Fasilitas Pajak
description
Transcript of Fasilitas Pajak
2015
Kelompok 1 :
Birochi Puspo Raharjo [07]
Indriani Natasha [17]
Rahmat Stiady [22] Tigor Ramadhan Lubis [27]
Kelas X-C Khusus
Sekolah Tinggi Akuntansi Negara
[FASILITAS PERPAJAKAN
DALAM KUP DAN PPH] Tugas Mata Kuliah Seminar Perpajakan Semester X
FASILITAS PAJAK dalam KUP dan PPH
2
FASILITAS PAJAK dalam KUP dan PPh
A. Pendahuluan
1. Latar belakang dan Tujuan Fasilitas Pajak
Terdapat banyak cara yang ditempuh suatu negara dalam menarik investasi sebagai
pemicu roda perekonomian. Kemudahan perizinan, kepastian hukum, ketersediaan infrastruktur,
dan kebijakan fiskal dapat menjadi salah saktu faktor pertimbangan investor untuk berinvestasi di
Indonesia. Kebijakan fiskal yang ditansformasikan dalam seperangkat peraturan perpajakan yang
mendukung iklim investasi. Penarikan pajak yang tinggi dan eksesif dapat mengurangi
kemampuan ekonomis investor sehingga investor dapat mencari alternatif negara lain untuk
berinvestasi. Dengan berbagai paket fasilitas yang ditawarkan, diharapkan geliat investasi
semakin meningkat sehingga pertumbuhan ekonomi mengalami percepatan.
2. Definisi Fasilitas Pajak
Istilah fasilitas perpajakan sudah memiliki makna khusus dalam tata hukum perpajakan
Indonesia. Yang difahami sebagai fasilitas perpajakan adalah kemudahan atau perlakuan khusus
terhadap Wajib Pajak tertentu atau Objek Pajak tertentu dengan kriteria tertentu. Sebagai contoh,
Pemerintah memberikan fasilitas Pajak Penghasilan berupa pembebasan pajak selama masa pajak
tertentu (tax holiday) bagi industri-industri tertentu yang memenuhi syarat. Ada banyak fasilitas
perpajakan yang dikenal dalam sistem perpajakan Indonesia dan dengan tujuan yang beragam.
Istilah fasilitas perpajakan itu sendiri tidak dikenal di negara-negara lain, istilah yang lazim
digunakan di negara lain untuk perlakuan khusus dimaksud adalah insentif (tax incentives). Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), fasilitas sendiri diartikan sarana untuk melancarkan
pelaksanaan fungsi atau kemudahan, sedangkan insentif ialah tambahan penghasilan (uang,
barang, dsb) yg diberikan untuk meningkatkan gairah kerja; uang perangsang sehingga lebih tepat
memang menggunakan istilah fasilitas perpajakan, bukan insentif pajak.
3. Jenis-Jenis Fasilitas Perpajakan
a. Fasilitas Pajak PPh Badan
Ialah fasilitas yang diberikan kepada WP Badan. Misalnya, Pengusaha real estat yang menerima
atau memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, wajib
membayar sendiri PPh Final Pasal 4 ayat (2) yang terutang sebesar 5% dari jumlah bruto nilai
pengalihan tersebut (yaitu nilai yang tertinggi antara nilai berdasarkan Akta Pengalihan Hak
dengan Nilai Jual Objek Pajak tanah dan/atau bangunan yang bersangkutan sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan).
b. Fasilitas Pajak PPN/PPnBM
Ialah fasilitas perpajakan yang diberikan terkait kewajiban PPN. Misalnya Pengusaha
realestat yang melakukan penyerahan tanah dan/atau bangunan wajib memungut PPN sebesar
10% dari harga jual (yaitu nilai berupa uang termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya
diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan
Nilai yang dipungut menurut Undang-undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam
Faktur Pajak) dan memungut PPnBM sebagai pungutan tambahan di samping PPN sebesar 20%
FASILITAS PAJAK dalam KUP dan PPH
3
dari harga jual atas penyerahan tanah dan/atau bangunan yang termasuk kelompok hunian
mewah.
Namun demikian pengusaha realestat yang melakukan penyerahan bangunan yang
memenuhi kriteria Rumah Sederhana dan Rumah Sangat Sederhana maupun Rumah Susun
Sederhana yang perolehannya secara tunai ataupun dibiayai melalui fasilitas kredit bersubsidi
maupun tidak bersubsidi, Pondok Boro, Asrama Mahasiswa dan Pelajar, Perumahan Lainnya, serta
Rumah Susun Sederhana Milik (RUSUNAMI) yang perolehannya dibiayai melalui kredit
kepemilikan rumah bersubsidi atau tidak bersubsidi mendapat fasilitas dibebaskan dari
pengenaan PPN secara otomatis tanpa adanya persyaratan SKB (Surat Keterangan Bebas).
c. Fasilitas PPN KMS (Kegiatan Membangun Sendiri)
Pengusaha realestat dapat dikenakan PPN atas kegiatan membangun sendiri yang dilakukan oleh
pembeli kaveling di dalam kawasan realestat dengan tarif 10% x 40% dari jumlah biaya yang
dikeluarkan dan atau yang dibayarkan untuk membangun sendiri, tidak termasuk harga perolehan
tanah
Namun demikian pengusaha realestat tidak akan dikenakan PPN atas Kegiatan Membangun
Sendiri apabila melakukan hal-hal sebagai berikut :
1) Pada saat ditandatanganinya Surat Pemesanan Tanah/Surat Perjanjian Pra Jual Beli/Perjanjian
Pra Jual Beli/Akte Jual Beli atas transaksi penjualan tanah kaveling, pembeli tanah kaveling
wajib mengisi dan menandatangani formulir Surat Pernyataan Kesanggupan Membayar Pajak
Pertambahan Nilai atas Kegiatan Membangun Sendiri yang diberikan oleh pihak realestat
2) Pengusaha realestat wajib melaporkan transaksi penjualan tanah kaveling kepada Kepala
Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tanah kaveling berada dengan
mengirimkan tembusan formulir Surat Pernyataan Kesanggupan Membayar Pajak
Pertambahan Nilai atas Kegiatan Membangun Sendiri paling lambat satu bulan sejak tanggal
penandatanganan formulir.
B. Fasilitas Perpajakan dalam UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
1. Jangka Waktu Pemenuhan Kewajiban bagi Wajib Pajak usaha kecil dan Wajib Pajak
di daerah tertentu. Dengan adanya peraturan pada pasal ひ ayat ゅぬaょ UU KUP yang berbunyi ╉Bagi Wajib Pajak usaha
kecil dan Wajib Pajak di daerah tertentu, jangka waktu pelunasan surat ketetapan dan surat putusan pajak dapat diperpanjang paling lama menjadi に ゅduaょ bulan ╉, maka ada kemudahan yang diterima bagi WP usaha kecil dan WP di daerah tertentu.
