FAKTOR RISIKO STRES INKONTINENSIA URIN POST PARTUM...
Transcript of FAKTOR RISIKO STRES INKONTINENSIA URIN POST PARTUM...
FAKTOR RISIKO STRES INKONTINENSIA URIN POST PARTUM PADA
PRIMIPARA
Risk Factors for Postpartum Stress Urinary Incontinence in Primiparas
FERDINAND RAMBU TANDUNG
PROGRAM PASCA SARJANA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
i
PRAKATA
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa,
karena atas rahmat dan karuniaNya penulis dapat menyelesaikan tesis ini.
Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat dalam menyelesaikan
pendidikan spesialis pada Departemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar dan Konsentrasi
Pendidikan Dokter Spesialis Terpadu (Combined Degree) Program Studi
Biomedik, Pascasarjana Universitas Hasanuddin Makassar.
Penulis bermaksud menyumbangkan informasi ilmiah mengenai
Faktor Risiko Stres Inkontinensia Urin Postpartum Pada Primipara. Penulis
menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna sehingga kritik dan
saran yang membangun sangat diharapkan.
Penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
dr. Eddy Tiro, SpOG(K) sebagai pembimbing I dan dr. David Lotisna,
SpOG(K) sebagai pembimbing II, yang secara tulus bersedia menjadi
pembimbing dengan arif dan bijaksana, menerima konsultasi dan
memberikan bimbingan, serta saran mulai dari pemilihan judul, penelitian dan
penyusunan tesis ini. Terima kasih kepada Dr. dr. St. Maisuri T Chalid,
SpOG(K) selaku pembimbing statistik, yang telah banyak memberikan arahan
dan bimbingan dalam bidang statistik dan pengolahan data. Terima kasih
kepada Prof. dr. John Rambulangi, SpOG(K) dan Dr. dr. Deviana S
ii
Riu, SpOG selaku penyanggah yang telah memberikan masukan dan
pengarahan demi perbaikan tesis ini.
Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Kepala Departemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin, Prof. Dr. dr. Nusratuddin Abdullah,
SpOG(K), MARS; Ketua Program Studi, Dr. dr. Deviana S. Riu,
SpOG; Sekretaris Program Studi, dr. Nugraha Utama Pelupessy,
SpOG(K); dan seluruh staf pengajar yang telah mendidik dan
memberikan arahan kepada penulis selama pendidikan.
2. Penasihat akademik, dr. David Lotisna, SpOG(K). Rasa hormat dan
penghargaan yang setinggi-tingginya atas segala perhatian dan
bimbingan yang telah diberikan selama ini
3. Ketua TK-PPDS, Ketua Konsentrasi, Ketua Program Studi Biomedik,
serta seluruh staf pengajar pada Konsentrasi Pendidikan Dokter
Spesialis Terpadu (Combined Degree) Program Biomedik
Pascasarjana Universitas Hasanuddin atas bimbingannya selama
penulis menjalani pendidikan
4. Teman sejawat peserta PPDS-1 Obstetri dan Ginekologi atas
bantuan dan kerja samanya dalam proses pendidikan.
5. Paramedis Departemen Obstetri dan Ginekologi di BLU RS Dr.
Wahidin Sudirohusodo dan seluruh Rumah Sakit jejaring pendidikan
atas kerja samanya selama penulis menjalani masa pendidikan.
iii
6. Pasien yang telah bersedia ikut serta dalam penelitian ini sehingga
penelitian ini dapat berjalan sebagaimana mestinya.
7. Orang tua terkasih Darius Tandung (alm), Nicodemus Bisse dan
Ruhama Rambu; saudara tercinta, dr. Benhardy Rambu Tandung,
atas doa, kasih sayang, kesabaran, perhatian, pengertian, dan
dukungan yang tidak putus-putusnya pada penulis
8. Kekasih tercinta dr. Patricia Jessica Babay atas semua dukungan
dan perhatian yang diberikan serta sumbangsih pikiran dalam
penyusunan tesis ini.
9. Semua pihak yang namanya tidak tercantum namun telah banyak
membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
Akhirnya penulis berharap semoga tesis ini dapat berguna bagi
perkembangan Ilmu Obstetri dan Ginekologi di masa mendatang.
Makassar, Maret 2017
Ferdinand Rambu Tandung
vi
Abstrak
Inkontinensia urin menurut International Continence Society didefinisikan sebagai keluarnya urin
secara tidak sadar. Penelitian ini bertujuan mengetahui faktor risiko obstetri terhadap kejadian stres
inkontinensia urin postpartum. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kohort prospektif.
Penelitian dilakukan di RS Pendidikan Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Unhas dan
RS jejaring di Makassar. Pengumpulan data dilakukan selama periode Oktober 2016-Februari
2017. Kemudian dilanjutkan dengan follow-up sampel setelah tiga bulan pengambilan data
(postpartum). Sampel yang diambil telah memenuhi syarat kriteria inklusi dan ekslusi. Dari total
sampel 128 terdapat 8 sampel drop out dan terkumpul 120 sampel primipara yang dikelompokkan
menjadi kala II < 60 menit (60 sampel) dan ≥ 60 menit (60 sampel). Sampel yang ada diidentifikasi
faktor risiko stres inkontinensia urin, yaitu umur, IMT, lama kala II, persalinan vakum, derajat
ruptur perineum, episiotomi, dan berat bayi lahir. Kemudian dilakukan analisis dengan uji X2 -
Fishcer exact untuk mencari hubungan faktor risiko terhadap kejadian SIU tiga bulan postpartum.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 120 sampel penelitian didapati 12 sampel (10%)
mengalami SIU tiga bulan postpartum. Persalinan vakum merupakan faktor risiko yang
berhubungan dengan kejadian SIU tiga bulan postpartum (p=0,002; RR=12,0; IK 95% 3,04-47,36).
Kejadian stres inkontinensia urin tiga bulan postpartum meningkat dengan persalinan yang
menggunakan alat bantu vakum ekstraksi.
Kata kunci : stres inkontinensia urin, postpartum, faktor risiko
Abstract
Urinary incontinence according to International Continence Society is defined as unconscious
urinary discharge. This research aimed to investigate the obstetric risk factors on the incidence of
urine incontinensia stress post-partum. The research used the prospective cohort in Obstetric and
Ginecology Education Hospital of Hasanuddin University and its networking Hospitals in
Makassar from October 2016 through February, 2017. First, the data were collected, then the
follow-up samples 3 months after the data collection (post partum). The samples should fulfill the
inclusive and exclusive criteria. From the total of 128 samples, 8 samples were drpped; thus, there
were only 120 primipara samples, who were then grouped into two: 60 samples with <60 minutes
and 60 samples with ≥ 60 minutes. The stress risk factors of urine incontinensia in the samples
were identified, such as the age, IMT, period of time II, cacuum delivery, perineum rupture degree,
epiciotomy and newborn weight. After that, the analysis using Fisher Exact test of X2 in order to
find the correlation between the risk factors and the incidence of SIU 3 months post partum. From
the 120 research samples, 12 samples (10%) experienced SIU 3 months ost partum. The vacuum
delivery was the risk factor which was correlated with the incidence of SIU 3 months post partum
(p=0.002; RR=12.0; 95% of IK 3.04 - 47.36). The incidence of the urine incontinensia stress 3
months post partum increased with the delivery using the instrument of vacuum extraction.
