomukti.
c. Dokumentasi
Adalah cara pengumpulan data melalui peninggalan tertulis,
seperti arsip-arsip dan termasuk juga buku-buku tentang pendapat, teori,
dalil atau hukum-hukum dan lain-lain yang berhubungan dengan masalah
penelitian (Margono, 2004:23). Adapun dokumen-dokumen yang
diperoleh adalah Kartu Keluarga (KK), Kartu Tanda Penduduk (KTP),
foto copy kutipan Akte Perkawinan dan foto copy berkas N1-N4 dari
kelurahan.
d. Analisis Data
Data yang diperoleh, baik dari studi lapangan maupun studi
pustaka pada dasarnya merupakan data yang dianalisis secara deskriptif
kualitatif, yaitu data yang terkumpul diuraikan secara logis dan sistematis
dan selanjutnya ditarik kesimpulan.
e. Pengecekan keabsahan Data
Data-data yang diperoleh dicek keabsahannya dengan metode
triangulasi, yaitu teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan
sesuatu yang lain dalam membandingkan hasil wawancara terhadap
objek penelitian (Moloeng, 2004:330). Pengecekan keabsahan data
-
dilakukan karena dikhawatirkan masih adanya kesalahan atau kekeliruan
yang terlewati oleh penulis.
Pengecekan dilakukan denga cara membandingkan hasil
pengamatan dengan data hasil wawancara, membandingkan apa yang
dikatakan informan satu dengan informan lain, maupun membandingkan
hasil wawancara dengan dokumen yang berkaitan.
H. Sistematika Penulisan
Penulisan penelitian ini disajikan secara keseluruhan menjadi lima bab,
terdiri dari bab pertama yang berisi latar belakang masalah, fokus penelitian,
tujuan penelitian, kegunaan penelitian, penegasan istilah, telaah pustaka dan
metode penelitian yang meliputi jenis penelitian, sumber data, prosedur
pengumpulan data, analisis data, dan sistematika Penulisan.
Bab dua berisi pernikahan beda agama dalam berbagai perspektif yaitu
perspektif UUP, KHI dan HAM
Bab tiga adalah profil percik dan pelaku pasangan perkawinan beda
agama. kedua sub bab ini, yang pertama mengenai gambaran umum Lembaga
Percik Salatiga, yang berisi tentang sejarah dan latar belakang Lembaga Percik,
visi misi, kepengurusan, tugas dan kewajiban, program dan kinerja Lembaga
percik. Sub yang ke dua tentang profil pelaku perkawinan `beda agama.
Bab empat adalah Fasilitasi perkawinan beda agama oleh percik yang
berisi tentang alasan percik memfasilitasi perkawinan beda agama, proses
-
fasilitasi perkawinan beda agama oleh percik, dan pandangan tokoh agama
terhadap fasilitasi perkawinan beda agama.
Bab lima yaitu penutup, berisi kesimpulan dan saran-saran.
-
BAB II
PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM BEBAGAI PERSEPEKTIF
A. Perkawinan
1. Pengertian
a. Perkawinan menurut Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun
1974
Pengertian perkawinan dalam Undang-undang nomor 1 tahun
1974 tentang Perkawinan pasal 1 ayat 1 menyatakan bahwa perkawinan
adalah “ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri”.
Ada beberapa hal dari rumusan tersebut di atas yang perlu
diperhatikan yaitu:
1) Ikatan lahir diartikan keterikatan antara kedua belah pihak secara
formal baik dalam hubungan antara satu sama lain maupun mereka
dengan masyarakat luas. Ikatan batin diartikan adanya satu tujuan
untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal. Untuk itu
dalam sebuah perkawinan tidak bisa dipisahkan antara ikatan lahir
dan ikatan batin, karena memang keduanya merupakan satu
kesatuan yang utuh.
2) Seorang pria dengan seorang wanita mengandung arti bahwa
perkawinan itu hanyalah antara jenis kelamin yang berbeda. Hal ini
-
menolak adanya perkawinan sesama jenis yang telah dilegalkan
oleh beberapa orang Barat.
3) Sebagai suami istri mengandung arti bahwa perkawinan itu adalah
bertemunya dua jenis kelamin yang berbeda dalam suatu rumah
tangga, bukan hanya dalam istilah “hidup bersama” (Syarifuddin,
2006:40).
b. Perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam
Perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) BAB II
pasal 2 adalah pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqon
ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakanya
merupakan ibadah.
c. Perkawinan menurut fikih
Perkawinan menurut fikih adalah pernikahan. Secara bahasa
pernikahan ialah al-jam’u dan al-dhamu yang artinya kumpul. Makna
nikah (Zawaj) bisa diartikan dengan aqdu al-tazwij yang artinya akad
nikah (Tihami, 2009:7). Makna nikah adalah akad atau ikatan, karena
dalam suatu proses pernikahan terdapat ijab dan kabul. Selain itu nikah
juga bisa diartikan sebagai bersetubuh (Assegaf, 2005:131).
Adapun menurut syara’ nikah adalah akad serah terima antara
laki-laki dan perempuan dengan tujuan untuk saling memuaskan satu
sama lainnya dan untuk membentuk sebuah bahtera rumah tangga yang
sakinah serta masyarakat yang sejahtera. Para ahli fikih berkata,
-
zawwaja atau nikah adalah akad yang secara keseluruhan di dalamnya
mengandung kata, inkah atau tazwij (Tihami, 2009:8).
2. Rukun dan Syarat Sah Perkawinan
a. Rukun dan Syarat Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan
Rukun yaitu sesuatu yang harus ada yang menentukan sah dan
tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam
rangkaian pekerjaan itu. Syarat yaitu sesuatu yang harus ada yang
menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu
itu tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu. Sah adalah sesuatu
pekerjaan (ibadah) yang memenuhi rukun dan syarat (Ghazaly,
2003:45).
Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 juga mengatur
syarat-syarat sahnya suatu perkawinan yang meliputi syarat formil dan
materiil. Syarat formil adalah syarat-syarat yang menyangkut
formalitas-formalitas atau tata cara yang harus dipenuhi sebelum dan
pada saat perkawinan dilangsungkan. Syarat materiil adalah syarat
mengenai diri pribadi calon mempelai.
Syarat formil terdapat dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun
1975 tantang Pelaksanaan Undang-Undang No.1 Tahun 1974, yang
meliputi:
-
1) Pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan kepada
pegawai pencatat perkawinan (pasal 3 ayat 1).
2) Pengumuman oleh pegawai pencatat perkawinan (pasal 8).
3) Pelaksanaan perkawinan menurut hukum agamanya dan
kepercayaannya masing-masing (pasal 10 ayat 2).
4) Pencatatan perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan (pasal
11).
Syarat materiil yang berlaku umum tertuang dalam UU No.
1/1974, meliputi:
1) Harus ada persetujuan dari kedua mempelai (pasal 6 ayat 1).
2) Usia calon mempelai pria sudah mencapai 19 tahun dan wanita
sudah mencapai 16 tahun (pasal 7 ayat 1).
3) Tidak terikat tali perkawinan dengan orang lain kecuali dalam hal
diijinkan oleh pasal 3 (2) dan pasal 4 (pasal 9).