Dalam Pasal 7 PMK Nomor 242/PMK.03/2014 disebutkan bahwa Wajib Pajak usaha kecil terdiri
dari Wajib Pajak orang pribadi dan Wajib Pajak badan. Wajib Pajak orang pribadi usaha kecil harus
memenuhi kriteria sebagai berikut:
Wajib Pajak orang pribadi; dan
menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan
dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000,00
(empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak.
Wajib Pajak badan usaha kecil harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
Wajib Pajak badan tidak termasuk BUT; dan
FASILITAS PAJAK dalam KUP dan PPH
4
menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan
dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000,00
(empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak.
Untuk mendapatkan perpanjangan jangka waktu pelunasan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Wajib Pajak usaha kecil atau Wajib Pajak di daerah tertentu harus mengajukan permohonan
perpanjangan jangka waktu pelunasan kepada Direktur Jenderal Pajak, paling lama 9 (sembilan)
hari kerja sebelum tanggal jatuh tempo pembayaran dengan menggunakan surat permohonan
perpanjangan jangka waktu pelunasan.
Dalam hal Wajib Pajak usaha kecil dan Wajib Pajak di daerah tertentu menyetujui seluruh jumlah
pajak yang masih harus dibayar dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, pelunasan atas
jumlah pajak yang masih harus dibayar dilakukan paling lama 2 (dua) bulan sejak tanggal
penerbitan surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3a) Undang-Undang.
2. Wajib Pajak dengan Kriteria Tertentu
Dengan adanya peraturan pada Pasal 17C ayat (1) UU KUP yang berbunyi ╉Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan penelitian atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari
Wajib Pajak dengan kriteria tertentu, menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan
Kelebihan Pajak paling lama 3 (tiga) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak
Penghasilan, dan paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak Pertambahan Nilai╊. Dari peraturan yang telah dibuat ini, pertanyaannya adalah bagaimana cara Wajib Pajak (WP) menjadi WP kriteria tertentu agar WP dapat menikmati fasilitas yang
diberikan oleh DJP ?
Dalam PMK Nomor 74/PMK.03/2012 disebutkan bahwa untuk dapat ditetapkan sebagai Wajib
Pajak Dengan Kriteria Tertentu, Wajib Pajak harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan, meliputi :
1) penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan selama 3 (tiga) Tahun Pajak terakhir yang
wajib disampaikan sampai dengan akhir tahun sebelum tahun penetapan Wajib Pajak
Dengan Kriteria Tertentu dilakukan tepat waktu;
2) penyampaian Surat Pemberitahuan Masa yang terlambat dalam tahun terakhir sebelum
tahun penetapan Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu untuk Masa Pajak Januari sampai
November tidak lebih dari 3 (tiga) Masa Pajak untuk setiap jenis pajak dan tidak berturut-
turut;
3) seluruh Surat Pemberitahuan Masa dalam tahun terakhir sebelum tahun penetapan Wajib
Pajak Dengan Kriteria Tertentu untuk Masa Pajak Januari sampai November telah
disampaikan; dan
4) Surat Pemberitahuan Masa yang terlambat sebagaimana dimaksud pada huruf b telah
disampaikan tidak lewat dari batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Masa
Pajak berikutnya.
b. tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali tunggakan pajak yang
telah memperoleh izin mengangsur atau menunda pembayaran pajak. Yang dimaksud dengan
tidak mempunyai tunggakan pajak adalah keadaan Wajib Pajak pada tanggal 31 Desember
tahun sebelum penetapan sebagai Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu.
c. Laporan Keuangan diaudit oleh Akuntan Publik atau lembaga pengawasan keuangan
pemerintah dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian selama 3 (tiga) tahun berturut-turut,
dengan ketentuan :
FASILITAS PAJAK dalam KUP dan PPH
5
1) Laporan Keuangan yang diaudit harus disusun dalam bentuk panjang (long form report)
dan menyajikan rekonsiliasi laba rugi komersial dan fiskal bagi WP yang wajib
menyampaikan SPT Tahunan.
2) Pendapat Akuntan atas Laporan Keuangan yang diaudit ditandatangani oleh Akuntan
Publik yang tidak sedang dalam pembinaan lembaga pemerintah pengawas Akuntan
Publik.
d. tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan berdasarkan
putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 5
(lima) tahun terakhir.
Penetapan sebagai WP dengan kriteria tertentu dilakukan berdasarkan permohonan dari WP atau
sberdasarkan kewenangan DJP secara jabatan. Batas waktu pengajuan permohonan WP diajukan
paling lambat tanggal 10 Januari pada tahun penetapan WP dengan kriteria tertentu.
Penerbitan keputusan atas WP dengan kriteria tertentu dan pemberitahuan secara tertulis
dilakukan paling lambat tanggal 20 Februari pada tahun penetapan WP dengan kriteria tertentu.
Apabila sampai dengan tanggal 20 Februari pada tahun penetapan DJP tidak memberikan
keputusan, permohonan WP, maka dianggap disetujui dan DJP menerbitkan Keputusan mengenai
penetapan WP dengan kriteria tertentu.
WP yang telah memenuhi persyaratan sebagai WP dengan kriteria tertentu dan sudah melakukan
permohonan sebagai WP dengan kriteria tertentu, akan memperoleh beberapa keuntungan atau
mendapatkan fasilitas yang diberikan DJP, yaitu:
1) Mendapatkan perlakuan khusus untuk mengajukan permohonan pengembalian kelebihan
pembayaran pajak PPh dan PPN.
2) Wajib Pajak dengan kriteria tertentu, dapat menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa
Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk beberapa Masa Pajak sekaligus dengan syarat
pembayaran seluruh pajak yang wajib dilunasi menurut Surat Pemberitahuan Masa
tersebut dilakukan sekaligus paling lama dalam Masa Pajak yang terakhir, dan atau
menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa selain PPh Pasal 25 untuk beberapa Masa Pajak
sekaligus dengan syarat pembayaran untuk masing-masing Masa Pajak dilakukan sesuai
batas waktu untuk Masa Pajak yang bersangkutan.
3. Wajib Pajak yang Memenuhi Persyaratan Tertentu.
Wajib Pajak yang Memenuhi Persyaratan Tertentu diatur dalam Pasal 17D UU KUP dan PMK
Nomor : 198/PMK.03/2013 Tentang Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak
Bagi Wajib Pajak Yang Memenuhi Persyaratan Tertentu. Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan
tertentu yang dapat diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak meliputi:
a. Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas yang
menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan lebih bayar restitusi;
b. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas yang
menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan lebih bayar restitusi
dengan jumlah lebih bayar paling banyak Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah);
c. Wajib Pajak badan yang menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
lebih bayar restitusi dengan jumlah lebih bayar paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus
juta rupiah); atau
d. Pengusaha Kena Pajak yang menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan
Nilai lebih bayar restitusi dengan jumlah lebih bayar paling banyak Rp 100.000.000,00
(seratus juta rupiah).