Keywords: urine incontinensia stress, post partum, risk factor
viii
DAFTAR ISI
Halaman
PRAKATA ……………………………………………………………………………… i
HALAMAN PENGESAHAN ………………………………………………………….. iv
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS …………………………………………………. v
ABSTRAK …………………………………………………………………………….. vi
ABSTRACT …….…………………………………………………………………….. vii
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………...…… viii
DAFTAR TABEL ………………………………………………………...………….. xii
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………...……………….. xiii
DAFTAR ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN ….……………..…………………. xiv
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………………..…….. xvi
ix
BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………………… 1
A. Latar Belakang Masalah ………………………………………………….. 1
B. Rumusan Masalah ……………………………………...…………………. 3
C. Tujuan Penelitian ……………………………………...…………………… 3
D. Manfaat Penelitian …………………………………………………………. 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………………….. 5
A. Definisi …………..…...…………………………………………………….... 5
B. Anatomi dan Mekanisme Kontinensia ……………..…………………..… 5
B.1. Uretra ………………………...………………………………………. 6
B.2. Penyokong Uretra ……………..………………………….………… 9
B.3. Kandung Kemih …………………..…………………………….....… 9
B.4. Dasar Panggul …….………………………………………………. 12
C. Prevalensi …………………………………………………….................... 14
D. Faktor Risiko Potensial ……….……………………………...…………… 16
D.1. Kehamilan …………………..………………………………………. 16
D.2. Cara Persalinan ….………………………………………….……... 18
D.2.1. Cara Persalinan Pervaginam ….…………………………… 18
x
D.2.2. Cara Persalinan Perabdominam ……… ….…………..... 18
D.2.3. Berat Bayi Lahir …………………………...….…………..... 19
D.2.4. Ekstraksi Vakum atau Forsep …….…… ….…………..... 20
D.2.5. Durasi Kala Dua ……………………….… ….…………..... 20
D.2.6. Episiotomi ……………………………...…….….……….... 21
D.2.7. Paritas …………………………………….….…………..... 21
D.2.8. Ruptur Perineum ……………………….….…..………..... 21
E. Diagnosa Klinis ……………………………………………………….… 22
F. Kerangka Teori ……………………………………………………..……. 25
BAB III : KERANGKA KONSEP …..…………………………………………….. 26
A. Diagram Kerangka Konsep …………………………………….………. 26
B. Variabel Penelitian ……………………………………………….……... 27
C. Hipotesis Penelitian ………………..……….….…………………….… 27
D. Definisi Operasional ……………….………..…..…………………...… 28
BAB IV METODE PENELITIAN ……………………………………...…….… 32
A. Desain Penelitian ……..….……………………………………………. 32
B. Tempat dan Waktu Penelitian ………………………………….….. 32
C. Populasi dan Sampel …………………………………………………… 32
D. Kriteria Sampel ………………………………………….……………… 33
xi
E. Alat dan Bahan ..….……………………………….……………………. 34
F. Cara Kerja ……………………………………….………………………. 35
G. Alur Penelitian …………………..……………………………………… 36
H. Pengolahan dan Penyajian Data ……………….……………………… 36
I. Aspek Etis ………………….……………………………………………... 37
J. Personalia Penelitian …………………………………………………….. 37
K. Anggaran Penelitian …………………………………………….……….. 37
M. Jadwal Penelitian ……………………………………………….……...… 38
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN …..………………………………………. 39
A. Hasil ………………………………………………………………………. 39
B. Pembahasan …………………………………………………………….. 44
BAB VI. SIMPULAN DAN SARAN ………………………………………………. 53
A. Simpulan …………………………………………………………………. 53
B. Saran …………………………………………………………………...… 53
DAFTAR PUSTAKA …………………………………….………………………… 54
xii
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Ringkasan beberapa penelitian mengenai prevalensi inkontinensia urin ……………………………..............................………………...…………..15
2. Distribusi Karakteristik Sampel …………………………………..……… 40
3. Hubungan Faktor Risiko dengan kejadian stress inkontinensia urin 3
bulan post partum pada primipara ………………………………..……. 43
xiii
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Penampang Saluran kemih bagian bawah 6
2. Skema Potongan melintang Uretra 7
3. Diagram skematik yang menunjukkan komponen dari sfingter uretra interna
dan eksterna, mekanisme dan lokasinya 8
4. Potongan Sagital (atas) dan Potongan axial (bawah) penampang uretra 11
5. Penampang lateral struktur yang menyokong uretra 12
6. Skematik mekanisme pembukaan dan penutupan uretra saat berkemih 14
xiv
DAFTAR ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN
Lambang/singkatan Arti dan keterangan
BFLUTS Bristol Female Lower Urinary Tract Symptoms
BLU Badan Layanan Umum
CI/IK Confidence interval / interval kepercayaan :
taksiran rentan nilai pada populasi
FK Fakultas Kedokteran
H2O Hidrogen dioksida
ICIQ-UI-SF International Consultation on Incontinence
Questionnaire-Urinary Incontinence-Short Form
ICS The International Continence Society
IMT Indeks Massa Tubuh
LMA longitudinal muscle of the anus
LP levator plate
L1-L2 percabangan saraf lumbalis 1 – 2
m. muscle/muskulus / otot
OR Odds Ratio : asosiasi paparan faktor risiko
P nilai P : tingkat keberartian terkecil sehingga nilai
suatu uji statistik yang sedang diamati masih
berarti
PCM pubococcygeus muscle
PUL pubourethral ligament
xv
PPDS Program Pendidikan Dokter Spesialis
P1 Proporsi pajanan pada kelompok kasus
P2 Proporsi pajanan pada kelompok kontrol
RS Rumah sakit
RSKDIA Rumah Sakit Khusus Daerah Ibu dan Anak
RR Risiko Relative : asosiasi paparan faktor risiko
SIU Stres Inkontinensia Urin
SPSS Statistical Package for the Social Sciences :
aplikasi piranti lunak pengolah data statistik
SSI Symptoms Severity Index
SIQ Stress Incontinence Questionnaire
S1 percabangan saraf sakralis 1
S2 percabangan saraf sakralis 2
S3 percabangan saraf sakralis 3
Tes pad tes dengan menggunakan bahan pembalut
Tes Q-tip tes diagnosa inkontinensia urin menggunakan
kapas lidi pada ujungnya
UDI-6 Short Form Urogenital Distress Inventory
UNHAS Universitas Hasanuddin
USL uterosacral ligament
Zα Kesalahan tipe I
Zβ Kesalahan tipe II
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Rekomendasi Persetujuan Etik 60
2. Naskah Penjelasan Untuk Responden 61
3. Surat Persetujuan Setelah Penjelasan ( Informed Consent) 63
4. Formulir Penelitian 66
5. Kuesioner 67
6. Data Primer Penelitian 68
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Inkontinensia urin menurut International Continence Society
didefinisikan sebagai keluarnya urin secara tidak sadar. Inkontinensia urin
terbagi berdasarkan jenisnya yaitu stress inkontinensia urin, urge
inkontinensia urin dan mix inkontinensia urin. Stress inkontinensia urin
merupakan inkontinensia urin yang paling banyak didapatkan di mana
mencapai 50% dari seluruh kejadian inkontinensia urin pada wanita.Di
Amerika Serikat, Minassian, V. A., Stewart, W. F. & Wood, G. C.,
melaporkan setengah dari responden wanita yang mengeluhkan
mengalami inkontinensia urin yang bila diproyeksikan berdasarkan
prevalensinya pada pertumbuhan penduduk maka didapatkan wanita
dengan inkontinensia urin akan meningkat sebanyak 50% ( dari angka 18
juta hingga mencapai 28 juta wanita) dari tahun 2010 - 2050. Pada
pengamatan yang sama, dilaporkan 23% - 38% dari populasi wanita yang
berusia lebih dari 20 tahun di Amerika Serikat mengalami gejala dari stres
inkontinensia urin (Minassian, V. A., Stewart, W. F. & Wood, G. C., 2008).