4) Waktu tunggu bagi seorang wanita yang putus perkawinannya,
yaitu: 130 hari bila putus karena kematian, 3 kali suci atau minimal
90 hari bila putus karena perceraian dan ia dalam keadaan datang
bulan, 90 hari bila putus karena perceraian dan ia dalam keadaan
tidak datang bulan, sampai melahirkan bila putus dalam keadaan
hamil, tidak ada waktu tunggu jika belum pernah berhubungan
kelamin, penghitungan waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya
putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap bagi
suatu perceraian, dan sejak hari kematian bila perkawinan putus
-
karena kematian (pasal 11 UU No. 1/1974 dan pasal 39 PP No.
9/1975).
Syarat materiil yang berlaku khusus dalam UU No. 1/1974,
meliputi:
a. Tidak melanggar larangan perkawinan sebagaimana diatur dalam
pasal 8,9 dan 10 UU No. 1/1974, yaitu larangan perkawinan antara
dua orang yang:
1) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau
pun ke atas;
2) Berhubungan darah dalam garis keturunan ke samping;
3) Berhubungan semenda;
4) Berhubungan susuan;
5) Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau
kemenakan istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari
seorang;
6) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain
yang berlaku dilarang kawin;
7) Masih terikat tali perkawinan dengan orang lain kecuali dalam
hal tersebut pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 (pasal 9).
8) Telah bercerai untuk kedua kalinya sepanjang hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya tidak menentukan lain
(pasal 10).
-
9) Ijin dari kedua orang tua bagi mereka yang belum mencapai
usia 21 tahun.
b. Rukun dan syarat sah Perkawinan menurut Kompilasi hukum
Islam
Rukun dan syarat perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam
adalah harus ada calon suami, calon istri, wali, dua orang saksi serta
ijab dan kabul (pasal 14).
Syarat bagi calon mempelai meliputi:
1) Usia calon mempelai pria sudah mencapai 19 tahun dan wanita
sudah mencapai 16 tahun sesuai ketetapan dalam pasal 7 UU No.
1/1974 (pasal 15 ayat 1).
2) Harus ada persetujuan dari kedua mempelai (pasal 16 ayat 1).
3) Tidak terdapat halangan perkawinan sebagaimana diatur dalam
BAB VI (pasal 18). BAB VI tentang larangan kawin menyebutkan:
Pasal 39, dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang
pria dengan seorang wanita disebabkan karena:
a) Pertalian nasab;
b) Pertalian kerabat semenda;
c) Pertalian sesusuan.
Pasal 40, dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang
pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu:
a) Karena wanita tersebut masih terikat satu perkawinan dengan
orang lain;
-
b) Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan
pria lain;
c) Seorang wanita yang tidak beragama Islam.
Pasal 41, ayat 1 seorang pria dilarang memadu istrinya
dengan seorang wanita yang mempunyai hubungan pertalian nasab
atau sesusuan dengan istrinya.
Pasal 42, seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan
dengan seorang wanita apabila pria tersebut sedang mempunyai 4
(empat) orang istri yang keempat-empatnya masih terikat tali
perkawinan atau masih dalam iddah raj’i ataupun salah seorang di
antara mereka masih terikat tali perkawinan sedang yang lainnya
dalam masa iddah raj’i.
Pasal 43, ayat 1 dilarang melangsungkan perkawinan antara
seorang pria:
a) Dengan seorang wanita bekas istrinya yang ditalak tiga kali.
b) Dengan seorang wanita bekas istrinya yang dili’an.
Pasal 44, seorang wanita Islam dilarang melangsungkan
perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.
4) Waktu tunggu bagi seorang wanita yang putus perkawinannya,
yaitu: 130 hari bila putus karena kematian, 3 kali suci atau minimal
90 hari bila putus karena perceraian dan ia dalam keadaan datang
bulan, 90 hari bila putus karena perceraian dan ia dalam keadaan
tidak datang bulan, sampai melahirkan bila putus dalam keadaan
-
hamil, tidak ada waktu tunggu jika belum pernah berhubungan
kelamin, penghitungan waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya
putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap bagi
suatu perceraian, dan sejak hari kematian bila perkawinan putus
karena kematian (pasal 153).
Syarat wali nikah tertuang dalam pasal 20, yaitu bertindak sebagai
wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam
yakni muslim, akil dan baligh.
Syarat saksi nikah tertuang dalam pasal 25, yaitu yang dapat
ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki
muslim, adil, akil, baligh, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu
atau tuli. Pasal 26, saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung
akad nikah serta menandatangani akta nikah pada waktu dan di tempat
akad nikah dilangsungkan.
Syarat akad nikah terdapat dalam pasal 27, ijab dan kabul antara
wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak berselang
waktu.
c. Rukun dan syarat sah Perkawinan menurut fikih
Rukun nikah menurut Slamet Abidin dan Aminudin (1999:68)
adalah sebagai berikut:
a. Calon mempelai laki-laki
b. Calon mempelai perempuan
-
c. Wali dari mempelai perempuan yang akan mengakadkan
perkawinan
d. Dua orang saksi
e. Shighat ijab qabul
Sedangkan yang dimaksud dengan syarat perkawinan adalah
segala hal yang harus dipenuhi sebelum perkawinan dilangsungkan.
Untuk sahnya suatu perkawinan, selain memenuhi rukun juga harus
memenuhi syarat-syarat yang mendahuluinya.
Syarat suatu akad dalam perkawinan, meliputi:
a. Akad harus dimulai dengan ijab yaitu penyerahan dari pihak
perempuan kepada pihak laki-laki kemudian dilanjutkan dengan
qabul yaitu penerimaan dari pihak laki-laki;
b. Materi ijab dan qabul tidak boleh berbeda;
c. Ijab dan qabul harus diucapkan secara bersambungan tanpa
terputus walaupun sesaat;
d. Ijab dan qabul tidak boleh dengan menggunakan ungkapan yang
bersifat membatasi masa berlangsungnya perkawinan, karena
perkawinan itu ditujukan untuk selama hidup;
e. Ijab dan qabul mesti menggunakan lafaz yang jelas dan terus
terang.
Syarat bagi kedua calon mempelai, meliputi:
a. Keduanya jelas identitasnya dan dapat dibedakan dengan yang
lainnya, baik nama, jenis kelamin, keberadaan, dan hal lainnya;
-
b. Keduanya sama-sama beragama Islam;
c. Antara keduanya tidak terlarang melangsungkan perkawinan;
d. Kedua belah pihak telah setuju untuk kawin dan setuju pula dengan
pihak yang akan mengawininya;
e. Keduanya telah mencapai usia yang layak untuk melangsungkan
perkawinan.
Syarat bagi wali nikah, meliputi:
a. Dewasa dan berakal sehat;
b. Laki-laki;
c. Muslim;
d. Merdeka;
e. Tidak berada dalam pengampuan;
f. Berpikiran baik;
g. Adil;
h. Tidak sedang melakukan ihram.
Syarat bagi saksi, meliputi:
a. Berjumlah minimal dua orang;
b. Kedua saksi beragama Islam;
c. Kedua saksi adalah orang merdeka;
d. Kedua saksi adalah laki-laki;
e. Kedua saksi bersifat adil;
f. Kedua saksi dapat mendengar dan melihat.