FASILITAS PAJAK dalam KUP dan PPH
6
Selain memenuhi persyaratan tertentu sebagaimana dimaksud di atas, pengembalian pendahuluan
kelebihan pembayaran pajak harus didasarkan pada analisis risiko yang mempertimbangkan
perilaku dan kepatuhan Wajib Pajak yang dapat berupa:
a. kepatuhan penyampaian Surat Pemberitahuan;
b. kepatuhan dalam melunasi utang pajak; dan
c. kebenaran Surat Pemberitahuan untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, dan Tahun Pajak
sebelum-sebelumnya.
4. Wajib Pajak yang Menggunakan Pencatatan
Dalam Pasal 28 UU KUP disebutkan bahwa Wajib Pajak yang dikecualikan dari kewajiban
menyelenggarakan pembukuan, tetapi wajib melakukan pencatatan, adalah Wajib Pajak orang
pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan
menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dan Wajib Pajak orang pribadi yang tidak
melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
Pencatatan oleh Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha dan pekerjaan bebas
meliputi peredaran atau penerimaan bruto dan penerimaan penghasilan lainnya. Sedangkan bagi
mereka yang semata-mata menerima penghasilan dari luar usaha dan pekerjaan bebas,
pencatatannya hanya mengenai penghasilan bruto, pengurang, dan penghasilan neto yang
merupakan objek Pajak Penghasilan. Di samping itu, pencatatan meliputi pula penghasilan yang
bukan objek pajak dan/atau yang dikenai pajak yang bersifat final.
5. Sunset Policy
a. Dasar Hukum Pelaksanaan Sunset Policy
Peraturan yang menjadi landasan hukum sunset policy, antara lain:
1. Pasal 37 A Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007
2. Pasal 33 Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2007
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 66/PMK.03/2008 stdd PMK Nomor 12/PMK.03/2009
tentang Tata Cara Penyampaian atau Pembetulan Surat Pemberitahuan, dan Persyaratan
Wajib Pajak Yang Dapat Diberikan Penghapusan Sanksi Administrasi Dalam Rangka
Penerapan Pasal 37A UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU Nomor 28 Tahun
2007
4. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 27/PJ/2008 stdd Perdirjen 13/PJ/2009 tentang
Tata Cara Penyampaian, Pengadministrasian, serta Penghapusan Sanksi Administrasi
Sehubungan dengan Penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib
Pajak Orang Pribadi Untuk Tahun Pajak 2007 dan Sebelumnya, dan Sehubungan dengan
Pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi atau
Wajib Pajak Badan Untuk Tahun Pajak Sebelum Tahun Pajak 2007
5. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-33/PJ/2008 tentang Tata Cara Pemberian
NPWP, Penerimaan dan Pengolahan SPT Tahunan PPh, Penghapusan Sanksi Administrasi,
Penghentian Pemeriksaan, dan Pengadministrasian Laporan Terkait dengan Pelaksanaan
Pasal 37A Undang-Undang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan
FASILITAS PAJAK dalam KUP dan PPH
7
6. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-34/PJ/2008 tentang Penegasan Pelaksanaan
Pasal 37A Undang-Undang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan Beserta Ketentuan
Pelaksanaannya
b. Pengantar Sunset Policy
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 s.t.t.d.d. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) memberikan kewenangan kepada Direktorat
Jenderal Pajak untuk menghimpun data perpajakan dan mewajibkan instansi pemerintah, lembaga,
asosiasi dan pihak lainnya untuk memberikan data kepada Direktorat Jenderal Pajak. Ketentuan ini
memungkinkan Direktorat Jenderal Pajak mengetahui ketidakbenaran pemenuhan kewajiban
perpajakan yang telah dilaksanakan oleh masyarakat. Untuk menghindari masyarakat dari
pengenaan sanksi perpajakan yang timbul apabila masyarakat tidak melaksanakan kewajiban
perpajakannya secara benar, Direktorat Jendral Pajak (DJP) di tahun 2008 ini memberikan
kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk memulai memenuhi kewajiban perpajakan
secara sukarela dan melaksanakannya dengan benar. Sehingga Direktorat Jendral Pajak (DJP)
membuat suatu kebijakan yang hanya berlaku dalam satu tahun, yaitu mulai dari 1 Janurai 2008 sampai ぬな Desember にどどぱ yang disebut dengan ╉Sunset Policy╊.
Sunset Policy adalah kebijakan pemberian fasilitas perpajakan, yang berlaku hanya di tahun 2008,
dalam bentuk penghapusan sanksi administrasi perpajakan berupa bunga yang diatur dalam Pasal
37A UU KUP. Pihak-pihak yang dapat memanfaatkan Sunset Policy adalah:
1. Orang Pribadi yang belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), yang dalam tahun
2008 secara sukarela mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP dan menyampaikan SPT
Tahunan PPh untuk tahun pajak 2007 dan tahun-tahun pajak sebelumnya paling lambat 31
Maret 2009.
2. Wajib Pajak Orang Pribadi dan Badan yang telah memiliki NPWP sebelum tahun 2008, yang
menyampaikan pembetulan SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2006 dan tahun-tahun pajak
sebelumnya untuk melaporkan penghasilan yang belum diperhitungkan dalam pelaporan SPT
Tahunan PPh yang telah disampai kan.
Kebijakan Sunset Policy bersifat khusus yang hanya berlaku dalam jangka waktu terbatas, sehingga
beberapa ketentuan umum KUP tidak berlaku. Ketentuan umum yang tidak berlaku tersebut
seperti Undang-Undang KUP Pasal 8 ayat 1 yaitu :
1) Pembatasan jangka waktu 2 (dua) tahun untuk pembetulan SPT tahun PPh
2) Persyaratan belum dilakukan pemeriksaan
Yang menjadi konsep dasar sunset policy adalah prinsip Self Assessment, yaitu Wajib Pajak
mendaftarkan diri, menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan sendiri pajak yang
terutang. Dengan kata lain pemerintah dalam hal ini aparat pajak tidak lagi menetapkan jumlah
pajak terutang, tetapi berfungsi untuk melakukan pembinaan, sosialisasi, penelitian dan
pengawasan terhadap pelaksanaan kewajiban perpajakan. Hal ini dimaksudkan agar dapat
menggerakkan peran serta semua lapisan subjek pajak dalam meningkatkan penerimaan dalam
negeri. Untuk itu Wajib Pajak diberi kemudahankemudahan dalam memenuhi kewajiban
perpajakannya. Sunset Policy di sini hadir sebagai fasilitas/kemudahan yang diberikan kepada
Wajib Pajak/Subjek Pajak untuk memenuhi kewajiban perpajakannya.
FASILITAS PAJAK dalam KUP dan PPH
8
Dengan pertimbangan animo masyarakat yang cenderung ramai memanfaatkan Sunset Policy pada
akhir tahun 2008, maka Direktur jendral Pajak mengeluarkan kebijakan perpanjangan yaitu
sampai 28 Februari 2009 untuk Wajib Pajak Pribadi dan 31 Maret 2009 untuk Wajib Pajak Badan.