Dari systematic review yang dilakukan oleh Cerruto, M. A., D’Elia, C.,
Aloisi, A. et al., 2013, mengemukakan bahwa dari hasil investigasi dari 17
penelitian kohort di Eropa didapatkan prevalensi inkontinensia urin pada
wanita sebesar 16.1 – 68.8%. Prevalensi berdasarkan umur dilaporkan paling
rendah pada wanita dengan usia muda. Prevalensi inkontinensia urin
postpartum dari systematic review yang dilakukan oleh Thom, D.,H &
Rortveit, G., tahun 2010 dilaporkan sebesar 31% (Cerruto, M. A., D’Elia,
C., Aloisi, A. et al., 2013).
Kehamilan dan persalinan diidentifikasi sebagai faktor risiko kejadian
inkontinensia urin, dimana banyak penelitian yang melaporkan banyaknya
kejadian inkontinensia urin yang terjadi pada wanita setelah persalinan
2
pervaginam (Press, J. Z., Klein, M. C., Kaczorowski, J., et al., 2007). Pada
sebuah penelitian yang dilakukan oleh Valsky, D. V., Lipschuetz, M., Bord,
A.,et al, pada tahun 2009 menyimpulkan bahwa persalinan dengan lama
kala II < 60 menit dan ukuran diameter lingkar kepala bayi baru lahir < 35
cm didapatkan risiko untuk terjadinya kerusakan pada struktur dalam
rongga pelvis sebesar 1.124 kali lipat. Sedangkan apabila dengan lama
persalinan kala II > 110 menit dengan ukuran diameter lingkar kepala bayi > 35 cm dilaporkan risiko terjadinya kerusakan pada struktur rongga pelvis
akan meningkat sebesar 5.32 kali lipat (Valsky, D. V., Lipschuetz, M., Bord,
A., et al., 2009). Sedangkan Wesnes, S. L., Hunskaar, S., Bo, K. & Rortveit,
G., tahun 2009 mengemukakan hasil pengamatannya dimana durasi waktu
meneran yang berhubungan dengan lamanya kala II persalinan, vakum
ekstraksi dan ruptur perineum disimpulkan menjadi faktor yang berperan
terhadap terjadinya kerusakan saraf pudendus yang pada akhirnya akan
menyebabkan inkontinensia urin. (Wesnes, S. L., Hunskaar, S., Bo, K. & Rortveit, G., 2009).
Dampak dalam segi perekonomian terhadap inkontinensia urin
yang berkaitan dengan kelemahan otot dasar panggul cukup signifikan
dimana pada tahun 2006 di Amerika Serikat, sekitar 4 juta pasien yang
datang berobat diperkirakan menghabiskan biaya $412 juta. Secara
individu, setiap pasien menghabiskan biaya sebesar $900 per tahun untuk
perawatan rutin, yang mencakup untuk pembelian pembalut maupun
untuk kepentingan biaya pencucian pakaian yang disebabkan
inkontinensia urin. Di lain pihak, untuk wanita yang menjalani operasi
sebagai terapi inkontinensia urin diperkirakan menghabiskan biaya $118
per bulan (Dmochowski, R. R., Karram, M. M. & Reynolds, W. S., 2013).
Sehubungan dengan temuan-temuan di atas, terdapat beberapa
faktor yang berpengaruh terhadap kejadian inkontinensia urin post partum.
Berkaitan dengan hal ini, mendorong peneliti untuk melakukan penelitian
yang bertujuan meneliti faktor risiko tersebut terhadap kejadian
inkontinensia urin post partum khususnya di Makassar.
3
B. Rumusan Masalah
Bagaimana kajian faktor risiko obstetri terhadap kejadian stres
inkontinensia urin post partum pada primipara?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui faktor risiko obstetri terhadap kejadian stres
inkontinensia urin post partum.
2. Tujuan Khusus 1. Mengetahui prevalensi stres inkontinensia urin post partum
2. Menganalisis hubungan umur dengan kejadian stres inkontinensia
urin post partum.
3. Menganalisis hubungan IMT dengan kejadian stres inkontinensia
urin post partum.
4. Menganalisis hubungan lama kala II dengan kejadian stres
inkontinensia urin post partum
5. Menganalisis hubungan episiotomi dengan kejadian stres
inkontinensia urin post partum
6. Menganalisis hubungan derajat ruptur perineum dengan kejadian
stres inkontinensia urin post partum
7. Menganalisis hubungan persalinan vakum dengan kejadian stres
inkontinensia urin post partum
8. Menganalisis hubungan berat bayi lahir dengan kejadian stres
inkontinensia urin post partum
4
D. Manfaat Penelitian a. Bidang Pelayanan
Memberikan informasi dalam rangka strategi pencegahan terjadinya
stres inkontinensia urin post partum melalui pengenalan faktor risiko.
b. Bidang Akademik
1. Memberi informasi ilmiah mengenai besarnya kejadian stres
inkontinensia urin post partum pada primipara.
2. Sebagai data dasar untuk penelitian selanjutnya yang berkaitan
dengan stres inkontinensia urin.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Menurut The International Continence Society (ICS) tahun 2013,
inkontinensia urin adalah keadaan dimana adanya keluhan terjadinya
pengeluaran urin secara involunter. Keluhan inkontinensia urin dapat
dirasakan oleh individual atau didapatkan dari hasil pengamatan pemeriksa (Abrams, P., Cardozo, L., Khoury, S. & Wein, A. J., 2013).