3. Tujuan dan Hikmah Perkawinan
-
a. Tujuan Perkawinan
1) Untuk mendapatkan anak dari keturunan yang sah dalam
melanjutkan generasi yang akan datang. Dengan adanya perkawinan
naluri seksual manusia dapat tersalurkan sesuai jalan yang diridhoi
Allah, selain itu dapat menjaga nasab yang oleh Islam sangat
diperhatikan (Sabiq, 1980:19).
2) Untuk mendapatkan keluarga bahagia yang penuh ketenangan hidup
dan rasa kasih sayang (Syarifuddin, 2006:47).
3) Untuk mendapatkan dan melangsungkan keturunan.
4) Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima
hak serta kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh
harta kekayaan yang halal.
5) Untuk membangun rumah tangga dan membangun masyarakat yang
tentram atas dasar rasa cinta dan kasih sayang.
6) Sebagai ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
b. Hikmah Perkawinan
Islam mengajarkan dan menganjurkan nikah karena akan
berpengaruh baik bagi pelakunya sendiri, masyarakat dan seluruh umat
manusia. Adapun hikmah perkawinan menurut Tihami dan Sohari
Sahrani (2009:19-20) adalah sebagai berikut:
1) Perkawinan adalah jalan alami yang paling baik dan sesuai untuk
menyalurkan dan memuaskan naluri seks dengan kawin badan jadi
-
segar, jiwa jadi tenang, mata terpelihara dari yang melihat dan
perasaan tenang menikmati barang yang berharga.
2) Perkawinan merupakan jalan terbaik untuk membuat anak-anak
menjadi mulia, memperbanyak keturunan, melestarikan hidup
manusia serta memelihara nasib yang oleh Islam sangat diperhatikan
sekali.
3) Naluri kebapakan dan keibuan akan tumbuh saling melengkapi dalam
suasana hidup dengan anak-anak dan akan tumbuh pula perasaan-
perasaan yang ramah, cinta dan sayang yang merupakan sifat-sifat
baik yang menyempurnakan kemanusiaan seseorang.
4) Menyadari tanggung jawab beristri dan menanggung anak-anak
menimbulkan sikap rajin dan sungguh-sungguh dalam memperkuat
bakat dan pembawaan seseorang dan akan cekatan dalam bekerja.
5) Pembagian tugas dimana yang satu mengurusi rumah tangga
sedangkan yang lain bekerja di luar, sesuai dengan batas-batas
tanggung jawab antara suami-istri dalam menangani tugas-tugasnya.
6) Perkawinan dapat membuahkan diantaranya tali kekeluargaan,
memperteguh kelanggengan rasa cinta antara keluarga dan
memperkuat hubungan masyarakat.
B. Perkawinan Beda Agama Menurut Undang-Undang Perkawinan
Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak
ada aturan yang tegas mengenai perkawinan beda agama. UU tersebut hanya
-
menganggap bahwa “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu” (pasal 2 ayat1).
C. Perkawinan Beda Agama Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Secara tegas KHI melarang perkawinan beda agama. Aturan ini
tercantum dalam pasal 75 (1) yaitu perkawinan batal karena salah satu dari
suami atau istri murtad. Pengadilan Agama yang notabene sebagai pemutus
suatu perkara dalam perceraian mengambil KHI sebagai dasar dalam
menetapkannya. Menurut KHI pasal 116 huruf h menyatakan bahwa perceraian
dapat putus karena “peralihan agama atau murtad yang menyebabkan
terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga”. Dengan adanya alasan pasal
tersebut secara tegas KHI melarang adanya perkawinan beda agama. Namun di
sisi lain KHI ternyata membuka peluang untuk perkawinan beda agama karena
pada saat peralihan agama dalam rumah tangga namun tidak menimbulkan
“ketidakrukunan”, maka secara tidak langsung KHI juga tidak melarang
adanya perkawinan beda agama.
Jadi ketika ada peralihan agama dalam rumah tangga namun tidak
menimbulkan “ketidakrukunan” maka secara tidak langsung KHI juga tidak
melarang adanya perkawinan beda agama.
D. Perkawinan Beda Agama Menurut fikih
1. Perkawinan Orang Islam Dengan Ahli Kitab
a) Kaum musrikin dan ahli kitab
-
Ayat Al-quran disamping menjelaskan tentang pernikahan
golongan mukminin juga menjelaskan tentang pernikahan dengan
golongan ahli kitab dan musrik yang sekaligus menjadi dasar hukum
nikah beda agama diatara mereka. Dasar hukum pernikahan orang islam
dengan ahli kitab dan orang musrik dalam firman Allah SWT
1) surat Al-baqarah ayat 221 :
Ÿw ur (#qßs Å3Zs? ÏM »x.ÎŽô³ ßJø9$# 4Ó®Lym £̀ ÏB÷sム4 ×ptBV{ ur îpoYÏB÷s•B ׎öyz `ÏiB 7px.ÎŽô³ •B
öqs9ur öNä3÷Gt6yf ôãr& 3 Ÿw ur (#qßs Å3Zè? tûüÏ.ÎŽô³ ßJø9$# 4Ó®Lym (#qãZÏB÷sム4 Ó‰ö7yès9ur í̀ ÏB÷s•B
׎öyz `ÏiB 78 ÎŽô³ •B öqs9ur öNä3t6yf ôãr& 3 y7 Í́̄»s9'ré& tbqããô‰tƒ ’n
-
tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |= »tGÅ3ø9$# `ÏB öNä3Î=ö6s% !#sŒÎ) £̀ èdqßJçF÷s?#uä £̀ èdu‘qã_ é& tûüÏYÅÁ øtèC
uŽöxî tûüÅs Ïÿ»|¡ ãB Ÿw ur ü“ É‹Ï‚ GãB 5b#y‰÷{ r& 3 `tBur öàÿõ3tƒ Ç̀»uKƒM} $$Î/ ô‰s)sù
xÝ Î6ym ¼ã&é#yJtã uqèdur ’Îû ÍotÅz Fy $# z̀ÏB z̀ƒÎŽÅ£ »sƒø:$# ÇÎÈ
Artinya: Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi (Depag, 1976: 158).
Menurut Al-jaziri sebagaimana dikutip oleh sukarja dibagi menjadi
tiga golongan yaitu:
a. Golongan yang tidak berkitab samawi atau tidak berkitab semacam
kitab samawi.
Contoh: orang yang menyembah berhala dan orang murtad yang
disamakan dengan mereka.
b. Golongan yang mempunyai semacam kitab samawi.
Contoh: orang-orang majizi yang menyembah api.
c. Golongan yang beriman kepada kitab suci. Mereka adalah orang
Yahudi yang percaya kepada kitab taurat dan orang-orang nasrani
yang mempercayai injil.
-
Sementara itu Yusuf al-Qardawi membagi golongan non-Muslim
menjadi golongan musrik, murtad, bahai, dan ahli kitab. Musrik adalah
penyembah berhala, mulhid adalah golongan ateis, murtad adalah
golongan yang keluar dari agama islam, bahai termasuk Murtad. Ahli kitab
adalah kaum Yahudi dan Nasrani.
Titik tolak penggolongan al-Jaziri dari segi kitab, sedang Yusuf al-
Qardawi dari segi nama untuk tiap golongan. Dalam rinciannya sama,
hanya Yusuf Qardawi menambahkan golongan Ateis dan Bahai.