Sunset Policy adalah kebijakan pemberian fasilitas perpajakan, yang berlaku hanya di tahun 2008,
dalam bentuk penghapusan sanksi administrasi perpajakan berupa bunga.
c. Teknis Sunset Policy
Ketentuan sunset policytercantum dalam Undang-undang KUP Nomor 28 Tahun 2007 Pasal 37A,
perubahan ketiga atas undang-undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan, yang ketentuan pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Menteri Keungan Nomor
66/PMK.03/2008, dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 27/PJ/2008 sebagai mana telah
diubah dengan peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 30/PJ/2008, serta Surat Edaran Direktur
Jenderal Pajak Nomor SE-33/PJ/2008 tanggal 27 Juni 2008.
Ketentuan Sunset Policy bagi Wajib Pajak Baru dan Wajib Pajak Lama
Dalam Undang-undang KUP Nomor 28 Tahun 2007 Pasal 37A Sunset Policy bisa dimanfaatkan
oleh Wajib Pajak baru dan Wajib Pajak lama. Adapun ketentuan bagi Wajib Pajak tersebut yaitu:
1) Wajib Pajak Baru.
Wajib Pajak Orang Pribadi yang memperoleh NPWP secara sukarela dalam tahun 2008 (Wajib
Pajak baru) yang memanfaatkan fasilitas sunset policy diberikan penegasan lebih lanjut yaitu
sebagai berikut :
1. Wajib Pajak Baru yang menyampaikan SPT Tahunan PPh untuk tahun pajak 2007 atau tahun
pajak dan sebelumnya dalam kurun waktu mulai tanggal 1 Januari 2008 sampai dengan 31
Maret 2009 diberikan fasilitas Sunset Policy.
2. Wajib Pajak Baru yang membetulkan SPT Tahun PPh untuk tahun pajak 2007 atau tahun pajak
2007 dan sebelumnya dalam kurun waktu mulai tanggal 1 Januari 2008 sampai dengan 30
juni 2008 diberikan fasilitas sunset policy.
3. Wajib Pajak Baru yang membetulkan SPT tahunan PPh untuk tahun pajak 2007 atau tahun
pajak 2007 dan sebelumnya dalam kurun waktu mulai tanggal 1 Juli 2008 sampai dengan 31
Desember 2008, diberikan fasilitas sunset policy atas pembetulan yang pertama kali. Namun,
apabila pembetulan SPT Tahunan PPh dilakukan terhadap SPT Tahunan PPh (SPT Lama) yang
telah disampaikan dalam kurun waktu mulai tanggal 1 Juli 2008 sampai dengan 31 desember
2008, Pembetulan SPT, Tahunan PPh tersebut tidak memperoleh fasilitas sunset policy.
2) Wajib Pajak Lama
Wajib Pajak yang telah memiliki NPWP sebelum tanggal 1 Januari 2008 (Wajib Pajak Lama) yang
memanfaatkan sunset policy diberikan penegasan, yaitu:
1. Wajib Pajak Lama yang menyampaikan SPT Tahunan PPh Wajib pajak badan atau Wajib Pajak
Orang Pribadi untuk tahun pajak 2006 dan/atau tahun-tahun pajak sebelumnya dalam kurun
waktu mulai tanggal 1 Januari 2008 sampai dengan 31 Desember 2008 yang menyatakan
kurang bayar dan sekarang di perpanjang sampai dengan 26 Februari 2009, diberikan fasilitas
sunset policy.
FASILITAS PAJAK dalam KUP dan PPH
9
2. Wajib Pajak Lama yang membetulkan SPT Tahunan PPh WP badan atau WP orang pribadi
untuk tahun pajak 2006 dan/atau tahun-tahun pajak sebelumnya dalam kurun waktu mulai
tanggal 1 Januari 2008 sampai dengan 31 Juni 2008 menyatakan kurang bayar, diberikan
fasilitas sunset policy.
3. Wajib Pajak lama yang membetulkan SPT Tahunan WP badan atau WP orang pribadi untuk
tahun pajak 2006 dan/atau tahun-tahun pajak sebelumnya dalam kurun waktu mulai tanggal
1 Juli 2008 sampai dengan 31 desember 2008, pembetulan SPT Tahunan PPh tersebut tidak
memperoleh fasilitas sunset policy.
3) Wajib Pajak yang Sedang Dilakukan Pemeriksaan
Wajib Pajak memberitahukan ke KPP domisili dalam waktu paling lama tanggal 22 Agustus 2008
atau paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah SP3 diperlihatkan kepada wajib pajak. Dalam hal
Wajib Pajak yang diperiksa untuk seluruh jenis pajak (all taxes) membetulkan SPT Tahunan PPh
WP Badan atau WP Orang Pribadi, dan SPT untuk jenis pajak lainnya tidak ada yang menyatakan
lebih bayar, pemeriksaan untuk jenis pajak tersebut dihentikan, kecuali :
1) Jika Pajak Penghasilan WP Badan atau WP Orang Pribadi yang terutang berdasarkan temuan
pemeriksaan yang didukung oleh bukti yang akurat/konkrit (bukan hasil ekualisasi, pengujian
arus piutang, pengujian arus utang dan sebagaimya). Sampai dengan saat Wajib Pajak
membetukan SPT Tahunan PPh WP Badan atau WP Orang Pribadi lebih besar daripada Pajak
Penghasilan yang terutang menurut pembetulan SPT Tahunan WP Badan atau WP orang
pribadi, maka pemeriksaan dilanjutkan setelah mendapat persetujuan dari atasan langsung
kepada Unit Pelaksanaan Pemeriksaan; atau
2) Jika terdapat indikasi tindak pidana di bidang perpajakan, maka pemeriksaan tersebut
ditindaklanjuti dengan mengusulkan Pemeriksaan Bukti Permulaan.
Temuan pemeriksaan tersebut hanya menyangkut temuan pemeriksaan yang terkait dengan
pemeriksaan atas SPT Tahunan PPh WP Badan atau WP Orang Pribadi. Dengan demikian, temuan
pemeriksaan atas pemeriksaan untuk jenis pajak lainnya tidak dapat digunakan sebagai bahan
pertimbangan untuk melanjutkan pemeriksaan. Usulan pemeriksaan bukti permulaan dilakukan
dengan tetap memperhatikan kebijakan Pemeriksaan Bukti Permulaan.
Dalam hal SPT Tahunan PPh WP Badan atau WP Orang Pribadi sedang dilakukan pemeriksaan,
tetapi SPT untuk jenis pajak lainnya tidak diperiksa, dan Wajib Pajak manfaatkan sunset policy,
pemeriksaan tersebut dihentikan dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dalam huruf (A),
sedangkan dalam hal SPT Tahunan PPh WP badan atau WP Orang Pribadi tidak sedang dilakukan
pemeriksaan tetapi SPT untuk jenis pajak lainnya sedang diperiksa, dan Wajib Pajak
memanfaatkan sunset policy, pemeriksaan ditindaklanjuti sebagai berikut.