B. Anatomi dan Mekanisme Kontinensia
Saluran kemih bagian bawah terdiri atas kandung kemih dan uretra
yang merupakan satu kesatuan fungsional yaitu penyimpanan dan
pengeluaran selama siklus berkemih. Pada fase penyimpanan, uretra
bertindak sebagai penutup dan kandung kemih sebagai penampung. Pada
fase pengeluaran, uretra bertindak sebagai pipa dan kandung kemih
sebagai pompa. Untuk menjaga kontinensia urin, tekanan penutupan
uretra harus melebihi tekanan di dalam kandung kemih baik saat istirahat
maupun pada kondisi stres. Faktor yang penting dalam mekanisme ini
adalah kontrol dari otot detrusor, struktur anatomi yang utuh dan posisi
bladder neck yang normal (Cardozo, L & Staskin, D., 2001).
6
Gambar 1. Penampang Saluran kemih bagian bawah (Cardozo, L &
Staskin, D., 2001)
B.1. Uretra
Struktur uretra mencerminkan dual fungsi yaitu sebagai penghalang
dan saluran pengeluaran urin, uretra memiliki hubungan yang sangat erat
namun di lain pihak juga independen terkait dengan fungsi kandung kemih.
Meskipun panjang uretra hanya 3 sampai 4 cm, lumen otot uretra memiliki
struktur berlapis yang kompleks. 15% bagian proksimal dari uretra terletak
di dalam dinding otot dasar kandung kemih, sedangkan 20% bagian distal
terletak melewati membran perineum. Struktur uretra antara kedua ujung
inilah yang menjalankan peran dalam mekanisme katup (Ostergard, D. R.,
Bent, A. E., Cundiff, G. W. & Swift, S. E., 2008).
7
Gambar 2. Skema Potongan melintang Uretra
(Trivedi, P & Rane, A., 2014)
Uretra terdiri atas lapisan mukosa, pada struktur lapisan
submukosa dimana pada lapisan ini terdapat banyak pembuluh darah dan
memiliki struktur yang menyerupai spons, dan lapisan otot polos yang
terdiri atas lapisan otot longitudinal dan sirkuler walaupun pada referensi
lainnya ada yang menyebutkan uretra memiliki lapisan otot oblik. Masing-
masing fungsi otot polos ini bekerja secara berbeda, dimana otot polos
longitudinal berperan dalam pemendekan struktur dan menyebabkan
lumen uretra terbuka, sedangkan otot polos sirkuler berperan dalam
penutupan lumen uretra (Trivedi, P & Rane, A., 2014).
Otot lurik yang melingkari sfingter (rhabdosfingter) terbagi menjadi
tiga bagian yaitu :
1. Otot sfingter uretra atau rhabdosfingter yang melingkari 2/3
bagian tengah uretra, otot ini adalah yang paling tebal di 2/3
tengah uretra. Otot ini pada bagian proksimal dan distal
berbentuk menyerupai ladam kuda dan pada kedua ujung
pertemuan otot ini terdapat trigonal plate (jaringan ikat pada
dinding vagina anterior).
8
2. Otot ureterovaginal pada 1/3 distal uretra yang berasal dari
dinding ventral vagina.
3. Otot kompresor uretra pada 1/3 distal uretra yang berasal
dari ramus iskiopubis.
Ketiga otot di atas saling tumpang tindih. Pada bagian distal, otot
rhabdosfingter berubah menjadi otot kompresor uretra dan otot sfingter
uretrovagina yang melengkung melampaui permukaan uretra. Kerja dari
ketiga otot di atas merupakan satu kesatuan yang menghasilkan tekanan
penutupan saat tidak berkemih. Serabut – serabut ketiga otot tersebut
tergolong kejut lambat (slow twitch) yang dapat menghasilkan tonus yang
konstan untuk periode lama menjaga tekanan saat ada stres (Cardozo, L
& Staskin, D., 2001)
Gambar 3. Diagram skematik yang menunjukkan komponen dari
sfingter uretra interna dan eksterna, mekanisme dan
lokasinya. (Cardozo, L & Staskin, D., 2001)
9
B.2. Penyokong Uretra
Penyokong uretra terdiri dari :
1. Ligamentum puboservikalis
2. Ligamentum pubouretralis
3. M. Levator ani ( otot-otot lurik oeriuretra)
a. M. Ileokoksigeus
b. M. Pubokoksigeus
i. M. Pubouretralis
ii. M. Pubovaginalis
iii. M. Puborektalis
4. Dinding anterior vagina
Otot-otot lurik periuretra (m. levator ani) tersusun dari serabut kejut
cepat (fast twitch) dan serabut kejut lambat (slow twitch), sehingga dasar
panggul dapat menjaga tonus istirahat dalam waktu lama dan
menghasilkan kontraksi cepat yang terjadi secara tiba-tiba.
B.3. Kandung Kemih
Kandung kemih adalah organ berongga yang memiliki lapisan otot
dimana berfungsi sebagai reservoir untuk sistem berkemih. Kandung kemih
berbentuk datar ketika kosong dan bulat ketika terisi penuh. Permukaan
superior dan 1 atau 2 cm di atas dari aspek posterior kandung kemih ditutupi
oleh peritoneum, yang membuat kandung kemih terdorong ke kantong
vesikouterina. Kandung kemih terletak di arah inferior pada vagina anterior
dan segmen bawah rahim, dipisahkan oleh sebuah lapisan adventitia (fasia
endopelvis) (Karram, M. M. & Walters, M.D., 2007). Secara fungsional,
kandung kemih dapat dibagi menjadi dua yaitu bagian puncak dan dasar
kandung kemih dimana pada bagian dasar terdapat orifisium uretra. Lapisan otot pada puncak kandung kemih memiliki struktur yang lebih tipis
sehingga lebih mudah untuk terjadi peregangan pada saat proses pengisian
kandung kemih, sebaliknya pada bagian dasar kandung kemih strukturnya
10
lebih tebal sehingga memiliki daya regang yang lebih kecil (Ostergard, D.
R., Bent, A. E., Cundiff, G. W. & Swift, S. E., 2008).
Pada bladder neck, terdapat serabut otot berbentuk “U” yang
terbuka saling berlawanan arah. Uretra berjalan di antara kedua serabut
otot yang berbentuk “U” tersebut dan adanya kontraksi dari kedua serabut
otot tersebut memberikan aksi sfingterik menutup lumen uretra (Ostergard,
D. R., Bent, A. E., Cundiff, G. W. & Swift, S. E., 2008).
Pada dasar kandung kemih, dimulai dari bladder neck hingga uretra
terdapat otot-otot trigonum yang terdiri dari: urinary trigonum, trigonal ring
dan trigonal plate. Urinary trigonum merupakan struktur berbentuk segitiga
yang terdiri dari otot polos yang membentuk sudut pada meatus uretra
interna dan kedua orifisium ureter. Pada posisi setinggi meatus uretra
interna, otot trigonum menyebar membentuk cincin melingkari lumen
uretra sehingga disebut trigonal ring. Pada posisi inferior dari trigonal ring
terdapat lapisan otot yang melingkari uretra yang juga menjadi dasar otot
lurik sfingter yang disebut trigonal plate (Ostergard, D. R., Bent, A. E.,
Cundiff, G. W. & Swift, S. E., 2008).