Dua golongan pertama disebut oleh al-Jaziri adalah Musrik.
Golongan Mulhid, Murtad dan bahai, dalam hukum nikah oleh Yusuf
Qardhawi dari segi nama untuk tiap golongan. Dalam rincianya sama,
hanya Yusuf Qardhawi menambahkan golongan ateis dan bahai.
Ahlul kitab adalah penganut taurat dan injil. Kaum yahudi dan samiri
adalah penganut Taurat. Penganut injil adalah Nasrani yang seakar dalam
agama mereka, seperti orang prancis, jerman dan lain-lain. Masalah yang
pelik adalah golongan Ahlul Kitab. Apakah mereka tidak musrik atau juga
termasuk golongan musrik (LSIK, 1994:2-3).
Paramufassir memandang bahwa perkawinan seorang mukmin
dipandang halal jika mereka masih berpegang pada kitab-kitab yang masih
murni namun jika kitab atau keyakinannya sudah menyimpang maka
haram untuk dinikahi sesuai dengan surat albayyinah ayat 1:
-
“Orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik
(mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya)
sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata”,
Dan al-hajj ayat 17 yang berbunyi:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi,
orang-orang Shaabi-iin, orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi
dan orang-orang musyrik, Allah akan memberi keputusan di antara
mereka pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala
sesuat”.
Hukum pria islam yang menikah dengan wanita bukan islam
dibedakan menjadi 2 yaitu :
1. Dengan wanita musrik dan wanita murtad hukumnya haram sesuai
dengan surat albaqarah 221.
2. Dengan wanita ahli kitab ada tiga hukum yaitu halal, haram, dan yang
menghalalkan tapi siasat tidak menghendakinya.
a. Golongan yang menghalalkan berpendirian bahwa menikahi
perempuan ahli kitab (yahudi dan nasrani) halal hukumnya
asalkan perempuan ahli kitab itu merupakan agama keturunan
dari nenek moyang mereka yang menganut agama tersebut
sebelum masa nabi muhammad dibangkitkan menjadi rosul.
b. Golongan yang mengharamkan yaitu ibnu umar sesuai dengan al-
baqarah 221.
-
c. Golongan yang menggap halal tetapi siasat tidak menghendakinya
yang menimbulkan hukum mubah dalam perkawinan itu karena
dalam perkawinan itu ada bahaya kalau-kalau sisuami ikut agama
istrinya (LSIK, 1994: 6-13).
b) Non-Muslim Memeluk Islam
Perkawinan non-Muslim baik Ahlul Kitab maupun Musrik, dapat
dibagi atas dua keadaan. Pertama, perkawinan itu terjadi diantara
mereka setelah mereka hijrah dan dilakukan di Da’arul Islam. Kedua,
perkawinan itu terjadi di negeri mereka sendiri, yaitu di Daarul Harbi.
Daarul Islam adalah negeri yang diperintah secara penuh oleh kaum
muslimin. Darul Harbi adalah negeri dimana kaum muslimin tidak
mempunyai tidak mempunyai kekuasaan untuk mengaturnya.
Perkawinan yang terjadi diantara mereka dalam dua keadaan
tersebut mungkin sesuai dengan syarat dan rukun akad pernikahan
Islam, mungkin berbeda. Bila persyaratan perkawinan mereka sesuai
dengan perkawinan islam, maka perkawinan mereka itu sah dalam
pandangan islam. Bila berbeda dengan persyaratan perkawinan islam
maka perkawinannya dianggap tidak sah (LSIK, 1994:4).
c) Wanita islam dengan laki-laki bukan islam
Seluruh ulama’ telah sepakat bahwa wanita islam haram menikah
dengan pria non muslim. Hal itu sesuai dengan al-baqoroh 221 (LSIK,
1994:5).
-
E. Perkawinan Beda Agama dalam Perspektif Hak Asasi Manusia (HAM)
Menurut Ahmad Baso dan Ahmad Nurcholis (1995:245-246) Indonesia
memiliki peraturan mengenai hak asasi manusia, melalui TAP MPR No. XVII
tahun 1998 tentang hak asasi manusia yang terdiri dari 10 bab dan 44 pasal.
Ketetapan MPR tersebut menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak
dasar yang melekat pada diri manusia secara kodrati, universal, dan abadi
sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Hak-hak tersebut meliputi hak untuk
hidup, hak berkeluarga, hak mengembangkan diri, hak berkomunikasi, hak
keadilan, hak kemerdekaan, hak berkomunikasi, hak keamanan, dan hak
kesejahteraan.
Indonesia juga memiliki undang-undang lain mengenai hak asasi
manusia, yaitu undang-undang nomor 39 tahun 1999 yang terdiri dari 11 bab
dan 106 pasal. Peraturan mengenai hak asasi manusia dalam undang-undang
tersebut didasarkan pada DUHAM (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia)
atau Universal Declaration of human rights yang dicetuskan oleh Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1948. Undang-Undang ini secara rinci
mengatur tentang hak untuk hidup, hak berkeluarga dan melanjutkan
keturunan, hak mengembangkan diri, hak memperoleh keadilan, hak atas
kebebasan pribadi, hak atas rasa aman, hak atas kesejahteraan, hak turut serta
dalam pemerintah, hak wanita dan hak anak. Selain tentang hak asasi manusia,
diatur pula mengenai kewajiban dasar manusia, kewajiban dan tanggungjawab
pemerintah dalam penegakan hak asasi manusi, serta fungsi dan tugas Komnas
Hak Asasi Manusia. Undang-Undang ini merupakan payung dari seluruh
-
peraturan perundang-undangan tentang hak asasi manusia. Oleh karena itu,
pelanggaran hak asasi manusia secara langsung atau tidak langsung, dikenakan
sanksi pidana, perdata, dan atau administrasi sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Menurut Ahmad Baso dan Ahmad Nurcholish (2005:257) sejak UU
Perkawinan disahkan pada 1974, sejumlah persoalan muncul, di antaranya
berkaitan dengan masalah nikah beda agama, yaitu:
Pertama, dalam pasal 2 ayat 1 disebutkan bahwa sahnya perkawinan
tergantung apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya itu. Ketentuan ini hanya dapat dilaksanakan manakala kedua
mempelai memiliki agama yang sama. Kalau keduanya memiliki agama yang
berbeda, maka salah satu harus mengikuti agama yang lain. Kemudian kembali
ke agamanya semula setelah perkawinan terlaksana.
Kedua, dalam pasal 2 ayat 2 dinyatakan tiap-tiap perkawinan dicatat
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Peran pemerintah
sebatas melakukan pencatatan nikah. Pemerintah hanya mengatur aspek
administrasi perkawinan. Namun kedua ayat tersebut dalam prakteknya berlaku
secara kumulatif. Kedua-duanya harus diterapkan bagi persyaratan sahnya
suatu perkawinan.
Berkaitan dengan perkawinan beda agama, dalam KHI ada dua pasal
yang melarang. Pertama, pasal 40 yang menyatakan seorang pria dilarang
melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita yang tidak beragama islam.
Kedua, pasal 44 menyatakan seorang wanita Islam dilarang melangsungkan
-
perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama islam. Perbedaan agama
dalam KHI dipandang sebagai penghalang bagi pasangan yang hendak
melangsungkan perkawinan.