1. Jika terdapat pemeriksaan atas SPT jenis pajak lainnya yang menyatakan lebih bayar
(misalnya SPT Masa PPN lebih bayar), pemeriksaan atas SPT lebih bayar tersebut dilanjutkan
tanpa dilakukan dengan pembetulan SPT Tahunan PPh WP badan atau WP Orang Pribadi.
2. Jika terdapat pemeriksaan atas SPT jenis pajak lainnya yang menyatakan tidak lebih bayar,
pemeriksaan untuk jenis pajak lainnya tersebut dihentikan, kecuali:
FASILITAS PAJAK dalam KUP dan PPH
10
a. Terdapat indikasi pidana di bidang perpajakan, maka pemeriksaan tersebut
ditindaklanjuti dengan mengusulkan Pemeriksaan Bukti Permulaan; atau
b. Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP) terkait dengan pemeriksaan atau SPT
jenis pajak lainnya telah disampaikan kepada Wajib Pajak, maka pemeriksaan tetap
dilanjutkan sampai dengan penerbitan laporan Hasil Pemeriksaan dan Nota
Penghitungan.
Untuk pemeriksaan bukti permulaan dilakukan dengan tetap memperhatikan kebijakan
Pemeriksaan Bukti Permulaan.
d. Apakah Sunset Policy Termasuk Dalam Kategori Tax Amnesty?
Pada saat menjalankan kampanye kebijakan Sunset Policy kepada para pengusaha di Jakarta,
Dirjen Pajak Darmin Nasution mengungkapkan bahwa Sunset Policy bukan merupakan
pengampunan pajak (tax amnesty), karena jaminan dan kepastian pengampunan pajak lebih tinggi,
serta wajib pajak sudah pasti tidak akan diperiksa, sedangkan Sunset Policy hanya berupa
penghapusan sanksi pajak. Terkait pengampunan pajak (Hutagaol, John, 2007, 27) menyatakan
bahwa: ╉Pengampunan Pajak ゅtax amnesty) merupakan kebijakan pemerintah di bidang perpajakan yang
memberikan penghapusan pajak yang seharusnya terutang dengan membayar tebusan dalam
jumlah tertentu yang bertujuan untuk memberikan tambahan penerimaan pajak dan kesempatan
bagi Wajib Pajak yang tidak patuh (tax evaders) menjadi Wajib Pajak yang patuh (honest
taxpayers) sehingga diharapkan akan mendorong peningkatan kepatuhan sukarela Wajib Pajak
(taxpayers voluntary complianceょ di masa yang akan datang.╊
Dari pengertian pengampunan pajak tersebut dapat disimpulkan bahwa pengampunan pajak
cakupannya lebih luas dibandingkan dengan Sunset Policy, karena Sunset Policy hanya terkait
dengan penghapusan sanksi administrasi perpajakan saja. Dalam menjalankan kebijakan
pengampunan pajak di banyak negara, sering mengalami kegagalan karena pemerintah tidak
memiliki kesiapan yang matang baik persiapan, pelaksanaan maupun pascapelaksanaan tax
amnesty, hal ini dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran pemerintah dalam menjalankan
kebijakan Sunset Policy. Kegiatan pasca kebijakan Sunset Policy yang dicanangkan oleh
pemerintah adalah law enforcement dan pembinaan kepada Wajib Pajak.
e. Tinjauan atas Pemanfaatan Sunset Policy oleh Subjek Pajak/Wajib Pajak
Ada cukup banyak penelitian yang mencoba menemukan pengaruh penerapan Sunset Policy ini
terhadap sisi WP utamanya terkait upaya peningkatan kesadaran membayar atau melapor pajak
sesuai dengan ketentuan formal yang berlaku. Berikut adalah 2 hasil penelitian yang bisa
menggambarkan tinjauan Sunset Policydarisudit pandang dan perilaku Wajib Pajak.
1. Menurut Priyo Ari Hadi sebagimana penelitian yang dilakukannya pada 167 responden di
Kota Salatiga pada tahun 2009 menghasilkan kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut:
- Sunset Policy dapat meningkatkan kesadaran wajib pajak untuk membayar pajak;
- Sunset Policy mempengaruhi secara positif pengetahuan dan pemahaman wajib pajak akan
peraturan perpajakan; dan
FASILITAS PAJAK dalam KUP dan PPH
11
- Sunset Policy mempengaruhi secara positif faktor persepsi yang baik akan efektifitas
sistem perpajakan yang ada.
2. Sedangkan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Soraya pada tahun 2010 dengan objek
KPP Pratama Cilandak menghasilkan kesimpulan-kesimpulan berikut ini:
- penerapan sunset policy di KPP Jakarta Cilandak sudah cukup menurut persepsi Wajib
Pajak Orang Pribadi;
- kepatuhan formal Wajib Pajak Orang Pribadi di KPP Jakarta Cilandak cukup tinggi; dan
- penerapan kebijakan sunset policy memberikan pengaruh terhadap kepatuhan formal
wajib pajak pada KPP Jakarta Cilandak sebesar 49,3%. Sedangkan sisanya yaitu sebesar
50,7% dijelaskan variabel lain di luar variabel penerapan kebijakan sunset policy, seperti
kemauan Wajib Pajak itu sendiri, compliance cost, kejelasan peraturan perpajakan, dan
sikap dari aparat pajak.
Di samping dua hal tersebut di atas, dalam tesisnya, Mira Novana Ardani (2010) menjelaskan
bahwa terdapat keraguan dari sisi Wajib Pajak yang membuat sebagian besar dari Wajib Pajak
enggan memanfaatkan fasilitas Sunset Policy ini. Keraguan tersebut antara lain:
1. Wajib Pajak masih menunggu dikeluarkannya kebijakan Pengampunan Pajak (Tax Amnesty),
karena jaminan dan kepastian Pengampunan Pajak lebih tinggi daripada Sunset Policy. Pada
kebijakan Pengampunan Pajak Wajib Pajak sudah pasti tidak akan diperiksa, sementara itu
Sunset Policy hanya memberikan penghapusan sanksi pajak jika Wajib Pajak memperbaiki
surat pemberitahuan tahunannya. Padahal menurut Dirjen Pajak dalam kondisi saat ini,
pengampunan pajak tidak dimungkinkan karena membutuhkan pembahasan mendalam atas
kategori pengampunannya, terutama untuk pidana pajak. Kebijakan ini juga sangat sensitif
dan kental muatan politisnya sehingga sulit diterapkan di Indonesia pada saat itu.