11
Gambar 4. Potongan Sagital (atas) dan Potongan axial (bawah)
penampang uretra (Peschers, U. & DeLancey, J., 2007)
12
B.4. Dasar Panggul
Posisi dan mobilitas kandung kemih dan uretra dianggap merupakan
faktor penting yang menentukan kontinensia berkemih. Jika dikeluarkan dari
organ sekitarnya, kandung kemih dan uretra memiliki konsistensi yang lunak
dan tidak berbentuk, kandung kemih dan uretra harus bergantung ke dasar
panggul agar memiliki bentuk dan posisi yang fungsional. Pada Pemeriksaan
fluoroskopik tampak bahwa bagian atas dari uretra dan bladder neck
merupakan struktur yang bebas bergerak, sedangkan uretra bagian distal
tetap terfiksir pada posisinya dalam aspek inilah otot dasar panggul dan fasia
berperan (Cardozo, L & Staskin, D., 2001).
Secara struktur, dinding panggl terdiri atas 2 bagian utama, yaitu : Otot
levator ani dan tulang kogsigeus. Secara fungsional, terminologi fungsi
dinding panggul adalah sinonim fungsi otot levator ani, karena otot ini
membentuk kontraksi yang efektif dari struktur penunjang organ di daerah
tersebut. Secara umum dapat diketahui bahwa bagian-bagian dalam panggul
pada wanita, perlekatan antara levator ani ke vagina dan sfingter ani eksterna
menyebabkan kontraksi pergerakan bagian-bagian panggul tersebut ke arah
depan menuju simfisis pubis (Cardozo, L & Staskin, D., 2001).
Gambar 5. Penampang lateral struktur yang menyokong uretra
(Cardozo, L & Staskin, D., 2001)
13
Pada kontraksi otot-otot dinding panggul, pergerakan vagina ke
arah depan menimbulkan penyempitan pada uretra sehingga
menyebabkan perpindahan uretra ke arah depan dan penekanan
melawan permukaan posterior dari tulang pubis. Kompresi otot levator ani
menyebabkan kompresi uretra pada daerah sfingter bagian distal dari
sfingter untuk mempertahankan kondisi kontinen dan menghasilkan
tenaga untuk penyempitan uretra seperti yang terjadi pada saat batuk.
Dekat dengan garis tengah terdapat sepasang ligamentum
fibromuskular yang melekat pada bagian anterior uretra ke permukaan
posteroinferior simfisis pubis yang disebut pubouretralis, yang berjalan ke
arah superior bersama-sama dengan ligamentum pubovesikalis.
Ligamentum ini mengandung serat otot polos yang menerima persarafan
kolinergik yang sifatnya sama dengan otot detrusor. Komponen otot polos
dari ligamentum ini dapat berkontraksi bersamaan dengan otot detrusor.
Dengan demikian akan dapat mempertahankan posisi uretra relatif dekat
dengan pubis pada saat berkemih. Selama fase istirahat, mekanisme
penutupan uretra bergantung terutama pada komponen dinding uretra
(tenaga penutupan tetap). Selama episode stres, tekanan otot-otot
muskulotendineus uretra dan otot lurik periuretra dasar panggul saling
membantu untuk menghasilkan tekanan penutupan tambahan. Pada saat
terjadi peningkatan tekanan intraabdomen, terdapat tenaga penutupan
tambahan (tekanan transmisi) pada bladder neck dan uretra. Tekanan
pasif ini akibat dari transmisi gaya dari bladder neck dan dinding kandung
kemih akibat adanya peningkatan tekanan (Petros, P. E. P., 2006).
14
Gambar 6. Skematik mekanisme pembukaan dan penutupan uretra
saat berkemih. (Keterangan. PUL = pubourethral ligament; PCM =
pubococcygeus muscle ; LP = levator plate ; LMA = longitudinal
muscle of the anus ; USL= uterosacral ligament ) (Petros, P. E. P.,
2006).
C. Prevalensi
Prevalensi inkontinensia urin pada periode setelah melahirkan yang
dilaporkan pada beberapa penelitian bervariasi dari 3 % sampai 40 %.
Beberapa alasan bervariasinya angka prevalensi pada inkontinensia urin ini
disebabkan oleh adanya perbedaan populasi (contoh : negara), perbedaan
dalam metode penelitian, definisi inkontinensia urin yang digunakan dan
perbedaan dalam menilai faktor-faktor penyerta lainnya (contoh : metode
persalinan, jumlah paritas, dan adanya riwayat inkontinensia urin) (Thom, D. H. & Rortveit, G., 2010).
Sangsawang, B. & Sangsawang, N (2013), melakukan pencarian
penelitian inkontinensia urin pada manusia pada jurnal berbahasa Inggris
pada PubMed dengan periode waktu Januari 1990 sampai September
2012 menggunakan kata kunci : epidemiology, prevalence, urinary
incontinence, stress urinary incontinence, pregnancy, pregnant women,
pelvic-floor-muscle exercise, pelvic-floor-muscle training, dan conservative
treatment Conference proceedings juga abstrak dari International
Continence Society annual meetings. Dari hasil pencarian itu peneliti
mengidentifikasi 531 penelitian
15
Prevalensi
Referensi
Desain stres
inkontinensia
urin
(Sangsawang, Mengumpulkan artikel penelitian sejak
Januari 1990 – September
2012.
B. &
Melakukan systematic review dan meta- 41 % Sangsawang,
analyses terhadap 26 artikel yang
N., 2013)
memenuhi kriteria inklusif.
(Findik, R. B., 761 sampel dikumpulkan. Sebelumnya
sample yang memiliki gangguan
Unluer, A. N.,
neurologi dikeluarkan dari sample 35,7 % Sahin, E., et
penelitian, begitupun pasien dengan
al., 2012)
riwayat penyakit sistemik.
(Thom, D. H. Melakukan analisis systematic terhadap
& Rortveit, G., 25,5% 33 artikel yang memenuhi kriteria inklusif.