Menurut perspektif hak asasi manusia, Undang-Undang Perkawinan
tahun 1974 pasal 2 ayat (1) dan (2), serta KHI pasal 40 dan 44 bertentangan
dengan isi DUHAM pasal 16 ayat 1 yang menyebutkan, “Iaki-laki dan
perempuan dewasa dengan tidak dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau
agama berhak untuk menikah dan untuk membentuk keluarga. Mereka
mempunyai hak yang sama dalam perkawinan, di dalam masa perkawinan,
dan di kala perceraian.” Ayat 2, “Perkawinan hanya dapat dilaksanakan
berdasarkan pilihan bebas dan persetujuan penuh oleh kedua mempelai.”
Sementara ayat 3 menyebut, “Keluarga adalah kesatuan sewajarnya serta
bersifat pokok dari masyarakat dan berhak mendapat perlindungan dari
masyarakat dan negara.” Selain itu, Juga bertentangan dengan Pasal 10 ayat (1)
UU No. 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia, yang berbunyi “Setiap orang
berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui
perkawinan yang sah.” Dan pada Pasal 10 ayat (2) yang berbunyi, “Perkawinan
yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan calon
istri yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan Perundang-undangan.”
-
BAB III
FASILITASI PERKAWINAN BEDA AGAMA OLEH PERCIK
D. Alasan Percik Memfasilitasi Perkawinan Beda Agama
1. Gambaran Umum Lembaga Percik Salatiga
a. Sejarah dan Latar Belakang Berdirinya Lembaga Percik Salatiga
Percik merupakan lembaga independen yang diperuntukan bagi
penelitian sosial, demokrasi dan keadilan sosial. Lembaga ini didirikan pada
awal tahun 1996 (1 Februari 1996) oleh sekelompok Ilmuwan di Salatiga
yang terdiri dari sejumlah peneliti sosial, pengajar Universitas, serta aktivis
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang bantuan
hukum serta pengorganisasian masyarakat.
Para pendiri ini merupakan sebagian dari staf akademik sebuah
Universitas di Salatiga yang terpaksa keluar dari Universitas tersebut karena
menolak beberapa kebijakan dari pengurus yayasan dan pimipinan
Universitas yang dinilai tidak demokratis, bertentangan dengan nilai-nilai
kemanusiaan dan tidak menjunjung tinggi kebebasan akademis serta
otonomi kampus. Berdirinya Lembaga Percik merupakan wadah baru untuk
mewujudkan idealisme mereka mengenai masyarakat yang demokratis dan
berkeadilan sosial.
Kelahiran Percik juga tidak dapat dilepaskan dari tuntutan yang
semakin luas dalam masyarakat Indonesia tentang perlunya proses
demokratisasi dilaksanakan dengan segera di berbagai bidang kehidupan
-
bermasyarakat dan bernegara. Tuntutan tersebut muncul sebagai bagian dari
keprihatinan yang meluas di masyarakat terhadap sistem politik yang
semakin sentralistik, hegemonik, opresif dan tidak toleran. Sistem politik
yang tidak sehat tersebut berakibat pada rendahnya kesadaran dan
partisipasi politik rakyat, tiadanya ruang publik yang memungkinkan
terjadinya pertukaran wacana publik secara bebas, tidak berkembangnya
lembaga-lembaga demokrasi, lemahnya penegakan hukum dan Hak Asasi
Manusia (HAM), serta birokrasi pemerintahan yang korup. Di lain pihak
perkembangan masyarakat menunjukan kecederungan ke arah masyarakat
plural yang tersekat-sekat yang di dalamnya mengandung potensi konflik
horisontal yang besar.
Kondisi politik yang tidak sehat tersebut melanda kehidupan politik
baik pada aras nasional maupun pada aras lokal. Keterlibatan panjang staf
Percik dalam berbagai penelitian dan studi pada aras lokal yang dimiliki
secara individual oleh staf Percik dan dilandasi pula oleh keyakinan bahwa
bagi masa depan Indonesia arena politik pada aras lokal ini justru semakin
penting dan menentukan, maka lahirnya Percik merupakan perwujudan dari
keinginan untuk ikut menggulirkan proses demokratisasi politik pada aras
(pada titik / level) lokal (http://www.percik.or.id/).
b. Visi dan Misi
Percik sebagai Lembaga independen yang didirikan untuk penelitian
sosial, demokrasi dan keadilan sosial memiliki visi jangka panjangnya
sebagai berikut:
-
1) Mendukung penciptaan masyarakat sipil, melalui pemberdayaan
lembaga-lembaga demokrasi dan pengembangan nilai-nilai demokrasi.
2) Mendorong masyarakat pada penyadaran akan dasar-dasar kehidupan
masyarakat plural dan toleransi dalam seluruh kehidupan sosial.
3) Memberikan perhatian pada dasar-dasar masyarakat sipil, HAM
khususnya bagi orang-orang yang telah dilemahkan dan dipinggirkan
dari pelayanan pemerintah dan sistem hukum.
Visi tersebut dalam kurun waktu yang lebih pendek khususnya
mengacu kepada tuntutan perkembangan yang ada dalam masyarakat saat
ini, mendorong Percik untuk mengutamakan segi-segi berikut:
1) Peningkatan kinerja pemerintah lokal menuju kearah pemerintahan
lokal yang sehat dan baik.
2) Meningkatkan kesadaran politik masyarakat kearah perwujudan
prinsip-prinsip bernegara dan bermasyarakat yang demokratis,
menjunjung tinggi penegakan hukum dan menghormati Hak Asasi
Manusia (HAM).
3) Memperkuat Civil Society yang berbasis pada nilai-nilai pluralisme dan
toleransi.
Untuk mewujudkan ketiga segi dari visi tersebut, misi Percik
berpusat kepada tiga pilar kegiatan berikut:
1) Menyelenggaraan kegiatan-kegiatan studi dan penelitian yang memenuhi
standar keilmuan yang tinggi, independen, serta memenuhi nilai-nilai
kegunaan bagi kehidupan masyarakat luas.
-
2) Melakukan kegiatan refleksi sebagai upaya untuk meningkatkan
pemahaman yang lebih mendalam terhadap berbagai gejala yang diteliti
serta menghubungkannya dengan berbagai nilai luhur yang diyakini dan
menjadi komitmen Percik.