2. Adanya kekhawatiran masyarakat bahwa Sunset Policy tidak memberikan kepastian hukum.
Hal ini berkenaan dengan adanya anggapan bahwa apabila pemerintahan berganti maka bisa
saja ketentuan Pasal 37A UU KUP tersebut dicabut dan Wajib Pajak bisa diperiksa lagi atas
data yang sudah dilaporkan. Kekhawatiran ini seharusnya tidak perlu terjadi, karena kalaupun
nanti dibuat Undang-undang Pajak baru, sesuai dengan asas hukumnya Undang-undang tidak
boleh berlaku surut (retroaktif).Oleh karena itu, kebijakan Sunset Policy merupakan kebijakan
yang sudah final. Wajib Pajak tidak perlu khawatir akan diperiksa lagi. Dengan kata lain,
kebijakan Sunset Policy yang dilandasi ketentuan Pasal 37A UU Nomor 28/2007 tersebut
sudah mempunyai kekuatan hukum yang pasti, di samping itu kebijakan ini juga sangat
legitimate karena telah melalui proses diskusi cukup panjang dan persetujuan DPR.,
pelaksanaannya pun dikawal dengan sejumlah peraturan Menteri Keuangan dan Peraturan
Dirjen Pajak yang telah diterbitkan guna memberi kepastian bagi Wajib Pajak. Jelas sekali
Sunset Policy 2008 ditempatkan pada posisi sangat strategis dan serius dilaksanakan oleh
pemerintah. Hal itu juga menjamin bahwa seandainya terjadi pergantian pejabat sekalipun,
tidak akan mengubah garis kebijakan yang telah ditetapkan.
3. Adanya kekhawatiran dari Wajib Pajak bahwa Sunset Policy adalah ╉jebakan╊ dari Pemerintah, sehingga kemudian Wajib Pajak akan lebih mudah untuk diperiksa karena datanya sudah
terkumpul dengan baik. Sebenarnya kebijakan Sunset Policymerupakan bentuk kepercayaan
Direktorat Jenderal Pajak terhadap Wajib Pajak, sehingga pemerintah sama sekali tidak
bermaksud untuk menjebak Wajib Pajak karena ketentuan/peraturan perundang-undangan
FASILITAS PAJAK dalam KUP dan PPH
12
perpajakan dibuat untuk memberikan kepastian hukum dan kemudahan bagi Wajib Pajak
dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya. Yang terpenting adalah Wajib Pajak
harus jujur dan benar dalam mengisidan melaporkan SPT atau Pembetulan SPT. Perlu pula
diingat bahwa Direktorat Jenderal Pajak tidak dapat menggunakan data dan/atau informasi
yang terdapatdalam SPT Tahunan PPh yang disampaikan oleh Wajib Pajak dalam rangka
memanfaatkan fasilitas Sunset Policytersebut untuk menerbitkan Ketetapan Pajak atas jenis
pajak lainnya. Jadi, Wajib Pajak pada dasarnya akan dilindungi sepanjang WajibPajak telah
membetulkan SPT Tahunan PPh, dan menyampaikan SPT Tahunan PPhsesuai keadaan yang
sebenarnya.
4. Adanya pengaruh atas anggapan yang pesimistis dari beberapa kalangan terhadap kebijakan
Sunset Policy. Ekonom Iman Sugema misalnya, justru menanggapi miring kebijakan tersebut.
Direktur International Center for Applied Finance and Economics (Inter-CAFE) Institut
Pertanian Bogor ini mengatakan, tanpa pengawasan ketat, Sunset Policy hanya menimbulkan
masalah. Menurutnya, petugas pajak tetap harus bisa menelaah laporan yang diberikan Wajib
Pajak dengan baik. Jika disalahgunakan, maka kejahatan perpajakan akan lebih sulit
terdeteksi, Serupa dengan Iman, Guru Besar Hukum Keuangan Negara Universitas Indonesia,
Arifin Soeria Atmadja mengatakan kebijakan ini rawan disalahgunakan oleh para Wajib Pajak
besar. Selain itu, sistem ini diragukan keefektifannya dalam menjaring Wajib Pajak besar,
karena kesadaran hukum Wajib Pajak dan aparat pajak di Indonesia masih rendah.
Keraguan-keraguan yang timbul di atas pada dasarnya adalah dampak dari kurang gencarnya
kegiatan sosialisasi dari Direktorat Jenderal Pajak terkait Sunset Policy ini. Informasi mengenai
Sunset Policy tidak terdistribusi dengan baik dan lengkap ke seluruh lapisan Wajib Pajak di
seluruh negeri. Akibatnya ada begitu banyak Wajib Pajak yang tidak mengetahui apa itu Sunset
Policy dan bagaimana cara pemanfaatan Sunset Policy bisa menguntungkan mereka.
Lalu, untuk menjawab pertanyaan apakah kebijakan Sunset Policy efektif untuk diterapkan
kembali saat ini, diperlukan beberapa penelitian dan evaluasi terkait dengan kebijakan Sunset
Policy, terutama karena bebrapa pertimbangan sebagai berikut:
1. Sunset Policy tidak sustainable secara jangka panjang.
Hal ini sebenarnya telah digambarkan sebelumnya bahwa Sunset Policy memang memiliki dampak
yang fantastis secara jangka pendek, namun demikian secara jangka panjang masih dalam
tanda tanya besar. Tingkat kepatuhan mungkin dapat ditingkatkan secara instan dalam wujud
semakin banyak Wajib Pajak yang mendaftarkan diri dan melaporkan SPT-nya, namun sekali
lagi hal tersebut hanya sementara. Di masa depan ketika telah lewat periode Sunset, Wajib
Pajak tersebut akan pasif kembali. Tanpa law enforcement dan sosialisasi yang memadai dan
menyeluruh, tingkat kepatuhan Wajib Pajak ini akan jatuh kembali.
2. Adanya kekhawatiran bahwa Sunset Policy hanya akan dimanfaatkan oleh Wajib Pajak besar.
Alasan ini terus menjadi buah bibir seputar Sunset Policy. Banyak pihak yang beranggapan bahwa
Sunset Policy nantinya hanya akan dimanfaatkan oleh Wajib Pajak besar. Sementara Wajib
Pajak kecil yang sesungguhnya merupakan target utama dari kebijakan ini justru tidak
tersentuh. Hal ini serupa dengan pernyataan Arifin Soeria Atmaja, Guru Besar Hukum
Keuangan Negara Universitas Indonesia yang mengungkapkan kekhawatirannya terhadap
FASILITAS PAJAK dalam KUP dan PPH
13
kemungkinan disalahgunakannya fasilitas ini oleh Wajib Pajak besar dan kegagalan fasilitas
ini dalam menjaring Wajib Pajak menengah ke bawah.
f. Simpulan
Berdasarkan deskripsi mengenai Sunset policy dan proses pelaksanaanya, diperoleh beberapa
kesimpulan, antara lain:
1. Sunset Policy adalah kebijakan pemberian fasilitas perpajakan, yang berlaku hanya di tahun
2008 dan diperpanjang hingga 28 Februari 2009, dalam bentuk penghapusan sanksi
administrasi perpajakan berupa bunga sebagaimana diatur dalam Pasal 37A UU KUP;
2. Sunset Policy bukan merupakan bagian dari Tax Amnesty. Sunset Policy berada pada lingkup
yang sangat kecil, yaitu hanya meliputi penghapusan sanksi administrasi, sementara Tax
Amnesty berada pada lingkup yang jauh lebih luas, meliputi pengampunan atas seluruh
kewajiban perpajakan, baik dalam bentuk pokok pajak, maupun sanksi atas pajak yang
terutang.