2010)
(Viktrup, L., Mengamati 278 primipara pada periode
Rortveit, G. & 42 % 12 tahun post partum
Lose, G., 2006)
(Van Geelen,
J. & Hunskaar, Melakukan meta-analysis 10-50%
S., 2005)
(Dolan, L. M., 492 wanita dengan kehamilan 34-40
Walsh, D., minggu diamati hingga periode 3-5 hari 36,8%
Hamilton, S., (372/492) dan 3 bulan (362/492) post
et al., 2004) partum
(Burgio, K. L.,
Zyczynski, H., Mengamati 523 wanita periode 12 bulan 11,36%
Locher, J. L., post partum
et al., 2003)
Tabel 1. Ringkasan beberapa penelitian mengenai prevalensi
stres inkontinensia urin
16
yang dipublikasikan di PubMed. Kemudian peneliti melakukan skrining
relevansi dari judul dan abstrak kemudian mengeluarkan 360 artikel. Dari
hasil pengamatan didapatkan data dari Norwegian Institute of Public Health
menemukan bahwa tipe inkontinensia tersering adalah stress inkontinensia
urin dengan 31% dan 42 % pada nulipara dan multipara. Hasil pengamatan
yang didapatkan di China lebih rendah dari penelitian di Eropa, namun
prevalensi stres inkontinensia urin tetap merupakan jenis inkontinensia urin
yang terbanyak (Sangsawang, B. & Sangsawang, N., 2013).
Viktrup, L., Rortveit, G. & Lose, G., (2006) melakukan studi kohort
pada 241 wanita post partum, dengan usia rata-rata 26 tahun, setelah
melahirkan dan 12 tahun setelah melahirkan. Para peneliti mendapatkan
bahwa prevalensi stres inkontinensia urin 12 tahun setelah melahirkan
42% ( 102 dari 241 responden) (p<.01) (Viktrup, L., Rortveit, G. & Lose,
G., 2006).
D. Faktor Risiko Potensial
International Continence Society menyimpulkan dari beberapa hasil
penelitian yang berhubungan dengan faktor-faktor yang menjadi penyebab
inkontinensia urin berkaitan dengan episode persalinan bahwa : persalinan
pervaginam memiliki risiko dua kali lipat lebih tinggi untuk terjadinya
inkontinensia urin dibandingkan dengan seksio sesaria, adanya riwayat
inkontinensia urin yang timbul pada masa kehamilan mempunyai hubungan
dengan kejadian inkontinensia urin pada periode post partum (Level evidens
II), faktor obstetri lain seperti trauma jalan lahir, penggunaan alat bantu
persalinan seperti forsep ataupun vakum ekstraksi, lingkar kepala bayi ≥ 35,5
cm, durasi kala 2 ≥ 110 menit, dan episiotomi (Abrams, P., Cardozo, L., Khoury, S. & Wein, A. J., 2013).
D.1. Kehamilan
Stres inkontinensia urin (SIU) pada wanita sering dihubungkan
dengan kehamilan. Pada beberapa literatur menunjukkan bahwa SIU lebih
17
sering terjadi pada wanita hamil dibandingkan dengan kelompok wanita
lainnya. Selama kehamilan terdapat perubahan pada traktus urinarius bawah
yang menurut beberapa peneliti disebabkan oleh pengaruh hormonal.
Pengaruh hormon ini menyebabkan organ akan menyesuaikan terhadap
kondisi kehamilan. Kandung kemih bergeser ke arah anterior dan superior
sesuai dengan usia kehamilan. Sehingga kandung kemih akan lebih
cenderung lebih berada di rongga abdomen pada rongga pelvis pada
trimester ke-tiga. Dibawah pengaruh hormon estrogen otot detrusor menjadi
hipertrofi. Progesterone menyebabkan otot detrusor hipotonia sesuai dengan
peningkatan kapasitas kandung kemih. Kapasitas kandung kemih akan
menurun sesuai dengan penurunan kepala bayi, dan meningkat lagi saat post
partum. Sebagai reaksi efek progesterone tersebut maka tekanan kandung
kemih meningkat dari 9 cm H20 pada awal kehamilan menjadi 20 cm H2O
pada kehamilan cukup bulan dan kembali normal pada saat post partum
(Ostergard, D. R., Bent, A. E., Cundiff, G. W. & Swift, S. E., 2008).
Patofisiologi terjadinya inkontinensia urin pada wanita hamil dan
selama masa nifas meliputi multifaktorial. Keadaan hamil itu sendiri,
perubahan hormonal selama kehamilan, perubahan pada sudut
ureterovesikal dan defek anatomi setelah melahirkan yang melibatkan otot
levator dan jaringan ikat saling terkait namun penyebab pasti pada
terjadinya inkontinensia urin pada kehamilan tidak diketahui secara pasti.
Pada pengamatan dari Lewicky, G. C., Cao, D.C. & Culbertson, S., (2008)
mendapatkan 69% dari sampel penelitian mengalami gejala stres
inkontinensia urin mengeluhkan pada kehamilan trimester tiga walaupun
hanya 2% yang mengeluhkan perubahan gaya hidup akibat SIU (Lewicky,
G. C., Cao, D.C. & Culbertson, S., 2008).
Menurut penelitian Solans, D. M., Sánchez, E., Espuña, P. M. &
Group, P. F. R., tahun 2010 mengungkapkan bahwa insidens rate dari
inkontinensia urin ada kehamilan mencapai 39,1% dimana pada
pengamatan lanjut periode post partum ditemukan 17,1 % yang masih
mengalami inkontinensia urin pada periode 3-6 bulan post partum. Peneliti
18
juga mengemukakan bahwa insidens inkontinensia urin post partum pada
6 minggu post partum dibandingkan dengan 6-12 bulan post partum
memiliki hasil yang serupa (Solans, D. M., Sánchez, E., Espuña, P. M. &
Group, P. F. R., 2010). D.2. Cara Persalinan
D.2.1. Persalinan Pervaginam
Persalinan sebagai faktor yang menyebabkan terjadinya
inkontinensia urin pada wanita telah dinyatakan dalam beberapa penelitian
yang melihat hubungan antara paritas dengan inkontinensia urin sehingga
dapat disimpulkan menjadi beberapa penyebab: (Abrams, P., Cardozo, L.,
Khoury, S. & Wein, A. J., 2013).
a. Proses persalinan menyebabkan kerusakan pada dasar panggul
sebagai konsekuensi dari regangan dan melemahnya otot dan
jaringan ikat selama proses persalinan.
b. Kerusakan dapat juga ditimbulkan oleh adanya laserasi dan
tindakan episiotomi. Akibatnya dapat menyebabkan pergeseran
dan perubahan posisi dari organ pelvis dari tempat seharusnya.
c. Regangan yang terjadi pada organ pelvis dan sekitarnya selama
proses persalinan dapat merusak saraf pudendus dan saraf-
saraf lainnya di pelvis, sehingga bersamaan dengan rusaknya
otot dan jaringan ikat menyebabkan kontraksi penutupan uretra
menjadi tidak adekuat.
Viktrup, L., Rortveit, G. & Lose, G., pada tahun 2006 menyimpulkan
dari hasil penelitiannya bahwa kejadian SIU setelah proses persalinan
berhubungan secara bermakna baik secara klinis maupun statistik dengan
persalinan pervaginam dan beberapa faktor risiko obstetrik seperti: lama
kala dua, berat bayi lahir, dan lingkar kepala bayi. Episiotomi dan juga
penggunaan alat bantu seperti vakum ekstraksi dan forsep meningkatkan
kejadian SIU secara bermakna baik secara langsung ataupun jangka
panjang (Viktrup, L., Rortveit, G. & Lose, G., 2006).