3) Melakukan program aksi yang ditujukan kepada terciptanya masyarakat
demokratis dan berkeadilan (http://www.percik.or.id/).
c. Struktur Kepengurusan
Dalam menjalankan program kegiatannya, Lembaga Percik
Salatiga menentukan susunan pengurus sebagai berikut
(http://www.percik.or.id/):
Pengurus Yayasan : Nico. L. Kana (Ketua)
Sukotjo (Sekretaris)
Heru Wijatsih Kuwat Trijanto (Bendahara)
Direktur : Pradjarta Dirdjosanjoto
Wakil Direktur : I Made Samiana
Penelitian : Nico. L. Kana (Tenaga Ahli)
Setyo Handoyo
Ninik Handayani
C. Dwi Wuryaningsih
Mohammad Akbar
Singgih Nugroho
Haryani Saptaningtyas
Slamet Luwihono
-
Kutut Suwondo (paroh waktu )
Fera Nugroho (paroh waktu )
Advokasi : Budi Lazarusli
RH Dwiprasetyo
Nick Tunggul Wiratmoko
Hery Wibowo T
Agung Waskitoadi
Damar Waskitojati
Christina Arief THM
Unit Penunjang Program : Widya P Setyanto (Publikasi)
Bernadetta Rorita Dewi (Perpustakaan)
Unit Penunjang Administrasi, Keuangan dan Kerumahtanggaan:
Agung Ari Mursito (Administrasi)
Ambar Istiyani
Halomoan Pulungan (Keuangan)
Dewi Retnowati
Erwin Setiyaning Yuli Astuti
Dayusman Junus (Kerumahtanggaan)
Wagiman
Dendy Gunawan
Sukiman
Suyatno
Lucia Wahini
-
d. Profil Kegiatan Lembaga Percik
Dalam perjalanan waktu kegiatan Percik telah berkembang dengan
pesat pada empat areas of concern, yaitu (1) bidang politik lokal, (2)
pluralisme masyarakat dan budaya, (3) civil society dan demokrasi, serta
(4) hukum dan HAM. Keempat bidang perhatian ini saling kait mengait
satu sama lain.
Di empat bidang perhatian tersebut Percik telah mengembangkan
kegiatan-kegiatan sebagai berikut (http://www.percik.or.id/):
1) Kegiatan Penelitian
Percik menempatkan kegiatan penelitian sebagai salah satu pilar
utama disamping kegiatan advokasi dan refleksi. Kegiatan penelitian
dilaksanakan berdasar minat dari dalam lingkungan Percik sendiri,
kerjasama dengan lembaga lain, ataupun atas ‘pesanan’dari pihak luar.
Khususnya terhadap penelitian pesanan, Percik berusaha secara kritis
mempertimbangkan kandungan kepentingan dan kemanfaatan dari
penelitan yang dipesan.
Untuk mengembangkan kegiatan di bidang penelitian Percik
mengembangkan dua pusat penelitian, yaitu:
a) Pusat Penelitian Politik Lokal (P2PL)
Pusat Penelitian Politik Lokal (P2PL), semula bernama Pusat
Penelitian dan Pengembangan Politik Lokal (P3PL), berdiri pada
pertengahan tahun 1999. Pendirian pusat penelitian ini merupakan
wujud keinginan Percik untuk mengkaji dinamika dan perkembangan
-
politik lokal sesudah Orde Baru, memberikan dukungan kepada
kebijakan yang mempertimbangkan situasi dan kondisi politik lokal,
mengembangkan fungsi pusat informasi tentang politk lokal dan
mendorong upaya pemberdayaan masyarakat dalam bidang sosial
politk oleh masyarakat yang bersangkutan dengan memperhitungkan
temuan penelitian.
Berkat antara lain dukungan dana dari The Ford Foundation,
selama kurun waktu 1999-2005 P2PL telah melakukan sejumlah
program yang berorientasi pada gagasan tersebut di atas yang
mencakup kegiatan-kegiatan penelitian, pengembangan kelembagaan,
dan upaya pengembangan pemberdayaan masyarakat. Kegiatan
penelitian P2PL memfokuskan pada aspek-aspek dari gejala
perubahan politik di aras lokal, baik di pedesaan, kecamatan maupun
kabupaten/kota. Ada enam gejala perubahan yang ditelaah, yaitu (1)
adanya perubahan atau pergeseran pusat-pusat kekuasaan, (2) adanya
perubahan basis relasi politik, (3) meluasnya gejala faksionalisme, (4)
adanya perubahan pola kepemimpinan, (5) perubahan fungsi ideologi,
dan (6) adanya perkembangan lembaga lokal.
Keenam gejala perubahan itu didekati lewat telaah terhadap
isu-isu yang muncul di lokasi-lokasi penelitian P2PL (yaitu di wilayah
pedesaan di Kecamatan Suruh, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah,
Kabupaten Pontianak, Kalimantan Barat, Kabupaten Minahasa
Sulawesi Utara, Kabupaten Lombok Barat, NTB, Kabupaten Kendari
-
Sulawesi Tenggara, Kabupaten Mamasa Sulewesi Selatan, dan
Kabupaten Sumba Timur, NTT).
Pemahaman yang diperoleh dari kegiatan penelitian
mengungkapkan antara lain, teridentifikasikannya gejala-gejala
perubahan dalam politik lokal baik dalam kelembagaan formal
maupun dalam dinamika di kalangan masyarakat, terungkapkannya
kerangka acuan kultural dalam dinamika politik lokal, dan peranan
dari kelompok-kelompok agama dalam kehidupan masyarakat desa.
Selain itu untuk menopang kegiatan penelitian, P2PL
menyelenggarakan seminar tentang metodologi penelitian, seminar
tentang temuan penelitian, dan seminar oleh para tamu (sosiolog,
antropolog, dan ahli ilmu politik) yang memberikan seminar datang
baik dari dalam negeri (UGM, UNDIP, UNAIR, LIPI) maupun luar
negeri (VU-Amsterdam).
Untuk mengembangkan jaringan peminat studi politik lokal,
P2PL menyelenggarakan Seminar Internasional Dinamika Politik
Lokal di Indonesia. Seminar ini diselenggarakan setiap tahun, pada
tahun 2005 ini sudah memasuki tahun keenam. Selain itu P2PL juga
melakukan pembentukan basis pemerhati politik lokal melalui training
yang mencakup pemahaman teroritis dan latihan ketrampilan
penelitian, serta pemberian beasiswa kepada peneliti (yang berasal
dari kalangan perguruan tinggi dan LSM) yang melakukan studi politk
lokal.
-
Dalam pengembangan kelembagaan tercakup upaya
pengembangan sarana pendukung bagi kegiatan-kegiatan P2PL,
seperti (1) pengembangan koleksi kepustakaan dalam bidang politik
lokal, (2) penerbitan berkala jurnal Politik Lokal-Humaniora Renai,
(3) penerbitan seri monografi tentang politik lokal, (4) kerjasama
pelatihan metodologi (antara lain dengan FISIPOL-UGM, dan CCSS
Yogyakarta), dan (5) kerjasama penelitian (dengan Menristek,
CRWRC, dsb).
Termasuk ke dalam jenis kegiatan ini adalah pemberian
bimbingan penelitian bagi berbagai pihak (misalnya peserta training
tersebut di atas, penerima dana RUKK-Menristek) dan penyediaan
fasilitas station (pangkalan) penelitian. Selama kurun waktu 1999–
2005 sejumlah peneliti tamu, baik dari dalam negeri maupun luar
negeri, telah memanfaatkan fasilitas station penelitian P2PL.
P2PL mendorong upaya masyarakat sendiri untuk
mengembangkan kemampuan setempat dengan turut
memperhitungkan hasil penelitian di lokasi studi. Realisasi kegiatan
ini (lewat FBB dan PDR) telah menunjukkan antara lain
perkembangan benih-benih demokrasi pada aras pedesaan.
b) Pusat Studi Transformasi Praktek-Praktek Keagamaan Lokal
Disamping Pusat Penelitian Politik Lokal, Percik
mengambangkan Pusat Studi dan Penelitian Transformasi Praktek-
Praktek Keagamaan Lokal. Pengembangan pusat studi dan penelitian
-
ini dilatar belakangi oleh pemikiran bahwa kajian praktek-praktek
keagamaan lokal sangat diperlukan untuk memahami sifat perubahan
politik pada aras lokal. Kajian praktek-praktek keagamaan lokal dapat
membantu mencermati berbagai bentuk ‘keagenan’ lokal dalam arti
luas; ‘akar dan rute’ perubahan yang bermula sebagai proses lokal.