3. Berdasarkan sejumlah penelitian yang telah dilakukan, Sunset Policy berkorelasi positif
terhadap peningkatan tingkat kepatuhan Wajib Pajak serta penerimaan Negara. Hal ini
didukung oleh beberapa penelitian yang menghasilkan kesimpulan yang serupa. Hanya saja
dampak yang ditimbulkan ini hanya bersifat jangka pendek, dan secara jangka panjang
kebijakan ini gagal dalam mempertahankan tingkat kepatuhan Wajib Pajak untuk tetap tinggi.
4. Sunset Policy ini memiliki banyak keuntungan yang dapat dimanfaatkan oleh Wajib
Pajak/Subjek Pajak. Akan tetapi tantangan dalam proses sosialisasi kepada masyarakat luas
dianggap kurang maksimal. Akibatnya, muncul berbagai macam keraguan yang seharusnya
tidak terjadi apabila proses sosialisasi dapat berjalan optimal.
C. Fasilitas Perpajakan dalam Pajak Penghasilan
1. Investment Allowance untuk Penanaman Modal Bidang Usaha Tertentu dan/atau di
Daerah Tertentu.
Dasar Hukum :
a. Pasal 31A UU PPh
b. PP 1 No 2007 stdtd PP 52 no 2011 Tentang Fasilitas Pajak Penghasilan Untuk Penanaman
Modal Di Bidang-Bidang Usaha Tertentu Dan/Atau Di Daerah-Daerah Tertentu
c. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 144/PMK.011/2012 Tentang
Pemberian Fasilitas Pajak Penghasilan Untuk Penanaman Modal Di Bidang-Bidang Usaha
Tertentu Dan/Atau Di Daerah-Daerah Tertentu
Alasan :
Dalam rangka lebih meningkatkan kegiatan investasi langsungguna mendorong pertumbuhan
ekonomi, serta untukpemerataan pembangunan dan percepatan pembangunan,perlu diberikan
insentif PPh bagi WP yang melakukan kegiatanusaha di bidang usaha tertentu dan/atau daerah
tertentu.
Untuk :
FASILITAS PAJAK dalam KUP dan PPH
14
WP badan berbentuk PT atau koperasi yang melakukanpenanaman modal pada:
a. 52 bidang usaha pada Lampiran I atau;
b. 77 bidang usaha di daerah tertentu pada Lampiran II dalam PP 52/2011
WP sebagaimana dimaksud di atas termasuk WP yangtelah memiliki izin penanaman modal
sebelum berlakunyaPP Nomor 52 Tahun 2011, dengan syarat:
a. rencana penanaman modal minimal Rp1 Triliun; dan
b. belum beroperasi secara komersial pada saat PP52/2011 berlaku.
Bentuk Fasilitas
Investment allowance 30% dari jumlah Penanaman Modalyang dibebankan selama 6 tahun,
masing-masing sebesar5%;
Penyusutan dan amortisasi yang dipercepat;
Tarif PPh 10% atas dividen kepada Subjek Pajak LuarNegeri, atau tarif yang lebih rendah
menurut P3B; dan
Kompensasi kerugian 5 s.d 10 tahun dengan ketentuan:
a. penanaman modal di kawasan industri dan kawasanberikat;
b. tenaga kerja Indonesia minimal 500 orang selama 5tahun berturut-turut;
c. pengeluaran infrastruktur ekonomi dan sosial di lokasiusaha minimal Rp10 miliar;
d. biaya litbang di dalam negeri untuk pengembanganatau efisiensi produk minimal 5% dari
investasi dalamjangka waktu 5 tahun; dan/atau
e. menggunakan bahan baku dan/atau komponen hasilproduksi dalam negeri minimal 70%
sejak tahun ke-4.
2. Fasilitas untuk Kegiatan Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan
Dasar Hukum :
a. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 2008 Tentang Perubahan
Atas Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 Tentang Fasilitas Pajak Penghasilan
Untuk Penanaman Modal Di Bidang-Bidang Usaha Tertentu Dan/Atau Di Daerah-Daerah
Tertentu
b. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 21/PMK.011/2010 Tentang
Pemberian Fasilitas Perpajakan Dan Kepabeanan Untuk Kegiatan Pemanfaatan Sumber
Energi Terbarukan
Alasan :
Dengan semakin berkurangnya cadangan energi yang berasaldari fosil, maka diperlukan inovasi
penggunaan energi terbarukanuntuk menjamin tersedianya pasokan energi yang
berkelanjutan.Indonesia sangat berpotensi untuk memanfaatkan energiterbarukan seperti panas
bumi, angin, bioenergi, sinar matahari,aliran dan terjunan air, serta gerakan dan perbedaan
suhulapisan laut. Oleh karena itu, insentif Pajak Penghasilan diperlukanuntuk mendukung
pemanfaatan sumber energi terbarukan yangmemerlukan investasi yang sarat teknologi serta
memiliki risikoyang tinggi.
Untuk : WP yang melakukan kegiatan pemanfaatan Sumber EnergiTerbarukan
Fasilitas :
- Investment allowance 30% dari jumlah Penanaman Modal, selama 6 tahun.
FASILITAS PAJAK dalam KUP dan PPH
15
- penyusutan dan amortisasi yang dipercepat;
- tarif PPh 10% atas dividen kepada subjek pajak luarnegeri, atau tarif yang lebih rendah
menurut P3B; dan
- kompensasi kerugian 5 s.d 10 tahun dengan ketentuan:
a. tambahan 1 tahun: penanaman modal di kawasanindustri dan kawasan berikat;
b. tambahan 1 tahun: tenaga kerja Indonesia minimal500 orang selama 5 tahun berturut-
turut;
c. tambahan 1 tahun: pengeluaran infrastrukturekonomi dan sosial di lokasi usaha minimal
Rp10
a. Miliar;
d. tambahan 1 tahun: biaya litbang di dalam negeriuntuk pengembangan atau efisiensi
produk minimal5% dari investasi dalam jangka waktu 5 tahun;dan/atau
e. e. tambahan 1 tahun: menggunakan bahan bakudan/atau komponen hasil produksi dalam
negeriminimal 70% sejak tahun ke-4.
- Dikecualikan dari pemungutan PPh Pasal 22 Impor atasimpor barang berupa mesin dan
peralatan, baik dalamkeadaan terpasang maupun terlepas, tidak termasuksuku cadang.