19
D.2.2. Persalinan Perabdominam
Seksio sesarea merupakan metode persalinan yang menyebabkan
trauma pada otot dasar panggul lebih kecil jika dibandingkan dengan
persalinan pervaginam. Namun, pada pengamatan Novellas, S., Chassang,
M., Verger, S., et al mengemukakan bahwa kejadian inkontinensia urin pada
persalinan perabdominam melalui seksio sesarea emergensi memiliki
insidensi 11% dibanding seksio sesarea secara elektif dimana inkontinensia
terjadi hanya 2% dari hasil pengamatannya. Sehingga peneliti menyimpulkan
efek protektif seksio sesarea terhadap inkontinensia urin lebih besar pada
seksio sesarea elektif sebelum timbulnya onset persalinan (Novellas, S., Chassang, M., Verger, S., et al., 2010).
Pada penelitian systematic review yang dilakukan Press, J. Z.,
Klein, M. C., Kaczorowski, J., et al disimpulkan bahwa mode persalian
perabdominam hanya memberikan efek protektif pada stres inkontinensia
urin, namun urge inkontinensia dan mix inkontinensia urin memiliki angka
kejadian yang sama dengan mode persalinan pervaginam (Press, J. Z., Klein, M. C., Kaczorowski, J., et al., 2007).
D.2.3. Berat Bayi Lahir
Pada pengamatan Højberg, K. E., Salvig, J. D., Winsløw, N. A., et
al. (1999), yang melakukan studi kohort terhadap 1781 wanita hamil
dengan usia kehamilan 16 minggu menemukan data bahwa wanita
dengan riwayat melahirkan bayi > 4000 gram meningkatkan risiko
terjadinya inkontinensia urin ( OR 1.9; 95% CI 1.0-3.6) (Højberg, K. E.,
Salvig, J. D., Winsløw, N. A., et al., 1999).
Namun, pada penelitian Viktrup, L., Rortveit, G. & Lose, G.,
mengemukakan bahwa berat bayi > 4000 gram tidak berhubungan
signifikan secara statistik terhadap kejadian SIU (Viktrup, L., Rortveit, G. &
Lose, G., 2006).
20
D.2.4. Ekstraksi Vakum Atau Forsep
Faktor risiko seperti penggunaan vakum ekstraksi sebagai alat
bantu persalinan menyebabkan kejadian SIU meningkat setelah 5 tahun
setelah melahirkan (Viktrup, L., Rortveit, G. & Lose, G., 2006).
Risiko terjadinya inkontinensia urin tidak berbeda secara signifikan
antara penggunaan vakum ekstraksi (OR 0.80; CI 95% = 0.59 – 1.10) atau
forsep (OR 1.06; CI 95% = 0.72 – 1.57) dibandingkan dengan persalinan
pervaginam. Walaupun telah diketahui bahwa persalinan dengan forsep
akan menyebabkan perlukaan jalan lahir dan sistem saraf perifer yang
luas (Glazener, C. M. A., Herbison, G., MacArthur, C., et al., 2006).
D.2.5. Durasi kala dua
Pada penelitian yang dilakukan oleh Gartland, D., Donath, S.,
MacArthur, C. & Brown, S mengemukakan bahwa adanya hubungan antara
lama kala II dengan kejadian inkontinensia urin pada 3 bulan postpartum, dari
hasil pengamatan mereka menemukan bahwa pada durasi 1,01 – 2,0 jam
terjadi inkontinensia yang persisten sebanyak 35,3 % ( OR 1.07 95% CI =
0.72-1.59) yang meningkat menjadi 36,9 (OR 1.15 ; 95% CI = 0.72- 1.85) pada durasi 2,01 – 5 jam (Gartland, D., Donath, S., MacArthur, C. &
Brown, S., 2012).
Pada penelitian lainnya Viktrup, L., Rortveit, G. & Lose, G.
menemukan bahwa durasi kala II melebihi 60 menit berhubungan dengan
peningkatan risiko terjadinya SIU jangka panjang walaupun hanya
signifikan pada garis batas. (Viktrup, L., Rortveit, G. & Lose, G., 2006).
Sedangkan Brown, S., Gartland, D., Donath, S. & MacArthur, C
mengemukakan penelitiannya bahwa pada persalinan dengan kala 2
memanjang didapatkan terjadi peningkatan kejadian inkontinensia urin
pada postpartum ( OR 1.9, 95% CI 1.1-3.4) (Brown, S., Gartland, D.,
Donath, S. & MacArthur, C., 2011).
21
D.2.6. Episiotomi
Episiotomi yang dilakukan pada ssat persalinan pervaginam
nampaknya mempunyai efek terhadap kejadian SIU pasca persalinan.
Studi prospektif menyatakan bahwa episiotomi meningkatkan kejadian
episiotomi meningkatkan kejadian SIU 5 tahun pasca persalinan. Wanita
yang saat proses persalinan dilakukan episiotomi mediolateral mempunyai
risiko yang lebih tinggi untuk terjadinya SIU pada usia gestasi 16 minggu
pada kehamilan berikut (OR 1.9; 95% CI 1,0-3,5) (Højberg, K. E., Salvig,
J. D., Winsløw, N. A., et al., 1999).
D.2.7. Paritas
Regangan pada otot dasar panggul yang terjadi pada saat persalinan
pervaginam telah disebutkan dapat menyebabkan SIU. Dari penelitian yang
dilakukan oleh Goldberg, R. P., Kwon, C., Gandhi, S., et al ternyata wanita
multipara memiliki risiko 1.46 kali untuk terjadi SIU dibandingkan wanita
primipara. (Goldberg, R. P., Kwon, C., Gandhi, S., et al., 2003) Temuan
tersebut didukung oleh Eason, E., Labrecque, M., Marcoux, S. & Mondor, M,
yang menyebutkan bahwa multipara jika dibandingkan dengan primipara
mempunyai risiko sebesar 1.5 kali (Eason, E., Labrecque, M., Marcoux, S. & Mondor, M., 2004).
D.2.8. Ruptur Perineum
Ruptur perineum akan merusak sebagian otot dasar panggul yaitu
otot transversal perinei (rhabdosfingter: m. kompresor vagina, m.
uretrovagina; dan m. puborektalis). Højberg, K. E., Salvig, J. D., Winsløw, N. A., et al menyatakan dari 106 wanita yang mengalami gejala SIU
sebanyak 8 orang (6%) memiliki faktor risiko ruptur perineum spontan
derajat 3 saat melahirkan meskipun hal ini tidak bermakna secara statistik
(Højberg, K. E., Salvig, J. D., Winsløw, N. A., et al., 1999). Eason, E.,
Labrecque, M., Marcoux, S. & Mondor, M juga tidak menemukan hubungan
22
secara statistik antara ruptur perineum spontan dengan kejadian SIU
(Eason, E., Labrecque, M., Marcoux, S. & Mondor, M., 2004). Wesnes, S.