Studi agama lokal sering diabaikan karena dianggap kurang relevan
bagi pemahaman terhadap perubahan politik dan ekonomi. Padahal
praktek-praktek keagamaan membantu mengungkapkan cara-cara
pemegang peran lokal memahami situasi setempat dan berupaya
mengatasi hambatan yang mereka hadapi. Dalam praktek keagamaan,
masyarakat setempat merenungkan dan menanggapi isu-isu penting
serta hambatan yang mereka hadapi. Praktek keagamaan dapat
dipandang sebagai cara-cara mengatasi isu-isu serta hambatan konkret
yang menantang para pemegang peran lokal. Pemahaman tentang
agama-agama setempat dapat menjadi kunci untuk memahami
transformasi politik dalam arti yang lebih luas.
Kegiatan dari Pusat Studi Transformasi Praktek-praktek
Keagamaan Lokal meliputi kegiatan penelitian mengenai berbagai
topik yang diminati oleh anggota tim peneliti (lihat uraian mengenai
Penelitian tentang Sejarah Praktek Keagamaan Lokal), training
metodologi dalam rangka penyiapan penelitian lapang dari kegiatan
Percik sendiri, training metodologi atas permintaan dari pihak luar
(Lingkungan Universitas, Lembaga Research, Lembaga Keagamaan,
-
dsb), seminar dan diskusi mengenai topik-topik khusus, serta
publikasi.
2) Seminar, Diskusi dan Loka Karya (Workshop).
Kegiatan seminar, diskusi, dan loka karya diselenggarakan oleh
Percik sebagai wahana untuk bertukar wacana, belajar bersama mengenai
topik-topik yang diminati, mendesiminasikan dan membahas hasil-hasil
penelitian, serta melakukan refleksi kritis terhadap perkembangan
masyarakat dan ilmu pengetahuan. Dalam penyelenggaraan seminar,
diskusi, dan lokakarya, nilai-nilai kebebasan, keterbukaan, dan kritis
mendapat perhatian dan pengutamaan.
Tema-tema berikut menjadi pokok bahasan Lembaga Percik:
a) Seminar di seputar masalah Hak Asasi Manusia dan Kebebasan
Beragama.
b) Seminar, Lokakarya dan Diskusi mengenai Pemilu 1999
c) Seminar tentang Desentralisasi dan Otonomi Daerah.
d) Seminar Internasional Tahunan tentang Dinamika Politik Lokal di
Indonesia.
e) Seminar Jurnal Renai yang diadakan dua kali per tahun
f) Seminar Tamu
g) Seminar dengan Tema Khusus
h) Seminar mengenai Metodologi Penelitian
3) Kegiatan Advokasi.
-
Selain kegiatan penelitian dan penyelenggaraan seminar,
lokakarya dan diskusi, Percik juga menyelenggarakan program yang
bersifat advokasi. Diantaranya adalah:
a) Program Kepemerintahan Lokal (Local Good Governance
programme)
Program ini secara khusus bertujuan untuk penguatan
lembaga-lembaga demokrasi di tingkat lokal, peningkatan mutu SDM,
serta peningkatan partisipasi masyarakat dalam penentuan kebijakan
publik. Bentuk-bentuk kegiatan yang dikembangkan antara lain
adalah: skill training programme di bidang ke legislatifan (legal
drafting, analisis budget, dsb), pengembangan kapasitas organisasi,
dan penyelesaian sengketa alternatif. Skill training programme ini
antara lain diperuntukkan bagi para anggota legislatif, eksekutif, para
anggota kelompok perempuan, para aktifis muda di pedesaan, dsb.
b) Program Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) dan
Peningkatan Kesadaran Politik Masyarakat.
Program pendidikan politik ini antara lain bertujuan untuk
memberikan pengetahuan dasar mengenai demokrasi, hak-hak politik
warga negara, serta penegakan hukum dan HAM. Untuk tujuan itu
selain menyelenggarakan pelatihan (antara lain Pendidikan HAM
untuk Perempuan, untuk para pamong desa, serta untuk warga gereja),
berbagai bentuk advokasi, Percik juga mengembangkan materi dan
modul pelatihan advokasi politik dan pendidikan HAM. Dalam rangka
-
menyongsong Pemilu 1999, Pemilu Legislatif dan Pemilihan Presiden
2004, serta Pemilihan Kepala Daerah Langsung (Pilkadal),
c) Program Pemberdayaan Civil Society
Program pemberdayaan Civil Society terutama menekankan
pada upaya pengembangan nilai-nilai pluralisme dan toleransi, serta
mendorong semakin luasnya partisipasi masyarakat dalam proses
penentuan kebijakan publik. Diantara berbagai kegiatannya, termasuk
di dalamnya adalah Pembentukan forum-forum komunikasi lintas
agama dan lintas golongan kemasyarakatan serta pengembangan
forum warga (CBO) di tingkat lokal. Termasuk dalam program ini
adalah:
1) Forum Sarasehan Lintas Iman: SOBAT
2) Program Belajar Bersama: Sobhet.
3) Desk Pengembangan Kehidupan Bergereja (DPKB)
d) Program Pendampingan di Bidang Hukum
Percik memiliki dua program di bidang pendampingan hukum
yaitu program bantuan hukum di bidang litigasi dan non litigasi yang
dilakukan oleh Biro Pelayanan dan Bantuan Hukum (BPBH), dan
program peningkatan fungsi kepolisian beorientasi masyarakat (COP)
di Salatiga.
4) Pengembangan Unit Penunjang
Untuk mendukung kinerja lembaga, Percik mengembangkan unit-
unit penunjang yaitu perpustakaan dan dokumentasi dengan koleksi
-
khusus, publikasi, teknologi informasi, dan pengembangan Kampoeng
Percik.
5) Pengembangan Relasi dan Kerjasama
Terutama sejak lima taun terakhir, relasi dan kerjasama Percik
dengan berbagai mitra telah berkembang dengan pesat. Relasi tersebut
antara lain dengan:
1) Relasi dengan berbagai pusat studi
2) Relasi dengan berbagai kelompok dan organisasi keagamaan
3) Relasi dengan berbagai LSM di tingkat lokal, profinsial maupun
nasional
6) Pengembangan Kampoeng Percik
Sejak tahun 2002 secara bertahap Percik mengembangkan tempat
kerja yang diberi nama Kampoeng Percik. Tempat kerja ini terletak di
kota Salatiga berjarak sekitar 1 km dari pusat kota. Di atas tanah seluas
1.25 ha, tempat kerja ini terdiri dari 6 rumah tradisional Jawa dari kayu
jati tua yang semula merupakan rumah-rumah penduduk di pedesaan.