3. Tax Holiday untuk Industri Pionir
Dasar Hukum :
a. PP 94 Nomor 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak
Penghasilan dalam Tahun Berjalan
b. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 192/PMK.011/2014 Tentang
Perubahan Atas PMK-130/PMK.011/2011 tentang Pemberian Fasilitas Pembebasan atau
Pengurangan Pajak Penghasilan Badan
Alasan :
Penanaman modal mempunyai peran penting dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi
nasional yang berkelanjutan serta meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi nasional.
Untuk mendorong investasi di Indonesia, Pemerintah Indonesia melalui kebijakan fiskalnya
memberikan fasilitas di bidang perpajakan berupa tax holiday bagi industri pionir yang diberikan
lebih promotif dibandingkan dengan fasilitas yang diberikan oleh negara lain.
Untuk :
Wajib Pajak (WP) badan baru atau yang berdiri paling lama 12 bulan sebelum 15 Agustus 2011,
dengan syarat:
a. merupakan industri pionir, yaitu Industri logam dasar, pengilangan minyak bumi dan/atau
kimia dasar organik yang bersumber dari minyak bumi dan gas alam, permesinan,
sumberdaya terbarukan, dan/atau peralatan komunikasi;
b. investasi minimal Rp1 Triliun;
c. menempatkan dana di perbankan Indonesia minimal 10% dari total rencana investasi.
FASILITAS PAJAK dalam KUP dan PPH
16
Dengan mempertimbangkan kepentingan daya saing industri nasional dan nilai strategis dari
kegiatan usaha tertentu, Menteri Keuangan dapat memberikan fasilitas untuk industri pionir
lainnya
Fasilitas
a. Pembebasan PPh Badan (tax holiday) 5 s.d 10 Tahun, sejak dimulainya produksi komersial.
b. Pengurangan PPh Badan 50% selama 2 tahun setelah periode tax holiday.
c. Dengan mempertimbangkan kepentingan daya saing industri nasional dan nilai strategis
dari kegiatan usaha tertentu, Menteri Keuangan dapat memberikan fasilitas dengan jangka
waktu lebih panjang.
4. Penurunan Tarif PPh bagi Perseroan Terbuka
Dasar hukum :
a. UU PPh Pasal 17 2b
b. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 2013 Tentang Penurunan
Tarif Pajak Penghasilan Bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri Yang Berbentuk Perseroan
Terbuka
c. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 238/PMk.03/2008 Tentang Tata
Cara Pelaksanaan Dan Pengawasan Pemberian Penurunan Tarif Bagi Wajib Pajak Badan
Dalam Negeri Yang Berbentuk Perseroan Terbuka
Alasan :
Dalam rangka meningkatkan peranan pasar modal sebagaisumber pembiayaan dunia usaha dan
untuk mendorongpeningkatan jumlah perseroan terbuka serta peningkatankepemilikan publik
pada perseroaan terbuka, diperlukan fasilitasPPh bagi WP badan dalam negeri yang berbentuk
PerseroanTerbuka.
Untuk :
WP badan dalam negeri yang berbentuk Perseroan Terbuka, dengan syarat:
b. Minimal 40% dari keseluruhan saham disetor dan diperdagangkan di bursa efek di
Indonesia;
c. Saham tersebut dimiliki paling sedikit oleh 300 pihak;
d. Masing-masing pihak hanya boleh memiliki saham kurang dari 5% dari keseluruhan saham
yang disetor; dan
e. Ketentuan tersebut harus dipenuhi dalam waktu minimal 183 hari dalam jangka waktu 1
tahun pajak.
Fasilitas ini dimanfaatkan dengan cara self-assessment pada saat penyampaian SPT PPh WP badan,
yaitu dengan:
a. Melampirkan surat keterangan dari Biro Administrasi Efek berupa formulir X.H.1-6
sebagaimana diatur dalam Peraturan Bapepam dan LK Nomor X.H.1 untuk setiap tahun
pajak terkait;
b. Mencantumkan nama WP, NPWP, Tahun Pajak, serta menyatakan bahwa ketentuan
tersebut dipenuhi dalam waktu paling singkat 6 bulan dalam jangka waktu 1 tahun pajak.
Bentuk Fasilitas :
FASILITAS PAJAK dalam KUP dan PPH
17
Penurunan tarif PPh sebesar 5% lebih rendah dari tarif tertinggi PPh WP badan dalam negeri
sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b UU PPh.
Pengurangan 50% Tarif PPh bagi Wajib Pajak Badan
Dasar hukum :
a. UUPPh Pasal 31E
b. SE 66 tentang Penegasan atas Pelaksanaan Pasal 31E ayat (1) Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008
Alasan :
Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional yang didukung oleh pelaku usaha kecil dan
menengah, diperlukan insentif PPh berupa pengurangan tarif PPh kepada pelaku usaha dengan
skala usaha yang terbatas. - WP badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp50
Miliar.
Peredaran bruto dalam hal ini, yaitu penghasilan yang diterima atau diperoleh dari kegiatan usaha
sebelum dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan baik yang
berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, meliputi:
a. Penghasilan yang dikenai PPh bersifat final;
b. Penghasilan yang dikenai PPh tidak bersifat final; dan
c. Penghasilan yang dikecualikan dari objek pajak.
Fasilitas :Pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif WP badan dalam negeri yang dikenakan atas
Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp4,8 Miliar.
Fasilitas ini dimanfaatkan dengan cara self-assessment pada saat penyampaian SPT Tahunan PPh
WP badan. Dengan demikian, WP tidak perlu menyampaikan permohonan fasilitas.
FASILITAS PAJAK dalam KUP dan PPH
18
REFERENSI
Ardani, Mira Novana. 2010. ╉Pengaruh Kebijakan Sunset Policy Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak
(Studi Kasus Di Kanwil Direktorat Jenderal Pajak Jawa Timur I Surabaya). Semarang:
Universitas Diponegoro.
Booklet Direktorat Jenderal Pajak. ╉Seputar Sunset Policy╊.
Direktorat Jenderal Pajak. 2008. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor 34/PJ/2008 tentang
Penegasan Pelaksanaan Pasal 37A Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan Beserta Ketentuan Pelaksanaannya.
Karim, Azizah. 2010. ╉Persepsi Wajib Pajak Terhadap Penghapusan Sanksi Administrasi Berupa
Bunga pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Ilir Barat di Palembang╊. Dimuat dalam
Majalah Ilmiah Volume 11 No.3, 2010.
Republik Indonesia. 2007. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan. Jakarta: Sekretariat Negara.
Soraya. 2010. ╉Penerapan Sunset Policy dalam Meningkatkan Kepatuhan Formal Wajib Pajak Orang Pribadi Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Cilandak. Bandung: Universitas
Komputer Indonesia.
Winastyo, Ehrmons F.P. 2010. ╉Efektivitas Sunset Policy dalam Meningkatkan Tingkat Kepatuhan
Wajib Pajak dan Penerimaan Pajak pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Sawah
Besar Dua╊. Jakarta: Universitas Indonesia.