L., Hunskaar, S., Bo, K. & Rortveit, G juga mengemukakan bahwa ruptur
perineum derajat 3 dan 4 tidak secara signifikan bermakna sebagai faktor
risiko terjadinya inkontinensia urin postpartum (Wesnes, S. L., Hunskaar, S., Bo, K. & Rortveit, G., 2009).
E. Diagnosa Klinis
Dari hasil temuan klinis dengan riwayat dan pemeriksaan fisik dapat
mendiagnosis SIU dengan ketepatan yang rasional. Wanita memiliki
gejala SIU hanya dengan keluhan saja memiliki nilai akurasi diagnosis
sebesar 64-90% jika dibandingkan dengan tes urodinamik sebagai standar
baku emasnya. Dari pasien-pasien tersebut 10-30 % ditemukan memiliki
gejala instabilitas detrusor (berdiri sendiri atau bersamaan dengan SIU).
Kejadian jarang yang dapat menyebabkan gejala SIU adalah divertikulum
uretra, fistula genitourinaria, ektopik ureter dan instabilitas uretra.
Para klinisi harus mengenali situasi klinis yang terjadi bahwa
diagnosis SIU yang lainnya didasarkan oleh gejala klinis masih terdapat
rentang ketidak pastian. Uji urodinamik dilakukan bila diagnosis diragukan
untuk konfirmasi diagnosis dan pasien akan menjalani proses terapi
bedah. Hal ini dibenarkan karena dari hasil penelitian mengatakan bahwa
morbiditas yang rendah dan alasan biaya.
Saat konseling perlu dilakukan penelusuran dimulai dengan
keluhan atau riwayat terjadinya pengeluaran urin yang dipicu oleh
aktivitas. Pada penelusuran riwayat pengeluaran urin yang tidak terkontrol,
informasi yang harus digali termasuk gejala penyimpanan dan berkemih,
dampak SIU terhadap kualitas kehidupan sehari-hari, derajat luasnya SIU
dan perbaikan gejala setelah dilakukan terapi.
Beberapa peneliti sepakat bahwa cukup untuk menggunakan
kuesioner yang telah distandardisasi untuk mendapatkan data gejala klinis
23
dan menegakkan diagnosis inkontinensia urin. Beberapa kuesioner yang
telah direkomendasikan oleh ICS adalah : Urogenital Distress Inventory
(UDI-6 Short Form), King’s Health Questionnaire, Symptoms Severity
Index (SSI), Bristol Lower Urinary Tract Symptoms (BFLUTS). Stress Incontinence Questionnaire (SIQ), Incontinence Questionnaire-Urinary
Incontinence-Short Form (ICIQ-SF).
Dibutuhkan beberapa pemeriksaan penunjang untuk menegakkan
diagnosa inkontinensia urin :
a. Urinalisa : Pemeriksaan urinalisa sangat fundamental dan
sebaiknya dilakukan pada setiap pasien dengan keluhan di
bidang urologi. Berkaitan dengan inkontinensia urin
pemeriksaan urinalisa bukan merupakan tes diagnostik. Tetapi
merupakan tes untuk mendeteksi adanya hematuria, glukosuria,
pyuria dan bakteriuria (Abrams, P., Cardozo, L., Khoury, S. &
Wein, A. J., 2013).
b. Pemeriksaan Neurologis : pemeriksaan neurologis sebaiknya
dilakukan dengan berfokus pada jalur persarafan sakralis.
Pemeriksaan cara berjalan (gait), gerakan abduksi dan dorsofleksi
ibu jari kaki (S3) dan persarafan sensoris dari labia minor (L1-L2),
aspek lateral dari kaki (S1), aspek posterior pinggul (S2) serta
refleks sakro-kutaneus (refleks bulbocavernosus dan anal).
c. Pemeriksaan Ginekologi : pemeriksaan ginekologi mencakup
inspeksi regio perineum untuk melihat ada atau tidaknya
kelainan anatomis dan pemeriksaan dalam vagina untuk
mengevaluasi kekuatan otot dasar panggul.
d. Stress Test : tes ini meliputi observasi pengeluaran urin dengan
batuk atau manuver valsalva. Prosedur ini dilakukan dengan
menempatkan pasien pada posisi litotomi ataupun berdiri.
Keluarnya urin secara spontan selama batuk atau manuver
valsalva diartikan sebagai tes positif dan merupakan tanda dari
stres inkontinensia urin. Price, D. M. & Noblett, K.
24
membandingkan akurasi diagnosis stres inkontinensia urin dengan
menggunakan tes batuk dibandingkan dengan pad test didapatkan
bahwa memiliki sensitivitas, spesifitas, positif prediktif value dan
negative prediktif value 90%, 80%, 98% dan 44% (Price,
D. M. & Noblett, K., 2012). e. Tes Pad : tes pad dilakukan dengan menggunakan pad (
pembalut) untuk periode waktu tertentu. Tujuan pemeriksaan tes
pad adalah untuk menghitung volume pelepasan urin dengan
menghitung penambahan berat pembalut setelah dilakukan
provokasi pelepasan urin. Tes pad dibagi menjadi dua yaitu tes
jangka pendek dan tes jangka panjang. Tes jangka pendek
dimana dilakukan 1 jam tes, apabila pembalut memiliki
peningkatan berat > 1 gram menandakan postif. Sedangkan tes
jangka panjang menggunakan pembalut untuk periode 24 jam
dimana hasil positif untuk penambahan > 4 gram (Abrams, P.,
Cardozo, L., Khoury, S. & Wein, A. J., 2013). f. Tes Q-tip : tes ini secara tradisional digunakan untuk memeriksa
mobilitas dari urethra – vasical junction. Tes ini meliputi
penempatan kapas lidi yang pada ujungnya diberikan lubrikasi dan
dimasukkan sampai pada bladder neck pada posisi litotomi.
Perubahan axis akan diamati pada saat pasien melakukan
manuver valsalva dimana hasil positif jika pada tepi kapas lidi yang
bebas bergerak tidak dalam bidang horizontal yang menandakan
adanya hipermobilitas. Beberapa hasil analisis mengemukakan
bahwa hasil tes q-tip tidak akurat untuk mendiagnosis stres
inkontinensia urin pada wanita (Holroyd, L. J.
M., Tannenbaum, C., Thorpe, K. E. & Straus, S. E, 2008).
25
F. Kerangka Teori
Paritas
wanita
Tidak Hamil
Riwayat SIU saat
Hamil
Umur
Hamil
Persalinan
Lama kala II
Kebiasaan hidup
Perabdominam Pervaginam Berat lahir
Obesitas bayi
Lingkar kepala
Spontan Vakum Forsep bayi Rokok
Alkohol
Derajat ruptur Episiotomi Perineum utuh
perineum
Derajat ruptur
perineum akibat
episitotomi
SIU pasca persalinan