Rumah-rumah tersebut kini difungsikan sebagai kantor administrasi,
ruang kerja staf, ruang perpustakaan, aula seminar, kantin dan rumah
tamu. Dengan lokasi yang berada ditengah persawahan, lingkungan
pepohonan yang hijau, udara yang sejuk dan segar, Kampoeng Percik
memberi suasana yang akrab dengan alam, nyaman untuk bekerja dan
berseminar. Di masa mendatang Percik bermaksud melengkapi
Kampoeng Percik ini dengan fasilitas untuk pusat pelatihan.
-
2. Sejarah Percik Memfasilitasi Perkawinan Beda Agama
Lembaga Percik merupakan lembaga untuk Penelitian Sosial,
demokrasi dan Keadilan Sosial. Lembaga tersebut sejak awal berdirinya, juga
memberikan perhatian terhadap persoalan hubungan lintas iman.
Percik menyelenggarakan program yang bersifat advokasi, di dalamnya
terdapat berbagai forum kegiatan, yaitu forum komunikasi lintas agama, lintas
golongan kemasyarakatan dan pengembangan forum warga (CBO). Program
tersebut melahirkan Forum Sarasehan Lintas Iman yang diberi nama SOBAT.
Forum SOBAT ini merupakan gerakan untuk pemberdayaan civil society di
tingkat local. Forum tersebut bertujuan membangun organisasi yang
mengutamakan warganegara dalam hal lintas agama (citizen based
organization) yang mampu mencari penyelesaian bersama terhadap berbagai
ketegangan dan konflik dalam masyarakat (http://www.percik.or.id).
Strategi pendekatan SOBAT pada dasarnya berupaya untuk
memperbaiki relasi hubungan lintas agama melalui penciptaan hubungan
pertemanan diantaranya:
a) Menciptakan kepercayaan (trust) dengan mengenal orang lain (the Others)
secara langsung atau tidak langsung, tidak hanya memandang dari
kacamata Kristen maupun Islam saja atau sebaliknya.
b) Menciptakan kesediaan belajar bersama tentang konteks lokal kehidupan
mereka.
c) Menciptakan kesediaan belajar bersama dan mengembangkan kemampuan
bersama. Strategi ini dipilih karena relasi lintas iman yang selama ini telah
-
sangat diwarnai oleh kecurigaan dan suburnya prasangka buruk
(http://www.percik.or.id).
SOBAT telah berkembang dan membentuk suatu gerakan dan kegiatan
diantaranya:
a) Gerakan “Kata Hawa” yang bertujuan untuk mendorong munculnya
emansipasi wanita lintas iman.
b) SOBAT Muda, bertujuan untuk mempererat hubungan pertemanan di
masa mendatang.
c) Kegiatan Wacana Lintas Iman, merupakan Wahana refleksi dan kerjasama
teologi lintas iman.
d) SOBAT Anak, Program ini bertujuan untuk menumbuhkan toleransi pada
anak yang berbeda latar belakang agama, suku, dan etis, sejak usia dini.
e) SOBAT juga menjembatani maupun memfasilitasi perkawinan beda
agama (http://www.percik.or.id).
Menurut staff percik (wawancara tanggal 12 Desember 2012)
mengatakan bahwa tidak adanya aturan yang tegas mengenai perkawinan beda
agama, menimbulkan kebingungan masyarakat dalam menanggapi kasus
perkawinan beda agama. Ada pihak yang setuju namun ada juga yang tidak
setuju dengan adanya perkawinan beda agama. Ada yang menganggap sah
namun ada juga yang menganggap tidak sah perkawinan beda agama. Hal ini
dipengaruhi oleh pemahaman dan pola pikir masing-masing pihak. Sehingga
berbagai pasangan yang hendak menikah beda agama dengan tetap memeluk
-
agamanya masing-masing, seringkali mengalami kesulitan untuk mendapatkan
pelayanan, baik secara administratif maupun keagamaan.
Berangkat dari berbagai persoalan tersebut akhirnya percik menemukan
sebuah gagasan tentang perkawinan beda agama yaitu dengan cara
menghubungkan dan menjadi mediator dengan para tokoh agama, lembaga dan
instansi pemerintah terkait, yang diperlukan untuk memperoleh pendampingan
dalam pelaksanaan pernikahan beda agama. Fasilitasi yang dilakukan oleh
Percik terhadap pasangan beda agama ini diasumsikan sebagai pintu darurat
yang berusaha memberi tempat/ruang (mempermudah) untuk melakukan
perkawinan beda agama.
E. Proses Perkawinan Beda Agama di Percik
1. Profil Pelaku Perkawinan Beda Agama
a. Pasangan DH (Kristen) dan AD (Islam)
Jodoh adalah Rahasia Illahi
Dalam kehidupan manusia masalah rejeki dan jodoh memang
menjadi rahasia Tuhan. Manusia hanya berhak merencanakan segala
sesuatunya namun tetap kuasa akhir berada di tangan Tuhan. Walaupun
begitu, manusia masih diberi kesempatan untuk mengubah takdir yang
ada dalam hidupnya. Begitu halnya bagi AD dan DH yang merasa telah
dijodohkan oleh Tuhan meskipun memiliki latar belakang agama yang
berbeda.
-
AD tinggal di Perum Bandung Indah Kostrad RT.02 RW.08,
sedangkan Dian tinggal di JL. Brigjen Sudiarto III/31 Desa Kalicacing.
Pertemuan AD dan DH berawal dari tempat kerja yang sama, mereka
sama-sama bekerja di Yayasan Salib Suci TK-SD Ignatius Slamet
Riyadi-Karawang. Mereka mulai akrab kira-kira tahun 2008, saat itu
Agung sudah bekerja di sekolah tersebut sejak tahun 2004 sedangkan
DH masuk tahun 2007. Waktu dua tahun digunakan AD dan DH untuk
saling memahami dan memikirkan kelanjutan hubungan mereka ke
depan. Karena memang sejak awal AD meminta DH bukan untuk
menjadi pacar, tapi sebagai istri, jadi selama dua tahun tersebut mereka
berpacaran untuk memikirkan bagaimana mereka bisa melangsungkan
perkawinan dan menyakinan kepada keluarga masing-masing.
Pada awal AD menyampaikan keinginannya untuk menikah
dengan DH yang beragama Kristen (2009), sempat ada pertentangan
dari orang tua AD mengenai rencana perkawinan mereka. Mengingat
orang tua AD termasuk orang yang cukup taat pada ajaran agamanya.
Orang tua AD juga berasal dari keluarga muslim, maka dari pihak
keluarga AD pun banyak pertentangan dengan keinginanya tersebut.
AD lahir dan besar dengan didikan agama Islam baik dari orang tua
maupun dari bangku sekolahnya.
Orang tua AD meminta kepada AD untuk memikirkan kembali
pilihannya, terbesit keinginan bagi mereka agar AD menikah dengan
wanita yang satu keyakinan. Setelah kira-kira satu tahun kemudian, AD
-
menyampaikan tekadnya untuk tetap menikah beda agama. Alasan yang
diutarakan AD memilih perkawinan beda agama adalah berniat untuk
ibadah dan berbuat baik. Agung sudah mengetahui perkawinan beda
agama sejak masih SMP, karena ada tetangganya yang menikah beda
agama. Saat itu memang AD memandangnya sebagai suatu keanehan,
tapi ternyata takdir berkata lain, bahwa AD juga termasuk yang
dijodohkan Tuhan untuk melakukan perkawinan beda agama juga.
Dari pihak kelu